Jodoh Rajawali Bab 35 - Lembah Huang-Ho

Jodoh Rajawali Bab 35 - Lembah Huang-Ho
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Bab 35 - Lembah Huang-Ho

Dia seorang wanita?!

Begitulah.... yang saya dengar....!

Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab ketakutan.

Dan namanya Ouw Yan Hui?!

Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw.... akan tetapi tidak tahu jelas....!

Apa artinya kata-katamu ini?! Kian Bu membentak marah. Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh-pembunuh saudaramu ini?!

Dia.... dia bergerak seperti setan hampir tak dapat saya lihat.... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang kadang tidak dan yang terdengar hanya
bunyi bersuitan sinar putih bergulung-gulung dan kami.... kami sudah disayat-sayat.... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi.
Saya.... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi....!

Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?! Kian Bu mendesak lagi.

Kami.... saya.... telah lama mendengar akan Bu-eng-kui yang amat kejam dan mengerikan itu.... dan bahwa dia she Ouw.... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia....!

Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?!

Karena.... sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tidak dapat mengampuni segala cacing busuk!!

Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih sucinya sendiri! Hemmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!

Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?!

Kami.... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...., entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara....!

Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?!

Dia.... dia....!

Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?! Kian Bu menghardik.

Dia adalah tawanan kami....!

Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?!

Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan namun menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan siluman! itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil. Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan....!

Desssss....! Aughhh....!! Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya. Jahanam busuk kau!! katanya dan cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempedulikannya lagi Giam Hok yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!

Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapapun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci.

Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.

Sialan....!! Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak.

Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsan Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi.

Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah empat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapapun jahatnya, orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih!

Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Dia bertolak pinggang dan berkata, Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan kepada para anggauta golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku.!

Kian Bu menarik napas panjang, lalu melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biarpun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainken menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya dan dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong tajam itu mengerling.

Giam Hok loheng,! katanya ramah. Jangan mengira yang bukan-bukan. Biarpun engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah.!

Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?! Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercaya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.

!Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperolehnya atau menawannya?!

Tiba-tiba sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini, Kian Bu menjadi heran dan tertarik.

Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini.! Dia berhenti sebentar dan menyambung, Dia seperti orang dari.... Bhutan. Benarkah?!

Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu.

Akan tetapi Giam Hok menggeleng kepala. Saya tidak tahu.... hanya dia.... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani ehhh....! Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.

Orang she Giam!! Kian Bu membentak tak sabar lagi. Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?!

Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat, Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepala.!

Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di Pegunungan Himalaya.

Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?! tanyanya, tertarik.

Giam Hok menarik napas panjang dan berkata, Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua.! Lalu dia bercerita dengan suara sedih, Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang-orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untung kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibatnya.... beginilah....!

Kian Bu tertarik sekali mendengar akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan. Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.

Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok lalu melanjutkan, Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari....!

Ahhh....!! Kian Bu benar-benar tertarik. Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!

Taihiap.... ahhh....!! Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya!

***

Lembah Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat hebat! Jenderal Kao Liang benar-benar telah memenuhi janjinya terhadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu oleh musuh. Benteng itu terletak di Lmbah sungai yang mengalir di belakang benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air. Selain berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum musuh dapat mendekati, tentu fihak penjaga benteng sudah dapat menghujankan anak panah ke perahu-perahu itu.

Di kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di benteng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing curam. Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas.

Akan tetapi, biarpun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya dan sukar ditembus oleh pasukan, namun tidaklah merupakan tempat yang tak mungkin didatangi oleh seorang pendekar yang berkepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmunya meringankan tubuh. yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu!

Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apalagi karena di situ terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia dapat berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapapun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.

Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas tembok itu terbentang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apalagi di waktu malam, bahkan andaikata dia meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang hebat sekali perlengkapan yang dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang.

Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung-sambung, tidak terlalu keras sehingga tidak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng! Kian Bu menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan kini dia sudah ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sibuk dan banyak sekali pasukan-pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan. Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih! Padahal, tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Belum ada rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu.

Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang orang. Dia makin terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap. Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak yang putih seperti kapur itu kelihatan jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi! Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi makin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia bersembunyi, dan mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.

Jangan membolehkan para perjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!! terdengar kakek bersorban berkata dengan suaranya yang kaku. Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas persoalannya.!

Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benar-benar tidak becus!! berkata Hek-tiauw Lo-mo.

Hek-hwa Lo-kwi memandang marah. Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya sehingga kelenengan berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!!

Ataukah panik karena ketakutan?! Hek-tiauw Lo-mo mengejek.

Kau berani menghina anak buahku?! Hek-hwa Lo-kwi menghardik dengan alis berkerut.

Melihat dua orang kakek ini yang memang seringkali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata, Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andaikata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil pekerjaan Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka sehingga membuktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya jangan sampai hal ini didengar oleh pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan menerima teguran keras.!

Kucing atau tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andaikata ada orang pandai masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan.! kata Hek-hwa Lo-kwi.

Ah, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan keluar Kao di sana,! kata Hek-tiauw Lo-mo.

Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal, mengangguk dan tiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan-tawanan dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut tentang puteri! dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?

Besar kemungkinannya demikian,! pikirnya. Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi telah meninggalkan Bhutan dan kini diculik dan dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!! Setelah berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu keluar dari benteng ini!

Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun. Dia bersembunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja. Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata kepada para pasukan, Malam ini tidak ada istirahat! Semua harus berjaga secara bergiliran sampai pagi! Baik kucing maupun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!!

Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguhpun dia hampir tidak percaya. Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini sekarang menjadi pembantu atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan memberontak? Sungguh tak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat dipercaya. Padahal nama Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada kerajaan!

Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguhpun pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh agar jenderal itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya.

Diam-diam Kian Bu merasa khawatir sekali, Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga Syanti Dewi seperti yang diduganya, maka tidak akan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biarpun berkepandaian tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki benteng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula?

Aku harus menolong Syanti Dewi,! pikirnya dengan hati bulat. Apapun yang terjadi, aku harus menyelamatkan dia.! Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka dia lalu melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya.

Hei, berhenti! Siapa di situ?!

Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu maka dia menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dengan kecepatan kilat. Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara orang mengomel, A-ban, siapa yang Kau tegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!!

Ah, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?!

Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, Maling hina, menyerahlah!! Dan sebuah lengan yang panjang besar, dengan tangan berbentuk cakar, dan kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram pundaknya dari belakang.

Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan.

Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dia langsung saja menerkam. Akan tetapi, Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkamannya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.

Hendak lari ke mana kau?! bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat.

Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul bentakan kasar yang parau dan keras, sekali, Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-haha!! Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu mengenalnya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh lamanya!

Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun, terpentalnya tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ.

Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin! Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa suara ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya!

Tentu saja Kian Bu tidak merasa jerih menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, melainkan untuk membebaskan Syanti Dewi. Kalau dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan. Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, tiba-tiba muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa dia lalu mempergunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu membalikkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas.

Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, kalau perlu minta bantuan kakaknya atau teman-teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu. Dia mengerahkan ginkangnya dan mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, kedua kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah yang terang benderang itu.

Kraaakkkkk....!!

Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.

Pyarrrrr....!! Sebelum tubuhnya turun ke atas lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, akan tetapi kesunyian tempat itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi!

Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar gerakan-gerakan di sekeliling tempat itu dan kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung! Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap mengepung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia!

Kian Bu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, muka agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, namun mendatangkan perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya mata di balik tirai rambut putih itu saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, sikapnya tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Melihat pemuda berambut putih ini, sekarang jelas sekali karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.

Siluman Kecil....!! Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia bahwa para perajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biarpun jarang di antara mereka ada yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang aneh menyeramkan.

!Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?!

Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata, tubuhnya tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, namun juga penuh dengan wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya.

Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama-tama dia mengenal Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Semenjak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja. Namun, sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula.

Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian dan yang tidak dikenalnya. Memang banyaklah yang datang mengepung maling! itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para anggauta Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Juga hadir pula Hoa-gu-ji, yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal. Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, dan mereka ini adalah para pembantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu.

Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oieh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya.

Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Akan tetapi perhatiannya sebagian ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dan sikapnya gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya!

Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga melihat sepasang mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasaan.

Hebat orang ini, pikirnya, kalau saja aku dapat menaklukkannya!

Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?! tanya Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir. Semua orang terkejut dan pangeran itu juga tercengang, akan tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.

Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat.!

Jelaslah bagi Kian Bu. Memang sudah diduganya demikian. Suruh dia membantu seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan pengkhianat itu. Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya untuk menyinggung Paduka, akan tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pembecontak.!

Uhhh....! Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di antara para pasukan.

Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?!

Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.

Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tidak semestinya itu.!

Hemmm, Sicu mendengar apakah?!

Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!! katanya dengan suara tegas.

Ahhh....! terdengar suara bentakan marah dan sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula. Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.!

Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang Kau sebutkan tadi?! tanya Mohinta dengan marah.

Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan....! jawab Kian Bu.

Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?!

Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah. Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri denganku.!

Keparat! Kaukira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?! Mohinta mendamprat dan dia sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil. Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.

Krekkk!!

Aughhh....!! Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.

Aku tahu orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti engkau manusia rendah yang sombong!! Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri. Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.!

Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil.

Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi. Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kauketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong kedatanganmu ini?!

Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!!

Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Akan tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh, Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasuhan istana yang memusuhi mereka.!

Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!!

Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu.!

Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu, Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!! Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para perajurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali. Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Betapapun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya mempunyai hak penuh untuk menolak permintaannya. Mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata, Ahhh.... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja....!

Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagau seorang tamu yang terhormat.!

Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan fihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara?

Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, Tangkap dia....!!

Eh, mau apa kau?! Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru, Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!!

Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan mukanya yang tampan nampak. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenal wajah ini dan dia pun terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil!

!Benar-benar dia putera Majikan Pulau Es!! teriaknya sambil menerjang ke depan. Tangkap mata-mata musuh!!

Mendengar ini, Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Kalau benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main! Tangkap dia!! perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.

Sementara itu, Hwee Li sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya? Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu, .... kau tangkaplah aku....!!

Wuuuttttt....!! Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mujijat yang mengandung racun berbahaya sekali.

Namun Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Akan tetapi, ke manapun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang dan para pembantu Mohinta, sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapapun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu. Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apalagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali sehingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat!

Tiba-tiba Hwee Li menubruknya. Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!! bentaknya dan kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali, .... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera....!!

Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Akan tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.

Desss....!! Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.

Ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!! Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala. Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas.

Ayah...., tolong....! Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.

Keparat, lepaskan anakku!! Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.

Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!! Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li. Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang maju dengan goloknya.

Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!! Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya. Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesal akan akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.

Locianpwe, tahan dulu!!

Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tidak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!

Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, lalu berkata dengan gagap, Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia.!

Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, Lekas...., lekas.... Pangeran.... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini....? Lekas.... ahhhhh....!

Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Kalau Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing menikirkan hal itu.

Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,! katanya.

Tentu saja! Kau lepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu.!

Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.!

Kau.... kau tidak percaya kepada omonganku?! Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, Lacianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.!

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.

Kian Bu bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata, Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah tiba di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran.! Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan seperti terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih, Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar