Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 12 - Putera Pangeran Liong Khi Ong
Menurut pendapatku? Tentu saja
lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan tulang itu dimakan
bersama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan dan perut keduanya
bisa kenyang, hi-hik!!
Semua orang tertawa dan
Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura kepada semua
orang. Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan tepat sekali.
Karena itu pula maka pangcu kami mengimkan undangan kepada Cu-wi sekalian, yaitu
untuk mempersatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah yang
mengandalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dengan adanya
persatuan antara kita, maka tidak akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan yang
mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita dianggap golongan hitam,
nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu golongan putih yang
menyebut diri mereka sendiri para pendekar itu akan merasa girang sekali dan
mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita.!
Terdengar suara
teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan
karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang dapat melihat
keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan kesalahan dan kejahatan sendiri
sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mereka adalah penjahat-panjahat!
Mereka menganggap bahwa pekerjaan! mereka itu adalah usaha mencari nafkah, dan
para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang sejahat-jahatnya orang karena
merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul persatuan ini mereka sambut dengan
gembira karena memang sudah terlalu sering mereka ditentang dan di kejar-kejar
oleh para pendekar.
Akan tetapi, siapa yang akan
memimpin kita?! terdengar suara lantang bertanya.
Khiu-pangcu mengangkat kedua
tangan untuk menenangkan suasana yang menjadi hiruk-pikuk itu. Setelah semua
orang diam dia lalu berkata, Sudah tentu saja yang berhak memimpin kita adalah
orang yang paling tinggi kepandaiannya di antara golongan kita semua.!
Kalau guruku berada di sini
tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!! terdengar gadis cantik berpakaian
merah itu berseru.
Khiu-pangcu tersenyum lebar.
Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi pimpinan itu tidak
diperebutkan sekarang. Untuk itu tentu saja harus ada undangan khusus sehingga
yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golongan kita. Sekarang yang penting
bagi kita adalah bahwa semua fihak setuju untuk berdiri di bawah satu golongan.
Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat kita pergunakan bersama dan mereka
yang hasilnya besar dapat menolong mereka yang sedang sepi pasarannya. Dan
kalau seorang di antara golongan kita diusik oleh golongan putih, kita harus
saling membantu dan memusnahkan fihak musuh. Dengan demikian, bukankah
kedudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang pendekar berani untuk
mengganggu?!
Benar....!!
Setuju....!!
Kembali suasana menjadi
berisik sekali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat nyaring, suara
yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang menggema dan mengaung
menggetarkan jantung. Terang bahwa itu adalah suara ketawa yang mengandung
tenaga khikang amat kuatnya. Semua orang terkejut dan menoleh ke tengah
lapangan karena suara ketawa itu terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal
yang muda dan duduk di kursi bagian tamu kehormatan itu. Tentu saja semua orang
terkejut dan marah, karena suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan
kiranya yang mentertawakan mereka hanya seorang peranakan Nepal! Khiu-pangcu
juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan
suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, akan tetapi bernada
teguran, dia bertanya, Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan
ini?!.
Pemuda jangkung berkulit
coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu terdengar dia berkata dengan suara
lantang, Kami sangat menyetujui, harap Khiupangcu tidak salah sangka. Hanya
kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat cara-cara kalian mencari nafkah
yang begitu remeh.!
Haiiiii!!! Semua orang
berseru. marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bahkan sudah ada yang
bangkit berdiri dengan sikap mengancam. Hanya tokohtokoh besar lainya, seperti
Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang sama sekali tidak mengacuhkan semua
itu dan bermain-main dengan ularnya, kepala bajak sungai yang tadi ribut dengan
gadis pembawa ular, yaitu Tiat-thouw Sin-go, perampok tunggal Toat-beng Sin-to,
raja kaum nelayan Boan-wangwe, mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang,
sesuai dengan kedudukan mereka yang tinggi.
Harap Cu-wi jangan salah
paham,! kata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali. Kini dia berdiri
di panggung dan menghadapi semua tamu dengan penuh wibawa. Saya tidak memandang
rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa yang Cu-wi lakukan dan
kerjakan itu sungguh tidak sesuai dengan jerih payah Cu-wi sekalian. Cu-wi
bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan menanti datangnya
kesempatan, menghadapi bahaya maut, dan semua itu Cu-wi lakukan hanya untuk
sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang gagal seperti yang
diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta pusaka keluarga
Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh dan tidak
memadai?!
Toat-beng Sin-to Can Kok Ma,
si perampok tunggal yang tinggi besar itu merasa tersinggung juga. Dia
memandang dengan mata melotot, lalu berkata dengan suara yang lantang dan kasar
karena memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur tidak mau menggunakan
banyak aturan, Apakah kau mempunyal usul yang lebih baik?!
Pemuda peranakan Nepal itu
menoleh kepada si tinggi besar ini sambil tersenyum, lalu berkata, Tentu saja
dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-wi sekalian setuju. Akan tetapi
usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan saya terangkan
kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini. Baru fihak tuan
rumah saja, hanya wakilnya, yaitu Khiu-pangcu yang keluar, bukan ketuanya
sendiri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami yang teramat
penting dan menyangkut masa depan kita semua ini?!
Khiu-pangcu menjura kepada
orang itu. Maaf, pangcu kami sedang menyelesaikan ilmunya yang baru sehingga
selama ini tidak pernah keluar dan mewakilkan segala sesuatu kepada saya.
Andaikata pangcu kami sudah keluar, apakah kiranya perempuan-perempuan dari
Gunung Cemara itu berani banyak tingkah? Itulah sebabnya maka pangcu kami tidak
dapat hadir.!
Tiba-tiba terdengar suara
ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu hancur berantakan
dan keluarlah seorang kakek yang berpakaian hitam, agak terhuyung dan mukanya
putih pucat seperti kapur. Khiu Sek, jangan mengecewakan tamu, ini aku sudah
datang!!
Kini dari rumah-rumah
tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mukanya putih seperti kapur dan
itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka itu semua agak
terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu untuk
memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ketua.
Melihat kakek ini, Kian Lee
berdebar dan dia memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja dia
mengenal kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi, ketua dari Lembah
Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan ahli racun yang
luar biasa itu! Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan
tentang diri kakek ini yang dahulunya adalah seorang pelayan dari Dewa Bongkok
dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian kitab
pelajaran ilmu yang mujijat.
Semua orang memandang dengan
mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua dari
Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang
dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur
berantakan?
Khiu-pangcu dan semua anak
buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat kepada
pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bangkit berdiri untuk menghormat. Kian
Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li masih enak-enak saja
duduk bermain-main dengan ularnya, seolah-olah kemunculan kakek itu sama sekali
tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti dulu, aneh dan bengal!
Hek-hwa Lo-kwi kini
menghampiri tempat duduk yang telah disediakan untuknya sambil mengangguk ke
kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia menghadapi peranakan Nepal itu sambil
berkata, suaranya menggetar dan mengandung gema yang meraung aneh, Nah, sebelum
Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya lebih dulu
memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu.!
Pemuda peranakan Nepal itu menjura
dengan hormat dan berkata, Sungguh beruntung sekali kami semua dapat bertemu
dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya yang besar. Dan kami menghaturkan
selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari ilmu baru. Perkenankan kami
memperkenalkan diri kami.!
Dengan suara halus dan lantang
sehingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan Nepal itu lalu
memperkenalkan dlrinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee menjadi tertarik
sekali dan mendengarkan penuh perhatlan. Kiranya pemuda itu adalah putera dari
mendiang Pangeran Liong Khi Ong! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali
dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong,
telah mengadakan persekutuan untuk mengadakan pemberontakan, akan tetapi
akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran tua itu telah tewas.
Liong Khi Ong mempunyai seorang selir berbangsa Nepal, dan sebenarnya selir ini
masih seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir
dan yang dihadiahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan
antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya
dan merupakan negara besar yang dihormati negara-negara tetangga termasuk
Nepal.
Dari selir Nepal inilah Liong
Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang memakai nama Liong Bian Cu.
Ketika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama ibunya melarikan diri ke barat,
kembali ke Nepal di mana dia memperdalam ilmu kepandaiannya dengan menjadi
murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru negara) Nepal yang lihai itu.
Setelah memperkenalkan diri
dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka bahwa peranakan
Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong yang amat
terkenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu banyak menerima
tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun mengenalnya
dengan baik, maka pemuda itu lalu menceritakan usulnya dengan suara lantang.
Dari pada kita bekerja secara
kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik kita melakukan pekerjaan yang
besar. Sudah basah kepalang mandi! Daripada kita dikejar-kejar pemerintah dan
orang-orang dari golongan putih, kita mendahului mereka! Kita kumpulkan
kawan-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang kuat, lalu kita serbu
kota demi kota, kita sita seluruh kekayaannya, dan kita duduki kotanya.
Bukankah itu lebih cepat dan berhasil daripada kita menunggu lewatnya mangsa
seperti seekor harimau kelaparan menunggu lewatnya seekor kelinci? Kita
taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduknya yang laki-laki, muda-muda
dan kuat-kuat untuk menjadi anggauta kita, yang menolak kita bunuh semua!
Wanita-wanitanya yang cantik kita bagi-bagi. Dengan demikian, akhirnya kita
akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin luas.
Kalau sudah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi dan
tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri, kerajaan
kaum hitam!!
Sejenak suasana menjadi sunyi
karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget dan heran. Bahkan
Hek-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan mengelus jenggotnya.
Kemudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang bicara sendiri,
saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada yang ketakutan.
Akhirnya Hek-hwa Lo-kwi
mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu terdengar ucapan
kakek ini, Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal remeh dan main-main,
bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu dibayangi oleh bahaya.
Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula hasilnya, dan kalau kita
bersatu, mengapa takut bahaya? Aku sendiri setuju dengan usul itu dan akan
mendukung pelaksanaannya!! Ucapan ini disambut oleh tepuk tangan dan
sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju, sedangkan yang menolak dan yang
ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju ini sehingga mereka pun menjadi
besar hati.
Kini Liong Bian Cu, pemuda
peranakan itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti membuat berisik.
Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain?!
Terdengar suara merdu nyaring
dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang-siocia, telah berdiri dan berkata,
Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah
menggoyangkan lidah dan bibir!! Memang dara ini biasa bicara dengan tajam.
Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasukan perajurit yang sudah
terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak terdidik
perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang? Kepandaian kita
hanyalah kepandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran perorangan atau
paling hebat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan orang. Mana
mungkin dapat berguna dalam perang antara ribuan orang dan pula fihak pasukan
pemerintah tentu diperlengkapl dengan senjata dan perlengkapan yang lebih
sempurna?!
Hek-hwa Lo-kwi
mengangguk-angguk. Alasan yang baik dan kuat sekali. Bagaimana jawabanmu,
Liong-sicu?!
Tidak perlu khawatir!!
tiba-tiba seorang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan jenggotnya
panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana, berseru. Dia
ini adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal
dari Hwa-i-kongcu Tang Gun di puncak Naga Api itu. Memang Gitananda adalah
seorang di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan
menghubungi orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw,
dan kini Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu.
Hendaknya Cu-wi sekalian maklum bahwa Kongcu kami ini adalah seorang ahli
perang yang tentu akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-barisan
yang kuat!!
Liong Bian Cu bangkit dan
menjura ke empat penjuru. Saya tidak ingin memamerkan diri, akan tetapi terus
terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam siasat perang,
tentu saja saya telah rnempelajari ilmu perang dan saya dapat membentuk
pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Tentang perlengkapan, jangan
khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi sekalian tidak perlu
gelisah, dan saya berjanji bahwa kalau kelak kita berhasil, Cu-wi sekalian
tentu akan menjadi pembesar-pembesar tinggi yang hidup terhormat dan mulia!!
Nanti dulu!! Tiba-tiba Hek-hwa
Lokwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. Aku ingin
sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka.
Ataukah dia tidak hadir dan tidak mengirim wakilnya?!
Semua orang yang mendengar
nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu mengerling ke
arah gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang masih duduk bermain-main
dengan ularnya tadi.
Akulah wakilnya!! tiba-tiba
gadis itu berkata sambil bangkit berdiri. Semua orang menoleh dan menahan napas
menyaksikan seorang gadis yang demikian cantik moleknya. Wajahnya putih halus
kemerahan, dengan rambut yang disanggul indah sekali, dihias dengan batu-batu
permata mahal, sepasang matanya seperti bintang pagi, jernih dan lebar akan
tetapi mengandung sinar yang tajam menyeramkan, hidungnya mancung dan mulutnya
selalu tersenyum, manis dan jelita. Tubuhnya kelihatan ramping padat dengan
lekuk lengkung yang menggairahkan, yang sukar disembunyikan oleh pakaian sutera
serba hitam itu. Akan tetapi yang membuat orang menjadi ngeri dan kehilangan
gairah adalah ketika melihat dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua
lengan yang halus mulus itu.
Hemmm!! Hek-hwa Lo-kwi menatap
dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis muda itu. Kalau engkau
wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo tentang usul
tadi?!
Gadis itu yang bukan lain
adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo, tersenyum sehingga sekelebatan
nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi putih. Apa yang hendak
dikatakan? Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk mendengarkan saja tanpa
membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini kepadanya.!
Hek-hwa Lo-kwi berkata kepada
Liong Bian Cu, Dahulu Hek-tiauw Lo-mo pernah membantu Ayahmu, Liong-sicu.
Kiranya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu.!
Mudah-mudahan begitu,! Liong
Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee Li, agaknya
peranakan Nepal ini tertarik sekali kepada gadis yang luar biasa cantiknya itu.
Tentu saja dia mau kalau kelak
setelah berhasil dia yang menjadi rajanya!! kata Hwee Li sambil duduk dan
bermain main dengan ularnya.
Kian Lee tak dapat menahan
senyumnya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan sikapnya seolah-olah
memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan tetapi, dia sendiri masih
gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin. Sebaiknya kalau dia sekarang mulal
menyelidiki di mana adanya dua orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, mengingat
bahwa yang hadir di situ adalah orang-orang yang berilmu tinggi sehingga akan
berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai ketahuan, dia terpaksa
memberi isyarat kepada Liang Wi Nikouw untuk bersabar. Mereka ini tentu tidak
tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan tawanan
yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mereka
membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan
sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka
tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pel, maka akan berbahayalah!
Hidangan mulai dikeluarkan dan
sambil bercakap-cakap membicarakan rencana besar yang diusulkan oleh Liong Bian
Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh yang penting di atas panggung
kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan akhirnya diputuskan bahwa
sebelum diadakan pemilihan pemimpin yang harus seorang yang terpandai di antara
mereka, yang akan merupakan seorang bengcu (pemimpin rakyat), untuk sementara
dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi
sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, Boan-wangwe, Tiat-thouw Sin-go dan
Gitananda sebagai wakil fihak orang Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua
orang setuju.
Makan minum dilanjutkan dan
Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai calon-calon pembantunya
untuk melanjutkan perjuangan! mendiang ayahnya dalam kegembiraannya ingin
sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum beberapa cawan arak yang
cukup menghangatkan hatinya, dia bangkit berdiri dan berkata lantang, Cuwi
sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan
orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam
pertemuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian
masing-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan
pertunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit
kemampuan saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa
Sengjin, koksu dari Nepal!!
Tentu saja ucapan ini disambut
dengan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang yang suka berkelahi,
suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu saja menggembirakan
hati mereka. Apalagi karena mereka maklum bahwa di antara mereka terdapat
banyak sekali orarg-orang pandai.
Dengan langkah lebar Liong
Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong-kongcu itu menghampiri sebuah
batu besar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar kerbau, tentu berat
sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong kongcu mengangkatnya dan
melontarkannya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian
cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka memukul dan mendorong ke arah batu itu.
Terdengarlah suara bercuitan
dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara mendesis. Di sekitar
tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan dingin. Yang panas
keluar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar dari tangan kirinya.
Ketika kedua tangan itu bergerak memukul, batu itu tidak dapat meluncur jatuh,
melainkan terapung di udara seperti tertahan oleh tenaga mujijat, dan batu itu
mulai terputar, makin lama makin cepat sehingga mengeluarkan suara mengaung
seperti gasing. Tak lama kemudian nampak debu mengepul, pecahan batu dan pasir
berhamburan ke mana-mana.
Liong-kongcu tersenyum,
menghentikan gerakan kedua tangannya dan meloncat ke belakang ketika batu itu
jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat betapa
batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut, bentuknya
bulat seperti telur!
Kian Lee yang sejak tadi
memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itulah tenaga Im-yang Sin-ciang
yang cukup hebat. Sungguhpun tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu sudah boleh juga dan
hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, menurut pengakuannya tadi adalah
murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin yang pernah dia jumpai di
istana Gubernur Ho-nan! Pemuda ini mulai mengerti apa tugas orang-orang Nepal
ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu
dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan, lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak
membentuk barisan pemberontak! Apalagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini
adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang dilihat
dan didengarnya semua itu tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan
pemberontak agaknya hendak bangkit lagi mengacaukan negara.
Para tamu bersorak memuji
kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang ke arah Hwee Li
sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyumnya hilang dan alisnya berkerut
ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan hatinya itu sama
sekali tidak ikut bersorak memuji, bahkan bibirnya tersenyum mengejek,
seolah-olah apa yang dipertunjukkannya, tadi tidak ada artinya sama sekali bagi
nona itu. Selagi Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan
kelihaiannya, tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit
berdiri dan menghampirinya.
Hik-hik, sungguh lumayan juga
kepandaianmu. Ingin sekali aku bertanding denganmu karena ilmu kita hampir
bersamaan. Engkau memiliki pukulan tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan
mempergunakan pedang, lihatlah!! Dia mencabut sebatang pedang yang tadi
tergantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan bergagang indah, yang
dihias ronce merah tua di gagangnya. Kemudian, gadis berpakaian merah muda ini
mengeluarkan suara melengking panjang dan pedangnya lalu bergerak dengan cepat,
bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur itu. Cepat sekali
gerakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu
lenyap, ternyata pedangnya telah kembali memasuki sarungnya di punggung nona
itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba-tiba
roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu
saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji.
Hii-hik, hampir sama bukan?!
kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. Kalau guruku yang melakukannya, tidak usah
memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan saja. Itulah pukulan Kianto
Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok).!
Ang-siocia terkekeh lagi
dengan bangga, lalu dia menghampiri batu yang sudah terpotong-potong itu dan
menggunakan kakinya untuk mencukil dan melemparkan batu itu ke arah sungai yang
mengalir tak jauh dari tempat itu, sungai yang menjadi sambungan dari air
terjun. Lebih baik batu-batu ini dilempar ke sungai!!
Tentu saja perbuatannya ini
tak lain mengandung maksud untuk mendemonstrasikan kekuatan kakinya dan memang
hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbang ke depan.
Heiii, jangan dibuang!
Sayang....!! Nampak bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu
dan ketika dia membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi
potong-potongan batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali
di atas tanah. Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar
seruan-seruan kagum karena batu-batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah
berlubang tepat di tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu
dan ternyata bahwa ketika menangkap batu-batu itu, kakek ini menggunakan jari
tangannya melubangi batu-batu itu tepat di tengah-tengah. Kakek ini bukan lain
adalah Tiat-thouw Sin-go, yang ternyata bukan hanya kepalanya yang keras
melebihi batu, melainkan juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya
itu pun dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya dan kembali semua
tamu memuji.
Akan tetapi sebelum orang lain
mendemonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras
dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan nampaklah
beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka pucat menghadap pangcu
mereka. Ketika mereka melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir di situ mereka
itu serta merta menjatuhkan diri berlutut. Celaka.... Pangcu....!!
Tolol! Pengecut!! Khiu-pangcu
memaki. Hayo lekas lapor ada apa!!
Di luar pintu terowongan....
orang-orang Gunung Cemara datang menyerbu....!!
Huh, begitu saja ribut!!
Khiu-pangcu membentak.
Tapi, Ji-pangcu. Mereka itu
dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nio-nio dan dua orang yang luar biasa
lihainya. Tanpa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan dan membunuh
banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik
yang mengeluarkan suara seperti kucing.... huuuh-hu....!! para penjaga itu
menggigil ketakutan.
Hemmm, sungguh orang-orang
Hek-eng-pang tidak boleh diberi ampun sekali ini!! Hek-hwa Lo-kwi membentak
marah sekali dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah
lebar, dia pergi menuju ke pintu terowongan, diikuti oleh para tamu yang ingin
melihat apa yang akan diperbuat oleh ketua yang baru saja keluar dari
pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan menyaksikan pertandingan
yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan Hek-eng-pang.
Akan tetapi belum juga mereka
memasuki pintu terowongan, tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan keras di
sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di atas tebing arah mulut
terowongan di atas. Semua orang terkejut sekali, apalagi ketika mendengar
gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun. Cepat mereka semua
mundur kembali menjauhi pintu terowongan dan tak lama kemudian, dari pintu
terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya. Beberapa orang
penjaga terowongan terlontar seperti daun-daun kering dihanyutkan air bersama
dengan semburan air yang deras itu. Semua orang menjadi panik karena maklum bahwa
entah secara bagaimana, fihak musuh telah berhasil membobolkan sungai di atas
dan mengalirkan airnya memasuki mulut terowongan di atas sehingga menggenangi
lembah itu! Tentu saja terjadi kepanikan hebat. Orang-orang cepat mencari
perahu-perahu yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi karena banyaknya orang
dan kurangnya perahu mereka banyak tidak kebagian dan terpaksa mereka menebang
pohon-pohon dan bambu-bambu untuk dijadikan pengapung atau semacam rakit. Air
makin meninggi dan keadaan makin kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh
perahu sudah cepat-cepat menyelamatkan diri melalui sungai.
Di dalam suasana yang
kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia tadi
melihat Hoa-guji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para
pelayan yang mengeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu
seorang di antara para anggauta pimpinan, maka begitu dia melihat kesempatan,
secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan
totokan, lalu menyeretnya ke tempat gelap.
Hoa-gu-ji adalah seorang yang
memiliki kepandaian cukup lihai, maka dapat dibayangkan betapa kaget dan
herannya melihat betapa ada orang mampu merobohkannya sedemikian mudahnya! Dia
tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya dan tahu-tahu tubuhnya
menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda itu menepuk tengkuknya
dan lenyaplah suaranya! Kini Hoa-gu-ji benar-benar merasa ketakutan ketika dia
diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di situ telah menanti seorang
nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di antara para tamu di situ.
Hayo katakan, di mana adanya
dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!! Kian Lee membentak
sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan
totokan pada lehernya sehingga dia dapat mengeluarkan suara lagi.
Ta.... tawanan.... yang
mana....?!
Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya
berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu
benar-benar merupakan todongan maut! baginya, maka dia tidak berani main-main.
Seorang gadis dan seorang
laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan Hek-eng-pang. Cepat jawab!!
Ahhh.... mereka itu?!
Setelah jelas bahwa orang ini
mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada
tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik, Hayo
antarkan kami ke sana!!
Hoa-gu-ji mengangguk-angguk.
Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa
lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air
yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air
sudah mulai naik sampai ke paha.
Kita membuat rakit dulu!! kata
Liang Wi Nikouw dan nenek ini lalu mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak
hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit. Dengan cekatan mereka
dibantu oleh Hoa-gu-ji membuat rakit, lalu cepat mereka menuju ke kelompok
bangunan yang sudah digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di
sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan
Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat
dan ketakutan karena air sudah terus naik!
Kongcu.... syukur engkau
datang....!! Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat munculnya pemuda itu.
Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ
cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat
naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena
dia yakin bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama
Liang Wi Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar
itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar,
air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda
air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke
atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.
Ahhhhh.... Taihiap.... sungguh
kami sudah hampir putus asa....! Hok-taijin, berkata. Untung aku bersama dengan
Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini.... dialah yang selalu membesarkan
hatiku.... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila....!
Kian Lee memandang kepada Cui
Lan dengan sinar mata kagum dan gadis itu menunduk dengan air mata berlinang.
Cui Lan, ini adalah Liang Wi
Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan
menolongmu,! kata Kian Lee sambil memandang gadis itu.
Seketika wajah yang menunduk
itu bergerak, diangkat dan biarpun air matanya masih berlinang, namun bibirnya
tersenyum dan wajahnya berseri. Aihhh...? Suthai yang baik, benarkah itu?!
Nikouw itu mengangguk dan
tersenyum.
Di mana dia? Bagaimana dengan
dia? Baik-baik sajakah dia?! tanyanya seperti air hujan.
Nikouw itu mengangguk-angguk
lagi. Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki.
Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang
menolong.!
Karena mereka masih berada
dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya lagi. Juga dia merasa
malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya
menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biarpun sudah tua
namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai di mana juga
terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya.
Sementara itu, jauh di atas
tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja
tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan, akan tetap
melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan
orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton
sambil tersenyum. Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio,
Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana? Mari
kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti
Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu.
***
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu Yang-liu Nio-nio ketua
Hekeng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu oleh Yang-liu Nio-nio
dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga Api menculik Syanti
Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa menikah dengan Hwai-kongcu
Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan lihai itu.
Dan biarpun Hek-eng-pang
mengorbankan beberapa orang anggautanya, akhirnya mereka berhasil melarikan
Syanti Dewi yang oleh Yang-niu Nio-nio dilemparkan kepada muridnya, Liong-li
dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Tek Hoat bersama beberapa
orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa ekor kuda yang baik.
Tentu saja Tek Hoat girang
sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil diselamatkan. Akan tetapi dia
teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri itu terhadap dirinya dan
penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hatinya terasa panas, apalagi
kalau dia teringat betapa sengsaranya hatinya selama ini yang terkenang dengan
penuh kerinduan kepada wanita yang dicintanya itu. Maka, setelah kini dengan
susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti Dewi, dia tidak mau
lekas-lekas mamperkenalkan diri lebih dulu. Karena cuaca masih gelap sekali,
mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak membuka suara. Dia
hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan Liong-li, kemudian dengan
mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas punggung kuda, dia melompat di
belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda secepatnya, diikuti oleh Yang-liu
Nio-nio, Liong-li dan lain anak buah Hek-engpang, menuju kembali ke Gunung
Cemara. Untuk membingungkan para pengejarnya, mereka berpencar menjadi tiga
rombongan dan Tek Hoat masih tetap bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li,
sedangkan rombongan lain bertugas untuk menghilangkan jejak ketua dan
rombongannya ini.
Tentu saja Hwa-i-kongcu Tang
Hun dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan
Hai-liong-ong Ciok Gu To terus melakukan pengejaran, akan tetapi mereka ini
dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan yang membelok
ke kanan kiri, tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke depan oleh Tek
Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda mereka telah
dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu.
Hanya ada satu orang yang
tidak mudah diakali oleh anak buah Hek-eng-pang. Orang ini adalah Siang In!
Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang meninggalkan rombongan
penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas bahwa Syanti Dewi diculik
orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat cerdik, sudah menduga bahwa
tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti Dewi, maka dia telah
mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan menggunakan kesempatan
selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya keluar dari benteng yang terjaga.
Aku sri panggung rombongan
penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang terculik!! katanya dan
karena penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita ini pandai main sulap,
mereka membiarkan Siang In keluar. Dara ini mengintai dan melihat ada rombongan
orang membawa kuda menanti di luar tembok, maka dia pun beriembunyi. Ketika
para penculik wanita rombongan orang-orang Hek-eng-pang itu keluar dan membawa
lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup
hati-hati dan dapat menduga bahwa orang-orang itu tentu memiliki kepandaian,
maka dia tidak berani sembrono turun tangan di situ, apalagi dia tahu bahwa
tentu fihak Hwa-i-kongcu tidak akan tinggal diam dan melakukan pengejaran,
sehingga andaikata dia berhasil merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik,
dia pun tidak akan terlepas dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang
lihai itu. Untuk menggunakan sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai
tadi, maka sekali ini dia harus bersikap hati-hati sekali.
Sementara itu, tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun, Ang Tek Hoat memeluk pinggang Syanti Dewi yang
duduk di depannya. Pelukan yang penuh kemesraan dan seluruh kerinduan hatinya
dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Namun dia tetap membisu dan hanya
membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nio-nio, dan Liong-li.
Hatinya lega karena tidak
terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang terdengar
derap kaki seekor kuda di belakang, akan tetapi tentu saja hal ini dianggap
ringan. Andaikata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan
merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak
tenaga sebagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee, akan
tetapi Liong-li dan terutama Yang-liu Nio-nio yang menunggang kuda di dekatnya
bukanlah orang-orang yang lemah.
Karena tidak ada pengejar,
hati mereka tenang dan mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua yang berada di
tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak cakap Tek Hoat
memondong tubuh Syanti Dewi dan merebahkan dara itu di atas lantai dalam kuil,
kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi. Syanti Dewi
mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu
sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara
dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di
luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya. Dia merasa rindu, merasa girang,
merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk,
membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya
itu. Ingin dia menghiburnya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin
bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia. Dia tahu
bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas
dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah
gadis itu, dia masih menjual mahal! dan mengambil keputusan untuk menjumpai
Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja
mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia membayangkan betapa Syanti Dewi
tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia
muncul di dalam kamar kuil rusak itu!
Adapun Yang-liu Nio-nio dan
Liong-li membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau mencampuri urusan Tek Hoat
bersama Syanti Dewi. dan mereka membicarakan tentang beberapa orang anggauta
mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, juga membicarakan tentang
orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta Hwa-i-kongcu. Tak lama kemudian,
sinar matahari pagi mulai mengusir kabut dan hawa dingin dan tiba-tiba
Hek-eng-pang bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat dari
sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka
melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah
puteri yang mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai
sambil menangis dan Si Jari Maut yaneg biasanya tenang dan gagah perkasa itu
kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat sekali.
Celaka....!! Tek Hoat berseru
marah Kenapa? Apa yang terjadi....?! Yang liu Nio-nio bertanya.
Bodoh! Tolol semua! Dia
bukan....!
Bukan apa?!
Dia bukan puteri itu!! Tek
Hoat mengepal tinju dan memandang kepada ketua Hek-eng-pang dengan mata
melotot. Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri Syanti Dewi!!
!Tapi....!! Yang-liu Nio-nio
membantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini dari dalam
kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi. Liong-li cepat meloncat dan
menarik pundak wanita yang mengempis itu. !Diam kau! Hayo ceritakan siapa kau
dan di mana adanya pengantin puteri!! hardiknya sambil mengguncang-guncang
pundak wanita muda yang cantik itu.
Ampunkan saya....! Wanita itu
meratap. Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam tadi.... ada seorang
kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan membunuh kalau saya berteriak,
lalu saya menjadi lumpuh, bahkan untuk mengeluarkan suara pun tidak mampu....
dan kakek itu melucuti pakaian saya dan memaksa saya memakai pakaian ini....
saya tidak tahu apa-apa.... dan tiba-tiba saja saya dilarikan sampai di
sini....!
Di mana pengantin puteri?! Tek
Hoat membentak, tidak sabar.
Saya tidak tahu.... harap
ampunkan saya.... saya tidak tahu apa-apa....!
Hemmm, siapa kakek itu?
Bagaimana macamnya?!
Saya hanya tahu dia kakek tua,
entah siapa....!
Sialan!! Yang-liu Nio-nio
meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu roboh tak berkutik
lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan ketua Hek-eng-pang
yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah bersusah payah,
telah kehilangan beberapa orang anggauta perkumpulannya, dan hasilnya adalah
puteri palsu!
Pada saat itu terdengar suara
dari luar, Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan bicara dengan Enci
Syanti Dewi!l Aku belum puas kalau belum mendengar darl mulutnya sendiri bahwa
dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti, ini aku, Siang In.
Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!!
Huh!! Tek Hoat mendengus marah
dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah dibunuh oleh Yang-liu
Nio-nio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang In.
Siang In terkejut bukan main
melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi terlempar ke arahnya. Dia
mengelak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah. Cepat dia memeriksa dan
menahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang dibawa kabur oleh Tek Hoat!
Hemmm.... kalau begitu, siapa
yang menculik Syanti Dewi! Ke mana perginya? Orang lihai macam Tek Hoat dan
nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan melihat Hwa-i-kongcu dan
orang-orangnya melakukan pengejaran dan pencarian ke mana-mana, jelas bahwa
Enci Syanti Dewi benar-benar telah lenyap. Akan tetapi siapa yang membawanya
dan kemana?!
Dengan hati penasaran Siang In
lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak Naga Api untuk
menyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu.
Demikianlah, dengan marah dan
kecewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu Nio-nio dan
Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung Cemara
telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah perkumpulan
Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nio-nio menjadi marah dan berduka
sekali ketika para anggauta Hek-eng-pang yang tadinya melarikan diri itu
berdatangan sambil menangis.
Orang muda! Kaulihat apa yang
terjadi dengan kami karena kami pergi membantumu. Tempat kami dibasmi musuh.
Kalau kau tidak membantu kami melakukan pembalasan, sungguh-sungguh aku harus
menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!! ketua yang sedang marah dan sakit
hati itu berkata kepada Tek Hoat.
Ang Tek Hoat juga merasa tidak
senang dengan peristiwa ltu. Jangan khawatir, Pangcu. Aku tentu akan
membantumu.!
Bagus! Kalau begitu, kelak
kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah menculik pengantin
puteri dari puncak Naga Api itu,! Yang-liu Nio-nio berkata. Akan tetapi, karena
anak buahku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan dari Subo.! Dia lalu
menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-1i naik kuda yang kuat untuk cepat
minta bantuan gurunya yang dia tahu berada di istana gubernuran di Propinsi
Ho-nan.
Sepekan kemudian, munculiah
Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi terkejut
melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah mengenalnya dahulu
ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong (baca cerita Kisah
Sepasang Rajawali). Juga Mauw Siauw Mo-li terkejut dan girang bertemu dengan
pemuda tampan gagah ini.
Heh-heh-heh, bukankah engkau
Tek Hoat Si Jari Maut? Aku mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang
panglima dan mantu raja di Bhutan! Bagaimana sekarang berkeliaran di sini?!
Tek Hoat cemberut dan tidak
menjawab pertanyaan itu, hanya berkata, Hemmm, kiranya engkau guru dari
Yang-liu Nio-nio? Sungguh tak kusangka!!
Pangcu, bagaimana engkau dapat
bergaul dengan pemuda ini? Ketahuilah, dia pernah menjadi musuhku beberapa
tahun yang lalu, hik-hik!! katanya kepada muridnya yang lebih tua daripada dia
itu, maka dia menyebutnya pangcu!
Yang-liu Nio-nio terkejut
bukan main. Ahhh.... teecu tidak tahu.... dia.... dia telah membantu teecu dan
sekarang pun hendak membantu teecu menghadapi orang-orang Kui-liong-pang.!
Mauw Siauw Mo-li tertawa dan
memandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil berkata, Tidak
mengapa. Ada waktunnya menjadi musuh, ada waktunya menjadi sahabat, bukan? Nah,
ceritakan apa yang telah dilakukan orang-orang Kui-liong-pang yang bosan hidup
itu.!
Yang-liu Nio-nio lalu
menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpulannya bermusuhan dengan
Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal Kao dan
betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari
Hwa-i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang datang membasmi dan membakar tempat
itu.
Hemmm, sungguh mereka itu
harus mampus. Jangan khawatir, aku akan membantumu membasmi mereka. Akan tetapi,
sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa engkau pergi menculik pengantin
puteri, Ang-sicu?! tanyanya kepada Tek Hoat, memanandang heran.
Tek Hoat sebenarnya tidak suka
kepada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata wanita itu kepadanya
pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu pula bahwa Mauw Siauw
Mo-li adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan selama Syanti
Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam keselamatannya di tangan
orang-orang sesat, dia perlu bantuan orang-orang seperti wanita ini. Maka
dengan terus terang dia menjawab, Pengantin puteri itu adalah Puteri Syanti
Dewi.!
Ehhh....?! Mauw Siauw Mo-li
membelalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat puluh tahun ini masih
belum kehilangan daya tariknya. Bagaimana ini? Bukankah dia sudah kembali ke
istana Bhutan?!
Tek Hoat menggelengkan
kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang menyedihkan dan
memalukan itu kepada orang lain, apalagi kepada seorang wanita seperti Mauw
Siauw Mo-li ini. Maka dia menjawab singkat, Aku pergi dari Bhutan, dia menyusul
dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan dipaksa menjadi isterinya.!
Mauw Siauw Mo-li
mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia
mendengar bahwa pemuda ini telah menjadi mantu raja, berarti sudah memperoleh
kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan
wajahnya begitu murung? Sungguh dia tidak mengerti sama sekali, akan tetapi dia
pun tidak berani mendesak karena tahu bahwa pemuda yang tampan dan lihai ini
mempunyai watak yang amat aneh.
Demikianlah, Tek Hoat dan Mauw
Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nio-nio dan semua sisa anak buah Hek-eng-pang
pergi ke lembah yang menjadi sarang Kui-liong-pang dan atas usul Tek Hoat yang
melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu mempergunakan senjata peledaknya
untuk membobolkan tempat itu sehingga air sungai menyerbu lembah melalui
terowongan yang juga telah diledakkan.
Kini mereka bertiga memandang
dengan hati puas ke bawah, ke arah lembah yang kebanjiran itu sehingga seluruh
penghuni dan para tamunya harus bergegas menyelamatkan diri dengan
perahu-perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi
Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambli berkata, Aku pergi!!
Terima kasih, dan kami akan
menyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya pengantin puteri itu!!
kata Yang-liu Nio-nio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus berkelebat pergi.
Nanti dulu, Ang-sicu!!
Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li mengejarnya.
Tek Hoat mengerutkan alisnya,
akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu sambil bertanya, Engkau
mau apa?!
Ang-sicu, tiga hari yang lalu
ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku, ketika aku tiba di
dusun Khun-kwa aku berpapasan dengan seorang gadis yang bertanya-tanya kepada
orang-orang di jalan tentang seorang kakek yang membawa seorang gadis dengan
paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku merasa seperti pernah
melihatnya, maka aku bersembunyi dan mengintai. Ketika aku mendengar gadis itu
menceritakan ciri-ciri gadis yang dibawa dengan paksa oleh kakek itu, aku
teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah gadismu yang dahulu kau
pertahankan mati-matian, yaitu Syanti Dewi.!
Tentu saja Tek Hoat menjadi
tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harapan baru. Dia melangkah dekat dan
bertanya, Mo-li, siapa yarg menculik dia?!
Wanita itu tersenyum lebar dan
memang dia masih manis sekali. Mana aku tahu? Akan tetapi, kalau kau mau pergi
bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat menemukan gadis itu dan dari
dia kita tentu akan dapat tahu siapa yang menculik puterimu itu. Dengan kerja
sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan dengan berhasil, bukan?!
Tek Hoat yang amat
mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, tidak dapat menolak dan berkata
singkat, Baiklah, mari kita pergi!!
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan
berjalan pergi di samping pemuda tampan itu, menoleh dan berkata kepada
muridnya, Engkau bawa anak buahmu menyingkir dan bersembunyi dulu sebelum
mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!!
Maka berangkatlah wanita
cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah tergerak oleh ketampanan dan
kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa menerimanya sebagai teman
seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti Dewi yang lenyap.
***
Biarpun yang mereka tumpangi
hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar
dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang
Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan
orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari ancaman air yang
membanjiri lembah. Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di
situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh
rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak
buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja dengan cara membeli! dari anak buah
Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang
masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh
perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus
perahu-perahu dari Kui-liong-pang.
Tentu saja para tamu yang
tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan
empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama
melarikan diri.
Minggir....!! Seruan yang
keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!
Suma Kian Lee, Liang Wi
Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang
meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini
duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan
tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan karena golok ini di
dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang dan di gagang golok dipasangi
tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.
Melihat betapa balok yang
ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat
menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring
hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-tai jin cepat memeluk gadis itu dan
karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu
terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan
kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang amat
hebat. Air muncrat tinggi dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa,
menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke
air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.
Akan tetapi, air yang muncrat
tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar
di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat
itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas
sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan
tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan,
memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah. Akan tetapi pada saat itu nampak
sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang
yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu
bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana
dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas
sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar
di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia
tadi dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang
mengerikan itu!
Sebelum orang-orangnya
Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur
melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis
berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, tersenyum kepadanya.
Dia mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya
sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya
Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat
menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan
air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.
Ketika Kian Lee melihat bahwa
perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah
barisan pendayung, dia cepat-cepat minggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu
besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apalagi tanpa
sebab-sebab yang patut diributkan.
Yang penting baginya adalah
menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan sekarang mereka telah berhasil
diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini
dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.
Mereka menumpang di atas rakit
sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore,
Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka
lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka
berempat sudah merasa lapar sekali.
Mereka memasuki sebuah warung
yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun
itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan
memesan makanan, tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw,
Kian Lee melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa
tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang
patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya
juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini.
Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya,
Eh, Lopek, apakah yang telah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok
piring pecah-pecah?! Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.
Aihhh, kami mengalami hari
sial kemarin, Kongcu,! kata pelayan itu. Tidak saja barang-barang rusak, akan
tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin, warung kami menjadi sepi karena
tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani
makan di sini dan itulah rejeki kami.!
Eh, apakah yang terjadi?! Kian
Lee makin tertarik.
Kemarin seperti biasa,
orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini,
sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang-orang kasar,
akan tetapi Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan maka kami pun
melayani dengan senang hati. Tiba-tiba masuk pula serombongan tentara yang
jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga
untuk melayani terlalu lama, kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan
terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai
meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya
fihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon
kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata
Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana.!