Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 5 - Badut
Ucapan itu dilanjutkan dengan
doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda.
melakukan upacara pengusiran roh jahat, tibatiba saja pandang mata pendeta itu
terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang
wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payunng! Pendeta yang
selamanya menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam
khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya dingin dan
tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya
berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di
antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi,
ketika dia melirik ke depan, roh jahat! itu masih berdiri di situ, malah makin
mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
Wahai, roh yang keras kepala!!
bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung roh! itu. Pergilah kau
kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!!
Roh! cantik itu tersenyum, manisnya
bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu
itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan
mempermainkan.
Sliuman jahat.... pedang
pusakaku akan menghukummu!! Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu
menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu
cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik
itu.
Plakkkkk!! Sekali wanita itu
menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu
bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh
bertekuk lutut!
Dara jelita itu terkekeh,
menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu
pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah
melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta
itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopyah pendeta dan
menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari
kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana
yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
Eh, Losuhu, kenapa kembali
lagi?! Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.
Minggir, ada siluman di dalam
taman!! kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera
dengan ngawur dan berjalan masuk. Para penjaga sudah menjadi ketakutan
mendengar itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam
yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan
kini mengempit payung di bawah ketiaknya!
Dara itu terus memasuki taman.
Setelah para penjaga tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopyah
dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang
pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti telah diceritakan di
bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang
diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang.
Bunga teratai.... engkau jauh lebih bahagia daripada manusia, demikian keluhan
hati Sang Puteri. Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi
manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan,
dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan
Bhutan, Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja,
seorang yang patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara
orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndaahkan.
Tidak....!! bantah hatinya.
Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Seperti bunga teratai itu biar direndam
ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan
menganggapmu begitu!
Dia menghela napas panjang dan
teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan
menasihati agar dia masuk ke kamarnya karena ada hawa siluman! mengotori istana
dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Akan tetapi Syanti
Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia
terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat
sehingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan
semata (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dia telah mengalami hal-hal yang nyata,
dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh
seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai
sesuatu yang benar. Maka, nasihat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri
ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.
Selamat malam, Adinda Syanti
Dewi!!
Puteri itu menengok dan
hatinya berbisik mencela, Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia
inilah siluman bagiku.!
Akan tetapi Syanti Dewi adalah
seorang yang berperangai halus, dan biarpun hatinya tidak senang kepada
Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan
menjawab, Selamat malam, Panglima Mohinta.!
Mohinta menyeringai dan kumis
tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa
karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya panglima!,
dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja
puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut kakanda! kepada tunangannya ini!
Sebutan panglima! sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan
kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan
seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!
Mengapa Adinda masih di sini?
Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.!
Biarlah, Panglima Mohinta. Aku
sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada
urusan apakah?!
Kembali panglima muda itu
menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini,
melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu. Saya.... saya.... hanya menjenguk,
khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman
berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu....!
!Hemmm, apakah seorang
panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima,
tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.!
Akan tetapi panglima itu tidak
pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah
cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah
dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia
duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
Adinda Syanti Dewi....!
Panglima, aku ingin
sendirian!!
Aduhai, Adinda sayang.
Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri.
Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti,
apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?!
Panglima, aku tidak ingin
bicara tentang itu!!
Adinda, itu adalah urusan kita
berdua, urusan pribadiku dan pribadi....!
Sudahlah. Kalau kau mau bicara
tentang itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak
membicarakan soal itu, bukan aku.!
Adinda.... aku.... aku cinta
padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan
ini....?!
Sudah terlalu sering sampai
membosankan!!
Duhai, Adinda.... jangan
begitu!
Panglima Mohinta memegang
tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti
Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya
berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
Panglima, bukan aku tidak
kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu.
Pergilah!!
Adinda.... Syanti Dewi,
kaukasihanilah aku....!! Panglima itu kini menjatuhkan diri berlutut!
Pada saat itu, dara cantik
jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat
sembunyinya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang
dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara
dan berlutut itu tidak melihatnya.
Siapa kau....?! Syanti Dewi
bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima Mohinta menengok
kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu
sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke
arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi terbelalak pucat
melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia melihat Panglima Mohinta memandang
seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca
batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya Adinda Syanti Dewi!! Jelas bahwa
Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu
arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali
dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah
dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis,
berbisik, Puteri, lupakah engkau padaku?!
Syanti Dewi memandang penuh
selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap
jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.
Aku Siang In.... eh, yang dulu
pernah membantumu.... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu
Berseri wajah Syanti Dewi.
Aihhh, Si tukang sulap itu....?! teriaknya.
Sssttttt....!! Dara itu
tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih merayu arca.
Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti
Dewi.!
Siang In, dara itu,
menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melangkah keluar dari
taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkah taman dengan gedung istana
tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini,
Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan
kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil
mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan
memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-olah dia
hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah
dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.
Heh, semua penjaga jangan
lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?! bentaknya dengan suara dibesarkan
dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima
Mohinta!
Tujuh orang penjaga berdiri
dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab perintah!
dara itu, Siap, Panglima!!
Setelah mereka memasuki kamar
Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum
geli akan tetapi keheranan itu bertanya, Eh, apa yang telah kaulakukan tadi?
Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau
panglima?!
Siang In melempar payungnya ke
atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan
meneliti kamar yang amat indah itu. Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!! Dia
mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi
yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
Hi-hik, masih mending merayu
arca batu yang dingin daripada merayu seorang gadis yang bersikap dingin
seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku
adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?!
Tapi.... tapi mengapa bisa
begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?!
Aihhhhh.... kau tadi bilang
sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main
sulap juga.!
Syanti Dewi terbelalak,
kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi
keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat
tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. Ah-he-heh-hi-hik, jadi
kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik,
hik, dia menganggap arca tadi?!
Disangkanya engkau, maka
dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan ganteng juga, eh!!
Syanti Dewi bersungut-sungut. Huh,
siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal
dan kusuruh gantung....!!
Ee-eeeiiiiittt, mengapa
begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta
itu adalah tunanganmu, bukan?!
Tiba-tiba hati puteri itu
menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia
menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di
bantal.
Siang In meloncat dan duduk
mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang
In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang
sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah
bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak,
sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat,
bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang
diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra
Dewi atau Ceng Ceng, yang amat dicintanya maka dia merangkul leher Siang In.
Engkau cantik sekali, Puteri,!
Siang In berkata.
Syanti Dewi mengambung pipi
dara itu. Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau
mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.!
Sejenak mereka saling pandang,
mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali
telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama
Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah
menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun
Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah dara cantik
jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah
Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada
waktu it baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara
berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri
dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal.
Dalam keadaan sebatangkara, karena orang tuanya telah meninggal, dan juga
encinya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga mati terbunuh (baca Kisah
Sepasang Rajawali), akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh
yang berilmu tinggi dan pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su
dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Selama empat tahun lamanya
Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat
tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In
muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan
lebih hebat lagi ilmu sihirnya!
Demikianlah sedikit riwayat
Teng Siang In, dara cantik yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul,
terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman
cantik!
Tidak lama setelah Syanti Dewi
dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir
yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohita. Dapat dibayangkan
betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan
mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika dia
menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi telah tidak berada di tempat itu
lagi! Dia merasa serem dan ngeri, juga bingung. Sejenak dia memandang ke kanan
kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang
karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk
di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin
itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu
rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh
gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipelukciumnya itu adalah arca batu
yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!
Uhhhhh....!! Panglima Mohinta
menggigil dan meraba tengkuknya. Dia adalah seorang panglima muda yang berani,
namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam
taman yang sepi itu. Penerangan di dalam taman itu yang hanya datang dari dua
buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak,
menghidupkan bayang-bayang di sekelilingnya, menambah serem keadaan. Suara
belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah
serem suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah
lari melangkah keluar dari taman.
Siap....!! Teriakan dan
gerakan tujuh orang penjaga taman itu membuat Panglima Mohinta hampir menjerit
dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan
tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata
terbelalak penuh keheranan.
Panglima Mohinta mengerutkan
alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang
aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu,
kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja
memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
Heh, kalian melihat apa?!
bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.
Ah, maaf, Panglima.... eh,
kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar!
Heh, apa maksudmu? Bicara yang
benar!! Panglima Mohinta membentak.
Kami bertujuh baru saja
melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan.... dan
panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan mengempit payung!
Mengempit payung? Gilakah
kalian?! Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa
dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat itu terdengar
teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak
kaget, akan tetapi, mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah
istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga
sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
Tolong.... aduhhh,
tolooonggg.... si.... siluman.... ssssetannnnn....!! terdengar teriakan itu.
Ketika mereka semua tiba di
tempat suara, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda,
pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, juga kopyahnya hilang
dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak
ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang pengawal cepat
mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih
berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang
gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
Ah.... eh.... ya ampun....
ada.... setan.... wanita cantik....! dia lalu menceritakan munculnya siluman
cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopyahnya, dan
mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman
cantik yang memegang payung.
Membawa payung?! Panglima
Mohinta bertanya dengan mata terbelalak dan punggungnya terasa dingin. Tidak
salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga
melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai
dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
Celaka, kita harus melapor
kepada Sri Baginda!! teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.
Sementara itu, di dalam kamar
Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan
betapa dia telah menggoda para penjaga.
Apakah mereka di pintu gerbang
tidak menyerangmu?! tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias
bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang
In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali
kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika
dia berkelana dahulu.
Tentu saja mereka mengejarku,
dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik
seperti ini....!
Ihhhhh....!! Syanti Dewi
menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan
tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah
yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!
Hik-hik, kau juga ngeri!!
Siang In melepaskan kedoknya dan Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli
hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu
hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari
apa.
Dan pendeta gundul yang lucu
itu, hi-hik.!
Kaumaksudkan Pendeta Nalanda?
Kauapakan pula dia?! Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.
Tidak apa-apa, hanya
kucoreng-moreng mukanya.! Siang In lalu menceritakan pertemuannya dengan pendeta
itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang dara yang sedang
bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja
Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak,
terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini
senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya
tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan
puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan
bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa
geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang pengawal Sri
Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga
terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang
panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!
Syanti....! Buka pintu....!!
Ketukan pintu dan suara Sri
Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika
dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja,
malah tersenyum dan berbisik, Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di
kamar ini.!
Syanti Dewi bimbang. Dia
khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena
dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In
mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan
suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi melangkah,
menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok dan dia melihat Siang In sudah
duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan
kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga
terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu. Serentak
masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglim Mohinta, empat orang pengawal
dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi
sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang
duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun
yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal
dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih
duduk tersenyum setelah tadi tangan kiri nya diangkat dan digerakkan seperti
memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
Syanti, dengan siapa engkau di
kamarmu ini?! Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik
dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang
In.
Tidak dengan siapa-siapa,
Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan
membangunkan saya?! Syanti Dewi berkata engan nada suara tidak senang.
Hemmm.... tidur? Akan tetapi
tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau
memhongi Ayahmu.!
Sungguh saya sedang tidur dan
kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.!
Ah, engkau mimpi? Mimpi apa?
Bertemu dengan siluman...., dengan siapa?! Sri Baginda yang sudah dicekam rasa
ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi menjadi bingung
dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah
Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
Saya mimpi bertemu dengan....
Panglima Mohinta....!
Ah, jadi Adinda mimpi bertemu
dengan saya?! Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.
Syanti Dewi mengangguk. Di
dalam mimpi, saya melihat.... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat
lucu, maka saya tertawa....!
Wajah yang tadinya berseri itu
berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk
bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya
kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka
kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
Syanti Dewi, sejak kapan ada
kursi bagus ini di dalam kamarmu?! Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil
menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan
terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang
ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang
In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!
Kursi....? Eh, inikah, Ayah?
Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi
antik....
Memang bagus sekali, tentu
enak diduduki....! Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk
di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk. Tentu saja
Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya
diduduki orang. Cepat dia menggerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya
dari atas meja ketika rombongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan
menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.
Cusssss.... aduhhhhh....!!
Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung
payung. Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!! Akan tetapi diam-diam
panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!
Setelah melihat jelas bahwa
kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda
lalu berkata, Syukurlah kalau tidak ada apaapa, anakku. Tidurlah dengan
tenang.! Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh
rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari
gangguan siluman.
Setelah Syanti Dewi menutupkan
kembali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi
Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan
tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan
hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas
pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi
sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
Siang In, engkau sungguh
hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah
kursi?! tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In mengangguk dan
cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis,
Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu
yang tampan dan ganteng itu, Puteri....!
Hushhh, jangan berkata
demikian, aku.... aku benci padanya!!
Eihhhhh? Aku mendengar bahwa
Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi
rayuan maut di taman....!
Sudahlah, Siang In.! Syanti
Dewi menghela napas panjang. Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang
katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian
menempuh bahaya mencari aku di sini?!
Aku sedang mencari seseorang,
Puteri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal
Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar
bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan dengan
Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena
bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu....!
Siang In tidak melanjutkan
kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu
menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama
pemuda itu.
Adik yang baik.! Syanti Dewi
kini memandang dara itu. Apakah yang telah kaudengar tentang Ang Tek Hoat?!
Aku dahulu mendengar bahwa Ang
Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan
dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang
menjadi tunangan Panglima Mohinta?!
Ditanya begini, tiba-tiba
Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi,
seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi,
tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula
kemampuannya untuk menangis.
Melihat puteri yang keadaan
hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In
memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, Puteri, jangan
terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia
ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk
ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang
terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan
panglima yang tidak kau cinta itu?! Dia mengangguk-angguk meyakinkan.
Ceritakan dan aku akan
menolongmu sedapat mungkin, Puteri.!
Karena baru sekarang dia
bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin
dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang
kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi
tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat
tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih
menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.
Aku tidak percaya kalau dia
pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau
saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata
dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam
keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In! Puteri mengakhiri
ceritanya.
Siang In mengerutkan alisnya.
Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah
terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang
bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan
dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas.
Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar,
biarpun sangkar itu terbuat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam
sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.
!Puteri....!
In-moi (Adik In), setelah
semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku
sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut
Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).!
Baiklah Enci Syanti Dewi,!
jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. Aihhhhh, siapa sangka aku
akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus
terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun
ini engkau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa
engkau tidak mau bertindak?!
Bertindak? Tindakan apa yang
dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu
tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?!
Hemmm.... mencintamu? Terus
terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak
didengar ini. Akan tetapi.... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak
mencintamu, Enci.!
Dengan wajahnya yang agak
pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang
wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama
sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
Bagaimana kau bisa mengatakan
demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua
ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.!
Hemmm, pendapat yang kolot dan
keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini,
pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri
ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua
tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu,
melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!!
Eh, bagaimana kau bisa bilang
begitu Siang In?!
Coba saja renungkan. Orang
yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan
dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?!
Syanti Dewi mengangguk.
Nah, tindakan Ayahmu
memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini,
apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?!
Tidak, akan tetapi dia
maksudkan demi kebaikanku.!
Itulah kepalsuanya, itulah
tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua
itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan
hampir semua, orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk
memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi
mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, pada si anak hanya dijadikan alat
untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang
penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya
si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!!
In-moi....!! Syanti Dewi
berseru dengan mata terbelalak. Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku
jahat....?!
Dara itu menggeleng kepala,
Siapapun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan
yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan
semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan
dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh
cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan
kesengsara dan kedukaan?!
Syanti Dewi memegangi kedua
pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. Ah, aku tidak tahu....
semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus
kulakukan?!
Mengapa engkau menyiksa diri
seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin
bahwa dia mencintamu....!
Aku yakin benar akan
cintanya!!
Kalau begitu, tentu ada
sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit!! Kalau begitu, mengapa
Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Eci itu, daripada
menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci
cinta?!
Pergi....? Kaumaksudkan
minggat dari istana?! Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. Aihhh,
In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari
sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini
siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.!
Hal itu tidak penting. Yang
penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?!
Tentu saja aku mau!!
Meninggalkan kedudukan Enci
sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin
menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?!
Tentu aku mau dan aku berani
menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.!
Bagus!! Siang In berseru
girang. Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar
emas ini, Enci.!
Syanti Dewi girang sekali dan
dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata,
Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan
Siapa bilang belum
berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan
menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak
takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.!
Bagus, akan tetapi betapapun
juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke
timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan
aman.!
Syanti Dewi lalu berkemas,
hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan
betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya,
mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya
kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri
ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.
Mereka tidak tahu bahwa
setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu
mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri.
Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya
itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun
melakukan pen jagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena penjagaan yang
diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa
keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan
harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring,
Siluman jahat!, jangan lari!!
Siang In terkejut. Tak
disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang
bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian
lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari
semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah
lambungnya!
Siang In tersenyum manis
sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang
menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah
seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah
mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak
boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik,
karena dia itu adalah siluman!
Eh-eh, kalian ini mau apakah?!
Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli
itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya
bergerak-gerak.
Menyerahlah engkau, siluman,
kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!! bentak di sebelah kirinya.
Berlututlah engkau!! perwira
di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada
pinggang yang ramping itu.
Siang In tertawa dan berkata
dengan suara meyakinkan, Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang
kalian? Dan mengapa kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas,
kalian akan digigit oleh ular-ular itu!!
Dua orang perwira itu terkejut
dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka
terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat
bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar
bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu
pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan
mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk
mematuk.
Ihhhhh.... ularrrrr....!!
Hiiiiihhhhh.... aih,
celaka....!!
Mereka berdua berusaha untuk
membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam
itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi!
Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin
mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman
itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana
Syanti Dewi.
Mata mereka terbelalak
ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang
mereka pegang adalah seekor ular cobra!
Siapakah yang berteriak-teriak
itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?! Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu
dengan hati tegang.
Dua orang pengawal. Wah, benar
seperti yang kauceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.!
Habis, bagaimana kita dapat
lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa mempergunakan ilmu sihirmu itu,
In-moi?! Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar
dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan
cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In duduk dan menopang
dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang
melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab
pertanyaan puteri itu. Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan
sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus,
Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan
berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri,
tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar
sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan
geger, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh
pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu,
selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana
ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu
melarikan diri. Bagaimana?!
Syanti Dewi mengangguk-angguk,
kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka
lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi
tahu di mana letaknya pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan, dan Siang In
mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.
Sehari itu Siang In tidak lagi
pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak
pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar.
Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga
pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan
demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.
Malam itu hawanya masih dingin
seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap
membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang
gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan
penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni
Kota Raja Bhutan yang semua telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak
ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh
kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan
siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula para penghuni istana
sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar
masing-masing.
Tentu saja keadaan para
penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga.
Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga
daripada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu
malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta
sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi
ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu
seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal
dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali
sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan sunyi sekali di
sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para
penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras
untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang
datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya,
karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan
menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan
segala macam siluman. Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa
menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa
setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka
datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan
tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya
galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil
yang ketakutan.
Panglima Mohinta sendiri,
diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta
lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal,
tiada hentinya hilir mudik dari gardu ke gardu, untuk memberi semangat kepada
para pengawal yang berjaga.
Malam makin larut dan keadaan
makin serem. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan
siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana, mengintai ke luar.
Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia
mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh
dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar
dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun
akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan
akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang
Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya
Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
Bagaimana....?! Syanti Dewi
mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari
jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah
buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
Sssttttt,.... banyak penjaga
di luar. Aku akan keluar melalui genteng,! bisik Siang In.
Dara ini masih mengempit
payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai dan tubuhnya mencelat
ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit
dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia
teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat
seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol
langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata
yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.
Dengan hati-hati sekali Siang
In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya
dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
He.... apa itu....?! terdengar
seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan
berkelebat cepat.
Siang In segera mendekam di
wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada
gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
Mana? Tidak ada apa-apa!!
terdengar orang lain mencela.
Akan tetapi aku melihat
bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh aku berani sumpah!!
Hemmm, mana ada orang mampu
menghilang? Kecuali setan.... ihhhhh....!!
Sssttttt, jangan bicara yang
bukan-bukan. Kita harus waspada.!
Siang In terus mendekam.
Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapapun cepatnya dia
menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata
penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan
tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu
menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya.
Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot
bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan
semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang
memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus
berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.
Dengan hati lega Siang In
menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah
berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan
menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang
Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan
keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
Heiiiii, berhenti....!!
Siang In terkejut bukan main. Tak
disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang
pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.
Srat! Srattt!! Dua orang
pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
Aihhhhh, mengapa kalian
demikian galak? Mengagetkan orang saja!! Siang In tersenyum manis bukan main,
suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang
pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak
hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang hanya beberapa
detik ini cukuplah sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua
orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka
telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang
cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia
tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain. Akhirnya tibalah dia di bagian
kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai.
Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu
menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia
bersenandung!
Tentu saja empat orang penjaga
yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun
menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran
mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.
Aih, kiranya di antara kalian
ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?! penjaga yang gendut tertawa.
Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?!
Aih, suaranya begitu
merdu....! kata penjaga yang kurus.
Aku tidak mempunyai kenalan
wanita di sini,! kata yang ke tiga.
Aku pun tidak....! kata yang
ke empat.
Kalau begitu.... siapa....!
Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan
dongeng tentang siluman cantik.
Jangan-jangan dia....?!
Ahhhhh, mana ada siluman
pandai bersenandung semerdu itu. Apapun adanya dia, mari kita ke luar
menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,! kata Si Gendut
yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari
gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk
menumpuk rumput kering.
Akan tetapi baru saja mereka
tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari
jendela gudang itu ada lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera
menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering
itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.
Cepat mereka menengok ke dalam
gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka
terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya
akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput
kering itu.
Kebakaran....!!