Bab 6
Han Ki memandang Maya dengan
mata terbelalak, terheran-heran akan tetapi harus ia akui bahwa nasihat! Maya
itu cocok benar dengan isi hatinya! Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu.
Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.!
Maya bertolak pinggang. Koko
engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku,
mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum
terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa
pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kautemani?
Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan, Adik Siauw Bwee?!
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki
menarik napas panjang. Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus
langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu
menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!! Setelah berkata demikian, Han
Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk
membalas makiannya.
Awas dia! Kalau bertemu lagi
denganku!! Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
Dia... dia hebat sekali, ya
Enci Maya?! Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han
Ki.
Hebat apanya, manusia sombong
itu!! Maya mendengus marah. Mari kita pergi, Siauw Bwee.!
Malam telah larut dan sunyi
sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian
besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak.
Ketika mereka tiba di jembatan
Ayam Putih yang panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja
dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah
jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali,
akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu,
mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot
panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw
Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek
ltu. Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata,
Anak-anak setan kalian hendak
ke mana? Hayo ikut bersama kami!!
Maya sudah menaruh curiga
bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu
melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah
lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa
berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Mayaq mengirim
pukulan ke arah perut kakek itu.
Buk! Bukk!! Kakek itu sama
sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya.
Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena larmbung dan perut yang mereka pukul,
itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka
dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka
menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh
Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan
Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini
melayang menuju ke sungai yang armat dalam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka
disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan telah menanti dua
orang laki-laki diatas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh mereka.
Bawa mereka pergi sekarang
juga!! terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu.
Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun.
Haha-ha!!
Maya dan Siauw Bwee yang
tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin
marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah
pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat
melihat muka. dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan.
Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas
dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di
atas perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi,
barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang
laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan
menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah
harapannya.
Eh, Paman yang baik. Kalian
adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian
mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang
tidak berdosa?!
Dua orang laki-laki itu
berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung
di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pan dang, kemudian
seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,
Kami hanyalah
pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian
dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.!
Maya belum cukup dewasa, akan
tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak
senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi
makin berani dan berkata. Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah
Yucen?! la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata,
Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini mermbantu
kerajaan asing?!
Kau anak kecil tahu apa!!!
Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar
dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali
ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang
tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
Biarpun aku anak kecil, akan
tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela
negara dan menentang yang lalim.! Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata
Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah
dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga
keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi
permerintah Sung? Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang
memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah meMalukan di dunia kang-ouw
karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.!
Biarpun tubuhnya masih
terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek
Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut
hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk
mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan
kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu
kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?!
Maya memang pandai sekali
bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih
tajam daripada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang
laki-laki itu.
Bocah, engkau benar-benar
bermulut lancang!! bentak yang bermuka kuning.
Aku tentu tidak berani bicara
kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami,
barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.!
Si Tahi Lalat segera mencabut
goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya
dan Siauw Bwee menjadi putus. Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang
kami?! tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun,
duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. Terima
kasih,! kata Maya. Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin karmi dapat
menang.!
Kami pun tidak suka,
membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan
kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di
tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi.
Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!!
Maya mengangguk-angguk. Ahh,
sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh
keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang
baik. Kami akan kaubawa ke manakah?!
Nasib kalian tidaklah seburuk
yang kalian khawatirkan,! kata Si Tahi Lalat. Entah apa sebabnya sampai kaliah
dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat
tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk
membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan
sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan surmbangan oleh
Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di
pantai Lautan Po-hai.!
Sungguh lucu! Mengapa
menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu
mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai
sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?! Maya mendesak terus.
Sudahlah, kalian akan mengerti
sendiri kalau kita sudah tiba di istana! kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan
menceritakan keadaan bengcu itu. Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak
akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan
harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa
kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.!
Kami tidak akan memberontak,
kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?!
Siaw Bwee mengangguk, kemudian
anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, Agaknya kedua
Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kallan berdua tidak akan
lancang menawan kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.!
Dua orang laki-laki itu kini
memandang penuh perhatian. Siapakah kalian ini?!
Aku sih hanya puteri Panglima
Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri
Khitan, puteri Raja Khitan!! Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan
mata dari Maya yang hendak mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali,
saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.
Kami hanya melakukan
perintah!! Dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak
saat itu, kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas
mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu
keluar dari Terusan Besar, membe lok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai
yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan
Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan
besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka
di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari
empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan
liok lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat,
yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu
kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu
merayakannya di dusun itu.
Tokoh besar ini lebih terkenal
dengan sebutannya, yaitu Coa bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama
dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar
dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat
yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biarpun
jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut
berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu
silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela
rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak
berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim
menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini
merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh
golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi
selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan
memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal
pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki maupun
perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik
menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak
angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu
ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat
di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biarpun mengadakan
perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah
perkumpulan Im-yang-kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang menentang
permerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang
tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke
timur, untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang
sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya
meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang
tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat.
Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah
sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja
yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh
Im-yang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak
di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang
tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai
halaman yang armat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti
benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula
pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri,
telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil
berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri
untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengoi, seorang wanita
yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, cantik
dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan
melainkan seorang murid Hoasan-pai, duduk di samping suaminya sambil
tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya
semua orang gagah dari dua golongan itu.
Adapun putera tunggal
Coabengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun,
anak tiri nyonya Bengcu, yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima
barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut
ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir
dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang
dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudipemudi yang
tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan vang cekatan sekali.
Biarpun di antara para tamu
itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang
yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar
terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena sermua orang
maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid
Coabengcu.
Banyak sekali barang sumbangan
yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung
hong terbuat dari batu-batu kermala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya,
bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih
belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda
luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan
bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,
Saya Kiang Bu adalah seorang
miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat
menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah
Bengcu menerimanya!!
Coa-bengcu memandang orang itu
lalu tertawa. Ha-ha-ha, Tho-te-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan
sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga,
harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.!
Kiang Bu yang berjuluk
Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa
Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
Karena sumbanganku ini tidak
berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar
semua tamu dapat melihatnya,! kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan
melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka
bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si
Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan,
mengeluarkan seruan tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa
bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
Apa.... apa maksudmu ini?! Coa
Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya
terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa
girang,!Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan
yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah
mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang
kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan
membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!!
Barulah semua orang termasuk
Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si
Malalkat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira She Bhe
yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya
seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa
mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya
dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu,
memberi hormat dan berkata,
Kami berdua diutus oleh Koksu
Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan
menyerahkan sumbangannya.!
Sejenak kakek yang dihormati
itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah
kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa
kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, Mereka
menanti jawaban!!
Barulah Coa-bengcu sadar dan
ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada.
Ha-ha-ha,sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada
kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti
aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah
Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim
Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga
bahagia bukan main?!
Sumbangan atau hadiah yang
harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!!
Kata Si Tahi Lalat. Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi
tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat
dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi
tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
Hendaknya Bengcu mengetahui
bahwa dua. orang anak per empuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih
besar ini bermama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khtan, sedangkan
yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima
yang terkenal di Kerajaan Sung!!
Terdengar seruan-seruan kaget
di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira,
kini menjadi makin berseri penuh kagum. Sungguh merupakan hadiah yang tak
termilai harganya!! katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata,
Puteri Raja Khitan....? Puteri Panglima Khu....?!
Tiba-tiba seorang tamu
meloncat bangun sambil berseru keras. Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya
boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu
dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!! Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok
yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
Puteri Khitan itu patut
dibunuh!! Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah
Maya dengan mata terbelalak marah.
Kalau dia puteri Raja Khitan,
berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di ka
langan kamil! Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang
usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti
tubuhnya. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan
julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia
amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari
seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di
antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
Benar! Puteri Khu Tek San
harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri
itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!! teriak yang lain.
Harap Bengcu serahkan saja
puteri Khitan kepada saya!! teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan
itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang
anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas
sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan
mengangkat kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan
membuat gaduh. Setelah suasana meredap terdengarlah suaranya lantang, Aku
mengerti apa yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dendam. Akan
tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku,
bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku
orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen.
Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku
kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap
benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat
memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!! Memang Coa-bengcu ini
orangnya cerdik sekali.
Dia memiliki kedudukan yang
tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia
dengan pemerintah, dia harus menganadalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik
dari golongan putih maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang
kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau
dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang manapun juga. Kalau dia
berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para
tamunya.
Kalau dia, berikan begitu
saja, selain dia, merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang
sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian, masih
ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan
rasa tidak suka di hati orang lain.
Apakah yang Bengcu maksudkan
dengan sayembara?! Beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban
dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. Perlukah
kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita
kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah
yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana
dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang
anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti
Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua
orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi
mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?!
Setuju! Akur! Tepat sekali!!
Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw
Bwee. Adapun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang terma suk golongan bersih
atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang
anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dendam
kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat
kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat berisik.
Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata.
Kalian ini orang-orang gagah
macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku,
tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah
dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati?
Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat
yang tidak mengenal prikemanusiaan?!
Semua orang menjadi merah
mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya,
yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda,
Coa-bengcu berkatat Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai
tawanan, tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita sermua
menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen!
Cu-wi sekalian. Karena jumlah
kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya
pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka
yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua
macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.! Setelah semua orang menyatakan
setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak lama
kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang
muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa.
Pemuda-pemuda itu adalah
orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk
menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika
singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga
sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya
mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak
menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara
memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu
itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil
tersenyum. Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia juga
puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun
pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi
terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan
menguii mereka, sungguhpun aku benar-benar meragukan kebiasaan sendiri untuk
menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini
dan menjadi rebutan.
Maka, hanya mereka yang
benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi
Suling Emas dan keturunannya apabila kelak keluarganya datang mencari dua orang
anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah
mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan
sekarang!!
Setelah berkata demikian dan
memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia
enam puluh tahun itu, menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa
besi pada kaki depan dan belakang kemudian mengeluarkan seruan keras sekali
dan.... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke
pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil
sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa
besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di
atas lantai sampai melesak ke bawah sedalarm beberapa senti meter! Tepuk sorak
para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
Cu-wi sekalian, silakan kalau
ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini, adapun syarat ke dua adalah
mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga
langit-langit itui! Setelah berkata dermikian, tangan kakek itu merogoh saku
dan bergerak.
Cuat-cuat-cuat....!! Sinar
hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang
amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi! Kemudian
kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan
tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali,
kakinya, menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua
orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu
gin-kang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga
seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut
paku itu.
Sekarang kami mempersilakan
Cuwi mencoba,! kata Coa-bengcu sambil melangkah kermbali ke tempat duduknya.
Maya membanting kakinya dengan
marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri,
setelab dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi
malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat
Coa-bengcui Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua
menonton yang enak dan mengaso di atas kursi demikian Maya menghibur diri
sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan
tanpa permisi Maya menyarmbar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada
Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang-orang yang menyaksikan
sikap Maya ini, diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak
perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para
tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan
dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka
riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk
mengangkat singa besi. Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati pundak.
Yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas
kembali, sedangkan yang dua setelah mengelurkan suara ah-ah-uh-uh dan
menarik-narik singa besi itu sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan ermpat
orang berturut-turut empat orang yang kelihatan kuat sekali hati, para tamu
menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu
sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang
dikehendaki oleh Coa-bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat
dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
Hemm? biarkan aku mencobanya!,
Terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat
singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang
dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini bertubuh
tinggi kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tan
gan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi Itu sampai ke atas
pundaknya, kermudian cepatia melepaskannya kembali singa besi jatuh berdebuk di
atas lantai depan kakinya.
Biarpun demikian, bekas kepala
rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena, dia telah berhasil
mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang
pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh
kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya,
maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan
celaka nasibnya. Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, Dia memang kuat,
akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.!
Kini kepala rampok itu
mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hmpir saja ia
gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan
telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut
dengan sorakan memuji.
Setelah kepala perampok ini,
maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang
lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya, ter senyum-senyum
penuh aksi, apalagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu
yang melayani para tarmu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir.
Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah seekor
harimau supaya kellhatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tubuhnya gemuk
sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan
mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan
seperti langkah seekor babi buntung!
Heh-heh-heh, maafkan....!
Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi, karena sayembara ini
memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita
itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm,
saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap
Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai-lek
Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).!
Melihat sermua tamu tersenyum
dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si
Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya
dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, mem basahi bibir bawah dengan lidahnya
yang bundar sehingga makin lucu tampaknya, kemudian ia membungkuk dan memegang
kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu
ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua
orang tercengang dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga.
la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ
saja,menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
Uhhh.... brooooottt!!!
Si Gendut cepat menurunkan
singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid
Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya
sendiri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri
sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu
mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos
keluar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan
kentut besar!
Biarpun merasa jengah dan
mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri
sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti
seorang iagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke
atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas
sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding
seperti seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap
cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan
kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap
turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah
batu! Semua orang terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting
remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh
itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia
sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!
Para tokoh berilmu tinggi yang
hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biarpun tingkahnya seperti
badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin gin-kangnya
tidak setinggi Coa-bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di
tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa sin-kang di tubuh nya sudah kuat
sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada
dinding seperti telapak kaki cecak!
Aihh, aku suka kalau dia yang
menang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut,! bisik Siauw Bwee yang
masih tertawa-tawa ditahan.
Hussh, siapa sudi?
Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa
keluar!! jawab Maya.
Ihhh....! Jijik....!! Keduanya
tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan. Dua orang anak
perempuan yang masih kecil dalam keadaan seperti itu menjadi tawanan, bahkan
dijadikan barang sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, masih
enak-enak makan minum dan tertawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo
Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau
anak-anak lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah
mati!
Puluhan tamu maju mencoba
setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang
berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet
Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat
mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcut kemmudian menurunkan semua
paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian
melontarkan paku-paku lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan bajunya!
Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang masih banyak tokoh yang
pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran,
akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para
tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedang kan tokoh-tokoh
kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!
Kini terkumpul sepuluh orang
bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk
menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka dan berhak memiliki dua
orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan
dengan Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan
oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melainkan
berjalan pelahan ke pintu.
***
!He. ke mana kalian mau lari?!
Tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan mendengar ini, Maya mengajak
Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-muridnya,
juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa
heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap!
Mereka mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perempuan itu berjalan
pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh belakangnya
oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak-teriak.
Akan tetapi, dua orang anak
perempuan itu berlari di kanan kiri Si Kakek yang rambutnya panjang dan sudah
putih semua, sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat
luar biasa dan membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk
meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun cepat mereka mengejar sambil
mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua
orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata
rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw,
paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, kesemuanya menyambar
dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu
mengenai tubuh belakang kakek itu, tepat sekali, dan aneh nya, tidak sebatang pun
mengenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata
rahasia yang dilontarkan dengan tenaga sinkang dan yang tepat mengenai tubuh
belakang Si kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya, semua tokoh kang-ouw
dan liok-lim yang melakukan pengejaran, menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah
tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka
itu sebagian besar mengandung racun. Namun, tak seorang pun di antara mereka
dapat menyusul kakek itu, dan tak sebuah pun senjata rahasia melukai
punggungnya. Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling pandang dengan
mata terbelalak.
Siancai....! Kiranya di dunia
ini hanya satu orang saja yang memiliki kepandaian seperti itu....!! Seorang
tosu yang menjadi tamu berkata lirih.
Ucapannya ini menyadarkan
semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa
gerangan tokoh itu.
Suling Emaskah....?!
Tosu itu, seorang tokoh dari
Kun-lun-pai, menggeleng kepala. Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah
manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu, beliau adalah.... Bu
Kek Siansu....!
Aihhh....! Mana mungkin? Mana
mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih percaya kalau
dia tadi adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!!
Akan tetapi, biasanya pendekar
itu bergerak secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan berdepan.
Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya memang
benar dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu....!
Demikianlah, para tokoh itu
menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara
ditiadakan. Betapapun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang
benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek
Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?
Maya dan Siauw Bwee masih
terheran-heran dan mereka melongo menmandang wajah kakek berambut panjang putih
yang menggandeng tangan mereka. Tadi, ketika mereka keta huan dan dikejar,
mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik keluar.
Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur ke
depan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu saja Maya dan Siauw Bwee
tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah
mendengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek
tua renta itu masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan
tetapi mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya? Mereka
berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak
mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka
tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang
macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah? Ataukah
jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada sekumpulan
manusia sesat tadi!
Kong-kong (Kakek), engkau
siapakah?! tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat
meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan tetapi kakek itu tidak
menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih melangkah satu-satu
dan wajahnya tegak memandang ke depan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw
Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang
tak kunjung datang.
Maya menjadi curiga dan tidak
sabar. Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa
engkau membawa kami lari dari mereka?!
Kembali kakek itu tidak
menjawab sama sekali.
Enci Maya, jangan-jangan dia
tuli!! Siauw Bwee berkata tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak
ada jawaban dari kakek tua renta itu.
Hemm, kalau hanya tuli masih
untung! jangan-jangan dia ini malah lebih jahat daripada Bengcu dan
kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia Iblis!! kata Maya,
suaranya mulai ketus karena marah.
Anak-anak, kalian menghadapi
urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah kepada tanganku. Kalau
kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu.!
Ohhh....!! Siauw Bwee melongo.
Ahhh....!! Maya juga berseru
dengan mata terbelalak! Kedua orang anak perempuan ini sudah mendengar
penuturan orang tua masing-masing, akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya
luar biasa, bernama Bu Kek Siansu yang muncul dan lenyap tanpa ada yang tahu
bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian
kecil yang pernah mereka pelajari, bersumber daripada pemberian manusia dewa
ini. Tak terasa lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat
dan takut. Mereka mentaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan
dan tidak bertanya-tanya lagi!
Bahkan Maya yang biasanya liar
ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek
itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening,
dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.
Dengan ilmu kepandaian yang
tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati
pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan
melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika para peronda itu, perhatian mereka
terpecah dan kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan
menyelinap ke bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar
keras dan ia tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri
Sung Hong Kwi, kek asihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain,
bahkan di halaman tamu istana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja
Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati dia
menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia
lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat.
Hebat bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia
harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biarpun dia itu masih belum
dewasa. Kalalu memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan
diri saja berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat
dipaksa!
Jantungnya berdebar makin
tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar, dia
melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon
mempelai, dari sutera berwarna-warni, dangan hiasan rambut terbuat dari
permata, terhias mutiara, yang membuat kekasihnya nampak makin cantik
gilang-gemilang sehingga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang
duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai
putih.
Ikan-ikan emas berenang ke
sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan
pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda
idamannya, Kam Han Ki! Dia mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas
keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu
ia akan diberikan kepada Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan
ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang
bercumbu dan berkasihkasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung
Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis
tersedu-sedu!
Han Ki-koko....!! Gadis
bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat
ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat
ke atas pipi pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal
satu-satunya pelayan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya,
berlutut dan mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan
keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis
sedemikian sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong
Kwi. Dewi pujaan hatiku.... kekasihku....,
Hong Kwi....!!
Pelayan itu cepat bangkit
berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan
dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan, ketika ia
memandang wajah Han Ki yang berada di dekat didepannya, matanya yang basah
terbelalak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi.
Kemudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. Koko....
ah, Koko....! Aku.... aku telah....!
Han Ki mengangkat tubuh
kekasihnya dan memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan
pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya,
dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata
mengalir deras sambil berbisik.
Aku tahu, Dewiku. Aku tahu
kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu
malam ini....!
Aduh, Koko.... bagaimana
dengan nasibku....? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta,
saling bersum pah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana....?!
IA tersedu kembali.
!Jangan berduka, Hong Kwi. Aku
datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!!
Aihhh....!! Puteri bangsawan
itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh
selidik, Kaumaksudkan.... minggat?!
Mengapa tidak? Bukankah kita
saling mencinta?' Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara
anak perempuan itu di telinganya di saat itu. Kita pergi bersama, takkan saling
berpisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu
sebagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, , Hong
Kwi....!!
Tidak! Tidak bisa begitu,
Koko....! Aku lebih baik mati. Lebih baik kaubunuh saja aku sekarang ini.
Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi....? Koko, kaubunuhlah aku....!!
Han Ki memeluk kekasihnya dan
dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya adalah
seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena
hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan mencemarkan
nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
Hong Kwi, aku tidak melihat
jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini.
Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hon Kwi kekasihku?!
Ada jalan yang lebih baik
Koko!! Tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua
pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan, merah
jambon berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya,
berseri-seri aneh.
Koko, aku telah bersumpah
hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan
hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh siapapun juga.
Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki
orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku menyerahkan tubuhku
kepadamu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak
akan dapat bicara seperti ini, Koko... ambillah tubuhku.... barulah aku akan
dapat menahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain, secara paksa!!
Han Ki meloncat turun dari
bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu
tengkuknya ber diri! Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya
memandang wajah gadis yang dicintanya itu.
Bagaimana, Koko....?
Apakah.... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku
terakhir ini?! Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul
pinggangnya sehingga tubuh mereka merapat.
Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin
itu! Aku.... ah...., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan
kotor! Lebih baik aku mati daripada mengotori dirimu yang murni! Tidak,
betapapun besar hasrat hatiku, betapa darahku telah mendidih bergolak pada saat
ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu berahiku
terhadapmu! sudah hampir menggelapkan mataku, namun.... aku.... aku tidak akan
melakukan hal itu, Hong Kwi!!
Kalau begitu, bagaimana
baiknya.... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita....
Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut
yang halus hitam dan harum itu. Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh
buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan
kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini merupakan
pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup bersama menanggung semua akibat
bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Adapun kalau menurutkan permintaanmu
tadi, aku menjadi seorang lakl-laki hinadina, setelah melakukan pelanggaran
suslia, menikmati pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu
saja, membiarkan engkau yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan
rendahnya apalagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didunia
ini!!
Aduhhh, Koko.... bagaimana
baiknya....?!
Hong Kwi kelahiran, perjodohan
dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena
sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak
menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling
berjodoh, betapapun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah
nasib kita.... ah, Hong Kwi....! Dua orang yang dimabok cinta dan kedukaan itu,
seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan
perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
Aduhhh.... Sri Baginda
datang....! Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang
muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling
melepaskan pelukannya.
Koko....! Cepat....
Bersembunyi....! Hong Kwi berseru lirih.
Di mana....? Lebih baik aku
pergi saja....!
Jangan! Kau bisa ketahuan
dan.... dan kita celaka! Lekas.... kolam itu, kaumasuklah dan bersembunyi di bawah
daun teratai....!
Karena kini sudah tampak
rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak
melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu
menyelam ke bawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang,
bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya,
mengeluarkan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan
matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
Hong Kwi, mengapa malam-malam
begini engkau masih berada di taman.... eh, kau.... habis menangis?! Kaisar
menegur puterinya dengan suara keren dan marah. Memang Kaisar tahu bahwa
puterinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi
mengkal dan penasaran. Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma
Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan
Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang pengganggu
kesusilaan!!
Sung Hong Kwi yang berlutut
tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
Apakah ada orang luar masuk ke
sini malam ini?! Kembali Sri Baginda bertanya dengan suara keren.
Hong Kwi menggeleng kepala
tanpa menjawab.
Heh, pelayan! Apakah ada orang
datang ke sini tadi?! Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang
nonanya.
Ham.... hamba ti.... tidak
melihatnya....! Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di
atas tanah di depannya.
Periksa semua tempat di
sekitar sini!! Kaisar memerintahkan para pengawalnya yang segera berpencar ke
segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat gelap dengan lampu-lampu yang
mereka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang
dan takutnya.
Mulai saat ini, engkau harus
selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar. Mengerti?! Kaisar
membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk. Para pengawal selesai menggeledah
dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan
karena sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus dan meninggalkan taman itu
diiringkan para pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar
lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani bangkit
berdiri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri
dengan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa
sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher
bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.
Hong Kwi....!! Ia berkata lalu
meloncat keluar.
Koko.... ahhh...., hampir
saja....! Aku harus segera masuk. Han Ki-koko, selamat berpisah, selamat
tinggal.... sampai jumpa pula di akherat kelak....! puteri itu terisak dan lari
pergi diikuti pelayannya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri
melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah
kehilangan semangat.
Hong Kwi....! ia mengeluh,
kemudian membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal
Istana yang dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya
Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!
Kam Han Ki! Engkau manusia
rendah budi, engkau membi kin malu keluargamu saja! Membikin malu aku pula
karena biarpun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh
menyebalkan. Berlututlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan
kekerasan!!
Han Ki pernah jumpa dengan
Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini
adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang hanya
satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menjawab.
Goanswe, perbuatanku tidak ada
sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua
tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga,
apalagi namamu!!
Wajah Suma Kiat menjadi merah
saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan
pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak takut
menghadapi Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belasan tahun
itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum
membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri
Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat berat yaitu berani menyelundup ke
dalam taman istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon
isteri Raja Yucen Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa
pemuda itu benar-benar berada di taman sehingga menangkap atau membunuhnya
bukan merupakan kesalahan lagi.
Kam Han Ki manusia berdosa!
Setelah engkau melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling, apakah kau
tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?! Kembali Suma
Kiat membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua
anak buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara
lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah
tertangkap basah! ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan
diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah!
Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu
bergema di dalam telinganya.
Jika engkau dengan
pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah,
engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau
yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan
kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat pun.!
Kini Han Ki tidak merasa
bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta,
dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah, Karena hendak memberangus
kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak bersalah karena itu dia
tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri
urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan Istana! Berpikir demikian,
Han Ki lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras
dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan Suma-goanswe karena di
dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia meloncat
hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.
Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau
maling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki
Hong-siang agar menerima hukuman!! Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas,
akan tetapi dia tidak melu pakan kakak sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia
melakukan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau
Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi
pengawal Menteri Kam? Dia akan mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau
dia mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa
membunuh orang.
Sampai mati pun aku tidak akan
menyerah kepadamu, Suma-goanswe!! katanya gagah sambil mencabut pedangnya juga.
Apa? Kau hendak melawan?
Serbu!! Suma Kiat berseru dan mendahului kawan-kawannya menerjang maju dengan
pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya
sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher. Ilmu
kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu
yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri
Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan
hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya
aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu
diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu
membuat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang
sedangkan totokan jari tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber
dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan berbahaya,
yaitu Im-yang Tiam-hoat!
Cringgg....! Dukkk!! Han Ki
yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih
keluarga sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula
totokannya sehingga dua pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul. Suma Kiat
terkejut karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya bertolak ke
belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun ia
berseru keras dan menyerang lagi, dibantu para panglima dan pengawal sehingga
di lain saat Han Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar
sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar
pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti
seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua senjata para pengeroyok
terpukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun, pemuda ini harus
mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu
akan terdapat lowongan dan tubuhnya akan menjadi sasaran senjata para
pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan
lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan membuat
sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman
serangan ke arah kepala para pengeroyoknya. Demikian ganas dan cepat sambaran
pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak
dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang. Kesempatan yang amat baik,
pikir Han Ki dan sekali ia mengenjot tubuhnya sambil menangkis serangan susulan
pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke
kiri, ke atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali
mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
Penjahat cabul hendak lari ke
mana?! Terdengar bentakan keras dan sebatang tombak menusuknya dari kanan,
sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
Cringg.... tranggg....
wuuuttt!! Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis
tombak dan pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat
itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi, terbukti
dari serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke
bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah
mendekati Istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi,
terhalang oleh pengejarnya.
!Siuuttt!! Kembali Han Ki
harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat,
yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang.
Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi
besar dan memegang sebatang toya kuningan yang berat. Kini panglima itu terus
menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki
mengelak ke kanan kiri dan mengerahkan tenaga lalu membabat dari samping.
Tranggg!! Bunga api
berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya terguling
lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung
toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu,
Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya, telah
mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki dikurung dan dikeroyok. Makin lama
makin bertambah banyak jumlah pengeroyok karena tanda bahaya telah dipukul sehingga
panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapapun tinggi ilmu
kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokah begitu banyak orang lihai
sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki
menjadi kewalahan. Dia memang menerima gemblengan seorang manusia sakti seperti
Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu sllat yang amat tinggi, bahkan telah
mempelajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang
dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama
belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum
mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran, apalagi dikeroyok begini banyak
panglima dan pengawal yang pandai!
Namun, harus dipuji keuletan
pemuda ini. Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia
masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah
ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-kadang
untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya dengan
pengerahan sin-kang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau
terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan
tendangan kedua kakinya, merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan
tulang kaki dan mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang
memimpin
pengeroyokan ini,
berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pasukan pengawal, bahkan
para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian
tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih
belum mampu membekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam!
Bahkan ada belasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau
terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalukan!
Panggil semua panglima yang
berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!! bentak
Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han KI masih memutar pedangnya
dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat
bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah
menjadi, kering kembali melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai
terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul
api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan
senjata lawan dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka
itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
Habis aku sekali ini....!
keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai
malam terganti pagi! Telapak tangannya yang memegang gagang pedang sampai
kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi satu dengan gagang pedangnya. Tak
mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu
tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke
dalam istana! Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak
orang, akan tetapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak
kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi
jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau
setidaknya bersembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu
pernah dikabarkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk menyikat!
hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di dapur sampai berpekan-pekan?
Dia harus dapat menyelinap ke
Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat
Han Ki memutar pedang berloncatan ke sana sini seperti orang nekat. Semenjak
dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan
pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri,
dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi
kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak
mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis
meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya
menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke
depan, ke arah para pengepungnya.
Awas senjata rahasia!!
bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir
itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang
pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat
segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat
menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang
ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat
cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan
istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga
penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka
patah-patah!
Kejar! Tangkap dia, mati atau
hidup!! Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget
dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu.
Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat
ditangkap bahkan kini berani memasuki istana. Tentu saja semua orang cepat
menyerbu, berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-pintu
belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus
cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap
masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana
sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh
panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang
lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos
memasuki Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan
bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan,
hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah,
mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking
lelahnya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka
bekas gebukan-gebukan senjata lawan. Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar
besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng
(berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak
olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap seorang
pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah
ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang
seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang
malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak
melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang menge
jarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah
menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula
suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
Kita harus mengepung seluruh
jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang
seperti setan!! Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia
sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya
diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk
meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya
sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga
begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali. Tiba-tiba
ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam,
menutup daun jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai mengusap
peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia!
Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu
tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wanita yang berlutut di depannya,
tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri,
maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
Jangan menjerit!! Han Ki
berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. Kalau menjerit,
pedangku akan merampas nyawa!!
Pucatlah muka pelayan itu,
kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan
diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya
lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang
sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau
takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. Engkau
siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?!
Hati Han Ki sudah lemas
menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba
berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu
sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan
sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki
menjatuh kan diri berlutut dan berkata, Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon
perlindungan....!
Sejenak nenek itu menunduk,
memandang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu. Hemm, apakah engkau
yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan
mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?!
Benar, hambalah orang itu!!
Siapa namamu?!
Hamba Kam Han Ki....!
She Kam? ada hubungan apa
engkau dengan Kam Bu Song?!
Paduka maksudkan Suling Emas?
Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba....!
Hemmm....! Seorang pemuda
gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa
menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang
amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa
aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah
sikapmu ini?!
Han Ki terkejut bukan main.
Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya
bersembuny di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menye ret nenek ini ke
dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu
diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan
masih memegangi kitabnya, menegur halus, Siapa di luar?!
Hamba Jenderal Suma dan
pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba
memeriksa di dalam!! terdengar jawaban dari luar.
Masuklah, daun pintu tidak
dikunci,! jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka
dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam
dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan
untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran.
Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri
sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya
ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan
menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat
bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan
sejenak men jadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang
memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
Kam Han Ki, apakah engkau
sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?! tegur Suma
Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya,
demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang
mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan
siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar
Ibu suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini
nenek itu berkata, Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di
dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan
sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini
sudah keluar kamar.! Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian
yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal
memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekali lagi ke arah Han
Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
Orang muda yang gagah,
sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti
pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup
akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan.
Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan
terbesar dalam kehidupan seorang jantan.!
Terima kasih dan hamba mohon
maaf sebanyaknya!! kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek
itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela
kamar itu.
Baru saja ia turun di luar
kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi
dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah
darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka
sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak
membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan
tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang
itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan
para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat,
Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pili han yang kesemuanya berkepandaian
tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang
menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan
pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai
seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus
ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat.
Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti
bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan
menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya
adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan
dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka
mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah
bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia
dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot
sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah
semangatnya.
Aku tidak bersalah! Aku datang
menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak
melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau
mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!!
Pemberontak keji, maling cabul
tak tahu malu!! Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
Rrrrtt.... cring-cring....!!
Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan
pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan
tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan
yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang
dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening
dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati.
Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali
kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena
pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para
pangerayoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua
pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus
lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan
empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok
lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah
Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit
dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah
dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung.
Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang
pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya
berkat sinkangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi
pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang
diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan
tak berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat melarang para
panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang
terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak
ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi
hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah
hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu enak! bagi Han
Ki yang dibencinya!
Tubuh Han Ki dibelenggu lalu
diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat
oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat
Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan
siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula
mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan
terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam
kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci
dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari
pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa
dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah,
apalagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan
daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi
penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak
sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua per buatannya yang tentu dianggap
mengacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang
tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia
merasa menyesal sekali.
Betapapun juga, dia lalu
mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang
langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari
mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat mematikan rasa!
sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada
Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apapun juga.