Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 19 - Pinjam Burung??
Adakah yang lebih gila
daripada manusia?!
Hwee Li bersorak. Bagus,
bagus! Nah, syair itu menggambarkan keadaan dirimu sendiri, hi-hik! Sudah
kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman Gila yang kecil!!
Kian Bu yang belum pulih semua
kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang ternyata pandai sekali
berdebat ini. Nona, kau tadi datang-datang membentak sampai aku kaget, lalu
tiada hujan tiada angin kau memaki aku pengecut, cengeng, rendah dan gila yang
akan membunuh diri. Sikapmu itulah yang membuat aku mengira engkau berotak
miring.!
!Habis, mau apa engkau
melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh diri?
Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah, itu pun
merupakan tanda-tanda bahwa engkau gil....!
Sudahlah, jangan engkau
mengobral makian. Sungguh tidak pantas maki-makian keluar dari mulut yang
begitu indah.!
Sepasang mata itu terbelalak,
lalu dia mengangguk-angguk. Hemmm, sekarang baru aku mengerti mengapa Cui Lan
jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang laki-laki yang selain
berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh, juga pandai merayu!!
Kian Bu bengong. Aku? Merayu?!
Menyangkal lagi! Baru saja kau
bilang mulutku indah....!
Kalau memang benar mulutmu
indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk bibirmu amat indah,
kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet rata dan putih
berkilau, dan lesung pipit di kanan kiri mulutmu mengintai. Benar indah
mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek? Aku tidak merayu,
hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?! Kian Bu mulai menemukan kembali
kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari
jawaban yang tepat. Akan tetapi sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana
yang tidak suka akan pujian? Dan pujian dari Siluman Kecil itu begitu wajar dan
terbuka, begitu langsung dan jelas bukan pujian kosong! Tanpa disadarinya,
warna kemerahan menjalar di kedua pipi yang halus putih itu.
Sudahlah!! katanya gemas
karena tidak berdaya untuk menangkis. Ketahuilah, Siluman Kecil, hatiku masih
penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui Lan!!
Hemmm, mengapa tidak
kaulupakan saja dia?!
Huh, pantas! Apa kau tidak
peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi pekertinya itu jatuh cinta
kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol mengapa seorang gadis
seperti dia bisa tergila-gila kepada seorang sepertimu ini. Dia tergila-gila
kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan kau bersikap tidak
peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau sebenarnya adalah
seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat kesengsaraan yang diderita
seorang wanita?!
Melihat dara itu hendak
nerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat mengangkat
tangan ke atas. Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti, Nona. Aku
memang pernah menolong Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku, hal ini aku
mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau ada seorang gadis jatuh cinta
kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau sungguh tidak
mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah maka aku
sengaja bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu kusengaja!!
Sepasang mata yang bening itu
melotot. Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan menyatakan rasa kasihan
itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris terakhir dari syair
gilamu itu: Adakah yang lebih gila daripada itu?!
Engkau seperti anak kecil
saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu tentang seluk-beluk
cinta.!
Makin meradang hati Hwee Li.
Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah, Guru Besar, berilah kuliah
kepada hamba tentang cinta karena Guru Besar tentu merupakan seorang yang
berpengalaman dan ahli tentang cinta!! Hwee Li menjura dengan sikap mengejek.
Akan tetapi Kian Bu tidak
mempedulikan sikap ini. Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia
membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal,
dan kurasa penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku
berubah menjadi benci. Dengan demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan
itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!! Kian Bu bicara penuh semangat dan
Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya mulai berseri
dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang
membayang di dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.
Ohhh.... begitukah? Kenapa kau
tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa cinta gagal menimbulkan
penderitaan hebat!!
Karena aku sendiri.... ah,
sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang menghadapi
kepentingan yang amat besar di sini dan kedatanganmu hanya mengganggu terlaksananya
kepentingan besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama menunda urusanku.!
Akan tetapi gadis itu tentu
bukan Hwee Li kalau dapat digebah! sedemikian mudahnya. Dia adalah seorang dara
yang keras kepala, lebih keras daripada baja sehingga dia tidak akan mudah saja
disuruh pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk pergi!
Eh, apakah tempat ini milikmu
maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku tidak mau pergi, kau
mau apa?! tantangnya.
Siluman Kecil melirik dan
menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu hanya akan
berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi. Terserah
kepadamu, akan tetapi jangan ganggu aku dengan bicaramu lagi.! Setelah itu, dia
lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil mengasah otaknya, mencari
jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.
Setiap orang manusia tentu
mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li tidak terkecuali. Melihat pemuda itu
longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tidak dapat menahan lagi hasrat ingin
tahunya dan dia pun lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula ikut
longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah hendak mencari sesuatu
yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu.
Kian Bu sudah tenggelam dalam
renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli, bahkan hampir tidak sadar
bahwa tak jauh dari situ ada seorang gadis yang juga longak-longok seperti dia
menjenguk ke bawah tebing. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menggeleng
kepala, dan seperti dalam mimpi dia melihat Hwee Li juga menjenguk ke bawah
tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya. Mereka saling bertemu
pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis, Sudah ketemu?!
Secara otomatis pula Kian Bu
menggeleng kepala sambil menjawab, Belum....! baru dia terkejut dan sadar, maka
sambungnya dengan bentakan. Ketemu apanya?!
Tentu barang yang kaucari-cari
itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh ke bawah tebing ini,
bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Ku rasa tidak mungkin dapat kelihatan
dari sini buntalan itu dan....!
Buntalan hidungmu!! Kian Bu
membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda terus-terusan.
Hwee Li meloncat berdiri dan
kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir bertemu jari-jari kedua tangannya di
sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang gadis ini. Mukanya merah dan
matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
Sombong, benar! Engkau berani
menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut mencari-cari, engkau
malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan kita selesaikan
penghinaan ini di ujung kedua kaki tangan!!
Kian Bu menarik napas panjang.
Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong belaka. Aku tidak mencari
buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku sedang mencari akal bagaimana
aku dapat turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona manis, sudah puaskah engkau
sekarang dan sudikah engkau meninggalkan aku untuk melanjutkan usahaku ini?!
Hwee Li kembali menjenguk ke
bawah tebing, lalu mendengus. Huh, disebut gila tidak mau akan tetapi mau turun
ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke sana?!
Dengan setengah hati Kian Bu
terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat pergi setelah rasa
penasarannya dipenuhi, Aku hendak mencari obat untuk kakakku yang terluka
parah, dan obatnya hanya terdapat di dasar tebing itu. Nah, sudah cukupkah
penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku sekarang.!
Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan
Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam hatinya melihat dara itu
tertawa. Di satu fihak, ingin dia menempiling perawan ini, di lain fihak dia
kagum melihat wajah itu ketika tertawa. Bukan main indah dan cantiknya ketika
tertawa, seperti matahari di senjakala! Cerah namun tidak menyengat! Karena
tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia bertanya, Kenapa
kau tertawa?!
Karena sekarang engkau harus
bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin dapat turun ke dasar
tebing sana.!
!Hemmm, apa maksudmu?!
Karena, biarpun engkau
berjuluk Siluman Kecil, biarpun engkau memiliki kepandaian amat tinggi sehingga
engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, namun engkau tidak akan mungkin
turun ke dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh diri. Karena, hanya
aku seoranglah yang dapat menolongmu turun ke sana dengan selamat.!
Jangan main-main, Nona!!
Siapa main-main? Aku berani
bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan selamat sampai di bawah
tebing sana.!
Kian Bu mengerutkan alisnya.
Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat penting dan aku tahu bahwa
engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sedikit banyak aku telah
mengukur kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau tidak mungkin dapat
menggunakan kepandaianmu itu untuk menuruni tebing ini.!
Tentu saja! Siapapun tidak
mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang, betapa akan
mudahnya!!
Terbang? Jangan biiang bahwa
kau pandai terbang....!
Aku sih bukan kupu-kupu yang
mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!!
Kian Bu terbelalak. Kau....
kau mempunyai burung garuda?!
Tentu saja, kalau tidak, perlu
apa aku banyak bicara kepadamu?! Gadis itu lalu bangkit berdiri, menaruh kedua
tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah bunyi lengking aneh seperti
suara burung dari mulut yang dilindungi dua tangan itu. Kian Bu terkejut.
Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti rajawali atau
garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring itu dan
tiba-tiba dia menuding ke atas.
Nah, itu dia garudaku!!
Benar saja. Seekor burung
garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas kepala mereka.
Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun ke sana. Naik
punggung garuda! Dan dia bukanlah seorang yang asing dengan pengalaman seperti
itu. Dia sudah sering kali naik punggung rajawali ketika dia masih berada di
Pulau Es.
Ah, sungguh hebat kau, Nona!
Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku percaya. Kau tolonglah aku,
Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun ke sana mencarikan obat
untuk kakaku.!
Enaknya! Pinjam! Apa kau kira
akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh kuboncengkan ke bawah
sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan siapa adanya kakakmu
yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang yang berjuluk Siluman
Kecil masih mempunyai seorang kakak.!
Karena Kian Bu tahu bahwa
hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat memperoleh obat untuk
kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjura
dan berkata halus, Nona, harap kau suka maafkan semua kesalahanku. Kakakku
menderita luka dalam yang cukup hebat, kini dirawat oleh Sai-cu Kai-ong,
obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku bernama Suma Kian
Lee dan....!
Kian Lee....? Aihhh, kenapa
tidak dari tadi-tadi kau bilang....!! Hwee Li melonjak kaget dan cepat dia
melengking keras memanggil garudanya. Burung itu menukik dan hinggap di atas
tanah di depan gadis itu, mengeluarkan suara nguk-nguk manja, kemudian
mendekam.
Hayo cepat, nanti saja
kauceritakan bagaimana Suma Kian Lee sampai terluka hebat. Kau boleh duduk di
belakangku. Sin-eng-cu, kau antarkan kami ke bawah sana!! Berkata demikian,
Hwee Li melompat ke punggung garuda itu lalu menggeser ke depan sedikit untuk
memberi tempat kepada Kian Bu. Pemuda itu yang sudah biasa menunggang burung
besar, lalu meloncat dengan ringan agar tidak mengejutkan burung itu dan dia
telah duduk di belakang Hwee Li.
Sin-eng-cu, berangkatlah!!
Hwee Li menepuk leher burung itu yang mengeluarkan suara keras, menggerakkan
kedua sayapnya, kedua kakinya menggenjot dan melayanglah dia ke atas, lalu
terbang melayang ke bawah tebing.
Sekarang ceritakan, benarkah
kakakmu itu Suma Kian Lee?!
Benar,! jawab Kian Bu dan
jantungnya mulai berdegup tidak karuan. Punggung garuda itu agak melengkung di
tengah-tengahnya, sehingga dia yang duduk di bagian belakang, tentu saja selalu
melorot ke depan sehingga tubuhnya merapat dengan tubuh belakang dara itu.
Rambut dara itu tertiup angin dan menyapu-nyapu muka dan hidungnya, selain
mendatangkan rasa geli juga bau harum menyergap hidungnya dan rambut halus itu
mengusap-usap mukanya seperti membelainya!
Sungguh aneh! Engkau Siluman
Kecil dan kakakmu Suma Kian Lee. Lalu siapa namamu sebenarnya?
Namaku Suma Kian Bu....
Ahhh....!! Gadis itu berseru
demikian keras sehingga burungnya terkejut dan agak miring. Hwee Li cepat
menepuk-nepuk punggungnya menenangkan.
Jadi engkau dan kakakmu itu
putera-putera Pulau Es?
Kian Bu kini yang terkejut.
Bagaimana gadis ini dapat mengenal kakaknya dan tahu pula bahwa dia dan
kakaknya itu dari Pulau Es? Akan tetapi karena dia mengharapkan bantuan gadis
itu, dia tidak mau banyak bertanya lebih dulu.
Benar, Nona.!
Pantas engkau begini lihai!!
Hemmm....!
Dan pantas saja engkau agaknya
sudah biasa menunggang garuda.!
Memang kami juga mempunyai
rajawali di sana....!
Hwee Li mengangguk. Aku
tahu....!
Hening sejenak dan terdengar
oleh Kian Bu gadis itu bicara kepada diri sendiri, lirih, Kiranya dari Pulau
Es....!
Tak lama kemudian gadis itu
berkata lagi, Aku tahu bahwa Suma Kian Lee juga amat lihai seperti engkau,
bagaimana dia sampai dapat menderita luka parah?!
Kian Bu hampir tidak dapat
menjawab pertanyaan itu karena dia sekarang makin gelisah duduknya. Sejak tadi
jantungnya sudah berdebar keras tidak karuan dan makin lama makin hebat gelora
di dalam hatinya. Dia duduk begitu rapat sehingga tubuh depannya menempel ketat
pada tubuh belakang gadis itu! Dan kehangatan tubuh itu sampai terasa olehnya
kelunakan dan kehalusan kulit di balik pakaian itu, tercium olehnya bau
keringat, bau badan yang khas, dan mulailah dia membayangkan yang bukan-bukan.
Teringatlah dia ketika dia mengalami permainan cinta yang amat mesra dan hebat
ketika dia untuk beberapa lamanya dahulu terpikat oleh seorang wanita cantik
yang berwatak cabul, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing.
Membayangkan semua pengalamannya dengan Lauw Hong Kui yang lalu, sedangkan di
depannya duduk seorang dara yang malah jauh lebih cantik menarik daripada Lauw
Hong Kui, lebih muda, lebih menggairahkan, maka seketika naiklah darah ke
kepala Kian Bu dan sejenak menggelapkan mata batinnya. Dia memejamkan mata akan
tetapi makin terbayanglah adegan-adegan mesra antara dia dan Lauw Hong Kui
ketika bermain cinta, dan wajah Hong Kui itu berubah menjadi wajah dara yang
duduk di depannya! Dia berusaha untuk menekan perasaan ini dan mengusir
bayangan-bayangan itu, maka terjadilah perang hebat di dalam hati dan
pikirannya pada saat itu.
Tidak salah lagi, timbulnya
segala macam nafsu keinginan, termasuk nafsu birahi adalah dari ingatan yang
bertumpuk di dalam pikiran. Biarpun kita duduk dikelilingi oleh puluhan orang
wanita cantik manis, kalau kita menghadapi mereka dengan wajar dan dengan
pikiran bebas, tidak akan terjadi sesuatu dalam batin kita. Akan tetapi, begitu
pikiran mengusik dan mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, baik pengalaman
itu kita alami sendiri dengan wanita maupun pengalaman orang lain yang kita
dengar atau baca, terbayanglah adegan-adegan mesra antara kita dengan wanita
atau laki-laki lain dengan wanita. Dan kalau sudah begitu, timbuliah keinginan
untuk menikmati kesenangan itu, bangkitlah nafsu berahi, timbul nafsu untuk
memiliki. Seorang pertapa yang duduk samadhi seorang diri di puncak gunung,
biarpun dalam jarak ratusan li jauhnya tidak ada wanita, namun kalau pikirannya
membayangkan permainan cinta yang pernah dialaminya atau dialami orang lain
dengan wanita, akan timbul pula nafsu berahinya.
Demikian pula dengan Suma Kian
Bu. Selama lima tahun lebih ini dia tidak pernah mengalami hal seperti saat
itu. Ketika dia duduk di atas punggung burung garuda bersama Hwee Li, duduk
demikian dekatnya dan merapat ketat karena punggung itu miring sehingga tubuh
depannya menempel rapat ke tubuh belakang Hwee Li, mula-mula tidak terjadi
apa-apa. Akan tetapi, setelah dia membayangkan adegan-adegan mesra yang pernah
dialaminya bersama Lauw Hong Kui, maka mulailah terasa olehnya betapa dia
seakan-akan sedang memeluk dara cantik jelita di depannya itu, memeluk dari
belakang sehingga terasa dan tercium segala-galanya, kelembutannya, kepadatan
tubuhnya, kehalusannya, kesedapannya, dan bangkitlah berahinya!
Karena sampai, lama tidak
memperoleh jawaban, Hwee Li menoleh dan bertanya, Heiii, katakanlah, siapa yang
melukai Suma Kian Lee?!
Ketika Hwee Li menoleh, muka
mereka begitu berdekatan dan napas hangat dara itu menghembus di pipinya,
membuat Kian Bu hampir tak kuat bertahan pula dan berahinya makin berkobar.
Ihhhhh....!! Tiba-tiba Hwee Li
berseru dengan kaget dan geli dan pada saat itu Kian Bu menjawab gugup karena
dia maklum mengapa dara itu menjerit.
Akulah yang memukulnya....!
Ahhhhh....!! Kembali Hwee Li
berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal, pertama karena
dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk berahi dan kedua kalinya
mendengar bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berbareng
dengan seruannya itu, tangannya bergerak dan dua ekor kepala ular mematuk dari
kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.
Heiii....!! Kian Bu berteriak
keras dan cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga.
Plak! Plak! Bukkkkk....!! Dua
ekor ular itu ditangkis remuk kepalanya, akan tetapi tangan Hwee Li telah
mendorong dadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling
jatuh dari atas punggung garuda!
Untung bagi Kian Bu bahwa pada
saat itu, mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak begitu tinggi lagi
sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan
meloncat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di bawah itu dan menyambar cabang
pohon sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Cepat dia lalu meloncat turun
ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus mengusir semua bayangan
yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk oleh nafsu berahi.
Mukanya menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia melihat kini burung
garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li itu terbang berputaran di atas kepalanya.
Kau laki-laki cabul! Kau
laki-laki kurang ajar, tidak tahu kesusilaan dan kau laki-laki porno!!
terdengar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas punggung garudanya,
suaranya penuh dengan kemarahan. Dan engkau juga laki-laki kejam dan durhaka,
memukul kakak sendiri!!
Kian Bu merasa malu bukan main
mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi. Tentu saja dara itu
menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja dara itu merasa dan
tahu bahwa dia diamuk berahi karena tubuh mereka begitu rapat seolah-olah dara
itu tadi setengah dipangkunya!
Nona.... kaumaafkanlah aku....!
Dia berkata dengan pengerahan khikang sehingga suaranya pasti dapat terdengar
dari atas punggung garuda yang terbang berputaran di atas kepalanya beberapa
tombak tingginya itu. Engkau.... engkau begitu cantik dan kita duduk begitu
berdekatan dan aku.... aku hanya orang lemah....! Kian Bu menunduk, kemudian
berkata lagi, Aku menyesal sekali, Nona. Percayalah!! Pemuda ini memang
benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa dia tadi membiarkan saja
pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat membangkitkan berahinya.
Dia tidak tahu betapa di atas
punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah mukanya karena
jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang duduk mepet di
belakangnya sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan berahi pada pemuda
itu. Mendengar ucapan Kian Bu, diam-diam Hwee Li memuji kejujuran pemuda itu
dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah sesungguhnya pemuda itu tidak
melakukan sesuatu terhadap dirinya? Kalau pemuda itu sudah menggerakkan tangan
untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat dianggap sebagai suatu
kekurangajaran. Yang membuat dia penasaran adalah ketika mendengar betapa
Siluman Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berahi yang timbul pada
diri Siluman Kecil tadi bahkan membuktikan bahwa dia memang mempunyai
kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh besar seperti Siluman
Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang gadis cantik jelita
seperti Cui Lan, ternyata timbul berahinya terhadap dia!
Aku tidak mau bicara tentang
itu!! bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya terus beterbangan
perlahan mengelilingi pemuda itu. Akan tetapi engkau telah memukul Suma Kian
Lee, padahal, dia kakakmu sendiri!!
Di dalamcerita Kisah Sepasang
Rajawali , lima enam tahun yang lalu, Kim Hwee Li pernah bertemu dengan Suma
Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata rahasia peledak yang
dilepas oleh Mauw Siauw Mo-1i dan Kim Hwee Li yang ketika itu baru berusia
sebelas dua belas tahun, telah menolong pemuda itu, menyembunyikannya dan
mengobatinya. Melihat Suma Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis
kecil yang ketika itu baru menjelang dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan
memuja, dan Kian Lee merupakan pemuda atau pria pertama yang pernah
menggoncangkan perasaan wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian
Lee terluka parah dan yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu
sendiri, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Apa lagi, ketika menangkis
serangan ular-ularnya tadi, Siluman Kecil telah memukul mati kedua ularnya!
Kian Bu mengerti bahwa hanya
dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing, dan juga tanpa
bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan tidak mungkin
baginya untuk mendaki tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak takut menghadapi
ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi kalau tidak dibantu, tentu dia
akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya. Maka dia mengambil keputusan
untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu. Siapa tahu gadis yang
aneh itu mempunyai watak gagah yang dapat mempertimbangkan keadaan dengan adil.
Buktinya gadis itu pun telah menghabiskan saja urusan yang timbul karena
bangkitnya nafsu berahinya tadi, dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa gadis
itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.
Nona dengarlah baik-baik.
Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi dalam keadaan saling
menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia menyamar sebagai seorang
jagoan Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling kenal dan saling serang.
Setelah dia roboh dan penyamarannya terbuka, barulah kami saling mengenal.
Melihat dia terluka parah, aku pergi ke sini untuk mencarikan obat
penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya atau tidak. Aku hendak
mencari obat itu sekarang juga.! Dia lalu membalikkan tubuhnya dan tidak lagi
mempedulikan nona itu, melainkan meneliti keadaan di situ untuk mencari anak
sungai seperti yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Biarpun
dia maklum bahwa dia membutuhkan bantuan nona itu dan burung garudanya untuk
dapat menyampaikan obat, kalau sudah ditemukannya, kepada kakaknya, namun
bukanlah watak Suma Kian Bu untuk mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun
tidak merasa kecewa ketika melihat burung itu terbang naik meninggalkan
dirinya, dan dia melanjutkan penyelidikannya.
Akhirnya ditemukanlah anak
sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang digambarkan oleh kakek itu
dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat itu, dan Kian Bu cepat
mengikuti aliran sungai kecil itu sampai anak sungai itu memasuki sebuah gua
yang gelap. Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke air sungai yang dalamnya
hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai dari tepi sudah tidak
mungkin lagi sekarang. Ketika dia hendak memasuki gua, dia melihat burung
garuda itu menukik dan nona yang duduk di atas punggung burung itu memandang
penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau mempedulikan lagi dan terus memasuki
gua yang gelap.
Dia tidak tahu berapa jauhnya
dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia harus terus
berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam dadanya dan
dasar sungai itu kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan batu-batu
runcing. Akan tetapi, setelah melewati waktu yang agaknya tiada habisnya itu,
akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan dan tibalah dia di
daerah terbuka. Dia lalu mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu
besar hitam dan hatinya lega ketika dia melihat bahwa tempat itu terbuka,
langit dapat kelihatan dari situ sungguhpun daerah itu merupakan sumur raksasa
yang amat dalam dan sekeliling tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat
licin dan tidak mungkin sama sekali untuk mendaki naik. Akan tetapi di bawah
dinding licin yang amat tinggi itu terdapat banyak batu-batu karang besar dan
terdapat pula gua-gua yang besar dan hitam sehingga tempat yang terpencil itu
kelihatan menyeramkan sekali.
Kian Bu menjadi bingung.
Menurut petunjuk Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat terbuka, dia harus
memasuki sebuah gua karena di dalam gua yang katanya merupakan terowongan
panjang itulah dia akan menemukan jamur panca warna yang akan menjadi obat bagi
kakaknya. Akan tetapi gua yang mana? Dilihat dari tempat dia berdiri, agaknya
di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung terhimpit tebing itu
terdapat ratusan buah gua! Mana dia bisa tahu gua yang manakah yang benar? Dia
tidak menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri belum pernah tiba di
tempat ini dan hanya mendengar dari orang lain.
Tiba-tiba ada bayangan hitam
didekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja, jauh sekali di atas
tebing tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah burung garuda tadi!
Tentu saja seekor burung yang terbang dapat memeriksa keadaan sekeliling itu
dan dapat menemukan sumur raksasa! ini, akan tetapi kalau harus mendatangi
tempat ini melalui atas, dengan jalan kaki sungguh merupakan hal yang sama
sekali tidak mungkin. Burung itu lewat dan samar-samar dia melihat gadis aneh
yang duduk di punggung burung itu menjenguk ke bawah. Akan tetapi dia tidak
mempedulikan gadis pemarah itu karena dia masih menghadapi pekerjaan yang
banyak dan sukar sekali. Tanpa membuang banyak waktu lagi, muialiah Kian Bu
memeriksa dan memasuki gua itu satu demi satu! Sungguh hal ini merupakan
pekerjaan yang amat sukar dan melelahkan. Gua-gua itu ternyata banyak sekali
yang amat dalam, merupakan terowongan-terowongan panjang dan berliku-liku, akan
tetapi setelah dimasuki dan diikuti, ternyata hanya merupakan gua-gua kosong
dan buntu, tidak ada nampak jamur sama sekali di situ. Karena tidak dimasuki
sinar matahari, lumut pun tidak nampak, apalagi jamur panca warna!
Baru belasan lubang gua yang
diperiksanya dengan sia-sia, hari telah mulai gelap. Kian Bu merasa heran
sekali ketika keluar dari gua dan melihat matahari telah lenyap dan tempat itu
cepat sekali gelap. Tadi ketika dia membonceng gadis itu turun, hari masih pagi
dan dia membuang waktu untuk memeriksa gua-gua itu hanya makan waktu empat lima
jam saja. Mengapa sekarang tahu-tahu telah menjadi remang-remang, menjadi senja
dan hampir malam? Akan tetapi ketika dia berdongak memandang ke sekeliling di
atas tempat yang seperti sumur raksasa itu, mengertilah dia. Tentu saja di
tempat ini, waktu yang diukur dengan sinar matahari amatlah berbeda dengan di
atas sana, di lapangan terbuka di mana sinar matahari dapat bercahaya
sepenuhnya. Di sini, matahari cepat lenyap terhalang ujung tebing di barat dan
biarpun di dasar tempat itu sudah gelap, namun dia dapat menduga bahwa di atas
sana tentu masih terang dan baru lewat tengah hari!
Karena gelap, terpaksa Kian Bu
menunda pekerjaannya memeriksa gua-gua itu. Dia duduk di atas batu yang halus
permukaannya dan banyak terdapat di tempat itu, sambil termenung dan memandang
ke sekeliling. Di tempat ini tidak ditumbuhi pohon karena lantainya penuh
dengan batu. Ada pohon-pohon tumbuh di lereng tebing dan pohon-pohon itu
merupakan pohon-pohon liar yang tidak mengandung buah yang dapat dimakan. Akan
tetapi, dia tidak lapar dan sebagai seorang yang terlatih, tidak makan beberapa
hari saja bagi pemuda Pulau Es ini tidaklah merupakan hal yang menyiksa. Juga
dia tidak perlu membuat api unggun karena hawa dingin tidak akan mengganggu tubuhnya
yang sudah biasa dengan hawa yang jauh lebih dingin ketika dia berlatih di
Pulau Es. Maka duduklah Suma Kian Bu di atas batu itu, bersila dan mulai
melakukan siulan untuk mengumpulkan hawa murni, memulihkan tenaga dan memberi
kesempatan kepada tubuhnya untuk mengaso.
Kegelapan kini menyelimuti
tempat itu dan hanya sinar bintang-bintang di langit yang hanya seperempat
luasnya daripada langit biasanya di tempat terbuka, yang mendatangkan cahaya
remang-remang. Sunyi sekali di sekitar tempat itu, kesunyian yang makin terasa
karena adanya suara gemercik air yang tiada hentinya dan yang kini terdengar
amat jelas.
Berbeda dengan waktu siangnya
yang hariya pendek sekali, sebaliknya waktu malamnya di tempat itu amat panjang
dan lama karena matahari yang di permukaan bumi sudah muncul dan naik tinggi,
di dasar sumur raksasa itu masih belum nampak! Kian Bu sudah tidak melihat
adanya bintang-bintang di langit yang sudah disapu bersih oleh sinar matahari,
namun tempat itu masih gelap.
Tiba-tiba dia mendengar suara,
di belakangnya. Cepat dia menoleh dan biarpun Kian Bu merupakan seorang pemuda
gemblengan, seorang pendekar sakti yang berkepandaian tinggi, tidak urung bulu
tengkuknya meremang. ketika dia melihat sesosok tubuh berindap-indap keluar
dari sebuah di antara ratusan gua itu. Akan tetapi segera dia melenyapkan rasa
takut itu dengan dugaan bahwa tentu orang itu adalah dara cantik yang tentu
saja dapat turun dengan bantuan garudanya. Maka dia pun bersikap dingin saja
dan melanjutkan siulannya.
Bayangan orang itu dapat
bergerak cepat dan kini telah tiba di dekat Kian Bu, lalu tiba-tiba saja
bayangan itu menyerang dengan cengkeraman dari belakang ke arah tengkuk dan
kepala pemuda itu. Kian Bu terkejut dan cepat dia meloncat ke depan sehingga
cengkeraman itu luput. Akan tetapi orang itu dengan marah menerjangnya terus
dengan pukulan-pukulan yang aneh.
Nona, berhenti dulu! Mengapa
kau menyerangku? Nona....!! Kian Bu mengelak ke sana-sini dan dia makin
terheran ketika memperoleh kenyataan bahwa gerakan orang ini sungguh jauh
berbeda daripada gerakan nona pemilik garuda. Dara cantik pemilik garuda itu
memiliki gerakan yang berdasarkan gerakan ilmu silat tinggi, lihai sekali, akan
tetapi sebaliknya orang ini menyerangnya dengan gerakan kasar, hanya gerakannya
lebih nekat dan liar.
Heh-heh-heh, hi-hik, kau
menyebutku Nona? Hi-hi-hik!! Wanita itu terkekeh dan Kian Bu makin terkejut dan
terheran ketika dia mendapat kenyataan dari suara wanita ini bahwa dia sama
sekali bukanlah dara pemilik burung garuda! Akan tetapi cuaca masih terlalu
gelap untuk dapat mengenal orang ini yang hanya tampak bayangannya saja.
Siapakah kau? Dan kenapa kau
menyerangku?! tanyanya.
Hik-hik, kau pembunuh keji!
Kau manusia jahat, masih tanya mengapa aku menyerangmu? Heh-heh, aku hendak
membunuhmu untuk membalaskan kematian nyonya majikanku!! Dan wanita itu
menyerangnya lagi. Kian Bu kembali mengelak ke sana ke mari dengan amat
mudahnya karena ternyata kini bahwa serangan-serangan itu hanya sembarangan
saja dan sama sekali tiada artinya bagi dia. Akan tetapi dia merasa tidak enak
untuk merobohkan seorang wanita, apalagi seorang wanita yang agaknya tidak
waras otaknya.
Aku tidak membunuh nyonya
majikanmu! Siapa sih nyonya majikanmu itu?! tanya lagi Kian Bu sambil tetap
mengelak ke sana-sini dan terus main mundur. Wanita itu terus mengejar dan
mendesaknya, melancarkan serangan-serangan nekat dan membabi-buta.
Huh, engkau masih pura-pura
lagi bertanya? Nyonyaku tentu saja Ang Siok Bi, siapa lagi? Dan dia sudah
kalian bunuh secara kejam, dan kalian telah melemparkan aku ke sungai, ke
pusaran maut. Heh-heh, akan tetapi kalian keliru, aku tidak mati dan sekarang
aku akan membalaskan kematian majikanku, hik-hik!!
Kian Bu mengerutkan alisnya.
Tentu saja dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Sementara
itu, cahaya matahari mulai menerangi tempat itu dan akhirnya dia dapat melihat
bahwa yang menyerangnya mati-matian itu adalah seorang wanita yang usianya
sudah tiga puluh tahun lebih, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya juga seperti
pakaian seorang jembel terlantar, seluruh tubuhnya menunjukkan bahwa wanita itu
telah lama menderita di tempat ini. Sepasang matanya yang berputar-putar itu
menandakan bahwa wanita ini memang tidak waras lagi otaknya.
Kian Bu mengelak ke samping
dan kini jari tangannya menyambar. Robohlah wanita itu terkena totokannya.
Setelah Kian Bu, dapat melihat keadaan wanita itu, maka dia tidak ragu-ragu
lagi untuk merobohkannya dengan totokan yang tidak berbahaya, hanya membuat
kaki tangan wanita itu lumpuh.
Wanita itu memandang kepada
Kian Bu dengan mata terbelalak, kemudian menangis. Hu-hu-huuukkkkk.... kiranya
engkau adalah Tuan Muda Ang Tek Hoat....! Hu-huuuk, Tuan Muda, Ibumu telah mati
dibunuh orang....!!
Kini Kian Bu terkejut bukan
main mendengar wanita ini menyebut nama Ang Tek Hoat. Tentu saja dia mengenal
nama ini, mengenalnya dengan baik sekali. Bukankah Ang Tek Hoat ini yang telah
menjadi penyebab kehancuran hatinya dan kehancuran kehidupannya? Dia telah
jatuh cinta kepada Puteri Syanti Dewi, mencinta puteri itu dengan seluruh jiwa
raganya, kemudian hatinya hancur berkeping-keping ketika dia mendapat kenyataan
bahwa puteri yang dicintanya itu ternyata mencinta Ang Tek Hoat, pemuda yang
tadinya amat jahat itu! Pemuda yang sebenarnya masih terhitung keponakannya
sendiri, karena Ang Tek Hoat adalah cucu dari ibu Suma Kian Lee (baca cerita
Kisah Sepasang Rajawali). Dan wanita ini menyebut Ang Tek Hoat sebagai tuan
muda, dan mengatakan bahwa ibu Ang Tek Hoat mati dibunuh orang!
Kian Bu maklum bahwa jalan
satu-satunya untuk menghadapi seorang gila adalah melayani kegilaannya. Dia
disangka Tek Hoat, maka akan percuma saja kalau dia menyangkal di depan seorang
gila. Biarlah dia berpura-pura menjadi Tek Hoat untuk mendengar tentang
kematian ibu Tek Hoat itu.
Bibi yang baik, engkau
siapakah? Aku sudah lupa lagi,! katanya sambil duduk di atas batu dan
membebaskan totokannya sehingga wanita itu kini dapat bergerak dan duduk pula
di atas batu sambil menangis.
Ah, Kongcu (Tuan Muda), engkau
sudah lupa lagi kepadaku? Aku Cui-ma, pengasuhmu di waktu kau masih kecil.!
Hemmm, Cui-ma, tentu saja aku
lupa karena sekarang engkau menjadi seperti ini. Ceritakanlah, Cui-ma, kenapa
kau bisa berada di sini dan apa yang telah terjadi dengan.... Ibuku?!
Dengan sikap seorang gila yang
mengerikan, kadang-kadang menangis, kadang-kadang tertawa, mulailah wanita itu
bercerita yang didengarkan oleh Kian Bu dengan penuh perhatian. Karena cerita
itu menyangkut Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat seorang di antara tokoh-tokoh
besar cerita ini, maka sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri apa yang telah
dialami oleh wanita she Ang itu, daripada mendengarkan cerita Cui-ma yang tidak
karuan.
***
Seperti telah diceritakan di
bagian terdepan dari cerita ini, Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, menyusul
puteranya ke Kerajaan Bhutan. Setelah wanita yang bernasib malang itu
mengetahui bahwa dugaannya selama ini keliru, yaitu yang memperkosa dia di
waktu dia masih gadis dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Sepasang
Pedang Iblis) bukanlah Gak Bun Beng seperti yang selama itu disangkanya,
melainkan Wan Keng In putera dari Lulu, isteri ke dua majikan Pulau Es, maka
sakit hatinya berpindah kepada keluarga Pulau Es! Dan untuk membalas dendamnya
kepada keluarga Pulau Es, tentu saja dia merasa tidak mampu dan dia hendak
menyuruh puteranya yang kini telah menjadi seorang sakti untuk membalas
dendamnya kepada keluarga Pulau Es yang lihai itu.
Akan tetapi, Ang Tek Hoat yang
sudah memperoleh kedudukan baik di Bhutan, sebagai panglima muda dan lebih-lebih
lagi sebagai tunangan puteri raja, yaitu Puteri Syanti Dewi, menolak bujukan
ibunya sehingga Ang Siok Bi menjadi marah. Ang Siok Bi lalu menemui Raja Bhutan
dan membuka rahasianya sendiri bahwa calon mantu raja itu, puteranya yang
bernama Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram tanpa ayah. Setelah meninggalkan
kata-kata beracun yang kemudian berakibat hebat itu, Ang Siok Bi lalu
meninggalkan Bhutan, kembali ke tempat tinggalnya di puncak Bukit Angsa, di
lembah Huang-ho di mana dia hidup mengasingkan diri, hanya ditemani oleh
seorang pembantunya yang setia, yaitu Cui-ma, seorang janda yang telah lama
ikut bersama dia. Sebagai teman satu-satunya, tentu saja dia mengajarkan ilmu
silat kepada Cui-ma, sekedar untuk menjaga kesehatan dan untuk dipakai bela diri
apabila perlu. Cui-ma ini yang selalu menemaninya dalam semua kesengsaraannya
hidup menyendiri itu.
Ketika melihat Ang Siok Bi
pulang dan begitu tiba di pondoknya lalu menangis sejadi-jadinya, penuh
kedukaan dan kekecewaan, Cui-ma cepat memeluknya dan menghiburnya, akan tetapi
pelayan dan teman yang setia ini pun ikut menangis ketika mendengar cerita
nyonya majikannya betapa Ang Tek Hoat, kongcu yang ditunggu-tunggu
kedatangannya, yang diharap-harapkan akan dapat menghibur ibunya itu, ternyata
menolak ajakan ibunya untuk meninggalkan Bhutan.
Cui-ma, mulai saat ini kita
harus berhati-hati....! Setelah tangisnya mereda, Ang Siok Bi berkata, lalu
cepat-cepat dia menutupkan daun pintu yang tadi terbuka, menutupkan pula semua
daun jendela pondoknya yang terbuka.
Melihat sikap nyonya
majikannya ini, Cui-ma terkejut dan merasa heran. Tempat itu biasanya sunyi dan
selama ini keamanan mereka tidak pernah terganggu orang maupun binatang. Kenapa
sekarang nyonya majikannya kelihatan begitu gelisah dan menutupi daun pintu dan
jendela seperti orang ketakutan? Padahal, andaikata ada bahaya mengancam
sekalipun, apa yang perlu ditakutkan? Bukankah nyonya majikannya memiliki
kepandaian yang lihai?
Toanio, apakah yang telah
terjadi? Siapa yang mengancam keselamatan kita?!
Panglima dari Bhutan.... kalau
tidak salah, Mohinta namanya, putera panglima tertinggi di Bhutan. Beberapa
hari yang lalu aku melihat dia, dan dia bersama orang-orangnya berusaha untuk
menangkap aku, melihat gelagatnya dia agaknya bertekad untuk membunuhku. Kita
harus siap menghadapi mereka, Cui-ma.!
Mengapa, Toanio? Siapa mereka
dan mengapa?!
Mereka orang-orang Bhutan yang
telah menjebak puteraku, mengikat puteraku dan agaknya mereka itu diperintah
oleh raja mereka untuk membunuh aku karena aku dianggap menghalangi rencana
mereka mengikat anakku Tek Hoat....! Dengan cemas karena maklum bahwa dia
menghadapi orang-orang yang sudah merencanakan kematiannya, mulai hari itu Ang
Siok Bi dibantu oleh Cui-ma lalu mengatur persiapan untuk menghadapi
musuh-musuh itu. Ang Siok Bi adalah seorang wanita yang berani dan berhati
baja, maka biarpun dia sering kali kelihatan gelisah, namun dia membuat
persiapan yang teliti, bahkan di balik daun pintu dan jendelanya dia pasangi
alat-alat rahasia yang akan secara otomatis menggerakkan jarum-jarum hitam yang
dipasangnya menyerang siapa saja yang membuka pintu atau jendela dari luar
dengan paksa!
Tiga hari tiga malam Ang Siok
Bi berjaga-jaga, tidak berani tidur, jarang makan dan tidak pernah berganti
pakaian sejak dia pulang. Cui-ma menjadi khawatir sekali melihat keadaan nyonya
majikannya itu. Pada malam yang ke dua rumah itu telah diserbu orang ketika
mereka tertidur saking lelahnya. Terdengar suara gedebugan dan ketika mereka
memeriksa pada keesokan harinya, jelas nampak bekas kaki orang di luar pintu,
daun pintu terbuka dan ada darah berceceran di situ. Jelas bahwa anak panah
yang dipasang pada belakang daun pintu telah mengenai korbannya, yaitu
orang-orang yang membuka pintu itu semalam. Sejak itu, Siok Bi dan Cui-ma tidak
lagi berani tidur!
Cui-ma, dengar baik-baik.
Tidak boleh kita berdua mati di sini. Kalau kita berdua berjaga di sini sampai
akhirnya musuh dapat menerjang masuk dan kita berdua mati, tentu anakku tidak
akan tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Kau harus pergi dari sini!!
Ah, lebih baik kita pergi
berdua saja, Toanio. Mengapa kita harus menanti datangnya musuh di sini?
Marilah kita pergi dan bersembunyi di lain tempat.!
Ang Siok Bi menggeleng kepala.
Percuma, mereka sudah membayangi dan mengejarku sejak dari Bhutan. Hendak
bersembunyi ke mana? Tentu akhirnya akan mereka dapatkan juga. Dan kalau aku
mati di tangan mereka, aku ingin mati di rumahku sendiri dan dapat melakukan
perlawanan sebaiknya, daripada mati di tempat asing. Kau pergilah, Cui-ma....!
Tidak, Toanio. Kalau Toanio
tidak mau pergi, biar aku mati bersamamu di sini.!
Jangan banyak membantah!! Siok
Bi membentak marah. Aku sudah cukup mengenal kesetiaanmu. Aku menyuruh kau
pergi bukan karena sayang nyawamu atau tidak percaya kepada kesetiaanmu.
Justeru kalau engkau setia, engkau harus pergi, harus hidup dan kelak kauceritakan
kepada Ang Tek Hoat anakku bagaimana ibunya mati dan oleh siapa. Mengertikah
engkau? Katakan bahwa yang membayangi ibunya adalah Mohinta dan anak buahnya,
orang-orang dari Bhutan. Mengerti?!
Sambil menangis akhirnya
Cui-ma mentaati perintah majikannya dan sore hari itu pergilah dia meninggalkan
rumah sewaktu menjelang senja dan cuaca sudah mulai gelap. Ang Siok Bi
berjaga-jaga seorang diri di dalam kamarnya, matanya menatap ke arah pintu dan
jendela kamarnya secara bergantian. Di balik pintu telah dia pasangi anak panah
dan kalau pintu itu terbuka dari luar, tentu anak panah akan menyambar ke luar.
Sedangkan di jendela kamarnya dia pasangi jarum-jarum hitamnya yang juga akan
menyambar keluar apabila daun jendela dibuka dengan paksa dari luar. Dia sendiri
rebah terlentang melepaskan lelah dengan pedang terhunus di atas mejanya.
Malam itu sunyi sekali. Rasa
kantuk hampir tak tertahankan lagi, namun Ang Siok Bi mempertahankan rasa
kantuk itu dengan mencoret-coret pada kayu pembaringannya, menggunakan jarum
hitamnya menuliskan huruf-huruf kecil di kayu itu dengan cara
menggores-goreskannya.
!Tiga malam aku tidak tidur,
menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan
mampus....!
Tiba-tiba dia menghentikan
goresan jarumnya karena dia mendengar sesuatu di luar kamarnya. Siok Bi cepat
meloncat turun dan dengan pedang di tangan, matanya memandang tajam ke arah
jendela dan pintu, juga dia melirik ke atas, kalau-kalau ada musuh yang datang
masuk melalui genteng. Akan tetapi suara itu lenyap dan selanjutnya tidak ada
gerakan apa-apa lagi. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi lalu dia tenang
kembali. Tentu hanya tikus, pikirnya dan dia merebahkan diri lagi di atas
pennbaringan, meletakkan pedang di dekat pembaringan, di atas meja sehingga
sewaktu-waktu dia dapat menyambarnya. Gangguan suara yang mencurigakan itu
menambah semangat dan mengusir rasa kantuknya yang tadi hampir tidak dapat
ditahankannya lagi itu.
Dia membayangkan puteranya dan
tak terasa air matanya berlinang. Harapan satu-satunya hanya kepada puteranya.
Dia telah menderita tekanan batin belasan tahun lamanya. Dia merasa sakit hati
semenjak ada orang memperkosanya, orang yang disangkanya semula adalah pendekar
sakti Gak Bun Beng akan tetapi yang ternyata bukan pria yang pernah menjatuhkan
hatinya itu, melainkan Wan Keng In, putera dari Lulu yang kini menjadi isteri
ke dua dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Dan Tek Hoat, puteranya yang
diharap-harapkan akan dapat menebus penghinaan dan membalaskan sakit hatinya itu,
ternyata telah mengecewakan! Bahkan kini dia dikejar-kejar oleh rombongan
orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh panglima Mohinta itu! Jangan-jangan
rombongan itu disuruh pula oleh puteranya! Mungkinkah itu? Dia menggigit bibir
dan teringatlah dia akan dongeng kuno tentang seorang janda yang puteranya
setelah menjadi seorang besar lalu melupakan ibunya. Bukan hanya melupakan
ibunya yang miskin, bahkan karena tidak ingin orang mengetahui bahwa wanita
janda miskin itu adalah ibunya, si anak yang telah menjadi orang besar itu
menyuruh membunuh ibunya sendiri! Akan demikian pulakah nasibnya? Sedemikian
jahat dan durhakakah puteranya? Membayangkan kemungkinan yang dibantahnya
sendiri ini, Ang Siok Bi tidak dapat menahan lagi tangisnya dan air matanya
bercucuran.
Akan tetapi, dia merasa
mengantuk sekali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya lagi dan karena
menangis tadi, maka dia menjadi lengah, tidak melihat betapa ada asap halus
memasuki kamarnya dari lubang di dekat pintu! Setelah asap itu mengenai
mukanya, timbuliah rasa kantuk yang amat hebat, yang tidak dicurigainya karena
selama tiga hari tiga malam boleh dibilang dia tidak berani memejamkan mata.
Dan sekarang, bersedih karena membayangkan kemungkinan puteranya akan berbuat
keji dan durhaka terhadap dirinya, Siok Bi menjadi lemah dan bersikap masa
bodoh, maka dia pun tidak melawan rasa kantuk itu dan akhirnya tertidurlah
wanita ini dengan nyenyaknya.
Tak lama kemudian ada suara
gerakan di atas kamar itu. Genteng dibuka dan sesosok bayangan melayang masuk.
Ketika bayangan itu melihat betapa Siok Bi telah tidur, dia tertawa di balik
saputangan yang dipergunakan sebagai kedok menutupi mulut dan hidungnya,
kemudian dia mengeluarkan suara suitan perlahan. Dari atas genteng melayang
turun lagi seorang yang juga memakai kedok saputangan dan orang ini
mengangguk-angguk.
Dia sudah pulas, Tuan Muda
Mohinta,! kata orang pertama dalam bahasa Bhutan.
Laki-laki ke dua yang ternyata
adalah Mohinta itu, mencabut pedangnya dan dengan tenang saja dia menggerakkan
tangannya. Pedang meluncur dan menusuk dada Ang Siok Bi, tepat mengenai ulu
hatinya dan menembus sampai ke punggung! Cepat Mohinta mencabut pedang itu dan
tubuh Ang Siok Bi berkelojotan, darah muncrat-muncrat dari dada dan
punggungnya, lalu dia terdiam dan tewas tanpa dapat bersuara lagi, hanya
matanya yang terbelalak memandang kepada dua orang yang membunuhnya secara
curang itu.
Dua orang laki-laki itu lalu
meloncat keluar melalui genteng, di mana terdapat beberapa orang teman mereka
dari pergilah mereka menghilang ditelan kegelapan malam. Tidak ada seorang pun
yang menyaksikan pembunuhan keji itu.
Demikianlah peristiwa
pembunuhan atas diri Ang Siok Bi dan ketika Ang Tek Hoat muncul di dalam pondok
ibunya, dia hanya mendapatkan kerangka ibunya, coretan tulisan di atas kayu
pembaringan, dan pedang ibunya, tanpa dapat mengerti siapa yang telah membunuh
ibunya.
Tentu saja cerita yang
disampaikan oleh Cui-ma kepada Suma Kian Bu tidak lengkap, dan dia hanya
bercerita tentang Ang Siok Bi sampai dia disuruh pergi oleh majikannya di waktu
senja itu, kemudian dia menangis lagi sesenggukan.
Lalu bagaimana, Cui-ma?
Bagaimana dengan.... Ibuku?! Suma Kian Bu mendesah, masih terus bersandiwara
melayani si gila itu yang menyangka dia adalah Ang Tek Hoat putera dari Ang
Siok Bi.
Karena tidak berani membantah,
sore hari itu aku meninggalkan rumah, akan tetapi aku tidak pergi jauh dan pada
keesokan harinya, aku kembali ke pondok. Aku tidak berani membuka pintu atau
jendela yang dipasangi senjata rahasia, maka aku mengintai dan aku melihat
nyonya majikan.... Ibumu itu hu....huuukkk.... dia telah tewas....!
Kian Bu terkejut juga,
terkejut dan marah walaupun dia tahu bahwa yang diceritakan itu bukanlah ibunya
sendiri. Celaka!! serunya sambil mengepal tinju. Siapa yang membunuhnya, Cui-ma?
Siapa?!
Tadinya aku pun tidak tahu
siapa.... hu-hukkk.... akan tetapi tiba-tiba mereka itu muncul dan menangkapku.
Mereka siapa?!
Orang-orang Bhutan itu, yang
dipimpin oleh Mohinta, seperti diceritakan Toanio kepadaku. Mereka menangkapku,
membawaku dengan paksa ke sungai dan melemparkan aku ke pusaran air maut di
Huang-ho....!
Pusaran maut?!
Ya, aku tidak berdaya. Aku
dilempar di air dan pusaran air menyedot dan menarikku. Aku tidak tahu apa-apa
lagi dan ketika aku sadar, ternyata aku telah berada di sini....di tepi sungai
yang memasuki terowongan itu....! Kembali dia menangis.
Suma Kian Bu tertegun dan
terheran-heran. Kiranya di samping hwesio yang tergelincir ke dalam jurang dan
menemukan tempat ini secara aneh, juga dia yang dapat turun dibantu oleh gadis
yang memiliki burung garuda, ada seorang lain yang dapat tiba di sini secara
lebih aneh lagi, yaitu Cui-ma ini. Melalui pusaran air dan sungai yang memasuki
terowongan! Kemudian dia teringat akan keperluannya sendiri. Mungkin Cui-ma ini
mengetahui tentang jamur panca warna!
Cui-ma, setelah mendengarkan
ceritamu, maukah engkau menolongku?!
Tentu saja, Kongcu. Akan
tetapi engkau harus membalaskan kematian Ibumu.!
!Sudah pasti akan kulakukan
itu, Cui-ma. Sekarang katakanlah, apa engkau tahu di mana adanya jamur panca
warna yang berada di dalam satu di antara gua-gua ini?! tanya Kian Bu sambil
memandang wanita itu penuh harapan.
Jamur panca warna....?! Wanita
itu memandang kepada Kian Bu dengan sinar mata tidak seliar tadi. Agaknya
pertemuannya dengan pemuda yang disangka putera majikannya itu, dan cerita yang
dituturkan sambil menangis, telah banyak mengurangi tekanan batinnya.
Ya, jamur panca warna untuk
obat.! Kemudian Kian Bu teringat bahwa mungkin Cui-ma tidak mengenal nama jamur
itu. Jamur itu kalau siang biasa saja, akan tetapi kalau malam mengeluarkan
sinar lima macam seperti pelangi dan berada di dalam satu di antara gua-gua
itu.!
Tiba-tiba Cui-ma nampak
ketakutan dan bergidik seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Dia memandang
ke kiri, ke arah sebuah gua besar dan berkata, Kau.... kaumaksudkan....
ihhhhh.... mata-mata iblis itu, mata setan yang kalau malam
mengejar-ngejarku.... hiiihhhhh, sungguh mengerikan, di gua tengkorak itu penuh
tengkorak bayi dan anak kecil, di situ terdapat pula mata iblis yang hidup
kalau malam aku takut, Kongcu, aku takut....!! Wanita yang mengalami banyak
tekanan dan penderitaan batin itu menjerit dan melompat hendak lari. Akan
tetapi Kian Bu lebih cepat lagi dan sudah memegang lengannya.
Tenanglah, Cui-ma, tidak ada
apa-apa dan jangan takut. Ada aku di sini. Yang kaumaksudkan dengan gua
tengkorak itu yang mana? Yang besar itu? Yang di depannya ada tumpukan tiga
buah batu besar itu?! Dia menuding ke arah kiri di mana terdapat sebuah gua
yang agak besar.
Wanita itu menoleh dan
memandang ke arah gua itu dan matanya makin terbelalak berputaran. Gilanya
kumat lagi. Benar.... benar.... aku takut.... takuttt....!! Dan dia menangis
terisak-isak dalam pelukan Kian Bu yang merasa kasihan sekali kepada wanita ini.
Hemmm, katanya mencari jamur,
kiranya hanya mencari perempuan untuk dicumbu-rayu. Huh, dasar laki-laki
cabul!!
Kian Bu terkejut bukan main.
Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah berdiri di atas batu dan
burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi di dinding tebing. Tentu
saja sukar mendengarkan suara halus dari gerakan sayap yang menahan peluncuran
mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah berada di situ, mengeluarkan
kata-kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah dan mengandung
hinaan pula.
Ah, jangan sembarangan
bicara!! bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan tidak enak dia
melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma lari dan
membiarkan wanita itu menangis.
Tiba-tiba Cui-ma menjerit
nyaring sekali. Siluman.... datang hendak mencabut nyawaku....!! Dia menoleh ke
arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas batu-batu
yang besar-besar dan berserakan di tempat itu.
Cui-ma....!! Kian Bu berteriak
mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari cepat berloncatan
membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh ke depan.
Terdengar suara prakkk! dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.
Cui-ma....!! Kian Bu melompat
dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia memeriksa dan
menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih berdiri itu.
Dia telah mati....! katanya seperti orang mengeluh.
Mati....?! Gadis itu cepat
berlari menghampiri dan terbelalak memandang wanita setengah tua yang kini
kepalanya pecah berlumuran darah. Kiranya ketika terjatuh tadi, kepalanya
menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas seketika! Dan baru sekarang
Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata
adalah seorang wanita setengah tua yang mukanya kotor menjijikkan dan yang
agaknya adalah seorang wanita yang tidak waras otaknya.
Dia siapa? Kenapa?! tanyanya
sambil memandang kepada Kian Bu. Akan tetapi Kian Bu masih merasa marah, sedih
dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak menjawab pertanyaan gadis
itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong mayat Cui-ma, dibawanya
ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa bicara sepatah kata pun,
kemudian mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan sebuah gua. Akhirnya dia
membersihkan kedua tangannya sambil menghela napas.
Suma Kian Bu, kau menganggap
dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!! Hwee Li yang sejak tadi diam
saja dan menonton semaa yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di atas batu besar,
kini menegur dengan wajah cemberut karena dia merasa sama sekali tidak
diacuhkan oleh pemuda itu.
Kian Bu menengok dengan alis
berkerut. Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi sebab kematiannya, dan
kau sama sekali tidak menyesal?!
Eh, eh! Siluman Kecil, ngawur
saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kaukatakan bahwa aku menjadi
sebab kematiannya? Hwee Li berseru sambil bangkit berdiri dan bertolak
pinggang, wajahnya merah karena marahnya.
Hemmm, pemarah benar gadis
ini,pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tidak mau kalah karena memang dia merasa
kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan gadis itu yang
mengejutkan Cui-ma.
Kau telah mengejutkan dia,
mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak melihat itu?!
Huh, kalau dia menganggap aku
siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku lalu lari seperti
gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat dengan dia tidak mampu
mencegah dia lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau memang wajahku jelek
sekali seperti siluman sehingga membikin dia takut, apakah itu juga
kesalahanku?! Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan mengejek,
namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa tidak enak dan
serba salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja munculnya gadis itu
tidak salah dan tidak sengaja hendak mengagetkan Cui-ma.