Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 50 - Pil Merah
Syanti Dewi memandang dengan
mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib
seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi
baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda
dan cantik sehingga seorag nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan
secantik itu.
Sekarang tanggalkanlah semua
pakaianmu, Dewi! kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.
Menanggalkan pakaian....?!
Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya
dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana
Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah
mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.
Aihhh, Adik Syanti, mengapa
meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa
malu? Hayolah, kubantu kau....!
Karena bujukan halus ini
akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah
sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang
wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.
Bukan main....! Nenek itu
seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.
Adikku yang manis, engkau
hebat....! Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air
mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah-olah tanpa
cacat di depannya itu.
Apa.... apa yang harus
kulakukan, Enci....?! Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar
sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.
Kau masuklah ke sini, masuklah
ke dalam guci ini, Sayang....! Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. Aku
akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua.!
Karena sudah terlanjur dan
juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi
lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air
itu dengan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata
dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci,
mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai
lehernya.
Sekarang, kendurkan seluruh
uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,! kata
nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jarijari tangan menyusuri tubuhnya,
dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti
digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia
membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di
angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak menyilangkan kedua lengan
depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.
Sudah, Bibi, engkau membuat
aku tidak kuat menahan....!!
Syanti Dewi membuka matanya
dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam
dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi
berkata kepadanya, Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air
keramat Sungai Gangga!!
Syanti Dewi menurut saja. Dia
memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air.
Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat
bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu,
Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia
mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia
mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran
menimpa ubun-ubun kepalanya.
Setelah menuangkan air suci
itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai
ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah
pengobatan! dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan
dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali
pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.
!Bagus! Kini di dunia ada tiga
orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!! kata Maya Dewi dengan wajah
berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. Dan
engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi
seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!!
Kita harus rayakan peristiwa
ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah
lautan,! kata Ouw Yan Hui.
Maya Dewi mengangguk-angguk.
Benar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari
keramaian dunia.!
Apakah.... apakah pengobatan
itu masih harus dilanjutkan lagi....!! tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan
malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.
Tentu saja, akan tetapi mandi
air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan
untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau
adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali
saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan
harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya.!
Mereka bertiga keluar dari
bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu
menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut
pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan
di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.
Nenek Maya Dewi menyerahkan
sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. Kau telanlah ini bersama secawan arak
merah, Dewiku.!
Syanti Dewi menurut dan
ternyata pil itu menambah manisnya arak. Apakah saya harus pantang makan
sesuatu?!
Tidak ada pantangan makanan
apa-apa, hanya....!
Bibi Maya, biarkan Adik Syanti
Dewi, membiasakan diri lebih dulu.! Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek
itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga
lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.
Kehidupan di atas kapal pesiar
itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang
memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air
tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan
dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar
amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai,
membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak
ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak,
bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.
Memang harus begini, Dewi.
Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah.! Dengan
alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi
semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar!
Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga,
gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan
sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi
gerakan-gerakannya.
Tiga hari kemudian, kapal itu
melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara
kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam
bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang
yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi
tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa
suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya
mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang
dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia
melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang
bulat sedang bergulat di atas pembaringan! Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya
meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran
membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang
dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab
yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama
hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan
wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran
saja.
Kemudian dia mendengar mereka
bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. Dia sungguh bodoh dan hatinya keras....!
terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak
dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik
oleh Syanti Dewi.
Engkau harus sabar, Bibi.
Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya
menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh....!
Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi la1u sengaja berjalan dan
bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.
Pada keesokan harinya, kapal
berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di
tengah pulau, istana yang megah dan mewah.
Tinggal satu malam ini lagi
dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena
pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semua telah
berhasil baik,! kata Maya Dewi, Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata,
hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa
agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan
mengerikan!
***
Kauminumlah secawan arak ini.
Inilah pengobatan minumlah terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu
semalam, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi
seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan
Kim-coa-to. Minumlah.!
Syanti Dewi menerima cawan
arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan
tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.
Ke manakah Bibi akan pergi?!
tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.
Aku?! Wanita itu tersenyum dan
untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih
rari itu, seperti gigi orang muda saja. Ah, aku hidup seperti bayangan, ke mana
saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar
demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku
takkan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik
yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat
kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi.!
Terima kasih atas kebaikan
Bibi Maya.!
Malam itu, seperti biasa, Maya
Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi
merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia
pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.
Syanti Dewi bermimpi. Dia
merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia sudah
mempergunakan ginkangnya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu
amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang.
Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan
iblis itu berusaha untuk memperkosanya. Syanti Dewi mempertahankan diri
sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, Tek Hoattt....!! karena dalam keadaan berbahaya
itu dia teringat kepada kekasihnya.
Dengan tubuh penuh keringat
Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya
dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata
melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang
bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya,
mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu berahi! Sejenak Syanti Dewi merasa
seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat bahkan ada dorongan hati aneh
yang membuat dia condong membalas cluman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat
dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan
mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher
nenek itu sambil mengeluh.
Syanti...., Dewiku.... kau
sungguh cantik, hemmm....!!
Ketika merasa betapa tangan
nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat
kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan
dia menahan jeritnya, lalu menggnakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi.
Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh
Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!
!Aduhhh.... ah, apa yang
kaulakukan ini, Dewi....?! Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam
keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi. Dara ini memandang dengan mata
terbelalak. Biarpun dari dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang
tidak normal, namun melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut
setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan
dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!
Bibi.... jangan begitu....!!
Dia terengah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.
Dewiku.... ke sinilah.... aih,
aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kaulayanilah aku, Dewi....!!
Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi makin ngeri dan dia meloncat untuk
menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian
dia lari keluar dari dalam kamar.
Dewiku.... kembalilah....
kembalilah kau....!! Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai
dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya
awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat apalagi ilmu berlari cepat, tentu
saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari
situ.
Dengan napas terengah-engah
dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari
terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan
pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil
ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah
mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar maka sebentar saja karena angin
sedang bertiup kencang perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan
Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan
sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu. Angin yang
bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin
mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya,
yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai
menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi
bukan obat melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap
saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya
Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang
wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu
bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya!
Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak
gila, mana mungkin ada wanita timbul berahinya melihat wanita lain?
Tentu Eenci Yan Hui akan
mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan
yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui
dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah
lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin
bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah
seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama
wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung.
***
Kita tinggalkan dulu Syanti
Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan
menggunakan perahu layar itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li
yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar
larinya pangeran dari Nepal itu.
Setelah berhasil lari keluar
dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas
ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia
dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya.
Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda dan meloncat ke atas punggung kuda
itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan
hutan-hutan lebat.
Di tengah sebuah hutan di
lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara
pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk
keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di
waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh
belasan orang perajurit, akan tetapi agaknya para perajurit itu telah mendengar
akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di
situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.
Pengecut-pengecut rendah,
gentong-gentong nasi kosong menjemukan! Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan
perasaan sebal melihat betapa tempat itu sudah ditinggal pergi oleh para
penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan
kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biarpun kecil itu.
Pangeran, kaulepaskan
aku....!!
Liong Bian Cu merebahkan tubuh
Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di
atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung.
Gerakannya telah gagal sama sekali.
Engkau tahu, Hwee Li, bahwa
aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau
harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal.!
Hening sejenak dan Hwee Li
yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya,
mencari akal. Namun agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini
pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya,
maka tentu pangeran itu akan hati-hati.
Lalu apa yang akan kaulakukan
terhadap diriku, Pangeran?! tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan
hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat
mencintanya itu.
Kita beristirahat dulu di sini
malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu
betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita
akan menikah dengan resmi.
Tddak, aku tidak mau!! Hwee Li
berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.
Pangeran itu menghela napas
panjang. Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi
bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi
isteriku engkau belajar membalas cinta kaslhku. Engkau akan hidup mulia di
Nepal, Hwee Li.!
Tidak.... ah, aku tidak
mau.... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran kaukasihanilah aku,
kaubebaskan aku, Pangeran....! Hwee Li yang tidak melihat jalan keluar itu kini
menangis!
Pangeran Liong Bian Cu bangkit
dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.
Jangan dekati aku, jangan
sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kaujamah tubuhku....!
Pangeran itu nampak berduka
sekali, Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan
menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku aungguh cinta padamu, dan
aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau
membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang
sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita
tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagl?!
Tidak.... hu-hu-hu.... tidak,
aku tidak cinta padamu....!
Hemmm, aku adalah seorang
pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi
isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!! Suara pangeran itu terdengar
keras dan tegas.
Kau.... kau pengecut sungguh!
Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?! Hwee Li
berkata sambil terisak.
Hemmm, seorang pria berhak
memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan
nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku.
Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk
memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!!
Bagus, Liong Bian Cu! Aku
datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan
pengecut, mari kaulawan aku!!
Liong Bian Cu terkejut dan
cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda
tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian
Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika
melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat
kepada Siang In dan mulutnya cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya
berapi-api.
Sementara itu, Liong Bian Cu
sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki
ruangan.
Mau apa engkau ke sini? Hemmm,
apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah
selesai, dan kami telah menerima janji untuk diperbolehkan pergi dengan
aman....!
Aku datang menyusulmu bukan
karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau
melarikan dan menculik Hwee Li, oleh karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia
kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman.!
Pangeran Liong Bian Cu
memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa
pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu
mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.
Kim Hwee Li adalah tunanganku,
calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu
mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku
untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?!
bentaknya.
Hak seorang gagah yang tidak
ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak akan
berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi
engkau telah menculik dan melarikannya.!
Kurang ajar! Ayahnya sendiri
sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?!
Kian Lee tersenyum. Mana
mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya? Biar dia
sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau
pergi dan tidak mengganggu lagi.!
Habis kau mau apa?!
Pangeran Liong Bian Cu, kita
berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh karena itu,
aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau
boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau
harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia.!
Keparat....!! Liong Bian Cu
sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak-gerakkan kedua tangannya,
digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga
Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang amat di andalkan dan memang ampuh sekali itu.
Melihat ini dari tempat dia
rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari
pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat
khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya
maut yang mengancam. Akan tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan
Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee
membuat dia diam saja, hanya menonton dengan, mata terbelalak. Hampir dia
berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan
nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang
sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!
Mampuslah.... haaaiiiittttt!!
Kaki kirinya melangkah ke
depan, dengan tubuh miring pangeran itu audah menghantam dengan tangan kirinya
yang dibuka, dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali
ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja
sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan
sakti yang ampuh, akan tetapi dia sarma sekali tidak mengelak atau mundur,
bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis
dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu
saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.
Dukkk!! Pertemuan dua tenagga
itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan
pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan
tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun, Pangeran
Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu
Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.
Tingkat kepandaian Kian Lee
memang lebih tinggi dairipada lawannya, dan tenaga sinkangnya selain lebih
murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk
menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau
ditangkisnya. Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok
atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup
tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus
menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk menangkan perebutan ini.
Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan
diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau
dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal.
Akan tetapi gerakan Kian Lee
tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat
lawen terhuyung. Melihat betapa semua serangannya gagal, Liong Bian Cu menjadi
makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan
mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan
kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih.
Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih
kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang
Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam
yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda.
Kian Lee terkejut bukan main
karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan
pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung.
Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari
ilmu Im-yang Sin-ciang!
Akan tetapi, Suma Kian Lee
adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah
menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini
dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena
itu, menghadapi bahaya ini dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera
maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mujijat, maka dia cepat mengerahkan
tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat.
Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu
dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.
Desssss....!! Pertemuan dua
pasang tangan itu hebat bukan main. Seolah-olah udara di sekitar tempat itu
dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman
Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya
yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan Swat-im
Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan
itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa
panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh
pangeran itu terlempar kebelakang seperti setangkai daun kering tertiup angin
dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!
Kian Lee juga merasa betapa
tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya
memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu,
sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah
miring.
Jangan bunuh dia....!!
Kian Lee yang sedang
membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar
seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk
membebaskannya. Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya
dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak
miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang
pundaknya sambil berseru memanggil, Pangeran....! Pangeran....!! Suaranya
mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata
penuh penyesalan, Engkau.... engkau telah membunuhnya!!
Kian Lee mengerutkan alisnya.
Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li diculik
dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu?
Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu?
Dia orang kuat, dia tidak akan
mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,! katanya
sederhana sambil berdiri termangu-mangu. Dara itu demikian cantiknya, dan
timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung.
Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri
hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan
seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati?
Pangeran....!!
Tubuh itu bergerak dan mencoba
untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan
sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. Engkau hebat...., hemmm....,
mengapa engkau tidak membunuhku tadi?!
Aku tidak bermusuhan
denganmu.!
Liong Bian Cu kini memandang
kepada Hwee Li. Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Biarpun engkau
selalu menolakku, bahkan beberapa kali hampir membunuhku, sekarang melihat aku
terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ah, Hwee Li.... Hwee Li,
benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau
memperlihatkan sayang....!
Tiba-tiba Hwee Li bangkit
berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu menggeleng
kepata. Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala
kebaikanmu, kepadaku....!
Liong Bian Cu menarik napas
panjang. Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta
padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau
masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk
menerimamu sebagai isteriku.... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah
engkau dalam memilih jodoh....! Dia meholeh kepada Kian Lee, mengangguk kepada
pemuda itu, lalu memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu,
bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.
Mereka kini berdiri dan saling
berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu
mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, Engkau.... engkau
hampir saja membunuhnya!!
Suara yang kaku dan mengandung
penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh
Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan.
Jelas bahwa dia susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan
setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee
Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu,
sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh
penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!
Ah, kalau aku tahu, tentu aku
akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau.... lebih senang
demikian, Nona.!
Sepasang mata itu terbelalak,
mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada
suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari
keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.
Hemmm....?! Kian Lee berdiri
bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara
pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba.
Kian Lee lalu teringat akan
bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau
pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja
pangeran itu dilindungii oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk
menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan
melakukan pengejaran. Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan
perlahanlahan dan mencari-cari namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran
keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah rasa
hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia
mengenangkan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya
sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam
mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak
itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya
telah sembuh sama sekali. Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah
dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat
untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru
berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan.
Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan
seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau
delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika
Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu
Kai-ong. Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat
hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demikian erat dan mesra, dan dia
melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan
dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia
mengusir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li!
Dan sekarang? Dia tidak dapat
menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka
dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari
Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar
ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya?
Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan kini
meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus
semalam suntuk tanpa hasil.
Menjelang pagi, cuaca demikian
gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara
amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang. Akan tetapi,
Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya,
karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andaikata Hwee Li berada hanya beberapa
puluh kaki jauhnya di depannya sekalipun, dia tidak akan dapat melihatnya. Dia
duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung. Makin dikenang,
makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap
dara yang setengah liar itu, yang selanma ini ditekan-tekan dan coba diusirnya
setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya!
Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati
dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa
harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri.
Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu
ternyata mencinta adiknya?
Kian Lee duduk bertopang dagu
dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin?
Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya
sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus
berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang
cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus
berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya,
Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi
sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat
gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus
menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang jatuh
cinta menderita?
Betapa banyaknya, bahkan
sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan
berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan
penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan
pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan
mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!
Adakah itu cinta kasih kalau
mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau
gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu
mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan
kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang berduka
dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau
menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal,
bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.
Cinta seperti yang dimaksudkan
oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka,
banyak dukanya daripada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan,
mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya bukan cinta
kasih, perasaan itu, melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu berahi,
melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan, melalui penguasaan dan menopoli,
perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri, adalah
sumber daripada semua kesenangannya.
Itulah sebabnya mengapa Kian
Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap
kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini
mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu
ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan? Kita tentu selalu
ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun
bukan! Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak
ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara
tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri
sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian,
sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah
mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan berahi mengalami
perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan
merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih.
Fajar mulai menyingsing dan
bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap
di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak
oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan
suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai
berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru
mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran
matahari.
Setelah cuaca cukup terang,
Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang ke
sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh
wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang
dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.
Hwee Li....!! Kian Lee berseru
memanggil setelah dia dapat menyusul.
Mendengar suara ini, Hwee Li
terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau!
Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.
Hwee Li....! Tunggu dulu....!!
teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan
main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya,
melampauinya dan menghadang di tengah jalan. Terpaksa Hwee Li berhenti dan
dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan
bertolak pinggang, lalu membentak kaku, Mau apa engkau menghadang di depanku?!
Dibentak seperti itu, Kian Lee
terkejut dan gugup. Aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepadaku, Hwee Li?!
Pergilah kau kepada perempuan
tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau....!! Suara
Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti
mau meledak rasanya, betapa hawa panas memenuhi dadanya.
Kian Lee masih belum mengerti
apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena
dia memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan
perasaan tidak enak di dalam hatinya.
Hwee Li.... Nona.... harap
jangan marah dulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran
Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya?
Apa sebabnya?!
Sepasang mata yang lebar itu
tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, Dia.... betapapun jahatnya
dia.... dia sungguh-sungguh mencintaku.... ahhh....!! Tiba-tiba Hwee Li
menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak.
Kian Lee menjadi makin bingung
melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena
dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara
itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga
pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua
tangannya dan pundaknya berguncang.
Dan kau.... kau mencinta
dia....?! Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.
Sambil menangis Hwee Li
menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, dan suara di antara isaknya
terdengar penuh kemarahan, Engkau bodoh! Engkau buta....! Dia.... dialah
satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh cinta kepadaku.... biarpun
dia jahat dan aku tidak suka kepadanya.... hu-hu-huuhhh, akan tetapi.... selain
dia.... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku.... hu-hu-huuuhhh....!!
Tangisnya makin menjadi-jadi dan Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia
terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak
setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu
seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang
cinta kepadanya.
Engkau keliru, Hwee Li....,
bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus
diragukan. Akan tetapi aku....!
Kau mencinta perempuan iblis
tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya....!!
Eh? Perempuan iblis? Tukang
tenung? Apa sih maksudmu?! Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya
dengan alis berkerut.
Hwee Li menurunkan kedua
tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes
dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah
sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.
Jangan kau pura-pura tidak
mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu.... ah,
kalau jumpa, akan kubunuh dia....!!
Kian Lee teringat akan sikap
Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang
Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati
mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini
mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!
Ahhh....! Jadi kiranya....
itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng
Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung....!
Tentu saja! Bagimu yang sudah
tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah
bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta....! Kembali Hwee Li
terisak.
Kian Lee melongo. Cemburu!
Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah-marah kepadanya dan kepada Siang
In?
Hwee Li, harap jangan
menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In,
dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang
jahat....!
Dengan mata masih basah Hwee
Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh
selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, .... tidak.... tidak saling
mencinta....? Tapi.... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan
perjalanan berdua....!
Tentu saja, karena kami saling
mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak
saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li.... aku merasa heran sekali
mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau
mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?! Suara Kian Lee tergetar dan
sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik.
Sejenak mereka saling
berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa
betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan
menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan
lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan
seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun
satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.
Karena.... karena.... aku
tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain.... tidak
semenjak subo.... kau tidak boleh mencinta wanita lain....!
Hemmm....!
Kecuali.... kecuali aku....!
Hwee Li....!!
Dara itu mengangkat mukanya
dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan
demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali.
Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, menariknya sehingga mereka
berdua berdiri, saling berpandangan.
Hwee Li...., apakah maksudmu?
Apa yang akan kaukatakan? Mengapa engkau berpendirian demikian....?! Karena
ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan
ini.
Sepasang mata yang basah itu
bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu,
terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.
Kian Lee koko, apakah benar
engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa
tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu,
semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu,
mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu akan tetapi engkau lenyap, kembali ke
Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku
berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna
menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu!
Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih
bertanya apa yang kumaksudkan?!
Kian Lee merasa terharu
sekali, terharu dan juga girang, akan tetapi masih ada keraguan di dalam
hatinya. Akan tetapi.... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira
engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan....!
Sungguh bodoh engkau,
Lee-koko.... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua
telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta,
sebaliknya engkau menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal....
padahal Kian Bu tahu betul betapa aku.... aku cinta kepadamu seorang, Koko
sampai dia kuharuskan menyebutku enci....!
Hwee Li....!! Kian Lee merasa
demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini sehingga dia tak kuasa
menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu. Hwee Li
menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang
tegap itu, memejamkan kedua matanya.
Dengan jari-jari tangan
gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam
lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan
hatinya.
Hwee Li.... Moi-moi....
sungguh tak kusangka...., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang
akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap.... tak kusangka
seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku.... aku
juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali
dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah
anak-anak. Akan tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang
mencarikan obat untukku, kemudian.... dalam pertemuan kita ketika aku sakit,
melihat engkau sudah dewasa dan.... dan demikian cantik jelita, aku.... sudah
jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri
sendiri, aku sudah hampir jera.... hampir kapok untuk jatuh cinta.!
Hwee Li membuka matanya, menengadah
dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan
hatinya itu. Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara,
engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo.... karena itulah aku makin
kasihan kepadamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di
dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali
aku sendiri, sebagai pengganti subo....!
Hwee Li....! Kian Lee menghela
napas panjang. Engkau tahu akan urusanku dengan.... dengan Ceng Ceng?!
Hwee Li tersenyum dan
menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. Aku sudah menjadi
muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat
menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku....!
Ahhh.... akan tetapi urusan
itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan.... sekarang aku
sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala-galanya daripada
semua wanita di dunia ini, yaitu engkau....! Kian Lee menunduk dan hendak mencium
bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak
dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.
Sambil membereskan rambutnya
yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka
berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali
rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat menunduk malu-malu seperti
itu! Kian Lee menguluarkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan
kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee
mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta
dan melepaskan diri!
Kenapa, Li-moi? Kenapa.... kau
menolak? Bukankah kita saling mencinta....?!
Dara itu menarik napas
panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan
diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang
tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling
mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh
gairah kemesraan.
Lee-koko, harap kaumaafkan
aku. Percayalah tidak ada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu
dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan.... pelukanmu. Akan
tetapi.... semenjak apa yang kualami.... semenjak saat itu.... aku telah
bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan
membiarkan diri dicium oleh pria manapun juga kecuali oleh suamiku! Engkau....
ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi.... karena sumpahku itu, maka
aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau....
menjadi suamiku.... kaumaafkanlah aku, Lee-ko....!
Kian Lee mengerutkan alisnya.
Sebetulnya dia merasa bangga dan girang akan pendirian dara yang dicintanya
itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat
tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.
Moi-moi, mengapa engkau
mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kaualami
sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?!
Dahulu, aku selalu
merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan
ciumanmu, akan tetapi.... semenjak saat jahanam itu.... pangeran dari Nepal
itu.... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah....!
Ahhh....!! Wajah Kian Lee
sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan
sinar berkilat.
Hwee Li terkejut melihat wajah
dan sinar mata itu. Kenapa, Koko....?!
Dan kau senang?!
Senang apa maksudmu?!
Kau senang di.... ciumnya?!
Hwee Li cepat memegang tangan
pemuda itu. Eh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan
bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan
tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.!
Hemmm, dan selain diciumnya,
kau diapakannya lagi?! Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya
membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.
Diapakan? Aihhhhh....
kaumaksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta
kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri
secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu
aku bersumpah tidak akan mau dicium siapapun selain suamiku.!
Kalau begitu, aku akan
mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!! Kian Lee mengepal
tinjunya, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup
bibir kekasihnya ini.
Baik sekali, dan aku pun akan
membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!! Hwee Li berkata penuh
semangat.