Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 13 - Seperti Dongeng
Hok-taijin tentu saja tertarik
sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara
dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di
sini.
Tahukah engkau tentara dari propinsi
mana mereka itu?! tanyanya kepada si pelayan.
Mana saya tahu? Tentu saja
tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.!
Apakah fihak tentara itu
kalah?! Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang-orang dari
Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah
orang-orang yang pandai ilmu silat.
Sebetulnya sih masih ramai,
entah fihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton
sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak
yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing-masing. Baiknya
ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang
melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua
senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar
mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata,
lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau
sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua,
padahal dia masih muda dan....!
Siluman Kecil!! Cui Lan
menjerit tanpa disadarinya dan dia bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya
terjatuh ke atas lantai.
Benar....!! kata Liang Wi
Nikouw sambil memandang Cui Lan. Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi
tersipu-sipu, cepat mengambil kembali sepasang sumpitnya membungkuk dan ketika
dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.
Munculnya pendekar itu
menghentikan pertempuran dan para perajurit itu lalu pergi, demikian pula
orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat
betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu.
Sedangkan para perajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii,
itulah mereka!
Mereka datang lagi ke
sini....!! Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam
dan melapor kepada majikannya tentang kedatangan para perajurit yang kemarin
itu.
Dia tidak tahu bahwa empat
orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw
sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur
Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin
oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru
girang.
Ciangkun, ke sinilah!!
teriaknya kepada perwira itu.
Perwira setengah tua itu
terkejut, menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo.
Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut
dan memberi hormat. Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di
sini!! serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa
kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah
Hoktaijin, segera berlutut pula memberi hormat.
Perwira itu dipersilakan duduk
dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk
mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran
Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
Semua pasukan disebar, akan
tetapi tidak juga berhasil,! perwira itu berkata. Siapa tahu, di tempat yang
tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.!
Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh
ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah
payah itu. Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin
ingin naik kereta, ataukah kuda?!
Cui Lan, apakah engkau biasa
menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,! tanya
Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih
tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa
ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu
di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar
matanya yang aneh tapi lembut.
Eh.... saya.... hemmm, saya
pun biasa naik kuda....! jawabnya gagap.
Bagaimana kabarnya dengan
Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?! Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang
kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
Kau boleh menceritakan apa pun
juga kepada Suma-taihiap ini,! katanya. Kalau tidak ada dia dan nona ini dan
nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.!
Perwira itu terkejut dan cepat
memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, Kami
tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan
kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.!
Kian Lee lalu berkata kepada
gubernur itu, Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan
Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka
kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini
termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah
Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak
menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa....!
Pada saat itu, Kian Lee
memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang
kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat,
dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak
senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa
heran sendiri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini,
dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling
berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin!
Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia
untuk mencari Siluman Kecil.
Benar, dan pinni pun harus
kembali,! kata Liang Wi Nikouw.
Suthai....! Cui Lan berkata
akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang sudah tua dan
bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka
dengan tenang dia berkata, Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia
bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?!
Kedua pipi gadis itu menjadi
merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, Terima kasih,
Suthai....
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw
lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti
pandang mata Hok-tai dan Cui Lan.
Suma-taihiap!! Tiba-tiba kakek
itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang
sudah bangkit.
Ada pesan apa yang hendak
disampaikan oleh Taijin?!
Hok-taijin melangkah maju dan
memegang tangan pemuda itu. Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi
kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau
datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat
menyatakan terima kasih kami kepadamu?!
Kian Lee tersenyum. Dia tahu
bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. Baiklah, Taijin. Kelak,
kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti
akan berkunjung kepada Taijin.!
Mereka pun berpisah dan
Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah
penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan.
Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya
dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai
seorang petani.
Pada keesokan harinya, Hok-taijin
dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan
belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda
lari dari arah belakang.
Perwira pengawal memberi
aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda
itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar
itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi.
Cui Lan memandang kagum. Sudah
banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia
menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang
dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah
Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang
ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah
muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama kemudian, kembali
terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga
ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua
kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan
kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang
penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang
laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.
Heiiiii.... Enci Lan....!!!
Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka
pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.
Ah, kiranya engkau, Hong
Bu....!! Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga
orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang
pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim
Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
Sam-wi Twako, kalian baik-baik
saja?! Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada
Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka
menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
Terima kasih, Nona,! jawab Sim
Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan
dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
Eh, kalian hendak ke manakah?
Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada
belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke
depan,! Cui Lan bertanya.
Mendengar ini, Sim Hoat
tertawa girang. Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!!
katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
Sebetulnya ada urusan apakah?!
Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini
termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita
dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut
mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil
berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang
yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali
mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan
oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan
segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.
Kami hendak membantu penolong
kami, Pendekar Siluman Kecil.!
Ehhhhh....?! Cui Lan berseri
wajahnya dan dia maju selangkah. Apa yang terjadi?! tanyanya penuh gairah.
Kami hanya mengetahui urusan
itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin
membantu beliau,! kata Sim Kun. Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami
pun tidak tahu.!
!Ceritakanlah, kami ingin
sekali mendengarnya, bukan Gi-hu?! Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan
sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika
dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu
ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
Menurut kabar angin di antara
kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun
kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh
yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana.
Orang sakti itu tinggal bersama muridmuridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya
juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini
adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang
lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu tecjadi pertandingan antara
Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah
oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi
beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun
dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih
semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk
saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari
perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak
dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk
membantu beliau.!
Setelah selesai bercerita,
cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu,
hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan
itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi
untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak
berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga
orang bersama anak laki-laki itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka,
Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka
menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia
mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.
Selamat tinggal, Enci Cui
Lan!! terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang tadinya menunduk
untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong
Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun
yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh,
lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan
tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, Selamat berpisah sampai jumpa
kembali!! lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka melanjutkan perjalanan
dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, Anakku,
kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?!
Memperoleh kesempatan itu Cui
Lan lalu berkata, Benar sekali, Gi-hu. Gi-hu tentu tahu mengapa orang-orang
kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada
Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya,
dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya saya ingin sekali
menonton, Gi-hu.!
Hok-taijin mengerutkan
alisnya. Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai
kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu
seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir,
kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar
Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.!
Terhibur juga hati Cui Lan
mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit
itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap
ayah angkatnya dan para perajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan
diam saja dan termenung.
Lewat tengah hari, udara panas
sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka
dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu
mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main
makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan
daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan,
Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek
ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika
tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan berjalan-jalan di
sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang
bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat
itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan
ringkas, pakaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan
indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil
bersenandung.
Cui Lan ingin pergi lagi
karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya
itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika
dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu
adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya
dengan kepala terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti
memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!
Cui Lan memandang dengan muka
pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak
jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.
Hi-hik, si Hek-coa (Ular
Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap
dengan aku!!
Cui Lan cepat menoleh dan dia
melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main
cantiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang
luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia
memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit
lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah
melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.
Kau.... bukankah kau gadis
dalam perahu....!
Gadis itu memang Hwee Li
adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. Duduklah di sini, enak,
lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku
melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana
pemuda yang bersamamu di perahu itu?!
Ah, dia sudah pergi....! Cui
Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan
Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan
pertanyaan, Engkau siapakah? Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau
bermain-main dengan seekor ular seperti itu.!
Seekor? Ada dua! Lihat di
atasmu!!
Cui Lan mengangkat mukanya dan
dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung
di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas
kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li tertawa dan dengan
gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular
yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul
dengan temannya.
Namaku Kim Hwee Li. Kau juga
cantik manis, siapa namamu, Enci?!
Namaku Phang Cui Lan.! Cui Lan
merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk
di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah
pohon besar. Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang
diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh
aneh.!
Apa anehnya? Memang aku hanya
sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang
ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana.!
Cui Lan terkejut dan memandang
dengan mata terbelalak. Kaumaksudkan.... keramaian.... pertandingan antara
Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti....?!
Kini Hwee Li yang terkejut.
Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?!
Cui Lan mengangguk. Tentu saja
aku mengenalnya,! dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu.
!Benarkah? Hebat! Namanya
sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah
mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi
kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat,
sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku
merasa iri.!
Terpaksa Cui Lan tersenyum
mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama
bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di
dalam hatinya. Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik
seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan
pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?!
Benarkah? Eh, orang macam apa
sih sebetulnya Siluman Kecil itu?!
Orang macam apa....?! Cui Lan
menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia
menarik napas. orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda,
akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus
mengkilap....!
Hemmm, kau makin menambah
keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil
akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng-jin di puncak bukit itu.!
Sin-siauw Seng-jin? Siapakah
dia?!
Seorang tokoh yang maha sakti.
Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang
berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani
bertaruh potong leher....!
Potong leher?! Cui Lan
terkejut.
Nanti dulu, belum habis. Leher
ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin
dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi
kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan
senang sekali.!
Pucat wajah Cui Lan. Apa....
apa.... maksudmu....?!
Hi-hik, pandang matamu begitu
ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui
Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan
mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan
ularularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.!
Ihhh.... kau.... kau kejam
sekali!! Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua
pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. Kau sungguh kejam,
dan aku.... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu
kalau mereka beralni melakukan hal itu!!
Ehhh....?! Hwee Li memandang
dengan mata terbelalak. Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!!
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan
dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk. Aku memang cinta
padanya....!
Kalau begitu, mengapa tidak
nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan
hatinya!!
Aku bukan kekasihnya, jangan
bicara seperti itu, Hwee Li.!
Ihhh? Bagaimana sih kau ini?
Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?!
Aku cinta padanya, memang,
dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal
itu aku.... aku tidak tahu....!
Hi-hik, jangan khawatir.
Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia
pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.!
Cui Lan menengok ke arah
rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah
bangkit berdiri.
Aku.... aku tidak bisa, di
sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi bersama mereka.!
Huh, betapa tidak enaknya
hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya
terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang
memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah.!
Aku ingin sekali, akan tetapi
mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.!
Siapa bilang? Baru dua puluh
orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk
melawan aku!!
Ah, aku tidak ingin kau
bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.!
Kalau begitu tidak perlu
bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!!
Benarkah? Akan tetapi aku
harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.!
Nah, berpamitlah!! Hwee Li
lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua
lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan
menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui Lan datang bersama
seorang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang
membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia
segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor
ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
Gi-hu, ini adalah Kim Hwee Li,
seorang sahabat.... dan dia.... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian
di bukit. Gi-hu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul
Gi-hu.... setelah selesai nonton....!
Akan tetapi, Cui Lan....!!
Hok-taijin berkata penuh keraguan.
Mari kita pergi, Cui Lan!!
Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke
atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang
pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para perajurit
berada jauh di bawah pohon besar itu!
Pejamkan mata, kita pergi
sekarang,! bisik Hwee Li.
Gi-hu, maafkan, saya pergi
dulu....!!
Cui Lan berseru ke bawah dan
tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia
seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis
yang luar biasa itu. Angin bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar
suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat
memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin
bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia
memejamkan matanya.
Tak lama kemudian dia
mendengar suara Hwee Li, Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita
mendaki bukit itu.!
Cui Lan membuka mata. Kiranya
mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia
menengok ke sana-sini, akan tetapi sama sekali tidak melihat lagi rombongan
gi-hunya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang
berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar
melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.
Cui Lan memandang Hwee Li.
Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang
pendekar sakti.!
Hi-hik, enak juga dipuji orang
seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba
tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andaikata engkau mempelajari ilmu
silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada
aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.!
Akan tetapi tentu saja Cui Lan
menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil
peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan
terheran-heran melihat betapa tempat ini amat sunyi. Bukankah tadi terdapat
banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi
mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia
pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara
rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
Hati-hati, Hwee Li....! bisik
Cui Lan karena gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Kalau
ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan
mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangaa yang lewat.
Hik-hik, jangan khawatir, Cui
Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang
matanya daripada seekor anjlng.! Baru saja Hwee Li berkata demikian, seekor di
antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping,
memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li.
Tampak ilalang di sebelah itu bergerk-gerak keras dan terdengar suara menguik.
Tak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar
telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.
Hik-hik, mengagetkan saja kau.
Hayo lepas!! Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan
bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan bergidik ngeri.
Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi seorang manusia?! blsiknya.
Ularku tahu dengan nalurinya.
Kalau manusia itu berniat busuk, tentu digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan
saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang
itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak mau sembarangan membunuh
orang tanpa perintahku.!
Hari telah menjadi gelap
ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik
bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan
Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara
batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan
megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa
dan bahkan tidak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu
adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
Agaknya kosong....! Cui Lan
berkata.
Sssttttt.... mari kita
mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau tidak boleh mengeluarkan
suara, tidak boleh berisik, Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, jantungnya
berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan
ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu membayangkan bahwa mereka
berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.
Mereka merangkak dan setelah
dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari
tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno
itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu
indah sekali dan tentu amat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu
menyeramkan.
Malam makin larut dan Cui Lan
mulai menggigil kedinginan. Telan ini....! Hwee Li berbisik dan menyerahkan
sebutir pil kuning. Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak
lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali seolah-olah dia baru saja minum
beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan
dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar
bulan.
Tiba-tiba mereka menyelinap
karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap
sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan.
Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh sekali, dari arah
depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, Locianpwe, saya
datang memenuhi perjanjlan kita lima tahun yang lalu!! Suara itu biarpun halus
namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih
terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.
Terdengar suara orang berdehem
di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau,
Silakan masuk!!
Cui Lan terkejut dan terheran
bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan,
tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa
tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri
seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan
kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang
ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan
suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.
Sssttttt....!! Tiba-tiba Hwee
Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan. Cui Lan membelalakkan
matanya untuk dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik
putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu makin membesar.
Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat
cepatnya, seolah-olah orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua
kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali
dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek
yang memegang tongkat.
Hwee Li mengerahkan kekuatan
pandang matanya, memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai
seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil.
Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya tampan, rambutnya dibiarkan terurai
dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap
seperti perak tertimpa sinat keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana
dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek bertongkat itu sejenak
memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang telah
ditunggu-tunggu, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia
mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh
tangan yang tidak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah
hendak memasuki pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari
depan gedung.
Anakku....!!
Seorang nikouw tua melompat ke
luar dari balik sebuah batu besar dan biarpun jarak antara batu dan depan
gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah
berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.
lbu....!! Siluman Kecil
menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan Hwee Li saling
pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran
melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu
adalah putera seorang nikouw tua!
Ibu, mengapa menyusulku?!
tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
Hemmm, aku mana bisa tega
membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan
terjadi!!
Siluman Kecil membalik dan
memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya
diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan.
Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat
dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.
Diakah....?! Hwee Li berbisik.
Cui Lan mengangguk, dadanya
bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara itu, orang muda
berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di
ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut,
jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar
dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya
penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang
laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah
murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat
ini menjatuhkan diri berlutut.
Suhu, dia datang memenuhi
janji!! katanya.
Siluman Kecil juga menjura dengan
hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa
bergerak atau bicara. Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak
memperlihatkan kebodohan saya,! katanya dengan sikap merendah.
Kakek itu tersenyum, akan
tetapi alisnya yang putih itu berkerut. Orang muda, kami telah mendengar bahwa
selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan
telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa
girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu.
Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini
ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu
dengan perbuatan itu?!
Siluman Kecil mengangkat muka
memandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang. Locianpwe, menyalahi
janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah
Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?!
Kakek itu menggerakkan tangan
seperti mencela. Ahhh, kalau muncul dengan terang-terangan masih tidak apa.
Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?!
Ohhh....! Maksud Locianpwe
mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Sungguh, saya tidak
mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang
sengaja menyambut dan mengawasi saya!!
Hemmm, sungguh aneh. Mari kita
suruh mereka keluar.! Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan
Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid
kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.
Kini mereka berdiri di luar
gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang
dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia
khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat
nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton
dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.
Akan tetapi, dia merasa heran
karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan,
melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan
kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring,
Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan
diril!
Mendengar suara Siluman Kecil
ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang
memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu
Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti.
Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai
tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang
pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera
dia menegur, Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang
ke sini?!
Semua orang itu menjura dengan
hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab, Kami
mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh,
maka kami sengaja datang hendak membantu.!
Mendengar jawaban yang terus
terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar.
Aku tidak menghendaki bantuan
dari siapapun!! Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu
kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan
berkata halus.
Cu-wi telah datang, boleh saja
menyaksikan pertandingan.! Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan
berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin,
Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!!
Kini bermunculanlah dua puluh
lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecli. Pendekar ini merasa heran
dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua
orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar
kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan
penuh wibawa, Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari
Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!!
Semua orang menjadi terkejut,
termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si
Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu.
Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa
heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di
tempat itu.
Ketua Bu-tong-pai dan ketua
Kunlun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai
mengelus jenggotnya dan berkata, Harap Seng-jin maafkan atas kehadiran kami
tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu aseli
dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun
yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah
melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.!
Mendengar ucapan ini, kakek
pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang
kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka
majulah dia dan dengan suara halus namun bernada menantang dia berkata, Apakah
Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju,
tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan
kepada Cu-wi.!
Dua orang ketua itu adalah
orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka
memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi
mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin
sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat
menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh
kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu
saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai memberi isyarat kepada
sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini
adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri.
Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki
kepandaian yang tinggi.
Dengan langkah tenang, Kim
Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum
menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura. Silakan!!
Kakek itu juga memandang
dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia
bertanya, Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?!
Pintu Kim Thian Cu, tosu yang
bodoh dari Bu-tong-pai,! kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu lalu menancapkan
tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. Kim Thian
Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai
dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan
ilmu tangan kosong dari Suhu.!
Kim Thian Cu sebagai seorang
tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali
pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia
tidak bersikap sungkan lagi. Pinto mulai, sambutlah!! Dan begitu dia bergerak,
Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya
dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya
membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan
sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu
Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang kesemuanya ada seratus
dua puluh jurus. Biarpun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau
tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari
ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling
ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan
kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah
menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang
mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti
kilat menyambar.
Bagus....!! Kakek yang tinggi
kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis
dua serangan itu.
Dukkk!.... Dukkkkk!! Dua
pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau
murid Sin-siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu
terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil
ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu menjadi
penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia
mengandalkan ginkangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia
menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan
seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat
tangan yang gerakannya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk!
Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah
menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat
ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah
hebatnya!
Giok Thian Cu mengerutkan
alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mampu menang. Sayang bahwa sutenya
belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga
untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya. Akan
tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh
perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat
tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadangkadang
seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu
dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja!
Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas,
juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat seperti dugaan ketua
Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke
belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua
pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke
depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua
lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, Pinto mengaku
kalah.!
Hebat.... hebat....!! Giok
Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. Sungguh
hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling
Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa
tadi....!
Kakek itu tersenyum dan balas
menjura. Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid
pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmuilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak
menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu.!
Giok Thian Cu
mengangguk-angguk. Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan
diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah
ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai
kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute
Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji
kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah
Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?!
Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang
dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada
dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw Lo-jin membalas
penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya.
Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu menyambut penghormatan
Totiang.!
Giok Thian Cu sekali lagi
menghormat, kemudian berseru halus, Lihat pedang!! dan nampak sinar hijau
berkelebat menyambar ke arah lawan.
Bagus!! Sekali lagi kakek itu
berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan,
menyambut sinar hijau itu.
Tranggg....!! Kedua fihak
merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga
sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak
bersikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang
paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong
Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang
indah sekali.
Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin
yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara
melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah gulungan sinar perak yang
amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi
sinar perak, juga dari suling perak itu terdengar suara mengaung yang aneh dan
menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan
coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan
mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
Hebat....! Liang Sim Tosu,
ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepala saking kagumnya.
Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling
Emas....!
Memang hebat sekali gerakan
Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu , kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu
telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di
tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan,
Siancai....!! dan kedua gulungan sinar itu berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah
menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak
pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan
suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan
baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
Sungguh hebat, pinto mengaku
kalah.!
Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok
Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi
harus dlakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar
biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh.!
Liang Sim Tosu sudah melangkah
maju dan mepgeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang
dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw Lo-jin masih
memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab,
Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.!
Liang Sim Tosu cepat
menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang
kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke
bumi, kemudian dia berkata, Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!! Tiba-tiba
nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan makin lama makin cepat sehingga
kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit,
kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah
kakek yang memegang suling perak.
Bukan main....!! Gin-siauw
Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak
sinar berkilauan menangkis.
Cring-tranggg....!
Kini Gin-siauw Lo-jin yang
terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus namun
luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya,
kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang
bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im
lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya dua
buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan
akan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua
poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh
jalan darah terpenting di tubuh lawan.
Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa
dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat
dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling
Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biarpun
ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan
mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya
tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar
perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan itu amat cepat
dan seru, membuat mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia
mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak,
tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri.
Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.
Ahhhhh....!! Gin-siauw Lo-jin
berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Biarpun ilmu
Hongin Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena
memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan
terhuyung.
Gin-siauw, mundurlah karena
engkau sudah kalah.! Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat
meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu.
Saya mengaku kalah.!
Liang Sim Tosu tersenyum
lebar. Bukan main.... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga,
akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.!