Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 45 - Mamasuki Lembah
Ha-ha-ha!! Hek-hwa Lo-kwi
tertawa. Kalian dua orang manusia sombong sudah memasuki lembah kami, tidak
akan mudah keluar begitu saja!! Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para
anak buahnya dan berkata, Tangkap mereka!!
Kok Cu masih sempat berbisik
kepada isterinya, Jangan membunuh!! dan isterinya yang sedang marah itu
terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan
keluarga Kao berada di tangan musuh.
Ketika dua puluh lima orang
itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan
terjadilah pertempuran yang amat luar biasa.
Yang mula-mula menubruk maju
adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari
Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup lihai. Khiu Sek
adalah seorang bertubuh kecil yang lihai sekali permainan cambuknya. Cambuk
hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya yang istimewa. Adapun
Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang, memiliki tenaga
besar, tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu
sebatang dayung panjang yang amat berat.
Dua orang tokoh Kui-liong-pang
ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka memang sudah
mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat
itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan
menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, keduanya
sudah menerjang Ceng Ceng.
Akan tetapi, apa yang terjadi
benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat dua
orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita
itu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia menggunakan lengannya yang berkulit
putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung, sedangkan sambaran cambuk itu
didiamkannya saja. Akan tetapi setelah cambuk menyambar dekat kepalanya, dia
tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah
bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya
sehingga dayung bertemu cambuk dan dilibat oleh ujung cambuk. Tentu saja dua
orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata
masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua
senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk melepaskan
dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah
seperti hendak menelungkup.
Plak! Plak!! Kedua tangannya
berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari
tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun lagi,
tidak mempedulikan dua orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul
tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan
menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan panas!
Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya
(baca Kisah Sepasang Rajawali), hawa beracun di tubuhnya telah hilang. Akan
tetapi hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang
pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang terkena pukulannya di paha itu
merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga gatal-gatal dan mereka
berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari.
Tentu saja semua orang menjadi
terkejut. Kepandaian dua orang itu, biarpun bagi para tokoh sakti di situ,
tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah
termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah
dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu.
Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi
telah menyerang Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini
telah menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun
yang bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini
adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu
amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda lengan buntung itu adalah
murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan ilmu
barunya itu! Namun, dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu
sudah amat tinggi, bahkan tidak lagi berselisih jauh dibandingkan dengan
kepandaian gurunya sendiri! Maka, menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang
mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap
tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang
memperhatikan isterinya.
Ceng Ceng kini mengamuk
seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau
menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua puluh lebih anggauta
Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya
beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi setelah terkena tamparan atau
tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. Andaikata Ceng Ceng tidak ingat
akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas semua,
termasuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud
suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian mereka
berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang ditawan tidak
akan mengalami gangguan.
Setelah melihat betapa
isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu lalu mencurahkan
perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan kelihaiannya karena
dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan untuk
mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok
tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti. Oleh karena itu,
tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat dahsyat,
yang menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera
terguling roboh dan mereka yang kuat pun tergetar hebat sampai terguncang
jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur ke depan
seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat
dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek, yang dahsyat. Pendekar itu sama
sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong.
Desssss....!! Tubuh Hek-hwa
Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu
membantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang
Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat
banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga
itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng
Ceng lewat. Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu
gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar
dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.
Setelah mereka jauh
meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan
Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis! Kok
Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan
isterinya menumpahkan semua kedukaannya melalui tangis. Dia tahu betapa
isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang hebat,
yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan kini isterinya menangis
karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat
bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi
berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan putera mereka
itu!
Tiba-tiba Ceng Ceng
menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya. Braaakkkkk!! pohon itu
tumbang!
Kubunuh mereka semua! Kubunuh
seorang demi seorang kalau sampai Liong ji mereka ganggu....!! teriaknya dengan
kalap.
Kini Kok Cu merangkul
isterinya dan berkata tenang, Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru
akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan
berani mengganggu anak kita....!
Ceng Ceng memandang wajah
suaminya, kemudian mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan pingsan
di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan dan
kekhawatiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya
sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang buruk atas
diri wanita itu.
Setelah Ceng Ceng siuman
kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata, Kita tentu saja dapat
menyerbu ke sana dan mengamuk, akan tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka
bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan
kesempatan itu baru akan tiba apabila Bibi Milana telah menyerbu benteng itu.
Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi serbuan
pasukan Bibi Milana kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita.!
Akan tetapi, benteng itu
sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk
membobolkannya. Apalagi.... yang mengatur dan menjaga adalah.... adalah....!
Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya.
Kok Cu mengangguk-angguk.
Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah dilawan begitu
saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar
hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah
sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain
yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan menunggu, kiranya tidak akan
lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.!
Demikianlah, suami isteri
pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng, dan
Ceng Ceng terpaksa menurut karena dia maklum bahwa pendapat suaminya itu memang
tepat. Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam
keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat, makin
dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa iba satu
kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan
yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu.
***
Barisan yang besar di bawah
panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib sekali memasuki
wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat
dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak
pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya, dusun-dusun yang dilalui oleh
pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggauta pasukan yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini adalah karena
adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh
para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan sendiri juga amat tertib.
Ketertiban di dalam kelompok
atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di atas selalu
menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib, sedangkan
mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak memperhatikan disiplin dan ketertiban
diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak mungkin karena manusia itu condong
untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang berada di atas. Kalau
sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk
melenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih
dulu sifat buruknya sendiri. Kalau atasan bersih, barulah dia berhak dan dapat
menunjukkan kekotoran bawahannya dan membersihkanya. Sebaliknya, kalau dia sendiri
kotor, mana mungkin dia membersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa
sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan mentertawakannya saja dan
melawan dengan menunjuk kekotorannya pula.
Pasukan dari kota raja ini
hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh
Gubernur Ho-nan, ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu
selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur
nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi lemah. Hal ini
tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana
menggerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan
hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur,
terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan kerajaan
memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan.
Juga di sini perlawanan amat
tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan.
Kesombongan-kesombongan yang diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak
ada kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat melakukan
perlawanan, segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat sehingga
akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula
yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk dan menyerah.
Sebagian lagi mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan diri meninggalkan Lok-yang
menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang kuat.
Setelah menduduki Lok-yang,
Milana memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Dia
memerintahkan untuk membiarkan anak buah pasukan berpesta makan minum
sepuasnya, akan tetapi melarang siapapun mengganggu penduduk sehingga para
penduduk Lok-yang yang sudah ketakutan karena membayangkan bahwa tentu mereka
akan dirampok habis-habisan oleh tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima
kasih. Dengan suka rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan
kekayaan mereka untuk menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang
menang perang. Mereka tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang
terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi
penduduk, para anggauta pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan
pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan
kebanggaan ini pun mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa.
Milana sendiri beristirahat di
dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika seorang pengawal memberi
laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat
menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka lalu bercakap-cakap di dalam
kamar. Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua
putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kepada kepala dusun di
lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika
mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun
cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah
Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya yang lari mengungsi ke
lembah.
Ketika Milana menceritakan
kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang kekuatan
di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu
oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal
Kao Liang yang terpaksa menyerah karena semua keluarganya ditawan, Bun Beng
menjadi terkejut bukan main.
Aihhh, kalau begitu berbahaya
sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah putera dari pangeran tua Liong yang
memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?!
Dan agaknya dia tidak kalah
licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa
Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu oleh
orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin benteng
itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku sengaja
mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jenderal Kao,
dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus terang
saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jerih juga.!
Ketika Bun Beng mendengar
bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng, sudah
lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi
tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu
mengambil keputusan untuk mendahului pasukan.
Sebaiknya aku pun pergi dulu
menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa orang
seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang
memberontak, betapapun dia tertekan dan betapa terancam pun keselamatan
keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah.!
Milana juga setuju dengan usul
suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar isterinya dan suami
isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasihati agar
berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah
itu.
Pada keesokan harinya, Bun
Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi
penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah berpamit dari
isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke
lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu juga diatur oleh Milana
untuk berangkat ke benteng di lembah itu.
***
Malam terang bulan yang indah
sekali, apalagi di tempat sunyi di tebing Sungai Huang-ho yang penuh dengan
batu-batu besar dan bersih itu, tempat persembunyian Kok Cu dan Ceng Ceng.
Biarpun musuh pernah menemukan mereka di situ, namun suami isteri ini tidak
takut dan mereka tetap menanti di situ, tempat yang paling menyenangkan bagi
mereka di sepanjang tepi sungai, karena dari situ mereka dapat melihat tembok
benteng, dan tempat ini selain indah, juga amat sunyi dan bersih. Hanya kini
mereka selalu berjaga dengan bergilir, tidak pernah lengah karena maklum akan
kelihaian musuh-musuh yang berada di dalam benteng.
Malam itu terang bulan, karena
bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin, akan tetapi di angkasa
awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana terdapat angin yang
menggerakkan awan-awan sehingga kadang-kadang awan putih tipis menyembunyikan
bulan yang menjadi agak suram cahayanya. Akan tetapi karena awan itu bergerak
cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan lebih berseri.
Kao Kok Cu nampak duduk
bersila di atas sebuah batu besar, sedang tenggelam dalam siulian (samadhi)
yang hening. Samadhi akan kehilangan artinya kalau di dalamnya tersembunyi
pamrih untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Samadhi adalah keadaan hening
dan bersih, bersih dari segala macam pamrih, hening karena berhentinya segala
pikiran. Keheningan barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang,
kalau ada tanpa diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu
segala keinginan dan pamrih berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah
samadhi yang sesungguhnya. Bukan acuh tak acuh, bukan tidur duduk, melainkan
sadar dan waspada akan segala sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa
adanya tanpa keinginan, untuk mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa
menilai, tanpa membenarkan atau menyalahkan. Tanpa aku! yang bersamadhi, itulah
samadhi yang sebenarnya.
Ceng Ceng juga duduk tidak
jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam karena pikirannya
selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia merasa gelisah
karena sudah hampir sepekan dia dan suaminya duduk menanti di tempat itu.
Sampai berapa lama dia harus menanti, membiarkan puteranya terancam bahaya di
dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang yang amat kejam dan
jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama makin
merasa gelisah sehingga akhirnya dia turun dari atas batu dan berjalan-jalan di
sepanjang tepi sungai. Malam itu memang indah sekali, namun sayang, bagi
seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti Ceng Ceng, tidak
ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini.
Tiba-tiba sepasang mata Ceng
Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan lemas itu tiba-tiba
saja menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja menimbulkan
kecurigaannya. Melihat bayangan manusia berkelebat tak jauh dari situ. Tentu
musuh yang datang! Atau mata-mata musuh yang mengintai! Kemarahannya bangkit
dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah bergerak melakukan
pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu. Akan tetapi
bayangan itu dapat bergerak cepat sekali dan sekali berkelebat, bayangan itu
menyusup dan lenyap di balik semak-semak belukar.
Ceng Ceng makin curiga, akan
tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam benteng dan dia
yakin bahwa yang nampak bayangannya tentulah orang dari dalam benteng, dia
bersikap hati-hati sekali dan menyelidik dengan jalan memutar. Bulan
kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya menjadi remang-remang saja.
Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semak-semak di
mana dia melihat bayangan tadi lenyap. Seluruh perhatian dicurahkannya melalui
pendengaran dan penglihatannya. Tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang dan
ketika secepat kilat dia membalik, dari sudut matanya Ceng Geng melihat
bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang cepat dan hebat. Akan tetapi
Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka diserang seperti itu dia
tidak menjadi gugup. Dia miringkan tubuh mengelak dan tangannya membalas dengan
tamparan kilat ke dada penyerangnya itu. Orang itu terkejut bukan main, agaknya
tidak mengira bahwa yang diserangnya itu selain dapat mengelak, juga dapat
membalas dengan tamparan yang demikian hebatnya, terbukti dari sambaran angin
yang menandakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun menggerakkan lengannya
menangkis.
Dukkk....!!
Keduanya terhuyung ke belakang
dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya lawan. Ceng Ceng cepat
memandang akan tetapi karena bulan masih tertutup awan, cuaca remang-remang dan
dia hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya, seorang pria yang
memiliki sepasang mata yang tajam bersinar.
!Manusia curang, siapakah
engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!! bentak Ceng Ceng dengan
marah sekali.
Orang itu kelihatannya
terkejut mendengar suara ini. Ehhh....? Kau....! Pada saat itu awan telah
meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah kedua orang
yang saling pandang itu. Keduanya kini kelihatan makin kaget.
Kau Ceng Ceng....!!
Tek Hoat....!!
Memang orang itu bukan lain
adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini terus-menerus
mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas Syanti Dewi dari
puncak Naga Api sarang dari perkumpulan Liong-simpang yang diketuai oleh
Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang
katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi. Akan tetapi sebetulnya Siluman
Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan sebenarnya wanita cabul
itu bermaksud untuk mendekati pemuda ini dan kalau mungkin mencengkeram pemuda
lihai ini untuk menjadi korban nafsu berahinya. Akan tetapi, seperti telah
diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan kesesatannya itu,
apalagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang membuka matanya, dia
malah mempermainkan Siluman Kucing dan meninggalkannya pergi untuk mencari
sendiri jejak Syanti Dewi. Akhirnya dia mendengar tentang keadaan di lembah
Huang-ho dan dia menaruh hati curiga. Dia pernah menyerang lembah itu sebagai
sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk memenuhi permintaan ketua
Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang menjadi guru dari ketua
Hek-eng-pang, sehingga mereka akhirnya dapat membobolkan bendungan air dan
membuat lembah itu tenggelam dalam genangan air bah setelah tanggul atau
bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw Siauw Mo-li. Kini
dia mendengar berita angin bahwa lembah itu telan berubah menjadi benteng yang
kuat. Dia merasa curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke
lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang seperti lenyap ditelan bumi itu
berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia mendengar
bahwa banyak tokoh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu.
Andaikata Syanti Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya
kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di antara mereka yang tahu di mana
adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya.
Malam itu dia tiba di dekat
benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hendak mulai dengan penyelidikannya,
dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan mengejarnya. Maka
dia lalu menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk menotoknya, karena dia
menduga bahwa bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam benteng. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika bayangan itu sedemikian lihainya, dan makin kagetlah dia
ketika cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu, wajah dari Ceng Ceng,
saudara tirinya seayah berlainan ibu!
Ibu dari Ceng Ceng adalah Lu
Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat bernama Ang Siok Bi. Ketika kedua orang
wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan aib. Mereka itu
dicemarkan oleh seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga mereka keduanya
mengandung. Dari kandungan itulah terlahir Ceng Ceng dan Tek Hoat. Karena
mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she
ibu masing-masing. Ceng Ceng menggunakan she Lu sedangkan Tek Hoat menggunakan
she Ang. Ayah kandung mereka yaitu pria yang mencemarkan ibu masing-masing itu
bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah putera tiri dari Pendekar Super
Sakti yang bernama Wan Keng In (baca cerita Sepasang Pedang Iblis dan Kisah
Sepasang Rajawali). Ketika masih kecil, baik Ceng Ceng maupun Tek Hoat tidak
tahu akan rahasia itu karena ibu masing-masing tidak mau menceritakan aib itu
kepada anak masing-masing. Baru setelah kedua orang anak ini menjadi dewasa, di
dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, mereka bertemu dan bahkan mereka hampir
saling jatuh cinta. Kemudian terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu
bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan
keduanya sesungguhnya adalah she Wan.
Ah, kusangka engkau seorang
mata-mata dari benteng!! seru Tek Hoat.
Ceng Ceng cemberut. Engkaulah
yang kukira mata-mata dari dalam benteng!!
Keduanya lalu tersenyum dan
saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka satu sama lain, apalagi
setelah mereka tahu bahwa mereka adalah saudara seayah. Dalam pandang mata
mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya tidak mempunyai saudara
lain, bahkan tidak bersanak kadang lagl.
Bagaimana keadaanmu....?!
Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian keduanya
tersenyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu.
Di dalam siulian tadi, Kok Cu
mendengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat turun dan mencari. Dia
merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan seorang pria dan ketika
dia tiba di situ, segera dia mengenal Tek Hoat.
Ah, kiranya engkau, Tek Hoat!!
katanya.
Tek Hoat memandang wajah Kok
Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan bahwa antara
Tek Hoat dan Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan yang tidak asing lagi, akan
tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat sempat mengenal dan memandang
wajah Kok Cu, karena dahulu Kok Cu selalu memakai topeng yang amat buruk
sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si Topeng Setan. Setelah memandang wajah
suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang.
Ah, kiranya engkau adalah
seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!! katanya. Aku girang sekali bahwa
saudaraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti engkau.!
Akan tetapi hanya sebentar
saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemuan ini. Segera wajahnya murah
kembali, apalagi karena dia teringat betapa keadaannya jauh dibandingkan dengan
Ceng Ceng yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia, sampai sekarang pun
belum juga dapat mengetahui di mana adanya Syanti Dewi. !Bagaimana engkau
sampai tiba di sini?! tanya Ceng Ceng.
Aku memang perantau yang bisa
berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?! Tek Hoat balas
bertanya karena dia tidak suka menceritakan keadaan dirinya.
Ah, engkau tidak tahu, Tek
Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga kami,! kata Ceng Ceng dan dia lalu
bercerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik orang dan
ditawan di dalam benteng itu. Kok Cu tidak sempat mencegah isterinya bercerita,
apalagi dia merasa kurang enak karena dia maklum bahwa isterinya sangat suka
kepada saudara tirinya itu. Dia melihat betapa Tek Hoat mendengarkan dengan
penuh perhatian dan kadang-kadang mengeluarkan seruan kaget mendengar betapa
orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan
Ngo-ok yang terkenal itu semua berkumpul di dalam benteng! Bukan tidak mungkin
Syanti Dewi berada di situ pula sebagai tawanan, pikirnya. Dia tidak dapat
memikirkan lain kecuali Syanti Dewi.
Setelah Ceng Ceng selesai
bercerita, Tek Hoat menegur, Kalau begitu, kenapa kalian tidak segera masuk dan
menolong mereka yang tertawan?!
Ah, kami sudah masuk, akan
tetapi kami melihat betapa keluarga kami terancam, maka kami hendak menanti
saat baik untuk menolong mereka,! jawab Ceng Ceng, akan tetapi jawaban ini
seolah-olah tidak didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri, dan berkata
kepada suami isteri itu.
Aku pergi dulu....!!
Engkau hendak ke mana?! Kok Cu
menegur.
Aku akan mencoba masuk ke
dalam benteng itu!!
Tek Hoat, jangan....!! Ceng
Ceng berkata. Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka di sana sebelum
berhasil....!
Aku tidak takut!! jawab Tek
Hoat dengan sikapnya yang keras kepala.
Ceng Ceng merasa terharu
sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi seorang yang
berwatak pendekar gagah, dan yang merasa penasaran mendengar tentang ditawannya
Cin Liong dan keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat memasuki benteng
dan menolong keluarga yang tertawan itu.
Tek Hoat, tidak perlu engkau
mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluarga kami terlalu banyak untuk dapat
kauselamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan kelak bersama
kami bergerak.!
Sebetulnya, niat dari Tek Hoat
itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah tidak sabar lagi
menanti kesempatan, dan ingin dia mengajak suaminya untuk bersama dengan Tek
Hoat malam itu juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek Hoat sungguh tidak
diduganya sama sekali.
!Aku harus mencari Syanti Dewi,
sekarang juga!! Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah
lenyap dari situ.
Ceng Ceng termangu-mangu,
kemudian mengepal tinjunya dan merasa mendongkol sekali. Ah, kiranya dia hendak
mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia mengapa dia
meninggalkan Enci Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura-pura ribut
mencarinya, hemmm....! Ceng Ceng marah dan mendongkol karena kecewa. Tadinya
dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suaminya, tidak tahunya pemuda itu sama
sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya memasuki benteng
itu tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi.
Kok Cu maklum akan kejengkelan
hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata, Kasihan dia. Dia menderita
tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat kulihat dari wajahnya.!
Hemmm, mungkin dia menjadi
jahat lagi....! Ceng Ceng berkata, membayangkan kembali cerita tentang ayah
kandungnya, seorang manusia yang amat jahat! Dia merasa beruntung bahwa dia
menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena kalau dia teringat akan
pengalamannya dahulu, setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, mungkin saja dia
pun menjadi seorang tersesat yang jahat, seperti mendiang ayah kandungnya. Dan
tiba-tiba dia bergidik dan menyembunyikan mukanya dalam rangkulan lengan kanan
suaminya.
***
Malam telah larut, lewat
tengah malam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu dingin dan
sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan seperti setan berkelebatan di bawah
tembok benteng. Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat yang telah
meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya. Ceng Ceng tidak melihat Syanti Dewi di
dalam benteng, akan tetapi siapa tahu? Dan seandainya dia tidak menemukan
Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri itu,
setidaknya dia akan dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan. Dia tidak
perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak
ada Syanti Dewi, dia tentu akan membebaskan putera Ceng Ceng! Saudara tirinya
itu kelihatan demikian gelisah, dan diam-diam dia merasa amat kasihan kepada
Ceng Ceng. Dia tidak takut biarpun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi
dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan
setan berkumpul di sana, dia tidak takut!
Ketika dia mulai mendekati
tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti bahwa ada
bayangan yang mengikutinya. Orang yang membayanginya itu juga amat cepat
gerakannya. Mula-mula dia menduga bahwa bayangan itu tentulah Ceng Ceng atau
Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat sekelebatan, dia tahu bahwa bayangan
itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu tinggi besar tidak seperti bentuk tubuh
Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seperti lengan Kok Cu. Akan tetapi karena
bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tidak mempedulikan dan
melanjutkan gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor
burung garuda terbang saja. Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas
tembok yang demikian tingginya, akan tetapi seperti seekor cecak terbang, dia
hinggap di tembok dan menggunakan kaki tangannya menempel tembok dan terus
merangkak ke atas menggunakan sinkangnya yang membuat telapak tangannya
menyedot dan menempel dinding, menahan tubuhnya. Dengan cepat dia merayap
seperti seekor cecak dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan
meloncat naik ke atas tembok benteng yang tinggi itu. Akan tetapi baru saja dia
berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah menyambar belasan
batang anak panah ke arah tubuhnya! Namun, Tek Hoat telah siap waspada dan
begitu mendengar bunyi berdesir dari bawah, dia telah meloncat ke atas dan
mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di depan. Kiranya semenjak
benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di atas
tembok benteng dan satu di antara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek Hoat.
Tek Hoat terus berloncatan di
atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok pertama ke atas tembok
ke dua. Dia melihat bayangan di belakangnya tetap mengikutinya akan tetapi dia
tidak peduli dan terus meloncat ke tembok sebelah dalam. Tiba-tiba dia terkejut
sekali ketika tembok yang diinjaknya bergoyang dan melesak ke bawah! Karena
secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah, tentu saja dia tidak dapat
meloncat lagi ke atas dan ketika dia memandang ke bawah, ternyata di bawahnya
telah menanti ujung-ujung tombak yang meruncing. Dari atas, ujung-ujung tombak
itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat itu tentu akan
tembus-tembus tubuhnya oleh puluhan batang tombak itu. Untuk meloncat ke lain
tempat sudah tidak mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat harus terus
meluncur ke bawah! Dia cepat mengerahkan ginkangnya dan ketika ujung-ujung
tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya menotol ujung
tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya,
kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua
batang tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia
mengerahkan tenaganya dan mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia
turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak
seperti seekor burung saja! Dengan berjongkok tangannya mencabut sebatang
tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan
tenaganya dan mematahkan gagang tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya
meloncat ke atas. Ketika dia tidak mencapai atas tembok, dia menggunakan tombak
patahan tadi untuk menyodok dinding dan dengan tenaga sodokan ini dia dapat
berpoksai lagi ke atas. sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok
kembali.
Bagus sekali....!! Pujian ini
terdengar dari bayangan yang masih mengikutinya dari jauh. Akan tetapi Tek Hoat
tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat terus ke tembok
sebelah dalam lagi.
Kini Tek Hoat telah tiba di
lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba terdengar suara
berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek Hoat melihat
pasukan berbondong-bondong datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan ada pasukan
dua puluh orang lebih yang menghujankan anak panah ke arah dia berdiri di atas
tembok. Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak menjadi gentar, dia malah terus
meloncat ke dalam sambil memutar tombak yang dicabutnya dari tempat jebakan
tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke bawah. Dengan ringan
kakinya menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di sebelah dalam benteng itu
dan sebentar saja dia sudah terkurung oleh pasukan penjaga yang banyak sekali.
Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang matanya bersinar-sinar
menyeramkan. Tidak ada anggauta pasukan yang berani menyerang karena selain
tidak ada perintah dari atasan, juga mereka maklum bahwa yang datang ini adalah
seorang pemuda yang lihai sekali, seperti Si Naga Sakti dan isterinya yang juga
datang ke benteng ini beberapa hari yang lalu. Menghadapi orang-orang sakti
seperti ini bukanlah tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian
terdengar aba-aba dari komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu
Nepal dan para pembantunya menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek
Hoat yang memandang kepada rombongan ini dengan sikap tenang dan sinar mata
tajam penuh selidik.
Ha-ha-ha, dia adalah Si Jari
Maut! Dari tadi aku sudah mengenalnya!! Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah
Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang ikut datang bersama Koksu Nepal
segera mengenal pemuda itu.
Ang Tek Hoat si Jari Maut, mau
apa kau berkeliaran ke sini?! bentaknya.
Tek Hoat memandang kepada
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, kemudian terdengar dia berkata dengan sikap
angkuh dan tenang, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah kalian menjadi
pimpinan di sini ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka? Kalau begitu,
siapakah pemimpinnya? Aku mau bicara dengan pemimpin benteng ini.!
Begitu mendengar julukan Si
Jari Maut, biarpun dia belum pernah mendengar julukan yang memang belum lama
terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa kagum. Orang yang
mendapat pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan orang biasa, dan
pemuda ini masih begini muda, dan cekatan pula, buktinya dapat melalui
jebakan-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah maju dan tersenyum
lebar.
!Kami, koksu dari Nepal,
adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini. Ang-sicu sudah
memerlukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan apakah?! tanyanya
dengan sikap ramah.
Sinar bulan tenggelam, akan
tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu penerangan lampu
yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat mengamati wajah
banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin dan setelah
sejenak memandang wajah kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu berkata dengan
lantang, Kiranya yang memimpin adalah koksu dari Nepal! Sungguh hebat benteng
ini, dan kulihat banyak orang-orang pandai membantu di sini. Koksu, aku sama
sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang untuk urusan
pribadi, yaitu aku mencari Puteri Bhutan....!
Ah, Puteri Syanti Dewi?! Koksu
Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar.
Benar!! Jantung Tek Hoat
berdebar keras. Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari dia!!
Ah, tentu saja sang puteri
berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini sebagai tamu agung!!
Tek Hoat mengerutkan alisnya.
Hem, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya tidak pernah bersahabat
dengan Bhutan?!
Mendengar ini, Koksu Nepal
terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal kepada koksu itu.
Wajah koksu itu menjadi berseri. Aha, kiranya engkau adalah panglima muda yang
amat terkenal di Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja Bhutan itu? Ah,
sungguh kebetulan sekali! Agaknya engkau telah meninggalkan Bhutan dan tidak
tahu bahwa antara Bhutan dan Nepa1 telah terjadi persahabatan. Buktinya, Puteri
Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya.! Dia lalu bicara
kepada Gitananda untuk memanggil Mohinta.
Tek Hoat terkejut melihat
munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Sebaliknya, ketika Mohinta melihat
Tek Hoat, dia menjadi marah sekali dan bersama para pengikutnya, dia sudah
melolos senjata dan hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat tangannya
dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk mundur.
Ang-sicu, kaulihat sendiri,
Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang mengawal Sang Puteri Syanti Dewi
dan menjadi tamuku. Kita semua adalah merupakan satu keluarga, mengingat bahwa
Sicu juga sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang katakanlah, apa maksud
kedatanganmu? Sebagai kawan ataukah sebagai lawan?!
Semua orang terkejut dan
merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri Bhutan itu berada
di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah terculik orang dan
sampai kini beium diketahui di mana adanya? Akan tetapi tidak ada orang yang
tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang sengaja mengatakan bahwa Syanti Dewi
masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali
untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar dapat membantunya.
Terserah kepada koksu akan
menganggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku sudah jelas, yaitu
aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat.
Ha-ha-ha, permintaan yang amat
mudah, Ang-sicu. Tentu engkau maklum bahwa keselamatan sang puteri sepenuhnya
berada di tangan kami. Kalau Sicu mau membantu kami, sudah pasti sang puteri
akan selamat....!
Sudah kukatakan bahwa aku
tidak hendak mencampuri urusan pemberontakanmu!! Tek Hoat memotong cepat.
Baiklah, setidaknya asal
engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan membantu fihak musuh kami dan
bahwa engkau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini.!
Tentu saja aku akan suka
melindunginya dari siapapun juga!! jawab Tek Hoat. Akan tetapi biarkan aku
lebih dulu bertemu dengan dia.!
Ang-sicu, hendaknya Sicu
maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam benteng, maka kamilah yang menentukan
segala sesuatu, karena betapapun lihainya Sicu, seorang diri saja tidak berdaya
terhadap kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau bertemu dengan
sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu dua hari, kalau memang Sicu benar-benar
mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad baik bahwa Sicu
bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu dengan Puteri
Syanti Dewi.!
Tek Hoat memandang ke
sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga
terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh ini sudah
berbahaya, apalagi ditambah dengan banyak pasukan dan keadaan benteng yang
kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan kekerasan hal itu adalah bodoh sekali.
Apalagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ dan dalam
keadaan selamat, apalagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar sampai dia
benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi, setelah bertemu barulah dia akan
mencari akal bagaimana untuk dapat membawa keluar puteri itu dari benteng ini.
Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan wanita yang
dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapapun juga dengan
taruhan nyawanya.
Baiklah, asal benar-benar dia
berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak akan mencampuri urusan
kelian dengan mnusuh-musuh kalian,! katanya.
Tek Hoat lalu diberi sebuah
kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda ini pun tidak
memperlihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai dia dapat
dipertemukan dengan kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia akan
bersikap baik selama dua hari sampai dia benar-benar melihat sang puteri dalam
keadaan selamat.
Sementara itu, kalau semua
orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil pembantunya yang ahli
dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong. Adanya dua
orang yang pandai melakukan penyamaran inilah yang membuat koksu tanpa
ragu-ragu mengatakan kepada Tek Hoat bahwa Syanti Dewi memang berada di situ
sebagai tamu!
Pemuda selihai itu sebaiknya
kalau berfihak kepada kita,! kata koksu kepada para pembantunya setelah
Ang-siocia dan gurunya hadir, atau setidaknya, dalam menghadapi masa gawat ini,
sebaiknya kalau dia di sini dan tidak membantu musuh. Karena itulah aku
menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi untuk menahan dia di sini, dan
untuk melaksanakan akal ini, aku mengharapkan bantuan Ang-siocia, dan Hek-sin
Touw-ong.!
Dara itu saling pandang dengan
gurunya. Mereka itu semenjak berada di dalam benteng, tidak pernah melihat
kesempatan untuk melarikan diri karena biarpun mereka itu dianggap
pembantu-pembantu, akan tetapi seperti juga Jenderal Kao, mereka adalah
pembantu-pembantu yang dicurigai sehingga selalu terjaga dan tidak pernah
diperkenankan keluar dari benteng.
Memang hal itu mudah dilakukan
karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang potongan wajahnya agak
mirip sang puteri sehingga mudahlah untuk meriasnya sehingga tidak akan ada
bedanya dengan wajah sang puteri sendiri, kata Touw-ong.!
Menghias mukanya memang mudah
sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi meniru suaranya harus
dipimpin oleh seorang yang mengenal betul cara sang puteri bicara,! kata
Ang-siocia. Kalau benar Ang Tek Hoat itu dahulu adalah tunangan sang puteri,
tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu bicara.!
Bagus!! kata Ban Hwa Sengjin
berseru girang. Soal cara bicara dan lagaknya, di sini terdapat Mohinta yang
akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan kebiasaan sang puteri bicara
dan bersikap.!
Mohinta mengangguk-angguk,
sungguhpun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat diterima sebagai
sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu sebaiknya dibunuh saja!
Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah kehendak Koksu Nepal yang
bertindak demi kepentingan benteng.
Mudah saja bagi Ang-siocia dan
gurunya untuk menyulap seorang dayang Nepal yang menjadi pelayan Pangeran
Bharuhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biarpun baru satu kali guru dan murid
ini melihat Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali, dan pula di situ
terdapat Mohinta dan para bekas dayang yang melayani sang puteri sehingga
mereka ini dapat memberi petunjuk. Dalam waktu satu dua jam saja berubahlah
seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dari rambut sampai ke
kakinya, persis sekali! Kini tinggal melatih dayang itu untuk bersikap dan
bicara seperti Syanti Dewi dan hal inilah yang lebih sukar sehingga membutuhkan
waktu dua hari di bawah pimpinan Mohinta, baru dayang itu dapat meniru dan agak
mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara Puteri Bhutan itu. Oleh karena itu,
Koksu Nepal memesan kepada dayang itu untuk bicara seperlunya saja dan wanita
ini sudah dilatih sampai hafal betul apa yang harus diucapkannya kalau dia
sebagai Puteri Syanti Dewi bertemu dengan Ang Tek Hoat!
Demikianlah, setelah dua hari
lamanya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh koksu dan kakek ini
tertawa lebar. Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa engkau ternyata tidak
memperlihatkan sikap buruk, Sicu. Maka, sekarang kami memenuhi janji untuk
mempertemukan engkau dengan Puteri Bhutan. Tentu saja hanya terbatas, pokoknya
Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini dan dapat bicara sepatah dua
patah kata.!
Tek Hoat tidak memperhatikan
syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh ketegangan dan juga kegirangan.
Semenjak dia meninggalkan Bhutan, hatinya menderita hebat oleh rasa rindunya kepada
Syanti Dewi dan dia sudah merasa putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat
bertemu lagi dengan kekasihnya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi
meninggalkan Bhutan dan berada di timur, dia mencari-cari sampai akhirnya
sekarang tiba saatnya dia akan bertemu muka, berhadapan dan bicara dengan
kekasihnya itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia hanya dapat mengangguk kepada
Ban Hwa Sengjin dengan perasaan berterima kasih.
Mereka menuju ke satu bagian
di dalarn benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di pondok besar, muncullah
Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan harus diiringkan oleh
beberapa orang dayang. Ketika Syanti Dewi melihat Tek Hoat, dia mengeluarkan
seruan tertahan dan berhenti melangkah, lalu memandang dengan mata terbelalak
kemudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari tangannya mempermainkan ujung
bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang tegang, kebiasaan yang amat dikenal
oleh Tek Hoat!
Dewi....!! Tek Hoat berseru
lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya karena terharu dan
juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam keadaan selamat dan hal
ini amat menggirangkan hatinya! Terima kasih kepada Thian bahwa engkau masih
dalam keadaan sehat dan selamat!! Hanya demikianlah Tek Hoat dapat berseru
dengan girang sekali.
Ang Tek Hoat terdengar sang
puteri berkata dengan suara agak gemetar, tanpa mengangkat mukanya. Mau apakah
engkau minta bertemu dengan aku....?! Dalam suara itu terkandung kedukaan dan
kemarahan.
Tek Hoat mengerutkan alisnya.
Biasanya, Puteri Syanti Dewi menyebut koko atau kanda, kini menyebut namanya
begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri ini marah kepadanya,
dan dia dapat mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya.
Dinda Syanti Dewi, engkau
tahu.... betapa berat hatiku berpisah.... dan betapa kaget hatiku mendengar
engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat engkau
selamat dan bahagia....! Tek Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan
sungkan lagi sungguhpun di situ terdapat empat orang dayang dan juga terdapat
Ban Hwa Sengjin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan tak
jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya
bersiap-siap tidak jauh dari tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat
penyamaran itu.
Puteri palsu itu sengaja
menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah diperhitungkan
baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka berkatalah puteri itu
sesuai dengan hafalannya, Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan
telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah
tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi kalau engkau memperlihatkan
bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal, baru aku mau mengenalmu lagi.
Nah, sampai jumpa pula.... dan semoga kau berhasil!! Setelah berkata demikian,
puteri palsu itu membalikkan tubuhnya dan diiringkan oleh para dayang dia
masuk, kembali ke dalam pondok.
Syanti....! Syanti Dewi....!!
Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya,
puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan oleh para
dayang dan ketika Tek Hoat melangkah ke depan, Ban Hwa Sengjin sudah
mendekatinya dan menegurnya.
Sicu, pondok ini khusus untuk
sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah kita bicara. Saya kira
sang puteri sudah cukup jelas bicara.!
Seperti orang yang kehilangan
semangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan Syanti Dewi masih
terngiang di telinganya, apalagi kata-kata terakhir semoga kau berhasil!!
berkesan di dalam hatinya, dia mendengarkan bujukan-bujukan Koksu Nepal dan
akhirnya dia menyetujui untuk melindungi sang puteri di dalam benteng itu dan
akan membantu menghalau musuh yang membahayakan keselamatan Syanti Dewi sedapat
mungkin!
Selagi koksu membujuk Tek
Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga melapor bahwa
pasukan Gubernur Ho-nan datang berlari-larian, nampaknya ketakutan dan
mengalami kekalahan! Mendengar ini, Ban Hwa Sengjin cepat pergi melapor kepada
Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar dan pintu gerbang dibuka lebar untuk
menyambut datangnya sang gubernur bersama pasukannya yang melarikan diri dari
Lok-yang itu.
Sang Gubernur Kui Cu Kam
dengan muka pucat dan napas terengah-engah menceritakan betapa pasukan besar
yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah menduduki
semua kota, dan tentu akan segera menyerbu ke lembah.
Dalam pertemuan ini, dengan
singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh Koksu Nepal. Pangeran
Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek Hoat, maka dia pun
menyatakan kegirangannya bahwa pemuda itu suka membantunya. Kemudian, pangeran
memerintahkan agar semua pembantunya dikumpulkan dan diadakanlah persidangan kilat
untuk mengatur rencana dan siasat menghadapi musuh yang sudah mengancam.
Kepada Jenderal Kao Liang yang
juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata, Sekaranglah tiba saatnya engkau
memperlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal Kao!!
Jenderal yang tua itu dengan
wajah muram mengangguk. Saya akan memperlihatkan bahwa janji saya akan tetap
saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan manapun yang mampu membobolkan benteng
ini!! Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai mengatur penjagaan
dan membagi-bagi tugas kepada para komandan bawahannya.
Pangeran Liong Bian Cu
mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam sedangkan persidangan itu
dilanjutkan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas kepada para tokoh
pembantunya untuk memperkuat kedudukan benteng di sebelah dalam, karena
kedudukan di sebelah luar seluruhnya menjadi tanggung jawab Jenderal Kao Liang.
Sibuklah semua orang yang
menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan gubernur yang
melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan kota raja yang
dipimpin oleh Puteri Milana yang memang terkenal pandai sekali dalam hal
memimpin pasukan itu. Puteri Milana ini memang mengingatkan kaum tua kepada
Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima besar yang
amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja itu, yaitu
dia harus melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri Syanti Dewi.
Tentu saja pemuda ini menerima tugas itu dengan girang dan dia pun bersungguh-sungguh,
karena dia akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawanya.
Pada keesokan harinya,
muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan hati penuh
ketegangan oleh semua orang di benteng itu! Pasukan yang besar dan berbaris
rapi, dipimpin oleh Puteri Milana. Dari atas menara di tembok benteng, sudah
nampak debu mengepul tinggi ketika pasukan itu datang dari jauh, kemudian makin
lama nampaklah barisan itu seperti serombongan semut yang bergerak dengan
teratur. Jantung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena
gerakan pasukan besar itu memang amat menyeramkan.
Di atas tebing bukit yang
tinggi dari mana orang dapat melihat tembok benteng di kejauhan, Milana memberi
isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Pembawa bendera menggerak-gerakkan
bendera sebagai isyarat dan barisan itu pun berhenti.
Puteri Milana menunggang
seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang panglima dari
kota raja. Gagah dan cantik sekali puteri ini, seorang wanita berusia empat
puluh tahun namun kelihatan masih muda, dengan wajah yang cantik dan matang,
kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat ketika dia duduk dengan tenang di
atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri. Pakaiannya
tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel
merah menutupi pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor
rambut berjuntai ke belakang diikat dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan
sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah pedang kebesaran dari
kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya. Hati setiap orang
perajurit tentu akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti
itu! Milana membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan
Srigala, Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa
pula. Para komandan masing-masing pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi
tanda pasukannya, demikian pun setiap pasukan membawa bendera lambang pasukan
berupa gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka saling mengenal dan
sifat setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama
mereka.
Setelah semua pasukan
berhenti, Milana mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh dan kelihatan
sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar benteng itu dari
gambar yang dibuat oleh para penyelidik, maka kini dia memandang untuk
mempelajari keadaan itu sesuai dengan gambar yang pernah dipelajarinya. Memang
sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya terasa perih kalau dia
teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal Kao Liang! Keadaan
benteng yang angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu benar-benar
menggiriskan hati, berbeda dengan benteng-benteng lain di mana kelihatan
anggauta pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak, benteng ini
seperti kosong saja, dari luar tidak nampak seorang pun penjaga.
Milana masih duduk di atas
pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut dan sinar
mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan Srigala
yang melapor dengan suara tegas, Laporan, Panglima! Para penyelidik melaporkan
bahwa benteng itu tak dapat diserang dari belakang karena membelakangi tebing
sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya. Kanan dan kirinya tertutup
jurang yang dalam. Laporan selesai!!
Milana mengangguk-angguk.
Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau begitu, siapkan
pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk mencoba sampai
di mana ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata fihak lawan kuat sekali,
jangan memaksakan diri, tunggu tanda untuk mundur agar jangan sampai kehilangan
banyak anak buah menjadi korban!!
Komandan itu lalu mundur dan
Milana memberi perintah kepada pemegang bendera isyarat untuk menyampaikan
perintahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan menggerakkan
benderannya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua komandan.
Perintah dari Panglima Puteri Milana adalah agar Pasukan Srigala maju menyerang
pintu gerbang depan benteng itu sedangkan pasukan-pasukan lain hanya bersiap di
kanan kiri sesuai dengan kedudukan mereka tanpa ikut menyerang, hanya
melindungi kalau-kalau Pasukan Srigala terdesak agar membantu mereka mundur dengan
selamat.
Pasukan Srigala yang terdiri
dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah pasukan ini menyerang
dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah jarak mereka mulai dekat
dan sejauh sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas tembok benteng itu
berhamburan datang anak panah dan batu-batu bagaikan hujan menyambut mereka!
Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah berpengalaman itu dan
memang sudah mereka duga lebih dulu. Maka mereka pun cepat mengangkat perisai
masing-masing untuk melindungi diri dan mereka terus menyerbu sambil
bersorak-sorak, dan pasukan-pasukan bagian panah lalu membalas dengan
melepaskan anak panah mereka ke tembok benteng, tubuh mereka dilindungi oleh
teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak panah dan batu
menimpa perisai-perisai itu.