Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 14 - Pemuda Bule
Kini Sin-siauw Seng-jin
melangkah maju. Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang
Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi
betapapun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hongin Bun-hoat yang telah
dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba
suling kami!! Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua
renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata
memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali
dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal
itu!
Wah-wah-wah.... kalau aku bisa
mendapatkan suling itu....! terdengar Hwee Li berbisik.
Hemmm, kau begitu murka
menginginkan emas?! Cui Lan mencela.
Aihhh, kau mana tahu....!
Mereka menghentikan
bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan
poan-koan-pit di tangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah
kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang
poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke manapun sepasang sinar hitam putih itu
menyambar!
Sekarang jagalah, Totiang!!
Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas
sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan
gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara
trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum
sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang
poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai
cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura
penuh hormat. Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan
main dan pinto mengaku kalah.!
Kakek itu tersenyum. Pukulan
tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat
(Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aselinya, yaitu Lo-hai
San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling
adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).!
Semua orang memandang kagum
sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, Biarpun kami mengakui
bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti
Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai
seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa
kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu.! Semua orang
makin kagum mendengar ini.
Locianpwe, saya sudah
menunggu!! Tiba-tiba terdengar suara bening melengking nyaring dan ternyata
suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu
dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela
napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan
kakek itu berkata, Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan
seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami
melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau
seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan
dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah slap,
majulah!!
Pemuda berambut putih itu
memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di
depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan
gerakannya dan berkata, Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau
Locianpwe mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya
pun tidak akan mendesak.!
Hemmmm, orang muda. Puluhan
tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap,
majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan
antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil.!
Locianpwe mengerti bahwa saya
hanya mempertahankan kebenaran!! kata Siluman Kecil sambil menggerakkan
rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. Nah, maafkan aku!!
Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu
berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti
gerakannya dengan pandang mata dan tahu-tahu kakek itu sudah menggerakkan
suling emasnya menanggkis.
Tringgggg....!!
Kini semua orang melihat
betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan,
mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang
memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu
lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas. Memang hebat sekali kakek itu.
Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas
beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang
mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu
mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar
main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang
Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata,
maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini
saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum menguasai ilmu itu
secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu makin lama
makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang
luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu
harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu
seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat
penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus
berlangsung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton
pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, terpaksa memejamkan mata. Hanya
orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk
Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking
tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena
gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara
melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh
terjungkal dan pingsan. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di
tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa
hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu
roboh pingsan pula. Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti
oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin
berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke
belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat napasnya agak terengah ketika dia
memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa
saja.
!Aku mengaku kalah....
sekali.... ini....!
Kalau begitu Locianpwe harus
mengembalikan....!
Tidak! Menurut perjanjian,
kalau kami kalah, kami murid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi,
kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu
setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan
mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah
sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah,
selamat tinggal!! Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan,
dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lojin
yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tidak ada orang yang
berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka
dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan
dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Pula, memang
kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali
dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir,
pertandingan sampai mati!
In-kong (Tuan Penolong)....!!
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari
menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya
melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah
lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua
lengan di bentangkan seperti, orang hendak memeluk! Seorang gadis lain yang
berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan
ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara
mengandung teguran, Ah, kau juga di sini, Nona?! Melihat sikap Siluman Kecil itu
Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang
penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah
pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah
memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah
sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, In-kong....
saya....!
Akan tetapi, dengan dahi
berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya,
malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan
penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung
itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali
meluncur ke arah kakinya.
Hemmm....!! Siluman Kecil
mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu. Akan
tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke
arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak
jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang
lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
Ahhhhh....!! Siluman Kecil
menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya
lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
Brettt....!!
Siluman Kecil melangkah ke
belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan
bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda
panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan
lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang
memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar
kembali ke lengannya.
Laki-laki tak berperasaan!!
Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata
berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang.
Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu
gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka
berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan
sikap tenahg, Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku
melihat ada orang di dalamnya.!
Nikouw tua itu mengangguk,
lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat, didorongnya terbuka dengan
mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil
kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena
ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa
terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. Nona, aku seperti pernah
melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?!
Hwee Li mencibirkan bibirnya.
Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kaukenal baik adalah Cui Lan, akan
tetapi kenapa matamu memandang orang lain?!
Eh, bocah sombong! Engkau
sungguh kurang ajar sekali!! teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang
pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh
gadis ini, tentu saja hatinya, menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan
dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnye dengan golok yang
telah dicabutnya.
Huh, orang kasar!! Hwee Li
mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah
turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak
melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara
teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa
mempedulikan lagi gadis pekaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang
Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan
Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung
itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari
awut-awutan.
Nikouw tua itu telah tertawan
oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu
mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang
yang ditempelkan di lehernya.
Berhenti semua! Jangan
mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi,
kau datang terlambat, Siluman Kecil!! Gadis cantik itu memandang kepada Siluman
Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian
dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun
juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan
Kuiliong-pang mewakili gurunya, yaitu Heksin Touw-ong si Raja Maling dari
perbatasan!
Siancai.... di tempat begini
ada maling!! Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan
tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan
keselamatan nikouw tua itu.
Kau lepaskan dia....!! Siluman
Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak
deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu
bibirnya dengan cepat Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku
melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku
pergi membawa kitab-kitab ini!! Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang
agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
Maling hina yang curang!!
Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil,
tentu dia sudah menerjang gadis itu.
Totiang adalah ketua
Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang
berkedudukan tinggi?! Nona berpakaian serba merah itu mengejek. Siluman Kecil,
bagaimana?!
Baiklah, kau boleh pergi
membawa barang-barang yang kaucuri itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!!
ucapannya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan.
Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan
menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!!
Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan
dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu
meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam kegelapan
malam.
Aku akan segera ke sana!!
Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda
kecil menyambar ke luar jendela.
!Ihhhhh....!! Terdengar gadis
itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda
itu adalah sebuah kancing baju putih yang tahu tahu telah menyusup ke dalam
rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah
menggeletak tanpa nyawa! Siluman Kecil, akudan Suhu menantimu di sana!!
Keadaan lalu sunyi kembali dan
Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di
luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li
mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor
dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, Jangan
bunuh orang.... jangan lukai orang....!!
Melihat ini, Siluman Kecil
melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang
putih itu berkelebat.
Aihhh....!! Hwee Li menahan
jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat
hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil
kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini
semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.
Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya
untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah
menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang,
kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah
menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar Hwee Li
Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam.
Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam.
Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan
tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua
sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan
mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw
tua yang berdiri di situ, Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku
pergi!! Begitu dia berkata pergi, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih
meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa
banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi
hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat
mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir
di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil
pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti
tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa
dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya
itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa
sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil
adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat
memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya.
Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti
kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan
tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah
angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan. Ayah bundanya mudah tiada, tidak ada
sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, kiranya sama
sekali tidak mempedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras
mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah
pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang
sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya
mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang
terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada
Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia
lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan
barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang
tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
Anak yang baik, marilah engkau
ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa
pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku
muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.!
Ucapan ini seperti membuka
bendungan di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan
dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah
mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super
Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya
Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka
peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa
senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang
terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai
untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya
menjadi suaminya. Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas
yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mujijat seperti
Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat
dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke
Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga
menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti. Jadi, baik suling emas yang
terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang terjatuh ke
tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si
Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini
tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?
Hal ini, akan diceritakan
kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di
dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau
diceritakan.
Bayangan putih yang seperti
terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu
Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di
sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih
bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput
itu seperti laut kehijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi
lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau karena
pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sennaja tidak mau memperhatikan dan
bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat
terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu.
Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan
telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa
suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia
tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di
dunia ini! Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas
cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah
mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang
mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan
tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu
tidak membalas perasaan hatinya. Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana,
bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu,
bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia
tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang
hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan
hatinya.
Ihhhh....! Kau lagi....?!
Bentakan marah ini mengejutkan
dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian
serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!
Hemmm....! Dia hanya
menggumam.
Hemmm apa? Kau laki-laki tak
berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak
mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!! Dara sudah
mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara
ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman Kecil mengerutkan
dahinya dan memandang tajam. Bocah lancang mulut, apa yang kau maksudkan itu?!
Huh, mentang-mentang rambutmu
sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kaukira aku tidak
tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?!
Siluman Kecil merasa kewalahan
juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. Yaaah,
terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?!
Maksudnya? Maksudnya sudah
jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lann
kautinggalkan begitu saja, tidak tahu kahwa hatinya seperti disayat-sayat
rasanya. Engkau, setelah kaujatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan
kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kausia-siakan begitu saja. Lebih celaka
lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau
pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?!
Siluman Kecil beberapa kali
membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang
manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia
kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan
dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali
tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah
dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara
yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang
Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.
Aku tidak mengejarmu, Nona.!
Akhirnya dia berkata singkat.
Dusta kau!! Dan tiba-tiba
gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat
mengelak ke sana ke mari sambil berkata, Aku tidak ingin berkelahi!! Akan
tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan
pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman
Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk
menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi
hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar
itu.
Lari ke mana kau?! Hwee Li
membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di
balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.
Hwee Li, jangan kurang ajar.
Kembalilah!!
Eh, Subo....!! Gadis
berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman Kecil cepat lari akan
tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis
itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat
wajah itu.
Akan tetapi dia tidak ingin
bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih
hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan
apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan
tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di
atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid
itu penuh kekaguman.
Fajar telah menyingsing ketika
Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi
Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak
orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak
memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga.
Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka,
karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga
terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar
wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita
muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh
selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua
gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak,
akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu
berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan
wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup
cantik dan membayangkan kegagahan.
Ketika pintu gerbang dibuka
tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah
warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup
dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya
seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam
dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah
tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan
suara lantang.
Lo-ciang, kenapa engkau tidak
ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak
menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi
sahabatmu tentu takkan kaulupakan, ha-ha!!
Enak saja kau bicara, A-seng!
Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal
gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka
tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar
menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian
seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!!
Siluman Kecil memutar duduknya
membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh
yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga
orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan
mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil
melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di
pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun
anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap
hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu mengambil tempat duduk,
tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil
pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan
Siluman Kecil, Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu
ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas
namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!!
Tiga orang laki-laki muda itu
menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah
wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, Kouwnio, banyak terima kasih atas
kebaikanmu!! Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan
tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.
Akan tetapi Siluman Kecil
tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, Harap Twanio
tidak perlu repot, saya hanya makan bubar dan air teh, dan akan saya bayar
sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.!
Ah, tidak mengapa, sobat. Hari
ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar
makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,! kata wanita itu dengan sikap
gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga
bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung
lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah
dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi
memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika
hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha
sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya. Wanita itu sendiri pun tidak
memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang
mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan
rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau
membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya
ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman Kecil cepat
menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada
seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang
berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau
sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.
Sumoi....!! Pemuda asing itu
berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
Ah, Suheng, kau baru datang?!
Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.
Lima orang pengiring wanita
itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu
duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda
asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, Sumoi, dia kulihat di luar
dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian.!
Wanita muda itu kelihatan
terkejut, akan tetapi lalu berkata, Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia
datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga
kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya
usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang
kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.! Dia bangkit berdiri dan menghadap
ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
Cu-wi, ini Suheng saya, dan
Cu-wi bertiga adalah....! Wanita itu memperkenalkan.
Saya Ma Kok Ciang!!
Saya Kam Seng!!
Saya Kam Tiong!!
Tiga orang pemuda itu
memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan
hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.
Sobat, Suhengku ingin
berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?! Wanita baju
hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini menundukkan muka,
membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan
dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang,
maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan
cepat pergi dari situ, pikitnya.
Namaku....? Hemmm, panggil
saja aku Siluman Kecil,! jawabnya pendek.
Ughhh-ukkkhhhhh!! Seorang di
antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu
menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak
menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya.
Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata
terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu
masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu
sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda
yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan
di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan
dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu
adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu
saja.
Siluman Kecil sendiri setelah
memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat
itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang
pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung
menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. Celaka, rombongan pembunuh
dari perkampungan nelayan itu datang!!
Pemilik warung menjadi pucat
mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil
tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak
di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang
pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua
menengok ke arah pintu warung.
Dengan menimbulkan suara
hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar,
dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang
hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling
sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang
matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan
kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang
bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik
warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia
telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya
seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
Haaai! Pemilik warung, sudah
berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada
kami, ya?! kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara
menggertak.
Pemilik warung itu menelan
ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum
dapat menjawab, Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan....
saya tidak lagi menangkap ikan....!
Bohong!! Si Muka Hitam
menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin
ketakutan. Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai?
Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu
mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kausuruh bawa ke
sini, hanya yang kecil-kecil saja kausuruh menjual. kepada kami. Berani kau
menyangkal?!
Gemetar seluruh tubuh pemilik
Warung itu. Tak disangkanya bahwa Boan-wangwe, raja! kaum nelayan itu demikian
cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. Maaf.... ampunkan saya....
saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya....!
Ha-ha-ha!! Kini Boan-wangwe,
hartawan itu, tertawa. Sudahlah! Sekarang kau keluarkan hidangan dari ikan-ikan
yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan
kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi
semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.!
Heiii, pelayan! Tambah
araknya!! Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama
aekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang warung itu
tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan
berkata gugup, Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja
warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman
tadi....!
Hemmm, apa artinya ini?!
Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
Maaf, Siauw-ya.... warung
ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima
tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan....!
Tidak peduli yang memborong
itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan
atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!!
Pemuda asing itu membentak marah. Hayo tambah lagi araknya!!
!Ba.... baik....! Pemilik
warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur
dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa
yang harus dilakukannya.
Sementara itu, Si Muka Hitam
pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambli
memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung,
akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya
masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe sendiri, kakek
berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku
di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya
dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang
seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah
kakek ini? Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang
bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang
hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua
nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nelayan untuk menjual
hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia
mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di
sepanjang Sungai Huangho. Hartawan she Boan ini dikenal sebagai raja! kaum
nelayan, dan dia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya
dan berani mengeduk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga
memiliki iimu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk
mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi
seorang di antara para tamu kehormatan.
Orang bule! Agaknya engkau
sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman-temanmu merangkak keluar kalau
tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!! bentak Si Muka Hitam.
Akan tetapi pemuda asing itu
bersama sumoinya masih enak-enak menggunakan sumpit lengan tangan kanan untuk
menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan
tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu
menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, Hendak kulihat siapa yang akan mampu
menyeret aku keluar!!
Keparat!! Si Muka Hitam
membentak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan
dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia
marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia
menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke
arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan membuat yang
diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.
Plak-plakkk.... aughhh....! Si
Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata
dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda
asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan
lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja hal ini membuat
semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka
bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda
ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah
tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya
memandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melanjutkan makan
hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan
kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut
para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh
tumpang tindih!
Boan-wangwe yang melihat
keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung
huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat
anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata
mereka.
Lima orang pengiring wanita
baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan
tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran,
akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali
sambil memandang pemuda asing yang menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya.
Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal,
lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya. Kalian sungguh
manusia-manusia yang menjemukan!! katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan
kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada.
Suheng, jangan....!! Wanita
baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi kedua tangan
pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biarpun dia
mendengar seruan mencegah dari sumoinya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap
saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih
itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka
berkeretakan berbunyi saling beradu, mulut mereka mengeluarkan suara
hu-hu-hu-huuu....! dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk
tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman Kecil merasa terkejut
bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua
puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju
menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari
Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia
bangkit berdiri.
Huh!! Pemuda asing itu
mendengus. Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian
telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.
Boan-wangwe kini mengeluarkan
semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung
huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan
panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau,
juga merupakan senjata yapg aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan
keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam
mulutnya! Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe
menggerakkan kakinya dan tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki
gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya
yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwgnya
yang panjang!
Wuuuttttt.... singgggg....!!
Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum
bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat.
Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya,
kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
Tranggggg!.... Cringgggg....!!
Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampak api berhamburan, keduanya menarik
senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata
mereka tidak rusak biarpun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak
tangan mereka.
Para anak buah Boan-wangwe
kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut
ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton
pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.
Siluman Kecil juga menonton
dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda
yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip
Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biarpun
Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun
kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.
Hyaaaaattttt....!! Tiba-tiba
pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di
angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan
huncwenya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang,
namun tetap saja dia masih kalah cepat.
Brettttt....!! Untung dia
masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan
bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya
berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke
mulutnya.
Awas, Suheng....!! Wanita baju
hijau itu berseru dan pemuda asing itu sudah waspada. Dari ujung huncwe itu
menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat
benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan
pedangnya dia menangkis.
Tringgg.... tarrrrr-tarrrrr!!
Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing
itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum
lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu
meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
!Suheng....!! Wanita baju
hijau itu berteriak dan dengan marah dia meloncat ke arah Boan-wangwe,
gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat
hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat.
Akan tetapi Boan-wangwe sudah
cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur
cepat.
Tranggggg....!! Kembali nampak
bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwenya karena
wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat
daripada suhengnya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut
pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe maklum bahwa kalau
dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan
wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke
belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan.
Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu menyemburkan banyak
sekali peluru-peluru kecil. Wanita baju hijau terpaksa menangkis, demikian pula
lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu
menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah
mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak
sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena
serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar
dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
Ha-ha-ha, baru kalian tahu
rasa!! Boan-wangwe tertawa bergelak. Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan
Kwi, ha-ha!! Sekarang pergilah kalian ke neraka!! Dengan iringan suara ketawa
anak buahnya yang baru sekarang berani berdirl dengan tubuh masih ada yang
menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwenya,
hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil
mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya
mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka
sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi
jarum-jarum halus itu!
Ketika Boan-wangwe sudah
mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan,
tibatiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi
ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa
pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat
tangan kirinya menangkis.
Plakkk....! Nyesssss....!!
Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat
nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang
yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga
dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang,
benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah
dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian
atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan.
Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur
dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan
hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya
rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
Celaka....!! serunya dan dia
cepat menoleh ke kiri. Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih
dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah pucat,
jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di
dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya
meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini
muda!
Siapapun adanya orang ini,
jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan
sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia
meloncat ke belakang dan menggunakan huncwenya sebagai sumpitan. Siluman Kecil
sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan
berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat,
sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya
peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum
halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi
karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.
Maka begitu ada suara
bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya
dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar
biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan,
dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor
burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke
belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat
melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah
seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena
tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini
karena memantul kembali.
Pertunjukkan ginkang yang
diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali.
Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sanasini, jungkir balik,
melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan
menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut,
berbalik kembali ke atas, selalu meluncur diantara hujan peluru kecil itu.
Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di
atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu
menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian,
terus mengelak.
Warung itu menjadi sasaran
ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini
semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena
jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!
Pada saat itu muncul seorang
laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia tiba di
ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak. Hebat!! serunya
ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. Ah....!! Dia
berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan
menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di
lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
Tahan....!! Laki-laki ini
berseru, suara melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir
menelungkup, dan tiba-tiba badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan
bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti
seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya,
semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian
dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung
lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan
menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah
peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe terkejut bukan
main. Pelurunya habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi
lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang
disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin
bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang
kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu
sama sekali!
Laki-laki tampan dan gagah
perkasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan kirinya buntung, maka
lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya, justeru lengan baju yang
kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah merupakan ekor naga yang hidup
dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu. Dengan sikap tenang, orang itu
menggunakan tangan kanannya mengambil peluru-peluru kecil yang tergantung oleh
lengan baju kirinya, memberikannya kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan
suara penuh teguran, Terimalah kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan
begltu kejam lagi untuk menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di
tempat umum. Lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus
mengobati mereka.!
Boan-wangwe menerima
peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan
orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman
Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suhengnya yang
masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja
menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia
tidak mampu mengobati mereka.
Melihat kekejaman orang yang
menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah Siluman Kecil dan dia
menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram. Akan tetapi pandang
matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti mata naga, yaitu mata
laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya kelihatan terkejut sekali,
karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata yang amat tajam berkilat dari
mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata ini saja keduanya maklum
bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat, karena hanya mata
orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat sajalah yang
mengeluarkan sinar seperti itu.