Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 44 - Pemimpin Pasukan
Negara
Tahan....!! Tiba-tiba
terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke
arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu.
Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang
panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini,
seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah
membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga
panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat!
Dia maklum bahwa pencampurtanganan panglima yang tentu diam-diam amat membenci
ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang
benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.
Hemmm, kiranya bocah anak dari
bekas jenderal pengkhianat! Eh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang
khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?!
Tentu saja Kok Han tidak dapat
lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun
lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat, Kakek tua bermulut busuk!
Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!!
Memang inilah yang dikehendaki
oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina
oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia
lalu berkata keras, Ah, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku,
Panglima Chang? Biarpun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu
untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin
dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan
menghina seorang panglima?!
Manusia she Chang yang hina!
Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?! Kok Han kembali membentak, makin marah.
Cu-wi sekalian mendengar
betapa bocah ini menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!! Setelah berkata
demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan
bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok
Han!
Kao Kok Han maklum bahwa kakek
ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam
orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan
kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang
panglima yang memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat tangan kakek itu
bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya, dia cepat
melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu
disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.
Ehhh!! Kok Han berseru kaget
dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil
tertawa kakek itu sudah menendang. Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke
belakang itu tentu saja menjadi makin kaget, dia terpaksa menjatuhkan diri,
akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung
sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan
tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya.
Kakek itu memandang sambil
tersenyum lebar. Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah,
majulah!!
Hati yang diliputi kedukaan
dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi
musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini
menantangnya, biarpun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han
lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah lupa segala, lupa
akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu
dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang
yang dibencinya. Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Akan
tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam
yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.
Tar-tar-tarrr....!! Tiga kali
ikat pinggang cambuk itu meledak dan pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya,
malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil
mengusap pangkal lengan kanannya yang berdarah dan juga pundaknya yang
berdarah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main
lihainya permainan cambuk kakek itu!
Panglima Chang tertawa
bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak
rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami
penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah
menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao. Akan tetapi
karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat
berbuat apa pun juga. Kini, dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera
jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti
Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu
menghinanya? Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena
mempertahankan kehormatan masing-masing! Dan dia tidak akan cepat-cepat
membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya
dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang
hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit
hatinya terhadap Jenderal Kao Liang!
!Ha-ha-ha, bocah pelarian
sombong! Bocah macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo
kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani
melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu! Tar-tar-tarrr!! Kok Han cepat
memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ke tiga mengenai lengan kanannya yang
memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan
pedangnya, apalagi harus berlutut minta ampun!
Manusia hina, lebih baik
seribu kali mampus daripada menyerah kepada seorang pembesar durna macam
engkau!! Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor
harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.
Tar-tar-tar-suuuuuttttt....!!
Karena jari-jari tangannya
yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit
pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang
sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergerak dan mengambil
pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan
pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!
Kok Han terkejut bukan main
akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi
dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua
kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas
tanah!
Tar-tar-tarrr!! Cambuk itu
kini meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat.
Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi
tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu
sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga
pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi
dan hendak menyerbu ke depan.
Melihat kenekatan pemuda ini,
diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah
dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar
cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung
cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak
buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja
jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau
pemberontak.
Akan tetapi, begitu dia
meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk
menotoknya, tiba-tiba cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot,
akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu
telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di
sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat tahun,
cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut
dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah
menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah
sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api.
Siapa kau? Perempuan lancang,
hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima Chang?! bentaknya
dan sekali lagi dia mencoba membetot cambuknya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja
tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan
yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang
amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih
dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan
main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu
sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya
untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.
Plakkk!!
Ahhh!! Chang-ciangkun berseru
kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan
menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya
menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia
tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
Jahanam busuk, berani kau
mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi biarlah
kuambil dulu kedua telingamu!!
Tar-tar-tarrr!! Cambuk itu
meledak-ledak di udara ketika diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah
bukan main.
Bangsat perempuan, engkau
harus dihajar!! bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi, wanita cantik itu
menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat
cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya,
akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus
meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
Prattt! Aduhhhhh....!!
Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya.
Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti
dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!
Dan sekarang telinga kananmu!!
Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar.
Chang-ciangkun sudah terkejut
dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan
kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat
saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar-nyambar, kemudian
mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.
Prattt! Aughhhhh....!!
Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk menggunakan tangan kanan
mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah
bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus.
Cambuk itu masih meledak-ledak
di udara. Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat hidungmu?! Wanita
cantik itu mengancam dengan suara bengis. Mendengar ini Chang-ciangkun terisak
dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah
menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa
nyawanya berada di tangan wanita itu.
Sudah, isteriku, jangan bunuh
dia!! tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu menoleh.
Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia
menarik napas panjang dan membuang cambuknya.
Twako....! Twaso....!! Kok Han
berseru dengan girang bukan main. Tadi ketika dia melihat twasonya (kakak ipar
terbesar) datang menolongnya dan menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa
girang bukan main. Kini melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang,
melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil
mereka.
Mari kita pergi dari tempat
ini,! kata Kao Kok Cu dengan tenang dan tanpa mempedulikan lagi kepada Panglima
Chang yang masih bcelutut sambil menangis, dan para penonton yang memandang
kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat
itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil
melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya,
yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya
pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri
Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan
isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri
Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan. Mereka mulai
melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah
mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara
kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang.
Tentu saja Nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya
panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi
hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua
daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu.
Setelah mereka tiba di rumah
penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa
luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka
dan dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian.
Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang
telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh
Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan
di lembah.
!Hoa-gu-ji, tokoh
Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak
ipar ke dua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas
menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.!
Kao Kok Cu mengepal tinjunya.
Mari kita serbu ke sana!! teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi. Anak mereka
diculik orang belum juga berhasil mereka temukan, sekarang keluarga suaminya
semua ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan
main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang
berhati baja, keras dan ganas, apalagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok
Mo-li (baca Kisah Sepasang Rajawali), maka begitu kini dilanda duka yang
bertubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga dia memberi hajaran
yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun tadi.
Akan tetapi Kao Kok Cu yang
biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biarpun hatinya juga
terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan
nada suara halus dan tegas, Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk
melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa
ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha
para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.!
Maka pada hari itu juga, Kao
Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang
ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentaranya yang hendak
dipimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Girang sekali hati
Puteri Milana ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu.
Segera dia mengenal Ceng Ceng.
Kau.... Ceng Ceng....?! seru
puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu. Akan tetapi
kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?!
Berjumpa dengan wanita agung
yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir saja
Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa
dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar
Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali,
juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah kalau
sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
Ah, dan engkau adalah
Kao-taihiap yang dulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah
lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!!
kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di
hatinya itu.
Paduka terlalu memuji,! kata
Kao Kok Cu. Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa berita
tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil
keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk....!
Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah
engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah keponakanku, maka engkau harus
menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak
saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan
dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.!
Melihat sikap yang terbuka dan
ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu
bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga
tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang.
Puteri Milana menarik napas
panjang dan memotong, Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang gagah dan
orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu
tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh
sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang demikian
banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari Gurun Pasir!
Sungguh berani mati sekali!!
Bukan itu saja, Bibi,! kata
Ceng Ceng. Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa ayah
mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi mengikuti musuh karena mereka
membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka tawan.! Lalu Kok Han menceritakan
kembali pengalamannya kepada Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata kepada Milana, suaranya
sungguh-sungguh.
Sebetulnya, urusan keluarga
kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu Bibi
yang sudah cukup repot untuk menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi
yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, mendengar akan adanya usaha pemberontakan,
tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja tidak ada
urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa ada
pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau
memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka
menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu
ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh
mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.!
Milana mengangguk-angguk.
Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah aku memimpin
pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah
itu.!
Terserah kepada kebijaksanaan
Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu karena
kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini
kiranya akan dapat menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi
menghadapi para pemberontak.!
Kok Han yang memang sebetulnya
telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah, Semenjak muda
ayah telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela negara, maka karena
kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk membela
negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini dapat
diterima.!
Milana memandang kagum dan
mengangguk-angguk. Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah perkasa dan
setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan
hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihentikan dan dikeluarkan dari istana.
Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.!
Setelah meninggalkan Kok Han
bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi pemberontak,
Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk
melakukan penyelidikan lebih dulu. Mereka sengaja meninggalkan Kok Han di kota
raja bersama Milana, bukan hanya agar memberi kesempatan kepada adik itu untuk
ikut membela negara menghancurkan pemberontak, akan tetapi juga karena mereka
berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan berdua saja, mengingat
bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum dapat diandalkan untuk menghadapi
lawan-lawan yang tangguh.
Kok Han lalu ikut bersama
Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan-pasukan yang akan dipimpin untuk
menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana
diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja melaporkan
tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran mahkota menerima
laporan dengan girang.
Memang ayahanda kaisar lemah
sekali, mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar khianat sehingga
Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal
itu, kalau saja Jenderal Kao masih bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu
tidak akan sampai berlarut-larut dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat.
Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu, sungguh menggirangkan
hatiku!! kata pangeran itu.
Beberapa hari kemudian, Milana
sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk memimpin
pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!
Enci Milana....!! begitu
menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan suara girang sekali
karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu.
Sejenak Milana tertegun,
memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya itu.
Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia
meloncat turun dari kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.
Bu-te....! Kian Bu....
benar-benar engkaukah ini....?!
Enci Milana....!!
Milana merangkul adiknya,
mereka saling berangkulan menumpahkan rasa rindu masing-masing. Enci dan adik
sekandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi
matanya.
Kian Bu.... kau.... kenapakah
kau? Rambutmu ini....!
Kian Bu tersenyum dan
melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan. Enci, lupakah Enci
bahwa rambut ayah juga putih semua!!
Tapi.... tapi ayah....! Milana
sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena
penderitaan hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah
dia akan keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu
dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan kembali dia
melangkah maju dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata agar jangan
sampai air matanya keluar.
Enci yang baik, apakah
buruknya rambut putih?! Kian Bu berkata untuk menghibur hati encinya, akan
tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa itu.
Aihhh, sungguh mengharukan
sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan
adiknya....!
Mendengar suara wanita yang
nyaring dan seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan rangkulannya dan
memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara
berpakaian hitam yang amat cantik, akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu
membuat dia lupa kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara
yang demikian mengejek, dia cepat memandang dengan alis berkerut, sinar matanya
tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap
tenang dan lagak yang angkuh itu.
Memang Hwee Li, dara itu,
marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian
mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah
dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi.
Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa artinya sopan
santun. Biar di dalam istana sekalipun, di depan kaisar sekalipun, dia akan
mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui mulut tanpa
sungkan-sungkan dan ragu-ragu lagi.
Siapakah dia ini?! Milana
bertanya, Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat
memperkenalkan gadis itu kepada encinya.
Enci, dia ini adalah Kim Hwee
Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo....!
Ehhh....? Hek-tiauw Lo-mo dari
Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kauajak dia ke
sini, Bu-te?! Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot memandang kepada
Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu.
Dia.... dia bukan musuh, Enci,
bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah sahabat
baikku, Enci, dan dia bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak
kandungnya, hanya anak angkat....!
Anak angkat pun bukan, bahkan
tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu kandungku!! Hwee
Li melanjutkan.
Agar jangan menimbulkan salah
sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat menceritakan
semua hal mengenai Hwee Li kepada encinya, betapa dia pernah tertawan di dalam
benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang
keadaan di dalam benteng lembah.
Dalam penuturan ini, Hwee Li
yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah cerita Kian Bu dan
setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang
dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk
berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan. Ketika mendengar keadaan di dalam
benteng lembah, terkejutlah Milana. Betapa benteng itu dibangun oleh Jenderal
Kao yang dipaksa karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao
Kok Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga
tertawan di lembah dan mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk
menyelamatkan Syanti Dewi.
Akan tetapi yang paling
mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng
amat kuat itu. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu,
keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang memberontak, kini mengumpulkan
orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao membentuk barisan amat kuat di
benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar amat
gawat.
Ah, sungguh celaka! Kiranya
keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah menimbulkan
pemberontakan pula yong lebih berbahaya, Karena benteng itu didirikan di antara
Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya menjadi lebih berbahaya daripada
pemberontakan kedua pangeran Wi beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng
Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya kalian berdua juga cepat
pergi menyusul mereka, membantu mereka yang menyelidiki lembah. Aku akan
mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menaklukkan Gubernur
Ho-nan karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak.!
Kian Bu dan Hwee Li tidak lama
tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah, untuk
membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum bahwa tempat itu amat
berbahaya, membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan juga membutuhkan serbuan pasukan
yang kuat untuk dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga
menyelamatkan semua orang yang tertawan di situ.
Setelah dua orang muda itu
pergi, Milana lalu mengirim utusan cepat-cepat memberitahukan kepada suaminya
tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis surat kepada suaminya,
menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula
membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia hendak memimpin
pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu.
***
Pagi yang amat sunyi di tepi
Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batu-batu
besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang
halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju
ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan yang lebat. Sudah
lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di
tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat
meiewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka
berdua bercakap-cakap.
Semenjak terjadinya peristiwa
penyerbuan, kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat
penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang dan perondaan di sepanjang
tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia,
jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan pasukan-pasukan panah dan
orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata musuh. Suami isteri ini
telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu
memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi.
Ceng Ceng sudah tidak sabar
menanti lebih lama lagi. Suaminya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi,
dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum
juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam
benteng itu?
Kalau menyelinap secara
diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih
sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di
dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak
bicara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka
berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!! Ceng Ceng berkata sambil duduk di
atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng, kini
memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih
lama menanti.
Kok Cu menggeleng kepalanya.
Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan semua
keluarga terancam, amatlah tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan
begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi
kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula terjaga oleh
orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua keluarga ayah
itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga
ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan
baik, kalau ada di antara anggauta pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap,
kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan sehingga kita dapat
me1akukan tindakan tepat.!
Ceng Ceng hendak membantah,
akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng
mencurahkan perhatian, dia pun mendengar suara yang mencurigakan di sebelah
belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami isteri ini masih duduk
dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di tubuh mereka menegang.
Keduanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok benteng itu memang amat
kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah diketahui oleh fihak
musuh! Dugaan mereka ini ternyata benar segera terdengar suara sebelum orangnya
nampak.
!Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh
akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan
wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa
mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap dua ekor ikan teri
menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!!
Lalu terdengar suara ke dua,
suara orang yang agaknya malas bicara, Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu
untukku!!
Ha-ha-ha, dia cantik juga,
Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!!
Ceng Ceng dan Kok Cu masih
duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat.
Mereka berdua terkejut.
Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami isteri ini
maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua orang yang
termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh kang-ouw
umum saja yang mampu bergerak seperti itu.
Maka suami isteri ini cepat
bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran
karena yang berdiri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk
tubuhnya. Yang seorang amat jangkung sehingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah
termasuk seorang pria yang tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek
jangkung itu!
Dan yang seorang lagi, yang
kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang amat gendut akan
tetapi juga amat pendek, begitu pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada
Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu jangkung dan seorang hwesio
pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang seorang
tinggi kurus dan yang ke dua gendut pendek.
Sebaliknya, Su-ok
Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su sama sekali tidak mengenal suami
isteri itu, karena biarpun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai
seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang
sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika melihat betapa cantiknya Ceng
Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Sian-su dan dia sudah
memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu
jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik
itu.
Su-ko, aku tidak tahan lagi.
Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!! kata si jangkung dengan suara serak.
Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis
memperkosa wanita di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku ibu jari wanita yang
telah diperkosanya lalu dibunuhnya.
Heh-heh-heh, senang sekali,
aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?! tanya si gendut pendek kepada Kok
Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan
isterinya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung. Akan
tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan
apa-apa, juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung hanya sepasang
matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan
tenaganya yang mujijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa
diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu
Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)!
Tiba-tiba si jangkung
melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya, Berhati-hatilah.! Lalu
suami ini malah menyingkir dari samping isterinya. Ceng Ceng berdiri dengan
kedua kaki terpentang, sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si jangkung
yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam. Setelah jarak di antara
mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit
itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah, lalu dia
mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang melangkah dan tubuhnya
bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali menyambar dari kanan kiri,
menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng!
Ngo-ok yang jangkung itu tentu
saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita cantik yang
menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat
dipeluknya. Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar kecelik
sekali. Karena wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan kedua lengan
panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur, bahkan Ceng
Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung
Ngo-ok!
Wuuuttttt....!!
Melihat pukulan yang
mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok
terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang
mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat,
maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara
teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya
ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.
Duk! Dukkk!!
Kedua lengan Ceng Ceng dapat
ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke belakang
dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah
melangkah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya.
Aaahhhhh....!! Si jangkung
kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah
dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng
yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu.
Melihat ini, maklumlah Su-ok
bahwa orang-orang muda yang disangkanya lemah ini ternyata adalah orang-orang
pandai. Mengertilah dia kini mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok
untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah
meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin membuang
waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan buntung kemudian membantu
Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah mempergunakan Ilmu Pukulan
Katak Buduk yang amat lihai itu.
Angin pukulan dahsyat disertai
bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini bersikap
tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang
buntung, yang hanya tinggal lengan bajunya saja itu bergerak menyambar ke depan
lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba
tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas kepala Su-ok, mengancam
hendak mencengkeram kepala yang botak itu!
Su-ok terkejut, cepat melempar
dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang lagi dengan
pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan
dorongan tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan
akibatnya, Su-ok terpental ke belakang dan dadanya terasa sesak!
Tahan....!! katanya terengah.
Apakah.... apakah Sicu ini SI Naga Sakti Gurun Pasir?!
Mendengar pertanyaan ini,
Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang sambil
membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung lengan
kirinya itu. Kok Cu mengangguk.
Bukankah kalian ini Su-ok dan
Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm.... jadi kalian inikah yang telah menculik
keluarga ayahku?! Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata
itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam menjadi
jerih sekali. Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk
menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu mengirim suara dari jauh untuk memberi
tahu kepada koksu. Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua orang aneh itu hanya
berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa
mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum
mengejek karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini.
Dugaan pendekar ini memang
benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si lengan
buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang
lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada
pendekar itu dan isterinya.
Koksu Negara Nepal mengundang
Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya untuk memasuki benteng lembah!!
Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu
mengangkat mukanya menghadap ke arah benteng, dadanya yang bidang itu mekar dan
tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akah tetapi suara itu mengandung
getaran hebat dan suara itu dapat mencapai tempat jauh sekali, Kami datang
memenuhi undangan Koksu Nepal!!
Su-ok dan Ngo-ok saling
pandang dengan muka pucat. Cara Naga Sakti itu mengeluarkan suaranya saja sudah
menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat
daripada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan
kekuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka
tadi tidak lancang terus menyerang karena keduanya maklum bahwa mereka bukanlah
tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini.
Heh-heh-heh, maafkan
kami....heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun
Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan....! kata
Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya cemberut
saja karena untuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh seorang wanita
yang telah membangkitkan berahinye!
Kalian jalanlah lebih dulu!
kata Kok Cu dengan sikap dingin.
Dua orang kakek itu lalu
berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka untuk bergerak
cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu
minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh,
mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di belakang
mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka
berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka.
Karena mereka berjalan dengan
pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu gerbang. Di
sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika meiewati pintu
gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat, Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada
dan berjalan dengan lagak dua orang panglima yang menang perang atau dua orang
yang telah berhasil menawan! seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun
Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk
berjalan di depan.
Kok Cu dan Ceng Ceng juga
tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat
dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan
luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat
ini, apalagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya.
Juga nampak pasukan yang
berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok, pasukan
pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang
siap menangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas. Hebat
memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah
dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana.
Biarpun demikian, dia masih
menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang
sedemikian kuatnya ini. Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya
yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu
menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ah, tentu ayahnya dipaksa, dan
karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya lalu menurut saja untuk
menyelamatkan keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak
mungkin ayahnya mau membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian
ayahnya.
Suami isteri pendekar itu
makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di
antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang tua yang
mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka pernah mendengar
bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan
memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal. Mereka semua
itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar, yang
bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya mewah.
Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian.
Ketika melihat orang-orang
yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya, Apakah kami
berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?!
Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok
dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap hormat.
Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak
tadi dia sudah memperhatikan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini
patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan
kosong dan suami isteri itu melangkah dengan gagahnya, tenang dan sedikit pun
tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Sam-ok, akan
tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar
mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.
Selamat datang di benteng
kami, Sicu,! kata koksu. Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu
Nepal....!
Hemmm, kalau begitu Sam-ok dan
Im-kan Ngo-ok?! tiba-tiba Ceng Ceng bertanya karena dia melihat betapa Im-kan
Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan
kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu.
Li-enghiong berpemandangan
awas benar!! kata koksu memuji. Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal, saya
juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi melihat sendiri betapa kuatnya
keadaan kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw.!
Apa maksudmu mengundang kami?!
Kok Cu bertanya singkat dan tegas.
Sicu, kami atas nama Pangeran
Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua, mengajak Sicu
berdua untuk bekerja sama....!
Hemmm, apa hubungannya
Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal membuat benteng di
sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang hendak memberontak
terhadap kaisar?!
Semua orang saling pandang.
Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan keangkuhan.
Akan tetapi koksu tersenyum. Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran
Bharuhendra adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran
Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu
menumbangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu
pemerintahan yang kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu
perjuangan ini....!
Hanya pengkhianat-pengkhianat
yang mau membantu pemberontakan!! cela Ceng Ceng.
Kami tidak sudi bekerja sama
dengan pemberontak!! sambung Kok Cu.
Sicu, ingatlah. Apakah Sicu
masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang, memecat dan
mengusir seorang yang berjasa besar seperti ayahmu, Jenderal Kao itu? Ingat,
bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini,
ayahmulah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk
dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat.!
Tidak! Ayahku kalian paksa
maka sudi melakukan semua ini!! bentak Kok Cu marah dan kini matanya mencorong
seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali. Dan
pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?! Dengan ucapan
ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan
selamat.
Sicu agaknya belum percaya
kepada kami? Lo-mo, harap kaupanggil Jenderal Kao ke sini!! Mendengar perintah
ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang.
Tak lama kemudian Hek-tiauw
Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang. Kok Cu
membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar dibayangkan bagaimana
perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu
tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang kepada ayah mertuanya dengan
muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita ini yang sudah pandai
menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.
Agaknya Jenderal Kao itu tidak
diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya dia berjalan
dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu.
Akan tetapi begitu dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan
matanya terbelalak memandang ke arah wajah Kok Cu, wajahnya berubah pucat
sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, membelakangi puteranya itu
untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya. Dia tidak mau
dilihat puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat
menahan tangisnya ketika melihat puteranya karena berbagai perasaan
mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa puteranya tentu
telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada
pemberontak! Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao
pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi.
Kok Cu mengerti dan merasa
terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan dia tahu pula bahwa
ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat
keluarganya tersiksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat
Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak segan-segan melakukan
apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan
mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya
pergi dan lenyap di tikungan, dia lalu membalik dan menghadapi lagi koksu dan
para pembantunya dengan sinar mata penuh tantangan.
Koksu, engkau telah berhasil
memperdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan ancaman
keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat membujuk aku untuk
membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!! katanya dengan suara tenang dan tegas
dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti benar bahwa memang tidak
mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan teguh seperti Naga Sakti
Gurun Pasir itu.
Apa pun yang kautuduhkan,
kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama dengan
kami,! kata Koksu Nepal. Oleh karena itu sekali lagi, kami harap agar engkau
dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andaikata tidak secara suka
rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak
mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat siapakah yang di
sana itu!! Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang
segera membalikkan tubuhnya memandang.
Hampir saja Ceng Ceng
mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri
dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini
bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia
melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa
putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula! Sekarang
mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh
keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki
senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga.
Betapapun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan
ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda
dan aib yang dilakukannya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya.
Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini?
Ayah....! Ibu....!! Cin Liong
berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi
dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya. Seperti diremas-remas
rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati puteranya,
mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa
lengannya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia
menelan ludah lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih tenang.
Cin Liong, kau tenanglah dan
jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat membawamu
pulang!! kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung
kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum bukan main.
Koksu memberi isyarat kepada
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi, akan
tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang, Ayah, yang
menculikku adalah laki-laki berambut keemasan dan wanita baju hijau itu!! Anak
itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan wanita yang berdiri tidak jauh
dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah memondong dan
menariknya pergi dari situ.
Namun teriakan Cin Liong itu
cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada Liong Tek Hwi dan
Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang
itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga. Kenapa kalian menculik puteraku?
Kenapa?! bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi-api. Baik Liong Tek Hwi maupun
Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena mereka tahu
bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu.
!Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi
hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah putera
dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan sumoinya ini adalah puteri dari
mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw
Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin
Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal Kao. Semua orang
menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi
penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu.
Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati.
Tidak, kami adalah orang-orang yang mementingkan perjuangan. Oleh karena itu,
Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu masih dalam keadaan
selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas.!
Koksu, engkau dan semua orang
yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara
ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena
bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang bertugas membasmi
pemberontakan dan mereka itu adalah pemberontak-pemberontak. Kalau sampai
mereka kalah dan tewas, hal itu tentu saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku.
Andaikata ayahku tewas dalam melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh
dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku
datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga
dibebaskan sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali.!
Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu
itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,! kata koksu. Perjuangan kami belum
selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka
membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu kami akan
membebaskan semua, bahkan akan memberi ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa
keluarga Kao kepada kami.!
Koksu keparat! Hayo kau maju
lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!! Tiba-tiba Ceng Ceng
membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.
Akan tetapi Sam-ok atau Koksu
Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia tentu saja
tidak jerih menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti
Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu.
Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang akan sanggup menandingi Si
Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak akan menang.
Li-enghiong, kami menghargai
sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan urusan
pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan suamimu
hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua
berikut seluruh pasukan kami!!
Kembali Ceng Ceng merasa
tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan kekerasan
tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biarpun matanya masih berapi-api
ditujukan kepada koksu.
Baiklah, kami akan mundur dan
kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat membebaskan keluarga
kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara
keluarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka
Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan
kami! Camkanlah ini!!
Setelah berkata demikian, Kok
Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang memandang
dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh
pandang mata mereka semua. Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah
memandang dengan marah dan yang sudah mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang
yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat memberi aba-aba dan
majulah dua puluh lima orang Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk
tokoh-tokohnya yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari
Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh ke dua dari Kui-liong-pang yang kemudian
keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi. Hek-hwa Lo-kwi penasaran
sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biarpun wanita itu
lihai, namun dia sanggup melawannya, apalagi kalau dibantu oleh anak buahnya,
biarpun di situ ada Si Naga Sakti!
Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan
anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti tenang saja, akan tetapi Ceng Ceng sudah
mendamprat, Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau menghadang
kami?!