Jodoh Rajawali Bab 37 - Hutang Luka Dibayar Luka

Jodoh Rajawali Bab 37 - Hutang Luka Dibayar Luka
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Bab 37 - Hutang Luka Dibayar Luka

Taihiap...., Lihiap...., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!! tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Sudah dicobanya dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu.

Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.

Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!!

Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas sembuhkan dia!! Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada encinya!!

Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan melupakan kebaikanmu ini.!

Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar-sinar penuh kebanggaan. Biarpun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biarpun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!

Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan membuat kulit daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah.... eh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kau lihat!! Dia lalu menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu sebentar saja!

Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. Bukan main! Ah, Nona yang baik, tolonglah muridku ini....!

Tapi dia tadi bicara kasar kepadaku....! Hwee Li berlagak jual mahal!

Hwee.... eh, Enci Hwee Li! Cepat kauobati dia!! Kian Bu berkata dengan suara keras.

Hwee Li mengerling kepadanya. Hem, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila kepada seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm....!!

Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, mengapa kau main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!!

Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata, Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu.! Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan berkata, Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!!

Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia Cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali, Aihhh, Touw-ong.... jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kaumaafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu sekarang juga.!

Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu. Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari dalam cangkir tutup guci. Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.

!Haaa.... cinggggg....!! Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh kepara Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.

Dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,! katanya seenaknya, lalu menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka.

Eh, akan tetapi.... mengapa dia belum sadar, Nona?! Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya masih khawatir.

Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, Dia belum kentut, sih!!

Eh, apa....?! Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara berpakaian hitam itu masih marah.

Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut, itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar....! Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.

Enci, benarkah kata-katamu itu?! tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu.

Puiiittttt....!!

Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!

Suhu....!!

Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia....! Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li. Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo.

Singgggg.... trakkk....!! Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada Kian Bu dengan mata berapi karena marahnya.

Kau.... kau malah membantu dia?! bentaknya marah, kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), dan menghadapi Kian Bu dengan sikap marah!

Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kalipun! Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li dan bahkan diam-diam mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.

Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!! Kian Bu menegur, suaranya tegas dan berwibawa.

Hwee Li membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan mengubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kakinya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang, semua gerakannya dilakukan dengan gerak silat sehingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.

Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?! Akhirnya dia berkata lantang. Kau tahu apa tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?!

Kian Bu menarik napas panjang. Sama sekali bukan hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!!

Eihhh....?! Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).

Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?! tanyanya, lebih heran daripada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya.

Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang kebaikan....!

Bayar kebaikan!! sambung Hwee Li melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.

Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?!

Hwee Li tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu, Akan tetapi dia telah membunuh ibuku....!

Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!! terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biarpun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.

Tutup mulutmu yang busuk!! Hwee Li memaki. Engkau memaksa dia, biarpun tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?!

Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang Kau balas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya, lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat.! Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu, namun hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.

!Benar sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!! Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa. Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia mendengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu atau yang dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut enci! oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil.

Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu lalu melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu.

Kalau begitu, apa kauminta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Dia telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?! Dia makin penasaran.

Kian Bu tertawa. Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?!

Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!! Hwee Li berkata dengan alis berkerut. Kalau begitu, apakah kita harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya perjalanan?! Karena jengkel Hwee Li mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu.

Swi Hwa adalah seorang yang terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona berpakaian hitam itu betapapun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, Adik Hwee Li, kalau aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup di tempat ini?!

Wah, cocok!! Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,. dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?!

Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia melihat dara berpakaian merah itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, Terserah, asal kalian tidak membunuhnya.!

Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti sudah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati.!

Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?! tanya Hwee Li bingung.

Kita kubur tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk.!

Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik. Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, Kau bantulah aku.!

Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus. Akan tetapi jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung tenaga Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah lubang. Kini keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi, melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jerih dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis remaja!

Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat membebaskan diri!! kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.

Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa, Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kaumaafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.!

Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata, Akulah yang telah bersikap kasar. Kaumaafkan aku, Enci yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih kepadamu.!

Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka lalu bersuit panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya, daripada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepadanya. Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu.! Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu.

Kian Bu, menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong. Sekarang, kami berdua harus kembali ke sana untuk mencoba menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan.! Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biarpun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi menolong puteri itu!

Suhu, mari kita ikut membantu mereka ini!! Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun mengangguk-angguk tanda setuju biarpun alisnya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah Kui-liong-pang.

Akan tetapi sebelum kakek itu mengeluarkan, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan ketidaksenangan hatinya, Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena.... karena.... hemmm....! Kian Bu merasa tidak enak untuk melanjutkan kata-katanya. Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Urusan itu pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tidak ada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai fihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak enak kalau harus mengemukakan hal itu. Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Seng-jin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan karena memang dia murid Raja Maling! Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Seng-jin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula?

Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini.... eh, siapa namamu tadi, Enci?!

Swi Hwa tersenyum. Namaku Swi Hwa, she Kang....! katanya sambil mengerling ke arah Siluman Kecil. Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Ketika itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan Ang! itu bukan she, melainkan berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.

Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan bagi kita. Kenapa engkau menolak?!

Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi....! dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.

Swi Hwa tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus, Ah, tentu Taihiap masih mendendam karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesarnya!! Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu. Tidak ada satu sen pun berkurang, Taihiap!!

Kian Bu mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata, Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi....!

Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, Taihiap, muridku yang jahat ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Seng-jin mendahului Taihiap, tentu hal itu yang membuat Taihiap meragu, bukan?!

Hati Kian Bu terasa tidak enak, akan tetapi dia mengangguk. Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.! Kian Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia.

Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab-kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap....! Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.

Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.!

Aku ada rencana yang baik sekali!! Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. Kalau rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri, akan tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!!

Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini. Bagaimana rencanamu itu, Enci?!

Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?!

Ahhh....!! Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya. Dia, memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya. Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.

Enci, jangan main-main....!!

Swi Hwa tertawa geli. Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada itu? Bayangkan saja. Dua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan menghalangi mereka di dalam benteng?!

Tapi.... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?! Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan.

Akan tetapi jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran-heran, demikian pula Kian Bu. Siapa suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila menyuruh kau membebaskan dia.!

Eh, bagaimana kau ini? Tadi kaukatakan....!

Swi Hwa lalu mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot. ....aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng....!

Kian Bu terkejut. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu?

Ah, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,! katanya.

Juga Hwee Li tidak dapat menerima rencana itu. Enci Swi Hwa, harap jangan kau main-main. Kita bukan menghadapi sekumpulan anak-anak kecil yang mudah kaupermainkan dengan penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara....!

Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?! Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan kelihatan marah. Gurunya lalu menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.

Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.!

Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar, Suhu.! Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.

Tempat guru dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya, Sepatuuuuu.... sepatu rumpuuuuut....! Barang baik harga murah lekas.... beliiiii....!!

Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?! tanya Hwee Li dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah sepatu rumput.

Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah. Dia....? Dia.... adalah nenek itu....!! Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar. Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!

Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia....?! Hwee Li bertanya. Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak!

Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran. Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?! Akan tetapi yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga hebat ilmu copetnya!

!Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!!

Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon sebelah kanan, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu.

Eh, kau di sini, Kang-kongcu....?! kata Kian Bu. Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.

Tunggu, Kang-kongcu....!! Kian Bu hendak menghampiri dan tiba-tiba dia tersentak kaget bukan main ketika teringat akan nama itu. Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ah, pantas saja tadi ketika Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula! Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama pemuda! itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa pemuda! itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, pemuda! itu tidak mau tidur sekamar dengan dia!

Hwee Li masih bingung. Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul dan melihatmu, mereka terus pergi.!

Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu! Mereka.... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu....!

Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?! Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara tertawa.

Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang berdiri di depannya. Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke Pulau Neraka....!!

Tidak, tidak....! Engkau bukan ayahku! Engkau.... heeeee?! Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi, akan tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit, Kau iblis tua bangka! Kau setan....!! Dan dia bergerak hendak menyerang. Akan tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya.

Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baik-baik siapa dia....!

Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!! Dan kini raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis.

Sudah kulihat, dia memang iblis tua itu!! Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di depannya.

Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!!

Hwee Li terkejut memandang kakek bermuka tengkorak yang baru muncul. Hek-hwi Lo-kwi! Tidak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak seperti melihat setan di tengahari!

Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!! Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi.

Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata, Kepandaian menyamar dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa kagum dan takluk!!

Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur. karena jerih.

Hi-hik, Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini amat menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Encimu ini dan Suhu?!

Kau.... kau.... Enci Swi Hwa....!! Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu. Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itupun sama. Tubuhnya tinggi besar pun serupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguhpun aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak dibelinya.

Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?!

Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepasnya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya. Bagus sekali, Enci. Sayang ada satu perbedaan menyolok.!

Tanganku terlalu kecil?!

Bukan itu saja, terutama sekali.... baunya!!

Baunya?!

Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat apek!!

Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu menjadi harum! Hati-hati, lebih baik kauhilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!! Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata. Hwee Li bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura.

Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!!

Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri. Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk mengelabuhi mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang ditawan,! kata Hek-sin Touw-ong.

Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran....! Kian Bu kini memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu. Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu....!

Akulah yang menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?! kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.

Dan.... Kang-kongcu itu....?!

Hi-hik, maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi aku memang sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar tentang sayembara itu aku ingin memasuki dan meluaskan pengetahuan.!

Akan tetapi.... kau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah seorang pengkhianat yang agaknya bersekutu dengan Pangeran Nepal?!

Hek-tiauw Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk. Tadinya aku tidak tahu apa-apa. Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak.!

Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega. Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat.!

!Akan tetapi tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,! kata Hwee Li. Terlalu berat bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau-kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.!

Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat itu.

***

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Seng-jin.

Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya. Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.

Belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tibat-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur, secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian. Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apalagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu.

Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya tajam dan aneh, hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, keduakakinya kadangkadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi fihak lawan.

Adapun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Adapun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han aseli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan wajahnya membayangkan kehalusan budi.

Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok-gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mujijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.

Sumoi, jangan!! tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pukulannya yang mujijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak memperbolehkan sumoinya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.

Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nonamu?! Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan. Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!

Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, akan tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir! Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mujijat, biarpun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apabila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hiatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya. Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung-huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa terpingkal-pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu.

Dengan pengerahan sinkangnya, Kian Lee mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh-kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.

Siluman jahat!! bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biarpun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Namun orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat!

Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Gua Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu. Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.

Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona....!! Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!

Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana....! Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya. Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.

Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!!

Setelah berkata demikian, Siang In membalikkan tubuh dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar! Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mujijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.

Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang anak laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.

Kenapa belum juga sampai?! terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek. Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.

Sssttt, kita makan dulu....! bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In.

Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari-nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari!

Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!! Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biarpun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!

Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!

Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!! demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih. Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.

Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah? Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.

Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki-laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu mennbalik berseru dengan nyaring, Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!!

Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman, juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya!

Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan kami?!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar