66 Saudagar Galak Kena Batu
Saudagar itu tidak
memperdulikan ratapan si kasir, dia telah mengulurkan tangannya akan menjambak
punggung si kasir.
Si kasir tambah ketakutan
bukan main, sampai dia menjerit dengan suara yang nyaring. Di waktu itulah si saudagar,
telah mengangkat tubuh kasir itu, maksudnya akan membantingnya.
Akan tetapi, waktu jiwa si
kasir terancam tiba-tiba terdengar suara orang membentak, “Tahan.....!” Nyaring
sekali suara tersebut,
Segera juga terlihat, dari
salah satu meja di sudut ruangan itu melompat sesosok tubuh, ringan sekali,
menghampiri saudagar yang seorang tersebut.
Si saudagar tersebut menahan
gerakan tangannya, dia batal membanting.
Di kala itu, dengan mata
beringas dia menoleh kepada orang yang mencegah dia membanting si kasir.
“Ampun..... ampunnnn.....!” Si
kasir yang masih dicengkeram itu telah menjerit-jerit kalap, karena dia kuatir
kalau-kalau dirinya dibanting ke lantai. Berarti jika dia tidak mati tentunya
akan terluka parah, patah tangan atau kakinya atau boleh jadi tulang
punggungnya. Dengan demikian, telah membuat dia menjerit sejadi-jadinya.
Saudagar itu rupanya sebal
oleh jeritan-jeritan si kasir tersebut, dia melemparkan ke samping, tubuh kasir
itu terbanting dan bergulingan di lantai.
Sedangkan orang yang tadi
mencegah telah melompat ke hadapan si saudagar, tegurnya dengan suara
mengandung perasaan tidak puas: “Kau keterlaluan..... Selain meminta kamar
seenakmu saja seperti juga rumah penginapan ini milik kakek nenekmu saja. Juga
telah menganiaya pelayan dan kasir tua itu! Jika memang dibiarkan begitu saja,
tentu akan mengumbar kejahatanmu itu!”
Bola mata dari saudagar itu
telah memancarkan sinar yang bengis mencilak beberapa kali, diapun
memperdengarkan suara mendengus karena murka. Dilihatnya orang yang mencampuri
urusannya adalah seorang lelaki berpakaian seorang petani bertubuh sedang saja,
berusia antara tigapuluh tahun. Wajahnya tidak begitu tampan, akan tetapi juga
tidak buruk. Hanya saja dari sorot matanya, jelas dialah seorang pemuda yang
gagah.
“Lalu kau ingin memberikan
petunjuk?!” tanya saudagar tersebut dengan suara yang bengis. Dan dia bukan
hanya sekedar bertanya. Rupanya memang sudah menjadi sifatnya, dia selalu
berlaku telengas dan ringan tangan karena begitu bertanya, ke dua tangannya telah
diulurkan untuk mencekal ke dua pergelangan tangan dari si pemuda petani itu.
Pemuda berpakaian sebagai
petani itu rupanya bukan petani biasa. Dia memiliki kepandaian ilmu silat yang
tinggi, terlihat dari cara bergeraknya yang begitu ringan.
Ketika melihat tubuh saudagar
itu doyong maju dan dengan ke dua tangan diulurkan padanya maka cepat sekali
pemuda petani itu telah membungkukkan tubuhnya, tahu-tahu dengkul kakinya
sebelah kanan telah naik, di mana dia menekuk lututnya dan menghantamkan
lututnya itu pada perut lawannya.
Saudagar itu kaget.
Biasanya seorang yang diserang
seperti itu olehnya, yaitu dengan ke dua tangan terulurkan dan juga akan
mencengkeram lengan lawan maka sang lawan akan menghindarkan diri dengan
segera, melompat ke belakang, ke samping kiri atau kanan, atau juga
menangkisnya dengan kuat. Baru pertama kali ini saudagar itu memperoleh lawan
yang demikian aneh yang menyambut serangannya dengan tubuh, yang agak
dibungkukkan dan juga dengan lutut yang dipakai menyerang ke perutnya.
Saudagar itu mengetahui bahwa
tenaga serangan lutut kaki lawannya tidak ringan, karena jika saja lutut petani
itu berhasil menghantam perutnya, tentu seluruh isi perutnya akan hancur.
Karenanya saudagar itu tidak meneruskan serangannya, dia menarik pulang ke dua
tangannya dan melompat mundur. Dengan demikian dia berhasil menghindarkan
perutnya dari benturan lutut kaki si petani tersebut.
Akan tetapi saudagar itu tidak
bisa bernapas lega dalam waktu yang lama, karena baru saja dia berdiri dengan
ke dua kakinya, waktu itu si petani telah melompat ke dekatnya dan telah
menyerang dengan tangan kirinya. Telapak tangannya itu menyambar ke arah dada
saudagar tersebut dengan kekuatan tenaga lweekang yang mengejutkan sekali,
karena ingin serangan itu bagaikan menyambarnya angin topan belaka.
Saudagar tersebut mengeluarkan
seruan tertahan, sedangkan kawan-kawannya telah mengeluarkan suara teriakan
kaget dan berusaha untuk melompat maju. Tapi saudagar yang seorang itu telah
berseru: “Biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Semua kawan-kawan saudagar itu
batal mengepung si petani. Mereka telah kembali mundur ke tempat masing-masing.
Sedangkan ssudagar yang
seorang itu tidak berusaha mengelakkan hantaman telapak tangan si petani,
karena dengan berani dia malah menangkis. Rupanya dia bermaksud keras lawan
keras, dan benar saja, dua kekuatan tenaga telah saling bentur dengan hebat.
Namun si petani itu tidak
berlaku sungkan, karena begitu tangannya ditangkis, dia telah menggerakkan
tangannya yang satunya, menyerang jauh lebih hebat.
Saudagar itupun telah
mengempos semangatnya, maka mereka berdua bertempur seru.
Si kasir yang telah merangkak
bangun, cepat-cepat merangkak ke kolong mejanya, dan mendekam di situ dengan
ketakutan.
Pelayan-pelayan lainnya tidak
berani ikut mencampuri urusan itu, karena mereka kuatir kalau-kalau merekalah
yang dijadikan sasaran dari kemarahan saudagar yang pemberang dan ganas
tangannya itu. Mereka hanya berkumpul di sudut ruangan dengan ketakutan dan
wajah yang pucat.
Petani muda itu merasakan
bahwa kepandaian saudagar itu memang tinggi dan juga ilmu yang dipergunakannya
bukanlah ilmu silat sembarangan. Akan tetapi petani muda itu pun tidak jeri
atau gentar, dia malah telah menyalurkan tenaga lweekangnya pada ke dua
tangannya. Tampak ke dua tangannya itu telah digerakkan berulang kali seperti
juga kitiran, menyambar ke sana ke mari dengan gerakan yang cepat luar biasa
disertai tenaga lweekang yang kuat.
Saudagar itu bukan seorang
lawan yang lemah, dia memberikan perlawanan yang gigih. Diam-diam di dalam
hatinya saudagar itu penasaran bukan main. Karena dilihat dari usianya, petani
muda itu masih tidak begitu terlalu tua. Dengan usia semuda itu dia bisa
memiliki kepandaian yang lumayan, di mana saudagar itu tidak bisa
merubuhkannya, membuat saudagar itu penasaran sekali.
Berulang kali saudagar itu
telah mengeluarkan suara bentakan nyaring dan sepasang tangannya
menyambar-nyambar dengan kekuatan yang dahsyat, karena dia bermaksud mendesak
lawannya. Akan tetapi, petani yang masih berusia muda itu terbawa oleh sifatnya
yang panas, dia bukannya gentar menerima serangan-serangan yang berbahaya dari
saudagar itu, malah dia memberikan perlawanan yang gigih.
Berulang kali tangan mereka
telah saling bentrok dan menyebabkan mereka melompat mundur, namun selalu pula
mereka menerjang maju untuk mengukur tenaga dan kepandaian lagi.
Keringat telah memenuhi muka
saudagar dan petani itu, mereka masih juga saling serang dengan seru. Banyak
meja dan kursi yang telah terjungkal kena ditendang dan dihantam tangan mereka,
benda-benda itu banyak yang rusak. Namun ke dua orang yang tengah bertanding
itu tidak memperdulikan keadaan seperti itu.
Kasir dan beberapa orang
pelayan yang melihat kerusakan terjadi pada kursi dan meja jadi berseru-seru:
“Jika ingin bertanding di luar saja..... janganlah menghancurkan usaha kami
yang bermodal kecil ini..... harap bertempur di luar saja.....!”
Tetapi si petani dan saudagar
itu mana memperhatikan teriakan-teriakan mereka. Ke duanya tetap bertempur
dengan seru.
Suatu kali rupanya petani muda
itu berlaku ayal dalam hal mengelakkan diri dari gempuran tangan kanan saudagar
itu, karena tahu-tahu kepalan tangan saudagar itu telah hinggap di pundaknya,
tubuh petani itu terhuyung beberapa langkah dengan muka yang berobah merah
padam.
Saudagar itu tampak bangga,
dia telah mengejek dengan sikap yang bengis: “Hemm, apakah kau ingin meneruskan
pertempuran ini?”
“Mengapa tidak?!” berseru
petani muda tersebut. Dia telah melompat dengan gesit, tubuhnya bagaikan
terbang menerjang nekad kepada saudagar itu.
Ke dua tangannya yang bergerak
dengan cepat sekali, sehingga saudagar itu yang tidak menduga lawannya akan
menyerang seperti itu telah terhantam telak dadanya. Tubuhnya terjungkal
bergulingan di lantai.
Kawan-kawan saudagar itu yang
menyaksikan nasib kawannya, jadi mengeluarkan seruan marah, mereka juga
menerjang maju untuk mengeroyok si petani.
Sedangkan petani itu tetap
memberikan perlawanan atas serangan-serangan dari belasan orang saudagar itu.
Dia tidak mengenal mundur, dan setiap serangan dihadapinya dengan kekerasan.
Namun yang rugi adalah petani
muda itu, berulang kali tubuhnya itu telah dihantam oleh kepalan tangan para
saudagar tersebut. Tubuh petani itupun akhirnya terjungkal di lantai, namun
para saudagar itu tidak mau menyudahi begitu saja, mereka tetap menyerang
dengan ganas.
Sedangkan saudagar yang
seorang itu, yang tadi telah dirubuhkan oleh petani muda tersebut, telah
bangkit kembali dan ikut menyerang, di mana dia menyerang dengan hebat sekali
dan tanpa mengenal kasihan. Dengan kakinya dia menjejak muka petani itu,
sehingga darah mengucur deras sekali dari muka si petani.
Sedangkan petani muda tersebut
walaupun telah diserang bertubi-tubi masih melakukan perlawanan yang gigih.
Malah di saat dirinya dikeroyok beramai-ramai seperti itu, membuat petani muda
tersebut jadi nekad dan kalap. Di antara suara teriakan gusar dia menerjang
kepada salah seorang saudagar yang menjadi lawannya, sehingga mereka berdua
bergulingan.
Cepat sekali saudagar-saudagar
lainnya menyerang lagi kepada petani muda itu. Dua orang di antara mereka telah
berusaha menarik si petani dari rangkulannya pada diri kawan mereka. Dan waktu
ke dua tangan petani itu dapat dicekal dengan kuat, maka di saat itulah
saudagar-saudagar lainnya telah menghantami petani muda itu dengan
pukulan-pukulan yang keras.
Petani muda itu telah jatuh
pingsan tidak sadarkan diri, karena darah banyak sekali mengalir keluar,
membuat dia rubuh di lantai ketika cekalan para saudagar itu dilepaskan.
Sedangkan saudagar-saudagar
itu cepat membersihkan pakaian mereka, salah seorang memanggil pelayan dengan
suara yang bengis.
Dua orang pelayan rumah
penginapan karena ketakutan menghampiri dengan tubuh yang terbungkuk-bungkuk
dan wajahnya pucat. Tubuh mereka tampak menggigil ketakutan, sebab kuatir kalau
para saudagar itu melimpahkan kemarahan mereka kepada dirinya.
“Bawa dan lemparkan manusia
tidak kenal mampus ini keluar!” perintah saudagar yang seorang itu. “Dan cepat
siapkan kamar buat kami!”
Setelah berkata begitu, tangan
saudagar yang seorang itu mendorong dengan gerakan yang perlahan. Akan tetapi
kesudahannya memang luar biasa, sebab ke dua orang pelayan itu telah terjungkal
rubuh bergulingan di lantai.
Sambil merangkak bangun dengan
wajah yang pucat dan tubuh menggigil, ke dua pelayan itu
cepat-cepat,menghampiri tubuh si petani muda, diangkatnya oleh mereka dan
dibawa keluar.
Akan tetapi baru beberapa
langkah ke dua pelayan itu menggotong tubuh pemuda tersebut, terdengar
seseorang berseru: “Berhenti, jangan berlaku kurang ajar pada pemuda
itu......!”
Ke dua pelayan itu terpaku di
tempat mereka, ke duanya melirik dengan takut-takut.
Sedangkan para saudagar itu
telah melirik kepada orang yang berseru itu, dan ternyata dari sebelah kanan
ruangan itu, di balik sebuah meja yang hanya terpisah tidak begitu jauh dari
rombongan saudagar tersebut, tampak seorang hwesio bertubuh sedang-sedang saja,
usianya telah telah lanjutdan memelihara jenggot yang telah memutih. Sikapnya
sabar sekali, dan matanya yang bening memancarkan sinar yang tajam sekali.
Wajah para saudagar itu
berobah dan mereka memandang dengan sikap tidak senang.
“Apakah kau pun ingin
mencampuri urusan ini, keledai gundul?!” bentak salah seorang saudagar itu
tidak sabar dan mendongkol sekali.
Pendeta itu telah beranjak dari
tempat berdirinya dan dia melangkah menghampiri para saudagar itu dengan
tindakan kaki yang tenang dan wajahnya tetap sabar. Katanya dengan sikap yang
tenang sekali: “Jangan kau cepat-cepat marah! Siancai, nanti sicu sekalian
cepat tua.....!”
Saudagar-saudagar itu bukannya
bertambah lunak oleh perkataan si pendeta, malah semakin gusar. Yang tadi telah
mengejek pada pendeta itu malah berkata dengan gesit: “Jika memang kau kenal
penyakit dan sayang akan jiwamu, cepat pergi menggelinding, Jangan coba mencampuri
urusan kami..... atau memang kau ingin merasakan apa yang dialami oleh pemuda
dungu itu?”
Hwesio itu merangkapkan
sepasang tangannya sambil memuji akan kebesaran sang Budha. Baru kemudian
katanya: “Siancai! Pinceng kira tidak ada seorang manusia di dunia ini bersedia
dirinya dipukuli, dianiayai oleh orang lainnya.....! Dan begitu pula halnya
dengan diri pinceng, tentu saja pinceng tidak mau jika memang seorang bermaksud
menganiaya diri pinceng.....!”
“Jika demikian segera kau
menggelinding pergi dari hadapan kami! Hemmm, memandang dari kedudukanmu
sebagai seorang pendeta, maka kami mau berlaku sedikit lunak padamu! Tetapi
jika memang kau lancang ingin mencampuri urusan kami, kepalamu yang gundul itu
akan kami hajar sampai pecah dan keluar polo serta otaknya.....!” Setelah
berkata begitu, saudagar yang seorang tersebut memperdengarkan suara tertawa
mengejeknya berulang kali.
Hwesio tersebut tetap membawa
sikap yang tenang dan sabar, dia hanya mengucapkan kebesaran sang Budha, baru
kemudian dengan melirik kepada pemuda yang terluka parah akibat dianiaya oleh
saudagar-saudagar tersebut, berkata dengan suara mengandung iba dan kasihan.
“Walaupun pemuda itu bersalah
pada kalian, akan tetapi Sicu semua tidak boleh main hakim sendiri memukulnya
sampai begitu rupa. Jika memang pemuda itu hilang jiwa, tidakkah hal itu akan
dibuat sayang? Dia masih berusia muda! Sedangkan pinceng kira kesalahan yang
dilakukannya juga tidak terlalu besar, dia hanya ingin membela pelayan itu agar
tidak diperlakukan kasar oleh Sicu, bukankah begitu? Mengapa harus dipukuli
beramai-ramai seperti itu?”
Setelah berkata begitu, dengan
matanya yang amat tajam pendeta tersebut telah mengawasi saudagar itu seorang
demi seorang bergantian, dan sambil tersenyum dia berkata lagi: “Nah, cobalah
sekalian sicu, sekalian pikirkan, tidakkah apa yang pinceng katakan itu benar
adanya?”
Mendongkol sekali para
saudagar itu. Mereka memang orang yang selalu bertindak dengan kasar dan juga
segera turun tangan keras jika saja tidak menyukai seseorang. Dan kini mereka
ditegur seperti itu oleh si pendeta, dengan sendirinya mereka jadi tidak
senang.
Akan tetapi sebagai
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja saudagar-saudagar itu
menyadari apa artinya sinar mata yang tajam dari pendeta tersebut, yang
tentunya merupakan seorang pendeta yang memiliki kepandaian dan lweekang yang
tinggi sekali. Disebab dugaan itulah mereka tidak berani bertindak sembarangan
dan ceroboh.
“Siapakah kau sebenarnya
keledai gundul?” tanya salah seorang saudagar itu dengan suara dan sikap yang
tetap kasar.
Pendeta itu tetap tenang dan
sabar, walaupun orang menyebut dia berulang kali dengan sebutan “keledei
gundul” namun dia sama sekali tidak marah, dan dengan tersenyum ramah dan sabar
si pendeta menyahuti diiringi oleh ke dua tangannya yang dirangkapkan dan
tubuhnya yang membungkuk memberi hormat,
“Sesungguhnya Pinceng bergelar
In Lap Siansu......!”
“Hemm, In Lap Siansu.....!”
berseru beberapa saudagar itu dengan suara yang bengis. “Rupanya kau seorang
pendeta yang selalu banyak menimbulkan kerusuhan dan juga keonaran, mengganggu
ketenangan pemerintah! Banyak laporan yang telah sampai pada pihak kerajaan
bahwa kau merupakan seorang pendeta yang terlalu bertingkah dan mengandalkan
kepandaianmu untuk menindas orang-orang pemerintahan......!”
In Lap Siansu mencilak matanya
mengawasi para saudagar tersebut, hatinya heran juga mendengar perkataan
saudagar itu.
“Mengapa Sicu menyebut-nyebut
soal pemerintahan? Atau memang sicu sekalian adalah orang-orang kerajaan?” tanya
si pendeta dengan suara yang tetap sabar.
Saudagar itu rupanya menyadari
bahwa dia telah keterlepasan berkata, maka cepat-cepat dia membetulkan
perkataannya itu: “Kami hanya para pedagang, akan tetapi sebagai pedagang kami
memiliki hubungan yang luas dengan orang-orang kerajaan dan kami juga telah
seringkali mendengar perihal sepak terjangmu!
“Karena dari itu, tidak heran
jika sekarang kaupun usil mencampuri arusan ini! Atau memang kau beranggapan
kepandaianmu telah sempurna dan tidak ada orang yang bisa menandingimu lagi di
dalam dunia ini, dan kau bertingkah demikian rupa.....!”
In Lap Siansu seorang yang
sabar dan ramah, walaupun saudagar-saudagar tersebut membawa sikap yang kurang
ajar dan kasar, tokh dia tetap membawa sikap yang sabar luar biasa. Hanya dia
telah menaruh kecurigaan, bahwa saudagar-saudagar ini bukanlah
saudagar-saudagar yang sesungguhnya. Jelas mereka merupakan saudagar tiruan.
Pertama dilihat dari
gerak-gerik mereka, di mana semuanya memiliki kepandaian dan ilmu silat yang
lumayan. Juga dilihat dari cara saudagar-saudagar itu bicara yang
menyebut-nyebut perihal kerajaan, membuat si pendeta mau menduga bahwa mereka
tentunya orang orang kerajaan yang tengah menyamar diri.
Memiliki dugaan seperti itu,
sikap In Lap Siansu jadi berobah, dia tidak berlaku selunak tadi. Dengan wajah
yang tawar dia berkata:
“Baiklah, sebagai seorang yang
patuh pada agama yang berdiri di dasar perikemanusiaan, maka Pinceng ingin
meminta agar Sicu sekalian tidak bertindak kasar dan semau Sicu saja dalam meminta
kamar! Tadi kebetulan Pinceng telah mendengar bahwa di rumah penginapan ini
kamar sudah penuh semuanya, dengan begitu sicu sekalian tentu saja tidak bisa
memaksa untuk meminta kamar dan mengusir tamu-tamu yang datang terlebih dulu
dari Sicu! Nah, silahkan, Sicu sekalian pergi mencari kamar di rumah penginapan
lainnya, mungkin masih terdapat kamar kosong.....!”
Setelah berkata begitu, In Lap
Siausu merangkapkan tangannya memberi hormat, dia membawa sikap seperti juga
mempersilahkan para saudagar itu berlalu meninggalkan rumah penginapan ini dan
tidak menimbulkan keonaran lagi.
Tetapi para saudagar itu mana
mau diperlakukan seperti itu? Mereka memang tengah mendongkol dan tidak senang,
dia sekarang merasa seperti diusir seperti itu. Karenanya salah seorang di
antara mereka yang rupanya tidak bisa menahan diri lagi, yang wajahnya bengis
dan memelihara kumis yang tipis, telah maju sambil mencengkeram ke arah si
pendeta.
In Lap Siansu memiliki
kepandaian yang tinggi, dia sekali lihat saja mengetahui bahwa lawannya ini
ingin mencengkeram dengan mempergunakan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang, atau
ilmu cengkeraman garuda. Dan sambil tersenyum sabar, In Lap Siansu mengelakkan
diri ke samping, tubuhnya bergerak lincah, tangan lawannya jatuh di tempat
kosong.
Akan tetapi saudagar itu, yang
rupanya memang telah dapat menduga bahwa si pendeta akan mengelakkan diri dari
serangannya, sebab dia melihat bahwa pendeta ini bukanlah pendeta sembarangan
dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi, karenanya, begitu tangannya mengenai
tempat kosong segera tangannya menyambar lagi ke arah dada si pendeta.
“Ohhh, pukulan telengas
sekali!” berseru si pendeta dengan suara yang tawar, dan tubuhnya telah
bergerak cepat sekali, meloloskan diri dari serangan lawannya.
Akan tetapi si saudagar
tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat bukan main dia telah
membarengi menyerangnya lagi. Hebat kali ini saudagar itu menyerang, sebab dia
mempergunakan ke dua tangannya.
In Lap Siansu kali ini tidak
berusaha berkelit, dengan gesit dan sebat sekali, tangannya telah bergerak ke
depan, tahu-tahu telah menyampok tangan dari lawannya sekaligus dia telah
menyampok ke dua tangan dari saudagar itu.
Sampokan yang dilakukannya
oleh In Lap Siansu ternyata mengandung tenaga lweekang yang dahsyat, karena
biarpun gerakannya sangat perlahan, tokh begitu tangannya membentur ke dua
tangan si saudagar tersebut, seketika ke dua tangan dari saudagar itu telah
kesampok ke samping. Dan membarengi dengan itu, sebelum saudagar tersebut
sempat untuk memperbaiki kedudukan, tubuhnya dan ke dua kakinya In Lap Siansu
telah menyerang lagi dengan totokan jari telunjuknya.
Gerakan yang dilakukan oleh In
Lap Siansu sangat cepat sekali, dengan tepat dia menotok jatan darah
Ma-tiang-hiat dari lawannya, maka tidak ampun lagi tubuh saudagar itu telah
terjungkal rubuh bergulingan di lantai dengan mengeluarkan suara keluhan.
Kawannya saudagar itu, yaitu
saudagar-saudagar lainnya, terkejut bukan main. Mereka mengeluarkan bentakan
marah ketika menyaksikan kawan mereka dirubuhkan begitu mudah oleh si pendeta.
Akan tetapi disamping perasaan
gusar, merekapun jadi terkejut, karena seketika mereka mengetahui bahwa pendeta
itu memang memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dalam dua jurus, dan dengan
gerakan seenaknya saja, si pendeta berhasil merubuhkan kawan mereka.
Padahal para saudagar itu
menyadari dan mengetahui jelas, kepandaian kawan mereka itu tidak rendah. Cepat
sekali belasan orang saudagar itu telah melompat mengepung si pendeta.
In Lap Siansu tetap berdiri
tenang di tempatnya, dia merangkapkan sepasang tangannya sambil bergumam
perlahan: “Harap Sicu sekalian jangan menimbulkan keonaran.....!”
Belasan orang saudagar itu
mana mau mendengar permintaan si pendeta. Salah seorang di antara mereka dengan
bengis telah berkata: “Keledai gundul, kami ingin meminta petunjukmu!” Dan
setelah berkata begitu, saudagar yang seorang tersebut malah melompat dan telah
mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dan bisa mematikan.
Dalam keadaan seperti ini
tidak ada pilihan lain buat In Lap Siansu. Cepat luar biasa dia telah melompat
ke samping dan berkelit. Namun saudagar lainnya telah menyambutinya dan
menyerang pula padanya.
Begitulah beruntun beberapa
kali In Lap Siansu telah melompat ke sana ke mari dengan gerakan yang ringan
sekali, dan selalu dia dapat menghindarkan diri dari serangan lawannya itu. Hal
ini disebabkan memang kepandaian In Lap Siansu berada di atas kepandaian dari
para saudagar itu.
Sambil berkelit ke sana ke
mari In Lap Siansu juga memperhatikan cara menyerang dari saudagar-saudagar
tersebut. Pendeta itu semakin yakin bahwa mereka bukanlah saudagar yang
sesungguhnya, tentunya mereka hanya menyamar saja.
Itulah sebabnya. semakin lama
In Lap Siansu telah menyerang makin cepat dengan ke dua tangannya, memaksa
lawannya tidak bisa mendekatinya.
Para saudagar itu rupanya juga
telah melihat bahwa pendeta ini bukanlah lawan yang ringan.