Suling Naga Jilid 36-40

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Suling Naga Jilid 36-40 Kini dia tidak berani memandang rendah lagi dan tanpa banyak cakap, dia memutar tongkatnya dan menerjang ke depan.

Kini dia tidak berani memandang rendah lagi dan tanpa banyak cakap, dia memutar tongkatnya dan menerjang ke depan. Tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang amat kuat. Melihat gerakan tongkat ini, Siu Kwi terkejut juga. Kiranya tongkat itu merupakan senjata pengganti pedang dan permainan pedang lawannya amat lihai.

Diam-diam ia merasa amat menyesal mengapa ia tidak membawa pedang. Semenjak ia bertemu dengan Yo Jin, ia telah menyembunyikan pedangnya dan mengubur senjata itu di dalam hutan tak jauh dari dusun tempat tinggal Yo Jin. Akan tetapi Siu Kwi tidak takut. Ia mengandalkan kelincahan gerakannya dan juga kekebalan yang disalurkan di kedua lengannya untuk menghadapi tongkat lawan dengan tangan kosong. Ia masih tetap memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, ilmu simpanan mendiang Raja Iblis Hitam yang membuat lengannya dapat memanjang.

Akan tetapi ilmu tongkat tosu Pat-kwa-kauw itu benar-benar ampuh dan gulungan sinar hitam itu tidak dapat ditembus Hek-wan Sip-pat-ciang. Wanita yang mempunyai banyak macam ilmu silat itu lalu merubah-rubah gerakannya dan mainkan berbagai ilmu yang dipelajarinya dari mendiang Sam Kwi. Tadi ia sudah mempergunakan ilmu tendangan Pat-hong-twi yang ampuh, mainkan ilmu silat Hun-kin-tok-ciang yang sangat berbahaya, bahkan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang). Namun, lawannya memang hebat.

Ok Cin Cu adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar Pat-kwa-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, juga kakek ini memiliki tenaga yang kuat. Kalau saja Siu Kwi tidak memiliki ilmu kebal Kulit Baja yang diwarisi dari mendiang Iblis Akhirat, tentu ia sudah roboh karena sudah tiga kali tongkat ular hitam itu berhasil mengenai tubuhnya.

Kini dua orang tosu itu benar-benar kagum dan juga penasaran. Hanya karena mereka merasa bahwa kedudukan mereka sudah tinggi yang mencegah mereka melakukan pengeroyokan. Walau pun kadang-kadang merasa kewalahan, Ok Cin Cu merasa malu untuk minta bantuan kawannya, sedangkan Thian Kek Sengjin juga merasa sungkan untuk turun tangan mengeroyok. Di situ terdapat banyak orang menonton dan apa akan kata dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka berdua mengeroyok seorang wanita muda?

"Takkk...!"

Untuk ke empat kalinya, ujung tongkat ular hitam itu menotok dan mengenai lambung Siu Kwi, namun wanita itu hanya terhuyung mundur sedikit dan kini Siu Kwi yang juga merasa penasaran mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya seperti lenyap menjadi bayangan yang bergerak cepat sekali. Dan angin kuat menyambar-nyambar ganas dibarengi suara bercuitan ketika ia maju menyerang! Ok Cin Cu terkejut bukan main sehingga dia terdesak mundur sampai lima langkah!

"Tahan...!" terdengar bentakan Thian Kek Sengjin.

Tongkat tosu ini meluncur melintang ke depan dan menghadang Siu Kwi yang terpaksa menghentikan gerakan serangannya.

"Nona, aku mengenal ilmu-ilmumu. Masih ada hubungan apakah antara engkau dengan Sam Kwi?" tanya kakek dari Pek-lian-kauw itu.

Siu Kwi tidak ingin memperkenalkan guru-gurunya, tetapi karena lawan sudah mengenal ilmu silatnya, maka dia pun menjawab dengan ketus, "Mereka adalah guru-guruku dan seingatku, baik Sam Kwi mau pun aku sendiri, tidak pernah sekali pun bentrok dengan pihak Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!"

"Siancai...! Kalau begitu engkau tentu yang berjuluk Bi-kwi!" kakek Pek-lian-kauw itu berseru lagi sambil memandang dengan penuh selidik.

Siu Kwi menarik napas panjang. Nama julukan Bi-kwi telah begitu tersohor dan kotor, bahkan jauh lebih terkenal dari orangnya sendiri. Buktinya, tosu Pek-lian-kauw ini tidak mengenal dirinya, akan tetapi telah mengenal nama julukannya. Dan ia sendiri sudah mengambil keputusan untuk membuang nama julukan itu jauh-jauh, tidak akan pernah memakainya lagi. Akan tetapi kini ia diingatkan bahwa nama julukannya adalah Bi-kwi!

"Nama itu pernah kupakai, sekarang tidak lagi!" jawabnya dengan suara dingin.

"Bagus! Kiranya di antara para antek-antek Hou Seng masih ada juga yang berkeliaran di sini!" berkata demikian, Thian Kek Sengjin sudah menerjang maju lagi dengan tongkat panjangnya yang berbentuk naga hitam. Gerakannya nampak lambat, akan tetapi terasa mendatangkan angin pukulan yang keras dan didahului oleh suara berdesir.

Siu Kwi cepat mengelak, akan tetapi dari samping, Ok Cin Cu menyambutnya dengan tongkat ular hitamnya Wanita ini meloncat dan menghadapi dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, ia lalu memainkan ilmu silatnya yang paling baru, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun!

Ilmu silat ini memang ciptaan Sam Kwi yang paling hebat, diciptakan bersama dengan bersumber dari semua ilmu silat mereka yang pilihan, digabungkan menjadi satu. Dalam ilmu silat ini terkandung gerakan pukulan ilmu silat Hek-wan Sip-pat-ciang, tendangan Pat-hong-twi dan ilmu silat Hun-kin Tok-ciang, juga terkandung Kiam-ciang yang ampuh.

Dua orang tosu itu terkejut menghadapi ilmu silat ini yang memang dahsyat sekali dan beberapa kali mereka sampai terdesak mundur. Namun, mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga banyak pengalaman dalam perkelahian, maka dengan berpencar, kedua tosu itu lalu mengurung dan gerakan tongkat mereka dapat membendung kedahsyatan Sam-kwi Cap-sha-kun.

Apa lagi pada waktu Thian Kek Sengjin mulai mengeluarkan bentakan-bentakan dengan suaranya yang parau dan penuh wibawa, mengandung tenaga sakti ilmu hitam dan ilmu sihir, maka beberapa kali Siu Kwi merasa jantungnya terguncang. Oleh karena suara ini gerakannya menjadi kurang sempurna sehingga beberapa kali hampir saja ia menjadi korban hantaman tongkat.

Siu Kwi mulai terdesak. Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba tongkat hitam di tangan tokoh Pek-lian-kauw itu berhasil menghantam pundak kirinya.

"Bukkk...!"

Biar pun tubuh Siu Kwi sudah terlindung ilmu kekebalan, tetap saja ia terpelanting dan hampir terbanting roboh kalau saja ia tidak cepat-cepat membuat gerakan jungkir balik beberapa kali. Siu Kwi menggigit bibir menahan rasa nyeri. Biar pun dia tidak terluka, namun kerasnya pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dadanya!

Dan kedua orang kakek itu masih menerjang terus tanpa mengenal ampun. Siu Kwi berusaha mengelak, namun sebuah tusukan dengan tongkat ular hitam dari Ok Cin Cu yang menyambar dadanya ketika ia mengelak, masih saja menyerempet pangkal lengan kanannya sehingga kulit dan sedikit dagingnya robek dan mengucurkan darah!

Maklumlah Siu Kwi bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan tewas di tangan dua orang kakek sakti ini. Dan kalau dia mati, berarti Yo Jin tidak akan ada yang menolong lagi. Maka, tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke atas tanah, bergulingan dan ketika dua orang kakek itu mengejarnya, Siu Kwi menggerakkan kedua tangannya.

Sinar hitam menyambar ke arah muka kedua orang lawannya. Yang disambitkannya itu hanyalah pasir dan tanah, namun tidak boleh dipandang rendah karena yang diserang adalah muka dan sambitan itu didorong oleh tenaga sinkang yang amat kuat sehingga jangankan sampai mengenai mata, sedangkan baru mengenai kulit muka saja sudah dapat mengakibatkan luka-luka.

Dua orang kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar tongkat sambil berlompatan ke beiakang. Kesempatan ini digunakan oleh Siu Kwi untuk melompat jauh dan melarikan diri. Cuaca sudah mulai remang-remang gelap sehingga ia dapat menyelinap hilang di dalam bayangan rumah-rumah dan pohon-pohon. Dua orang kakek itu pun tidak berniat melakukan pengejaran.....

********************

Malam itu gelap dan sunyi sekali di rumah kepala dusun Lui. Agaknya peristiwa sore tadi masih berbekas. Robohnya semua pengawal yang jumlahnya dua puluh orang itu sungguh membuat gelisah hati keluarga Lui, walau pun kemudian ternyata bahwa dua orang tosu sakti itu dapat mengusir ‘siluman’.

Sekarang diam-diam kepala dusun Lui mendatangkan pengawal-pengawal baru yang jumlahnya tak kurang dari lima puluh orang, berjaga-jaga di sekitar perumahan keluarga itu. Terutama sekali di sekitar kamar tahanan terdapat penjagaan yang amat ketat, oleh karena di situlah tempat Yo Jin ditahan dan kepala dusun Lui tidak ingin melihat tahanan ini lolos.

Walau pun dia berada di dalam tahanan, Yo Jin mendengar dari percakapan para penjaga di luar kamarnya tentang siluman betina yang mengamuk dan merobohkan dua puluh orang pengawal akan tetapi kemudian dapat diusir pergi oleh kedua orang tosu. Diam-diam dia merasa heran sekali. Siapakah yang mereka maksudkan dengan siluman betina itu? Benarkah ia itu Siu Kwi? Siu Kwi mengamuk dan mengalahkan dua puluh orang pengawal? Sukar baginya untuk mempercayai berita ini. Siu Kwi demikian lemah-lembut.

Alisnya berkerut ketika dia teringat bahwa wanita itu dituduh sebagai siluman, bahkan ayahnya sendiri pun menganggapnya demikian. Jangan-jangan memang benar! Kini Siu Kwi mengamuk sebagai siluman! Dia bergidik dan cepat-cepat mengusir pikiran ini, lalu membayangkan ayahnya.

Ayahnya dipukul dan disiksa, dan dia merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Dia menarik-narik belenggu kaki tangannya, namun tiada guna. Hal itu sudah dilakukannya sejak dia ditahan dan sampai kulit pergelangan kaki dan tangannya lecet-lecet dan nyeri bukan main.

Menjelang tengah malam, nampak sesosok bayangan berkelebatan di luar pekarangan perumahan kepala dusun Lui. Bayangan ini adalah Siu Kwi. Setelah sore tadi ia berhasil melarikan diri, ia bersembunyi di dalam hutan dan duduk bersila, memulihkan tenaganya dan memulihkan pula kesehatannya karena hantaman pada pundak dan tusukan pada pangkal lengannya.

Ia sudah mengobati luka di pangkal lengannya. Hatinya gelisah bukan main. Ia belum berhasil membebaskan Yo Jin dan di tempat itu masih terdapat dua orang lawan yang demikian tangguhnya. Hatinya terasa perih jika teringat kepada pria yang dikasihinya.

Tak lama kemudian, ia lalu berlari cepat, kembali ke dusun selatan dan dengan bantuan para tetangga, ia mengurus pemakaman kakek Yo. Karena keadaan, maka terpaksa jenazah itu dikubur secara sederhana sekali. Para tetangga juga melakukannya dengan ketakutan setelah mendengar dari Siu Kwi bahwa kakek itu mati karena dipukuli oleh orang-orang kepala dusun Lui, dan juga bahwa Yo Jin ditangkap oleh mereka.

Maka, setelah selesai mengubur jenazah itu malam itu juga, para tetangga bergegas pulang ke rumah masing-masing, takut kalau sampai tersangkut urusan itu. Dan Siu Kwi lalu melakukan perjalanan kembali ke dusun timur. Bagaimana pun juga, ia harus dapat menyelamatkan Yo Jin, harus dapat membebaskan pemuda itu dari dalam tahanan.

Sampai lama ia berkeliaran di luar rumah keluarga Lui. Dengan susah payah, tadi ia mengisi perutnya. Ia hampir tak dapat menelan nasi, akan tetapi dipaksakannya karena ia maklum bahwa ia membutuhkan tenaga sepenuhnya untuk dapat menyelamatkan Yo Jin. Kalau ia membiarkan perutnya kosong, tentu tenaganya menjadi berkurang.

Kini ia berkeliaran di luar pekarangan, untuk meneliti keadaan. Hatinya terasa girang. Agaknya keluarga Lui menyangka bahwa ia sudah jera untuk datang lagi, sudah takut terhadap dua orang kakek itu, maka kini keadaan di rumah itu sunyi saja, tidak terdapat penjagaan yang ketat. Sunyi dan gelap.

Namun, Siu Kwi bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mudah terjebak oleh siasat musuh. Siapa tahu kalau-kalau pihak musuh mengatur jebakan dan sengaja memancingnya. Karena itu ia tidak segera masuk, melainkan melakukan pengintaian dan pemeriksaan dari luar. Ia menanti sampai tengah malam dan setelah melihat bahwa benar-benar tidak terdapat penjaga di sekitar pagar tembok, baru ia meloncat naik ke atas pagar tembok, mendekam di atasnya untuk mengintai ke dalam.

Ia merasa amat heran. Keadaan amat sunyi dan gelap. Benarkah keluarga Lui demikian lengahnya sehingga setelah kemenangan dua orang kakek sore tadi lalu menganggap bahwa ia tidak akan berani muncul kembali? Ataukah setelah ia merobohkan dua puluh orang penjaga itu, lalu tidak ada penjaga lain yang menggantikan karena mereka semua itu lelah dan mengalami patah tulang dan luka-luka? Tentu saja ia tidak dapat menerima kemungkinan ini. Tak mungkin, pikirnya. Andai kata kepala daerah itu lengah, dua orang tosu lihai itu pasti tidak.

Tetapi, mengingat akan Yo Jin, dia tidak peduli lagi. Biarlah mereka mengatur jebakan, ia tidak takut. Ia akan berusaha membebaskan Yo Jin, kalau perlu dengan taruhan nyawa! Setelah meneliti keadaan di dalam dan tidak nampak berkelebatnya orang, dia lalu meloncat turun ke dalam kebun di belakang rumah itu dan menyelinap di antara semak-semak, mendekati bangunan rumah di sebelah belakang. Dia menduga bahwa tentu tempat tahanan itu berada di bagian belakang.....

********************

Yo Jin mendengar percakapan para penjaga di luar pintu kamar tahanan itu dengan hati khawatir.

"Kalau dombanya dijaga, tentu harimaunya tidak berani muncul. Karena itu maka kita harus tetap bersembunyi." Demikian antara lain dia mendengar seorang penjaga bicara, kemudian terdengar suara mendesis tanda bahwa pembicara itu disuruh diam.

Keadaan lalu menjadi sunyi dan ketika Yo Jin bangkit berdiri dan menjenguk dari jeruji pintu, ia melihat betapa di luar pintu tidak terdapat seorang pun penjaga lagi. Keadaaan amat sunyi karena tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung saja. Agaknya lampu-lampu lainnya telah dibawa pergi atau dipadamkan. Suasana sunyi sekali, tidak nampak seorang pun di luar kamar tahanan. Sunyi dan gelap di kebun belakang itu, yang nampak dari dalam kamar tahanan.

Yo Jin menggerakkan kedua kakinya melangkah ke arah pintu. Suara belenggu kakinya terseret memecahkan kesunyian. Dia berdiri di belakang pintu kamar yang terbuat dari besi itu, dan berpegang dengan kedua tangan yang terbelenggu pada jeruji besi, lalu memandang ke luar, termenung. Apakah maksud ucapan penjaga tadi? Diakah yang diumpamakan domba tadi? Dan siapakah harimaunya yang diharapkan akan muncul? Siu Kwi kah?

Jantungnya berdebar tegang. Dia tidak dapat yakin bahwa Siu Kwi yang dimaksudkan harimau itu. Betapa pun, dia tahu bahwa para penjaga itu sedang mengatur siasat untuk memancing dan menjebak seseorang yang disebut harimau, dengan menggunakan dia sebagai domba, sebagai umpannya. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Yo Jin meninggalkan belakang pintu, lalu dia memandang ke luar dengan penuh perhatian. Sepasang matanya seperti ingin menembus kegelapan malam di depan sana.

Entah sudah berapa lama dia berdiri memandang keluar itu. Tiba-tiba pandang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dia terkejut dan mengikuti dengan pandang matanya. Bayangan itu dengan gesit melompat dan tahu-tahu di bawah lampu gantung, hanya lima meter dari pintu kamar tahanan, berdiri seorang wanita yang bukan lain adalah Siu Kwi!

"Kwi-moi...!" serunya lirih, matanya terbelalak seolah-olah dia tak dapat percaya kepada pandang matanya sendiri. "Kaukah itu...?" Dan dia pun merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kalau wanita ini ternyata benar Siu Kwi, apakah ia benar-benar...siluman? Cara pemunculannya ini…!

"Sssttt...!" Wanita itu menaruh telunjuknya di depan bibir. "Jin-toako, aku datang untuk membebaskanmu..."

Akan tetapi Yo Jin teringat akan percakapan para penjaga dan wajahnya berubah pucat. Celaka, kiranya harimaunya benar Siu Kwi dan tentu kini Siu Kwi telah terperangkap.

"Kwi moi, awas! Ini sebuah perangkap...!" teriaknya. "Kau larilah, pergilah!"

Pada saat itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang disusul suara berisik. Dan ketika Siu Kwi membalikkan tubuh memandang, ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang bersenjata lengkap di tangan kanan dan dengan obor di tangan kiri. Agaknya mereka tadi bersembunyi dan serentak memasang obor sambil mengepung tempat itu. Dan muncullah dua orang tosu yang sore tadi telah mengalahkannya!

"Ha-ha-ha-ha, siluman betina ini berani muncul lagi. Benar-benar dia keras kepala dan sudah bosan hidup!" kata Ok Cin Cu dan perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang ketika dia tertawa.

"Ia bukan siluman!" Yo Jin membentak marah dari dalam kamar tahanan.

"Heh-heh-heh, siapa bilang bahwa Bi-kwi bukan siluman? Engkau telah mabok oleh rayuannya, orang muda, heh-heh!"

"Tutup mulutmu yang kotor!" Siu Kwi membentak.

Ia menyerang ke arah Thian Kek Sengjin yang masih tertawa. Hatinya merasa panas mendengar dirinya dihina di depan Yo Jin. Saat tosu Pek-lian-kauw itu mengelak sambil memutar tongkatnya untuk balas menyerang, Siu Kwi sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Ia tadi sudah mengambil senjata ini dan begitu menangkis, ia pun menusuk dengan ganasnya.

"Tranggg..."

Bunga api berpijar ketika pedangnya kini ditangkis dari samping oleh Ok Cin Cu yang menggunakan tongkat ular hitamnya. Ketua cabang Pek-lian-kauw itu pun menerjang dengan tongkat naga hitam, untuk membantu kawannya. Kembali terjadi pengeroyokan. Akan tetapi Siu Kwi mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya.

Yo Jin memandang bengong. Baru dia tahu bahwa wanita yang dicintanya itu sama sekali bukanlah seorang wanita lemah, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai! Kini dia pun sadar mengapa dalam perkelahian-perkelahiannya, dia selalu menang walau pun dikeroyok, dan kini terjawab pula keanehan ketika para pengeroyoknya mencabut belati akan tetapi tidak sempat menggunakan senjata itu. Tentu Siu Kwi bukan siluman betina, melainkan seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi!

"Kwi Moi...!" keluhnya dengan terharu.

Seorang pendekar wanita telah bersikap demikian baik kepadanya! Kini dia menonton dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada rasa heran, bangga, akan tetapi juga rasa kegelisahan besar melihat betapa kini kekasihnya itu dikeroyok oleh banyak orang.

Para pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh wanita ini. Maka, mereka pun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya sungguh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi! Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi marah.

"Kalian semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!" teriak Thian Kek Sengjin.

Mendengar teriakan ini, para pengawal itu mundur karena mereka pun jeri melihat betapa dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok Siu Kwi!

Seperti sore tadi, kembali lagi Siu Kwi dikeroyok dua. Sekali ini mereka berkelahi lebih mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Namun, seperti juga tadi, Siu Kwi belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai itu.

Setelah lewat lima puluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan ia pun terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apa lagi seperti tadi, Thian Kek Sengjin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hampir tidak mampu balas menyerang lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.

Yo Jin tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya yang menjadi kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua gulungan sinar hitam, dan kadang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.

"Bukkk...!"

Sebuah pukulan tongkat Thian Kek Sengjin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah keluar dari mulut wanita itu. Ia telah terluka. Maka ia pun tahu bahwa sekali ini ia juga tidak berhasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil membalikkan tubuhnya.

Para pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apa lagi ketika ketika dua orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak mengejarnya sama sekali, melainkan tertawa mengejek.

Terhuyung-huyung Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, ia pun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji dengan kaki tangan terbelenggu dan muka pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya makin mengguguk.

Akan tetapi, wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai dirinya. Tugasnya masih belum selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih parah karena pukulan dengan tenaga sinkang itu telah mengakibatkan luka dalam, meski tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera. Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.

Siu Kwi mengeluarkan obat dan menelan dua butir pil merah. Kemudian ia pun duduk bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati luka dan memulihkan tenaganya. Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga tenaganya mulai pulih kembali.

Matahari mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun Siu Kwi masih bersemedhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu bahwa di dalam hutan itu muncul dua orang yang sejak tadi mengintainya. Baru setelah dua orang itu melangkah dekat menghampirinya, ia sadar dan cepat ia membuka mata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mereka sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin!

Akan tetapi rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebaskan Yo Jin. Maka ia meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas penuh kebencian.

"Dua tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dan dia pun sudah langsung memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi mati-matian.

Akan tetapi dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bemusuhan, bahkan tersenyum.

"Bi-kwi..."

"Namaku Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!" bentak Siu Kwi memotong kata-kata Ok Cin Cu.

Kakek tinggi besar dan berperut gendut dengan rambut riap-riapan ini tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu Kwi, kami datang bukan untuk mendesakmu, melainkan untuk berdamai denganmu."

Siu Kwi memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat begitu saja percaya kepada orang-orang seperti tosu itu.

"Apa kehendak kalian?" tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.

"Ha-ha-ha, bukankah engkau menghendaki agar pemuda she Yo itu kami bebaskan?" kini Thian Kek Sengjin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya nampak biasa seolah-olah pertanyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat hatinya.

"Hal yang sudah jelas itu mengapa kau tanyakan lagi?" Ia balas bertanya.

Kembali kedua orang tosu itu tersenyum lebar. "Kita adalah orang-orang segolongan dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan? Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih menguntungkan kita kedua pihak?" kata pula Thian Kek Sengjin yang lebih pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.

"Kau maksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus melakukan sesuatu untuk kalian?"

"Ha-ha-ha, dia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!" Ok Cin Cu tertawa girang dan Thian Kek Sengjin mengangguk-angguk.

"Tepat dugaanmu, nona Ciong. Engkau membutuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan mendapat bantuanmu agar terlaksana."

"Katakan, apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian?"

"Kami berdua mempunyai kebutuhan masing-masing, dan kami akan membebaskan Yo Jin kalau engkau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagai mana, nona Ciong?" tanya pula Thian Kek Sengjin.

"Katakan, apa yang harus kulakukan." jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini tentu saja telah menyetujui permintaan mereka. Demi menyelamatkan Yo Jin, pria yang dicintanya itu, apa pun akan ia lakukan.

Thian Kek Sengjin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata. " Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sendiri permintaannya. Ada pun pinto ingin engkau membantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kulau engkau maju membantu kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu."

Siu Kwi terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja tidak mampu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Sengjin itu seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah mengambil keputusan tidak akan melakukan perbuatan jahat, maka ia pun ingin tahu lebih dahulu siapa orang yang akan mereka keroyok itu.

"Siapakah orang itu?"

"Dia adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es."

Siu Kwi terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Justru keluarga Pulau Es inilah yang sudah menghancurkan semua cita-citanya, dan walau pun tadinya dia sudah tidak mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah seorang anggota keluarga Pulau Es, ia pun tanpa berpikir panjang lagi lalu mengangguk.

"Baiklah! Aku akan membantu kalian menghadapi musuh itu, akan tetapi kalian harus membebaskan Yo Jin."

"Heh-heh-heh, nanti dulu!" Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga nampak mulutnya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar. "Itu adalah syarat yang diajukan sahabat Thian Kek Sengjin, sedangkan syarat dari pinto masih belum. Kalau engkau membantu menghadapi musuh itu, berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memilih dari pinggang ke atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?"

Siu Kwi tak mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja dari badan Yo Jin. "Katakanlah, apa syaratmu!" katanya cepat dan ketus.

Ok Cin Cu menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Tetapi yang ditertawakan itu sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembira sekali ketika berkata, "Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain mengenai pria. Nah, ilmu silatmu sudah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto mau membebaskan Yo Jin seutuhnya!"

Kalau lain wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali. Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh. Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang sudah kakek-kakek juga, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa banyak pria yang dipermainkannya untuk melampiaskan napsunya. Permintaan terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walau pun ia merasa terhina karena biasanya ialah yang memilih laki-laki.

Kecuali Sam Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa. Akan tetapi, sekali ini, ia tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan syarat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada syarat yang diajukan Thian Kek Sengjin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulatnya kepada satu orang saja, yaitu Yo Jin! Dan dia melakukan hal itu bukan karena penyelewengan, bukan karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!

"Baiklah, aku terima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan memenuhi syarat kalian!"

"Ho-ho-ho, jangan tergesa-gesa, nona manis," Thian Kek Sengjin berseru. "Kami yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin."

Betapa mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghadapi musuh besar Thian Kek Sengjin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Dan di sebuah di antara goa-goa itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!

Laki-laki itu sedang duduk bersila di mulut goa ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Sengjin dan Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin sampai tidak mampu menandinginya.

Laki laki itu belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun usianya. Mukanya bulat dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak, wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya ia cukup rajin mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak mewah.

Seorang pria yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan sarungnya terukir indah.

Pria yang gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun digemblengnya di pegunungan.

Setelah Hong Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk melakukan penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, akhirnya dengan bergabung bersama para pendekar sakti, Hong Beng membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.

Sementara itu Suma Ciang Bun sendiri lalu menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia pasti turun tangan sebagai seorang pendekar. Sudah beberapa pekan lamanya dia berada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah berpesan kepada muridnya itu supaya dua tahun kemudian datang mencarinya di pegunungan tandus itu.

Kehadiran Suma Ciang Bun di dalam goa di gunung itu diketahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera mengenal pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini karena semenjak dahulu memang kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh besar.

Semenjak jaman Pendekar Super Sakti masih muda, kedua aliran ini, terutama sekali Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es. Melihat Suma Ciang Bun, tentu saja Thian Kek Sengjin yang kebetulan berada di situ cepat turun tangan menyerang. Akan tetapi, dia tak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun. Bahkan ketika Ok Cin Cu membantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan dan malah akhirnya mereka melarikan diri.

Itulah sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Sengjin lalu mempunyai akal untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membebaskan Yo Jin dan seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo Jin, tak dapat menolak syaratnya.

Dengan hati besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila.

"Ha-ha-ha, Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di depan mata. Bangunlah dan terimalah kematianmu di tangan kami!" Thian Kek Sengjin berseru dengan suara yang nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa bergelak. Siu Kwi tidak bertanya, hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila itu.

Tiba-tiba saja Siu Kwi berseru, "Awas jarum...!" ketika Suma Ciang Bun menggerakkan tangan kirinya.

Jarum-jarum halus sekali menyambar ke arah mereka bertiga. Dua orang tosu itu amat kaget dan mereka pun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu Kwi sendiri meloncat tinggi hingga beberapa jarum yang menyambar ke arahnya lewat di bawah kakinya.

Hebat bukan main serangan jarum-jarum halus itu, yang dilakukan oleh Suma Ciang Bun yang masih tetap duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu menyerang mereka hanya mengandalkan pendengarannya saja.

Ketika mereka bertiga sudah berdiri tegak kembali dan memandang, ternyata Suma Ciang Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berkerut. Siu Kwi agak gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa pendekar ini berwatak keras.

Suma Ciang Bun tadi menyerang mereka dengan jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa jengkel bahwa semedhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah dikalahkannya itu. Namun dia mendengar seruan seorang wanita dan melihat betapa wanita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya sudah meloncat ke atas ketika menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.

"Siapakah engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah bermusuhan denganmu!" Suma Ciang Bun memandang tajam kepada wanita cantik dan pesolek itu.

Sebelum Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Sengjin sudah mendahuluinya. "Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendiang Sam Kwi yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?"

Memang Thian Kek Sengjin ini cerdik sekali. Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang Bun. Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang menjadi tokoh-tokoh besar dari dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu musuh-musuhnya.

"Bagus!" serunya marah. "Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau kepalang tanggung!" Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan untuk mencabut sepasang pedangnya. Sekarang sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan telah berada di kedua tangannya dan dia pun sudah berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Ok Cin Cu sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang, sedangkan Thian Kek Sengjin menggerakkan tongkat naga hitamnya sebagai sebatang tongkat panjang yang ampuh. Melihat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.

Ciang Bun sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka kanyalah karena ilmu silatnya yang luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya.

Tetapi, tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sinkang-nya walau pun ia telah menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil menguasai dua sinkang itu sampai ke puncaknya.

Biar pun tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun dia percaya bahwa sekali ini pun dia akan mampu mengalahkan, bahkan juga mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada wanita yang memiliki gerakan demikian ringannya.

Untuk menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu langsung menggerakkan tubuhnya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah dada disambung pula dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah kepala.

Serangan ini amat cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), yaitu jurus yang dinamakan Siang-mo Jio-cu (Sepasang Iblis Berebut Mustika). Jurus ini juga dapat dikembangkan dengan serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan dilakukan sambung-menyambung menjadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.

Melihat betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak. Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari samping ke arah lambung lawan disusul tendangan kilat ke arah lutut. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat, begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.

"Cringgg...!"

Ciang Bun terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai, buktinya, menghadapi serangannya tadi, dia dapat langsung saja membalas. Dia menangkis dengan pedang kirinya kemudian membabat kaki yang menendang dengan pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke belakang untuk mengatur kedudukannya.

Pada saat itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke arah leher, sedangkan dari belakang, Thian Kek Sengjin juga ikut menyerang dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki! Ciang Bun cepat memutar tubuh, menangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih menyerang Siu Kwi!

Kini sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun (Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar pedang yang menutup jalan ke luar lawan. Lawan yang diserangnya tidak akan mampu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tiada kesempatan untuk balas menyerang.

Namun, Siu Kwi mengenal serangan berbahaya. Ia menggunakan kelincahan tubuhnya, sudah meloncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu, melihat betapa kedua orang tosu telah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia memutar sepasang pedangnya menyambut.

Berkali-kali terdengar bunyi nyaring. Nampak bunga api berpijar ketika pedang di tangan pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan. Siu kwi yang melihat betapa pendekar itu agaknya berbalik hendak mendesak kedua orang tosu, sudah cepat menerjang dengan serangan-serangan pedangnya yang sinarnya bergulung-gulung. Tentu saja serangan-serangan wanita ini tidak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.

Kalau ada yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walau pun cepatnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar untuk dapat mengikuti pertandingan, sukar melihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan mereka dan kaki mereka menyentuh tanah.

Suma Ciang Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia telah menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang ahli silat adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya.

Ilmu silat memang ada yang bagus ada yang buruk, ada yang lambat ada yang cepat, ada yang praktis tanpa kembangan ada yang memakai banyak kembangan. Namun, setelah dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu sendiri.

Dan perlu diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silat Suma Ciang Bun tidaklah begitu menonjol dan kalah jauh kalau dibandingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasainya memang hebat bukan main, akan tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga kini menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat.....

Perhitungan Thian Kek Sengjin memang tepat sekali. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak tahu siapa lagi yang dapat dimintai bantuannya. Pada saat dia dan Ok Cin Cu bentrok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya, maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.

Betapa pun juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali sehingga walau pun ketiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi sekarang pendekar itu lebih banyak bertahan dan melindungi diri dari pada menyerang.

Tiba tiba tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari kiri, dibarengi pula dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah pinggangnya dari kanan. Ciang Bun tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang Iblis Membuka Pintu).

Jurus ini tidak hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas dari depan, yaitu pedang Siu Kwi yang menyerang ke arah dadanya. Serangan ini demikian cepatnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan pantulan tenaga saat menangkis tongkat naga hitam, pedang kanannya mental dan meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, sedangkan pedang kirinya dengan tenaga sinkang masih menempel tongkat ular hitam.

"Cringgg...!"

Siu Kwi mengeluarkan seruan kaget. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Tetapi pada saat itu, tongkat naga hitam menyambar dari belakang dan tak dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ciang Bun lagi.

"Bukkk...!"

Tubuh Ciang Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah oleh pukulan tongkat yang mengenai punggungnya itu, maka ketika dia terguling-guling, dia sengaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan diri, tentu tiga orang lawan itu akan membunuhnya.

"Kejar dia...!" Thian Kek Sengjin berseru marah ketika melihat lawan yang sudah terluka itu melarikan diri.

"Kenapa mesti dikejar?" Siu Kwi membantah. "Dia sudah kalah dan lari."

"Kejar! Kita harus membunuhnya!" Thian Kek Sengjin berteriak dan dia pun mengejar diikuti Ok Cin Cu. Dengan demikian Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.

"Jangan mencari penyakit!" kembali dia berkata sambil berlari di samping kakek itu. "Jangan mendesak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pulau Es lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku telah banyak bertemu dengan mereka yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia!"

Thian Kek Sengjin mencari-cari akan tetapi bayangan Suma Ciang Bun tak nampak lagi. Juga dia mulai jeri mendengar kata-kata Siu Kwi. Baru mengalahkan Suma Ciang Bun sekarang saja sudah demikian repotnya, apa lagi kalau muncul tokoh Pulau Es lainnya yang lebih lihai. Pula, kalau wanita ini tidak mau membantunya, dia dan Ok Cin Cu juga tidak berdaya menghadapi tokoh yang mereka kejar-kejar itu. Maka, biar pun hatinya kurang puas karena ia tidak berhasil membunuh musuhnya, terpaksa ia menghentikan pengejarannya.

Ketika Ok Cin Cu pada malam itu menuntut syaratnya, diam-diam Siu Kwi bergidik memandang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan rambut riap-riapan. Tubuhnya yang kurang terjaga kebersihannya itu mengeluarkan bau busuk. Akan tetapi, dengan terpaksa Siu Kwi menyerahkan dirinya kepada tosu gendut itu ketika sang tosu membawanya ke sebuah pondok kecil di luar dusun.

Ia menyerahkan diri sambil mematikan perasaannya. Dengan tingkat kepandaiannya, hal ini tidak sukar ia lakukan. Yang masuk ke dalam ingatannya hanyalah bahwa ia melakukan pengorbanan untuk pria yang dicintanya. Apa pun akan dia lakukan demi keselamatan Yo Jin. Karena apa yang ia lakukan itu tanpa disertai perasaan sedikit pun, maka bagi Ok Cin Cu wanita ini tiada bedanya dengan sesosok mayat saja. Tentu saja hal ini membuat Ok Cin Cu merasa tidak puas dan kecewa, seperti bercinta dengan mayat atau patung dan diam-diam dia pun marah sekali.

Pada keesokan harinya, dua orang tosu itu berjanji bahwa malam berikutnya mereka akan membebaskan Yo Jin.

"Engkau datanglah ke tempat tinggal Lui-thungcu pada tengah malam dan Yo Jin akan kami bebaskan dengan diam-diam agar bisa kau jemput. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati supaya jangan sampai ketahuan oleh keluarga Lui. Biarlah mereka mengira bahwa engkau dan orang-orang lain yang datang membebaskan Yo Jin. Kami akan pura-pura melakukan pengejaran dan mencari," kata Thian Kek Sengjin dan tentu saja Siu Kwi menyetujui dengan hati penuh harapan.

Malam itu cuaca amat gelap. Bulan memang belum waktunya keluar dan sedikit bintang yang nampak kadang-kadang tertutup awan hitam yang lewat di bawahnya. Sebelum tengah malam, Siu Kwi telah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi kompleks bangunan tempat tinggal keluarga Lurah Lui. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan ia menanti sambil merenungkan semua yang telah terjadi semenjak ia berjumpa dengan Yo Jin.

Telah terjadi perubahan besar dalam hidupnya, dimulai sejak ia dan sekutunya kalah dan hancur oleh para pendekar. Akan tetapi perubahan besar baru benar terjadi setelah ia berjumpa dengan Yo Jin. Ia telah berkorban untuk Yo Jin. Di luar kehendaknya ia telah membantu dua orang tosu itu memusuhi pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Bahkan di luar kehendaknya ia telah menyerahkan tubuhnya kepada Ok Cin Cu. Kedua hal itu terpaksa ia lakukan karena ia tidak melihat cara lain untuk menyelamatkan Yo Jin yang berada dalam cengkeraman dua orang tosu yang tangguh itu.

Hatinya gembira. Betapa pun juga, pengorbanan itu tidak seberapa berat. Apa artinya menyerahkan badan tanpa perasaan dan hati? Dan ia hanya membantu mengalahkan Suma Ciang Bun. Semua hal itu terlupa karena ia membayangkan betapa gembiranya sebentar lagi ia dapat menyelamatkan dan mengajak pergi Yo Jin. Kemudian dia akan hidup berbahagia bersama pria itu.

Satu-satunya halangan, yaitu ayah Yo Jin, telah tewas pula. Sejak siang tadi ia sudah membayangkan hal ini dan sudah mengatur rencana. Ia hendak mengajak Yo Jin pergi dan hidup di sebuah tempat yang baru di mana tak seorang pun akan mengenalnya. Ia akan hidup sebagai manusia baru di tempat yang baru, bukan sebagai Bi-kwi murid Sam Kwi, melainkan sebagai isteri seorang pria sederhana seperti Yo Jin.

Betapa akan berbahagianya mereka, merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anak! Ahhh, belum pernah sebelumnya ia membayangkan tentang rumah tangga, suami dan anak-anak.

Suara berdenting ketika tanda waktu dipukul para penjaga, menciutkan hatinya dan membuatnya sadar dari lamunan. Tengah malam telah tiba! Ia pun mendekati pagar tembok dan setelah merasa yakin bahwa keadaan di situ sunyi saja, ia lalu meloncat ke atas pagar tembok, meneliti sebentar keadaan di sebelah dalam yang ternyata juga sunyi seperti keadaan di luar. Maka ia lalu melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke bagian belakang.

"Kwi-moi... aku di sini...!" Mendengar suara Yo Jin itu, bukan main girang rasa hati Siu Kwi.

"Jin-koko...!" Serunya lirih dengan suara gemetar dan ia pun berlari ke arah suara tadi.

Agaknya pria yang dikasihinya itu berada di belakang pondok yang menjadi kandang kuda, menantinya. Betapa pun gembira dan tegang rasa hatinya, Siu Kwi tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia berurusan dengan dua orang tosu yang selain tangguh, juga cerdik dan mungkin saja suka bertindak curang, maka dia selalu bersiap siaga.

Kewaspadaan inilah yang menyelamatkannya. Ketika ia sudah melihat bayangan Yo Jin yang berdiri di belakang kandang kuda, dan ia berlari di antara pohon-pohon di kanan kiri, mendadak saja kakinya terlibat tali sehingga ia terguling. Ia meloncat dan kakinya masih terlibat banyak sekali tali yang agaknya ditarik orang.

Karena memang sebelumnya sudah siap siaga, hanya sebentar saja Siu Kwi terkejut dan secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan dengan beberapa kali bacokan saja, tambang-tambang itu sudah putus semua. Untung ia melakukan hal ini karena kalau tidak, tentu tubuhnya akan terlibat semua dan ia tentu tidak akan mampu melawan lagi!

Tiba-tiba keadaan menjadi terang. Obor-obor di nyalakan dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin sendiri! Dan di kejauhan, dia melihat betapa Yo Jin dengan kaki tangan terikat, berdiri dan terikat pada sebatang pohon. Tahulah ia bahwa memang dua orang tosu itu telah bersikap curang sekali. Ia sengaja dipancing untuk ditangkap, bukan untuk disuruh menjemput Yo Jin seperti yang sudah dijanjikan. Tentu saja ia menjadi marah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api.

"Tosu-tosu jahanam yang berwatak hina dan rendah!" bentaknya dan ia pun menerjang dengan pedangnya ke arah dua orang tosu itu.

Akan tetapi, banyak sekali tombak panjang menyambutnya dan sebentar saja ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh puluhan orang penjaga yang memegang tombak panjang. Dan kini dua orang tosu itu pun menerjang maju sehingga tentu saja Siu Kwi menjadi repot sekali melayani mereka.

Namun, ia mengamuk seperti seekor harimau betina terluka. Pedangnya berkelebatan dan sudah ada beberapa orang penjaga yang roboh mandi darah. Pedang di tangan Siu Kwi sudah berlepotan darah, akan tetapi dia sendiri pun menerima tusukan tombak dan hantaman tongkat berkali-kali. Pundaknya dan paha kirinya terluka, kulitnya robek dan mengucurkan darah. Pipinya bengkak dan punggungnya juga sudah dua kali menerima hantaman tongkat panjang naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin.

"Kwi-moi..., larilah..., selamatkan dirimu...!"

Teriakan melengking ini menyadarkan Siu Kwi. Itulah suara Yo Jin dan ia pun sadar bahwa mengamuk terus berarti mencari mati. Dan kalau ia mati di situ, tentu tidak ada harapan lagi bagi Yo Jin. Selain ia seorang, siapa lagi yang akan membela Yo Jin?

Hatinya berdarah jika membayangkan Yo Jin yang belum juga dapat diselamatkannya. Akan tetapi, dia akan terus berusaha, dan untuk itu, dia harus mampu keluar dari kepungan ini lebih dahulu. Maka, tiba-tiba ia menerjang ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Karena yang berada di belakangnya hanya para penjaga, mereka itu menjadi panik ketika tiba-tiba dua orang di antara mereka roboh mandi darah.

Terbukalah pengepungan mereka dan Siu Kwi kemudian menerjang ke arah itu. Para pengepung mundur dan keadaan menjadi kacau balau. Dua orang tosu tidak dapat lagi mendesak Siu Kwi karena mereka terhalang oleh para penjaga yang lari ke kanan kiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat ke luar pagar tembok dan menghilang di dalam kegelapan malam.....

********************

Siu Kwi menangis sesenggukan. Kali ini tangisnya lebih sedih dari pada tangisnya yang pertama kali sebelum ia berjumpa dengan Yo Jin. Selamanya ia tidak pernah menangis dan pertama kali menangis adalah ketika ia merasa kesepian, setelah persekutuannya hancur. Akan tetapi tangisnya sekarang ini sungguh keluar dari dasar hatinya.

Ia menangis sampai terisak-isak dan tersedu-sedan, kadang-kadang menyebut nama Yo Jin. Ia merasa berduka, gelisah, dan menyesal sekali. Bagaimana pun juga, kalau diusut dari semula, ialah yang menjadi gara-gara sampai Yo Jin terpaksa menjadi orang tahanan, bahkan ayahnya tewas dibunuh orang. Jika Yo Jin tidak berjumpa dengannya, tentu dia tidak akan mengalami semua mala petaka ini.

Dan ia sendiri sekarang tidak berdaya sama sekali untuk menyelamatkan Yo Jin. Semua impiannya kemarin kini buyar dan hancur pula, seperti hancurnya semua cita-citanya. Karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan ia sendiri sudah menderita luka-luka yang cukup parah, Siu Kwi hanya dapat menangis! Menangis seorang diri di dalam hutan yang sunyi itu.

Pundak dan pahanya masih terluka menganga dan mengeluarkan darah, juga pipinya benjol, bekas pukulan tongkat di punggungnya juga mendatangkan rasa ngilu dan nyeri bukan main. Akan tetapi ia tidak mempedulikan semua itu, tidak peduli akan keadaan dirinya. Yang terpikir olehnya hanyalah Yo Jin!

Dalam keadaan menangis ini, muncullah Siu Kwi sebagai seorang wanita sepenuhnya. Seorang wanita yang normal, mahluk yang lemah dan terbuai perasaan, dan mencari pelarian dari segala derita ke dalam tangis.

Dahulu sekali, tangis merupakan hal yang memalukan baginya, merupakan pantangan karena perbuatan ini dianggapnya memamerkan kelemahan dan cengeng. Akan tetapi sekarang, setelah merasa tidak berdaya dan bingung memikirkan keadaan pria yang dicintanya, yang masih belum mampu ditolongnya, ia pun tak dapat berbuat lain kecuali menangis!

Dan tangisnya ini adalah pencurahan dari semua penderitaan batin yang sejak dahulu selalu ditekan dan ditahannya. Penderitaan batin ketika ia masih kecil kehilangan ayah ibu, ketika dia terpaksa melayani gairah nafsu ketiga orang gurunya, Sam Kwi, yang diterimanya dengan pasrah namun sebenarnya di dasar hatinya timbul pemberontakan yang ditekannya.

Semua himpitan batin itu dulu ia imbangi dengan perbuatan-perbuatan sesat dan kejam sebagai pelariannya. Akan tetapi sekarang, setelah ia melihat betapa kesesatannya tak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, setelah dia ingin merubah jalan hidupnya, maka satu-satunya pelarian hanyalah tangis kesedihan.

"Suci...!" tiba-tiba terdengar suara wanita menegurnya.

Siu Kwi mengangkat mukanya yang tadi ditutupi dengan kedua tangannya. Sebuah muka yang membengkak, ujung bibir yang masih berdarah, muka yang basah air mata yang bercucuran dari sepasang mata yang kemerahan. Ketika ia melihat bahwa yang datang menegurnya adalah Bi Lan, Siu Kwi merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ia pun menangis semakin menjadi-jadi sampai mengguguk.

Yang datang itu memang Bi Lan bersama Sim Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah berhasil menghancurkan komplotan kaki tangan pembesar Hou Seng, dibantu oleh para pendekar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, para pendekar bubaran dan Bi Lan pergi bersama Sim Houw.

Kedua orang muda ini merasa saling tertarik dan terikat satu sama lain, merasa betapa mereka tak mungkin dapat saling berpisah lagi. Memang, selama melakukan perjalanan menuju ke utara, keduanya belum pernah saling mengaku cinta!

Sim Houw yang sudah tahu bahwa dia kini mati-matian jatuh cinta kepada Bi Lan, merasa sungkan untuk mengakui cintanya. Dia jauh lebih tua dari pada Bi Lan. Usianya sudah mendekati tiga puluh lima tahun, sedangkan Bi Lan belum ada dua puluh tahun! Gadis itu pantas menjadi keponakannya!

Meski dia sungguh mencintanya, akan tetapi kalau dia mengaku akan hal itu, bukankah dia akan ditertawakan, bahkan disangka bahwa semua kebaikannya terhadap gadis ini berpamrih? Tidak, dia tidak berani mengaku cinta, walau pun hatinya sudah yakin akan hal itu.

Di lain pihak, Bi Lan sendiri yang masih hijau dalam soal asmara, hanya melihat Sim Houw sebagai seorang pria yang amat baik kepadanya. Dan ia pun merasa amat suka kepada Sim Houw, kagum dan juga bangga dapat mempunyai seorang sahabat seperti pendekar ini. Yang lebih dari segalanya, dia merasa aman tenteram dan selalu penuh kedamaian kalau berada di samping Sim Houw.

Dalam perjalanan mereka ke utara, mereka pada pagi hari ini memasuki hutan dan mereka merasa terheran-heran ketika mendengar isak tangis sampai ke telinga mereka, terbawa angin bersilir. Karena merasa heran dan curiga, menduga bahwa mungkin saja terjadi kejahatan. mereka kemudian mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berindap menghampiri tempat dari mana suara itu datang.

Dan dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati Bi Lan ketika melihat bahwa yang sedang menangis terisak-isak itu adalah Bi-kwi! Karena itu, segera ia memanggil dan kini, setelah suci-nya itu memandang kepadanya, ia melihat keadaan suci-nya yang luka-luka dan mukanya membengkak, dan kini suci-nya menangis semakin menjadi-jadi.

"Suci... kau... kau menangis...?" Bi Lan menghampiri dan menjadi semakin terheran-heran.

Belum pernah ia melihat suci-nya ini menangis, apa lagi menangis sampai sedemikian sedihnya. "Apakah yang telah terjadi, suci?"

Bagaimana juga, di dalam hatinya, Bi Lan merasa kasihan kepada suci-nya, orang yang melatih dan menemaninya sejak dia kecil, walau pun sikap Ciong Siu Kwi terhadapnya juga tak dapat dibilang manis. Juga ia teringat bahwa tanpa pertolongan suci-nya, tentu dirinya telah ternoda oleh Sam Kwi.

Mendengar pertanyaan ini, Siu Kwi menjadi semakin berduka. Akan tetapi, ia segera teringat, bahwa jika sumoi-nya ini mau membantu, tentu ia akan dapat menyelamatkan Yo Jin! Timbul lagi harapannya, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau Bi Lan menolak permintaan tolongnya, ia pun menjadi semakin berduka.

"Sumoi... jangan dekati aku kalau engkau tidak mau ketularan segala kesialan yang menimpa diriku... ahh, rasanya aku ingin mati saja, sumoi...," katanya sambil mengusap air mata dari kedua pipinya.

Ia pun memandang ke arah Sim Houw yang berdiri tidak jauh dari situ. Apa lagi kalau orang she Sim itu mau membantunya, sudah dapat dipastikan bahwa Yo Jin tentu dapat diselamatkan!

"Suci, sungguh aku merasa heran sekali melihat engkau dapat berduka cita seperti ini. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Aku melihat engkau menderita luka-luka. Apakah engkau berkelahi?"

Siu Kwi menarik napas panjang untuk menghentikan tangisnya. "Aku tidak tahu apakah kemunculanmu ini akan merupakan pertolongan bagiku atau tidak, sumoi. Akan tetapi, biarlah kuceritakan semua kepadamu..." Ia kembali menarik napas panjang.

Bi Lan kini duduk di atas rumput, di dekatnya sedangkan Sim Houw duduk di atas batu. Agaknya pendekar itu pun tertarik untuk mendengarkan ceritanya yang membuat dia sampai menangis sedemikian sedihnya.

"Sumoi, setelah kau membiarkan aku pergi, baru aku merasa betapa sunyi dan merana hidupku, baru aku sadar betapa semua kesesatan yang telah memenuhi hidupku yang lalu tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kepadaku. Engkau benar, sumoi, engkau tidak mau mengikuti jejak tiga orang suhu kita yang sesat. Aku ingin merubah hidupku, dan dalam kesadaranku itu, bertemulah aku dengan seorang pemuda petani yang bodoh serta sederhana dan lemah…"

Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Yo Jin, betapa kemudian muncul tiga orang pemuda berandalan yang hendak mengganggunya, dan betapa Yo Jin, pemuda dusun yang lemah dan bodoh itu membelanya mati-matian.

"Bayangkan saja, sumoi! Dia yang lemah dan bodoh, rela dikeroyok dan dipukuli sampai babak-belur, hanya untuk membela aku yang tak dikenalnya. Betapa gagahnya dia! Dan aku... aku pun jatuh cinta kepadanya, sumoi..." Kembali Siu Kwi menangis.

Bi Lan memandang suci-nya dengan mata terbelalak. Aneh sekali mendengar cerita dan pengakuan suci-nya ini. Biasanya, suci-nya mempermainkan pria sesuka hatinya. Pria-pria itu dianggap boneka saja olehnya, atau binatang peliharaan yang dianggap sebagai penghibur. Akan tetapi sekarang, terang-terangan suci-nya mengaku jatuh cinta kepada seorang pemuda dusun yang sederhana, bodoh dan lemah!

"Semua pengorbanannya untuk diriku itu membawa akibat yang amat mencelakakan baginya. Ayahnya sampai terbunuh orang, dan dia sendiri sekarang menjadi tawanan..." Siu Kwi menceritakan semua hal yang telah terjadi dengan nada suara sedih sekali.

"Aku telah berusaha untuk menyelamatkannya, untuk membebaskannya. Akan tetapi, dua orang tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw itu masih terlalu tangguh bagiku. Bahkan mereka sudah menipuku. Mereka berjanji membebaskan Yo Jin kalau aku mau bekerja sama. Thian Kek Sengjin minta aku untuk membantunya melawan dan mengalahkan pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Hal ini telah kulakukan dan pendekar itu dapat dikalahkan sampai melarikan diri. Kemudian aku pun memenuhi permintaan Ok Cin Cu untuk melayaninya dan tidur bersamanya selama satu malam. Semua ini kulakukan dengan pemaksaan diri, di luar kemampuanku demi untuk menolong Yo Jin. Akan tetapi, mereka berdua menipuku, tidak memenuhi janji, bahkan aku dikeroyok banyak orang malam tadi sampai nyaris tewas dan menderita luka-luka inilah. Aku hampir putus asa, sumoi. Tidak mengapalah aku mati asal Yo Jin selamat..."

Bi Lan saling pandang dengan Sim Houw. Hampir ia tidak dapat percaya akan cerita suci-nya itu. Ia sudah terlalu mengenal suci-nya sehingga cerita itu seperti tidak masuk akal!

"Suci, sekarang yang terpenting adalah mengobati luka-lukamu dahulu. Luka di pundak dan pahamu itu cukup lebar, dan aku melihat engkau seperti menderita luka dalam pula. Biarlah kami membantu mengobatimu, suci."

"Tidak! Tidak perlu aku diobati kecuali kalau... ahhh, mana mungkin pula kalian suka membantuku?" Dan tiba-tiba Siu Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan sumoi-nya! "Sumoi, aku mohon padamu, kau bantulah aku menyelamatkan Yo Jin..."

Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut setengah mati dan cepat-cepat ia memegang kedua pundak suci-nya, membangunkannya kembali.

"Hal itu nanti kita bicarakan, suci. Sekarang biarlah kami mengobatimu dulu..."

"Tidak, sumoi. Jika engkau tidak mau berjanji untuk membantuku menghadapi dua tosu jahanam itu dan menyelamatkan Yo Jin, aku pun tidak perlu diobati dan biarlah aku mati saja."

Bi Lan kembali menoleh dan memandang kepada Sim Houw. Ia masih saja meragukan kebenaran ucapan suci-nya ini, akan tetapi Sim Houw mengangguk. Pendekar itu dapat melihat bahwa tidak mungkin Siu Kwi berbohong. Apa lagi ketika mendengar bahwa kedua lawan Siu Kwi adalah tosu-tosu dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, tentu saja hatinya condong untuk membantu bekas suci Bi Lan ini. Tentang benar tidaknya cerita Ciong Siu Kwi, hal itu dapat diselidiki nanti.

"Baiklah, suci. Aku berjanji untuk membantumu, akan tetapi dengan syarat bahwa apa yang kau ceritakan semua tadi adalah benar."

Siu Kwi menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku mengerti dan tak menyalahkan jika engkau masih meragukan kejujuranku, sumoi, Akan tetapi engkau pun tentu belum yakin benar akan keputusanku untuk merubah cara hidupku. Aku telah bertemu dengan pria yang kucinta sepenuh jiwaku, dan aku melakukan apa saja demi untuk dia. Kalau ceritaku tidak benar, boleh engkau mengundurkan diri."

"Sekarang, yang terpenting mengobati luka-lukamu, suci."

Siu Kwi menurut dan tiba-tiba dia merintih. Baru sekarang dia merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri, luka-luka itu perih dan panas, di dalam dadanya juga terasa nyeri dan tenaganya hampir habis! Kini, setelah ia merasa mendapatkan bala bantuan, baru ia merasakan semua kenyerian ini.

Bi Lan dan Sim Houw lalu merawat Siu Kwi. Dengan obat luka Siu Kwi sendiri yang sangat manjur, luka di paha dan pundaknya dicuci oleh Bi Lan dan diobati lalu dibalut, sedangkan untuk menyembuhkan luka di dalam dada akibat guncangan pukulan tongkat pada punggungnya, ia dibantu oleh Sim Houw yang menempelkan telapak tangan di punggungnya untuk membantu wanita itu menghimpun tenaga dalam dan memulihkan kesehatannya.

Menjelang senja, sembuhlah Siu Kwi. Tubuhnya yang terlatih memang kuat, ditambah lagi semangatnya yang kini besar dan menyala-nyala akibat timbulnya harapan dalam hatinya untuk menyelamatkan Yo Jin. Dan pada malam hari itu juga Siu Kwi mengajak Bi Lan dan Sim Houw untuk membantunya membebaskan Yo Jin.

Bi Lan memang tadi sudah berunding mengenai hal ini, maka Bi Lan pun lalu berkata kepada bekas suci-nya itu. "Suci, bukan hanya karena kurang penuh kepercayaan kami kepadamu, akan tetapi bagaimana pun juga, kami tidak mau bertindak secara sembrono dan melibatkan diri dalam permusuhan, pada hal kami tak mempunyai urusan apa-apa. Oleh karena itu, kami mau saja kau ajak pergi ke dusun itu, hanya saja tidak bertindak sebagai perampas tawanan, melainkan secara damai."

"Maksudmu bagaimana? Apa pun tindakan yang akan kalian ambil untuk membantuku, terserah. Bagiku yang terpenting adalah keselamatan Yo Jin."

Diam-diam Bi Lan merasa terharu. Bukan main hebatnya cinta kasih suci-nya terhadap pria yang bernama Yo Jin itu. Dan ia mulai percaya bahwa semua cerita suci-nya itu tidak bohong.

"Kami akan ikut bersamamu menemui lurah Lui dan kedua orang tosu itu. Kita minta dengan baik-baik saja supaya Yo Jin itu dibebaskan. Kemudian kita lihat bagaimana perkembangannya. Kalau perlu, tentu saja kami akan membantumu membebaskan dia dengan jalan kekerasan, tentu saja setelah kami pertimbangkan urusannya."

Siu Kwi mengangguk-angguk. "Aku tak menyalahkan kalian jika meragukan kebenaran omonganku. Marilah kita berangkat dan kalian lihat sendiri."

Mereka lalu berangkat menuju ke dusun timur itu, ke tempat lurah Lui di mana Yo Jin ditahan, di bawah pengawasan dua orang tosu yang tangguh. Tidak seperti malam kemarin, malam itu terdapat penjagaan yang ketat sehingga begitu mereka tiba di dusun itu saja, para penjaga sudah melihat dan segera mengenal Siu Kwi. Karena merasa jeri menghadapi wanita itu, para penjaga itu cepat-cepat berlari ke rumah lurah Lui dan melaporkan munculnya ‘siluman’ itu.

Juga para penduduk dusun itu, yang juga sudah mendengar akan adanya siluman yang mengamuk di rumah lurah mereka, kini menjadi ketakutan dan cepat-cepat mereka bersembunyi dan menutup semua jendela dan pintu rumah mereka ketika mendengar teriakan para penjaga yang berlarian bahwa siluman itu muncul kembali.

Demikianlah, ketika Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw tiba di depan pekarangan rumah lurah Lui, mereka sudah disambut oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh dua orang tosu itu. Banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang sekali.

Pada saat Thian Kek Sengjin dan Ok Cin Cu melihat bahwa Siu Kwi datang bersama seorang gadis muda yang cantik sekali dan seorang laki-laki yang sikapnya sederhana, mereka berdua memandang rendah. Siu Kwi sudah terluka, pikir mereka dan dua orang temannya itu tidak mungkin memiliki kelihaian melebihi Siu Kwi. Pula, di situ terdapat puluhan orang penjaga yang membantu.

"Heh-heh, Bi-kwi, siluman jahat. Engkau berani muncul kembali, apakah engkau ingin menyerahkan nyawamu?" Thian Kek Sengjin berkata sambil melintangkan tongkat naga hitamnya.

"Ha-ha-ha, barangkali engkau rindu pada pinto, nona manis?" kata si gendut Ok Cin Cu.

Siu Kwi menahan gejolak kemarahan yang memenuhi hatinya. Lebih dulu ia harus bisa meyakinkan sumoi-nya dan Sim Houw akan kebenaran ceritanya. "Thian Kek Sengjin dan Ok Cin Cu, aku datang ke sini untuk bicara dengan kalian secara baik-baik. Kenapa kalian berkeras hendak menahan Yo Jin? Dia tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia membelaku ketika Lui-kongcu hendak kurang ajar..."

"Dia ditangkap karena berani kurang ajar memukul Lui-kongcu!" kata Ok Cin Cu.

"Akan tetapi Lui-kongcu yang kurang ajar dan lebih dahulu menyerangnya. Urusan itu amat kecil, akan tetapi kalian sudah memukul ayahnya sampai tewas. Dan kalian masih belum puas. Kalian membujuk aku untuk membantu Thian Kek Sengjin mengalahkan Suma Ciang Bun pendekar keluarga Pulau Es, kemudian Ok Cin Cu bahkan memaksa aku melayaninya selama satu malam, dan kalian berjanji akan membebaskan Yo Jin. Aku telah memenuhi semua permintaan kalian, melakukan hal itu semua. Akan tetapi kalian telah melanggar janji, tidak membebaskan Yo Jin, bahkan menjebak dan hendak menangkap aku. Ji-wi totiang, sebagai pendeta, tosu dan tokoh-tokoh kang-ouw, apa kalian tidak malu atas perbuatan kalian itu? Maka malam ini aku datang untuk minta dengan baik-baik agar Yo Jin cepat dibebaskan, dan aku pun tak akan memperpanjang urusan ini."

Kedua orang tosu itu tertawa bergelak dan para penjaga juga turut pula tertawa. Riuh rendah suara ketawa mereka dan barulah kebisingan itu berhenti sesudah Thian Kek Sengjin bicara. "Bi-kwi siluman jahat! Engkau adalah pecundang kami, masih berani datang untuk mengajukan tuntutan? Apakah karena kini engkau membawa dua orang temanmu ini? Kami tidak takut dan kalian bertiga tentu tidak akan dapat lolos dari pengepungan kami!"

Lega rasa hati Siu Kwi. Dia sudah membeberkan semua persoalan dalam tuntutannya tadi dan dia pun menoleh kepada Bi Lan dan Sim Houw, "Sumoi dan Sim-taihiap, kurasa sudah cukup aku bicara."

Sim Houw melangkah maju menghadapi dua orang tosu itu.

"Ji-wi totiang," katanya halus. "Benarkah apa yang telah dikatakan oleh nona Ciong tadi, bahwa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?"

"Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami!" bentak Ok Cin Cu marah.

"Kalau benar, engkau mau apa?!" Thian Kek Sengjin juga membentak.

"Sim-toako, jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!" Bi Lan berseru marah.

"Kepung, tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!" bentak Thian Kek Sengjin memberi aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.

"Kalau benar ji-wi adalah Thian Kek Sengjin ketua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu ketua cabang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sungguh patut disesalkan dan amat tercela!" kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walau pun para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.

"Bocah sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto sendiri yang menangkapnya!" bentak Ok Cin Cu.

"Nanti dulu!" Thian Kek Sengjin memberi komando pada anak buahnya. "Pinto merasa penasaran melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, siapakah engkau? Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama."

Sebelum Sim Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului. "Dia adalah pendekar Sim Houw, Pendekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoi-ku Can Bi Lan!"

Mendengar disebutnya nama Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Sengjin sudah menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi, sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan, sedang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar sifatnya sehingga dengan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.

Melihat sinar mengerikan dari pedang yang berada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut dan bergidik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan tongkat ular hitamnya untuk menyerang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.

Ok Cin Cu tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga gerakan-gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan suci-nya.

Sementara itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Sengjin juga amat dahsyat, membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa dia pun mencabut pedangnya. Ketika pedang itu tercabut, terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Sengjin. Di antara kedua orang ini pun segera terjadi perkelahian yang seru.

Melihat betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoi-nya dan Sim Houw, Siu Kwi lalu mengamuk, menerjang puluhan orang penjaga yang mengepung. Amukannya memang menggiriskan dan sebentar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang roboh oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan mendesak para pengeroyok untuk mundur.

Akhirnya dia berhasil memasuki pekarangan, terus dia meloncat ke dalam dan lari ke bagian belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, dia disambut oleh enam orang penjaga. Tetapi, dengan mudah ia merobohkan lima orang dan menangkap seorang yang hendak melarikan diri.

"Cepat bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!" bentaknya sambil menempelkan ujung pedang di dada orang itu.

Pedang itu menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia membawa Siu Kwi ke belakang.

Akhirnya Siu Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah kamar tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh lagi penjaga itu roboh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun pintu kamar tahanan.

"Kwi-moi akhirnya engkau datang...!" Yo Jin berseru girang.

"Jin-koko...!"

Ingin Siu Kwi merangkul orang itu, namun perasaan ini ditahannya. Dia pun melepaskan belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.

"Jin-koko, engkau lebih baik pulang dulu ke dusun, biar aku akan menyusul ke sana setelah selesai urusan ini!" katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoi-nya dan Sim Houw.

"Tapi kau... kau..."

"Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul nanti."

Yo Jin mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi di luar, maka dia pun mengangguk dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik okh Siu Kwi, diajak menuju ke kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan kakinya, Siu Kwi merobohkan mereka.

"Cepat, keluarlah dari pintu ini!" kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di kebun itu pun jebol.

Melihat kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita yang dicintanya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia pun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan.

Setelah melihat kekasihnya itu menghilang dalam kegelapan malam, Siu Kwi melompat kembali ke dalam kebun, lantas berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan, dan dengan mudah Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap beserta isteri-isteri dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang, yang lain lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu yang berkelompok sambil menggigil ketakutan.

Lurah Lui dan keluarganya sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya kedua orang tosu tua itu saja yang mampu menundukkannya. Namun malam ini wanita itu datang bersama dua orang teman yang juga amat lihai dan kini ‘siluman’ itu telah datang dan menemukan mereka!

Siu Kwi masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong, lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat.

Siu Kwi menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Lui-kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepalanya di belakang punggung ibunya.

"Lui-kongcu, ke sini kau!" bentaknya.

"Tidak... tidak...!" Pemuda itu menggigil ketakutan.

"Ke sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!"

Pemuda itu hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.

"Engkau juga ke sini, lurah Lui!" bentak Siu Kwi.

Lurah Lui bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri, tidak berlutut seperti puteranya. Bagaimana pun juga, dia adalah kepala dusun itu dan sudah biasa orang-orang berlutut di depannya, bukan dia yang harus berlutut.

Siu Kwi tidak peduli akan sikap itu. "Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya jika aku memenggal kepalamu sekarang juga!" Siu Kwi lalu mengelebatkan pedangnya.

"Ampun... ampun... tidak... jangan bunuh aku... aku tidak berani lagi!" Kali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celananya.

Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

"Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, dan engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebat.

Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.

Melihat ini, mendadak kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan dia pun roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga.

"Ampun, lihiap... ampunkan kami...," ratapnya.

Keluarganya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

"Baik, aku takkan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah menggunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!" kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut! Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi keringatnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia kadang-kadang menggigil.

Bi Lan memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok Kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Dia menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa tosu ini telah menipu suci-nya, membujuk suci-nya melayaninya dan menyerahkan tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin.

Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut ini pun memuncak. Maka dia menyerang untuk membunuh sehingga gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.

Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat sekali, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah.

Akan tetapi, dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

"Lan-moi, jangan membunuh orang...!" teriaknya memperingatkan.

Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu!

Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan dia memang patuh sekali terhadap pemuda ini. Dia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

"Crotttt...!"

Mata kanan Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.

Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Sengjin terbabat putus. Kakek ini pun menjerit dan melompat jauh ke belakang.

Mereka berdua cepat-cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.

Pada saat itulah Siu Kwi muncul. "Di mana mereka?" tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu.

"Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri," kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw memberi peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi.

Lega rasa hati Siu Kwi. Kedua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi ia pun tidak memiliki nafsu untuk membunuh mereka. "Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin."

"Di mana ia sekarang...?" tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang dapat merobohkan hati suci-nya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.

"Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya."

"Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai dia tertangkap musuh lagi?" kata Bi Lan. "Mari kita cepat pergi menyusulnya."

Bi Lan hanya menggunakan dugaan ini sebagai alasan agar ia bisa ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu. Penasaran.....

"Baik, mari kita pergi," kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan.

Sim Houw diam-diam tersenyum. Ia dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu menundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi, yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang kejam dan jahat bukan main. Dia pun tidak mengeluarkan pendapatnya karena dia harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu.

Jika semua ini benar, tak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar sejati, yang terpenting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan kelaliman. Tidak peduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentu bukanlah orang baik-baik.

Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Namun rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada para tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, tetapi begitu mendengar dari para tetangga bahwa ayahnya telah meninggal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil menangis.

"Ahhh, kasihan Jin-koko...," kata Siu Kwi dengan hati terharu. “Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya..."

Dan mereka pun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit. Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.

"Jin-ko...!" Siu Kwi berseru memanggil.

Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang dalam cuaca yang remang-remang oleh karena malam itu hanya diterangi oleh bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam.

"Kwi-moi...!" Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.

"Jin-koko...!"

Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!

Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dada laki-laki itu suci-nya? Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras hati? Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk menyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang!

Suara batuk itu menyadarkan mereka dan keduanya melepaskan rangkulan.

"Kwi-moi, ayah... ayahku..."

"Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang. Ia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku."

"Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah..."

"Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko."

"Kita duduk di dekat makam..."

"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko, dan bicara di rumah?"

"Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah."

"Biar aku membuat api unggun," tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.

Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain. "Kwi-moi, siapakah mereka ini?"

"Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau pada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarang pun kita belum dapat berkumpul kembali."

Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan.

Diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan suci-nya itu biar pun nampak berpakaian sederhana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng biar pun kesederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan. Dan biar pun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang.

Betapa pun juga, sampai saat itu Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih amat terheran-heran memikirkan bagaimana suci-nya dapat jatuh cinta pada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, suci-nya dapat memiliki pemuda-pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau malah putera ahli-ahli silat kenamaan sekali pun. Suci-nya cantik jelita, mempunyai ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati laki-laki mana pun.

"Jin-ko, mereka berdua ini yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan. Ia adalah sumoi-ku sendiri walau pun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali."

Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang, "Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji-wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi."

Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pemuda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walau pun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.

"Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita," kata Sim Houw. "Engkau sendiri, walau pun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bahkan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya."

Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru kini ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan kepadanya bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka.

Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa dia sadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.

"Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tak akan mau berpisah darinya, sampai mati... aku akan mendampinginya sebagai isterinya... karena aku... aku cinta padanya."

Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang telah mengenal Siu Kwi, ucapan yang terang-terangan ini tidak mengherankan, akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan ia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujurannya melenyapkan perasaan malu itu, dan dia pun hendak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada dua orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.

"Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku sejak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukakan di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi."

Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus terang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-watak yang amat dikaguminya. "Bicaralah, Jin-ko."

Yo Jin menarik napas panjang. Agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya. "Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang seperti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau adalah seorang gadis biasa, karena sesungguhnya aku pun sudah jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi..."

Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang menunduk itu dengan hati amat khawatir. "Akan tetapi... apa Jin-ko?"

"Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, dan bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatang kara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau..."

"Aku... kenapa, Jin-koko?" Siu Kwi mendesak sambil tersenyum hingga nampak deretan giginya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun.

Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu. Masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.

"Kwi-moi... ahhh, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku. Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang..."

"Cukup, Jin-ko, cukuplah...!" Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu. "Aku sudah mengenalmu lahir batin, tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku... aku hanya..."

"Wanita perkasa, pendekar yang sakti..."

"Tidak, tidak...! Engkau hanya tahu satu tapi tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah sekarang aku ceritakan dan mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau belum kuceritakan kepadamu..."

"Suci! Perlukah itu...?" Bi Lan menegur, khawatir melihat suci-nya akan menceritakan keadaan masa lalunya.

Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoi-nya. "Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku hanyalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja."

Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum. "Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat... hebat..."

Yo Jin memandang bingung. "Akan tetapi, Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu..."

"Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak mendengar hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penjahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan janganlah mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik)."

"Aku tidak percaya...!" Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang dianggap mengerikan itu.

"Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyak orang, baik yang bersalah mau pun yang tidak, sudah tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung kejahatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku telah menjadi kekasih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela mau pun dengan paksa! Aku mempermainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh."

"Tidak... tidaaakk...!" Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya. "Engkau seorang wanita gagah perkasa, halus budi dan sopan!"

"Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merubah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, tbukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang akan kulanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepada Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam..."

"Ahh, tidaaaakk... ahh, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini...?" Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan bagaikan hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.

"Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membebaskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang sudah menjanjikan untuk membebaskanmu."

Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya. "Kwi-moi, apakah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu? Jika masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-simpan agar kelak engkau takkan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku."

Siu Kwi terbelalak. "Jin-ko, masih belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa akulah yang sesungguhnya tak berharga bagimu?"

Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala. "Kwi-moi, kejujuranmu ini justru menambah cintaku kepadamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak peduli akan keadaanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengambil keputusan dan untuk merubah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi-moi."

"Jin-koko...!" saking terharu hatinya Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis.

Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis sesenggukan bagaikan anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.

Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat lagi menahan keharuan hatinya sehingga dia pun memandang dengan dua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-linang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasihan, akan tetapi juga ikut gembira bahwa suci-nya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari samping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang.

Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka yang basah air mata, rambut yang kusut, dia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian tersenyum dan berkata lirih, "Aihh, aku seperti anak kecil saja..."

"Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi," kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Alangkah sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.

"Sudahlah, kini kita hentikan percakapan tentang masa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang berada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah lewat di belakang kita," kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.

"Kalian memang bijaksana sekali," kata Siu Kwi, "dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian bisa menolong aku dan Jin-koko?"

Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan walau pun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia membuat pengakuan di depan Yo Jin yang diterima dengan baiknya oleh pria itu, ada sinar kebahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar matanya.

Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia teringat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merubah hidupnya!

Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Kebaikan tak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih hanyalah kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar bagai sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih.

Keinginan untuk menjadi sesuatu, agar sesuatu itu kelihatan agung, misalnya menjadi orang baik, otomatis mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan buat menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pamrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Keinginan akan memperoleh buah atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu!

Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan timbul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekali pun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang keinginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya.

Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, tetapi sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Karena kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih supaya menjadi baik, maka yang menjadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang berganti baju atau bersalin warna belaka.

Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran yang tidak dibuat-buat, bukan hasil dari latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh dengan debu kotoran yang diciptakan oleh pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi keinginan-keinginan. Singkirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.

Sejak kecil kita diajarkan untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbuatan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang nampak lebih jelas. Maka berlomba-lombalah kita untuk melakukan perbuatan baik, yang pada hakekatnya hanya berlomba untuk mendapatkan pahala itulah!

Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya tersembunyi pamrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih!

Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam kebaikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perubahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau sudah tiada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar.

Dan tentu saja kewajaran ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala macam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta kasih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu.

Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirubah dalam kehidupan anak-anak kita, dirubah menjadi pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sendiri tiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih menyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersihan diri dari dalam?


Pada saat Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepada Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira. "Memang kami bertemu denganmu hanya karena kebetulan saja, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo."

"Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?" tanya Siu Kwi dan suaranya mengandung rasa kekaguman. Pernah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.

"Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang Ban-tok-kiam milik subo ini. Sedang Sim-toako ini berbaik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mendengar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana."

Siu Kwi menarik napas panjang. "Memang di dunia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru kini aku dapat menyadari betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak dalam alam semesta ini. Pertemuan dengan Jin-ko juga hal yang kebetulan saja."

Sim Houw mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali apa yang baru dikatakan oleh Ciong-lihiap. Nampaknya saja kebetulan karena tadinya kita tak tahu sama sekali, tapi sesungguhnya sudah ada garisnya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuhnya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada hubungan sama sekali itu sebenarnya masih berupa suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan segala ulah kita."

Siu Kwi menghela napas panjang. "Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan. Dulu, aku sama sekali tak peduli akan sebab akibat, tak peduli akan isi kehidupanku..."

"Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan dan ke mana kalian hendak pergi?"

Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga sedang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak cantik dan manis luar biasa dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan meski pun mulut mereka diam saja, namun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.

"Aahh, kami... akan memulai suatu kehidupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku... ahh, maaf Jin-ko, aku lupa belum minta persetujuanmu dalam hal ini..."

Yo Jin tersenyum, memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengertian. "Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk melupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk."

Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan mau pun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga girang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) berubah sama sekali! Sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan pada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu dan bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenalnya lagi sebagai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!

Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri, dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertobat di mulut atau di hati. Akan tetapi, bertobat seperti ini sering kali tidak ada hasilnya sama sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama!

Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kesenangan dari perbuatan itu dan bertobat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertobat yang sesungguhnya lagi. Tobat macam ini tak akan bertahan lama, dan setelah penyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa bertobat pun ikut pula menipis dan tidak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama.

Seperti orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertobat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya minum arak, dan kita pun minum lagi. Demikian seterusnya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus.

Yang penting bukanlah bertobat karena menyesal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merubah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan.

Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja tidak membuat kotoran menjadi lenyap. Kalau kotoran sudah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih?

Sesal dan tobat pun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apa pun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesalan apa pun
.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoi-nya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena dia ingin bicara empat mata dengan sumoi-nya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.

"Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!"

"Ehh, untuk apa, suci?"

"Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku. Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!"

Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa suci-nya dapat menduga dengan tepat bahwa ia memang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat sikap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cintanya, dia menjadi sedih dan menarik napas panjang.

"Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci."

"Ehh? Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?"

Bi Lan langsung tertunduk dan wajahnya merona merah, sementara pada bibirnya yang memang sudah berwarna merah merekah senyuman manis. Perubahan ini tidak lepas dari pengawasan Siu Kwi, akan tetapi segera alisnya berkerut ketika melihat senyum di bibir sumoi-nya pelan-pelan memudar.

“Ehh? Apakah yang terjadi, sumoi-ku yang jelita?”

Seperti tanpa semangat dan hanya bicara untuk dirinya sendiri, terdengar suara lirih dari bibir Bi Lan, “Aku memang jatuh cinta padanya, tapi agaknya dia hanya menganggapku sebagai adiknya saja…, atau bahkan… kawan biasa…”

“Apa? Dari mana kau punya pikiran itu? Apakah dia pernah menyatakan demikian?” Siu Kwi bertanya karena penasaran. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman, dia dapat melihat mata Sim Houw yang penuh dengan cinta kasih setiap kali menatap sumoi-nya.

“Sim-toako tidak pernah berkata begitu, tapi… tetapi dia juga tidak pernah menyatakan cintanya kepadaku,” Bi Lan menjawab, masih terdengar lirih tanpa semangat.

Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoi-nya. "Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulut pun, apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!"

"Ehhh...?" Bi Lan terbelalak memandang wajah suci-nya penuh selidik.

"Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta saja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!"

Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan tetapi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Ia percaya akan keterangan suci-nya, karena ia tahu benar bahwa enci-nya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.

"Terima kasih suci!" Bi Lan merangkul dan mencium pipi suci-nya. Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan. "Keteranganmu itu sungguh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!"

Pada saat mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi sepasang matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut. Ia pun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu.

Cinta asmara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga atau pun neraka dalam kehidupan seseorang. Luar biasa.....

********************

Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dan Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nampaknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebelah utara.

Tembok Besar nampak seperti seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum lagi melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam.

Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walau pun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih, karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruang yang tadinya sudah mulai gelap itu menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan.

Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun di depannya. Memandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang sedang mengejek.

Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu pun karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya.

Namun ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, dia pun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan.

Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya terjilat api.

"Uhhh...!" Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.

"Ehh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.

“Ahh, hanya terjilat sedikit, tidak terluka..."

Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.

"Sakitkah, koko?"

Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Tetapi dia menggelengkan kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena dia merasa malu diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. "Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati."

Hening sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.

"Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu."

Sim Houw mengangkat mukanya dan memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya. "Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?"

"Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?"

Sim Houw mengangguk-angguk. "Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya."

"Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habisnya kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?"

Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang padanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan dia pun menundukkan muka memandangi api unggun, seakan-akan hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.

"Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang," kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.

Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang. "Kenapa hal itu saja perlu kau tanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahaya maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri mencari Istana Gurun Pasir yang sedemikian jauhnya, melakukan perjalanan yang demikian berbahaya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi."

"Akan tetapi,... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu memiliki banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan hal yang sama? Aku pun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!"

"Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya dan aku... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu..."

Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaimana pun juga, tidak baik kalau dia terlalu mendesak, dan dia pun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar itu.

Ia tidak sadar bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona. Pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya untuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.

"Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu, Sim-ko."

Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka dan memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukanlah seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, dengan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.

"Sim-ko..."

"Hemmm...?" Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan.

Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.

"Sim-ko," katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api. "Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena dia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?"

Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik, namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas. "Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."

"Maksudku bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?"

Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan ia pun menggelengkan kepalanya dengan pasti. "Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apa pun yang terjadi di dalam hidup, suka mau pun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan. Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan."

"Tapi... tapi... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?"

"Jera bagaimana maksudmu?"

"Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali."

"Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi."

Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti. "Akan tetapi... apakah semenjak engkau gagal... ehhh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?"

Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa semenjak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.

"Aku sudah tua sekarang, Lan-moi. Siapakah yang begitu bodoh mau menaruh hati kepadaku?" jawabnya menyimpang.

Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.

"Hi-hi-hik," Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu, "coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia...!"

"Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja..."

"Aku justru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko."

Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan!

"Sesukamulah, Lan-moi."

"Kau marah...?"

Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia mampu marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup.

"Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu."

"Kenapa?" Tiba-tiba dara itu mendesak.

"Karena... karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira..."

Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya penasaran.

"Jadi selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama dengan wanita yang kau cinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi, Sim-ko?"

Sim Houw tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya melalui atas api unggun.

Tentu saja Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, tetapi panjangnya lebih dari dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya, jari tangan Sim Houw mengetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.

"Mari...!" kata Sim Houw sambil menyambar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan gerakan cepat.

Kembali Bi Lan terkejut, akan tetapi hilanglah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan orang! Tahulah kini Bi Lan bahwa munculnya ular berbisa tadi pun tidak wajar, melainkan dimunculkan dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan melihat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta, ia pun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau Pat-kwa-kauw.....

Dugaannya memang tidak keliru. Di bawah penerangan empat buah obor besar yang dipegang oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gambar teratai putih dan segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelas bahwa kedatangan mereka ini tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.

"Kalian semua tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!" Bi Lan membentak marah. "Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?"

Seorang di antara tiga belas orang itu adalah seorang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga sangat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia merupakan seorang pendeta Pek-lian-kauw.

Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tidak lumrah seperti tubuhnya karena yang kemudian terdengar hanya suara "kek-kek-kek-kek!" seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.

"Heh-heh-heh!" Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek.

Dia pun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika ekornya digurat-guratkan pada tanah tadi.

"Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona."

"Kakek iblis jahanam!" bentak Bi Lan dan ia pun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkok itu.

Ia menjadi amat marah sebab dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini ia pun langsung saja menyerang dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia ingat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka ia pun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)!

Pukulan dengan ilmu ini memang sangat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.

Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Sengjin, berusia enam puluh lima tahun dan dia masih terhitung sute dari Thian Kek Sengjin. Biar pun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Sengjin, akan tetapi kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai.

Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberi tahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Sengjin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andai kata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.

Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari ‘kiriman’ ular, Coa-ong Sengjin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apa lagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Sengjin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!

"Dukkk!"

Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Sengjin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan kanan.

Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular supaya dapat dicengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya memiliki indera yang sangat tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun.

Biar pun tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka ia pun cepat meloncat ke belakang. Coa-ong Sengjin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang banyak jumlahnya. Ia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia lalu melangkah maju.

"Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?"

"Siancai!" Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, sedang memegang sebatang tongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw.

Sejenak mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini merupakan seorang tokoh dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi.

Dugaan Sim Houw juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cinjin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, dan yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?"

Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak mempedulikan gadis itu, walau pun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coa-ong Sengjin.

"Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, dua tosu siluman itu!" Bi Lan berseru.

"Benar, totiang," jawab Sim Houw. "Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan."

Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. "Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?"

Sim Houw mengerutkan alis. "Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, bahkan ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan karena sebenarnya kami sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak mana pun juga."

"Hemm, enak saja, heh-heh-heh!" kata Coa-ong Sengjin. "Sudah melukai orang sampai menderita luka parah, lalu minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang sudah membunuh Kim Hwa Nionio!"

Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nionio, mungkin ada hubungan baik karena mereka sealiran.

"Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku pun membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nionio memang terbunuh olehku," jawabnya tenang.

Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi amat marah. Bahkan Thian Kong Cinjin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nionio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.

"Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang telah terbunuh atau terluka olehmu!"

"Tidak kelirukah jalan pikiran totiang?" Sim Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali. "Semua yang aku lakukan itu bukan berdasarkan permusuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Jika sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?"

"Siancai...! Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw.

Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawannya ini, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun cepat menghunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan ia pun turut menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang langsung merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu.

"Pedang iblis... pedang iblis...!" katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai serangan.

Tiga orang tosu lainnya sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Salah seorang membantu Coa-ong Sengjin dan dua orang membantu Thian Kong Cinjin.

Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, hanya tingkat Thian Kong Cinjin yang paling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sinkang yang kuat. Kekuatannya itu masih ditambah dengan kekuatan ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!

Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu juga dibantu oleh dua orang tosu lain yang lihai pula, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung di tangannya ada suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang bisa mengeluarkan suara bagaikan orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.

Di lain pihak, Bi Lan juga sudah mengamuk dengan pedangnya. Sebenarnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga amat gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.

Thian Kong Cinjin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu.

Melihat kegagahan dua orang muda itu dia pun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.

Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi gelap dan dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata dari lima penjuru!

Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka saja. Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang dengan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yang cukup keras. Mereka tidak terluka parah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri.

Sim Houw maklum bahwa jika dilanjutkan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena ia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu telah mengatur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!

Ia pun mendapatkan akal. Dengan mengandalkan pendengarannya, ia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka. Dengan rabaan dan sentuhan lengan kirinya, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, "Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!"

Sambil berkata demikian, ia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, kelima orang itu tentu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mencegah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Sengjin berada.

Kakek bongkok ini berusaha memutar tongkat ular hijaunya, tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh sinar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus menarik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri secepatnya setelah berhasil terlepas dari kepungan.

"Kejar mereka!" Thian Kong Cinjin membentak marah.

"Nyalakan obor!"

"Mereka lari ke arah hutan!"

Obor-obor lalu dinyalakan dan tiga belas orang itu melakukan pengejaran. Akan tetapi bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cinjin tidak kehilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongannya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Sengjin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini kemudian melakukan pengejaran dan pencarian dengan cara berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.

Melakukan pengejaran sambil membawa obor merupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat mengarahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan sedikit terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya.

Setelah mereka keluar dari dalam hutan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya barulah mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.

"Sim-ko, kita belum kalah, tapi mengapa engkau memaksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan membunuh seorang dua orang di antara lima ekor monyet itu," Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri namun dia belum sempat membalas kepada musuh-musuhnya!

"Justru itulah yang tak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu supaya tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berbahaya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mereka karena jika engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula."

"Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati-matian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang jahat?"

"Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong-lihiap suci-mu itu, tentu saja karena mereka masih mengira bahwa suci-mu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa suci-mu kini telah berubah sama sekali, tetapi orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang tiada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri."

"Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!" Bi Lan membantah dengan penasaran.

"Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadaman obor."

Bi Lan kemudian teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran!

Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh suci-nya. Dan memang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, ia pun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya? Sudah dipancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.

"Aduhhhh...!" Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeriput menahan nyeri.

Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. "Kenapa, Lan-moi? Ada apakah dengan kakimu...?" tanyanya penuh was-was.

"Aduhh... Sim-ko, pahaku ini...ahhh, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang..."

"Sekarang bagaimana, Lan-moi...?" Sim Houw bertanya dan tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.

"Nyeri sekali... auuhhh, tak tertahankan nyerinya..."

"Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir..."

"Ya... cepatlah... aduhhh, pukulan monyet tua bongkok itu keras sekali..."

Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian paha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memijit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang patah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.

"Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi," katanya.

"Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung...!" Bi Lan mengaduh.

"Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbulkan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar agar jalan darahnya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sembuh."

Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biar pun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia melihat betapa indahnya paha yang nampak karena kain celananya dirobek itu.

Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianya pun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajarlah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulusnya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.

Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam hatinya merasa gembira sekali dan senyumnya membayang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.

"Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Terima kasih..."

"Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Dan syukurlah kalau pijitanku menolong," kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.

"Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?"

Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar sehingga dia menghentikan pijitannya. Sudah berada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.

"Aku... aku..."

Saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tak tahu malu...!"

Baik Sim Houw mau pun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw cepat menarik kedua tangannya, sementara Bi Lan segera menutupkan bagian celana yang terbuka di paha, dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tubuh.

Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi Lan teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali.

Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggangnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena menyangka mereka berbuat cabul!

Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu dia pun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, ia pun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, ia pun melangkah maju.

"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak tahu malu!" ia membentak dengan marah sekali. "Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fitnah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cemburu. Sungguh tak tahu malu, cinta tidak dibalas lalu berubah menjadi cemburu gila!"

Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu. Ucapan itu memang tepat bukan main, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangkan rasa nyeri yang lebih hebat lagi.

Memang ia cemburu, ia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw? Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih muda, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.

Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empat puluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.

"Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pahanya."

"Aku tidak mempersoalkan itu!" Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus. "Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis betina Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta supaya kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami dapat membasminya!"

Bi Lan amat marah mendengar ini. "Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina."

"Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak menyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik pikir dan mencontoh kehidupan suci-mu yang bejat akhlaknya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik? Dan buktinya pun tidak begitu. Baru-baru ini dia bahkan membantu orang-orang jahat untuk memusuhi suhu-ku ini." Berkata demikian, Hong Beng menunjuk pada laki-laki berusia tiga puluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa mengeluarkan sebuah kata pun.

"Ahhh...!" Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget.

Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh perhatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu.

Seperti telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersemedhi diganggu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa memenuhi permintaan mereka untuk menyelamatkan Yo Jin yang dijadikan tawanan dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan membawa luka.

Belum jauh ia melarikan diri, ia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya. Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhu-nya untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana suhu-nya sampai menderita luka.

Ditanya oleh muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. "Dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku. Memang kedua perkumpulan itu selalu memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka berdua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kali ini dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali ini, pengeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan diri."

Hong Beng marah sekali. "Hemm, siapakah wanita itu, suhu? Seperti bagaimana rupa dan macamnya?"

Pada waktu Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.

"Ahh, tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu Pek-lian-kauw!"

"Kau kenal wanita itu?"

"Ia tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan sangat pantas untuk dibasmi dari permukaan bumi!" Hong Beng kemudian menceritakan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhu-nya.

Girang hati Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah, bahkan muridnya juga telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.

Dengan perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari semua luka-lukanya. Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam goa di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencari makanan bagi suhu-nya. Ketika dia sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, di sebuah tikungan tiba-tiba dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu sedang duduk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan, atau sedang sakit.

Hong Beng yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu. Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang tebal karena hawa memang dingin dan agaknya mereka menderita luka. Ketika melihat mereka tidak seperti orang jahat, Hong Beng kemudian menjura dengan penuh hormat. "Kenapakah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya seperti sedang menderita? Siapakah ji-wi totiang?"

Melihat seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan berperut gendut, segera berkata, "Siancai, siancai... terima kasih atas perhatianmu, orang muda yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena kami memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat."

Hong Beng terkejut. "Ahh? Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang lain?"

Kakek yang kurus kering mengangguk-angguk. "Memang penglihatanmu tajam sekali, dan tentu engkau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih jauh, bolehkah pinto mengetahui siapa namamu dan dari perguruan manakah?"

Melihat sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka dia pun mengaku terus terang. "Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang Bun..."

"Aihhh!" Si kakek gendut berseru. "Pendekar Suma dari Pulau Es?"

Hong Beng tersenyum, agak bangga. "Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es dan siapakah ji-wi totiang?"

Sebelum kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. "Kami adalah dua orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lojin dan ini adalah sute Hek-san Lojin. Dalam perjalanan kami, di satu dusun di balik bukit ini, kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau dusun dengan menculik dan membunuh pemuda-pemuda tampan. Sebagai orang yang selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam Kwi..."

"Ahh, aku tahu siluman itu!" Hong Beng berseru. "Apakah ji-wi kalah olehnya sehingga terluka?"

"Sayang sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan sumoi dari siluman betina itu..."

"Ahhhh...! Pacarnya...?" Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi pacar Sim Houw.

"Ya, pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan terluka. Ahhh, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap taihiap akan suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di dusun-dusun wilayah ini."

"Jangan khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu dan kaki tangannya!"

Setelah kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng kemudian bercerita tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah sekali. "Hemmm, mula-mula ia membantu para tokoh Pek-lian-kauw dan kini bahkan menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari mereka!"

"Akan tetapi suhu baru saja sembuh..."

"Aku sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat kita basmi."

Demikianlah, guru dan murid itu meninggalkan goa dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pada pagi hari itu, kebetulan sekali mereka melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan kemarahan membuat Hong Beng tak dapat menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.

Mendengar tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi tadi, Bi Lan segera mengambil sikap membela suci-nya.

"Ia juga menceritakan hal itu kepadaku!" bantahnya. "Memang benar ia telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan sangat terpaksa karena pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu."

Mendengar mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. "Sudahlah, tidak perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya."

Bi Lan marah sekali, juga Sim Houw mengerutkan alisnya. Sikap pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak membunuh orang. Tak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.

"Suci Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami tidak tahu ia berada di mana. Andai kata kami tahu sekali pun, tidak akan kami beri tahukan kepada orang-orang yang berniat untuk mengganggunya!" kata Bi Lan dengan suara ketus.

Hong Beng meloncat ke depan. "Bi Lan!" katanya, suaranya kereng. "Antara kita sudah terjalin persahabatan semenjak lama sekali, dan kita sama mengenal masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan. Apakah engkau lupa akan hal itu? Ketika kita semua menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng, engkau sudah melepaskan Bi-kwi dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan perguruan dan menaruh hati kasihan kepadanya. Akan tetapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina, walau pun iblis itu pernah menjadi suci-mu. Ingatlah Bi Lan, dan sadarlah sebelum terlambat." Ia lalu memandang kepada Sim Houw. "Sim-taihiap selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah dekat dengan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang benar?"

"Hong Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak berlak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan kebenaran suci-ku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju, terserah. Tidak perlu memberi kuliah kosong kepadaku!" Bi Lan kini juga sudah marah sekali.

"Bi Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepadamu. Akan tetapi kalau engkau berpihak kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan menyeleweng dan patut dihajar."

"Keparat, majulah! Siapa takut kepadamu?" Bi Lan juga membentak marah.

Hong Beng maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis ini pun membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng. Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena keduaya sudah menjadi panas hati dan marah sekali.

Cemburu memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan. Cemburu timbul dari pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan.

Cinta kasih adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan kembangnya cinta
.

Hong Beng tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan menolak cintanya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati terhadap setiap orang pria yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari kenyataan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu.

Cintanya mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang katanya pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai, melukai atau bahkan membunuh!

Mungkinkah cinta kasih yang suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh? Kalau cinta nafsu memang mungkin, karena antara cinta birahi dan nafsu membunuh terdapat satu pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri, merupakan nafsu yang selalu menguasai batin manusia.

Melihat betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es.

"Dukkk!"

Bi Lan menahan seruannya pada waktu tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, bagaikan hendak membakar tangannya. Marahlah gadis ini. Dia maklum betapa lihainya murid keluarga Pulau Es ini, maka ia pun cepat meraba gagang pedangnya.

"Singgg...!"

Nampak sinar berkilauan ketika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu benar bahwa pedang di tangan gadis itu tentulah sebatang pedang pusaka yang luar biasa ampuh, maka dia mengeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal pedang ini dan maklum betapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka dia pun melompat ke belakang.

"Bi Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apakah benar-benar hendak membunuh aku?"

Bi Lan tersenyum mengejek. "Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan ampuhmu itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk menari-nari bersamaku?"

Mendengar ejekan ini, Hong Beng maju lagi. "Baik, kalau engkau hendak membunuhku, aku pun tidak takut mati!" Dan dia pun menyerang lagi, akan tetapi terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan sinar yang menggiriskan.

"Gadis kejam menggunakan senjata yang keji!" Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke depan. "Biarkan aku menghadapinya, Hong Beng!"

Akan tetapi, Sim Houw telah menghadang ke depan pendekar itu. "Locianpwe, maafkan saya. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak turun tangan mencampuri."

Suma Ciang Bun kini menatap wajah Sim Houw. "Sudah pernah aku mendengar berita tentang munculnya pendekar muda yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Kalau engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu." Berkata demikian, Suma Ciang Bun sudah maju menampar.

Tamparannya mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw cepat mengelak dan dia pun maklum bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat berbahaya, maka dia pun kemudian mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling pedangnya yang ampuh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.

"Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!" Dan dia pun mencabut keluar sepasang pedangnya.

Siang-kiam (sepasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut mengeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pedang itu saling berpapasan dan mengeluarkan suara berdencing dan muncratlah bunga api. Ia telah memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.

Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian lawan dan dia pun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mencelakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, tidak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi.

Tentu saja pendekar ini bersama muridnya mengenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu memang Siu Kwi dimusuhi para pendekar dan bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak tahu, bahkan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merubah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana!

Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau kini dia terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.

Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja gerakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya. Dia pun mulai meragu, apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu oleh karena memang ada dasarnya yang kuat! Dia pun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.

Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jeri menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan sinkang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya.

Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa dia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebatan sinarnya yang bergulung-gulung. Dara ini sendiri lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang melalui serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama makin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk menghentikan perkelahian sementara.

Nampak oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannya merayap ratusan ekor ular besar kecil bagai sekumpulan bebek yang sedang digembala oleh orang kurus bongkok itu.

Ratusan ekor ular itu mengeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-binatang inilah yang mengeluarkan bau amis.....

Suara mendesis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu masih nampak lima orang lainnya lagi yang kesemuanya bersenjata tongkat.

Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam telah mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.

"Lan-moi, mari kita pergi!" katanya dan dia pun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

"Hendak lari ke mana kau?" bentak Hong Beng yang hendak mengejar, tetapi suhu-nya cepat berseru. "Hong Beng, jangan kejar!"

Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhu-nya yang masih memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Kini ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terlatih saja, mengepung tempat itu bagaikan barisan mengepung musuh.

Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggota Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda-mudi tadi sunguh-sungguh sudah bersekongkol dengan siluman betina yang menjadi sahabat dari orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi membela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.

Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang dahulu pernah mendengar dari suhu-nya bahwa suhu-nya juga mempunyai ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang pernah dipelajari dari ibu suhu-nya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia sendiri tak pernah mempelajari ilmu itu, tapi dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walau pun merasa jijik.

Dia melihat betapa sekarang semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti sedang mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar itu menggerak-gerakkan dua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Sengjin yang menggembala ular-ular itu. Dan sekarang ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!

Coa-ong Sengjin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain. Ia pun cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang juga membentuk tubuh ular yang mengangkat kepala, dengan tangan menjadi kepala ular. Ia mengerahkan seluruh ilmu pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya.

Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perintah yang mana di antara keduanya itu karena keduanya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu berlari simpang-siur, saling bertabrakan dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!

"Hoo-hoo, anak-anak bodoh... dengarkan aku, majulah... maju dan serang musuhku...!" Coa-ong Sengjin berteriak-teriak marah.

Tetapi karena ia berteriak-teriak, dengan sendirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular-ular itu pun buyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!

Coa-ong Sengjin menjadi marah bukan main. Dengan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan panjang, dan ular itu segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata adalah seekor ular senduk yang sangat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.

"Setan, siapakah engkau?" bentaknya.

Coa-ong Sengjin tentu saja tak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang digunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin untuk mengadu domba antara Sim Houw dan Bi Lan dengan pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya. Dia bersama teman-temannya tengah mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tiga belas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cinjin.

Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular itu untuk mengepung supaya dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan sekarang ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tampan yang pakaiannya indah ini!

Suma Ciang Bun memang sudah mengenal Coa-ong Sengjin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka dia pun terus terang menjawab dengan tenang. "Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng."

"She Suma...? Keluarga Pulau Es...?" Coa-ong Sengjin membentak dan empat orang temannya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.

Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya.

"Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!"

Dan dia pun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan!

Coa-ong Sengjin menerima ularnya kembali, tetapi ular itu segera dibantingnya karena dianggap tiada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan sebatang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Kiranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.

Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang sudah disimpannya tadi. Dua gulungan sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Sengjin yang terdiri dari tiga orang anggota Pek-lian-kauw dan seorang anggota Pat-kwa-kauw maju mengeroyok pula. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat ia maju menghadapi dan membantu gurunya.

Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang dengan mendesak lima orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Sengjin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tetapi, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sampai tiga puluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat kejadian ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyambar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.

Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. "Tak perlu mengejar musuh yang melarikan diri," katanya. "Kecali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu."

Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. "Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri."

Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wajah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya, "Hong Beng, apakah engkau mencinta gadis itu?"

"Gadis... gadis mana... apa maksud suhu?" Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biar pun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhu-nya, saking kagetnya dia menjadi gugup.

"Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?"

Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit, kemudian dia mengangguk. "Teecu tidak dapat berbohong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan."

"Dan menurut ucapan gadis itu tadi, hubungan kalian putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?"

"Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan tetapi ketika itu ia belum mencinta siapa pun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!"

Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.

"Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu. Bodoh sekali jika menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya ditolak."

Wajah Hong Beng menjadi merah. "Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tidak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wanita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw."

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi tadi ketika melawanku dia tidak berkelahi sungguh-sungguh."

"Ahh, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!" kata Hong Beng penasaran.

"Ban-tok-kiam...?" tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pedang itu.

"Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu adalah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."

"Apa...?!" Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak. "Kau maksudkan pedang milik... bibi Wan Ceng...? Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"

"Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu."

"Eh? Bukankah kau bilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?"

"Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu."

Ciang Bun menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Sungguh aneh sekali. Bagaimana mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi?"

"Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi pun telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi seorang wanita sesat."

"Jangan menuduh sembarangan lebih dahulu, Hong Beng. Bagaimana pun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka memang bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan."

Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi enci-nya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong. Selain untuk menjenguk kakaknya itu, juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pusaka itu untuk bertindak sesat…..

********************

"Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Di tengah pertandingan engkau sudah beberapa kali memaksaku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-sudah engkau selalu mempunyai alasan, dan kini apa lagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah menghadapi Hong Beng yang sombong itu, dan aku amat yakin engkau pun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itu pun tidak membuat aku menjadi jeri. Mengapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?" tanya Bi Lan dengan suara mengandung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.

"Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, tetapi engkau dan Hong Beng demikian bernapsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak semestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya karena salah paham dengan kita."

"Salah paham apa? Hong Beng menghinaku!" bentak Bi Lan marah.

Sim Houw tersenyum. "Dia tadi marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terhadap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Kemudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bukan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu..."

"Kenapa mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulangi perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek kalang-kabut seperti orang gila. Lalu tadi... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apanya, dia tidak berhak untuk cemburu!"

Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.

"Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi."

"Apa dia akan memaksa bahwa aku harus membalas cintanya? Phuhh, memang watak dia buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak marah-marah dan cemburu macam dia!"

Sim Houw tertarik sekali. "Siapakah dia itu, Lan-moi?"

Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan dia sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab, "Kun Tek juga menyatakan cintanya kepadaku dan kutolak!"

Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena dia teringat bahwa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, walau pun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pada pemuda Lembah Naga Siluman itu.

Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang dia pun sudah pernah menduganya. "Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?"

Bi Lan mengerutkan alisnya. "Habis, kalau aku tidak memiliki perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara mereka?"

Sim Houw menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi... apakah selama ini engkau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?"

Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia tersenyum. "Agaknya nasibku sama dengan engkau, Sim-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, aku pun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali aku pun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?" Dan gadis itu pun lari mendaki bukit di depan dengan cepat.

Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya semenjak pertama kalinya bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang merupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya.

Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang sangat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia melihat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta kepadanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkinkah seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya?

Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya telah tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pamannya! Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat mencinta seorang tua seperti dia?

Sukar untuk dapat dipercaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan cintanya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah dia tidak menyatakan cinta, akan disimpannya sebagai rahasianya sendiri saja, asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya ditolak oleh Kam Bi Eng.

Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka dia pun segera mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi sekali…..

********************

Bekas Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempah-rempah di kota Pao-teng, dikenal oleh hampir semua orang di kota itu. Dia bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan yang selalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu tinggi.

Apa lagi di kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia lima puluh tahun dan Suma Hui yang berusia empat puluh tahun itu, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan berusia tiga belas tahun yang diberi nama Kao Hong Li. Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki kepandaian silat yang luar biasa.

Ayah dan ibunya adalah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak ini masih kecil, ia telah digembleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika usianya tiga belas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekali pun, yang akan dapat mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li.

Di dalam usianya yang baru tiga belas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat bahwa ia akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga terlatih.

Matanya yang membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit kemanjaan dalam hatinya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihormati orang sedikit banyak mendatangkan ketinggian hati.

Ayah ibunya tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal mereka tinggi hati atau manja. Akan tetapi karena mereka menganggap Hong Li masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.

Peradaban dan kebudayaan sudah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila hormat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dijejali kebiasaan untuk mengagungkan nilai-nilai, mengejar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau melakukan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya.

Di sekolah pun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur dengan nilai-nilai. Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan.

Kita lalu menjadi orang-orang munafik dan palsu, yang mengejar pujian-pujian dengan segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita lalu berangkat dewasa menjadi manusia yang gila pujian dan gila hormat
.

Tidak mengherankan kalau Hong Li tidak terkecuali. Ia berangkat besar seperti anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang tidak terdapat pada diri orang lain.

Seperti orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal mereka tentang kebaikan agar anak mereka selalu berbuat kebaikan dan menjadi ‘orang baik’, selalu menjauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik. Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin membentuk anak mereka, bagai membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar supaya menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan dan peradaban kita.

Tetapi, dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih? Segala yang dapat dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pahala batiniah dan sebagainya?

Kebaikan yang sengaja dilakukan dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik, jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan tidak berbeda seperti usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu akan mengecewakan.

Misalnya, orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak membalas kebaikannya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa. Orang yang melakukan kebaikan, kemudian tidak menerima pujian bahkan dicela, tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan, bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya sekedar cara untuk menyenangkan hati sendiri memetik buahnya kelak!

Alangkah jauh beda hal ini dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih. Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pamrih apa pun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apakah perbuatannya itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan meneranginya.

Betapa lucunya namun sangat menyedihkan melihat betapa kita berlomba-lomba untuk menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seakan-akan kebaikan bisa dicapai melalui kepalsuan dan kemunafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa berlomba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perdamaian dengan senjata di tangan!

Kalau ada sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa perlu diusahakan sekali pun, kedamaian tentu sudah ada, karena tidak akan mungkin terjadi perang! Kalau ada cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbuatan yang kita anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih adalah suci!


Pada suatu sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu.

Hong Li baru saja menerima oleh-oleh sebatang pedang yang indah dari ayah ibunya yang baru saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka, namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan seorang anak perempuan. Gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya.

Dan kini, Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan orang anak-anak. Mereka itu adalah teman-teman bermain Hong Li, anak-anak tetangga. Memang, di dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas, tidak seperti orang-orang tua lain yang terkadang memperhitungkan derajat dan kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka.

Biar pun Cin Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan sekarang mereka hidup berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya bergaul bebas, Kao Cin Liong dan Suma Hui memang menyimpang dari kebiasaan umum.

Biasanya, orang-orang tua akan melarang anak perempuan mereka bergaul bebas, apa lagi setelah berusia tiga belas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak mereka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang sudah membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul dengan anak siapa saja, laki-laki mau pun perempuan.

Bagaimana pun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia (nona). Tentu saja hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.

"Bagus...! Bagus sekali...!"

"Kao-siocia seperti bidadari sedang menari!”

"Lihat, pedang itu seperti naga putih melayang-layang...!"

Pujian-pujian ini keluar dari mulut anak-anak yang saat itu sedang menonton Kao Hong Li memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil itu, dia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang, namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang ahli sekali pun.

Tidaklah mengherankan jika diingat bahwa Hong Li telah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biar gerakan pedangnya belum matang benar, dan tenaga sinkang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia masih kecil.

Setelah Hong Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.

"Ilmu pedang yang jelek sekali!"

Suara ini melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar ada orang mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak memuji.

Ketika anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat.

Maka, ketika melihat munculnya kakek gundul berjubah merah ini, Hong Li memandang dengan hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat, kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu muncul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.

"Kakek tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?" tanyanya dengan alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.

Kakek itu tertawa, suara ketawanya juga melengking tinggi dan halus. "Ha-ha-ha, bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha-ha!"

Tentu saja Hong Li menjadi makin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh dari ayah bundanya dan pedang itu semenjak kemarin telah menjadi pusat kekaguman teman-temannya, tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan diam-diam ia memperhatikan kakek itu.

Seorang kakek yang usianya enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus dan gerak-gerik lembut. Sepasang matanya bening seperti mata wanita dengan bulu mata yang panjang melengkung. Tidak dapat disangkal, wajah kakek berkepala gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.

"Kakek pendeta, engkau ini hwesio dari manakah? Kalau ada keperluan dengan orang tuaku, datang saja lagi besok pagi karena mereka sedang pergi.."

"Omitohud... aku memang tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan pedangmu yang jelek."

Hong Li menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menjadi kemerahan. "Engkau ini kakek pendeta yang sombong dan jahat. Apa salahku maka engkau datang-datang hendak menghina aku?"

"Ha-ha-ha, aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek."

"Kalau begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek ini?"

"Omitohud, tentu saja aku berani. Ilmu pedangmu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya patut untuk pamer dan berlagak saja."

Bukan main marahnya Hong Li mendengar ucapan pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum terhadap keluarganya, apa lagi terhadap ilmu silat keluarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina ilmu silatnya dan berani menantangnya.

"Kakek sombong, kalau begitu hadapilah pedangku ini!" bentaknya dan sekali melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.

"Ha-ha-ha, bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?" tiba-tiba kakek itu berkata sambil tertawa. Tangannya membuat gerakan ke arah pedang dan... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa yang berada di tangan Hong Li memang benar-benar setangkai bunga mawar, bukan pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!

Akan tetapi, Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu sihir. Hanya sebentar saja dia terkejut dan terbelalak, lalu dia mengerahkan sinkang-nya, memaksa diri untuk bertahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.

"Yang kutodongkan adalah pedang baruku! Siapa bilang bunga mawar?" bentaknya dan ia pun menggerak-gerakkan pedangnya.

Karena tentu saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, kemudian berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau pedang, tetap saja ia pergunakan untuk menyerang kakek kurus itu!

Dalam penglihatan belasan orang anak itu, nampak lucu sekali ketika melihat Hong Li menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bunga mawar! Akan tetapi, kakek itu sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main. Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li.

Menghadapi serangan-serangan gadis cilik itu, ia menggunakan kecepatan gerakannya. Tubuhnya melayang-layang dengan ringan dan lembut, seperti berubah menjadi sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung pedang yang sedang dimainkan Hong Li.

"Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!" tiba tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi ledakan keras.

Semua anak ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal dan menakutkan sekali. Ketika asap itu perlahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi. Mereka berdua telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang pergi bersama asap tebal.

Tentu saja anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang peristiwa lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan keluarga Kao yang mendengar laporan ini pun menjadi bingung dan ketakutan. Keadaan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li, namun tidak dapat menemukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi asap.

Keadaan menjadi semakin geger pada saat Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempah-rempah. Dua pekan sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah.

Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Tetapi, sampai semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada besok harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah. Suma Hui menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya membayangkan kedukaan dan kegelisahan yang mendalam. Akan tetapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, biar pun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.

"Tenangkan hatimu," katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. "Setidaknya kita boleh merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah dilakukannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya."

Suma Hui dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapakah yang menculik Hong Li? Dan kenapa? Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bahwa sebelum Hong Li dan kakek jubah merah itu lenyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu berkata, "Anak baik, engkau telah berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!"

Keterangan ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah melarikan Hong Li. Kata ‘berjodoh’ yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang menyembunyikan kejahatannya di balik kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar bersembunyi di balik pakaian seorang pembesar, penjahat-penjahat keji bersembunyi di balik pakaian pendeta-pendeta.

"Ang I Lama...? Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. "Siapakah dia dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga kita?" Ia memandang suaminya dengan harapan suaminya akan mengenal nama itu.

Akan tetapi semenjak tadi Kao Cin Liong juga terus mengerutkan alisnya dan memeras ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka, menjawab pertanyaan isterinya, dia pun menggeleng kepalanya.

"Aku tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untunglah bahwa dia meninggalkan sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada kalau bukan di Tibet?"

‘Brakkk…!” Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya. "Ahh, tentu saja!"

"Apa... maksudmu?" suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.

Isteri itu memandang suaminya. "Tentu masih ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul seorang pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kau pikir tidak ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?"

Suaminya mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal. Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan jelas di mana adanya Ang I Lama."

"Memang agaknya hanya itu jalannya dan marilah kita pergi sekarang saja. Aku tidak tahan berdiam di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita..." Dan kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya air mata.

Melihat ini, suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendungan air mata itu dan Suma Hui menangis tersedu-sedu di dada suaminya yang membiarkannya menangis untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawatir dan duka yang sejak malam tadi ditahan-tahannya.

Setelah kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat jauh dan makan banyak waktu.

Selagi mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang dan mereka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! Melihat adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan dia pun menubruk adiknya sambil menangis.

Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut sekali melihat ulah enci-nya. Enci-nya, setahunya, adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari pada dia sendiri. Kalau sekarang enci-nya sampai bersedih dan menangis seperti itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata enci-nya sudah bengkak-bengkak bekas banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat sekali.

"Enci Hui, engkau kenapakah? Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini berduka?" Karena enci-nya menangis makin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat muka memandang cihu-nya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.

Kao Cin Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma Ciang Bun, lalu mengajaknya duduk. "Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang Bun datang. Mungkin dia dapat membantu kita." Mendengar ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.

"Hong Li telah diculik orang...!"

Tentu saja Ciang Bun terkejut sekali. "Ah! Siapa penculiknya dan kapan terjadinya? Bagaimana dia berani melakukan hal itu?"

Kao Cin Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya. "Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li dengan mempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani Hong Li pada waktu itu." Lalu dengan singkat namun jelas, Kao Cin Liong menceritakan tentang peristiwa penculikan itu seperti yang didengarrya jari anak-anak.

"Ang I Lama...?" Suma Ciang Bun mengulang nama itu sambil mengerutkan alis.

"Bun-te, apakah engkau mengenal nama jahanam itu?" tanya Suma Hui penuh harapan.

Suma Ciang Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. "Seperti pernah kudengar nama itu, akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul di dunia kang-ouw..."

Pada waktu itu, Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu, memandang dengan sinar mata bercahaya. "Hong Beng, apakah kau mengenalnya?" Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng, bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah membantu untuk menghancurkan persekutuan yang mendukung Thai-kam Hou Seng.

"Ang I Lama... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama...?" Hong Beng berkata.

"Aku pun berpendapat demikian," Suma Hui berkata, "akan tetapi, di manakah adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?"

"Ahhh...! Sekarang aku ingat, enci Hui!" kata Suma Ciang Bun. "Aku pernah mendengar nama Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu Lama, karena Ang I Lama adalah salah seorang di antara para pimpinan pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi... menurut yang pernah kudengar, Ang I Lama termasuk pendeta Lama yang bersih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik keponakanku Hong Li."

"Siapa tahu hati orang? Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama? Mungkin atas dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang untuk membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak kami," kata Suma Hui.

"Benar, akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki lebih dulu secara cermat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak berdosa."

"Tentu saja. Sekarang pun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet, melakukan penyelidikan tentang Ang I Lama itu!"

"Perjalanan yang amat jauh dan sukar," kata Suma Ciang Bun.

"Jangankan baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekali pun, pasti akan kami kejar sampai dapat!" kata Suma Hui dengan gemas.

"Kalau begitu, biarlah kita membagi tugas," kata Suma Ciang Bun. "Enci dan cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini. Sedangkan Hong Beng biarlah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor."

"Ehh? Ada urusan apa ke sana?" Kao Cin Liong bertanya sambil memandang heran mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengunjungi tempat kediaman orang tuanya yang jarang dikunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.

Suma Cang Bun menarik napas panjang. "Sebenarnya kedatanganku ini untuk melapor kepada cihu tentang perbuatan sumoi-mu."

"Sumoi-ku? Sumoi yang mana?" Cin Liong bertanya heran.

"Bukankah cihu mempunyai seorang sumoi? Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah ibumu."

"Ah, maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu? Mengapa ia? Bukankah ia pantas sekali menjadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya saat menghadapi persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?"

"Ia telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia sudah membela dan membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuh banyak pemuda. Padahal, Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw mengeroyokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah mempergunakan pedang pusaka ibumu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal ini, ia dibantu pula oleh Pendekar Suling Naga yang lihai."

Mendengar ini, Kao Cin Liong mengerutkan alisnya. "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu. Ia membawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami." Suma Hui diam saja tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.

"Sayang kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu," kata Suma Hui dengan hati-hati karena ia khawatir kalau suaminya akan membatalkan niatnya mencari Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancamnya nama baik keluarganya.

"Biarlah saya yang akan pergi menghadap Kao locianpwe di Istana Gurun Pasir untuk melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama," kata Hong Beng dengan cepat.

"Ah, kalau begitu baik sekali!" Suma Hui berseru girang, memandang kepada suaminya.

Cin Liong juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima kasih. Tidak disangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini tenang dan tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan yang mendatangkan duka dan kekhawatiran.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar