38 Terperangkap Badai di Laut
Puteri pangeran Ghalik ini
berpendapat, jika keadaan telah reda dan dalam kesempatan tertentu yang tepat
sekali, barulah ayahnya itu menghadap kaisar untuk menjelaskan duduknya
perkara.
Pangeran Ghalik tetap dengan keinginannya
itu, di mana dia bersama rombongannya akan pergi ke kota raja, untuk
menjelaskan duduknya persoalannya pada Kaisar. Karena menurut pangeran Ghalik,
jika peristiwa yang menimpa dirinya itu dibiarkan berlarut-larut, tentu
segalanya akan berubah jadi semakin hebat. Disamping dia benar-benar akan
dituduh sebagai pemberontak dan pengkhianat bangsa, juga orang-orang bawahannya
akan menerima bencana tidak kecil.
Akhirnya Sasana maupun Yo Him
telah menuju ke kota raja, dengan harapan di sana mereka akan memiliki
kesempatan yang baik untuk menyelesaikan urusan pangeran Ghalik, agar dia
terlepas dari fitnahan yang dilontarkan oleh Tiat To Hoat-ong.
Dengan adanya Ciu Pek Thong
bersama mereka, memang rombongan pangeran Ghalik tidak perlu jeri terhadap siapapun
juga, karena Loo-ban-tong ini seorang tokoh yang memiliki kepandaian pada
puncak kesempurnaan dan boleh dibilang sudah tidak ada tandingannya lagi di
jaman ini selain beberapa tokoh Rimba Persilatan lainnya yang jumlahnya bisa
dihitung dengan jari tangan dan mereka semua umumnya telah mengundurkan diri
hidup mengasingkan diri di tempat-tempat yang sunyi.
Begitulah, rombongan pangeran
Ghalik telah melakukan perjalanan ke kota raja. Untuk mencapai kota raja
sesungguhnya tidak memerlukan waktu perjalanan yang terlalu lama. Sebab memang
mereka telah berada dalam jarak yang cuma dua hari perjalanan guna mencapai
Kotaraja......”
Bintang-bintang yang memenuhi
permukaan langit yang tersebar puluhan ribu, mungkin ratusanribu atau jutaan,
yang kerlap kerlip dengan sinarnya, dan juga rembulan yang waktu itu tidak
bersinar penuh, dalam bentuk seperti perahu mayang dengan sinarnya yang tidak
begitu terang, dan awan-awan yang bersih hanya di beberapa bagian saja, di
permukaan langit yang dilaluinya merupakan malam yang sangat cerah dan bersih
sekali indah bukan main.
Dengan siliran angin yang
lembut mempermainkan permukaan air laut, sehingga permukaan laut beriak
perlahan saling susul tidak henti-hentinya, sambung menyambung bagaikan tengah
bercumbu satu dengan yang lainnya. Kesunyian yang langgeng memenuhi sekitar
lautan itu, tidak terlihat lainnya lagi, hanya laut yang terhampar begitu luas.
Sejauh mata memandang hanya air laut yang bergelombang perlahan itu yang
terlihat.
Tapi dikejauhan tampak sebuah
titik, yang tengah melayang-layang meluncur di permukaan laut. Semakin dekat,
barulah jelas bahwa itulah sebuah perahu yang tidak begitu besar, bahkan tidak
memiliki layar atau peralatan lainnya.
Perahu itu merupakan perahu
yang kosong, dan tidak ada sepotong barang apapun juga, selain tiga sosok tubuh
manusia yang tengah rebah terlentang di dalam perahu tersebut. Dua sosok tubuh
merupakan orang dewasa dan sosok tubuh yang lainnya adalah seorang anak kecil
berusia antara empat tahun lebih belaka.
Jika sosok tubuh kecil itu
rebah terlentang tertidur nyenyak dan pipinya yang memerah, rambutnya yang
dikepang dua tampaknya dia merupakan seorang gadis kecil yang manis sekali. Dia
tertidur dengan bibir seperti tersenyum. Rupanya tengah bermimpi indah dan
lucu, dia juga tengah bermimpi bergembira di antara pohon-pohon bunga yang
indah.
Tidak demikian halnya dengan
ke dua sosok tubuh orang dewasa itu, yang ternyata seorang lelaki berusia
antara limapuluh tahun dengan kumis tipis. Wajah tampan dan gagah. Walaupun
telah berusia cukup tinggi seperti itu, tokh masih tersisa kecakapan dan
kegantengannya di masa muda yang lalu. Matanya terbuka lebar-lebar tengah
mengawasi bintang-bintang yang bertaburan di permukaan langit.
Dan yang seorang lagi seorang
wanita berusia empatpuluh tahun dan rupanya juga seorang wanita yang cukup
cantik walaupun usianya melewati empatpuluh tahun, raut paras mukanya masih
cantik, rambutnya dikonde dua walaupun agak kusut. Wanita ini tentunya di usia
mudanya merupakan seorang gadis yang cantik jelita. Hanya saja, pada garis
bibir dan mukanya terlihat dia adalah seorang wanita yang keras hati.
Sama halnya seperti lelaki
yang rebah diam, wanita itupun rebah diam mengawasi ribuan bintang yang
bertaburan di langit sepertinya juga tengah berpikir keras. Kesunyian
benar-benar menguasai sekitar mereka, hanya suara riak gelombang kecil di air
laut yang terdengar menyentuh-nyentuh mencium tubuh perahu yang mereka tumpangi
itu.
Dilihat dari keadaan ketiga
orang ini rupanya mereka telah mengalami suatu peristiwa hebat di tengah
lautan, karena muka sepasang manusia dewasa itu yang rupanya ayah dan ibu dari
si gadis kecil sangat letih sekali. Juga terlihat dari perahu mereka yang
kosong tidak terdapat sepotong barang apapun juga.
tiba-tiba terdengar wanita
berusia empatpuluhan tahun lebih itu telah menghela napas dalam-dalam, diapun
bergerak perlahan, untuk duduk. Diliriknya lelaki yang rebah di sampingnya,
yang waktu itu masih mengawasi ribuan bintang yang berhamburan di permukaan
langit.
“Toako, jika tiga hari lagi
kita harus terombang-ambing seperti sekarang ini, berarti kita sulit
menghindari diri dari para malaikat maut.....!” kata wanita itu kemudian dengan
suara perlahan, seperti juga dia berputus asa.
Lelaki yang dipanggil toako
itu juga telah menghela napas dan kemudian menoleh kepada wanita itu sambil
tersenyum. Itulah senyum yang mengandung keputus-asaan juga.
“Benar adik Hu, jika dalam
tiga hari kita tidak berhasil bertemu dengan daratan, tentu berarti kita
membuang jiwa percuma di lautan ini......!” Dan dia menghela napas lagi.
Wanita itu, si Adik Hu, telah
menghela napas dalam-dalam, katanya: “Jika kita berdua harus membuang jiwa di
lautan ini memang tidak menjadi persoalan apa-apa, kitapun tidak akan menyesal
karenanya. Aku akan menerima dengan ikhlas dan senang hati. Tapi bagaimana
dengan si Kie itu.......?!”
Sambil berkata begitu, wanita
ini telah menggeser duduknya, dia mengawasi gadis kecil yang tengah rebah
tertidur nyenyak tidak jauh dari tempatnya duduk. Dilihatnya gadis kecil itu
seperti tengah bersenyum, hatinya semakin berduka, dia bilang lagi: “Makhluk
kecil yang masih suci dan tidak tahu apa-apa.... kasihan jika si Kie ini harus
ikut membuang jiwa di lautan ini..... betapa mengecewakan sekali! Aku
benar-benar menyesal.....!”
Dan tanpa bisa ditahan lagi,
dari ke dua sudut mata wanita itu telah menitik butir-butir air mata. Rupanya
dia memang tengah berduka dan berputus asa.
Laki-laki yang tadi dipanggil
Toako itu telah bangkit untuk berdiri, dia mengawasi sekitar lautan itu. Hanya
permukaan laut dan langit yang dilihatnya, semuanya tidak bertepi. Kelam dalam
kegelapan malam, walaupun dibantu oleh cahaya rembulan dan jutaan bintang namun
keadaan di sekitar lautan itu kelam dan gelap hanya di permukaan laut itu saja
yang berkerlap-kerlip tertimpah cahaya rembulan dan bintang, yang berkilauan
memantulkan cahaya dari ke dua penjaga malam itu.
“Ya, memang sulit buat kita
lolos dari kematian jika dalam beberapa hari ini belum berhasil menemukan
daratan. Telah empat hari kita tidak makan sepotong barang makanan apapun juga,
kasihan si Kie, walaupun dia bisa bertahan satu-dua hari lagi, tapi bagaimana
selanjutnya? Kita memerlukan air untuk minum.....!
“Toako, aku benar-benar
menyesal sekali.....” kata wanita itu lagi.
“Apa yang kau sesalkan?” tanya
toako itu.
“Si Kie ini.....!” menyahuti
adik Hu itu,
“Inilah sudah takdir..... kita
mana menduga sebelumnya akan bencana yang menimpah kita? Soal si Kie, dengan
sendirinya diapun mengalami nasib buruk seperti ini, karena memang dia ikut
serta dengan kita dalam perjalanan ini.”
“Justeru karena dia ikut
bersama kita dalam perjalanan kali ini, maka akhirnya kita sama juga seperti
mencelakai si Kie, menyeretnya terlibat dalam bencana ini. Aku benar-benar
menyesal! Coba jika waktu keberangkatan kita itu aku memenuhi permintaan
Kong-kong agar si Kie ini ditinggal saja bersama dia, untuk dibawa ke
Tho-hoa-to, tapi permintaan Kong-kong telah kutolak, karena aku berat untuk
berpisah dengan si Kie ini. Akhirnya..... akhirnya....!” Dan adik Hu itu tidak
bisa meneruskan perkataannya, karena dia telah terisak-isak menangis, tampaknya
benar-benar dia sangat berduka dan berputus asa.
Si Toako itu menghela napas,
katanya dengan sabar: “Sudahlah adik Hu, untuk apa engkau berduka seperti itu?
Tokh semuanya ini telah terjadi, yang terpenting kita harus berusaha bagaimana
mengatasinya dan mudah-mudahan saja, dalam satu atau dua hari ini kita bisa
bertemu dengan daratan......!”
Si adik Hu itu menghapus air
matanya, dia menghela napas lagi dalam-dalam. Tapi dia tidak bilang sesuatu apa
lagi, hanya mengawasi gadis kecil yang tengah tertidur nyenyak itu, di mana si
Kie itu tampak tertidur dengan bibir masih seperti tersenyum, pipi yang
memerah.....
Perahu kecil itu masih
terombang-ambing terus di permukaan laut, karena si Toako itu tidak memiliki
kayu pengayuh, dengan sendirinya perahu itu terombang-ambing tidak dapat
dikendalikan arahnya, hanya menuruti saja ke mana gelombang laut
membawanya.....
Ternyata, wanita yang
dipanggil sehagai adik Hu itu tidak lain dari Kwee Hu. Sedangkan toako itu
adalah suaminya, yaitu Yeh-lu Chi. Mereka memang telah belasan tahun, bahkan
hampir duapuluh tahun menjadi suami isteri, selama itu belum juga dianugerahi
turunan. Dan baru empat tahun yang lalu mereka dikaruniai seorang puteri, yang sangat
dimanja oleh mereka.
Dan si Kie itu, puteri mereka
satu-satunya, merupakan dambaan kasih sayang mereka yang dilimpahkan seluruhnya
dengan segala kemanjaannya. Tapi siapa tahu sekali ini di saat mereka melakukan
perjalanan air dengan mengajak si Kie ini, justeru telah bertemu bencana yang
tidak mereka sangka-sangka sehingga hati mereka berat sekali memikirkan
keselamatan si Kie ini......
Sesungguhnya Yeh-lu Chi
bersama isterinya, Kwee Hu dan puterinya, si Kie, tengah melakukan perjalanan
dari So-ciang akan menuju ke Ciat-kang, mereka telah menumpang di sebuah kapal
besar yang penumpangnya umumnya para saudagar. Perjalanan laut seperti itu
mungkin akan memakan waktu satu bulan lebih untuk mencapai Ciat-kang.
Di hari-hari pertama pelayaran
itu tak menemui rintangan apapun juga, kapal berlayar dengan tenang. Namun pada
hari ketigabelasnya di waktu tengah malam yang sunyi dan kapal besar itu tengah
meluncur dengan menerjang gelombang itu di saat para penumpangnya tengah
tertidur lelap dengan mimpi masing-masing, maka telah datang bencana yang tidak
diinginkan.
Semua itu diawali dengan
bermunculan puluhan kapal yang cukup besar, yang telah mengepung kapal ini,
mereka rupanya adalah bajak-bajak laut. Malah panah-panah berhamburan ke kapal
besar itu.
Anak kapal jadi panik,
terlebih lagi ratusan pembajak itu telah melompat naik pindah ke kapal besar
yang ditumpangi oleh Yeh-lu Chi bersama isteri dan puterinya serta para
saudagar itu. Suara teriakan mereka yang hiruk pikuk telah membangunkan
penumpang kapal itu yang semuanya jadi ketakutan.
Dari rombongan pembajak itu
telah muncul seorang lelaki bertubuh semampai, dengan kopiah pelajar dan jubah
panjang, di tangannya mencekal sebatang seruling, yang telah dibolang-balingkan
berulang kali, dan wajahnya dingin waktu dia berkata: “Semua barang-barang
kalian bawa ke mari, tidak sepotong barangpun boleh disembunyikan, yang
membangkang, jiwanya akan dikirim menghadap Hay-liong-ong!”
Semua penumpang kapal itu dan
juga para awak kapal ketakutan bukan main. Terlebih lagi para anak kapal itu,
yang segera mengetahui bahwa bajak laut ini, yang memakai bendera bergambar
sebatang pedang pada tiap-tiap kapal mereka itu merupakan bajak laut-bajak laut
yang sangat terkenal sekali di sekitar lautan yang melintas untuk mencapai Ciat-kang,
yaitu Kiam-mo-pang atau si Pedang Maut.
Keganasan bajak laut
Kiam-mo-pang ini memang telah diketahui oleh semua pemilik kapal layar yang
sering mengambil lintas perjalanan di sekitar lautan itu. Dan justru tidak
diduga oleh pemilik kapal yang ditumpangi oleh Kwee Hu dan yang lainnya, bahwa
bajak laut yang terkenal keganasannya itu bisa muncul menghadang mereka.
Jika semua penumpang kapal
yang lainnya tengah panik dan ketakutan, justru di saat itu Yeh-lu Chi bersama
Kwee Hu dan puteri mereka diam di kamar mereka dengan tenang. Mereka hanya
berwaspada jika memang bajak-bajak laut itu akan mengganggu, barulah mereka
akan turun tangan.
Banyak barang-barang yang
telah dikumpulkan saudagar yang menumpang di kapal itu dan rupanya si pemuda
pelajar yang di tangannya mencekal seruling itu masih tidak puas tahu-tahu dia
menggerakkan tangan kanannya itu, sambil katanya: “Geledah semuanya, tidak
boleh sepotong barangpun yang tertinggal!”
Anak buah pembajak itu yang
semula hanya berdiam diri saja telah bersorak dengan suara yang hiruk pikuk dan
menyerbu masuk ke dalam ruangan bawah kapal itu. Kamar demi kamar telah
diperiksanya dan setiap barang yang ditemukannya, selalu mereka ambil tanpa
memperdulikan pemiliknya yang berlutut dan sesambatan meminta agar mereka itu
dikasihani dan barang mereka jangan diambil ke seluruhannya.
Ketika dua orang pembajak
telah berada di hadapan kamar Yeh-lu Chi, mereka saling pandang karena pintu
kamar terkunci. Salah seorang di antara mereka telah tertawa menyeringai dan
menggerakkan kaki kanannya, mendupak daun pintu dengan kuat sekali. Pintu
menjeblak terbuka dan ke duanya melangkah masuk dengan tertawa-tawa.
Tapi suara tertawa mereka
segera berhenti, diganti dengan suara jeritan karena tubuh ke dua orang bajak
laut yang kekar dan tinggi besar itu telah terlempar keluar kamar lagi.
Menyusul dengan itu, tampak melangkah keluar Yeh-lu Chi dengan muka yang merah
padam.
“Manusia-manusia yang mencari
mampus!” kata Yeh-lu Chi. “Kalian benar-benar ingin pergi menghadap
Hay-liong-ong, heh?!”
Ke dua pembajak itu jadi
ketakutan karena mereka merasakan tadi, waktu melangkah masuk, tahu-tahu Yeh-lu
Chi ini menggerakkan tangan kanannya dan tubuh mereka berdua telah tersampok
keluar dengan menderita kesakitan hebat di dada mereka, karena beberapa tulang
iga mereka telah patah. Tanpa mengatakan suatu apapun juga, hanya dengan
meringis menahan sakit mereka telah merangkak untuk meninggalkan kamar itu.
Waktu itulah telah berdatangan
belasan pembajak lainnya. Yeh-lu Chi telah menghampirinya, dan tanpa mengatakan
sepatah katapun juga, telah menggerakkan ke dua tangannya, maka jungkir
baliklah para pembajak itu sambil mengeluarkan suara jerit kesakitan dan kaget.
Senjata tajam yang dicekal
mereka masing-masing telah terlepas terlempar malang melintang di lantai.
Keadaan jadi ribut sekali oleh jerit kesakitan mereka dan juga mereka telah ada
yang lari ketakutan keluar meninggalkan ruangan bawah kapal itu.
Mendengar suara ribut-ribut di
ruangan bawah, lelaki berpakaian pelajar dengan seruling di tangan kanannya
itu, telah mendengus sambil menggumam perlahan dengan sikap mendongkol:
“Gentong-gentong nasi yang tidak punya guna...... Entah apa yang tengah
dilakukan mereka?” Dan dia melangkah masuk ke ruangan bawah.
Di saat itu, Yeh-lu Chi juga
telah melangkah keluar, dan mereka berpapasan.
Pemuda pelajar itu mengawasi
Yeh-lu Chi beberapa saat dengan bibir tersungging senyuman mengejek, kemudian
dia menegur dengan tawar: “Engkaukah yang melabrak anak buahku?”
Yeh-lu Chi tidak segera
menyahuti, dia mengawasi pelajar itu, dia mengetahui pemuda ini tentunya
memiliki kepandaian yang tidak rendah, namun dia tidak jeri. Dengan suara yang
tawar Yeh-lu Chi telah berkata: “Benar, memang aku yang telah menghajar mereka.
Sekarang juga kalian menggelinding tinggalkan kapal ini.....!”
Sambil berkata begitu Yeh-lu
Chi telah bergerak gesit sekali, dia bukan hanya sekedar berkata saja, ke dua
tangannya telah bekerja dengan cepat sekali. Di mana setiap kali tangannya
bergerak, dia telah berhasil mencengkeram seorang bajak laut dan melemparkannya
keluar kapal, sehingga bajak laut itu tercebur ke laut dan air muncrat tinggi
sekali diiringi suara jerit kaget mereka.
Dalam waktu sekejap saja
belasan orang telah dilontarkan seperti itu oleh Yeh-lu Chi.
Pelajar yang mencekal seruling
di tangannya berobah mukanya, dia telah menyaksikan bahwa orang ini tentunya
bukanlah sembarangan orang, kepandaianya tinggi sekali. Dia mendengus dua kali,
tanpa mengatakan sesuatu apapun juga, dia telah menggerakkan serulingnya dengan
lompatan yang sangat ringan, ujung serulingnya akan menotok pundak Yeh-lu Chi.
Namun Yeh-lu Chi berhasil
menghindarkan totokan itu dengan gesit sekali, tangan kanannya digerakkan untuk
menyampok, tangan kirinya bekerja cepat akan mencengkeram.
Pelajar itu berkelit ke
samping, dia menurunkan serulingnya itu dengan sikap seperti tengah memberi
hormat, namun kenyataannya serulingnya itu menyambar hebat sekali akan menotok
dada di sebelah kiri Yeh-lu Chi.
Yeh-lu Chi telah menyampok
pula serangan itu, itulah sampokan yang kuat dan cepat, maka seruling itu telah
berhasil disampok terpental ke samping, benturan yang terjadi sangat kuat
sekali! Pelajar itu terkejut, dia melompat mundur beberapa langkah ke belakang,
dia mementang matanya lebar-lebar dan mengawasi tajam, lalu dengan suara tawar
dia bertanya:
“Siapa kau..... tampaknya
engkau tidak lemah dan kepandaianmu itu lumayan juga.....!”
Yeh-lu Chi telah tertawa
dingin.
“Aku Yeh-lu Chi, ingin kulihat
apa yang hendak kalian lakukan.....!” dan sambil berkata, Yeh-lu Chi telah
melirik, dilihatnya ratusan anak buah pelajar yang mempergunakan seruling
sebagai senjatanya itu, telah mengambil sikap mengepung.
Diam-diam Yeh-lu Chi berpikir:
“Hemmm, jumlah mereka sangat besar. Memang aku tidak perlu jeri berurusan dengan
mereka, namun jika mereka mengeroyok terus menerus dengan nekad, tentu sulit
buat aku merubuhkan mereka semuanya..... Aku harus segera memperlihatkan
sesuatu untuk menundukkan mereka!”
Karena berpikir begitu, tanpa
menanti serangan pelajar yang mempergunakan seruling sebagai senjatanya itu,
Yeh-lu Chi telah melompat sambil mencengkeram, dan tangan kirinya pun bergerak
beruntun beberapa kali, dengan demikian cengkeraman dan pukulan saling
berseliweran tidak hentinya.
Pelajar itu sesungguhnya ingin
berkata-kata lagi, tapi melihat dirinya diserang seperti itu, dia jadi
terkejut, karena belum lagi serangan sampai justru dia telah merasakan sambaran
angin yang kuat sekali menyambar ke berbagai bagian anggota tubuhnya. Dengan
gesit dia mengelakkan, dia telah mempergunakan serulingnya untuk membalas
menyerang, dia pun menotok beberapa kali.
Jurus demi jurus lewat cepat
sekali namun kali ini Yeh-lu Chi telah menyerang dengan hebat sekali, karena
dalam beberapa jurus dia ingin menawan pelajar itu, untuk dipergunakan
menggertak anak buahnya.
Serangan yang dilakukan oleh
Yeh-lu Chi memang telah berulang kali membuat pelajar itu harus melompat
mundur, karena dia sudah tidak sempat untuk menangkis atau berkelit sama
sekali. Pemimpin bajak ini tidak menyangka bahwa hari ini dia bertemu dengan
seorang yang memiliki kepandaian demikian tinggi seperti Yeh-lu Chi ini.
Waktu itu, Yeh-lu Chi telah
berulang kali mendesak pelajar itu, kemudian cepat luar biasa tangan kirinya
telah digerakkan untuk mengelakkan diri. Di saat yang tepat sekali Yeh-lu Chi
telah menggerakkan tangannya yang kanan, tahu-tahu dia telah menghajar dengan
kuat sekali pundak pemimpin bajak itu, sampai tubuh pemimpin bajak tersebut
terhuyung. Dan mempergunakan kesempatan baik ini, Yeh-lu Chi telah membarengi
lagi menotok dua jalan darah yang berada di pinggang pelajar itu.
Totokan itu jitu mengenai
sasaran, rubuhlah pelajar yang bersenjata seruling tersebut. Yeh-lu Chi melihat
ratusan pembajak itu akan bergerak menyerbu kepadanya dengan senjata terhunus,
maka cepat-cepat Yeh-lu Chi berjongkok, tangannya menekan jalan darah
Sun-tai-hiat dari pelajar tersebut, dia membentak perlahan: “Perintahkan mereka
mundur......!”
Pelajar itu yang telah
tertotok dua jalan darah di dekat pinggangnya, tidak bisa bergerak dan sekarang
orang memijit jalan darah Sun-tai-hiat nya. Jika memang jalan darah itu dipijit
lebih kuat lagi, niscaya dia akan punah kepandaiannya dan menjadi manusia
bercacad seumur hidup. Dengan muka pucat dan ketakutan dia telah berseru kepada
semua anak buahnya. “Mundur! Kalian mundur.....!”
Para pembajak yang semula
hendak menyerbu itu, jadi merandek dan memandang heran kepada pemimpin mereka,
namun tidak seorang pun di antara mereka yang berani membantah perintah
tersebut. Mereka telah mundur lagi menjauhi.
“Hemmm, sekarang kau pilih,
apakah kau ingin mengajak anak buahmu menyingkir atau memang kau ingin
mampus?!” tanya Yeh-lu Chi dengan suara yang bengis.
“Apakah kau berani
membunuhku?!” tanya pelajar itu dengan suara mengejek. “Hemm, selembar saja
dari rambutku terganggu di tanganmu, walaupun kau melarikan diri ke ujung
dunia, hemmm, hemmm, tentu pihak Kiam-mo-pang tidak akan berpeluk tangan.....!”
Yeh-lu Chi tertawa dingin.
“Oh, jadi kalian dari
Kiam-mo-pang! Bagus! Bagus!” kata Yeh-lu Chi.
“Apanya yang bagus?!” tanya
pemimpin bajak itu sengit, dia meadongkol telah dirubuhkan Yeh-lu Chi dengan
mudah dan sedang heran menduga-duga entah siapa lelaki yang berusia setengah
baya namun liehay ilmunya ini.
“Memang kami dari Kay-pang
bermaksud untuk menumpas Kiam-mo-pang! Telah cukup banyak yang kami dengar,
bahwa Kiam-mo-pang merupakan perkumpulan bajak laut yang sesat! Jika hanya
sekedar membajak kapal-kapal saudagar, itu tidak bisa kami persalahkan karena
memang itulah pekerjaan kalian, yang berdagang tanpa modal di lautan ini!
“Tapi, yang kami dengar
berlainan. Kiam-mo-pang bukan hanya sekedar melakukan pekerjaan itu menurut
aturan Kang-ouw yang ada, dan banyak melakukan perbuatan hina, yaitu
wanita-wanita yang jadi penumpang kapal yang dibajak itu diperkosa, diculik dan
dibunuh dengan kejam. Para penumpang laki-lakinya disiksa dan dianiaya,
walaupun harta benda mereka telah dirampas!
“Yang lebih hebat lagi,
Kiam-mo-pang pun telah membantu pemerintah Boan-ciu dalam hal datang ke daratan
Tiong-goan, banyak anak buah Kiam-mo-pang yang telah bekerja untuk tentara
musuh.....! Inilah merupakan hal yang inginku ketahui dengan jelas, kau harus
menjawabnya dengan jujur! Benarkah kalian bekerja untuk pemerintah Boan-ciu?!”
Muka pelajar itu jadi berobah.
Dia adalah Hu Pangcu, wakil ketua, dari Kiam-mo-pang, wakil ketua tingkatan
muda. Sesungguhnya, dia hanya bertugas untuk membajak setiap kapal yang mereka
jumpai. Urusan yang ditanya oleh Yeh-lu Chi tidak diketahuinya dengan pasti,
namun yang diketahuinya, Pangcunya memang memiliki hubungan yang erat dengan
pihak pemerintah yang berada di daratan Tiong-goan, yaitu orang-orang Boan itu.
Dengan demikian selamanya bajak laut Kiam-mo-pang itu tidak pernah memperoleh
gangguan dari pasukan kerajaan......
Melihat orang termenung diam
saja, Yeh-lu Chi telah bertanya bengis: “Cepat kau jawab, apakah benar kalian
memang telah bekerja untuk tentara Boan?”
Pelajar itu telah dapat
mengendalikan goncangan hatinya, dia mengawasi Yeh-lu Chi, tanyanya dengan
dingin: “Jadi kau dari Kay-pang.....?!”
Yeh-lu Chi mengangguk.
“Ya, aku dari Kay-pang.....!”
mengangguk Yeh-lu Chi.
“Baik, sekarang kau bebaskan
aku dari totokanmu, nanti aku akan sampaikan pada Pangcu kami, dan tentu kami
dari Kiam-mo-pang akan berkunjung pada Kay-pang untuk meminta
pengajaran......!” kata pelajar bersenjata seruling itu. “Aku Giok-bian-gin-tok
(Muka Kumala Seruling Perak) Sun Boh Siang tak akan mensia-siakan keinginanmu
untuk menyelesaikan urusan ini......!”
Yeh-lu Chi mendengar perkataan
pelajar itu jadi tertawa dingin, dia bilang tawar: “Jadi kau ingin menentang
dan memusuhi Kay-pang? Bagus! Bagus! Seperti yang telah kukatakan tadi bahwa
kami memang sesungguhnya ingin sekali menumpas Kiam-mo-pang, dan sekarang aku
bertemu dengan kau, biarlah kau berangkat terlebih dulu menghadap ke
Giam-lo-ong.....!”
Dan sambil berkata begitu
Yeh-lu Chi mengangkat tangan kanannya, akan menghantam batok kepala Sun Boh
Siang.
Muka Sun Boh Siang jadi pucat
pias. Dia berseru: ”Tahan......!”
Yeh-lu Chi melihat gertaknya
telah berhasil memecahkan nyali orang she Sun tersebut. Ia bertanya dengan
diiringi tertawa dinginnya: “Bagus, apakah sekarang kau mau bicara......?!”
“Soal hubungan kami dari
Kiam-mo-pang dengan pihak kerajaan Boan, tidak kuketahui dengan jelas. Aku bicara
dari hal yang sebenarnya..... tapi yang jelas, memang kami memiliki hubungan
yang erat dengan beberapa orang pembesar Boan. Jika memang kau menghendaki
keterangan yang lebih lengkap, maka silahkan tuan ikut bersama kami ke markas
Kiam-mo-pang, di sana aku seorang she Sun akan mengajar kenal tuan dengan
pemimpin-pemimpin kami......!”
“Hemmm, bukankah maksudmu agar
aku masuk ke dalam sarang kalian dan di waktu itu dengan mempergunakan tipu
daya yang keji dan licik, kalian akan membinasakan? Hemm, Hemm.” Dan Yeh-lu Chi
telah mengawasi dengan mata yang mendelik, tanyanya: “Siapa-siapa saja pemimpin
kalian.....?”
“Semua ada..... ada empat
orang..... termasuk aku jadi jumlahnya lima....!” kata Sun Boh Siang dengan
suara tidak begitu lancar. “Pemimpin kami yang pertama adalah Sin-kun-bu-tek
(Kepalan Dewa Tanga Tandingan) Shangkuan Eng Liang, dan..... dan.....!”
Tetapi Sun Boh Siang belum
melanjutkan perkataannya itu anak buah kapal tersebut telah menjadi panik,
karena angin berhembus keras sekali, semakin lama gelombang lautan itu semakin
besar dan menerjang-nerjang kapal tersebut. Anak buah Kiam-mo-pang sendiri juga
telah panik, di antara mereka telah berteriak-teriak: “Kapas putih datang!
Kapas putih datang.....!”
Yeh-lu Chi tidak mengerti apa
yang dimaksudkan oleh anak buah Sun Boh Siang dengan sebutan “Kapas Putih” itu.
Tetapi yang diketahuinya angin memang berhembus semakin kuat saja, gelombang
laut menerjang dengan dahsyat sangat tinggi sekali.
Malah dua buah kapal milik
pembajak-bajak itu telah terhempas gelombang besar itu, sampai saling bentur
dengan keras dan hancur karenanya! Perlahan-lahan, ke dua kapal yang telah
hancur itu karam ke dalam laut! Semua orang jadi semakin panik terutama anak
buah Sun Boh Siang yang telah berlompat-lompat untuk melompat naik ke kapal
mereka masing-masing.
Namun akibat besarnya
gelombang dan angin yang berhembus sangat kuat sekali, maka kapal-kapal itu
tergoyang-goyang tidak hentinya. Banyak di antara anak buah Sun Boh Siang yang
telah tergelincir jatuh ke dalam laut dan dilempar gelombang, kemudian lenyap
tertelan lautan yang mulai ngamuk itu, entah dibawa pergi kemana.....
Yeh-lu Chi yang menyaksikan
ini juga terkejut. Dia menoleh kepada pemilik kapal yang ditumpanginya itu
sambil berseru agar anak-anak kapal itu berusaha untuk mengendalikan kapal
mereka.
Dan para anak kapal tersebut
telah bekerja, mereka telah menurunkan layar, malah ada salah satu tiangnya
yang telah patah ambruk menimpah lantai kapal, menimbulkan goncangan yang
keras. Apa lagi, gelombang laut waktu itu menerjang dahsyat sekali, sehingga
kapal itu miring ke kiri dan ke kanan tidak hentinya seperti akan terbalik.
Malah yang lebih hebat, dari
arah barat telah datang bergulung-gulung semacam gumpalan angin yang
berputar-putar, berwarna putih. Mungkin juga gulungan angin yang berputar
itulah yang disebut “Kapas Putih” oleh para pembajak itu.