Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 49 - Meninggalkan Benteng
Ban Hwa Sengjin atau
Lakshapadma menarik kembali tangannya dan tiba-tiba dia melayangkan kaki
kanannya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali.
Sepatunya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh dan jangankan tubuh
manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau terkena hantaman kaki yang
bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke
belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah
lambung lawan.
Prakkk!! Ban Hwa Sengjin
menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga sakti itu
untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali dia menggerakkan tubuhnya
berpusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah
pertandingan yang amat seru dan aneh di mana nampak tubuh kakek botak itu
berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah oleh
sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main.
Siluman Kecil mendekati Tek
Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang agaknya kini telah
berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia maklum bahwa kehadiran
Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberontak,
melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia akan rahasia tentang
kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, Tek Hoat, tahukah engkau siapa
pembunuh ibumu?!
Ang Tek Hoat terkejut bukan
main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya berubah. Dia
menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap wajah Siluman
Kecil. Tahukah engkau?! Dia balas bertanya.
Kian Bu mengangguk. Secara
kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan sebelum dia
mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan
kawan-kawannya dari Bhutan....!
Keparat!! Tek Hoat berseru
demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi dua orang yang
sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang
kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan
ketika Kian Bu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan
dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.
Kalau begitu, aku harus
mengejarnya sekarang juga!! Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan Kian Bu.
Paman, terima kasih!! Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari
tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup
di antara tentara yang saling bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari
dalam benteng itu.
Perkelahian antara Ban Hwa
Sengjin dan Kao Kok Cu masih berlangsung dengan hebatnya. Kedua fihak yang
menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap
tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari puteranya
yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa yakin akan kemenangan suaminya, yang
dikhawatirkan adalah kalau flhak Im-kan Ngo-ok tidak akan memegang janjinya.
Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agaknya
puteranya tidak diganggunya.
Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin
sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari lawannya,
juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi
sesak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu
benar-benar amat luar biasa kuatnya. Hal ini tidaklah aneh karena Kao Kok Cu
telah berhasil memiliki tenaga mujijat yang timbul karena penguasaan Ilmu
Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan
sebelah.
Ilmu silat dari Ban Hwa
Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, sudah mencapai tingkat
tinggi sekali, apalagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan.
Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka dia
merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal
kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa
Bongkok, apalagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia
menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu.
Akan tetapi, pendekar ini
adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan
hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak mempunyai permusuhan dengan
Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan
Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang
pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke
tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama
puteranya masih berada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dan membunuh
atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia berkelahi
dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan
kematiannya.
Ketika mendapat kesempatan
yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa
Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan
bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke arah ubun-ubun
kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat untuk menyerang
tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk
mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri menangkis
sambaran ujung lengan baju itu.
Prattt!! Ujung lengan baju
bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin, terasa panas tangan itu dan ujung lengan
baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan
tubuh Kok Cu sudah turun kembali, kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh
lawan di depannya itu dengan hantaman telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu.
Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.
Plakkkkk!! Kelihatannya
perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban
Hwa Sengjin terhuyung setergah melayang ke belakang seperti layangan putus
talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan
ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah
Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.
Twa-heng, harap kembalikan
anak itu,! katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata-kata ini, beberapa titik
darah menetes dari ujung mulutnya. Koksu Nepal itu cepat memejamkan matanya dan
menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis
itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek
itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh yang ternyata tidaklah
terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan,
melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras.
Twa-ok tertawa dan melemparkan
tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri
yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak
itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air
mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan
puteranya.
Eh, mana, Lee-ko....?!
Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ
lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian
Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama
tawanannya, yaitu Hwee Li.
Aku tadi melihat dia mengejar
Pangeran Nepal,! kata Siang In. Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan
kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat
antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gitananda,
kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan
sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang
mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah
pertandingan itu.
Hanya Suma Kian Lee yang tidak
terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka
ketika Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah
mengerahkan sinkangnya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu
diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar.
Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir
yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian
Lee mengejar sang pangeran.
Melihat kekalahan Ban Hwa
Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu
merasa penasaran. Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan
membasmi mereka ini,! kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia
sudah maju dan hendak mengamuk.
Akan tetapi tiba-tiba muncul
dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan
menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama
isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal
baju emas yang terkenal itu. Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok
merasa gentar juga.
Di antara para pendekar tadi,
yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng.
Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka
fihak lawan menjadi terlampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang
amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan
yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa
menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata
lantang, Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah
menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini
lebih lama berada di sini? Mari kita pergi!!
Mendengar ucapan ini, Im-kan
Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan
orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti
akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi
dari istana itu.
Melihat ini, Gak Bun Beng
menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu
berkata, Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah
menjanjikan mereka untuk pergi.!
Gak Bun Beng mengerutkan
alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya,
Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi
dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang
memberontak!!
Gak Bun Beng mengerti bahwa
dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang
sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan
kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna
sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang
setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat. Dalam keadaan lemah itu,
biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya
kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau
membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur
Ho-nan yang memberontak.
Rombongan Koksu Nepal tidak
mengalami banyak hambatan karena para perajurit tidak ada yang berani mencoba
menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu
rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak
pasukan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah
setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.
Dengan tubuh gemetar dan muka
pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu, berlutut dan
ditawan bersama kaki tangannya.
Puteri Milana dan para
pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil
menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana
dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena
kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian
Cu yang melarikan Hwee Li.
Ketika rombongan Puteri Milana
keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan
mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan
tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka
semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, Ayaaahhh....!!
Mendengar bahwa teriakan itu
adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan.
Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang
mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran-pembakaran. Kini menara itu telah
terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara
yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak
seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke
arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya
mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!
Ayah....!! Kao Kok Cu berseru
dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar
ini melayang naik seperti berlumba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu.
Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka
disambut oleh api yang berkobar-kobar!
Kembalilah, Kok Cu dan Ceng
Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan
benteng dengan nyawaku!! terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara
mengguntur. Selamat tinggal semua!! Tangannya bergerak dan terdengar lagi
ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama
sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan
itu!
Ceng Ceng menangis mengguguk
dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar
dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api
yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh
pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan
mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan
ayahnya dan mengapa.
Dia tidak dapat menyalahkan
keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada
negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya
melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa
membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu. Menghancurkannya bersama
dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan
mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan
dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada
negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah, yang
mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan
nyawanya.
Hati Kian Bu yang gelisah
memikirkan Kian Lee, menjadi berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa
keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa
lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan
isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan
karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit,
dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, Enci Miiana, aku akan pergi
mencari Lee-ko.!
Milana memandang kepada
adiknya ini. Ke mana dia?!
Katanya mengejar Pangeran
Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.!
Milana mengangguk. Hati-hati
kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian
harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul
kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama
pasukan dan tawanan.!
Baik, Enci Milana.! Kian Bu
lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang
membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama
setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ
dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia!
***
Karena para tokoh dalam cerita
kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan,
dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka
sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama
kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan
benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima
Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.
Ketika mendengar dari Siluman
Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini
penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat
dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia
yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat
membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya
kepada si pembunuh.
Tak disangkanya bahwa dia akan
mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya
sendiri. Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta
dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima
muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa
Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku
mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian
ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini membayangkan dan
merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya
itu!
Dendam merusak dan meracuni
batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa
dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan
dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tidak habisnya. Betapa
semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini telah menguasai lubuk
hati kita sepenuhnya. Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga
kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau
milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat
ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali
baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau
sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan
sebagainya lagi.
Betapa nyata nampak kalau kita
mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita
mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau
kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita
pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut,
dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang
dengan kekerasan yang lebih hebat lagi. Dan bagaimana kalau ada orang bersikap
baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin
dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan
membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan
baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil
sikap yang lebih manis dan lebih baik pula daripada sikap anda. Sebaliknya,
kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih
congkak lagi!
Kemudian kita melihat bahwa
kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan
permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita
belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti
terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak
ada gunanya! Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan
kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat
kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah
kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka.
Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya
masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Maka nampaklah dalam
kehidupan kita betapa apabila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya
karena kemarahan yang ditekantekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan
muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin,
konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang
kita kehendaki.
Kita lupa bahwa kemarahan
tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan
untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar
bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada
diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras,
kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari daripada
kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan
sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada
dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.
Lalu, apakah kita harus
membiarkan saja kenyataan bahwa kita pendendam dan pemarah? Sudah tentu tidak!
Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada
batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan
jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan
kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah!
Lalu bagaimana caranya untuk
melenyapkan kemarahan? Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara,
itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar
sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah?
Berbedakah kita dengan kemarahan itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu
sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita! Kitalah sumber kemarahan, kitalah
pembuat kemarahan, kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba,
tidak perlu kita lari, tidak perlu kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi
kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian!
Pernahkah anda melakukan hal ini? Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata
gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada
hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian? Pernahkah dan
maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita
perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa
yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita
sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian
itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita
sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.
Dan kalau sudah tidak ada
kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar? Kalau kita tidak
marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada
kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata
batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA KASIH itu.
Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam
keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada
orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan
bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan
memang dugaannya itu tepat. Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan
benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan
anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta
dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah
keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu
melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari ke mudian dia berhasil
menyusul rombongan itu!
Begitu melihat Mohinta
menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat
berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang
dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di
dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja,
pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih
dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka
Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan
kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.
Dia lalu membayangi terus dan
akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun
di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga
pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun
itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar
dan juga jerih melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah
dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk
dusun.
Tek Hoat mengintai terus dan
jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari
dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia
melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya
turun dari kereta, bahkan puteri itu lalu bergandengan tangan dengan Mohinta
memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam.
Tek Hoat melongo sampai lama
setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti
ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu!
Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, belum pernah Syanti Dewi
bersikap segenit itu baik kepadanya sekalipun. Cemburu menguasai hatinya,
cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi
bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti
Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima
muda Bhutan itu?
Dengan hati penuh dendam dan
cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah
kepala dusun. Biarpun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk
menyusup dan memasuki rumah, akhirnya dia berhasil mengintai ke dalam kamar
besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir
saja jatuh pingsan!
Di bawah sinar lampu
remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima,
melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri
Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati
hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta
memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar
memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah
merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat
Tek Hoat yang nengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut
ke mulut dan amat mesranya.
Melihat panglima itu yang
mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan
main, apalagi melihat betapa musuh besarnya itu kini merampas pula kekasihnya,
hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat
jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek
Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum
dia menerjang masuk.
Ah, Sayang.... engkau sungguh
manis, aku sungguh cinta padamu....! terdengar Mohinta berbisik sambil
membelai-belai tubuh puteri
Hemmmmm....! Sang Puteri
merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. Aku pun
cinta padamu.... Panglima.... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi
permaisurimu....?!
Tek Hoat terbelalak dan merasa
heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan
tahunya untuk mendengarkan terus.
Tentu saja, Manis. Akan tetapi
kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau
harus membantuku menundukkan raja tua itu....!
Ihhh, aku takut....! Puteri
itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.
Mohinta memeluknya. Tak usah
takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi
tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun
hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian,
kalau aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku.... hemmm....
engkau manis benar malam ini....! Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah
mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu,
malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian, pemuda ini
telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani
mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan
membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di
Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan pemberontakan terhadap raja, dan
Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja
Bhutan! Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan,
tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan
tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri
itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk
merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main,
bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga
puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi
juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk
merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan
main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya
oleh koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi
kepadanya waktu itu.
Ang Tek Hoat, engkau telah
pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh
karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita....!
Tek Hoat memejamkan matanya,
hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan
hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin
penasaran. Andaikata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu
dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan
mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan?
Aku harus menentang mereka!!
Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinjunya. Aku akan sabar menanti,
tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan
membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka
matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga
daripada panglima mudanya bahkan lebih berharga daripada puterinya sendiri!!
Pikiran ini membuat Tek Hoat
akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh
Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia
mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan
kotor mereka, baru dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang
Syanti Dewi.... ah, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri
itu, sungguhpun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan
puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap
mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.
Ketika rombongan itu sudah
tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi
lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana
pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu,
dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya,
nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan
yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula
dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama
Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan,
melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.
Selagi dia berjalan cepat
melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki,
tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang
tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.
Ha-ha-ha, pengkhianat muda,
kiranya kita dapat saling jumpa di sini!! kata kakek itu sambil memandang
dengan penuh ejekan.
Tek Hoat mengerutkan alisnya.
Dia sedang tergesa-gesa dan dia tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis
itu. Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?! bentaknya.
Ha-ha-ha, kita sama-sama
petualang. Aku mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?!
Andaikata aku melihatnya juga,
apa kaukira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!!
Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo
dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya kakek
iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari
dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut-ribut oleh
penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi
kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba
melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang
kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang
ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu, telah mencari majikan-majikannya
dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur,
binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas
tempat itu.
Hek-tiauw Lo-mo lalu
mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal
suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu lalu meninggalkan semua
rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa
puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke
barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan
bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik
Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera
dihadangnya untuk ditanya.
Mendengar jawaban itu,
Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. Jari Maut, engkau sungguh manusia sombong
sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya
karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu.!
Persetan dengan bentengmu,
persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi
Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!!
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo
tertawa bergelak. Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang sombong
dan saat ini aku senang maka aku akan membunuhmu.!
Sebetulnya Tek Hoat tidak mau
melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak
mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, ke dua karena dia sedang
tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia
tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu.
Akan tetapi ketika dia melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya
terbelalak.
Cui-beng-kiam....!! serunya
dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.
Ha-ha-ha, engkau masih
mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri,
ha-ha-ha!!
Terbayanglah semua peristiwa
beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Pedang Cui-beng-kiam itu adalah
pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong
seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali
diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai
ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu. Ketika Ang Tek Hoat menjadi
panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi,
dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika
dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu
membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biarpun pedang
sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, kini kakek itu mengeluarkan
Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan
main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya
dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan
tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!
Keparat, kembalikan pedangku!!
bentaknya dan dia sudah menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari
tangannya yang ampuh.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan
cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tengan
pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya
untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang
sakti ini. Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya
Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran
Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia
dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran
untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu
telah melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan
melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan
untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat
dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyecang dengan amat ganasnya untuk
membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.
Namun, Ang Tek Hoat atau yang
sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki
kematangan dalam ilmu silatnya.
Pemuda ini mainkan Ilmu Silat
Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah
dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan
dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari
oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna
karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan
Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun
dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali,
sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat
karena tenaga Inti Bumi!
Menghadapi serangan-serangan
pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya
yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari
tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut.
Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan
dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat
nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.
Betapapun juga, yang dilawan
oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah
bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus
bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang
Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini.
Seratus jurus telah lewat dan
Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa.
Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga
dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu
pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu
Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis
ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Namun pemuda ini maklum
akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan
totokan-totokan mautnya.
Mampuslah!! Tiba-tiba
Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan
luar biasa ke arah dada Tek Hoat. Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia
sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan aciri lawan. Tak disangkanya bahwa
pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak,
tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum
bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan
tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.
Brettt!!
Brettt!!
Mereka melangkah mundur dan
masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena
serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan
kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan
mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat
dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin
yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan
hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya
itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang
Cui-beng-kiam.
Desss.... ahhh....!! Pedang
itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya
seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.
Tubuh Tek Hoat berkelebat
cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari
tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya
beringas dan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang
tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.
Bocah setan!! dengusnya dan
kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan
senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang
dikepal dan siap dipergunakan. Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan,
karena biarpun kini Cui-beng-kiam tetah berada di tangannya kembali, dia maklum
bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih
berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap
menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding
mati-matian.
Akan tetapi pada saat itu
terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu
maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah
pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena
dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan
kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling
menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda
terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia
pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului
pasukan itu menuju ke Bhutan.
***
Kapal yang berlabuh di tepi
pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan
pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak
berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat
daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak
sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan
pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang
dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali. Anak buah kapal! yang
hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda.
Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit
dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apalagi pakaian
para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka
warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar
seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus
dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi!
Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.
Pulau itu bukan lain adalah
Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan
Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita
seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya,
sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal.
Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya,
harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh
bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai
besarnya.
Seperti telah kita ketahui
dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di
Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu
berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan
kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui ialu melatih ilmunya yang hebat, yaitu
ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi. Selama setengah tahun lamanya
Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia
telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain
ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti
terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga
Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.
Syanti Dewi sekarang jauh
bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang
wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan
Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga
ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya! Syanti Dewi
yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat
kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias
rapi, cantik jelita seperti bidadari, pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian
yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan,
kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang
Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun
juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.
Kalau dulu Syanti Dewi murah
senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di
depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga
mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular
Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya
dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti
dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan
pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!
Hubungannya dengan Ouw Yan Hui
bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan
sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat
kecantikan yang aseli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.
Pagi hari itu, para anak buah
kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan
mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka
merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengahari
nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang
berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan
matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja
mereka itu bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba mereka menghentikan
nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata
memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan
Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua
orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!
Para anak buah Pulau Ular Emas
rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang
hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi
kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka
menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa
kagum dan ngeri.
Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang
telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut.
Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan
di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat
penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan
tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak
bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di
samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat. meluncur bergantian ke
depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan
di permukaan air!
Cara berlatih seperti ini
membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia
melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor
kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk
ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu
dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai
berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah
berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!
Pagi hari itu guru dan murid
ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran
di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa!
Hebatnya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak
bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah!
Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh
gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya. Di pagi
hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang
menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu
dibiarkan teruirai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat
daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya
berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya
bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan
di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya
dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan
halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang,
kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang
istimewa. Kain sarinya melambal-tambal tertiup angin kencang. Wajahnya demikian
segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan
di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan
ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua tengan memainkan peranan
penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur
keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang
kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena
kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan
tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air
mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu.
Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak
tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu,
sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah
perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi,
bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan
yang dahsyat.
Tidak jauh di belakang,
meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih
ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan
Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya
itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan
indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat
sendiri, demikian agung dan ayunya.
Enci Hui, mari kita berlomba
ke kapal!! Syanti Dewi berseru gembira.
Baik, kaularilah dulu, nanti
kukejar!! jawab Ouw Yan Hui.
Maka berlarianlah dua orang
wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu
memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di
atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena
kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biarpun dia akhirnya dapat menyusul dan
mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya
sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir
menyamainya!
Bibi Maya Dewi....!! Syanti
Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. Kapan
Bibi datang....?!
Syanti Dewi cepat naik ke
kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu
kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan
dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat
dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar,
biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar
berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang
nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan
putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya
dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian
indah! Inikah bibi Maya! yang perah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang
cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!
Aku baru saja datang, Yan Hui,
dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat.... ah,
diakah orangnya?! Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik
ke kapal.
Benar, Bibi. Inilah dia,
Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!! Dengan gembira
Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak
mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, Syanti, Bibi Maya
Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!!
Ahhh....!! Kini Syanti Dewi
melongo memandang kepada wanita itu. Tidak mungkin!! Dia mengeluarkan kata-kata
ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main.
Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun
usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?
Mari kita masuk ke bilik, Bibi
Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.!
Tiga orang wanita cantik itu
masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan
pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita
itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi
yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan
melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita
itu saling memberi salam.
!Syanti Dewi, inilah Bibi Maya
Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan?
Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik,
lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau
lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti.!
Syanti Dewi cepat menjura dan
memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang
terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita
itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. Tak perlu segala penghormatan itu,
Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan.! Wanita itu
lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena
menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi
dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek
itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.
Akan tetapi, betapa terkejut
rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan
jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia
menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali
dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.
Ouw Yan Hui segera memegang
lengannya. Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya.!
Wanita itu memejamkan matanya.
Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang
anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kaleu kecantikanmu yang
seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap
tinggal cantik jelita seperti ini!!
Rasa kaget sudah mereda, dari
hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi
salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan
mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia
terheran dan bertanya, Apa.... apa maksudmu....?!
Ouw Yan Hui sudah merangkulnya
dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat
mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan
seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman
nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga
amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.
Adik Syanti, lupakah engkau
akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih
kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah
yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia
dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara
pengobatannya dan caranya memelihaa kecantikan, maka engkau akan tetap
kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi.!
Ahhh....! Mana mungkin?
Rambutku akan beruban dan putih....!
Hi-hik, lihat rambutku, Dewi.
Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda?! Maya
Dewi membelai rambutnya sendiri. Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut
uban!!
Tapi.... tapi....!
Apakah engkau tidak ingin
tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?! tanya Ouw Yan Hui.
Tentu.... tentu saja....!
Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet
muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda?
Kalau begitu bersiaplah! Aku
akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan
seperti yang kaumiliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan
oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam
Dewi dalam air ramuan!!
Tak lama kemudian sibuklah
para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong
karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat indah. Gentong besar ini diisi
air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari
bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu.
Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan.
Sambil memejamkan mata membaca manteramantera dalam bahasa India Kuno, Maya
Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air
kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih!