Suling Naga Jilid 6-10

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Suling Naga Jilid 6-10 Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja.

Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja. Walau pun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sinkang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakang, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.

Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.

"Tringg! Tranggg...!"

Kedua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah.

Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semuanya serba sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi baru mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu.

Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja dia lalu berkata, "Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku..."

"Kami mengerti, mundurlah kau," kata seorang di antara dua pria kembar itu.

Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak dipedulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan menonton kedua orang suhu-nya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya dia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.

Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kemudian seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus, "Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?"

Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimana pun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka. Dan yang lebih memalukan lagi, meski mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya!

Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak, "Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?"

Dua orang pria kembar itu mengangguk.

"Bagus!" kata kakek berjenggot panjang. "Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang telah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!"

Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum. "Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?"

"Tidak! Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!" Bentak kakek berjenggot panjang. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.

Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walau pun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.

Akan tetapi, walau pun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan. Mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang meski pun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, akan tetapi tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan.

Terjadi perkelahian yang amat seru. Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan walau pun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.

Keduanya menguasai ginkang dan sinkang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.

Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai. Puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua sekarang telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.

Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu. Bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima pasukan untuk membasmi pemberontakan.

Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia persilatan, sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia dapat melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah.

Karena itulah, maka ia pun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa di puncak Beng-san. Dia tidak mencampuri lagi urusan dunia. Karena itulah maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing, bahkan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.

Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol. Betapa pun juga, karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.

Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan!

Di antara kedua pria kembar ini terdapat hubungan batin yang aneh bukan main, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal. Pakaian pun harus diberi yang serupa, dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah.

Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah. Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirnya putus asa. Setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya mereka pun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.

Betapa pun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian kedua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana keduanya terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua mereka pun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!

Saat mereka berusia dua puluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, artinya tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lemah dan pantas diselamatkan.

Ketika melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan dari keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok.

Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan mereka pun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja!

Baru lima tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya. Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuh belas tahun, mulailah datang godaan-godaan.

Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum serta mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh dunia persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.

Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan. Selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!

Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apa pun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tak ada seorang pun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!

Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susiok-nya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan. Juga tosu yang menjadi susiok-nya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, terluka hebat pula oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!

Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu. Karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang mereka anggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh dari Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua anggota Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.

Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama semakin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.

Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh.

Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia memang tidak tahu siapa antara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.

Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka, "Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!"

Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biar pun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang. Senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka, lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.

Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya. Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khikang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut hingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.

Kini Sim Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sedang merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.

"Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka."

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuh menghadapi Bu-tong Ngo-lo, "Kalian berlima sudah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?"

Sambil berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya. Lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!

"Kalian hendak lari ke mana?" Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.

Namun Sim Houw sudah berdiri di depannya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!"

Hui Lan menjadi marah melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan bagaikan hendak memeluknya. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, dia pun menjadi semakin marah.

"Enyahlah kau!" bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.

"Wuuuttt...!" Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia.

"Ehhh, ehhh... jangan pukul...!" Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.

"Plakkk!"

Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.

"Keparat, engkau ini selalu menggangguku!" Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.

"Hui Lan, jangan pukul dia!" tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itu pun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.

Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu sudah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.

Biar pun Hui Lan memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tak pernah menghargai orang lain, maka dia pun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal jika teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.

Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang dilihat dari gerak-geriknya, kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini.

Gak Jit Kong lalu bertanya, "Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?"

Sim Houw menjura lagi dengan sikap hormat. Sejak tadi sulingnya telah diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.

"Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar kata orang, bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya..."

"Omong kosong!" bentak Hui Lan. Kalau kami kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!"

Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik. "Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?"

"Ji-wi locianpwe, Apakah orang harus membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?"

"Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?" tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.

"Semenjak tadi saya kebetulan berada disini. Karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar..."

"Kenapa membunyikan suling?" kini Gak Goat Kong mendesak.

"Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu. Karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil..."

"Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?" Gak Jit Kong bertanya lagi.

"Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa-apa selain itu, locianpwe."

"Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau pun mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki ia datang dari perguruan silat mana, suhu!" kata Hui Lan. Dan gadis itu sudah meloncat ke depan. Tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw.

Sim Houw tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya sangat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Namun dia diam saja, sedikit pun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.

"Hui Lan, jangan...!" Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu.

Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andai kata demikian, dia pun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!

Dan benar saja dugaannya. Tanpa dicegah oleh gurunya sekali pun, Hui Lan memang tak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berubah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.

"Plakkk...!"

Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Akan tetapi Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu telah terpelanting keras oleh tamparannya!

Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, mendadak kedua orang gurunya berseru. "Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!"

Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh, dan benar saja. Sedikitnya dua puluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik tengah berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu.

Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!

Dua puluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat.

Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain, memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng-san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu, apa lagi dua puluh empat orang yang berpakaian serba merah.

Wanita itu pun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, dia sudah bertanya dengan suara lantang, "Siapakah di antara kalian yang mempunyai julukan Pendekar Suling Naga?"

Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Akan tetapi Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerombolan orang berpakaian serba merah itu. Dia menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak, "Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?"

Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah Pendekar Suling Naga?"

Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga dua puluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis).

Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya. Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, dia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es oleh karena pendekar sakti itu sudah tewas. Kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk meminta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.

Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!

Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tak mau mengaku. Bi-kwi marah sekali, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek yang sebenarnya masih susiok-kong-nya sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itu pun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.

Seperti diketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan sebab ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, terlebih dahulu dia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya.

Perkumpulan itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia lima puluh tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka, Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk membantunya dalam segala macam hal kalau dimintanya, dan Tee Kok menyanggupi.

Bi kwi lalu memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya supaya cepat memberi kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi. Setelah itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik menyediakan dirinya untuk melatih sumoi-nya itu menggantikan guru-gurunya.

Baru beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan, berjumlah dua puluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan. Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama dua puluh empat orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya, mereka bisa mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yang menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng bersama murid mereka.

Tee Kok dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan bahwa pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw.

Akan tetapi, mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk Pendekar Suling Naga.

Walau pun Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, Bi-kwi tetap tidak peduli dan mengulangi pertanyaannya.

"Siapakah Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan menjadi setan-setan tanpa nyawa!" Sekali lagi dia menghardik, sekali ini sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan.

Kalau sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang sudah kehabisan kesabaran lagi. "Perempuan hina! Berani engkau mengancam kami di rumah kami sendiri? Apa kau kira aku takut kepadamu dan gerombolanmu, badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau berhadapan!"

Bi-kwi memang seorang yang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau menurutkan emosi dan kemarahannya, dan kalau pun ada, disimpan di dalam hati saja. Hanya sinar matanya yang menyambar saat ia menjawab, "Tidak peduli siapa orangnya, kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar Suling Naga, tentu akan kami bunuh!"

"Keparat! Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan tetapi kedua orang suhu-ku ini adalah Beng-san Siang-eng!"

Maksud Hui Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya itu adalah untuk balas menggertak supaya wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama Beng-san Siang-eng?

Bi-kwi memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek. "Ahh! Ini namanya mencari bandeng tetapi mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng, keluarga Pulau Es?" katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar itu penuh perhatian.

Dua orang pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis cantik ini masih muda tetapi sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah, tentu bukan orang sembarangan.

"Kami dua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es. Akan tetapi kami tak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona, dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?"

Ciong Siu Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan memandang kepada dua orang pria kembar itu dengan mata tajam. "Beng-san Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi. Aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi, untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada adalah kalian, cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali karena aku pun memiliki tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!"

Dua orang pria kembar itu mengerutkan alis lagi. "Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?"

"Kakekmu pernah mengalahkan guru-guruku, dan guru-guruku sudah bersumpah untuk membalas kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya adalah keluarga dan keturunannya. Nah, kini bersiaplah kalian untuk mati, juga bocah perempuan sombong ini. Dan pemuda itu… siapakah dia?" Telunjuk kiri Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa tampannya pemuda sederhana itu.

"Jangan ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tak ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami, bahkan kalau boleh kunasehatkan supaya kamu yang masih muda ini pulang saja dan biarkan ketiga orang suhu-mu itu yang datang membuat perhitungan dengan keluarga para pendekar Pulau Es," kata Gak Jit Kong.

Gak Jit Kong merasa tidak enak juga jika ia bersama adik kembarnya harus berhadapan dan mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu melawan seorang gadis muda. Jika kalah amat memalukan, kalau menang pun akan ditertawakan orang!

"Beng-san Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mampus!" bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.

"Suhu, biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!" Hui Lan juga mencabut pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi.

Dua orang pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena jika dua puluh empat orang berpakaian seragam merah itu maju mengeroyok, mereka akan menghadapi pasukan merah itu.

Tetapi, Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis berkerut. "Bocah sombong, engkau bukanlah lawanku. Guru-gurumu itulah lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu tiba!"

Ucapan itu sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan sepasang goloknya ke depan menangkis.

"Tranggg...!"

Nampak api berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu.

"Ciong Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!" kata Tee Kok.

“Matamu sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau kau mampu, tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kau bunuh!"

Biar pun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu amat kasar dan kotor.

"Kalian adalah manusia-manusia busuk!" kata Gak Jit Kong yang segera menghunus pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.

"Bagus! Mari kita ramai-ramai membasmi keturunan Pulau Es!" Bi-kwi berseru dan ia pun menerjang maju, disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah pula memegang pedang masing-masing.

Dan dalam gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi, mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan ada hawa panas yang menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis itu!

Tahulah mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai. Mereka pun cepat mengurung dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Maka segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik itu.

Hui Lan juga segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seakan-akan hendak mengguntingnya, Ternyata si tinggi kurus bermuka pucat ini pun mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat!

Boleh jadi Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau Es. Maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu, paling-paling hanya akan dapat mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada pasukan Ang-i-mo itu untuk ikut maju dan membantu!

Hui Lan merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat banyak. Tidak disangkanya bahwa si kurus baju merah itu dapat memainkan sepasang goloknya sedemikian lihainya.

Ia tidak tahu bahwa Tee Kok adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang dua puluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es.

Perkumpulan Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, tetapi masih ada belasan orang anggota yang berhasil meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong, maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi.

Tee Kok ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan semua anggotanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan dikalahkan oleh wanita cantik ini! Oleh karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka. Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.

Kini dua puluh orang lebih anak buah Ang-i Mo-pang serentak bergerak mengepung, membantu Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan kedua orang gurunya itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang. Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang telah terpelanting jatuh dan mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan.

Beng-san Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, kemudian mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga mereka pun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah asal suara suling seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ.

Kiranya yang mengeluarkan bunyi melengking yang menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu sekarang sudah duduk bersila dan menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khikang kuat sekali ke dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu.

Melihat suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan lagi ia berteriak, "Suling Naga!"

Semua orang terkejut mendengar teriakan ini, termasuk pula Hui Lan dan dua orang gurunya. Mereka pun cepat memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw segera menghentikan tiupan sulingnya dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Suling itu masih dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling.

Bi-kwi sudah dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw, pandang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian.

Suara suling yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang mempunyai kepandaian tinggi. Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu ia tidak merasa ragu lagi.

"Hemm, jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di Himalaya?" tanya Bi-kwi dengan suara lantang.

Pertanyaan ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang lalu memandang kepada Sim Houw.....

Sim Houw mengamati suling di tangannya dan alisnya berkerut. "Benar, akan tetapi tidak kusanga bahwa Pek-bin Lo-sian telah meninggal dunia."

"Siapa namamu?" Tiba-tiba Bi-kwi bertanya sambil menatap wajah yang tampan itu.

"Aku she Sim bernama Houw, dan secara kebetulan saja Pek-bin Lo-sian memberikan suling ini kepadaku dengan suka rela. Mengapa engkau mencari-cari aku?"

"Orang she Sim, dengarlah baik-baik. Liong-siauw-kiam itu adalah milik nenek moyang tiga orang guruku yang dikenal dengan julukan Sam Kwi. Pek-bin Lo-sian adalah susiok-kongku sendiri. Orang tua yang tidak tahu diri itu secara lancang telah memberikan pusaka keluarga perguruan guru-guruku kepada engkau, seorang asing. Karena itu, dia layak mati di tanganku. Sekarang, serahkan pusaka itu kembali kepadaku yang berhak memilikinya, dan barulah aku akan mempertimbangkan apakah engkau harus dibunuh ataukah tidak."

Diam-diam Sim Houw terkejut dan marah. Kiranya kakek itu telah dibunuh oleh wanita kejam itu dan tentu saja dia sudah mendengar tentang Sam Kwi. Justeru karena tidak ingin pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, murid-murid keponakan Pek-bin Lo-sian itu, maka kakek itu memberikan pusaka itu kepadanya dan berpesan agar dia berhati-hati menghadapi Sam Kwi. Sekarang murid dari Tiga Iblis itu telah muncul dan memang benar gadis ini mempunyai kepandaian yang tinggi, belum lagi dua puluh empat orang pembantunya itu.

"Bi-kwi, julukanmu itu tepat sekali. Memang engkau cantik, akan tetapi watakmu seperti iblis yang kejam. Engkau Iblis Cantik bahkan telah membunuh susiok-couw sendiri. Pusaka ini diberikan kepadaku oleh mendiang Pek-bin Lo-sian memang dengan maksud agar jangan sampai terjatuh ke tangan Sam Kwi. Aku menerimanya dari Pek-bin Lo-sian dan hanya kakek itu seorang yang berhak memintanya dari tanganku. Baik engkau mau pun Sam Kwi, tidak berhak."

"Keparat, berani engkau menentang Bi-kwi?" bentak Bi-kwi dan pedang di tangannya tergetar sampai mengeluarkan suara berdengung.

"Ciong Siocia, biar kurebutkan pusaka itu untukmu!" teriak Tee Kok.

Pria tinggi kurus bermuka pucat ini telah menerjang maju, sepasang goloknya membuat gerakan bersilang, yang satu membacok ke arah pergelangan tangan Sim Houw yang memegang suling sedangkan yang ke dua menyambar ke arah pundak kiri pemuda itu. Sungguh merupakan serangan maut yang berbahaya, sekaligus hendak merampas suling dengan membacok tangan kanan lawan sambil berusaha membunuhnya!

Akan tetapi, Sim Houw kelihatan tenang saja menghadapi serangan maut ini. Dengan sedikit gerakan tubuh dan geseran kaki, dua serangan itu sudah meluncur lewat dan mengenai tempat kosong, dan pada detik berikutnya, ujung suling itu telah membalik di tangannya. Sekarang yang dipegangnya ialah bagian kepala suling naga yang menjadi gagangnya dan kini ekor naga itu yang merupakan ujung mata pedang telah menusuk ke arah paha Tee Kok dengan kecepatan kilat.

Tee Kok terkejut dan cepat ia menarik kakinya. Akan tetapi pada saat itu, angin keras menyambar dan ternyata angin itu keluar dari lengan baju kiri Sim Houw yang sudah menyusulkan tamparan ke arah kepala lawan. Tee Kok mengelebatkan goloknya yang kanan untuk membacok tangan kiri lawan, akan tetapi kembali tangan itu mengelak dan melanjutkan serangan dengan totokan jari ke arah dada.

"Ehhh...!" Tee Kok terkejut sekali.

Demikian cepat gerakan lawan sehingga dalam satu gebrakan saja dia sudah dihujani serangan. Sebagai bekas murid mendiang Hek-I Mo-ong yang lihai tentu saja dia masih bisa menghindarkan diri dari totokan itu dengan cara meloncat ke belakang. Kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang lawan yang amat tangguh.

Dia mengeluarkan suara menggereng. Kedua goloknya diputar-putar membentuk dua lingkaran sinar bergulung-gulung yang menyerang ke arah Sim Houw. Karena agaknya kini mulai sadar akan kelihaian lawan, Tee Kok lantas mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus ilmu sepasang goloknya yang paling ampuh. Untuk dapat merebut suling pusaka itu seperti yang dijanjikannya kepada Bi-kwi, dia harus terlebih dahulu dapat membunuh pemuda ini.

"Hemm," Sim Houw mengeluarkan seruan dari hidungnya.

Tiba-tiba sulingnya itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup ketika dia memutarnya. Mendengar suara melengking tajam ini, entah bagaimana tahu-tahu dua gulungan sinar golok itu terhenti sebentar seperti tertahan sesuatu dan saat itu, ujung ekor suling naga telah meluncur dan menusuk ke arah Tee Kok, tepat di antara kedua matanya.

Tee Kok mengeluh kaget dan sepasang goloknya bergerak ke depan untuk menangkis dan menggunting suling lawan. Akan tetapi suling itu telah bergerak ke belakang dan pada saat yang sama, sebuah tendangan mengenai dada Tee Kok.

"Bukkk!"

Tee Kok tidak melihat datangnya tendangan ini karena tadi matanya terancam tusukan pedang suling sehingga seluruh perhatiannya telah tercurah untuk menyelamatkan dua matanya. Sekarang tendangan itu mengenai dadanya yang sudah dilindungi dengan kekebalan, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tee Kok merasa betapa tulang pinggulnya bagaikan remuk, akan tetapi dia sudah dapat terus bergulingan seperti seekor trenggiling dan sudah meloncat bangun lagi dengan muka semakin pucat dan mata berapi-api.

Tentu saja Hui Lan dan dua orang gurunya terkejut bukan main, terkejut dan penuh rasa kagum. Pemuda tukang suling yang tadinya mereka pandang rendah, mereka remehkan sebagai seorang pemuda lemah, ternyata dalam dua tiga gebrakan saja sudah mampu menendang jatuh Tee Kok yang tadi dirasakan sebagai lawan yang amat tangguh oleh Hui Lan.

Gadis ini teringat betapa tadi ia pernah mendorong Sim Houw sampai terguling-guling dan teringat akan hal itu, mukanya berubah merah sekali. Tahulah dia kini bahwa tadi Sim Houw hanya berpura-pura saja dan baru kini pemuda itu terpaksa memperkenalkan diri hanya karena melihat ia dan dua orang gurunya tadi terancam bahaya maut.

Sementara itu, melihat mereka berkelahi dalam dua tiga gebrakan saja dan melihat pembantunya tertendang roboh, Bi-kwi juga terkejut. Baru terbuka matanya bahwa pemuda yang menerima benda pusaka itu, yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga, ternyata adalah seorang yang amat lihai. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok yang pernah dikalahkannya itu. Cukup tangguh. Ia sendiri baru akan mampu mengalahkan Tee Kok setelah bertanding sedikitnya lima puluh jurus. Akan tetapi pemuda ini dalam tiga gebrakan saja sudah mampu membuat pembantunya itu terjatuh.

"Kembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku!" bentak Bi-kwi.

Bwi-kwi juga menerjang ke depan, ikut menyerang Sim Houw untuk membantu Tee Kok yang telah siap pula dengan sepasang goloknya. Melihat betapa Bi-kwi yang diandalkan itu maju, besarlah hati Tee Kok. Dia pun sudah maju lagi, memutar sepasang goloknya mengeroyok Sim Houw.

Akan tetapi tiba-tiba badan pemuda itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang terbungkus gulungan sinar hitam dari sulingnya. Dan dari dalam gulungan sinar itu muncul suara berdengung-dengung dan melengking-lengking yang membuat dua orang pengeroyoknya terpaksa harus mengerahkan sinkang, kalau tidak mau roboh oleh serangan suara mujijat itu. Terjadilah perkelahian yang amat menarik.

Hui Lan dan dua orang gurunya terbelalak penuh kagum dan ketegangan. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga akan mampu menghadapi pengeroyokan dua orang tangguh itu. Padahal tadi, dikeroyok oleh Beng-san Siang-eng saja, Bi-kwi dapat menandinginya tanpa merasa kewalahan. Dan kini, wanita sakti itu bersama pembantunya yang lihai pula, dipaksa harus mengeroyok Sim Houw!

Begitu Bi-kwi memasuki gelanggang perkelahian, Sim Houw terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Suara sulingnya semakin dahsyat, gerakannya semakin cepat dan tiba-tiba terdengar suara nyaring ketika suling itu menghantam pedang Bi-kwi, dilanjutkan dengan menangkis sepasang golok Tee Kok.

Suara nyaring itu disusul teriakan kaget dua orang pengeroyok itu, dan semua orang yang melihat perkelahian itu menjadi terheran-heran melihat betapa Bi-kwi terhuyung ke belakang sampai lima langkah sedangkan Tee Kok untuk kedua kalinya terjengkang dan terbanting keras! Padahal, perkelahian itu baru berlangsung paling banyak lima belas jurus saja.

Hampir berbarengan, Bi-kwi dan Tee Kok mengeluarkan seruan rahasia dan dua puluh tiga orang anak buah Tee Kok itu serentak maju mengeroyok, dipimpin oleh Bi-kwi dan Tee Kok yang sudah menyerang lagi.

Sepasang saudara kembar Gak saling pandang dengan penuh keheranan. Baru kini mereka menyaksikan kepandaian yang demikian hebatnya seperti yang dimiliki pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa kini semua anak buah pasukan baju merah itu maju mengeroyok, mereka menjadi marah.

"Manusia-manusia curang!" bentak Gak Jit Kong.

Bersama adik kembarnya dia pun menerjang ke depan, diikuti pula oleh Souw Hui Lan. Mereka bertiga mengamuk di antara dua puluh tiga orang anak buah Ang-i Mo-pang sehingga mereka tidak memperoleh kesempatan mengeroyok Sim Houw yang sudah dikeroyok lagi oleh Bi-kwi dan Tee Kok.

Belasan di antara dua puluh tiga anggota Ang-i Mo-pang itu adalah bekas anak buah Hek-i Mo-pang yang sudah biasa berkelahi, banyak pengalaman, lihai dan kejam. Akan tetapi kini mereka diamuk oleh tiga orang ahli silat keturunan keluarga Pulau Es, maka rusaklah pertahanan mereka dan mereka dibikin kocar-kacir oleh tiga batang pedang yang bergerak cepat dan amat kuat itu. Dalam waktu tidak terlalu lama, sudah ada beberapa orang di antara mereka roboh dan terluka, bahkan ada pula yang tewas.

Sementara itu, karena tidak memperoleh bantuan anak buahnya yang diamuk Hui Lan dan dua orang gurunya, Bi-kwi dan Tee Kok kembali terdesak hebat oleh pedang suling di tangan Sim Houw. Untung bagi mereka bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang berhati lembut sehingga tidak tega untuk membunuh dua orang yang sebetulnya bukan musuhnya itu.

Sim Houw hanya mempermainkan mereka dengan pukulan-pukulan suling yang tidak sampai membuat mereka terluka parah atau sampai tewas. Kini Bi-kwi melihat jelas bahwa kalau perkelahian itu dilanjutkan, dia akan menderita kekalahan, terluka parah atau mungkin juga akan tewas. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi dengan para pembantunya. Orang seperti Bi-kwi ini tidak pernah memusingkan keadaan orang lain. Yang terpenting adalah dirinya sendiri. Kalau ia selamat, masa bodoh dengan orang lain. Maka, gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan sebelum terlambat.

Pedang suling di tangan Sim Houw sungguh hebat bukan main. Gerakannya aneh dan dahsyat, mengandung tenaga mujijat dan terutama sekali suara melengking-lengking dan mengaum-ngaum itu membingungkan hatinya.

"Aku pergi dulu! Lain waktu masih banyak kesempatan untuk membunuh Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pusaka itu!" Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat jauh ke kiri dan melarikan diri lenyap di antara pohon-pohon.

Melihat ini, Tee Kok terkejut bukan main. Kekagetannya membuat ia lengah dan sebuah tendangan mengenai pahanya serta sinar hitam menyentuh pundaknya. Tubuhnya lalu terpental dan dia roboh terbanting, kemudian bangkit lagi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.

"Kita pergi...!"

Dia sendiri lalu terpincang-pincang melarikan diri. Golok kirinya lenyap, sedang lengan kirinya sengkleh (lumpuh terkulai) karena tulang pundaknya retak-retak terkena pukulan suling. Anak buahnya yang semenjak tadi memang sudah merasa gentar menghadapi amukan gadis dan dua orang gurunya itu, begitu mendapat aba-aba, cepat menyambar tubuh teman yang luka atau tewas, berbondong-bondong melarikan diri dari tempat itu.

Sim Houw, Hui Lan, dan Beng-san Siang-eng hanya memandang saja, tidak melakukan pengejaran. Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang tewas dan banyak yang luka-luka.

Setelah semua penyerbu itu lenyap dari pandangan dan tidak terdengar suara mereka lagi, barulah dua orang saudara kembar itu menghadapi Sim Houw dan menjura dengan sikap hormat. "Ah, kiranya engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Terima kasih atas pertolongan Sim-taihiap kepada kami bertiga..."

Sim Houw cepat-cepat memberi hormat. "Ahhh, ji-wi locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Mereka itu memang mengejar dan mencari saya. Ketika tadi aku dikeroyok, bahkan sam-wi yang telah membantu saya. Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepada ji-wi locianpwe yang ternyata adalah keluarga para pendekar Pulau Es yang saya kagumi dan hormati."

"Sim-taihiap terlalu merendahkan diri. Ilmu silatmu sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Gerakan pedang suling yang seperti amukan naga itu sungguh dahsyat dan juga lengkingan suara suling itu benar-benar merupakan kekuatan khikang yang sudah mencapai puncaknya. Kemahiranmu bermain suling mengingatkan kami akan seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong. Hanya dialah yang kabarnya memiliki khikang seperti yang telah kau perlihatkan tadi."

"Dia adalah guru saya."

"Ahhh, pantas saja! Dan gerakan ilmu pedangmu yang bagaikan naga mengamuk itu mengingatkan kami akan cerita orang tentang Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hanya dimiliki oleh pendekar Sim Hong Bu dari Lembah Gunung Naga Siluman..."

"Dia adalah mendiang ayah saya."

Dua orang saudara kembar itu menjadi girang sekali. "Kiranya begitu? Ah, kalau begitu di antara kita terdapat hubungan yang cukup erat. Bukankah engkau mengenal baik anak paman-paman kami, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong?"

Sim Houw tersenyum dan mengangguk. Tentu saja! Bahkan wanita yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, yaitu Kam Bi Eng, pernah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya. Akan tetapi Bi Eng mencinta Ceng Liong dan melihat kenyataan ini, dengan hati rela dia mengundurkan diri, sesuai dengan anjuran mendiang ayahnya yang bijaksana.

"Locianpwe, kalau boleh saya bertanya, urusan apakah yang membuat orang-orang dari Bu-tong-pai tadi datang memusuhi sam-wi? Menurut pendengaran saya, orang-orang Bu-tong-pai biasanya adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, maka mengherankan sekali kalau di antara sam-wi dan mereka terjadi bentrokan dan permusuhan."

Dua orang pria kembar itu saling pandang dengan Hui Lan. Wajah gadis ini berubah merah sekali dan ia menundukkan mukanya. Gak Jit Kong lalu berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Semua itu timbul karena pibu dalam pinangan." Dan dia pun berhenti, agaknya ragu-ragu untuk melanjutkan.

Sim Houw tadi sudah mendengarkan percakapan antara Bu-tong Ngo-lo dan tiga orang ini dan dia sudah menduga-duga, akan tetapi belum yakin benar dan hatinya merasa amat tertarik. "Pibu dalam pinangan? Apa artinya itu, locianpwe?"

Kembali Gak Jit Kong menarik napas panjang sebelum menjawab. "Sudah kurang lebih tiga tahun, semenjak datangnya lamaran-lamaran terhadap diri murid kami yang sudah mulai dewasa, kami mengadakan semacam sayembara, yaitu, calon suami murid kami haruslah seorang pendekar yang mampu mengalahkannya dan juga dari keluarga yang mampu mengalahkan kami. Kami berpendapat bahwa hanya seorang pemuda yang benar-benar lihai sajalah yang akan dapat menjadi jodoh yang cocok dan kelak dapat membahagiakan murid kami. Dan dalam pibu itu, tentu saja tak dapat dicegah jatuhnya korban di antara mereka, dan salah satu di antara korban itu adalah seorang pemuda Bu-tong-pai dan susiok-nya."

Sim Houw tadi sudah melihat sikap Hui Lan yang manja dan angkuh, juga bertangan kejam, maka kini dia mengerutkan alisnya. Dua orang saudara kembar ini walau pun telah berhasil menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi, namun agaknya gagal dalam mendidiknya. Dia pun menarik napas panjang, teringat kembali akan keadaan dirinya sendiri, akan tali perjodohannya yang putus.

"Maaf, ji-wi locianpwe. Akan tetapi, saya kira perjodohan hanya akan mendatangkan kebahagiaan kalau didasari cinta kedua pihak saja. Tanpa cinta, perjodohan itu tentu akan gagal. Kepandaian atau kedudukan tinggi, harta yang besar, tidak bisa menjamin terciptanya kerukunan dalam perjodohan. Kenapa ji-wi hendak memaksakan hal itu? Bukankah perjodohan itu baru dapat berlangsung dengan baik jika dilandasi cinta kasih dan niat dari kedua pihak saja? Maafkan kelancangan kata-kata saya, locianpwe, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi ji-wi dan nona. Selamat tinggal, saya harus melanjutkan perjalanan saya." Setelah berkata demikian, Sim Houw memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menggunakan ilmunya untuk meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Gak Jit Kong, Gak Goat Kong, dan Souw Hui Lan berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah perginya pemuda perkasa itu. Ucapan pemuda itu seperti masih terngiang dalam telinga mereka. Mereka lalu saling pandang dan menundukkan muka.

"Pemuda itu berkata benar." Akhirnya Hui Lan berkata halus. "Perjodohan hanya dapat mendatangkan kebahagiaan kalau berlandaskan cinta kedua pihak. Ji-wi suhu dan aku telah menipu dan menyiksa diri sendiri. Untung belum muncul seorang peminang yang memiliki kepandaian seperti Sim Houw itu. Kalau sampai kita dikalahkan kemudian aku terpaksa menjadi jodoh orang lain, bukankah kita bertiga akan menderita batin semua? Suhu, kita tidak perlu menipu diri lagi, tidak perlu berpura-pura lagi..."

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang dan muka mereka berubah menjadi merah sekali, sinar mata mereka pun membayangkan kegugupan.

"Hui Lan, apa maksudmu...?" Gak Jit Kong bertanya lirih.

"Suhu berdua secara mati-matian mempertahankan diriku, dengan dalih mencarikan jodoh yang berilmu tinggi, sebenarnya menentang agar tidak ada orang yang lulus ujian atau menang sayembara. Suhu berdua tidak ingin melihat aku menjadi jodoh orang lain. Hal itu hanya berarti bahwa suhu berdua cinta kepadaku."

"Hui Lan...!" Gak Goat Kong berseru.

"Hui Lan, tentu saja kami cinta padamu, sayang kepadamu karena engkau adalah murid tunggal kami yang kami sayang seperti anak kami sendiri," Gak Jit Kong berseru pula.

"Tadinya memang begitu, tetapi cinta itu lambat laun berubah, mengalami bentuknya yang asli. Tidak perlu suhu berdua menyangkal lagi. Aku adalah seorang wanita dan naluriku membisikkan cinta kasih suhu berdua itu. Mulanya aku memang tidak berani menyangka demikian, hanya sering kali termenung dan menduga-duga. Akan tetapi sekarang, setelah muncul Sim Houw tadi, aku tahu dan aku yakin."

"Hui Lan, janganlah mengira orang yang tidak-tidak! Kami adalah guru-gurumu, mana mungkin...," kata pula Gak Goat Kong, seperti juga kakak kembarnya, mukanya tiba-tiba menjadi pucat dan matanya terbelalak.

"Mengapa tak mungkin? Suhu berdua adalah pria sejati, dan aku hanya seorang wanita. Dan sekarang aku makin yakin lagi bahwa aku... sebenarnya aku pun tak menghendaki menjadi isteri siapa pun juga karena aku... aku pun semenjak dahulu cinta kepada ji-wi suhu..."

"Hui Lan...!" Kini dua orang kembar itu berteriak secara berbareng.

Namun Hui Lan tidak peduli lagi. "Ya-ya-ya, aku cinta kepada ji-wi suhu. Sejak masih kecil, aku cinta kepada ji-wi suhu. Mungkin tadinya seperti cinta seorang anak terhadap orang tuanya, seperti adik terhadap kakak, seperti murid terhadap guru. Akan tetapi setelah aku dewasa... aku yakin tidak ada manusia lain di dunia ini yang akan dapat kucinta seperti aku mencinta ji-wi. Aku hanya mempunyai ji-wi di dunia ini, sebagai guru, sebagai saudara, sebagai ayah ibu, sebagai teman dan... sebagai orang yang akan kutemani selama hidupku. Aku tidak akan dapat meninggalkan ji-wi, tidak mungkin menjadi isteri orang lain, dan demikian juga perasaan ji-wi terhadap diriku. Ji-wi suhu, kenapa kita harus berpura-pura lagi, menipu dan mempermainkan diri sendiri?" Dan gadis itu kini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis!

Dua orang kembar itu saling pandang dengan muka pucat, lalu mereka memandang ke arah Hui Lan yang berlutut dan tunduk menangis, pundaknya terguncang, isak tangis keluar dari muka yang ditutupi.

Dan dua orang kembar itu pun mengusap beberapa butir air mata dari pelupuk mata mereka. Hati mereka seperti dikupas dan ditelanjangi oleh murid mereka. Mereka saling pandang dan tahu bahwa semua yang dikatakan Hui Lan itu benar adanya. Dan mengertilah sekarang mereka mengapa selama ini mereka tidak mau melihat gadis lain, tidak mau memikirkan tentang perjodohan mereka.

Cinta mereka terhadap Hui Lan tumbuh bersama dengan tumbuhnya anak perempuan berusia empat tahun itu sampai kini Hui Lan menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh tahun. Cinta mereka tumbuh dan menjadi pohon yang kokoh kuat, berakar dalam-dalam di hati mereka. Karena itu mereka takut kehilangan Hui Lan. Untuk menyatakan terus terang, mereka tentu saja merasa tidak enak hati, malu dan tidak berani.

Akan tetapi tanpa terlebih dahulu berunding mereka telah mengambil keputusan untuk menentang siapa saja yang mau menjadi suami Hui Lan, dengan jalan mengadakan syarat dan sayembara yang berat itu. Dan terhadap setiap orang pria yang mencoba untuk memasuki sayembara, meminang Hui Lan, timbul rasa cemburu, benci yang mendorong mereka bersikap keras mengalahkan orang-orang itu!

"Tapi... tapi, Hui Lan...," Gak Jit Kong mencoba untuk membantah dengan muka pucat dan suara gemetar. "Bagaimana mungkin ini? Kata-katamu membuka rahasia yang terpendam paling dalam di lubuk hati kami... dan kami mengaku... memang kami amat mencintamu... kami tidak menghendaki kehilangan engkau kalau engkau menjadi isteri orang lain. Tapi di samping itu, kami juga melihat betapa tidak mungkinnya... bukan hanya karena engkau adalah murid kami, akan tetapi... kami adalah dua orang dan engkau..."

Gak Jit Kong tidak berani melanjutkan dan agaknya untuk mencari kekuatan, tanpa dia sadari, tangan kanannya mencari dan menggenggam tangan kanan adik kembarnya. Dan tangan yang saling genggam itu seolah-olah saling mencari bantuan dan mereka pun menggigil.

Sejenak Hui Lan masih sesenggukan, kemudian ia mengeraskan hatinya dan mengusap air matanya. Ketika ia melepaskan kedua tangan dan mengangkat muka memandang kepada suhu-suhu-nya, wajahnya juga nampak pucat dan kedua matanya merah basah.

"Ji-wi suhu, aku kini berpegang pada ucapan Sim Houw tadi. Bahwa perjodohan harus berlandaskan cinta kasih antara kedua pihak. Kalau ada cinta kasih antara kedua pihak, apa lagi yang tidak mungkin? Kita saling mencinta, hal ini kita sudah sama merasa yakin akan kebenarannya. Dan tentang ji-wi berdua, bagiku hanya merupakan dua tubuh akan tetapi dengan hati, pikiran dan perasaan yang satu. Bagiku, ji-wi bukanlah berdua, melainkan satu. Tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain. Dan aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau berada di antara ji-wi, kalau selalu berdekatan dengan ji-wi."

Dua orang kembar itu saling pandang dengan dua tangan kanan masih saling genggam.
"Akan tetapi... kita... akan menjadi... bahan tertawaan dan pergunjingan orang..."

Melihat betapa dua orang suhu-nya itu kini hanya mencari alasan yang lemah saja, Hui Lan tersenyum melalui air matanya. Ia lalu bangkit berdiri, dengan lembut memegang dua tangan yang saling genggam itu, melepaskan genggaman mereka, dan kemudian ia menggandeng tangan kedua orang suhu-nya, Gak Jit Kong di sebelah kanannya dan Gak Goat Kong di sebelah kirinya, lalu ia mengajak dua orang itu berjalan perlahan.

"Marilah kita pulang, suhu. Omongan orang lain... ada sangkut-paut apakah dengan kehidupan kita? Kita sendirilah yang tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya bagi kehidupan kita sendiri, bukan? Marilah kita bicarakan hal penting ini di rumah. Mulai sekarang kita tidak boleh menerima pinangan orang lain lagi. Aku akan mengatakan bahwa sekarang aku telah memperoleh jodoh, dan bahwa aku adalah calon isteri suhu berdua."

Dua orang pria kembar itu masih termangu-mangu, akan tetapi senyum kebahagiaan mulai mekar di mulut mereka. Kini mereka tahu bahwa inilah yang selama ini mereka cari dan harapkan, yaitu hidup bersama Hui Lan, bertiga, tak pernah berpisah lagi. Inilah yang membuat mereka kadang-kadang gelisah di tengah malam, membuat mereka menjadi pemarah dan pembenci orang yang datang melamar, membuat mereka bahkan kejam melukai dan membunuh orang. Kini seolah-olah ganjalan yang selama bertahun-tahun menindih batin mereka telah dilepaskan dan mereka merasa dada mereka begitu lapang, begitu ringan, begitu bahagia!

"Engkau benar, Hui Lan. Dengan bertiga, kita sanggup menghadapi apa pun juga," kata Jit Kong.

"Kita akan pergi menghadap ayah ibu, kita harus berterus terang," kata pula Goat Kong.

Sejenak kemudian, dengan hati-hati Jit Kong berkata lagi, "Hui Lan, benarkah hatimu sudah yakin?

Hui Lan menoleh ke kanan, pandang matanya memancarkan ketulusan hati. "Aku yakin benar, apakah suhu masih belum yakin seperti aku?"

"Aku... kami sudah yakin sekali tentang cinta kasih antara kita, dan ketulusan hatimu, kebulatan tekadmu, membuat kami berani dan bersemangat. Hanya ada satu hal yang masih meragukan kami..."

Hui Lan membelalakkan matanya dan menoleh ke kiri, melihat betapa Gak Goat Kong juga mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kakak kembarnya. "Ji-wi masih ragu lagi? Apa lagi yang diragukan?"

"Hui Lan, kami berdua adalah laki-laki yang tidak muda lagi. Kami berusia empat puluh tahun sedangkan engkau... engkau baru dua puluh tahun, pantas menjadi anak kami..."

"Suhu!" Hui Lan berseru penuh rasa penasaran. "Cinta kasih tidak memandang umur, tidak memandang kepandaian, kedudukan atau harta. Cinta kasih adalah urusan hati kedua pihak. Umur tidak masuk hitungan."

Jawaban ini agaknya melegakan hati dua orang pria kembar itu. Mereka bergandeng tangan dengan wajah berseri-seri, menuju ke pondok mereka untuk membicarakan urusan mereka itu dengan lebih mendalam lagi.

Cinta kasih adalah sesuatu yang ajaib, penuh rahasia. Tidak mungkin menggambarkan bahwa cinta kasih itu begini, atau begitu. Tidak dapat dirumuskan. Tidak dapat menilai cinta kasih seseorang. Hanya orang itu sendiri yang dapat merasakannya. Cinta kasih yang hinggap di hati manusia adalah cinta kasih yang tak terpisahkan dari nafsu birahi.

Tidak dapat disangkal pula bahwa cinta kasih antara pria dan wanita mengandung kemesraan sexuil, suatu hal yang wajar karena daya tarik alami antara keduanya ini amat dibutuhkan sebagai sarana pembiakan. Karena tidak terpisahkan dari nafsu birahi yang membutuhkan kemesraan, maka di dalam cinta kasih yang biasa disebut asmara ini terdapat pula cemburu, terdapat pula perasaan ingin memberi, ingin diberi, mencinta dan dicinta, ingin menguasai dan dikuasai, memonopoli dan dimonopoli, serta ada pula perasaan iba, dan kesemuanya ini tentu saja menimbulkan tawa dan tangis, puas dan kecewa, juga penderitaan batin.

Anehnya, penderitaan cinta kasih kadang-kadang terasa seperti indah, kadang-kadang malah yang paling buruk, dan agaknya hidup menjadi hampa tanpa adanya cinta, yang sesungguhnya adalah cinta birahi, yang sesungguhnya hanya pelarian manusia karena takut akan kekosongan hati, takut akan kesepian, takut akan kehilangan pegangan, takut karena merasa hidup tidak ada artinya, maka ingin mengisinya dengan cinta birahi. Juga karena dorongan naluri badaniah.

Perasaan dua saudara kembar Gak itu tumbuh dari rasa iba terhadap seorang anak perempuan cilik, berusia empat tahun yang hidup sebatang kara. Rasa iba ini menjadi rasa sayang karena anak itu amat menyenangkan hati, berbakat baik dalam ilmu silat dan menjadi penawar rasa kesepian mereka, mengikatkan mereka karena mereka merasa mempunyai seseorang yang patut disayang. Rasa sayang terhadap seorang anak kecil!

Akan tetapi karena anak kecil itu adalah anak perempuan, pada saat anak itu tumbuh menjadi semakin besar, rasa sayang itu pun bertumbuh dan berubah, terdorong oleh naluri badani, oleh nafsu birahi yang ditekan-tekan. Ikatan di batin menjadi semakin kuat dan dua orang itu tidak berani lagi menghadapi kenyataan bahwa mereka akan saling berpisah kalau anak itu menjadi dewasa dan menjadi isteri orang lain. Rasa sayang menjadi bertambah besar dan berubah menjadi cinta seorang pria terhadap seorang wanita.

Cinta asmara tak dapat disangkal lagi mengandung nafsu birahi, namun cinta bukanlah nafsu birahi semata! Karena cinta asmara sarat dengan Im dan Yang, penuh dengan hawa-hawa yang saling bertentangan, maka dapat melahirkan tawa, atau suka dan duka, puas dan kecewa. Dapat menimbulkan cemburu, iri, dengki, dendam dan benci. Dapat pula menimbulkan iba, mesra, sabar, toleransi dan kesetiaan!

Betapapun juga, dapat kita lihat bahwa cinta asmara memegang peran terpenting, bahkan menguasai kehidupan seluruh manusia di permukaan bumi ini! Bayangkan saja apa akan jadinya kalau hidup ini tanpa cinta asmara! Dunia akan terasa lengang, dan hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menjadi jaminan perkembang biakan manusia, akan tidak ada artinya sama sekali, seperti hubungan antara binatang. Karena itu, hubungan sexuil baru dapat dianggap sebagai suatu hal yang suci kalau di situ disertai dua buah hati yang saling mencinta! Bukan sekedar dua hati yang dibuai oleh nafsu birahi semata
.

Cinta asmara yang tumbuh dalam hati Hui Lan juga merupakan hal yang tidak terlalu aneh. Semenjak berusia empat tahun, anak ini hidup bersama Beng-san Siang-eng. Dia terhindar dari mala petaka, melihat bagaimana keluarganya terbasmi dan betapa dirinya diselamatkan oleh dua orang pria itu. Ia hidup dan tumbuh bersama dua orang pria yang amat menyayangnya.

Kedua orang pria itu merupakan guru-gurunya, juga pengganti orang tuanya, sahabat-sahabatnya, dan hal ini menggugah perasaan kewanitaannya yang halus, yang selalu haus akan kasih sayang, yang ingin dimanja, yang ingin dikuasai. Semua ini didapatinya dalam diri dua orang pria itu, maka tidaklah aneh kalau lambat laun ia jatuh cinta kepada dua orang gurunya yang dianggap sebagai satu orang dengan dua tubuh itu. Mungkin juga keadaan yang sangat istimewa, menjadi isteri dari dua orang yang serupa badan dan batinnya, keanehan dan hal yang tak akan dirasakan wanita lain, menggugah pula rasa ingin tahunya, menggugah gairahnya dan yang seumur hidupnya akan dijadikan sumber kebanggaannya.....

********************

Pagi itu matahari bersinar cerah sekali, tanpa adanya pengganggu berupa awan di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Thai-san. Puncak yang ini amat sunyi, bahkan dianggap sebagai tempat yang gawat dan amat berbahaya oleh para pemburu binatang sehingga sudah bertahun-tahun lamanya tak ada pemburu yang berani mendaki puncak ini. Puncak yang pada akhir-akhir ini dikenal sebagai puncak maut karena banyak sudah para pemburu yang kedapatan tewas dan mayat-mayat mereka dilempar ke bawah puncak.

Menurut kepercayaan para pemburu dan juga para penghuni dusun-dusun di sekitar Pegunungan Thai-san, puncak itu kini dihuni oleh iblis-iblis jahat dan binatang-binatang buas yang amat kuat. Akan tetapi, orang-orang kang-ouw dapat menduga bahwa di puncak itu tentu tinggal datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi dan yang menganggap puncak itu sebagai miliknya serta tidak mau diganggu orang lain.

Dugaan para ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mudah percaya akan cerita-cerita tahyul ini memang tepat sekali. Puncak itu menjadi tempat pertapaan Sam Kwi dan dua orang muridnya. Sejak murid pertama mereka, yaitu Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), pulang dengan laporan yang amat mengecewakan bahwa murid pertama yang amat diandalkan itu kalah oleh Pendekar Suling Naga, tiga orang kakek itu merasa prihatin sekali.

Mereka telah mewariskan semua ilmu mereka yang paling tinggi kepada Bi-kwi, dan gadis yang boleh dikatakan memiliki bakat yang besar itu kini boleh dibilang tidak kalah lihai dibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, Bi-kwi kalah jauh, demikian menurut pelaporan murid itu. Bi-kwi merengek kepada tiga orang kekasihnya itu agar mereka suka mengajarkan ilmu baru yang lebih hebat supaya kelak ia dapat mencari Pendekar Suling Naga untuk membalas kekalahannya dan merampas pusaka Suling Naga.

Tiga orang kakek itu menghela napas kehabisan akal dan Im-kan-kwi atau Iblis Akhirat itu berkata, "Bi-kwi, ilmu apa lagi yang dapat kami ajarkan kepadamu? Raja Iblis Hitam sudah menurunkan Hek-wan Sip-pat-ciang kepadamu, ilmunya yang paling akhir. Aku sendiri sudah mengajarkan Toat-beng Hui-to, golok terbang pencabut nyawa itu, dan Iblis Mayat Hidup sudah mengajarkan Hun-kin Tok-ciang yang hebat itu. Kalau dengan ilmu-ilmu itu kau masih kalah, lalu ilmu apa lagi yang dapat kau pelajari?"

"Tentu saja aku tidak sempat mempergunakan semua ilmu itu satu demi satu. Akan tetapi dia sungguh lihai, Suhu. Biar dibantu Tee Kok dan dua puluh orang lebih anak buahnya, aku tidak mampu mengalahkannya, bahkan hampir saja celaka di tangannya. Dia lihai sekali. Pusaka suling naga itu dapat menjadi pedang yang mengeluarkan suara mengaum dan juga suara suling itu melengking-lengking mengandung tenaga khikang yang amat kuat," keluh Bi-kwi.

Ketiga orang kakek iblis itu merasa penasaran sekali. Tadinya mereka beranggapan bahwa murid dan kekasih mereka itu merupakan orang yang paling lihai dan tidak akan terkalahkan. Karena itulah maka mereka percaya kepada Bi-kwi untuk melaksanakan tugas berat, yaitu mencari dan menandingi Pendekar Super Sakti dan mencari susiok mereka Pek-bin Lo-sian untuk merampas pusaka Suling Naga. Namun siapa sangka, murid yang dipercaya dan diandalkan ini lalu pulang sambil mengomel, menceritakan kekalahannya terhadap orang yang kini menguasai Siauw-liong-kiam!

"Baiklah, sekarang begini saja, Bi-kwi," kata pula Iblis Akhirat dengan suara gemas dan dia mengepal tinju. "Kami bertiga akan bertapa bersama-sama. Kami akan mencoba untuk menciptakan sebuah ilmu yang baru dengan pengerahan tenaga dan pikiran kami bertiga digabung menjadi satu. Sementara itu, engkau latihlah sumoi-mu agar dia kelak dapat membantumu. Setelah dia pandai dan kami menemukan ilmu baru, kami akan mengajarkan ilmu itu kepadamu. Kemudian, kita berlima akan pergi mencari Pendekar Suling Naga. Jika kita masih juga tak mampu merampas pusaka itu dan membunuhnya, biarlah kami yang mati di tangannya!"

Girang sekali hati Bi-kwi. Keputusan yang diambil tiga orang gurunya itu mendatangkan banyak keuntungan dan kesenangan baginya. Pertama, tentu saja ia girang jika sampai dapat menerima ilmu baru yang tentu hebat sekali kalau diciptakan oleh penggabungan tiga orang sakti itu.

Ke dua, hatinya lega karena tentu dia akan terbebas untuk waktu lama dari mereka bertiga, tidak perlu melayani mereka yang sedang bertapa. Kini ia mulai merasa bosan dan muak kalau harus melayani tiga orang gurunya yang sudah tua dan sama sekali tidak menarik hati lagi itu. Ia dapat menghibur diri dengan mencari pria-pria-muda yang tampan di dusun-dusun sekitar pegunungan itu!

Dan yang ke tiga, di luar pengawasan tiga orang suhu-nya, dia dapat makin bebas untuk menyelewengkan pelajaran ilmu-ilmu silat kepada sumoi-nya yang secara diam-diam dibencinya karena dianggap sebagai saingan itu. Tetapi, hatinya yang penuh kepalsuan itu membuat ia berpura-pura ketika ia menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang gurunya.

"Budi suhu bertiga sudah bertumpuk-tumpuk terhadap diriku dan sekarang suhu akan bersusah payah pula menciptakan ilmu baru untukku. Sampai mati pun budi ini tidak akan kulupakan dan aku berjanji akan menanti sampai suhu bertiga berhasil, walau pun aku akan hidup kesepian. Dan aku berjanji kelak akan mempelajari ilmu baru itu dengan sempurna."

"Hemm, tak perlu kesepian karena ada sumoi-mu, Bi-kwi," kata Hek Kwi-ong.

"Aku akan mengerahkan semua tenaga untuk melatih sumoi dengan baik, suhu," jawab Bi-kwi.

Demikianlah, semenjak pulangnya Bi-kwi yang menderita kekalahan dari Sim Houw si Pendekar Suling Naga, Sam Kwi lalu mengurung diri dalam sebuah ruangan tertutup di mana mereka tekun bertapa, mengerahkan semua kepandaian untuk menggabungkan pikiran mereka untuk menciptakan sebuah ilmu yang baru dan ampuh. Mereka tidak pernah keluar, dan setiap hari Bi-kwi sendiri yang memasukkan makanan dan minuman untuk mereka dari sebuah lubang di pintu. Ada kalanya ia menyuruh sumoi-nya, Can Bi Lan untuk menyuguhkan makanan dan minuman itu.

Bi Lan adalah seorang anak perempuan yang sama sekali belum memiliki pengalaman tentang ilmu silat. Akan tetapi sejak ia mengalami peristiwa yang amat mengguncang batinnya, melihat betapa ayah dan ibunya tewas disiksa gerombolan, kemudian melihat pula dirinya terancam bahaya yang mengerikan, lalu betapa Sam Kwi membunuhi semua anggota gerombolan dan menyiksanya dengan sadis, terjadi perubahan pada batinnya.

Ia merasa seperti seorang yang bangkit kembali dari kematian, dan hal ini membuat ia memiliki keberanian yang luar biasa. Dan melihat betapa banyaknya orang jahat di dunia, betapa hidup ini penuh dengan ancaman bahaya maut dan bahaya penghinaan, ia pun bertekad untuk mempelajari ilmu silat dari tiga orang gurunya.

Biarpun diam-diam ia merasa tidak suka dan takut kepada suci-nya, akan tetapi karena tiga orang gurunya menyerahkan ia untuk dilatih oleh suci-nya, Bi Lan juga menerima keputusan ini tanpa banyak membantah. Bahkan ia menurut secara membuta segala latihan yang diberikan Bi-kwi kepadanya.

Ia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya sampai rusak-rusak karena setiap pagi dan petang suci-nya menyuruhnya berlatih mengeraskan tangan dengan menggunakan kedua telapak tangan untuk memukuli pasir panas yang dicampur bubuk besi. Mula-mula memang telapak tangannya luka-luka dan melepuh, akan tetapi anak ini memiliki tekad yang besar sehingga akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan.

Ilmu-ilmu Sam Kwi yang diajarkan oleh Bi-kwi, oleh si Iblis Cantik ini memang sengaja diselewengkan sehingga jurus-jurus yang diajarkan itu sudah tak sempurna lagi, bahkan dikacau dengan gerakan-gerakan lain sehingga ilmu silat yang dipelajari oleh Bi Lan tidak lagi murni!

Bukan hanya ilmu silat. Bahkan saat anak itu mulai diberi pelajaran semedhi dan melatih tenaga dalam, latihan ini pun diselewengkan oleh Bi-kwi. Akibatnya, tenaga dalam yang dihimpun oleh Bi Lan adalah tenaga yang sesat dan lebih celaka lagi, latihan-latihan ini membuat batinnya terguncang dan pikirannya menjadi kacau!

Bertahun-tahun, sewaktu tiga orang kakek itu bertapa dan menggabungkan diri untuk bersama-sama menciptakan ilmu baru, Bi Lan mempelajari ilmu-ilmu yang disesatkan oleh Bi-kwi. Banyak sudah ilmu silat yang dipelajarinya, akan tetapi tidak satu pun yang murni!

Akan tetapi, anehnya, anak yang kini mulai tumbuh menjadi seorang gadis itu, melalui latihan-latihan yang keliru, berhasil menghimpun tenaga yang aneh pula, yang kadang-kadang timbul dengan hebatnya akan tetapi tiba-tiba pula lenyap membuat dia sama sekali tidak bertenaga. Ilmu silatnya juga aneh, hanya menurutkan naluri dan perasaan saja, karena semua ilmu silat yang dipelajarinya itu tidak lengkap dan diselingi gerakan-gerakan ngawur yang membuat jurus-jurusnya kadang-kadang malah membahayakan diri sendiri. Akibatnya, Bi Lan menjadi seorang gadis yang ilmu silatnya aneh, tenaga dalamnya juga aneh.

Yang mengesalkan hati Bi-kwi adalah ketekunan gadis itu, yang selalu menuruti segala perintahnya sehingga tidak ada alasan baginya untuk memarahinya. Dan yang lebih menjengkelkan dan mengkhawatirkan hatinya lagi adalah melihat betapa Bi Lan kini tumbuh menjadi seorang gadis yang amat cantik manis!

Ia sengaja memberi pakaian-pakaian tua kepada gadis itu, pakaian-pakaiannya sendiri yang sudah tua, dan sengaja dipotong sedemikian rupa sehingga pakaian itu menjadi aneh, lapuk dan bahkan ada yang tambal-tambalan. Akan tetapi celakanya bagi Bi-kwi, pakaian buruk apa pun yang melekat pada tubuh Bi Lan menjadi pantas dan indah!

Hal ini adalah karena Bi Lan tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, atau remaja, dan tubuhnya mulai mekar indah sehingga tentu saja segala macam pakaian menjadi pantas dan menarik. Apa lagi, gadis ini sejak kecil memang suka sekali akan kebersihan, sering kali membersihkan tubuhnya dan mencuci rambutnya sehingga walau pun pakaiannya buruk namun nampak bersih dan segar selalu.

Kedua pipinya yang tidak pernah mengenal bedak, karena dilarang oleh Bi-kwi, nampak segar kemerahan seperti kulit buah apel. Sepasang matanya lebar dan jeli, rambutnya hitam panjang dan gemuk. Terutama sekali sepasang lesung pipit di kanan kiri mulutnya membuat gadis itu bertambah manis kalau tersenyum. Sayang, guncangan batin dan pikirannya akibat latihan-latihan yang sesat itu membuat Bi Lan juga memiliki kebiasaan aneh. Kadang-kadang dia tersenyum-senyum seorang diri, kadang-kadang menangis. Pendeknya, gadis ini menunjukkan gejala bahwa otaknya agak miring!

Semua kejengkelan hati Bi-kwi karena melihat betapa sumoi-nya menjadi semakin cantik dan mengalahkan dirinya, terhibur juga oleh kenyataan bahwa sumoi-nya seperti orang gila itu. Sesungguhnya gejala-gejala kegilaan inilah yang menyelamatkan nyawa Bi Lan. Andai kata ia tidak demikian, tentu kebencian Bi-kwi akan menjadi-jadi karena iri akan kecantikannya dan bukan tidak mungkin iblis betina itu akan membunuhnya!

Sambil terus menanti tiga orang gurunya yang masih juga belum keluar dari tempat pertapaannya, Bi-kwi setiap hari berlatih silat memperdalam ilmu-ilmunya. Dia tidak mempedulikan kepada Bi Lan yang dianggapnya seorang gadis yang miring otaknya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di samping kelainan pada pikirannya yang terguncang itu, juga terjadi perubahan yang aneh, yaitu otak Bi Lan mampu menangkap dan mencatat segalanya dengan kuat sekali.

Ia tidak tahu bahwa setiap kali ia berlatih silat, Bi Lan menonton dan gadis ini mampu mengingat semua jurus itu dan kalau sedang seorang diri, Bi Lan melatih diri dengan gerakan-gerakan yang dilihatnya dari suci-nya ketika berlatih. Dengan demikian, hampir semua gerakan ilmu silat yang dimainkan Bi-kwi diam-diam dikuasai oleh Bi Lan!

Pada suatu hari, Bi-kwi baru pulang setelah lewat pagi hari, Wajahnya muram, alisnya berkerut dan hatinya penuh diliputi kejengkelan dan kemarahan. Semalam ia bertemu dengan seorang pria muda jauh di selatan. Hatinya tertarik dan dengan berbagai usaha ia membujuk pria itu setelah pria itu diculiknya dan dibawa ke tempat sunyi, agar pria itu mau menyambut hasrat hatinya.

Tetapi pria itu bahkan memaki-makinya, menolaknya dan menyebutnya perempuan hina tak tahu malu. Karena bujukan kasar dan halus ditolak oleh pria itu, setelah semalam suntuk ia gagal membujuk, akhirnya ia membunuh pria itu dan pulang dengan hati kesal karena kekecewaan.....

Tidak ada orang lain kecuali Bi Lan seorang yang dapat dijadikan tempat pelontaran kemarahan hatinya.

"Siauw-kwi...!" Ia memanggil.

Bi Lan datang berlari-lari dengan muka dan kepala masih basah. Ia tengah berada di sumber air dan mandi saat suci-nya memanggil. Tergesa-gesa ia mengenakan pakaian dan dengan muka dan rambut masih basah iapun datang menghampiri suci-nya. Melihat betapa wajah sumoi-nya itu berseri-seri, dengan senyum yang manis dihias sepasang lesung pipit itu, melihat sepasang pipi kemerahan dan segar sekali, hati Bi-kwi menjadi semakin panas!

"Siauw-kwi, sudah lama kita tidak berlatih silat. Hayo, siapkan dirimu untuk berlatih silat denganku!"

Sepasang mata itu terbelalak, nampak ketakutan. "Aihh, suci yang baik. Jangan pukul aku lagi. Apa pun perintahmu akan kutaati, akan tetapi jangan memukuli aku dalam latihan. Aku sudah kapok!"

Bi Lan memang merasa tersiksa sekali kalau diajak berlatih, karena namanya saja berlatih, akan tetapi pada hakekatnya ia menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan suci-nya sampai tubuhnya babak belur dan matang biru, sakit-sakit semua kalau sudah selesai berlatih.

"Ihhh...? Kau berani membantah? Hayo cepat bersiap!" bentak Bi-kwi.

Sebelum Bi Lan menjawab, dia sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah pipi sumoi itu. Kemarahannya karena iri hati melihat pipi yang halus merah dan segar itu membuat dia menampar pipi itu dengan kuat sekali.

Bi Lan segera menggerakkan lengan kirinya dengan gerakan refleks untuk menangkis tamparan itu.

"Plakkk!"

Pipi kanannya yang kena tampar oleh tangan kiri Bi-kwi yang bergerak cepat sekali dan tangkisan itu membuat tubuh Bi Lan terhuyung.

"Auhh...!" Gadis itu mengeluh dan mengusap pipi kanannya yang menjadi merah sekali.

Melihat betapa pipi itu menjadi makin merah dan bahkan semakin segar menarik, hati Bi-kwi semakin marah.

"Lihat serangan!" katanya dan ia pun maju menerjang dengan jurus-jurus yang paling sulit.

Bi Lan mencoba untuk mengelak, berloncatan ke sana-sini seperti diajarkan suci-nya, dan menangkis pula. Akan tetapi, kaki Bi-kwi menendang dengan sebuah jurus dari Ilmu Tendang Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) yang lihai itu dan paha Bi Lan terkena tendangan. Tubuhnya terlempar ke belakang.

"Brukkk!”

“Aduhhh…!” Gadis itu terbanting keras dan mengeluh, lalu bangkit berdiri. Tangan kiri mengusap pipi, tangan kanan mengusap paha. "Sudah, suci. Pipi dan pahaku sakit!"

"Hayo lawan! Kalau tidak latihan, mana engkau bisa maju? Lawan atau engkau akan kujadikan sasaran pukulan dan tendanganku!" bentak Bi-kwi.

Hati gadis ini mulai merasa senang karena dapat menumpahkan kemarahannya kepada sumoi-nya itu. Kembali dia menerjang dan menotok pundak sumoi-nya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.

"Wuuutt... dukkk!"

Kini Bi Lan dapat mengelak dan menangkis dengan baiknya! Bi-kwi merasa penasaran. Yang digunakannya untuk menyerang tadi adalah sebuah jurus pilihan dari ilmu silatnya, tapi sumoi-nya ternyata mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya, seolah-olah sumoi-nya mengenal jurus itu dengan baik. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan sebuah jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, itu ilmu silat tangan kosong yang hebat dari Hek Kwi-ong. Lengan Bi-kwi dapat mulur dengan panjang ketika ia melakukan gerakan jurus ini.

"Wuuuttt... plak! plak!"

Kembali Bi Lan dapat menangkis dua kali dengan baiknya sehingga jurus itu pun tidak berhasil. Bi-kwi menahan seruannya. Sumoi-nya mampu menangkis jurus itu? Sungguh aneh dan sulit dapat dipercaya. Jurus pilihan dari Hek-wan Sip-pat-ciang itu merupakan jurus ampuh dan sukar dilawan, akan tetapi sumoi-nya yang mempelajari silat dengan kacau-balau itu kini dapat menyambutnya seolah-olah sudah mengenal jurus itu dengan baik.

Dia mengeluarkan lagi beberapa jurus dari ilmu silat ini, akan tetapi ternyata Bi Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baik, bahkan gerakan-gerakannya juga amat tepat seolah-olah gadis itu telah mempelajari Hek-wan Sip-pat-ciang dengan sempurna! Bi-kwi menjadi terkejut dan heran. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Iblis Mayat Hidup, yaitu Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) yang amat dahsyat.

"Plak-plak... wutttt...!"

Kembali Bi Lan mampu menghindarkan diri dari jurus ini, dan gerakannya juga tepat sekali!

"Ehhh...!" Bi-kwi begitu terheran-heran sampai-sampai menghentikan serangannya dan memandang sumoi-nya dengan sinar mata berapi. "Dari mana kau mengenal ilmu-ilmu itu?" bentaknya.

Bi Lan yang merasa senang karena beberapa kali mampu menghindarkan diri dari gebukan dan tendangan, tersenyum manis sekali. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang mengajarku, suci? Bagaimana, baikkah gerakan-gerakanku?"

Bi-kwi terpaksa mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa sumoi-nya ini tidak akan mampu berbohong maka jawaban sumoi-nya itu sungguh membuat ia terheran-heran dan juga khawatir sekali.

"Kalau begitu, coba temani aku berlatih, jangan sembunyikan apa-apa, segala yang kau ketahui harus kau keluarkan. Dan kau juga boleh membalas serangan kepadaku, jangan hanya membela diri, mengerti? Awas, kalau tidak, engkau pasti akan kuhukum dengan tamparan dan pukulan!"

Bi Lan tersenyum dan senyum gadis ini memang manis sekali karena senyumnya keluar dari hati yang polos dan wajar, walau pun terasa aneh sekali karena ia diancam malah tersenyum. Hatinya merasa girang karena ia diperbolehkan membalas serangan dan ia ingin memperlihatkan kemajuannya kepada suci-nya itu.

Melihat Bi Lan hanya tersenyum-senyum dan tidak segera bergerak, Bi-kwi membentak, "Siauw kwi, kenapa hanya senyum-senyum? Hayo serang!"

"Serang bagaimana, suci? Kaulah yang bergerak dulu, baru aku akan tahu gerakan apa yang harus kulakukan," jawab Bi Lan.

Mendengar jawaban ini, Bi-kwi lalu menerjangnya dengan tendangan Pat-hong-twi yaitu semacam ilmu silat tendangan yang dulu dipelajarinya dari Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat. Tendangan itu hebat sekali, merupakan bagian dari Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin, datangnya susul-menyusul dan amat cepatnya.

Akan tetapi, Bi Lan mengenal ilmu ini dan ia pun cepat mengelak dan hal ini mudah dilakukan karena ia telah lebih dulu mengetahui ke mana kaki lawan itu akan bergerak. Bahkan ia lalu membalas dengan tendangan yang sama setelah semua jurus tendangan suci-nya dapat dielakkan. Karena tendangan mereka sama, maka mereka pun beradu tulang kaki beberapa kali.

"Dukkk! Takkk!"

Bi Lan meloncat ke belakang, meringis dan mengusap tulang kering kakinya. "Aduhh... tulang kakimu keras sekali, suci. Kakiku sampai sakit semua dibuatnya!"

Akan tetapi Bi-kwi sudah tidak memperhatikan lagi sikap sumoi-nya, bahkan ucapan itu baginya merupakan ejekan karena tadi semua tendangannya menurut Ilmu Tendangan Pat-hong-twi tidak berhasil. Hal ini berarti bahwa sumoi-nya sudah hafal akan ilmu itu.

"Jangan cerewet, sambutlah ini!"

Ia pun kini maju menyerang dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, menukar-nukar jurus dari ketiga orang suhu-nya. Akan tetapi ia semakin terheran-heran karena semua jurus itu, biar pun diselang-seling, telah dikenal oleh Bi Lan yang dapat menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan yang sama!

Saking herannya, Bi-kwi mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini dapat membuat kedua tangannya seperti pedang telanjang, dengan tangan mampu membacok dan menusuk lawan dengan kekuatan dahsyat. Akan tetapi, kembali Bi Lan dapat mengelak ke sana-sini dan menangkis!

Akhirnya Bi-kwi yang memang hanya ingin menguji, mengetahui dengan pasti bahwa sumoi-nya memang telah mengenal semua ilmunya, menguasainya dengan cukup baik, maka dia pun meloncat ke belakang sambil membentak, "Tahan dulu!"

Bi Lan tersenyum senang. "Wah, kalau diteruskan aku akan celaka, suci. Engkau hebat sekali, gerakanmu demikian cepat dan kuat," kata Bi Lan sejujurnya.

Akan tetapi suci-nya tidak peduli akan pujian ini melainkan memandang dengan sinar mata penuh selidik.

"Hayo katakan, dari mana engkau mempelajari semua ilmu tadi?" bentaknya.

"Aihh, suci, dari siapa lagi kalau bukan darimu sendiri?"

"Bohong! Tentu tiga orang guru kita yang telah diam-diam mengajarmu. Hayo katakan, betulkah begitu?"

"Suci, bukankah ketiga suhu sedang bertapa, bagaimana bisa mengajarku? Hi-hik, suci, engkau mau membohongi aku, ya? Tidak, aku hanya belajar kalau melihat engkau lagi berlatih, lalu kutiru. Bagaimana, baik atau tidak?"

Diam-diam Bi-kwi terkejut. Adik seperguruannya ini hanya menonton kalau ia berlatih, dan sudah dapat menirukannya demikian baiknya? Sungguh luar biasa sekali! Dan kini Siauw-kwi telah menguasai semua ilmu silatnya! Ini berbahaya sekali. Ia mendapatkan sebuah pikiran, kemudian melangkah maju dan tiba-tiba tangan kirinya menampar muka adiknya, tanpa gerak silat sama sekali.

Bi Lan nampak bingung, akan tetapi karena tamparan itu biasa saja, dia dapat pula mengelak dan pada saat dia mengelak itu, Bi-kwi menyambut dengan pukulan tangan kanan yang menampar.

"Plakk!" Kini pipi kiri Bi Lan kena ditamparnya dengan keras dan gadis itu mengaduh.

Hati Bi-kwi menjadi girang. Ia maju lagi, memukul, menampar dan menendang tanpa gerakan silat tertentu, ngawur saja, akan tetapi malah hasilnya baik sekali. Tubuh Bi Lan bertubi-tubi menjadi sasaran tendangan, pukulan atau tamparan yang membuat gadis itu jatuh bangun dan tubuhnya menjadi babak belur!

Bi Lan mencoba untuk mempergunakan ilmu-ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Bi-kwi. Akan tetapi ilmu silat itu memang telah disesatkan oleh Bi-kwi, dan karena Bi-kwi mengenal semuanya, pertahanan dirinya sama sekali tiada artinya karena tidak sejalan dengan jalan serangan Bi-kwi yang ngawur.

Bi-kwi tidak peduli biar pun Bi Lan sudah mengaduh-aduh dan minta berhenti. Ia terus menghajar untuk melampiaskan kemarahan hatinya, kemarahan karena kecewa oleh pemuda yang semalam diculiknya, kemudian kemarahan karena melihat betapa Bi Lan tanpa disadari telah menguasai semua ilmu silatnya.

Bi-kwi menghajar terus. Baiknya tubuh Bi Lan sejak kecil sudah digembleng oleh Sam Kwi, biar pun ilmu silatnya diajarkan oleh Bi-kwi, sehingga tubuh itu memiliki kekebalan dan tidak sampai menderita luka dalam oleh hajaran Bi-kwi yang keras itu. Betapa pun juga, karena ditendang dan dipukuli semena-mena, akhirnya gadis itu rebah terkulai dan pingsan!

Baru Bi-kwi menghentikan pemukulannya karena dia khawatir kalau-kalau sumoi-nya tewas. Dan kalau hal ini terjadi, tentu tiga orang suhu-nya menjadi marah sekali dan ia tidak berani mempertanggung jawabkannya. Diambilnya seember air dan disiramkan ke atas kepala Bi Lan.

Bi Lan membuka kedua matanya. Melihat Bi-kwi memegangi ember, ia tersenyum dan berkata, "Aih, suci main-main, ya? Masa aku disiram air begini? Lihat, basah semua!"

"Hayo bangkit, anak malas! Persediaan kayu sudah hampir habis dan musim hujan akan tiba. Kalau engkau malas, akan kuhajar lagi!"

"Baik, suci." Dan larilah Bi Lan ke dalam hutan. Ia mulai mencari kayu untuk mengisi gudang yang besar itu sehingga mungkin selama satu bulan ini dia harus setiap hari mencari kayu!

Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah pergi meninggalkan tempat tinggal ketiga suhu-nya untuk memasuki hutan. Ia harus bekerja keras, akan tetapi ia memang suka sekali pergi ke hutan seorang diri. Di tempat ini ia merasa aman, jauh dari suci-nya yang galak, yang selalu main pukul saja terhadap dirinya.

Di tempat ini ia dapat melihat binatang-binatang hutan yang lucu, bunga-bunga indah, pohon-pohon besar, sehingga hatinya terhibur dan merasa gembira sekali. Sering kali ia berkejaran dengan kelinci sambil tertawa-tawa, atau bernyanyi-nyanyi menirukan suara burung dan kadang-kadang ia pun melatih ilmu silat seperti yang baru ditontonnya dari suci-nya di atas hamparan rumput hijau yang segar dan basah oleh embun.

Pada pagi hari itu, karena masih terlalu pagi, Bi Lan berjalan-jalan dan tersenyum-senyum melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan sambil berkicau ramai menyambut datangnya pagi yang sangat cerah. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang merah kekuningan, seperti warna emas kemerahan. Sinar matahari yang masih lembut itu menerobos melalui celah-celah daun dan ranting, menerobos di antara kabut sehingga nampak indah sekali, berupa garis-garis terang di antara kabut yang keputihan.

Bi Lan menirukan suara burung berkicauan, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir kemerahan segar itu meruncing ketika ia menirukan suara burung. Kemudian, melihat larinya tiga ekor kelinci, ia pun mengejarnya. Larinya cepat, loncatannya ringan karena gadis ini sudah mempelajari ginkang yang hebat walau pun dengan latihan pernapasan yang terbalik seperti yang diajarkan suci-nya. Akan tetapi karena tiga ekor kelinci itu lari cerai-berai, Bi Lan menjadi bingung, lari ke sana-sini sambil terkekeh-kekeh.

Memang bukan maksudnya untuk menangkap kelinci-kelinci itu, hanya untuk mengajak mereka bermain-main. Gadis yang sejak kecil ikut dengan Sam Kwi ini, yang kemudian dilatih oleh suci-nya secara menyesatkan dan keras, tak pernah mendapat kesempatan untuk berkawan, maka sekarang ia mencari sendiri kawan-kawannya di antara binatang-binatang di hutan.

Setelah tiga ekor kelinci itu menghilang ke dalam semak-semak, Bi Lan lalu bersilat di atas lapangan rumput. Ia bersilat dengan penuh perhatian, dengan pengerahan tenaga dan berturut-turut ia bersilat ilmu silat yang dilihatnya suka dilatih oleh suci-nya!

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, sejak ia menirukan suara burung lalu mengejar-ngejar kelinci dan sekarang berlatih silat, ada dua sosok bayangan orang yang membayangi dan mengintainya. Dua bayangan orang itu menjadi bengong dan kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman dan keheranan. Melihat gerakan dua orang itu, mudah diduga bahwa mereka adalah dua orang berilmu tinggi, karena mereka membayangi Bi Lan dengan kecepatan luar biasa dan dengan keringanan tubuh sedemikian rupa sehingga jejak kaki mereka pun tidak mengeluarkan suara.

Dua orang itu adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua sekali. Kakek itu berpakaian serba kuning, berjenggot dan berambut putih, jenggotnya berjuntai sampai ke dada, sepasang matanya mencorong aneh dan sikapnya lemah lembut. Akan tetapi ada satu hal yang amat menarik, yaitu bahwa lengan kiri kakek itu buntung di atas siku sehingga lengan baju kirinya tergantung lemas terkulai.

Usia kakek ini tentu sudah mendekati delapan puluh tahun, atau sedikitnya tujuh puluh delapan tahun usianya. Akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan, tanda bahwa kesehatannya masih amat baik.

Nenek itu pun mengenakan pakaian warna kuning, berkembang biru muda, dan seperti si kakek, pakaiannya sederhana dan dia pun sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya. Rambutnya juga sudah putih semua, akan tetapi wajahnya masih penuh kelembutan dan masih nampak garis-garis bekas wajah yang cantik jelita. Di balik jubah wanita tua ini nampak tersembul sebuah pedang dengan sarung pedang yang indah.

Kakek ini bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh dunia persilatan yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Di dunia persilatan, dia dijuluki Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nama julukan ini tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nama julukan para pendekar keluarga Pulau Es! Nama pendekar tua ini adalah Kao Kok Cu.

Ada pun nenek itu adalah isterinya yang dahulu bernama Wan Ceng atau juga Candra Dewi karena wanita ini diangkat saudara oleh seorang puteri Bhutan dan wanita ini pun bukan orang sembarangan karena ia masih terhitung cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Gurun Pasir, ilmu kepandaian wanita ini meningkat dengan pesat dan kini ia juga termasuk seorang tokoh yang sakti.

Di dalam KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES telah diceritakan bahwa putera tunggal suami isteri sakti ini yang bernama Kao Cin Liong dan sejak muda menjadi panglima yang amat terkenal di kota raja, telah menikah dengan Suma Hui, cucu Pendekar Super Sakti.

Atas desakan isterinya, Kao Cin Liong telah mengundurkan diri dari kedudukannya dan tidak lagi menjadi panglima. Kao Kok Cu dan isterinya yang merasa sudah terlalu tua, menghendaki agar Kao Cin Liong dan isterinya tinggal di tempat mereka, yaitu jauh di utara, di sebuah dataran yang indah dan subur di tengah-tengah padang pasir di mana mereka mempunyai sebuah gedung istana kuno yang dinamakan Istana Gurun Pasir.

Akan tetapi kedua suami isteri muda itu tidak mau karena merasa tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Mereka memilih tetap tinggal di dekat kota raja di mana keduanya berdagang rempah-rempah dan keadaan mereka cukup makmur. Suami isteri tua Kao Kok Cu tidak dapat memaksa dan mereka merasa kesepian. Oleh karena itu, mereka berdua lalu banyak melakukan perjalanan merantau, menikmati tempat-tempat indah di seluruh tanah air.

Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berdua merantau sampai di sebuah di antara puncak Pegunungan Thai-san di mana mereka lalu melihat Bi Lan. Malam tadi mereka bermalam di lereng gunung dan pagi itu, pagi-pagi sekali, mereka sudah naik ke puncak untuk menikmati keindahan matahari terbit. Akan tetapi, mereka melihat Bi Lan dengan gerak-geriknya yang amat aneh, membuat suami isteri tua itu tertarik dan diam-diam mereka membayangi gadis muda yang cantik namun gerak-geriknya aneh itu.

Pada saat melihat Bi Lan memoncongkan mulut menirukan suara burung-burung yang sedang berkicau, nenek Wan Ceng menutupi mulutnya menahan ketawa, dan sepasang suami isteri itu ikut merasa gembira, menganggap bahwa gadis itu manis dan lucu sekali, dapat menikmati keindahan alam di tempat sunyi seperti itu, kenikmatan yang sudah jarang terdapat dalam batin kebanyakan manusia. Kemudian, melihat betapa Bi Lan mengejar-ngejar kelinci sambil tertawa-tawa, hanya mempermainkan kelinci bukan sungguh-sungguh menangkap, melihat gerakannya yang demikian cepat, tanda bahwa gadis itu memiliki ginkang yang lumayan, mereka tercengang.

Mereka terus membayangi gadis itu dan ketika Bi Lan mulai berlatih silat, nenek itu mencengkeram lengan suaminya. Keduanya bengong mengamati setiap gerakan gadis itu, dengan mata terbelalak karena mereka mengenal ilmu silat yang tinggi dan aneh, walau pun mereka berdua maklum bahwa ilmu-ilmu yang dimainkan gadis itu termasuk ilmu yang sesat, penuh dengan gerak tipu dan mengandung hawa pukulan yang aneh-aneh.

Tapi, yang membuat mereka terheran-heran adalah saat mereka melihat betapa makin lama wajah gadis itu menjadi semakin merah, kemudian tiba-tiba menjadi pucat dan pernapasan gadis itu terengah-engah tidak karuan. Akhirnya gadis itu menghentikan gerakan-gerakan silatnya dan segera berjungkir balik, berdiri dengan kepala di atas tanah dan mengatur kembali pernapasannya.

Melihat hal ini, tentu saja kedua orang suami isteri itu terkejut dan khawatir sekali. Mengatur pernapasan selagi terengah-engah dan kelelahan dengan cara membalikkan tubuh seperti itu amatlah berbahaya! Akan tetapi aneh, gadis itu agaknya sudah terbiasa dan sebentar saja pernapasannya sudah normal kembali dan gadis itu kini berjungkir balik, berdiri lagi, lalu duduk di atas rumput hijau sambil tersenyum-senyum, akan tetapi mukanya masih pucat.

"Anak baik, caramu mengatur pernapasan terbalik!" Wan Ceng tak dapat lagi menahan kekhawatiran hatinya dan nenek ini sudah meloncat ke luar dan menghampiri Bi Lan.

Gadis itu mengangkat mukanya, terkejut sekali. Senyumnya tiba-tiba menghilang dan matanya terbelalak. Alisnya berkerut dan tiba-tiba dia meloncat bangun lalu menyerang dengan tangan kanan ke arah nenek itu, mencengkeram ke arah dada dengan gerakan yang ganas dan dahsyat sekali.

"Hemmm...!" nenek Wan Ceng dengan mudah mengelak.

Namun gadis itu menyerang terus sebagai lanjutan serangannya tadi dan serangkaian serangan yang terdiri dari pukulan dan cengkeraman yang ganas dilancarkan ke arah lawan. Nenek Wan Ceng terkejut, tetapi dengan tenang dia menghindarkan diri dengan loncatan ke sana sini dan kadang-kadang menangkis dengan kibasan tangannya.

Melihat betapa gadis itu menyerang isterinya seperti orang mengamuk, kakek Kao Kok Cu juga meloncat dekat dan berkata dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh wibawa, “Nona, tenanglah, kami datang bukan dengan niat buruk!"

Akan tetapi tiba-tiba saja Bi Lan berbalik menyerang kakek itu kalang-kabut, dan kini ia menggunakan tendangan-tendangan berantai yang ganas sekali. Tentu saja serangan-serangan yang masih mentah itu tiada artinya bagi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dan dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, tendangan-tendangan itu hanya mengenai angin belaka. Pada waktu kakek itu menggerakkan kakinya, kaki Bi Lan yang tidak menendang kena disapu dan tubuhnya terpelanting jatuh ke atas rumput lunak.

Akan tetapi, gadis itu meloncat bangun lagi dan kini ia menyerang lagi dengan lebih dahsyat, mengeluarkan semua ilmu yang dipelajarinya saat menonton suci-nya berlatih. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang hebat, ilmu silat yang menjadi kebanggaan Sam Kwi, kini dikeluarkan semua oleh Bi Lan untuk menyerang kakek dan nenek itu!

Karena tertarik akan keistimewaan ilmu-ilmu itu, kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng sengaja membiarkan gadis itu menerjang kalang-kabut. Baru setelah melihat betapa pernapasan gadis itu memburu dan terengah-engah, mereka merasa kasihan dan sebuah totokan jari tangan kakek itu membuat Bi Lan roboh dengan tubuh lemas, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

Bi Lan berusaha untuk bangkit, akan tetapi setelah maklum bahwa kaki tangannya tidak dapat digerakkan, ia memandang kepada nenek Wan Ceng dan berkata, "Jangan pukul aku lagi, ahhhh... aku sudah lelah sekali..."

Kakek dan nenek itu merasa kasihan sekali dan mereka lalu berjongkok dekat tubuh Bi Lan. Kakek Kao Kok Cu bertanya, suaranya halus dan penuh kesabaran, "Nona, kenapa engkau menyerang kami?"

"Kenapa...?" Bi Lan memandang bingung.

"Aku tidak tahu kenapa tapi suci yang menyuruhku, ia bilang bahwa kalau ada orang-orang datang ke tempat ini harus kubunuh mereka, karena kalau tidak, merekalah yang akan membunuhku. Karena itu aku menyerang kalian."

Suami isteri itu saling lirik. "Dan kau lihat bahwa kami sama sekali tidak mengganggumu tadi, bukan? Kami tidak ingin membunuhmu, menyerangmu pun tidak. Adalah engkau yang menyerang kami dan sekarang terpaksa kami merobohkanmu. Nah, lihat, kami membebaskanmu," kata Wan Ceng sambil membebaskan totokan dari tubuh Bi Lan.

Begitu terbebas, Bi Lan berjungkir balik dan mengatur pernapasan seperti tadi. Melihat ini Wan Ceng hendak mencegah, tetapi suaminya menyentuh lengannya dan memberi isyarat agar isterinya jangan mengganggu gadis itu. Mereka berdua hanya memandang penuh perhatian kepada Bi Lan dan tak lama kemudian secara aneh sekali gadis itu telah mampu memulihkan pernapasannya walau pun mukanya masih pucat sekali.

"Nah, sekarang engkau percaya bahwa kami tidak berniat buruk kepadamu, bukan?"

Bi Lan menatap wajah nenek itu dan agaknya wajah dua orang tua itu mendatangkan kesan baik di dalam perasaannya karena ia merasa aman berada di dekat mereka. Ia menggeleng bingung, "Aku tidak tahu, suci-ku yang menyuruhku."

"Siapakah suci-mu itu?"

"Ia disebut Bi-kwi..."

"Setan Cantik?" Nenek Wan Ceng bertanya, alisnya berkerut mendengar julukan seperti itu.

Kini Bi Lan sudah merasa gembira kembali, ia tersenyum dan nampaklah oleh suami isteri itu betapa manisnya wajah gadis ini kalau tersemyum, dan nampak pula bahwa pada dasarnya gadis ini memiliki wajah yang membayangkan kelembutan walau pun dipenuhi dengan bekas-bekas penderitaan batin.

"Hi-hik, memang suci cantik sekali, akan tetapi ia pun jahat seperti setan."

"Nona, siapakah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" Kao Kok Cu bertanya.

"Siapa lagi kalau bukan suci," jawabnya pasti.

Kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan amat heran. Kalau suci-nya yang mengajarkan, berarti suci itu lebih gila lagi dari pada nona ini. Ataukah suci itu sengaja menyelewengkan pelajaran-pelajaran itu untuk mencelakai gadis ini? Mungkinkah ada seorang suci berbuat demikian? Namun mengingat akan nama julukannya, yaitu Bi-kwi (Setan Cantik), jelas bahwa suci itu tentu seorang tokoh golongan sesat, dan tidaklah aneh kalau seorang tokoh sesat melakukan perbuatan sejahat itu.

"Ke mana guru kalian? Kenapa suci-mu yang mengajarmu, bukan gurumu?" Kao Kok Cu yang merasa tertarik sekali melanjutkan pertanyaannya.

Kini Bi Lan sama sekali tidak merasa curiga lagi kepada kakek dan nenek yang bersikap manis itu, dan ia pun menjawab sejujurnya.

"Tiga orang guruku sedang bertapa, jadi yang mewakili mereka mengajarku adalah suci Bi-kwi."

"Tiga orang ? Siapakah guru-gurumu itu?" Kao Kok Cu bertanya lagi.

Dia semakin heran mendengar bahwa gadis ini mempunyai tiga orang guru. Pantas ilmu silatnya tadi bermacam-macam dan aneh-aneh, dan jelas membayangkan sifat ilmu silat kaum sesat.

"Guru-guruku adalah orang-orang hebat!" kata Bi Lan bangga.

Memang gadis ini, biar pun dalam keadaan terganggu pikirannya karena salah latihan, tidak pernah dapat melupakan budi kebaikan tiga orang gurunya ketika menolongnya, ketika membalaskan dendam ayah bundanya dengan membunuh semua orang jahat yang mengakibatkan tewasnya orang tuanya itu, dan membantunya mengubur jenazah mereka, juga mengambilnya sebagai murid.

"Mereka terkenal dengan julukan Sam Kwi."

"Hemm, Tiga Iblis?" Nenek Wan Ceng bertanya, heran karena ia dan suaminya belum pernah mendengar nama ini.

Memang sesungguhnyalah, dua orang kakek dan nenek ini sejak muda sudah jarang berkecimpung di dalam dunia persilatan, hidup terpencil di gurun pasir di utara, maka mereka tidak banyak tahu tentang tokoh-tokoh kaum sesat. Apa lagi karena Sam Kwi juga menyembunyikan diri dan bertapa selama sekian tahun setelah mereka dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti dan baru sekarang mereka muncul lagi ketika mereka ingin menguasai Liong-siauw-kiam, Pedang Suling Naga yang tadinya berada di tangan susiok mereka.

"Ya…, ya, Tiga Iblis!" kata Bi Lan dengan nada suara gembira walau pun pandang matanya agak kecewa melihat betapa nenek itu tidak mengenal nama guru-gurunya. "Tiga orang guruku itu adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup. Kepandaian mereka hebat sekali!"

Suami isteri tua itu saling pandang dan Kao Kok Cu memancing dengan ucapan halus, "Nona, kami melihat bahwa nona adalah seorang yang baik, akan tetapi mengapa menjadi murid tiga orang yang menurut julukannya adalah tokoh-tokoh golongan sesat?"

Bi Lan mengerutkan alisnya. "Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Aku tidak tahu apa itu yang kau namakan golongan sesat, akan tetapi tiga orang guruku amat baik kepadaku, menolongku dari tangan gerombolan orang jahat yang telah membunuh ayah ibuku, bahkan membunuh semua gerombolan itu dan membantuku mengubur jenazah ayah ibuku."

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu dan isterinya kini dapat mengerti bahwa gadis ini adalah seorang di antara sekian banyaknya korban perang pemberontakan di selatan, dan dapat menduga bahwa gadis ini diselamatkan oleh tiga orang tokoh sesat itu dan kemudian menjadi murid mereka. Akan tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras.

Mungkin hal ini bukanlah kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-Kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh, maka mereka pun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesat yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.

"Siapakah namamu, anak yang baik?" tanya Wan Ceng dengan suara mengandung iba. Ia melihat gadis ini seperti setangkai bunga indah bersih yang karena keadaan terpaksa hidup di tengah-tengah lumpur kotor.

Bi Lan tersenyum memandang wajah nenek itu. "Tiga orang Suhu-ku bersama suci menyebutku Siauw-kwi. Hi-hik sebetulnya sekarang aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan? Namaku sendiri adalah Can Bi Lan."

"Bi Lan, dengarlah baik-baik, apakah engkau percaya kepada kami? Engkau lihat, kami sama sekali tidak berniat buruk dan juga tidak melakukan apa-apa yang buruk terhadap dirimu."

Bi Lan tersenyum dan memandangi dua orang tua itu, lalu mengangguk-angguk. "Aku percaya kepada kalian. Aku belum pernah bicara panjang lebar seperti ini dengan orang lain, dan kalian baik sekali."

Wan Ceng menjadi gembira dan makin bersemangat mendengar ucapan gadis itu. Dia memandang suaminya. Suami yang sudah bergaul selama lima puluh tahunan dengan isterinya ini sudah maklum apa yang terkandung di dalam hati isterinya tanpa si isteri mengatakannya. Dia mengangguk sebagai tanda setuju.

"Bi Lan, kami melihat bahwa engkau menderita luka dalam, menderita keracunan yang amat membahayakan kesehatanmu karena engkau telah keliru dalam latihan ilmu silat, terutama sekali dalam latihan sinkang dan pernapasan. Kini kami bermaksud hendak mengobatimu sampai sembuh. Maukah engkau?"

Bi Lan memandang ragu dan bingung.

"Aku tidak sakit apa-apa," katanya, "dan andai kata sakit tentu suhu-suhu-ku dan suci akan mampu menyembuhkanku. Pula, bagaimana aku bisa keliru berlatih kalau suci sendiri yang mengajarku?"

Nenek itu adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tadi ketika bicara dekat dengan gadis itu, ia dapat melihat bekas-bekas pukulan yang masih meninggalkan tanda-tanda membiru pada leher dan pipi gadis itu, mungkin pada bagian tubuh lain yang tertutup pakaian. Karena ia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan sang suci yang katanya jahat dan kejam itu, ia lalu tiba-tiba bertanya, "Bi Lan, siapa yang memukulimu sampai engkau menderita babak-belur dan ada bekas-bekas di leher dan mukamu?"

Ditanya secara mendadak itu, Bi Lan yang memang pada dasarnya berwatak jujur dan polos, yang masih belum ternoda oleh pengaruh lingkungan masyarakat, bahkan pada hakekatnya belum ketularan watak jahat para gurunya dan suci-nya, menjawab terang-terangan sambil tersenyum, "Ahhh, suci yang melakukan ini. Katanya ini perlu dalam latihan, ia memukuli dan menendangku dalam latihan-latihan silat."

Sekarang ganti Kao Kok Cu yang berkata, "Nona telah tertipu oleh suci-mu itu. Ia telah memukulimu, mungkin karena benci hanya tidak berani membunuhmu, maka ia sudah melatihmu secara terbalik dan tersesat. Dengan latihan-latihan ini, kalau kau teruskan, engkau mungkin akan mati dalam satu dua tahun ini."

"Mati adalah suatu hal yang amat menyenangkan," Bi Lan menjawab sambil menahan ketawanya, dan sikap ini jelas membayangkan sikap orang yang pikirannya tidak waras.

"Ehhh, mengapa begitu ?" tanya Wan Ceng mendengar ucapan yang biasanya hanya diucapkan oleh para pendeta yang berlagak sudah tahu akan keadaan sesudah mati.

"Hi-hi-hik, aku sendiri tidak tahu, nek, yang berkata demikian adalah suci."

"Suci-mu lagi!" kata Wan Ceng, diam-diam merasa marah terhadap orang yang menjadi suci gadis ini. "Coba, kau bernapas yang dalam, lalu tahan sebentar."

Bi Lan masih tersenyum-senyum, akan tetapi ia menuruti permintaan nenek itu. Setelah menarik napas panjang dan dalam, ia menahan hawa itu di dalam dadanya.

"Cukup, apa yang sekarang kau rasakan? Bukankah ada kelainan dan rasa nyeri di punggungmu?" Tanya Wan Ceng sambil mengerutkan alis putihnya.

Nenek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya tentang keracunan dan luka di sebelah dalam tubuh. Ia sendiri pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), maka dapat dikata dia adalah seorang ahli tentang keracunan.

Bi Lan memandang dengan heran dan mengangguk. "Benar, ada rasa seperti ditusuk di punggungku. Nenek apakah engkau bermain sihir sehingga tahu apa yang kurasakan?"

"Tidak, Bi Lan. Itu tandanya bahwa engkau benar-benar menderita luka dalam yang jika tidak cepat disembuhkan akan membahayakan nyawamu. Dan kami yakin bahwa hal itu timbul karena kesalahan dalam latihan dan agaknya suci-mu itu sengaja mengusahakan supaya engkau tewas karena latihan-latihanmu. Maukah engkau kami obati sampai sembuh?"

Gadis itu mengamati wajah kedua orang tua itu dengan sikap ragu-ragu. Akhirnya dia berkata, "Tiga orang suhu-ku adalah orang-orang paling sakti di dunia ini, kemudian disusul oleh suci Bi-kwi. Apa yang kalian dapat lakukan, tentu dapat dilakukan pula oleh mereka. Coba perlihatkan dulu kepandaian kalian, baru aku akan percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih pandai dari mereka, dan aku mau kalian obati."

Kao Kok Cu dan isterinya mengerti bahwa pengaruh Sam Kwi dan Bi-kwi telah tertanam demikian dalam terutama di dalam hati gadis ini sehingga gadis ini percaya sepenuhnya kepada mereka. Maka hati gadis ini perlu diyakinkan dengan demonstrasi kepandaian agar dapat percaya dan mau ditolong. Mereka saling pandang dan kakek itu kemudian mengangguk.

"Bi Lan, bukankah tadi kami sudah memperlihatkan bahwa kami jauh lebih pandai dari padamu?"

"Kalau hanya mengalahkan aku, suci pun dapat seribu kali mengalahkan aku."

"Baiklah. Kau lihat pohon di depan itu? Apakah kau kira guru-gurumu atau suci-mu akan dapat merobohkan pohon itu tanpa memukul keras, tanpa menggugurkan setangkai pun daunnya?"

Bi Lan memandang. Pohon itu besarnya seperti tubuh manusia. Ia tahu bahwa ketiga orang gurunya, juga suci-nya, amat lihai dan tentu akan mampu merobohkan pohon itu. Akan tetapi tanpa memukul keras? Tanpa menggugurkan daunnya? Mana mungkin? Ia pun lalu menggeleng kepala.

"Nah, kau lihatlah!" kata Wan Ceng.

Dan nenek ini lalu menghampiri pohon yang dimaksudkan itu. Sebentar ia mengerahkan tenaga, mengumpulkan tenaga sinkang di kedua tangannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya pada batang pohon itu. Tidak kelihatan ia memukul dan pohon itu pun tidak terguncang sama sekali. Tetapi, diam-diam nenek ini sudah mengerahkan hawa pukulan Selaksa Racun, pukulan kaum sesat yang amat hebat dan yang selama ini tak pernah ia gunakan walau pun nenek ini selama puluhan tahun telah menghimpun tenaga sinkang yang amat kuat. Hanya nampak tubuhnya sendiri yang tergetar keras, kemudian nenek itu meloncat mundur dengan muka agak pucat dan peluh membasahi dahi dan leher.

Melihat ini, Bi Lan terkekeh. "Hi-hi-hik, apa yang telah kau lakukan tadi, nek ? Aku sama sekali tidak melihat pohon itu roboh."

"Bi Lan, coba kau dorong pohon itu," kata Wan Ceng sambil tersenyum.

Bi Lan maju dan dengan tangan kirinya mendorong batang pohon itu. Tiba-tiba pohon itu pun tumbang dan ternyata batang di mana nenek tadi menempelkan tangannya telah remuk dan kehitaman seperti terbakar!

Bi Lan terkejut sekali dan melompat ke belakang, matanya terbelalak. Akan tetapi ia lalu mengerutkan alisnya. "Nek, mungkin kau bermain sihir, akan tetapi kepandaianmu itu tidak kelihatan hebat."

Nenek itu nampak tak senang dan penasaran, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan pandang mata, lalu pendekar tua itu berkata, "Nona, tadi hanya main-main. Kau ingin menyaksikan kehebatan kami berdua? Nah, lihat, dengan kaki dan tangan kami, kami akan membersihkan sekitar tempat ini." Berkata demikian, kakek itu dengan sebelah lengannya lalu menerjang sebatang pohon besar.

“Kraaakkk!” terdengar suara dan pohon itu pun tumbang.

Wan Ceng segera mengerti akan maksud suaminya. Seorang gadis yang masih belum berpengalaman seperti Bi Lan ini tentu akan lebih tertarik melihat kekuatan yang kasar dan kelihatan dahsyat. Maka dia pun menerjang sebongkah batu besar, ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar jauh.

Suami isteri ini kemudian mengamuk, menumbangkan pohon-pohon di situ, melempar-lemparkan batu besar, bahkan Wan Ceng mencabut pula sebatang pohon berikut akar-akarnya dan melemparkan sampai jauh. Sebentar saja terbukalah tempat yang cukup luas, setelah ditumbangkan tujuh batang pohon besar dan belasan bongkah batu.

Melihat ini, Bi Lan terbelalak lalu bertepuk tangan, tidak habisnya memuji kedahsyatan sepasang suami isteri yang tua itu. "Hebat, kalian hebat! Mungkin tidak kalah oleh guru-guruku dan suci!" katanya.

"Nah, engkau sudah percaya ? Sekarang kami akan berusaha mengobatimu. Duduklah bersila di sini, Bi Lan," kata Wan Ceng. "Tempat terbuka ini akan kami jadikan tempat tinggal kami untuk sementara agar supaya dalam waktu beberapa lama ini kami dapat mengobatimu."

Bi Lan tidak membantah lagi dan ia pun duduk bersila di atas rumput. Kakek dan nenek itu juga duduk di depan dan belakangnya, bersila seperti ia sendiri.

"Kendurkan semua urat syarafmu, dan sama sekali jangan melawan. Ingat saja bahwa kami bermaksud baik, bahwa kami kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu," kata Wan Ceng yang duduk di depannya.

Tiba-tiba Bi Lan merasa betapa tengkuknya ditepuk dari belakang oleh kakek itu dan ia pun tidak ingat apa-apa lagi.

Kakek dan nenek yang sakti itu lalu bekerja keras. Mereka menotok jalan-jalan darah di kepala gadis itu, membuka jalan-jalan darah yang tersumbat karena akibat salah latihan. Wan Ceng menempelkan telapak tangan pada dada gadis itu, sedangkan Kao Kok Cu pada punggung gadis itu, menyalurkan tenaga sinkang untuk memulihkan kesehatan di dalam dada Bi Lan.

Sementara itu, dengan pengetahuannya tentang keracunan, Wan Ceng mengusir hawa beracun yang berada di dalam tubuh gadis itu. Mereka berdua tidak berani tergesa-gesa, tidak berani sekaligus mengobati gadis itu karena hal ini akan berbahaya sekali bagi Bi Lan. Tubuh gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan tercekam hawa beracun yang dihimpunnya sendiri melalui latihan-latihannya yang tersesat, dan kalau sekaligus dibersihkan, perubahan ini akan menimbulkan guncangan yang membahayakan.

Karena itu mereka mengambil keputusan untuk mengobati gadis itu secara bertahap. Mereka kemudian menghentikan pengobatan itu, dan dengan urutan tangan, Kao Kok Cu memulihkan jalan darah sehingga gadis itu pun siuman dari pingsannya.

Begitu siuman, Bi Lan mengeluh, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. Ia membuka mata memadang kepada kakek dan nenek yang sekarang sudah duduk di depannya, dan teringatlah ia bahwa mereka adalah dua orang yang kasihan kepadanya, yang mengobatinya karena menganggap ia menderita luka dalam.

"Aduhh... kepalaku berdenyut-denyut, nyeri rasanya!" Ia mengeluh.

Nenek Wan Ceng menaruh tangannya di pundak gadis itu, suaranya menghibur, "Bi Lan, jangan khawatir, hal itu bahkan membuktikan bahwa kini jalan darahmu ke arah kepala mulai membaik. Tadinya, banyak jalan darah ke kepalamu tidak lancar jalannya, terhambat oleh hawa beracun yang timbul karena kesalahan latihanmu. Kini kami berani memastikan bahwa setelah pengobatan beberapa kali, jalan-jalan darah itu akan lancar kembali."

Bi Lan percaya dan ia pun tersenyum. "Kalau benar omonganmu, aku beruntung sekali bertemu dengan kalian."

Dengan girang dia pun meloncat ke atas. Akan tetapi dia segera mengeluarkan seruan kaget. Dan dipandangnya kakek dan nenek itu dengan sinar mata penuh keraguan.

"Ahhh...! Tubuhku terasa berat dan kedua kakiku kehilangan tenaga, juga tubuhku tidak dapat bergerak ringan seperti biasanya!" Ia lalu mencoba untuk meloncat ke atas, akan tetapi belum juga tinggi tubuhnya sudah meluncur turun kembali.

"Ahhh, bagaimana ini? Aku tidak mampu meloncat tinggi lagi!"

Kini Kao Kok Cu yang bangkit dan berkata dengan suara tenang, halus dan berwibawa, mengundang kepercayaan bagi pendengarnya. "Nona, jangan khawatir. Memang, untuk menghalau hawa beracun dari tubuhmu, otomatis tenaga khikang yang sudah berada di tubuhmu ikut pula berkurang. Tenaga sinkang-mu sudah keracunan, dan kalau kami membersihkan hawa beracun itu, berarti tenaga sinkang-mu juga akan ikut terusir. Akan tetapi jangan kau khawatir, kami akan menggantikannya dengan tenaga sinkang yang murni. Dengan dasar tenaga sinkang murni, engkau akan mampu memainkan ilmu-ilmu silatmu tadi secara tepat dan baik, juga tangguh dan tidak akan merusak kesehatanmu sendiri. Percayalah, kami berdua berniat baik dan mungkin engkau akan terkejut dengan perubahan-perubahan pada dirimu dan engkau tidak akan mengerti. Percaya sajalah dan engkau tidak akan menderita kerugian bahkan selain mendapatkan kesembuhan, juga akan memperoleh ilmu yang benar."

Lambat laun keraguan lenyap dari dalam batin Bi Lan walau pun tadinya masih bingung. Apa lagi ketika nenek itu merangkulnya dan berbisik, "Bi Lan, engkau pantas menjadi anakku, bahkan cucuku. Bagaimana kami dapat timbul niat mencelakaimu? Kami suka sekali kepadamu."

"Akan tetapi, apakah aku harus terus-menerus berobat ke sini? Bagaimana kalau suci sampai tahu? Tentu ia marah-marah dan aku akan dipukuli lagi!" Bi Lan nampak jeri.

"Tentu saja engkau harus setiap hari datang ke sini," kata nenek Wan Ceng. "Dan lebih baik, sebelum kau sembuh benar, jangan bicara apa-apa tentang kami kepada suci-mu itu. Kalau sudah tiba saatnya, kami yang akan menghadapinya. Akan tetapi, dapatkah kau setiap hari datang ke sini?"

"Kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu, membangun sebuah pondok di sini untuk mengobatimu setiap hari," kata Kao Kok Cu.

"Tetapi, aku mendapat tugas dari suci untuk mencari kayu setiap hari, untuk memenuhi gudang kayu kami. Tentu saja aku dapat datang ke sini setiap hari, akan tetapi bagai mana dengan kayu yang harus kukumpulkan?"

Wan Ceng tersenyum sambil menuding ke arah pohon-pohon yang tadi tumbang dan roboh. "Di sini terdapat banyak kayu, tak perlu kau pusingkan. Tiap hari engkau datang ke sini, berobat dan pulangnya membawa kayu. Syukur kalau di waktu malam kau dapat pula datang ke sini, lebih sering lebih cepat pula engkau sembuh dan pulih. Percayalah, Bi Lan, engkau akan tertolong lahir dan batin yang akan merubah seluruh jalan hidupmu kalau engkau menurut semua kata-kata kami."

Bi Lan nampaknya masih bimbang, tetapi dia mengangguk. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa selama ini dia memang sering mendapat gangguan dalam tubuhnya, bahkan pernah sehabis latihan dia muntah darah. Dan sikap suci-nya terhadap dirinya juga amat galak. Maka, melihat sikap baik dua orang kakek nenek ini, ia segera percaya sepenuhnya walau pun dia sendiri belum menyadari betapa pentingnya pengobatan itu bagi dirinya.....

Demikianlah, mulai hari itu, setiap hari Bi Lan pergi meninggalkan puncak memasuki hutan dan membiarkan dirinya diobati oleh kakek dan nenek itu. Wan Ceng memesan kepada Bi Lan agar sikapnya terhadap suci-nya biasa saja.

"Ingatlah, Bi Lan. Keracunan di tubuhmu dan tidak lancarnya jalan darah ke kepalamu sudah membuat sikapmu menjadi aneh seperti orang yang miring otaknya. Engkau suka tertawa-tawa sendiri, bicara seorang diri. Kebiasaan ini, andai kata engkau sadar pun, di depan suci-mu harus terus kau lanjutkan. Jangan sampai suci-mu melihat perubahan pada dirimu sebelum engkau sembuh benar.”

Kemudian Kao Kok Cu memesan agar gadis itu menghentikan semua latihan sinkang dan pernapasan seperti yang diajarkan Bi-kwi, dan dia memberikan suatu cara berlatih semedhi untuk menghimpun hawa murni di dalam tubuh gadis itu. "Latihan ini selain akan membantu cepatnya seluruh hawa beracun meninggalkan tubuhmu, juga akan menghimpun tenaga baru untuk menghentikan tenaga sesat yang sudah terhimpun selama bertahun-tahun dalam dirimu."

Setelah mengalami pengobatan, Bi Lan lalu membawa kayu yang sudah dikumpulkan oleh kakek dan nenek itu. Kakek Kao Kok Cu dan isterinya sudah membangun sebuah gubuk darurat dari kayu-kayu pohon yang mereka robohkan dan dengan tekun mereka berdua mengobati Bi Lan. Di samping mengobati, kakek dan nenek itu juga membantu gadis itu menghimpun tenaga sinkang yang baru dan murni.

Sungguh beruntung sekali nasib Bi Lan sehingga tanpa disengaja ia berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan telah menarik perhatian suami isteri pendekar sakti ini sehingga ia bukan saja tertolong dari cengkeraman maut yang ditanamkan oleh Bi-kwi di tubuhnya, juga gadis itu telah mendapat latihan menghimpun sinking. Bahkan suami isteri itu mulai pula memberi petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat tinggi kepadanya!

Penyembuhan perlahan-lahan tentu saja tidak dapat terasa oleh Bi Lan. Ia tidak merasa betapa kini otaknya menjadi bersih dari hawa beracun, jalan darahnya lancar dan dia bertambah cerdik! Dia pun kini memperoleh kegembiraan hidup, wajahnya selalu berseri kemerahan, mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis dan ia kini menjadi seorang dara yang berwatak gembira dan jenaka sekali.

Setelah mengalami pengobatan selama tiga bulan lebih setiap hari tanpa berhenti dan terus-menerus, akhirnya ia sembuh sama sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek yang makin lama makin merasa sayang kepada gadis itu, memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Bi Lan! Melihat bakat besar yang ada pada diri gadis itu, Kao Kok Cu ingin mengajarkan ilmu yang tangguh, juga isterinya. Maka mereka lalu berunding, kemudian mereka memberi tahukan kepada Bi Lan yang sudah menghadap mereka.

"Bi Lan, setelah melihat engkau sembuh sama sekali, maka mulai hari ini kami ingin mengajarkan ilmu silat kepadamu. Akan tetapi kami tidak mungkin dapat mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan murid kami," kata Wan Ceng.

Pada dasarnya Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Apa lagi setelah sembuh dari gangguan hawa beracun, dan setelah jalan darahnya ke kepala sudah lancar kembali. Kesadaran membuat ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.

"Aku telah menerima budi kecintaan dari kakek dan nenek berdua, telah memperoleh pengobatan dan petunjuk yang penuh kasih sayang selama berbulan-bulan. Ucapan terima kasih saja masih belum ada artinya dibandingkan dengan budi ji-wi. Oleh karena itu, apabila ji-wi sudi menerimanya, biarlah aku menyatakan diri menjadi murid ji-wi." Ia memberi hormat sambil berlutut dan menyembah-nyembah.

Wan Ceng segera memeluk dan menariknya bangkit berdiri. "Bagus, engkau memang anak yang baik, Bi Lan. Sejak pertama kali berjumpa kami sudah dapat menduganya dan kalau tidak demikian, untuk apa kami bersusah payah selama ini?"

Ia lalu menoleh kepada suaminya karena bagaimana pun juga, nenek ini tidak berani mendahului suaminya untuk menerima gadis itu sebagai murid mereka walau pun tadi mereka telah berunding.

"Bi Lan, kami menerimamu sebagai murid. Akan tetapi kami tidak akan lama lagi tinggal di sini. Setelah engkau sembuh, kami hanya ingin mengajarkan masing-masing satu macam ilmu kepadamu, dan setelah itu, kami akan kembali ke utara. Kami sudah tua dan kami akan menghabiskan sisa usia kami dengan hidup tenang di sana."

Kembali Bi Lan berlutut. "Suhu, subo... teecu akan ikut ke utara. Biarlah teecu yang akan merawat kesehatan suhu dan subo berdua sebagai balas budi teecu..."

Kao Kok Cu tersenyum, kemudian berkata halus, "Muridku, jangan sekali-kali engkau mengikatkan dirimu dengan budi, karena kalau engkau mengikatkan dirimu dengan budi berarti engkau mengikatkan pula dirimu dengan dendam. Budi dan dendam tidak dapat terpisahkan, sebagai perwujudan dari diri yang merasa diuntungkan dan disusahkan. Anggaplah saja bahwa segala yang dilakukan orang lain kepadamu, dan segala yang kau lakukan kepada orang lain, adalah suatu kewajaran yang tidak perlu ada ekornya yang mengikat diri. Mengertikah engkau?"

Tentu saja Bi Lan tidak mengerti! "Teecu selanjutnya mohon petunjuk suhu, karena apa yang suhu katakan tadi berada di luar jangkauan pengertian teecu."

"Bi Lan, engkau tidak boleh begitu mudah melupakan yang lama setelah menemukan yang baru!" tiba-tiba Wan Ceng berkata sambil tersenyum pula. "Begitu engkau sudah menemukan kami sebagai guru baru, engkau lalu akan begitu saja meninggalkan tiga orang gurumu yang lama, yang menurut ceritamu juga telah bersikap baik kepadamu. Bagaimana pun juga, semenjak kecil engkau adalah murid Sam Kwi, dan kami berdua menjadi gurumu hanya untuk memulihkan sinkang-mu, dan memberi pelajaran ilmu silat untuk melengkapi kepandaianmu, atau katakan saja sebagai pengganti tenaga-tenaga sinkang yang telah lenyap bersama hawa beracun dari tubuhmu ketika kami melakukan pengobatan. Karena itu, sungguh tidak bijaksana kalau engkau kemudian meninggalkan mereka begitu saja tanpa mereka setujui."

"Subo, walau pun Sam Kwi merupakan guru-guruku, akan tetapi kenyataannya mereka tidak pernah secara langsung mendidik teecu sehingga teecu diserahkan kepada suci yang bahkan telah mengajar teecu secara menyesatkan."

"Sudahlah, Bi Lan. Bukankah ketiga orang gurumu sedang bertapa? Bagaimana pun juga, engkau tidak mungkin ikut bersama kami sebelum mendapatkan ijin dari ketiga orang gurumu. Bukan berarti kami tidak suka kalau engkau ikut dengan kami ke utara. Dan sekarang perhatikan baik-baik, kami akan mengajarkan ilmu kepadamu, semacam dari suhu-mu dan dariku sendiri semacam," kata nenek Wan Ceng.

Pendekar sakti itu bersama isterinya lalu mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Bi Lan. Gadis ini memang memiliki bakat yang amat baik, dan juga bagaimana pun juga, ia telah memperoleh dasar yang kuat juga dari Sam Kwi dan Bi-kwi, maka dengan tekun ia mengikuti petunjuk kedua orang suami isteri itu dan berlatih dengan penuh semangat. Bahkan kini ia makin sering datang ke tempat itu di waktu malam, dan baru pulang kalau sudah memperoleh petunjuk-petunjuk selanjutnya dari kedua orang kakek dan nenek itu.

Tanpa terasa, enam bulan telah lewat semenjak Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya tinggal di dalam hutan sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Kao Kok Cu telah memberi pelajaran Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti), sedang nenek Wan Ceng mengajarkan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun).

Karena ketekunannya, ditambah daya ingatannya yang amat kuat, Bi Lan akhirnya bisa menguasai kedua ilmu silat ini. Dari kakek dan nenek itu ia pun mendengar tentang diri mereka, nama mereka, bahkan dia diperkenalkan pula dengan nama putera mereka, bekas panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, juga diperkenalkan dengan nama para tokoh pendekar sakti di dunia persilatan.

Terhadap Bi-kwi, Bi Lan bersikap biasa saja, bahkan ia masih pura-pura seperti orang gendeng. Juga pada saat suci-nya menurunkan pelajaran dan latihan, ia masih berlatih seperti yang diajarkan suci-nya. Akan tetapi tentu saja kini dia sudah memiliki dasar sinkang yang murni dan sama sekali tidak menghimpun tenaga melalui pernapasan dan cara semedhi yang diajarkan secara kacau dan terbalik oleh suci-nya.

Di dalam kamarnya sendiri atau di luar, dia tekun melatih diri dengan pernapasan dan semedhi seperti yang diajarkan oleh kakek dan nenek dari Istana Gurun Pasir. Bahkan dia masih pura-pura gendeng dan linglung kalau Bi-kwi melampiaskan kebenciannya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan melalui latihan ilmu silat.

Ia akan mempertahankan semua ini, bukan sebab takut kepada suci-nya, bukan karena berbakti kepada suci-nya yang tidak pernah berlaku baik terhadap dirinya, melainkan karena ingin menanti sampai ketiga orang suhu-nya keluar dari pertapaan mereka. Saat itu baru ia akan melaporkan semua perbuatan suci-nya itu kepada Sam Kwi dan minta pertimbangan dan keadilan. Kalau tiga orang suhu-nya itu tidak membelanya, dia akan meninggalkan mereka semua.

Biar pun Bi Lan sudah berlaku cerdik, namun kepura-puraan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan hati Bi-kwi yang juga termasuk wanita yang cerdik sekali. Ia teringat bahwa beberapa bulan yang lalu, sumoi-nya itu sudah menunjukkan gejala-gejala keracunan dengan muka yang pucat, tubuh yang kadang-kadang menggigil, pandang mata yang jelas menunjukkan ketidak warasan otaknya.

Akan tetapi akhir-akhir ini ia melihat betapa wajah sumoi-nya makin segar saja. Kedua pipinya kemerahan seperti buah apel masak, matanya jernih dan jeli, penuh kegairahan hidup, senyumnya semakin manis dan membuat ia semakin iri hati saja, dan tidak ada lagi nampak gejala-gejala seperti dahulu. Walau pun dalam ilmu silat sumoi-nya masih bersilat dengan kacau dan kalau ia pukuli dan tendangi masih tidak mampu membalas, akan tetapi hatinya mulai curiga.

Karena melihat betapa sumoi-nya amat rajin pergi mencari kayu atau memikul air dari sumber yang agak jauh, maka pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali ketika ia melihat sumoi-nya pergi untuk mencari kayu, diam-diam ia membayangi dari jauh.

Baru teringat olehnya betapa banyaknya sumoi-nya membutuhkan kayu untuk masak. Bahkan di waktu malam, kini sering sekali sumoi-nya membuat api unggun besar yang menggunakan banyak sekali kayu bakar. Kalau ditanya, sumoi-nya mengatakan bahwa hawanya amat dingin dan banyak nyamuk maka ia membuat api unggun besar.

Ia tidak curiga karena memang menurut perhitungannya, hasil himpunan tenaga sinkang sumoi-nya yang dilakukan dengan terbalik dan kacau-balau itu bukan hanya membuat sumoi-nya tidak akan dapat menahan hawa dingin, bahkan hawa beracun di tubuhnya kadang-kadang bisa mendatangkan rasa dingin sekali. Akan tetapi sekarang, setelah rasa kecurigaannya semakin besar, ia memperhatikan hal ini dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk membayangi kalau sumoi-nya pergi mencari kayu.

Ia membayangi dari jauh sekali sehingga Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa ia sejak tadi dibayangi oleh suci-nya. Ketika melihat Bi Lan berhenti di dalam hutan, ia mengintai dari balik semak-semak yang cukup jauh di depan sebuah gubuk kayu yang sederhana. Sepasang mata Bi-kwi berkilat penuh kemarahan pada saat melihat munculnya seorang kakek dan seorang nenek dari dalam gubuk itu dan melihat pula betapa Bi Lan berlutut di depan mereka.

Kemarahan membuat Bi-kwi tak dapat menahan diri lagi. Ia meloncat dan dengan cepat sekali telah tiba di dekat sumoi-nya.

"Pengkhianat, kiranya engkau hanya seorang bocah pengkhianat yang tidak mengenal budi! Suhu bertiga pernah menyelamatkanmu, memeliharamu dan kami bersusah payah mendidikmu hanya untuk kau balas dengan pengkhianatan ini?"

Bi Lan meloncat bangun dan memandang suci-nya dengan muka agak pucat karena terkejut melihat suci-nya mendadak berada di situ, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya. Namun, dua kali tarikan napas panjang saja sudah membuat dia tenang kembali.

"Suci, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."

"Mulut busuk, jangan sembarangan ngoceh! Bukankah aku telah berpesan bahwa siapa saja yang kau temukan di daerah ini harus kau bunuh? Tetapi apa yang kau lakukan sekarang? Engkau malah berhubungan dengan mereka ini. Pengkhianat harus mampus dulu kau sebelum kubunuh mereka!"

Bi-kwi sudah menyerang dengan ganasnya, sekali ini bukan sekedar hendak menghajar sumoi-nya seperti yang sudah-sudah, namun serangannya ditujukan untuk membunuh!

Dia cerdik dan maklum bahwa kalau dia menggunakan jurus ilmu silatnya, kebanyakan sumoi-nya telah menguasainya dan akan mampu menghindarkan diri. Maka sekali ini ia menyerang tanpa menggunakan jurus-jurus ilmu silat, namun pukulannya mengandung hawa pukulan maut karena tangan yang menyerang diisinya dengan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan tangan itu menyambar ke arah dada Bi Lan dengan kecepatan kilat!

Terdengar suara bercuit nyaring ketika tangan itu menyambar dada dan Bi-kwi sudah membayangkan betapa dada sumoi yang dibencinya ini akan tertusuk tangannya, dan ia akan mencengkeram di dalam dada, menarik keluar jantungnya kalau berhasil. Ia tidak takut lagi dimarahi tiga orang suhu-nya karena sekarang dia memiliki alasan kuat untuk membunuh Bi Lan.

"Wuuuttt... plakkk...!"

Dan Bi-kwi terkejut setengah mati. Bukan hanya sumoi-nya mampu mengelak, bahkan tangkisan tangan sumoi-nya tadi ketika mengenai lengannya, membuat tangannya yang menyerang terpental kembali dan ada hawa tenaga yang lunak akan tetapi kuat sekali keluar dari tangan sumoi-nya! Rasa kaget, heran dan juga penasaran membuat ia jadi marah sekali.

"Bagus! Keparat jahanam, kau berani melawanku, he?" Dan ia pun menerjang lagi.

Akan tetapi Bi Lan sudah cepat-cepat meloncat ke belakang nenek itu yang mengangkat kedua tangan ke atas.

"Sabarlah, nona...!" kata nenek Wan Ceng kepada Bi-kwi.

Dari tadi ia sudah tahu bahwa tentu inilah wanita cantik yang disebut Bi-kwi itu. Kalau saja hal ini terjadi dua tiga puluh tahun yang lalu, melihat seorang wanita yang demikian kejam dan jahat, tentu tanpa banyak cakap lagi nenek Wan Ceng sudah turun tangan menentang dan membasminya. Akan tetapi sekarang ia adalah seorang nenek tua isteri yang bijaksana dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka sikapnya tenang saja pada saat ia mengangkat kedua tangan melindungi Bi Lan dan menyabarkan Bi-kwi.

Akan tetapi sebaliknya, Bi-kwi sudah menjadi marah bukan main. Melihat ada orang berani tinggal di tempat yang dianggap masih wilayah kekuasaannya itu saja sudah membuatnya marah, apa lagi mengingat bahwa kakek dan nenek ini agaknya menjadi sahabat sumoi-nya.

"Tua bangka yang bosan hidup!" bentaknya.

Bi-kwi sudah meloncat ke depan menyerang nenek Wan Ceng dengan pukulan maut dari Ilmu Silat Kiam-ciang!

"Dukkkk...!"

Sebuah lengan dengan gerakan Ilmu Silat Kiam-ciang juga telah menangkisnya dan keduanya tergetar. Akan tetapi Bi Lan yang menangkis itu agak terhuyung, sedangkan Bi-kwi hanya melangkah mundur dua tindak. Dengan sikap tegak dan pandang mata menyinarkan perlawanan, Bi Lan berkata dengan suara tegas dan berani.

"Suci, jangan kau menyerangnya! Mereka ini tinggal di sini karena mereka hendak menolongku, menyelamatkan aku dari bahaya maut yang menjadi akibat perbuatanmu yang keji! Engkau telah sengaja memberi latihan yang terbalik dan tersesat sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun di dalam tubuhku. Mereka menaruh iba kepadaku dan menyelamatkanku, karena itu engkau tidak boleh menyerang mereka!"

Bi-kwi tertegun sejenak, hatinya terlampau kaget. Pertama, sumoi-nya berani membela nenek itu dan bahkan dapat menangkis serangannya yang dahsyat tadi dengan jurus yang sama dan ia merasa pula betapa sumoi-nya kini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, hampir dapat menyamai tenaganya. Pula, ia melihat sikap Bi Lan demikian tegas dan sama sekali tidak terbayang lagi sikap gendengnya, padahal kemarin masih bersikap seperti orang gendeng.

Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun segera dapat menduga bahwa sumoi-nya itu agaknya pada hari-hari yang lalu telah berpura-pura gendeng untuk mengelabuinya. Pikiran ini membuatnya menjadi semakin marah.

"Mereka tidak berhak mencampuri urusan kita dan mereka harus mampus!" bentaknya.

Ia siap untuk menerjang lagi, siapa saja di antara mereka bertiga yang berada paling dekat akan diserangnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh ketiga orang ini.

Sebelum Bi Lan menjawab, nenek Wan Ceng berkata halus, "Bi Lan, minggirlah dan biarkan kami menghadapi iblis betina ini."

"Baik, subo," kata Bi Lan.

Ia pun meloncat ke pinggir, membiarkan nenek itu menghadapi suci-nya. Ia tahu akan kelihaian suci-nya dengan pukulan-pukulan yang keji dan ampuh, maka dia pun ingin sekali melihat bagaimana kedua orang gurunya yang baru itu menghadapi suci-nya. Hanya jika ia teringat betapa nenek itu sekali cengkeram saja dapat membuat sebatang pohon menjadi hancur di sebelah dalamnya dan tumbang, diam-diam ia bergidik dan tak terasa lagi ia menyambung, "Subo, harap suka maafkan suci dan jangan menghajarnya terlalu keras!"

Nenek itu melirik kepadanya dan tersenyum maklum bahwa murid barunya itu merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau dia akan membunuh suci-nya itu. Dia pun mengangguk. Lalu ia menghadapi Bi-kwi dan dengan suara masih halus berkata, "Nona, tentu engkau ini yang berjuluk Bi-kwi, suci dari Bi Lan. Ingat, nona, engkau telah bertindak keji dan hendak membunuh sumoi-mu sendiri perlahan-lahan, dan sekarang engkau mendengar sendiri betapa Bi Lan masih memintakan ampun untukmu. Maka, sadarlah, nona, ingat bahwa kekerasan hanya akan menyeretmu sendiri ke lembah kesengsaraan."

"Sudah mau mampus masih cerewet! Terimalah ini!" Dan Bi-kwi sudah memotong kata-kata nenek itu dan menyerang dengan amat hebatnya, ia masih terus mempergunakan Kiam-ciang karena menganggap bahwa ilmu ini yang paling ampuh untuk melakukan penyerangan mendadak.

Bi-kwi sudah merasa girang sekali ketika melihat betapa nenek itu hanya menangkis dengan gerakan lambat saja, tidak mengelak. Ia sudah membayangkan bahwa ia akan berhasil membikin patah atau bahkan buntung lengan nenek itu dengan tangannya yang dapat menjadi seampuh pedang.

Bi Lan yang mengenal keampuhan Kiam-ciang, mengerutkan alisnya dan memandang dengan khawatir juga, biar pun ia sudah yakin akan kesaktian subo-nya. Tak terelakkan lagi, tangan Bi-kwi bertemu dengan lengan kanan nenek Wan Ceng.

"Dukkk!"

Terdengar pula bunyi kain robek. Ternyata lengan baju nenek itu robek seperti dibacok pedang, akan tetapi tangan itu sendiri berhenti ketika bertemu dengan kulit lengan, dan Bi-kwi terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh tenaga yang amat kuat.

Bi-kwi terkejut bukan main. Ilmunya memang telah berhasil merobek lengan baju nenek itu, akan tetapi ketika tangan yang dimiringkan tadi bertemu dengan lengan, ia merasa betapa kulit lengan itu lembut dan lunak, serta tenaga Kiam-ciang itu membalik dan membuatnya terhuyung. Di lain pihak, diam-diam nenek Wan Ceng juga terkejut karena tak menyangka bahwa tangan gadis cantik itu sedemikian ampuhnya sehingga dapat menjadi tajam seperti sebatang pedang saja.

Bi-kwi telah menerjang lagi. Tiba-tiba nenek itu mendapat pikiran untuk memberi contoh kepada Bi Lan bagaimana caranya mempergunakan ilmu silat Ban-tok Ciang-hoat yang telah diajarkannya kepada Bi Lan untuk menghadapi serangan-serangan Bi-kwi. Melihat namanya, yaitu Ilmu Silat Selaksa Racun, tentu merupakan ilmu silat kaum sesat yang mengandung racun.

Memang asal mulanya demikian. Dahulu, di waktu dia masih gadis, nenek Wan Ceng pernah menjadi murid seorang nenek iblis yang berjuluk Ban-tok Mo-li dan dari wanita sesat ini Wan Ceng menerima ilmu-ilmu silat yang mengandung racun amat jahatnya. Akan tetapi, setelah ia menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ia telah menjadi seorang pendekar wanita dan tidak mau lagi menggunakan ilmu silat yang pukulannya mengandung hawa beracun.

Dengan bantuan suaminya, ia kemudian merubah Ban-tok Ciang-hoat dari ilmu pukulan beracun menjadi ilmu pukulan yang mengandung sinkang lembut akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga yang amat hebat seperti yang pernah diperlihatkan kepada Bi Lan ketika tangannya mencengkeram batang pohon. Kini, Ban-tok Ciang-hoat hanya tinggal namanya saja yang mengerikan, akan tetapi sudah menjadi semacam ilmu silat yang lihai dan bersih, tidak lagi menggunakan racun. Ilmu inilah yang oleh nenek itu diajarkan kepada Bi Lan. Kini, menghadapi serangan-serangan Bi-kwi, nenek itu lalu sengaja memainkan ilmu silat ini untuk memberi contoh kepada Bi Lan.

Melihat ini, Kao Kok Cu maklum akan niat isterinya dan dia pun berbisik kepada Bi Lan, "Lihat baik-baik gerakan subo-mu ketika menggunakan ilmu silat itu."

Bi Lan mengangguk. Gadis yang cerdik ini pun segera maklum akan maksud subo-nya. Dia berterima kasih sekali karena kini dia dapat lebih jelas melihat bagaimana cara mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi serangan suci-nya dengan ilmu-ilmu silat yang sudah dikenalnya pula.

Hal ini amat penting baginya karena semenjak sekarang dia harus dapat membela diri terhadap serangan-serangan suci-nya. Mengandalkan ilmu-ilmu silat yang diperolehnya dari suci-nya untuk membela diri, tentu kurang meyakinkan dan kurang kuat, karena tentu saja dia kalah latihan, juga kalah kuat tenaga dalamnya yang dahulu dilatihnya secara keliru.

Perkelahian antara Bi-kwi dan nenek Wan Ceng itu memang seru bukan main. Bi-kwi amat lihai dan ia sudah berlatih secara matang. Ilmu-ilmu silat dari tiga orang gurunya sudah diresapinya benar, juga sudah dilatihnya secara matang. Betapa pun juga, kini ia melawan nenek Wan Ceng yang telah menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka ia menemukan seorang lawan berat dan andai kata nenek itu masih belum setua itu, dua puluh tahun yang lalu saja, tentu Bi-kwi akan sulit memperoleh kemenangan.

Akan tetapi, kini nenek itu sudah tua. Selain tenaganya berkurang juga daya tahannya menurun, apa lagi semangatnya untuk berkelahi dan mencari kemenangan telah lemah. Maka setelah lewat seratus jurus lebih, nenek itu mulai kelelahan.

Nenek Wan Ceng merasa sudah cukup memberi contoh kepada muridnya, dan dia pun maklum bahwa jika ia melanjutkan menghadapi gadis yang amat lihai itu dengan tangan kosong saja, keadaannya akan menjadi berbahaya.

"Singgggg...!"

Tiba-tiba nampak sinar menyilaukan mata dan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan telah berada di tangan kanan nenek itu. Bi-kwi sendiri terbelalak dan bergidik, maklum bahwa nenek itu telah memegang sebatang pedang yang ampuh dan mengandung hawa aneh.

Itulah Ban-tok-kiam! Dulu pernah pedang ini oleh nenek Wan Ceng diberikan kepada puteranya, putera tunggal yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi setelah Kao Cin Liong menjadi seorang panglima, ia mengembalikan pedang itu kepada ibunya karena ia harus membawa pedang kekuasaan yang menjadi lambang kedudukannya.

Pedang Ban-tok-kiam ini adalah sebatang pedang yang dulu diterima oleh nenek Wan Ceng dari gurunya, nenek iblis Ban-tok Mo-li dan pedang ini adalah sebatang pedang yang terbuat dari pada baja pilihan. Yang mengerikan adalah bahwa senjata ini sudah direndam sampai puluhan tahun dalam ramuan racun-racun yang sangat kuat, maka diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Sedikit saja tergores pedang ini sudah cukup membuat korbannya tewas!

Melihat isterinya mencabut Ban-tok-kiam, Kao Kok Cu cepat meloncat ke depan dan menarik lengan isterinya. "Kau istirahatlah," katanya halus.

Wan Ceng sadar bahwa tidak semestinya ia menggunakan pedang itu. Maka dengan muka merah dia pun melangkah mundur di dekat Bi Lan sambil menyimpan kembali pedangnya.

Sementara itu Kao Kok Cu sudah menghadapi Bi-kwi sambil berkata, "Nona, hentikan kemarahanmu dan tidak perlu kau melanjutkan serangan-seranganmu. Kami datang ke tempat ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mengobati Can Bi Lan..."

"Mampuslah!"

Bi-kwi yang masih marah dan penasaran karena tidak mampu mengalahkan nenek itu, kini sudah menerjang maju, menghantam dengan Kiam-ciang ke arah kepala kakek itu.

"Bi Lan, lihat baik-baik!" kata kakek itu.

Dia pun sengaja mengelak lalu bersilat dengan Ilmu Silat Sin-Liong Ciang-hoat untuk memberi contoh kepada murid barunya bagaimana menggunakan ilmu silat itu untuk menghadapi Bi-kwi. Kalau dia mau, tentu saja dengan sekali gebrakan dia akan mampu merobohkan Bi-kwi. Tingkat kepandaiannya terlampau jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bi-kwi. Akan tetapi Pendekar Naga Sakti ini tidak mau berbuat demikian karena dia ingin memberi petunjuk kepada Bi Lan.

Gadis ini pun mengerti dan diamatinya dengan baik gerakan-gerakan suhu-nya ketika menghadapi Bi-kwi.

Bi-kwi agaknya maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada si nenek, maka ia pun mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menyerang kakek itu. Berturut-turut ia menggunakan ilmu-ilmu dari ketiga orang suhu-nya. Ilmu Tendangan Pat-hong-twi dari Iblis Akhirat dan Hun-kin Tok-ciang dari Iblis Mayat Hidup, lantas diakhiri Ilmu dari Raja Iblis Hitam yang disebut Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam).

Akan tetapi, semua ilmu itu seperti permainan kanak-kanak saja ketika dihadapi oleh kakek lengan satu itu dengan Sin-liong Ciang-hoat. Semua pukulan dan tendangan dapat dihalau dengan mudah dan setiap kali kakek itu balas menyerang dengan jurus dari ilmu silatnya, Bi-kwi terkejut dan langsung terdesak hebat. Bahkan kalau kakek itu melanjutkan serangannya, tentu Bi-kwi akan terkena pukulan atau cengkeraman. Tetapi Kao Kok Cu sengaja tidak melanjutkan serangan balasannya, karena dia hanya ingin memperlihatkan saja kepada muridnya bagaimana caranya mengalahkan Bi-kwi dengan ilmu silat itu.

Diam-diam Bi Lan girang bukan main. Jelas nampak olehnya semua itu dan mulailah ia melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu-ilmu silat yang dimainkan suci-nya, dan ia pun kagum bukan main karena kalau tadi subo-nya hanya membuktikan bahwa subo-nya dapat menandingi suci-nya tanpa terdesak, sekarang suhu-nya benar-benar menguasai keadaan dan kalau suhu-nya menghendaki sudah sejak tadi Bi-kwi roboh!

Hal ini dirasakan pula oleh Bi-kwi. Di samping rasa kagetnya, ia juga merasa penasaran sekali. Tadi melawan si nenek, sukar sekali baginya untuk dapat menang dan nenek itu ternyata mampu mengimbanginya. Nenek itu saja dia tidak mampu mengalahkan, dan kini, kakek itu ternyata memiliki kelihaian yang sama sekali tidak pernah disangkanya.

Hanya dengan sebuah lengan, kakek itu telah menutup seluruh lubang sehingga sama sekali ia tak mampu menyerang dengan berhasil. Bahkan tiap kali kakek itu membalas, ia bingung dan hampir terkena kalau saja kakek itu tidak menghentikan serangannya di tengah jalan. Jelaslah bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya.

Ia, Bi-kwi, kini dipermainkan seorang kakek tua renta! Padahal ialah orang yang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian Sam Kwi! Untuk kedua kalinya dalam hidup, dia merasa terpukul lahir batin. Pertama pada waktu ia melawan Pendekar Suling Naga, dan kedua kalinya sekarang inilah! Hampir Bi-kwi menangis saking jengkel dan marahnya.

Makin penasaran rasa hatinya dan semakin besar harapannya agar tiga orang gurunya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang akan dapat dipakai menghadapi lawan-lawan tangguh seperti kakek ini dan Pendekar Suling Naga. Tetapi pada saat itu, kemarahan membuat ia lupa diri dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya.

"Srattttt...!"

Wanita ini jarang mempergunakan pedang karena kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan dan membunuh lawan. Tadi kalau si nenek yang tangguh itu terus menyerangnya dengan pedang yang mengerikan itu, tentu ia pun akan mengeluarkan pedangnya. Sekarang, merasa tidak sanggup menandingi kakek yang luar biasa itu, ia mencabut pedangnya. Padahal ini hanya untuk gertakan belaka.

Dengan pedang di tangan, ia tidak akan menjadi lebih lihai. Bahkan tanpa pedang ia dapat memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Satu di antara ilmu Iblis Akhirat, yaitu Toat-beng Hui-to, merupakan senjata rahasia pisau terbang yang tidak dapat dilakukannya dengan pedang dan ia masih belum mempersiapkan pisau-pisau yang cocok untuk dipakai dalam ilmu melempar pisau yang dapat terbang membalik itu.

Melihat gadis itu mengeluarkan pedang, Kao Kok Cu mengerutkan alisnya dan berseru nyaring, "Tak baik main-main dengan senjata! Lepaskan pedang!"

Pada saat itu, Bi-kwi sudah membacokkan pedangnya. Kakek itu menangkis dengan tangan kanan, menyambut begitu saja pedang telanjang itu dengan jari-jari tangannya. Nampak pundak kiri kakek itu bergerak dan tahu-tahu lengan baju kiri yang kosong itu meluncur ke depan dan menotok pinggang Bi-kwi. Bi-kwi mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya lemas dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan dia tidak kuat berdiri lagi, lalu jatuh bertekuk lutut!

Bi Lan memandang dengan bengong penuh kagum. Setelah dikehendakinya, ternyata kakek itu mampu merobohkan Bi-kwi dan sekaligus membuat pedang terlempar. Bukan main!

Akan tetapi Bi-kwi yang tidak tahu diri menjadi semakin berang sampai mata gelap dan ia lalu meloncat berdiri lagi dan menggunakan tangan untuk menghantam dada kakek itu.

"Desss...!"

Bukan kakek itu yang roboh, melainkan tubuh Bi-kwi yang terjengkang dan terbanting keras sebelum pukulannya mengenai dada, karena kakek itu telah menggerakkan tangan kanannya yang melakukan gerakan mendorong ke depan sehingga tubuh wanita itu diterjang angin pukulan yang amat kuat.

Tetapi bantingan ini tidak membuat Bi-kwi menjadi jera. Ia sudah melompat bangun lagi. Mukanya menjadi pucat saking marahnya dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah meluncur deras ke atas dan ke depan, ke arah kakek itu dalam sebuah serangan maut yang amat hebat. Dalam serangan ini dua buah tangannya menyerang dua bagian tubuh, juga kedua kakinya melakukan tendangan!

"Hemm...!" Pendekar Naga Sakti mengeluarkan seruan dari hidung dan menggerakkan tangan kanan, disusul lengan baju kirinya yang kosong menyambar ke depan.

"Desss...! Brukkk...!"

Tubuh Bi-kwi terbanting lebih keras lagi dan kini agaknya ia merasa pening karena ia merangkak dan tidak dapat segera bangkit.

Bi Lan menjatuhkan diri berlutut di depan Kao Kok Cu. "Harap suhu suka mengampuni suci Bi-kwi." Gadis ini menoleh ke arah suci-nya, lalu membentak. "Suci, engkau tidak tahu siapa yang kau lawan! Beliau adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Apakah kau masih berani kurang ajar lagi?"

"Ahhh...!" Bi-kwi terkejut bukan main, merasa seperti disambar halilintar kepalanya. Ia mengangkat muka memandang kakek itu, melihat ke arah lengan baju kiri yang kosong dan ia pun teringat.

Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Pendekar Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir, ayah kandung bekas Panglima Kao Cin Liong, nama yang dalam kebesarannya tidak kalah oleh nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan ia tadi sudah mati-matian menyerangnya!

"Aihhh...!" katanya lagi. Dia pun melompat bangun lalu melarikan diri, kembali ke tempat guru-gurunya. Hatinya merasa gentar, juga malu, juga marah dan penasaran.

Setelah Bi-kwi pergi jauh, Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Siancai... suci-mu itu memang lihai dan ilmu kepandaiannya sudah tinggi, agaknya sukar dicari bandingannya untuk waktu ini. Akan tetapi sayang, batinnya tidak semaju lahirnya sehingga ilmu kepandaian itu disalah gunakan untuk mengumbar kejahatan."

"Akan tetapi sekarang engkau tak perlu takut lagi menghadapinya, Bi Lan. Engkau tadi sudah melihat betapa Ban-tok Ciang-hoat mampu membendung semua serangannya, dan dengan Sin-liong Ciang-hoat engkau tentu akan mampu membela diri dan bahkan mengalahkannya," kata Wan Ceng.

Suami nenek itu mengangguk. "Benar, dalam hal ilmu silat, engkau tidak perlu khawatir karena kemampuanmu sekarang masih dapat diandalkan untuk membela diri dari serangan-serangan suci-mu, andai kata ia berniat buruk. Akan tetapi, engkau tidak boleh ikut dengan kami sebelum memperoleh ijin dari guru-gurumu. Sekarang kami akan pergi. Engkau kembalilah ke tempatmu, usahakan agar dapat berdamai dengan suci-mu. Kalau engkau sudah tidak melihat jalan lain, tentu saja setiap waktu engkau boleh mencari kami ke Gurun Pasir. Akan tetapi, engkau baru dapat menemukan tempat kami itu kalau engkau lebih dahulu mencari putera kami yang bernama Kao Cin Liong dan yang kini tinggal di kota Pao-teng di sebelah selatan kota raja. Dia berdagang rempah-rempah di sana dan mudah dicari rumah orang yang bernama Kao Cin Liong. Nah, selamat berpisah, Bi Lan. Mudah-mudahan kedamaian dan kebahagiaan akan selalu menyertaimu dalam hidupmu."

Nenek Wan Ceng merangkul muridnya. Nenek ini sudah merasa sayang sekali kepada murid ini sehingga agak berat rasanya harus berpisah darinya. "Bi Lan, bawa dirimu baik-baik dan aku masih merasa khawatir atas keselamatanmu. Karena itu, ini kuberi pinjam Ban-tok-kiam kepadamu. Jangan pergunakan ini kalau tidak terpaksa sekali, dan kelak kau dapat kembalikan kepadaku kalau kau mengunjungi kami di utara." Nenek itu menyerahkan pedang yang mengerikan tadi, yang kini tersembunyi di dalam sarungnya yang indah.

Sebetulnya, di dalam hatinya Kao Kok Cu tidak setuju isterinya menyerahkan pedang itu kepada Bi Lan. Pedang itu amat berbahaya, dan dapat menimbulkan bencana kalau dipergunakan secara sembarangan. Akan tetapi karena isterinya telah memberikannya, dia pun tidak mau mencela.

"Bi Lan, lebih baik kau sembunyikan pedang itu agar jangan sampai diketahui suci-mu. Kalau terpaksa membawanya, sembunyikan di balik baju, karena banyak orang yang akan berusaha merampasnya kalau mereka tahu akan Ban-tok-kiam itu." Akhirnya dia memberi nasehat.

"Bi Lan, berhati-hatilah!" Nasehat terakhir Wan Ceng terdengar penuh keharuan.

Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut untuk menghaturkan terima kasih dan hatinya juga merasa berduka sekali harus berpisah dari dua orang gurunya ini. Selama setengah tahun ini berdekatan dengan mereka, dia melihat betapa bedanya watak antara ketiga orang gurunya dan suci-nya, dibandingkan dengan kakek dan nenek yang halus budi dan berwatak mulia ini. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar angin menyambar dan ketika ia mengangkat muka memandang, ia hanya melihat bayangan dua orang itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Ia terkejut dan penuh kagum, termangu-mangu, kemudian memberi hormat lagi sambil berlutut, "Teecu Can Bi Lan takkan melupakan budi kebaikan suhu dan subo."

Setelah beberapa lama termenung, baru sekarang Bi Lan sadar bahwa sesungguhnya pertemuannya dengan kakek dan nenek itu merupakan suatu peristiwa luar biasa yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut. Bahkan bukan itu saja, melainkan ia kini telah memperoleh bekal, menguasai ilmu-ilmu yang dapat melindungi dirinya dari pada ancaman Bi-kwi.

Gadis ini kemudian kembali ke puncak tempat kediaman guru-gurunya. Dan sebelum menampakkan diri di puncak, ia lebih dahulu menyembunyikan Ban-tok-kiam di dalam jepitan dua buah batu besar yang hanya dikenalnya sendiri, tak jauh dari bawah puncak. Sebelum menyembunyikan pusaka ini, ia lebih dahulu berlari cepat mengelilingi tempat itu dan menyelidiki bahwa tidak ada seorang pun tahu akan perbuatannya itu.

Setelah merasa yakin bahwa senjata itu sudah disembunyikan di sebuah tempat yang rahasia, ia lalu menenteramkan hatinya agar tenang dan berlari mendaki puncak. Ia sudah siap andai kata suci-nya akan menghadang dan menyerangnya. Ia sudah tahu bagaimana harus melawan suci-nya dan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat tadi ia lihat mampu menundukkan suci-nya.

Akan tetapi apa yang dilihatnya di tempat tinggal Sam Kwi amat mengejutkan hatinya, walau pun juga amat menggirangkan. Ia melihat bahwa tiga orang gurunya itu kini telah keluar dari tempat pertapaan mereka dan sekarang tiga orang kakek itu sudah duduk berdampingan di atas bangku-bangku baru mereka, sedangkan Bi-kwi nampak duduk di atas bangku yang berhadapan dengan mereka.

Melihat dari jauh betapa tiga orang gurunya itu kini sudah nampak tua-tua sekali, hati Bi Lan diliputi keharuan. Biar pun tiga orang kakek itu berjuluk Tiga Iblis, biar pun ia tahu bahwa mereka itu amat kejam dan suka melakukan hal-hal yang jahat, namun bagai mana pun juga, mereka bertiga itu bersikap baik sekali kepadanya, melimpahkan budi yang amat besar kepadanya, maka mana mungkin ia membenci mereka?

Tidak sama sekali, ia tidak membenci mereka. Bahkan ada rasa sayang dalam hatinya terhadap mereka dan kini melihat betapa mereka sudah nampak tua dan lemah, sudah tujuh puluh tahun lebih usia mereka, hatinya diliputi keharuan.

Tidak dapat kita sangkal lagi, apa bila kita mau mempelajari segala macam watak manusia melalui pengamatan terhadap diri sendiri, karena watak masyarakat, watak manusia, watak dunia adalah watak kita juga, akan nampaklah kaitan-kaitannya yang tidak terpisahkan dari penilaian dan rasa suka dan tidak suka dengan ke-aku-an yang selalu mendambakan kesenangan, sang aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan. Penilaian akan sesuatu atau pun akan seseorang, baik buruknya, juga tak terlepas dari pengaruh sang aku.

Betapa baik pun seseorang menurut pendapat orang sedunia sekali pun, kalau si orang baik itu merugikan kita, maka otomatis kita akan berpendapat bahwa orang itu tidak baik dan kita tidak suka kepada orang itu, bahkan membencinya. Sebaliknya, biar pun orang seluruh dunia berpendapat bahwa seseorang amatlah jahatnya, tetapi kalau si orang itu menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin, maka sukar bagi kita untuk berpendapat bahwa dia jahat, sebaliknya kita akan menganggapnya orang yang baik dan kita menyukainya.

Dengan demikian jelas bahwa penilaian itu tergantung sepenuhnya dari pertimbangan pikiran, dan pertimbangan pikiran selalu didalangi oleh si-aku yang senantiasa diboboti oleh untung dan rugi. Dengan demikian, maka semua penilaian adalah palsu dan bukan merupakan kenyataan sejati
.

Karena itu, tidaklah aneh kalau Bi Lan menganggap bahwa tiga orang kakek yang oleh umum dinamakan Tiga Iblis itu sebagai orang-orang yang baik dan disayangnya. Siapakah yang mengatakan bahwa harimau itu buas dan jahat? Tentulah mereka yang merasa terancam keselamatannya oleh binatang itu. Kelompoknya dan anak-anaknya tidak akan menganggap demikian!

Dengan cepat Bi Lan berlari menghampiri mereka dan setelah tiba di depan tiga orang gurunya, ia pun menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Sebelum berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, belum pernah Bi Lan memperlihatkan rasa sayang dan hormatnya kepada tiga orang kakek ini, karena memang pendidikan mereka terhadap Bi Lan tidak demikian. Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang sama sekali tidak pernah peduli tentang segala macam peraturan dan sopan santun sehingga bagi mereka merupakan hal yang biasa saja kalau murid mereka Ciong Siu Kwi atau Bi-kwi selain menjadi murid pertama juga menjadi kekasih mereka!

"Aihh, suhu bertiga sudah selesai bertapa? Harap sam-wi suhu berada dalam keadaan baik-baik dan sehat," berkata Bi Lan dengan kegembiraan yang wajar karena memang hatinya gembira melihat tiga orang kakek itu nampak sehat walau pun muka mereka agak memucat karena kurang mendapatkan sinar matahari selama berbulan-bulan.

Melihat ulah Bi Lan ini, Sam Kwi memandang heran, termangu dan saling pandang oleh karena belum pernah mereka melihat murid itu demikian sopan.

Akan tetapi Bi-kwi segera menuding ke arah sumoi-nya dan berkata, "Inilah pengkhianat itu, suhu! Ia telah berhubungan dengan orang luar, bahkan telah berkhianat mengangkat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya menjadi guru-gurunya pula! Bukankah ini merupakan tamparan bagi muka suhu bertiga? Murid pengkhianat ini harus dibunuh sekarang juga untuk membersihkan muka suhu bertiga dari penghinaan!"

Ketiga orang kakek itu saling pandang. Tadi mereka keluar dari pertapaan dan yang menyambut mereka adalah Bi-kwi yang segera menceritakan tentang diri Bi Lan atau Siauw-kwi yang katanya berkhianat itu. Kini mereka dengan pandang mata ragu lalu bertanya, diucapkan oleh Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat.

"Siauw-kwi, benarkah keterangan Bi-kwi itu? Engkau telah menjadi murid orang-orang lain tanpa seijin kami? Apakah engkau tidak puas menjadi murid kami?"

Mendengar pertanyaan yang nadanya penuh ancaman dari Im-kan Kwi yang biasanya amat sayang kepadanya dan bersikap sebagai kakek sendiri, Bi Lan menarik napas panjang menenangkan hatinya yang terguncang, lalu dia berkata dengan suara tegas karena sudah mengambil keputusan untuk melawan tuduhan-tuduhan suci-nya dengan membuka rahasia suci-nya.

"Sam-wi suhu tentu sudah tahu akan isi hati teecu…."

Kembali ketiga orang datuk sesat itu saling pandang karena sikap dan ucapan Bi Lan benar-benar telah berubah. Gadis itu nampak halus dan lembut biar pun sinar matanya memancarkan kegembiraan dan kelincahan yang tadinya tak pernah mereka lihat. Tiga orang kakek itu benar-benar menyaksikan perubahan yang luar biasa pada diri murid mereka itu.

"Teecu merasa berhutang budi kepada sam-wi, teecu merasa amat sayang dan kasihan kepada sam-wi dan menganggap sam-wi selain guru juga seperti kakek teecu sendiri. Karena itu, mana mungkin teecu akan menghina dan mengkhianati sam-wi suhu?"

Biar pun hati tiga orang kakek itu sudah mengeras dan membatu, namun karena ada rasa sayang kepada murid ini, hati mereka tersentuh pula oleh pernyataan Bi Lan tadi. Mereka maklum bahwa Bi Lan tak pernah bohong, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Bi-kwi yang tidak akan ragu-ragu untuk membohongi nenek moyangnya sekali pun! Mereka ketahui benar kepalsuan, juga kejahatan dan kekejaman Bi-kwi, bahkan hal itu membuat mereka merasa bangga mempunyai murid seperti itu!

"Akan tetapi, Siauw-kwi, menurut keterangan suci-mu engkau telah berpaling kepada orang lain, dan mengangkat guru kepada seorang pendekar dan isterinya," kata Iblis Mayat Hidup penuh teguran.

"Maaf, suhu bertiga. Tidak dapat teecu sangkal akan hal itu, akan tetapi ada sebabnya mengapa teecu berhubungan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pada suatu pagi, enam bulan yang lalu, ketika teecu habis dipukuli dan disiksa oleh suci seperti biasa, teecu diharuskan memenuhi gudang kayu. Teecu pergi mencari kayu seperti biasa dan di dalam hutan itu teecu berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka berdualah yang melihat bahwa teecu keracunan, bahwa kalau tidak diobati, teecu akan menderita dan tewas. Dan semua ini adalah perbuatan suci Bi-kwi! Suhu bertiga telah mewakilkan pendidikan atas diri teecu kepada suci, dan ternyata suci memberi pelajaran yang menyesatkan, sengaja dibalik dan disesatkan sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun dalam tubuh teecu, bahkan mempengaruhi otak sehingga pikiran teecu menjadi bingung dan nyaris gila. Untunglah ada mereka berdua yang mengetahui keadaan teecu. Mereka lalu untuk sementara tinggal di hutan itu, khusus untuk mengobati teecu. Oleh karena mereka telah menyelamatkan nyawa teecu, maka tanpa ragu-ragu lagi teecu mengangkat mereka menjadi guru supaya teecu bisa menerima latihan-latihan yang dapat mengusir hawa beracun itu. Nah, demikianlah kenyataannya dan terserah kepada keputusan sam-wi suhu."

Kini tiga orang kakek itu menoleh dan memandang kepada Bi-kwi yang mendengarkan sambil tersenyum-senyum mengejek.

"Huh, anak ini memang tidak mengenal budi!" katanya. "Kalau memang aku tak pernah memberi pelajaran dengan baik kepadanya, mana mungkin dia menguasai semua ilmu silat kita, bisa paham dan juga pandai memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, Pat-hong-twi, Hun-kin Tok-ciang, bahkan Kiam-ciang?"

Kembali tiga orang kakek itu menoleh kepada Bi Lan yang menjawab lantang. "Teecu sama sekali tidak pernah diajari ilmu-ilmu itu, suhu, melainkan diajar ilmu-ilmu pukulan yang menyesatkan, penggunaan pernapasan yang terbalik, cara penghimpunan tenaga sinkang yang sengaja disesatkan sehingga teecu keracunan sendiri. Tidak akan teecu sangkal bahwa teecu mengenal dan paham akan semua ilmu-ilmu suhu itu, akan tetapi hal itu teecu dapatkan dari menonton kalau suci latihan seorang diri. Dari nonton inilah teecu lalu belajar sendiri, dan terpaksa teecu keluarkan ketika suci menyerang teecu dengan ilmu-ilmu itu untuk membunuh teecu."

Kembali tiga orang kakek itu saling pandang. Iblis Akhirat lalu bertanya, "Siauw-kwi, kau maksudkan bahwa hanya dengan menonton suci-mu berlatih, dan engkau sudah dapat menguasai ilmu-ilmu itu?"

"Benar, suhu."

"Benarkah demikian, Bi-kwi?" tanya pula Iblis Akhirat.

"Bohong! Mana mungkin hanya nonton orang bersilat lalu dapat menguasai ilmu silat itu? Ia bohong, suhu!" bantah Bi-kwi.

Kini Raja Iblis Hitam bangkit dan dia berkata "Perlu dibuktikan kebenaran omongan kalian. Nah Bi-kwi dan Siauw-kwi, aku memiliki sebuah ilmu silat yang belum pernah kuajarkan kepada siapa pun juga. Kalian lihat baik-baik, aku akan memainkan ilmu silat itu, akan berlatih dan menghabiskan tiga belas jurus ilmu itu. Ingin kulihat siapa di antara kalian yang dapat menguasainya hanya dengan menonton."

Setelah berkata demikian, kakek yang tinggi besar bagaikan raksasa ini lalu bersilat. Gerakannya aneh dan mengandung tenaga sampai menimbulkan angin menderu-deru. Bi-kwi dan Bi Lan segera memperhatikan gerakan-gerakan itu. Memang, semenjak dia keracunan, terjadi perubahan pada otak Bi Lan dan dia kini memiliki ingatan yang luar biasa tajamnya.....

Setelah selesai memainkan tiga belas jurus ilmu silat aneh yang selamanya belum pernah dilihat oleh dua orang murid itu, Raja Iblis Hitam lalu bertanya, “Siauw-kwi, coba kau mainkan jurus-jurus ilmu silatku tadi."

Bi Lan lalu bangkit berdiri, kedua matanya setengah terpejam karena ia memusatkan ingatannya untuk melihat gambaran-gambaran dari jurus-jurus tadi yang dicatat dalam ingatannya, dan kaki tangannya bergerak-gerak.

Ketiga orang kakek itu menonton dan mereka terbelalak kagum melihat betapa Bi Lan benar-benar dapat menirukan semua gerakan Raja Iblis Hitam. Bahkan si pemilik ilmu ini sendiri menjadi bengong. Memang benar bahwa gerakan itu belum sempurna benar, akan tetapi jelas bahwa Bi Lan mampu memainkan tiga belas jurus ilmu silat itu, dan kalau gadis itu diberi kesempatan nonton dia berlatih silat sampai tiga empat kali saja, bukan hal mustahil kalau Bi Lan sudah akan dapat memainkannya dengan baik!

"Sekarang giliranmu, Bi-kwi," kata pula Raja Iblis Hitam setelah Bi Lan menghentikan permainannya.

Bi-kwi mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, akan tetapi baru bergerak sebanyak tiga jurus saja, ia sudah lupa lagi akan gerakan jurus-jurus selanjutnya. Dia hanya mampu mengingat tiga jurus, itu saja mengandung kesalahan-kesalahan yang amat besar!

"Aihh, suhu berat sebelah! Tentu dahulu pernah melatih sumoi dengan ilmu silat itu!" ia merajuk.

Hek-kwi-ong tertawa bergelak dan memandang dua orang rekannya, "Siauw-kwi tidak berbohong. Mungkin saja ia mempelajari ilmu-ilmu kita dengan cara menonton suci-nya berlatih."

Ucapan ini saja sudah cukup bagi dua orang kakek yang lain. "Bi-kwi," kata Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat, "kenapa engkau menyesatkan pelajaran silat kepada sumoi-mu? Engkau yang membohong bukan Siauw-kwi!"

Tiba-tiba Bi-kwi tertawa terkekeh dan memandang kepada tiga orang kakek itu dengan sikap genit. "Perlukah suhu bertanya lagi? Tentu saja anak ini tidak becus membohong! Mana dia mampu meniru kebiasaan kita? Memang aku telah membohong. Aku iri hati kepadanya, karena dia cantik dan semakin manis saja. Aku sengaja menyelewengkan ajaran-ajaran silat itu agar ia berlatih secara keliru dan menghimpun hawa beracun di tubuhnya, agar dia mati perlahan-lahan tanpa suhu ketahui. Hi-hik, usahaku itu sudah berjalan dengan amat baiknya. Sialan, muncul pendekar brengsek dari Gurun Pasir itu yang menggagalkan segala-galanya. Akan tetapi, bagaimana pun juga, aku selalu setia kepada suhu bertiga, sedangkan sumoi ini diam-diam telah berguru kepada orang lain. Bukankah ini merupakan penghinaan bagi suhu bertiga?"

Tiga orang kakek itu sekarang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau memang murid yang baik dan membuat kami bangga! Kamu cerdik dan licik, sayang kurang beruntung sehingga gagal, Bi-kwi! Akan tetapi engkau pun murid yang sukar didapat, Siauw-kwi. Engkau berbakat sekali!"

Mendengar tiga orang gurunya memuji-muji suci-nya sebagai cerdik itu, Bi Lan tidak merasa heran. Memang tiga orang suhu-nya ini orang-orang yang aneh, dan mungkin saja di dunia mereka, kecurangan dan kelicikan merupakan hal yang patut dibanggakan! Sebaliknya, Bi-kwi merasa tidak senang karena mereka pun memuji-muji Bi Lan.

"Sekarang suhu bertiga memilih saja, berat aku ataukah berat sumoi!" Ia menantang.

"Wah, berat semua, berat keduanya! " Tiga orang kakek itu berkata hampir berbareng.

"Bi-kwi, jangan engkau berpendapat demikian!" Tiba-tiba Iblis Akhirat berkata. "Ingat, tugasmu masih banyak serta berat dan engkau membutuhkan bantuan sumoi-mu ini. Seorang diri saja, mana kau mampu? Dan kami sudah tua. Apa artinya kami bersusah payah mendidik kalian jika akhirnya kalian tidak mampu membuat jasa sedikit pun untuk kami? Selama setahun ini kami bertapa dan dengan susah payah mempersatukan diri menciptakan serangkaian ilmu silat dan kini kami akan mengajarkan kepada kalian agar kalian dapat bekerja sama melaksanakan tugas."

Bi-kwi girang sekali mendengar ini dan lupalah ia akan rasa iri hati dan kebenciannya terhadap Bi Lan. "Ahh, lekaslah ajarkan ilmu itu kepadaku, suhu!"

Bi Lan hanya memandang saja. Sedikit pun ia tak ingin mempelajari ilmu baru itu karena ilmu itu diajarkan hanya untuk ditukar dengan pelaksanaan tugas. Padahal, sebagai murid yang baik, tanpa diberi pelajaran ilmu baru sekali pun, ia siap untuk membalas budi guru-gurunya melaksanakan tugas yang betapa sukarnya sekali pun.

"Nah, kalian harus berdamai. Bi-kwi, engkau tidak boleh memusuhi sumoi-mu lagi. Mulai saat ini kalian harus bekerja sama, dan sumoi-mu akan menjadi pembantu yang boleh diandalkan," kata pula Iblis Akhirat.

Bi-kwi adalah seorang yang luar biasa cerdik dan curangnya. Ia tak melihat keuntungan jika memusuhi sumoi-nya. Dan memang benar, setelah sumoi-nya kini ternyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dapat merupakan seorang pembantu yang amat baik.

"Baiklah, suhu. Sumoi, kita lupakan semua yang pernah terjadi dan mulai saat ini, kau jadilah seorang sumoi yang baik."

Bi Lan tersenyum, akan tetapi ia tidak membantah, hanya berkata, "Baik, suci. Asalkan engkau pun menjadi suci yang baik dan tidak menggangguku lagi."

Bi-kwi mengangkat alisnya seperti orang terkejut. "Ehhh, sejak kapan aku menjadi suci yang tidak baik? Coba kau ingat, kalau tidak ada ulahku, apakah engkau kini mampu menjadi orang pandai dan akan menerima pelajaran ilmu baru dari suhu-suhu kita?"

Kembali Bi Lan tersenyum. Memang keluarga suhu-suhu-nya itu orang-orang yang aneh sekali dan dia sendiri pun tidak tahu apa yang baik dan tidak baik bagi mereka. Kalau dipikirkan, memang ada benarnya juga ucapan Bi-kwi. Kalau suci-nya itu tidak berbuat sejahat itu, tentu ia tidak akan bertemu dengan Pendekar Naga Sakti dan ia hanya akan menjadi sumoi dari Bi-kwi dengan kepandaian yang tentu saja jauh di bawah suci-nya itu.

Melihat keduanya sudah akur, tiga orang kakek itu merasa gembira. "Nah, kini kalian harus berlutut dan mengucapkan janji dan sumpah bahwa setelah mempelajari ilmu baru dari kami, kalian akan melaksanakan tugas dengan baik. Tugas pertama adalah merampas kembali Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) yang terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Tugas ke dua, kalian harus mewakili kami dan mengangkat diri menjadi bengcu di antara kaum kita, dan untuk itu kalian boleh saja mengumpulkan bala bantuan, terutama dari Ang-i Mo-pang seperti yang sudah pernah dilakukan oleh Bi-kwi. Setelah dapat merampas pusaka Pedang Suling Naga dan merebut kedudukan bengcu, barulah tugas-tugas lain menyusul. Bagaimana, sanggupkah kalian dan berani berjanji dengan sumpah?"

Bi-kwi dan Bi Lan sudah berlutut, dan Bi-kwi tanpa ragu-ragu lagi berkata, "Aku berjanji dan bersumpah untuk melaksanakan semua perintah suhu bertiga!"

"Aku berjanji akan membantu suci, terutama untuk merampas kembali pusaka Liong-siauw-kiam untuk kupersembahkan kepada ketiga suhu Sam Kwi," kata Bi Lan.

Bi Lan tidak tertarik dengan urusan perebutan kedudukan bengcu, akan tetapi ia sudah mendengar dari suhu-suhu-nya ini, juga dari suci-nya, tentang pedang pusaka yang tadinya milik susiok dari Sam Kwi dan yang kini terjatuh ke tangan orang lain.

Agaknya Sam Kwi sudah merasa puas dengan janji-janji itu dan mereka lalu mengajak kedua orang murid itu ke tengah lapangan rumput.

"Kalian ingat baik-baik," sebagai juru bicara Sam Kwi, Iblis Akhirat kemudian berkata menerangkan, "ilmu silat yang akan kami ajarkan ini adalah ciptaan kami bertiga selama bertapa setahun lebih dan telah kami kerjakan dengan susah payah. Ilmu ini merupakan inti dari pada ilmu-ilmu kami bertiga, digabungkan menjadi satu. Ada bagian-bagian dari ilmu kami termasuk di dalamnya, dirangkai menjadi tiga belas jurus ilmu silat yang ampuh sekali dan kami kira tidak ada bandingnya di dunia persilatan ini. Karena kami bertiga yang menciptakan, maka ilmu silat ini kami namakan Sam Kwi Cap-sha-kun. Namanya sederhana, bukan? Akan tetapi keampuhannya hebat!"

Biar pun namanya sederhana dan ilmu itu hanya terdiri dari tiga belas jurus, akan tetapi kenyataannya tak mudah untuk dipelajari. Seorang demi seorang lalu tiga orang kakek iblis itu mengajarkan ilmu silat tiga belas jurus. Masing-masing ilmu silat itu memiliki dasar gerakan kaki yang sama, tetapi memiliki kembangan-kembangan yang berbeda.

Kedua orang murid itu harus menghafalkan ketiga macam ilmu silat itu sampai dapat memainkannya secara otomatis, kemudian mereka harus menggabungkan tiga belas jurus itu dalam gerakan mereka kalau berkelahi. Karena masing-masing orang memiliki daya khayal sendiri-sendiri, dan selera sendiri-sendiri, juga kecerdikan yang berbeda-beda, maka tentu saja kembangan dari penggabungan tiga macam ilmu silat dari tiga belas jurus yang memiliki dasar gerakan kaki yang sama ini pun jadinya tentu berbeda-beda pula.

Biar pun Bi-kwi dan Bi Lan merupakan dua orang wanita yang amat cerdik dan besar sekali bakat mereka dalam ilmu silat, namun setelah berlatih selama setengah tahun baru keduanya dianggap telah menguasai Sam Kwi Cap-sha-kun itu.

Setelah dinyatakan lulus, tiga orang kakek itu menguji mereka satu demi satu. Ternyata ilmu gabungan yang dikembangkan menurut daya khayal murid-murid itu sendiri amat hebat. Masing-masing kakek dikalahkan oleh Bi-kwi dalam waktu kurang dari lima puluh jurus saja.

Ketika tiga orang kakek itu seorang demi seorang menguji Bi Lan, gadis yang sangat cerdik ini menyembunyikan kepandaian aslinya. Dia dapat mengembangkan Sam Kwi Cap-sha-kun itu dengan baik, bahkan lebih baik dari pada suci-nya, apa lagi karena di dalam ilmu baru itu secara otomatis dimasuki pula dengan unsur ilmu-ilmu silat sakti yang dipelajarinya baru-baru ini dari Perdekar Naga Sakti dan isterinya. Namun ia tidak ingin menonjolkan diri. Ketika diuji, dia menjaga sedemikian rupa sehingga akhirnya dia pun dapat menang dari ke tiga orang Sam Kwi dalam waktu yang lebih lama dari pada suci-nya, yaitu lebih dari lima puluh jurus!

Ketiga orang kakek itu gembira bukan main. Dengan tiga belas jurus ciptaan masing-masing, mereka kini sudah tak mampu lagi menandingi murid-murid mereka yang telah menggabungkan tiga macam ilmu silat itu.

Juga Sam Kwi bukan kakek-kakek yang bodoh, melainkan jagoan-jagoan tua yang telah banyak pengalaman. Ketika menguji tadi, mereka tahu bahwa dalam hal penggabungan tiga ilmu silat itu, Bi Lan sama sekali tidak kalah oleh Bi-kwi. Kalau Bi Lan hanya mampu menang dari mereka lebih lama dari suci-nya, hal itu terjadi karena gadis ini terlalu berhati-hati dan agaknya masih merasa sungkan untuk mengalahkan guru-guru sendiri. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bi Lan benar-benar sengaja mengalah agar dalam hal ujian itu tidak sampai melampaui atau mengalahkan suci-nya.

Dan akalnya ini berhasil karena Bi-kwi tersenyum-senyum puas. Bagaimana pun juga, kini dia mempunyai senjata ilmu Sam Kwi Cap-sha-kun yang kalau dipergunakannya, lebih hebat dari pada sumoi-nya dan setiap waktu ia tentu akan dapat menundukkan sumoi-nya dengan ilmu itu! Rasa unggul dan menang ini menenangkan hatinya dan untuk sementara membuat kebenciannya berkurang!

Penonjolan diri merupakan gejala yang nampak dalam kehidupan kita pada umumnya. Penonjolan diri ini bersemi karena keadaan, karena cara hidup masyarakat kita. Semenjak kecil kita dijejali nilai-nilai, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu, bahkan sejak kelas nol, di sekolah ada sistim nilai dalam bentuk angka, di rumah ada pujian-pujian dan celaan-celaan bagi yang dianggap baik dan buruk, di dalam pergaulan pun nilai-nilai ini menentukan kedudukan seseorang, dalam olah raga timbul juara-juara.

Kita hidup menjadi budak-budak setia dari nilai-nilai. Kita hidup mengejar nilai-nilai sehingga dalam olah raga sekali pun, yang dipentingkan adalah pengejaran nilai, bukan manfaat olah raganya itu sendiri bagi kesehatan tubuh. Bahkan, untuk mengejar nilai, kita lupa diri dan olah raga bukan bermanfaat lagi bagi tubuh, bahkan ada kalanya merusak, karena tubuh diperas terlalu keras untuk mengejar nilai!

Karena sejak kecil hidup di dalam masyarakat dan dunia yang tergila-gila kepada nilai, maka agaknya sudah kita anggap wajar kalau kita selalu berusaha untuk menonjolkan diri. Kalau tidak menonjol, kita merasa rendah diri, merasa hampa dan hina, merasa bodoh dan tidak diperhatikan. Karena sejak kecil sekali kita diperkenalkan dengan pujian dan celaan, maka sejak kecil sekali pula kita berusaha untuk menonjolkan diri, untuk menarik perhatian orang-orang lain, hanya karena kita sudah haus akan nilai, haus akan pujian.

Kalau diri sendiri sudah tidak memungkinkan adanya penonjolan dan penghargaan orang lain atau pujian atau kekaguman, maka kita lalu membonceng kepada kepintaran anak kita, atau teman segolongan kita, atau juga suku atau bangsa kita. Bahkan banyak kita lihat penonjolan diri seseorang membonceng kepada burung perkututnya, atau mobilnya, atau bahkan membonceng kepada senjata pusaka, atau batu cincin istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Semua itu nampak jelas kalau kita mau membuka mata mengamati keadaan diri sendiri lahir batin dan mengamati keadaan sekeliling kita
.

Demikian pula halnya dengan Bi-kwi. Wanita ini tadinya merasa iri kepada Bi Lan dan membencinya. Hal itu karena penonjolan ke-aku-annya tersinggung, karena ia merasa kalah oleh Bi Lan. Akan tetapi sekarang, karena kekhawatiran akan terkalahkan oleh sumoi-nya itu dalam ilmu silat terbukti bahwa dialah yang lebih unggul, ia yang dapat menguasai sumoi-nya, perasaan iri itu pun menipis dan terganti perasaan bangga dan puas!

Setelah merasa bahwa dua orang muridnya itu sekarang cukup boleh diandalkan untuk melaksanakan tugas mereka, Sam Kwi memanggil mereka menghadap.

"Bi-kwi dan Siauw-kwi, kami merasa puas dengan kemajuan kalian. Besok kalian kami perkenankan untuk turun gunung dan mulai dengan tugas kalian. Dan untuk kepergian kalian besok pagi, malam ini kami ingin makan bersama kalian sebagai ucapan selamat jalan dan selamat bekerja. Lekas kalian persiapkan untuk pesta kita," kata Iblis Akhirat.

Dua orang wanita itu tersenyum girang, kemudian membuat persiapan untuk membuat masakan. Untuk keperluan ini, di tempat tinggal mereka itu terdapat segala macam bumbu masak. Sayur-mayur tinggal ambil di ladang belakang, sedang keperluan daging dapat dicari seketika di dalam hutan.

Tidak lama kemudian, tiga orang kakek itu bersama dua orang muridnya sudah duduk menghadapi bangku-bangku kasar dan makan bersama. Sam Kwi nampak gembira sekali. Iblis Akhirat yang pendek bundar itu banyak tertawa gembira, memuji-muji dua orang muridnya. Bahkan Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup yang biasanya pendiam, malam itu pun nampak tertawa-tawa. Hari telah mulai gelap ketika mereka mengakhiri makan bersama itu.

Tiba-tiba Iblis Akhirat mengeluarkan sebuah guci arak yang disimpannya sendiri. Guci itu berwarna merah dan dia berkata. "Bi-kwi dan Siauw-kwi, sebelum kita menyelesaikan pesta dan pergi beristirahat, kami bertiga ingin memberi ucapan selamat jalan kepada kalian dengan masing-masing dari kita menghidangkan satu cawan arak!"

Bi Lan mengangkat muka memandang kakek itu, alisnya berkerut akan tetapi mulutnya tersenyum. "Akan tetapi, suhu tahu bahwa teecu tidak pernah minum arak! Kalau suci memang biasa minum, akan tetapi teecu..."

Tiba-tiba Bi-kwi tertawa dan dengan ramah dan gembira berkata, "Sumoi, apa salahnya sekali-kali mencobanya? Apa lagi kalau suhu-suhu kita yang menghadiahkan, harus kita terima."

Tiga orang kakek itu semenjak tadi memang sudah minum arak. Wajah mereka sudah menjadi merah dan sinar mata mereka yang tertimpa sinar lampu berkilauan.

"Benar kata Bi-kwi, Siauw-kwi. Engkau pun harus menerima ucapan selamat jalan kami melalui arak!" Iblis Akhirat menuangkan arak dari gucinya itu ke dalam dua buah cawan arak, lalu memberikan dua cawan itu kepada Bi-kwi dan Bi Lan. "Lagi pula arak ini bukan arak yang keras, melainkan halus dan lezat, harum dan manis. Minumlah!"

Sambil tersenyum Bi-kwi sudah minum dari cawannya, sekali tenggak habislah arak itu memasuki perut melalui tenggorokannya. Bi Lan merasa tidak enak jika menolak, maka dia pun minum arak itu sampai habis. Memang benar kata Iblis Akhirat, arak itu tidak terlalu keras, harum dan agak manis.

Kini Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup masing-masing menyuguhkan secawan arak. Tanpa ragu lagi Bi-kwi meminumnya, diikuti oleh Bi Lan. Tetapi setelah menghabiskan tiga cawan arak itu, Bi Lan langsung memejamkan mata, merasa kepalanya berat dan agak pening.

Tiba-tiba saja Iblis Akhirat menubruknya dari belakang dan sebelum gadis yang sama sekali tidak curiga ini maklum apa yang terjadi, gurunya itu telah menotok jalan darah di kedua pundaknya. Dia pun menjadi lemas, kaki tangannya tidak dapat digerakkannya lagi.

"Suhu, apa yang suhu lakukan ini?" tanyanya heran ketika kini Raja Iblis Hitam yang tinggi besar itu sudah memondong tubuhnya.

Tiga orang kakek itu tertawa dan Bi Lan melihat betapa Bi-kwi tidak pusing seperti dia. Namun suci-nya itu bangkit berdiri dan memandang kepada guru-guru mereka dengan alis berkerut. Dan anehnya, suci-nya juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian, mengingatkan ia akan sikap suci-nya pada waktu yang sudah-sudah.

"Ha-ha-ha, Siauw-kwi. Engkau belum menjadi Iblis Cilik yang sesungguhnya sebelum menjadi milik kami. Malam ini engkau harus melayani kami bertiga, baru engkau benar-benar lulus ujian dan menjadi murid kami yang baik seperti Bi-kwi."

Bi Lan terbelalak. Biar pun ia kurang pengalaman dan kurang pergaulan, tapi nalurinya membisikkan apa arti ucapan gurunya itu. Ia sudah tahu akan keadaan suci-nya, yang selain menjadi murid terkasih, juga suci-nya kadang-kadang tidur dengan guru-gurunya! Karena sudah terbiasa oleh watak Sam Kwi dan Bi-kwi yang aneh-aneh, maka ia pun tidak peduli. Tetapi sekarang, agaknya tiga orang gurunya yang seperti iblis itu hendak mengorbankan dirinya pula!

"Tidak...! Tidak...!" Ia berseru dengan perasaan ngeri. "Aku tidak mau! Sampai mati pun aku tidak mau!"

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat tertawa dan baru sekali ini Bi Lan mendengar suara ketawa itu sebagai suara yang amat menyeramkan dan baru sekarang ia melihat betapa wajah tiga orang kakek itu mengerikan dengan sinar mata mereka yang menakutkan pula. Baru sekarang ia melihat betapa buruk dan jahatnya tiga orang gurunya ini.

"Heh-heh-heh, Siauw-kwi. Sikapmu begini sungguh tidak pantas, seolah-olah engkau bukan murid kami saja! Sekali waktu, sebagai seorang wanita, engkau tentu juga akan mengalami hal itu, dan tidak ada kehormatan yang lebih besar dari pada melayani guru-gurumu seperti Bi-kwi!"

"Tidak! Aku lebih baik mati! Suhu bertiga boleh bunuh aku, akan tetapi aku tidak sudi...!" Bi Lan berteriak-teriak dan berusaha untuk meronta, akan tetapi tangannya tak dapat ia gerakkan.

Dalam kengerian dan rasa takutnya, juga dia merasa heran dan tidak dapat dimengerti mengapa tiga orang suhu-nya yang tadinya menyayangnya seperti cucu sendiri, kini tahu-tahu berubah seperti tiga ekor serigala yang hendak menerkamnya. Hampir ia tidak percaya dan meragukan apakah ia tidak berada dalam sebuah mimpi buruk.

"Engkau tidak akan mati, akan tetapi melayani kami malam ini, mau atau tidak mau!" tiba-tiba Raja Iblis Hitam membentak dan hal ini juga mengejutkan hati Bi Lan. Di dalam suara ini lenyaplah semua getaran kasih sayang seperti yang biasa dia rasakan dari guru-gurunya ini, yang ada hanya getaran nafsu yang menjijikkan.

"Tinggal pilih, melayani kami dengan suka rela atau harus kami perkosa!" bentak pula Iblis Mayat Hidup dan sepasang mata kakek kurus kering ini yang biasanya sudah mencorong itu kini bertambah seperti ada api menyala di dalamnya.

Bi Lan terkejut bukan main. Mukanya pucat dan tanpa disadarinya kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ia tidak melihat jalan keluar dan ia sudah tidak berdaya. Kini terbukalah matanya dan baru ia tahu bahwa tiga orang gurunya itu benar-benar bukan manusia lagi, melainkan tubuh-tubuh yang sudah dirasuki roh-roh jahat yang tak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga.

"Ha-ha-ha, tak perlu menangis, Siauw-kwi. Kami hanya akan memberi satu kehormatan kepadamu, membuatmu dewasa. Sepatutnya kau berterima kasih, bukannya menangis. Dan yang dikatakan mereka tadi benar. Mau tidak mau engkau harus melayani kami malam ini. Tentu saja kami menghendaki engkau melayani kami dengan suka rela. Kami beri waktu selagi kami memuaskan diri minum arak untuk mempertimbangkan. Kalau engkau tetap menolak, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dan hal itu sungguh amat tidak menyenangkan," kata Iblis Akhirat sambil tersenyum, akan tetapi bagi Bi Lan, senyumnya tidak ramah lagi melainkan seperti iblis menyeringai.

"Bi-kwi, bawa ia ke dalam kamar dan jaga baik-baik sampai kami bertiga selesai minum. Dan heh-heh, jangan khawatir, engkau pun akan mendapat bagian dari kami!"

Bi-kwi mengangguk dan mencengkeram punggung baju Bi Lan, lalu dijinjingnya tubuh Bi Lan seperti orang menjinjing seekor keledai yang akan disembelih. Bi-kwi nampak diam saja. Ia tadi termenung dan berpikir keras menghadapi peristiwa yang akan menimpa diri sumoi-nya.

Tentu saja ia tidak peduli kalau sumoi-nya diperkosa oleh ketiga orang guru mereka, tidak peduli apa yang akan menimpa diri sumoi-nya yang tidak disukanya. Akan tetapi, dalam menghadapi setiap peristiwa, Bi-kwi selalu memperhitungkan dan mencari kalau-kalau ada hal yang akan dapat menarik keuntungan bagi dirinya sendiri.

Ia membayangkan bahwa kalau sumoi-nya sampai diperkosa oleh tiga orang gurunya, maka mulai saat itu sumoi-nya telah menduduki tempat yang lebih tinggi lagi, menjadi kekasih tiga orang gurunya. Sebagai wanita yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak pria dalam hal ini, ia membayangkan betapa setelah memperoleh yang baru dan yang muda, tiga orang gurunya tentu akan mengesampingkan dirinya. Dengan demikian, dalam mengambil hati guru-gurunya, ia akan kalah pula oleh sumoi-nya!

Jadi, kalau sumoi-nya sampai menjadi korban Sam Kwi, walau pun pada mulanya dia merasa puas bahwa sumoi itu menderita mala petaka itu, akan tetapi pada akhirnya sumoi-nya yang akan mendapat keuntungan dan ia malah menderita rugi! Maka ia lalu membayangkan hal sebaliknya dan mencari kemungkinan agar supaya dia memperoleh keuntungan sebanyaknya dari hal sebaliknya itu.

Sumoi-nya sekarang adalah seorang yang cukup lihai, mungkin hanya kalah sedikit olehnya, kalah dalam hal ilmu baru Sam Kwi Cap-sha-kun itu saja. Dengan demikian berarti bahwa sumoi-nya dapat menjadi pembantunya yang sangat berharga, menjadi pembantunya yang tenaganya boleh diandalkan. Dan ia merasa betapa perlunya tenaga seperti itu.

Sudah banyak ia mencari pembantu, bahkan Tee Kok ketua Ang-i Mo-pang dapat ditarik menjadi pembantunya, namun kepandaian orang itu bersama kekuatan anak buahnya belum dapat diandalkan benar. Jika ia dapat menguasai sumoi-nya, jika sumoi-nya mau membantunya dengan sungguh-sungguh dalam usahanya merampas Liong-siauw-kiam kembali, tentu hasilnya lebih dapat diharapkan.

Dengan kasar ia lalu melemparkan tubuh sumoi-nya yang tak mampu bergerak itu ke atas pembaringan, lalu ia pun duduk di dekatnya.

"Hemmm, dapatkah kau membayangkan apa yang akan dilakukan oleh tiga orang tua bangka itu terhadap tubuhmu? Tubuhmu yang muda dan mulus itu akan digeluti, akan dinodai dan dipermainkan sampai mereka bertiga puas! Setelah mereka selesai engkau sudah akan rusak sama sekali dan tak mungkin dapat dipulihkan kembali! Engkau akan merasa terhina, muak dan jijik, akan tetapi setiap kali mereka menghendaki, engkaulah yang harus merangkak kepada mereka seperti anjing kelaparan! Senangkah hatimu membayangkan itu semua?"

Air mata sudah jatuh berderai dari kedua mata Bi Lan pada waktu ia mendengar ucapan suci-nya itu. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala berkali-kali dengan perasaan ngeri terbayang pada wajahnya. Akan tetapi, ia tahu bahwa suci-nya tidak akan mau menolongnya, maka percuma sajalah andai kata ia akan minta tolong juga. Agaknya pikirannya ini dapat diduga oleh Bi-kwi.

"Hayo katakan! Hayo bilang bahwa kau minta tolong padaku!"

Bi Lan berbisik, "Tidak ada gunanya. Engkau tentu bahkan akan mengejekku. Engkau tentu girang melihat keadaanku, engkau tentu puas karena melihat aku yang kau benci ini mengalami penderitaan hebat..."

"Hemmm, belum tentu," kata Bi-kwi. "Lihat sumoi macam apa engkau ini, baru aku akan mengambil keputusan. Tak perlu kusangkal, memang aku tidak suka kepadamu, sumoi, karena kehadiranmu hanya merugikan aku. Akan tetapi, jika saja engkau dapat berguna bagiku, tentu saja aku tidak ingin melihat engkau celaka. Ada budi ada balas, tentu engkau mengerti, bukan?"

"Apa... apa maksudmu?"

"Maksudku, kalau engkau mau melakukan sesuatu untukku, tentu aku pun akan mau melakukan sesuatu untukmu. Ada budi ada balas!"

"Apa yang harus kulakukan dan apa yang akan kau lakukan?"

"Misalnya, engkau berjanji untuk membantuku mati-matian dan sekuat tenaga untuk merampas Liong siauw-kiam kembali, lalu membantuku sampai aku berhasil menjadi bengcu..."

"Bukankah itu tugas kita?"

"Tadinya memang begitu, akan tetapi kalau engkau mau berjanji melakukan itu untuk aku, bukan untuk suhu, nah, misalnya engkau mau berjanji melakukan itu, mungkin aku mau membebaskan totokanmu dan mengajakmu lari sekarang juga."

Berdebar rasa jantung di dalam dada Bi Lan. Inilah dia satu-satunya kesempatan. Dan menjanjikan seperti yang diminta suci-nya itu bukan berarti berjanji untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.

"Baiklah, suci, aku berjanji."

"Sumpah?"

"Sumpah!"

"Baik, tanpa janji dan sumpah sekali pun, kalau engkau mengingkari, setiap waktu aku akan dapat membunuhmu," kata Bi-kwi. Dia pun cepat membebaskan totokan dari tubuh Bi Lan, kemudian mengajak sumoi itu untuk diam-diam melarikan diri melalui jendela.

Tiga orang kakek yang menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Bi-kwi, tak menduga sama sekali dan mereka masih enak-enak minum arak sambil main tebak jari untuk menentukan siapa pemenang pertama, ke dua dan ke tiga yang berhak menggauli Bi Lan lebih dahulu.

Setelah minum arak cukup banyak, arak yang tadi disuguhkan oleh Bi Lan, yang tidak mengandung racun atau pembius melainkan arak yang tua dan amat keras sehingga tadi Bi Lan yang tidak biasa minum arak itu menjadi pening dan setengah mabok, tiga orang kakek itu lalu sambil tertawa-tawa masuk ke dalam dan menghampiri kamar Bi Lan, dengan harapan bahwa murid mereka itu akan menyambut mereka dengan suka rela sehingga mereka tidak perlu mempergunakan paksaan, seperti yang terjadi pada Bi-kwi dahulu.

Dapat dibayangkan betapa heran dan juga marah hati mereka ketika melihat betapa kamar itu sudah kosong. Bi-kwi mau pun Siauw-kwi tidak nampak bayangannya lagi! Tanpa mencari pun tahulah mereka bahwa kedua orang murid itu telah pergi tanpa pamit. Mereka lalu duduk berunding.

"Tidak mungkin Siauw-kwi bisa membebaskan sendiri totokannya. Aku yang melakukan totokan dan dalam waktu sedikitnya tiga jam ia tidak akan dapat bebas, kecuali kalau ada yang membebaskannya," kata Raja Iblis Hitam penasaran.

"Dan yang dapat membebaskannya hanyalah Bi-kwi, satu-satunya orang yang berada di sini."

"Akan tetapi Bi-kwi tidak akan mengkhianati kita."

"Mungkin Bi-kwi hanya iri dan tidak ingin melihat kita mendekati sumoi-nya, maka ia membebaskannya dan mengajak sumoi-nya pergi tanpa pamit melaksanakan tugas mereka."

"Itu lebih tepat. Mereka tentu akan melaksanakan tugas mereka dan mereka hanya ingin menghindarkan apa yang kita kehendaki malam ini."

"Akan tetapi bagaimana jika mereka benar-benar mengkhianati kita? Habislah harapan kita dan hancurlah semua jerih payah kita."

"Ahh, kita tidak perlu bingung," akhirnya Iblis Akhirat berkata. "Hanya ada dua hal yang akan terjadi. Pertama, mereka tidak berkhianat dan hanya menghindarkan maksud kita terhadap Siauw-kwi. Kalau memang benar demikian dan mereka kelak pulang, masih belum terlambat untuk mendapatkan Siauw-kwi yang manis. Dan ke dua, kalau benar mereka itu berkhianat, kita cari mereka dan kita bunuh mereka."

"Bagus, dan kita sudah terlalu lama menganggur di sini, mari kita pergi mencari mereka dan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

Demikianlah, pada keesokan harinya, tanpa tergesa-gesa, tiga orang kakek iblis itu pun turun dari Thai-san untuk mencari dua orang murid mereka.....

********************

Dengan cerdik Bi Lan dapat mengambil Ban-tok-kiam ketika ia diajak pergi oleh suci-nya malam itu, dengan alasan bahwa ia hendak kembali sebentar mengambil pakaiannya. Bi-kwi menanti di bawah puncak tanpa curiga dan dengan menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, Bi Lan mengikuti suci-nya yang membawanya lari menuju ke selatan.

Perjalanan ini mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati Bi Lan. Semenjak kecil, dalam usia sepuluh tahun, ia telah ikut bersama Sam Kwi yang membawanya tinggal di gunung-gunung dan di tempat-tempat sunyi. Jarang Bi Lan memperoleh kesempatan bergaul dengan orang lain dan ia hanya mengenal keadaan dunia melalui cerita tiga orang gurunya dan suci-nya saja. Paling banyak, ketika ia masih ikut suhu-suhu-nya, ia hanya melihat dusun-dusun dan bertemu dengan penduduk dusun dan pegunungan yang hidup sederhana.

Oleh karena itu, setelah kini melakukan perjalanan bersama Bi-kwi, memasuki kota-kota besar, Bi Lan merasa gembira sekali, gembira dan penuh keliaran memandangi rumah-rumah besar di dalam kota, toko-tokonya dan keramaian kota. Mulai teringat pulalah kehidupan di dunia ramai yang ditinggalkan semenjak ia berusia sepuluh tahun itu.

Kenyataan yang mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat kerusakan-kerusakan dan bekas kehancuran sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan di selatan. Juga ia harus menahan perasaannya ketika ia dan suci-nya memasuki kota-kota besar, ia melihat betapa pandang mata kaum pria yang ditujukan kepada ia dan suci-nya, hampir semua mengandung kekurang ajaran dan nafsu birahi yang menjijikkan. Ia melihat seolah-olah kaum pria itu, sebagian besar, memiliki mata serigala yang melihat kelinci-kelinci montok lewat di depan hidung mereka!

Bi Lan adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun lebih. Biar pun pengalamannya dengan kaum pria dapat dikata nol, akan tetapi naluri kewanitaannya dapat menangkap semua pandang mata kaum pria itu yang membuat gadis ini selain heran juga terkejut dan tidak enak, merasa canggung dan ngeri, seolah-olah dikepung bahaya. Akan tetapi, jauh di dalam batinnya terdapat pula suatu perasaan aneh, perasaan bangga dan senang yang dengan keras ditutupnya. Ia tidak tahu bahwa semua perasaan wanita, semenjak ia dewasa, sama dengan perasaannya itu.

Sudah menjadi watak pria yang sesuai dengan naluri dan kejantanan mereka untuk tertarik apa bila melihat wanita muda yang cantik. Pandang mata mereka selalu akan menempel pada penglihatan itu seperti bubuk-bubuk besi menempel pada semberani sehingga pandang mata mereka mengandung kekaguman dan kemesraan. Dan justeru naluri alamiah wanita adalah butuh akan kekaguman dari kaum pria ini.

Tidak ada wanita yang tidak merasa bangga dan senang dikagumi pandang mata pria, walau pun hukum-hukum kesopanan dan kesusilaan memaksa wanita itu pura-pura tak senang, atau bahkan marah, atau setidaknya akan menyimpan rasa bangga dan senang ini jauh di dalam hatinya sendiri sebagai suatu rahasia pribadinya. Inilah sebabnya mengapa wanita paling mudah jatuh menghadapi rayuan-rayuan mulut manis. Dan kelemahan wanita inilah yang digunakan oleh para pria petualang asmara untuk menjatuhkannya dengan rayuan-rayuan dan pujian-pujian.

Bi-kwi mengajak Bi Lan memasuki Propinsi Yunan. Pada waktu itu, pemberontakan telah berhasil dipadamkan dan Propinsi Yunan sudah menjadi tenang dan tenteram lagi. Rakyat di daerah itu yang paling parah menderita akibat perang pemberontakan, kini telah kembali ke daerah masing-masing. Yang kehilangan rumah kini mulai membangun kembali dari bawah dan biar pun masih nampak bekas reruntuhan akibat perang, tetapi agaknya para penghuninya sudah merupakan peristiwa menyedihkan itu dan tidak lagi terbayang ketakutan pada wajah mereka.

Pada suatu pagi, tibalah dua orang wanita itu di kota Kun-ming yang merupakan kota terbesar di Propinsi Yunan. Karena dalam perjalanan itu Bi-kwi memilih jalan terdekat, maka jarang mereka melewati kota besar, hanya dusun-dusun dan kota-kota kecil. Maka begitu memasuki kota besar Kun-ming di selatan ini, Bi Lan memandang penuh kekaguman.

Ia masih ingat bahwa keluarga orang tuanya juga datang dari Yunan selatan. Ketika perjalanannya membawanya sampai di Propinsi Yunan, mendengar suara percakapan orang-orang di dusun-dusun yang dilewatinya saja sudah mendatangkan keharuan di hatinya, mendatangkan keyakinan bahwa memang ia berasal dari Yunan. Ia mengenal betul logat bahasa daerah Yunan. Walau pun ia sendiri kini sudah berlogat lain, namun logat bahasa selatan itu tidak asing baginya, bahasa orang tuanya, bahasanya ketika ia masih kecil.

Hari itu masih pagi, akan tetapi jalan-jalan raya di kota Kun-ming sudah ramai oleh mereka yang pergi ke pasar-pasar. Banyak toko yang masih tutup, akan tetapi toko-toko yang sudah buka merupakan penglihatan yang mendatangkan kagum dan heran di hati Bi Lan.

Berkali-kali ia bertanya kepada Bi-kwi arti dari tulisan-tulisan yang terpampang di depan toko-toko atau rumah-rumah besar sehingga Bi-kwi menghardiknya untuk diam. Bi-kwi merasa jengkel karena sejak tadi harus menerangkan arti tulisan-tulisan yang hanya merupakan nama-nama dari toko yang mereka lewati atau kata-kata reklame toko untuk menarik langganan.

Memang Bi Lan seorang gadis buta huruf. Ia hanya puteri seorang petani yang tidak sempat menyekolahkannya. Sejak berusia sepuluh tahun ia ikut dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang sama sekali tak peduli akan pendidikannya, malah menganggap bahwa melek huruf merupakan hal yang tidak ada gunanya bagi wanita! Tetapi Bi-kwi sempat mempelajari baca tulis walau pun hanya secara sederhana.

Ketika mereka melewati sebuah rumah makan besar yang sudah buka, hidung mereka dilanggar bau masakan yang sedap dan perut mereka segera memberi isyarat bahwa semenjak kemarin siang mereka belum makan apa-apa. Bi-kwi memberi isyarat kepada sumoi-nya dan mereka pun melangkah ke arah restoran itu.

Bi Lan tersenyum girang. "Wah, kalau yang ini tidak perlu kau ceritakan, suci. Aku tahu bahwa di sini tentu dijual makanan enak."

Mau tidak mau Bi-kwi tersenyum juga. "Engkau memang gadis tolol. Tak perlu banyak bertanya, lihat saja dan kau tentu akan mengerti sendiri."

Seorang pelayan menyambut dua orang tamu ini dan wajahnya tersenyum gembira ketika dia melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik dan manis-manis. Dia memandang dengan sinar mata penuh selidik.

Seorang adalah wanita berusia tiga puluh tahunan, berpakaian mewah dan indah, sinar matanya genit, wajahnya manis dan bertambah cantik oleh riasan muka, seorang wanita yang matang dan menarik. Orang ke dua adalah jelas merupakan seorang gadis yang baru mekar, berpakaian sederhana sekali, bahkan mukanya tanpa bedak, akan tetapi kulit muka itu jauh lebih halus dan mulus dibandingkan dengan wanita pertama, dan bentuk tubuh gadis belasan tahun itu demikian ramping seolah-olah pinggangnya dapat dilingkari empat jari tangan si pelayan.

"Selamat pagi, nona-nona. Apakah ji-wi hendak sarapan?"

Bi-kwi mengangguk.

"Silahkan masuk, ji-wi siocia, silahkan duduk."

Pelayan itu membawa mereka ke sebuah meja di sudut, di mana para pelayan dan pengurus rumah makan dapat melihat mereka dengan jelas. Sebaliknya tempat ini pun menyenangkan hati Bi-kwi karena di sini dia dapat duduk sambil melihat ke semua penjuru, juga ke arah jalan raya di depan restoran.

Tidak banyak tamu di restoran itu sepagi ini. Hanya ada lima meja yang terisi, di antara tiga puluh lebih meja di ruangan yang cukup luas itu. Bi-kwi lalu memesan makanan dan minuman. Bi Lan tidak pernah membuka mulut, membiarkan suci-nya yang memesan makanan apa saja karena ia tidak tahu harus memilih apa. Akan tetapi ia teringat akan minuman dan berbisik.

"Suci, aku minum teh saja, teh panas."

Mendengar ini, pelayan itu tersenyum lebar dan memandang kepada Bi Lan sambil mengangguk. "Kami terkenal dengan teh kami yang harum, nona."

Bi-kwi mengangkat mukanya memandang wajah pelayan itu. Sinar matanya menyambar seperti dua batang anak panah, dan muka yang tadinya menyeringai dalam senyum ramah itu segera berubah dan si pelayan menunduk dan membungkukkan tubuhnya. Dia terkejut melihat sepasang mata yang jeli itu seperti berapi, dan tahu bahwa wanita itu marah, maka dia tidak berani lagi bersikap main-main.

"Apakah arakmu juga sebaik tehmu?" tanya Bi-kwi ketus.

Pelayan itu membungkuk-bungkuk. "Tentu, tentu... nyonya, arak kami..."

"Brakkk!"

Bi-kwi menggebrak meja sehingga pelayan itu terkejut. Bi Lan menahan ketawanya karena geli melihat sikap suci-nya dan pelayan itu.

"Suci bukan nyonya, masih nona," katanya karena ia dapat menduga mengapa suci-nya marah-marah disebut nyonya.

"Ohhh... ehhh... nyo... nona, maafkan saya."

Melihat si pelayan menjadi gagap gugup, Bi Lan tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tanpa menutupi mulutnya karena ia memang tak pernah diajar sopan santun seperti orang-orang kota, seperti wanita-wanita yang dianggap sopan kalau menutupi mulut ketika tertawa. Hal ini tentu saja menarik perhatian para tamu lain yang duduk di situ dan mereka pun menengok, lalu ikut tersenyum melihat betapa seorang gadis, agaknya gadis dusun, tertawa begitu gembira.

"Sumoi, diam kau!" Bi-kwi mendesis dan Bi Lan menahan ketawanya. "Dan kau jangan cerewet dan ceriwis!" bentak Bi-kwi kepada si pelayan. "Cepat sediakan teh panas, arak baik dan nasi, daging panggang dan dua mangkok sayur yang paling enak!"

Kini pelayan itu tidak berani banyak lagak lagi. Dia membungkuk-bungkuk. "Baik, nona. Baik, nona..."

Akan tetapi saking gugupnya, ketika dia meninggalkan meja itu dan menghampiri meja pengurus untuk melaporkan pesanan, ia lupa berapa banyak sayuran yang tadi dipesan Bi-kwi, maka dengan muka kecut terpaksa dia menghampiri lagi meja dua orang wanita itu. Hal ini tak lepas dari perhatian Bi Lan yang merasa betapa orang ini lucu sekali.

"Maaf, nona. Tadi... pesanan sayurnya berapa banyak?"

Bi-kwi sudah hampir menghardiknya, akan tetapi didahului oleh Bi Lan yang membentak dengan wajah tersenyum geli.

"Dua mangkok!" Bentaknya nyaring, amat mengejutkan si pelayan dan kembali menarik perhatian para tamu.

Setelah si pelayan pergi, baru Bi-kwi mengomel kepada sumoi-nya. "Tidak perlu engkau tertawa dan berteriak-teriak seperti itu. Apakah engkau ingin menarik perhatian semua orang?"

"Maaf, nyo... eh, nona..." Bi Lan menirukan suara dan gaya si pelayan sehingga Bi-kwi terpaksa menyeringai gemas.

Bi Lan adalah seorang gadis yang pada hal dasarnya memiliki dasar watak gembira dan lincah jenaka. Kalau tadinya ia bersikap aneh, hal itu adalah karena ulah suci-nya yang memberi pelajaran yang menyesatkan sehingga pikirannya bingung dan agak berubah. Akan tetapi setelah ia menerima pengobatan dari Pendekar Naga Sakti dan isterinya, dan sembuh sama sekali dari pengaruh hawa beracun, dasar wataknya itu pun muncul kembali.

Maka, setelah dia berada di dalam kota dan merasa gembira dapat melihat daerah asalnya, kegembiraannya timbul dan melihat ulah pelayan yang demikian lucu, dia pun segera menggodanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar