Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 32 - Rumah Kosong
Mereka layak mampus! Engkau
juga!! Tek Hoat menghardik dan memandang marah.
Keparat kau, manusia tidak
mengenal budi!! Hong Kui tak dapat menahan kemarahannya dan dia menyerang
dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong
dengan tangan kirinya. Angin kuat menyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang.
Wanita ini makin marah dan meloncat keluar dari dalam rumah.
Keluarlah kau kalau jantan!!
tantangnya.
Tek Hoat yang kecewa dan marah
itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui menggerakkan tangannya dan
sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat. Pemuda ini maklum bahwa itulah
senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw Siauw Mo-li. Lawan yang kurang
hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia ini, tentu akan celaka,
setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan benda itu
lewat.
Darrr....!! Benda itu meledak
ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya jebol.
Dua kali lagi Mauw Siauw Mo-li
menyambitkan senjata-senjata rahasia peledaknya, namun semua dielakkan oleh Tek
Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim serangan dengan hantaman kedua
tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti Bumi. Mauw Siauw Mo-li
berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan sebelum dia dapat
menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai pinggulnya.
Bukkk! Aughhh!! Wanita itu
menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia bangkit dan
menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri.
Kau kejam sekali, Tek Hoat.
Kubunuh kau kalau aku mendapat kesempatan!! teriaknya marah.
Mo-li, kalau aku tidak ingat
bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap kau dapat pergi dari
sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergilah dan jangan berani memperlihatkan
mukamu yang tak tahu malu itu kepadaku lagi!! Tek Hoat berkata.
Uhhh....!! Bedebah, manusia
sombong kau!! Mauw Siauw Mo-li memaki, memandang dengan mata mendelik, akan
tetapi dia tidak berani bergerak menyerang, akhirnya dia membalikkan tubuhnya
dan lari sambil berteriak melengking nyaring, makin lama suaranya makin jauh
sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak ekornya.
Semua ini terlihat oleh
Hek-sin Touw-ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat lari menghampiri muridnya,
menotok membebaskan gadis itu, kemudian Tek Hoat menghampiri dia dan
membebaskan pula totokannya.
Hek-sin Touw-ong bangkit
berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, kemudian dia memandang
kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.
Kau.... kau Si Jari Maut?!
tanyanya.
Tek Hoat mengangguk. Maafkan
kalau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi, tadinya aku mengira bahwa
engkau telah menculik Puteri Bhutan.!
Puteri Bhutan?! Kakek itu
berkata dan mengerutkan alisnya. Sungguh aneh, betapa banyak orang mencari
Puteri Bhutan!!
Apa maksudmu....?!
Swi Hwa, jangan!! tiba-tiba
kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan tubuhnya, membiarkan
pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping tubuhnya, kemudian dia
menggunakan jari tangannya membabat ke bawah.
Trakkk!! Pedang itu patah dan
Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang pedang itu terlepas.
Swi Hwa, jangan sembrono kau!!
kembali Touw-ong membentak dan gadis itu meloncat ke samping gurunya sambil
memegangi tangan kanannya dan memandang kepada Tek Hoat dengan mata berapi dan
penuh kemarahan.
Hek-sin Touw-ong, apa maksudmu
mengatakan bahwa banyak orang mencari Puteri Bhutan?!
Baru-baru ini, See-thian
Hoat-su kakek ajaib penghuni Gua Tengkorak juga datang ke sini dan mienanyakan
apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku mengatakan bahwa
aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan Mauw Siauw Mo-li
datang mencari Puteri Bhutan pula.!
Hati Tek Hoat kecewa sekali.
Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau benar tidak pernah
melihat puteri itu, Touw-ong?!
Guruku sudah bilang tidak
melihatnya, mengapa banyak cerewet lagi?!
Tek Hoat menarik napas
panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah-marah, karena betapapun juga, dua
orang Saudara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai kawan-kawannya.
Sudahlah, maafkan aku kalau
kalian tidak tahu!! Berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap
dari depan mereka.
Jahat dia....!! Swi Hwa
berkata.
Sssttt....!! Gurunya memegang
tangan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh kepada mayat dua
orang she Ma itu, menggeleng kepala dan berkata, Sungguh hebat sekali
kepandaian Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya memang dia
amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku sendiri
kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut membantu, kalau
tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pemuda hebat itu.!
Siapa sih Puteri Bhutan yang
dicarinya itu, Suhu?!
Entah. Ah, sungguh aneh sekali
peristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari tiga orang sakti,
akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil atau Sin-siauw
Sengjin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung masih baik
kesudahannya. Ah, peristiwa ini makin mendorong hatiku untuk cepat-cepat
menjurnpai Saicu Kai-ong....!
Kakek itu lalu menolong para
anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada yang terluka. Kemudian rnereka
mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari kemudian, Hek-sin Touw-ong
bersiap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-ong, tokoh yang sebetulnya telah lama
menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan tahun ini tidak pernah lagi
berhubungan dengan dia.
***
Kita kembali melihat keadaan
di lembah Huang-ho, di markas besar perkumpulan Kui-liong-pang yang kini
dipergunakan oleh Pangeran Liong Bian Cu sebagai benteng. Telah diceritakan di
bagian depan betapa Jenderal Kao Liang sendiri telah berada di dalam
cengkeraman Pangeran Liong Bian Cu, membuat jenderal gagah perkasa itu tidak
berdaya karena seluruh keluarganya berada di dalam tangan Pangeran Nepal itu.
Apalagi ketika jenderal ini melihat betapa Puteri Bhutan, anak angkatnya, juga
menjadi tawanan di tempat itu. Terpaksa dia bekerja sungguh-sungguh dan membangun
tempat itu menjadi sebuah benteng yang amat kuat. Dia sudah berjanji dan
sebagai seorang gagah dia akan memegang janjinya, yaitu membuat tempat itu
menjadi benteng yang tidak akan dapat dibobolkan musuh dan dia sendiri yang
akan mengatur penjagaan mempertahankan benteng itu di saat yang perlu!
Ketika benteng itu masih belum
selesai benar dibangun di bawah pimpinan Jenderal Kao, tempat itu telah
mengalami serangan dan telah membuktikan kehebatan Jenderal Kao dalam
mempertahankan tempat itu. Serangan ini datang di waktu malam hari, terdiri
dari lima puluh orang yang dipimpin tiga orang kakek yang amat lihai. Peristiwa
itu terjadi di malam terang bulan dan biarpun benteng itu belum selesai
dibangun, namun tali-tali rahasia yang dipasang oleh Jenderal Kao telah
menyembunyikan genta memberi tahu bahwa ada serombongan orang datang dari utara
menuju ke lembah itu! Tali-tali rahasia itu menjadi satu dengan akar-akar dan
ranting-ranting pohon sehingga ketika dilanggar oleh rombongan orang itu,
menggerakkan genta di dalam benteng dan segera para penjaga bersiap dan
melakukan penjagaan ketat, diatur sendiri oleh Jenderal Kao Liang yang sudah
melatih anak buah Kui-liong-pang dan anak buah Pangeran Nepal itu menjadi
pasukan yang tangkas dan hebat! Semua ini ditonton dengan kagum oleh Liong Bian
Cu, Hek-hwa Lo-kwi, Hek-tiauw Lo-mo, Gitananda, dan Ban hwa Seng-jin yang lebih
banyak tinggal di dalam gedung, bersikap tenang akan tetapi dia selalu menerima
laporan dari Gitananda akan segala yang terjadi di luar kamarnya.
Siapakah para penyerbu itu?
Mereka ini bukan lain adalah para anggauta Liong-sim-pang yang dipimpin sendiri
oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, dibantu oleh tiga orang kakek lihai, yaitu Hak Im
Cu, Ban-kin-swi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To. Seperti kita ketahui
Hwa-i-kongcu Tang Hun merasa amat kecewa, penasaran dan marah sekali ketika
Syanti Dewi yang akan menjadi isterinya itu tiba-tiba lenyap di tengah-tengah
pesta pernikahannya!
Dia merasa kecewa karena
kehilangan calon isteri yang cantik jelita, akan tetapi yang lebih menyakitkan
hatinya lagi, dia merasa malu. Dia telah mengundang banyak tamu, di antaranya
banyak tokoh-tokoh kang-ouw dan banyak pembesar penting, dan ditengah pesta
itu, pengantin wanitanya diculik orang begitu saja! Hal ini merupakan tamparan
hebat bagi mukanya, kehormatannya, dan dia tidak akan berhenti sebelum bisa
mendapatkan kembali pengantinnya. Oleh karena itu, dia mengerahkan seluruh anak
buah Liong sim-pang untuk melakukan penyelidikan dan pencarian. Bahkan dia
mengandalkan harta bendanya yang besar untuk disebarkan di antara orang-orang
kang-ouw agar mereka suka membantunya dan tidak lupa dia menjanjikan hadiah
yang akan dapat membuat orang mendadak menjadi kaya raya kalau bisa menemukan
jejak puteri itu!
Karena usahanya yang
mati-matian ini, maka boleh dibilang semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa
Hwa-ikongcu Tang Hun menjanjikan hadiah besar itu, maka semua orang memasang
mata dan telinga untuk ikut mencari. Akan tetapi, ketika Syanti Dewi berada
bersama See-thian Hoat-su, kemudian terampas oleh Gitananda dan disembunyikan
di tempat rahasia, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya sehingga sia-sia
saja Tang Hun mencari dan mengerahkan banyak orang. Setelah puteri itu oleh
Gitananda dibawa ke lembah Huang-ho dan puteri itu kelihatan oleh semua
anggauta Kui-liong-pang dan para anak buah Hek-tiauw Lo-mo dan Pangeran Nepal,
ada saja yang membocorkan berita ini sehingga akhirnya sampai juga ke telinga
Hwa-i-kongcu Tang Hun.
Tentu saja Tang Hun menjadi
marah sekali dan juga girang karena akhirnya dia tahu di mana adanya
pengantinnya itu. Mendengar bahwa Puteri Bhutan itu ditawan oleh perkumpulan
Kui-liong-pang, dia lalu mengumpulkan semua anak buahnya, dibantu oleh tiga
orang kakek lihai itu dia memimpin sendiri pasukannya menuju ke lembah Huang-ho
dan malam itu dia menyerbu Kui-liong-pang. Sama sekali dia tidak tahu bahwa
tempat itu kini sedang dibangun sebagai benteng yang kokoh kuat oleh bekas
panglima besar Jenderal Kao, dan lebih lagi dia tidak menyangka bahwa
kedatangan mereka telah diketahui dan Jenderal Kao yang merupakan seorang ahli
perang amat pandai itu telah mempersiapkan sambutan hangat atas penyerbuannya!
Dengan hati-hati tiga orang
kakek lihai yang membantu Tang Hun itu memimpin pasukan memasuki lembah dari
utara. Hak Im Cu, kakek tosu, seorang di antara tiga pembantu itu, bertugas
sebagai penunjuk jalan karena tosu ini pernah datang mengunjungi lembah ketika
di situ diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw. Tentu saja Hak Im Cu
tidak dapat mengambil jalan rahasia, seperti ketika dia mengunjungi tempat itu
dahulu melainkan mengambil jalan liar yang telah diperhitungkan sebagai jalan
paling aman untuk menyerbu lembah itu. Satu-satunya halangan adalah sungai yang
mengurung lembah itu, sungai yang terjadi ketika .lembah itu dibanjiri air
ketika diadakan pertemuan dahulu. Akan tetapi mereka telah siap dengan
alat-alat untuk berenang dan menyeberang.
Ketika mereka tiba di tepi
sungai, giranglah hati mereka bahwa di situ tidak terdapat penjagaan sehingga
mereka dapat menyeberang dengan mudah, menggunakan perahu-perahu darurat. Dan
betapa girang hati mereka ketika melihat bahwa pagar tembok di seberang sungai
itu ternyata masih baru dibangun dan belum selesai sehingga tempat itu terbuka.
Yang lebih menggirangkan lagi, tidak ada penjagaan di situ sehingga setelah
bersembunyi dan mengintai sampai lama, kemudian yakin bahwa tempat itu sunyi
tidak ada penjaga, mereka lalu bergerak merayap dan memasuki daerah lembah.
Atas pimpinan Tang Hun sendiri, mereka lalu berindap-indap dan memecah diri
menjadi kelompok-kelompok terpisah menghampiri rumah besar yang mereka kira
tentu menjadi bangunan pusat di mana berdiam ketua Kui-liong-pang dan di mana
puteri itu dikeram!
Tang Hun telah mendengar bahwa
ketua Kui-liong-pang adalah seorang kakek sakti berjuluk Hek-hwa Lo-kwi, yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Akan tetapi, dengan adanya
tiga orang kakek sakti yang membantunya, tentu saja dia tidak merasa takut.
Apalagi setelah kini dia bersama pasukannya mampu mengepung rumah besar itu,
mempersiapkan anak panah dan api yang mereka nyalakan secara serentak,
merupakan obor-obor yang bernyala terang dan menerangi seluruh tempat itu, Tang
Hun merasa yakin bahwa dia akan dapat memaksa tuan rumah mengembalikan
pengantinnya. Dengan sikap garang dia berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang, diapit oleh tiga orang kakek dan para pengawalnya, menghadap ke
pintu depan dari rumah besar itu lalu berteriak lantang, Hek-hwa Lo-kwi, ketua
Kui-liong-pang! Keluarlah dan mari kita bicara!!
Di antara cahaya obor yang
amat banyak dan amat terang, semua mata ditujukan ke arah daun pintu besar itu
dan tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam. Munculiah beberapa orang dari
sebelah dalam pintu itu dan Tang Hun memandang dengan terheran-heran ketika
melihat bahwa yang memimpin rombongan orang itu adalah seorang kakek botak
berjubah merah yang bersikap penuh wibawa, berpakaian indah dan sikapnya
seperti seorang bangsawan tinggi. Di kanan kiri kakek botak ini berjalan dua
orang kakek lain yang keadaannya mengerikan dan menyeramkan. Yang di kiri
adalah kakek tinggi kurus bermuka tengkorak yang dia duga tentulah Hek-hwa
Lo-kwi karena dia sudah mendengar akan kakek yang berpakaian serba hitam,
mukanya yang seperti tengkorak itu putih seperti kapur. Sedangkan yang berada
di sebelah kanan kakek botak itu adalah seorang kakek raksasa yang amat buas
kelihatanpya. Dia tidak tahu bahwa itulah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dia
segera mengenal kakek berkulit hitam, bersorban dan jenggotnya panjang sampai
ke perut, memegang sebatang tongkat itu. Itulah Gitananda, kakek Nepal yang
dulu hadir pula di dalam pesta pernikahannya. Gitananda berjalan di belakang
kakek botak itu!
Akan tetapi, Tang Hun tidak
mempedulikan mereka semua itu dan dia hanya memandang kepada Hek-hwa Lo-kwi dan
sambil mengangkat dada dia berkata, Hek-hwa Lo-kwi, karena engkau adalah ketua
dari tempat ini....!
Hwa-i-kongcu, biarpun aku
adalah ketua dari Kui-liong-pang, akan tetapi pada saat ini yang memimpin kami
adalah Ban-hwa Seng-jin, koksu dari Nepal ini, yang mewakili Pangeran Liong
Bian Cu. Kau boleh bicara dengan beliau!! kata Hek-hwa Lo-kwi sambil menunjuk
ke arah kakek berkepala botak yang bersikap dingin dan tenang itu.
Tang Hun mengerutkan alisnya,
merasa bahwa belum apa-apa dia sudah keliru dan salah duga. Akan tetapi
mendengar itu, tentu saja perhatiannya kini beralih kepada kakek botak yang
kini juga bertanya kepadanya, suaranya tenang dan jelas biarpun masih ada nada
asing.
Jadi engkau adalah
Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api di
Pegunungan Lu-liang-san? Selamat datang, Tang-kongcu, ada keperluan apakah
engkau datang bersama pasukanmu di waktu malam begini tanpa memberi tahu lebih
dulu kepada kami?!
Tang Hun merasa serba salah.
Kiranya kakek ini adalah koksu dari Nepal! Nama ini mulai terkenal akhir-akhir
ini, bahkan ketika dia mengadakan pesta pernikahan, dia mengirim undangan
kepada koksu itu yang berada di gubernuran Ho-nan, dan koksu itu diwakili oleh
kakek Gitananda. Juga ketika mendengar bahwa kakek ini adalah Ban-hwa Seng-jin
koksu dari Nepal, tiga orang kakek yang mengiringkan Hwa-i-kongcu menjadi kaget
bukan main. Akan tetapi, karena sudah terlanjur menyerbu dan kini sudah
mengurung rumah itu, Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ingin merampas kembali
pengantinnya, tetap bersikap angkuh dan tidak mau kalah wibawa.
Dia menjura dengan sikap
hormat. Ah, kiranya Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal yang memimpin tempat ini?
Sungguh kebetulan sekali! Seng-jin tentu telah mengetahui akan peristiwa yang
terjadi di tempat tinggal saya pada waktu pesta pernikahan saya, karena kalau
tidak salah, wakil Seng-jin yang sekarang juga berdiri di belakang Seng-jin,
yaitu Kakek Gitananda, pada waktu itu juga hadir. Terjadilah keributan pada
waktu itu dan pengantin wanita diculik orang.!
Hemmm, kami sudah mendengar
akan hal itu. Lalu mengapa?! tanya koksu itu dengan sikap tidak acuh.
Sikap itu membuat Tang Hun
merasa tidak enak. Kalau koksu ini sudah tahu, tentu tahu pula bahwa dia datang
untuk menuntut dikembalikannya Syanti Dewi, akan tetapi koksu itu pura-pura
tidak tahu saja!
Maaf, Ban-hwa Seng-jin,!
katanya dan keangkuhannya mulai menurun karena dia benar-benar merasa gentar
menghadapi koksu yang berwibawa ini dan tempat itu terlalu sunyi sehingga
mencurigakan. Karena saya mendengar bahwa pengantin saya berada di lembah ini,
maka saya datang bersama teman-teman saya untuk menjemput calon isteri saya
itu. Harap saja Seng-jin mengingat persahabatan antara kita dan suka
menyerahkan pengantin saya kepada saya.!
Ban-hwa Seng-jin mengangkat
mukanya, sikapnya makin angkuh dan dia berkata dengan suara yang nadanya
menantang, Memang Puteri Bhutan berada di sini dan kami tidak bersedia
menyerahkan dia kepadamu, Tang-kongcu. Sebaiknya Kongcu membawa pasukan Kongcu
pergi dari tempat ini!!
Tang Hun mengerutkan alisnya.
Jantungnya berdebar tegang. Kiranya benar pengantinnya berada di tempat ini!
Hatinya girang akan tetapi juga tegang karena sikap Koksu Nepal ini agaknya
hendak menentangnya!
Ban-hwa Seng-jin! Puteri itu
adalah calon isteri saya, pengantin saya. Sudah sepatutnya kalau dikembalikan
kepada saya!!
Kami tidak bersedia
menyerahkan beliau kepadamu. Habis engkau mau apa?! Inilah tantangan!
Hwa-i-kongcu yang mengandalkan bantuan tiga orang kakek sakti dan anak buahnya,
tentu saja mulai menjadi marah. Biarpun kakek botak ini adalah Koksu Nepal yang
kabarnya lihai dan berkuasa, akan tetapi pada saat itu dialah yang berada dalam
kedudukan menang. Tempat itu telah dikurungnya! Dan dia pun masih mengandalkan
gurunya yang biarpun tidak ikut di dalam pasukan itu, namun secara aneh dan
diam-diam, gurunya tentu melindunginya pula!
Ban-hwa Seng-jin, harap suka
memikirkan baik-baik. Ketahuilah bahwa kalian semua telah terkepung. Lihat
betapa pasukan kami telah siap dengan anak panah dan api, sekali saja saya
memberi aba-aba, rumah ini akan dibakar dan kalian semua akan dihujani anak
panah. Saya tidak menghendaki hal itu terjadi, maka sebaiknya supaya puteri itu
cepat diserahkan kepada kami dan kami akan pergi sekarang juga.!'
Benarkah itu? Apakah bukan
engkau dan pasukanmu yarig sudah berada dalam kepungan kami? Tang-kongcu,
tengoklah di belakang kalian dan di atas.! Kakek botak itu berkata sambil
menudingkan jari telunjuknya ke belakang pasukan Tang Hun dan ke atas genteng
rumah dan pohon-pohon.
Hwa-i-kongcu Tang Hun cepat
menengok, demikian pula tiga orang kakek pembantunya dan mereka terkejut bukan
main. Ternyata di belakang mereka terdapat pasukan yang lengkap dengan anak
panah yang sudah ditodongkan ke arah mereka, dan selain pasukan itu, juga kini
muncul banyak orang-orang di atas genteng dan di pohon-pohon sekitar tempat
itu, semua mementang gendewa dan menodongkan anak panah ke arah mereka. Karena
mereka membawa obor, maka mereka merupakan sasaran empuk sekali sedangkan fihak
musuh yang bersembunyi itu memang amat sukar diserang!
Wajah Hwa-i-kongcu menjadi
pucat sekali. Bagaimana, Hwa-i-kongcu? Apakah masih akan dilanjutkan persiapan
pertempuran ini? Kalau kami memberi aba-aba, sekali serbu saja akan habislah
anak buahmu. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara sebagai sahabat?!
Hwa-i-kongcu memandang kepada
tiga orang kakek pembantunya. Mereka pun kelihatan gentar sekali, maka tahulah
pemuda ini bahwa dia benar-benar telah kalah sebelum perang!
Sudahlah, mari kita bicara
sebagai sahabat, Seng-jin!!
Mendengar ini, Hek-hwa Lo-kwi
tertawa bergelak, dan Ban-hwa Seng-jin berkata ke arah tempat gelap,
Kaogoanswe, fihak lawan telah menjadi kawan, sebaiknya tarik mundur pasukanmu!!
Dari tempat gelap itu muncul
seorang laki-laki tua yang tinggi tegap dan gagah sekali. Dengan gerakan yang
gagah dia mengangkat sebatang pedang ke atas dan tanpa bersuara, lenyaplah
pasukan yang mengepung tempat itu tadi, juga mereka yang muncul di atas genteng
dan di pohon-pohon juga lenyap dalam gelap. Diam-diam Hwa-i-kongcu terkejut
bukan main. Kiranya fihak musuh sudah siap sedia dan dia bersama pasukannya
benar-benar terjebak.
Hwa-i-kongcu, kalau
benar-benar kau datang sebagai sahabat, harap perintahkan anak buahmu untuk
melemparkan senjata mereka,! kata Ban-hwa Sengjin.
Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak
melihat jalan lain. Melawan berarti bunuh diri, karena mereka telah dikurung.
Maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru lantang, Buang
senjata kalian semua! Kita datang sebagai sahabat!!
Pasukannya tadi pun melihat
bahwa merekalah yang terkepung, bukan mereka yang mengepung, maka mereka tadi
sudah merasa gentar sekali. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua orang
membuang gendewa dan anak panah, bahkan banyak pula yang melolos pedang dan
golok lalu melemparkannya ke atas tanah.
Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin
mengangguk-angguk puas. Tang-kongcu, engkau sungguh dapat melihat gelagat.
Tidak tahukah engkau bahwa engkau telah berada di tepi jurang maut? Engkau,
belum mengenal tempat ini dan tidak mengetahui keadaan kami, maka berani
memandang rendah. Ketahuilah bahwa pemimpin penjagaan benteng kami adalah
Jenderal Kao Liang, bekas panglima besar kerajaan. Apakah kau belum mendengar
nama besarnya?!
Tang Hun mengangguk-angguk,
hampir tidak percaya. Benarkah Jenderal Kao Liang kini berkerja sama dengan
mereka ini?
Engkau sudah melihatnya namun
masih belum percaya. Kaukira siapakah panglima yang menjebak dan mengurungmu
tadi? Marilah, mari kita bicara di ruangan tamu, dan kami akan memberi penjelasan
agar engkau tahu bahwa bersahabat dengan kami akan menguntungkan fihakmu.! Lalu
dia memandang. Suruh pasukanmu beristirahat dan bermalam di dalam rumah ini.
Mereka akan menerima hidangan sekedarnya.!
Dengan perasaan yang makin
terheran-heran Hwa-i-kongcu mendapatkan kenyataan bahwa rumah besar yang di
kurungnya itu adalah rumah kosong! Sama sekali bukanlah bangunan induk, tempat
tinggal para pimpinan tempat itu! Melainkan rumah besar yang berada di depan.
Dengan mengiringkan rombongan tuan rumah, diterangi oleh obor-obor besar yang
dipegang oleh barisan selosin orang, Hwa-i-kongcu dan tiga orang kakek
pembantunya lalu meninggalkan pekarangan rumah besar itu setelah menyuruh semua
anak buahnya menanti di situ. Dan mereka kini masuk ke dalam lembah, melalui
tembok yang tebal dan terjaga kuat, kemudian melewati pagar-pagar tembok lain
dan baru setelah melewati tujuh lapis pagar tembok yang semua terjaga dan
memiliki liku-liku yang aneh dan tidak mudah dilalui orang luar yang belum
mengenal rahasia tempat itu, mereka tiba di pusat lembah itu. Dan Tang Hun
mengeluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Di tengah-tengah itu, barulah
terdapat bangunan-bangunan seperti istana dan keadaan di situ terang benderang
karena banyaknya lampu penerangan yang dipasang di seluruh tempat.
Melalui barisan penjaga yang
kelihatan gagah dan bertubuh tegap, mereka memasuki ruangan depan sebuah rumah
besar. Seorang yang berpakaian perwira menyambut rombongan ini dan setelah
memberi hormat kepada Ban-hwa Sengjin, dia berkata, Pangeran menanti rombongan
di ruangan tamu!!
Ban-hwa Seng-jin menoleh
kepada Tang Hun. Hemmm, pangeran berkenan menerima Kongcu, hal ini baik sekali!
Silakan.!
Makin terbelalak mata
Hwa-i-kongcu Tang Hun ketika dia memasuki ruangan tamu. Dia sendiri adalah
seorang kaya raya dan rumahnya seperti istana. Akan tetapi dibandingkan dengan
keadaan rumah besar ini, dia merasa iri. Mewah sekali keadaan di rumah ini dan
ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang besar, dia melihat seorang pemuda
yang berpakaian indah telah duduk seorang diri di situ, di kepala sebuah meja
besar. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat kulitnya dan
wajahnya, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang peranakan Nepal. Ketika
dia melihat Ban-hwa Seng-jin memberi hormat dengan membungkuk, sedangkan
Gitananda yang sejak tadi diam saja memberi hormat sambil berlutut, juga
Hek-hwa Lo-kwi dan kakek raksasa yang lain itu semua memberi hormat, sedangkan
para pengawal juga memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki kemudian mundur dengan
tertib, dia menduga bahwa tentu pemuda ini bukan orang sembarangan dan agaknya
dialah yang disebut pangeran oleh perwira tadi.
Hak Im Cu, tosu tinggi kurus,
seorang di antara tiga pembantunya yang menjadi penunjuk jalan ke lembah itu
karena dia pernah mengunjungi lembah ini ketika di situ diadakan pertemuan,
berbisik di belakangnya, Kongcu, beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu
Raja Nepal.!
Ban-hwa Seng-jin mendengar
bisikan itu, tersenyum dan berkata, Benar, hendaknya Cu-wi ketahui bahwa beliau
adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Sri Baginda Raja Nepal.!
Mendengar ini, Hwa-i-kongcu
Tang Hun dan tiga orang pembantunya cepat maju memberi hormat dengan menjura
sampai dalam. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum ramah dan mengangguk lalu
menggerakkan lengan kanannya mempersilakan. Duduklah, Tang-kongcu dan Sam-wi
Lo-enghiong. Duduklah sebagai tamu terhormat dan mari kita bicara sebagai
sahabat-sahabat!!
Tang Hun dan tiga orang
pembantunya segera duduk. Tiga orang pembantu Tang Hun itu bukanlah sembarang
orang. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan sudah
mengalami banyak hal yang hebat. Namun keadaan di ruangan itu membuat mereka
kagum dan juga berhati-hati, karena belum pernah mereka menjadi tamu pangeran
dan koksu dari negara Nepal yang serba asing. Mereka memandang ke arah pangeran
yang tampan namun aneh itu, dan kepada Ban-hwa Seng-jin yang duduk di sebelah
kanan pangeran. Gitananda yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu,
dan amat cekung, berdiri di belakang Ban-hwa Seng-jin seperti pengawal dan
memang sesungguhnya, Gitananda bertugas sebagai pembantu dan pengawal koksu
itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi duduk di sebelah kiri Pangeran Liong
Bian Cu, dan pada saat itu, dari luar datang seorang laki-laki tua yang melangkah
lebar dengan gagah, setelah tiba di dekat meja, dia memberi hormat kepada
Pangeran Liong dengan menjura dan menganggukkan kepala, pemberian hormat yang
singkat dan tidak terlalu merendah, kemudian dia mengambil tempat duduk di
kursi paling kiri, duduk diam seperti patung. Itulah lenderal Kao Liang dan
Hwa-i-kongcu melihat dengan pandang mata kagum akan tetapi juga terheran-heran.
Dia tentu saja sudah mendengar akan nama besar jenderal ini. Seorang panglima
sejati yang sejak turun-temurun amat setia kepada kerajaan, gagah perkasa dan
pandai, telah menghancurkan entah berapa banyak pemberontakan. Akan tetapi kini
jenderal itu duduk semeja dengan seorang Pangeran Nepal dan agaknya bekerja
kepada pangeran ini!
Sementara itu, Pangeran Liong
Bian Cu yang sudah mendengar semua laporan tentang penyerbuan Tang Hun, kini
sambil tersenyum memandangi empat orang tamunya satu demi satu. Dia melihat
Tang Hun sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, pesolek dan cerdik.
Pemuda ini usianya sudah tiga
puluh tahun namun masih kelihatan amat muda, bajunya kembang-kembang indah,
sepasang matanya tajam berpengaruh. Rambut kepalanya terhias sebuah hiasan
rambut seekor naga kecil dengan sepasang mata mutiara mencorong, juga di
bajunya yang berkembang terhias mainan emas terukir berbentuk naga yang sama.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah, terhias
emas dan permata, sarungnya ukir-ukiran burung hong dan liong, ronce-roncenya
merah dari bulu halus. Seorang kongcu yang hebat, pikir pangeran ini. Kalau
saja kepandaiannya sehebat keadaan lahiriahnya, dia dapat menjadi pembantu yang
baik, pikirnya pula. Lalu dia melayangkan pandang matanya kepada tiga orang
pembantu kongcu itu.
Tosu itu usianya kurang lebih
enam puluh tahun. Wajahnya bengis tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana
dan pedangnya tergantung di punggung, gagangnya menonjol di belakang pundak
kanan. Kelihatannya sederhana saja, akan tetapi melihat sinar matanya dan
gerak-gerik tubuhnya yang amat ringan, dapat diduga bahwa tosu ini tentu pandai
sekali ilmu silatnya. Dugaan itu memang benar karena Hak Im Cu, tosu itu,
memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ginkangnya yang membuat dia dapat
bergerak seperti terbang saking ringan dan cepatnya.
Orang ke dua adalah seorang
kakek yang usianya juga sudah enam puluhan tahun, tinggi besar dengan muka
kehitaman. Gerak-geriknya kasar namun tubuhnya membayangkan tenaga yang amat
kuat, dan memang Ban-kin-kwi Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Setan
Bertenaga Selaksa Kati, adalah seorang yang amat kuat dan mempunyai tenaga
gajah. Dia pun seperti Hak Im Cu, menjadi pembantu Hwa-i-kongcu karena dia
dapat bergelimang dalam kemewahaan dan kekayaan.
Adapun pembantu ke tiga adalah
seorang kakek gundul pendek gemuk akan tetapi melihat pakaiannya, biarpun
kepalanya gundul, dia bukanlah seorang hwesio. Kepalanya itu gundul karena
penyakit kulit kepala, bukan digundul. Kakek yang usianya juga sudah enam puluh
tahun lebih ini juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang ahli dalam
ilmu bermain di air, dan selain itu, juga dia memiliki sinkang yang kuat,
seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Setelah puas memandangi empat
orang tamunya, sementara itu pelayan datang menyuguhkan arak dan kue-kue. Atas
isyarat Pangeran Nepal itu, seorang pelayan segera maju dan dengan sikap
menghormat pelayan ini lalu menuangkan arak di dalam cawan-cawan di depan
rombongan tuan rumah dan empat orang tamu itu.
Silakan minum Tang-kongcu dan
para Lo-enghiong!! kata Liong Bian Cu sambil mengangkat cawannya, diikuti oleh
Koksu Nepal, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan Jenderal Kao Liang. Gitananda
tidak pernah minum arak, pula dia adalah seorang pengawal pribadi koksu, maka
dia tentu saja tidak ikut berpesta melainkan berdiri di belakang koksu itu
dengan tenang dan sikap penuh kewaspadaan.
Setelah para tamunya minum
arak, Pangeran Nepal itu lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu dan bertanya,
Sekarang, harap Tang-kongcu suka mengatakan kepada kami dengan terus terang
akan maksud kunjungan Kongcu yang amat mendadak ini.!
Hwa-i-kongcu Tang Hun
memandang kepada pangeran itu. Pangeran Nepal itu demikian ramah sikapnya, maka
timbul kembali harapannya. Siapa tahu, pangeran yang ramah ini akan dapat
memaklumi keadaannya, maka cepat dia menjawab dengan sikap amat menghormat,
Harap Paduka suka memberi maaf kepada kami bahwa kami berani datang berkunjung
tanpa lebih dulu minta ijin Paduka. Sesungguhnya, telah beberapa lama saya
kehilangan calon isteri saya, yang lenyap ketika sedang diadakan pesta
pernikahan kami di tempat kediaman kami, yaitu di Naga Api. Kemudian kami
mendengar bahwa isteri saya itu berada di sini, oleh karena itu saya datang
dengan rombongan, bermaksud untuk menjemput pengantin saya.! Setelah berkata
demikian, wajah pemuda yang tampan pesolek itu memandang kepada Pangeran Nepal
itu dengan penuh harapan.
Pangeran itu tersenyum dan
bertanya, Tang-kongcu, siapakah nama pengantinmu itu?!
Namanya.... Syanti Dewi....!
Tiba-tiba pandang mata
pangeran itu menjadi tajam sekali dan jantung Tang Hun berdebar. Pangeran ini
memiliki sepasang mata yang aneh, tajam dan menyeramkan. Sorbannya yang besar
itu tengahnya, di atas dahi, dihias dengan sebuah mutiara yang besar dan
bercahaya, berkilau-kilauan agak kebiruan. Mutiara yang amat besar dan amat
jarang terdapat. Akan tetapi agaknya, dari dua buah mata yang kehitaman itu
mencorong sinar yang lebih menyilaukan daripada mutiara itu.
Tang-kongcu,! kini suara
pangeran itu berbeda dengan tadi, tidak lagi ramah dan halus melainkan kaku dan
dingin, Tahukah engkau siapa adanya Syanti Dewi?!
Mendengar pertanyaan itu Tang
Hun terkejut dan kini dia melihat betapa ada tiga pasang mata yang memandang
dengan sinar mata tajam dan penuh ancaman, yaitu tiga pasang mata dari pangeran
itu sendiri, Koksu Nepal dan kakek Gitananda! Dengan gugup dia menjawab,
Saya.... saya hanya mendengar dia dari Bhutan dan....!
Dia adalah Puteri Syanti Dewi,
puteri tunggal dari Raja Bhutan! Tahukah kau apa artinya ini? Berarti engkau
hendak menghina Bhutan dan karena Bhutan serumpun dengan Nepal, maka engkau
seolah-olah hendak menghina Nepal!!
Tidak.... bukan begitu maksud
saya,! Tang Hun berkata cepat. Sebetulnya saya tidak tertarik oleh
kebangsaannya, melainkan oleh pribadinya, maka....!
Cukup, Tang-kongcu!! Tiba-tiba
terdengar suara Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal itu. Hendaknya Tang-kongcu
membuang jauh-jauh pikiran itu kalau Kongcu ingin selamat. Puteri Syanti Dewi
dari Kerajaan Bhutan adalah menjadi tamu agung kami di sini, apakah Kongcu
berani hendak menghina dan mengganggu beliau?!
Tang Hun terkejut bukan main.
Tidak pernah terpikir olehnya sedemikian jauhnya. Dia memang mendengar bahwa
Syanti Dewi berasal dari Bhutan dan kabarnya seorang puteri, akan tetapi hal
itu tidak begitu penting baginya, apalagi karena bagi dia dan sebagian besar di
antara bangsanya, bangsa-bangsa asing di barat hanyalah bangsa-bangsa yang
derajatnya rendah! Baginya yang terpenting adalah kecantikan Syanti Dewi yang
membuatnya tergila-gila. Dia tidak peduli apakah dara itu puteri raja ataukah
puteri pengemis! Akan tetapi, ternyata persoalannya tidaklah sesederhana yang
disangkanya dan dia kini dianggap melakukan penghinaan, terhadap bangsa Bhutan
dan Nepal!
Ah, maafkan saya...., saya
tidak tahu sama sekali akan hal itu.... dan setelah mendengar penjelasan Paduka
Pangeran dan Koksu, tentu saja saya tahu diri dan tidak akan melanjutkan
keinginan saya.!
Bagus! Ternyata Tang-kongcu
adalah seorang yang bijaksana dan dapat diajak bersahabat!! Pangeran Liong Bian
Cu berseru girang. Kami pun jauh-jauh datang dari barat sekali-kali bukan
mencari kawan, melainkan mencari kawan untuk bersama-sama menghadapi Kerajaan
Ceng. Bagaimana Tang-kongcu, dapatkah kami mengharapkan bantuan Kongcu dan
Liong-sim-pang?!
Wajah Tang Hun yang tadinya
agak muram karena lenyapnya harapan hatinya untuk dapat memperisteri Syanti
Dewi, kini berseri. Dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk mencari
kedudukan dan tentu saja menambah besarnya kekayaannya. Sekarang, biarpun dia
kaya raya namun dia tidak memiliki kedudukan, bukan bangsawan melainkan orang biasa.
Agaknya hal inilah yang tidak memungkinkan dia menikah dengan seorang puteri!
Berbeda tentu kalau dia memiliki kedudukan tinggi di samping harta kekayaan,
kekuasaan dan kepandaiannya.
Tentu saja saya merasa
terhormat sekali dan suka membantu perjuangan Paduka Pangeran. Memang telah
lama saya mendengar betapa kaisar yang tua amat lemah, kekacauan terjadi di
mana-mana dan bahkan kabarnya Gubernur Ho-nan....! Tiba-tiba dia berhenti dan
memandang kepada Jenderal Kao Liang yang duduk sambil menundukkan mukanya
seolah-olah sama sekali tidak ingin mencampuri percakapan itu dan tidak ingin
mendengarkan pula.
Melihat ini, Pangeran Nepal
itu tertawa. Lanjutkan, Tang-kongcu, dan jangan khawatir terhadap Jenderal Kao
karena dia pun menjadi korban kelaliman kaisar yang menjadi boneka di bawah
pengaruh pembesar-pembesar jahat.!
Tang Hun menarik napas
panjang. Saya hanya mendengar desas-desus saja bahwa Gubernur Ho-nan juga
memperlihatkan sikap menentang kaisar dan banyak komandan di perbatasan yang
tidak merasa puas....!
Berita itu memang benar,
Kongcu. Bahkan kami telah mengadakan persekutuan dengan Gubernur Ho-nan.!.
Ah, bagus sekali....!!
Kami hanya menanti saat yang
tepat saja untuk mulai dengan gerakan kami, gerakan serentak dari segenap
penjuru untuk menyerbu kota raja. Maka kalau engkau suka membantu, Tang-kongcu,
kami akan menerima dengan kedua tangan terbuka.!
Tentu saja saya akan membantu,
akan tetapi imbalannya kelak?! Tang Hun adalah seorang yang cerdik, maka
melihat betapa pangeran ini sudah bersikap terbuka kepadanya, dia maklum bahwa
dia tidak akan dapat melepaskan diri dari pengaruh pangeran ini. Setelah
dipercaya mendengarkan pengakuan itu semua, tentu Pangeran Nepal itu tidak akan
mau melepaskan dia begitu saja dalam keadaan hidup, kecuali kalau dia
menyatakan kesanggupannya untuk membantu, akan tetapi dia pun bersikap terbuka
dan lebih dulu menanyakan imbalan atau ganjarannya kelak!
Koksu Nepal mengangguk-angguk
dan melirik ke arah Tang Hun. Hemmm, Tang-kongcu memang seorang yang cerdik.
Akan tetapi sekali lagi, jangan Kongcu mengharapkan diri Puteri Bhutan, karena
ketahuilah bahwa di samping beliau menjadi tamu agung kami, juga Puteri Bhutan
adalah seorang sandera yang tidak ternilai harganya. Melalui Sang Puteri itu
kami bermaksud menundukkan Bhutan. Maka, siapapun yang mengganggu sandera kami
itu, berarti menghalangi perjuangan kami.!
Ah, Koksu. Setelah mendengar
penjelasan tadi, saya sudah membuang pikiran untuk mendapatkan Sang Puteri
itu.!
Bagus, kalau begitu
Tang-kongcu boleh melegakan hati. Kalau perjuangan kita bersama ini berhasil
baik kelak, tentu kami tidak akan melupakan Kongcu dan andaikata Kongcu
menghendaki kedudukan, Kongcu tinggal memilih saja!! kata Pangeran Liong Bian
Cu dengan suara dan wajah serius.
Tang Hun menjadi girang sekali
dan menghaturkan terima kasih. Kemudian dia berkata, Setelah saya menjadi
pembantu pergerakan Pangeran, tentu semua anak buah Liong-sim-pang juga ikut
pula membantu. Pangeran boleh mengandalkan mereka, karena mereka adalah
orangorang yang telah dilatih dan masing-masing perajurit mempunyai kepandaian
silat yang lumayan. Akan tetapi tiga orang pembantu saya ini harap diberi
kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.!
Pangeran Nepal itu kini
memandang kepada tiga orang kakek itu penuh selidik, lalu dia berkata dengan
suara dingin, Sebagai pembantu-pembantu pribadi, kami harus memilih orang yang
benar-benar lihai seperti Tang-kongcu sendiri. Segala orang yang hanya
berkepandaian biasa saja cukup bergabung dalam pasukan Liong-sim-pang sebagai komandan-komandan
pasukan. Kami khawatir gagal kalau dibantu oleh sembarangan orang saja.!
Eh, harap Paduka jangan
memandang rendah kepada mereka bertiga ini, Pangeran! Tingkat kepandaian mereka
tidak lebih rendah daripada tingkat kemampuan saya sendiri!! Tang Hun berseru
dengan khawatir karena dia mengenal tiga orang pembantunya itu orang-orang
kang-ouw yang mempunyai keangkuhan sehingga ucapan Pangeran Nepal itu tentu
saja amat merendahkan dan menghina.
Akan tetapi, tiga orang
pembantunya itu juga bukan orang-orang bodoh. Mereka adalah orang-orang
pengelana di dunia kang-ouw yang sudah makan asam garam dunia kang-ouw, sudah
banyak pengalaman dan dapat menilai orang-orang pandai. Melihat keadaan
Pangeran Nepal itu dan para pembantunya, mereka maklum bahwa mereka berada di
gua naga dan biarpun mereka merasa dipandang rendah, namun mereka tidak menjadi
marah karena mereka tahu bahwa sang pangeran ini belum mengenal mereka!
Apa yang dikatakan oleh
Pangeran sungguh tepat. Pinto hanyalah seorang tosu miskin yang tidak bisa
apa-apa, hanya mengandalkan sebatang pedang untuk hidup, mana bisa diandalkan?!
Setelah berkata demikian, Hak Im Cu, tosu berwatak bengis bertubuh tinggi kurus
itu mencabut pedangnya. Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin dan Gitananda memandang
dengan mata memancarkan sinar aneh, akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw
Lo-mo, dua orang kakek iblis dari dunia hitam itu, hanya memandang tak acuh.
Yaaah, pinto hanya dapat
mengandalkan pedang untuk mencari sesuap nasi beserta lauk-pauknya!! Pada saat
itu, baru saja pelayan-pelayan datang menghidangkan nasi dan sayur mayur
memenuhi meja itu. Kini, begitu Hak Im Cu bangkit dan menggerakkan pedangnya,
nampak sinar berkelebatan dan seolah-olah ada bayangan puluhan batang pedang
menyambar-nyambar dan disusul dengan mulut tosu itu mengganyang semua masakan
yang di dipungut! oleh ujung pedangnya! Pedang-pedang itu dipergunakan seperti
sebatang sumpit, ditusukkan ke dalam mangkok-mangkok dan piring-piring yang ada
masakannya, demikian cepatnya sehingga pedang berubah menjadi bayangan puluhan
batang dan biarpun mangkok yang berdiri di ujung, yang agaknya menurut ukuran
tidak mungkin dapat dicapai pedang, dapat juga dijumput! Tiba-tiba tosu itu
menghentikan gerakannya dan sudah duduk kembali, mulutnya masih mengunyah
makanan yang memenuhi mulutnya.
Ban-hwa Seng-jin
mengangguk-angguk dan Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. Bagus,
kepandaian Totiang hebat dan patutlah menjadi pembantu kami!! Memang
demonstrasi tadi biarpun kelihatan sederhana namun sudah membuktikan bahwa tosu
ini memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang luar biasa. Hanya dengan
ginkang luar biasa saja dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga
seolah-olah dia tidak meninggalkan tempatnya ketika dia bangkit berdiri,
padahal tanpa bergerak dari situ tidak akan mungkin dia dapat mengambil makanan
di ujung meja yang agak jauh. Cara dia menusuk setiap makanan dengan ujung
pedang, membawanya ke mulut, demikian cepat, dan tidak ada sedikit pun kuah
yang tercecer!
Pinto Hak Im Cu hanya seorang
biasa dan terima kasih atas kepercayaan Paduka,! Hak Im Cu berkata sambil
mengangguk.
Pangeran Liong Bian Cu tentu
saja girang sekali melihat bahwa para pembantu Tang Hun itu ternyata adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka dia menoleh kepada dua orang kakek
lain yang duduk di jajaran tamu itu. Hak Im Cu totiang telah memperlihatkan
kepandaian dan mengagumkan sekali, harap Ji-wi Locianpwe jangan sungkan dan
suka pula memperlihatkan kepandaian untuk menggembirakan pertemuan ini.!
Ban-kin-kwi Kwan Ok yang
bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu lalu bangkit berdiri dan menjura ke
arah Pangeran Nepal itu. Saya Kwan Ok hanyalah seorang kasar dan bodoh, hanya
mengandalkan tenaga sehingga dijuluki orang Ban-kin-swi. Kalau Paduka
memperkenankan, saya akan coba mengangkat arca singa di sudut itu.!
Pangeran Liong Bian Cu
memandang dengan mata terbelalak. Arca singa di sudut itu adalah arca yang
sangat berat, dan untuk mengangkatnya dibutuhkan tenaga gabungan sedikitnya
enam orang laki-laki dewasa yang kuat. Maka dia tersenyum sambil mengangguk dan
kakek raksasa itu lalu menghampiri arca singa, diikuti pandang mata semua
orang. Hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo yang cuma melirik dan bersikap
tidak peduli.
Setelah menghampiri arca,
Ban-kin-swi Kwan Ok menyingsingkan dengan bajunya, kemudian membungkuk dan
kedua tangannya memegang arca itu, digoyang-goyang seperti hendak menaksir
beratnya. Kemudian tiba-tiba dia membentak keras dan hanya dengan tangan kanan
memegang kaki belakang arca itu, dia mengangkat, arca itu naik ke atas
kepalanya! Melihat ini, Pangeran Liong Bian Cu kagum dan tahulah dia bahwa
Ban-kin-swi benar-benar seorang yang memiliki tenaga gajah! Kakek itu kini
melempar-lemparkan arca itu ke atas, dilempar, disambut lagi dan mempermainkan
benda berat itu seolah-olah baginya hanya merupakan sebuah bola yang ringan
saja. Kemudian dia menurunkan arca itu di tempatnya dan menghampiri meja dengan
napas dan muka biasa, hanya di dahinya terdapat sedikit peluh.
Bagus....! Kini Pangeran Liong
Bian Cu berseru memuji dan merasa gembira. Senang juga hatinya memperoleh
pembantu-pembantu yang sehebat ini. Kwan-lo enghiong patut pula menjadi
pembantu kami.! Pangeran ini lalu menoleh kepada kakek ke tiga, yaitu
Hai-Liong-ong Ciok Gu To, kakek berkepala gundul botak, bertubuh gemuk pendek
itu.
Kakek gundul yang suka tertawa
ini tersenyum lebar, lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun. Heh-heh-heh,
saya hanya seorang tua bangka nelayan yang hanya pandai berenang. Karena tidak
memiliki kepandaian apa-apa, saya mengandalkan nasib ke tangan Tang-kongcu.
Oleh karena itu sekarang pun saya hanya turut kepada Tang-kongcu saja yang
sudah menanam banyak budi kebaikan terhadap saya. Tang-kongcu, saya menyerahkan
urusan dengan Pangeran Liong ini kepada Kongcu dan untuk itu, saya menghaturkan
terima kasih dengan secawan arak!! Sambil berkata demikian, kakek gundul gemuk
ini lalu bangkit berdiri, menyambar guci arak di atas meja dengan tangan kanan,
menyambar cawan arak di depan Tang Hun dengan tangan kiri, kemudian dia
menuangkan arak dari guci ke dalam cawan.
Semua orang memandang dan
Pangeran Liong terkejut melihat betapa arak di cawan sudah penuh, namun masih
terus dituang sehingga arak itu menaik melebihi bibir cawan. Hebatnya, arak itu
tidak sampai meluber tumpah! Kelebihan arak di atas bibir cawan itu membulat
seperti telur, bergoyang-goyang namun tidak tumpah. Kini kakek itu menyerahkan
cawan yang araknya terlalu penuh itu kepada Tang Hun.
Ha-ha-ha, Hai-liong-ong Ciok
Gu To lo-enghiong sungguh membikin saya merasa sungkan dan malu!! Tang Hun juga
bangkit berdiri dan menerima cawan itu dengan tangan kanan. Semua orang
memandang dengan tegang karena maklum bahwa Ciok Gu To telah mempergunakan
sinkang yang amat kuat untuk menahan! sehingga arak yang terlalu penuh itu
tidak sampai meluber, maka kalau sampai cawan itu berganti tangan, tentu
araknya akan meluber tumpah dan mengotori lengan baju Tang Hun.
Akan tetapi, sama sekali tidak
terjadi hal seperti itu. Kalau Tang Hun menerima cawan itu dan Ciok Gu To
melepaskan tangannya, cawan itu berada tangan kanan Tang Hun dan araknya sama
sekali tidak tumpah bahkan kini Tang Hun sengaja memiringkan cawan itu dan arak
di dalam cawan tetap saja tidak tumpah! Padahal, arak itu sudah hampir keluar
dari dalam cawan, seperti telur direbus lunak akan tetapi tertahan oleh
sesuatu. Pertunjukan ini saja sudah membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang,
pemuda pesolek ini bahkan lebih kuat daripada Hai-liong-ong Ciok Gu To!
Biarlah arak ini saya minum
demi keselamatan Pangeran!! kata Tang Hun sambil mengacungkan cawan, kemudian
sekali tenggak arak itu lenyap ke dalam perutnya.
Liong Bian Cu bertepuk tangan
memuji. Hatinya girang bukan main dan dia merasa sudah puas dengan semua
demonstrasi ringan itu, karena sebagai seorang ahli dia pun sudah dapat menilai
bahwa empat orang itu benar-benar bukan orang-orang sembarangan dan akan
merupakan pembantu-pembantu yang amat baik. Maka dia lalu mempersilakan mereka
semua makan minum dalam suasana yang amat gembira.
Selagi mereka berpesta
gembira, dan hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo saja yang bersikap biasa
dan sama sekali tidak menghormati tamu, juga Jenderal Kao Liang yang makan
minum dengan sikap tidak peduli, munculiah kepala pengawal yang berlutut dan
melapor kepada Pangeran Liong bahwa rombongan orang Bhutan yang dipimpin oleh
Panglima Mohinta mohon menghadap.
Pangeran Liong Bian Cu
mengerutkan alisnya, saling pandang dengan Ban-hwa Seng-jin, kemudian dia
berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo.
!Harap Ji-wi Locianpwe suka
menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama Koksu ada
kepentingan lain untuk menerima tamu.!
Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw
Lomo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong Bian Cu lalu bangkit
berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu yang dikawal oleh
Gitananda yang setia.
Panglima muda dari Bhutan,
Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu bersama tujuh orang pengikutnya yang
kesemuanya adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dari Bhutan. Bagaimana
tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini? Seperti kita ketahui, setelah
Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang In, panglima muda
yang mencinta Syanti Dewi dan mengharapkan puteri itu menjadi isterinya ini
segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali penyelidik. Dia
melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur dan dia selalu
didampingi oleh tujuh orang pembantunya yang semuanya memiliki kepandaian cukup
tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi.
Seperti yang dituturkan oleh
Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada Kian Bu dan Hwee
Li, pelayan yang menjadi gila karena ketakutan dan karena duka itu, dalam
pengejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah menemukan
tempat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu Ang Tek
Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita yang
malang itu.
Dia terus melakukan
penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang
Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke sana, akan tetapi
terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu telah diculik orang
lagi dari tempat itu. Mohinta mencari terus, tanpa mengenal lelah. Dia bukan
hanya mencinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan tetapi di
samping cintanya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia berusaha
memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat menjadi mantu raja, tentu kelak
dia mempunyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi inilah yang
membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan berhenti
sebelum puteri itu terdapat olehnya.
Setelah mencari-cari siang
malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak tersebar di daerah Ho-pei
dan Ho-nan di mana untuk terakhir kalinya dia mendengar akan jejak Syanti Dewi,
akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah tertawan oleh Pangeran
Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati Mohinta! Tertawannya Puteri
Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu benar-benar amat mengejutkan dan
mengkhawatirkan hatinya. Dia maklum siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga
bernama Liong Bian Cu itu, seorang Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan
berkuasa besar. Bahkan dia mendengar bahwa pangeran itu ditemani oleh guru
negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang juga disebut Ban-hwa Seng-jin, bahkan
kabarnya Gitananda, pendeta yang amat lihai itu pun menemani Sang Pangeran
Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas Syanti Dewi dengan menggunakan
kekerasan. Akan tetapi Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera
memperoleh akal yang amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri
cantik yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan
untuk menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh
Bhutan!
Ketika Pangeran Bharuhendra
yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama pendeta Lakshapadma
yaitu Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal dan diikuti oleh Gitananda, Mohinta dan
tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat.
Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan berkata, Harap Paduka sudi
memaafkan kalau hamba dan para pengikut berani mengganggu Paduka di tengah
malam begini.!
Pangeran Lian Bian Cu
memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata, Duduklah dan ceritakan siapa
engkau, apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku. Harap bicara secara
jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini juga kami akan menyuruh
pengawal membunuh kalian.!
Mohinta lalu menceritakan
niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhutan untuk mencari Syanti Dewi dan
bahwa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap untuk membantu
Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri Syanti Dewi
sebagai sandera.
Dengan adanya puteri itu di
tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara untuk menyerbu Bhutan.
Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan Paduka dan selanjutnya,
hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap Nepal dan memenuhi segala
tuntutan dan perintah dari Nepal.! Demikian antara lain Mohinta berkata. Semua
penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Seng-jin.
Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang
dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka.
Mohinta, engkau sudah bersiap
untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat hendak membantu kami
yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu ada pamrih tertentu
tersembunyi di dalam pengkhianatanmu ini. Apakah pamrih itu? Apakah yang
kauinginkan dalam persekutuan antara engkau dan kami?!
Wajah Mohinta menjadi merah, jantungnya
berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian dan kecerdikan Koksu
Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi terhadap mereka amatlah
berbahaya. Menghadapi orang-orang Nepal yang amat kuat ini, jalan satu-satunya
hanyalah mendekati, bukan memusuhi.
Maaf, Koksu. Sudah tentu dalam
setiap tindakan terdapat pamrih yang mendorongnya, dan benarlah wawasan Koksu
bahwa ada pamrih dalam hati saya kalau saya menawarkan diri untuk membantu
Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Pertama, saya ingin memperoleh Puteri Syanti
Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Ke dua, saya mengharapkan
kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat menggantikan
kedudukan raja di Bhutan.!
Pangeran Liong Bian Cu
tersenyum. Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk semua anugerah
yang kauharapkan itu, apa saja yang dapat Kau berikan kepada kami?!
Ayah hamba adalah kepala
panglima di Bhutan. Biarpun ayah hamba tidak akan mencampuri urusan
pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat menguasai
sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba adalah
seorang kepercayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan, tentu
hamba dapat membantu Paduka untuk menghadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain-lain.!
Tiba-tiba Ban-hwa Seng-jin
mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk diam, lalu sekali
berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela. Akan
tetapi tidak ada siapapun di balik jendela itu, maka dia lalu menutupkan lagi
daun jendela dan kembali ke ruangan. Aman,! katanya, Tadinya saya kira
mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.!
Mereka lalu melanjutkan
perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li berbisik-bisik di
dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar puteri itu dan Syanti Dewi
mendengarkan dengan wajah pucat. Tadi memang Hwee Li yang mencuri dengar ketika
Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan karena dara ini
mengerti bahasa mereka, maka dia dapat mendengar kesanggupan Mohinta untuk
menggulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu. Mendengar
penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan marah sekali.
Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya terhadap Mohinta? Dia sendiri berada di
situ sebagai seorang tawanan!
Bibi Syanti Dewi, apakah kau
ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?! tanya Hwee Li ketika dia
melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil.
Jangan, Hwee Li. Hal itu
berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan.!
Aku yakin mudah saja bagiku
untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu marah kepadaku,
biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang
gila untuk menikah dengan aku!!
Syanti Dewi merangkulnya., Tenanglah,
Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa
Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini
semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu
mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun
menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman
berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja.
Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut
pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat
bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee
Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu.!
Hwee Li mengangguk dan
berbisik, Ah, kalau tidak terjadi sesuatu yang mujijat, bagaimana mungkin kita
dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang sakti terlampau banyak di
sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam
hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam
benteng.!
Kita tidak boleh putus
harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku
yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang
sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka.!
Hemmm, mereka siapa?!. tanya
Hwee Li.
Pertama-tama tentulah Siang In
yang cantik dan cerdik, dan.... Tek Hoat....!
Dan Siluman Kecil! Juga Suma
Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja
melihat kita ditawan orang-orang jahat?!
Dan di sana masih ada pula
adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat sakti....!
Ah, kenapa aku pun lupa kepada
Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan
mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!!
Dan masih ada lagi Bibi Puteri
Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es....!
Wah-wah, kita mengharap
terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun
di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?!