70 Perjanjian Lima Jurus
Wie Sung Ie mementang matanya
lebar-lebar dan dilihatnya orang tersebut tidak lain dari seorang pengemis tua
yang bertubuh tegap.
Dengan gusar Wie Sung Ie telah
mendelik dan membentak kepada pengemis itu: “Pengemis bau! Mengapa kau
mencampuri urusanku?”
Pengemis tersebut tertawa
lagi, sikapnya acuh tak acuh. “Hemmm, justru aku ingin bertanya, mengapa
tanganmu begitu telengas?!” sambil berkata, si pengemis telah mengulurkan
tangan kanannya, dia telah mengambil hio-lonya, di mana dia telah meneguk
isinya, yang tentunya merupakan cairan arak.
Kemudian sambil menutup tutup
hio-lo tersebut, dia telah berkata lagi: “Dan sekarang aku si pengemis tua yang
tidak punya guna serta miskin, ingin meminta petunjuk darimu, ingin merasakan
betapa telengasnya tanganmu itu?” Sambil berkata begitu, si pengemis telah
mencantelkan hio-lonya pada ikat pinggangnya.
Di waktu itu, tampak Wie Sung
Ie sudah tidak bisa mempertahankan dirinya lagi, karena dilihatnya si pengemis
tua tersebut seperti juga sudah tidak memandang sebelah mata kepadanya, dan ini
membuat dia naik darah. Karena dari itu, ketika melihat pengemis tersebut
tengah mencantelkan hio-lonya pada ikat pinggangnya, tanpa mensia-siakan
kesempatan itu, tampak Wie Sung Ie telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya
telah mencelat gesit sekali, ke dua tangannya telah dipergunakan menyerang.
Beberapa meja dan kursi di dekatnya telah terbalik, akibat kuatnya angin
serangan Wie Sung Ie.
Sedangkan si pengemis yang
telah menolong orang she Tung itu membawa sikap yang tenang dan sabar, sama
sekali dia tidak berusaha untuk berkelit dari serangan lawannya, malah dia
telah berbalik tertawa dan mengawasi datangnya serangan lawannya tersebut.
Wie Sung Ie yang melihat
lawannya tidak berusaha berkelit, dia berpikir di dalam hatinya: “Hemm,
walaupun engkau memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tidak nantinya engkau
dapat menghadapi seranganku ini dengan berdiam diri saja!”
Karena berpikir seperti itu,
maka Wie Sung Ie telah mengempos dan menambah kekuatan tenaga serangannya. Dan
dikala itu tampak ke dua telapak tangannya telah berobah warnanya jadi memerah.
Sedangkan pengemis itu tetap
tenang dan setelah telapak tangan dari Wie Sung Ie menyambar dekat, hanya
terpisah beberapa dim, tiba-tiba si pengemis telah mengangkat tangan kirinya,
dia menggunakan jari telunjuknya saja buat menyambuti!
Wie Sung Ie terkesiap hatinya,
dia kaget tidak terkira. Mengapa?
Karena cara menyerang yang
dilancarkan oleh Wie Sung Ie merupakan ilmu yang agak sesat, yaitu ilmu yang
mengandalkan kekuatan sinkang yang bersifat panas. Karena itu, jika bertemu
dengan seorang lawan yang tangguh dan lawan itu mempergunakan kekuatan satu
jari, di mana seluruh kekuatan sinkangnya dikerahkan pada ujung jari
telunjuknya itu dan juga memiliki lweekang yang tidak berada di sebelah bawah
dari Wie Sung Ie. Jika saja mengenai jalan darah Pai-tie-hiat, niscaya akan
menyebabkan tenaga dalam dari Wie Sung Ie akan buyar.
Dengan demikian, berarti juga
akan menyebabkan Wie Sung Ie terluka di dalam yang parah. Wie Sung Ie
mati-matian berusaha menarik pulang ke dua tangannya.
Sedangkan pengemis itu telah
tertawa cekikikan dengan suara mengejek dan sikap yang memandang rendah kepada
Wie Sung Ie.
Wie Sung Ie mendelik,
bentaknya: “Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku? Akulah si pengemis
miskin yang paling melarat di dalam dunia ini!” menyahuti si pengemis itu.
“Yang ingin kuketahui, di
dalam Kay-pang kau terhitung sebagai pengemis yang menduduki tingkatan
keberapa?” tanya Wie Sung Ie dengan suara yang mengandung kemarahan.
“Kukira tidak perlu kau
bertanya seperti itu, karena kau bukan Tiangloku, dan kau tak memiliki hak
bertanya seperti menghakimi diriku! Hemmm, atas kelancanganmu dengan sikapmu
yang kurang ajar seperti itu, justru aku akan memberikan ajaran adat buatmu!”
Dan setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban dari Wie Sung Ie, justru
pengemis itu telah melompat dengan ringan sekali, sepasang tangannya bergerak
secepat kilat.
Wie Sung Ie sendiri tidak bisa
melihat cara bergeraknya pengemis itu. Tahu-tahu dia hanya merasakan pipinya
yang kiri dan kanan sakit bukan main, lalu mulutnya dirasakan seperti dihantam
sesuatu yang sangat keras sekali.
Rupanya pengemis itu telah
berhasil menempelengnya beberapa kali.
Sedangkan si pengemis itu
sendiri telah melompat mundur lagi, sambil masih tertawa mengejek, dia telah
bertanya lagi: “Apakah kau masih berani bersikap kurang ajar terhadap anggota
Kay-pang?”
Bukan main murkanya Wie Sung
Ie. Tadi dia telah kena ditempeleng seperti itu, karena .dianggapnya memang
kurang waspada dan bersiaga. Karena dari itu sekarang Wie Sung Ie telah
mengerahkan seluruh kekuatannya, dia mendesis murka: “Aku akan membunuh dan
mencincang tubuhmu, pengemis bau!” teriaknya dengan sikap kalap.
Pengemis itu tertawa mengejek.
“Memang di dalam dunia ini
tidak ada pengemis yang memiliki tubuh harum dan wangi bunga. Semua pengemis di
dalam dunia ini tentu bau! Nah, kau dengan cara apa ingin mencincang diriku?
Nah, silahkan, aku justru ingin melihatnya!” Dan setelah berkata begitu si
pengemis memperlihatkan sikap yang menantang sekali.
Sedangkan Wie Sung Ie tanpa
membuang-buang waktu lagi telah melompat, di mana dia telah menyerang dengan
mempergunakan ke dua tangannya. Tenaga lweekang yang dipergunakannya sangat
hebat sekali, karena sekarang dia tengah murka, akan tetapi dalam kemurkaannya
dia juga berlaku waspada dan bersiap siaga.
Sedangkan si pengemis telah
tertawa lagi.
“Hemm, rupanya mulutmu itu
ingin minta dihajar lagi, bukan?” katanya mengejek.
Dan mata si pengemis telah
mengawasi datangnya serangan dari Wie Sung Ie. Sama sekali dia tidak bergerak
dari tempatnya berdiri. Dan waktu tenaga serangan dari Wie Sung Ie hampir tiba,
di saat itulah tahu-tahu tubuh si pengemis telah mencelat lenyap dari hadapan
Wie Sung Ie. bagaikan bayangan belaka.
Dengan hati terkesiap Wie Sung
Ie memutar tubuhnya. Benar saja pengemis itu telah berdiri di belakangnya
terpisah dua tombak lebih tengah mentertawai dirinya.
Di waktu itu tampak Wie Sung
Ie sudah meluap kemarahannya, karenanya dia telah membentak lagi dan tubuhnya
telah mencelat sangat gesit sekali.
Si pengemis juga sudah tidak
mau mempermainkan lebih jauh.
“Kukira sudah tiba saatnya
engkau menerima hajaran dariku!” bentak si pengemis. Berbareng dengan
bentakannya itu, tampak tubuh si pengemis telah berkelebat beberapa kali
mengelilingi Wie Sung Ie.
Gerakan yang dilakukan
pengemis itu benar-benar cepat sekali, karena Wie Sung Ie sendiri tidak bisa
melihat jelas pengemis tersebut, di mana Wie Sung Ie melihat pengemis itu
seperti telah menjelma menjadi empat orang pengemis yang sama dengannya, dan
mengelilinginya. Wie Sung Ie berusaha buat menghadapi serangan pengemis itu,
dia memutar tubuhnya mengikuti gerakan si pengemis.
Akan tetapi memang kepandaian
pengemis itu lebih tinggi dari kepandaiannya. Setelah mengajak Wie Sung Ie
berputar-putar beberapa saat, segera juga ke dua tangan pengemis bergerak.
Terdengar suara “Plakkk, plooookkk” berulang kali, muka Wie Sung Ie telah
bengkak merah.
Orang she Tung yang melihat
betapa mudahnya pengemis yang menjadi tuan penolongnya itu mempermainkan Wie
Sung Ie. Tanpa disadarinya dia telah bersorak memuji akan kehebatan pengemis
itu. Demikian juga halnya dengan wanita setengah baya itu, diapun telah tertawa
dan mengejek kepada Hong Tia Liang, katanya. “Lihatlah kawanmu seperti gentong
nasi tidak punya guna!”
Hong Tia Liang sendiri tengah
berdebaran hatinya, karena melihat Wie Sung Ie yang memiliki kepandaian jauh
lebih tinggi dari kepandaian dia sendiri, dengan begitu mudah telah dapat
dipermainkan oleh pengemis itu.
Jika memang Wie Sung Ie dapat
dirubuhkan si pengemis, tentu dia sendiri tidak akan sanggup melayani si
pengemis. Karena berpikir seperti itu, telah membuat Hong Tia Liang jadi
bertempur setengah hati dalam menghadapi wanita setengah baya tersebut, karenanya
perlahan-lahan dia jatuh di bawah angin dan terdesak.
Sedangkan wanita setengah baya
itu tidak mau membuang-buang waktu. Diapun telah mendesak Hong Tia Liang dengan
gencar. Setiap serangan yang dilancarkan oleh wanita setengah baya itu selalu
membuat Hong Tia Liang mundur berulang kali dan telah terdesak hebat.
Sedangkan Hong Tia Liang
sendiri mengeluh di dalam hatinya. Jika dia menghadapi terus wanita setengah
baya ini dengan setengah hati, di mana perhatiannya terpecah, niscaya dia akan
celaka.
Karena dari itu, Hong Tia
Liang telah menetapkan hatinya. Dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya, dan dia
juga telah berbalik menyerang kepada wanita setengah baya tersebut. Setiap
serangan yang dilancarkan memiliki kekuatan yang dahsyat, karena sekarang dia
telah berhasil menenangkan dan mensatukan kembali pikirannya.
Wanita setengah baya itupun
tidak bisa mendesaknya lebih jauh, dia hanya bisa sekali-sekali melancarkan
serangan balasan, dan juga seringkali mengelakkan diri dan menghindarkan dari
setiap serangan yang dilakukan Hong Tia Liang.
Waktu itu Wie Sung Ie sendiri
telah mengeluarkan seruan atau lebih mirip jeritan kalap. Tubuhnya melompat ke
sana ke mari dengan cepat. Sepasang tangannya menyerang serawutan di mana dia
menghantam dengan sepenuh tenaga dan sekenanya.
Akan tetapi si pengemis tetap
seperti mempermainkannya, bergerak dengan ringan dan lincah. Setiap serangan
yang dilancarkan Wie Sung Ie sama sekali tidak pernah mengenai sasarannya.
Hanya saja yang menjadi korban
justru adalah meja dan kursi, yang banyak terbalik dan menjadi hancur.
Sedangkan pengemis itu,
setelah mempermainkan sekian lama. Akhirnya berkata dengan suara maupun sikap
sungguh-sungguh, katanya: “Dengarlah. Sekarang sudah tiba waktunya aku
menghajar keras padamu!”
Wie Sung Ie yang mendengar
perkataan pengemis tersebut, segera juga mementang matanya, sementara dia
menunda serangan-serangan kalapnya.
Akan tetapi si pengemis
bukannya menyerang malah telah berdiri tenang-tenang di tempatnya dengan bibir
tersenyum simpul seperti tengah mentertawainya.
Wie Sung Ie jadi tambah kalap.
Dengan mengeluarkan suara bentakan kalap, dia telah menyerang lagi. Tangan
kanannya menghantam dengan hebat.
Pengemis itu sama sekali tidak
berusaha menghindar. Dia membiarkan dadanya itu dihantam.
“Dukkk!” keras sekali dada si
pengemis telah dihantam oleh pukulan yang dilancarkan oleh Wie Sung Ie.
Sebenarnya pukulan itu sangat
kuat sekali, akan tetapi bagaikan tidak berpengaruh apa-apa bagi diri si
pengemis, yang tetap berdiri tegak di tempatnya. Dada si pengemis keras seperti
baja dan sama sekali tubuhnya tidak bergeming.
Malah waktu itu si pengemis
telah tertawa dan berkata dengan sikap mengejek.
“Kau boleh pilih bagian yang
terempuk di tubuhku si pengemis melarat!” katanya.
“Hemm, aku akan mengadu jiwa
dengan kau!” berteriak Wie Sung Ie. Dan berbareng dengan teriakannya itu,
tubuhnya berkelebat menerjang lagi. Sekali ini dia menyerang jauh lebih hebat,
karena dia telah mempergunakan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Setiap pukulan yang tadi
dilancarkan oleh Wie Sung Ie seperti tidak dipandang sebelah mata oleh si
pengemis. Akan tetapi sekarang ini justru di saat Wie Sung Ie menyerang
demikian hebat, si pengemis memperlihatkan sikap bertambah tidak memandang
mata. Dia tetap berdiri tenang-tenang di tempatnya, sama sekali tidak terlihat
tanda-tanda bahwa dia akan mengelakkan diri dari serangan Wie Sung Ie yang
hebat ini.
“Bukkk!” kembali pukulan dari
Wie Sung Ie mengenai sasarannya, yaitu perut dari pengemis tersebut.
Akan tetapi yang kesakitan
bukan si pengemis, justru Wie Sung Ie sendiri yang menjerit kesakitan sambil
melompat-lompat, karena dia merasakan seperti memukul besi, dan kepalan
tangannya itu berobah merah.
“Memang hebat tenaga
pukulanmu, akan tetapi apakah engkau masih penasaran dan tidak mengakui bahwa
engkau dalam satu jurus dapat kurubuhkan?!” ejek pengemis.
“Jika dalam satu jurus kau
dapat merubuhkan aku, biarlah selanjutnya aku akan mengakui engkau sebagai
guruku!” kata Wie Sung Ie dengan kemurkaan yang meluap dan diliputi oleh
perasaan takut.
Pengemis itu tertawa. “Siapa
yang kesudian mempunyai murid seperti engkau?!” kata si pengemis. “Cis, aku
juga tidak kesudian mempunyai murid yang tampangnya seperti kau. Yang
terpenting engkau harus dihajar dengan keras karena ketelengasan tanganmu!”
Dan setelah berkata begitu,
dengan cepat si pengemis melangkah maju mendekati Wie Sung Ie. Sama sekali dia
tidak memperlihatkan sikap mengancam, karena dia melangkah menghampiri dengan
mulut tersenyum, seperti juga dia tengah bertemu dengan seorang sahabat lama.
Waktu itulah tampak Wie Sung
Ie yang tegang sendirinya. Dia telah bersiap-siap buat menghadapi segala
sesuatunya.
“Kau sudah bersiap-siap buat
menghadapi seranganku?” tanya si pengemis.
Wie Sung Ie hanya mendengus.
Si pengemis menghampiri lebih
dekat. Setelah terpisah hanya beberapa langkah, tampak pengemis itu mengangkat
tangan kanannya.
Wie Sung Ie menduga si
pengemis ingin menyerangnya, cepat-cepat ia menggerakkan tangannya buat
menangkis.
Akan tetapi ternyata pengemis
itu bukan menyerang, melainkan dia menggaruk pahanya.
“Gatal!” katanya sambil
nyengir.
Bukan main mendongkolnya Wie
Sung Ie, tubuhnya sampai gemetaran. Coba jika bukannya dia memang mengetahui
bahwa pengemis ini sangat liehay dan kepandaian si pengemis berada di atasnya
beberapa tingkat, jelas dia akan menerjang buat mengadu jiwa.
Sedangkan si pengemis telah
bertanya lagi: “Benar-benar kau sudah siap?”
Wie Sung Ie tetap tidak
menyahuti, hanya matanya yang terpentang lebar-lebar.
“Nah, aku akan segera
menyerang?” kata si pengemis. “Kau bersiap-siaplah!”
Dan setelah berkata begitu,
dengan cepat sekali ke dua tangan si pengemis digerakkan, dia telah menyerang.
Serangan yang dilakukannya aneh sekali. Dia seperti juga ingin merangkul Wie
Sung Ie.
Menyaksikan cara menyerang
dari lawannya tersebut, membuat Wie Sung Ie sementara waktu berdiam diri saja
tidak menangkis, karena dia yakin itulah serangan gertakan belaka. Akan tetapi
untuk kagetnya justru waktu itu dia merasakan terjangan tenaga yang luar biasa hebatnya.
Dan ketika Wie Sung Ie
tersadar akan bahaya yang mengancamnya, dia telah terlambat, karena tahu-tahu
dia telah merasakan napasnya sesak, matanya berkunang-kunang, dan juga tubuhnya
seperti dihantam oleh sesuatu kekuatan yang dahsyat sekali. Tanpa bisa
melakukan gerakan apa-apa lagi, tubuh Wie Sung Ie telah terpental rubuh.Waktu
tubuh Wie Sung Ie jatuh terjerembab ke lantai, dia segera juga memuntahkan
darah segar.
Rupanya serangan yang
dilakukan pengemis membuat dia terluka di dalam yang tidak ringan. Dan darah
segar yang dimuntahkannya itu bukan sedikit, karena berulang kali dia telah
memuntahkan darah segarnya itu.
Di kala itu tampak Wie Sung Ie
tengah berusaha buat bangun berdiri.
Si pengemis telah tertawa
cekikikan, dia menghampiri, lalu kaki kanannya telah ditendangkan, membuat
tubuh Wie Sung Ie menggelinding lagi.
“Sudah kuperingati tadi bahwa
engkau harus bersiap-siap dan hati-hati menghadapi seranganku, akan tetapi
engkau terlalu sombong, dengan demikian engkau sendiri yang menderita kerugian
terluka di dalam.....!”
Mendengar perkataan pengemis
itu, Wie Sung Ie berusaha buat menguatkan hatinya. Dan diam-diam dia telah
menyalurkan sisa tenaganya tersebut pada ke dua telapak tangannya.
Di saat pengemis tengah
melangkah mendekatinya, tampak Wie Sung Ie mendadak sekali telah melompat dan
menyerangnya. Hebat sekali tenaga terakhir yang dipergunakannya ini, karena
selain ilmu pukulan yang dipergunakannya merupakan ilmu simpanannya, juga sisa
seluruh tenaganya tersebut merupakan kekuatannya yang terakhir.
Si pengemis sama sekali tidak
menyangka bahwa Wie Sung Ie akan berlaku nekad seperti itu. Dia mengeluarkan
suara tertawa mengejek, tahu-tahu tubuhnya mencelat dan berhasil mengelakkan
serangan Wie Sung Ie.
Dia juga telah berhasil
menggerakkan kaki kanannya, di mana dia menyepak dengan keras sekali. Sedangkan
waktu itu terlihat betapa tenaga tendangan dari si pengemis membuat tubuh Wie
Sung Ie meluncur dengan cepat sekali. Dan juga telah membuat kepala dari Wie
Sung Ie menghantam dinding ruangan rumah makan tersebut.
Hantaman kepala Wie Sung Ie
kepada dinding tersebut membuat batok kepalanya menjadi hancur. Dan waktu
tubuhnya rubuh, dia tidak bisa mengeluarkan suara jeritan apa-apa lagi, karena
jiwanya seketika melayang ke neraka!
Di kala itu, si pengemis telah
mendengus beberapa kali, dia telah berkata dengan suara menggumam: “Hemmm,
manusia tidak tahu diuntung!”
Di saat itu terlihat betapa
wanita setengah baya yang tengah bertempur dengan Hong Tia Liang telah berhasil
berada di atas angin, karena Hong Tia Liang, yang melihat kawannya telah
terbinasakan dengan cara seperti itu, jadi ciut nyalinya. Dia segera terdesak
hebat, sebab pikirannya waktu itu jadi kalut.
Sedangkan wanita setengah baya
tersebut tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dia telah menggerakkan ke dua
tangannya menyerang dengan beruntun. Tenaga serangan yang dilancarkan itu
sangat hebat sekali, sehingga Hong Tia Liang selalu main mundur tidak hentinya,
dan diam-diam Hong Tia Liang juga mengeluh.
Jika melihat keadaan pada saat
itu, tentunya sulit buat dia meloloskan diri. Bukankah jika memang dia berhasil
menghadapi wanita setengah baya tersebut masih ada lagi yang lainnya yaitu
orang she Tung dan juga si pengemis yang hebat luar biasa kepandaiannya itu.
Pemilik rumah makan dan juga
para pelayan, telah memandang dengan hati yang ciut sekali. Mereka sangat
ketakutan, sebab dilihatnya telah terjadi korban jiwa.
Waktu itu si pengemis yang
telah berhasil membinasakan Wie Sung Ie, memperdengarkan suara tertawanya.
Sambil menggaruk-garuk pahanya, dia melangkah mendekati kepada wanita setengah
baya dengan Hong Tia Liang yang tengah bertempur.
“Berhenti!” teriak si pengemis
kemudian, dengan suara yang nyaring.
Wanita setengah baya itu
menyadari bahwa pengemis ini berdiri di pihaknya. Karena begitu mendengarnya
perintah si pengemis agar dia menghentikan pertempuran tersebut, segera juga
dia mendesak Hong Tia Liang, kemudian waktu orang she Hong itu tengah melompat
mundur, wanita setengah baya tersebut melompat mundur menjauhi diri.
Sedangkan saat itu Hong Tia
Liang sendiri telah berdiri dengan muka yang pucat.
“Hemm, ternyata kalian main
keroyok!” memaki Hong Tia Liang dengan gusar, karena dia sengaja memperlihatkan
sikap gusar dan menindih perasaan takutnya. Dia ingin dapat meloloskan diri
dari tangan si pengemis.
“Tidak pernah aku si pengemis
miskin melarat dalam pertempuran main keroyok. Tentunya kau sendiri tadi telah
melihatnya bahwa kawanmu itu menemui kematiannya karena dia mencari penyakit
sendiri. Jika memang engkau penasaran, aku akan mempersilahkan engkau menyerang
diriku, aku akan melayani engkau seorang diri!”
Hong Tia Liang jadi menyesal
telah terlanjur dengan perkataannya. Karena sekarang jelas dia sudah tidak bisa
mundur lagi dari keadaannya seperti itu.
“Baik!” sahutnya, “Aku akan
melayanimu!” Dan setelah berkata begitu, Hong Tia Liang menoleh ke kiri dan ke
kanan.
“Kenapa?!” tanya si pengemis
sambil tertawa mengejek.
“Aku kuatir bahwa kau tidak
bisa menghargai perkataanmu sendiri, di mana jika kita telah bertempur, kau
akan main keroyok dengan kawan-kawanmu itu!”
“Hahaha!” si pengemis telah
tertawa bergelak-gelak. “Aku tidak akan sehinamu! Majulah aku berjanji tidak
akan mengecewakan kau!”
Hong Tia Liang masih takut,
karena memang tadi dia hanya mencari-cari alasan buat mengulur-ngulur waktu
belaka.
“Ayo maju!” desak si pengemis
waktu melihat si orang she Hong tersebut tetap ragu.
Sedangkan Hong Tia Liang telah
menggelengkan kepalanya, katanya: “Tunggu dulu, ada sesuatu yang ingin
kukatakan!”
“Katakanlah!” kata si
pengemis,
“Hemmm, apakah dalam
pertempuran yang akan kita selenggarakan itu tidak ada batas-batasnya?!”
“Maksudmu?!”
“Apakah kita bertempur sampai
salah seorang di antara kita ada yang binasa?!”
Si pengemis tertawa
“Sudah tentu tidak..... aku
bersedia berjanji kepadamu, di dalam lima jurus engkau akan dapat kurubuhkan!”
“Benarkah?” tanya Hong Tia
Liang sengaja mengulur waktu.
“Aku tidak akan mendustaimu.
Jika dalam lima jurus engkau masih belum dapat kurubuhkan, maka anggap saja aku
yang kalah dan aku akan rela buat menggorok leherku sendiri.
Mendengar perkataan si
pengemis, Hong Tia Liang jadi girang, karena memang inilah yang dikehendakinya,
sebab memang dia ingin, memancing kemarahan si pengemis.
“Dalam lima jurus aku harus
dapat berusaha mengelakkan diri dari serangannya. Jika aku tidak bernafsu buat
menyerangnya, tentu aku dapat menghadapinya selama lima jurus. Dengan demikian
berarti, aku yang menang!”
Setelah berpikir begitu, Hong
Tia Liang mengangguk-angguk.
“Baik! Apakah kita mulai?”