49 Pesan Terakhir Pangeran Musuh!
“Inilah yang benar-benar tidak
dapat kuterima. Namun jika aku mengambil langkah-langkah kekerasan, berarti
untuk seumur hidupku Kaisar akan mempercayai fitnah Tiat To Hoat-ong, bahwa
akulah seorang pengkhianat yang tidak berampun lagi. Dosa-dosanya sangat besar,
dan hal itu akan dicatat oleh sejarah bahwa akulah si pengkhianat bangsa dari
negaraku, yang telah dipupuk demikian megah oleh Kha Khan yang agung!
“Untuk mencegah tanggapan
seperti itu, aku telah memutuskan, bahwa akulah yang harus mundur dalam urusan
ini. Puteriku, aku hanya berpesan kepadamu, usahakanlah, balaskanlah sakit hati
ayahmu pada Tiat To Hoat-ong. Selama Tiat To Hoat-ong, sumber dari malapetaka
yang kualami ini belum terbinasa di ujung pedangmu dan mempergunakan jantung
dan hatinya menyembahyangi arwahku, selama itu pula aku tidak akan tenang dan
bermata meram di akherat......!
“Mengenai pergerakan yang
dilakukan oleh jago-jago Tiong-goan yang ingin membangun kerajaan Song, disini
ingin sekali memberikan sedikit tanggapan. Mereka tak akan berhasil! Selama
sepuluh tahun ini, aku telah berhasil menghimpun pasukan perang Mongolia yang
terdiri dari sepuluh lapis. Sepuluh lapis itu ialah sepuluh macam kekuatan yang
tidak mungkin akan dapat dihancurkan oleh taktik peperangan yang bergerilya
seperti dilakukan oleh para orang-orang Han yang ingin membangun kerajaan
Songnya kembali. Dari sia-sia dan nanti menjatuhkan korban-korban manusia yang
tidak berdosa, lebih bijaksana mereka menghentikan usaha mereka.
“Walaupun kekuasaan angkatan
perang Mongolia itu tidak berada di bawah pengawasanku lagi, namun semua
panglima yang memimpin angkatan perang Mongolia telah terlatih dengan baik, dan
mereka menguasai medan perang dengan baik! Sepuluh lapis angkatan perang Mongolia
itupun telah tersebar dalam lima propinsi di daratan Tiong-goan, ke arah mana
saja pergerakan yang diadakan oleh bangsa Han itu, akan sia-sia dan akan
menghancurkan mereka. Karena begitu mereka menerima instruksi dari atasan,
sepuluh lapis dari angkatan perang Mongolia di propinsi itu akan dapat
mengepung dengan cepat pasukan lawan.
“Inilah sedikit nasehatku,
karena perjuangan untuk membangun kerajaan Song itu akan sia-sia belaka.
Nasehat ini kuberikan mengingat akan budi kebaikan kalian yang telah menyelamatkan
jiwaku dan puteriku beberapa saat yang lalu dan kuberikan dengan hati yang
tulus.
“Pesan terakhirku, semoga saja
Yo kong-cu, Yo Him, dapat memperlakukan puteriku dengan baik. Nah, selamat
tinggal sahabat, dan puteriku.....
“Surat ini bisa kalian berikan
kepada Kaisar Kublai Khan, jika memang kalian ingin membantuku untuk
membersihkan nama baikku.....!”
Di bawah surat itu ditanda
tangani oleh pangeran Ghalik. Rupanya menjadi harapannya, agar surat
peninggalannya ini dapat disampaikan kepada kaisar Kublai Khan. Untuk
memperlihatkan, jika memang dia tidak bermaksud untuk berkhianat dan juga tidak
bermaksud untuk menggulingkan kaisarnya.
Sebagai seorang yang pernah
memegang pimpinan tertinggi dan berkuasa penuh atas tentara dan angkatan perang
Mongolia, tentu dia dapat saja menghimpun kekuatan. Bukankah bagian-bagian
pertahanan yang lemah dari angkatan perang Mongolia itu diketahui dengan jelas
olehnya? Dan sekarang di dalam suratnya itupun dia masih berpesan, agar
pergerakan yang akan diadakan oleh orang-orang gagah yang ingin membangun
kerajaan Song, agar dihentikan. Hal itu menunjukan bahwa dia tetap bersetia
kepada Kaisar dan negaranya.
Sasana telah menangis
terisak-isak, tetapi Yo Him telah membujuknya terus dengan sabar. Sampai
akhirnya, si gadis telah dibawa ke luar dari ruangan itu, membiarkan
orang-orang lainnya yang mengurusi jenazahnya pangeran Ghalik.
Hek Pek Siang-sat yang telah
kehilangan majikan mereka, jadi berduka bukan main. Mereka merupakan
pengawal-pengawal setia dari pangeran Ghalik, dengan demikian, diapun selain
berusaha untuk melindungi junjungan mereka tersebut, namun siapa tahu, justru
majikan mereka itu telah mengambil tindakan nekad dan pendek seperti itu......
Pemakaman dari jenazah
pangeran Ghalik telah dilangsungkan keesokan harinya, dengan upacara sederhana
dan selayaknya. Dia dikuburkan di pulau Tho-hoa-to. Tidak mudah sesungguhnya,
seseorang mengharapkan untuk dapat dikubur di pulau Tho-hoa-to, karena tidak
sembarangan orang akan dapat beristirahat diakhir hidupnya di pulau itu.....
◄Y►
Lewat setengah bulan, setelah
kedukaan Sasana berkurang, Oey Yok Su telah menganjurkan kepada Yo Him, agar
menikahi puteri pangeran itu.
Tetapi Yo Him menolaknya
dengan halus karena pernikahannya itu diharapkan agar ibunya ikut hadir juga.
“Urusan itu dapat ditunda dulu, Suhu! Memang selama ini, tentu aku akan
memperlakukannya dengan baik! Dan, sekarang tentu sudah tidak ada keraguan
pula, karena dengan kematian pangeran Ghalik, berarti Sasana tidak perlu
memperoleh hambatan karena kecurigaan terhadap ayahnya itu.....!”
Oey Yok Su mengangguk.
“Hanya saja, ada satu tugas
yang harus kita laksanakan. Siapa yang akan menyampaikan surat peninggalan
pangeran Ghalik kepada Kaisar Kublai Khan. Permintaannya yang terakhir itu
harus kita penuhi......!”
Yo Him menyanggupi untuk
menerima tugas itu. Maka dua hari kemudian dia bersama Sasana telah
meninggalkan pulau Tho-hoa-to, dengan janji setahun lagi mereka akan datang ke
Giok-lie-hong, puncak Bidadari, untuk menemui ayah dan ibunya, dan sekalian
untuk melangsungkan pernikahannya dengan si gadis Mongolia.
Begitulah, setelah berunding
beberapa hari lagi dengan Oey Yok Su, Yo Ko dan lainnya juga, telah pamitan.
Hanya Ciu Pek Thong bersama Swat Tocu yang masih senang berdiam di pulau
Tho-hoa-to, dan Oey Yok Su juga senang sekali bisa memperoleh sahabat baru
seperti Swat Tocu. Dalam waktu senggang dan kesempatan yang ada, mereka telah
merundingkan ilmu silat......
Disamping itu Lie Ko Tie juga
telah menerima didikan yang tetap dari Swat Tocu, disamping banyak menerima
petunjuk dari Oey Yok Su. Dengan demikian Ko Tie memperoleh kemajuan yang
pesat.
Banyak yang diceritakan oleh
Swat Tocu mengenai pulaunya, yaitu pulau salju.
Dia mengatakan, “Jika memang
Tho-hoa-to memiliki keindahan tersendiri dengan segala pohon bunganya, justru
pulau saljunya itu terdiri dari sebuah pulau yang diselubungi sepanjang tahun
dengan lapisan salju, bahkan di tengah-tengah pulau itu terdapat bagian yang
tumbuh subur, rumput maupun pohon bunga.”
“Jika ingin diperbandingkan,
sesungguhnya pulauku itu tidak kalah keindahannya dengan pulaumu ini, Oey
Loo-shia! Hemmm, jika memang nanti engkau memiliki waktu, aku akan mengundangmu
untuk singgah di pulauku itu. Jangan kuatir, di sana aku akan memperlakukan dan
melayani kau sebagai seorang Kaisar.....!”
Oey Yok Su telah tertawa,
demikian juga dengan Swat Tocu, tampaknya mereka gembira sekali. Oey Yok Su
juga telah menyatakan menerima undangan Swat Tocu, hanya nanti dia ingin
merundingkan ilmu silat di pulau salju itu dengan pemilik pulau tersebut sampai
sepuluh hari sepuluh malam.
“Itulah hal yang menarik
sekali!” kata Swat Tocu. “Aku sudah janjikan kepadamu, aku akan melayani kau
sebagai seorang Kaisar, maka apa yang kau inginkan, dan jika memang dapat
kulakukan, tentu akan kulakukannya untukmu.....!”
Oey Yok Su setelah tertawa
menghela napas dalam-dalam, dia bilang: “Hanya saja, dalam waktu-waktu dekat
ini aku memiliki sebuah tugas yang cukup penting, yaitu tugas untuk menemui
Wang Put Liong di markas Kay-pang, guna menjemput dan melindunginya. Karena
peta harta karun yang dimilikinya itu berguna sekali untuk para sahabat yang
tengah melakukan pergerakan dan perjuangan untuk membangun kembali kerajaan
Song.”
Swat Tocu tertawa.
“Kau sudah lanjut usia, tetapi
kau masih mau dipusingi oleh segala urusan anak muda.....” kata Swat Tocu.
“Inilah tugas untuk seorang
rakyat negeri yang negaranya tengah terjajah.....!” menyahuti Oey Yok Su
bergurau.
Begitulah mereka telah
bercakap-cakap lagi beberapa saat, sampai akhirnya mereka bertanding dengan
ilmu silat mereka, pie-bu untuk melihat, berapa jauh kepandaian yang telah
berhasil mereka sempurnakan. Yang menggembirakan, Oev Yok Su, sejak matinya Ong
Tiong Yang, Auwyang Hong, Ang Cit Kong, maka selain It Teng Taysu, dia tidak
pernah bertemu tandingan yang benar-benar berarti. Sekarang dia bisa pie-bu
dengan Swat Tocu, yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah
kepandaiannya, dengan sendirinya mengasyikkan sekali.
Kwee Hu bersama suaminya dan
juga puterinya, yaitu Yeh-lu Kie, setelah berdiam lagi beberapa hari di pulau
Tho-hoa-to, akhirnya telah pamitan pada kakeknya. Mereka akan kembali ke markas
Kay-pang untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk nanti kakeknya ini
mengadakan penyambutan pada Wang Put Liong.
Yang terutama sekali ialah
Yeh-lu Chi telah menerima tugas dari Oey Yok Su untuk melindungi Wang Put Liong
selama Oey Yok Su belum datang untuk menjemputnya. Karena jika sampai berita
mengenai peta harta karun itu tersiar dan terdengar oleh pihak Boan, tentu
urusan akan menjadi lain lagi. Niscaya pihak kerajaan Boan akan mengirim
orang-orangnya yang memiliki kepandaian tinggi untuk merebut Wang Put Liong.
Inilah yang harus dicegah, karena walaupun bagaimana Wang Put Liong harus
dilindungi dan diselamatkan, agar peta harta karun yang terdapat di dalam
lapisan kulit di dadanya itu bisa diselamatkan, tidak terjatuh ke dalam
tangannya orang-orang Boan.......
◄Y►
Waktu itu adalah Jie-gwe
(Bulan Kedua). Musim semi, tahun Kay-kong keenam dari Kaisar Lie-cong kerajaan
Song, atau juga kini mempergunakan tahun Boan-sek ketiga dari berkuasanya
Kaisar Kublai Khan sejak berhasil dia merebut daratan Tiong-goan dan berkuasa
penuh di seluruh daratan Tiong-goan ini. Walaupun mempergunakan hitungan tahun
Kay-kong dan
tidak mau menghitung menurut
penanggalan Boan-sek, namun waktu itu kekuasaan Kublai Khan semakin meluas dan
semakin melebar di kalangan rakyat.
Bahkan peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh Kaisar itu harus dipatuhi seperti halnya mentao-cang
rambut dan lain-lainnya. Memang sebagai kerajaan yang telah dijajah dengan
sendirinya martabat orang-orang Boan di daratan Tiong-goan lebih tinggi dari
derajatnya orang-orang Han, yang telah runtuh kerajaan Songnya.....
Waktu itu, di tempat
penyeberangan Hong-leng-touw, di tepi utara sungai Huang-ho (kuning) terdengar
ramainya suara manusia, berderit-deritnya roda-roda kereta dan juga
meringkiknya kuda-kuda terdengar ramai sekali. Dan memang selama beberapa hari
terakhir ini hawa udara berobah hangat dan salju yang telah membeku di sungai
itu mulai mencair, sehingga semua pelancong yang tertahan di tempat
penyeberangan itu, segera bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka
menyeberangi sungai.
Namun mendadak sekali sebelum
mereka berangkat, angin utara telah kembali menyambar-nyambar berhembus hebat
dan salju kembali turun. Dengan terjadinya perobahan cuaca itu, es yang sudah
mencair, kembali membeku menjadi es pula, sehingga perahu tidak bisa meluncur
di permukaan sungai, yang airnya bercampur es itu. Dengan demikian para pelancong
itu, terutama saudagar-saudagar yang semula ingin pergi ke selatan melanjutkan
perjalanan mereka, terhambat pula di Hong-leng-touw.
Di tempat penyeberangan
Hong-leng-touw terdapat beberapa rumah penginapan. Tapi karena mengalirnya
manusia dari segala jurusan, terutama dari jurusan utara yang datang tidak
henti-hentinya, maka siang-siang beberapa rumah penginapan sudah terisi penuh.
Banyak sekali yang tidak ke bagian kamar dan beberapa orang yang beradat
berangasan segera saja mencaci maki, menggumam rewel pada pengurus rumah
penginapan......
Rumah penginapan yang paling
terkenal di tempat penyeberangan itu adalah An-touw Loo-tiam, yang bukan saja
besar dan megah gedungnya, tapi juga luas pekarangannya. Maka dari itu,
orang-orang yang tidak ke bagian kamar di penginapan lain telah datang ke
An-touw Loo-tiam untuk minta pertolongan.
Dengan susah payah dan setelah
membujuk-bujuk serta tawar menawar dengan para tamu, si pengurus penginapan
berhasil menjajal empat atau lima orang di setiap kamarnya. Walaupun demikian,
masih juga terdapat belasan orang para tamu-tamu itu yang tidak ke bagian
tempat dan mereka semuanya terpaksa berdiam di ruang tengah. Sebagai tindakan
darurat, pelayan-pelayan menyingkirkan meja dan kursi membuat sebuah perapian
di ruangan itu!
Sambil menarik napas panjang
pendek, mereka mengawasi kembang salju yang masih turun terus menerus tidak
hentinya. Tampaknya mereka masgul dan jengkel sekali, sebab belum tentu besok
mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka, berangkat meninggalkan tempat
penyeberangan ini. Dengan demikian, berarti mereka akan bersengsara selama
beberapa hari tanpa memperoleh kamar di rumah penginapan.
Perlahan-lahan siang mulai
berganti dengan malam, dan semakin lama turunnya salju jadi semakin besar. Dan
hal ini membuat masgul tamu-tamu yang tidak ke bagian kamar dan para saudagar
yang sesungguhnya perlu mengejar waktu dalam perjalanan mereka, yang jadi
terlambat dan terhalang oleh turunnya salju yang bukannya meredah, malah telah
semakin deras itu.
Waktu malam itu, di depan
rumah penginapan telah berhenti dua orang penunggang kuda.
“Ada lagi tamu .yang datang!”
kata seorang tamu di ruang tengah yang melihat kedatangan ke dua orang
penunggang kuda itu.
Beberapa saat terdengar suara
seorang wanita: “Ciang-kui, (pengurus rumah penginapan), sediakan dua kamar
kelas satu!”
“Maaf, maaf!” kata si pengurus
rumah penginapan yang menyambut kedatangan ke dua tamu itu sambil tertawa.
“Penginapan kami sudah penuh, tidak ada tempat lagi.....!”
“Baiklah jika begitu, aku
hanya minta satu kamar saja!” kata tamu wanita itu.
“Benar-benar aku memohon
maaf....., maaf.....!” kata Ciang-kui itu. “Kedatangan kalian merupakan hal
yang selalu diharap-harap oleh kami. Namun hari ini, sungguh tidak kebetulan
sekali. Penginapan kami sudah penuh benar.....!”
Wanita itu telah mengawasi
Ciang-kui tersebut. Dialah seorang gadis yang mengenakan baju warna merah,
celana warna kuning dan memiliki paras yang cantik. Namun dilihat dari matanya
yang kebiru-biruan dan hidungnya yang mancung, tampaknya dia bukan seorang
wanita Han. Walaupun dia berpakaian sebagai seorang gadis pada umumnya.
Disampingnya, kawan
seperjalanan itu, ternyata seorang pemuda yang berusia duapuluh tahun lebih,
parasnya juga cakap dan kulitnya putih. Dia mengenakan baju yang berwarna
hijau, dengan pakaian luarnya yang terbuat dari kulit. Dilihat dari keadaan ke
dua tamu ini, tampaknya mereka tidak jeri dengan serangan hawa dingin, sebab
pakaian mereka itu bukan terbuat dari bahan yang tebal.
Waktu itu si gadis telah
berkata lagi kepada Ciang-kui rumah penginapan: “Tolong kau usahakan buat kami
sebuah kamar yang tidak terlalu besarpun tidak apa-apa..... kami telah
melakukan perjalanan yang cukup jauh, meletihkan sekali dan kami perlu
beristirahat.....!
Ciang-kui rumah penginapan itu
telah angkat tangannya, memberi hormat, sambil katanya: “Maaf..... maaf memang
sesungguhnya di rumah penginapan kami telah penuh. Jika memang nyonya ingin
mencobanya untuk menanyakan di rumah penginapan lainnya, mungkin masih terdapat
kamar kosong di sana.....!”
“Kami telah mutar-mutar
menanyakan beberapa ruman penginapan. Semua telah penuh. Mereka juga
menganjurkan kami ke mari karena menurut pengurus rumah penginapan itu, inilah
rumah penginapan yang terbesar, dan mungkin An-touw Loo-tiam bisa menerima
kedatangan kami dan mengusahakan sebuah kamar untuk istirahat.....!”
“Memang jika kami membiarkan
kalian berdua terlantar di luar dalam cuaca yang seburuk ini, tentu kami
keterlaluan!” kata Ciang-kui itu sambil tersenyum. “Namun jika memang kalian hanya
sekedar ingin istirahat, silahkan masuk untuk sambil menghangatkan tubuh juga
bisa minum satu dua cawan teh hangat..... tetapi jelas kami tidak bisa
menyediakan kamar untuk kalian.....!”
Gadis itu mengkerutkan
alisnya, dia menoleh kepada si pemuda di sampingnya, tanyanya: “Bagaimana
Toako? Daripada kita kedinginan dan terlantar di perjalanan, lebih baik kita
berteduh dulu di sini.....!”
Pemuda itu mengangguk, dia
hanya menjawab singkat: “Terserah padamu saja adikku.”
Maka gadis itu telah menoleh
lagi kepada Ciang-kui itu, katanya: “Baiklah, kami akan menumpang untuk
beristirahat di sini beberapa waktu, menanti sampai salju meredah......!”
Ciang-kui itu telah
mempersilahkan ke dua tamunya ini untuk masuk, dan memberikan tempat di sudut
ruangan kantor rumah penginapan itu, di mana di tengahnya tampak ada perapian
yang baranya tengah menyala marong. Dan juga di sisi kiri kanan dari perapian
itu duduk berdesakan puluhan orang tamu lainnya yang tidak ke bagian kamar.
Si gadis dan si pemuda telah
menurunkan buntalan mereka, dan telah duduk dengan perasaan lega, karena
sekarang mereka bisa menghangat tubuh, tidak perlu ditimpah terus menerus oleh
hujan salju yang dingin menusuk tulang. Malah gadis itu telah sibuk
membersihkan sisa-sisa bunga salju yang melekat di pakaian si pemuda.
“Perjalanan ke kota raja tentu
masih memakan waktu belasan hari lagi. Jika memang sslju ini tidak juga meredah
dan tempat penyeberangan ini tidak bisa dipergunakan dalam beberapa hari,
niscaya kita akan tiba lebih lama lagi..... Kemungkinan besar, sebulan kemudian
kita baru mencapai tempat tujuan kita.....” kata si pemuda dengan suara yang
tidak begitu keras.
Si gadis mengangguk
mengiyakan, dan dia pun menyambungi: “Benar Toako, kita sambil pesiar juga,
bukankah untuk mengantarkan surat itu kita tidak perlu terlalu tergesa?!” Tapi
baru saja berkata begitu, wajah si gadis telah berobah murung.
Semua tamu-tamu yang berkumpul
di ruangan itu mengawasi si gadis, yang cantik luar biasa. Mereka memperoleh
kenyataan gadis itu seperti juga seorang dewi yang baru turun dari kerajaan
Langit.
Dan yang membuat para
tamu-tamu itu tertarik, adalah bola mata si gadis agak kebiru-biruan dan
hidungnya yang mancung. Dalam berpakaian sebagai seorang gadis Han, dengan
rambut yang disanggul tinggi, betapa cantik dan jelitanya. Maka tidak ada
seorang tamu lelaki di ruang itu yang tidak memuji di dalam hati mereka akan
kecantikan gadis tersebut.
Demikian juga halnya dengan si
pemuda, yang tampaknya lebih tua beberapa tahun usianya dari gadis itu, memiliki
kulit yang putih bersih, raut wajah yang tampan dan rambutnya walaupun telah
melakukan perjalanan jauh seperti apa yang dikatakan, masih rapih, hanya
terdapat beberapa bunga salju yang melekat dan mencair.
Sepasang muda-mudi itu seperti
juga Giok Hong dan Cin Touw, pasangan dewa dewi yang memang serasi dan cocok
satu dengan yang lainnya. Jika yang gadis cantik jelita, yang pemudanya tampan
dan ganteng.
Hanya yang membuat para tamu
itu tak berani memandang terlalu lama dan juga hanya melirik secara mencuri,
itulah disebabkan di pinggang si gadis maupun si pemuda, masing-masing
tergantung sebatang pedang panjang. Tampaknya mereka berdua orang-orang
Kang-ouw yang memiliki kepandaian silat yang tinggi.
Dengan demikian, orang yang
berkumpul di ruang itu telah melengos membuang pandang ke arah lain ketika si
pemuda telah angkat kepalanya dan menyapu sekeliling ruangan dengan sinar mata
yang tajam, bibir tersenyum. Tampaknya pemuda itu gagah sekali.....
Si gadis tertawa kecil. Dia
bilang kepada si pemuda: “Toako, kita telah hampir satu bulan melakukan
perjalanan, selama itu, kau selalu memperlihatkan sikap seperti juga kita ini
tengah mengejar waktu untuk menyelesaikan sebuah tugas yang penting.....
Bukankah kita hanya perlu menyampaikan surat itu, dan tugas kita selesai?
Berarti waktu kita tidak terlalu terdesak dan dalam melakukan perjalanan ini
kita juga bisa sekalian untuk berpelesiran, menikmati keindahan alam dari
daerah yang kita lalui.....?!”
Pemuda itu menghela napas,
tapi kemudian dia tersenyum sambil katanya: “Adikku, dalam menyelesaikan urusan
ini, sebetulnya memang merupakan urusan yang tidak terlalu penting, walaupun
surat itu besar artinya untuk ketenangan arwah ayahmu! Namun yang terpenting
ialah bagaimana kita bisa menyelesaikan tugas ini secepat mungkin agar kita
bisa segera kembali untuk berkumpul di markas Kay-pang. Di sana kita akan
menerima tugas yang jauh lebih berat lagi, untuk menyelamatkan Wang
Toako......!”
Begitulah, si gadis
mengangguk, dan selanjutnya mereka bicara bisik-bisik.
Mendengar selintasan dari
percakapan muda mudi ini, seketika para tamu di ruang tengah itu mengetahui
bahwa mereka adalah orang-orang Kang-ouw. Dengan sendirinya, para tamu-tamu itu
tidak berani memperlihatkan sikap yang lancang atau kurang ajar, bisa-bisa mereka
celaka kalau si pemuda atau si gadis naik darah oleh sikap mereka.
Tetapi di antara para tamu
itu, rupanya terdapat seorang lelaki berusia lanjut, mungkin usianya telah
enampuluh tahun, dia tengah duduk setengah rebah dengan tubuhnya agak menyender
pada dinding. Dan dia juga terus menerus mengawasi muda mudi itu. Malah ketika
melihat muda-mudi itu bicara bisik-bisik dia menguap dengan suara cukup
nyaring, susuli dengan perkataannya,
“Salju turun terus menerus,
hawa udara demikian dingin dan buruk. Sungguh menjengkelkan sekali, sehingga si
tua bangka yang ingin cepat tiba di kotaraja jadi terhambat dan akan terlambat
karenanya.....!“ orang tua itu berkata-kata dengan suara yang nyaring, rupanya
pada dirinya dia itu sengaja agar si gadis dan si pemuda mendengarkannya.
Dan memang gadis dan pemuda
itu telah melirik ke arahnya. Ketika itu si pemuda memperoleh kenyataan, orang
tua dengan kumis yang tumbuh tidak teratur itu, dan usianya telah lanjut,
dengan tubuh yang kurus tertutup oleh pakaian luarnya yang tebal terbuat dari
bulu tiauw yang telah botak di beberapa bagiannya. Yo Him mengetahui, bahwa
orang itu bukanlah seorang pelancong atau saudagar umumnya, dari sinar matanya
terlihat bahwa orang tua ini memiliki lweekang yang tinggi.
Si gadis juga telah berbisik,
“Orang itu mencurigakan sekali, Toako!”
Pemuda itu mengangguk. Dia
telah bangun dari duduknya menghampiri orang tersebut, dia mengangkat tangannya
memberi hormat.
“Lopeh, maukah Lopeh
menghilangkan iseng bercakap-cakap dengan kami?!” tanya pemuda itu.
Orang tua itu telah mengangkat
kepalanya mengawasi Yo Him dengan mulut tersenyum lebar, dia kemudian
mengangguk.
“Tentu saja mau, jika memang
kalian tidak memandang rendah kepadaku untuk mengikat tali persahabatan! Memang
sungguh menjemukan sekali berdiam di tempat seperti ini terhambat perjalanan
karena turun salju celaka itu! Jika memang memperoleh sahabat yang bisa
melenyapkan kelanggengan dan kesunyian ini, bukankah itu menggembirakan
sekali?!”
Dan sambil berkata begitu,
lelaki tua tersebut telah bangun. Dia telah menggeser barang-barangnya untuk
pindah duduk ke tempat si pemuda dan si pemudi.
“Siapakah nama kalian?!” tanya
orang tua itu setelah duduk dengan benar di hadapan si pemuda dan si pemudi.
“Siauwte she Yo, dan bernama
Him. Ini adalah adikku, namanya Sasana.....!” menjelaskan pemuda itu, yang
tidak lain dari Yo Him dan si gadis adalah Sasana.
“Ohh, aku si orang tua sudah
lama tidak mempergunakan namaku, sehingga selama itu tidak pula aku ingat
namaku sendiri. Hanya saja sahabat-sahabatku biasanya memanggil aku si Kwie
Losam (Setan Tua). Kukira, kalian juga bisa memanggil aku dengan sebutan Kwie
Losam itu pula.”