Beruang Salju Bab 70 Perjanjian Lima Jurus

Beruang Salju Bab 70 Perjanjian Lima Jurus
70 Perjanjian Lima Jurus

Wie Sung Ie mementang matanya lebar-lebar dan dilihatnya orang tersebut tidak lain dari seorang pengemis tua yang bertubuh tegap.

Dengan gusar Wie Sung Ie telah mendelik dan membentak kepada pengemis itu: “Pengemis bau! Mengapa kau mencampuri urusanku?”

Pengemis tersebut tertawa lagi, sikapnya acuh tak acuh. “Hemmm, justru aku ingin bertanya, mengapa tanganmu begitu telengas?!” sambil berkata, si pengemis telah mengulurkan tangan kanannya, dia telah mengambil hio-lonya, di mana dia telah meneguk isinya, yang tentunya merupakan cairan arak.

Kemudian sambil menutup tutup hio-lo tersebut, dia telah berkata lagi: “Dan sekarang aku si pengemis tua yang tidak punya guna serta miskin, ingin meminta petunjuk darimu, ingin merasakan betapa telengasnya tanganmu itu?” Sambil berkata begitu, si pengemis telah mencantelkan hio-lonya pada ikat pinggangnya.

Di waktu itu, tampak Wie Sung Ie sudah tidak bisa mempertahankan dirinya lagi, karena dilihatnya si pengemis tua tersebut seperti juga sudah tidak memandang sebelah mata kepadanya, dan ini membuat dia naik darah. Karena dari itu, ketika melihat pengemis tersebut tengah mencantelkan hio-lonya pada ikat pinggangnya, tanpa mensia-siakan kesempatan itu, tampak Wie Sung Ie telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya telah mencelat gesit sekali, ke dua tangannya telah dipergunakan menyerang. Beberapa meja dan kursi di dekatnya telah terbalik, akibat kuatnya angin serangan Wie Sung Ie.

Sedangkan si pengemis yang telah menolong orang she Tung itu membawa sikap yang tenang dan sabar, sama sekali dia tidak berusaha untuk berkelit dari serangan lawannya, malah dia telah berbalik tertawa dan mengawasi datangnya serangan lawannya tersebut.

Wie Sung Ie yang melihat lawannya tidak berusaha berkelit, dia berpikir di dalam hatinya: “Hemm, walaupun engkau memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tidak nantinya engkau dapat menghadapi seranganku ini dengan berdiam diri saja!”

Karena berpikir seperti itu, maka Wie Sung Ie telah mengempos dan menambah kekuatan tenaga serangannya. Dan dikala itu tampak ke dua telapak tangannya telah berobah warnanya jadi memerah.

Sedangkan pengemis itu tetap tenang dan setelah telapak tangan dari Wie Sung Ie menyambar dekat, hanya terpisah beberapa dim, tiba-tiba si pengemis telah mengangkat tangan kirinya, dia menggunakan jari telunjuknya saja buat menyambuti!

Wie Sung Ie terkesiap hatinya, dia kaget tidak terkira. Mengapa?

Karena cara menyerang yang dilancarkan oleh Wie Sung Ie merupakan ilmu yang agak sesat, yaitu ilmu yang mengandalkan kekuatan sinkang yang bersifat panas. Karena itu, jika bertemu dengan seorang lawan yang tangguh dan lawan itu mempergunakan kekuatan satu jari, di mana seluruh kekuatan sinkangnya dikerahkan pada ujung jari telunjuknya itu dan juga memiliki lweekang yang tidak berada di sebelah bawah dari Wie Sung Ie. Jika saja mengenai jalan darah Pai-tie-hiat, niscaya akan menyebabkan tenaga dalam dari Wie Sung Ie akan buyar.

Dengan demikian, berarti juga akan menyebabkan Wie Sung Ie terluka di dalam yang parah. Wie Sung Ie mati-matian berusaha menarik pulang ke dua tangannya.

Sedangkan pengemis itu telah tertawa cekikikan dengan suara mengejek dan sikap yang memandang rendah kepada Wie Sung Ie.

Wie Sung Ie mendelik, bentaknya: “Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku? Akulah si pengemis miskin yang paling melarat di dalam dunia ini!” menyahuti si pengemis itu.

“Yang ingin kuketahui, di dalam Kay-pang kau terhitung sebagai pengemis yang menduduki tingkatan keberapa?” tanya Wie Sung Ie dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Kukira tidak perlu kau bertanya seperti itu, karena kau bukan Tiangloku, dan kau tak memiliki hak bertanya seperti menghakimi diriku! Hemmm, atas kelancanganmu dengan sikapmu yang kurang ajar seperti itu, justru aku akan memberikan ajaran adat buatmu!” Dan setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban dari Wie Sung Ie, justru pengemis itu telah melompat dengan ringan sekali, sepasang tangannya bergerak secepat kilat.

Wie Sung Ie sendiri tidak bisa melihat cara bergeraknya pengemis itu. Tahu-tahu dia hanya merasakan pipinya yang kiri dan kanan sakit bukan main, lalu mulutnya dirasakan seperti dihantam sesuatu yang sangat keras sekali.

Rupanya pengemis itu telah berhasil menempelengnya beberapa kali.

Sedangkan si pengemis itu sendiri telah melompat mundur lagi, sambil masih tertawa mengejek, dia telah bertanya lagi: “Apakah kau masih berani bersikap kurang ajar terhadap anggota Kay-pang?”

Bukan main murkanya Wie Sung Ie. Tadi dia telah kena ditempeleng seperti itu, karena .dianggapnya memang kurang waspada dan bersiaga. Karena dari itu sekarang Wie Sung Ie telah mengerahkan seluruh kekuatannya, dia mendesis murka: “Aku akan membunuh dan mencincang tubuhmu, pengemis bau!” teriaknya dengan sikap kalap.

Pengemis itu tertawa mengejek.

“Memang di dalam dunia ini tidak ada pengemis yang memiliki tubuh harum dan wangi bunga. Semua pengemis di dalam dunia ini tentu bau! Nah, kau dengan cara apa ingin mencincang diriku? Nah, silahkan, aku justru ingin melihatnya!” Dan setelah berkata begitu si pengemis memperlihatkan sikap yang menantang sekali.

Sedangkan Wie Sung Ie tanpa membuang-buang waktu lagi telah melompat, di mana dia telah menyerang dengan mempergunakan ke dua tangannya. Tenaga lweekang yang dipergunakannya sangat hebat sekali, karena sekarang dia tengah murka, akan tetapi dalam kemurkaannya dia juga berlaku waspada dan bersiap siaga.

Sedangkan si pengemis telah tertawa lagi.

“Hemm, rupanya mulutmu itu ingin minta dihajar lagi, bukan?” katanya mengejek.

Dan mata si pengemis telah mengawasi datangnya serangan dari Wie Sung Ie. Sama sekali dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dan waktu tenaga serangan dari Wie Sung Ie hampir tiba, di saat itulah tahu-tahu tubuh si pengemis telah mencelat lenyap dari hadapan Wie Sung Ie. bagaikan bayangan belaka.

Dengan hati terkesiap Wie Sung Ie memutar tubuhnya. Benar saja pengemis itu telah berdiri di belakangnya terpisah dua tombak lebih tengah mentertawai dirinya.

Di waktu itu tampak Wie Sung Ie sudah meluap kemarahannya, karenanya dia telah membentak lagi dan tubuhnya telah mencelat sangat gesit sekali.

Si pengemis juga sudah tidak mau mempermainkan lebih jauh.

“Kukira sudah tiba saatnya engkau menerima hajaran dariku!” bentak si pengemis. Berbareng dengan bentakannya itu, tampak tubuh si pengemis telah berkelebat beberapa kali mengelilingi Wie Sung Ie.

Gerakan yang dilakukan pengemis itu benar-benar cepat sekali, karena Wie Sung Ie sendiri tidak bisa melihat jelas pengemis tersebut, di mana Wie Sung Ie melihat pengemis itu seperti telah menjelma menjadi empat orang pengemis yang sama dengannya, dan mengelilinginya. Wie Sung Ie berusaha buat menghadapi serangan pengemis itu, dia memutar tubuhnya mengikuti gerakan si pengemis.

Akan tetapi memang kepandaian pengemis itu lebih tinggi dari kepandaiannya. Setelah mengajak Wie Sung Ie berputar-putar beberapa saat, segera juga ke dua tangan pengemis bergerak. Terdengar suara “Plakkk, plooookkk” berulang kali, muka Wie Sung Ie telah bengkak merah.

Orang she Tung yang melihat betapa mudahnya pengemis yang menjadi tuan penolongnya itu mempermainkan Wie Sung Ie. Tanpa disadarinya dia telah bersorak memuji akan kehebatan pengemis itu. Demikian juga halnya dengan wanita setengah baya itu, diapun telah tertawa dan mengejek kepada Hong Tia Liang, katanya. “Lihatlah kawanmu seperti gentong nasi tidak punya guna!”

Hong Tia Liang sendiri tengah berdebaran hatinya, karena melihat Wie Sung Ie yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari kepandaian dia sendiri, dengan begitu mudah telah dapat dipermainkan oleh pengemis itu.

Jika memang Wie Sung Ie dapat dirubuhkan si pengemis, tentu dia sendiri tidak akan sanggup melayani si pengemis. Karena berpikir seperti itu, telah membuat Hong Tia Liang jadi bertempur setengah hati dalam menghadapi wanita setengah baya tersebut, karenanya perlahan-lahan dia jatuh di bawah angin dan terdesak.

Sedangkan wanita setengah baya itu tidak mau membuang-buang waktu. Diapun telah mendesak Hong Tia Liang dengan gencar. Setiap serangan yang dilancarkan oleh wanita setengah baya itu selalu membuat Hong Tia Liang mundur berulang kali dan telah terdesak hebat.

Sedangkan Hong Tia Liang sendiri mengeluh di dalam hatinya. Jika dia menghadapi terus wanita setengah baya ini dengan setengah hati, di mana perhatiannya terpecah, niscaya dia akan celaka.

Karena dari itu, Hong Tia Liang telah menetapkan hatinya. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya, dan dia juga telah berbalik menyerang kepada wanita setengah baya tersebut. Setiap serangan yang dilancarkan memiliki kekuatan yang dahsyat, karena sekarang dia telah berhasil menenangkan dan mensatukan kembali pikirannya.

Wanita setengah baya itupun tidak bisa mendesaknya lebih jauh, dia hanya bisa sekali-sekali melancarkan serangan balasan, dan juga seringkali mengelakkan diri dan menghindarkan dari setiap serangan yang dilakukan Hong Tia Liang.

Waktu itu Wie Sung Ie sendiri telah mengeluarkan seruan atau lebih mirip jeritan kalap. Tubuhnya melompat ke sana ke mari dengan cepat. Sepasang tangannya menyerang serawutan di mana dia menghantam dengan sepenuh tenaga dan sekenanya.

Akan tetapi si pengemis tetap seperti mempermainkannya, bergerak dengan ringan dan lincah. Setiap serangan yang dilancarkan Wie Sung Ie sama sekali tidak pernah mengenai sasarannya.

Hanya saja yang menjadi korban justru adalah meja dan kursi, yang banyak terbalik dan menjadi hancur.

Sedangkan pengemis itu, setelah mempermainkan sekian lama. Akhirnya berkata dengan suara maupun sikap sungguh-sungguh, katanya: “Dengarlah. Sekarang sudah tiba waktunya aku menghajar keras padamu!”

Wie Sung Ie yang mendengar perkataan pengemis tersebut, segera juga mementang matanya, sementara dia menunda serangan-serangan kalapnya.

Akan tetapi si pengemis bukannya menyerang malah telah berdiri tenang-tenang di tempatnya dengan bibir tersenyum simpul seperti tengah mentertawainya.

Wie Sung Ie jadi tambah kalap. Dengan mengeluarkan suara bentakan kalap, dia telah menyerang lagi. Tangan kanannya menghantam dengan hebat.

Pengemis itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Dia membiarkan dadanya itu dihantam.

“Dukkk!” keras sekali dada si pengemis telah dihantam oleh pukulan yang dilancarkan oleh Wie Sung Ie.

Sebenarnya pukulan itu sangat kuat sekali, akan tetapi bagaikan tidak berpengaruh apa-apa bagi diri si pengemis, yang tetap berdiri tegak di tempatnya. Dada si pengemis keras seperti baja dan sama sekali tubuhnya tidak bergeming.

Malah waktu itu si pengemis telah tertawa dan berkata dengan sikap mengejek.

“Kau boleh pilih bagian yang terempuk di tubuhku si pengemis melarat!” katanya.

“Hemm, aku akan mengadu jiwa dengan kau!” berteriak Wie Sung Ie. Dan berbareng dengan teriakannya itu, tubuhnya berkelebat menerjang lagi. Sekali ini dia menyerang jauh lebih hebat, karena dia telah mempergunakan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

Setiap pukulan yang tadi dilancarkan oleh Wie Sung Ie seperti tidak dipandang sebelah mata oleh si pengemis. Akan tetapi sekarang ini justru di saat Wie Sung Ie menyerang demikian hebat, si pengemis memperlihatkan sikap bertambah tidak memandang mata. Dia tetap berdiri tenang-tenang di tempatnya, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia akan mengelakkan diri dari serangan Wie Sung Ie yang hebat ini.

“Bukkk!” kembali pukulan dari Wie Sung Ie mengenai sasarannya, yaitu perut dari pengemis tersebut.

Akan tetapi yang kesakitan bukan si pengemis, justru Wie Sung Ie sendiri yang menjerit kesakitan sambil melompat-lompat, karena dia merasakan seperti memukul besi, dan kepalan tangannya itu berobah merah.

“Memang hebat tenaga pukulanmu, akan tetapi apakah engkau masih penasaran dan tidak mengakui bahwa engkau dalam satu jurus dapat kurubuhkan?!” ejek pengemis.

“Jika dalam satu jurus kau dapat merubuhkan aku, biarlah selanjutnya aku akan mengakui engkau sebagai guruku!” kata Wie Sung Ie dengan kemurkaan yang meluap dan diliputi oleh perasaan takut.

Pengemis itu tertawa. “Siapa yang kesudian mempunyai murid seperti engkau?!” kata si pengemis. “Cis, aku juga tidak kesudian mempunyai murid yang tampangnya seperti kau. Yang terpenting engkau harus dihajar dengan keras karena ketelengasan tanganmu!”

Dan setelah berkata begitu, dengan cepat si pengemis melangkah maju mendekati Wie Sung Ie. Sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap mengancam, karena dia melangkah menghampiri dengan mulut tersenyum, seperti juga dia tengah bertemu dengan seorang sahabat lama.

Waktu itulah tampak Wie Sung Ie yang tegang sendirinya. Dia telah bersiap-siap buat menghadapi segala sesuatunya.

“Kau sudah bersiap-siap buat menghadapi seranganku?” tanya si pengemis.

Wie Sung Ie hanya mendengus.

Si pengemis menghampiri lebih dekat. Setelah terpisah hanya beberapa langkah, tampak pengemis itu mengangkat tangan kanannya.

Wie Sung Ie menduga si pengemis ingin menyerangnya, cepat-cepat ia menggerakkan tangannya buat menangkis.

Akan tetapi ternyata pengemis itu bukan menyerang, melainkan dia menggaruk pahanya.

“Gatal!” katanya sambil nyengir.

Bukan main mendongkolnya Wie Sung Ie, tubuhnya sampai gemetaran. Coba jika bukannya dia memang mengetahui bahwa pengemis ini sangat liehay dan kepandaian si pengemis berada di atasnya beberapa tingkat, jelas dia akan menerjang buat mengadu jiwa.

Sedangkan si pengemis telah bertanya lagi: “Benar-benar kau sudah siap?”

Wie Sung Ie tetap tidak menyahuti, hanya matanya yang terpentang lebar-lebar.

“Nah, aku akan segera menyerang?” kata si pengemis. “Kau bersiap-siaplah!”

Dan setelah berkata begitu, dengan cepat sekali ke dua tangan si pengemis digerakkan, dia telah menyerang. Serangan yang dilakukannya aneh sekali. Dia seperti juga ingin merangkul Wie Sung Ie.

Menyaksikan cara menyerang dari lawannya tersebut, membuat Wie Sung Ie sementara waktu berdiam diri saja tidak menangkis, karena dia yakin itulah serangan gertakan belaka. Akan tetapi untuk kagetnya justru waktu itu dia merasakan terjangan tenaga yang luar biasa hebatnya.

Dan ketika Wie Sung Ie tersadar akan bahaya yang mengancamnya, dia telah terlambat, karena tahu-tahu dia telah merasakan napasnya sesak, matanya berkunang-kunang, dan juga tubuhnya seperti dihantam oleh sesuatu kekuatan yang dahsyat sekali. Tanpa bisa melakukan gerakan apa-apa lagi, tubuh Wie Sung Ie telah terpental rubuh.Waktu tubuh Wie Sung Ie jatuh terjerembab ke lantai, dia segera juga memuntahkan darah segar.

Rupanya serangan yang dilakukan pengemis membuat dia terluka di dalam yang tidak ringan. Dan darah segar yang dimuntahkannya itu bukan sedikit, karena berulang kali dia telah memuntahkan darah segarnya itu.

Di kala itu tampak Wie Sung Ie tengah berusaha buat bangun berdiri.

Si pengemis telah tertawa cekikikan, dia menghampiri, lalu kaki kanannya telah ditendangkan, membuat tubuh Wie Sung Ie menggelinding lagi.

“Sudah kuperingati tadi bahwa engkau harus bersiap-siap dan hati-hati menghadapi seranganku, akan tetapi engkau terlalu sombong, dengan demikian engkau sendiri yang menderita kerugian terluka di dalam.....!”

Mendengar perkataan pengemis itu, Wie Sung Ie berusaha buat menguatkan hatinya. Dan diam-diam dia telah menyalurkan sisa tenaganya tersebut pada ke dua telapak tangannya.

Di saat pengemis tengah melangkah mendekatinya, tampak Wie Sung Ie mendadak sekali telah melompat dan menyerangnya. Hebat sekali tenaga terakhir yang dipergunakannya ini, karena selain ilmu pukulan yang dipergunakannya merupakan ilmu simpanannya, juga sisa seluruh tenaganya tersebut merupakan kekuatannya yang terakhir.

Si pengemis sama sekali tidak menyangka bahwa Wie Sung Ie akan berlaku nekad seperti itu. Dia mengeluarkan suara tertawa mengejek, tahu-tahu tubuhnya mencelat dan berhasil mengelakkan serangan Wie Sung Ie.

Dia juga telah berhasil menggerakkan kaki kanannya, di mana dia menyepak dengan keras sekali. Sedangkan waktu itu terlihat betapa tenaga tendangan dari si pengemis membuat tubuh Wie Sung Ie meluncur dengan cepat sekali. Dan juga telah membuat kepala dari Wie Sung Ie menghantam dinding ruangan rumah makan tersebut.

Hantaman kepala Wie Sung Ie kepada dinding tersebut membuat batok kepalanya menjadi hancur. Dan waktu tubuhnya rubuh, dia tidak bisa mengeluarkan suara jeritan apa-apa lagi, karena jiwanya seketika melayang ke neraka!

Di kala itu, si pengemis telah mendengus beberapa kali, dia telah berkata dengan suara menggumam: “Hemmm, manusia tidak tahu diuntung!”

Di saat itu terlihat betapa wanita setengah baya yang tengah bertempur dengan Hong Tia Liang telah berhasil berada di atas angin, karena Hong Tia Liang, yang melihat kawannya telah terbinasakan dengan cara seperti itu, jadi ciut nyalinya. Dia segera terdesak hebat, sebab pikirannya waktu itu jadi kalut.

Sedangkan wanita setengah baya tersebut tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dia telah menggerakkan ke dua tangannya menyerang dengan beruntun. Tenaga serangan yang dilancarkan itu sangat hebat sekali, sehingga Hong Tia Liang selalu main mundur tidak hentinya, dan diam-diam Hong Tia Liang juga mengeluh.

Jika melihat keadaan pada saat itu, tentunya sulit buat dia meloloskan diri. Bukankah jika memang dia berhasil menghadapi wanita setengah baya tersebut masih ada lagi yang lainnya yaitu orang she Tung dan juga si pengemis yang hebat luar biasa kepandaiannya itu.

Pemilik rumah makan dan juga para pelayan, telah memandang dengan hati yang ciut sekali. Mereka sangat ketakutan, sebab dilihatnya telah terjadi korban jiwa.

Waktu itu si pengemis yang telah berhasil membinasakan Wie Sung Ie, memperdengarkan suara tertawanya. Sambil menggaruk-garuk pahanya, dia melangkah mendekati kepada wanita setengah baya dengan Hong Tia Liang yang tengah bertempur.

“Berhenti!” teriak si pengemis kemudian, dengan suara yang nyaring.

Wanita setengah baya itu menyadari bahwa pengemis ini berdiri di pihaknya. Karena begitu mendengarnya perintah si pengemis agar dia menghentikan pertempuran tersebut, segera juga dia mendesak Hong Tia Liang, kemudian waktu orang she Hong itu tengah melompat mundur, wanita setengah baya tersebut melompat mundur menjauhi diri.

Sedangkan saat itu Hong Tia Liang sendiri telah berdiri dengan muka yang pucat.

“Hemm, ternyata kalian main keroyok!” memaki Hong Tia Liang dengan gusar, karena dia sengaja memperlihatkan sikap gusar dan menindih perasaan takutnya. Dia ingin dapat meloloskan diri dari tangan si pengemis.

“Tidak pernah aku si pengemis miskin melarat dalam pertempuran main keroyok. Tentunya kau sendiri tadi telah melihatnya bahwa kawanmu itu menemui kematiannya karena dia mencari penyakit sendiri. Jika memang engkau penasaran, aku akan mempersilahkan engkau menyerang diriku, aku akan melayani engkau seorang diri!”

Hong Tia Liang jadi menyesal telah terlanjur dengan perkataannya. Karena sekarang jelas dia sudah tidak bisa mundur lagi dari keadaannya seperti itu.

“Baik!” sahutnya, “Aku akan melayanimu!” Dan setelah berkata begitu, Hong Tia Liang menoleh ke kiri dan ke kanan.

“Kenapa?!” tanya si pengemis sambil tertawa mengejek.

“Aku kuatir bahwa kau tidak bisa menghargai perkataanmu sendiri, di mana jika kita telah bertempur, kau akan main keroyok dengan kawan-kawanmu itu!”

“Hahaha!” si pengemis telah tertawa bergelak-gelak. “Aku tidak akan sehinamu! Majulah aku berjanji tidak akan mengecewakan kau!”

Hong Tia Liang masih takut, karena memang tadi dia hanya mencari-cari alasan buat mengulur-ngulur waktu belaka.

“Ayo maju!” desak si pengemis waktu melihat si orang she Hong tersebut tetap ragu.

Sedangkan Hong Tia Liang telah menggelengkan kepalanya, katanya: “Tunggu dulu, ada sesuatu yang ingin kukatakan!”

“Katakanlah!” kata si pengemis,

“Hemmm, apakah dalam pertempuran yang akan kita selenggarakan itu tidak ada batas-batasnya?!”

“Maksudmu?!”

“Apakah kita bertempur sampai salah seorang di antara kita ada yang binasa?!”

Si pengemis tertawa

“Sudah tentu tidak..... aku bersedia berjanji kepadamu, di dalam lima jurus engkau akan dapat kurubuhkan!”

“Benarkah?” tanya Hong Tia Liang sengaja mengulur waktu.

“Aku tidak akan mendustaimu. Jika dalam lima jurus engkau masih belum dapat kurubuhkan, maka anggap saja aku yang kalah dan aku akan rela buat menggorok leherku sendiri.

Mendengar perkataan si pengemis, Hong Tia Liang jadi girang, karena memang inilah yang dikehendakinya, sebab memang dia ingin, memancing kemarahan si pengemis.

“Dalam lima jurus aku harus dapat berusaha mengelakkan diri dari serangannya. Jika aku tidak bernafsu buat menyerangnya, tentu aku dapat menghadapinya selama lima jurus. Dengan demikian berarti, aku yang menang!”

Setelah berpikir begitu, Hong Tia Liang mengangguk-angguk.

“Baik! Apakah kita mulai?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar