Beruang Salju Bab 54 Sepasang Kekasih Di Bawah Hujan

Beruang Salju Bab 54 Sepasang Kekasih Di Bawah Hujan
54 Sepasang Kekasih Di Bawah Hujan

Dia tidak memperdulikan teriakan-teriakan Yo Him yang memintanya agar menghentikan lari kuda tunggangnya dan menantikannya. Malah kini Sasana telah melarikan kudanya itu semakin cepat, berulang kali dia menghentak tali kendali kudanya dan juga ke dua kakinya menjepit kuda itu, membuat binatang tunggangannya itu mencongklang cepat sekali menerjang curahan air hujan yang semakin deras saja.

Yo Him merasakan tamparan air hujan yang menerjang mukanya, matanya juga perih karena mengejar terlalu cepat. Namun walaupun bagaimana ia memang harus berusaha mengejar kekasihnya yang tengah ngambek itu, tanpa memperdulikan rasa pedas di wajahnya dan rasa perih di sepasang matanya yang sebentar-sebentar dipenjamkannya itu. Yo Him telah melarikan kuda tunggangannya tersebut semakin cepat juga.

Sasana yang mengetahui bahwa Yo Him terus juga mengejarnya dan berusaha menyandaknya, diam-diam tersenyum. Hatinya jadi tidak tega juga, apalagi ketika dia mendengar teriakan Yo Him yang terakhir.

“Adikku yang manis, yang baik, dengarlah keteranganku dulu! Jika memang aku bersalah, aku rela dihukum olehmu, walaupun hukuman yang bagaimana berat sekalipun.....! Aku mohon agar kau mau mendengar keteranganku dulu adikku yang manis. Berhentilah dulu!” berulang kali Yo Him telah berteriak-teriak begitu.

Akhirnya lemahlah hati Sasana, mencairlah kemendongkolannya, ia menghentikan kuda tunggangannya.

Girang Yo Him melihat Sasana mau menghentikan larinya kuda tunggangannya itu. Segera juga ia dapat menyandak dan menghentikan ke duanya tepat di sisi kuda Sasana sambil cepat-cepat merangkapkan sepasang tangannya, katanya sambil memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh: “Adikku..... maafkanlah kesalahan engkomu ini..... Aku bersedia untuk menerima hukuman apa pun dari kau atas kelancanganku tadi!”

Pipi Sasana berobah memerah, kemendongkolannya telah lenyap. Memang tadi diapun sesungguhnya hanya ingin melihat apa yang dilakukan Yo Him jika ia tengah “ngambek’. Dan dilihatnya Yo Him memang sangat mencintainya, karena kekasihnya ini bersedia untuk dihukum dengan apapun juga.

“Baiklah! Aku akan memaafkanmu dan berbaik padamu, jika telah menjalankan hukumanku!” kata Sasana sambil memperlihatkan sikap cemberut, walaupun hatinya waktu itu sangat senang sekali.

“Katakanlah, hukuman apapun yang akan kau jatuhkan padaku akan kulaksanakan dengan senang hati walaupun harus terjun dalam kobaran api atau terjun dalam kolam minyak yang mendidih.....!”

“Aku tidak sekejam itu! Atau memang kau beranggapan aku ini seorang iblis yang berhati kejam?” tegur Sasana cemberut lagi, walaupun hatinya tertawa geli dan bahagia.

Yo Him tersentak kaget lagi, tetapi setelah tertegun sejenak dia mengayunkan tangan kanannya menampar bibirnya.

“Hai, hai, kembali aku salah bicara, maafkan adik..... Aku memang heran mengapa sekarang aku jadi demikian tolol?!” kata Yo Him cepat, dengan sikap bersungguh-sungguh.

Hati Sasana jadi tidak tega melihat sikap Yo Him, walaupun bagaimana ia memang tidak bersungguh-sungguh dengan “ngambek” nya itu. Sekarang melihat betapa Yo Him menampar bibirnya berulang kali sampai bibirnya berobah merah seperti bengap.....!

“Sudah! Sudah engko Him!” berseru Sasana yang jadi gugup melihat Yo Him masih menampari bibirnya berulang kali. “Hentikanlah engko Him..... sudah cukup.....!”

Tetapi Yo Him melihat sikap Sasana yang matanya memancarkan sinar kasih sayang seperti itu jadi girang. Dia berbalik ingin mempermainkan kekasihnya ini untuk melihat sampai berapa jauh cinta kasih Sasana terhadapnya.

Yo Him menggelengkan kepalanya sambil serunya dengan wajah memperhatikan penyesalan: “Tidak! Tidak! Selama kau tidak memaafkan dengan setulus hati, biarlah aku menghantami terus bibirku, biar hancur lodoh.....!” Dan benar-benar Yo Him menampari terus bibirnya itu, sampai terdengar suara “ketepak, ketepuk” berulang kali, dan bibirnya itu membengkak.

Sasana terkejut, dia kaget dan berkasihan.

“Engko Him, sudah! Sudah! Aku sudah memaafkanmu..... tadipun aku hanya bergurau saja. Aku tidak marah sungguh-sungguh.....!” teriak Sasana sambil mendekatkan kudanya ke kuda Yo Him.

Tetapi Yo Him tetap menghantam bibirnya yang telah bengkak jontor itu, dia tetap berseru: “Tidak! Tidak! Bibirku ini selalu salah bicara, biarlah kuhajar biar lain kali bibir kurang ajar ini tidak bicara salah.....!”

Sasana berseru kaget sambil melompat menubruk mencekal tangan kanan Yo Him yang tengah meluncur itu, sambil berteriak: “Sudah! Sudah engko Him..... Mengapa kau harus mempersakiti dirimu sendiri?” Dan karena dia menubruk begitu dia mencekal tangan Yo Him, tubuh si gadis telah berada dalam rangkulan Yo Him.

Yo Him memeluknya erat-erat dan mereka jadi saling pandang penuh arti dengan bibir tertutup rapat, tidak sepatah perkataan pun yang meluncur dari bibir masing-masing. Hanya mata mereka saja yang memancarkan perasaannya hati masing-masing..... dan sinar mata mereka itu ribuan lebih banyak dari perkataan yang paling indah di dunia ini......

Setelah tersadar dari keadaannya, Sasana berusaha meronta rangkulan Yo Him, pipinya berobah merah karena likat.

Akan tetapi Yo Him tetap memeluknya, dan malah Yo Him berbisik: “Betapa cantiknya kau, adikku.....!” Dan kepala Yo Him menunduk, ingin mencium bibir si gadis.

Pipi Sasana berobah memerah terasa panas sekali, namun ia tidak berusaha memberikan perlawanan dan menolak tubuh kekasihnya, bibirnya terbuka merekah dan bibir mereka bertemu hangat sekali..... menumpahkan seluruh perasaan mereka.

Tetapi waktu bibir Sasana dilumat oleh Yo Him, waktu itulah si gadis tiba-tiba meronta dan telah mendorong dada Yo Him, kemudian melompat turun ke bumi dengan gerakan yang ringan, dia memutar tubuhnya berdiri membelakangi Yo Him. Sebab si gadis malu sekali, seraya ingin menyembunyikan mukanya ke dalam bumi.....

“Kau..... kau pemuda kurang ajar!” menggumam si gadis pura-pura marah. Sesungguhnya hati Sasana tengah berlompatan bahagia.

Yo Him cepat-cepat melompat turun dari kudanya, dihampirinya si gadis. Dengan lembut dipegangnya ke dua bahu kekasihnya, katanya lirih, “Adikku yang manis. adikku yang baik.....! Memang bibirku ini terlalu kurang ajar sekali..... karena itu pantas jika dihajar terus.....!” Dan setelah berkata Yo Him menggerakkan tangan kanannya, dia bermaksud untuk menghajar bibirnya lagi.

Akan tetapi Sasana cepat sekali menyambar tangan Yo Him, dicekalnya kuat-kuat. katanya dengan suara yang lirih: “Engko Yo Him, jangan aku..... aku tidak marah.....!”

Yo Him dan Sasana saling tatap, sampai akhirnya mereka berpelukan lagi.

Begitulah, mereka melanjutkan perjalanan dengan gembira, hati mereka terjalin lebih kuat dan cinta mereka semakin mendalam. Tidak ada kekuatan apapun juga di dunia ini yang sanggup untuk memisahkan mereka......

“Bagaimana kelanjutan ceritamu mengenai dongeng si pemuda dan si gadis yang cinta mereka memperoleh tentangan kuat dari pihak keluarga masing-masing?!” tanya Yo Him setelah mereka berada di kuda tunggangan masing-masing.

Hujan masih turun, walaupun tidak sederas tadi, tapi air hujan tetap seperti tercurah dari langit dan membasah kuyupkan seluruh tubuh Yo Him dan kekasihnya itu.

“Si pemuda yang tengah kebingungan itu tidak mengetahui harus mengambil jalan mana yang sekiranya bisa membawa kebaikan untuk ke dua pihak..... Karena dari itu akhirnya dia menjadi nekad dan meminta untuk bertemu dengan gadisnya.

“Kekasihnya itu tidak keberatan dengan permintaan si pemuda, sebab memang iapun sangat mencintai pemuda itu, karenanya, mereka telah bertemu di depan permukaan sebuah hutan yang terletak di luar kota..... Mereka saling menangis, saling menyesali nasib mereka yang buruk, saling rangkul..... sampai akhirnya si pemuda mengatakan selamat tinggal kepada kekasihnya itu......!”

“Apakah....., pemuda itu bermaksud uutuk pergi merantau dan meninggalkan kekasihnya itu?!” tanya Yo Him yang kini jadi tertarik mendengar cerita Sasana mengenai pasangan yang tengah bercintaan itu.

“Tidak! Bukan!” menyahuti Sasana. “Keluarga si gadis yang kaya raya memang menantang percintaan puteri mereka dengan si pemuda miskin. Akan tetapi merekapun tidak berdaya untuk membendung cinta si gadis kepada kekasihnya, walaupun pemuda itu telah diancam berulang kali oleh tukang pukul keluarga si gadis, namun kenyataannya mereka selalu mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi..... Hal ini disebabkan cintanya kasih mereka yang mendalam sekali..... Dan perkataan si pemuda mengenai selamat tinggalnya kepada kekasihnya itu adalah untuk menyatakan bahwa mereka di dunia tidak mungkin dapat bersatu, dan mungkin setelah berada di sorga mereka baru bisa berkumpul.

“Di luar dugaan si gadis, waktu gadis itu tengah tertegun mendengar ucapan selamat berpisah dari kekasihnya itu, si pemuda telah menikamkan sebatang pedang pendek di dadanya, pedang mana memang dibawanya waktu dia berangkat dari rumahnya..... maka pedang telah menembus dalam sekali di dadanya, darah memancur deras sekali bagaikan pancuran, menyiram tubuh si gadis kekasihnya.....

“Si gadis menjerit memanggil nama si pemuda berulang kali, tubuh pemuda itu terkulai rubuh tidak bergerak lagi, karena napasnya seketika telah berhenti..... Sambil menangis menggerung-gerung gadis itu telah merangkul tubuh kekasihnya sambil menangis mengutuki akan malaikat dan dewa yang tidak mau mengasihani mereka!”

Sasana berhenti dari ceritanya, matanya menatap jauh sekali, seperti juga si gadis terpengaruh oleh cerita yang tengah dibawakannya itu. Iapun menghela napas berulang kali.

Yo Him sendiri tergoncang perasaannya, karena diapun tengah jatuh cinta dan merasakan manisnya madu cinta dengan Sasana dan sekarang mendengar kegagalan percintaan dari pasangan muda-mudi itu, perasaannya jadi terharu dan iba.

“Lalu..... bagaimana?” tanyanya.

“Si gadis merasa hidupnya hampa dan tidak ada gunanya lagi, walaupun ke dua orang tuanya kaya raya tetapi dia telah kehilangan kekasih dan cintanya, karena itu, diapun menjadi nekad. Diambilnya pedang pendek di dada si pemuda, kemudian menikam dadanya sendiri, sehingga pedang itu menancap dalam sekali di dada si gadis, darahpun memancur deras sekali..... Tubuhnya seketika terkulai menindih mayat kekasihnya.....! Itulah menunjukkan akan kesetiaannya terhadap cinta dan kasihnya.....!

“Langit bergoncang, Raja langit terharu. Naga langitpun meraung menangis, para malaikat menghela napas, bumi tergoncang dan para dewa-dewi dari kerajaan Langit telah turun untuk menebarkan bunga, langitpun menangis, mengucurkan butir-butir air mata, menyiram ke dua sosok jenazah dari pasangan kekasih yang tidak tercapai percintaan mereka!

“Itulah sebabnya, jika sepasang kekasih yang tengah berkasih-kasihan di bawah derasnya hujan, cinta mereka direstui oleh Raja Langit, Malaikat dan dewa-dewi di Kahyangan..... Mereka akan bahagia dan juga seperti halnya kita tadi!” Berkata sampai di situ, Sasana melirik kepada Yo Him dengan pipi yang berobah jadi merah..... Dia menghela napas berulang kali.

Yo Him merasakan betapa hatinya tergoncang, dan dia mengulurkan tangan kanannya. Dicekalnya tangan si gadis, dan meremasnya dengan penuh perasaan, hati mereka yang bicara. Dan waktu kuda mereka berjalan perlahan-lahan ke duanya masih berpegangan tangan dengan mata saling tatap dan mesra.

Ke dua ekor kuda merekapun seperti mengerti apa yang tengah dialami oleh ke dua orang majikan mereka, ke dua ekor binatang tunggangan itu berjalan berendeng. Sejauh itu Sasana dan Yo Him masih dapat saling bergenggam tangan......

Y

Matahari senja tampak telah merangkak turun ke tempat peraduannya di ufuk sebelah Barat, dan sebentar lagi sang malam akan segera menyelimuti permukaan bumi. Rembulan yang mulai mengintip di ufuk Timur pun telah mulai merangkak naik.

Sasana dan Yo Him telah tiba di depan kota Ma-siang di daerah Ho-lam.

Pasangan kekasih ini memang melakukan perjalanan yang meletihkan, namun ke duanya tidak merasa letih sama sekali disebabkan ke duanya diliputi oleh kebahagiaan, manisnya cinta dan juga disebabkan dengan melakukan perjalanan berdua. Kesukaran apapun juga dan keletihan yang bagaimana pun juga tidak akan terasa oleh mereka.

Ma-siang merupakan sebuah kota yang tidak begitu besar, tetapi memang memiliki penduduk yang sangat padat. Di sebuah rumah penginapan yang cukup besar, Yo Him dan Sasana telah singgah. Seorang pelayan segera menyambut mereka, untuk membawa kuda tunggangan ke dua tamu ini, sedangkan seorang pelayan lainnya telah memimpin ke dua tamu ini ke ruang tengah, untuk memesan kamar pada pengurus rumah penginapan. Barang-barang Yo Him dan Sasana dibawa oleh pelayan itu.

Ternyata rumah penginapan ini telah menerima tamu yang cukup banyak, sehingga tinggal beberapa buah kamar yang kurang bagus masih kosong. Yo Him meminta dua kamar untuk mereka. Kemudian dengan diantar oleh pelayan, mereka telah dibawa ke ruang belakang rumah penginapan.

Walaupun ke dua kamar yang mereka peroleh itu kurang baik, namun tidak membawa kesan kurang baik untuk Yo Him dan Sasana yang tengah dimabuk alunan cinta kasih..... Mereka merasakan kamar yang sederhana itu sebagai ruangan sorga buat mereka.

Tampak Yo Him maupun Sasana selalu gembira. Waktu pelayan membawakan mereka makanan dan minuman, ke duanya bersantap malam sambil tertawa-tawa. Banyak yang mereka bicarakan dan juga cerita-cerita yang mereka percakapkan, sehingga menimbulkan gelak tawa mereka, jika suatu saat mereka menceritakan hal-hal yang lucu.

Setelah beristirahat sejenak, Yo Him mengajak Sasana untuk menikmati keindahan kota tersebut, di mana walaupun hari mulai malam, namun justru keramaian di kota tersebut tidak berkurang.

Dari lorong yang satu ke lorong yang lainnya Yo Him dan Sasana telah mengelilingi kota yang tidak begitu besar. Yang menarik perhatian mereka justru kota yang ramai ini tampaknya penduduknya riang gembira. Boleh dibilang mereka tidak pernah bertemu dengan seorang penduduk yang berwajah muram. Hal ini memperlihatkan bahwa penduduk kota ini hidup tenteram dan makmur, di samping itu tentu saja keamanan di kota tersebut juga terjamin.

Ketika mereka sampai ditengah-tengah koya, di sebuah lapangan rumput yang cukup besar, di sebelah selatan kota itu, tampak seorang penjual obat.

Tabib yang tengah menjual obat itu adalah seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus, di samping bentuk mukanya yang panjang tirus. Waktu itu tabib tersebut, sambil memukul gembrengnya tidak henti-hentinya berseru: “Nah, jika memang saudara-saudara memakan obat ini, usia tuan-tuan akan bertambah sepuluh tahun dari yang semestinya!

“Percayalah obat ini merupakan obat mujarab yang bisa membawa kebahagiaan buat orang yang memakannya, karena terbuat dari teratai salju dari Thian-san. Juga dicampur dengan Giok-bun, Sam-ciok, Kiok-cie, dan beberapa macam ramuan bahan obat yang langka. Jika memang sengaja kita mencari salah satu dari bahan obat itu saja sulit setengah mati. Jika memang ada, tentu harganya pun sangat tinggi.

“Sekarang kebetulan aku datang di kota ini, merupakan kesempatan yang sangat baik untuk tuan-tuan membelinya dengan harga yang murah! Satu butirnya hanya tiga bun. Dan dibandingkan dengan khasiat dan manfaat obat ini dari harganya yang begitu ringan, tentu saja tidak dapat dikatakan apa-apa lagi, pasti akan puas dan bahagia!

“Nah, siapa yang ingin membelinya? Ayo, siapa yang akan membelinya? Akh hanya singgah satu hari saja di kota ini, besok pagi aku akan berangkat pula melanjutkan perjalanan..... Jika besok kalian membelinya walaupun berani membayarnya dengan harga yang tinggi, itu sudah terlambat dan tidak mungkin memperoleh obat mujarab yang khasiatnya menyamai obat dewa..... Ayo siapa yang ingin membeli......? Siapa yang ingin membeli?!”

Dan tabib itu telah memukul gembrengnya berulang kali, memukulnya dengan keras, dan berteriak-teriak menanyakan siapa yang ingin membeli obatnya.

Yo Him dan Sasana berdiri di antara orang lainnya yang mengelilingi tabib tersebut. Mereka saling bergenggam tangan dengan sikap yang mesra sekali. Waktu tabib itu tengah menanyakan siapa yang ingin membeli obatnya, Yo Him dan Sasana berulang kali saling lirik dan tersenyum.

Mereka mengetahui, itulah cara penjual obat untuk menawarkan barang dagangannya. Tidak mungkin jika obatnya itu dibuat dari Teratai Salju yang berasal dari Thian-san, dicampur juga dengan bahan-bahan obat Giok-bun, Sam-ciok, Kiok-cie dan beberapa macam ramuan lainnya, obatnya bisa memiliki harga yang begitu murah. Jelas tabib itu hanya bicara besar tentang obat itu.

Setelah melihat ada beberapa orang penduduk kota itu yang membeli obat tersebut, Yo Him dan Sasana meninggalkan lapangan itu. Mereka bermaksud untuk menyaksikan keramaian di tempat lainnya.

Tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba Yo Him merasakan di belakangnya menyambar angin yang berkesiuran perlahan sekali. Jika memang seseorang yang berkepandaian biasa saja, jelas tidak mungkin dapat merasakan sambaran angin yang perlahan dan halus itu.

Akan tetapi Yo Him memang telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali, disamping itu memang iapun memiliki pendengaran yang sangat tajam. Dengan sendirinya membuat Yo Him dapat mengetahui menyambarnya angin serangan tersebut. Segera juga Yo Him menduga kepada serangan menggelap seseorang.

Dengan sikap yang tenang, Yo Him tetap melangkah seperti juga tidak terjadi suatu apa pun juga. Waktu merasa sambaran angin itu semakin dekat dan hampir mengenai pinggangnya dengan gerakan yang gesit sekali, Yo Him telah memiringkan pinggangnya sedikit kemudian sikutnya bekerja menuju ke bawah.

Seketika itu juga tangan si orang yang tengah terulur ke arah pingang Yo Him terhantam sikut si pemuda. Terbentur tidak sebegitu keras, namun akibatnya hebat sekali, karena seketika itu juga orang tersebut menjerit nyaring dan tubuhnya telah terlempar beberapa tombak.

Yo Him dan Sasana segera menoleh ke belakang, dan mereka melihat seorang laki-laki berusia limapuluhan, tengah meringis tidak jauh dari beradanya mereka. Dia tengah mengurut-urut tangannya dengan mata terpentang lebar-lebar mengawasi bengis. Rupanya dia tengah gusar sekali.

Yo Him telah menghampiri laki-laki tua itu. Dengan sabar dan suara yang ramah, tanyanya: “Paman mengapa kau tidak hujan tidak angin menyerang menggelap seperti itu kepadaku? Apa salahku? Dan mengapa kau ingin mencelakaiku?”

Orang tua itu masih menguruti tangannya dengan wajah meringis. Waktu itu dia telah mengerang perlahan, tahu-tahu tangannya yang kanan telah bergerak. Dia akan mencengkeram dada Yo Him. Gerakan yang dilakukannya itu sangat kuat. Juga tangan kirinya telah menyusul menyerang lagi. Diapun telah menerjang dengan tiba-tiba sekali, dengan cara membokong.

Akan tetapi Yo Him memiliki kepandaian yang tinggi, mana mau dia membiarkan orang menyerang dirinya seperti itu. Sambil mengeluarkan suara heran karena tidak mengerti mengapa orang tua itu telah beruntun menyerangnya lagi, tanpa mau memberikan penjelasan, Yo Him menghindarkan diri dari serangan orang tersebut. Begitu Yo Him menjejakkan kakinya, tubuhnya telah berada di belakang tubuh orang tua yang menyerangnya.

Karena menyerang tempat kosong dan lawannya tahu-tahu telah lenyap dari penglihatannya, orang tua tersebut mengeluarkan seruan kaget. Tenaga yang telah dikerahkan dan dipergunakan untuk menyerang itu sudah tidak keburu untuk ditarik lagi, karenanya seketika tubuhnya terjerunuk ke depan beberapa tindak.

Namun memang orang tua itu rupanya memiliki kepandaian yang tidak rendah, sebab begitu dia mengempos semangatnya, seketika dia dapat memperkuat kedudukan ke dua kakinya. Dia berhasil untuk memperkokoh kuda-kuda kakinya berdiri tetap lagi, dan cepat bukan main dia memutar tubuhnya.

“Hemmm, kau memiliki kepandaian yang lumayan tingginya.....!” mendengus orang tua tersebut, dari matanya dan wajahnya terlihat bahwa dia tengah penasaran sekali.

Sedangkan Yo Him telah menyaksikan bahwa orang tua ini walaupun memiliki kepandaian itu sebetulnya tidak terlalu luar biasa.

“Paman, tunggu dulu..... coba kau jelaskan sesungguhnya mengapa kau menyerangku terus menerus seperti itu. Apa kesalahanku? Katakanlah.....!” berseru Yo Him waktu melihat orang tua tersebut telah melangkah dan menghampiri ke arah dirinya untuk mulai menyerang lagi.

Akan tetapi orang tua tersebut telah mendengus, dia tidak memperdulikan perkataan Yo Him, melainkan tangan kanannya telah bergerak lagi. Dia menyerang dengan hebat, beruntun tiga jurus. Tangan kirinya juga tidak tinggal diam, sebab dia telah menyusuli menyerang beberapa kali pula.

Dengan demikian Yo Him juga tidak hisa berdiam diri, berulang kali dia harus berkelit ke sana ke mari menghindarkan diri dari serangan orang tua tersebut. Tetapi diam-diam Yo Him juga berpikir bahwa dia tidak bisa tinggal berdiam diri saja.

Itulah sebabnya ketika melihat orang tua itu menyerang dirinya lagi, Yo Him telah memutar ke dua tangannya. Hal ini untuk melindungi tubuhnya dari serangan orang tua tersebut, sedangkan kaki kanan Yo Him telah menendang dengan kuat ke arah kempolan lawannya.

Orang tua tersebut mengeluarkan suara seruan tertahan karena kaget. Waktu itulah terlihat betapa tampak jelas dia tidak bisa mengelakkan diri, karena dengan mengeluarkan suara jeritan yang nyaring, tubuhnya telah terpental dan melayang di tengah udara. Kemudian dirinya meluncur jatuh ambruk di tanah, menimbulkan suara bergabrukan yang nyaring disertai juga dengan suara jeritannya.

Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu telah melihatnya keributan ini. Mereka segera juga mengelilingi Yo Him dan orang tua tersebut, karena mereka memang ingin menyaksikan keramaian.

Di saat itu Sasana telah mendongkol bukan main, karena melibat orang tua itu tidak keruan dan tidak juntrungannya telah menyerang Yo Him. Waktu melihat orang itu ambruk terbanting di tanah akibat tendangan Yo Him, seketika Sasana menepuk tangannya berulang kali dan memuji Yo Him yang kakinya sangat hebat.

Orang-orang yang menonton keramaian ini juga banyak yang telah berseru-seru dan memuji akan kehebatan Yo Him.

Yo Him berdiri tenang di tempatnya, sama sekali dia tidak berobah sikapnya, tetap ramah dan tenang sekali. Dia bilang dengan sabar kepada orang tua yang tadi menyerangnya dan kini tengah merangkak untuk bangun: “Paman, sekali lagi kutanyakan, apa sebabnya kau menyerangku secara membabi buta seperti itu?!”

Orang tua itu telah merangkak dan sanggup berdiri lagi, walaupun sepasang kakinya agak gemetar karena dia tengah menahan kemarahan, yang bukan main di dadanya. Matanya yang memandang kepada Yo Him juga berapi-api memancarkan sakit hati dan penasaran.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar