Suling Naga Jilid 41-45

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Suling Naga Jilid 41-45 Walau pun baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing.

Walau pun baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing. Kao Cin Liong dan Suma Hui berangkat menuju ke Tibet untuk mencari Ang I Lama dan puteri mereka, sedangkan Suma Ciang Bun pergi mencari jejak pendeta Lama yang melarikan keponakannya. Hong Beng sendiri juga berangkat menuju ke utara, untuk berkunjung ke Istana Gurun Pasir untuk menghadap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Kedukaan dan kekhawatiran terbayang di wajah mereka, terutama sekali di wajah Kao Cin Liong dan Suma Hui.

Di dalam hati yang selalu mengejar kesenangan, pasti akan sering kali dikunjungi oleh kesusahan. Tidak mungkin merangkul suka tanpa menyentuh duka, karena suka dan duka adalah sama. Sama-sama menjadi ciptaan pikiran sendiri.

Yang mengandung suka atau duka bukanlah si peristiwa, melainkan pikiran kita sendiri dalam menanggapi peristiwa yang terjadi. Kalau kita dalam menghadapi segala macam peristiwa seperti apa adanya tanpa menghendaki hal-hal yang lain, tanpa menjangkau kesenangan atau mengelak kesusahan, maka yang ada hanyalah kewajaran yang tidak mendatangkan duka apa pun.

Seperti orang menghadapi panas terik matahari, tanpa mengeluh kita lalu menggunakan akal budi untuk berteduh, dan seperti orang menghadapi malam gelap dan dingin, kita pun tidak mengeluh melainkan menggunakan kebijaksana untuk membuat penerangan di dalam gelap dan mempergunakan sarana untuk berlindung dari kedinginan. Tanpa susah atau senang dan kalau sudah begitu, di dalam kegelapan mau pun kepanasan malam dan siang kita dapat melihat keindahan di luar penilaian…..

********************

Kao Hong Li membuka sepasang matanya dan ia merasa bagaikan dalam mimpi. Ia terbangun dan tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah membuka kedua matanya, anak yang cerdik ini memutar otaknya, mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan peristiwa aneh yang dialaminya.

Mula-mula yang teringat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara kawan-kawannya, di dalam kebun, disambut pujian para kawannya. Kemudian kemunculan kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di antara awan-awan. Lalu ia pun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!

Ingatan ini mengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li masih belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia rebah terlentang di atas sebuah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu terletak di sudut ruangan ini.

Sebuah kamar dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan daun pintu rusak dan terbuka di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan. Tidak nampak ada orang di situ, hanya ia sendirian saja di atas dipan. Ia telah dilarikan oleh kakek itu ke sini, pikirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri.

Hong Li mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya bisa digerakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanya pun tidak terasa pening. Ia dalam keadaan sehat. Dicarinya pedangnya. Tapi tidak nampak di situ. Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perlahan-lahan agar jangan mengeluarkan suara, lalu berindap-indap melangkah menuju ke pintu yang daunnya terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu.

Agaknya di luar, senja telah mendatang, namun matahari masih meninggalkan sisa cahayanya sebelum dia menghilang sama sekali. Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar. Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutan lebat. Ia harus cepat melarikan diri!

Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar, suara Ang I Lama yang menculiknya! "Aha, anak baik, engkau sudah bangun?"

Hong Li cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata kakek itu berada di dalam kamar itu! Pada hal tadi tidak nampak seorang pun di situ. Ah, tentu kakek ini telah menggunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya, pedang barunya yang indah.

"Aha, mencari pedangmu? Inilah pedangmu, terimalah!" Dia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkannya kepada Hong Li. Gadis cilik itu cepat menyambar pedangnya, pedang barunya, lalu mengambil sikap untuk menyerang.

"Anak baik, untuk apa engkau mencari pedangmu?"

"Untuk membunuhmu, kakek jahat!" bentak Hong Li. Ia pun menggerakkan pedangnya, menyerang dengan marah dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.

"Ha-ha, pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kau boleh tusuk perutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak."

Hong Li menerjang maju, menggerakkan pedangnya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Dan pada saat ujung pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati dingin seperti itu.

"Oho, kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?" kakek itu tertawa.

"Lawanlah, jangan diam saja!" bentak Hong Li.

Kakek itu terbelalak, memandang heran, lalu tertawa. "Ha-ha, keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku melawan sekarang, hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada gunanya!"

Kakek itu kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendului dengan tusukan pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena bukankah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.

"Wuuutt... krekkk...!"

Kao Hong Li terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti menusuk segumpal baja saja dan pedangnya sekarang patah-patah menjadi tiga potong! Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia marah sekali. Dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangannya yang terkepal.

"Heh-heh-heh, engkau setan cilik yang nakal!"

Kini Hong Li mengalami hal yang membuatnya semakin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang menahannya dari depan sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu! Betapa kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan tenaga itu dan tubuhnya bahkan terdorong ke belakang.

Setelah beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri terdiam dan hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam penuh kemarahan. Ia tahu bahwa kakek itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikit pun juga.

"Kakek jahat, engkau pengecut besar!" tiba-tiba ia membentak.

Kakek itu yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong itu. "Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut besar?"

"Kalau engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak kecil! Kalau engkau memang gagah dan mempunyai kepandaian, tentu engkau akan menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau melarikan diri sampai terkencing-kencing. Huh, pengecut besar tak tahu malu!"

Akan tetapi kini kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, dan engkau setan cilik sangat gagah berani, benar-benar mengagumkan sekali. Engkau memang berjodoh dengan pinceng, anak baik. Namamu Kao Hong Li, bukan? Heh-heh, dan aku bernama Ang I Lama. Engkau lihat sendiri, kepandaianku setinggi langit dan engkau beruntung sekali dapat ikut bersamaku!"

"Huh, kepandaianmu tidak ada artinya kalau engkau berani melawan ayah dan ibuku!" Hong Li berseru mengejek, pada hal di dalam hatinya dia meragu apakah ayah dan ibunya akan mampu menandingi kakek yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai ilmu sihirnya ini.

Menurut penuturan ibunya, kakek buyutnya yang bernama Suma Han berjuluk Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, selain sakti juga memiliki ilmu sihir yang amat hebat. Juga nenek Teng Siang In, isteri dari paman kakeknya yang bernama Suma Kian Bu dijuluki Pendekar Siluman Kecil, memiliki juga kekuatan sihir. Sayang ibunya sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir dan hanya ahli dalam hal ilmu pawang ular yang pernah ia pelajari sedikit itu.

Karena kakek itu hanya tertawa saja dan tak menjawab, Hong Li lalu bertanya, suaranya masih terdengar ketus akan tetapi sedikit pun ia tidak memperlihatkan perasaan takut, "Kakek jahat, engkau bernama Ang I Lama, seorang pendeta yang mestinya melakukan kebaikan di dunia ini. Akan tetapi kenapa engkau menculik aku tanpa sebab?"

"Ha-ha-ha, sebabnya karena aku suka kepadamu, Kao Hong Li. Engkau akan menjadi muridku dan menemani hidupku yang sunyi."

"Hemm, kakek jahat, ke mana engkau hendak membawaku?" Hong Li mulai merasa ngeri, membayangkan bahwa ia selanjutnya harus hidup bersama kakek mengerikan ini.

"Ke mana lagi kalau tidak ke Tibet?"

"Tidak, aku tidak mau!" kata Hong Li. "Biar engkau akan membunuhku sekali pun, aku tidak sudi menjadi muridmu, juga tidak sudi ikut bersamamu!" Setelah berkata demikian, Hong Li lalu meloncat keluar dari ruangan itu melalui pintu yang terbuka. Ia bermaksud melarikan diri dengan nekat.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu berkata di depannya, "Hong Li, aku di sini!" Dan tahu-tahu kakek itu telah menghadang di depannya.

Hong Li menengok dan dengan mata terbelalak melihat bahwa kakek tadi masih berada di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin kakek itu berubah menjadi dua orang? Ia lalu memutar tubuh ke kiri untuk melarikan diri melalui lorong di depan kamar, akan tetapi kembali terdengar suara kakek itu.

"Hong Li, aku berada di sini!" Dan di depannya kembali sudah menghadang kakek itu.

Pada waktu dia menengok, ternyata kakek yang berada di dalam kamar mau pun yang pertama kali menghadangnya masih tetap berada di tempat masing-masing. Dengan demikian, kini ada dua orang kakek yang sama! Ia memutar tubuh lagi dan kembali melihat munculnya seorang kakek lain yang sama sehingga sebentar saja ia sudah dikepung oleh banyak orang kakek yang sama!

Hong Li dapat menduga bahwa ini tentu permainan sihir, maka dengan nekat pula ia menerjang ke depan.

"Ha-ha-ha, anak keras kepala berhati baja. Engkau memang nakal!"

Dan tiba-tiba Hong Li merasa banyak tangan menangkapnya sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. Kemudian, kakek itu mengikat kaki tangannya dengan ikat pinggang, lalu memondong tubuhnya dan melemparkannya pula ke atas dipan yang tadi dan sama sekali tidak mampu bergerak karena ikatan kaki tangannya itu kuat sekali. Dan kini ia melihat bahwa kakek yang tadinya banyak itu kembali menjadi seorang saja.

Kakek itu berdiri di dekat dipan sambil menyeringai. "Heh-heh, bagaimana, anak nakal. Apakah engkau sekarang sudah menyerah dan mau ikut bersamaku dengan suka rela?"

"Tidak sudi!" Hong Li membentak, masih galak walau pun kaki tangannya tidak mampu bergerak lagi.

"Engkau memilih mati?"

"Ya! Aku tidak takut mati!" kata Hong Li dengan gagah.

Kakek itu memandang kepada Hong Li dengan sinar mata-penuh kagum. "Bagaimana kalau sebelum mati kusiksa dulu? Engkau berani menghadapi siksaan?"

"Tidak perlu cerewet lagi! Mau bunuh, mau siksa, terserah, akan tetapi aku tidak sudi menyerah!"

"Huh, bocah tak tahu disayang! Biar kuberi engkau waktu semalam lagi untuk berpikir panjang. Besok aku datang lagi dan kalau engkau tetap menolak, aku akan menyiksamu sampai engkau merasa menyesal telah pernah dilahirkan di dunia ini!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap dari situ.

Hong Li rebah seorang diri dan setelah kakek itu pergi, barulah ia merasa ngeri kalau membayangkan betapa ia akan disiksa sampai mati pada besok hari kalau ia tidak mau menyerah. Tidak, ia harus dapat melarikan diri, pikirnya. Ia tidak sudi menyerah, juga tidak ingin mati konyol.

Mulailah ia berusaha menggerakkan kaki tangannya untuk melepaskan ikatan, namun sia-sia saja. Ikatan itu terlalu kuat sehingga kedua kaki tangannya sama sekali tidak mampu berkutik. Ia teringat kepada ayah ibunya dan tak terasa lagi, dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Sekarang, setelah ditinggalkan kakek itu, ia mulai merasa ketakutan.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya kalau ia membayangkan siksaan yang tak dapat ia perkirakan. Kakek itu terlalu kejam, terlalu jahat. Entah siksaan apa yang akan diterimanya. Kalau ia dibunuh seketika, hal itu tidak ditakutinya, akan tetapi kalau ia disiksa perlahan-lahan, sungguh hal ini amat menakutkan.

Akan tetapi menyerah menjadi murid kakek itu? Tidak, dia tidak sudi! Kakek itu terlalu jahat. Dan kalau ia menolak, ia akan di siksa sampai mati. Tidak, ia belum ingin mati, tidak mau mengalami derita siksaan.

Sampai lewat tengah malam, Hong Li diombang-ambingkan oleh perasaan kebencian dan takut kepada kakek itu. Menyerah salah, menolak juga salah. Ia bingung sekali dan kalau saja sejak kecil ia tidak digembleng sehingga memiliki semangat dan kegagahan, tentu anak yang baru berusia tiga belas tahun ini sudah menangis atau menjerit-jerit. Tetapi tidak, Hong Li hanya diam saja, hanya ada beberapa butir air mata membasahi pipinya dan ia menggigit bibirnya untuk mencegah tangis dan jeritannya.

Tiba-tiba ada gerakan di pintu. Jantung di dalam dada Hong Li berdebar-debar penuh ketegangan. Apakah kakek jahat itu sudah akan memulai dengan siksaannya pada hal malam belum lagi lewat? Hong Li merasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang saking ngerinya, Akan tetapi, yang muncul bukanlah kakek Ang I Lama yang dibencinya, melainkan seorang wanita cantik!

Usia wanita itu sebaya dengan ibunya akan tetapi pakaiannya mewah sekali. Tubuhnya tinggi ramping dan rambutnya digelung ke atas dengan dihias permata dan emas yang indah. Pakaiannya dari sutera tipis berwarna merah muda dan biru. Walau pun usianya tentu ada empat puluh tahun, namun wanita itu masih nampak muda, dengan sepasang mata yang lebar dan tajam.

Begitu masuk kamar dan melihat Hong Li memandangnya, wanita itu menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai tanda agar Hong Li tidak mengeluarkan suara berisik. Hong Li diam saja, memandang dengan heran, namun juga dengan penuh harapan. Mudah diduga dari sikapnya bahwa kedatangan wanita asing ini tentu bermaksud baik terhadap dirinya.

Ketika wanita itu menghampiri pembaringan. Hong Li mencium bau yang harum seperti bunga mawar dan begitu wanita itu tersenyum kepadanya, ia merasa suka sekali pada wanita ini. Seorang wanita cantik yang ramah, dan tentu datang untuk menolongnya, pikirnya.

"Bibi, engkau siapakah?"

"Sstttt...!" Wanita itu mendesis lirih. "Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi aku harus dapat mengalahkan dulu Ang I Lama..."

Hong Li memandang terbelalak, kagum. "Dapatkah engkau mengalahkan dia, bibi?" tanyanya, penuh keraguan mengingat akan kesaktian pendeta Lama yang menculiknya itu. "Tidakkah lebih baik bibi membebaskan aku, lalu kita melarikan diri selagi dia tidak berada di sini?"

Wanita itu menggeleng kepalanya. "Engkau tidak tahu siapa Ang I Lama. Dia akan mengejar dan akhirnya aku harus berhadapan dengan dia pula. Tidak, aku harus lebih dahulu mengalahkan dia, baru aku akan dapat membebaskanmu. Engkau bernama Kao Hong Li, ayahmu Kao Cin Liong putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan ibumu cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bukan?"

Hong Li mengangguk, tidak merasa heran kalau wanita ini mengenal ayah ibunya, karena ia tahu bahwa nama ayah dan ibunya terkenal sekali di dunia kang-ouw.

"Aku suka dan kagum kepadamu. Engkau tabah dan berani, engkau keturunan para pendekar dan keluarga yang sangat terkenal. Dan aku akan menghadapi Ang I Lama dengan taruhan nyawa untuk menolongmu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku minta engkau ingat akan pertolonganku dan membalas budi, bukan?"

Kembali Hong Li mengangguk. Kalau wanita ini berani menandingi Ang I Lama dengan mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, tentu saja ia berhutang budi dan nyawa kepadanya. "Aku akan berterima kasih sekali, bibi."

Wanita itu tersenyum. Manis sekali dia kalau lagi tersenyum. "Apa gunanya terima kasih untukku? Dengar, Hong Li. Aku akan menandingi Ang I Lama dan kalau aku berhasil mengalahkannya, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi, untuk itu aku minta engkau berjanji bahwa engkau akan mengangkat aku sebagai ibu dan guru."

"Ehh, mengapa sebagai ibu?" Hong Li terheran.

"Aku... aku merindukan seorang anak dan engkau pantas menjadi anak angkatku, Hong Li. Nah, maukah engkau?"

"Menjadi anak angkat dan murid?"

"Bukan itu saja. Engkau harus berjanji mengangkat aku sebagai ibu dan guru, kemudian juga bahwa selama lima tahun engkau akan hidup bersamaku, mempelajari ilmu dan menemani aku sebagai ibu angkatmu."

Hong Li merasa bimbang. Permintaan yang aneh-aneh. Akan tetapi wanita ini hendak mempertaruhkan nyawa menolongnya dan kalau benar dapat mengalahkan Ang I Lama, memang wanita ini patut menjadi gurunya. Juga apa salahnya mengangkat seorang wanita baik yang menyelamatkannya sebagai ibu?

"Hanya itu?" ia bertanya lagi.

"Hanya itu, juga engkau harus berjanji bahwa selamanya, melindungi aku dari gangguan dan serangan siapa pun juga."

Tentu saja permintaan terakhir ini tidak berat, bahkan tanpa diminta sekali pun, siapa yang takkan melindungi dan membela ibu angkatnya dari serangan orang lain? Kembali ia mengangguk.

"Baiklah, aku berjanji..."

"Hong Li, urusan ini bukan main-main, melainkan persoalan hidup atau mati bagiku, juga menyangkut kebahagiaan hidupku selanjutnya, karena itu, tidak cukup engkau berjanji. Bersumpahlah!"

Kembali Hong Li terkejut. Selamanya belum pernah dia bersumpah, dan permintaan wanita ini agar ia bersumpah mengejutkannya dan membuatnya bimbang. Tetapi hanya untuk sebentar saja. Janji dan sumpahnya untuk sesuatu yang baik, apa salahnya kalau ia akan diselamatkan dan ditolong oleh wanita ini.

"Baiklah, subo (ibu guru). Saya bersumpah, kalau subo dapat membebaskan aku dari tangan Ang I Lama, aku akan mengangkatmu sebagai ibu dan juga sebagai guru, dan aku akan membela dan melindungimu dari gangguan siapa pun juga!"

Wanita itu nampak girang bukan main, membungkuk dan mencium pipi Hong Li dengan bibirnya. "Anakku sayang, muridku yang hebat! Kau tunggu saja di sini supaya jangan mendatangkan curiga, sementara engkau rebah dalam keadaan terikat dulu. Aku akan menghadang Ang I Lama di luar dan aku akan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenagaku untuk mengalahkannya." Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat dan lenyap dari dalam kamar itu.

Hong Li termenung. Hatinya diliputi kebimbangan. Memang, dari gerakannya pada saat meloncat atau menghilang tadi, ia bisa mengetahui bahwa wanita yang belum diketahui namanya itu memiliki kepandaian tinggi. Tetapi, mampukah wanita itu mengalahkan Ang I Lama yang demikian saktinya? Apa lagi kalau diingat bahwa Ang I Lama memiliki ilmu sihir, ia bergidik.

Andai kata saja wanita cantik itu mempunyai ilmu silat tinggi seperti ibunya dan mampu menandingi Ang I Lama dalam perkelahian, akan tetapi bagaimana kalau kakek Tibet itu mempergunakan ilmu sihir? Kalau wanita itu sampai kalah dan tertawan, terluka atau bahkan terbunuh, ia akan merasa semakin menyesal karena berarti bahwa kematian wanita itu adalah karena membelanya!

Waktu terasa merayap lambat sekali bagi Hong Li yang tenggelam dalam ketegangan semenjak munculnya wanita cantik itu. Ia bahkan terkejut ketika muncul Ang I Lama dari pintu. Kakek itu menjenguknya, lalu tertawa melihat betapa dia masih rebah terlentang dengan kaki tangan terikat.

"Ha-ha-ha, sudah cukupkah engkau merenungkan nasibmu? Nanti jika matahari mulai memasukkan sinarnya melalui jendela itu, aku akan datang dan minta keputusanmu, apakah engkau mau menyerah ataukah memilih mati tersiksa. Ha-ha-ha!" Ang I Lama lalu keluar lagi sambil tertawa.

Tiba-tiba saja perhatian Hong Li tertarik oleh suara yang terdengar dari luar kamar itu. Terdengar suara gedebugan dan gerakan orang berloncatan, disusul bentakan Ang I Lama, "Sin-kiam Mo-li, berani engkau menyerangku?"

Kemudian terdengar jawaban yang mendebarkan hati Hong Li sebab ia mengenal suara wanita cantik tadi. "Ang I Lama, tinggalkan tempat ini dan biarkan aku yang mengurus Kao Hong Li karena ia berjodoh untuk menjadi anak angkatku!"

"Ha-ha-ha, Sin-kiam Mo-li, apakah engkau hendak mengantar kematianmu maka berani mencampuri urusanku? Nah, terimalah kematianmu!"

Kembali terdengar suara gedebugan. Hong Li dengan mata terbelalak dan hati berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran mendengar gerakan orang yang sangat ringan dan cepat. Juga lalu terdengar suara berdesing-desing. Ia menduga bahwa yang bersenjata pedang itu tentulah Sin-kiam Mo-li karena bukankah julukannya itu sudah menunjukkan bahwa wanita itu merupakan seorang ahli pedang.

Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Berpedang Sakti), julukan yang mengerikan. Kenapa wanita secantik dan sebaik itu dijuluki Iblis Betina, pikir Hong Li dengan penasaran. Diam-diam ia berdoa agar wanita itu memperoleh kemenangan dalam perkelahian yang terjadi di luar kamar itu.

Tak lama kemudian, di antara suara gerakan orang bersilat itu, terdengar seruan Ang I Lama, "Kiam-sut-mu hebat juga. Akan tetapi lihat, apakah ini?"

Dan terdengarlah suara ledakan-ledakan yang mengejutkan hati Hong Li karena anak itu maklum bahwa tentu pendeta Lama itu sudah mempergunakan ilmu sihirnya. Dia memandang khawatir sekali ke arah pintu dan melihat asap putih mengepul di luar pintu itu. Celaka, pikirnya, mampuskah Sin-kiam Mo-li menghadapi ilmu sihir yang aneh itu?

Akan tetapi, terdengar suara ketawa lembut wanita itu. "Hemm, Ang I Lama, permainan sihirmu ini hanya merupakan permainan kanak-kanak bagiku." Kembali terdengar suara gedebugan, disusul suara Ang I Lama berteriak seperti orang kesakitan.

"Ahhhh. engkau benar lihai...!" Dan suara perkelahian itu pun terhenti, tanda bahwa di luar kamar tidak ada lagi orang berkelahi.

Hong Li sampai merasa pedas pada matanya karena sejak tadi ia memandang ke arah pintu dengan mata terbelalak, tidak pernah berkedip, dengan hati tegang. Ia tidak tahu bagaimana kesudahan perkelahian itu, akan tetapi mendengar suara-suara mereka tadi, ia merasa yakin bahwa penolongnya tidak kalah meski pendeta Tibet itu menggunakan ilmu sihir. Dugaannya terbukti kebenarannya ketika ia mendengar langkah kaki halus dan muncullah Sin-kiam Mo-li di ambang pintu. Sinar lampu yang tidak begitu cerah menimpa wajah yang nampak cantik itu dan wanita itu tersenyum.

"Subo, kau menang...! Hong Li berseru.

Wanita itu semakin girang. Sejak bersumpah, anak ini telah menyebutnya subo! Ia lalu melangkah menghampiri dipan.

"Subo, bagaimana engkau bisa melawan ilmu sihirnya?”

Wanita itu memperlebar senyumnya. "Sihir merupakan permainan kanak-kanak bagiku, Hong Li. Lihat ini!" Ia menggerakkan kedua tangannya ke arah tangan dan kaki Hong Li dan... ikatan pada pergelangan tangan dan kaki anak itu pun putus-putus dan Hong Li bebas seketika!

Dengan girang dan kagum sekali Hong Li bangkit dari pembaringan, kemudian, sebagai seorang anak angkat dan murid yang tahu diri, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu. "Subo, terima kasih atas pertolonganmu!"

Sin-kiam Mo-li merangkul Hong Li dan mengangkatnya bangun. Hong Li memandang wanita itu dengan wajah berseri.

"Ahh, subo tentu lihai sekali mempergunakan pedang-pedang itu." Ia menuding ke arah sepasang pedang yang berada di punggung Sin-kiam Mo-li. Sebatang pedang pendek dan sebatang pedang panjang. "Mengingat akan julukan subo, Sin-kiam Mo-li, tentu subo merupakan ahli pedang yang hebat!"

Wanita itu mengangguk-angguk. "Hong Li, engkau takkan kecewa menjadi anak angkat dan muridku."

Tiba-tiba teringatlah Hong Li bahwa dia sudah bersumpah mengangkat guru dan ibu kepada wanita ini, dan selama lima tahun ia akan ikut dengan wanita ini, bahkan berjanji akan membela dan melindunginya kelak selama hidupnya. Teringatlah dia akan orang tuanya sendiri dan tiba-tiba saja ia menjadi bingung.

Sin-kiam Mo-li memiliki pandang mata yang tajam. Ia melihat kebimbangan menyelimuti wajah anak itu, maka ia pun bertanya sambil mengerutkan alisnya, "Ada apakah, Hong Li?"

Hong Li adalah seorang anak yang berwatak jujur. Ia memandang wajah gurunya dan berkata, "Subo, tiba-tiba saja aku teringat kepada ayah ibuku. Memang benar bahwa aku telah berjanji dan bersumpah kepadamu, dan aku juga akan memenuhi janjiku, selain mengangkatmu sebagai ibu dan guru, juga ikut bersamamu selama lima tahun dan kelak aku akan membela dan melindungimu. Akan tetapi, subo harus tahu bahwa orang tuaku tentu kehilangan aku dan sekarang mencari-cariku. Bagaimana kalau subo membawa aku lebih dulu pulang untuk berpamit kepada orang tuaku? Aku pasti akan memenuhi janjiku, aku hanya tidak ingin membuat mereka berkhawatir dan berduka."

Akan tetapi Sin-kiam Mo-li menggeleng kepalanya. "Hong Li, permintaanmu ini tentu saja tidak mungkin dapat kupenuhi. Bayangkan saja. Kalau kita bertemu dengan ayah ibumu, apakah engkau kira mereka akan mengijinkan aku pergi membawamu? Dan aku tidak ingin bentrok dengan mereka karena memperebutkan engkau, Hong Li.”

Hong Li dapat mengerti akan alasan subo-nya. "Akan tetapi, bagaimana jika pada suatu hari ayah ibuku dapat menemukan kita, subo?"

"Mungkin saja, karena mereka orang-orang yang lihai. Dan kalau terjadi hal itu, tentu mereka akan memaksa untuk membawamu pergi, dan aku akan mempertahankan. Dan kalau sudah begitu, aku hanya mengharapkan kebijaksanaanmu dan kejujuranmu juga kesetiaanmu akan janji dan sumpahmu."

"Jangan khawatir, subo" kata anak perempuan itu dengan sikap gagah. "Aku tadi sudah berjanji dan bagiku, janji adalah kehormatan. Seorang gagah akan lebih mengutamakan kehormatan dari pada nyawa. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu juga tak ingin melihat anak mereka menjadi seorang pengkhianat yang melanggar sumpahnya sendiri!"

"Bagus, anakku yang baik dan muridku yang hebat, kelak engkau akan sangat berguna bagiku. Aku girang sekali telah menolongmu, Hong Li. Mari ikutlah aku, kita pulang."

"Pulang?"

"Ya, pulang." Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Kau kira aku tidak mempunyai tempat tinggal? Marilah, dan engkau pasti akan merasa senang sekali tinggal di rumahku, eh, sekarang menjadi rumah kita."

Akan tetapi, ternyata bahwa mereka harus melakukan perjalanan sampai puluhan hari untuk dapat tiba di tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, oleh karena tempat itu berada di tepi Sungai Cin-sa di kaki Pegunungan Heng-tuan, di tapal batas sebelah barat dari Propinsi Secuan…..

********************

Dengan melakukan perjalanan yang cepat dan amat jarang berhenti, Kao Cin Liong dan Suma Hui akhirnya tiba juga di Lhasa, di kota terbesar daerah Tibet itu, tempat yang menjadi pusat dari pemerintahan para Dalai Lama, juga menjadi pusat para pendeta Lama. Tempat ini dianggap keramat oleh para pendeta Lama dan oleh seluruh rakyat di Tibet.

Kao Cin Liong adalah seorang yang sudah banyak pengalaman. Pada saat dia masih menjadi seorang panglima kerajaan, dia pernah memimpin pasukan sampai di Tibet, dan sebagai seorang panglima, dia amat dikenal di jaman itu. Maka, kini dia memasuki daerah Tibet tanpa merasa asing.

Isterinya, Suma Hui yang belum pernah melihat kota Lhasa, memandang penuh kagum dan diam-diam merasa khawatir. Tembok kota Lhasa demikian kokoh kuat, dan istana yang menjadi pusat para pendeta Lama itu demikian megah, besar dan indah. Kalau puterinya berada di dalam istana itu, bagaimana dia akan mampu mengeluarkannya? Namun ketenangan suaminya menimbulkan kembali kepercayaan diri dan keyakinannya bahwa mereka berdua pasti akan dapat menemukan dan membawa pulang puteri mereka tercinta, anak tunggal mereka.

Para pendeta Lama yang menjadi pimpinan di situ, banyak di antaranya yang mengenal bekas Panglima Kao Cin Liong dan mereka pun menyambut kunjungan suami isteri itu dengan hormat dan ramah. Suami isteri pendekar itu tak mau menceritakan kehilangan anak mereka. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka memiliki urusan pribadi yang penting dengan seorang pendeta Lama berjuluk Ang I Lama.

"Mohon petunjuk para suhu apakah di sini terdapat seorang suhu yang berjuluk Ang I Lama, karena kami berdua sengaja datang dari jauh untuk mencarinya, untuk suatu urusan pribadi yang penting antara suhu Ang I Lama dan kami," demikian antara lain Kao Cin Liong menyatakan keperluan kunjungan mereka di tempat suci itu.

"Omitohud... aneh sekali kalau ada tamu mencari Ang I Lama untuk urusan pribadi, karena setahu kami, sudah hampir dua tahun Ang I Lama mengasingkan diri dan tidak pernah berurusan deugan dunia luar. Akan tetapi kalau taihiap ingin mengetahui tempat tinggalnya, Ang I Lama kini berada di dalam goa di puncak Bukit Beruang Putih, tidak jauh dari sini."

Suma Hui tidak dapat menahan keinginan tahunya. Setelah suaminya mengucapkan terima kasih atas keterangan itu, ia pun bertanya, "Cu-wi losuhu, kalau tidak salah, suhu Sai-cu Lama juga berasal dari sini, bukan?"

Mendengar pertanyaan ini, para pendeta Lama saling pandang dan muka mereka lalu berubah menjadi kemerahan.

"Omitohud...!" Seorang di antara mereka menjura ke arah Suma Hui. "Semoga Sang Buddha mengampuni kami. Memang benar, lihiap, Sai-cu Lama berasal dari sini. Akan tetapi dia sudah murtad dan untung ada Tiong Khi Hwesio yang menolong kami dan menundukkannya. Sahabat kami Tiong Khi Hwesio sudah mengunjungi kami beberapa hari yang lalu dan sudah menceritakan bahwa dia berhasil melenyapkan Sai-cu Lama berkat bantuan para pendekar dan di antara mereka yang membantu untuk membasmi komplotannya termasuk ji-wi. Karena itu, dalam kesempatan ini, pinceng mewakili para saudara kami sekalian menghaturkan terima kasih kepada ji-wi."

Kao Cin Liong dan isterinya cepat membalas penghormatan itu, dan bekas panglima itu merasa tidak enak melihat sikap para pendeta Lama yang menjadi kikuk ketika disebut nama Sai-cu Lama yang dianggap mengotorkan nama para pendeta Lama di Tibet.

"Harap cuwi losuhu memaafkan kami. Isteriku menyebut nama Sai-cu Lama sebab kami menduga bahwa ada hubungan antara Sai-cu Lama dan Ang I Lama." Dengan ucapan ini, Cin Liong sengaja memancing keterangan tentang kedua orang pendeta Lama itu.

"Omitohud... dugaan ji-wi memang tepat sekali, Ang I Lama adalah sute dari mendiang Sai-cu Lama, akan tetapi biar pun mereka itu saudara seperguruan, sungguh perbedaan antara mereka seperti bumi dengan langit. Sai-cu Lama menyeleweng dari kebenaran dan tersesat mengingkari ajaran-ajaran agama, sebaliknya Ang I Lama adalah seorang yang benar-benar taat kepada agama, bahkan selalu prihatin dan bertapa untuk mencari penerangan dan kedamaian."

Akan tetapi, keterangan bahwa ada hubungan saudara seperguruan antara dua pendeta Lama itu, menambah keyakinan hati suami isteri itu bahwa mereka telah menemukan jejak yang benar. Tentu Ang I Lama menculik puteri mereka karena hendak membalas dendam atas kematian suheng-nya, Sai-cu Lama pikir mereka. Mereka tahu bahwa dendam dapat saja membutakan mata batin manusia, dan bukan tidak mungkin kalau Ang I Lama yang katanya tekun bertapa itu tidak dapat menahan dendam sakit hatinya.

Setelah memperoleh keterangan dan petunjuk tentang tempat tinggal atau tempat Ang I Lama bertapa, suami isteri pendekar itu kemudian menghaturkan terima kasih dan pergi meninggalkan istana para pendeta Lama di kota Lhasa itu, dan dengan cepat mereka mendaki bukit yang bernama Bukit Beruang Putih karena dari jauh memang bentuknya bagai seekor beruang. Di musim dingin, puncak itu diliputi salju sehingga nampak bagai seekor beruang putih, dan di musim panas, masih nampak putih karena puncaknya adalah batu kapur yang gundul.

Hari telah siang ketika suami isteri itu akhirnya tiba di depan goa besar, sebuah goa di puncak bukit kapur dan goa itu sudah memakai pintu kayu buatan manusia. Sunyi sekali di situ dan pemandangan alam dari depan goa memang amat indahnya. Nampak dari situ kota Lhasa, bahkan istana para pendeta Lama juga nampak dari situ, kelihatan seperti mainan saja, namun amat indahnya.

Suma Hui berkeringat karena hatinya merasakan tegang. Ia membayangkan akan dapat menemukan puterinya di dalam goa itu, maka hatinya terasa tegang bukan main. Masih selamatkah puterinya? Dan akan mampukah ia dan suaminya merampas kembali puteri mereka kembali?

Menurutkan dorongan hatinya, ingin Suma Hui menerjang dan menghancurkan pintu goa itu. Namun suaminya yang maklum akan keadaan hati isterinya, menggelengkan kepalanya memberi isyarat, lalu dia sendiri mendekati pintu kayu yang tertutup dan berkata dengan suara menghormat, tidak keras akan tetapi karena dia mengerahkan khikang-nya, maka suara itu dapat menembus daun pintu ke dalam goa.

"Locianpwe Ang I Lama, maafkan kalau kami datang mengganggu. Kami suami isteri Kao Cin Liong dan Suma Hui dari jauh di timur datang berkunjung untuk bertemu dan bicara dengan locianpwe!"

Keheningan menjawab suara Kao Cin Liong. Suami isteri itu menanti sampai beberapa lama, akan tetapi tidak ada jawaban. Mereka saling pandang dan kemarahan nampak di wajah Suma Hui. Wanita ini lalu melangkah mendekati pintu dan tanpa dapat dicegah suaminya lagi, ia menggedor pintu itu.

"Dor-dor-dorrr...!" Daun pintu itu terguncang, lalu ia berteriak, suaranya nyaring sekali. "Ang I Lama, engkau telah menculik puteri kami! Keluarlah dan kembalikan puteri kami kepada kami atau aku akan menghancurkan daun pintu goa ini!"

Kini segera terdengar suara dari balik pintu itu, "Omitohud... apakah dosa pinceng maka hari ini kejatuhan fitnah yang keji ini...?"

Daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah seorang kakek yang berpakaian serba kuning dengan jubah lebar berwarna merah. Usia kakek ini sekitar enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata yang tajam namun lembut sinarnya, dan wajahnya yang nampak sabar dan tenang.

Dengan langkah lambat dia keluar pintu goa dan menghadapi suami isteri itu dengan sinar mata mengandung keheranan. Sejenak matanya memandang kepada suami isteri itu penuh selidik, kemudian dia berkata lagi.

"Omitohud, tadi pinceng mendengar bahwa ji-wi adalah Panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui. Benarkah itu?"

"Saya bukan panglima lagi, locianpwe. Benar saya adalah Kao Cin Liong dan ini isteriku Suma Hui. Kami datang dari Pao-teng, sengaja untuk mencari dan menemui locianpwe."

"Omitohud... sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi pinceng. Sayang sekali pinceng tidak dapat menyambut dengan kehormatan, akan tetapi, ada urusan penting apakah maka ji-wi jauh-jauh datang mencari pinceng?"

Suma Hui sudah tidak sabar lagi. Tadi ketika kakek itu muncul, ia mengharapkan kakek itu akan disertai Hong Li. Akan tetapi anak itu tidak nampak, maka ia merasa khawatir sekali.

"Bukankah engkau yang berjuluk Ang I Lama?" tiba-tiba ia bertanya dengan sikap ketus.

Sikapnya ini membuat kakek itu memandang heran, akan tetapi dengan lembut dia mengangguk. "Benar sekali."

"Kalau begitu, jangan berpura-pura lagi dan cepat bawa keluar anak kami Kao Hong Li dan serahkan kembali kepada kami!"

Kini kakek itu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata penuh keheranan, dan melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya penuh selidik.

"Omitohud, jadi yang pinceng dengar tadi bukan hanya dalam mimpi? Semula pinceng mendengar bahwa ji-wi datang untuk bicara dan karena sudah bertahun-tahun pinceng bertapa, pinceng terpaksa tidak melayani. Lalu terdengar fitnah keji itu yang memaksa pinceng keluar. Apakah artinya ini? Pinceng sama sekali tak pernah menculik puteri ji-wi atau puteri siapa pun juga. Bahkan selama dua tahun ini baru sekarang inilah pinceng keluar dari dalam goa ini."

Suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut. Sungguh tidak mereka sangka mereka akan mendengar jawaban seperti ini. Sama sekali tidak menyenangkan! Kalau benar bukan pendeta Lama ini yang menculik Hong Li, berarti mereka telah melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Bukan itu saja, harapan mereka untuk bisa menemukan kembali anak mereka di situ juga menjadi buyar. Di samping itu mereka akan meraba-raba di dalam kegelapan karena tidak tahu siapa penculik itu dan di mana adanya puteri mereka.

"Ang I Lama, tak perlu engkau membohongi kami! Mana mungkin ada orang tinggal di dalam goa selama bertahun-tahun, tanpa makan dan minum. Jika engkau tidak pernah keluar, berarti engkau tidak pernah makan minum dan hal itu saja sudah membuktikan kebohonganmu!" teriak Suma Hui tak sabar, ngeri membayangkan bahwa benar-benar pendeta ini bukan penculik Hong Li.

"Omitohud, selama hidup pinceng tidak pernah berbohong. Lihat, lihiap, setiap dua tiga hari sekali ada murid Lama yang datang mengantar makanan dan minuman, ditaruhnya di luar daun pintu. Itu kiriman pagi tadi belum sempat kuambil. Biasanya, pinceng hanya mengeluarkan tangan untuk mengambil makanan atau minuman sekedar untuk dapat tetap menghidupkan badan ini."

Pendeta Lama itu menuding ke dekat pintu, dan benar saja. Di situ nampak sebuah baki terisi beberapa potong roti, madu dan air dalam botol.

Kao Cin Liong menjura. "Maaf, locianpwe, harap diketahui bahwa kami berdua berada dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kedukaan. Anak tunggal kami diculik orang yang menurut anak-anak yang menyaksikannya, penculik itu adalah seorang pendeta berjubah merah yang mengaku bernama Ang I Lama, dan menurut keterangan mereka, bentuk muka dan tubuhnya amat cocok dengan keadaan locianpwe. Penculik itu berilmu tinggi dan mempergunakan ilmu sihir ketika melarikan anak kami. Mendengar nama itu kami jauh-jauh dari Pao-teng, melakukan perjalanan berbulan-bulan, menyusul ke sini. Setelah bertemu dengan locianpwe dengan penuh harapan akan bertemu dengan anak kami, tentu saja jawaban locianpwe itu mengecewakan sekali dan kami tidak dapat percaya begitu saja."

Kakek pendeta itu mengangguk-angguk. "Pinceng dapat mengerti dan dapat merasakan kecemasan ji-wi. Dari rumah yang sangat jauh ji-wi membawa harapan untuk dapat menemukan kembali puteri ji-wi di sini, tentu saja ji-wi tidak mau menerima begitu saja kenyataan yang akan meghancurkan harapan ji-wi. Nah, pinceng persilakan ji-wi untuk menggeledah ke dalam goa ini dan mencari puteri atau jejak puteri ji-wi."

"Biar aku yang memeriksa ke dalam dan kau menjaga di sini!" kata Suma Hui mendului suaminya. Cin Liong tahu bahwa isterinya masih belum percaya kepada Ang I Lama dan takut kalau-kalau pendeta itu melarikan diri, maka dia pun mengangguk.

Dengan hati penuh ketegangan, juga harapan, Suma Hui kemudian memasuki goa itu. Sebuah goa yang cukup lebar dan di dalamnya bersih sekali, mendapatkan cukup hawa, bukan hanya dari pintu yang kini terbuka, juga dari lubang-lubang di bagian atas yang memasukkan hawa dan cahaya matahari. Lantainya dari batu yang bersih dan halus, dan di dalamnya hanya terdapat sebuah dipan kayu bertilam kasur tipis, kitab-kitab agama, tasbeh dan alat-alat sembahyang.....

Suma Hui meneliti goa itu penuh perhatian, bahkan memeriksa keadaan lantai dengan teliti sekali, mencari jejak puterinya, juga mencari kalau-kalau di situ terdapat alat-alat rahasia dan tempat tersembunyi. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan, juga tidak menemukan jejak atau tanda-tanda bahwa puterinya pernah berada di tempat itu.

Saking kecewa dan bingungnya, kedua mata Suma Hui basah air mata ketika ia keluar dari dalam goa itu. Bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, ia menghadapi Ang I Lama dengan sikap marah dan ia membentak. "Ang I Lama, aku tak menemukan anakku di dalam goa ini. Tentu engkau telah menyembunyikan di tempat lain. Hayo kau mengaku dan kembalikan anakku, kalau tidak aku akan memaksamu agar mengaku!"

"Omitohud... pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi dan pinceng tidak berbohong. Lihiap telah menggeledah goa pinceng. Lalu apa lagi yang harus pinceng lakukan untuk meyakinkan hati ji-wi bahwa pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi?"

"Tapi semua saksi mengatakan bahwa engkaulah penculiknya!" Suma Hui membentak marah.

Ia mengharapkan sekali bahwa kakek inilah penculiknya, karena kalau bukan kakek ini, lalu siapa dan ke mana ia harus mencari anaknya? Perjalanan dari rumahnya ke Tibet adalah perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan ia tidak mau melihat perjalanannya ini sia-sia belaka.

"Omitohud..., sungguh luar biasa sekali. Semua saksi mengatakan bahwa pinceng yang melakukan penculikan itu. Akan tetapi pinceng tidak melakukannya. Mengapa pinceng harus melakukan perbuatan jahat itu? Pinceng tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, apa lagi dengan ji-wi," kata kakek itu sambil menarik napas panjang.

"Maafkan kami, locianpwe," kata Cin Liong dengan sikap yang masih amat menghormat. "Bukankah locianpwe masih saudara seperguruan dari mendiang Sai-cu Lama?"

"Mendiang...?" Wajah pendeta itu nampak terheran.

"Dia telah tewas ketika berkomplot dengan pengkhianat dan mengacau di kota raja, dan kami yang membantu para pendekar yang menghancurkan komplotannya. Nah, hal ini agaknya merupakan alasan yang cukup kuat andai kata locianpwe melakukan balas dendam dengan menculik anak kami."

"Omitohud...! Tentang kematian suheng Sai-cu Lama ini pun baru kini pinceng dengar, bagaimana pinceng dapat mendendam? Sungguh menyedihkan bahwa dia meninggal dunia dalam keadaan penuh dosa. Biar pun pinceng benar sute-nya, namun di antara kami tidak pernah ada hubungan, lahir atau pun batin. Andai kata pinceng sudah tahu akan kematiannya sekali pun, pinceng tidak akan mendendam kepada siapa pun juga. Hanya Thian yang menentukan kematian seseorang. Ji-wi atau siapa pun juga tidak mungkin dapat membunuh seseorang tanpa kehendak Thian. Hanya Thian yang dapat membunuh atau menghidupkan seseorang."

"Tak perlu banyak alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa di antara para Lama jubah merah terdapat banyak yang menyeleweng? Jubah pendetamu, kepala gundulmu, dan pertapaanmu hanya untuk kedok saja, menutupi semua keburukan yang dapat kau lakukan. Ang I Lama, para saksi itu adalah sekumpulan anak yang masih bersih dan jujur. Mereka tidak mungkin membohong. Mereka melihat sendiri betapa penculik itu adalah seorang pendeta yang berjubah merah, dan pendeta itu mengaku bernama Ang I Lama! Jika engkau terus hendak menyangkal, terpaksa aku menggunakan kekerasan!" Berkata demikian, Suma Hui yang sudah menjadi marah sekali karena cemas tidak berhasil menemukan jejak puterinya, segera menggerakkan tubuhnya, dan menyerang dengan hebatnya.

Serangan wanita ini amat hebat dan dahsyat karena ia sedang marah dan ia merasa yakin bahwa kakek yang diserangnya inilah penculik puterinya, maka begitu menyerang ia telah menggunakan sebuah jurus dari Cui beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh).

Melihat datangnya serangan dahsyat ini, terdengar Ang I Lama mengeluh dan kakek ini pun cepat meloncat ke belakang. Tubuh kakek ini demikian ringannya seolah-olah dia dapat terbang saja dan ketika pukulan itu datang dengan hawa pukulan yang amat kuat, tubuhnya terdorong ke belakang seperti sehelai kapas yang dipukul saja!

Melihat pukulan pertamanya tidak mengenai sasaran, Suma Hui sudah menerjang lagi, melanjutkannya dengan serangan-serangan yang dahsyat, kini mempergunakan tenaga Hwi-yang Sinkang yang mengeluarkan hawa panas. Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengatur langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan semua pukulan dan pada saat serangkaian pukulan itu lewat tanpa mengenai tubuhnya, dia pun berseru dengan nada sedih.

"Omitohud... apakah ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es hanya untuk membunuh orang yang tidak bersalah?"

Mendengar keluhan ini, Suma Hui merasa disindir, akan tetapi dia menjadi semakin marah dan penasaran.

"Singgg...!”

Nampak sinar berkelebat, sinar yang menyilaukan mata dari sepasang pedang yang sudah dicabut oleh wanita perkasa itu.

"Ang I Lama, untuk menemukan kembali puteriku, aku berani menghadapi siapa saja dan membunuh siapa saja!" bentaknya dan ia pun kini menyerang dengan sepasang pedangnya!

Ang I Lama meloncat ke belakang dengan gerakan seperti seekor kera dan dia pun lalu mengeluh, "Omitohud... lihiap terlalu mendesak! Agaknya kegelisahan dan kedukaan telah membuat lihiap menjadi mata gelap."

Suma Hui tak peduli dan mendesak terus dengan pedang-pedangnya. Kakek itu bersilat dengan gerakan-gerakan lucu, seperti seekor kera, akan tetapi dia berhasil berloncatan menyelinap di antara gulungan kedua sinar pedang.

Memang Ang I Lama adalah seorang ahli silat Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti) yang amat lihai. Dia pun memiliki sepasang pedang dan menjadi ahli bermain siang-kiam, akan tetapi menghadapi amukan Suma Hui, jelas bahwa dia selalu mengalah, dan tidak mau mempergunakan sepasang pedangnya walau pun serangan-serangan wanita sakti itu amat berbahaya bagi keselamatan dirinya.

Menghadapi desakan sepasang pedang yang demikian lihai seperti sepasang pedang di tangan Suma Hui yang kini memainkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), satu di antara ilmu-ilmu keluarga Pulau Es yang sangat hebat, mana mungkin hanya mengelak saja? Untuk menyelamatkan dirinya, terpaksa Ang I Lama harus membalas serangan lawan untuk membendung gelombang serangan Suma Hui. Akan tetapi dia membalas bukan dengan maksud mencelakai lawan, melainkan sekedar menahan desakan lawan, dengan cengkeraman-cengkeraman keras untuk merampas pedang dan totokan-totokan untuk melumpuhkan tubuh lawan.

Ketika sepasang pedang Suma Hui mendesak hebat, tiba-tiba dengan gerakan aneh, tubuh kakek pendeta itu menyelinap dan berada di belakang tubuh wanita itu, tangan kanannya menyambar ke arah tengkuk untuk melakukan totokan. Akan tetapi, Suma Hui membalik dan pedangnya menyambar, membabat ke arah lengan yang diulur ke arah tengkuknya tadi. Sinar pedang berkelebat dan Ang I Lama sudah tak sempat lagi untuk mengelak dan walau pun dia sudah menarik kembali lengannya, tetap saja pedang itu menyambar ke arah lengannya dan...

"Crokkk...!" setengah dari lengan itu terbabat buntung!

"Hui-moi, jangan...!" Kao Cin Liong berseru kaget dan meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya lembut agar isterinya menahan dirinya.

"Omitohud, sungguh berbahaya...!" kata kakek itu.

Dia pun memandang lengan kanannya yang ternyata masih utuh, akan tetapi lengan bajunya yang buntung setengahnya. Kiranya kakek ini, pada saat terakhir ketika pedang membabat, masih sempat menarik lengannya di dalam lengan baju sehingga yang terbabat buntung hanya lengan bajunya saja!

Melihat kenyataan itu, diam-diam Cin Liong terkejut dan girang. Girang karena ternyata isterinya tidak jadi membikin cacat pendeta yang belum tentu berdosa ini, dan terkejut karena maklum bahwa kakek ini sungguh sakti, sudah dapat membuat lengannya mulur dan mengkeret. Ilmu seperti itu dapat membuat lengan mulur sampai dua kali panjang lengan itu, dan dapat membuat lengan itu memendek sampai setengahnya, seperti yang dilakukan kakek tadi untuk menyelamatkan lengannya dari babatan pedang.

"Sudahlah, Hui-moi. Agaknya memang locianpwe ini tidak bersalah karena sejak tadi dia mengalah terus menghadapi serangan-seranganmu. Kalau bukan dia yang melakukan, berarti ada orang lain yang mempergunakan namanya. Aku yakin bahwa locianpwe Ang I Lama tidak akan tinggal diam saja namanya dipergunakan orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap kita sehingga mendatangkan fitnah padanya."

Suma Hui juga telah mengerti bahwa agaknya memang bukan kakek ini yang menculik puterinya. Kalau memang kakek ini memiliki dendam terhadap ia dan suaminya, tentu kakek ini akan melakukan perlawanan, mengingat bahwa tingkat kepandaian kakek ini mungkin lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi kakek ini selalu mengalah, tidak balas menyerang dan selalu bersikap lembut. Hal ini membuat hatinya menjadi makin gelisah dan berduka. Tak terasa lagi, dua matanya menjadi basah dan air mata jatuh menuruni kedua pipinya yang agak pucat. Wanita ini sudah menderita kesengsaraan batin sejak puterinya, yang merupakan anak tunggal itu, lenyap diculik orang.

"Habis, ke mana lagi kita harus mencari anak kita...?" Suaranya terdengar demikian memelas, menggetar dan lirih, sepasang matanya yang merah dan basah itu ditujukan kepada suaminya dengan pandang mata yang penuh duka sehingga suaminya merasa terharu dan kasihan sekali. Cin Liong sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, maka pertanyaan penuh kegelisahan itu pun tidak dapat dijawabnya.

"Omitohud... mengapa ada orang yang tega memisahkan ibu dari anaknya? Sungguh merupakan perbuatan yang amat kejam. Pinceng dapat mengerti akan kedukaan dan kebingungan hati ji-wi. Karena pinceng juga ingin sekali membantu, maka dapakah ji-wi memberi tahukan, siapa kiranya musuh-musuh ji-wi yang paling besar?"

Kao Cin Liong menggelengkan kepala. "Kami merasa tidak mempunyai musuh-musuh, locianpwe, tetapi tentu saja ada orang-orang yang membenci kami di luar pengetahuan kami. Semenjak saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai panglima, kami hidup sebagai pedagang dan tidak mencampuri urusan kang-ouw. Kecuali ketika kami membantu para pendekar menghancurkan komplotan Sai-cu Lama yang mengacau di kota raja."

"Nah, itulah, komplotan itulah. Siapakah saja di antara mereka selain mendiang suheng Sai-cu Lama? Siapa yang menjadi kelompok pimpinan mereka?" Pendeta itu bertanya dan memandang dengan alis berkerut, penuh perhatian.

"Ada banyak di antara mereka, akan tetapi yang menjadi pimpinan terpenting hanya beberapa orang," jawab Kao Cin Liong sambil mengingat-ingat. "Mereka adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, Iblis Mayat Hidup..."

"Sam Kwi (Tiga Iblis)?" tanya Ang I Lama.

"Benar, locianpwe. Sam Kwi bersama murid mereka yang berjuluk Bi-kwi. Kemudian ada lagi Kim Hwa Nionio dan muridnya yang bernama Bhok Gun. Itulah mereka yang menjadi komplotan dan pembantu Sai-cu Lama."

Ang I Lama mengangguk-angguk, sepasang alisnya berkerut sedangkan tangan kirinya meraba-raba dagunya. "Apakah mereka semua tewas dalam pertempuran itu?"

"Semua tewas, kecuali Bi kwi, murid Sam Kwi."

"Hemmm, apakah tidak mungkin ia yang melakukan penculikan itu?"

Cin Liong menggeleng kepala. "Kiranya tidak mungkin. Kalau ia mendendam, tentu tidak ditujukan pada kami, sebab kami hanya membantu para pendekar yang menghancurkan komplotan itu saja. Pula, tidak mungkin ia dapat menyamar sebagai locianpwe, karena pada waktu melakukan penculikan, menurut saksi, yaitu anak-anak yang menyaksikan, penculik itu menggunakan ilmu sihir dan lenyap di antara gumpalan asap tebal."

"Sihir? Hemmm..." Kakek itu lalu duduk bersila dan seperti orang bersemedhi, namun kulit di antara kedua alisnya berkerut, tanda bahwa dia tenggelam di dalam pemikiran yang mendalam.

Karena merasa tidak perlu lebih lama berada di tempat itu, Cin Liong lalu menggandeng tangan isterinya yang nampak amat sedih itu, meninggalkan tempat itu, menuruni bukit perlahan-lahan. Dia harus pulang dulu, barulah nanti dari rumah mencari jejak puteri mereka. Juga, dia mengharapkan hasil penyelidikan Suma Ciang Bun, selain itu juga ingin mendengar bagaimana dengan pendapat orang tuanya di Istana Gurun Pasir yang dilapori oleh Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun…..

********************

Rumah itu tidak besar, merupakan rumah dengan dua buah kamar besar dan tiga kamar dibagian belakang yang menjadi tempat tinggal para pelayan, dua buah ruangan dan sebuah gudang. Kecil akan tetapi nampak indah sekali karena bangunannya dibuat secara artistic. Gentengnya merah dan tembok rumah itu sendiri di cat hijau, hampir tersembunyi di antara daun-daun pohon yang besar. Pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling rumah itu pun bukan pohon liar, melainkan diatur tumbuhnya, dan terdiri dari pohon-pohon yang asing dan jarang terdapat di daerah pegunungan Heng-tuan-san itu.

Rumah itu berdiri di lereng paling bawah, yang masih merupakan kaki pegunungan Heng-tuan-san. Tanah disekeliling rumah itu subur sekali karena sungai Cin-sa mengalir di bagian belakang rumah itu, hanya beberapa ratus meter saja jauhnya. Karena daerah itu merupakan daerah tapal batas dari Propinsi Secuan, dan jauh dari jalan raya, maka keadaannya amat sunyi. Sunyi dan indah. Dusun terdekat berada sejauh belasan li dari situ.

Itulah tempat tinggal wanita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang bersikap halus menarik itu, kini telah menjadi guru Kao Hong Li. Seperti kita ketahui, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas Kao Hong Li dari tangan penculiknya yang mengaku bernama Ang I Lama, kemudian Hong Li berjanji untuk berguru dan mengaku ibu kepada Sin-kiam Mo-li, ikut bersama wanita itu selama lima tahun. Bahkan Hong Li telah disuruh bersumpah!

Ketika ia pertama kali tiba di tempat tinggal gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya, Hong Li merasa gembira sekali, melihat betapa tempat itu amatlah indahnya. Rumah itu kecil mungil dan dari jauh, ketika mereka tiba di bawah kaki gunung, rumah itu nampak jelas, seperti rumah boneka yang berwarna-warni, dikelilingi pohon-pohon besar yang indah pula, juga di antara pohon-pohon itu terdapat banyak sekali tanaman bunga yang beraneka ragam dan warna.

Akan tetapi, ketika mereka mulai mendaki bukit, rumah indah itu lenyap tertutup pohon-pohon yang amat banyak dan mereka mendaki melalui lorong-lorong yang amat sulit dikenal kembali karena bentuknya yang aneh-aneh dan banyak pula yang sama.

Lorong-lorong di antara pohon-pohon besar itu juga sering kali membelok, bahkan tikungannya ada pula yang bagaikan berbalik ke arah yang berlawanan. Di sana-sini lorong itu putus dan di depannya hanya nampak jurang lebar menganga, ada pula yang tiba-tiba saja di depan jalan terdapat kolam pasir yang bentuknya aneh, sama sekali tidak ditumbuhi tanaman. Ada pula lapangan rumput yang hijau dan nampak segar, akan tetapi gurunya memperingatkan agar ia jangan menginjak lapangan rumput itu.

Tadinya Hong Li mengira bahwa gurunya melarangnya agar jangan merusak rumput hijau segar itu, akan tetapi kemudian gurunya memberi tahu bahwa menginjak tempat itu sama saja dengan bunuh diri! Banyak tempat yang tidak boleh diinjak, bahkan ada pula tanaman-tanaman yang memiliki bunga-bunga indah akan tetapi gurunya melarang ia menyentuh bunga dan daun tanaman itu. Tangannya akan melepuh keracunan, kata gurunya.

Sungguh tempat yang indah akan tetapi aneh dan menyeramkan. Akan tetapi setelah mereka tiba di rumah mungil itu, hati Hong Li tertarik dan ia senang sekali menerima sambutan tiga orang pelayan yang usianya rata-rata tiga puluh tahun, pelayan-pelayan wanita yang rata-rata berwajah cantik dan berpakaian bersih rapi.

"Ini adalah anak angkat, juga muridku," kata Sin-kiam Mo-li memperkenalkan Hong Li kepada mereka.

"Aih, siocia, engkau manis sekali!" kata yang berbaju merah.

"Siocia, yang baik, kami akan melayanimu dengan penuh kasih sayang!" kata yang berbaju hitam.

"Siocia, siapakah namamu?" tanya yang berbaju putih.

Hong Li memandang mereka seorang demi seorang dengan penuh perhatian. Mereka itu berwajah cantik, tidak seperti pelayan dari dusun, dan pakaian mereka yang rapi itu seperti pakaian seragam. Celana mereka baru, akan tetapi baju mereka, yang memiliki potongan yang sama, berbeda warnanya. Rata-rata mereka bersikap ramah, akan tetapi yang mengherankan, sikap mereka lincah dan sepasang mata mereka tajam, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah wanita-wanita bodoh yang lemah.

Sebelum ia menjawab, gurunya sudah bicara lagi.

"Hong Li, mereka inilah pelayan-pelayan yang juga menjadi teman kita dan penghuni tempat ini. Nama mereka mudah dilihat dari pakaian mereka. Ini Ang Nio (Nona Merah), dan ini Pek Nio (Nona Putih) dan Hek Nio (Nona Hitam). Kalian ketahuilah bahwa siocia (nona) ini adalah Kao Hong Li. Ia belum tahu akan keadaan tempat tinggal kita, maka hari ini kalian ajaklah dia berjalan-jalan dan kalau aku belum memerintahkan, jangan membuka rahasia tentang tempat ini. Belum waktunya dan bisa berbahaya. Nah. aku mau beristirahat. Layanilah Hong Li sebaiknya." Setelah berkata demikian, Sim-kiam Mo-li meninggalkan muridnya yang segera diajak oleh ketiga orang pelayan itu untuk melihat-lihat keadaan di dalam rumah itu.

Ketika Hong Li diajak masuk ke dalam, dia menjadi kagum dan juga bingung. Kagum karena rumah itu mewah dan memiliki perabot rumah yang serba indah dan mahal, penuh dengan lukisan-lukisan mahal, pot-pot bunga kuno yang antik, juga lantainya ditutup permadani tebal. Akan tetapi yang membuat ia merasa bingung adalah ketika ia harus berputar-putar untuk memeriksa kamar itu yang walau pun tidak berapa besar namun berlika-liku dan memiliki lorong-lorong di antara pot-pot bunga dan perabot rumah.

Gurunya mendiami kamar yang pertama dan ia memperoleh kamar ke dua yang selama ini dibiarkan kosong saja, sedangkan tiga orang pelayan itu tinggal di kamar belakang. Anehnya, dia harus dituntun oleh Ang Nio ketika melihat-lihat di dalam rumah itu.

"Jangan pandang ringan keadaan dalam rumah ini, nona. Tanpa petunjuk kami, nona tidak akan dapat memasuki kamar sendiri," kata Ang Nio yang melihat betapa Hong Li mengerutkan alisnya karena harus dituntun.

"Ahhh, masa? Kenapa tidak bisa?"

"Keadaan di dalam rumah ini telah diatur oleh toanio (nyonya besar) menurutkan garis-garis pat-kwa (segi delapan), penuh dengan alat-alat rahasia sehingga kalau ada orang luar berani masuk, selain dia terancam oleh jebakan-jebakan, juga sukar baginya untuk mencari jalan keluar."

Hong Li tidak percaya. Tiga orang pelayan itu lalu membiarkan ia mencari jalan sendiri dan benar saja! Jalan yang diambilnya itu buntu, kalau tidak terhalang meja kursi, pot bunga, tentu menjadi tertutup oleh sebuah pintu yang ketika dibukanya membawanya ke bagian lain yang sama sekali tidak disangkanya. Ia mencoba untuk mencapai pintu kamar yang diberikan kepadanya, namun selalu gagal!

Ketika ia melihat sebuah kursi besar menghalang antara ia dan pintu itu, ia menggeser kursi itu dengan hati girang. Kalau kursi itu disingkirkan, tentu ia dapat langsung saja menghampiri pintu itu dan berarti menang! Akan tetapi, begitu kursi digeser, terdengar suara dan tahu-tahu dirinya telah berada di dalam sebuah kurungan besi! Tiga orang pelayan itu menghampiri sambil tertawa-tawa.

"Sudahlah, nona," kata Pek Nio sambil menggerakkan alat rahasia dan kurungan itu pun terlipat dan lenyap, sedangkan kursi kembali ke tempatnya semula. "Masih untung nona hanya terjebak dalam kurungan, karena di sini terdapat jebakan yang lebih berbahaya lagi. Mari, kita tunjukkan semua rahasia dalam rumah ini agar engkau dapat bergerak dengan bebas."

Mau tidak mau Hong Li kini percaya bahwa rumah yang nampak mungil tidak berapa besar ini penuh dengan alat rahasia dan diatur sedemikian rupa sehingga orang luar jangan harap akan dapat masuk, atau kalau sudah masuk jangan harap akan dapat keluar kembali. Tiga orang pelayan itu menerangkan sejelasnya dan Hong Li memang memiliki otak yang cerdas sekali. Dalam waktu sehari saja ia sudah mengenal semua rahasia di dalam rumah itu dan ia merasa kagum sekali, semakin kagum terhadap gurunya atau ibu angkatnya. Dari pengaturan rumah ini saja sudah dapat diketahui bahwa Sin-kiam Mo-li memang amat lihai.

Akan tetapi, ternyata bahwa jalan menuju ke rumah gurunya itu pun tak dapat didatangi orang secara mudah! Jalan itu mengandung rahasia yang lebih rumit dari pada rahasia di dalam rumah dan meski pun dari kaki gunung sudah dapat dilihat rumah mungil di lereng itu, jangan harap bagi orang luar untuk dapat menemukannya! Dia akan tersesat dan hanya berputar-putar di antara pohon-pohon, atau kalau dia salah langkah, dia akan tewas dalam keadaan mengerikan.

Dan diam-diam Hong Li amat cemas. Untuk dapat mengenal jalan naik turun dari rumah itu ke kaki gunung, ia harus mempelajarinya sampai lebih dari sepekan barulah ia dapat turun dan naik sendiri tanpa ditemani pelayan. Ternyata bahwa jalan dari kaki gunung menuju ke rumah itu melalui lorong di antara pohon-pohon yang diatur secara amat rumit menurut garis-garis pat-kwa.

Sejak tiba di tempat itu bersama gurunya, Hong Li mulai dilatih ilmu silat oleh Sin-kiam Mo-li. Tak begitu sukar bagi Sin-kiam Mo-li untuk mengajarkan ilmu-ilmunya yang tinggi karena gadis cilik itu memang sudah mempunyai dasar yang baik sekali. Sebagai cucu keluarga pendekar besar, sejak kecil ia memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi, bahkan ilmu silatnya sudah demikian lihainya sehingga orang dewasa yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja jangan harap akan mampu menandinginya.

Hong Li merasa suka tinggal di tempat yang indah itu, apa lagi sikap gurunya dan tiga orang pelayan itu pun amat ramah kepadanya. Hannya ada satu hal yang membuat ia merasa tidak suka, yaitu tempat itu jauh dari tetangga. Dusun terdekat letaknya belasan li dari situ. Kadang-kadang dia merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak lain yang dapat dijadikan teman. Pada suatu pagi, Sin-kiam Mo-li memanggilnya. Hong Li cepat datang menghadap.

"Hong Li, mari kau ikut aku melihat tontonan yang mengasyikkan."

"Tontonan apakah, subo?" Hong Li bertanya dengan girang mendengar bahwa ia diajak nonton sesuatu yang mengasyikkan.

Disangkanya bahwa gurunya tentu akan mengajaknya ke sebuah dusun atau kota untuk nonton pertunjukan dan hal ini merupakan suatu perubahan yang segar dan penghibur kesepiannya. Akan tetapi gurunya mengajaknya menuju ke kebun belakang di mana terdapat sebuah menara dari bambu di mana subo-nya suka berdiam diri untuk berlatih siu-lian. Menara itu tidak mempunyai anak tangga, dan biasanya Sin-kiam Mo-li hanya mempergunakan ilmunya, meloncat seperti burung terbang melayang menuju ke atas menara di mana terdapat sebuah panggung tertutup dari papan.

"Subo, bagaimana aku dapat naik ke sana?" Hong Li bertanya ragu ketika subo-nya menunjuk ke menara itu dan mengatakan bahwa mereka akan ‘nonton’ dari sana. Biar pun Hong Li sudah berlatih ginkang sejak kecil dan tubuhnya memiliki keringanan dan kegesitan yang mengagumkan, namun kalau disuruh meloncat setinggi itu, dia masih belum mampu.

"Kelak engkau harus bisa melompat sendiri ke atas. Sekarang marilah kubantu engkau!"

Wanita cantik itu lalu menyambar lengan kiri Hong Li dan mereka lalu meloncat ke atas. Baru mencapai setengahnya lebih, tubuh Hong Li tentu akan meluncur turun kembali kalau saja gurunya tidak menariknya ke atas dan Hong Li merasa seperti terbang dan tahu-tahu mereka sudah tiba di depan pondok atau panggung tertutup di atas menara itu.

Dari tempat setinggi itu, Hong Li dapat melihat ke kaki gunung dan nampaklah lorong kecil berlika-liku yang menuju ke sebuah dusun di kaki gunung. Pernah ia datang ke dusun itu ketika ia berlatih melewati lorong yang penuh rahasia itu.

"Hong Li, lihatlah ke sana itu. Kita akan melihat tontonan yang menggembirakan!" kata wanita cantik itu dengan suara gembira dan wajahnya yang berseri, sepasang matanya berkilauan tajam.

Hong Li yang sudah ingin bertanya tontonan apakah yang dimaksudkan subo-nya, kini memandang ke arah yang ditunjuk subo-nya dan ia pun dapat melihat mereka itu. Ada lima orang nampak kecil-kecil dari atas itu, dan mereka sedang merayap perlahan-lahan menuju ke rumah mereka. Kini lima orang itu telah tiba di luar daerah mereka, mulai berhadapan dengan pepohonan yang telah diatur menjadi deretan pertama dari benteng pohon-pohon yang penuh rahasia.

Nampak dari atas betapa lima orang itu seperti sedang berunding, kemudian berpencar mengambil jalan sendiri-sendiri. Agaknya mereka tahu bahwa jalan menuju ke rumah itu tidak mudah, maka mereka berpencar mencari jalan sendiri-sendiri. Melihat gerakan mereka yang lincah dan ringan, mudah diduga bahwa lima orang itu bukan orang-orang sembarangan.

"Subo, siapakah mereka?" tanya Hong Li tanpa mengalihkan pandangannya dari lima orang itu. Dari tempat ia berdiri, mudah dilihat gerakan lima orang itu. Biar pun mereka berpencar, karena dari tempat tinggi itu mereka nampak kecil, maka pandang matanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan jelas.

"Mereka adalah lima ekor tikus yang agaknya sudah bosan hidup dan mencari mati di sini," jawab subo-nya dengan suara mengandung kegembiraan.

Hong Li terkejut dan kini ia menoleh dan memandang kepada subo-nya. Wanita cantik itu nampaknya gembira sekali, sepasang matanya berseri mengikuti gerakan lima orang di bawah sana.

"Apa yang subo maksudkan?" tanyanya dengan heran.

"Mereka itu mencari mati karena melakukan pelanggaran terhadap daerah kita," jawab pula gurunya dengan sikap masih gembira dan acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan muridnya.

"Tetapi... tetapi mengapa, subo? Mengapa Subo membiarkan saja mereka melanggar wilayah kita dan memasuki daerah berbahaya itu?"

Kini Sin-kiam Mo-li menoleh kepada muridnya. "Hemm... aku tidak menyuruh mereka melakukan pelanggaran, bukan? Kalau sampai mereka mampus, itu adalah kesalahan mereka sendiri!"

Sejenak Hong Li tidak mampu membantah. Memang tak dapat disalahkan jika gurunya membiarkan saja lima orang itu memasuki daerah berbahaya dan menghadapi kematian mereka, tetapi, mengapa gurunya demikian kejam membiarkan lima orang menghadapi kematian tanpa mencegahnya?

"Subo, kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahu mereka agar mereka mundur dan tidak melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah ini. Mungkin mereka tidak tahu bahwa daerah ini berbahaya," katanya pula.

Tiba-tiba gurunya tertawa. "Hemm, Hong Li engkau tidak tahu. Apa kau kira mereka itu tidak tahu? Mereka sengaja memasuki daerah kita karena mereka hendak mencari aku."

"Ehh? Jadi subo mengenal mereka? Mau apa mereka mencari subo?"

"Mereka hendak membunuhku."

Sepasang mata Hong Li terbelalak kiranya ada permusuhan di antara lima orang itu dan subo-nya. Pantas subo-nya membiarkan saja mereka menghadapi bahaya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran sekali.

"Subo, kenapa mereka hendak membunuh subo? Dan siapakah sesungguhnya mereka itu?"

"Beberapa pekan yang lalu ada seorang teman mereka memasuki daerah ini, mungkin dengan niat yang jahat, dan tewas di pasir maut. Kematiannya itu adalah kesalahannya sendiri, akan tetapi teman-temannya agaknya kini datang hendak menuntut balas atas kematian kawan mereka. Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Cin-sa-pang (Perkumpulan Sungai Cin Sa), orang-orang sombong yang tak tahu diri sehingga berani menantangku." Di dalam suara wanita cantik ini terkandung kemarahan. "Biar mereka tahu rasa sekarang agar tidak memandang rendah kepadaku."

Hong Li memandang lagi dan melihat betapa dengan cekatan lima orang itu sekarang berloncatan dan masuk semakin dalam di antara pohon-pohon.

"Gerakan mereka lincah dan cekatan. Bagaimana jika mereka sampai di rumah subo?"

"Tidak begitu mudah. Tiga orang pelayanku sudah siap menyambut mereka. Lihat!"

Hong Li memandang dan benar saja, dia melihat tiga bayangan orang berlari turun setelah keluar dari dalam rumah mungil. Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah mereka, akan tetapi melihat baju mereka itu, yang seorang merah, seorang putih dan seorang hitam, ia pun tahu bahwa mereka itu adalah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Baru sekarang ia melihat betapa tiga orang pelayan itu berloncatan dengan amat cepat. Memang dia telah menduga bahwa mereka sebagai pelayan-pelayan subo-nya agaknya pandai pula ilmu silat, akan tetapi tak disangkanya mereka akan dapat bergerak secepat itu.

Dan kini terjadilah tontonan yang memang menegangkan dan mendebarkan hati Hong Li. Dari tempat yang tinggi itu, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana.

Mula-mula Ang Nio yang lebih dahulu bertemu dengan seorang di antara lima orang penyerbu itu. Tepat di tengah-tengah setelah orang itu mampu naik sampai ke bagian tengah daerah yang penuh pohon-pohon itu, agaknya bingung dan berputar-putar di sekitar tempat itu.

Hong Li tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akan tetapi keiihatan betapa laki-laki itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio dengan gerakan yang cepat. Dan ia melihat betapa Ang Nio mengelak dan balas menyerang, tak kalah cepatnya gerakan pelayan itu. Ia melihat betapa dua orang itu berkelahi dengan gerakan-gerakan cepat dan kini laki-laki itu mengeluarkan senjata sebatang golok besar.

Ang Nio lalu juga mengeluarkan sebatang pedang tipis dan perkelahian menjadi makin seru dan menegangkan hati Hong Li. Biar pun ia tidak tahu secara jelas urusannya, akan tetapi mendengar penuturan subo-nya tadi, tentu saja ia berpihak kepada Ang Nio. Dianggapnya bahwa pria yang menyerbu itu memang tak tahu diri, berani melanggar daerah orang lain, bahkan ia pun tadi melihat betapa pria itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio.

Perkelahian itu tidak berlangsung lama ketika dari tempat Hong Li menonton, terdengar laki-laki itu berteriak dan tubuhnya lalu roboh. Perkelahian itu berlangsung paling lama hanya tiga puluh jurus dan pedang di tangan Ang Nio telah menembus dada lawannya yang roboh dan tewas. Sementara itu, di bagian lain juga terjadi perkelahian antara Pek Nio melawan salah seorang penyerbu. Juga di sebelah kiri, nampak Hek Nio melayani seorang penyerbu lain.

Hong Li memandang dengan hati berdebar. Agaknya, baik Pek Nio mau pun Hek Nio dapat mengatasi perkelahian itu dan dengan pedang di tangan, mereka mendesak lawan masing-masing yang bersenjata golok. Seperti juga tadi, kurang lebih tiga puluh jurus kemudian, lawan mereka itu roboh oleh pedang mereka.

Dari tempat yang cukup jauh itu Hong Li tidak melihat darah mengalir, akan tetapi dia melihat betapa tiga orang telah roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang lagi yang secara kebetulan dapat saling bertemu di bawah sebatang pohon besar. Mereka bicara dan menuding ke sana-sini, ke kanan kiri, agaknya saling menceritakan bahwa mereka berdua menjadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki gunung.

Tiba-tiba mereka terkejut dan membalikkan tubuh. Tiga orang wanita pelayan itu muncul dari balik pohon dan berada di depan mereka, masing-masing menyeret tubuh seorang lawan yang sudah mati! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan mereka tahu-tahu telah menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu.

Agaknya mereka pun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya sekali. Tiga orang kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti menyerahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikomando lagi, dua orang itu membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.

"Hik-hik!" Hong Li mendengar suara subo-nya terkekeh. "Mereka kira akan dapat lolos begitu saja? Bodoh!"

Hong Li memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mengambil jalan yang keliru!

Mereka bukan menuju turun gunung, melainkan akan terputar-putar saja melalui tempat-tempat yang amat berbahaya. Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terperangkap di tempat berbahaya, tidak mungkin lolos seperti kata-kata subo-nya tadi, pikirnya.

Dugaannya memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan teriakan mengerikan, walau pun hanya terdengar lapat-lapat dari tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alisnya, jantungnya berdebar tegang penuh kengerian. Kiranya seorang di antara dua laki-laki yang melarikan diri tadi, sekarang salah langkah menginjak padang rumput dan segera tubuhnya tersedot karena di bawah rumput yang hijau subur dan indah itu terdapat lumpur yang dapat menyedot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh ke tempat itu.

Dan walau pun dari tempat dia menonton tidak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan ditemukan tulang rangkanya saja!

Hong Li bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat itu dan rahasianya, diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio melempar seekor kelinci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelinci itu yang bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan dia pun melihat pula ekor-ekor ular tersembul ketika mereka memperebutkan kelinci yang disedot ke bawah dan lenyap!

Kini Hong Li yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia merasa kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di bawah dan dekat dengan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia akan meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemukan jalan yang benar dan dapat meninggalkan tempat itu dengan selamat.

Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tidak senang dan melirik.

Dilihatnya betapa wajah cantik gurunya itu tampak berseri, matanya penuh kegembiraan mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li merasa ngeri. Sikap gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor tikus yang sudah tersudut! Ia pun kembali menujukan pandang matanya ke bawah.

Orang yang berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang bercabang-cabang itu.

"Jangan ke sana...!" Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja tidak terdengar orang itu.

Orang itu pun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tidak lama kemudian, orang itu sudah mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan tubuhnya sudah tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam pasir, akan tetapi pasir itu dapat berputar dan menyedot seperti lumpur tadi. Pasirnya licin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit saja orang yang terjatuh ke situ bergerak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin dalam!

Hong Li merayap turun melalui tiang-tiang yang menyangga menara itu, tiang-tiang dari bambu yang besar.

"Hong Li, hendak ke mana engkau?" Gurunya menegur heran.

"Subo, aku harus menolong orang itu!" kata Hong Li dan ia merasa amat heran bahwa gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus merayap turun dan setelah tiba setengah lebih tinggi menara itu, ia pun berani meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat oarang itu tenggelam di pasir maut.

"Diam, jangan bergerak sedikit pun!" Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam. "Aku akan menolongmu, jangan bergerak sedikit pun. Makin engkau bergerak, tubuhmu akan semakin tenggelam!"

Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar tapi pada saat itu, dia berada dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.

"Tolonglah aku... ahhh, selamatkanlah aku..." Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa takut.

Ngeri ia membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang amat mengerikan. Ketika tadi dia menginjak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia lalu berusaha untuk mengangkat kakinya, namun semakin ia berusaha, semakin dalam tubuhnya tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja yang mampu bergerak.

Begitu mendengar peringatan Hong Li, dia pun tidak berani bergerak dan benar saja. Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang tertanam di pasir itu terasa panas bukan main.

"Tenanglah dan jangan bergerak," kata pula Hong Li.

Ia lalu melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan hanya meninggalkan sedikit saja secukupnya untuk mengikatkan celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu kemudian diganduli sebuah batu dan dilemparnya ke arah orang yang tenggelam.

"Tangkap ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam semakin dalam!"

Orang itu menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka tubuh itu segera tersedot semakin dalam sampai ke leher!

"Tolol, jangan bergerak kataku!" Hong Li membentak marah.

Mulailah ia mengerahkan tenaganya untuk menarik orang itu keluar dari pasir. Laki-laki itu kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuara pun dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun beberapa sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya tertutup dan berarti kematian baginya.

Akan tetapi diam-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik keluar!

Dia tadi melibat-libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biar pun kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik, tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhirnya tubuhnya keluar sebatas pinggang!

"Tariklah lagi, nona yang baik, tarik terus...!" Lelaki itu terengah-engah, penuh harapan dan ketegangan. Dan Hong Li menarik terus, keringat membasahi dahi dan lehernya.

"Prattttt...!"

Tiba-tiba ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia lalu mengeluh panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!

"Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar," kata Hong Li.

Gadis ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan sebatang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkannya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daunnya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu.

Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir.....

Orang itu menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat sekali, sekarang berubah menjadi agak merah. Ia mengeluarkan suara seperti setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk memandang Hong Li dan matanya terbelalak.

"Nona, sungguh engkau hebat sekali!"

Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia sudah menolong musuh gurunya, merasa bagaikan seorang pengkhianat. "Mengapa engkau melanggar wilayah kami? Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihukum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar untukmu.”


Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya. Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darahnya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.

"Apa yang kau lakukan ini?!" bentaknya.

Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li. "Engkau anak yang cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan engkau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku pasti akan mencekikmu sampai mampus!"

Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya. Namun ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.

"Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!" kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li.

Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai dua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.

"Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!" laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tubuh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju.

Hong Li tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawan pun tidak akan ada gunanya. Dan ia pun tidak dapat mengeluarkan suara. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walau pun tidak ditotok, ia pun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhu-nya dan tiga orang pelayan?

Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dialaminya ini. Perlu apa minta tolong? Memalukan saja. Biarlah, ia telah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pundaknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang.

Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat.

Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perangkap-perangkap maut, akan tetapi ia pun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perjalanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.

Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di depan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati.

Akan tetapi, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka jatuh ke dalam sumur yang dasarnya tidak kurang dari lima belas meter dalamnya, di mana terdapat batu-batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu.

Kalau melangkah ke kanan, mereka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula. Tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya di sana ada ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang gemar makan daging manusia, yang membuat dirinya bergidik ngeri membayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati.

Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan melampauinya dan selamat. Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya.

Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu segera mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring, "Hayo cepat tunjukkan jalan!"

Dia pun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu betapa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataukah yang kiri.

Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan dia pun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok ke kanan dan menghardik, "Hayo jalan!"

Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terjeblos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali.

Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke dalam kolam lumpur!

"Auhhhhh, toloonggg...!" Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong.

Dalam kagetnya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting sehingga terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka sekarang saling berpandangan. Laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!

Meski Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Gadis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya dapat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak berdaya.

Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja dia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apa lagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tidak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya.

Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.

Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu kemudian terbetot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.

Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya. "Subo, maafkan aku... tidak... hukumlah aku, subo...," katanya setengah menangis saking kesal dan marah terhadap laki-laki jahat itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li."

Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Hong Li menengok dan melihat betapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya!

Hong Li tidak dapat melihat lebih lanjut dan dia pun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya. Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itu pun terhenti tiba-tiba, seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik.

Dia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini sudah terbenam ke dalam lumpur. Dia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering.

Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.

"Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi aku tentu dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja membiarkan saja, hanya membayangi supaya engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku lantas tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar selalu kau ingat, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan selalu bersikaplah hati-hati terhadap orang lain, apa lagi yang belum kau ketahui benar bagai mana wataknya."

"Akan tetapi, subo. Aku sungguh tidak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!"

Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas, "Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan bagi diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bodoh, muridku."

Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan heran sekali mendengar nasehat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasehat gurunya ini dari nasehat ayah ibunya!

Ayah ibunya selalu mengajarkan agar ia menggunakan kepandaiannya untuk menolong sesama manusia yang menderita, untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.

Gurunya kemudian mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyerbu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lemparkan begitu saja ke dalam kolam lumpur!

Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walau pun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai menggunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemaninya berlatih silat.

Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walau pun dari mereka ia tidak dapat memperoleh ilmu baru. Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.

Mulai hari itu, gurunya sering kali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke menara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan juga dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang, meski baru beberapa hari tinggal di situ, kalau sedang berdiri melamun di puncak menara dan memandang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali saat matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemasan dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara, kemudian naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melainkan hanya meloncat sampai setengah tiang, menyambar tiang dan memanjat naik.

Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warnanya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari.

Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, ia pun terkejut dan merasa khawatir sekali.

Siapakah orang itu, pikirnya. Lawan atau kawan? Dan ia merasa ngeri membayangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimana pun juga, hatinya tak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapa pun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kematian benar-benar amat mengerikan dan terlalu kejam.

Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera berubah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang yang baru datang itu, walau pun hanya dengan langkah-langkah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah.

Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan ia pun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seakan-akan sudah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu.

Langkah-langkahnya teratur dan kakinya bagaikan sudah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering datang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat-cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu.

Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia melihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata sekarang sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang sangat berbahaya itu.

Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas.

Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main saat ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salah lagi. Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu. Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.

Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan ia memandang dengan penuh perhatian.

"Omitohud, agaknya inilah anak itu. Ehhh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah...!" Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li.

Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biar pun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah menghampiri kakek itu! Melihat ini, gurunya membentak.

"Hong Li, kembali ke tempatmu!" Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu.

Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya. Dia pun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.

"Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak," bisik Ang Nio.

Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagai mana gurunya menghadapi kakek aneh itu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu?

Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut, "Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menyerahkan anak itu kepada pinceng."

"Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Apakah engkau lupa akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suheng-mu? Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sendiri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!" Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.

"Omitohud... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng."

"Kakek tua bangka! Kini ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah baik-baik, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?"

Mendadak Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!

Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat terkenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah keturunan dari keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti. Tentu saja ia, biar pun usianya baru tiga belas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bukanlah sungguh-sungguh menjadi harimau!

Betapa pun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan sekarang, ‘harimau betina’ yang hendak mempertahankan anaknya itu dengan buasnya, sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, menerjang dan menubruk ke arah Ang I Lama!

"Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!" Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merahnya berkibar saat dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Pada saat harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau.

"Siancai, kembalilah kepada keaslianmu, Sin-kiam Mo-li!"

Harimau itu hendak mengelak tetapi terlambat. Ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergulung-gulung yang segera menutupi tubuhnya sehingga membuat keadaan di situ menjadi gelap.

Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itu pun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata juga sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup.

"Omitohud...!" serunya berkali-kali dan dia pun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nampaklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran.

Wanita cantik ahli sihir ini maklum bahwa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu jika menggunakan sihir, maka ia segera menerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar.

Kembali kakek itu mengelak ke samping kemudian kedua lengannya digerakkan untuk menangkis dari samping.

"Dukkk!"

Kedua pasang lengan itu bertemu di udara. Seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat dia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya agak terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama.

Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan kembali ia menyerang dengan pukulan yang bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut, maka terjadilah perkelahian yang hebat.

Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung yang menyerang seekor ular. Tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang akan tetapi mantap menyambut setiap serangan dari mana pun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang. Walau pun dia hanya membalas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, tapi semua serangannya mengandung kekuatan yang membuat lawannya harus cepat menghindarkan diri.

Biar pun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi dapat mengikuti gerakannya sehingga ia pun dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini terbukti betapa gurunya selalu berusaha menghindarkan bentrokan lengan kalau serangannya akan ditangkis lawan, dan tiap kali terpaksa kedua lengan mereka bertemu, tentu tubuh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.

Dugaan anak perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghindarkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah memegang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan pedang. Nama julukannya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itu pun sama sekali tidak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!

"Sing-sing... wuuuuttt...!"

Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang serta kebutan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.

"Siancai...!" Ang I Lama berseru.

Cepat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil mengelak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seuntai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.

"Trik! Trik! Tranggg...!"

Nampak api berpijar pada saat pedang bertemu dengan biji-biji tasbeh itu. Dan kembali pertemuan tenaga melalui senjata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke belakang.

Perkelahian berlangsung semakin seru. Kadang tubuh dua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seimbang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walau pun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan.

Juga di antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li menyerang dengan hebatnya, tiap serangannya merupakan serangan maut yang mengarah nyawa, sebaliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serangannya dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud memburuh lawan.

Betapa pun juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li makin terdesak dan terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Kenyataan ini membuat Hong Li memandang khawatir.

"Majulah, bantulah subo," desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu.

Tiga orang pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani maju, merasa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio dan ia pun berkata, "Kalau begitu, biarlah aku saja yang membantu subo!" Ia pun meloncat ke depan.

Tiga orang pelayan itu terkejut.

"Siocia...!” mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan masuk ke dalam arena perkelahian mereka pun tak dapat mencegah lagi.

"Lama jahat!" Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta itu.

Ang I Lama terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata, "Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!"

"Takkk!"

Pedang itu membalik dan Hong Li merasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti menusuk baja saja. Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu telah menangkap pundaknya.

"Mari ikut bersama pinceng, anak baik!" kata pula Ang I Lama.

Akan tetapi Hong Li menjadi marah dan meronta. "Lepaskan aku, pendeta jahat!" dan kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.

"Trakkk!"

Pedangnya patah menjadi dua potong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya, tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.

"Lepaskan anakku!" Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya lalu membacok ke arah kepala Ang I Lama.

"Tranggg...!"

Tasbeh itu menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental.

Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak dan kebutannya kini menyambar ke arah... kepala Hong Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya. Dengan agak tergesa-gesa dia pun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan menangkis kebutan.

"Prattt!"

Bulu-bulu kebutan itu sekarang melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu, Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut pada saat wanita itu menyerangnya dengan kebutan, kini ingin membantu gurunya. Melihat betapa mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya, mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!

"Siancai...!" Ang I Lama terkejut bukan main.

Anggota tubuhnya tidak akan takut menghadapi serangan seorang anak kecil seperti Hong Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke belakang untuk mengelak.

Pada saat itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung pendeta Lama itu. Demikian cepat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat, menggunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.

"Cappp...!"

Biar pun pendeta itu mempergunakan sinkang, namun sudah tidak keburu dan pedang itu menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darah pun muncrat dan pada saat itu, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I Lama.

"Omitohud...!" Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu, pergi sambil membawa luka yang dalam di lambungnya!

Sin-kiam Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar sebagai pemenang. Ia tadi sudah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang kepala Hong Li. Memang, ia membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan tetapi akal itu bagus sekali.

Serangan mematikan itu tentu saja membuat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li, menjadi kaget dan cepat melindungi sehingga terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang. Apa lagi ia dibantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setia kepadanya. Ia tak berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup parah.

Dirangkulnya Hong Li dan diciuminya pipi anak itu. "Hong Li, bagus sekali, engkau telah membantuku mengalahkan Lama yang jahat itu!"

"Akan tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat sekali!" kata Hong Li.

"Memang dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat mengalahkan orang-orang seperti dia ini."

"Di bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan kini di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan ilmu sihir kepadaku."

Sin-kiam Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia kehilangan seorang penolong yang akan mampu membawanya kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskannya dari cengkeraman seorang wanita iblis yang sesungguhnya merupakan musuh besar keluarganya!

Sin-kiam Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan Hong Li. Anak perempuan ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari kebun rumah orang tuanya, terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu.

Yang melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada waktu itu masih tekun bertapa di dalam goa pertapaannya. Lalu siapakah yang melakukan penculikan itu? Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama! Hal ini dapat dilakukannya dengan mudah sekali karena selain pandai ilmu silat, ia pun pandai ilmu sihir dan pandai melakukan penyamaran.

Akan tetapi, mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah dia sebenarnya? Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nionio! Pada waktu Kim Hwa Nionio bersekongkol dengan Sai-cu Lama, Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke daerah pantai selatan. Ia tidak tahu akan persekutuan itu, juga tidak mencampurinya. Ketika ia pulang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu angkatnya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.

Tentu saja ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi ia pun maklum siapa itu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tak mampu menandingi mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara lain.

Setelah melakukan penyelidikan, dia pun menjatuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li, satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, keturunan keluarga Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir. Dan terjadilah penculikan itu.

Ia sengaja mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu, dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai sute dari Sai-cu Lama supaya suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi musuh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup mengenal watak Ang I Lama yang saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai.

Maka dia mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu domba. Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka pada keluarga itu yang kehilangan puterinya. Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh untuk membalas dendam.

Akan tetapi setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan. Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang sangat baik dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan. Kedua, ia akan mendidik anak itu supaya kelak dapat mengikuti jejaknya yang berlawanan dengan jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu!

Hong Li tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I Lama!

Walau pun pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat pula berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya, seperti yang diperlihatkannya ketika menghadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun ia menganggap gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya.

Dan ia pun dengan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, sama sekali tidak berada di bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nionio…..

********************

Dua orang pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan goa mereka, kemudian terdengar suara orang itu mengerang kesakitan. Dua orang pendeta Lama itu segera keluar dari goa tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka mengenal bahwa yang roboh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat mereka kenal dan masih terhitung paman seperguruan mereka.

"Susiok...," keduanya berlutut dan segera memeriksa.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali, tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama beberapa hari sehingga membengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat diselamatkan nyawanya.

"Susiok, apa yang telah terjadi? Mengapa susiok bisa terluka seperti ini?" tanya pendeta pertama.

"Susiok, siapa yang melakukan ini?" tanya pendeta ke dua.

Akan tetapi keadaan Ang I Lama telah demikian payah. Napasnya tinggal satu-satu dan sukar sekali baginya untuk mengeluarkan suara walau pun mulutnya bergerak-gerak. Akan tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikit pun tidak ada rasa dendam terhadap Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikit pun niat di hatinya untuk memberi tahu kepada orang lain siapa yang telah melukainya.

Keinginan hatinya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tenaga terakhir dia pun memaksa diri untuk menyampaikan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini.

Akhirnya dapat juga dia mengeluarkan suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas. "... Kao Cin Liong dan isterinya... mereka... cepat... ouhhh..." kakek itu terkulai dan napasnya pun terhenti. Dia mengerahkan tenaga terlalu banyak namun tidak kuat melanjutkan kata-katanya.

Dua orang pendeta Lama itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka pun tentu saja mengenal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan di barat. Panglima Kao amat terkenal dan tentu saja mereka kini terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai pembunuh Ang I Lama!

Kedua orang pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, kemudian membawa abu jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju ke Tibet. Di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman mereka ketika menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia karena luka parah di lambungnya.

Ketika para pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang. Mereka teringat bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan menanyakan di mana adanya Ang I Lama! Mereka melihat sikap isteri pendekar bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah sekali terhadap Ang I Lama.

Dan kini muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan luka di lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak sembarang orang akan dapat melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri pendekar itu yang telah membunuhnya? Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.

"Hemm, kita tak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Jika hal ini kita diamkan saja, bukankah semua orang lalu memandang rendah kepada kita, para Lama? Kita dapat membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibasmi dan dibunuh sekali pun tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, benar-benar merupakan hal yang penuh dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!"

"Akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas panglima yang gagah perkasa!" kata Lama ke dua.

"Kita tidak perlu takut demi membela kebenaran!" kata Lama ke tiga.

Ketua para Lama menarik napas panjang mendengar pendapat para pembantunya. "Omitohud, semoga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai dengan amal kebaikannya sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu merasa takut untuk menghadapi ketidak adilan, akan tetapi bagaimana pun juga, kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita harus ingat bahwa kita berhadapan dengan keturunan orang-orang besar. Kao-taihiap adalah keturunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan kedua keluarga itu. Karena itu, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gurun Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."

Mendengar ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimana pun juga, mereka percaya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan. Kalau peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang I Lama yang tak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri sekali pun.

Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul antara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan sahabat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama?

Karena agaknya urusan kematian Ang I Lama ini merupakan lanjutan dari pembasmian komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat ialah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ketua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi Hwesio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.

"Kalau tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir," demikian katanya.

Kenyataan ini mempertebal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang merupakan orang yang paling tepat sebagai perantara menuntut keadilan ke Gurun Pasir.

Tiong Khi Hwesio kemudian dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia merasa heran, tetapi juga tidak menolak ketika seorang pendeta Lama menyadarkannya dari pertapaan dan menyampaikan undangan para pimpinan Lama supaya dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat penting.....

Setelah hwesio tua ini tiba di depan para pendeta Lama, dia disambut dengan amat ramah. Melihat wajah yang penuh kedamaian dari pendeta ini, para pimpinan Lama merasa tidak enak hati sendiri. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi teramat penting maka mereka mengesampingkan semua perasaan tidak enak dan pimpinan para Lama segera menceritakan kepada Tiong Khi Hwesio tentang peristiwa yang terjadi.

Tentang kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang sebelumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama. Kemudian para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka yang juga merupakan tuduhan mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.

"Saudara Tiong Khi Hwesio tentu sudah mengenal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak puluhan tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga tidak mungkin menanam permusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi, beberapa hari sebelum dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini minta keterangan tentang Ang I Lama. Dan melihat sikap mereka, terutama sekali isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tidak lama setelah mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, ternyata ia pun sudah dibunuh orang dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat menyebutkan nama Kao Cin Liong dan isterinya. Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk dapat menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka berdua yang sudah membunuh Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya akan mampu membunuhnya."

Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan bagaimana pun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya sebab ibu kandung pendekar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.

Dengan sikap tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai, barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus. "Lalu apa maksud para saudara Lama sekarang mengundang pinceng datang ke sini. Apa yang dapat pinceng lakukan dalam urusan ini?"

"Kami sedang merasa bingung. Urusan pembunuhan ini tidak mungkin didiamkan saja. Akan tetapi kami pun tidak ingin menanam permusuhan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, maka kami pun teringat kepada saudara Tiong Khi Hwesio yang menjadi saudara kami yang amat baik. Terutama sekali bila mengingat akan adanya tali kekeluargaan saudara dengan mereka, maka kami mengharapkan bantuan saudara untuk menjadi perantara di antara kami dan mereka untuk menuntut keadilan."

Tiong Khi Hwesio mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. Dalam usia yang sudah tua ini, yang ingin dihabiskannya dalam kedamaian dan ketenteraman, ternyata masih ada saja urusan yang mengejarnya. Akan tetapi, semua itu dianggapnya sudah sewajarnya, maka dia pun tak mengeluh dan tidak pula merasa penasaran atau kecewa.

"Omitohud..., kehendak Thian jadilah! Pinceng akan pergi menemui keluarga itu untuk membicarakan urusan ini."

Para pimpinan Lama merasa lega. Kalau tidak ada Tiong Khi Hwesio yang menjadi perantara, mereka khawatir kalau-kalau akan terjadi permusuhan yang semakin hebat. Para pimpinan maklum bahwa banyak di antara pendeta Lama yang masih belum dapat menguasai dorongan perasaan sehingga kematian Ang I Lama itu dapat menimbulkan kemarahan dan dendam yang besar.

Beberapa hari kemudian, Tiong Khi Hwesio pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Ia berjalan seorang diri seperti orang melamun. Ia melihat kenyataan yang amat aneh dalam kehidupan ini.

Seorang seperti Ang I Lama, bagaimana pula sampai tertimpa mala petaka seperti itu, dibunuh orang? Pada hal, dia tahu benar bahwa Ang I Lama adalah seorang pendeta yang sejak puluhan tahun sudah mundur dari semua urusan dan keramaian dunia, tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, bahkan tidak pernah meninggalkan tempat-tempat yang sunyi dan sepi.

Hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Manusia tidak menguasai kedua hal itu. Manusia hanya wajib mengisi kehidupan dan tergantung dari dirinya sendirilah akan bagaimana jadinya dengan hidupnya. Dia sendirilah yang akan mewarnai kehidupannya. Namun bukan dia yang menentukan segalanya.

Betapa pun pandainya seseorang, betapa pun kuatnya seseorang, dia tidak mungkin dapat mempertahankan hidupnya jika Tuhan sudah menghendaki kematiannya. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita lalu begitu saja ‘menyerahkan nasib’ kepada Tuhan. Ini sama saja dengan mempersatukan Tuhan demi untuk kepentingan diri sendiri, bahkan condong untuk memperbudak kekuasaan tertinggi di alam mayapada ini.

Tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang akan mau menolong kita kalau kita sendiri tidak mau menolong diri sendiri, karena sesungguhnya di dalam diri kita terdapat pula kekuasaan itu, melalui panca indriya kita, melalui pikiran kita, melalui seluruh urat syaraf di tubuh kita. Semua kekuasaan itu sudah ada pada kita, maka kalau tidak kita pergunakan, tentu saja tidak ada lagi kekuasaan yang akan menolong diri kita.

‘Percaya kepada Tuhan’ atau yang lazimnya disebut iman bukan hanya permainan lidah belaka, seperti yang kita lihat dalam kehidupan kita ini. Iman tanpa perbuatan hanya merupakan kemunafikan terselubung saja. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman, dalam arti kata kesadaran sepenuhnya, keyakinan sedalamnya akan kekuasaan tertinggi yang menentutan segala-galanya, maka perbuatan itu akan bisa menyeleweng tanpa kemudi, hanya didorong oleh naluri dan kepentingan diri sendiri, sama saja dengan perbuatan binatang-binatang yang tidak memiliki akal budi dan pikiran.

Kalau kita ingin berhasil, kita harus bertindak. Kalau ingin selamat, harus menjaga diri. Dan apa bila semua itu sudah kita lakukan, namun ternyata akhirnya gagal, maka kita harus mencari sebab kegagalan itu dalam diri sendiri! Karena semua hal baik mau pun kegagalan bersumber dari diri sendiri, bukan karena kesalahan orang lain, dan adalah licik untuk berkeluh kesah dan melontarkan semua ratapan kepada Tuhan, seolah-olah Tuhan yang bertanggung jawab atas kegagalan kita!

Kalau ada kegagalan, tentu ada kesalahan dalam tindakan kita, walau pun mungkin saja mata kita tidak melihat adanya kesalahan itu. Kita selalu condong untuk membenarkan diri sendiri. Kita merasa amat sulit untuk mengoreksi diri, untuk meneliti tindakan sendiri, untuk menemukan kesalahan dalam diri sendiri.

Cara yang ditempuh Tuhan kadang-kadang bahkan sering kali sukar untuk dimengerti oleh akal manusia yang amat terbatas ini. Kita biasanya hanya menerima segala akibat penempuhan cara yang penuh rahasia itu, kalau menyenangkan kita bersyukur, kalau menyusahkan kita mengeluh, karena semua pendapat kita didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Padahal, belum tentu kalau sesuatu yang kita anggap buruk menimpa diri kita itu memang benar buruk. Belum tentu!

Banyak sudah buktinya bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita itu justru merupakan penghindaran yang luar biasa pada diri kita dari ancaman bahaya yang lebih hebat lagi! Seperti sebuah operasi pada tubuh kita, nampaknya menyusahkan, padahal operasi itu penting sekali untuk melenyapkan penyakit yang jauh lebih ganas yang ada pada diri kita.

Oleh karena itu, orang bijaksana selalu akan menerima segala macam peristiwa yang menimpa dirinya tanpa menilainya sebagai baik mau pun buruk, selalu menerima apa adanya tanpa membanding-bandingkan, dengan penuh kesadaran bahwa segala yang terjadi sudah dikehendaki oleh Tuhan, maka sudah wajarlah!

Orang bijaksana akan selalu mengerti dan yakin bahwa ‘semua kehendak Tuhan jadilah’ sementara dia selalu waspada akan segala perbuatannya, lahir batin, termasuk jalan pikirannya, ucapannya, gerak-geriknya. Tidak menginginkan atau menyesali yang sudah lalu, tidak mengharapkan atau menjauhi hal yang belum datang. Bahkan sama sekali tidak memusingkan masa lalu dan masa depan, melainkan sepenuhnya hidup saat ini, sekarang ini, detik demi detik
.

Semua hal inilah yang menjadi isi batin Tiong Khi Hwesio ketika dia berjalan seorang diri dengan tenangnya. Kewaspadaannya membuat ia dapat melihat segala hal yang terjadi di dalam dirinya, di luar dirinya dan apa yang terjadi dalam kehidupan manusia pada umumnya di dunia ini.

Dia melihat kepalsuan-kepalsuan menyelimuti hampir seluruh sendi kehidupan manusia, kebaikan-kebaikan palsu karena kebaikan-kebaikan itu dilakukan orang sebagai cara untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan, kehormatan dipuja-puja, agama dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenangan, dipakai untuk menutupi kebencian yang membakar batin terhadap golongan lain, dipakai untuk menangkat diri dan golongan sendiri ke tempat yang lebih tinggi dan bersih, dipakai untuk mencemooh mereka yang dianggap kotor dan lebih rendah.

Kesucian digunakan sebagai kebersihan pakaian yang membungkus diri, yang dianggap akan dapat menyucikan dan membersihkan tubuh yang sebenarnya kotor. Peradaban menjadi hal yang paling tidak beradab, namun menang karena disahkan oleh umum. Kesopanan hanya sebatas kulit, kesopanan terletak pada pangkat, pakaian, senyum dan ucapan belaka.

Tidak pernah lagi ada kesatuan antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Apa yang dipikir lain dari apa yang di ucapkan, dan apa yang diucapkan tidak cocok dengan apa yang diperbuat. Kemunafikan dan kepalsuan di mana-mana. Tidak ada lagi cinta kasih yang tulus ikhlas, tanpa memihak, tanpa memilih, yang ada hanyalah cinta nafsu, cinta yang didorong demi kepentingan, demi kesenangan diri pribadi.

Dia bahkan melihat betapa orang-orang melarikan diri ke goa-goa, ke gunung-gunung atau mengubur diri di dalam kelenteng atau kuil-kuil, menyiksa diri, tapi sebagian besar di antara mereka itu melakukan semua itu hanya sebagai cara untuk memperoleh sesuatu yang mereka harap-harapkan, tentu saja sesuatu yang akan menyenangkan hati mereka, akan memberi kepuasan terhadap keinginan mereka.

Atau ada pula yang melakukan hal itu karena ingin melarikan diri dari kehidupan yang membuat mereka muak, berduka, kecewa dan sakit hati. Dan tentu saja pelarian ini pun merupakan cara untuk mencari sesuatu yang lebih menyenangkan! Semua perbuatan manusia sudah menjadi palsu karena selalu menyembunyikan pamrih demi kepentingan dan kesenangan diri pribadi
.

"Ya Tuhan, apa akan jadinya dengan kita para manusia ini?" Akhirnya Tiong Khi Hwesio berbisik dalam hatinya. "Mungkinkah kita mampu menanggalkan semua kepalsuan dan kemunafikan itu, melenyapkan semua pamrih mencari kesenangan dan kepuasan diri pribadi itu, dan menanggalkan semuanya sehingga kita dapat menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang, dalam keadaan kosong sama sekali? Mungkinkah kita menjadi diam dan kosong hingga menjadi jernih, sehingga sinar-Mu dapat menembus dan memasuki batin. Sehingga kita mengenal cinta kasih yang suci murni?"

Angin bersilir menimbulkan suara bisik-bisik pada daun-daun di pepohonan. Tiong Khi Hwesio menghentikan langkah, menengadah dan memandang daun-daun pohon yang bergoyang-goyang. Bagaikan menari-nari sambil saling bergeseran menimbulkan suara bisik-bisik seperti berdendang dan dia pun tersenyum.....

********************

Sim Houw dan Bi Lan telah tiba di daerah Tembok Besar. Bi Lan telah bersikap biasa kembali, merupakan seorang gadis yang bagi Sim Houw sukar untuk dijajaki isi hatinya. Kadang Sim Houw seperti melihat dengan jelas bahwa gadis itu membalas perasaan hatinya, membalas cintanya. Ada kemesraan yang hangat dalam senyum dan pandang matanya, namun Sim Houw membantah sendiri kenyataan ini. Tak mungkin, katanya.

Bagaimana mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan, yang usianya tidak akan lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahun dapat jatuh cinta kepada dia yang sudah menjelang tua? Usianya sudah hampir tiga puluh lima tahun! Bi Lan tentu memandang dia sebagai seorang sahabat baik, bahkan mungkin sebagai seorang kakak yang selalu melindunginya!

Kalau dia mempunyai pikiran yang bukan-bukan, bagaimana nanti pendapat Bi Lan? Bukankah dia seakan-akan menjadi pagar makan tanaman, seorang pelindung yang hendak mengganggu gadis yang dilindunginya? Tidak, dia tidak akan melakukan hal itu, sampai mati pun tidak! Kecuali kalau memang Bi Lan cinta padanya, akan tetapi, tak mungkin hal itu terjadi.

Kedukaan kadang-kadang melanda hati Sim Houw, akan tetapi hanya sebentar karena saat melihat kelincahan dan kegembiraan Bi Lan yang jenaka, lenyaplah kedukaannya. Bagaimana pun juga, melakukan perjalanan bersama gadis itu, pahit mau pun manis dialami bersama Bi Lan, merupakan kebahagiaan yang menghapus segala duka dan keprihatinan hatinya. Dia tidak akan memikirkan hal lain, takkan memikirkan hal yang belum terjadi, apa akan jadinya kelak. Yang penting, sekarang Bi Lan selalu berada di sampingnya dan itu sudah cukup baginya!

Musim salju baru saja lewat dan kini mereka memasuki bulan musim semi. Walau pun pemandangan amat indah dan bunga-bunga sudah mulai ada yang berkembang, tetapi musim salju masih meninggalkan hawa dingin menyusup tulang. Sering kali, walau pun sudah mengenakan pakaian tebal dan sudah mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin, tetap saja Bi Lan merengek kedinginan sehingga terpaksa Sim Houw yang merasa kasihan menghentikan perjalanan untuk membuat api unggun, biar pun pada tengah hari.

Karena itu perjalanan menjadi amat lambat dan baru setelah mereka tiba di daerah Tembok Besar, hawa tidak begitu dingin seperti ketika mereka melalui puncak-puncak pegunungan yang tinggi. Berkali-kali Bi Lan berhenti untuk menikmati pemandangan yang amat ajaib. Tembok Besar itu nampak seperti seekor naga, memanjang dari barat ke timur seperti tiada habisnya. Nampak indah dan kokoh kuat.

Setelah hari menjadi malam baru mereka mencapai Tembok Besar dan hawa kembali menjadi amat dinginnya di malam hari itu. Mereka berlindung di bawah tembok dan Sim Houw segera membuat api unggun, memanggang bekal makanan yang terdiri dari roti kering dan daging kering. Setelah makan dan minum secara sederhana, mereka lalu duduk beristirahat di dekat api unggun.

"Begini sunyi...," kata Bi Lan dan tubuhnya agak menggigil, bukan akibat kedinginan lagi karena api unggun itu bernyala dengan indahnya, melainkan merasa ngeri juga.

Ia berada di dalam alam yang begitu luasnya hanya bersama Sim Houw, seolah-olah mereka berdua sajalah manusia-manusia yang hidup di dunia ini. Sunyi dan kadang-kadang terdengar suara-suara binatang yang aneh-aneh, yang belum pernah didengar sebelumnya. Ketika terdengar bunyi lolong yang mengerikan dan panjang berkali-kali, seperti saling sahut dari sebelah kanan dan kiri, Bi Lan berbisik.

"Toako... suara apakah itu?"

Sim Houw menatap wajah yang cantik kemerahan di bawah sinar api unggun itu sambil tersenyum. "Itulah suara serigala-serigala yang berkeliaran di daerah ini, Lan-moi."

"Serigala? Aku pernah mendengar namanya akan tetapi belum pernah melihatnya."

"Seperti seekor anjing biasa, tidak berapa besar, namun dia adalah anjing liar yang buas. Lebih kuat dan tangkas dari pada anjing biasa karena sejak lahir berada di alam bebas yang mempunyai hukum rimba, sudah biasa dengan perkelahian mati-matian, baik untuk membela diri mau pun untuk mencari makan."

Bi Lan menarik napas lega. "Suaranya demikian mengerikan, ternyata hanya seperti seekor anjing biasa, sama sekali tidak berbahaya."

Kembali Sim Houw tersenyum dan suaranya terdengar lembut, bukan untuk menakut-nakuti ketika dia memperingatkan, "Moi-moi, biar pun serigala hanya merupakan seekor anjing biasa, namun dia jauh lebih berbahaya dari pada anjing. Selain kuat dan tangkas, yang paling berbahaya adalah karena mereka licik dan cerdik, juga biasanya hanya menyerbu dengan gerombolan yang cukup banyak. Karena itu, binatang lain yang lebih besar dan kuat, takut menghadapi serigala. Bahkan harimau pun akan lari menjauhkan diri, takut dikeroyok."

Bi Lan terbelalak dan kembali ia menoleh ke kanan kiri dengan sikap ketakutan. Hal ini menggelikan hati Sim Houw dan dia pun berkata, "Lan-moi, kalau serigala-serigala itu mengenalmu, tentu mereka yang akan menggigil ketakutan."

"Aku ngeri membayangkan kelicikan mereka. Mereka itu seperti segerombolan orang jahat yang curang dan licik, yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan."

"Memang, dan di dunia kang-ouw, orang-orang macam itu memang ada yang disebut sebagai gerombolan serigala."

Mendadak suara lolong serigala itu berubah menjadi suara gonggongan dan menyalak-nyalak yang riuh, seolah ada banyak anjing yang marah-marah dan menggonggong secara berbareng, tidak seperti tadi, melolong saling sahut. Mendengar ini, Sim Houw mengerutkan alisnya. Sebagai keturunan ahli-ahli pemburu binatang buas dia pun dapat menduga apa artinya suara riuh rendah itu.

"Celaka, mereka telah menyerbu sesuatu. Mari kita lihat!" kata Sim Houw.

"Ihh, untuk apa melihat? Paling-paling mereka itu sedang mengeroyok seekor binatang buas yang lebih besar."

"Siapa tahu? Aku khawatir kalau-kalau mereka itu mengeroyok manusia yang perlu kita tolong. Lihat, bulan sudah muncul dan cuaca tidak begitu gelap. Kita dapat mencari ke arah suara hiruk-pikuk itu."

"Mana ada manusia di tempat seperti ini, toako?"

"Engkau tidak tahu. Biar pun jarang, kadang-kadang ada saja rombongan saudagar yang berlalu-lalang di sini, yaitu mereka yang membawa barang dagangan keluar dan masuk Tembok Besar. Marilah."

Mereka lalu menggendong buntalan pakaian mereka dan memadamkan api unggun. Dengan Sim Houw berada di depan dan Bi Lan di belakangnya, mereka lalu berloncatan dengan hati-hati, menuju ke arah suara hiruk-pikuk yang terdengar di sebelah timur. Mereka menyusuri sepanjang Tembok Besar karena suara ribut-ribut itu terdengar di sebelah dalam tembok, bukan di luar.

Akhirnya, setelah mendengar betapa suara gonggongan serigala itu kini bercampur dengan suara menguik dan ketakutan sehingga Sim Houw menduga tentu binatang-binatang itu mengeroyok seekor binatang lain yang kuat, mereka tiba di tempat terbuka, di kaki tembok.

Masih nampak ada api unggun kecil menyala di dekat kaki tembok, dan tidak jauh dari situ, di atas rumput yang kuning dan baru bersemi setelah layu selama berbulan-bulan karena musim salju, nampaklah seorang laki-laki sedang dikepung dan dikeroyok oleh gerombolan anjing serigala yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh ekor! Melihat betapa di sekitar tempat itu terdapat banyak bangkai-bangkai serigala berserakan, dapat diketahui bahwa pengeroyok itu tadinya jauh lebih banyak lagi!

Bi Lan hendak meloncat untuk membantu, akan tetapi Sim Houw memegang lengannya.
"Sssttt... lihat betapa gagahnya dia. Dia tidak membutuhkan bantuan..."

Bi Lan memandang dan ia pun menjadi kagum. Lelaki itu bertubuh tinggi tegap, berdiri kokoh, kuat di atas tanah. Lengan kanannya ditekuk dengan tangan di bawah pinggang, jari-jari tangan terbuka dan terlentang, lengan kirinya diangkat dengan tangan di depan dada, juga terbuka, kedua kaki terpentang lebar ke kanan kiri. Sedikit pun lelaki ini tidak bergerak walau pun serigala-serigala itu mengepungnya sambil menyalak-nyalak dan meringis memperlihatkan taring-taring yang runcing dan memandang dengan mata yang merah beringas dan buas.

Tiba-tiba dua ekor serigala menubruk dari arah belakang lelaki itu sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat.

"Licik...!" Bi Lan memaki lirih.

"Bukk! Desss!"

Laki-laki itu memutar tubuhnya, seolah-olah di belakang kepalanya ada matanya yang melihat gerakan dua ekor binatang itu, kakinya menendang dan tangannya menyambar. Robohlah dua ekor binatang itu, berkelojotan dan berkuik-kuik seperti anjing-anjing kena gebuk.

"Bagus...!" Bi Lan memuji.

"Kau melihat gerakan itu? Dia murid Siauw-lim-pai atau setidaknya menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai," kata Sim Houw, juga kagum.

Laki-laki yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena cuaca tidak cukup terang itu memang gagah sekali. Sedikit pun dia tidak nampak gugup, tenang-tenang saja dia menanti serigala-serigala yang mengepungnya menyerang dari berbagai arah. Namun, setiap kali ada serigala yang menerjangnya, tentu disambut pukulan tangan miring atau tendangan dan sekali pukul atau satu kali tendang saja sudah cukup untuk membuat seekor serigala roboh dan tidak mampu bangun kembali.

Serigala-serigala itu agaknya tidak menjadi jera, mereka kini menerjang dari empat penjuru. Laki-laki itu nampak menggerakkan tubuh ke sana-sini sambil menendang dan menampar dan kini ada delapan ekor serigala yang terpelanting ke sana-sini. Barulah sisa gerombolan itu menjadi jeri, mereka mengeluarkan suara seperti menangis dan mundur-mundur, lalu melarikan diri sambil melolong-lolong, seolah-olah merasa kecewa dan menangisi kesialan mereka malam itu.

Laki-laki itu tidak mengejar, sejenak berdiri tegak memandang ke sekelilingnya. Tidak kurang dari lima belas ekor anjing serigala yang berserakan menjadi bangkai di sekitar tempat itu, ada pula yang masih berkelojotan lemah. Laki-laki itu lalu melompat dan memanjat naik ke atas tembok sambil menatap bulan yang sudah naik agak tinggi di timur.

Sim Houw dan Bi Lan hanya memandang dengan kagum. Betapa gagahnya laki-laki itu, seperti sebuah patung seorang pendekar yang gagah perkasa berdiri di tempat sunyi itu, diterangi sinar bulan. Tiba-tiba lelaki itu bicara dengan suara nyaring, kata-katanya jelas dan satu-satu, teratur seperti sajak.

Melihat kejam dan buasnya serigala
mengganggu dan membunuh orang tak berdosa
kenapa tidak turun tangan dan membasminya?
Penjajah lebih kejam dari pada serigala
mencekik dan menindas rakyat jelata
mengapa orang-orang gagah
tidak bangkit dan mengusirnya?


Mendengar ucapan itu, Sim Houw dan Bi Lan merasa disindir. Jangan-jangan laki-laki itu memang sengaja menyindir mereka! Memang selama ini Sim Houw mendengar akan adanya orang-orang gagah, terutama dari Siauw-lim-pai, yang mengadakan gerakan, bangkit menentang pemerintah penjajah. Gerakan ini mereka namakan ‘berjuang untuk kemerdekaan rakyat’.

Tentu saja pihak pemerintah menganggapnya sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil dan semua gerakan itu ditindas oleh pasukan besar sehingga sampai demikian jauh, belum ada gerakan yang berhasil.

Mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, tidak pernah mencampuri urusan itu. Dan kalau baru-baru ini mereka membantu para pendekar untuk membasmi komplotan Sai-cu Lama yang menjadi kaki tangan pembesar lalim Hou Seng, maka hal itu mereka lakukan tanpa ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan, melainkan semata-mata karena mereka memusuhi komplotan jahat itu.

Selagi Bi Lan hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba saja Sim Houw memegang lengannya dan memberi tanda agar gadis itu tidak bergerak, kemudian dia menuding ke depan. Bi Lan mengikuti arah yang ditunjuk dan kini ia pun dapat melihat bergeraknya beberapa bayangan orang ke arah tembok. Kemudian, nampak lima sosok tubuh yang bergerak dengan gesitnya, berloncatan ke atas tembok besar itu dan di tangan mereka nampak pula senjata tajam berkilauan tertimpa sinar bukan. Akan tetapi bukan itu saja, masih nampak bayangan banyak orang di bawah tembok. Sim Houw dan Bi Lan mengintai dan memandang dengan hati tertarik.

"Lie Tek San, engkau sudah kami kepung! Menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!" Seorang di antara lima penyerbu itu membentak.

Di bawah sinar bulan, nampak lima orang tua yang berpakaian sebagai perwira-perwira kerajaan. Tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa laki-laki itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah, entah berapa jumlah mereka. Sim Houw juga kaget mendengar disebutnya nama Lie Tek San itu.

Dia pernah mendengar bahwa Lie Tek San adalah seorang pendekar gagah perkasa yang melakukan gerakan menentang pemerintah, menentang penjajah Bangsa Mancu. Ia hanya mendengar bahwa Lie Tek San ialah seorang pendekar dari daerah Hok-kian, seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang di antara mereka yang berhasil lolos ketika pemerintah menyerbu dan membakar kuil Siauw-lim-si. Biar pun Sim Houw tak pernah mencampuri urusan perjuangan menentang pemerintah, tetapi diam-diam hatinya telah merasa kagum terhadap pendekar itu, maka kini dia memandang dengan hati tegang.

Laki-laki tinggi tegap yang disebut Lie Tek San itu kini menghadapi kelima orang tadi, sikapnya tenang dan tetap gagah. Sejenak dia memandang mereka, kemudian tertawa. "Ha-ha-ha, kalian minta aku menyerah? Dengarlah, Lie Tek San telah bersumpah untuk menentang kaum penjajah, melepaskan bangsaku dari cengkeraman kuku penjajah Mancu dan kalian minta aku menyerah? Ha-ha-ha!"

Pemimpin rombongan itu membentak, "Lie Tek San, berbulan-bulan kami mencarimu. Engkau pemberontak hina, kami harus menangkapmu hidup atau mati dan menyeretmu untuk dihadapkan pada pengadilan yang akan menghukum seorang pemberontak hina!"

Sambil bertolak pinggang, Lie Tek San menjawab, suaranya amat lantang dan ini saja membuktikan bahwa dia memiliki tenaga khikang yang kuat. "Mendengar suaramu, engkau tentu seorang Han. Akan tetapi engkau merendahkan diri menghamba pada penjajah Mancu! Apakah sudah tidak ada lagi darah Han mengalir di dalam tubuhmu? Apakah engkau tidak melihat betapa bangsa kita diinjak-injak selama berpuluh-puluh tahun oleh orang-orang Mancu? Ingat baik-baik. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, dengan jumlah yang amat banyak. Menurut sejarah, karena Bangsa Han dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kesenangan, dan karena perpecahan antara bangsa sendiri, maka bangsa kita yang besar sampai dapat ditundukkan dan dikuasai, dijajah oleh Bangsa Mancu, suku bangsa yang jumlahnya kecil itu, suku bangsa yang biadab dan terbelakang. Ratusan juta Bangsa Han yang mendiami tanah air yang amat luas dapat diperhamba oleh sekelompok orang Mancu sampai seratus tahun lebih! Mengapa bisa demikian? Tak lain karena adanya anjing-anjing penjilat macam engkau inilah yang sudah membantu penjajah Mancu untuk menginjak-injak bangsa sendiri. Tidak malukah engkau kepada nenek moyangmu dan anak cucumu kelak yang akan mengutuk dan memaki-maki namamu?" Suara Lie Tek San penuh semangat dan kemarahan.

Sim Houw dan Bi Lan yang sedang mencuri dengar, merasa betapa bulu tengkuknya meremang, merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka.

"Lie Tek San pemberontak hina! Engkau melawan pemerintah yang sah!" Si kumis tebal yang menjadi pemimpin pasukan itu, membentak marah.

"Pemerintah penjajah Mancu kau bilang sah? Siapa yang mengesahkan? Anjing-anjing penjilat macam kau? Tak tahu malu!"

"Tangkap pemberontak ini!" Si kumis tebal berteriak.

Mereka berlima telah mengurung orang tinggi besar yang gagah itu dengan golok besar di tangan. Mereka mengurung dengan membentuk ngo-eng-tin (barisan lima unsur). Dengan rapi dan dengan gerakan ringan mereka mengepung dan siap menyerang, menutup semua jalan keluar.

Melihat gerakan dan barisan ini, Lie Tek San berseru nyaring, suaranya penuh teguran dan ejekan.

"Kiranya kalian ini yang terkenal dengan julukan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga dari Sungai Huang-ho), bukan? Kalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, orang-orang Han asli yang telah sudi merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat para penjajah Mancu. Menjijikkan sekali! Kalian hanya mengotorkan nama Bu-tong-pai yang besar!"

Lima orang itu memang benar Huang-ho Ngo-liong yang namanya terkenal sekali di sepanjang lembah Huang-ho dan mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berilmu tinggi. Mendengar makian itu, mereka menjadi semakin marah.

"Lie Tek San manusia sombong, pemberontak hina! Bu-tong-pai tak ada hubungan apa pun dengan kedudukan kami sebagai perwira, dan Bu-tong-pai juga bukan pemberontak macam Siauw-lim-pai!" Si kumis tebal itu menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh empat orang pembantunya yang semua masih terhitung sute (adik seperguruan) sendiri.

Laki-laki tinggi besar yang baru saja dengan kedua tangan kosong membasmi serigala-serigala yang menyerbunya, kini menghadapi lima orang itu dengan tangan kosong pula. Dengan geseran-geseran kaki yang kokoh kuat dan cepat, tokoh Siauw-lim-pai ini mengelak dan membalas serangan dengan pukulan dan tendangan kaki. Akan tetapi, lima orang itu dapat bergerak saling bantu dengan rapi sekali, merupakan barisan lima orang yang saling melindungi dan saling memperkuat serangan.

Karena maklum bahwa lima orang pengeroyoknya ini sama sekali tak boleh disamakan dengan segerombolan serigala yang menyerang dengan buas tanpa perhitungan hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, melainkan merupakan pengeroyok-pengeroyok yang lihai dan berbahaya, Lie Tek San kemudian mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-jip-pek-to (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan Seratus Golok). Tubuhnya bergerak amat gesitnya, menyelinap di antara sambar sinar golok dan berusaha untuk masuk ke dalam barisan dan mematahkan lingkaran yang saling melindungi itu.

Namun, lima orang murid Bu-tong-pai itu ternyata lihai bukan main dan betapa pun kuatnya Lie Tek San berusaha mengacaukan rangkaian lima batang golok itu, usahanya selalu gagal dan barisan lima golok itu menjadi semakin kuat dan berbahaya saja. Beberapa kali hampir saja tubuh pendekar Siauw-lim-pai itu tercium golok kalau saja ia tidak cepat melempar diri dan beberapa kali dia harus bergulingan. Akhirnya Lie Tek San meloncat sambil menggerakkan tangan dan nampak sinar berkilauan ketika ia telah mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang panjang.

Terdengar bunyi berdencingan nyaring saat pedang itu bergerak menangkis golok-golok yang datang bagaikan hujan. Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kini perkelahian menjadi semakin seru terjadi di atas tembok yang lebar itu.

Si kumis tebal mengeluarkan aba-aba dan kini pasukan yang tadinya hanya mengepung dan menonton, mulai memperketat kepungan, bahkan banyak yang sudah naik ke atas tembok dan menggunakan bermacam senjata mereka, ada tombak, golok atau pedang, untuk mengeroyok Lie Tek San.

Pendekar Siauw-lim-pai itu mengamuk dengan pedangnya. Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Pasukan itu terdiri lebih dari lima puluh orang, dan merupakan pasukan istimewa yang bertugas mengadakan pembersihan di perbatasan.

Akan tetapi yang membuat Lie Tek San terdesak adalah Ngo-heng-tin yang dilakukan oleh Huang-ho Ngo-liong itu. Barisan lima orang ini ganas sekali, setelah kini dibantu oleh pasukan, gerakan mereka menjadi semakin tangkas dan kuat sehingga dua kali Lie Tek San tercium ujung golok pada pundak dan pahanya sehingga dua bagian tubuh itu terobek kulit dagingnya dan berdarah. Akan tetapi, biar pun dia telah terluka, Lie Tek San masih mengamuk terus dan sedikitnya sudah ada sepuluh orang anggota pasukan yang roboh oleh pedangnya.

Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan menonton perkelahian itu dengan hati tegang. Sejak tadi, mereka berdua mengadakan perundingan sambil mata mereka tak pernah meninggalkan perkelahian itu.

"Tidak semestinya kita mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan," kata Sim Houw yang maklum betapa hati Bi Lan condong untuk membantu Lie Tek San. "Sangat tidak enak jika sampai dicap pemberontak kemudian menjadi orang buruan pemerintah. Kehidupan kita tidak akan leluasa lagi."

"Tapi... betapa mungkin kita memeluk tangan saja melihat orang sedemikian gagahnya terbunuh? Lihat, dia mulai terdesak, terlalu banyak lawan dan juga terlalu banyak darah keluar dari luka di pahanya itu," Bi Lan berkata.

Sim Houw tak dapat menjawab. Bagaimana pun juga, semua ucapan Lie Tek San yang penuh semangat tadi telah membakar hatinya dan menyentuh perasaan halusnya. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan itu.

Memang, Bangsa Han sedang dijajah dan dipermainkan oleh orang-orang Mancu yang sesungguhnya adalah bangsa biadab yang datang jauh dari utara, dari luar Tembok Besar. Andai kata semua orang Han sikapnya seperti Lie Tek San ini dan bangkit, akan bisa apakah orang-orang Mancu itu? Perbandingan rakyat mereka mungkin satu lawan seratus. Sayang, banyak di antara orang Han yang mabok kesenangan dan kemuliaan, tidak segan-segan membantu orang-orang Mancu, memperkuat pemerintah penjajah.

"Sim-ko, lihat... dia terluka lagi. Apakah kita harus membiarkan seorang gagah terbunuh begitu saja oleh gerombolan anjing itu?"

Sim Houw melihat betapa tubuh Lie Tek San terhuyung karena sebatang tombak di tangan seorang prajurit telah mengenai punggungnya. Dia masih mampu melindungi punggung itu dengan sinkang, namun mata tombak itu sudah terlanjur melukainya dan masuk setengah jari dalamnya. Dia membalik tubuhnya dan dengan tendangan kilat ia merobohkan prajurit itu, mencabut tombaknya dan melontarkan tombak itu ke depan, menyerang si kumis tebal.

"Tranggg...!"

Si kumis tebal menangkis dan tombak itu melesat ke samping, mengenai dada seorang prajurit sehingga prajurit itu pun roboh berkelojotan!

"Mari kita bantu dia!" Akhirnya Sim Houw mengambil keputusan.

Sedangkan Bi Lan yang sejak tadi sudah merasa gatal tangan akan tetapi belum mau mencampuri perkelahian sebelum Sim Houw menyetujuinya, begitu mendengar ucapan ini langsung saja meloncat ke depan dan melayang naik ke atas Tembok Besar. Karena dia maklum betapa lihainya Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho) yang mengeroyok Lie Tek San, sambil meloncat dia sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dan ia pun mengamuk.

Begitu pedangnya berkelebat, empat lima batang senjata para pengeroyok patah-patah dan kakinya yang terayun ke kanan kiri merobohkan empat lima orang pengeroyok. Kemudian Bi Lan menyerbu lima orang pemimpin pasukan yang mulai mendesak Lie Tek San dengan hebatnya.

"Lan-moi, jangan bunuh orang!" Sim Houw masih mengingatkan Bi Lan.

Gadis ini pun ingat bahwa dia memegang Ban-tok-kiam dan tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan dia pun naik ke situ bukan untuk membunuh orang. Dia tidak pernah bermusuhan dengan anak buah pasukan itu atau pun lima orang perwira yang mengeroyok Lie Tek San. Ia naik hanya untuk menyelamatkan pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

"Larikan dia, toako, biar aku yang menahan mereka!" teriaknya dan pedangnya diputar menyerang lima orang itu.

Huang-ho Ngo-liong terkejut sekali melihat munculnya seorang gadis yang memutar sebatang pedang yang mengandung hawa yang mengerikan, apa lagi melihat betapa dengan mudahnya gadis itu merobohkan beberapa orang prajurit. Juga kemunculan gadis ini disusul munculnya seorang laki-laki yang dengan tangan kosong merampasi senjata para prajurit, dan merobohkan banyak prajurit hanya dengan dorongan tangan yang nampaknya tidak menyentuh lawan! Mereka kemudian bersatu menyambut gadis berpedang yang menyerang mereka.

“Tranggggg…!”

Terdengar bunyi nyaring dan lima orang itu terkejut bukan main. Dua batang golok di antara mereka patah menjadi dua, sedangkan tiga yang lain merasa betapa telapak tangan mereka panas seperti dibakar oleh gagang golok mereka sendiri! Ketika mereka meloncat ke belakang, Sim Houw lalu meloncat ke depan, menyambar tangan Lie Tek San yang masih terhuyung dan agaknya nanar karena luka-lukanya.

"Lie-enghiong, mari kita pergi saja!" Sim Houw menariknya dan membantunya meloncat turun dari tembok.

Lie Tek San maklum bahwa dalam keadaan luka-luka itu, melanjutkan perkelahian sama halnya bunuh diri. Kini muncul dua orang yang menolongnya, maka dia pun tak banyak cakap, membiarkan dirinya ditarik dan diajak lari oleh laki-laki tampan yang tangannya lembut namun mengandung tenaga besar itu.

Sementara itu, Bi Lan terus memutar pedangnya melindungi dari belakang. Huang-ho Ngo-liong berteriak memberi aba-aba. Mereka sendiri pun lalu melakukan pengejaran, namun sinar pedang Ban-tok-kiam membuat mereka bergidik dan gentar. Sementara itu, Lie Tek San yang melihat betapa gadis itu memutar pedang yang mengandung sinar menyilaukan dan hawa yang mengerikan, terkejut dan kagum bukan main.

Akhirnya lima orang Huang-ho Ngo-liong tak melanjutkan pengejarannya karena selain mereka sendiri jeri menghadapi pedang di tangan Bi Lan, juga anak buah mereka sudah merasa gentar dan hanya melakukan pengejaran dari jauh dengan ragu-ragu saja.

Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi gelap…..

"Sebaiknya kita berhenti dulu untuk mengobati luka-lukamu, Lie-enghiong," berkata Sim Houw ketika mereka melihat bahwa pasukan itu tidak mengejar lagi dan mereka sudah tiba agak jauh dari tempat itu di kaki sebuah bukit.

Mereka berhenti dan Sim Houw cepat mengeluarkan obat luka dan mengobati luka-luka di punggung, pundak dan paha orang gagah itu. Biar pun luka-luka itu terasa nyeri dan perih, namun Lie Tek San sama sekali tidak mengeluh ketika Sim Houw merawatnya. Di bawah sinar api unggun yang dibuat Bi Lan, mereka bercakap-cakap sambil mengobati luka-luka itu.

"Siapakah ji-wi dan bagaimana dapat mengenalku?" tanya Lie Tek San. Ia memandang gadis dan orang muda itu bergantian dengan sinar mata kagum.

"Maafkan kami, terus terang saja sejak engkau dikeroyok gerombolan serigala itu kami sudah mengintaimu, Lie-enghiong. Kami sedang melakukan perjalanan dan kemalaman di sini, lalu kami mendengar suara serigala menyalak-nyalak. Kami datang dan melihat engkau dikeroyok. Kami tidak membantu karena engkau pasti bisa membasmi serigala-serigala itu. Kemudian, kami melihat munculnya lima orang itu yang menyebut namamu. Namamu sebagai seorang pejuang tokoh Siauw-lim-pai telah sering kami dengar."

"Akan tetapi, ji-wi (kalian berdua) memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku, dan pedang pusaka nona ini... hemm, sungguh luar biasa. Siapakah ji-wi?"

"Nama saya Sim Houw..."

"Ahhh...! Apakah pendekar yang baru muncul dengan julukan Suling Naga? Aih benar, aku sekarang dapat melihat suling di ikat pinggangmu. Sungguh mengagumkan sekali, Sim-taihiap yang masih muda sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw!"

Sim Houw tersenyum. "Lie-enghiong terlalu memuji. Usiamu mungkin hanya beberapa tahun saja lebih tua dari pada usiaku, dan engkau sudah membuat nama besar dalam perjuangan."

"Dan siapakah nona yang gagah perkasa ini?" tanya Lie Tek San, girang bahwa dia dapat berkenalan dengan seorang pendekar yang mulai terkenal dengan julukan Suling Naga.

"Lie-enghiong, nama saya Can Bi Lan dan saya tidaklah begitu terkenal seperti Sim-toako," kata Bi Lan tersenyum.

"Akan tetapi... ilmu kepandaian nona hebat, dan terutama pedang itu. Apakah nama pedang pusakamu itu, nona Can?"

Karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar dan pejuang ternama, Bi Lan tidak ragu-ragu untuk memberi keterangan yang sebenarnya.

"Pedang ini adalah Ban-tok-kiam..."

"Wahhh...! Pernah aku mendengar dari para suhu di kuil Siauw-lim-si bahwa pedang Ban-tok-kiam ialah sebuah di antara pusaka dari Istana Gurun Pasir! Benarkah pusaka ini milik locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir seperti yang pernah kudengar bagai dongeng dari para suhu di kuil?" tanya Lie Tek San girang.

Bi Lan mengangguk. "Pusaka ini milik isteri pendekar itu yang kebetulan sekali adalah subo-ku dan beliau meminjamkan pusaka ini kepadaku. Sekarang kami sedang menuju ke sana untuk mengembalikan pusaka ini."

Mendengar ini, kembali jagoan Siauw-lim-pai terkejut dan girang sekali. Dia memandang wajah gadis itu penuh kagum, kemudian menatap wajah Sim Houw dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya Tuhan, sungguh tidak kusangka bahwa malam ini aku dapat bertemu dengan orang-orang muda yang sakti! Sungguh aku merasa amat gembira dan terhormat sekali!"

"Ah, aku hanya menjadi murid suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir selama satu tahun saja," kata Bi Lan merendah.

"Dan kami yang merasa amat kagum, girang dan terhormat sudah dapat berkenalan dengan seorang pejuang perkasa. Nama Lie Tek San telah menggetarkan kolong langit dan kami merasa kagum bukan main," kata Sim Houw dengan suara sungguh-sungguh.

Tiba-tiba Lie Tek San memandang tajam dan bertanya, "Benarkah Sim-taihiap kagum terhadap para pejuang?"

"Kenapa tidak? Bagi kami para pejuang adalah pendekar-pendekar yang menggunakan ilmunya untuk kebaikan."

Orang gagah itu mengerutkan alis. "Hanya sebegitu sajakah pengertian pejuang bagi Sim-taihiap?"

Tiba-tiba Sim Houw menarik tangan Lie Tek San. Bersama Bi Lan dia sudah mengajak orang gagah itu melompat menjauhi api unggun, bahkan Bi Lan menggunakan kakinya menendang tumpukan kayu terbakar itu sehingga cerai-berai dan padam.

Pada saat mereka berlompatan itu, terdengar suara berdesing dan banyak sekali anak panah meluncur dan menyerang ke tempat di mana mereka tadi duduk. Dan serangan anak panah ini disusul oleh teriakan-teriakan banyak orang dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah.

"Tangkap pemberontak-pemberontak hina!" terdengar bentakan nyaring dan suara ini penuh wibawa.

Ketika tiga orang itu memandang, ternyata ada belasan orang perwira, yang dipimpin oleh seorang panglima brewokan tinggi besar yang tadi mengeluarkan suara bentakan itu, sedangkan di luar kepungan mereka terdapat pula puluhan orang pasukan yang bersenjata lengkap!

Obor-obor segera bernyala dan dipegang oleh banyak prajurit sehingga tempat yang terkepung itu sekarang menjadi terang dan nampak jelas wajah-wajah tiga orang yang dikepung itu. Dan kini Sim Houw dan Bi Lan juga dapat melihat wajah para perwira dan panglima itu, dan mereka mengenal pula bahwa yang memimpin pasukan ini adalah Coa-ciangkun, perwira tinggi yang pernah mereka jumpai ketika mereka bersama para pendekar lainnya membasmi komplotan Sai-cu Lama dan Bhok Gun!

Coa-ciangkun inilah yang dahulu memimpin pasukan pemerintah yang akan membantu Bhok Gun dan kawan-kawannya, tetapi oleh pendekar Kao Cin Liong, bekas seorang panglima pemerintah, Coa-ciangkun dibuat tak berdaya sehingga ia tidak berani campur tangan dalam bentrokan antara dua kelompok kang-ouw itu. Dan kini, Coa-ciangkun yang memimpin pasukan mengejar-ngejar Lie Tek San dan telah mengurung mereka bertiga!

Sementara itu, agaknya Coa-ciangkun juga mengenal Sim Houw dan Bi Lan, karena dia berkata dengan lantang, "Ahhh, kiranya pemberontak Lie Tek San bersekutu dengan Pendekar Suling Naga dan gadis ini... hemmm, bukankah engkau gadis yang dikatakan sumoi dari nona Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi, yang telah berkhianat itu? Bagus! Kiranya sekarang para pendekar dan juga murid datuk sesat telah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak Coa-ciangkun.

Dan pengepungan itu diperketat. Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan hendak membantah bahwa mereka bukanlah pemberontak. Namun mereka tahu bahwa akan sia-sia saja mereka membantah, dan pula, perlu apa membantah terhadap perwira ini?

Kini nampak oleh mereka betapa para perwira dan prajurit Bangsa Han yang membantu kerajaan Mancu memang merupakan lawan yang cukup tangguh. Juga prajurit yang mengepung tempat itu amat banyak.....

Hebat sekali sepak terjang Lie Tek San. Biar pun dia sudah terluka di tiga tempat dan baru saja diobati, sekarang dia mengamuk seperti harimau terluka. Berkali-kali mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat, disambung kata-kata makian.

"Basmi semua anjing penjilat Mancu!"

Terseret oleh sepak terjang Lie Tek San yang penuh semangat, Sim Houw dan Bi Lan juga mengamuk. Namun dua orang ini masih selalu berjaga-jaga agar jangan sampai mereka membunuh lawan. Biar pun lawan amat banyak, namun berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, terutama sekali Sim Houw, mereka dapat merobohkan lawan tanpa membunuh mereka, hanya melukai saja.

Para prajurit gentar sekali menghadapi sinar pedang Ban-tok-kiam dan sinar senjata pedang berbentuk suling Liong-siauw-kiam. Kalau sinar pedang Ban-tok-kiam sangat mengerikan karena mengandung hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin, maka sinar pedang Suling Naga itu pun membuat mereka gentar karena setiap kali bertemu dengan senjata lawan, seperti halnya Ban-tok kiam, tentu senjata lawan patah atau terlempar!

Melihat kehebatan tiga orang itu yang membuat kepungan anak buahnya kocar-kacir, bahkan para prajurit menjadi gentar dan tidak ada yang berani mendekat, Coa-ciangkun terkejut bukan main. Jika saja dia tahu bahwa Lie Tek San sekarang dibantu dua orang pendekar sakti itu, tentu tadi dia mengerahkan sedikitnya dua ratus orang prajurit!

Kini, untuk minta bala bantuan sudah tidak keburu lagi, maka dia pun tidak mendesak anak buahnya ketika belasan orang pembantunya sudah roboh terluka dan tiga orang yang dikepung itu kini melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Dia hanya mencatat dalam laporannya bahwa Sim Houw dan Can Bi Lan, dua nama yang sudah dikenalnya ketika terjadi bentrokan antara para pendekar dengan para pembantu Hou Seng dulu, kini telah menjadi pemberontak, bersekutu dengan Lie Tek San!

Sementara itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah menyelamatkannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkampungan besar yang berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa tempat itu ialah perkampungan suku Bangsa Hui!

Sebagian besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih di kepalanya dan semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam. Mereka adalah kelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka.

Suku Bangsa Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria. Suku Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal pandai pula membuat masakan yang lezat.

Akan tetapi di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang penjajah Mancu dan banyak pula yang secara terbuka membantu perjuangan Bangsa Han dalam usaha mengusir penjajah Mancu.

Kedatangan Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu disambut meriah. Setelah diperkenalkan, Sim Houw dan Bi Lan juga disambut dengan penuh kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan menerima hidangan yang serbaneka dan lezat dan terutama sekali daging domba.

Diam-diam Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang ramah, yang taat beragama, akan tetapi berjiwa patriotik dan gagah, walau pun dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka masih agak terbelakang. Kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompok nomad yang suka berpindah-pindah mencari daerah yang subur.

Mereka bertiga lalu disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan. Yang dibicarakan adalah mengenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.

Tentang kegagahan para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Jika tadinya Sim Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pendekar, kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa terdapat perbedaan besar sekali.

"Perjuangan para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, juga dalam membela kaum lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat sempit. Para pendekar hanya mengurus masalah perorangan yang tidak begitu besar artinya bagi bangsa dan tidak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah perorangan yang teramat banyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di mana-mana. Biar pun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan keadilan akan tetapi kejahatan tidak akan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau dan munculnya kejahatan itu terjadi karena keadaan, maka yang perlu dirubah adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, tapi sebaliknya usaha kami para pejuang adalah melenyapkan penyakitnya!" demikian antara lain Lie Tek San berkata penuh semangat.

Para pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti. Mereka memandang kepada Lie Tek San penuh kagum.

Tetapi Sim Houw, dan terutama sekali Bi Lan, merasa bigung. "Lie-enghiong, apakah bedanya antara keduanya itu?" tanya Bi Lan penasaran karena mendengar betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.

Lie Tek San tersenyum. "Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu saja yang dilenyapkan, tanpa mengobati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kembali. Sebaliknya, kalau penyakitnya yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itu pun akan lenyap. Bukankah demikian?"

"Apa hubungannya urusan penyakit dengan urusan sepak terjang para pendekar?" Bi Lan mendesak karena masih belum mengerti.

"Can-lihiap (pendekar wanita Can), biar pun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah dia mampu menyelamatkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada umumnya. Rakyat kita terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah timbul banyak perbuatan yang menyeleweng dari kebenaran. Kaum pejuang bergerak untuk menyembuhkan penyakit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka kejahatan pun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau sekarang, lihiap?"

Bi Lan menjadi bengong. Baru sekarang inilah dia mendengar tentang persoalan yang begitu besar, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat dimengertinya benar.

"Karena itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan budiman, tapi sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tak pernah memperhatikan tentang kesengsaraan seluruh rakyat, hanya memperhatikan kesengsaraan perorangan bahkan yang tidak ada artinya."

Sim Houw mengerutkan alisnya, merasa tak setuju mendengar orang gagah ini mencela para pendekar besar yang budiman. "Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak mendengar akan sepak terjang yang gagah dari keluarga Pulau Es misalnya, atau keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan lain-lainnya?"

"Keluarga Pulau Es?" Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pendekar yang gagah perkasa dan sakti? Tetapi semua orang pun tahu bahwa mereka itu condong untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah keluarga kerajaan Mancu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang setiap saat siap mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa? Tidak, bagaimana pun juga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri mereka pun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana? Dan isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah Mancu dan betapa pun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepada Mancu dan membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa lainnya!" Lie Tek San bicara penuh semangat.

Sim Houw dan Bi Lan mendengarkan dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka mendengar ada orang gagah yang terang-terangan berani mencela keluarga Pulau Es!
"Bagaimana dengan keluarga Istana Gurun Pasir?" tanya Bi Lan, suaranya menantang, ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga kedua gurunya.

"Hemmm, tidak banyak bedanya. Bukankah putera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong, pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?"

"Akan tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!" Bi Lan membantah.

Lie Tek San mengangguk-angguk dan tersenyum. "Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk secara membabi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang mengagumkan, tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi. Jika saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, tetapi kapankah keluarga itu menentang penjajah? Tidak pernah! Bahkan mereka itu, para pendekar yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!"

"Ahhh...!?!" Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget sambil menatap wajah pejuang itu. Ada pun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak tadi hanya mendengarkan saja dan kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Lie Tek San.

"Kebetulan sekali kami berdua juga membantu para pendekar membasmi kaki tangan Hou Seng yang amat jahat itu! Kenapa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?"

Kembali pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas yang menyenangkan, tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka yang dianggapnya melempem. "Dipandang secara umum, memang perbuatan menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi kalau dikaitkan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hendak membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh merupakan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perjuangan."

"Ehh, bagaimana mungkin bisa demikian?" Bi Lan penasaran.

"Lihiap, kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan berambisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai. Dia menyuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para pembesar yang menentangnya. Semua perbuatannya sungguh amat menguntungkan perjuangan rakyat. Bukankah dengan demikian kedudukan kerajaan Mancu menjadi makin lemah? Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam, melemahkan pemerintah penjajah. Walau pun aku pribadi amat membencinya, akan tetapi perbuatannya itu justru menguntungkan kita, merusak pihak lawan. Seyogianya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak kedudukan kerajaan penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan keadaan di istana kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah-olah menemukan pembantu yang amat berharga. Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?"

Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan memang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus menyingkirkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perjuangan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan dengan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata!

Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia dan kehidupan manusia pada umumya. Menghadapi perbandingan antara pejuang dan pendekar, dia melihat perbedaan lainnya yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Dia pun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu akan lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.

"Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi."

Lie Tek San memandang tajam, tetapi mulutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya. "Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?"

"Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul dari dorongan hati pada saat dia melihat ketidak adilan itu, pada saat itu pendekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih. Sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walau pun nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walau pun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan, cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan. Tetapi, kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan hanya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuangan mereka."

Para pimpinan suku Bangsa Hui saling pandang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. "Ah, engkau telah membuka dan menelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbedaan antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar dari musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan, maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebaliknya kemenangan pejuang memang dapat mendatangkan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kelemahan itu sehingga penyakit itu tidak akan menghinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh kemenangan dan kekuasaan."

Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perjuangan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, dan setelah mereka mendapat petunjuk tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari, Sim Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui.....

********************

Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur! Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan. Meski mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguh pun Bi Lan pernah mendapatkan keterangan yang cukup jelas dari subo-nya. Untung saja mereka sudah memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.

Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan puluh tahun. Walau pun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang dahulunya merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kini pun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun.

Mereka berdua hidup damai di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi sekarang mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam.

Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empat puluh tahun lebih dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber air sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperoleh dari pedagang-pedagang keliling di balik bukit, atau bertukar barang dengan penghuni dusun di balik bukit.

Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Berkali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama keluarganya di kota, akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Meski keduanya sudah tua, untuk menjaga kesehatan mereka tidak pernah lupa untuk tetap melatih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersemedhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan lain di alam baka.....

********************

Ketika Sim Houw dan Bi Lan tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.

"Mari kita cepat ke sana!" Bi Lan berteriak girang.

Gadis ini membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gurunya, dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika dirinya keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, suci-nya.

Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa.

Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Tapi dia menghibur diri sendiri. Bagaimana pun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka?

Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subo-nya, Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan. Sekejap saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna.

Seorang laki-laki bangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuang rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu. Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin bagaikan arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.

Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.

"Suhu! Subo...!" Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.

Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.

"Suhu dan subo, teecu datang berkunjung," berkata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan. "Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?"

Kakek dan nenek itu diam saja. Sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar juga nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan seperti yang diharapkan Bi Lan.

"Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku."

Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dulu biasanya sikap subo-nya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa sekarang di dalam suara subo-nya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.

"Baik, subo."

Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya. Dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka Ban-tok-kiam itu kepada subo-nya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subo-nya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subo-nya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah suhu-nya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.

Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, kemudian mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak.

"Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau menggunakannya untuk membunuh orang?"

Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat. "Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat."

"Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku dahulu ketika meminjamkan Ban-tok-kiam ini kepadamu?" kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.

"Teecu masih ingat, subo," kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh suhu dan subo-nya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subo-nya menerimanya dengan gembira. "Subo dahulu memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan jika keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya."

"Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah saat engkau menggunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?"

Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menundukkan muka dengan hati merasa tidak enak.

"Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hanya melukai ringan saja..."

"Cukup!" Nenek Wan Ceng membentak. "Walau pun hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, tanpa kau beri obat kau kira mereka itu akan dapat hidup?"

Dengan penuh semangat karena mengharapkan supaya sekali ini dia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata, "Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Waktu itu teecu melihat dia sedang dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya."

"Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?" tanya Kao Kok Cu.

"Benar, suhu!" kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata juga mengenal nama besar pejuang itu.

"Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!" Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. "Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?"

Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.

"Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw..."

"Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?" nenek itu menyambung.

"Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian," Sim Houw mengaku.

"Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataannya sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, namun juga engkau sudah menggunakan Ban-tok-kiam untuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak."

"Subo...!" Bi Lan berseru kaget.

"Diam!" bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. "Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau masih tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu suci-mu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini telah membantu suci-mu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!"

"Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi... teecu membantunya hanya karena suci sekarang sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejadian itu..."

"Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban oleh Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!"

Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu mengarah jalan darah pusat di dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan seluruh tenaga dalamnya, bahkan kemungkinan besar membahayakan keselamatan nyawanya.

"Dukkk...!"

Totokan nenek itu yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.

Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sinkang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.

"Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?"

"Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, kalau locianpwe bersikeras untuk menghukumnya, biarlah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini dia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab sebab sayalah yang bersalah. Locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi."

Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya.

"Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tak akan melawan?" tanyanya heran.

"Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan."

"Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkaulah yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah hukumannya!"

Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya. "Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya," kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu.

Wan Ceng memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau peduli lagi dengan semua urusan. Jika sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.

Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan. "Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denganmu," katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu.

Dia merasa kagum dan tunduk sekali melihat seorang kakek yang meski lengan kirinya buntung dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.

"Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?"

Ditanya demikian, Sim Houw lalu menjawab dengan sopan, "Bukan apa-apa, locianpwe, kami hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam."

"Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?"

Wajah Sim Houw menjadi merah. Beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohong pun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.

"Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya."

Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang. Saat mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan.

Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Memang ia sudah dibisiki suci-nya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapa pun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tidak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subo-nya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walau pun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.

Kakek itu kemudian mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, ia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang muda ini benar-benar ‘berisi’, mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandangan mata pemuda itu.

"Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!"

Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena banyak tokoh persilatan yang sakti mempunyai kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek ini pun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.

"Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!" Setelah berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu.

Sim Houw sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.

Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri mau pun menyerang.

Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu. Bagaimana pun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan. Ia pun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi dan tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya sambil menangis!

"Suhu...ahhh, suhu... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu... mencintanya... ahhh, teecu amat mencintanya..." Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu.

Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Mendadak dia ingin merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.

"Siapa yang akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi," kata Kao Kok Cu.

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan ia pun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhu-nya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw!

Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subo-nya, Bi Lan berbisik, "Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan."

Nenek Wan Ceng melirik padanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin. "Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kau katakan ini, Bi Lan."

"Subo, untuk setiap persoalan, teecu pasti dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu."

"Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi," kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati.

Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dan Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati. Sim Houw memegang sulingnya. Kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apa pun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan.

Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Sudah jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.

"Engkau mulailah, orang muda!" kata Kao Kok Cu.

Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, dia pun lalu menggerakkan sulingnya dan berkata,

"Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!" Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!

Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini amat cerdik, pikirnya, agaknya bisa menduga bahwa justru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat!

Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang sangat cepat dan tak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw. Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya telah kembali berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke ulu hati pemuda itu dengan kecepatan luar biasa.

Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai, maka semenjak tadi pun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan setiap urat syarafnya siap siaga menghadapi serangan yang aneh dan hebat.

"Takkkk...!"

Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas sedangkan totokan ujung lengan baju kiri itu pun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Sekarang sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas.

Kini Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan amat cocok dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dia kembalikan kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.

"Bagus...!" Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung bagaikan seekor naga sedang mengamuk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan merdunya.

Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu.

Suaranya merupakan serangan tenaga khikang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyarkan pencurahan perhatian lawan. Anginnya juga mengandung hawa panas yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa.

Kakek itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah menguasai ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya. Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tidak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merubah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).

Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti sedang menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sama sekali sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sinkang sehebat itu.

Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, bagai seekor naga saja. Begitu bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya.

Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, tapi tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seseorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung!

Kalau kakek itu berniat jahat dan melanjutkan desakannya, agaknya sulit baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalaman.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar