Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 2 - Perkumpulan Garuda Hitam
“Itulah yang amat
membingungkan, Ayah. Menghilangnya kepala pengawal, dan mayatnya pun tidak kita
lihat, lalu disusul pertempuran di luar hutan antara orang-orang yang tidak
kita kenal, yang kabur semua ketika kita dekati. Kemudian bentrokan antara tiga
kekuatan di dalam celah itu, antara pasukan kita, wanita-wanita berlencana dan
bercacah lukisan garuda serta orang-orangnya Hok-ciangkun. Mereka itu mati
semua, tiga rombongan yang saling bertempur itu, akan tetapi keluarga kita
dapat melarikan diri. Agaknya tidak mungkin pula kalau dibawa oleh sisa
orang-orangnya Hok-ciangkun, karena kalau benar dugaan kita, Hok-ciangkun tentu
bertugas untuk membasmi dan membunuh keluarga kita. Dan kalau harus diculik
dulu, tentu terlalu merepotkan. Pula, kalau dibunuh di tempat itu, malah
menimbulkan kesan seolah-olah dibasmi penyamun. Lalu ke mana mereka itu? Siapa
yang menculik mereka, kalau memang benar diculik? Dan mengapa pula? Benar-benar
saya menjadi bingung, Ayah.”
“Agaknya oleh orang-orang yang
bercacah lukisan garuda di tangannya itu. Kita belum tahu jumlah dan kekuatan
mereka, belum mengenal pula siapa mereka,” kata Kok Han.
“Kurasa tidak mungkin, Han-te.
Seperti kau lihat, Suma-kongcu yang lihai itu masih ada. Kalau dia, seperti
kurasa begitu, ditugaskan oleh Kaisar untuk membantu pasukan Hok-ciangkun,
melihat keluarga kita dibawa oleh wanita-wanita garuda itu, tentu dia akan
turun tangan, tak mungkin dia diam saja tugas Hokciangkun digagalkan oleh
wanita-wanita garuda itu. Kaulihat juga, dialah satu-satunya orang yang masih
hidup di tempat tadi. Agaknya rombongan para wanita garuda itu dibunuhnya pula
semua.”
“Tapi, kalau benar begitu ke
mana perginya ibu dan lain-lain? Kenapa dia tidak membunuh kita juga setelah
dia melihat kita bertiga tadi? Aihhh, bingung aku setelah mendengar
dugaan-dugaanmu Koko.!”
“Sudahlah,” Jenderal Kao
menyela. “Tidak peduli itu semua, yang penting, kita harus dapat membekuk
pemuda gila itu dan semuanya akan menjadi terang. Mari kita kejar dan cari
dia!”
Kembali tiga orang yang sedang
dicekam kegelisahan karena kehilangan keluarga itu melanjutkan pencarian
mereka, keluar dari dusun menuju ke selatan. Mereka tiba di tepi sebatang
sungai yang cukup besar yang menjadl cabang Sungai Huang-ho. Terhalang oleh
sungai ini, Jenderal Kao termangu-mangu. Benarkah pengejaran mereka? Apakah
Suma-kongcu lewat ke sini?
Selagi dia bingung dan tidak
tahu harus melanjutkan pengejaran ke mana, tiba-tiba mereka melihat sebuah
perahu meluncur di tengah sungai dan dengan cepatnya perahu itu meluncur ke
pinggir, ke arah di mana mereka berdiri. Seorang bertubuh tinggi kurus
mendayung perahu itu dan benar-benar luar biasa tenaganya karena kekuatan
mendayungnya mampu melawan arus sungai yang cukup kencang di bagian yang menikung
itu.
Perahu itu bercat hitam, di
ujungnya berkibar sebuah bendera kecil hitam pula. Dengan tangkas, orang tinggi
kurus itu melemparkan sehelai tali yang dengan tepatnya mengait akar pohon di
tepi sungai, kemudian, dalam jarak yang masih ada empat tombak jauhnya, sekali
menggerakkan kakinya orang tinggi kurus itu telah meloncat ke darat. Jenderal
Kao Liang terkejut dan diam-diam dia memuji. Ginkang yang luar biasa!
Akan tetapi, sebelum Si Tinggi
Kurus itu mengeluarkan suara, dan dia sedang memandang kepada Jenderal Kao
bertiga sambil menyeringai, dari dalam perahu terdengar suara yang tinggi
nyaring melengking, “Inikah ikan-ikan itu, Hoa-gu? Mana yang lain-lain?
Kelihatan ikan-ikan ini sudah kehilangan sisik-sisik dan sirip-siripnya, untuk
apa lagi? Tidak ada gunanya. Mungkin kita sudah didahului nelayan-nelayan
lain!”
Ucapan itu seolah-olah
percakapan nelayan, akan tetapi Jenderal Kao Liang yang memliiki banyak
pengalaman itu maklum bahwa maksudnya bukan demikian. Pembicara itu menganggap
mereka bertiga seperti ikan-ikan yang sudah kehilangan sisiknya, artinya
orang-orang yang sudah tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Dan sebutan
terhadap Si Tinggi Kurus itu pun aneh. Hoa-gu, berarti Kerbau Belang dan Si
Tinggi Kurus itu kulit muka dan lehernya belang-belang, agaknya menderita
penyakit panu yang sudah menahun dan sudah tak dapat disembuhkan lagi. Akan
tetapi, biasanya orang-orang yang menggunakan julukan aneh-aneh memiliki
kepandaian yang aneh pula, apalagi tadi Si Tinggi Kurus sudah mendemonstrasikan
ginkang yang hebat. Maka dia berhatihati dan memberi isyarat kepada dua orang
puteranya agar berhati-hati.
“Hemmm, tidak salah lagi,
agaknya wanita itu yang sudah mendahului kita, Khiu-pangcu!” kata Si Tinggi
Kurus sambil menoleh ke arah perahu. Jenderal Kao makin waspada. Orang di dalam
perahu itu dipanggil pangcu, tentu seorang ketua dari perkumpulan golongan
hitam.
“Ahhh, itu salahku sendiri,
Hoa-guji! Kenapa kau tidak becus mengalahkan perempuan itu kemarin. Tapi lebih
baik kautanyakan mereka, kemana larinya wanita-wanita itu, agar kita dapat
mengejar dan mencegat mereka sebelum mereka kembali ke sarang mereka!”
Tiba-tiba ada bayangan
berkelebat. Jenderal Kao Liang menjadi kaget ketika tahu-tahu bayangan yang
mencelat dari dalam perahu itu telah berdiri di depannya dan ternyata orangnya
tidak seberapa, hanya seorang kakek tua yang bertubuh pendek kecil dan
kelihatan lemah. Agaknya dengan sekali tamparan tangannya yang kuat, tubuh si
kecil tua itu akan remuk! Akan tetapi tentu saja Jenderal Kao tidak setolol itu
dan dia tahu bahwa si kecil ini malah lebih berbahaya daripada Si Tinggi Kurus!
Jenderal Kao pura-pura tidak
mengerti akan arti percakapan mereka tadi, maka dia mengangkat tangan memberi
hormat sambil berkata, “Harap maafkan, kami ingin sekali bertanya kepada Ji-wi,
apakah Ji-wi ada melihat seorang pemuda berpakaian putih lewat di sini? Kami
sedang mencarinya.”
Kakek kecil itu tertawa dan
melangkah maju. “He-he, kami tidak melihat orang lain di sini, dan bukankah
engkau ini Jenderal Kao Liang yang sudah ditendang keluar dari kota raja?
He-hehe!” Kata-kata dan sikap kakek ini menghina sekali.
Kok Han sudah melangkah maju
hendak mendamprat, akan tetapi ayahnya melarangnya dan Jenderal Kao Liang
dengan tenang menjawab, “Aku adalah Kao Liang, tepat seperti dugaanmu, sobat.
Siapakah engkau, kudengar kau disebut pangcu. Engkau ketua dari perkumpulan
apakah?”
“He-he, aku orang she Khiu
hanya ketua yang ke dua, mewakili Twako (Kakak) untuk mengambil hartamu yang
kaubawa dari kota raja. He-he, jenderal bekas, lekas kaukatakan, di mana
hartamu itu dan siapa yang membawanya?”
“Iblis hina dan busuk!” Kok
Han tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ayahnya dihina seperti itu
dan dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menusuk kakek kecil itu
dengan jurus maut Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan), pedangnya
langsung meluncur ke, arah ulu hati kakek itu dengan kecepatan kilat sehingga
nampak sinar berkelebat menyilaukan mata.
“He-he, bocah, kau boleh
juga!” Kakek kecil itu terkekeh, miringkan tubuhnya dan jari tangannya
menyentil.
“Tringgggg....!”
“Ahhhhh!” Kao Kok Han berseru
kaget dan cepat dia meloncat ke belakang mengikuti ke mana pedangnya terpental
karena pedang yang kena disentil oleh kuku jari tangan kakek itu hampir saja terlepas
dari pegangannya.
“Iblis tua bangka!” teriak Kok
Tiong yang menjadi marah dan orang muda ini pun telah menyerang dengan
pedangnya dengan hebat. Namun dengan mudahnya kakek kecil itu mengelak,
kemudian kakinya yang pendek kecil itu mengelak, hampir saja mencium lambung
Kok Tiong kalau saja dari samping Jenderal Kao Liang tidak cepat menangkis
dengan tangan kirinya.
“Dukkkkk!”
Jenderal Kao Liang merasa
betapa lengannya yang bertemu dengan kaki itu merasa nyeri dan kesemutan, maka
dia terkejut sekali, maklum bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.
“He-he-he! Kiranya bekas
Jenderal Kao masih belum kehilangan kepandaiannya! Akan tetapi seorang jenderal
tanpa pasukan, mau bisa apakah?” Kakek kecil itu mengejek dan kini Jenderal Kao
Liang menjadi marah sekali.
“Engkau tentu seorang pangcu
dari golongan perampok busuk!” teriaknya. “Biarpun aku tidak memegang jabatan
apa-apa, sudah menjadi kewajibanku untuk membebaskan rakyat dari gangguanmu!”
Jenderal itu sudah meloloskan
pedangnya yang panjang, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan
gerakan yang amat kuat dan cepat. Kakek kecil ini pun tidak berani memandang
rendah, cepat dia rnengelak dan balas menyerang, akan tetapi dia masih saja
terkekeh dan menghadapi jenderal tua ini dengan tangan kosong belaka.
Kok Tiong dan Kok Han
menerjang maju, akan tetapi mereka dihadang oleh kakek tinggi kurus yang sudah
memegang sebatang dayung. Melihat ini, dua orang muda itu cepat memutar pedang
mereka danmenyerang. Si Tinggi Kurus memutar dayungnya pula menangkis.
“Cringgggg! Tranggggg....!”
Bunga api berpijar dan dua orang muda itu maklum bahwa selain kakek tinggi
kurus ini bertenaga besar, juga dayungnya itu ternyata bukan dayung kayu
seperti biasa, melainkan dayung baja yang amat kuat pula.
Terjadilah pertempuran hebat
dan seru di tepi sungai itu. Jenderal Kao Liang memang seorang yang memilikl
tenaga besar sekali, akan tetapi ilmu silatnya biarpun cukup tinggi, masih
tidak selihai ilmu perangnya. Dia memutar pedangnya dengan cepat dan kuat
sampai terdengar suara berdesingan dan pedang itu lenyap bentuknya, berubah
menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ternyata kakek kecil itu
memiliki ginkang yang luar biasa, tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti
lenyap dari pandang mata Jenderal Kao sehingga membuat jenderal tua ini
terkejut dan juga bingung. Betapapun juga, kakek kecil yang memandang rendah
dan bersikap sombong itu, yang menghadapi Jenderal Kao Liang dengan tangan
kosong belaka, juga tidak mudah merobohkan Sang Jenderal yang tubuhnya
terlindung oleh sinar pedangnya.
Lima puluh jurus telah lewat
dan Jenderal Kao Liang masih terus menyerang lawannya dengan kemarahan yang
berkobar-kobar. Dia maklum bahwa lawannya ini sedikit banyak tahu akan semua
peristiwa yang menimpa keluarganya, maka ingin dia merobohkan lawan ini, kalau
bisa tidak sampai membunuhnya agar dia dapat memaksanya mengaku. Akan tetapi,
tubuh lawan ini terlalu cepat bergerak.
“He-he-he, jenderal yang tidak
terpakai! Kau masih berani melawan terus?” Kakek kecil itu mengejek dan kini
dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi sungai.
Melihat ini, Jenderal Kao
Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik. Lawannya sudah berada
di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu mengeluarkan
gerengan seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat sekali ke arah
dada lawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Si kakek kecil itu lenyap. Demikian
cepat gerakannya ketika menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal
Kao. Tahu-tahu kakek kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao
yang memegang pedang dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerakmenendang.
ke arah lutut Jenderal Kao. Jenderal ini berseru kaget, kedua kakinya terasa
lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, kakek kecil itu telah menyentak
tangannya, menariknya ke atas membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala
kakek kecil itu dan terlempar ke tengah sungai!
“Byuuuuurrr....!” Tubuh yang
tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan
pedangnya itu mencoba untuk berenang akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia
mendapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih
setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya
menggunakan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak
tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, terseret oleh arus sungai yang kuat.
“Ayahhhhh....!” Kok Tiong
berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu mengalahkan
lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar dayung yang
berkelebatan. Kiranya orang yang berjuluk Kerbau Belang ini kuat sekali, dan
kadang-kadang dari tenggorokannya keluar suara seperti seekor kerbau marah dan
tiap kali terdengar suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi
berlipat ganda kuatnya, membuat dua orang saudara Kao ltu kewalahan. Namun
dengan kerja sama yang rapi, mereka berdua masih dapat saling melindungi dan
menahan amukan kakek tinggi kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.
“He-he-he, Hoa-gu-ji, engkau
benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil saja masih belum
mampu menangkapnya?” Kakek kecil yang telah berhasil melontarkan tubuh Jenderal
Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, tubuhnya berkelebat dan dengan cepat
sekali, menggunakan kesempatan selagi dua orang saudara Kao itu menangkis
dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan darah kin-ceng-hiat di pundak
kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, Kok Tiong dan Kok Han
mengeluh dan roboh lemas.
Hoa-gu-ji menggerakkan
dayungnya ke arah kepala mereka.
“Wuuuuutttttt.... plakkk!”
Dayung itu terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil. “Gilakah
kau, Hoa-guji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kaubunuh?”
Hoa-gu-ji cemberut dan dia
teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan mengikat kedua tangan
Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena merasa malu bahwa dia tidak
mampu merobohkan dua orang musuh itu, maka dalam kemarahannya hampir dia
membunuh mereka. “Maafkan, Pangcu, hampir saya lupa,” katanya setelah mengikat
mereka dan melemparkan tubuh mereka ke atas perahu.
Tak lama kemudian, perahu yang
kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke tengah sungai
mengikuti arus. “Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah kalian! Kalau
tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan di sungai
ini!” Kakek kecil itu membentak.
“Persetan dengan kamu, iblis
tua bangka!” bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga tidak takut atau
jerih menghadapi ancaman kakek kecil itu. Akan tetapi, Kok Tiong yang lebih
cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak, mereka berdua harus hidup,
apalagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap, hanyut ditelan air sungai.
Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dulu dan tidak boleh mati begitu
saja.
“Pangcu, engkau telah keliru
menyerang orang,” katanya tenang. “Ayah kami memang membawa harta benda, akan
tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami ketahui siapa,
keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa. Kami bertiga
sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi sungai.”
“Wah, celaka, benar-benar ada
orang mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda, ceritakan semua dengan jelas.”
Kao Kok Tiong lalu
menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa menceritakan
dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek kecil itu
mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang. “Celaka, siapa
lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji, hayo
cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!”
Perahu meluncur makin cepat
karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga dlbantu oleh
kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara Kao yang
rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu, merasa miris juga melihat
perahu meluncur demikian cepatnya, apalagi karena mereka memang tidak biasa
bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang tadi
mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha berenang
namun terseret oleh arus air.
Khiu-pangcu dan Hoa-gu-jin
kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu ketika perahu itu
melewati sebuah hutan yang liar dan hebat. Mendadak tampak sinar berkelebat
diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah menancap di kepala
perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak bergambar garuda hitam
dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN (Pasukan Air). Melihat
ini dari tempat ia rebah, Kok Tiong dan Kok Han teringat akan lencana yang
mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena memang sama
gambar dan bentuknya, hanya lencana yang mereka temukan itu memakai huruf Pasukan
Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi Pasukan
Air.
Khiu-pangcu terkekeh, lalu
mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.
“Singgggg....!” Cepat sekali
anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu
menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu
karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu,
kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat daripada kalau anak panah itu meluncur
dari sebatang gendewa!
Kini kakek kecil ltu bangkit
berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan kedua lengannya
bertolak pinggang, lalu terdengar suaranya yang tinggi melengking nyaring,
bergema di dalam hutan di seberang sungai, “Haiiiii....! Kenapa hanya pimpinan
Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan yang lain? Hayo
keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke sini! Malam kemarin
kepala Pasukan Kayu telah berani menghina seorang anggauta kami, hayo suruh dia
keluar pula kalau berani!”
Siapakah pelempar anak panah
yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang memakai lencana garuda
hitam itu? Mereka itu adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-eng-pang
(Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak Gunung Cemara. Perkumpulan
ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang
tinggi, dan tangan mereka semua dicacah gambar burung garuda. Di antara mereka
dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Api, Pasukan Air,
Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu, masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara
nyaring merdu di seberang sungai, “Kakek sombong, jangan tekebur, kau!” Dan
munculiah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh tahun dari
balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam dan yang memegang
sepasang pedang. “Tidak perlu saudara-saudara kami maju, cukup kami saja yang
akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kauserahkan tawananmu itu
kepadaku, kami akan membebaskan engkau!”
“He-he-he-he, perempuan cantik
suaranya nyaring!” Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu didayungnya ke
pinggir. Kakek tinggi kurus mengikat perahu di tepi, kemudian bersama
Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh dan tersenyum
simpul.
“He-heh-heh, Nona cantik.
Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja kau membahayakan
kulitmu yang halus, lebih baik suruh semua pasukan maju mengeroyok aku.”
Wanita itu menudingkan pedang
kirinya ke arah muka kakek kecil sedangkan pedang kanannya melintang di depan
dada, sambil berkata, “Khiu-pangcu, jangan kau sombong. Saat ini aku Kim-hi
Nio-cu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga di sini, maka cepat
kauserahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku turun tangan
menggunakan kekerasan.”
“Ha-ha-he-heh, sungguh gagah!
Mari, mari, Nona manis, mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di
mana kehebatanmu!” Khiu-pangcu lalu meraba pinggangnya dan tampak sinar hitam
berkelebat ketika dia telah meloloskan sabuk atau ikat pinggangnya yang panjang
dan ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata cambuk yang ada gagangnya dan
yang ujungnya bercabang-cabang itu.
“Kau bosan hidup!” Wanita
cantik yang berjuluk Nona Ikan Emas itu membentak, pedangnya berkelebatan dan
dalam gebrakan pertama, sepasang pedangnya telah menyambar-nyambar dan menjadi
dua gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan nona ini cepat sekali dan
agaknya dia memiliki ginkang yang amat hebat, sehingga dia menjadi lawan yang
sama cepatnya dengan kakek kecil itu. Akan tetapi, Khiu-pangcu tertawa mengejek
dan begitu dia menggerakkan cambuknya, terdengar suara bersuitan menyakitkan
telinga, diselingi ledakan-ledakan kecil dan setiap ledakan itu mengakibatkan
mengepulnya sedikit asap putih, tanda bahwa gerakan cambuk itu memang kuat
sekali.
Kim-hi Nio-cu menyerang ganas,
sepasang pedangnya merupakan sepasang cengkeraman maut yang mengintai nyawa,
akan tetapi dua gulungan sinar pedang itu selalu terbendung dan terpental kalau
bertemu dengan lingkaran hitam dari cambuk di tangan Khiu-pangcu, bahkan sering
kali terdengar ledakan-ledakan kecil di atas kepala si Nona Ikan Emas, membuat
wanita itu kadang-kadang menjerit kaget dan disusul suara tertawa mengejek dari
Khiu-pangcu.
Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu
mengeluarkan suara bersuit dan munculiah lima orang wanita anak buahnya yang
semua memegang pedang di tangan. Akan tetapi, kini Hoa-gu-ji tertawa dan
menghadang dengan dayungnya yang panjang, dan begitu lima orang wanita itu maju
menyerbu, dayungnya diputar dan lima orang wanita itu tertahan gerakannya tidak
dapat membantu Kim-hi Nio-cu yang terpaksa melayani sambaran-sambaran cambuk
yang amat lihai dari Khui-pangcu itu.
Tak lama kemudian, ketika
Kim-hi Nio-cu sudah terdesak hebat, demikian pula lima orang anak buahnya,
terdengar suitan dari jauh dan munculiah seorang wanita lain yang usianya juga
tiga puluh tahunan, yang cantik tidak kalah dengan Kim-hi Nio-cu, bahkan
kulitnya lebih putih sehingga pakaian hitam itu membuat wajahnya putih halus
seperti salju. wanita ini bersenjatakan sebatang golok kecil lebar yang
mengeluarkan sinar gemerlapan. Inilah kepala dari Pasukan Tanah.
“Adik Liong-li, bantulah aku!”
teriak kepala Pasukan Air dengan girang.
Tanpa diminta untuk kedua
kalinya, wanita cantik yang disebut Liong-li itu segera menerjang maju dengan
goloknya membantu Kim-hi Nio-cu mengeroyok Khiu-pangcu sambil berkata, “Kiranya
Khiu-pangcu, Si tua bangka keparat!”
“He-he-he, cantik....
cantik....!” Gunung Cemara sarang bidadari, sebetulnya menjadi sumber
kenikmatan dan kesenangan, sayang malah menjadi sumber kejahatan dan kekacauan!
He-he-he!” Khiu-pangcu masih sempat tertawa ketika dia mengelak dari sambaran sinar
kilat dari golok di tangan Liong-li.
Pertempuran menjadi makin
hebat, akan tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang wanita itu masih
kalah jauh dibandingkan dengan tingkat kepandaian Khiu-pangcu. Lewat lima puluh
jurus, sinar hitam dari cambuknya mengurung dan menghimpit, membuat dua orang
wanita itu mandi keringat dan tak lama kemudian, Khiu-pangcu berhasil
merobohkan mereka dengan totokantotokannya yang lihai. Juga Si Tinggi Kurus
Hoa-gu-ji berhasil merobohkan lima orang pengeroyoknya yang cepat meloncat ke
air, menyelam dan lenyap.
“He-he-he, percayakah kalian
sekarang?” Khiu-pangcu tertawa mengejek, menyimpan sabuknya dan memandang dua
orang wanita yang roboh terlentang dan tak dapat bergerak karena tubuhnya
lumpuh, hanya mata mereka memandang dengan mendelik marah kepada kakek kecil
itu. “Seharusnya kalian mengajak semua saudara kalian ke sini baru bisa agak
seimbang melawan aku. Nah, sekarang katakan, di mana adanya harta rampokkan
milik keluarga Jenderal Kao itu? Katakan sebenarnya, kalau tidak kalian akan
kubunuh, kemudian akan kutantang ketua kalian biar peristiwa dua tahun yang
lalu terulang kembali. Sayang, ketika itu muncul Pendekar Siluman Kecil
sehingga pertempuran terhenti dan nyawa Perkumpulan Hek-eng-pang selamat.”
“Bedebah tua bangka! Siapa
takut mati? Mau bunuh lekas bunuh, akan ada teman-teman kami yang membalaskan
kematian kami, yang akan melumatkan perkumpulanmu dan meratakan sarang kalian
dengan bumi. Hayo, bunuhlah!” Kim-hi Nio-cu menantang.
“Tua bangka gila, namaku bukan
Liong-li kalau aku takut mampus!” Kepala Pasukan Tanah juga menantang dengan
pandang mata menghina.
Khiu-pangcu menggaruk-garuk
kepalanya. “Wah, wah, hebat sekali. Hoa-guji, kalau anak buah kita tidak
setabah mereka ini, sungguh kita harus merasa malu.”
“Ji-pangcu (Ketua Ke Dua),
boleh jadi mereka tidak takut mati, akan tetapi apakah Pangcu lupa bahwa ada
sesuatu yang lebih ditakuti wanita daripada maut?” Hoa-gu-ji berkata sambil
tertawa menyeringai, memperlihatkan gigi yang sudah keropok dan kuning dekil.
“Hah? Ohhh....
he-he-hea....kau memang cerdik!” Khiu-pangcu berkata dan sambil tertawa-tawa
dia lalu berjongkok mendekati tubuh Kim-hi Niocu, menggunakan kedua tangan
menggerayangi tubuh wanita cantik itu sambil mulai melepas-lepaskan pakaiannya.
Sedangkan Hoa-gu-ji dengan lagak menjemukan juga menggerayangi tubuh Liong-li
dan melepaskan kancing-kancing baju wanita cantik itu.
Kim-hi Nio-cu dan Liong-li
menjerit.
“Tua bangka! Apa yang
kaulakukan ini? Lepaskan aku!” Kim-hi Nio-cu berteriak.
“Keparat tak tahu malu,
lepaskan aku!” Liong-li juga menjerit-jerit, akan tetapi karena tak dapat
bergerak, maka dia hanya terbelalak penuh kengerian.
“He-he-he, hendak kulihat, kau
lebih suka dicemarkan atau berterus terang!” Khiu-pangcu mengejek dan sudah
mulai menanggalkan pakaian luar Kim-hi Nio-cu sehingga mulai nampaklah bentuk
tubuhnya yang padat membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis, dan nampak
pula kulitnya yang putih halus dan menggairahkan itu.
“Jangan....! Kami.... akan
berterus terang....!” Akhirnya Kim-hi Nio-cu berteriak dengan suara lemah,
tanda bahwa dia tidak mempunyai semangat untuk melawan lagi. Menghadapi
kematian dia masih tabah, akan tetapi kalau harus dihina lebih dulu oleh kakek
yang menjijikkan ini, benar-benar hebat dan dia tidak sanggup menghadapinya.
“Akan tetapi kau harus berjanji demi kedudukanmu bahwa kalau kami mengaku terus
terang, kau tidak akan mencemarkan kehormatan kami.”
Khiu-pangcu bangkit berdiri.
“He-he-he.... siapa sih yang masih haus akan tubuh perempuan muda? Aku sudah
muak!”
“Tapi.... dia.... dia
ini....!” Liong-li menjerit. Hoa-gu-ji yang agaknya sudah bangkit berahinya itu
mulai meraba celana dalam berwarna hitam yang amat kontras dengan paha yang
putih mulus dari Liong-li.
“Hoa-gu-ji, kau benar-benar
seperti kerbau! Hayo mundur!” Khiu-pangcu membentak dan kakek tinggi kurus itu
tersentak kaget, lalu bangkit dan mundur dengan muka merah menarik napas
menahan nafsu berahinya yang berkobar dan jelas dia amat kecewa.
“Nah, ceritakanlah!”
Khiu-pangcu menghardik kepada Kim-hi Nio-cu.
“Harap.... bebaskan dulu
kami.... bicara begini tidak enak....”
“Huhhh, dasar perempuan.
Cerewet amat!” Khiu-pangcu mengomel, akan tetapi tetap saja tangannya bergerak
dua kali dan dua orang wanita muda cantik itu dapat bergerak, lalu cepat-cepat
mereka memakai kembali pakaian luar mereka yang sudah ditanggalkan oleh dua
orang kakek itu. Setelah, itu, barulah Kim-hi Nio-cu bercerita dengan suara
lirih, karena sesungguhnya dia terpaksa mengalah.
“Kami belum mendapatkan harta
Jenderal Kao. Kami bertemu dan bentrok dengan pesukan asing yang lihai, bahkan
adik kami kepala Pasukan Kayu telah tewas ketika bertanding dengan pemimpin
pasukan asing itu. Karena kami belum mendapatkan harta itu, maka kami mengejar
Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang kautawan itu untuk menanyakan di mana
adanya harta benda mereka yang tadinya mereka bawa dalam rombongan mereka dari
kota raja.”
“Aih, begitukah? Kalau begitu
kita semua telah dipermainkan oleh keluarga Kao itu!” Khiu-pangcu berkata marah.
“Hoa-gu-ji, seret mereka keluar dari perahu dan bawa ke sini!”
Hoa-gu-ji yang masih kecewa
itu kini dengan kasar menyeret tubuh Kok Tiong dan Kok Han keluar dari perahu
dan melemparkan tubuh mereka yang terbelenggu itu ke atas tanah di depan kaki
Khiu-pangcu. Dua orang muda itu menggulingkan tubuh agar terlentang dan dapat
melihat orang-orang yang menawannya. Mereka melihat dua orang wanita cantik itu
dan menduga-duga siapa adanya mereka.
“Hayo katakan yang sebenarnya,
di mana kalian menyembunyikan harta Ayah kalian yang tadinya kalian bawa dalam
rombongan itu! Kalau tidak, jangan mengatakan Khiu-pangcu berlaku kejam, kalian
tentu akan kusiksa di sini!” Khiupangcu membentak marah karena dia merasa
dipermainkan.
Kok Han memandang dengan mata
melotot. “Sudah kukatakan padamu, terserah kamu percaya atau tidak!” Pemuda ini
membentak juga. “Mau siksa, mau bunuh, siapa sih yang takut?”
Kok Tiong cepat berkata,
“Pangcu, kami adalah putera-putera seorang besar dan keluarga kami semenjak
puluhan tahun terkenal sebagai keluarga pahlawan yang pantang untuk membohong,
apalagi memberatkan harta benda! Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu siapa
yang merampas harta kami, siapa pula yang menculik keluarga kami.”
“Hemmm, agaknya kalian perlu
diberi rasa sedikit. Bocah-bocah keras kepala, biarpun kalian putera-putera
bekas Jenderal Kao Liang, akan tetapi agaknya kalian belum mengenal siapa aku,
ya? Dan kalian belum mendengar tentang senjata rahasiaku Touw-kut-tok-ciam
(Jarum Beracun Penembus Tulang)! Apakah kalian mau merasakannya?”
“Khiu-pangcu, kami kira mereka
ini tidak berbohong. Perlu apa menggunakan jarum beracunmu yang mengerikan
itu?” Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu mencela kakek itu.
“Ha-ha-he-he, agaknya kau
sayang melihat ketampanan mereka, ya? Hoh ho, biar kalian juga melihat betapa
hebatnya jarum Touw-kut-tok-ciam dari Khiu-pangcu, agar lain kali kalian
bocah-bocah tidak berani kurang ajar melawan aku!”
Akan tetapi tiba-tiba kakek
ini tidak melanjutkan tangannya yartg hendak merogoh saku mengeluarkan jarum beracunnya,
karena pada saat itu terdengar suara orang bersenandung, Ialu lewatlah seorang
pemuda berpakaian abu-abu di tempat itu. Dua orang putera Jenderal Kao yang
terlentang melihat pemuda ini dan hampir saja mereka mengira bahwa yang lewat
itu adalah Suma-kongcu yang mereka cari-cari, karena suara itu hampir sama
dengan suara senandung yang mereka dengar di atas tebing kemarin dulu. Akan
tetapi orang ini pakaiannya abu-abu, tidak putih-putih, dan ketika mereka
berdua memandang wajah itu, mereka tahu bahwa orang ini bukanlah Suma Kian Lee
atau Suma Kian Bu yang pernah mereka lihat dan mereka kenal.
Pemuda berpakaian abu-abu itu
menghentikan senandungnya dan bahkan berhenti melangkah, lalu menghampiri
mereka dengan wajah heran. “Eh, ada terjadi apakah di sini? Mengapa kalian
berdua tiduran di tanah yang kotor? Eh, bukankah kalian ini putera-putera
Jenderal Kao Liang?” Pemuda itu laiu menoleh dan memandang bergantian kepada
dua orang wanita Garuda Hitam dan kepada Khiu-pangcu dan Hoa-gu-ji, kemudian
dia mengerutkan alisnya dan menegur. “Heiii, kenapa kalian menawan dua orang
putera Jenderal Kao Liang ini? Ehem, tentu kalian mengincar harta benda mereka,
bukan? Tolol, mereka itu adalah keluarga yang gagah perkasa dan bersih, harta
benda mereka bukanlah hasil korupsi. Sama sekali bukan, melainkan harta yang
bersih, hasil dari jerih payah dan keringat mereka sendiri. Ho-ho, kalian
memang tolol, karena kalian sudah terlambat semua, harta itu telah berada pada
Suma-kongcu.”
“Eh, bocah lancang, kau tahu
apa?” Khiu-pangcu membentak marah, tangannya melayang. Dalam kemarahannya
karena dia tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda ini, yang bahkan memakinya
tolol, di dalam tamparan itu Khiu-pangcu mengerahkan sinkangnya sehingga
tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, yang bahkan cukup kuat untuk
menghancurkan batu karang, apalagi kepala pemuda yang kelihatan lemah itu.
“Wuuuuuttt.... plakkkkk....
aughhh....!”
Sungguh mengherankan sekali.
Pemuda itu agaknya dengan acuh tak acuh, dengan gerakan sembarangan saja,
mengangkat tangan menyambut tamparan itu sehingga dua tangan itu bertemu, dan
akibatnya, Khiu-pangcu terhuyung ke belakang memegangi tangannya dan
meniup-niupnya karena terasa panas seperti dibakar!
“Bangsat cilik keparat!” Kakek
itu marah sekali dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian dia sudah
menerjang dengan kedua tangannya digerakkan, yang kiri menotok ke arah
tengah-tengah antara mata dan yang kanan mencengkeram ke arah pusar pemuda
berpakaian abu-abu itu. Jelas betapa marahnya Khiu-pangcu karena, serangan yang
dilakukannya ini adalah serangan maut yang amat hebat, yang sukar dihadapi oleh
yang tangguh sekalipun, apalagi oleh orang muda tidak ternama yang berpakaian
sederhana seperti seorang pemuda gunung biasa itu.
“Wuuuttttt, plak-plak, desssss....!”
Dan semua orang terbelalak melihat Khiu-pangcu roboh terjengkang.
“Blukkk!” Pantat yang tipis
dari Khiu-pangcu terbanting ke atas tanah, debu mengebul dan kakek kecil itu
meringis kesakitan, juga keheranan.
“Siuuuuuttttt....!” Sebatang
dayung panjang meluncur dan menghantam ke arah kepala pemuda berpakaian abu-abu
itu. Itu adalah penyerangan yang dilakukan oleh Hoa-gu-ji, yang menjadi marah
melihat betapa ketuanya sampai dua kali dibikin malu oleh pemuda itu. Hantaman
dayungnya itu amat kuat, mengandung tenaga ratusan kati dan akan menghancurkan
batu karang kalau mengenainya. Akan tetapi, tanpa menoleh pemuda itu mengangkat
tangan kirinya menangkis, gerakan tangannya jelas menunjukkan bahwa sekali ini
dia mengerahkan tenaganya.
“Krakkk!” Dayung itu bertemu
dengan lengan tangan pemuda itu dan patah! Hoa-gu-ji melongo, akan tetapi dia
terkejut sekali karena pemuda itu sudah menyambar sepotong dayung yang patah
tadi dan memukulkannya ke arah kepalanya. Pukulan sembarangan saja, seperti
seorang yang memukul seekor anjing. Hoa-gu-ji cepat mengangkat sisa potongan
dayung, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Bukkk!” Sungguh aneh, biarpun
ditangkis, tetap saja potongan dayung itu mengenai punggungnya dan robohlah
Hoagu-ji, mulutnya memuntahkan darah segar dan dia sibuk berusaha untuk
mengelus punggung dengan kedua tangan, melalui atas dan bawah pundak sambil
mengerang kesakitan.
Kalau saja dia tidak begitu
marah, tentu Khiu-pangcu sudah dapat mengerti bahwa pemuda itu bukan orang
sembarangan, bahkan memiliki kepandaian yang amat hebatnya. Akan tetapi
kemarahannya membuat dia seolah-olah menjadi buta. Dengan teriakan nyaring
tangannya bergerak dan beberapa sinar putih meluncur ke arah pemuda itu dan
menyerang beberapa bagian tubuh yang berbahaya, di tenggorokan, ulu hati, dan
pusar. Itulah tiga batang jarum Touw-kut-tok-ciam yang amat berbahaya, yang
menyambar dari jarak dekat. Serangan tiba-tiba itu sama sekali tidak dapat
dihindarkan lagi oleh pemuda itu, kecuali dua, yaitu yang menyambar ke arah
tenggorokan dan pusar. Kedua tangannya bergerak menangkap dua batang jarum itu
dengan menjepitnya antara jari tengah dan telunjuk, sedangkan jarum yang
meluncur ke arah dadanya, dia terima begitu saja.
“Cappp!” Jarum itu menancap di
bajunya dan kedua orang putera Jenderal Kao sudah terbelalak ngeri, apalagi dua
orang wanita Garuda Hitam yang sudah mengenal kehebatan jarum beracun itu.
Tentu pemuda lihai itu akan celaka karena dadanya telah termakan oleh sebatang
jarum yang amat berbahaya itu. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali.
Pemuda berbaju abu-abu itu
seperti tidak merasakan sama sekali, malah sambil tersenyum mengejek dia
berkata, “Orang sinting! Kau makanlah sendiri jarum-jarummu!” Dan tangannya
yang menjepit jarum-jarum itu meluncur ke bawah, ke arah Khiu-pangcu! Kakek itu
berusaha meloncat dan mengelak, akan tetapi dia roboh kembali karena dua batang
jarumnya telah menancap di kedua betis kakinya, menembus tulang!
Dia terkejut sekali,
tergopoh-gopoh dia mengeluarkan sebungkus obat dan cepat-cepat dia menelan
empat butir pil hitam, mencabut dua batang jaram itu dan menggosokkan obat pada
bekas luka tertusuk jarumnya sendiri. Dia selamat dari bahaya maut, akan tetapi
tetap saja dia mengaduh-aduh karena rasa yang menusuk-nusuk tulang akibat
bekerjanya racun jarum itu. Pemuda itu dengan sikap tidak peduli lalu mencabut
jarum yang menancap di baju dadanya, melemparkan jarum itu jauh ke tengah
sungai. Kiranya yang tertembus jarum hanya bajunya dan agaknya kulitnya tidak tertembus,
buktinya dia tidak merasakan apa-apa. Sungguh seorang pemuda yang berkepandaian
luar biasa sekali.
“Pergilah kalian!” kata pemuda
itu kepada dua orang kakek yang telah dirobohkan itu. “Cepat, kalau tidak
terpaksa aku akan membunuh kalian!”
Tergopoh-gopoh Hoa-gu-ji yang
punggungnya masih sakit itu memanggul Khiupangcu yang tidak dapat berdiri, lalu
dengan susah payah memasuki perahu dan mendayung perahu ke tengah sungai.
Mereka ketakutan dan bahkan tidak berani bertanya siapa adanya pemuda baju abu-abu
yang amat lihai itu.
Pemuda berpakaian abu-abu itu
lalu membungkuk, kedua tangannya bergerak dan dengan amat mudahnya seperti
memutus benang-benang saja, dia telah menggunakan jari-jari tangannya untuk
mematahkan belenggu kaki tangan dua orang saudara Kao. Mereka itu bangkit
berdiri dan menjura untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi pemuda baju
abu-abu itu menggerakkan tangan, agaknya tidak senang melihat orang
menghaturkan terima kasih dan ia berkata, “Sudahlah, kalau kalian ingin mencari
kembali harta yang hilang, kalian cari saja Suma-kongcu. Yang lain-lainnya aku
tidak tahu.”
Dua orang saudara Kao itu
mengangguk, mereka masih merasa tegang dan kagum, juga terheran-heran memandang
pemuda yang luar biasa ini. Akan tetapi pemuda itu tidak lagi mempedulikan
mereka, malah menoleh kepada Kimhi Nio-cu dan Liong-li sambil berkata, “Kalian
pun boleh pergi, jangan mengganggu dua orang pemuda ini. Laporkan kepada ketua
kalian bahwa aku ingin menemuinya.” Setelah berkata demikian, pemuda baju
abu-abu itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ sambil bersenandung.
“Maaf, Taihiap! Bagaimana kami
akan melapor ketua tanpa mengetahui nama Taihiap?” Kim-hi Nio-cu berseru dengan
sikap hormat.
Pemuda itu menoleh dan
tersenyum. Wajahnya tampan sekali ketika tersenyum, mengusir kemuraman yang
membayangi wajah itu. “Katakan saja kepada ketuamu bahwa aku biasa membunuh
dengan jari-jari tanganku ini, tentu dia akan mengenalku. Nah, aku pergi!” Baru
saja dia berkata demikian, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap! Dua orang
wanita yang lihai itu menjulurkan lidah penuh rasa kagum , dan ngeri, kemudian
mereka pun pergi setelah melirik ke arah dua orang putera Jenderal Kao yang
masih berdiri terlongong di tepi sungai.
“Eh, Nona, harap tunggu dulu!”
Tiba-tiba Kok Tiong berseru ketika dia melihat dua orang wanita itu pergi
meninggalkan tempat itu tanpa bicara apa-apa.
Kim-hi Nio-cu dan Liong-li
berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Dua orang pemuda putera
Jenderal Kao itu gagah dan tampan, tentu saja hati mereka tertarik, akan tetapi
teringat akan pesan pemuda berbaju abu-abu, mereka berdua merasa ngeri dan
tidak berani mengganggu sedikit pun.
“Ada apakah, Kongcu?” Kim-hi
Niocu berkata sambil tersenyum manis, matanya yang jernih memandang tanpa
menyembunyikan rasa kagumnya.
“Kami dapat menduga bahwa Nona
berdua tentulah anggauta-anggauta perkumpulan yang amat terkenal di daerah ini.
Akan tetapi kami tidak tahu, Nona berdua dari golongan apakah? Kami mendengar
bahwa ada dua golongan di daerah ini, dan Nona ini dari Gunung Cemara ataukah
dari seberang lembah?”
Kim-hi Nio-cu tertawa kecil.
“Dua orang tua tadilah yang datang dari lembah,” jawabnya dengan suara merdu.
“Mereka itu adalah tokoh-tokoh Huangho Kui-liong-pang (Perkumpulan Naga Setan
dari Huang-ho), sedangkan kami adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan
Hek-eng-pang dari Gunung Cemara.
“Maafkan kalau kami bersikap
kurang hormat, Nona. Kiranya Ji-wi (Anda Berdua) adalah kepala-kepala pasukan
dari perkumpulan besar Hek-eng-pang. Akan tetapi, Nona tentu tahu ke mana
perginya para wanita dan anak-anak, yaitu keluarga kami?”
Kim-hi Nio-cu memainkan
matanya, mengerling tajam penuh daya tarik, kemudian sambil meremas-remas jari
tangannya, sikapnya seperti seorang dara tujuh belas tahun saja, dia berkata,
“Saya tidak bisa bicara banyak. Hoa-gu-ji itu bentrok dengan adik kami, kepala
Pasukan Kayu di luar hutan malam kemarin untuk memperebutkan harta, keluarga
kalian. Hoa-gu-ji kalah, lalu pergi. Kalian adalah bagian kami. Akan tetapi
muncul pasukan asing di tebing ketika kami hendak turun tangan, terjadi perang
dan kami menang, sungguhpun kepala Pasukan Kayu, adik kami itu tewas.
Sayangnya, harta itu telah dirampas oleh seorang pemuda tampan yang luar biasa
sekali, demikian menurut keterangan keluarga kalian, katanya pemuda yang
merampas harta itu adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih.”
Kok Tiong bertukar pandang
dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah Suma-kongcu seperti yang
disebut-sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh pemuda berpakaian
abu-abu yang lihai tadi. “Kalau begitu, ke manakah perginya keluarga kami?”
tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran.
Kembali Kim-hi Nio-cu
memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya tarik.
“Hi-hikkk.... Ji-wi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat menemukan
harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama Suma-kongcu, dan
menyerahkan harta itu kepada kami, hemm.... selain kami akan berterima kasih
sekali, akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan dan tamu-tamu agung,
juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu. Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah
pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di puncak Gunung Cemara. Sampai
jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu. Marilah, Adik Liong-li!”
Kim-hi Nio-cu menggandeng tangan Liong-li, kemudian sambil tertawa-tawa dan
dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita cantik yang nyaris diperkosa
oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera Jenderal Kao yang
berdiri bengong dan bingung.
Tentu timbul pertanyaan di
hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda berpakaian abu-abu yang sederhana,
tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali,
pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan seorang diantara
tokoh-tokoh besar cerita itu. Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda ini adalah
putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi. Ibunya itu,
Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In dan
mengandung.
Dialah anaknya dan karena dia
bukan anak sah dari Wan Keng In, maka ibunya memberi she ibunya dan she itu
tetap terus dipakainya. Setelah melalui perjalanan hidup yang berliku-liku,
yang dituturkan secara menarik dan menegangkan dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali, akhirnya Ang Tek Hoat diaku sebagai seorang pahlawan di negara Bhutan
dan ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, seorang puteri yang cantik jelita
dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh cinta kepada Ang Tok Hoat, biarpun
pemuda ini pernah menjadi seorang yang sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya.
Mengingat bahwa ayah kandung
Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari Pendekar Super Sakti
Majikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau Es yang terkenal,
karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di dalam cerita Kisah
Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat telah mewarisi
ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan kini dia
memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh tandingan.
Akan tetapi mengapa pemuda
perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang diaku sebagai
pahlawan negara Bhutan karena pembelaannya ketika negara itu diserang oleh
musuh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho seorang diri? Untuk menjawab
pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak semenjak empat tahun yang lalu,
ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan.
Seperti telah dituturkan di
dalam bagian terakhir dari cerita Kisah Sepasang Rajawali, Ang Tek Hoat telah
ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan sebagai seorang
pahlawan yang diangkat menjadi panglima. Dia telah menjadi seorang panglima
muda yang terhormat, bahkan terkenal sebagai calon mantu raja, tunangan Puteri
Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari pernikahan mereka hanya
tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih menangguhkannya mengingat bahwa
Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa baru saja Puteri Syanti Dewi
kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun lenyap (baca cerita Kisah
Sepasang Rajawali).
Akan tetapi, tidak ada
kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini. Di mana terdapat
kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang, puas dan
kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan-pasangan yang tak dapat
dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati oleh Ang
Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya. Terjadi hal yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya.
Beberapa bulan sudah Ang Tek
Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat megah dan indah,
sebuah bangunan istana yang tidak jauh dari istana raja. Hampir setiap hari dia
dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi,
dan dalam beberapa bulan saja, tubuh Tek Hoat kelihatan segar, sehat dan agak
gemuk. Akan tetapi diam-diam dia mulai tidak kerasan, karena kehidupan yang
dialaminya sehari-hari terlalu enak, terlalu menganggur dan membuatnya malas.
Dia sudah biasa hidup merantau, sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan,
yang memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia
tinggal di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang
menghadiri sidang di dalam istana, membicarakan urusan kenegaraan yang tidak
begitu dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta
dan membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya,
demi cintanya terhadap Syanti Dewi.
Hari masih pagi sekali dan
baru saja Tek Hoat mandi pagi dan bertukar pakaian ketika seorang pengawal
menghadapnya dan melapor bahwa terjadi keributan di luar pintu gerbang istana
karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu dengan Panglima Ang!
“Siapakah dia?” tanya Tek Hoat
dengan alis berkerut, akan tetapi hatinya berdebar girang karena baru sekarang
terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat dengan aman dan
mulus tanpa peristiwa berarti.
“Dia tidak mau mengaku
namanya, hanya mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan Panglima Ang. Ketika
di cegah, dia malah merobohkan dua orang perajurit pengawal dan karena dia
mengaku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan jaga tidak berani lancang
turun tangan dan menyuruh hamba datang melapor.
Tek Hoat lalu bergegas
meninggalkan gedungnya danpergi ke pintu gerbang di mana para perajurit sedang
menghadapi seorang wanita yang marah-marah. Jantungnya berdebar keras ketika
mendengar suara wanita itu, cepat dia lari menghampiri dan menguak para
perajurit, melangkah ke depan wanita itu.
“Tek Hoat !”
“Ibu....!”
Semua orang melongo ketika
melihat betapa panglima baru mereka itu berpelukan dengan wanita galak tadi.
Kiranya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan angkuh itu
adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja mereka, ibu dari
tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tanpa banyak cakap lagi karena di situ
terdapat banyak orang, Tek Hoat lalu menggandeng ibunya, diajak ke istananya.
Setelah tiba di istana,
kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk puteranya sambil
menangis sesenggukan. “Terlalu kau.... Tek Hoat, kau sampai bertahun-tahun
tiada berita, aku sampai susah payah, sengsara mencari-carimu kiranya engkau
menjadi seorang besar di negara asing ini hu-hu-huuuh....”
“Sudahlah, Ibu. Harap kau suka
ampunkan aku. Aku mengalami banyak liku-liku dalam hidup, bahkan sampai
terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur maka aku belum
sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap jangan
menangis.”
Setelah rasa penasaran dan
keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu mendengarkan penuturan puteranya,
semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huangho sampai dia menjadi panglima besar
di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkannya secara singkat dan hanya
garis-garis besarnya saja.
“Dan aku memperoleh kenyataan
yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bukanlah Gak Bun Beng “
“Hemmm, aku juga sudah tahu!”
tukas ibunya. “Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di sini sedangkan
musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan dendam dan sakit
hati ibumu? Anak macam apa engkau ini? Mau enak-enak saja di sini menjadi
panglima?”
Tek Hoat terkejut. “Ibu!
Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng bukanlah musuh Ibu?
Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Paman Gak Bun Beng yang ternyata
adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama sekali bukan musuh
kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu telah tewas.”
“Maksudmu ?”
“Wan Keng In itu.... Ayah....
kandungku.... Si keparat jahanam yang memperkosa Ibu...., ahhh, mengapa dahulu
Ibu menceritakan yang bukan-bukan kepadaku? Kiranya Wan Keng In yang memperkosa
Ibu, akan tetapi dia menggunakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu mengira Gak Bun
Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu membohongiku dengan cerita lain agar
aku membunuh.... Ayah kandungku. Sekarang, syukur bukan Paman Gak yang berdosa,
dan orang yang berdosa, she Wan itu dia telah mati. Habislah sudah riwayat
busuk itu, Ibu.”
“Siapa bilang habis? Aku,
Ibumu, tidak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam yang kutanggung
selama hidupmu ini.”
“Maksud Ibu?”
“Wan Keng In si keparat sudah
mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kandung keparat itu masih hidup!”
“Ihhhhh....!” Tek Hoat berseru
kaget dan membelalakkan matanya. “Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng In Itu?”
Ang Siok Bi mengangguk. “Dia
bernama Lulu, dia adalah isteri ke dua dari Majikan Pulau Es.
“Dan Majikan Pulau Es adalah
Pendekar Super Sakti dan isterinya yang ke dua itu adalah Nenekku! Ibu, betapa
mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak berdosa apa-apa itu!”
“Tidak peduli! Wan Keng ln
sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkan manusia iblis
itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus membantu Ibumu!”
“Ibu....!” Tek Hoat menutupi
muka dengan kedua tangannya, mukanya menjadi pucat sekali.
Ang Siok Bi meloncat berdiri,
lalu menyergap anaknya, memegang pundaknya dan mengguncangnya keras-keras.
“Apa? Kau.... kau takut? Kau jerih menghadapi keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu
akan pergi sendiri!”
“Ibu, jangan....! Bukan begitu
maksudku. Akan tetapi aku.... aku telah menerima kebaikan Sri Baginda di Bhutan
ini, aku....”
“Kau sudah mabuk kemewahan?
Tugas hidupmu paling utama, membalas dendam Ibumu paling perlu, setelah itu
terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi.”
“Bukan itu, Ibu, akan tetapi
aku.... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan Puteri Syanti
Dewi.”
“Huh, lain kemewahan lagi!”
“Jangan Ibu berkata demikian,”
Tek Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa tersinggung.
“Ketahuilah, Ibu. Biarpun Syanti Dewi itu puteri raja, akan tetapi aku cinta
padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan dia adalah seorang
gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan dia karena cinta,
bukan karena dia puteri raja.”
Ang Siok Bi mengangguk-angguk
tak sabar. Baiklah, baiklah, kau cinta padanya, dan dia cinta padamu. Karena
itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kaubawa dia pulang ke
Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk membalas ibu si keparat
Wan Keng In!”
“Akan tetapi tidak mungkin
itu, Ibu!” Tek Hoat berkeras menolak.
“Tidak mungkin katamu?
Mengapa?”
“Terlalu banyak hal-hal yang
membuat aku tidak mungkin melakukan permintaanmu itu.”
“Huh! Begitu? Coba katakan,
apa hal-hal itu?”
“Pertama, tidak mungkin Sri
Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena beliau amat
mencinta puterinya. Ke dua, aku telah diangkat menjadi panglima dan tenagaku
dibutuhkan di Kerajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi terpaksa
harus kulakukan. Ke tiga tidak mungkin aku memusuhi keluaraga Pulau Es.
“Ehhhhh? Kau.... kau takut?”
Tek Hoat menggeleng kepala dan
menarik napas panjang. Biarpun mereka itu amat sakti, aku tidak takut. Aku hanya
segan, karena mereka itu adalah keluarga pendekar yang sakti dan budiman, dan
aku.... aku bahkan bangga dapat menyebut Pendekar Super Sakti sebagai Kakek
tiriku.”
“Cih! Pengecut!”
“Ibu....!”
“Engkau anakku, engkau harus
menurut kepada Ibumu!”
“Maaf, Ibu. Akan tetaipi tidak
mungkin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini bersamaku, hidup
tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, mengapa Ibu mendendam kepada
keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu, kumohon padamu
jangan....”
“Cukup!” Ang Siok Bi bangkit
berdiri. Pada saat itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir
dan poci teh, akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Ang Siok Bi menendang
sehingga baki itu terlempar, cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhamburan,
si pelayan menjerit dan lari masuk. “Aku tidak sudi minum air tehmu! Kau anak
durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk! Baik, aku akan pergi dari
sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati kelaparan di sana daripada
hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!” Ang Siok Bi marah sekali dan dia
lari keluar.
“Ibu....!” Tek Hoat berteriak
akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya sehingga pemuda yang gagah perkasa ini
menjatuhka diri di atas kursi dengan muka pucat sekali. Tak disangkanya akan
terjadi peristiwa seperti itu dan dia menyesal, menyesal sekali, akan tetapi
apa yang dapat dia lakukan?
Tek Hoat tidak tahu bahwa
semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di
samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya dengan
hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan
itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan
keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang! senang ini,
terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, putera dari panglima pertama
Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama
menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain
Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu,
apalagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu
kini demikian cantik jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan
tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang
baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti
kesempatan untuk “menjatuhkan” saingannya yang dia tahu amat sakti itu.
Dan pada hari itu, tibalah
kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata.
Ketika mata-matanya memberi tahu tentang munculnya seorang wanita kasar yang
mengaku “ibu” dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar
tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika
mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.
Ang Siok Bi masih marah-marah
ketika dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang
memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya, kemudian panglima muda
itu berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat
baik dari putera Toanio dan saya selalu siap untuk menolong, terutama kepada
Toanio sebagai Ibu sahabat saya.”
“Huh, aku tidak mempunyai
urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!” Ang Siok Bi hendak
melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa
Han yang fasih.
“Toanio, bukankah Toanio
menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau
hanya begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio”
Bersambung