Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 10 - Perkampungan Liong-Sim-Pang
Nenek ketua Hek-eng-pang yang
memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama
mundur dan lingkaran ke dua maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut
tubuh Kian Lee yang melayang turun! Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua
tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan
senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum
senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun
ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah
mengepungnya lagi.
Wajah pemuda itu menjadi merah
dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki
sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali
sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung
keanehan yang mujijat daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang
puteranya itu hanya tajam saja, membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar
biasa.
Kalian memaksa hendak
menggunakan kekerasan? Baiklah!! Kata-katanya ini disusul dengan gerakan
tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah
teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam
puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke
sana-sini, terhuyung dan ada yang terjengkang roboh, senjata mereka terpental
dan mencelat ke mana-mana, menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas
lantai. Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang
anggauta Hek-engpang itu mundur ketakutan, barisan mereka rusak dan biarpun
tidak ada di antara mereka yang tewas, namun semua telah dibikin takut dan
kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa
pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk
membuyarkan lingkaran yang mengurungnya dengan ketat, Kian Lee telah
menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas.
Tentu saja lima orang kepala
pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh orang
anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu
bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat,
mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee. Kini pemnuda itu
dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan
lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan
itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang
lima ini merupakan murid-murid utama, maka tentu saja mereka berlima telah
memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau lima orang muridnya itu masing-masing
memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si
nenek itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang
itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman
tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda
Hitam yang mengandung racun berbahaya.
Bentuk barisan mengepung! Jaga
dua orang itu agar jangan lolos!! Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak
buahnya yang kocar-kocir tadi. Biarpun takut-takut, enam puluh orang itu sudah
berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu, dan beberapa
orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan
Hok-taijin agar jangan kabur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang
tawanan ini.
Hek-eng-pangcu, engkau sungguh
terlalu!! Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke
depan,
Yang-liu Nio-nio menggerakkan
rantingnya dan lima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam
berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis dan balas
menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan
ramai! Tentu saja kalau Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, dia tidak
akan membutuhkan terlalu banyak waktu. Namun pemuda ini tidak suka membunuh,
maka dia hanya mempertahankan diri, kemudian kalau dia membalas, itu pun
dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai membunuh orang.
Kian Lee adalah seorang pemuda
yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijaksana. Dalam keadaan marah sekalipun
dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan dia
masih sadar bahwa para murid Yangliu Nio-nio ini hanyalah mentaati perintah
guru mereka, maka dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya
adalah Yang-liu Nio-nio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, pada saat
nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis,
membiarkan ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia
menangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah lambungnya.
Plakkk! Aughhh....!! Nenek itu
melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya,
mengaduh-aduh karena biarpun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin
yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai ke dalam dadanya! Kemudian
nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang
masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.
Mengapa Sicu diam saja?
Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?! katanya.
Tek Hoat tersenyum dan
memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu,
kemudian menghadapi nenek itu. Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan
tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan.!
Apa imbalannya? Katakan!!
Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai
terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.
Kalian harus membantuku
menyerbu Liong-sim-pang
Apa? Liong-sim-pang di puncak
Naga Api?! Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali. Siapa yang tidak
mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai
dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti
benteng istana itu?
Aku akan membebaskan seseorang
yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?! Tek Hoat bertanya, sambil
tetap tersenyum.
Terdengar suara menjerit dan
tubuh Kim-hi Nio-cu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu
Nionio.
Pangcu.... aduhhh.... kami
tidak kuat menghadapinya! Kim-hi Nio-cu mengeluh dan mengelus pinggulnya yang
tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.
Kami terima syaratmu, orang
muda. Nah, kaurobohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!!
Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.
Mundurlah kalian semua!!
Tiba-tiba Tek Hoat membentak, suaranya mengandung getaran khikang kuat sehingga
biarpun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan
seorang pemuda yang belum mereka kenal, namun bentakan Tek Hoat itu membuat
mereka semua mundur, apalagi karena memang mereka telah merasa jerih sekali
terhadap Kian Lee.
Dua orang pemuda itu kini
berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka
kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua
puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun.
Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang,
bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu
empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh
ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nio-nio dan semua murid dan anak
buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang
ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang
tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan
yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya
telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara Jari
Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.
Ang Tek Hoat, apa artinya ini?
Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah
bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!! Dia menunjuk ke arah
Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan
di punggung mereka. Cui Lan memandang dengan penuh perhatian dan wajahnya yang
cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.
Suma Kian Lee, dahulu kita
bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa
melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku,
penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu.!
Ang Tek Hoat, tidak kusangka
engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dahulu! Engkau tidak juga
bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!! Kian Lee menegur dengan suara
penuh penyesalan karena betapapun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu
kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang
pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai
seperti orang menderita nyeri. Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik,
tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak
ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu
banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu
atau harus melawan aku.!
Hemmm, kau tentu mengira aku
takut padamu! Majulah!! Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut.
Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang
lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di
bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Kalau begitu terpaksa aku
merobohkan engkau!! Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan,
tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya
menyambar ke arah kepala Kian Lee.
Plak-plak-plak-plakkkkk!!
Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya
merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang
terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini
maka tadi serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang
dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek
Siauw-jin datuk ke dua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat
tenaga mujijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya,
membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat
cepat mengusir hawa dingin itu dan dia kini telah menerjang dengan hebat dan
dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari
kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek
Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka
serangan-serangannya itu pun bukan sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan
mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak
terjang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah
tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia
tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi
dirinya dengan menangkis atau mengelak, kadang-kadang membalas dengan serangan
yang hebat pula, namun serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai
membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang apalagi Ang Tek Hoat cucu ibu
kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa
membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan
seimbang.
Kalau dibuat perbandingan,
kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi,
sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee
dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya
lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biarpun menemukan
kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa
bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni bercampur dengan
ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab
peninggalan dua orang, dtuk Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Sepasang
Rajawali). Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat.
Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak
mau melakukan serangan yang mematikan sedangkan Tek Hoat yang maklum akan
kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat, baginya bukanlah merupakan
pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah
yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu
berjalan seimbang dan amat hebatnya. Angin pukulan yang didorong oleh tenaga
sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggauta Hek-eng-pang
yang berdiri jatih, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri,
kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali.
Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan,
yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sin-kang
yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal
kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini
bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah
murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu
silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab dua orang datuk Pulau
Neraka. Tiba-tiba dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali
sehingga ada empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang kurang jauh
berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar!
Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat, mula-mula
tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan
tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah dengan kiri
itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya
adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.
Kian Lee menghadapi
cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas dan agak
ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, kemudian melihat tangan kanan
lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil
menangkis dengan tangan kirinya.
Hyaaattttt....!! Tiba-tiba
tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya melakukan tendangan maut ke arah
leher lawan. Tendangan ini cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat
ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.
Haaaiiiiittttt....!! Kian Lee
juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
Desss....!! Dua pasang kaki
yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi.
Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya
berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai
lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia mempunyai
pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu
dia mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan
tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan
tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas
hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh
tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi
kecepatan dan tenaganya. Dia merasa penasaran dan marah sekali, karena dia
merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu
mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari
seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai
silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat
kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.
Suma Kian Lee manusia sombong!
Bersiaplah untuk mampus!! teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas.
Melihat serangan ini, Kian Lee cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan
menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke
arah dada Tek Hoat. Dia maklum bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat
mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan
pukulan-pukulan berantai.
Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika Tek Hoat tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima begitu saja
pukulannya itu akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul
ke arah paha dan lehernya.
Kian Lee yang terkejut itu
mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggauta
Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia
menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang
memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke
arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.
Plakkk! Desssss....!!
Dada Tek Hoat terkena dorongan
tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras
dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai
tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan
karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali
karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang
sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci
(Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun
menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan
mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya,
tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang
lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.
Kongcu....!! Cui Lan yang
ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee
yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek
Yang-liu Nio-nio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan
air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.
Engkau.... pemuda tiada guna!
Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau,
pemuda yang tampan dan gagah namun dalamnya jahat seperti sebutir buah yang
berulat! Dan kau.... Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio,
Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus
merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!!
!Diam, bocah lancang mulut!!
Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah
mengejar dan tangannya diayun keras. Plakkk!! Pipi kiri Cui Lan kena ditampar,
kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke
belakang. Namun bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa
dara ini memandang mereka semua sambil berkata, Kalian boleh membunuh aku dan
aku akan mati sebagai seorang terhormat tidak seperti kalian yang akan hidup
sebagai manusia-manusia hina dan kotor!!
Bangsat, tutup mulut!!
Anggauta Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan,
tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan
kuat.
Krekkk.... aduuuhhhhh....!!
Anggauta Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya
yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
Hemmm, apa artinya ini?!
Yang-liu Nio-nio menegur dengan alis berkerut, memandang kepada Tek Hoat dengan
heran dan penasaran. Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!!
Siapa yang memaki? Apa yang di
katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya
aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah
dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus
mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku.! Di dalam suara Tek Hoat
terkandung perintah yang mengancam.
Nenek itu menelan kembali
kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Nio-cu. Kaubawa mereka bertiga
ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera
agar pemuda ini tidak sampai lari.! Kemudian setelah Kian Lee yang masih
pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan
ruangan itu. Hek-eng-pangcu lalu mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya
memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu
dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah tiga orang
kepala pasukan, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit
Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah
mendengar, bahkan menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari
Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Liu-Iiang-san di dekat belokan
Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri
dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar
keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang
cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi?
Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi
puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan
satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah sampai
di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang. Tek Hoat maklum akan kekuatan
Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat
menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan
maksud untuk minta bantuan! mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee
dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian
Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya. Akan tetapi, sungguh
tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biarpun akhirnya
dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang
cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia
bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan
Hek-eng-pang dan ketua mereka.
***
Seluruh perkampungan
Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang
seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat
jaga, sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana
perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan
menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi
penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan
hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam
midodareni!, yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang
akan dilangsungkan besok pagi. Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah
membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang
menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk
memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar
itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu
gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu
membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan
pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang, menyeberang jembatan itu
menuju ke pitu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan
orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga
yang memeriksa semua orang yang masuk, memperhatikan para pemain opera ini
dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena
tujuh orang wanita anggauta rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali
seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan
main cantiknya! Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan
memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu
tertiup angin, kedua lengannya agak melengkung seperti gendewa itu bergerak
seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyum yang manisnya membuat
semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang
membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu!
Gerak-gerik dara muda jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya,
memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti
kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking
tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di
antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka,
menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi....
tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan
pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan
dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh
dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
Ha-ha, si A-kiong menangkap
katak akan tetapi luput!!
A-kiong makin penasaran dan
dia hendak merangkul.
Jangan kurang ajar kalian!!
Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya
masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya
menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal!
Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan
penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk,
si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak
mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita
tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan
jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.
Ihhh,.... seperti siluman
saja....!! seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik.
Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi
seorang dara cantik sekai untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap
darahnya sampai habis!
Hihhh.... jangan-jangan benar
siluman....!
Pada saat mereka dicekam
perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap, untung
datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita
ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggauta rombongan yang
jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik.
Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memperlihatkan
sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu
Tang Hun.
Kami adalah utusan dari
sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,! kata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu,
para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apalagi mendengar nama orang yang
mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita
itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain
adalah para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li kepala
Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera
diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias
dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan
wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias
sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta
menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
Aih, dari Si Jari Maut?!
Hwa-i-kongcu berseru bangga. Mengapa beliau tidak muncul sendiri?! Sudah lama
dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, akan tetapi belum pernah
bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri
dia membaca bahwa Si Jari Maut, menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan
minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang
wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut
sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan
begitu memperhatikan keperluan kami sehihgga mengirim bantuan pelayan!! Dia
lalu memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima
dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam
nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu
sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung
pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara
musik sudah sejak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguhpun
opera itu sendiri belum dimulai.
Para pelayan! yang
sesungguhnya adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula
dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para
pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan
lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan
mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek
Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik
itu. Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu,
sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan jalan keluar! untuk teman-temannya
itu apabila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang
masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di
luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum
bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam.
Selain dia tentu akan dikenal, juga untuk melawan banyak orang pandai dalam
keadaan terluka, tidaklah mungkin, maka dia mengandalkan kecerdikan para
temannya, yaitu wanita-wanita Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi
yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya
dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di
dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan akan munculnya gadis luar
biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan
menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok
malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba
saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang
mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para
pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan
tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa bintang panggung amat cantik jelita
dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In
gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada
seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia
ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan
oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa
beruntung akan memperisteri seorang puteri raja mengijinkan permintaan itu.
Apalagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu adalah pelayan-pelayan
kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan
diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon
mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu
berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi dan sambil
tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan
kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya
mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri.
Akan tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara
cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh dan
karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di
seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya. Dara cantik yang
diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara
dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang
kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang,
kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya
sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di
sebuah bangunan kecil yang mungil dan masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu
diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang
panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang
panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In
yang ramping akan tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung
itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, Saya menghaturkan selamat
kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan
berumur panjang!!
Mendengar suara ini, Syanti
Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya
dan berkata, Terima kasih.! Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang
jumlahnya lima orang itu, berkata, Harap kalian keluar dari kamar dulu, aku
ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan
menanti di luar.!
Para pelayan itu saling
pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang
amat keras dari majikan mereka agar melayani sang puteri sebaiknya dan agar
memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk berduaan dengan
bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan
mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka
hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya,
Siapakah engkau?!
Bintang panggung itu tersenyum
lebar. Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?!
Ah, Siang In....!! Syanti Dewi
lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air mata turun
dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, Kukira engkau takkan
muncul lagi, adikku.... hampir lenyap harapanku....!
Jangan khawatir, Enci. Aku
pasti akan berusaha menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak
orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap wajar saja. Aku
melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu, demikian banyaknya,
katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut
Ahhhhh....!! Muka Syanti Dewi
menjadi pucat mendengar nama julukan ini. Dia....?!
Siang In mengangguk. Akan
tetapi aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Akan tetapi, mungkin
mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini,
Enci Syanti Dewi. Kautinggaliah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan
percayalah kepadaku.
Syanti Dewi merangkul dan
mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. Bagaimana
mukamu bisa begini berubah sama sekali?!
Siang In tersenyum, meraba
dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya
berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai
kedok! yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama
sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya
menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih
lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
Aku harus menyamar sebaiknya,
kalau tidak, mana bisa aku mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?!
Berminyak? Ada mata
berminyak?! Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata
calon suaminya secara teliti!
Hi-hik, berminyak dan
berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!!
Syanti Dewi tertawa geli dan
terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan
dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia
sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi
tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya
masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali kedoknya! yang luar
biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok
yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
Eh, In-moi, bagaimana kalau
kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana
untuk memakainya?!
Wah, Enci Syanti. Engkau ini
aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?!
Kalau tidak ada jalan lain, di
waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu,
hendak kulihat apakah....! Syanti Dewi tak dapat menahan ketawanya.
Apakah hidungnya masih belang
atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat
bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos
seperti itu, hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali Enci. Sudahlah, aku harus
kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk
menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci.!
Syanti Dewi merangkul dan
mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok namun masih halus dan menarik
kemerahan itu. Nyawaku berada di tanganmu, adikku,! bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah
mundur. Hi-hik, apa kaukira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti,
Enci....! Dan pergilah dia keluar dari kamar. Para pelayan yang berada di luar
dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan
sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak
pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini
jarang sekali sang puteri mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan
mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
Cepat ambilkan nasi dan
masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta
sendiri!!
Sementara itu, pada saat itu
para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para
tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari
yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali
dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi
sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu
selesai menari, banyak tamu yang berteriak minta agar sripanggung menari!
Pemimpin rombongan itu, seorarag tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup
suling, bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main
sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu akan dipentaskan
malam itu, dan karenanya tidak ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau
dara cantik itu tidak pandai menari. Siang In baru kemarin memasuki
perkumpulannya dan karena gadis itu mempunyai kepandaian bermain sulap, maka
diterimanya gadis sebagai anggauta rombongaannya, akan tetapi sebagai pemain
opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu mempunyai wajah
cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In
berkata, Lopek, biarkan aku menari sendiri!! Dan dia bangkit, lalu menjura ke
arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
Cu-wi sekalian, baru saja saya
dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau mengajarkan sebuah tarian asing
kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi
sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!! Semua orang bersorak
gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi
dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak
menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya adalah ahli-ahli yang
sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing
itu, biarpun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat
memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan
sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin
jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang
dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik
nyanyiannya maupun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang
harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan
yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa
diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara
Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!
Ini tarian Kerajaan Bhutan!!
Tiba-tiba terdengar teriakan orang dan hanya beberapa orang saja yang
memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang
kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan
Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, menggerak-gerakkan tongkat yang
dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun
iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian
suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik
untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu, dan si kakek Nepal ini
menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik
sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat
lucunya!
Setelah Siang In menyelesaikan
nyanyian dan tariannya, tepuk tangan meledak di ruangan itu dan semua anggauta
opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa
girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tak ternilai harganya!
Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sripanggung ini,
pikirnya.
Kini permainan opera pun
dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang
panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu mempermainkan enam
orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu
memakai topeng monyet dan mulailah dia menari-nari seperti seekor monyet yang
membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh
dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In
memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari
Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan
bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia
akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka
kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada
nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat
Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain
sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil
seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian
ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang
biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian
rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih
yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In
adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang
ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya
akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu
membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi serem karena pada adegan yang
menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api
berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis
cantik itu, kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih
rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah
beralih rupa di depan mata mereka!
Lihat, aku akan menjadi seekor
harimau!! terdengar dara itu berseru dan Hauuuwwwww!! Di situ nampak seekor
harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan,
semua orang menjadi panik dan di samping rasa kagum mereka juga memandang
dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian
itu mencabut! bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan munculiah belasan orang
Kauw Cee Thian lain di atas panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan
para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, terdengar para pelayan menjerit
saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi
kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan
aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu
pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu
terhuyung-huyung. Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat
menyelinap di antara kawan-kawan anggauta opera sambil menanggalkan topeng
monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang
sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara
kelenengan yang mengandung daya mujijat untuk memuaskan semua sihirnya!
Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan
kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati
Siang ln.
Bagus! Bagus sekali
pertunjukan tadi!! Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han
yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biarpun dia belum dapat
melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini
dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. Kepandaian sripanggung memang
hebat, dan saya Gitananda dari Nepal, benar-benar merasa beruntung dapat
melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda.
Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit
permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!! Sambil berkata demikian, dia
menjura ke arah tuan rumah. Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan
permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk.
Diam-diam Hwa-i-kongcu
terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir
yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi biapun tidak aneh, namun amat mengherankan
hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan
sihirnya, maka sripanggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal
ini pun seorang ahli sihir pula! Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja
bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanyalah merupakan permainan kanak-kanak
saja, sungguhpun bagi, dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah
dilakukan. Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa
tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk ke empat
penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu
melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar
kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian dia kembali ke
tengah ruangan dan tiba-tiba dia menarik tongkatnya dan.... kotak itu masih
tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah
kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan....
terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang
suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona
memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara
itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak munculiah seekot ular kobra! Kulitnya
yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya
mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari
mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu
lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung
yang ramping tadi! Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar
dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya
berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu
mempunyai tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan menari-nari menurut
bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang
tongkat. Tak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala
tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak
itu peclahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan
tiupan pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang
luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit bgrdiri,
menjura ke empat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang
hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut
bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat
tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai
membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan
minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di
antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan
pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh
minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali.
Para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim
oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwai-kongcu, dengan sikapnya
membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai
menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi
pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek
Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi bermain sulap, memperlihatkan
kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum
arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan
Gitananda. Mereka digotong ke luar. Kini yang menghadapinya adalah seorang
kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak, orang ini
terkenal sebagai setan arak! di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut
luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum
arak!
Cawan demi cawan diminum oleh
Gitananda dan lawannya yang baru ini setiap cawan yang memasuki mulut mereka
diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan
ini.
Ah, aku haus sekali, sungguh
tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!!
tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari
mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan
diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang
kepada lawannya yang gendut.
Bagaimana kalau kita minum
dari guci ini saja?!
Si gendut tersenyum. Silakan
kau dulu!! dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci
itu menempelkan bibir guci ke mulutnya dan terdengarlah suara menggelogok
ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia
minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja.
Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak
itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali
perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini.
Sungguh merupakan hal yang
luar biasa. Ha-ha-ha, giliranmu!! kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan
kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun
mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak
arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke
botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu,
gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si
gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit perutnya yang gendut
menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan
bahwa dia telah menjadi mabuk!
!Heh-heh-heh.... kau hebat....
heh-heh, aku kalah deh....! Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke
kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya
diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang
sedang lewat membawa baki. Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah
seorang anggauta Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan
pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan,
tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan
hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biarpun dia mabuk
sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak
cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah
pinggul yang menonjol besar itu. Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan
tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang
berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali
ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh!
Kembali semua orang menertawakannya.
Ehhhhh!! Si Gendut yang merasa
malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia
terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh
bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan
kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk
tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu,
seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya
dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan yang menjadi seorang di antara
pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, diam-diam menjaga keamanan bersama dua
orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang.
Mereka adalah tiga orang dan sesungguhnya mereka itu bukan anggauta
Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan
sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama. Di samping tosu Hak Im Cu ini,
masih ada dua orang lain yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah
Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam
puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan
Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa
Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah! Adapun
yang ke dua atau orang ke tiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong
Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek
dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang
bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga
dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
Memang tadinya tiga orang ini
bukan merupakan sahabat-sahabat. Akan tetapi, ketiganya diundang oleh
Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang
memiliki keahlian berbeda-beda. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga
orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak
ular naga di telaga tersebut dan biarpun tiga orang ini lihai sekali, namun
karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak
berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat
tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta
itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut
mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka
diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hek Im Cu, memasang mata dan mencurahkan
perhatian kepada para pelayan itu. Peristiwa yang terjadi ketika seorang
pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu
menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan
itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan
terkaman si gendut sedemikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki
tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Biarpun yang mengirim
Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat
sungguh mencurigakan. Apalagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan
yang kini tidak nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua
orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya
menuju ke belakang untuk menyelidiki dan kalau perlu mengumpulkan
pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat
itu, terdengar suara terompet dan canang di pukul gencar. Itulah tanda bahaya
dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri
diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini
terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh
keributan lain yang lebih meributkan ketika para pelayan wanita itu, dengan
menggunakan batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang
menggunakan mangkok piring menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat
sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan
tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang berkepandaian tinggi,
karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan
kepandaian untuk bersiap-siap turun tangan membantu fihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga
terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal
seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi
satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di
antara orangorang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti
lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli, dia memaki kebodohan sendiri yang
tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang
mempunyai niat sama dengan dia yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus
menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang
dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu
dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya
yang dikatakannya tolol.
Kejar! Isteriku harus dapat
dirampas kembali!! teriaknya marah-marah dan dari tempat persembunyiannya,
Siang In melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan
si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang
mengejutkan, melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata
apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun
toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si
penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita. Dia meninggalkan tempat
sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi
karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu
Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana-sini telah
terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para
pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu. Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan
wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri!
Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan
para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggauta-anggauta Liong-sim-pang biasa saja.
Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa
orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh
tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang. Tamu-tamu makin panik dan
sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-semak atau
pohon-pohon di dalam taman, ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar,
tidak peduli kamar siapa, dan ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak
peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang berkepandaian saja membantu
para anggauta Liong-sim-pang melakukan pengejaran kepada rombongan wanita
pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.