Suling Naga Jilid 51-55(Tamat)

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Suling Naga Jilid 51-55(Tamat) Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan Hong Li melihat salah seorang di antara anggota rombongan penyerbu terperosok ke dalam pasir berputar!

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan Hong Li melihat salah seorang di antara anggota rombongan penyerbu terperosok ke dalam pasir berputar! Nah, sudah mulai, pikirnya dengan hati penuh kengerian. Dari menara itu ia melihat betapa orang yang terperosok itu meronta-ronta dan sebentar saja tubuhnya sudah tersedot pasir sampai ke dada.

Akan tetapi, kakek yang memimpin rombongan itu ternyata cukup cerdik juga. Ia telah mengambil segulung tali yang agaknya memang sudah dipersiapkan dan melemparkan ujung tali ke arah orang yang terperosok. Orang itu menangkap ujung tali dan dia pun ditarik keluar dari kubangan pasir maut.

Hong Li menarik napas lega. Betapa pun jahatnya orang-orang itu, hati kecilnya tidak menyetujui niat subo-nya yang agaknya hendak membunuh mereka semua. Biar pun ia suka sekali mempelajari ilmu silat, namun ia tidak suka melihat pembunuhan, apa lagi kalau pembunuhan itu dilakukan hanya karena urusan sepele saja. Kalau para penyerbu itu memang jahat, ia lebih suka melihat gurunya menghajar mereka saja tanpa perlu membunuh. Pembunuhan mendatangkan suatu rasa ngeri dalam hatinya.

Kini kakek yang memimpin rombongan itu, yang jenggotnya putih dan panjang, memberi aba-aba pada para anak buahnya untuk menyerbu terus dan jangan takut menghadapi jebakan-jebakan! Melihat betapa seorang temannya yang tadi terjebak dapat ditolong ke luar, anak buah Cin-sa-pang itu menjadi berani dan mereka menggunakan golok untuk membabati semak-semak yang menghadang di depan mereka.

Berhamburanlah daun-daun dan semak-semak sehingga Hong Li mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, orang-orang itu hendak merusak tumbuh-tumbuhan dan tempat tinggal gurunya akan menjadi buruk dan rusak keindahannya.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan empat orang di antara rombongan itu roboh, berkelojotan dan tidak mampu bangun kembali. Kakek berjenggot panjang dan anak buahnya yang lain terkejut, cepat memeriksa dan mereka terkejut melihat bahwa empat orang itu ternyata telah tewas dan di leher mereka nampak luka kecil menghitam. Di dalam luka itu masih nampak ujung sebatang jarum yang seluruhnya telah masuk ke dalam leher! Jelaslah bahwa empat orang itu tewas karena serangan senjata gelap, jarum-jarum beracun yang amat berbahaya.

"Awas senjata rahasia!" teriak kakek itu.

Sisa anak buahnya yang tinggal sebelas orang itu kini bersiap siaga dengan golok di tangan. Akan tetapi yang muncul bukan senjata rahasia, melainkan empat orang wanita yang tadi melepas jarum-jarum beracun itu. Sin-kiam Mo-li dan tiga orang pembantunya sudah berloncatan keluar dari balik semak-semak. Sin-kiam Mo-li marah bukan main melihat rombongan itu membabati tumbuh-tumbuhan di situ.

Kakek berjenggot putih panjang, bajak tunggal yang lihai dari Lan-cang itu lalu berseru, "Inilah siluman itu!" Dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Sin-kiam Mo-li.

Sedangkan Louw Pa yang berjuluk Cin-sa Pa-cu, sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu. Ia sendiri juga menggerakkan sepasang goloknya, membantu kakek berjenggot panjang untuk mengeroyok Sin-kiam Mo-li. Anak buahnya yang tinggal sepuluh orang lagi itu kini menerjang tiga orang wanita cantik yang berpakaian merah, putih, dan hitam dan segera terjadi perkelahian yang amat seru.

Melihat serangan pedang kakek berjenggot putih, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan dari hidungnya. Biar pun kakek itu termasuk seorang bajak tunggal yang lihai, namun melihat gerakan pedangnya, Sin-kiam Mo-li maklum bahwa kepandaian kakek itu tak ada artinya baginya. Dengan amat mudahnya ia pun mengelak dari sambaran pedang.

Louw Pa, ketua Cin-sa-pang telah menggerakkan sepasang goloknya lagi. Menghadapi serangan sepasang golok ini, Sin-kiam Mo-li dengan mudahnya meloncat mundur untuk mengelak. Ketika dua orang lawannya itu menerjang lagi, Sin-kiam Mo-li telah mencabut pedangnya. Begitu sinar pedang ini berkelebat, terdengar suara nyaring dan sepasang golok di tangan Louw Pa patah-patah!

Louw Pa menjadi pucat sekali dan dia sudah siap untuk meloncat ke belakang, namun terlambat. Ada berkas sinar terang menyambar dan tahu-tahu tubuhnya telah terjungkal dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Darah muncrat-muncrat dari leher yang terbabat putus oleh pedang di tangan Sin-kiam Mo-li itu!

Melihat ini, tentu saja kakek berjenggot putih terkejut bukan main. Tingkat kepandaian Louw Pa hanya selisih sedikit dengan kepandaiannya dan dalam segebrakan saja Louw Pa tewas dengan leher putus! Maklumlah dia bahwa wanita itu sungguh lihai bukan main. Akan tetapi hal ini sudah terlambat diketahuinya dan tidak ada lain jalan baginya kecuali memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.

"Tranggg... krekkk!"

Kembali pedang di tangan bajak laut itu patah. Sebelum dia sempat mengelak, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li sudah terbenam ke dalam dadanya! Sin-kiam Mo-li mencabut pedangnya sambil menendang tubuh di depannya itu. Tubuh kakek itu terlempar diikuti ceceran darah dari dadanya dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam kubangan lumpur. Sebentar saja ular-ular sudah menyeretnya tenggelam ke dalam lumpur itu.

Melihat betapa ketiga orang pelayannya dikepung oleh sepuluh orang anak-anak buah Cin-sa-pang, dengan geram Sin-kiam Mo-li menerjang maju. Pedangnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar orang menjerit dan empat orang di antara para pengeroyok itu roboh mandi darah terkena sambaran pedang Sin-kiam Mo-li. Menggiriskan sekali memang gerakan pedang wanita ini, dahsyat dan panas sehingga tidak mengherankan kalau ia dijuluki Iblis Betina Pedang Sakti.

Pada saat itu, di bagian selatan nampak ada asap tebal bergulung-gulung. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li terkejut dan tahulah ia bahwa rombongan ke dua telah beraksi. Melihat bahwa jumlah pengeroyok tinggal enam orang dan tiga orang pelayannya cukup kuat untuk mengatasi keenam orang itu, Sin-kiam Mo-li lalu berkata kepada mereka, "Bunuh mereka semua, jangan sampai ada yang lolos!" Dan setelah berkata demikian ia pun meloncat dan berlari cepat menuju ke tempat kebakaran di selatan.

Dari atas menara, Hong Li nonton semua itu dan mukanya berubah agak pucat, alisnya berkerut dan hatinya diliputi kengerian. Ia tadi melihat betapa gurunya menyebar maut dan dia masih bergidik melihat orang tinggi kurus yang memegang sepasang golok itu dibabat buntung lehernya oleh pedang subo-nya. Melihat pembantaian itu, beberapa kali ia memejamkan matanya dan hatinya terasa kacau dan gelisah.

Rasa sayang yang mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap subo-nya sekarang menjadi dingin. Tidak disangkanya, subo-nya yang demikian ramah tamah, lemah lembut dan nampaknya penuh kasih sayang, dapat bertindak sekejam itu, membunuhi orang seperti membunuh nyamuk saja!

Pada hal, semenjak kecil ayah dan ibunya selalu mengajarnya supaya menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, bukan menjadi pembunuh manusia mengandalkan ilmu silat yang dipelajarinya. Bahkan ayah dan bundanya selalu mencela perbuatan orang yang menggunakan ilmu silat sembarangan membunuh orang lain.

Antara lain ayahnya pernah berkata bahwa mungkin sekali kita membunuh orang lain dalam usaha membela diri dan membasmi kejahatan, tetapi bukan membunuh dengan tangan dingin terhadap lawan yang jelas-jelas tidak mampu melawan. Membunuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut dan membunuh untuk melawan perbuatan jahat yang dilakukan orang, berbeda dengan membunuh lawan yang tidak berdaya atau tidak mampu melawan.

Subo-nya tadi membunuhi lawan yang jelas bukan menjadi lawannya. Baru segebrakan saja subo-nya sudah membunuh tujuh orang, termasuk yang diserang dengan jarum beracun, dan kini tiga orang pelayan itu sedang berusaha keras untuk membunuh enam orang lagi, setelah mereka pun sudah membunuh tiga orang lawan dengan jarum-jarum mereka.

Akan tetapi perhatian Hong Li tertarik oleh gerakan subo-nya yang berlari cepat menuju ke selatan. Di sana ia melihat rombongan yang lainnya dari orang-orang Cin-sa-pang sedang membabati semak-semak, bahkan menumbangkan pohon-pohon dan sebagian malah membakar semak-semak! Ada pula tadi di antara mereka yang terperosok ke dalam kubangan lumpur dan pasir maut, namun teman-temannya, dipimpin oleh kakek berkepala botak, menyelamatkan mereka yang terperosok itu dengan tali.

Dan kini, sambil membabat dan membakar sana-sini, rombongan ini terus maju menuju ke rumah yang nampak gentengnya dari tempat mereka merusak tumbuh-tumbuhan itu.
Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang wanita cantik yang memegang pedang telah berada di depan mereka. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan sepasang mata berkilat-kilat.

Akan tetapi hal lain yang menarik perhatian Hong Li. Agaknya hanya ia seorang yang dapat melihat munculnya belasan orang dari arah selatan. Belasan orang ini berpakaian putih-putih dan di depan mereka berjalan tujuh orang yang berpakaian seperti pendeta dengan jubah panjang, rambut panjang digelung tinggi di atas kepala dan dari jauh saja Hong Li dapat menduga bahwa tujuh orang itu, yang bentuk tubuhnya berbeda-beda, tentulah pendeta-pendeta To, sedangkan belasan orang berpakaian seragam putih itu berjalan berpasangan seperti sebuah pasukan kecil!

Saat tiba di luar hutan yang menjadi batas daerah tempat tinggal subo-nya, rombongan orang itu berhenti, kemudian hanya tujuh orang pendeta itu yang terus memasuki hutan dan diam-diam Hong Li terkejut melihat betapa tujuh orang pendeta itu amat lihainya, meloncati begitu saja tempat-tempat jebakan dan kubangan-kubangan maut seolah-olah mereka telah hafal akan keadaan di tempat itu. Dan tak lama kemudian tujuh orang pendeta itu telah mendekati tempat di mana subo-nya sedang berhadapan dengan rombongan orang Cin-sa-pang.

Dengan kemarahan meluap karena melihat tempatnya dirusak orang, Sin-kiam Mo-li membentak, "Orang-orang Cin-sa-pang, kalau hari ini aku tidak dapat menumpas kalian semua, jangan sebut aku Sin-kiam Mo-li!"

Melihat munculnya wanita ini, kakek botak yang memimpin pasukan orang Cin-sa-pang itu memberi aba-aba dan belasan orang itu lalu mengepung Sin-kiam Mo-li. Sebelum Sin-kiam Mo-li bergerak, mendadak terdengar suara orang dan ternyata di situ telah muncul tujuh orang tosu.

"Siancai, Sin-kiam Mo-li yang gagah perkasa tak perlu turun tangan sendiri. Pinto dan teman-teman akan membasmi tikus-tikus kurang ajar ini!"

Sebelum Sin-kiam Mo-li sempat menjawab, tujuh orang itu telah menerjang. Mereka semua bertangan kosong menerjang kepungan itu dari luar. Orang-orang Cin-sa-pang terkejut dan menggerakkan golok untuk menyambut, akan tetapi mereka itu bagaikan sekumpulan laron melawan api saja.

Dalam beberapa gebrakan saja, enam belas orang termasuk kakek botak telah roboh semua terkena tamparan-tamparan tangan tujuh orang tosu tadi. Demikian mudahnya tujuh orang tosu itu memukul roboh dan menewaskan enam belas orang itu sehingga Sin-kiam Mo-li sendiri terkejut.

Kini ia memandang kepada tujuh orang tosu itu dengan alis berkerut, penuh curiga, juga khawatir. Ia maklum bahwa jika ia harus melawan tujuh orang tosu ini, tentu berbahaya karena mereka ini adalah lawan-lawan berat, bukan seperti orang-orang Cin-sa-pang yang tak tahu diri itu.

"Hemm, siapakah cu-wi totiang (bapak pendeta sekalian), dan mengapa mencampuri urusanku tanpa kuminta?" Sikapnya cukup hormat, tetapi juga tegas dan mengandung teguran-teguran karena hatinya merasa tidak senang bahwa ada orang-orang yang memperlihatkan kepandaian menolongnya, seolah-olah ia tadi terancam bahaya dan tak akan mampu menolong diri sendiri.

Seorang di antara mereka, kakek tinggi kurus berwibawa yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, membawa sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya, kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih tapi masih nampak segar dan penuh semangat, segera menjura.

"Sin-kiam Mo-li, harap maafkan pinto sekalian. Sudah lama pinto sekalian mendengar nama besar toanio (nyonya), akan tetapi belum sempat berkenalan. Kebetulan kami lewat bersama teman-teman dan timbullah keinginan untuk bertamu dan menyampaikan hormat kami. Melihat toanio dihadapi orang-orang kurang ajar itu, kami sebagai tamu merasa berkewajiban untuk turun tangan, mewakili toanio menghajar mereka. Harap mau memaafkan kelancangan kami dan menganggap hal itu sebagai uluran tangan persahabatan kami."

Sin-kiam Mo-li merasa senang melihat sikap yang hormat dari kakek itu, dan kini ia dapat melihat tanda gambar pat-kwa di dada kakek itu, dan gambar bunga teratai di dada beberapa orang kakek lain. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan tosu-tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, dua perkumpulan yang amat besar pengaruhnya, memiliki banyak orang-orang pandai, pandai silat dan pandai sihir, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah.

Maka, dia pun tidak berani main-main. Lebih baik bersahabat dari pada bermusuhan dengan orang-orang seperti mereka. Lagi pula, mereka ini sudah memperlihatkan sikap bersahabat, maka ia pun membalas penghormatan mereka.

"Terima kasih, cu-wi totiang baik sekali. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang membawa cuwi datang mengunjungi tempatku yang sunyi terpencil ini?"

"Toanio, bagaimana kalau kita bicara saja di dalam rumah? Kami membawa bahan percakapan yang amat penting."

Pada saat itu, muncullah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Mereka telah selesai pula membunuh enam orang sisa rombongan musuh yang tadi ditinggalkan Sin-kiam Mo-li. Melihat tiga orang pelayannya, Sin-kiam Mo-li cepat bertanya.

"Bagaimana dengan musuh-musuh itu?"

"Semua sudah tewas dan mayat-mayatnya sudah kami lenyapkan," kata Ang Nio.

"Bagus, sekarang Pek Nio berdua Hek Nio menyingkirkan mayat-mayat ini, dan engkau Ang Nio ikut bersamaku menyambut para tamu! Marilah, cuwi totiang, kita bicara di dalam rumah saja," katanya mempersilakan tujuh orang tosu itu.

Dengan wajah gembira tujuh orang pendeta itu mengikuti Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang di antara mereka tadi memandangi tiga orang pelayan cantik itu dengan mata mengandung gairah.

Sementara itu, Hong Li yang menyaksikan langsung pembunuhan yang dilakukan oleh rombongan tosu itu, menjadi makin ngeri dan heran. Bagaimana ada pendeta-pendeta yang demikian kejamnya, dalam waktu singkat membunuh enam belas orang demikian mudahnya dengan pukulan-pukulan tangan dan tendangan kaki mereka.

Selain lihai bukan main, juga para pendeta itu ternyata amat ganas dan kejam, hal yang sama sekali tidak dimengertinya. Menurut apa yang diceritakan ayah bundanya, para pendeta adalah orang-orang yang taat beragama, yang menjauhkan perbuatan jahat.

Akan tetapi mengapa sejak pertemuannya dengan Ang I Lama, juga seorang pendeta, sampai sekarang melihat tujuh orang tosu itu, para pendeta itu demikian jahatnya? Dan bagaimana pula subo-nya yang dianggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, kini mau menerima bantuan para pendeta kejam itu, bahkan kini mengajak tujuh orang pendeta itu menuju ke rumah sebagai tamu yang dihormati? Dengan hati mengandung perasaan tidak enak dan penasaran, Hong Li turun dari menara itu dan masuk pula ke dalam rumah.

Setelah tiba di dalam, ia langsung menuju ke ruangan dalam di mana ia mendengar suara para pendeta itu tengah bercakap-cakap dengan gurunya. Ia masuk dan melihat subo-nya duduk bersama tujuh orang pendeta itu menghadapi sebuah meja bundar dan Ang Nio sibuk mengeluarkan arak dan hidangan.

Kembali Hong Li terkejut. Para pendeta itu minum arak pula! Dan hidangan-hidangan itu pun semuanya berdaging!

Percakapan mereka terhenti ketika mereka yang sedang bercakap-cakap itu melihat munculnya Hong Li, dan Sin-kiam Mo-li lalu berkata kepada muridnya, "Hong Li, engkau bantulah Pek Nio dan Hek Nio berjaga-jaga di luar, waspadalah kalau-kalau ada lagi musuh datang menyerbu. Jangan masuk ke sini sebelum kupanggil karena aku sedang membicarakan urusan penting dengan para pendeta yang terhormat ini."

Hong Li mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada tujuh orang pendeta yang kesemuanya juga menengok kepadanya.

"Baik, subo," katanya lalu pergi dari ruangan itu. Akan tetapi ia masih dapat mendengar ucapan-ucapan para tosu itu yang membuatnya mendongkol.

"Itu muridmu? Aih, ia cantik dan berbakat sekali!"

"Manis dan mungil!"

Kemudian terdengar kata-kata pujian lain yang ditujukan untuk memuji kecantikan dan kemanisannya. Sungguh menyebalkan, pikirnya. Biar pun pujian bahwa ia cantik manis merupakan pujian biasa, akan tetapi di dalam suara para tosu itu terkandung sesuatu yang menyebalkan hatinya, juga pandang mata mereka tadi yang disertai senyuman menyeringai! Seketika timbul rasa tidak suka di dalam hatinya terhadap para pendeta ini, mungkin pertama kali timbul melihat mereka membunuhi orang-orang Cin-sa-pang tadi.

Setelah keluar dari ruangan itu, Hong Li keluar dari dalam rumah, akan tetapi ia tidak pergi mencari Pek Nio dan Hek Nio. Hatinya sedang mengkal dan ia pun tidak bernapsu lagi untuk membantu dua orang itu. Ia bukan hanya kecewa dan mendongkol terhadap subo-nya yang membunuhi orang, terhadap tujuh orang pendeta itu, akan tetapi juga mendongkol terhadap tiga orang pelayan yang dianggapnya juga kejam dan pembunuh-pembunuh berdarah dingin!

Maka ia kemudian pergi ke taman bunga di belakang, tempat yang paling disenanginya, tempat di mana dia selalu pergi menghibur diri di waktu ia merasa rindu kepada orang tuanya. Dan sekarang ini ia merasa amat rindu akibat guncangan batin yang dideritanya menyaksikan pembantaian tadi.

Rombongan para tosu itu memimpin belasan orang anak buah Pek-lian-pai. Tujuh orang tosu itu adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dan dalam kunjungan mereka kepada Sin-kiam Mo-li dipimpin sendiri oleh wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu Thian Kong Cinjin. Di antara mereka terdapat pula sute-nya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai. Ada pun yang empat orang lain adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Thian Kek Sengjin dan tiga orang adalah sute-nya, Coa-ong Sengjin si ahli ular, dan dua orang sute lain yang bernama Ang Bin Tosu si muka merah dan Im Yang Tosu yang congkak.

Tujuh orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari Pat-kwa-pai dan juga Pek-lian-pai. Mereka sengaja diutus oleh kedua pimpinan partai itu untuk menghubungi Sin-kiam Mo-li dan membujuk wanita sakti itu untuk mau bergabung dengan mereka dan memperkuat pasukan pemberontak mereka.

Dengan panjang lebar, para tosu itu menceritakan tentang perjuangan mereka, tentang harapan-harapan dan pamrih yang muluk-muluk dalam gerakan mereka, sambil tak lupa memamerkan kekuatan pasukan mereka. Mereka berusaha keras membujuk wanita itu untuk bergabung.

Mula-mula Sin-kiam Mo-li merasa ragu-ragu, akan tetapi ketika diingatkan bahwa wanita ini memiliki musuh-musuh yang berpihak kepada Kerajaan Mancu, yaitu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, diingatkan betapa ibu angkatnya, Kim Hwa Nionio, juga tewas di tangan keluarga itu dan kalau bergabung dengan mereka maka wanita itu lebih kuat dan lebih mudah membalas dendam, akhirnya Sin-kiam Mo-li menerima uluran tangan itu.

Dengan gembira para tosu itu kemudian mengatur rencana bersama Sin-kiam Mo-li, dan mengangkat wanita itu menjadi pemimpin pasukan yang terdiri dari anggota-anggota kedua partai itu bersama rakyat yang dapat mereka bujuk, untuk memimpin pasukan dan bergerak dari barat. Mereka terus bercakap-cakap dengan asyiknya sambil makan minum.

Tak lama kemudian, para tosu yang lihai itu sudah terpengaruh arak. Wajah mereka sudah menjadi merah, mereka tertawa-tawa dan kata-kata mereka semakin terlepas bebas. Tidak lama kemudian Ang Nio yang tadi hanya seorang diri saja melayani para tamu, kini telah dibantu oleh Pek Nio dan Hek Nio yang sudah kembali setelah selesai menyingkirkan semua mayat musuh yang berserakan. Datangnya dua orang pelayan cantik ini menambah kegembiraan para tosu dan mereka lalu berpesta pora dengan gembira.....

********************

Pada waktu para tosu itu membunuhi enam belas orang Cin-sa-pang, ada dua orang bersembunyi dan mengintai dari puncak sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat itu. Kedua orang ini adalah Sim Houw dan Bi Lan.

Mereka berdua sempat nonton pembantaian yang dilakukan tujuh orang tosu itu tanpa mampu turun tangan mencampuri karena ketika mereka naik ke atas pohon besar dan mengintai lalu dapat melihat perkelahian itu, hampir semua anggota Cin-sa-pang sudah terbunuh. Kedua orang pendekar ini bergidik penuh kengerian menyaksikan kekejaman itu, akan tetapi mereka juga amat terkejut melihat kehadiran para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu.

"Wah, kiranya mereka baru datang," kata Sim Houw kepada kekasihnya. "Kalau mereka sudah menggabungkan diri dengan wanita itu, keadaan di sini tentu sangat kuat. Kita tak boleh sembrono memasuki tempat ini, harus menyelidiki lebih dahulu apakah benar nona Hong Li berada di sini seperti yang kita duga."

Bi Lan mengangguk. "Memang berbahaya sekali tempat ini. Para tosu itu sudah amat lihai dan kalau mereka itu memilih Sin-kiam Mo-li sebagai sekutu, tentu wanita itu pun lihai bukan main. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio yang sakti. Kita memang harus berhati-hati. Lihat itu!"

Keduanya memandang dan kini melihat betapa Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu bersama tujuh orang tosu, diikuti oleh pelayan berpakaian merah yang cantik itu. Lalu mereka melihat betapa dua orang gadis lain, yang berpakaian serba putih dan serba hitam, juga cantik-cantik, menyeret mayat-mayat yang berserakan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam dua kubangan, pasir dan lumpur. Dan mereka melihat dengan hati ngeri betapa mayat-mayat itu disedot masuk dan tenggelam ke dalam kubangan-kubangan itu, kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas.

"Hemm, kubangan-kubangan itu sangat berbahaya," kata Sim Houw. "Merupakan suatu perangkap yang mengerikan, sekali kaki terperosok, akan sukarlah untuk keluar lagi. Dan lihat, kedudukan semak-semak belukar dan pohon-pohon itu, demikian teratur rapi merupakan barisan yang aneh. Aku yakin bahwa tempat ini memang merupakan tempat berbahaya yang mengandung penuh rahasia dan jebakan. Lihat, bukankah pepohonan itu tumbuh secara teratur dan dari sini berbentuk pat-kwa (segi delapan)! Pernah aku mendengar tentang ilmu mengatur barisan yang ditrapkan untuk membuat lorong-lororg rahasia yang menyesatkan dan berbahaya. Agaknya Sin-kiam Mo-li ahli pula dalam ilmu ini. Kita selidiki dulu dari luar, baru besok menyelinap ke dalam dengan hati-hati. Syukur kalau tujuh orang tosu itu sudah meninggalkan tempat ini."

Dua orang pendekar itu lalu turun dan mulai melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu. Dalam penyelidikan inilah mereka melihat belasan anak buah Pek-lian-pai sedang bergerombol dan menanti kembalinya para pimpinan mereka yang kini menjadi tamu Sin-kiam Mo-li. Juga mereka melihat lima buah perahu kosong yang tadi dipergunakan orang-orang Cin-sa-pang untuk menyerbu tempat itu.

"Lihat itu," Sim Houw tiba-tiba menunjuk ke sebuah jalur air yang berkelak-kelok seperti ular. "Itu merupakan jalan air yang mengalir dari atas bukit menuju ke Sungai Cin-sa ini. Tentu air hujan yang turun di atas bukit itu mengalir melalui jalan air itu dan kiranya jalan itulah yang paling aman."

"Akan tetapi, perlukah kita demikian berhati-hati sehingga kita harus masuk melalui jalan yang aman dan tersembunyi bagaikan pencuri? Koko, mengapa kita tidak masuk saja melalui jalan biasa, menghadapi semua jebakan dan terang-terangan minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, dan kita minta dikembalikannya Hong Li?"

Sim Houw menggelengkan kepala tanda tidak setuju. "Lan-moi, kita berurusan dengan pembebasan seorang tawanan, maka kita harus berlaku hati-hati supaya jangan sampai kita gagal menyelamatkan nona Hong Li. Kalau kita masuk berterang, maka terdapat banyak bahaya. Sin-kiam Mo-li bisa saja lebih dulu menyembunyikan anak itu sehingga tidak terdapat bukti bahwa ia yang menculiknya. Bahkan dapat saja ia membunuh anak itu untuk menghilangkan jejak. Pula, dengan adanya ketujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, lawan kita akan menjadi semakin berat."

"Akan tetapi kita dibantu oleh suci! Ahhh, mana suci Siu Kwi? Kenapa ia belum juga muncul?"

"Aku di sini, sumoi!"

Sesosok bayangan berkelebat dan Bi-kwi telah berdiri di depan mereka. Wajah wanita ini menjadi agak pucat. "Apakah kalian melihat apa yang kusaksikan tadi?"

Ia bergidik ngeri. Tadi ia memang sengaja berpencar dengan Bi Lan dan Sim Houw. Kalau kedua orang itu melakukan penyelidikan dengan jalan memutar dari barat lalu ke selatan, dan ke timur, Bi-kwi melakukan penyelidikan dari barat ke utara, lalu ke timur dan kini mereka bertemu di sebelah timur tempat itu.

"Pembantaian yang dilakukan oleh ketujuh orang tosu itu terhadap belasan orang yang menyerbu?" tanya Bi Lan.

Bi-kwi mengangguk. "Bukan cuma itu, juga di dekat sungai telah dibantai pula belasan orang. Sedikitnya ada tiga puluh orang yang tewas di tangan Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Ihhh, wanita itu sungguh lihai bukan main, juga memiliki kekejaman yang mengerikan!"

Diam-diam Bi Lan merasa heran dalam hatinya. Suci-nya memang benar telah berubah kalau dibandingkan dengan dahulu. Dahulu, sebelum suci-nya bertemu dengan Yo Jin, perbuatan yang tadi dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li itu belum tentu membuat matanya berkedip, apa pula merasa ngeri! Agaknya kini perasaan hati Bi-kwi juga sudah berubah sama sekali sehingga menyaksikan perbuatan kejam dilakukan orang, wajahnya sampai menjadi pucat dan suaranya agak gemetar.

"Dan tujuh orang pendeta itu pun mempunyai kepandaian tinggi. Tadi kami juga sempat menyaksikan pada waktu mereka membunuh belasan orang itu. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan," kata Sim Houw.

Bi-kwi mengangguk. "Kita harus mengatur siasat, tak boleh bertindak sembrono karena tempat ini penuh dengan jebakan-jebakan berbahaya. Dahulu, tiga orang suhu Sam Kwi pernah bicara tentang lorong rahasia yang mempergunakan bentuk pat-kwa. Sayang aku belum pernah mempelajarinya karena ketika itu kuanggap tidak perlu. Siapa kira kini kita dihadapkan dengan tempat yang dilindungi oleh lorong-lorong rahasia pat-kwa yang sulit dan berbahaya."

"Sebaiknya kalau kita berunding dulu di tempat penginapan kita. Besok saja kita turun tangan karena sebentar lagi tentu hari menjadi gelap dan lebih berbahaya lagi masuk ke tempat seperti ini. Mudah-mudahan besok para tosu itu telah pergi sehingga gerakan kita akan berhasil tanpa banyak kesukaran," kata Sim Houw.

Dua orang wanita itu setuju dan mereka pun cepat meninggalkan tempat itu menuju ke kota Teken di sebelah barat, kota yang kecil akan tetapi cukup ramai. Mereka bermalam di satu-satunya rumah penginapan yang terdapat di kota itu. Setelah tiba di tempat penginapan dan makan sore, malam itu mereka bertiga mengadakan perundingan dan mengatur siasat.

"Tidak ada lain jalan yang lebih baik," akhirnya Bi-kwi berkata setelah mendengarkan pendapat Sim Houw dan Bi Lan, "kecuali menggunakan siasat bersahabat. Kalau kita mempergunakan kekerasan menyerbu, tentu anak itu akan disingkirkan lebih dulu dan kalau sudah demikian, sukarlah bagi kita untuk mencarinya. Tanpa bukti adanya anak itu, kita tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Sin-kiam Mo-li. Maka, mengingat bahwa ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nionio, paling baik kalau aku datang berkunjung sebagai seorang sahabat, sebagai seorang dari satu golongan."

"Akan tetapi, suci! Siapa bilang engkau satu golongan dengan orang macam Sin-kiam Mo-li yang kini bergabung dengan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw? Mereka adalah orang-orang jahat, dari golongan sesat, sedangkan engkau..."

Bi-kwi melambaikan tangan. "Sudahlah, sumoi. Lupakah engkau siapa aku ini dahulu? Memang aku telah mencuci tangan dan hatiku, akan tetapi semua ini hanya digunakan sebagai siasat saja. Mengingat bahwa aku adalah murid Sam Kwi, mudah-mudahan ia mau menerimaku sebagai tamu, apa lagi mengingat bahwa aku pernah bekerja sama dengan ibu angkatnya. Tentu ia ingin sekali mendengar dari mulutku sendiri yang dulu bekerja sama dengan Kim Hwa Nionio, tentang perkelahian itu dan juga bagaimana ibu angkatnya tewas. Nah, sebagai tamu, aku tentu akan dapat bertemu dengan anak itu kalau memang benar anak itu berada di sana. Ia tentu tidak akan merahasiakan adanya anak itu di sana terhadapku yang sama sekali tidak akan dicurigainya. Dan kalau sudah demikian, berarti kita akan memperoleh dua keuntungan. Pertama, akan ada kepastian apakah anak itu berada di sana dan ke dua, aku sudah mengenal jalan yang aman memasuki daerah itu."

Sim Houw mengangguk-angguk dan Bi Lan merasa girang sekali. "Ahh, bagus sekali, suci. Agaknya memang itulah jalan terbaik bagi kita. Untung sekali bahwa engkau telah ikut membantu kami, suci."

"Aihh, sumoi, jangan memuji dulu. Ini baru rencana, simpanlah pujianmu sampai kita berhasil."

Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan diam-diam Sim Houw mau pun Bi Lan melihat kenyataan betapa wanita yang dulunya menjadi iblis betina itu kini benar-benar telah berubah. Apa lagi ketika Bi-kwi bercerita tentang Yo Jin, di dalam kata-katanya itu penuh berhamburan nada cinta kasih yang mendalam terhadap suaminya itu sehingga Bi Lan merasa terharu sekali.

Kebaikan tak mungkin dilatih atau dipelajari. Kebaikan tidak mungkin dilakukan dengan sengaja karena kalau kebaikan dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa perbuatan itu merupakan kebaikan, maka itu bukan lagi kebaikan namanya, melainkan perbuatan yang sudah teratur dan karenanya berpamrih. Dan perbuatan apa pun yang mengandung pamrih, dapatkah dinamakan kebaikan? Yang dinamakan pamrih adalah harapan untuk mencapai sesuatu demi keuntungan diri pribadi, baik itu keuntungan lahir mau pun keuntungan batin.

Segala bentuk perbuatan, yang dinamakan baik mau pun buruk, adalah akibat dari pada keadaan pikiran, keadaan batin. Baik buruknya tiap perbuatan ditentukan oleh keadaan batin. Oleh karena itu, bukan perbuatan yang harus dirubah, yang harus dilatih atau dipelajari karena perbuatan hanya merupakan akibat dari keadaan batin. Yang perlu dirubah adalah batin sendiri, keadaan batin itu sendiri. Bukan dirubah oleh kita, karena kalau demikian, hal itu merupakan suatu perbuatan berpamrih yang lain. Bukan dirubah, melainkan BERUBAH!

Jadi, perbuatan yang dinamakan perbuatan baik tidak terpisah dari keadaan batin kita, demikian pula perbuatan yang dinamakan buruk atau jahat. Batinlah yang menentukan, keadaan batin yang mendorong setiap perbuatan. Kalau batin tenang dan bersih, dapatkah kita melakukan perbuatan yang buruk dan jahat? Sebaliknya, kalau batin keruh dan kacau, mana mungkin kita dapat melakukan perbuatan bersih dan baik?

Dan batin baru dalam keadaan hening, tenang, bersih, berimbang, tegak dan lurus, bersih dan bening, kalau tidak dikeruhkan dan disibukkan oleh pikiran! Pikiranlah yang membentuk AKU dan si aku inilah yang merajalela mengaduk batin, dengan segala keinginannya, mengejar dan mengulang kesenangan, mengelak dan menjauhi yang tak menyenangkan.

Si aku menyeret batin ke dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan antara baik dan buruk, senang dan susah, puas dan kecewa, suka dan duka, dan setiap saat batin menjadi keruh, menjadi sumber dari segala rasa takut, marah, benci, cemburu, tamak, iri, prasangka yang menjadi permainan si aku dan akhirnya hanya duka dan sengsara yang menjadi bunga kehidupan kita.

Untuk dapat menyelami semua ini, kita hanya tinggal menjenguk isi batin kita sendiri, mengamati batin kita sendiri saat demi saat, hidup hanya dalam keadaan sekarang ini, menghapus yang lalu dan menyingkirkan yang akan datang agar kita dapat sepenuhnya hidup di saat ini. Pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin sajalah yang akan dapat membuat kita waspada, tidak lagi menjadi boneka permainan nafsu, tidak ada lagi si aku merajalela dan yang ada hanyalah kewaspadaan dan kesadaran
.....

********************

Belum lama setelah Sim Houw, Bi Lan dan Siu Kwi (Bi-kwi) pergi meninggalkan daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, menjelang sore, nampaklah seorang pemuda datang ke tempat itu seorang diri saja. Pemuda yang berusia dua puluh satu tahun kurang lebih, bertubuh tegap dengan muka bersih cerah, tampan, dengan pakaian sederhana warna biru. Pemuda ini adalah Gu Hong Beng!

Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini?

Kiranya Hong Beng mendengar ketika Kao Cin Liong bercerita kepada Suma Ciang Bun tentang Sin-kiam Mo-li seperti yang diceritakan oleh Bi Lan. Betapa Bi Lan dan Sim Houw hendak melakukan penyelidikan kepada wanita iblis itu yang mencurigakan, dan mengingat bahwa wanita itu adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio maka patut dicurigai sebagai penculik Hong Li dengan tujuan untuk membalas dendam kematian ibu angkatnya.

Hati Hong Beng amat tertarik mendengar cerita tentang Sin-kiam Mo-li ini, yang menurut penuturan dalam percakapan itu tinggal di kaki Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa tapal batas Propinsi Se-cuan. Penculik itu telah diketahui, dan kini Bi Lan, Bi-kwi dan Sim Houw pergi ke sana! Hatinya merasa tidak puas dan bahkan tidak enak. Bagaimana keluarga Kao percaya kepada tiga orang itu, terutama kepada Bi-kwi?

Tidak sepatutnya dan tak semestinya jika tugas menyelamatkan diserahkan kepada tiga orang yang masih amat meragukan itu. Siapa tahu mereka itu bahkan akan bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li, maklum sama-sama sesat! Dan timbul pula rasa iri di dalam hatinya. Sepantasnya dialah yang pergi menyelamatkan Hong Li dan mempertaruhkan nyawa untuk membela keluarga itu! Bukan orang orang macam Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi!

Pikiran inilah yang mendorong Hong Beng untuk segera berpamit pada gurunya setelah mereka meninggalkan Pao-teng. Kepada suhu-nya dia hanya mengatakan bahwa dia ingin merantau meluaskan pengetahuannya dan minta waktu selama satu tahun, baru dia akan menyusul suhu-nya. Suma Ciang Bun menyetujui kemudian mereka pun saling berpisah.

Setelah melakukan perjalanan seorang diri, Hong Beng mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Dia ingin mendahului Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi untuk lebih dulu sampai di tempat tujuan dan lebih dahulu menyelamatkan Kao Hong Li.

Maka, pada siang hari menjelang sore itu ketika dia tiba di tempat tujuan, dia segera akan memulai dengan usahanya mencari Hong Li. Dia tidak tahu bahwa baru beberapa jam yang lalu, tiga orang yang hendak didahuluinya itu baru saja meninggalkan tempat itu. Juga dia tidak tahu bahwa kini di rumah Sin-kiam Mo-li terdapat tujuh orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang amat lihai. Kalau saja Hong Beng bertindak lebih hati-hati, tentu dia akan memeriksa keadaan sekeliling dan akan melihat belasan anak buah Pek-lian-kauw yang berada di sebelah selatan hutan.

Dengan penuh semangat, penuh keberanian akan tetapi cukup berhati-hati, Hong Beng memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu. Dari jauh tadi dia telah melihat genteng rumah besar di antara gerombolan pohon di lereng itu dan menduga bahwa itulah rumah Sin-kiam Mo-li yang dicarinya. Dia pun melihat hutan yang pohon-pohonnya tumbuh teratur, bukan seperti hutan biasa dan dia dapat menduga bahwa hutan ini adalah hutan buatan, maka dia harus bersikap hati-hati sekali.

Dia masuk daerah itu dari bagian yang belum pernah didatangi orang. Jebakan-jebakan di sini berbeda sifatnya dengan yang pernah menjebak orang-orang Cin-sa-pang, walau pun ada pula persamaannya. Ketika Hong Beng memasuki hutan pertama, dia melihat pohon-pohon besar dan tempat itu nampak gelap akan tetapi seperti tak pernah ada bahaya apa pun.

Dengan santai namun cukup waspada, Hong Beng melangkah di antara pohon-pohon besar itu, melalui lorong yang agaknya akan membawanya ke tengah hutan, menuju ke rumah yang gentengnya tadi pernah dilihatnya. Akan tetapi setelah melewati belasan pohon, tiba-tiba lorong itu terhenti dan tertutup oleh pohon besar yang memenuhi jalan.

Hong Beng melihat bahwa di belakang pohon itu penuh semak-semak belukar, berarti bahwa lorong itu memang berhenti sampai di situ saja! Tentu saja dia menjadi sangat penasaran. Melanjutkan perjalanan melalui lorong itu tak mungkin lagi karena semak-semak belukar di belakang pohon itu penuh dengan duri. Pasti ada jalan lain, pikirnya. Dengan hati-hati sekali Hong Beng lalu meloncat ke atas pohon, dengan maksud untuk mencari jalan dengan mengintai dari atas pohon.

Akan tetapi, baru saja dia melihat-lihat ke kanan dan kiri, tiba-tiba hampir dia berteriak kesakitan dan tangannya menggaruk ke arah betis kirinya yang tiba-tiba terasa gatal dan panas sekali. Kiranya ada seekor semut merah yang besar sekali merayap dan menggigit betisnya. Sekali tepuk, semut itu pun mati, tetapi rasa gatal pada betisnya itu semakin menghebat.

"Aduhh...! Aduhh...!" Hong Beng berseru ketika merasa betapa paha dan pundaknya juga terasa gatal panas digigit semut!

Cepat dia meloncat turun dari atas pohon, melepaskan pakaiannya bagian luar dan sibuklah dia membunuhi belasan ekor semut merah yang sudah merayap ke dalam pakaiannya. Untung baru tiga tempat saja tergigit, di betis, paha dan pundak. Akan tetapi semut itu memiliki racun yang ampuh dan berbeda dengan semut-semut lain.

Bekas gigitannya nampak membengkak merah dan rasanya gatal dan panas bukan main. Hong Beng cepat mengeluarkan obat anti racun yang selalu dibawanya, buatan suhu-nya, dan obat berupa minyak itu setelah digosokkan pada bekas gigitan seketika nyerinya hilang. Dia pun mengenakan lagi pakaiannya setelah mengebut-ngebutkannya sampai bersih.

Sambil memandang ke atas pohon, diam-diam dia bergidik. Entah berapa banyaknya semut-semut itu berada di sana, pikirnya. Dia masih belum menyangka bahwa semut-semut itu merupakan jebakan yang sengaja diatur oleh Sin-kiam Mo-li.

Semut-semut itu didatangkannya dari lain tempat, dibiarkan hidup berkembang biak di pohon-pohon besar itu untuk mencegah musuh melakukan pengintaian dari atas pohon. Tentu saja tidak semua pohon menjadi tempat tinggal semut-semut merah beracun ini, hanya pohon di bagian hutan itu saja, karena pohon-pohonnya memang pohon yang disukai semut-semut itu.

Terpaksa Hong Beng kembali lagi, akan tetapi betapa herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan yang dilaluinya sekarang nampaknya seperti bukan lorong yang dimasukinya tadi! Entah apanya yang berubah, akan tetapi lain sama sekali. Ketika ada jalan simpang empat, dia mengambil jalan ke kanan karena jalan ini yang nampaknya paling rapi dan bersih, dan memasuki taman rumput yang indah dan di sebelah sana nampak lagi hutan kecil dengan sebuah telaga kecil di tengahnya.

Hong Beng bersikap hati-hati sekali. Sambil mengerahkan ginkang-nya, dia berjalan di atas lapangan rumput. Baru beberapa langkah dia memasuki taman, mendadak rumput yang diinjaknya itu ambles ke bawah. Ternyata di bawah rumput itu terdapat lubang jebakan berupa sumur dan rumput itu hanya tumbuh di atas sumur dengan akar yang saling berkaitan saja!

Untung bahwa semenjak tadi Hong Beng sudah bersikap waspada. Begitu kakinya yang melangkah di sebelah depan merasa menginjak tempat kosong, cepat-cepat dia segera memindahkan tenaga dan berat tubuh ke kaki belakang sehingga dia mampu menarik kembali kaki depannya.

Dengan sebuah ranting yang dipungutnya di tepi jalan, ia mengorek rumput di depannya dan terbukalah lubang jebakan itu yang lebarnya satu setengah meter persegi! Ketika menjenguk ke bawah, dia bergidik ngeri melihat benda bergerak-gerak di dasar sumur. Ular-ular sedang menanti jatuhnya korban di bawah sana!

"Jahanam keji!" Dia menggerutu dan melanjutkan langkahnya, mengitari sumur itu, akan tetapi kini setiap langkahnya dilakukan dengan lebih hati-hati dan waspada lagi.

Dia melewati dua lagi sumur jebakan yang tertutup rumput, dan pada sumur terakhir, bahkan ketika dia mengorek rumput membuka lubang, terdengar suara berdesing dan dari dalam lubang itu, mungkin alatnya dipasang di bawah rumput, menyambar tiga batang anak panah ke atas. Kalau dia kurang hati-hati, tentu luput terjeblos tetapi sukar untuk terhindar dari sambaran anak panah beracun!

Kembali dia memasuki hutan dengan pohon yang besar-besar dan kini cuaca di dalam hutan agak gelap karena memang matahari sudah condong ke barat dan sinarnya yang tidak begitu kuat agaknya tidak mampu menerobos daun-daun yang lembab. Ketika dia melangkah lagi, dia tidak melihat bahwa di depan kakinya terdapat sehelai tali hitam yang tingginya dua jengkal sehingga kalau ada orang lewat, bagaimana pun juga kakinya tentu akan tersangkut tali.

Demikian pula dengan Hong Beng. Dia sudah waspada, akan tetapi dalam cuaca yang mulai remang-remang di dalam hutan lebat itu, bagaimana dia mampu melihat tali di bawah yang berwarna hitam dengan latar belakang tanah hitam dan rumput hijau tua? Tahu-tahu, kakinya tersangkut dan dari atas turun menimpa batu yang besar sekali! Kiranya tali itu kalau ditarik, mengakibatkan jatuhnya sebuah batu yang besarnya seperut kerbau bunting dan kalau menimpa kepala, tentu kepala itu akan remuk dan tubuh akan ikut menjadi gepeng!

Namun Hong Beng tidak menjadi gugup. Dengan cekatan, dia melompat ke depan dan batu itu jatuh dengan mengeluarkan suara keras sekali ke atas tanah, membuat tanah tergetar dan pepohonan bergoyang-goyang. Agaknya jatuhnya batu ini menimbulkan akibat lain dan mengerjakan alat-alat rahasia yang dipasang di situ karena tiba-tiba saja dari atas pohon-pohon di sekeliling Hong Beng juga berjatuhan batu yang besar-besar!

Kini Hong Beng tidak berani meloncat lagi. Meloncat tanpa mengetahui apa yang akan diinjaknya di tempat lain, amat berbahaya, maka dia pun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk dan dia pun siap menanti datangnya hujan batu.

"Darrrr!"

Sebongkah batu besar yang menimpa kepalanya, dihantamnya dengan tangan terbuka dan batu itu pun pecah dan terlempar jauh. Masih ada lagi beberapa buah batu yang menghantamnya, namun semua dapat ditangkis oleh Hong Beng sehingga terlempar ke kanan kiri sedangkan tubuhnya sedikit pun tidak terguncang, hanya kedua kakinya yang ambles ke dalam tanah sampai pergelangan kaki saking beratnya batu yang menimpa dirinya tadi!

Setelah tidak ada lagi batu besar yang melayang turun, Hong Beng melanjutkan langkahnya dengan gagah, sedikit pun tidak merasa takut atau gentar walau pun dia tetap berhati-hati. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri, seluruh urat syarafnya siap siaga.....

Sementara itu, pergerakan jebakan-jebakan rahasia tadi tentu saja sudah diketahui oleh penghuni lembah itu dan diam-diam, ketiga orang pelayan cantik sudah mengintai dan mengikuti semua gerak-gerik yang dilakukan Hong Beng.

Ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio menjadi bengong terpesona. Apa lagi ketika mereka menyaksikan betapa dengan tenaganya Hong Beng dapat menghadapi dan mengatasi semua jebakan yang dilaluinya, mereka bertiga memandang semakin kagum.

Tiga orang gadis cantik ini baru berusia dua puluh lima tahun kurang lebih, dan mereka hidup di tempat terasing itu, maka tentu saja kadang-kadang mereka merasa kesepian dan butuh akan kehadiran seorang pria di samping mereka. Kadang-kadang Sin-kiam Mo-li membawa pulang seorang pemuda tampan dan kalau sudah bosan, sebelum dibunuh pemuda itu diberikan kepada mereka bertiga.

Kadang-kadang mereka bertiga pun diperkenankan mencari hiburan di dusun-dusun di bawah pegunungan. Akan tetapi yang mereka dapatkan di sana hanya pemuda-pemuda dusun yang bodoh dan kasar. Maka, begitu melihat ada seorang pemuda yang demikian ganteng seperti Hong Beng, tentu saja mereka terpesona. Apa lagi melihat kegagahan pemuda itu.

"Ehhh, kenapa kalian bengong saja? Kalau dibiarkan, bisa rusak semua alat jebakan rahasia kita dan kita akan mendapat hukuman dan marah besar," kata Ang Nio kepada kedua orang temannya.

"Hayo kita serang dia!" kata Pek Nio.

"Akan tetapi jangan dibunuh, sayang kalau dibunuh...," kata Hek Nio sambil menarik napas panjang.

"Tolol, apa kau kira kami pun tidak dapat melihat kehebatan seorang pria? Akan tetapi jangan harap, Hek Nio. Pria seperti ini tentu takkan dilewatkan saja oleh majikan kita!" kata Pek Nio.

"Sudahlah, jika kelak kita memperoleh sisanya pun masih untung!" kata Ang Nio sambil meloncat keluar. "Hayo serbu!"

Hong Beng menjadi terkejut, akan tetapi tidak gugup ketika tiba-tiba nampak tiga sosok bayangan berloncatan keluar dari balik batang pohon dan dia telah dihadang oleh tiga orang gadis yang cantik. Pakaian mereka menarik perhatiannya. Seorang berpakaian serba merah, ke dua serba putih dan ke tiga serba hitam. Akan tetapi, mengenakan pakaian warna apa pun, mereka itu nampak anggun dan cantik.

Betapa pun juga, Hong Beng adalah seorang pemuda yang sudah terbiasa bersikap sopan, apa lagi terhadap wanita. Dia merasa betapa dia telah melanggar wilayah orang lain, memasuki tempat orang tanpa ijin, maka dengan sedikit kikuk dia pun menjura dengan hormat karena dia tidak tahu siapa adanya tiga orang gadis ini.

"Maafkan aku," katanya lembut. "Bukan maksudku untuk memasuki tempat orang tanpa ijin, akan tetapi sesungguhnya aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Benarkah ia bertempat tinggal di daerah ini? Dan siapakah nona bertiga?"

Tiga orang gadis itu saling pandang dan tersenyum manis. Biasanya, mereka bersikap galak, akan tetapi menghadapi seorang pemuda tampan dan gagah, mendadak saja sikap dingin mereka mencair dan berubah hangat dan genit.

"Sobat yang gagah, engkau datang tanpa ijin tetapi membawa pertanyaan-pertanyaan! Apakah ini tidak terbalik? Bukankah sepatutnya kami yang bertanya kepadamu siapa engkau dan apa maksud kedatanganmu ini?" jawab Ang Nio dengan pertanyaan dan suaranya terdengar merdu dan nadanya naik turun seperti orang bernyanyi, bibirnya tersenyum, wajahnya cerah dan matanya bermain dengan lincahnya.

Melihat sikap orang yang manis budi, Hong Beng kembali menjura kepada gadis yang pakaiannya serba merah itu. "Maaf, aku bernama Gu Hong Beng, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan nona bertiga. Aku datang untuk mencari Sin-kiam Mo-li, dan sekali lagi aku mengharapkan keterangan nona, apakah Sin-kiam Mo-li tinggal di sini?"

"Sicu (orang gagah) Gu Hong Beng, aku bernama Ang Nio."

"Aku Pek Nio," kata si baju putih.

"Dan aku Hek Nio," sambung si baju hitam.

Kini Hong Beng merasa dipermainkan. Mana ada orang-orang mempunyai nama yang disesuaikan dengan warna pakaiannya? Tentu nama samaran. Apa lagi melihat betapa tadi mereka bertiga memperkenalkan nama sambil tertawa-tawa kecil, dia menganggap bahwa tiga orang gadis ini tentu sedang mempermainkannya.

"Gu-sicu, ada keperluan apa engkau mencari beliau?" tanya Ang Nio sambil memainkan matanya yang jeli.

Hong Beng mulai mengerutkan alisnya. "Aku rasa tidak ada urusannya dengan kalian bertiga. Katakan saja di mana Sin-kiam Mo-li, karena aku mempunyai urusan pribadi dengannya."

Ang Nio tersenyum. "Tidak mungkin, sicu. Setiap orang tamu yang hendak berkunjung, haruslah berurusan dengan kami bertiga terlebih dulu. Kami mewakili toanio, dan kami yang berhak menerima atau menolak tamu. Kalau sicu bersikap manis kepada kami, tentu kami akan mengantarmu menghadap beliau."

"Ada kami bertiga kenapa hendak menghadap toanio?" tiba-tiba Pek Nio dengan sikap genit berkata. "Kami akan dapat membuatmu merasa gembira!"

"Benar, sicu Gu Hong Beng yang ganteng, mari bersenang-senang dulu dengan kami bertiga, besok kami baru akan mengantarmu menghadap toanio," kata Hek Nio dengan manis pula, dengan pandang mata penuh gairah.

Kerut merut di antara alis mata Hong Beng semakin mendalam. Barulah dia tahu apa artinya sikap manis dari tiga orang gadis ini. Kiranya mereka adalah gadis-gadis tidak tahu malu yang hendak merayunya! Dan agaknya mereka ini murid-murid atau juga pelayan dari Sin-kiam Mo-li. Bangkitlah kemarahannya.

"Kalian perempuan-perempuan tak bermalu! Kalian kira aku ini orang macam apa? Jika kalian memang tidak mau mengantarkan aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, biarlah aku mencarinya sendiri!"

Berkata demikian, Hong Beng melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi, ketiga orang wanita itu menghadang di tengah lorong dan di tangan mereka masing-masing sudah memegang sebatang pedang.

"Agaknya engkau seorang yang tak tahu dicinta orang! Baiklah, hendaknya kau ketahui bahwa tanpa perkenan toanio, siapa pun juga tidak mungkin dapat mendatangi rumah kami! Apakah engkau memilih mati di tangan kami dari pada menikmati kesenangan bersama kami?" kata Ang Nio.

"Ang-cici, jangan dibunuh, sayang, dia begitu tampan dan gagah," kata Pek Nio.

"Kita tawan dia dan seret ke depan toanio!" kata pula Hek Nio.

Tiga orang wanita itu lalu menerjang Hong Beng. Mereka hanya menyimpan pedang di balik lengan kanan sambil menyerang dengan tangan kiri. Ada yang mencengkeram ke arah pundak, ada yang menampar ke arah leher dan memukul ke arah dada. Gerakan mereka cukup cepat dan gerakan tangan itu pun mengandung tenaga yang kuat.

Akan tetapi, bagi Hong Beng serangan mereka itu tiada bedanya dengan serangan tiga orang anak kecil saja. Sekali dia memutar tubuh dan menggerakkan tangan, dia telah dapat mengelak dan menangkis tiga serangan itu. Bahkan Hek Nio dan Ang Nio yang terkena tangkisan lengan Hong Beng, hampir saja terpelanting jatuh saking kuatnya tenaga tangkisan pemuda itu.

Kini yakinlah tiga orang wanita itu bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, maka mereka pun cepat memutar pedang dan menggunakan senjata mereka untuk kembali menyerang. Setelah mereka bertiga itu menyerang dengan pedang, Hong Beng melihat betapa ilmu pedang mereka hebat dan berbahaya. Teringatlah dia akan julukan majikan mereka, yaitu Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti).

Kalau majikan atau gurunya berjuluk Pedang Sakti, tidaklah mengherankan kalau tiga orang wanita ini memiliki ilmu pedang yang demikian hebat. Tiga batang pedang itu berubah menjadi tiga sinar bergulung-gulung yang menyerangnya dengan dahsyat dari tiga jurusan. Hong Beng harus mengerahkan ginkang-nya untuk membuat tubuhnya dapat bergerak dengan ringan dan cepat, mengelak ke sana-sini menyelinap di antara sambaran sinar-sinar pedang itu.

Memang dalam hal ilmu pedang, tiga orang gadis pelayan ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Sin-kiam Mo-li telah melatih jurus-jurus ampuh kepada tiga orang pembantunya ini agar mereka menjadi pembantu dan penjaga yang lihai. Jarang ada orang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka, apa lagi kalau mereka itu maju bersama seperti sekarang ini.

Tidaklah terlalu aneh kalau kini Gu Hong Beng, murid dari keluarga Pulau Es, merasa repot didesak oleh tiga gulungan sinar pedang yang lihai itu. Hong Beng maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini dengan kedua tangan kosong saja menghadapi tiga batang pedang itu, dia dapat celaka.

Maka, ketika kembali tiga pedang itu menyerangnya dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya melayang ke belakang, bukan hanya untuk mengelak, melainkan dia berjungkir balik sampai jauh, kemudian menyambar sebatang ranting pohon yang dipatahkannya. Kini, dengan ranting yang sebesar lengan dan sepanjang pedang biasa, dengan terhias daun-daun, dia menghadapi tiga orang lawan itu dan begitu dia memutar ranting, tiga orang lawannya terkejut.

Biar pun hanya sebatang ranting, karena berada di tangan seorang ahli, maka ranting itu dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Tiga batang pedang itu menyambar dan mencoba untuk membabat ranting itu supaya patah. Namun, ranting itu dialiri tenaga sinkang dari Hong Beng yang mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).

"Tak! Tak! Tringgg...!"

Tiga batang pedang itu tertangkis dan akibatnya, tiga orang wanita itu mengeluh dan terhuyung ke belakang. Nampak wajah mereka berubah pucat dan tangan mereka agak menggigil. Hawa dingin yang masuk tulang telah menyusup ke dalam tubuh mereka, terutama bagian lengan kanan yang memegang pedang.

Tiga orang pelayan itu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Memang tadi pun mereka sudah tahu bahwa pemuda ini amat lihai, akan tetapi sungguh sukar mereka dapat percaya bahwa hanya dengan sebatang ranting di tangan, dalam segebrakan saja pemuda itu mampu membuat mereka terhuyung, melalui serangan tenaga sinkang dingin yang demikian kuatnya!

"Bunuh orang berbahaya ini!" bentak Ang Nio.

"Orang tak mengenal kebaikan orang lain!" bentak Pek Nio.

"Engkau sudah bosan hidup!" Hek Nio juga berteriak.

Tiga orang wanita itu kemudian menggerakkan tangan kiri mereka dan sinar-sinar kecil menyambar ke arah Hong Beng. Namun pemuda ini tidak merasa gugup. Dengan amat tenangnya, ranting di tangannya digerakkan sehingga sekaligus jarum-jarum halus yang menyambar dari jarak dekat itu dapat dipukul runtuh semua. Tetapi, tiga batang pedang yang gerakannya cepat dan mengandung tenaga sinkang itu telah menyerangnya dari tiga jurusan karena tiga orang wanita cantik itu telah membentuk barisan segi tiga.

Hong Beng maklum bahwa tiga orang lawannya tidak boleh dipandang ringan, apa lagi dia berada di sarang harimau, di daerah lawan yang amat berbahaya karena tempat itu penuh dengan perangkap dan jebakan-jebakan rahasia. Dia pun cepat menggerakkan rantingnya untuk menangkis sambil mengelak ke sana-sini, sangat hati-hati oleh karena khawatir kalau-kalau kakinya akan terjeblos.

Dia pun tidak berniat membunuh tiga orang wanita yang tidak dikenalnya itu. Mereka ini, menurut dugaannya, tentulah pelayan pribadi atau murid-murid tokoh yang bernama Sin-kiam Mo-li itu. Dan dia belum melihat bukti bahwa Sin-kiam Mo-li benar orang yang telah menculik puteri keluarga Kao, maka tidak baik jika sampai ia membuat gara-gara membunuh tiga orang wanita ini.

Ketika dia memperoleh kesempatan, ujung tongkat yang terbuat dari ranting sederhana itu berkelebat dengan kecepatan kilat, tiga kali menyambar sehingga pedang tiga orang wanita itu pun terlepas dari pegangan disusul teriakan mereka karena lengan kanan mereka mendadak menjadi kaku tidak dapat digerakkan untuk beberapa detik lamanya. Ujung ranting itu telah menotok jalan darah di lengan mereka secara luar biasa sekali.

Maklum bahwa mereka bukan lawan pemuda yang amat lihai itu, tiga orang pelayan cepat berloncatan dan menghilang di balik semak-semak tanpa mempedulikan pedang mereka. Mereka ingin cepat melapor kepada Sin-kiam Mo-li yang masih bercakap cakap dengan tujuh orang tosu itu.

Hong Beng hendak mengejar tiga orang wanita itu untuk memaksa seorang di antara mereka mengantarnya bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Tanpa pengantar, dia tentu akan menghadapi jebakan-jebakan rahasia yang berbahaya. Akan tetapi, begitu dia meloncat ke dekat semak-semak, jalan itu buntu dan tidak nampak bayangan tiga orang wanita itu yang sudah menghilang seperti ditelan bumi saja.

Selagi dia kebingungan, mendadak terdengar suara ketawa merdu. Cepat dia bersiap siaga dan memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang gadis remaja berusia tiga belas atau empat belas tahun. Gadis yang wajahnya manis sekali, kedua matanya lebar dengan sinar berkilat dan bergerak-gerak lincah, tanda bahwa dia seorang gadis remaja yang lincah cerdik dan bengal.

"Hi-hik, engkau merasa bangga telah mengalahkan tiga orang tadi, ya? Hemmm, tak perlu menjadi sombong, karena tanpa penunjuk jalan, jangan harap engkau akan dapat memasuki daerah kami ini, hi-hi-hik!"

Setelah berkata demikian, gadis cilik itu lalu meloncat ke kanan di mana terdapat sebuah lorong yang merupakan jalan setapak. Tentu saja Hong Beng tertarik sekali. Dia maklum bahwa ucapan anak itu memang benar, dan kini dia memperoleh seorang penunjuk jalan, yaitu gadis cilik itulah!

"Haiii, berhenti dulu!" teriaknya dan cepat dia mengejar.

Girang hatinya melihat gadis cilik itu tidak begitu cepat larinya. Hong Beng bersikap cerdik. Tak perlu menyusul dan menangkap gadis itu, pikirnya, karena siapa tahu kalau ditangkap dan dipergunakan kekerasan untuk menjadi penunjuk jalan, gadis cilik itu malah tidak mau. Kini, mengikuti saja di belakang gadis itu tentu dia akan sampai juga ke tempat tinggal Sin-kiam Mo-li.

Maka ia pun pura-pura mengejar sambil berseru menyuruh berhenti, akan tetapi sengaja bergerak perlahan sehingga selalu berada di belakang gadis itu, terus mengikuti jejak kakinya, seakan-akan dia tidak pernah dapat menangkapnya! Gadis itu berlari terus, berloncatan ke sana-sini dan selalu diikuti jejaknya oleh Hong Beng.

"Haii, tunggu! Aku mau bicara denganmu!" teriak Hong Beng berkali-kali, teriakan yang merupakan siasatnya untuk membuat gadis itu berlari terus agar dia dapat mengikuti di belakangnya dengan aman. Tentu gadis ini sudah hafal akan jalan rahasia di tempat berbahaya ini dan mengikuti jejak gadis itu berarti aman.

Gadis cilik itu bukan lain adalah Kao Hong Li. Tadi ia melihat munculnya pemuda itu dan melihat pula betapa pemuda itu mengalahkan Ang Nio, Pek Nio, dan Hek Nio. Timbullah kekhawatirannya karena pemuda itu ternyata lihai sekali. Tentu dia seorang musuh, mungkin seorang tokoh Cin-sa-pang yang amat lihai, yang berani datang seorang diri, tanpa senjata, dan hanya bersenjata ranting kayu namun dapat mengalahkan tiga orang pelayan yang lihai itu.

Melihat ini, Hong Li merasa bahwa ia tak boleh tinggal diam saja. Sebagai murid dari subo-nya ia harus bertindak mencegah musuh ini. Akan tetapi, ia pun maklum bahwa ilmu silatnya masih belum banyak selisihnya dengan tingkat para pelayan tadi sehingga menghadapi musuh ini dengan ilmu silat tidak akan ada artinya. Ia harus menggunakan siasat dan akal, pikirnya. Maka muncullah gadis cilik itu mengejek dan memancing Hong Beng.

Hong Beng merasa girang dan mengira bahwa tentu kini tempat tinggal Sin-kiam Mo-li sudah dekat. Tiba-tiba gadis yang dikejarnya itu berhenti di depannya karena di depan gadis itu membentang sebuah kubangan lumpur yang amat lebar. Kiranya tak mungkin untuk melompati kubangan yang demikian lebarnya.

Akan tetapi di sana-sini nampak terdapat batu-batu menonjol. Batu-batu itu cukup untuk dipergunakan sebagai loncatan, pikir Hong Beng, sama sekali dia tidak khawatir. Dan dugaannya memang tepat, gadis cilik itu melompat ke atas sebuah di antara batu-batu itu. Akan tetapi agaknya batu itu licin sekali sehingga tubuh gadis cilik itu nampak terhuyung dan bergoyang, hampir jatuh.

"Aduh, tolong...!" Gadis itu berseru.

"Jangan takut, aku menolongmu!" kata Hong Beng dan tanpa ragu lagi dia pun meloncat ke arah sebuah batu besar yang menonjol pula, tak jauh dari batu yang diinjak gadis itu, yang nampak ketakutan dan berdiri tegak di atasnya.

Akan tetapi pada saat kaki Hong Beng hinggap di atas batu itu, tiba-tiba saja tubuh anak perempuan itu pun melesat dengan cepatnya ke atas batu lain di dekat seberang. Dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Beng ketika batu yang diinjaknya itu terjeblos ke dalam lumpur bersama tubuhnya. Dia hendak meloncat, namun terlambat karena kedua kakinya sudah terbenam ke dalam lumpur yang seolah-olah mempunyai kekuatan menyedot.

Dia mengerahkan sinkang, meronta. Akan tetapi karena tidak ada lagi tempat kokoh untuk berpijak, kekuatannya ini malah memberatkan tubuhnya dan dia pun ambles sampai dada! Maklumlah Hong Beng bahwa dia telah terjeblos ke dalam lumpur yang berbahaya sekali dan makin kuat dia meronta, makin dalam pula dia terbenam. Maka dia pun bersikap tenang, tidak lagi meronta dan tubuhnya tetap saja terbenam sampai ke dada, tidak turun lagi, akan tetapi juga sama sekali tidak ada jalan untuk menarik tubuhnya ke luar dari lumpur!

Dia memandang ke arah gadis cilik itu dan tahulah dia bahwa dia telah terpancing dan terjebak oleh gadis cilik yang amat cerdik itu karena kini dia melihat gadis itu tadi hanya bersandiwara dan ternyata dia terjebak! Tiga orang wanita dewasa yang lihai tidak mampu menangkapnya, juga perangkap-perangkap berbahaya mampu dihindarkannya. Siapa kira sekarang dia jatuh oleh seorang anak perempuan yang menggunakan akal bulus!

Diam-diam Hong Beng merasa penasaran sekali, juga memaki kebodohan diri sendiri, juga kagum akan kecerdikan anak itu. Masih begitu muda akan tetapi telah memiliki kecerdikan luar biasa. Agaknya anak itu telah memperhitungkan segalanya sehingga dia dengan mudah dapat ditipunya.

Hong Li tertawa-tawa kecil di tepi kubangan lumpur. Melihat lawannya telah terbenam sampai ke dada dan kini diam saja, sama sekali tidak bergerak, ia menggoda, "Hayo berontaklah! Makin kau meronta, semakin dalam kau tersedot, dan sebentar lagi lumpur akan menutupi mulutmu, hidungmu, matamu!"

Hong Beng merasa panas. "Hemm, bocah setan, jangan mengira aku takut mati! Aku hanya menyesalkan kebodohanku, mudah saja dapat tertipu oleh bocah setan macam engkau!"

"Ehh? Kau tidak takut? Tidak merasa ngeri? Kenapa engkau tidak minta ampun padaku dan minta pertolonganku agar aku menarikmu keluar?"

Hong Beng maklum bahwa anak setan itu hanya menggodanya, maka tentu saja dia tidak sudi memberi kepuasan kepada anak itu dengan memperlihatkan rasa takutnya.

"Sudah kukatakan, aku tidak takut mati. Akan tetapi, siapakah engkau ini dan masih ada hubungan apa antara engkau dan Sin-kiam Mo-li?"

"Hemm, siapa aku tidaklah penting. Yang penting siapa engkau dan mau apa engkau memaksakan kehendakmu memasuki daerah ini?"

Kembali Hong Beng kagum. Anak ini masih amat muda, akan tetapi sikapnya sudah dewasa dan cukup berwibawa. Seorang anak yang cerdik sekali, dan juga mempunyai sepasang mata yang tajam dan bening, sama sekali tak nampak bayangan watak jahat dari sepasang mata seperti itu.

"Namaku Gu Hong Beng dan aku datang untuk bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Karena menghalangi keinginanku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, maka aku berkelahi dengan tiga orang wanita itu."

"Mau apa engkau minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li?" tanya pula Hong Li dan dia makin kagum karena kini tubuh pemuda itu sudah terbenam semakin dalam, sampai ke pundak, akan tetapi orangnya masih tetap nampak tenang saja.

Hong Beng mempertimbangkan pertanyaan ini. Perlukah dia berterus terang kepada anak perempuan ini? Akan tetapi, nyawanya tergantung di sehelai rambut, dan agaknya dia tak akan terbebas dari cengkeraman maut ini, maka apa salahnya kalau dia berterus terang?

Setidaknya, dia tidak akan lenyap begitu saja dan gadis ini menjadi saksi kematian dan kehilangannya. Siapa tahu, dari mulut gadis cilik ini kelak, suhu-nya dan semua orang akan mengetahui nasibnya. Biar mereka semua tahu bahwa dia tewas dalam usahanya menyelamatkan puteri keluarga Kao yang diculik orang.

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, siapakah engkau ini sesungguhnya?" Hong Beng bertanya.

"Aku adalah anak angkat, juga murid Sin-kiam Mo-li yang kau cari itu."

Mendengar jawaban ini, lemaslah rasa hati Hong Beng. Celaka, pikirnya, pantas anak ini demikian cerdik dan lihainya. Dan harapan untuk memperoleh pertolongan semakin tipis dan jauh.

"Baiklah biar ceritaku ini merupakan pesan terakhir bagi siapa saja melalui engkau. Aku datang ke sini mencari Sin-kiam Mo-li untuk bertanya apakah ia telah menculik seorang anak perempuan. Kalau benar demikian, aku akan merampas kembali anak perempuan yang terculik itu!"

Mendengar ini, Hong Li nampak terkejut dan matanya terbelalak. Mata yang memang sudah lebar itu nampak semakin lebar, seperti matahari kembar. "Ih, subo tidak pernah menculik orang! Siapakah anak perempuan yang diculiknya itu?"

"Ia puteri dari pendekar Kao Cin Liong, namanya Kao Hong Li. Apakah engkau melihat anak itu di sini?"

Tiba-tiba Hong Li meloncat bangkit dari jongkoknya dan wajahnya berubah, alisnya pun berkerut. "Siapakah engkau sesungguhnya? Masih ada hubungan apa antara engkau dan keluarga Kao itu?" Pertanyaannya penuh nafsu dan mendesak sekali.

Pertanyaan aneh, pikir Hong Beng. Akan tetapi karena dia mengharapkan anak ini kelak menceritakan kepada semua orang tentang dirinya, dia pun menjawab sejujurnya. "Isteri pendekar Kao yang bernama Suma Hui adalah bibi guruku karena guruku, Suma Ciang Bun, adalah adik kandungnya."

"Ahhh...!" Gadis cilik itu berseru kaget dan tiba-tiba ia bertanya, "Apakah engkau mampu mengeluarkan kedua tanganmu?"

"Apa...? Apa... maksudmu?"

"Cepat keluarkan kedua tanganmu ke atas lumpur supaya dapat aku menarikmu keluar dari situ."

Tentu saja ucapan ini mengejutkan akan tetapi juga mengherankan dan terutama sekali menyenangkan hati Hong Beng yang secara tiba-tiba memperoleh harapan baru. Dia menarik kedua lengannya yang terpendam, akan tetapi walau pun dia berhasil menarik kedua tangannya ke atas, tubuhnya semakin tenggelam dan kini lumpur telah mencapai dagunya, hanya satu senti saja di bawah mulut! Bau lumpur yang busuk menyengat hidungnya.

Akan tetapi Hong Beng tetap bersikap tenang saja walau pun sedikit lagi, kalau lumpur sudah menutup hidungnya, berarti berakhirlah riwayat hidupnya. Dan pada saat itu, dia merasa ada benda yang licin bergerak meraba-raba kakinya. Dia terkejut dan dapat menduga bahwa di dalam lumpur itu terdapat binatang, mungkin semacam belut, ikan atau ular!

Teringat akan ini dia cepat mengerahkan sinkang-nya dan mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sinkang untuk melindungi tubuhnya dari gigitan binatang. Dan untung dia melakukan ini karena pada saat itu, banyak sekali ular di dalam lumpur yang telah siap menggigitnya akan tetapi binatang-binatang itu mundur teratur ketika merasa betapa dari tubuh yang terbenam lumpur itu keluar hawa yang amat panas!

Sementara itu, Hong Li sudah memutar otak, bagaimana untuk menolong Hong Beng yang sebentar lagi tentu tewas kalau tidak cepat ditarik keluar. Tidak ada tali di situ. Akan tetapi ia seorang gadis yang amat cerdik. Ditumbangkannya sebatang pohon yang tidak berapa besar namun cukup panjang, dan diseretnya batang pohon berikut cabang dan daun-daunnya itu ke tepi kubangan lumpur.

Kemudian, ia memotong sebagian ikat pinggangnya yang terbuat dari sutera yang kuat. Diikatnya ujung batang pohon itu dengan ikat pinggang, kemudian ujung ikat pinggang ia ikatkan pada sebatang pohon besar yang kokoh kuat. Setelah itu, ia menyeret batang pohon tadi dan melemparkannya ke tengah kubangan sambil berseru kepada Hong Beng yang kini mulutnya sudah mulai tertutup lumpur!

"Tangkap ini dan tarik keluar dirimu melalui batang pohon!"

Tanpa diberi tahu pun, Hong Beng sudah maklum apa yang harus dilakukannya. Sejak tadi ia melihat saja dan bukan main kagumnya melihat usaha anak itu. Dia sendiri tentu akan bingung untuk menolong orang keluar dari lumpur tanpa adanya tali. Akan tetapi anak perempuan itu telah memperoleh akal yang amat baik.

Dia segera menangkap cabang pohon itu dan segera dengan hati-hati dan perlahan-lahan agar jangan sampai cabang itu putus atau ikat pinggang di ujung sana itu putus, dia mulai menarik tubuhnya ke atas. Dan dia berhasil! Perlahan-lahan, mulai nampaklah tubuhnya bagian atas yang berlepotan lumpur.

Kini, perlahan-lahan, dia merayap melalui batang pohon itu, menarik tubuhnya semakin tinggi keluar dari lumpur dan akhirnya, dengan terengah-engah, dia sampai juga ke tepi dan naik ke tepi kubangan lumpur, lalu menjatuhkan diri ke atas tanah saking lelahnya dan tegangnya.

"Ahh, engkau berhasil!" Hong Li berseru gembira.

Hong Beng mencoba membersihkan leher dan bagian bawah mukanya dari lumpur. "Ya, berkat pertolonganmu, adik yang baik. Engkau telah menyelamatkan nyawaku..."

"Tidak, karena aku yang membuat engkau terperosok tadi. Aku hanya ingin menebus kesalahanku saja!"

Hong Beng tersenyum. Benar juga, dan dia semakin kagum akan kejujuran anak ini. "Engkau anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li, kenapa malah menolongku? Siapakah engkau adik yang begini cerdik, lihai dan baik hati?"

"Namaku? Aku... Kao Hong Li!"

"Ihhh...!"

Hong Beng meloncat dan lupa akan kekotoran tubuhnya yang terbungkus lumpur. Dia terbelalak memandang gadis cilik itu, penuh keheranan, penuh kejutan dan kekaguman. "Engkau... engkau adik Kao Hong Li? Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menjadi anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li?"

Hong Li tersenyum manis. "Amat panjang ceritanya, suheng. Bukankah engkau menjadi suheng-ku karena engkau murid paman Suma Ciang Bun?"

"Ya, panjang ceritanya. Akan tetapi engkau telah berani masuk ke sini tanpa ijin, karena itu engkau harus menyerah sebagai tawanan kami," tiba-tiba terdengar suara orang.

Ketika Hong Beng menoleh, di situ telah berdiri seorang wanita cantik, bertubuh tinggi ramping dan matanya mencorong. Yang mengejutkan hati Hong Beng adalah ketika dia melihat betapa di belakang wanita itu nampak pula tujuh orang tosu, di antaranya adalah tosu-tosu yang sudah dikenalnya, yaitu para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang berilmu tinggi.

"Subo, dia ini suheng-ku sendiri...!" Hong Li mencoba untuk mencegah subo-nya.

"Hong Li, masuk kau! Belum juga kau kapok menolong orang yang hendak mengacau di sini!" bentak Sin-kiam Mo-li dengan marah.

Hong Li mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi dan sambil mengepalkan tinju, ia pun lari meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam bangunan dan mengunci diri di dalam kamarnya sendiri dengan marah.

Sementara itu, Hong Beng berdiri dengan siap siaga, bingung apa yang harus dilakukan karena setelah mendengar bahwa Hong Li adalah anak angkat dan juga murid Sin-kiam Mo-li, tidak mungkin dia menuduh wanita ini menculiknya. Akan tetapi, kenyataan bahwa Sin-kiam Mo-li datang bersama-sama tujuh orang tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai itu membuat dia semakin ragu karena dia mengenal tujuh orang ini sebagai orang-orang yang datang dari golongan hitam dan sesat, yang menggunakan agama dan perjuangan untuk menipu rakyat.

"Ha-ha-ha!" Terdengar Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang bermuka merah itu tertawa. "Kiranya murid keluarga Pulau Es, Suma Ciang Bun, kini menjadi seekor belut yang suka bermain di dalam lumpur!"

"Mo-li, dia ini murid keluarga Pulau Es, kebetulan dia datang mengantar nyawa, biar pinto membunuhnya untukmu!" kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai yang sudah menggerakkan tongkatnya yang panjang.

"Nanti dulu, totiang!" Sin-kiam Mo-li berseru dan kakek itu pun menahan tongkatnya. "Dia melanggar daerahku, dan akulah yang berhak untuk menghukumnya! Dia adalah tawananku!"

Sin-kiam Mo-li mencegah wakil ketua Pat-kwa-pai itu turun tangan, bukan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaannya di daerahnya sendiri, melainkan karena dia telah melihat wajah dan bentuk tubuh yang tertutup lumpur itu dan dia merasa amat tertarik. Pemuda ini amat tampan dan gagah! Inilah yang membuatnya ingin menangani sendiri pemuda itu, membuatnya tunduk dan tidak membunuhnya. Sekarang dia melangkah maju menghadapi Hong Beng.

"Nah, orang muda. Apakah engkau sudah tahu akan dosa-dosamu, ataukah aku harus mengingatkanmu dengan kekerasan?" tanya Sin-kiam Mo-li, suaranya amat lembut dan pandang matanya berkilat.

Tujuh orang tosu itu bukan orang bodoh dan mereka pun tersenyum-senyum maklum, akan tetapi Sin-kiam Mo-li tidak peduli akan sikap mereka itu.

Hong Beng maklum bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, dia akan kalah. Baru menghadapi wakil ketua Pat-kwa-pai yang bermuka merah itu saja dia akan menemui lawan tangguh yang sukar dikalahkan, apa lagi di situ terdapat tujuh orang tosu dan agaknya wanita ini sendiri memiliki kepandaian yang tinggi.

Melawan dengan kekerasan berarti mengantar nyawa. Pula, apa gunanya melawan? Bukankah anak perempuan yang dicarinya telah berada di situ dan ternyata sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menurut pengakuan Hong Li, tidak pernah anak itu diculik oleh Sin-kiam Mo-li? Apa alasannya untuk mengamuk di situ?

Dia pun menjura dengan sikap hormat. "Aku telah melakukan kesalahan, memasuki daerah kekuasaan orang lain tanpa ijin. Semua ini terjadi karena salah sangka. Aku sedang mencari puteri bibi guruku yaitu Kao Hong Li yang kabarnya diculik orang. Ternyata ia berada di sini sebagai muridmu, oleh karena itu, aku kecelik dan mengaku salah. Terserah kepadamu, Sin-kiam Mo-li, kalau engkau hendak menawan aku karena kesalahanku."

Wanita itu tersenyum dan biar pun usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi ia kelihatan masih muda dan masih cantik menarik. Memang wanita ini luar biasa, dapat menjaga kemudaannya sehingga ia kelihatan seperti baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, masih cantik dengan sepasang matanya yang tajam penuh gairah dan semangat, mulutnya yang manis dengan bibir yang padat merah. Kulit mukanya yang masih halus kemerahan belum ada keriput, sedangkan tubuhnya masih padat dan langsing, tinggi ramping dan padat.

"Engkau adalah murid keluarga Pulau Es, seorang pendekar yang gagah perkasa. Dan kesalahanmu tidak kau sengaja, maka tentu saja aku dapat memaafkan. Akan tetapi sebagai balasannya, engkau harus bersikap bersahabat dengan kami. Sekarang tinggal engkau pilih, ehhh, siapa namamu, orang muda?"

"Namaku Gu Hong Beng."

"Nah, Gu-taihiap..."

"Ahhh, harap tidak berlebihan, aku bukan seorang pendekar besar," kata Hong Beng, merasa malu karena baru saja dia tidak berdaya dan bahkan nyawanya diselamatkan oleh seorang anak perempuan, bagaimana sekarang dia bisa menerima sebutan taihiap (pendekar besar)?

"Engkau memang patut disebut taihiap sebagai pewaris ilmu-ilmu yang hebat dari keluarga Pulau Es," kata Sin-kiam Mo-li sambil memainkan matanya yang tajam dan jeli.

Kalau menurut keinginan hatinya, ia ingin membasmi semua keluarga pendekar Pulau Es. Akan tetapi kini dipaksanya mulutnya untuk memuji-muji keluarga itu karena ia ingin sekali merayu dan menjatuhkan hati pemuda yang telah membuatnya mengilar dan tergila-gila ini.

"Sekarang tinggal engkau pilih. Kalau memang engkau menyesali kesalahanmu dan beriktikad baik, jadilah engkau tamuku yang terhormat selama satu bulan dan engkau boleh ikut berunding bersama kami mengenai urusan perjuangan yang sangat penting. Sebaliknya, kalau engkau memilih menjadi tawananku untuk menerima hukuman atas kesalahanmu, terserah."

Hong Beng mengerutkan alisnya. Andai kata di situ tidak ada tujuh orang tosu itu, agaknya ada keberatan baginya untuk memilih yang pertama, yaitu menjadi tamu wanita aneh ini. Akan tetapi, tujuh orang tosu pemberontak itu berada di situ dan mereka hendak bicara tentang perjuangan! Dia tahu benar apa artinya perjuangan itu bagi para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

Memang benar mereka itu selalu bermusuhan dengan pemerintah Mancu, namun di samping ini mereka pun terkenal sebagaai orang-orang sesat yang mengelabui rakyat dan tidak segan melakukan segala macam bentuk kejahatan yang kejam. Akan tetapi, kalau hanya menjadi tamu, apa salahnya. Dia boleh mendengarkan tanpa mencampuri, tanpa melibatkan dirinya.

Dia merasa serba salah, akan tetapi karena keadaan mendesak, dia pun menjura dan berkata, "Aku sudah melakukan kesalahan, oleh karena itu terserah kepadamu. Kalau kesalahanku dimaafkan dan aku dianggap sebagai tamu, aku merasa terhormat sekali dan mengucapkan terima kasih."

Sin-kiam Mo-li tertawa dan tidak peduli lagi akan sikap tujuh orang tosu yang rata-rata mengerutkan alis tanda tidak setuju. Akan tetapi karena yang menjadi pemilik tempat itu adalah Sin-kiam Mo-li, mereka pun tidak mampu mencegah. Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw itu, tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, kami bertujuh adalah tamu kehormatan dari Sin-kiam Mo-li, dan sekarang Gu-taihiap juga telah menjadi tamu kehormatan, berarti di antara kita sudah terikat tali persahabatan yang akrab. Gu-taihiap, terimalah hormat pinto, Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw!"

"Pinto Coa-ong Sengjin, sute-nya," berkata kakek kecil bongkok bermuka monyet yang memegang seekor ular hijau itu.

"Pinto Ang-bin Tosu dari Pek-lian-kauw juga," kata tosu kecil muka merah.

"Dan pinto adalah saudaranya yang berjuluk Im Yang Tosu," kata tosu yang wajahnya membayangkan kecongkakan, dengan mata sipit dan mulut tersenyum sinis.

"Ha-ha, kita sudah pernah berkenalan, Gu-taihiap. Pinto Ok Cin Cu dari Pat-kwa-pai dan dia itu Lam Cin Cu sute-ku, dan wakil ketua kami Thian Khong Cinjin. Perkenalkan kami dari Pat-kwa-pai, ha-ha-ha!"

Hong Beng dengan perasaan sangat tidak enak membalas penghormatan mereka dan menjawab, "Kita sama-sama menjadi tamu di sini, bukan berarti ada ikatan apa-apa di antara kita."

Para tosu itu hanya tertawa dan dengan gembira Sin-kiam Mo-li lalu memberi tanda kepada tiga orang pelayannya yang cepat bermunculan dari belakang pohon karena sejak tadi mereka pun berada di situ, siap menanti perintah pimpinan mereka setelah mereka tadi melaporkan tentang kemunculan pemuda lihai itu.

"Kalian layani Gu-taihiap untuk membersihkan diri. Berikan ia pakaian bersih, kemudian ajak dia menemuiku di ruangan tamu. Sediakan sebuah kamar untuk dia, kamar yang berada di sebelah kamarku. Layani dia baik-baik dan jangan ada yang berani kurang ajar! Awas, dia ini tamuku yang terhormat!"

Tiga orang wanita cantik itu saling pandang dan tersenyum, lalu mengangguk. Mereka sudah cukup mengenal watak guru dan majikan mereka, dan mereka juga tahu bahwa Sin-kiam Mo-li sudah tergila-gila kepada pemuda ini. Ucapannya tadi memperingatkan supaya mereka bertiga tidak berusaha untuk ‘mendekati’ pemuda itu yang sudah diaku sebagai milik pribadi Sin-kiam Mo-li! Sambil tersenyum ramah mereka menggandeng tangan Hong Beng dan diajaknya pemuda itu pergi bersama mereka.

Ingin Hong Beng memberontak ketika kedua tangannya digandeng dengan sikap genit dan manja oleh Ang Nio dan Pek Nio, akan tetapi Hek Nio yang berjalan di belakangnya berbisik, "Taihiap, tanpa bimbingan kami, mana mungkin engkau akan dapat tiba di rumah kami dengan selamat?"

Hong Beng pun melemaskan kedua tangannya dan menurut saja dituntun oleh kedua orang wanita cantik itu. Dia merasa tidak berdaya, dan merasa seperti seekor domba dituntun ke pejagalan. Apa gunanya meronta? Dia sudah menjadi tamu, dan terpaksa harus menerima pelayanan nyonya rumah!

Ia diajak melalui lorong yang berputar-putar, melalui lorong setapak dan kadang-kadang menyeberangi semak-semak, tidak melanjutkan jalan menurut lorong, dan akhirnya Hong Beng yang diam-diam mencurahkan perhatian, dapat mengetahui rahasia jalan itu. Ternyata lorong itu dibuat menurut garis-garis pat-kwa dan selanjutnya, setiap kali membelok atau memilih jalan bercabang, dia menduga terlebih dahulu dan memang cocok. Giranglah hatinya dan dia lupa bahwa dia masih berada di bawah kekuasaan Sin-kiam Mo-li.

Hong Beng diajak ke kamarnya, sebuah kamar yang besar dan mewah, dan dia pun dipersilakan mandi membersihkan lumpur kemudian berganti pakaian kering yang telah disiapkan pula. Akan tetapi dia menolak keras ketika tiga orang gadis cantik itu hendak turun tangan memandikannya!

"Apakah kalian berani hendak bersikap kurang ajar kepadaku? Akan kulaporkan kepada Mo-li!"

Benar saja, ancamannya ini berhasil baik. Tiga orang gadis itu mundur dengan wajah takut dan Ang Nio berkata, "Gu-taihiap tidak perlu marah. Kami bertiga tidak berniat kurang ajar, hanya bermaksud untuk membantu saja. Kalau taihiap tidak mau dilayani, silakan mandi sendiri, akan tetapi yang bersih karena kalau tidak bersih tentu ada bau busuk dari lumpur itu dan kami akan mendapat marah besar."

Hong Beng merasa diperlakukan seperti anak kecil, dimanja, akan tetapi walau pun dia merasa panas di dalam hatinya, dia diam saja dan segera mandi. Segar rasa badannya, apa lagi setelah mengenakan pakaian bersih dan kering, pikirannya menjadi semakin tenang dan diam-diam dia bertanya di dalam hati, apa sebetulnya yang telah terjadi dengan diri Hong Li maka kini ia dapat menjadi anak angkat dan murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li.

Dia teringat akan cerita Kao Cin Liong bahwa tadinya Hong Li diculik oleh seorang pendeta dari Tibet yang berjuluk Ang I Lama yang lihai ilmu silatnya dan pandai ilmu sihir pula. Kemudian, ketika bertemu dengan pendeta itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui tidak mampu mendapatkan jejak Hong Li dan ternyata kakek pendeta itu tidak pernah melakukan penculikan. Bahkan kemudian kakek itu kabarnya tewas terbunuh dan para pendeta Lama menuduh suami isteri Kao itu yang telah membunuhnya.

Dan kini, tahu-tahu Hong Li berada di tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, bukan sebagai anak yang diculik, melainkan sebagai anak angkat dan juga murid! Ingin sekali dia dapat bertemu dengan anak itu dan mendengar keterangannya. Kalau sudah mendengarkan keterangan anak itu, barulah dia akan bertindak sedapat dan sekuat mungkin untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li sebagaimana mestinya.

Apakah Sin-kiam Mo-li penolong anak itu? Kalau benar demikian, tentu saja dia tidak akan memusuhinya. Sementara ini dia akan bersikap biasa saja, sebagai seorang tamu yang dihormati dan menghormati nyonya rumah. Diam-diam dia akan memperhatikan bagaimana hubungan antara Sin-kiam Mo-li dengan tujuh orang tosu itu dan apa saja yang akan mereka bicarakan tanpa mencampuri urusan mereka.

Begitu dia selesai berpakaian, tiga orang gadis pelayan itu telah memasuki kamarnya lagi dan mengatakan bahwa kini mereka bertugas mengantar Hong Beng ke ruangan makan seperti yang diperintahkan majikan mereka. Hong Beng mengangguk dan keluar bersama mereka tanpa membantah.

Hatinya panas kembali dan merasa kesal sekali ketika dia melihat betapa ketiga orang gadis itu mengamatinya penuh perhatian. Bahkan Ang Nio lalu mengembang-kempiskan hidung sambil mendekatinya. Jelas gadis itu mencium-cium ke arah tubuhnya!

"Hemm, taihiap sudah tidak kotor lagi, tidak ada lagi bau lumpur yang busuk dan amis," katanya lirih.

"Sekarang baunya sedap!" sambung Pek Nio dengan genit sekali.

Akan tetapi Hong Beng tidak menanggapi, hanya cemberut saja dan ini sudah cukup untuk membuat mereka diam dan tidak berani melanjutkan godaan. Diam-diam Hong Beng bergidik.

Sin-kiam Mo-li memiliki tiga orang pelayan yang cantik-cantik dan genit-genit. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana kalau dia terjatuh ke dalam kekuasaan tiga orang gadis ini. Mereka bersikap bagaikan tiga ekor harimau kelaparan menghadapi seekor kelinci saja. Tentu dia akan diterkam mereka dan dirobek-robek!

Ketika dia tiba di ruangan makan yang lebar dan mewah juga, dengan perabot yang serba mahal, Sin-kiam Mo-li sudah duduk di situ bersama tujuh orang tosu itu. Sekarang Sin-kiam Mo-li nampak lebih cantik, sudah berganti pakaian dan rambutnya disisir rapi, digelung dan dihias dengan tusuk konde berlian dan jepit rambut batu kemala.

Ketika melihat Hong Beng yang mengenakan pakaian bersih berwarna biru itu, pakaian yang banyak dimiliki Sin-kiam Mo-li untuk diberikan kepada laki-laki yang diculiknya dan menjadi korbannya, wanita ini bangkit berdiri. Sepasang mata yang mencorong itu memandang kagum dan menyapu seluruh tubuh dan wajah Hong Beng tanpa berkedip, membuat pemuda itu merasa salah tingkah dan mengerutkan alisnya, berdiri saja dan balas memandang. Sin-kiam Mo-li tersenyum manis sekali.

"Gu-taihiap, setelah bertukar pakaian dan bersih, ternyata nampak tampan dan gagah bukan main, seperti tokoh Si Jin Kwi!" Ia memuji terang-terangan tanpa malu-malu lagi di depan para tosu yang tertawa-tawa.

Hong Beng mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu semakin dalam, dan wajahnya yang putih bersih itu mendadak berubah merah. Dia merasa malu dan juga marah sebab pujian itu melampaui batas, tak patut keluar dari mulut seorang wanita baik-baik, apa lagi di depan banyak orang. Orang macam apakah wanita ini, pikirnya. Dia tidak menjawab, hanya berdiri dengan kikuk.

Melihat ini, hati Sin-kiam Mo-li menjadi semakin gembira. Jelas seorang pemuda yang masih hijau, seorang perjaka yang agaknya belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan kalau tidak ditahannya, tentu air liurnya keluar dari tepi mulut seperti seekor sapi kelaparan melihat rumput muda menghijau.

"Gu-taihiap, silakan duduk," katanya menunjuk ke sebuah bangku di sisi kanannya yang kosong.

Dan karena tidak ada bangku lain yang kosong, semua sudah ditempati para tosu dan Sin-kiam Mo-li, hanya sebuah yang kosong di sebelah kanan wanita itu, dan agaknya memang sudah diatur demikian, terpaksa Hong Beng lalu duduk di situ. Baru saja dia duduk, dia telah merasa betapa lutut kirinya bersentuhan dengan lutut kanan wanita itu. Cepat dengan gerakan halus dia menarik lututnya dan merapatkan kedua pahanya.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memberi isyarat kepada tiga orang pelayannya. Ang Nio datang membawa seguci arak dan dengan sikap manis ia menuangkan arak merah ke dalam sebuah cawan kosong. Sin-kiam Mo-li menyerahkan secawan arak itu kepada Hong Beng.....

"Terimalah cawan arak pertama sebagai ucapan selamat datang, taihiap!" katanya.

Saat Hong Beng menerima cawan arak itu, pemuda ini merasa betapa jari tangan yang halus lunak dan hangat menyentuh jarinya. Dia tidak berani menolak, lalu menghaturkan terima kasih sambil minum arak itu sampai habis. Arak yang manis dan enak. Akan tetapi Ang Nio memenuhi cawannya lagi.

Sin-kiam Mo-li menyodorkan arak dalam cawan itu sambil berkata, "Cawan ke dua ini untuk menghormatimu sebagai tamu kami, taihiap."

Kembali Hong Beng minum arak itu tanpa membantah. Para tosu tertawa dan suasana menjadi gembira ketika Pek Nio dan Hek Nio datang seperti menari-nari, membawa baki yang berisi mangkok-mangkok penuh masakan yang beraneka macam, masih panas mengepul dan baunya sedap bukan main.

"Aihhh, bukan main sedapnya!" beberapa orang tosu berseru sambil mengecap-ngecap bibir.

Segera masakan di dalam mangkok-mangkok besar itu diatur di atas meja dan Sin-kiam Mo-li mempersilakan mereka makan minum. Hong Beng tidak bersikap malu-malu lagi karena memang perutnya juga sudah lapar sekali. Dia pun turut memainkan sepasang sumpitnya untuk memindahkan potongan-potongan daging dan sayur ke dalam perut melalui mulutnya, disiram oleh arak yang manis dan sedap.

Sebentar saja, sembilan orang itu telah makan sampai kenyang dan para tosu sudah menjadi setengah mabok karena terlalu banyak minum arak. Hong Beng menjaga diri dan hanya minum kalau setengah dipaksa oleh Sin-kiam Mo-li. Wanita ini sendiri, biar pun tidak mabok, namun wajahnya yang putih cantik itu telah menjadi merah sekali dan sepasang matanya seperti berminyak dan mengkilat.

Tiba-tiba ia menuangkan arak ke dalam cawan araknya sendiri yang setengahnya masih terisi, lalu mengangkat cawan arak itu diberikan kepada Hong Beng! Tentu saja pemuda ini ragu-ragu untuk menerimanya. Cawan itu milik Sin-kiam Mo-li, dan tadi masih ada setengahnya! Akan tetapi Sin kiam Mo-li dengan senyum manis sekali dan memandang dengan penuh gairah, berkata dengan suara yang merdu merayu.

"Gu-taihiap, atas nama persahabatan antara kita, demi eratnya persahabatan kita yang mesra, sudilah engkau menerima arak ini, taihiap."

Bagaimana mungkin Hong Beng mampu menolak? Suguhan arak itu diberikan dengan alasan persahabatan dan kalau dia menolak, berarti dia tidak mau bersahabat! Dan sinar mata wanita itu demikian jeli, demikian penuh permohonan, sehingga dia pun tidak tega lagi untuk menolak! Pemuda ini sama sekali tidak sadar bahwa Sin-kiam Mo-li telah mempergunakan kekuatan sihirnya, mulai merayunya melalui suguhan arak!

Hong Beng minum habis arak itu dan ketika dia meletakkan cawan kosong itu di depan Sin-kiam Mo-li, wanita itu menurunkan tangannya seperti tidak disengaja. Akan tetapi tangan itu kini menutup tangan kiri Hong Beng dan jari-jari tangan yang kecil panjang dan lunak hangat itu mencengkeram punggung tangan Hong Beng.

Seperti orang linglung, Hong Beng mengangkat muka memandang dan melihat betapa cantiknya wajah wanita di sebelahnya itu, yang memandang padanya dengan sepasang mata seperti matahari kembar dan senyum yang lebih manis dan hangat dari pada arak yang diminumnya tadi. Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras, jalan darahnya berdenyut-denyut dan belum pernah rasanya dia melihat wanita yang secantik Sin-kiam Mo-li!

Tanpa disadarinya, dia pun membalas senyum itu. Bahkan dia lalu membalikkan tangan kirinya dan jari-jari tangannya bertemu dengan jemari tangan wanita itu. Telapak tangan mereka juga bertemu dengan hangatnya.

"Ha-ha-ha, tiba saatnya bagi kita untuk bermesraan!" terdengar suara seorang di antara tosu-tosu itu.

Ketika Hong Beng menengok, ternyata Ok Cin Cu telah menangkap pinggang ramping dari Hek Nio. Kini gadis berpakaian serba hitam itu telah ditarik ke atas pangkuannya! Hek Nio hanya terkekeh genit ketika tosu itu meraba-raba dan menciumnya.

"Siancai...!" kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw dengan alis berkerut saat melihat ulah anak buahnya itu. "Kita belum lagi mengadakan rapat pembicaraan tentang perjuangan itu sampai matang. Urusan senang-senang boleh ditunda dulu."

"Hai, Ok Cin Cu, jangan tamak engkau!" seru Ang Bin Tosu tokoh Pek-lian-kauw kepada tokoh Pat-kwa-kauw itu. "Kita ada bertujuh di sini, dan ceweknya hanya ada tiga orang! Harus dibagi rata!"

"Sebaiknya mereka melayani kita secara bergilir!"

"Diundi dulu, siapa yang paling dulu dan bagaimana cara gilirannya menurut undian!"

Sambil tertawa-tawa, tujuh orang tosu itu memberi usul-usul. Akhirnya Sin-kiam Mo-li yang masih saling berpegang tangan dengan Hong Beng itu berkata,

"Cuwi totiang, harap jangan ribut-ribut. Kita di antara kawan sendiri, bukan? Dengarlah, urusan rapat, sebaiknya dilanjutkan besok siang saja karena malam ini aku... ehhh…," ia menoleh kepada Hong Beng, "ingin beristirahat dulu. Dan tiga orang pembantuku itu boleh saja melayani kalian, dan memang sebaiknya diadakan undian sehingga tidak terjadi perebutan."

Ia lalu bangkit berdiri dan menarik Hong Beng bangun. Pemuda ini menurut saja ditarik bangkit seperti orang kehilangan semangat. Memang semangat dan kemauannya telah ditekan dan dikurung oleh kekuatan sihir Sin-kiam Mo-li.

"Tentang undian itu, silakan atur sendiri. Nah, aku mengundurkan diri lebih dulu."

Sin-kiam Mo-li menarik tangan Hong Beng. Seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya dan kini ditarik ke pejagalan, Hong Beng menurut saja walau pun pandang matanya mulai bingung. Apa yang didengar dan dilihatnya di ruangan makan itu membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia merasa ngeri dan muak sekali, akan tetapi sungguh aneh, tidak ada kemauan untuk meronta sama sekali ketika Sin-kiam Mo-li menariknya menuju ke kamar nyonya rumah itu!

Sejak kecil Hong Beng menerima gemblengan dari Suma Ciang Bun. Ilmu-ilmu dari Pulau Es adalah ilmu yang tinggi dan cara melatih sinkang membuat batin Hong Beng kuat sekali sehingga jika memang dia menyadari dan mengerahkan kekuatan batinnya, tidak mudah dia jatuh ke bawah pengaruh sihir. Akan tetapi, ketika dia makan minum dengan Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang cerdik dan dapat menduga akan kekuatan pemuda itu telah mempergunakan sihirnya secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit sehingga tanpa disadarinya, Hong Beng tercengkeram olehnya.

Akan tetapi, begitu melihat suasana yang dianggapnya memuakkan di ruangan makan tadi, di mana para tosu memperebutkan tiga orang pelayan wanita itu, keheranan dan kemuakan menyelinap di dalam benak Hong Beng dan membuat dia bercuriga. Walau pun kemauannya sudah lemah dan dia membiarkan dirinya ditarik oleh Sin-kiam Mo-li menuju ke dalam kamarnya, tetapi diam-diam Hong Beng mulai mengerahkan kekuatan batinnya.

Begitu masuk kamar, Sin-kiam Mo-li menendang daun pintu tertutup dan ia menarik Hong Beng ke tempat tidur, lalu menerkam pemuda itu, mendekap dan menciuminya seperti seekor harimau menerkam domba, penuh dengan nafsu birahi. Akau tetapi, hal ini bahkan mempercepat kesadaran Hong Beng yang meski pun tadi dipengaruhi sihir, namun masih belum disentuh deh nafsu birahi.

"Ihhh...!" Dia membentak, meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

Sin-kiam Mo-li mengembangkan kedua lengannya ke arah Hong Beng sambil bangkit duduk. Sepasang matanya berminyak, mulutnya mulai merintih-rintih, namun ia masih mencoba untuk mengerahkan kekuatan sihirnya.

"Gu Hong Beng, kekasihku... kita... kita saling mencinta. Ke sinilah, sayang, marilah kita bersenang-senang... bukankah kita telah menjadi sahabat yang amat mesra dan akrab? Ke sinilah, taihiap, kekasihku tercinta..."

Akan tetapi, mendengar ucapan penuh rayuan yang amat asing baginya ini, kesadaran Hong Beng semakin pulih dan dia mengerutkan alisnya, lalu menudingkan telunjuknya dengan marah.

"Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau perempuan yang tidak tahu malu, tidak mengenal kesusilaan. Apa yang telah kau lakukan ini? Aku bukanlah laki-laki pelacur seperti yang kau kira! Aku... aku akan pergi dari sini, mengajak pergi nona Kao Hong Li!" Berkata demikian, Hong Beng hendak keluar dari dalam kamar itu.

"Berhenti...!" Tiba-tiba suara Sin-kiam Mo-li sudah berubah.

Ketika ia berkelebat menghadang di depan pintu, Hong Beng melihat betapa wajah yang tadi nampak cantik manis itu sekarang nampak seperti wajah iblis betina yang beringas, sepasang mata itu mencorong penuh kekejaman dan mulut itu menyeringai mengerikan!

"Gu Hong Beng, laki-laki tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Engkau sudah menentukan pilihanmu sendiri. Bukankah engkau memilih di antara dua, yaitu menjadi tamu atau menjadi tawanan? Engkau memilih menjadi tamu dan aku memperlakukanmu seperti seorang tamu agung, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menghinaku! Jangan harap engkau dapat keluar dari sini, apa lagi membawa muridku!" Berkata demikian, wanita yang marah itu maju menghampiri. "Masih kuberi kesempatan sekali lagi. Engkau mau melayani aku dan bersenang-senang dengan aku selama sebulan ini, ataukah engkau menjadi tawananku dan mungkin akan kubunuh?"

"Cih, perempuan tak tahu malu! Siapa yang takut mati? Lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu melakukan perbuatan hina dan rendah!"

"Keparat sombong!" Sin-kiam Mo-li membentak.

Wanita ini telah menerjang maju dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya menampar ke arah pelipis kepala Hong Beng. Pemuda ini sudah nekat. Bagaimana pun juga, tidak sudi dia memenuhi permintaan wanita iblis cabul itu dan biar pun dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, namun lebih baik dia mati dari pada harus menyerah.

Melihat datangnya pukulan dahsyat itu, dia pun menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang yang sangat dingin, sedangkan tangan kirinya membarengi tangkisan itu, mendorong ke arah lambung lawan yang terbuka.

"Dukkk...!"

Dua lengan bertemu dan wanita itu cepat meliukkan tubuh menghindarkan dorongan ke arah lambungnya. Ia dapat merasa betapa tangkisan itu mengandung hawa amat dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Cepat ia mengerahkan sinkang melawan dan ia pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar tangguh, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa pemuda ini adalah murid keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki sinkang dahsyat, yaitu Hwi-yang Sinkang yang panas dan Swat-im Sinkang yang amat dingin.

Maklum bahwa menghadapi pemuda ini dengan tangan kosong akan memakan waktu lama dan tidak mudah baginya untuk merobohkannya, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat ke dekat meja dan menyambar sebatang kebutan bergagang emas yang bulunya merah. Begitu dikelebatkannya kebutan ini, nampak sinar merah bergulung-gulung menyambar ke arah Hong Beng.

Pemuda ini lalu melawan sekuat tenaga. Untuk menangkis dan menghindarkan diri dari kebutan berbulu merah yang mengandung racun itu, dia mengeluarkan ilmu silat Hong In Bun-hoat yang gerakan-gerakannya halus tapi mengandung kekuatan sinkang hebat sehingga dapat mendorong pergi ujung kebutan setiap kali ujung kebutan mengancam tubuhnya. Tetapi, karena dia tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li yang dibarengi dengan menyambarnya kebutan itu, menyerempet pinggang pemuda itu sehingga dia terpelanting dan terhuyung.

Marahlah Hong Beng. Dia kemudian nekat dan dengan mengeluarkan suara melengking nyaring, ia menyerang dengan Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu sesat dari Pulau Neraka, dimiliki oleh guru Hong Beng dari nenek Lulu dan biar pun ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun dahsyatnya bukan kepalang.

Begitu Hong Beng menyerang, diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut karena kebutannya dapat terpukul membalik, bahkan dadanya nyaris pula terkena pukulan. Untung ia masih sempat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik, lalu memutar kebutan di depan tubuh untuk menghalau serangan berikutnya.

Tapi Hong Beng tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Dia mendesak maju dengan jurus berikutnya dari Cui-beng Pat-ciang (Delapan Jurus Pengejar Arwah)! Kembali kebutan merah itu terpukul membalik dan dua pukulan tangan dari kanan kiri mengancam Sin-kiam Mo-li.

Wanita ini terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa murid keluarga Pulau Es memiliki pukulan yang demikian mengerikan, yang sifatnya ganas dan lebih tepat kalau dimiliki golongan sesat. Karena tidak mengenal jurus-jurus ini, maka ia terdesak dan terpaksa ia kembali melempar tubuh ke belakang, mendekati dinding dan sekaligus ia mencabut sebatang pedang yang tergantung di situ.

Dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li sekarang menyerang Hong Beng. Hebat memang wanita ini kalau sudah memainkan dua buah senjatanya. Pedangnya menyambar-nyambar ganas sedangkan kebutannya membantu gerakan pedang, bahkan kedua senjata itu selain saling bantu dalam serangan, juga saling melindungi. Kalau pedang menangkis, kebutan menyerang dan sebaliknya.

Dan Hong Beng yang bertangan kosong itu terdesak hebat! Ketika dia tersudut dan tidak ada jalan keluar lagi, pemuda ini menjadi nekat hendak mengadu nyawa. Sambil mengeluarkan pekik dahsyat, dia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun, yang membuat kedua tangannya menjadi lemas bagai kapas, namun mengandung tenaga dahsyat yang dapat mencabut nyawa lawan dengan sekali pukul.

Namun, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li menyambar sedangkan kebutannya menotok ke arah pergelangan tangan yang memukul. Hong Beng tentu saja menarik tangannya karena maklum bahwa ujung kebutan itu beracun dan biar pun dia sudah miringkan tubuh, tetap saja pundaknya tercium pedang sehingga bajunya robek berikut kulit dan sedikit daging di pangkal lengan kirinya! Sebuah tendangan yang menyusul, membuat tubuhnya terlempar ke arah pintu kamar.

"Tukkk!"

Tubuh itu disambut oleh seorang tosu yang sudah menotoknya dengan ujung tongkat sehingga Hong Beng roboh dengan kaki tangan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi.

"Ha-ha-ha, apakah pengantinmu ini banyak bertingkah, Mo-li?" kata Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang tadi mempergunakan tongkat naga hitamnya menotok Hong Beng yang sudah terluka.

Tosu ini sedang menunggu gilirannya karena ketika menarik undian, gilirannya adalah yang terakhir. Tiga orang tosu memasuki kamar bersama tiga orang gadis pelayan, sedangkan yang tiga orang lagi termasuk Thian Kek Sengjin, menanti giliran mereka. Karena iseng, Thian Kek Sengjin lalu berjalan-jalan menuju ke kamar Sin-kiam Mo-li sehingga dia dapat merobohkan Hong Beng yang kebetulan terlempar ke pintu ketika dia membuka daun pintu karena mendengar suara perkelahian di dalam kamar itu.

"Biar kubunuh saja tikus kecil ini!" kata pula Thian Kek Sengjin sambil menggerakkan tongkatnya.

"Jangan!" teriak Sin-kiam Mo-li. "Dia menjadi sandera yang berharga bagi kita."

Memang wanita itu cerdik. Mendapat tawanan murid keluarga Pulau Es merupakan modal yang baik, karena pemuda itu dapat menjadi sandera yang tentu akan dihargai oleh keluarga Pulau Es. Selain itu, juga diam-diam ia masih mengharapkan untuk dapat mematahkan semangat pemuda ini dan suatu saat dapat menjatuhkan hati pemuda itu serta menariknya ke dalam pelukannya.

"Ha-ha-ha, pendapat itu boleh juga," kata Thian Kek Sengjin sambil tertawa. "Dan bagai mana jika pinto saja menggantikan pemuda ini untuk menghibur hatimu yang kecewa?"

Sin-kiam Mo-li mengangkat muka memandang tosu itu. Seorang tosu yang meski pun sudah tua, namun nampak masih penuh semangat. Tubuhnya kurus kering, akan tetapi mukanya merah darah dan gerak-geriknya masih tangkas dan gesit, sepasang matanya bercahaya seperti mata kucing. Boleh juga, pikirnya, karena selain hatinya kesal atas penolakan Hong Beng dan ia membutuhkan teman untuk menghiburnya, juga ia melihat keuntungannya kalau berbaik dengan tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan mempunyai pengaruh besar di perkumpulannya itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Baiklah, totiang. Akan tetapi bantu dulu aku melempar orang keras kepala ini ke dalam kamar tahanan karena tiga orang pelayanku sedang sibuk melayani para tosu lainnya."

Tentu saja Thian Kek Sengjin gembira sekali. Dia bukanlah seorang pengejar wanita cantik seperti Ok Cin Cu dan yang lain, akan tetapi baginya jauh lebih menyenangkan menjadi teman tidur nyonya rumah yang meski pun sudah lebih tua, namun jauh lebih cantik menarik dari pada tiga orang gadis pelayan itu, apa lagi kalau dia memperoleh giliran paling akhir! Dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, sekali mencongkel dengan tongkatnya, tubuh pemuda itu terangkat naik dan dikempitnya.

"Ke mana ia harus dilempar?" tanyanya sambil menyeringai. Wajahnya yang kemerahan memang tidak begitu buruk seperti para tosu lainnya, maka tidak mengherankan kalau Sin-kiam Mo-li menerimanya.

"Mari ikuti aku," berkata wanita itu sambil memasuki sebuah pintu rahasia di ruangan belakang.

Pintu ini tersembunyi di balik sebuah almari yang digeser ke kiri dan di belakang pintu terdapat sebuah terowongan yang menuju ke bawah tanah. Kiranya rumah besar itu selain terjaga di sekelilingnya oleh tempat-tempat rahasia penuh jebakan, juga memiliki ruangan bawah tanah yang cukup luas!

Ia memasuki sebuah kamar tahanan di bawah tanah itu, kamar tahanan yang sangat kuat karena dindingnya dilapisi baja dan pintunya juga dari baja dengan ruji-ruji sebesar lengan yang amat kokohnya pada jendela kamar itu. Dengan kasar Thian Kek Sengjin melempar tubuh Hong Beng ke dalam kamar ini yang berlantai batu. Tubuh yang sudah lumpuh kaki tangannya dan tidak mampu bergerak itu terbanting ke atas lantai, lalu daun pintunya ditutup dan dikunci dari luar oleh Sin-kiam Mo-li.

Kebetulan Hong Beng terjatuh dengan muka menghadap keluar, maka Sin-kiam Mo-li memandang kepadanya, kemudian tersenyum dan berkata, "Gu Hong Beng, kalau aku menghendaki, saat ini engkau tentu sudah menjadi mayat."

"Bunuhlah, tak perlu banyak cerewet. Siapa takut mati?" Hong Beng menjawab. Yang lumpuh hanya kaki dan tangannya, sedangkan anggota tubuh lainnya tidak.

Sin-kiam Mo-li tidak marah, hanya tertawa. Kini ia sudah dapat mengatasi kekecewaan dan kemarahannya. Menghadapi seorang pemuda gagah perkasa dan keras hati seperti murid keluarga Pulau Es ini tidak boleh mempergunakan kekerasan seperti terhadap pemuda lain yang pernah diculiknya, hal ini ia tahu benar. Maka, ia pun ingin berganti siasat.

"Justru karena engkau tidak takut mati maka aku merasa sayang untuk membunuhmu. Nah, kuberi waktu padamu untuk merenungkan semua keadaanmu dan kuharap engkau tidak begitu tolol untuk mempertahankan kekerasan hatimu dan memilih mati secara konyol." Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li tersenyum dan menggandeng tangan Thian Kek Sengjin yang tertawa-tawa ketika mereka berdua bergandeng tangan pergi meninggalkan ruangan bawah tanah itu.

Hong Beng menggeletak di lantai kamar tahanan itu. Sunyi bukan main di situ, tidak terdengar suara apa pun dan tidak terlihat sesuatu yang bergerak. Dia merasa seperti berada di dunia lain! Untung masih ada sebuah lampu lentera tergantung di luar kamar tahanan dan sinarnya memasuki kamar melalui jendela jeruji baja.

Hong Beng maklum bahwa ia tak dapat mengharapkan bantuan dari luar. Mati hidupnya tergantung kepada dirinya sendiri dan selagi dia masih bernapas, dia tidak akan putus harapan. Akan tetapi, bagaimana pun juga, kalau jalan keselamatannya harus melalui penyerahan diri kepada Sin-kiam Mo-li seperti yang dikehendaki wanita cabul itu, dia tetap menolak dan memilih mati!

Dia sudah banyak mendengar dari suhu-nya dan juga dari pengalamannya di dunia kang-ouw mengenai wanita cabul macam Sin-kiam Mo-li. Kalau sudah bosan kepada seorang laki-laki, tentu akan dibunuhnya.

Yang paling penting adalah membebaskan totokan ini, pikirnya. Maka Hong Beng lalu memejamkan dua matanya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan pemuda ini mulai mengerahkan hawa murni di tubuhnya untuk membobol bendungan jalan darah yang tertotok. Totokan di punggung oleh tongkat tokoh Pek-lian-kauw tadi memang hebat dan melumpuhkan kedua kaki tangannya.

Akhirnya, setelah dia mulai dapat mengumpulkan tenaga dan daya totokan itu pun mulai melemah, dia mampu membebaskan diri dari totokan itu dan mampu menggerakkan kembali kaki tangannya. Hong Beng lalu bangkit duduk dan bersila, bersemedhi sekian lamanya sampai tenaganya pulih kembali.

Diperiksanya luka di pundak. Hanya luka lecet, tidak berbahaya dan darahnya sudah berhenti. Dengan robekan ikat pinggang, dibalutnya pundak itu. Kemudian dia bangkit berdiri berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan kekakuan kedua kakinya, barulah dia mulai memeriksa kamar tahanan itu.

Dicobanya ruji baja dan pintu, namun dia mendapat kenyataan bahwa dengan tenaga biasa, tak mungkin dia akan mampu lolos dari kamar baja ini seperti yang sudah diduga. Orang macam Sin-kiam Mo-li tidak mungkin demikian ceroboh dalam membuat kamar tahanan. Tiada jalan lain baginya kecuali menanti apa yang akan datang menimpanya. Yang penting, dia sudah dapat bergerak dan masih hidup! Maka dia pun kembali duduk bersila di tengah kamar itu, di atas lantai batu yang dingin.

Entah berapa lamanya dia bersemedhi, Hong Beng tidak tahu karena di dalam kamar tahanan itu tidak pernah dapat didengar suara apa-apa, juga hanya lentera itu yang menerangi cuaca sehingga dia tidak mengenal waktu. Tiba-tiba telinganya yang terlatih mendengar langkah kaki lirih menghampiri kamarnya dan tidak lama kemudian, dari jendela terdengar suara mendesis.

"Sssttt...!"

Hong Beng mengangkat muka dan melihat wajah gadis cilik yang mengaku bernama Kao Hong Li itu sudah menjenguk dari luar jeruji jendela. Cepat-cepat dia bangkit dan menghampiri.

"Suheng, aku menyesal sekali bahwa gara-gara aku engkau sampai tertangkap dan ditawan di sini," kata Hong Li.

"Nona... ehh, sumoi Kao Hong Li, apakah engkau dapat membuka pintu ini dari luar?"

Gadis remaja itu menggelengkan kepalanya. "Penyimpan kunci adalah subo sendiri dan pintu ini tidak mungkin dibuka tanpa kunci."

Hong Beng mengerti. "Sumoi, kalau begitu, selagi kini ada kesempatan, ceritakanlah kepadaku semua pengalamanmu secara singkat saja. Bagaimana engkau yang katanya dahulu diculik seorang pendeta Lama, tahu-tahu dapat menjadi anak angkat dari murid Sin-kiam Mo-li."

Tadi ketika diusir pergi oleh gurunya, Hong Li memasuki kamarnya dan anak ini mulai memutar otaknya. Hatinya merasa tidak senang kepada subo-nya dan timbul rasa penasaran, heran dan juga curiga terhadap subo-nya yang menjamu tujuh orang tosu yang kelihatan begitu kurang ajar, kasar dan ganas. Apa lagi ketika ia teringat kepada Gu Hong Beng, orang yang bahkan menjadi utusan ayah ibunya untuk mencarinya, hatinya dipenuhi rasa khawatir.

Malam itu, diam-diam ia keluar dari tempat tidurnya kemudian melakukan pengintaian. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat Gu Hong Beng dikempit oleh seorang tosu kurus kering yang berjalan menuju ke lorong bawah tanah bersama subo-nya. Ia menanti sampai dua orang yang tertawa-tawa sambil bergandeng tangan itu keluar dari lorong bawah tanah.

Hong Li bersikap hati-hati sekali, tidak berani segera memasuki lorong itu karena dia khawatir kalau-kalau subo-nya akan kembali. Ia menanti sampai jauh malam. Setelah suasana sunyi, tidak nampak tiga orang gadis pelayan yang ia tidak tahu entah berada di mana, tidak nampak seorang pun di luar kamar, ia lalu menyelinap dan memasuki lorong bawah tanah melalui pintu rahasia yang sudah dikenalnya. Seperti yang sudah dikhawatirkannya, dia melihat pemuda itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat itu.

"Aku dulu memang diculik orang, suheng," Hong Li mulai bercerita. "Penculikku adalah seorang kakek bernama Ang I Lama. Akan tetapi, di tengah perjalanan, aku ditolong dan dilarikan oleh subo yang kemudian mengangkatku sebagai anak dan mengambil aku sebagai murid, setelah minta aku berjanji untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Karena aku merasa berhutang budi, maka aku pun berjanji dan aku menjadi muridnya sampai sekarang."

Hong Beng mengerutkan alisnya. Kalau begitu, benarlah bahwa wanita iblis itu bukan penculik Hong Li, bahkan penolongnya! Lalu ia pun teringat akan kematian Ang I Lama yang kemudian dikabarkan bahwa pembunuhnya adalah ayah ibu gadis remaja ini.

"Adik Hong Li, apakah engkau tahu apa yang selanjutnya terjadi dengan Ang I Lama, penculikmu itu?"

"Ah, dia telah datang ke sini untuk merampasku kembali, akan tetapi dalam perkelahian yang amat hebat, akhirnya dia terkena tusukan pedang subo dan dia melarikan diri, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi."

Hong Beng mengangguk-angguk, kini mengerti bahwa pembunuh Ang I Lama adalah Sin-kiam Mo-li pula.

"Dengar, adik Hong Li, engkau telah terjatuh ke tangan orang yang amat jahat. Engkau tahu, orang yang menjadi gurumu itu bersekongkol dengan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, orang-orang yang amat jahat walau pun mereka berpakaian pendeta. Oleh karena itu sekarang engkau pergilah meninggalkan tempat ini. Selagi ada kesempatan, sumoi. Mereka semua sedang bersenang-senang dan engkau tentu akan mampu keluar dari daerah ini dengan selamat."

"Pergi? Tapi... ke mana...?" Gadis remaja itu memandang dengan mata terbelalak. "Aku tidak tahu jalan pulang..."

"Pergilah, ke mana saja asal tidak di sini. Perlahan-lahan engkau dapat mencari jalan pulang. Percayalah kepadaku, demi keselamatanmu, pergilah dari sini malam ini juga..."

"Akan tetapi engkau sendiri menjadi tawanan..."

"Jangan hiraukan aku, sumoi. Yang paling penting engkau harus bebas dari neraka ini sebelum terjadi hal yang lebih buruk atas dirimu. Aku akan menanti kesempatan dan berusaha menyelamatkan diri."

Akan tetapi gadis cilik itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, suheng. Aku tidak mungkin pergi dari sini meninggalkan subo."

"Ehhh? Kenapa tak mungkin?" Hong Beng memandang heran.

"Lupakah kau akan ceritaku tadi? Aku telah diselamatkan subo dari tangan penculikku dan aku sudah berjanji dengan sumpah untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Sebelum lewat waktu itu, tak mungkin aku pergi meninggalkannya."

"Akan tetapi, ia bukan orang baik-baik. Ia seorang yang jahat sekali, iblis betina yang kejam, ahh, engkau tidak dapat membayangkan betapa kejam dan jahatnya..."

Hong Beng bergidik membayangkan gadis cilik ini menjadi murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li. "Engkau pergilah dari sini!"

"Tidak, suheng, bagaimana pun juga aku tidak akan pergi, kecuali kalau subo yang menyuruh aku pergi atau... kalau subo sudah tidak ada lagi. Selama ia masih hidup dan tidak menyuruh aku pergi, aku tidak akan melanggar janji dan sumpahku sendiri!"

Hong Beng memandang kagum. Bagaimana pun juga, anak ini sungguh mengagumkan dan pantas menjadi puteri keluarga Kao, keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir! Masih kecil namun sudah demikian gagah dan teguh memegang janji.

"Baiklah kalau begitu, pergilah keluar dari sini, sumoi, jangan sampai ketahuan orang lain bahwa engkau masuk ke sini."

"Nanti dulu, suheng, aku harus mencari akal bagaimana untuk dapat membebaskan engkau dari sini. Kalau engkau dapat keluar dari kamar ini, lalu aku mengantarkan kau keluar dari daerah kami, tentu kau akan selamat." Anak itu mengerutkan alisnya, berpikir mencari akal. Akan tetapi ia tidak dapat menemukan akal itu.

"Aihh..." ia mengeluh dan menggeleng kepala. "Satu-satunya jalan adalah mencuri kunci itu dari subo. Akan tetapi betapa mungkin kalau kunci itu selalu dikantonginya?"

“Memang tidak mungkin, murid murtad!" Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li dan wanita itu telah berdiri di ambang pintu!

Hong Li membalikkan tubuhnya menghadapi subo-nya, sedikit pun tidak nampak takut! Bukan kebetulan saja Sin-kiam Mo-li memasuki lorong bawah tanah itu.

Tadi sebagai pengganti Hong Beng yang menolaknya ia mengajak Thian Kek Sengjin ke dalam kamarnya. Tetapi ia sama sekali tidak memperoleh kepuasan atau kesenangan bersama tosu ini, bahkan ia merasa muak dan akhirnya ia menyuruh tosu itu pindah ke kamarnya sendiri dengan alasan bahwa kepalanya pusing dan ia mau istirahat dan tidur sendiri.

Dengan sikap penuh kemenangan Thian Kek Sengjin lalu meninggalkan kamar nyonya rumah itu, tidak merasa bahwa sebenarnya dia telah diusir oleh wanita cantik itu karena sikap Sin-kiam Mo-li yang halus. Setelah tosu itu pergi, Sin-kiam Mo-li gelisah tidak mampu pulas karena ia masih teringat kepada Hong Beng dan merasa penasaran.

Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan keluar dari kamarnya, memasuki lorong bawah tanah dan ia mendengar ucapan terakhir dari muridnya. Tentu saja ia marah sekali melihat muridnya berada di situ dan bercakap-cakap dengan tawanannya, apa lagi mendengar ucapan terakhir muridnya yang menyatakan ingin mencuri kunci kamar tahanan itu.

Akan tetapi, Hong Li menghadapi subo-nya dan sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia menentang mata subo-nya yang mencorong itu dengan membuka matanya lebar-lebar penuh rasa penasaran.

"Subo, kenapa subo menangkap suheng-ku? Suheng Gu Hong Beng ini adalah murid dari pamanku, dan dia datang ke sini karena hendak mencari aku yang hilang diculik orang. Subo harus membebaskan dia agar dapat melapor kepada ayah ibuku bahwa aku berada dalam keadaan selamat dan menjadi murid subo di sini!"

Sin-kiam Mo-li memandang dengan muka merah. Dalam keadaan biasa, tentu ia pun merasa kagum melihat keberanian muridnya. Akan tetapi ia sedang kecewa dan marah karena penolakan Hong Beng, maka kini ia menjadi marah sekali.

"Bocah setan! Engkau malah hendak membela musuh? Dia melanggar daerahku tanpa ijin, bahkan telah menentang orang-orangku. Dan engkau malah hendak mencuri kunci membebaskannya. Anak tak mengenal budi kau!"

Tiba-tiba tangannya menyambar dan biar pun Hong Li berusaha mengelak, tahu-tahu lengannya telah dapat ditangkap dan Sin-kiam Mo-li menyeretnya dan melemparkannya ke dalam kamar tahanan kosong di sebelah kamar tahanan Hong Beng itu, kemudian mengunci pintunya dari luar.

"Nah, kalau engkau berpihak kepada musuh, berarti engkau memusuhi aku dan menjadi anak angkat dan murid yang durhaka dan murtad. Biarlah engkau merasakan hukuman selama beberapa hari di situ!" Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li meninggalkan lorong itu. Keinginannya untuk kembali membujuk Hong Beng telah menjadi hilang oleh kemarahannya terhadap Hong Li.

"Ahh, sungguh celaka. Aku tidak mampu menolongmu, bahkan aku yang membuatmu dimarahi subo-mu dan sekarang engkau pun ditangkap dan dihukum," kata Hong Beng dengan hati menyesal bukan main.

Bagaimana dia tidak akan menyesal? Tadinya, biar pun menjadi murid iblis betina, Hong Li hidup bebas dan gembira. Setelah dia datang dengan usahanya membebaskan Hong Li, dia sendiri tertangkap dan gadis cilik ini ditawan pula karena dia!

"Sudahlah, suheng tidak perlu menyesal dan mengeluh. Aku malah ingin melihat apa yang akan dilakukan subo terhadap diriku, supaya aku memperoleh keyakinan orang macam apa adanya subo dan bagaimana perasaan hatinya terhadap diriku."

"Hemm, engkau tidak tahu, sumoi. Subo-mu itu adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nionio, seorang di antara tokoh-tokoh pemberontak jahat yang tewas di tangan para pendekar termasuk keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir! Kurasa ia tak bermaksud baik terhadap dirimu, karena ia adalah musuh besar dari para pendekar."

"Akan tetapi buktinya ia selalu bersikap baik kepadaku, dan baru sekarang ia marah kepadaku. Hal ini pun karena kesalahanku sendiri. Biarlah, aku akan melihat bagaimana sikapnya selanjutnya."

Dan anak yang berhati tabah sekali ini lalu dengan tenang saja merebahkan diri di atas lantai dingin dan memejamkan matanya! Melihat ini, Hong Beng semakin kagum. Dia pun lalu duduk bersila untuk bersemedhi, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun juga.....

********************

"Sin-kiam Mo-li...! Aku Bi-kwi murid Sam Kwi datang berkunjung. Keluarlah dan temui aku karena aku tidak ingin melanggar daerahmu!"

Wanita itu adalah Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, wanita yang cantik. Berbeda dari hari-hari kemarin semenjak ia menjadi isteri Yo Jin, kini ia kembali seperti sebelum itu, seperti pada saat ia masih menjadi Bi-kwi yang sesat dan jahat. Kini ia mengenakan pakaian mewah sehingga membuat dirinya semakin cantik, apa lagi ia menambah pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.

Ini merupakan siasat yang telah diaturnya bersama Sim Houw dan Bi Lan. Untuk dapat mendekati Sin-kiam Mo-li dan menyelidiki apakah puteri keluarga Kao benar berada di situ, ia harus kembali menjadi Bi kwi murid Sam Kwi yang jahat, seorang tokoh dunia sesat yang ditakuti orang.

Sekarang ia berdiri di luar hutan pertama dari daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li dan beberapa kali ia mengeluarkan seruan itu dengan teriakan melengking nyaring karena didorong oleh tenaga khikang. Ia harus pandai bersandiwara, apa lagi di tempat itu terdapat para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang pernah bermusuhan dengannya karena ia membela Yo Jin.

Baru tiga kali ia mengulangi teriakannya, muncullah seorang gadis berpakaian serba hitam yang berwajah manis dan bersikap genit. Gadis ini adalah Hek Nio, seorang di antara tiga gadis pelayan Sin-kiam Mo-li. Ia diberi tugas untuk turun menyambut tamu itu.

Ketika Sin-kiam Mo-li mendengar suara itu, ia teringat bahwa mendiang ibu angkatnya memang bekerja sama dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang terkenal. Karena nama Bi-kwi juga sudah sangat terkenal di dunia kaum sesat, maka Sin-kiam Mo-li menganggapnya sebagai teman segolongan dan ia pun mengutus Hek Nio untuk keluar menyambut, sedangkan Ang Nio dan Pek Nio sibuk bekerja di dapur setelah mereka bertiga semalam suntuk melayani tujuh orang tosu yang tak mengenal lelah itu.

Melihat munculnya Hek Nio, Bi-kwi cepat maju menghampiri dan memberi hormat yang dibalas Hek Nio dengan hormat pula karena pelayan ini pun sudah pernah mendengar akan nama Bi-kwi yang lihai. Ia belum pernah bertemu dengan Bi-kwi, juga majikannya belum, akan tetapi tadi ia telah diberi tahu akan ciri-ciri Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li yang sudah mendengar pula tentang keadaan diri Bi -kwi.

"Benarkah saya berhadapan dengan Setan Cantik (Bi-kwi) Ciong Siu Kwi?" Hek Nio berkata, sikapnya tetap menghormat.

"Benar, akan tetapi aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li sendiri, bukan orang lain," kata Bi-kwi hati-hati. Dia sengaja memperlihatkan sikap angkuh, seperti sikapnya dahulu sebelum ia menjadi nyonya Yo Jin.

Hek Nio menjura. "Maafkan, saya adalah pelayan bernama Hek Nio yang diutus oleh majikan saya untuk menyambut tamu. Akan tetapi, bagaimana saya dapat yakin bahwa engkau adalah benar Bi-kwi Ciong Siu Kwi? Kata majikan saya, kalau bukan Bi-kwi yang sesungguhnya, tidak boleh masuk."

"Huh, apakah Sin-kiam Mo-li begitu bodoh sehingga tidak mengenal mana orang asli dan mana palsu? Mau bukti? Nah, inilah buktinya!"

Tiba-tiba saja, secepat kilat menyambar, tubuh Bi-kwi sudah bergerak ke depan, akan tetapi yang meluncur maju hanya tangannya saja, sedangkan tubuhnya tetap di tempat. Jarak antara ia dan pelayan itu ada satu setengah meter, tetapi lengannya dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah mencengkeram tengkuk pelayan itu dan mengangkatnya lalu melemparkannya ke atas!

Tentu saja Hek Nio terkejut setengah mati. Ia pun seorang yang sudah memperoleh latihan yang cukup lihai. Pada saat tangan Bi-kwi tadi bergerak ke depan, ia membuat perhitungan bahwa tangan itu tidak akan mencapai dirinya. Akan tetapi siapa kira bahwa lengan itu dapat mulur dan tahu-tahu tengkuknya ditangkap dan tubuhnya dilempar ke atas. Ia segera berjungkir balik dan dapat turun lagi di atas tanah dengan baik sehingga Bi-kwi mengangguk-angguk.

"Pelayan Sin-kiam Mo-li boleh juga!" katanya.

Kini Hek Nio tidak berani main-main lagi. Semua tanda-tanda yang diberikan majikannya memang cocok dengan keadaan tamu ini. Maka dia pun memberi hormat lagi sambil berkata, "Marilah, toanio. Majikan kami telah menanti di ruangan tamu," katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah ke depan.

Bi-kwi tersenyum mendengar dirinya disebut nyonya besar, dan ia pun mengikuti Hek Nio, akan tetapi dengan hati-hati dan menjaga agar ia selalu menginjak tanah bekas injakan pelayan itu. Di sepanjang perjalanan ini ia membuat cacatan dalam hatinya agar hafal akan jalan-jalan di tempat penuh rahasia itu. Karena ia memang seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuat peta di dalam ingatannya, dan tahulah ia bahwa rahasia tempat itu berdasarkan hitungan pat-kwa sehingga lebih mudah untuk mengenal rahasianya.

Ketika ia dibawa masuk ke dalam rumah sampai ke ruangan tamu, di situ telah menanti Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu. Dua di antara mereka amat dikenalnya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bi-kwi pernah bentrok dengan dua orang tosu ini ketika memperebutkan Yo Jin yang ditawan oleh dua tosu itu. Dengan sikap tenang, senyum manis di mulut, Bi-kwi berjalan memasuki ruangan tamu dan langsung saja ia menghampiri Sin-kiam Mo-li yang duduk tegak dengan sikap angkuh. Pandang matanya tajam penuh selidik mengamati wajah Bi-kwi yang cantik.

Bi-kwi segera menjura ke arah Sin-kiam Mo-li dan berkata dengan sikap ramah sekali, "Benarkah aku berhadapan dengan Sin-kiam Mo-li yang terkenal itu? Sungguh sangat mengagumkan, ternyata lebih cantik dari pada yang pernah kudengar!"

Senang juga hati Sin-kiam Mo-li mendapatkan pujian ini dan ia pun bangkit berdiri, mempersilakan duduk sambil berkata, "Kiranya engkau yang berjuluk Bi-kwi? Memang julukan yang pantas, engkau cantik dan engkau cerdik, tentu juga pandai seperti setan!"

Bi-kwi tertawa. "Aih, Sin-kiam Mo-li sungguh pandai memuji, membikin aku merasa malu saja."

"Siancai...! Murid tercinta dari Sam Kwi tentu saja pandai!" tiba-tiba Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai berkata sambil tertawa. "Sebelum mati, tentu ketiga Sam Kwi juga telah mewariskan semua ilmu kepandaiannya kepada murid mereka yang sangat tercinta!"

Kakek ini memberi penekanan kepada kata ‘tercinta’ dan para tosu yang berada di situ tertawa, karena mereka semua sudah mendengar bahwa selain menjadi murid Sam Kwi, Bi-kwi juga menjadi kekasih mereka. Akan tetapi hal seperti ini dianggap tidak aneh oleh kaum sesat, maka dengan sikap enak saja, tanpa malu-malu atau kikuk, Bi-kwi menatap wajah kakek itu dengan tersenyum mengejek.

"Apa salahnya? Kalau kedua pihak sudah saling setuju, cinta boleh dimainkan oleh siapa saja, bukan? Tidak benar demikiankah, Mo-li?"

"Hi-hi-hik, sekali ini Thian Kong Cinjin termakan pertanyaannya sendiri yang usil," kata Sin-kiam Mo-li, senang dan merasa cocok dengan Bi-kwi.

"Akan tetapi nanti dulu! Jangan kita terlalu percaya kepada wanita ini!" Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata dengan lantang sambil bangkit berdiri dari bangkunya, memandang kepada Bi-kwi.

"Harap kalian semua ketahui bahwa pinto berdua Thian Kek Sengjin, pernah bentrok dengan Bi-kwi, dan dalam bentrokan itu, dia bekerja sama dengan seorang pendekar! Jangan-jangan kedatangannya ini adalah sebagai mata-mata dari para pendekar yang mengutusnya!"

Semua orang terkejut dan Sin-kiam Mo-li juga bangkit, meraba gagang pedang di punggungnya sambil memandang kepada Bi-kwi dan membentak, "Keparat! Benarkah itu, Bi-kwi?"

Bi-kwi memang sudah memperhitungkan serangan yang datang dari dua orang tosu itu sebelum ia datang ke tempat ini, maka ia pun bersikap tenang saja, malah tersenyum mengejek tanpa bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, kemudian menghadapi Sin-kiam Mo-li.

"Tidak kusangkal bahwa memang pernah aku bentrok dengan dua orang tua bangka tak tahu malu ini, akan tetapi sayang tosu Ok Cin Cu yang terhormat ini sama sekali tidak menceritakan sebab bentrokan. Nah, Mo-li, aku mau bercerita, dan dua orang tosu tua bangka boleh mendengarkan dan membantah kalau ceritaku behong."

Sin-kiam Mo-li mulai bimbang dan kecurigaannya menipis melihat sikap Bi-kwi yang demikian tenang. Orang yang mengandung niat buruk tidak mungkin dapat setenang itu. "Ceritakanlah sebenarnya!"

"Begini, Mo-li. Pada suatu hari aku mendapatkan seorang kekasih baru yang sangat kucinta. Akan tetapi pemuda kekasihku itu karena suatu percekcokan, telah ditawan orang yang dibantu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin! Nah, karena aku harus membebaskan kekasihku itu, maka terjadi bentrok antara aku dan mereka berdua sehingga terjadi perkelahian. Engkau tentu tahu sendiri bagaimana sakitnya rasa hati kalau kekasih diganggu orang, Mo-li. Apakah engkau pun tidak akan menjadi marah kalau kekasihmu yang baru saja kau peroleh dan sangat kau cinta, diganggu orang?"

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk membenarkan. "Akan tetapi, bagaimana kau dapat bekerja sama dengan orang dari golongan pendekar? Benarkah itu?"

"Itu pun ada ceritanya. Biar Ok Cin Cu melanjutkan keterangannya yang bermaksud melemparkan fitnah tadi. Ok Cin Cu, siapakah pendekar yang kau maksudkan bekerja sama dengan aku itu?"

"Ha-ha-ha, jangan pura-pura menyangkal, manis. Dia adalah Pendekar Suling Naga!"

"Ahhhh...!"

Sin-kiam Mo-li terkejut karena dia pun sudah mendengar akan kehebatan pendekar ini yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Dengan alis berkerut dan mata mengandung kecurigaan ia memandang kembali kepada Bi-kwi.

"Benarkah engkau telah bekerja sama dengan Pendekar Suling Naga dalam bentrokan melawan kedua orang totiang ini, Bi-kwi?"

Bi-kwi masih tetap tenang dan tersenyum simpul mengandung ejekan kepada dua orang tosu itu.

"Tidak kusangkal, tapi hal itu pun ada penjelasannya. Biarlah kulanjutkan ceritaku, Mo-li, dan juga para totiang yang lain agar mendengarkan dan mempertimbangkan secara adil…"

Bi-kwi berhenti sebentar, dan kepada para tosu yang hadir dia memandang bergantian dengan sinar mata bercahaya terang dan senyuman manis sehingga di luar kesadaran mereka, para tosu yang terpesona oleh kecantikan wanita ini mengangguk.....

"Sudah kuceritakan tadi betapa kekasih baruku ditawan oleh mereka berdua. Aku lalu berusaha untuk membebaskan kekasihku itu sehingga terjadi bentrokan di antara kami. Kemudian, Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin menemui aku dan mengajukan usul, yaitu Thian Kek Sengjin minta kepadaku untuk membantu mereka berdua untuk menyerang dan melawan seorang pendekar keluarga Pulau Es yang bernama Suma Ciang Bun. Dan aku sudah memenuhi permintaan itu sampai akhirnya kami bertiga berhasil melukai pendekar itu sehingga ia melarikan diri. Hei, Thian Kek Sengjin, tidak benarkah ceritaku ini? Tidak benarkah bahwa aku telah membantu kalian menyerang Suma Ciang Bun dan melukainya?"

Thian Kek Sengjin tidak dapat membantah dan dia pun mengangguk.

"Nah, begitu baru laki-laki jujur," kata Bi-kwi.

Ceritanya bahwa ia membantu mereka mengalahkan pendekar keluarga Pulau Es telah mendatangkan kesan baik dalam hati Sin-kiam Mo-li.

"Selain Thian Kek Sengjin, juga Ok Cin Cu minta kepadaku untuk mau melayani nafsu birahinya semalam suntuk. Kalau aku memenuhi kedua permintaan itu, barulah mereka akan membebaskan kekasihku itu. Dan permintaan Ok Cin Cu itu pun telah kupenuhi dengan hati rela. Hei, Ok Cin Cu, bukankah aku telah melayani dan tidur bersamamu selama semalam suntuk?"

Ok Cin Cu bersungut-sungut. "Tidak ada bedanya tidur ditemani sesosok mayat!"

"Tentu saja, aku tidak cinta padamu dan hatiku sedang kesal karena kalian menawan kekasihku, mana mungkin aku bersikap hangat?" Bi-kwi tertawa dan Sin-kiam Mo-li juga tersenyum.

Melihat bentuk tubuh Ok Cin Cu yang perutnya gendut sekali itu, mukanya pucat kuning dan rambutnya yang putih riap-riapan, wanita mana yang akan timbul seleranya ketika berdekatan dengan dia?

"Nah, aku telah memenuhi permintaan mereka berdua, membantu mereka mengalahkan keluarga pendekar Pulau Es dan melayani Ok Cin Cu semalam suntuk, akan tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka tidak mau membebaskan kekasihku, bahkan menyerang dan hendak membunuh aku!"

"Hemmm...!" Sin-kiam Mo-li melirik ke arah kedua orang tosu itu yang diam saja tak dapat membantah.

"Karena aku tidak mampu mengalahkan pengeroyokan mereka dan juga tidak berhasil membebaskan kekasihku, aku berduka sekali. Kebetulan saat itu aku bertemu dengan sumoi-ku, murid ke dua dari Sam Kwi yaitu Siauw-kwi. Nah, pada waktu itu Siauw-kwi sedang berpacaran dengan Pendekar Suling Naga. Mendengar kesulitanku ini, sumoi Siauw-kwi lalu membantuku dan pacarnya, yaitu Pendekar Suling Naga, membantu pula sehingga akhirnya aku berhasil membebaskan kekasih baruku itu. Nah, apakah hal itu berarti aku bekerja sama dengan seorang pendekar untuk menentang kedua orang tosu ini? Pertemuanku dengan dia hanya kebetulan saja dan pendekar itu tidak membantuku, melainkan membantu sumoi-ku Siauw-kwi yang menjadi pacarnya."

Sin-kiam Mo-li menarik napas lega, lalu menoleh kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin. "Benarkah keterangannya itu, ji-wi totiang?"

"Benar, akan tetapi sumoi-nya yang berjuluk Siauw-kwi dan bernama Can Bi Lan itu sudah bergabung dengan para pendekar!" kata Ok Cin Cu, masih bersungut-sungut karena diam-diam dia merasa jengkel bila mengenang betapa wanita cantik ini pernah melayaninya dengan dingin seperti mayat.

"Memang ada perbedaan antara aku dengan Siauw-kwi. Dia condong bekerja sama dengan para pendekar karena dia tergila-gila kepada Pendekar Suling Naga, bahkan ketika terjadi pertempuran antara kelompok yang dipimpin oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio, dengan kelompok para pendekar, ia pun membantu para pendekar, bahkan bentrok dan berkelahi dengan aku sendiri! Akan tetapi, ketika ia melihat aku berduka karena kehilangan kekasih baruku, ia kemudian membantu dan karena aku ingin sekali mendapatkan kekasihku yang tertawan, tentu saja bantuannya kuterima. Harapanku untuk menyelamatkan kekasihku habis ketika dua orang tosu ini melanggar janji dan menipuku!"

Sin-kiam Mo-li percaya akan keterangan Bi-kwi karena dua orang tosu itu sama sekali tidak membantah. Akan tetapi, hatinya masih merasa tidak senang mendengar betapa Bi-kwi pernah dibantu oleh Pendekar Suling Naga, musuh besarnya karena di dalam pertempuran itu, yang membunuh ibu angkatnya, Kim Hwa Nionio, adalah Pendekar Suling Naga itulah!

"Bi-kwi, apakah semenjak itu engkau tidak pernah lagi berhubungan dengan Pendekar Suling Naga?"

"Huh, untuk apa berhubungan dengan dia? Bertemu pun aku tidak pernah! Sebelum dia membantu Siauw-kwi yang membantuku, pendekar itu dan semua temannya adalah musuh-musuh besarku. Sampai sekarang pun, para pendekar adalah musuh besarku!"

"Ha-ha-ha, pendekar mana, Bi-kwi? Coba sebutkan!" kata Thian Kek Sengjin.

"Tosu bau, pendekar mana lagi kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es? Engkau kan telah melihat dengan kedua matamu sendiri betapa aku membantu kalian mengalahkan dan melukai Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es!"

Sikap Bi-kwi yang amat membenci Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin ini memang tidak mengherankan yang lain karena tentu Bi-kwi masih mendendam oleh pelanggaran janji dan penipuan itu.

"Bi-kwi, siapakah kekasihmu itu dan di mana dia sekarang?" Sin-kiam Mo-li bertanya, tertarik melihat betapa seorang seperti Bi-kwi yang terkenal mempunyai kesukaan yang sama dengannya, dapat membela seorang kekasih seperti itu.

Bi-kwi tersenyum lebar. "Aihhh, Mo-li, seperti tidak tahu saja. Mana aku dapat tahan bersama seorang kekasih lebih dari tiga bulan? Aku sudah bosan dan sudah lama dia kusingkirkan."

Kemudian, agar tidak harus melalui ujian dengan pria lain, apa lagi dengan tosu-tosu buruk di situ yang memandang kepadanya seperti segerombolan bandot melihat rumput muda, ia pun menyambung, "Terus terang saja, Mo-li, sudah beberapa lamanya aku menjauhkan diri dari laki-laki. Aku sudah muak dengan mereka dan sebagai gantinya, aku lebih mendekatkan diriku dengan sesama wanita."

"Ehhh...?!" Sin-kiam Mo-li membelalakkan matanya memandang rekannya itu. "Apa... apa maksudmu?"

Terdengar Ok Cin Cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, pantas saja ketika melayani aku, kau begitu dingin! Tidak tahunya kau sudah mengubah kesukaanmu, Bi-kwi. Mo-li, agaknya dalam hal kesenangan dunia, biar pun engkau lebih lihai dari Bi-kwi, akan tetapi kalah pengalaman. Sekarang Bi-kwi sudah menjadi seorang pencinta kaumnya sendiri, suka berhubungan dengan sesama wanita, seperti juga beberapa orang di antara kami lebih suka berdekatan dengan pria-pria muda remaja dari pada dengan gadis-gadis."

Sin-kiam Mo-li belum pernah mendengar akan hal yang dianggapnya aneh sekali itu, maka dia hanya bengong. Memang pengakuan Bi-kwi bahwa dia sekarang tidak suka kepada pria melainkan suka berdekatan wanita merupakan satu di antara siasatnya.

Ia sedang menyelidiki lenyapnya puteri keluarga Kao, seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun, dan sudah mengenal pula orang macam apa adanya Sin-kiam Mo-li. Kalau ia mengaku sebagai orang yang suka menggauli sesama wanita, maka apabila benar-benar Kao Hong Li berada di situ dan masih hidup, lebih banyak kesempatan baginya untuk mendekatinya tanpa dicurigainya! Dan ia memiliki alasan untuk mendekati gadis remaja itu.

"Wah, aneh sekali! Apa senangnya... dengan sesama wanita?" berkata Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu, sedangkan para tosu itu hanya tertawa-tawa saja.

"Ah, engkau belum tahu, Mo-li. Kalau engkau sudah merasakan senangnya, engkau pun akan sependapat dengan aku, tidak lagi suka kepada laki-laki yang memuakkan."

Suasana menjadi gembira dan legalah hati Bi-kwi karena kini sikap mereka itu ramah dan senang, seolah-olah ia telah diterima di antara mereka dan tidak lagi dicurigai. Akan tetapi, tiba-tiba Ok Cin Cu yang cerdik berkata kepada Sin-kiam Mo-li.

"Mo-li, kalau kawan kita Bi-kwi ini sedemikian membenci pendekar keluarga Pulau Es, bahkan kini membenci pria pula, kenapa tidak suruh dia saja membunuh tikus itu?"

Hati Ok Cin Cu masih penuh dengan kebencian dan dendam kepada Hong Beng karena memang pemuda itu musuh besarnya, terutama sekali melihat betapa nyonya rumah agaknya tergila-gila pada pemuda itu.

Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Usul yang baik, pikirnya. Inilah bukti yang paling baik untuk melihat apakah benar Bi-kwi datang dengan iktikad baik ataukah menyimpan rahasia dan menjadi kaki tangan musuh.

"Hemm, baik juga. Pemuda itu sudah berani menolakku, dan berkeras kepala. Memang sebaiknya kalau Bi-kwi yang membunuhnya, akan tetapi tidak sekarang. Yang paling perlu sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Bi-kwi. Apakah maksud kunjunganmu yang tiba-tiba ini?" Berkata demikian, sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada wajah Bi-kwi dengan penuh selidik.

Bi-kwi tadi sudah terkejut setengah mati bahwa ia akan diserahi tugas membunuh seorang pemuda. Tetapi diam-diam ia mencatat kata-kata lanjutan dari Sin-kiam Mo-li yang menyatakan betapa pemuda itu telah menolaknya! Hal ini berarti bahwa Sin-kiam Mo-li jatuh hati kepada pemuda itu, entah siapa dan pemuda itu telah menolak cintanya!

Kini ditanya oleh Sin-kiam Mo-li tentang maksud kedatangannya, ia menjawab dengan lancar dan tenang karena memang sebelumnya sudah diatur terlebih dahulu sebagai siasatnya.

"Mo-li, seperti engkau ketahui juga, tiga orang guruku..."

"Juga kekasihnya... heh-heh-heh..." Ok Cin Cu mengejek.

"Benar, juga kekasihku, mereka sudah tewas oleh para pendekar. Akan tetapi, para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu semuanya demikian lihai sehingga seorang diri saja, apakah dayaku? Aku ingin sekali membalas dendam, namun tahu akan kelemahan diri sendiri. Oleh karena itu, aku lalu teringat kepadamu, Mo-li. Bukankah engkau murid dari mendiang Kim Hwa Nionio, bahkan kabarnya juga anak angkatnya? Nah, Kim Hwa Nionio juga tewas dalam pertempuran itu. Aku yakin bahwa engkau tentu juga menaruh dendam. Karena musuh-musuh kita sama, maka kurasa alangkah baiknya kalau kita bergabung untuk menghadapi mereka. Karena itulah aku datang ke sini, Mo-li."

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk sambil memandang kepada ketujuh orang tosu itu. "Dan bagaimana pendapat kalian, para totiang? Aku sendiri setuju untuk menerimanya sebagai sekutu karena Bi-kwi adalah tenaga yang sangat baik, hal ini sudah banyak kudengar."

Para tosu itu lalu saling pandang dan dari pandang mata mereka, mereka pun setuju dan senang kalau menerima bantuan seorang seperti Bi-kwi.

"Akan tetapi, tidak mudah untuk bekerja sama dengan kami, Mo-li. Kepada dirimu, kami sudah percaya sepenuhnya. Akan tetapi kalau Bi-kwi ingin bekerja sama dengan kita, sebaiknya kalau ia memenuhi beberapa syarat terlebih dulu," kata Ok Cin Cu.

Bi-kwi menjebikan bibirnya memandang kepada Ok Cin Cu. Di dalam kehidupan para tokoh sesat, memang tidak banyak dipergunakan tata susila dan sopan santun, sudah biasa mereka itu mengemukakan perasaan hatinya secara terbuka, bahkan perasaan tidak senang pun tidak disembunyikan.

"Ok Cin Cu, tosu tua bangka yang bau! Kalau syarat itu kau yang mengajukan aku tidak akan sudi karena engkau pasti akan menipuku lagi! Biarlah syaratnya ditentukan oleh Sin-kiam Mo-li. Tentu saja kalau aku disuruh melayani laki-laki, betapa pun muda dan gantengnya, aku berkeberatan karena aku sudah tidak dapat lagi melayani pria setelah aku lebih suka berdekatan dengan wanita. Apa lagi disuruh melayani kalian ini, terutama sekali engkau, Ok Cin Cu. Aku tidak sudi! Nah, syarat apa yang diajukan agar kalian percaya kepadaku?"

Biar pun di luarnya Bi-kwi bersikap tenang dan menantang, namun jantungnya berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa ia tentu takkan mampu melakukan perbuatan yang jahat dan kejam, yang berlawanan dengan suara hatinya yang sudah berubah sama sekali itu. Ia dapat menyamar sebagai tokoh sesat, karena hal itu hanya lahiriah saja. Akan tetapi betapa mungkin batinnya dapat berubah menjadi jahat kembali? Lebih baik mati!

"Mo-li, tidak ada bukti yang lebih baik dari pada menyuruh ia membunuh pendekar yang menjadi tawananmu itu. Kalau ia mau membunuhnya, barulah kami percaya padanya," kata Ok Cin Cu dengan marah karena ucapan Bi-kwi tadi menyinggung harga dirinya sebagai seorang pria.

Sin-kiam Mo-li mengangguk. "Bukti itu pun baik sekali. Bi-kwi, mari ikut bersamaku!"

Bi-kwi menahan guncangan hatinya dan dengan sikap dibuat tenang ia pun mengikuti Sin-kiam Mo-li, diikuti pandang mata dan tawa ketujuh orang tosu itu. Sin-kiam Mo-li membawa Bi-kwi menuruni lorong di bawah tanah.

"Hemm, menjemukan sekali tosu-tosu tua bangka itu!" Bi-kwi mengomel. "Mereka masih tidak mau percaya bahwa aku adalah musuh besar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Padahal, tiga orang guruku tewas di tangan para pendekar itu. Berilah orang-orang dari keluarga itu kepadaku dan akan kubunuh semua mereka!"

Sin-kiam Mo-li tiba-tiba menghentikan langkahnya di jalan tangga yang menuruni lorong itu. "Ketahuilah bahwa aku memiliki dua orang tawanan dan keduanya adalah anggota keluarga dan murid dari para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir."

"Ahh...! Benarkah itu, Mo-li? Siapakah mereka?" tanya Bi-kwi terkejut bukan dibuat-buat.

Sin-kiam Mo-li tersenyum bangga akan hasil pekerjaannya. "Pertama-tama, aku sudah berhasil menculik puteri keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir."

"Benarkah? Hebat! Siapa ia?" Bi-kwi pura-pura bertanya padahal jantungnya berdebar tegang karena ternyata dugaan Bi Lan dan Sim Houw benar. Perempuan iblis inilah yang telah menculik Kao Hong Li itu.

"Ia benama Kao Hong Li, puteri dari pendekar Kao Cin Liong keturunan Gurun Pasir dan Suma Hui keturunan Pulau Es. Akan tetapi tak seorang pun yang menyangka padaku, dan baru-baru ini malah kukirim potongan rambutnya dan hiasan rambutnya kepada keluarga Kao yang mengadakan pesta ulang tahun!"

"Ihhh! Jadi engkaukah yang melakukan hal itu, yang melempar fitnah kepadaku?" Bi-kwi berseru kaget sekali, dan diam-diam ia waspada.

Kalau wanita ini yang melakukan penukaran bingkisan di dalam pesta ulang tahun Kao Cin Liong itu, berarti Mo-li sudah tahu akan kehadirannya dan tentu menaruh curiga akan hubungannya yang baik dengan para pendekar!

"He-he-he, kau kira aku begitu bodoh untuk pergi sendiri ke sana? Ketika mendengar bahwa Kao Cin Liong mengadakan pesta ulang tahunnya, aku lalu mengirimkan dua benda itu untuk membuat mereka gelisah dan berduka. Aku lalu menyuruh seorang teman yang boleh dipercaya untuk mengirim sumbangan itu tanpa dapat diketahui siapa pengirimnya. Dia adalah Sai-cu Sin-touw (Copet Sakti Kepala Singa), seorang kawan baik yang ahli untuk mencuri atau mencopet dengan kecepatan luar biasa. Dan dia sendiri pun membenci para pendekar karena sering kali dia bentrok dengan mereka dan pernah beberapa kali dihajar."

"Ahhh...!" Bi-kwi bernapas lega.

Tahulah dia kini siapa orang brewok yang menurut para pelayan dalam pesta sudah masuk ke dalam dapur pura-pura mabok, kemudian menaruh racun dalam arak. Kiranya dia itu adalah Sai-cu Sin-touw, kaki tangan Sin-kiam Mo-li. Pantas saja dapat menukar bingkisannya tanpa ada yang mengetahuinya, karena dia memang ahli copet sesuai dengan julukannya.

"Dalam satu atau dua hari ini tentu dia akan segera kembali dan ingin aku mendengar laporannya, hi-hi-hik!"

Celaka, pikir Bi-kwi. Sekarang ia harus mengubah sikapnya, tidak mungkin lagi ia dapat berpura-pura tidak tahu akan penculikan itu.

"Aihh, kiranya dia itu orangmu!" katanya lagi dengan sikap kaget sekali dan memandang pada nyonya rumah dengan mata terbelalak. "Sungguh suatu hal yang amat kebetulan sekali. Apakah barangkali engkau pula yang menyuruh Sai-cu Sin-touw itu melempar fitnah kepadaku?"

Sin-kiam Mo-li memandang tajam. "Dua kali engkau mengatakan melempar fitnah. Apa maksudmu?"

"Ketahuilah, Mo-li. Kao Cin Liong mengirim undangan dan membolehkan siapa saja mendatangi ulang tahunnya. Aku mendengar akan hal itu dan aku ingin sekali tahu apa yang terjadi dan ingin pula melihat-lihat keadaan semenjak tiga orang suhu-ku tewas. Maka aku nekat mendatangi pesta itu. Dan terjadilah fitnah itu. Orangmu itu telah menukar bingkisanku dengan bungkusan terisi rambut dan hiasan rambut itu. Dan tentu saja akulah yang dituduh menculik puteri mereka dan mereka menyerangku!"

"Ehh?! He-he-he, sungguh lucu. Aku belum tahu akan hal itu karena Sin-touw belum kembali. Akan tetapi usahanya itu baik pula karena dia hendak mengacaukan pesta itu, dan karena iseng, dan karena tahu pula bahwa engkau musuh adalah mereka, maka dia sengaja menukar bingkisan itu. Hi-hi-hik, sungguh lucu."

"Memang dia telah berhasil mengacaukan pesta dengan menaburkan racun ke dalam arak. Lagi-lagi aku yang menjadi pelampiasan amarah mereka. Tentu saja aku terpaksa melarikan diri menghadapi demikian banyaknya pendekar yang marah kepadaku. Dan aku pun lalu lari ke sini untuk berlindung dan bersekutu denganmu."

Sin-kiam Mo-li terkekeh geli, sedikit pun tidak menaruh curiga kepada Bi-kwi karena wanita ini demikian berterus terang dan tidak nampak khawatir sama sekali. Kalau nanti utusannya itu pulang, tentu ia akan mendengar laporannya dan dia akan tahu apakah Bi-kwi membohong ataukah tidak.

"Ahh, sungguh lucu sekali. Sai-cu Sin-touw memang pandai berulah. Kalau dia pulang aku akan memberi banyak hadiah kepadanya."

"Akan tetapi mengapa engkau repot-repot menahan anak itu dan tidak kau bunuh saja?" Bi-kwi bertanya, sengaja ia bertanya dengan sikap kejam untuk memperlihatkan betapa bencinya ia kepada keluarga para pendekar itu.

"Aku amat suka kepadanya. Ia anak manis dan berbakat. Dan aku menculiknya dengan menyamar sebagai Ang I Lama sehingga aku muncul sebagai penolong bagi anak itu. Maka aku lalu mengambil ia sebagai muridku, supaya aku dapat lebih lama menikmati kemenangan ini. Dan kelak, kalau saatnya tiba baru aku akan memukul benar-benar, entah dengan cara bagaimana."

"Akan tetapi, kenapa sekarang kau tawan?" Bi-kwi medesak, heran.

"Dia mulai memberontak dan berpihak kepada seorang tawanan lain yang baru saja datang menyerahkan diri. He-heh, kau tentu tidak akan mampu menduga siapa orang itu. Dialah yang akan kami minta agar kau membunuhnya. Dia datang untuk mencari Hong Li, akan tetapi aku berhasil menangkapnya. Dia tampan dan gagah, dan aku.... hemm, aku suka padanya. Akan tetapi pemuda tak tahu diri itu berani menolak cintaku! Mestinya sudah kubunuh dia, akan tetapi entah bagaimana, aku terlalu sayang untuk membunuhnya, Bi-kwi. Kau tentu tahu bagaimana rasanya hati kalau sudah tergila-gila. Dia bernama Gu Hong Beng, murid dari musuhmu, Suma Ciang Bun tokoh Pulau Es itu."

"Aihhh! Dia memang musuh besarku! Sudah beberapa kali dia bentrok dengan aku, bahkan ketika terjadi keributan di pesta, dialah yang menyerangku paling hebat, bahkan dia yang mengejar-ngejarku. Kiranya dia juga sudah tiba di sini? Tentu dalam usahanya mengejarku!"

"Aku percaya padamu, Bi-kwi. Akan tetapi para tosu itu tidak percaya, maka sebaiknya engkau bunuh saja dia."

"Apa sukarnya membunuh seekor harimau sekali pun kalau dia sudah berada di dalam kandang. Mari kita lihat."

Bi-kwi memutar otaknya untuk mencari akal karena tentu saja ia tidak mau membunuh Hong Beng, meski untuk menyelamatkan dirinya dan menyelamatkan Hong Li sekali pun.

Moli mengajaknya memasuki ruangan tahanan. Di sana, di dalam dua kamar tahanan yang berdampingan, Bi-kwi melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih tiga belas tahun yang manis sedang duduk bersandar dinding, dan di kamar lain nampak Hong Beng duduk bersila! Bi-kwi menahan perasaannya kemudian ia menghampiri dan tertawa mengejek.

"Hi-hik, kiranya Gu Hong Beng manusia sombong itu kini sudah tak berdaya, di dalam kerangkeng seperti seekor monyet!" Ia tertawa dan suaranya penuh sindiran.

Mendengar suara ini, Hong Beng membuka matanya memandang. Ketika dia melihat bahwa yang mengejeknya itu bukan lain adalah Bi-kwi yang datang bersama Sin-kiam Mo-li, mukanya menjadi merah sekali dan matanya memancarkan sinar berapi-api. Dia meloncat berdiri, bagaikan seekor harimau ingin dia dapat keluar dari kerangkeng untuk menerjang wanita itu. Dia bertolak pinggang dan menuding dengan telunjuk kirinya ke arah muka Bi-kwi.

"Bi-kwi, setan perempuan yang busuk! Perempuan busuk macam engkau ini selamanya akan tetap jahat dan busuk! Ternyata benar dugaanku bahwa engkau bekerja sama dengan Sin-kiam Mo-li untuk menculik adik Hong Li. Terkutuk engkau, Bi-kwi!"

Bi-kwi juga terkekeh mengejek. "Heh-heh, engkau seorang pemuda yang sombong dan goblok!" Kemudian setelah memandang ke arah Hong Li yang juga memandang tanpa bangkit dari duduknya, Bi-kwi berkata kepada Sin-kiam Mo-li, "Hemm, keenakan dia jika dibunuh begitu saja, Mo-li. Membunuh dia apa sih sukarnya? Akan tetapi terlalu enak baginya. Mari kita bicara di sana." Ia lalu mengajak Mo-li keluar dari tempat tahanan itu sampai tidak nampak oleh Hong Beng.

"Mo-li, sebetulnya amat sayang jika dia dibunuh begitu saja. Aku sudah sering bentrok dengan dia dan tahu betul bahwa dia adalah seorang perjaka emas!"

"Perjaka emas? Apa maksudmu?"

"Aih, kiranya engkau belum banyak pengalaman dalam hal ini walau pun kita tadinya memiliki kesukaan yang sama, Mo-li. Dia seorang perjaka asli yang bertulang baik dan berdarah bersih. Siapa yang pertama kali melakukan hubungan dengan seorang perjaka emas, tentu ia akan menjadi awet muda dan tak pernah dapat kelihatan tua!"

"Hemm, memang tadinya aku sayang kepadanya. Akan tetapi walau pun aku tadinya telah mempergunakan sihir, dia tetap menolak keinginanku."

"Hemm, mudah saja, Mo-li. Aku dapat menggunakan akal sehingga dia akan berubah menjadi seperti seekor kuda jantan yang jinak dan akan melayani segala keinginanmu dengan senang hati."

"Ahh, benarkah itu, Bi-kwi? Aku akan berterima kasih sekali kalau benar engkau mampu membuatnya jinak untukku!" kata Sin-kiam Mo-li dengan wajah berseri.

"Akan tetapi, aku mempunyai satu permintaan yang kuharap akan kau setujui sebagai upahku. Aku melihat anak perempuan itu... hemm, ia hanyalah anak dari musuh-musuh kita dan ia sudah tidak mentaatimu lagi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak memiliki selera lagi terhadap pria, akan tetapi melihat seorang gadis remaja... hemm, bolehkah aku meminjam tawananmu itu untuk satu malam saja, Mo-li? Dengan demikian, kita berdua dapat bersenang-senang, engkau bersama pemuda yang ganteng dan gagah itu, dan aku bersama gadis remaja itu."

Mo-li sudah terlalu bernafsu untuk memikirkan hal lain. Apa lagi kini muridnya itu telah berubah, mungkin pula telah membencinya. "Baiklah, begitu pemuda itu mau memenuhi keinginanku, anak perempuan itu boleh kau miliki satu malam. Lakukanlah cepat, aku sudah tidak sabar lagi untuk melihatnya."

"Mo-li, engkau tentu tahu bahwa tujuh orang tosu itu seperti anjing-anjing yang mengilar melihat kita berdua. Mereka itu seperti hendak berebut dan akan menerkamku kalau saja aku mau melayani mereka. Kalau mereka melihat kita berdua bersenang-senang dan tak mempedulikan mereka, tentu membuat mereka iri dan marah, mungkin mereka akan menyatakan tidak setuju dengan niat kita. Karena itu, sebaiknya hal ini kita lakukan di luar pengetahuan mereka dan caranya terserah kepadamu untuk mengaturnya."

Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya dan melihat kebenaran ucapan Bi-kwi. Memang tujuh orang tosu itu sudah dilayani oleh tiga orang pelayannya, akan tetapi agaknya tiga orang itu untuk mereka masih kurang dan mereka memang selalu mengincarnya dan juga mengincar Bi-kwi seperti yang dapat ia lihat dari pandang mata mereka terhadap Bi-kwi tadi.

"Jangan khawatir, dapat diatur," katanya dan ia pun menarik sehelai tali yang tergantung di sudut lorong. Tak lama kemudian, muncul Ang Nio yang mendengar suara panggilan rahasia itu.

"Engkau cepat cari perempuan secukupnya untuk menemani tujuh orang tosu tamu kita itu. Berikan bayaran secukupnya. Aku dan Bi-kwi tidak ingin diganggu malam ini."

Ang Nio tersenyum girang. Ia dan dua orang kawannya sudah merasa muak dengan tujuh orang tosu yang terpaksa harus mereka layani itu. Kini, Mo-li menyuruh ia mencari tujuh orang perempuan dari dusun di kaki bukit. Jika ia membayar mahal, tentu banyak yang mau dan hal ini berarti ia dan kawan-kawannya akan bebas dari cengkeraman tosu-tosu tua yang rakus itu.

"Sekarang bagaimana, Bi-kwi?"

"Mo-li, sebaiknya kita lakukan usaha penjinakan pemuda itu malam nanti kalau para tosu sudah sibuk bersenang-senang di kamar masing-masing. Sementara ini, kita beri tahukan kepada mereka bahwa pembunuhan atas diri pemuda itu ditunda dulu karena engkau hendak menaklukkan dia terlebih dulu dengan bantuanku."

Sin-kiam Mo-li merasa agak kecewa bahwa tidak sekarang saja ia dapat mendekap pemuda itu, akan tetapi karena ia tidak mau terganggu oleh para tosu, ia pun setuju. Mereka keluar lagi dari lorong bawah tanah dan memasuki ruangan tamu di mana para tosu itu masih makan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Walau pun mereka mengenakan jubah pendeta, namun sikap mereka jauh dari pada patut untuk menjadi pendeta-pendeta yang hidup saleh.

Melihat munculnya dua orang wanita itu, Ok Cin Cu yang masih mendongkol terhadap Bi kwi segera berkata, "Wah, kalian nampaknya bukan seperti orang-orang yang baru saja membunuh musuh. Apakah tikus itu sudah dibunuh?"

"Begitu melihat Bi-kwi, dia mencak-mencak dan memaki-maki. Jelaslah bahwa dia amat membenci Bi-kwi."

"Tentu saja," kata Bi-kwi, "sudah beberapa kali aku berkelahi dengan dia dan gurunya."

"Akan tetapi, aku tak ingin dia mati begitu saja. Terlalu enak dan terlalu mudah baginya. Aku ingin menaklukkannya dulu, mempermainkan dan menghinanya sampat puas, baru aku akan membunuhnya," sambung Sin-kiam Mo-li.

"Ha-ha-ha, bagaimana hal itu mungkin, Mo-li. Dengan sihirmu pun engkau tidak dapat menundukkan dia malam itu," kata Thian Kek Sengjin.

"Akan tetapi sekarang ada Bi-kwi yang akan membantuku. Ia mempunyai cara untuk menjinakkan pemuda itu untukku. Biarkan aku bersenang-senang, dan jangan khawatir karena sekarang aku sedang memesan beberapa orang gadis cantik dari dusun untuk menemani kalian bertujuh."

Mendengar ini, tujuh orang tosu itu menjadi gembira dan mereka tidak lagi menyatakan ketidak cocokan atau kecurigaan mereka terhadap rencana Mo-li dan Bi-kwi.

Malam itu, setelah para tosu memasuki kamar mereka bersama para wanita dusun yang didatangkan Ang Nio, Sin-kiam Mo-li dan Bi-kwi memasuki lorong bawah tanah. Bi-kwi memberi tahu kepada Mo-li bahwa ia memiliki minuman yang akan dapat merampas semangat Hong Beng, membuat pemuda itu lupa diri dan tentu akan menuruti semua permintaan Sin-kiam Mo-li.

"Akan tetapi bagaimana engkau akan dapat memaksanya untuk minum?"

"Serahkan saja kepadaku, Mo-li. Aku mempunyai akal dan engkau sebaiknya jangan ikut mendekat agar Hong Beng tak menjadi curiga. Biarkan aku sendiri menghadapinya dan aku akan dapat membujuknya untuk minum obatku itu."

"Baik, tetapi jangan sampai engkau gagal, Bi-kwi." Kata-kata ini mengandung ancaman.

"Jangan khawatir, Mo-li, aku pasti berhasil. Akan tetapi ingat akan janjimu, begitu dia kelihatan menurut, gadis remaja itu harus diserahkan kepadaku."

"Baik."

"Nah, sekarang kau menanti dan mendengarkan dari sini saja, sebaiknya aku sendiri yang menghadapinya," kata Bi-kwi.

Ia lalu memasuki ruangan kamar tahanan dan di bawah sinar lampu lentera yang cukup terang, ia melihat betapa Hong Li rebah terlentang di atas lantai, sedangkan Hong Beng sudah duduk bersila lagi. Di sudut kamar terdapat mangkok-mangkok dan sumpit, sisa makanan yang diberikan kepada mereka oleh Hek Nio.

Melihat kemunculan Bi-kwi, Hong Beng lalu mengerutkan alisnya dan tetap saja duduk bersila. Sin-kiam Mo-li yang bersembunyi, mengikuti semua percakapan mereka dengan penuh perhatian. Ia seorang wanita yang cukup cerdik dan tidak ingin dikelabui, maka meski pun ia sudah percaya kepada Bi-kwi, tetap saja ia mengikuti semua peristiwa di ruangan tahanan itu dengan penuh perhatian. Ia merasa aman dan yakin bahwa hanya ia seoranglah yang dapat membebaskan Gu Hong Beng mau pun Kao Hong Li, karena kunci kedua kamar tahanan itu selalu berada di saku bajunya.

"Perempuan iblis jahanam terkutuk! Mau apa kau masuk ke sini? Mau membunuhku? Silakan, aku tahu bahwa engkau hanyalah seorang pengecut yang beraninya hanya terhadap orang yang sudah tidak berdaya!" terdengar Hong Beng membentak dengan suara marah dan mengandung penuh kebencian sehingga hati Sin-kiam Mo-li menjadi kecil. Bagaimana mungkin Bi-kwi mampu membujuk pemuda yang demikian membenci dirinya?

"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang sama sekali tidak mengenal budi," terdengar Bi-kwi berkata. "Butakah matamu, tidak dapatkah engkau melihat betapa Sin-kiam Mo-li telah jatuh cinta kepadamu? Kalau engkau seorang pemuda yang berakal sehat, tentu engkau memilih hidup dengan menemani Sin-kiam Mo-li bersenang-senang. Mengapa engkau demikian keras kepala, bukankah engkau adalah seorang laki-laki yang dewasa dan normal?"

Sambil berkata-kata dengan suara membujuk ini, di luar tahunya Sin-kiam Mo-li karena Bi-kwi memegang kertas bertulis itu di depan perutnya sehingga Hong Beng saja yang dapat membacanya, Bi-kwi memberi tanda dengan kedipan mata kepada pemuda itu, sementara mulutnya terus membujuk.

Sejenak Hong Beng tertegun. Tulisan itu mudah dibaca karena tulisannya besar-besar dan jelas. Dia cepat membaca.

Aku datang untuk membebaskan engkau dan Hong Li. Terus bersikaplah bermusuhan denganku, kemudian minum obat yang kuberikan, lalu engkau pura-pura mabok terbius. Selanjutnya, pura-pura lemas saja dan serahkan kepadaku. Jangan bergerak sebelum kuberi tahukan.

Hong Beng selesai membaca dan biar pun dia masih belum percaya benar, namun dia tahu bahwa tentu wanita ini datang bersama Sim Houw dan Bi Lan yang juga hendak menyelamatkan Hong Li.

"Sudahlah, perempuan siluman, jangan membujuk lagi, percuma saja!" katanya sambil memberi isarat dengan matanya bahwa dia mengerti. "Lebih baik bunuh saja aku dari pada harus tunduk dan melakukan perbuatan hina itu!"

"Gu Hong Beng, pemuda tolol! Engkau masih muda belia, tampan dan gagah. Apakah kau lebih suka mati konyol dan menolak kesenangan yang dapat kau nikmati? Sekali lagi, maukah engkau menyerah dan menuruti semua keinginan Sin-kiam Mo-li? Ingat, kalau engkau menolak, aku sudah menerima perintah untuk membunuhmu sekarang juga."

Tanpa menanti sebentar pun, tanpa keraguan sedikit pun, Hong Beng lalu membentak sesuai dengan suara hatinya, juga sesuai dengan permintaan Bi-kwi dalam surat agar dia bersikap bermusuhan.

"Keparat, tulikah engkau? Aku tidak sudi, sekali tidak sudi dan selamanya pun tak sudi. Mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut mati?"

Tiba-tiba terdengar suara halus dari kamar tahanan yang ada di sebelah, "Hemm, suara Gu-suheng demikian gagah perkasa, sedangkan suara perempuan ini bagaikan siluman tukang bujuk yang tak tahu malu!" Itulah suara Hong Li yang ikut merasa tegang dan marah.

"Aihhh, adik manis, jangan terlalu galak, nanti kemanisanmu berkurang! Engkau tunggu saja, engkau akan menikmati kesenangan luar biasa dengan aku," kata Bi-kwi, sengaja berkata demikian untuk lebih meyakinkan hati Mo-li yang mengintai dan mendengarkan.

"Siluman jahat, tidak perlu engkau membujuk atau merayu aku!" Hong Li membentak marah dan Bi-kwi mengeluarkan suara ketawa mengejek.

"Siluman jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Jika engkau datang hendak membunuhku, lakukanlah. Aku akan menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka! Jangan harap engkau akan dapat membuat aku ketakutan dengan bujukan dan ancaman!"

"Hemm, jadi engkau tetap memilih mampus? Engkau tak takut mati? Hemm, aku masih belum mau percaya. Engkau tentu ingin menggunakan kepandaianmu untuk mencoba menipuku dan membuat aku lengah. Kalau memang benar engkau memilih mati, nah, ini aku bawakan sebotol kecil racun. Beranikah engkau meminumnya? Engkau akan mati dengan tenang, seperti orang pergi tidur saja. Ataukah engkau lebih memilih mati kuserang dengan jarum-jarum beracun dari luar kamar tahanan? Nah, minumlah ini kalau memang benar engkau tidak takut mati, bukan hanya bualan sombong belaka!"

Dari tempat persembunyiannya, Sin-kiam Mo-li terus mengintai dengan jantungnya yang berdebar-debar. Maukah pemuda itu minum obat yang akan membuatnya tunduk dan jinak seperti yang dijanjikan oleh Bi-kwi kepadanya?

"Gu-suheng, jangan percaya omongan siluman itu! Dari suaranya saja aku tahu bahwa ia adalah seorang manusia siluman yang jahat, kata-katanya penuh dengan bujuk-rayu dan tipu. Jangan mau minum racun itu!" terdengar suara Hong Li yang merasa khawatir sekali. Ia tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di kamar tahanan sebelah, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka.

Akan tetapi Hong Beng, setelah bertemu pandang yang penuh arti dengan Bi-kwi, lalu menerima botol kecil berisi cairan bening itu, dan berkata dengan lantang karena dia pun tahu bahwa sikap Bi-kwi yang penuh rahasia itu menunjukkan bahwa ada orang lain, tentu iblis betina Sin-kiam Mo-li, yang melakukan pengintaian.

"Hemm, siapa takut mati?" Dan dia pun membuka tutup botol dan meminumnya sampai habis. Diam-diam dia merasa geli karena tahu bahwa yang diminumnya itu hanyalah air putih biasa saja, tidak mengandung apa-apa yang mencurigakan!

Kini Bi-kwi yang bermain sandiwara. Suaranya terdengar girang sekali.

"Hi-hi-hik, kau kira aku sedang berpura-pura dengan ancaman kosong? Ha, lihat betapa wajahmu telah menjadi pucat, dan tubuhmu pasti menjadi lemas. Ha-ha-ha, ya, engkau boleh berusaha mengerahkan sinkang-mu, Gu Hong Beng, akan tetapi percuma saja. Semua kemauanmu telah lenyap, dan engkau sekarang menjadi penurut. Engkau akan mendengarkan semua perintah dan mentaatinya tanpa melawan sedikit pun. Ha-ha-ha!"

Dan Hong Beng yang sebetulnya tidak merasakan sesuatu, kini melakukan apa yang dikatakan Bi-kwi. Dengan ilmu sinkang-nya, ia dapat menahan dan memperlambat jalan darah dan membuat mukanya tampak pucat, lalu tubuhnya terhuyung dan jika dia tidak berpegang kepada jeruji, tentu dia sudah roboh. Kepalanya menunduk dan tergantung seolah-olah kepala itu terasa berat dan pening, matanya terpejam.

"Mo-li, ke sinilah dan lihat hasilnya!" Bi-kwi berseru ke belakang.

Sin-kiam Mo-li cepat berlari mendekati kamar tahanan itu. Ia menemukan Hong Beng dalam keadaan tak berdaya, bergantung ke jeruji jendela dan nampak pucat dan lemas. Giranglah hatinya melihat ini.

"Sekarang dia akan melakukan apa saja yang kau perintahkan, Mo-li."

"Ahh, terima kasih, Bi-kwi. Aku akan membawanya ke kamarku sekarang juga."

"Aihh, jangan lupa membuka kamar tahanan sebelah, Mo-li."

"Jangan khawatir. Nih kuncinya, kau buka sendiri. Akan tetapi, jangan sampai ia terluka apa lagi terbunuh. Engkau hanya boleh meminjamnya saja untuk memuaskan seleramu yang gila itu. Aku masih belum selesai dengan anak itu!"

"Baiklah, siapa mau mencelakakannya? Aku... aku sayang pada anak-anak seperti itu, bagaikan kuncup bunga yang mulai mekar, hi-hi-hik!"

Dua orang wanita itu membuka pintu kamar tahanan. Melihat masuknya seorang wanita yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang diketahuinya adalah wanita yang tadi dimakinya siluman, yang tentunya sudah membius atau meracuni Gu Hong Beng seperti yang tadi didengarnya, Hong Li menjadi marah sekali. Begitu pintu kamar tahanan itu dibuka dari luar, dara cilik ini menyambut Bi-kwi dengan makian.

"Siluman betina keparat!"

Ia pun sudah menerjang dan menyerang dengan nekat, bagaikan seekor anak harimau yang marah. Akan tetapi, tentu saja serangannya itu tiada artinya bagi seorang wanita selihai Bi-kwi. Dengan cekatan, wanita ini menyambut tubuh kecil yang menyerangnya itu dengan tangkapan tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah menotok pundak Hong Li. Anak itu terkulai lemas dan segera dipondongnya sambil tertawa kecil.

Sementara itu, saat melihat pintu kamar tahanannya terbuka dan melihat Sin-kiam Mo-li masuk, sukar sekali bagi Hong Beng untuk menahan dirinya untuk tidak menerjangnya. Akan tetapi ia teringat akan pesan Bi-kwi. Ia harus berhati-hati karena Bi-kwi bermaksud untuk menyelamatkan Hong Li. Kalau dia sembrono dan hanya menurutkan nafsu hati lalu menyerang Mo-li, jangan-jangan dia membuat kapiran semua rencana Bi-kwi yang belum diketahuinya bagaimana.

Karena itu, ketika Mo-li menyentuh lengan dan pundaknya untuk meyakinkan diri, dia membuat tubuhnya lumpuh dan jalan darahnya berjalan sangat lambat sehingga wanita itu percaya bahwa dia benar-benar berada dalam pengaruh bius yang amat kuat. Ia pun membiarkan saja wanita itu merangkulnya, menciumnya kemudian tertawa kecil dan menuntunnya keluar dari dalam kamar penjara.

Ia bertemu dengan Bi-kwi di luar kamar tahanan, dan melihat Hong Li sudah terkulai lemas dipanggul oleh Bi-kwi. Bi-kwi tersenyum kepadanya.

"Bagaimana Mo-li? Tidak manjurkah obatku?"

"Memang ampuh sekali, dan aku berterima kasih padamu, Bi-kwi," kata Sin-kiam Mo-li sambil merangkul pinggang Hong Beng.

"Gu Hong Beng...," kata Bi-kwi dan Mo-li mengira bahwa rekannya itu akan mengejek tawanannya, akan tetapi ternyata panggilan itu oleh Bi-kwi disambung dengan seruan, "... serbuuu...!"

Dan ia sendiri mengirim tamparan keras ke arah kepala Mo-li! Tentu saja Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Cepat ia miringkan tubuhnya mengelak dari tamparan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi pada saat itu Hong Beng juga telah menyerangnya. Pemuda ini tadi dirangkul pinggangnya, maka hantaman Hong Beng yang amat dekat itu sukar sekali dielakkan dan biar pun ia sudah membuang diri, tetap saja punggungnya terkena pukulan tangan Hong Beng.

"Bukkk!"

Tubuh Sin-kiam Mo-li terpelanting keras dan ketika ia meloncat berdiri, dari mulutnya keluar darah segar! Wanita ini ternyata kuat sekali karena hantaman itu sama sekali tak membuatnya lemah. Dia bahkan mencabut pedangnya dan memandang dengan mata penuh kemarahan kepada Bi-kwi dan Hong Beng.

"Bi-kwi... manusia hina, khianat dan curang!" bentaknya.

"Hong Beng, bawa dia keluar dari sini, suruh dia menjadi penunjuk jalan. Cepat... biar kuhadapi siluman ini!" kata Bi-kwi sambil melemparkan tubuh Hong Li yang diam-diam telah ia bebaskan totokannya kepada Hong Beng.

Pemuda itu cepat menangkap Hong Li. Dipondongnya gadis cilik itu, kemudian maklum bahwa yang terpenting adalah menyelamatkan Hong Li, dia meloncat keluar dari tempat tahanan itu.

Mo-li hendak mengejar, akan tetapi Bi-kwi sudah menghadang di depannya dan Bi-kwi juga mencabut pedangnya, menghadang Mo-li sambil tersenyum mengejek.

"Nah, sekarang kita boleh mengadu kepandaian, Mo-li. Akulah lawanmu!"

Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li tidak mampu mengeluarkan suara apa pun, bahkan saking marahnya, ia tak ingat untuk berteriak minta bantuan para pelayan dan juga para tamunya untuk mencegah Hong Beng dan Hong Li melarikan diri. Mulutnya menyeringai penuh kebencian, sepasang matanya mencorong seolah-olah ia hendak menelan Bi-kwi bulat-bulat. Ia lantas mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya berubah menjadi sinar berkelebat, tahu-tahu pedang itu telah menyambar dan menusuk ke arah dada Bi-kwi.

"Cringgg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang bertemu. Bi-kwi merasa betapa telapak tangannya panas dan lengan kanannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa Sin-kiam Mo-li memang sesuai dengan julukannya, Iblis Betina Berpedang Sakti, amat hebat ilmu pedangnya.

Oleh karena itu, sambil melawan dengan pedang, Bi-kwi mengeluarkan ilmu-ilmu tangan kosongnya yang tidak kalah hebatnya. Dia mengisi tangan kirinya dengan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang), ilmu dari Sam Kwi yang amat terkenal. Dengan ilmu ini, tangan kirinya kalau dipergunakan untuk menyerang, tiada ubahnya sebatang pedang pula, yang selain amat kuat, juga dapat membabat anggota tubuh lawan sampai buntung, bahkan lengan kiri ini berani menangkis senjata tajam karena telah dilindungi kekebalan Kiam-ciang.

Di samping ini, ia juga merubah-rubah ilmu pedangnya karena memang wanita ini telah mewarisi semua ilmu dari ketiga orang gurunya, yaitu mendiang Hek Kwi Ong si Raja Iblis Hitam, Im kan-kwi si Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup yang ketiganya merupakan datuk sesat yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis).

Akan tetapi sekali ini Bi-kwi bertemu lawan yang sangat tangguh pula. Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio, sudah mewarisi semua ilmu dari nenek sakti itu dan ditambah dengan pengalamannya yang luas, ia merupakan seorang wanita yang amat lihai, bukan saja dalam ilmu silat, melainkan juga memiliki kekuatan batin yang hebat karena ia pernah mempelajari ilmu sihir.

Kalau saja ia tidak menghadapi seorang yang juga sudah matang seperti Bi-kwi, tentu ia dapat menjatuhkan lawan dengan ilmu sihirnya. Bahkan kini pun, dengan mengeluarkan lengkingan-lengkingan tajam yang mengandung kekuatan batin, beberapa kali Bi-kwi merasa jantungnya tergetar dan terguncang hebat yang hampir saja melumpuhkannya. Tetapi, maklum akan kesaktian lawan, Bi-kwi lalu mengerahkan segala kemampuan dan tenaganya untuk melakukan perlawanan dengan amat gigihnya.

Hong Beng memondong Hong Li keluar dari kamar tahanan itu menurutkan petunjuk Hong Li. Ternyata lorong yang membawa mereka ke atas itu tidak terjaga. Tiga orang pelayan Mo-li agaknya sedang asyik melayani tujuh orang tosu bersama wanita-wanita dusun.

Hong Li minta turun dari pondongan karena tubuhnya sudah terasa segar kembali dan gadis inilah yang menjadi petunjuk jalan untuk keluar dari daerah berbahaya itu. Akan tetapi, tiba-tiba Hong Beng teringat akan Bi-kwi. Bagaimana dia dapat melarikan diri dan meninggalkan Bi-kwi di tempat yang berbahaya itu? Selama ini dia telah salah sangka terhadap Bi-kwi, bahkan terhadap Bi Lan dan Sim Houw!

Dia sudah menganggap bahwa Bi-kwi adalah seorang wanita iblis yang tidak mungkin menjadi baik kembali. Akan tetapi, kini dia melihat kenyatan betapa keliru pendapatnya itu, pendapat yang dahulu didorong oleh perasaan iri dan cemburu karena cintanya terhadap Bi Lan gagal. Kini baru nampak olehnya, Bi-kwi telah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa.

Hal ini telah dibuktikannya. Bi-kwi rela mengorbankan diri, menghadapi Sin-kiam Mo-li yang demikian lihainya, yang masih dibantu tujuh orang tosu. Bi-kwi mengorbankan diri demi menyelamatkan dia dan Hong Li. Dan bagaimana mungkin dia sekarang melarikan diri meninggalkan wanita itu begitu saja diancam bahaya maut? Ahhh.....

"Sumoi, tentu engkau tahu jalan keluar, bukan?"

"Tentu saja, aku sudah hafal jalan di sini dengan semua rahasianya. Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawamu keluar dari sini dengan aman."

"Bukan itu yang kukhawatirkan, sumoi. Engkau sekarang larilah secepatnya keluar dan setelah di luar daerah ini, carilah sepasang pendekar yang bernama Sim Houw dan Can Bi Lan, lalu bawalah mereka masuk untuk membantu kami. Aku harus cepat kembali untuk membantu nona Ciong Siu Kwi."

"Siapakah itu?"

"Wanita tadi..."

"Ahhh,... siluman itu?"

"Tidak, sumoi. Dia hanya pura-pura, termasuk siasatnya agar dipercaya oleh Sin-kiam Mo-li. Ia datang untuk menyelamatkan engkau dan ia datang bersama Sim Houw dan Bi Lan itulah. Sudah, aku tidak dapat bicara banyak, engkau cepatlah lari mencari bantuan mereka. Kalau terlambat, mungkin nona Ciong dan aku akan tewas di tangan Mo-li dan tujuh orang tosu itu!" Tanpa menanti jawaban, Hong Beng melompat dan lari kembali ke arah bangunan besar di tengah hutan dan rawa itu.

Sejenak Hong Li berdiri bingung, akan tetapi ia pun dapat menangkap apa yang terjadi menurut cerita Hong Beng tadi, maka ia pun cepat melompat dan melanjutkan larinya ke luar dari daerah itu. Ia merasa amat khawatir akan keselamatan pemuda yang menjadi suheng-nya itu, dan ia harus dapat cepat menemukan sepasang pendekar seperti yang dikatakan oleh Hong Beng tadi.

Juga kini Hong Li baru melihat kenyataan betapa gurunya, Sin-kiam Mo-li, yang selama ini dianggapnya menjadi ibu angkat dan gurunya, amatlah jahatnya. Maka ia pun tidak ragu-ragu untuk membantu Gu Hong Beng, kalau perlu ia bahkan siap untuk menentang kejahatan subo-nya sendiri.

Perkelahian antara Bi-kwi dan Mo-li berjalan dengan sangat serunya dan selama itu, keduanya masih nampak seimbang. Walau pun Mo-li lebih kuat dalam tenaga sinkang, akan tetapi kekurangan Bi-Kwi diimbangi dengan kemenangannya dalam ilmu silat yang banyak ragamnya, terutama sekali Ilmu Sam-kwi Cap-sha-kun yang merupakan ciptaan terakhir dan hasil kerja gabungan dari ketiga orang tokoh sesat itu.

Akan tetapi, setelah berkelahi selama empat puluh jurus lebih, mendadak bermunculan tujuh orang tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang menjadi tamu di rumah itu. Akhirnya mereka mendengar juga akan perkelahian itu ketika seorang di antara tiga pelayan yang kebetulan mempunyai keperluan ke belakang, mendengar suara denting pedang beradu yang keluar dari lorong rahasia bawah tanah.

Ang Nio, pelayan ini, segera memasuki lorong dan melihat betapa Mo-li berkelahi mati matian melawan Bi-kwi, sedangkan dua ruangan tahanan telah kosong. Ang Nio cepat berlari ke atas memberi tahu kepada tujuh orang tosu itu dan minta bantuan. Ketujuh orang tosu itu cepat berlompatan keluar dari dalam kamar sambil membetulkan pakaian mereka dengan tergesa-gesa, lalu mereka memasuki lorong bawah tanah.

Melihat betapa Mo-li berkelahi dengan mati-matian melawan Bi-kwi, mereka pun tanpa diminta sudah maju mengepung. Melihat munculnya tujuh orang musuh baru ini, Bi-kwi maklum bahwa ia terancam bahaya maut, namun ia sudah nekat. Ia rela mati, namun hatinya lega karena Hong Beng dan Hong Li tentu sudah dapat keluar dengan selamat.

Ia tidak takut mati, apa lagi mati sebagai seorang gagah yang menentang kejahatan. Suaminya yang amat dicintanya tentu maklum, dan akan merasa bangga pula dengan kematiannya. Maka, dengan penuh semangat, pedang di tangan dan tubuh basah oleh peluh, ia siap untuk mempertahankan nyawanya sampai titik darah terakhir.

Sementara itu, Sin-kiam Mo-li sudah marah sekali kepada Bi-kwi. Demikian besar rasa marah dan bencinya sehingga ia berseru kepada tujuh orang tosu yang membantunya, "Jangan bunuh perempuan keparat ini! Boleh saja buntungi kaki tangannya, akan tetapi jangan buntungi lehernya. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup, menyiksanya sepuas hatiku. Pengkhianat keji ini harus mengaku mengapa ia membalik dan membela para pendekar!"

Seruan yang timbul dari kebencian dan kemarahan yang bergelora ini bahkan menolong nyawa Bi-kwi. Kalau saja tidak ada larangan itu, para tosu maju mengeroyok, agaknya tidak sampai sepuluh jurus Bi-kwi akan roboh dan tewas! Akan tetapi, karena dilarang membunuh oleh Mo-li, tujuh orang tosu itu pun menyerang tanpa menggunakan senjata dan mereka tidak melakukan serangan maut, melainkan berusaha merobohkan saja dan menangkapnya. Tidaklah mudah menangkap seseorang yang demikian lihainya seperti Bi-kwi tanpa membunuhnya!

Bi-kwi yang hendak mempertahankan nyawanya sampai napas terakhir, menggunakan seluruh kepandaiannya. Baru sakarang inilah selama hidupnya ia menghadapi lawan yang demikian kuatnya. Delapan orang yang rata-rata memiliki tingkat yang tinggi, dan untuk melawan seorang saja dari mereka sudah sukarlah baginya untuk keluar sebagai pemenang. Apa lagi dikeroyok delapan!

Ia lalu merubah-rubah ilmu silatnya. Bahkan ketika dalam benturan pedang yang amat dahsyatnya pedangnya dan juga pedang di tangan Sin-kiam Mo-li terlempar dan jatuh, ia melanjutkan perlawanan dengan kedua tangan kosong. Mo-li juga tidak mengambil pedangnya karena ia merasa yakin bahwa jika dibantu oleh tujuh orang tosu itu, tanpa pedangnya pun ia akan mampu menangkap Bi-kwi.

Dalam usaha untuk membela diri dan kalau mungkin merobohkan para pengeroyoknya, Bi-kwi menggunakan Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam) yang merupakan ilmu khas dari mendiang Raja Iblis Hitam. Dengan ilmu silat ini, kedua lengan Bi-kwi dapat mulur sampai dua kali lipat ukuran biasa!

Tentu saja ilmu ini hebat bukan main dan para pengeroyoknya kadang-kadang berseru kaget dan hampir celaka oleh serangan ilmu ini. Untung saja mereka itu berdelapan sehingga yang lain cepat membantu kalau ada yang terdesak.

Juga dalam menghadapi sambaran pukulan atau tendangan lawan, Bi-kwi melindungi dirinya dengan Ilmu Kebal Kulit Baja yang dipelajarinya dari mendiang Iblis Akhirat, juga tendangan Pat-hong-twi yang dapat dilakukan ke arah delapan penjuru dengan secara susul-menyusul dan cepat serta kuat sekali.

Kadang-kadang dia juga mengeluarkan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) dari mendiang Iblis Mayat Hidup. Tetapi di samping semua ilmu ini, Ilmu Pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang) masih terus dia gunakan sehingga menggiriskan para pengeroyoknya, walau pun para pengeroyok itu memiliki ilmu yang tinggi.

Sudah berulang kali Bi-kwi menerima tendangan dan pukulan, tapi berkat perlindungan Ilmu Kebal Kulit Baja, ia tidak menderita luka walau pun pakaiannya sudah robek sana dan sini. Seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri karena biar pun tidak terluka, tetap saja guncangan-guncangan yang diterimanya membuat tubuhnya nyeri semua.

Ia semakin terdesak dan agaknya tidak lama lagi ia akan kehabisan tenaga dan napas dan akan roboh tak berdaya sehingga ia akan menjadi korban kebencian Sin-kiam Mo-li yang ingin menyiksanya habis-habisan sebelum membunuhnya!

Pada saat ia kembali menerima sebuah tendangan yang kuat dari Ok Cin Cu, tosu yang agaknya juga amat membencinya karena pernah dikecewakan oleh pelayanannya yang dingin, hingga tubuhnya terbanting dan bergulingan, dan ia terpaksa menangkis dengan kedua lengannya karena pada waktu ia bergulingan itu datang tendangan bertubi-tubi, muncullah Gu Hong Beng!

Tanpa banyak cakap lagi, Hong Beng menyerbu dan menyerang Ok Cin Cu sehingga tosu ini terpelanting oleh sambaran angin pukulannya yang sangat panas karena ia tadi menyerang dengan pengerahan tenaga Hwi-yang Sinkang, satu di antara ilmu sinkang dari Pulau Es!

Hwi-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) mengeluarkan hawa panas dan sangat kuat sehingga walau pun Ok Cin Cu tidak terkena pukulan secara langsung, tetap saja dia terpelanting! Semua orang terkejut. Dan melihat munculnya pemuda ini, Sin-kiam Mo-li menjadi girang. Kiranya pemuda ini belum lagi melarikan diri! Sekarang ia akan dapat menangkapnya dan menyiksanya bersama Bi-kwi.

"Tangkap pemuda jahanam ini pula!" bentaknya dan ia sendiri sudah menyerang Hong Beng dengan dahsyatnya. Pemuda ini juga amat membenci Sin-kiam Mo-li, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menangkis.

"Desss...!" Keduanya terdorong ke belakang.

Hong Beng merasa lega dan juga kagum melihat betapa Bi-kwi yang dikeroyok delapan orang lihai itu masih dalam keadaan selamat, walau pun pakaiannya sudah compang-camping dan wajahnya sudah pucat, dengan tubuh basah oleh keringat dan tampaknya wanita itu lelah sekali. Namun, melihat Hong Beng, Bi-kwi terkejut.

"Bagaimana dengan Hong Li?" tanyanya sambil meloncat ke belakang menghindarkan serangan dua orang lawan.

"Harap jangan khawatir, ia sudah selamat," kata Hong Beng. Ia makin kagum karena dalam keadaan nyawanya sendiri terancam bahaya, wanita itu masih teringat kepada anak itu.

"Kenapa kau mencari penyakit dan tidak pergi saja?" kata pula Bi-kwi, agak menyesal mengapa pemuda ini kembali untuk menyerahkan nyawa.

"Ciong-lihiap, aku masih belum begitu tersesat untuk bisa membiarkan engkau sendirian terancam bahaya. Mari kita hajar iblis-iblis ini!" kata Hong Beng.

Bi-kwi terbelalak dan wajahnya menjadi cerah sekali, sepasang matanya bersinar dan mencorong mendengar betapa ia disebut Ciong-lihiap oleh murid tokoh Pulau Es itu. Ia tertawa.

"He-he-he, engkau benar sekali, Gu-taihiap! Mari kita basmi siluman-siluman jahat ini!"

Dan seperti memperoleh tenaga baru, sebuah tendangan kilat mengenai paha Im Yang Tosu, membuat tosu Pek-lian-kauw yang menjadi salah seorang di antara pengeroyok itu terpelanting dan ketika meloncat bangun, kakinya agak terpincang. Dia menyumpah-nyumpah dan menerjang lagi.

Dengan penuh semangat, dua orang itu mengamuk dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Namun, delapan orang pengeroyoknya adalah orang-orang pandai yang setingkat dengan mereka, maka perlahan-lahan, mulailah Bi-kwi dan Hong Beng terdesak lagi. Mereka sudah mulai menerima hantaman-hantaman dan hanya karena kekebalan tubuh mereka dan besarnya semangat mereka saja, maka dua orang gagah ini masih terus melakukan perlawanan bagaikan dua ekor harimau yang sudah terluka dan tersudut, pantang menyerah sebelum roboh!

Sementara itu, dengan cepat sekali Hong Li lari menyusup-nyusup keluar dari daerah yang berbahaya karena penuh dengan perangkap-perangkap itu. Berkat kecerdikannya, karena ia sudah hafal benar keadaan di daerah itu, ia mampu berlari keluar di tempat gelap tanpa terancam jebakan dan akhirnya sampai juga ia di luar daerah tempat tinggal gurunya.

Sampai di sini, Hong Li merasa bingung sekali. Ia disuruh mencari dua orang gagah yang hanya diketahui namanya saja, yaitu Sim Houw dan Can Bi Lan. Akan tetapi ia belum pernah bertemu dengan mereka dan tidak tahu bagaimana wajah mereka. Ia tak akan mengenal mereka dan ke manakah ia harus mencari mereka?

Tetapi Hong Li adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia membayangkan keadaannya. Sekarang ia dapat menduga bahwa kalau suheng-nya yang bernama Gu Hong Beng itu datang sendirian untuk menyelamatkannya. Karena itu wanita yang disebut Bi-kwi oleh gurunya itu pasti datang bertiga bersama mereka yang kini harus dicarinya.

Agaknya Bi-kwi itu mengenal subo-nya, maka menggunakan siasat berkunjung kepada gurunya sebagai seorang sahabat dan kemudian bergerak dari dalam. Kalau demikian halnya, sudah pasti kedua orang temannya itu menunggu di luar hutan ini dan sekarang berada di suatu tempat tersembunyi. Mencari mereka tidaklah mungkin karena mereka bersembunyi, maka ia pun lalu mulai memanggil-manggil dengan suara nyaring.

"Dua orang gagah yang bernama Sim Houw dan Can Bi Lan...! Ji-wi (kalian) keluarlah! Sahabat ji-wi Bi-kwi berada dalam bahaya!"

"Sim Houw dan Can Bi Lan...!"

Hong Li berjalan ke sana-sini sambil berteriak-teriak. Usahanya berhasil. Belum sepuluh kali ia memanggil kedua nama itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang lelaki dan seorang perempuan yang dapat dilihatnya dalam cuaca remang-remang yang ditimbulkan oleh sinar laksaan bintang di langit.

"Siapa engkau?" yang wanita menyapanya dengan suara tegas setengah menghardik.

"Aku Kao Hong Li..."

"Ahhh...!" Dua orang itu cepat memegang lengannya dengan lembut.

"Kiranya adik Hong Li...! Apa artinya teriakanmu tadi?" tanya yang wanita. "Aku yang bernama Can Bi Lan, aku sumoi dari Bi-kwi itu, dan aku sumoi dari ayahmu..."

"Sumoi dari ayah?"

"Tidak ada waktu untuk bicara tentang itu. Hong Li, katakanlah, apa yang telah terjadi dan bagaimana engkau dapat sampai ke sini?"

"Engkau benar, bibi. Tidak ada banyak waktu untuk bicara. Kalianlah yang dicari oleh mereka yang kini berada dalam bahaya besar. Mereka berdua terancam bahaya maut. Di sana ada... Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu itu..."

"Berdua? Suci Bi-kwi dengan siapa?"

"Ia bersama suheng Gu Hong Beng. Tadinya suheng tertawan. Lalu muncul bibi Bi-kwi yang berhasil membebaskan aku dan suheng. Akan tetapi suheng menyuruh aku berlari sendiri dan dia kembali untuk membantu bibi Bi-kwi. Mari, mari cepat, biar aku menjadi penunjuk jalan. Ji-wi harus membantu mereka!"

Tanpa menanti, jawaban, Hong Li sudah melompat ke dalam hutan. Dua orang itu amat kagum dan mereka pun cepat mengikuti jejak Hong Li yang mulai menyusup-nyusup ke dalam hutan itu menuju ke tempat tinggal Sin-kiam Mo-li.

Kedatangan Bi Lan dan Sim Houw sungguh pada saat yang tepat sekali. Ketika mereka tiba di dalam rumah itu, mereka dihadang oleh tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek Nio, Ang Nio dan Hek Nio, tiga orang pelayan dan juga pembantu dan murid dari Sin-kiam Mo-li.

"Mereka adalah pembantu-pembantu Sin-kiam Mo-li," bisik Hong Li kepada dua orang itu.

"Tunggu! Siapakah kalian dan mau apa?" bentak Pek Nio dengan pedang melintang di depan dada.

Bi Lan yang sudah mendengar bisikan Hong Li tadi membentak, "Menggelinding pergi kalian!"

Dan ia pun menerjang ke depan. Tiga orang wanita pelayan itu menyambutnya dengan serangan pedang, akan tetapi begitu Bi Lan menggerakkan kaki tangannya, tiga orang itu berpelantingan ke kanan kiri dan terbanting keras, tak dapat bangkit kembali! Hong Li kagum bukan main melihat ini. Bibi gurunya! Adik seperguruan ayahnya! Demikian lihai!

"Mari, mari ke sini, bibi!" katanya sambil berlari masuk ke dalam rumah itu, diikuti oleh Bi Lan dan Sim Houw. Hong Li membuka sebuah pintu rahasia dan mereka pun memasuki terowongan bawah tanah.

Kalau tadi Bi Lan dan Sim Houw masih heran dan bingung, belum percaya penuh akan keterangan Hong Li bahwa Bi-kwi berada di situ bersama Gu Hong Beng, kini mereka dapat melihat sendiri. Memang Hong Beng bersama Bi-kwi yang sedang dikurung dan terdesak hebat oleh delapan orang pengeroyok itu! Sejenak mereka merasa kaget dan heran sekali.

Hong Beng bekerja sama dengan Bi-kwi menghadapi pengeroyokan delapan orang musuh! Sukar untuk dapat dipercaya karena mereka tahu betapa besarnya perasaan benci dalam hati Hong Beng terhadap Bi-kwi. Agaknya pemuda itu telah sadar sekarang dan hal ini membuat Bi Lan demikian girangnya sehingga ia berteriak nyaring.

"Hong Beng, jangan takut aku datang membantu!"

Sim Houw juga tidak banyak cakap lagi. Begitu tiba di situ, pendekar Suling Naga ini menggunakan pandang matanya yang tajam mencorong itu untuk menelitii keadaan. Dia melihat bahwa baik tingkat kepandaian Hong Beng mau pun Bi-kwi tidak kalah oleh tingkat masing-masing pengeroyok, dan dia merasa yakin bahwa Bi Lan akan mampu mengalahkan setiap dari mereka, kecuali wanita cantik itu yang amat lihai.

Bi Lan akan mampu menahan dua orang lawan, Hong Beng dan Bi-kwi menghadapi dua orang lawan dan dia sendiri akan menghadapi empat orang lawan termasuk wanita itu yang dia sangka tentulah Sin-kiam Mo-li adanya. Maka dia pun sudah mencabut suling naga dari pinggangnya dan bersama dengan Bi Lan dia menyerbu ke dalam arena perkelahian. Ruangan di depan kamar-kamar tahanan itu cukup luas sehingga dia dapat menggerakkan pedangnya yang luar biasa itu dengan leluasa.

Munculnya dua orang ini mengejutkan Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Akan tetapi tidak membuat mereka menjadi gentar. Bagaimana pun juga, mereka berjumlah delapan orang, merupakan kekuatan yang sukar dilawan.

Mo-li maklum bahwa kawan-kawannya adalah tokoh-tokoh pilihan dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, maka munculnya dua orang yang membantu Bi-kwi dan Gu Hong Beng tidak membuat ia menjadi gentar. Ia sudah menyambar pedangnya dan meloncat ke depan menyambut Sim Houw dan karena ingin cepat-cepat menyelesaikan perkelahian ini, tangan kirinya juga sudah melolos kebutan bulu merah bergagang emas. Dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, pedangnya menusuk dada Sim Houw dan kebutannya menyambar ke arah muka pendekar itu.

"Tranggg…! Trakkk…!"

"Aihhhhh...!" Sin-kiam Mo-li menjerit ketika tubuhnya terhuyung ke belakang seperti di sambar petir.

"Dia Pendekar Suling Naga...!" teriak Thian Kek Sengjin yang pernah dikalahkan oleh pendekar ini. Demikian pula Ok Cin Cu amat terkejut melihat munculnya pendekar yang membuatnya gentar itu.

Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li terkejut. Ia sudah mendengar nama besar pendekar yang baru muncul ini dan kini ia memandang ke arah pedang berbentuk suling naga itu. Akan tetapi ia tidak merasa gentar karena ia dibantu oleh teman-temannya dan bersama tiga orang tosu ia pun menerjang lagi ke depan, sekali ini lebih berhati-hati agar jangan bentrok senjata secara langsung karena ia tahu bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah jauh dibandingkan pendekar ini.

Bi Lan sudah menghadapi dua orang tosu, yaitu Ok Cin Cu dan sute-nya, yaitu Lam Cin Cu, dua orang tokoh Pat-kwa-pai. Bi-kwi melawan Im Yang Tosu sedangkan Hong Beng berkelahi melawan Ang Bin Tosu, kedua-duanya dari Pek-lian-pai. Ada pun Sim Houw dikepung oleh Sin-kiam Mo-li yang dibantu oleh Thian Kek Sengjin dan Coa-ong Sengjin dari Pek-lian-pai, dan Thian Kong Cinjin yang merupakan tosu paling tangguh di antara mereka bertujuh, karena tosu ini adalah wakil ketua Pat-kwa-pai.

Hong Li berdiri agak jauh, nonton perkelahian itu dengan pandang mata penuh kagum ditujukan kepada Sim Houw dan Bi Lan. Sekarang sungguh amat mengejutkan pihak Mo-li, pertempuran itu berjalan dengan seimbang!

Andai kata Bi-kwi tidak demikian lelah dan nyeri-nyeri tubuhnya karena tadi menerima banyak pukulan, seperti juga halnya Hong Beng, tentu ia dan Hong Beng sudah mampu merobohkan lawannya yang hanya seorang saja.

Bi Lan yang tadi sudah melihat kelihaian para tosu, sekarang mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, membuat kedua orang pengeroyoknya cukup repot meski kedua orang pengeroyok itu menggunakan tongkat untuk menyerangnya, sedangkan gadis itu hanya bertangan kosong saja.

Hong Beng juga sudah menerima beberapa pukulan keras ketika dia membantu Bi-kwi tadi sehingga gerakannya tidak leluasa, juga tenaganya banyak berkurang. Untung dia memiliki sinkang yang amat kuat dari gurunya, sinkang istimewa dari keluarga Pulau Es.

Maka biar pun lawannya, Ang Bin Tosu dari Pek-lian-pai juga merupakan tokoh lihai, sudah berusaha untuk mengalahkannya, tetap saja kakek tosu sesat itu tidak mampu mendesak Hong Beng. Bahkan ketika Hong Beng memainkan Liong-in Bun-hoat, ilmu silat yang amat tinggi dan sukar dilawan, yang halus namun mengandung kekuatan dahsyat, Ang Bin Tosu terkena dorongan tangan kiri Hong Beng dan kakek ini terhuyung lalu terpaksa meloncat ke belakang.

Pada saat itu, Bi-kwi yang keadaannya lebih parah dari Hong Beng, terdesak hebat dan sebuah sapuan tongkat panjang dari lawannya, yaitu Im Yang Tosu, membuat ia roboh terguling. Memang aneh, tadi ketika hanya berkelahi berdua saja dengan Hong Beng, dia begitu gigih, tetapi setelah datang bala bantuan, Bi-kwi merasa betapa tubuhnya lelah dan lemah.

Hal ini mungkin karena tadi ia tidak melihat adanya harapan dan hal itu membuatnya nekat, dan kini, kelegaan hati melihat kemunculan Bi Lan dan Sim Houw membuat daya tahan batinnya bahkan melemah. Untung Hong Beng cepat menubruk ke depan dan menghantam punggung Im Yang Tosu dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang yang berhawa dingin.

"Bukkk!"

Punggung itu kena dihantam telapak tangan Hong Beng, keras sekali karena pemuda ini khawatir sekali dan ingin menyelamatkan Bi-kwi yang terancam maut oleh serangan susulan dari Im Yang Tosu yang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Bi-kwi. Pukulan tangan Hong Beng itu demikian kuatnya sehingga tubuh Im Yang Tosu lantas terpelanting keras, menggigil dan tidak mampu bangun kembali, bahkan tak lagi mampu berkutik!

Melihat rekannya roboh, Ang Bin Tosu marah sekali dan dengan teriakan marah dia menubruk ke arah Hong Beng. Ketika itu, Hong Beng yang tadi menggunakan seluruh tenaganya memukul Im Yang Tosu, berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Hong Beng memang sudah amat lelah dan telah banyak menerima pukulan pada saat bersama Bi-kwi menghadapi pengeroyokan delapan orang itu. Maka pengerahan tenaga sekuatnya tadi membuat ia terhuyung dan terengah, dan dalam keadaan seperti itu Ang Bin Tosu menyerangnya dengan pukulan dahsyat dari belakang!

"Desss...!"

Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Beng itu, Bi-kwi menerjang ke depan dan menyambut serangan tosu itu untuk menyelamatkan Hong Beng. Hebat sekali benturan tangan itu. Akibatnya, tubuh Bi-kwi yang sudah amat lelah dan lemah itu terjengkang dan wanita itu pun roboh pingsan. Namun Ang Bin Tosu juga terhuyung ke belakang dan terengah-engah karena benturan tenaga itu sangat hebat, membuat isi dadanya terguncang dan tergetar.

Melihat betapa dia baru terlepas dari bahaya maut karena pertolongan Bi-kwi, sehingga wanita itu roboh tidak bergerak lagi, Hong Beng menjadi marah sekali kepada Ang Bin Tosu.

"Tosu jahat!" bentaknya.

Dan dia pun menerjang tosu yang sedang terhuyung itu. Ang Bin Tosu yang kehilangan tongkatnya, menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi pukulan Hong Beng amat hebatnya sehingga tangkisan itu runtuh dan telapak tangan kiri Hong Beng mengenai dada Ang Bin Tosu. Kakek ini mengeluh dan roboh terjengkang, tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu, pedang suling naga di tangan Sim Houw mulai membuat empat orang pengeroyoknya kocar-kacir. Pedang itu menyambar-nyambar, menjadi segulungan sinar yang amat panjang dan kuat, mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti orang bermain suling. Empat orang itu berusaha keras untuk mendesaknya, namun sebaliknya mereka berempat yang terdesak dan permainan senjata mereka menjadi kacau-balau.

Mula-mula Thian Kong Cinjin yang lebih dulu menjadi korban sinar pedang suling naga. Sim Houw melihat betapa di antara empat orang pengeroyoknya, yang paling tangguh adalah wakil ketua Pat-kwa-pai ini dan Sin-kiam Mo-li. Karena itu, ketika mendapatkan kesempatan dia pun menujukan sinar pedangnya mendesak Thian Kong Cinjin. Ketika kakek ini memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya dari sinar pedang, Sim Houw meloncat dan menendang ujung tongkat itu dan pada saat tongkat itu menyeleweng dan terbuka lubang, Sim Houw memasukinya dengan sinar pedangnya.

"Crettttt!"

Robeknya jubah di bagian pundak disusul mengalirnya darah. Pundak itu telah terluka oleh pedang dan seketika lengan kanan Thian Kong Cinjin menjadi lumpuh kehilangan tenaga sehingga tongkatnya pun terlepas.

Pada saat itu pula tiga orang pengeroyok sudah menerjang dengan cepat sehingga Sim Houw harus meloncat mundur dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang sulingnya sehingga serangan senjata tiga orang pengeroyok itu dapat ditangkis semua.

Pada saat itu, Bi Lan berhasil merobohkan Lam Cin Cu dengan tamparan tangan kirinya yang mengenai pelipis tosu itu. Lam Cin Cu roboh tak berkutik lagi. Melihat robohnya sute ini, Ok Cin Cu terkejut dan juga  gentar. Dia meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat, apa lagi melihat betapa Im Yang Tosu dan Ang Bin Tosu juga sudah roboh.

Bi Lan kini menerjang ke dalam pertempuran membantu Sim Houw. Tentu saja tiga orang pengeroyok Sim Houw menjadi semakin repot. Tadi saja mengeroyok Pendekar Suling Naga, mereka sudah sangat kewalahan. Apa lagi kini Bi Lan ikut maju membantu kekasihnya. Meski gadis ini hanya bertangan kosong, namun tangan kakinya tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata.

Yang merasa penasaran dan marah sekali adalah Sim-kiam Mo-li. Dia mengandalkan tujuh orang tosu yang menjadi sekutunya itu dan kini sudah ada tiga orang tosu tewas, bahkan Thian Kong Cinjin juga sudah terluka pundaknya dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Ok Cin Cu yang belum terluka agaknya telah menjadi gentar dan menjauh, sehingga yang membantu Mo-li hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Thian Kek Sengjin dan Coa-ong Sengjin dari Pek-lian-pai.

Biar pun para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau Sim Houw menghendaki, dengan ilmu pedang Suling Naga, agaknya sudah sejak tadi dia akan mampu merobohkan seorang atau dua orang di antara mereka kalau dia bermaksud membunuh mereka. Justru karena dia menahan diri agar tidak membunuh lawan maka sukar baginya untuk merobohkan mereka dan baru saja dia berhasil melukai Thian Kong Cinjin.

Kini, masuknya Bi Lan membuat keadaan menjadi lain. Kalau Sim Houw mengendalikan gerakannya supaya jangan membunuh lawan, sebaliknya Bi Lan masuk dan menerjang dengan serangan dahsyat yang penuh niat untuk membunuh lawan! Dan mudah diduga bahwa kebencian Bi Lan dijatuhkan kepada Sin-kiam Mo-li karena wanita inilah yang telah menculik Hong Li.

"Perempuan iblis, bersiaplah untuk mampus!" bentak Bi Lan.

Begitu ia terjun ke dalam pertempuran itu, langsung saja ia menyerang Sin-kiam Mo-li. Wanita ini menyambut dengan sepasang senjatanya, yaitu kebutan dan pedang, yang dengan dahsyat menyambut serangan Bi Lan dengan tusukan pedang dan sabetan cambuk ke arah muka gadis itu.

Bi Lan bukannya tidak tahu akan hebatnya lawan dari gerakan yang amat cepat dan mengandung angin keras itu, maka ia pun cepat mengelak ke samping dan dengan tubuh setengah berjongkok, dari samping kakinya mencuat dalam tendangan kilat ke arah lutut Mo-li.

Perlu diketahui bahwa seperti juga Bi-kwi, Bi Lan telah mewarisi ilmu dari ketiga orang gurunya. Ilmu tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) merupakan satu di antara ilmu dari mendiang Iblis Akhirat yang sudah dilatihnya dengan amat baik. Maka tendangan yang datangnya tiba-tiba itu amat dahsyat, tidak tersangka dan juga selain cepat, mengandung tenaga yang kuat sekali.

Sementara itu, melihat betapa kekasihnya kini menghadapi Sin-kiam Mo-li, Sim Houw merasa khawatir. Di antara tiga orang pengeroyoknya, Mo-li merupakan lawan yang paling tangguh. Maka melihat majunya Bi Lan yang menghadapi Mo-li, dan sekarang kekasihnya itu diserang dengan hebat menggunakan kebutan dan pedang, Sim Houw menubruk ke depan sambil memutar pedang suling naga di tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga.

Pada saat itu, Sin-kiam Mo-li sedang menghadapi tendangan dari bawah yang dilakukan oleh Bi Lan dalam posisi setengah berjongkok. Ia mengenal serangan dahsyat dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tendangan itu. Dan pada saat itu, terdengar suara suling naga melengking ketika Sim Houw memutarnya dan menerjangnya.

Mo-li membalikkan tubuhnya, menangkis sinar pedang Sim Houw dengan pedangnya, sedangkan kebutan merahnya diputar ke belakang untuk melindungi dirinya kalau-kalau Bi Lan menyerang lagi. Namun Bi Lan justru sudah diserang oleh Thian Kek Sengjin. Kakek ini memang lihai sekali, maka Bi Lan harus mencurahkan kepandaiannya untuk menghadapi tongkat kakek itu, sebatang tongkat naga hitam dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru.

"Tranggg...!"

Terdengar Sin-kiam Mo-li menjerit karena pedangnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan pedang suling naga dan telapak tangan yang memegang gagang pedang itu pun lecet berdarah! Maklumlah Sin-kiam Mo-li bahwa ia bersama kawan-kawannya tak akan menang kalau melanjutkan pertempuran itu. Maka sambil memutar kebutannya untuk melindungi dirinya, ia lantas mengeluarkan teriakan malengking dan tubuhnya meloncat jauh ke luar melalui terowongan itu.

Melihat ini Ok Cin Cu, Thian Kong Cinjin, Thian Kek Sengjin, dan Coa-ong Sengjin, empat orang tosu yang masih hidup, maklum bahwa keadaan amat berbahaya. Mereka pun mengeluarkan suara melengking dan berlompatan untuk melarikan diri.

Pada saat Bi Lan hendak mengejar, Sim Houw memegang lengannya sambil berteriak, "Awas...!"

Mereka berloncatan mundur pada saat terdengar ledakan-ledakan, dan tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam! Kiranya para tosu itu menggunakan alat-alat peledak untuk mencegah pihak musuh melakukan pengejaran.

Bi Lan cepat menarik tangan Hong Li dan mereka bertiarap seperti yang lain, khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun. Tetapi ternyata tidak. Asap itu hanya menggelapkan tempat itu dan tidak mengandung racun.

Pada saat Bi Lan, Hong Beng yang sudah kelelahan dan Sim Houw mengejar keluar, ternyata keempat orang tosu dan Sin-kiam Mo-li telah hilang tak nampak pula jejaknya. Mereka lalu kembali ke dalam ruangan bawah tanah, menggotong keluar Bi-kwi yang masih pingsan. Setelah berada di atas dan di tempat yang bersih dengan hawa yang segar, mereka bertiga memberikan pertolongan kepada Bi-kwi. Akan tetapi ternyata bahwa Bi-kwi hanya kehabisan tenaga, terlalu lelah dan biar pun ia banyak menerima pukulan seperti juga Hong Beng, namun tidak menderita luka yang parah.

Begitu siuman dari pingsannya dan melihat Hong Beng berlutut paling dekat dengannya, Bi-kwi tersenyum kepada pemuda itu dan bertanya lirih, "Apakah aku sudah mati?"

Hong Beng menggeleng kepala dan berkata, "Tidak, engkau masih hidup seperti juga kami semua."

Agaknya baru Bi-kwi teringat dan ia cepat bertanya, "Bagaimana dengan Hong Li?"

"Suci, ia selamat berkat bantuanmu," kata Bi Lan dan Hong Li segera mendekat.

Melihat betapa Hong Beng, Bi Lan, Sim Houw dan Hong Li semua berada di situ dalam keadaan selamat, Bi-kwi bangkit duduk dan wajahnya menjadi cerah gembira.

"Aihh, kita telah berhasil! Lalu bagaimana dengan mereka? Mo-li dan para tosu itu?"

Ia melihat ke kanan kiri lalu memandang ke arah tubuh tiga orang tosu yang rebah tak bergerak lagi, tubuh Ang Bin Tosu, Im Yang Tosu, dan Lam Cin Cu, sedangkan empat orang tosu lain bersama Sin-kiam Mo-li tidak nampak berada di situ.

"Tiga orang tosu dan tiga orang pelayan tewas, yang lain-lain melarikan diri bersama Sin-kiam Mo-li," kata Bi Lan.

"Sayang," Bi-kwi bangkit berdiri. "Iblis itu jahat dan palsu. Dalam kesempatan ini kita gagal membasminya, dan lain kali ia pasti akan menjadi ancaman bagi kita semua."

Ia memandang kepada Sim Houw dan pandang matanya seperti menegur, mengapa Pendekar Suling Naga itu tidak mencegah mereka melarikan diri karena ia tahu bahwa hanya pendekar ini yang memiliki kemampuan untuk membasmi mereka.

"Ciong-lihiap, mereka mempergunakan alat peledak dan menghilang di balik tabir asap hitam sehingga kami tidak berdaya mengejar mereka," kata Hong Beng.

Bi-kwi memandang wajah pemuda itu dan menarik napas lega, lalu sambil tersenyum gembira dia berkata. "Di samping berhasilnya usaha kita menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan Sin-kiam Mo-li, satu hal yang amat menggembirakan hatiku adalah bahwa kini Gu-taihiap tidak lagi memusuhi aku!"

Wajah Gu Hong Beng berubah merah karena dia merasa tak enak dan malu kalau dia ingat akan sikapnya sendiri di masa lalu terhadap wanita ini, juga terhadap Sim Houw dan Bi Lan.

"Mataku terbuka sekarang dan aku menyadari kesalahanku. Biarlah aku menggunakan kesempatan ini untuk mohon maaf dari kalian bertiga atas sikapku yang tidak adil dan penuh dengan prasangka dan kecurigaan terhadap kalian. Aku telah dibutakan oleh ketinggian hati dan iri...," katanya sambil memandang kepada Sim Houw.

Sim Houw tersenyum dan mengangguk. "Hidup adalah belajar, saudaraku, sedangkan pengalaman merupakan guru yang sangat baik. Orang yang bisa menyadari kesalahan langkah di masa lalu merupakan orang yang beruntung sekali dan jika ia dapat merubah kesalahannya itu seketika berdasarkan kesadaran, maka dia seorang yang beruntung sekali."

Hong Li memegang tangan Hong Beng. "Suheng, sebenarnya apakah yang telah terjadi dengan aku? Sungguh sampai sekarang aku masih bingung memikirkan tentang subo... ehhh, Sin-kiam Mo-li itu. Selama ini kuanggap ia seorang yang amat baik kepadaku, bersikap baik dan penuh kasih, seolah-olah aku ini anaknya atau muridnya sendiri yang terkasih. Baru setelah suheng muncul dan aku membela suheng, ia bersikap buruk dan keras kepadaku. Apa sebenarnya yang telah terjadi ketika aku diculik oleh Ang I Lama?"

"Anak baik, akulah yang dapat menjelaskan kepadamu sebab baru saja aku mendengar sendiri dari Sin-kiam Mo-li. Ketika engkau diculik, yang melakukannya adalah seorang kakek berjubah pendeta Lama yang sudah tua, bukan? Dia mengaku bernama Ang I Lama, akan tetapi sesungguhnya penculikmu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri. Selain memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu sihir, juga Mo-li pandai menyamar. Di tengah perjalanan, ia menipumu dan pura-pura menjadi penolongmu dengan mengusir Ang I Lama."

"Akan tetapi, mengapa ia harus berbuat demikian, bibi?" Hong Li bertanya penasaran, tidak melihat apa gunanya Mo-li berbuat seperti itu.

"Maksudnya semula adalah untuk sekali bertepuk mendapatkan dua ekor lalat. Pertama, menculikmu untuk menghancurkan hati orang tuamu yang dianggapnya musuh besar karena orang tuamu adalah keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Dan kedua, untuk mengadu domba antara orang tuamu dengan Ang I Lama, seorang pendeta Lama di Tibet yang dihormati oleh para pendeta Lama. Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dan murid terkasih dari mendiang Kim Hwa Nionio yang tewas di tangan Pendekar Suling Naga, yaitu Sim-taihiap ini, ketika para pendekar bentrok dengan Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya."

"Kalau begitu, tentu dia amat membenciku. Akan tetapi kenapa setelah menculikku, ia tidak membunuhku, bahkan bersikap baik kepadaku, mengambil aku sebagai murid, bahkan sebagai anak angkat?"

"Tadinya memang ia bermaksud membunuhmu, akan tetapi agaknya ia tertarik dan suka kepadamu, Hong Li," jawab Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi.

"Kukira bukan hanya karena tertarik dan suka," sambung Bi Lan. "Lebih tepat lagi kalau ia memang merencanakannya, mendidik Hong Li supaya kelak dapat diarahkan untuk memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir!"

Kao Hong Li mengerutkan alisnya. "Sungguh keji sekali jika begitu. Akan tetapi kenapa kemudian datang seorang kakek bernama Ang I Lama yang persis dengan kakek yang dulu menculik aku dan terjadi perkelahian antara kakek itu dan subo... ehhh, Sin-kiam Mo-li?"

Bi Lan yang kini memberi keterangan. "Gara-gara Mo-li mengaku sebagai Ang I Lama, ayah dan ibumu mencari Ang I Lama ke Tibet dan hampir terjadi bentrokan antara mereka. Akan tetapi orang tuamu tahu bahwa Ang I Lama memang tidak bersalah dan menduga bahwa ada orang lain yang mempergunakan nama kakek pendeta Lama yang saleh itu, maka dengan kecewa dan berduka mereka pulang. Ang I Lama sendiri merasa penasaran karena namanya dipergunakan orang. Dia melakukan penyelidikan dan akhirnya dapat menduga bahwa Sin-kiam Mo-li yang menyamar sebagai dirinya dan datang untuk menegurnya dan membebaskanmu. Akan tetapi dia kalah dan bahkan terluka, lalu tewas di depan para pendeta Lama. Karena kata-kata terakhir darinya menyebut nama orang tuamu, para pendeta Lama menyangka bahwa Ang I Lama terbunuh oleh orang tuamu. Di sini, siasat yang dipergunakan Sin-kiam Mo-li hampir berhasil, yaitu mengadu domba antara orang tuamu dengan para pendeta Lama."

"Jahat sekali...!" Hong Li kembali berseru penasaran.

"Masih ada lagi," kini Gu Hong Beng yang melanjutkan. "Orang tuamu mengadakan pesta ulang tahun, dengan maksud mengumpulkan semua tokoh kang-ouw agar supaya mereka membantu mendengarkan di mana kau berada dan siapa yang menculikmu. Ketika semua orang hadir, Sin-kiam Mo-li menyuruh pembantunya untuk mengacaukan pesta itu dengan mengadu domba antara orang tuamu dengan Ciong-lihiap ini, dengan jalan menukar bingkisan Ciong-lihiap ini dengan bingkisan lainnya yang berisi segumpal  rambutmu dan hiasan rambutmu. Tentu saja hal itu menggegerkan, dan celakanya, aku sendiri yang tolol percaya sehingga menjatuhkan fitnah kepada Ciong-lihiap..."

"Aihh, Gu-taihiap, harap jangan sebut-sebut lagi urusan itu. Melihat betapa kini engkau merubah sikapmu kepadaku saja sudah mendatangkan kebahagiaan besar di dalam hatiku. Siapa orangnya yang takkan curiga kepadaku mengingat akan masa laluku?"

"Suci, jangan bicara seperti itu! Pada akhirnya semua orang akan tahu bahwa engkau benar-benar telah kembali ke jalan benar," kata Bi Lan.

"Tepat sekali!" Hong Beng berseru. "Aku tadinya lupa bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang tanpa dosa, dan bahwa orang yang pernah bergelimang dosa sekali pun dapat bertobat dan menjadi orang yang baik. Aku telah bersikap bodoh dan tidak adil terhadap Ciong-lihiap, saudara Sim Houw dan Bi Lan. Biarlah dalam kesempatan ini aku mengaku salah dan mohon maaf sebesarnya!"

Tanpa ragu-ragu Hong Beng lalu menjura ke arah tiga orang itu yang cepat membalas. Hanya Bi Lan yang membalas agak ragu, karena bagaimana pun juga hatinya masih panas kalau teringat akan sikap Hong Beng kepadanya.

Mereka lalu bersepakat untuk membakar saja sarang Sin-kiam Mo-li itu. Berkobarlah api membakar rumah yang penuh rahasia itu, membakar seluruh isi rumah berikut jenazah tiga orang tosu dan tiga orang pelayan wanita. Api berkobar besar bagai menyambut munculnya matahari pagi dan empat orang gagah itu lalu mengiringkan Kao Hong Li meninggalkan bukit itu dan kembali ke Pao Teng.

Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, menyambut kedatangan rombongan yang membawa puteri mereka itu dengan kebahagiaan besar. Suma Hui merangkul puterinya sambil mengucurkan air mata dan suami isteri ini, yang ditemani oleh Suma Ciang Bun, menghaturkan terima kasih kepada Bi-kwi, Bi Lan dan Sim Houw.

Pandangan Suma Ciang Bun terhadap Sim Houw dan Bi Lan yang memang sudah meragukan sikap muridnya, kini menjadi cerah, bahkan dia pun merasa kagum terhadap Bi-kwi. Juga Kao Cin Liong dan isterinya kini tanpa ragu menganggap Bi-kwi sebagai seorang wanita berjiwa pendekar yang gagah perkasa dan pantas dianggap sebagai rekan.

Setelah menyerahkan Hong Li, Sim Houw dan Bi Lan lalu menceritakan kepada suami isteri itu tentang semua rahasia di balik petistiwa yang menodai nama suami isteri itu, juga mengenai siasat yang dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li untuk mengadu domba dan menjatuhkan nama keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir.

Legalah hati Kao Cin Liong. Selain puterinya telah dapat ditemukan kembali, sekaligus juga nama keluarganya dapat dibersihkan. Dia pun cepat membuat surat penjelasan dan mengirimkan surat kepada para pendeta Lama di Tibet, menerangkan mengenai perbuatan Sin-kiam Mo-li menculik puterinya dengan menyamar sebagai Ang I Lama dan kemudian melukai pendeta itu sampai tewas.

Sim Houw dan Bi Lan lalu berpamit untuk pergi ke Gurun Pasir, menghadap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, mohon doa restu mereka karena mereka telah berhasil melaksanakan tugas yang dibebankan pada mereka oleh kakek dan nenek suami isteri yang sakti itu, dan mohon doa restu agar mereka dapat melangsungkan perjodohan antara mereka.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara Can Bi Lan dan Pendekar Suling Naga Sim Houw dilangsungkan dengan sederhana. Acara ini dihadiri oleh keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, juga para pendekar dan sahabat-sahabat mereka sehingga cukup meriah. Ketika mereka menikah, Bi Lan berusia dua puluh tahun dan Sim Houw berusia tiga puluh lima tahun.

Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi bersama suaminya, Yo Jin, datang hadir dan karena semua pendekar telah mendengar belaka akan semua jasa Bi-kwi, dan mereka mendengar bahwa sekarang Bi-kwi betul-betul telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan menentang kejahatan, maka semua orang bersikap ramah dan hormat kepadanya, melupakan masa lalunya.

Juga kedua saudara kembar, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, datang bersama isteri mereka, Souw Hui Lan, dan putera mereka yang masih kecil. Hadir pula kakek Cu Kang Bu dan isterinya, Yu Hwi, dan putera mereka, Cu Kun Tek yang pernah pula jatuh cinta kepada Bi Lan.

Gu Hong Beng dan gurunya, Suma Ciang Bun, membantu Kao Cin Liong dan Suma Hui yang menjadi tuan rumah dan wali karena pernikahan itu dilangsungkan di Pao-teng, di rumah suami isteri ini. Bahkan kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng hadir pula di dalam pesta perayaan itu. Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng juga hadir. Bahkan Tiong Khi Hwesio juga hadir.

Dan yang mendatangkan kegembiraaan besar adalah hadirnya kakek sakti Bu-beng Lokai atau Gak Bun Beng, bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian! Tidak ketinggalan pula pendekar sakti Kam Hong dan isterinya, Bu Ci Sian. Di antara para tamu, terdapat pula wakil-wakil dari partai-partai persilatan dan pendekar-pendekar yang terkenal di waktu itu.

Dan peristiwa yang menggembirakan ini menjadi penutup dari cerita Suling Naga ini, agar tidak terlalu panjang dan bertele-tele. Tentu saja kisah ini masih ada kelanjutannya yang akan menceritakan keadaan keturunan para pendekar itu setelah menjadi dewasa, seperti Suma Lian, Pouw Li Sian, Kao Hong Li, putera Gak kembar dan lain-lain.

Juga menceritakan kembali tokoh-tokoh dalam cerita ini, terutama sekali Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek yang semenjak ditolak cinta mereka oleh Can Bi Lan, belum juga dapat menemukan penggantinya. Dan munculnya tokoh-tokoh baru akan membuat cerita lanjutan Suling Naga menjadi kisah yang tidak kalah seru dan menariknya dibandingkan dengan kisah lain, dan semua itu akan memadatkan kisah baru "PEK HO COAN" (Kisah Si Bangau Putih) yang menjadi lanjutan dari kisah Suling Naga ini.....

Tamat

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar