Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 53 - Cerita Gila
Sumoi, aku girang sekali
engkau menjadi murid Ibu.... eh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana
sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?!
Dengan tenang Kim Sim Nikouw
lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok
Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur
Hok Thian Ki, akan tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah
Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.
Karena pinni tidak dapat
mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas
keamanan yang tentu mau menolong kalau menidengar bahwa puteri angkat gubernur
tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu.!
Berkali-kali sudah saya
berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap eh, Suheng, entah bagaimana saya akan
dapat membalasnya,! terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh
keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin
menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi
pemuda ini selama hidupnya. Baik Kim Sim Nikouw maupun Kian Bu sendiri maklum
akan isi hati dara ini, maka nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan
pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir
masak-masak.
Phang-sumoi, memang engkau
sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, sudah selayaknya menjadl seorang
gadis bangsawan yang terhormat. Maka aku mengucapkan selamat dan sebaiknya
kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai
engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah
seorang pembesar budiman dan bijaksana.!
Akan tetapi aku.... aku tidak
suka menjadi gadis bangsawan terhormat....!
Kau akan tinggal di rumah
seperti istana dan menjadi puteri....!
Akan tetapi aku tidak suka
tinggal di istana...., aku.... aku....! Gadis itu memejamkan mata dan air
matanya berlinang-linang.
Kembali Kian Bu menarik napas
panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke dalam jurang
cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. Phang-sumoi,
memang dalam kehidupan banyak terjadi hal-hal yang jauh daripada yang kita
harapkan. Segala telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat
memaksakan kehendak kita, betapapun kita menjadi berduka dan menderita batin
karenanya. Maafkan aku, Sumoi, sungguh.... percayalah, bukan maksudku untuk
menyakitkan hatimu, akan tetapi.... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati
sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kaumaafkanlah Suhengmu
yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan,
aku pergi dulu!! Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap
dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air
matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw
hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.
Nikouw tua itu merangkulnya
dan berkata lembut, Cui Lan, apa yang dikatakan suhengmu itu memang benar. Dia
adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu
berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di
hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu
mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau
tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan berbahagia melihat
engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu,
Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.!
Dara itu hanya mengangguk,
kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya dan hanya
kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya.
Adakah yang lebih panas
daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih daripada
melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di
dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke
Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti
Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu,
ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta!
Kalau hanya melihat Syanti
Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah
dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya,
walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang
disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah
menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam
perjalanan secara tidak senonoh.
Hal ini, amat menjijikkan
hatinya, apalagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu,
yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah
dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya
bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas,
perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat
jantungnya seperti diremas-remas rasanya.
Dia mengambil keputusan untuk
mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah
menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang
mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada
Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke
Bhutan.
Pertama adalah rasa cintanya
kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat
puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena
bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti
Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah
Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja
Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang
hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang Puteri Bhutan sendiri,
puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih
berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!
Akan tetapi ketika dia tiba di
Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati
raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu akan menimbulkan kegegeran
besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja
Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan
Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal!
Dia sendiri, andaikata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh
kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan
kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan
percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!
Tek Hoat adalah seorang pemuda
yang amat cerdik. Biarpun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia
tidak bertindak secara sembrono.
Setelah memutar otak mencari
akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat
kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk berkelebat
dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah
dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah
dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban
kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik
terlalu banyak perhatian.
Malam hari itu, Panglima Jayin
sedang duduk termenung dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir
lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa tahun
akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi
hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang
panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya. Panglima Jayin
merupakan panglima tua yang ke dua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima
pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun
itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak
Puteri Syanti Dewi lenyap pada
beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah
ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han
termasuk Ang Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali
ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek
Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi,
sungguhpun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh
dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti
putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat
yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah
mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul
lenyapnya sang puteri lagi!
Mengenangkan keadaan rajanya,
Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apalagi dia maklum bahwa di dalam negeri
Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara fihak
yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak
yang menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hatinya adalah
karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak
puas terhadap raja. Apakah hal itu disebabkan terutama sekali karena gagalnya
putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri
Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.
Selamat malam, Panglima!!
Sebagai seorang yang sering
kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh
panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi
segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan
kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal
yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul
di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak
memandang penuh keheranan.
Apakah engkau juga seperti
semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat,
Panglima?! tanya Tek Hoat, di dalam suaranya terkandung penyesalan dan
kepahitan.
Eh.... ohhh.... tidak sama
sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari
mana Taihiap datang....?! tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih
terheran-heran.
Dengan ringan sekali tubuh
pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian dia duduk di atas
kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus
keringatnya. Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,! keluhnya.
Panglima Jayin cepat
menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan
hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan
kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia
menuangkan air teh dalam cangkir.
Minumlah, Taihiap, kemudian
ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke
tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka
Taihiap teringat untuk mencari Jayin.!
Tek Hoat minum air teh itu,
kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan
yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. Panglima, benar wawasanmu.
Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri
Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.
Ahhh....!! Wajah panglima itu
menjadi pucat. Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari
kuantarkan menghadap sekarang juga.!
!Nanti dulu, Panglima.! Tek
Hoat menggeleng kepala. Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain
engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti
beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik
kuceritakan dulu kepadamu, baru kaupertimbangkan apakah perlu aku pergi
menghadapi sri baginda raja.!
Baik, baik, lekas
kauceritakan, Taihiap!!
Dengar, Panglima. Kerajaan
Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju
pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur
rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta
dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja, dan selain itu, dia
pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan
Nepal yang akan datang dari perbatasan.! Tek Hoat sengaja tidak menceritakan
ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu
melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri. Biarlah, hal itu
akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku sempat
bertemu lagi dengan dia, pikirnya.
Sepasang mata Panglima Jayin
mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik
dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidakpercayaan, akan tetapi
keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!
Hemmm, kulihat engkau pun
agakrrya tidak percaya kepadaku, Panglima!! Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.
Siapakah yang dapat
mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi
penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima
Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi
suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan
seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau putus asa, Taihiap karena
agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu,
dan orang itu adalah aku.!
Ah, terima kasih, Panglima.
Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!! seru Tek Hoat dengan
girang. Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan
pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu.!
Wajah Panglima Jayin berseri.
Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang
lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka
baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal
ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ
terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama
sekali tidak khawatir.
Pertama-tama, kita harus cepat
memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar
tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan
bocor dan diketahui fihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga
melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita
menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.!
Pergilah kedua orang itu
menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana,
Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang
hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah
melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki
terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada
di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu
sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk
membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.
Mereka bertemu dengan seorang
pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang
berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin
sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat
menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat
memberi hormat kepada Panglima Jayin.
Ada urusan mendesak yang
memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,! kata panglima itu, di mana
beliau?!
Beliau sudah memasuki kamar,
baru saja.!
Laporkan kepada pengawal
kamar, kami harus menghadap sekarang.!
Mari Panglima, keputusannya
terserah kepada pengawal kamar.! Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali
mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga
melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.
Maaf, panglima. Kami tidak
berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda
sendiri,! kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar
dengan senjata di tangan.
Kalau begitu sampaikan kepada
sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk
menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.!
Sang Puteri Syanti Dewi....?!
Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka
betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara
mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu
perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan
kembali daun pintu.
Tak lama kemudian, daun pintu
bergerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan
berkata, Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.!
Panglima Jayin lalu memasuki
kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar
itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda
sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di
sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi
alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.
Panglima Jayin segera
menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.
Jayin, benarkah engkau datang
membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?! Karena
tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu
memperhatikan Tek Hoat.
Panglima Jayin melirik ke arah
para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat, Harap
Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang
hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.!
Sri baginda mengerti maksud
Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam
orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu
belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.
Nah, ceritakan, Jayin.! Sri
baginda cepat berkata.
Maaf, hamba harus memeriksa
pintu lebih dulu.! Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan
memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa
jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak
ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.
Perbuatannya ini membuat hati
sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, Jayin, mengapa
engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?!
Bukan hanya keselamatan puteri
Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan
terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.!
Raja tua itu terkejut bukan
main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini dia memandang
ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada
Jayin, Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa
engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?!
Maafkan kelancangan hamba,
agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang
datang membawa berita ini.!
Kini sang raja benar-benar
terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian,
kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan
penuh pertanyaan.
Hamba rnengerti bahwa Paduka
tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita
yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka
agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.!
Betapapun juga, sri baginda
masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan
pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti
dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia
berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak
haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang
datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!
Jayin, ceritakanlah apa yang
terjadi!! katanya singkat.
Dengan jelas Panglima Jayin
lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta
dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk
memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh
Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri
menjadi raja.
Makin lama Sang Raja Bhutan
menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah
Jayin selesai bercerita, dia berkata, Ah, mana mungkin terjadi hal demikian?
Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita
ini?!
Memang amat mengherankan dan
sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa
hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.!
Hemmm, bagaimana kalau
bohong?!
Hamba mempertaruhkan nyawa
hamba!! kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga
belum dipercaya.
Dan hamba juga berani
mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh
Ang-taihiap.!
Sampai beberapa lamanya raja
itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi
senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, Sesungguhnya aku pun
tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu
benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau
benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin
pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!!
Mohon diampunkan kelancangan
hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti
kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti.
Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti.
Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini
dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau
pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri
yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.!
Usul Ang-taihiap itu tepat
sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan
ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana
yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan
menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba
akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu
dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui.!
Raja tua itu menghela napas
panjang. Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus
segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!!
Hamba menanggung keselamatan
puteri Paduka dengan nyawa hamba!! kata Ang Tek Hoat.
Baik, nah, kaubawa pedangku
ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan
semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.! Dua
orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan
mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa
menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah
merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindakatas nama raja!
Dengan tenang namun cepat,
tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima
dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor
dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para
panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu
sehari itu dia menangkapi lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi!
Kemudian dia membawa seorang
panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda dan yang juga
termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawanya ke dalam kamar
rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat
kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan
Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.
Mohinta merencanakan
pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera
Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak padanya ditangkap atas perintah
sri baginda.!
Akan tetapi.... saya tidak
tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan
sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang
berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan,
biarpun diatur oleh puteranya sendiri!!
Aku tahu, akan tetapi demi
keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-temannya, termasuk engkau
diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan
yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana
pemberontakan ini.!
Aku bersedia!! jawab panglima
itu sambil berdiri sigap seperti seorang perajurit siap menerima perintah.
Jayin lalu mengatur dan
menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan
Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan
sigap setia kepada negara, Jayin lalu mempergunakannya untuk menjebak Mohinta.
Panglima itu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan
segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima
pertama ini.
Panglima Jayin yang bijaksana
dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga peristiwa penahanan para
panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap
tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak,
sungguhpun. kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andaikata ada
pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala
dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta.
Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan
pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat
namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin
sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di
perbatasan.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti
penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira
utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal
Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu
telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh
penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari
Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas
ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari
putera panglima.
Utusan itu lalu menyampaikan
pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar
Bhutan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini
menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja
dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti
Mohinta dan kaki tangannya.
Mohinta mengenal panglima tua
ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia pun tidak ragu-ragu
lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada
ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal
untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan kuat untuk
menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan
besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk
menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki
wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat
menguasai Bhutan seluruhnya.
Tentu saja diam-diam panglima
yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa
putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan
dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia
menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk melaksanakan!
rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini
lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua
pembicaraannya dengan Mohinta.
Bagus! Permintaannya yang
pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan
memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk
diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!! kata Jayin menahan
kemarahannya.
Sesuai dengan permintaan
Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang utusan!
panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah
dipersiapkan untuk mengurung! istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk
menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang
bukan main. Biarpun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah
merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut
para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya,
memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang
puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira. Puteri! Syanti
Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil
tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam
merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu
Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi
keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut.
Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan
wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri
itu, biarpun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga
tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak
menimbulkan kecurigaan sesuatu.
Rakyat bersorak-sorak
menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama
ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan
istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol
di luar halaman yang terjaga. Para perajurit pengawal memberi hormat ketika
Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya
memasuki istana.
Sesuai dengan permintaan Ang
Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di
tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi
yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para
pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki
ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena
Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah diberi!
oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki
ruangan itu dengan sikap gagah.
Raja Bhutan duduk di atas
kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguhpun dia maklum bahwa Ang
Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa
raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan
main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi
melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya,
menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu akan
rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan
main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan
muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan
membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.
Mohinta, apa yang kaulakukan
itu?! Suara sri baginda gemetar.
Dengan wajah beringas Mohinta
berkata, Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung
ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan
telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan
telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di teiapak tanganku pula!
Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!!
Hampir raja itu tidak mampu
mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa
keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah
banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini
semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina
dan rendah ini!!
Sri baginda, tak perlu banyak
cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!! bentak Mohinta.
Apa kehendakmu?! tanya raja,
juga membentak.
Buatkan pernyataan bahwa
Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka
telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan di
Bhutan!!
Keparat! Jahanam! Tangkap
pemberontak ini!! Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak
ke depan.
Mundur kalian! Atau, kubunuh
sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!! bentak Mohinta dan pedangnya
makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.
Dua orang pengawal itu menjadi
ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke
arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu
menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia
mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan
terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya
sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa
nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia
dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika
dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Sementara itu, Sri baginda lari
menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. Syanti.... anakku.... ah,
anakku....!!
Ang Tek Hoat memandang Mohinta
dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika pemuda ini berkata
lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, Jahanam busuk Mohinta, engkau
telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah
menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan
engkau merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak
mampus sebagai anjing pengkhianat!!
Ahhh.... kau.... kau....!!
Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat
Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan
tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.
Syanti....! Kau gila....!! Tek
Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus
menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah
bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri
itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan
ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.
Dewi....!! Tek Hoat berseru
lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu
rahasia.
Tek Hoat merasa kepalanya
pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi
menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal.
Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah
lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi puteri! itu menyerang raja dan Ang
Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar
suara hiruk-pikuk orang berkelahi.
Dengan hati hancur melihat
tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat
mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang
Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau
yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana
sampai keluar istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.
Mohinta terkejut setengah mati
ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal.
Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang
sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal.
Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi
kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa
dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan
memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya
terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan
pengikut-pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal
yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada
Mohinta sendiri!
Tek Hoat mengamuk dengan
pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut
Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut
pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta.
Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa
orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti
hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.
Mohinta keparat, jangan lari!!
Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh
banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan
pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.
Kepung! Bunuh!! Mohinta
berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini
belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.
Anak buahnya berdatangan dan
kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ,
mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah
itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini
mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana
sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan
mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para
pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan
bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.
Bagaikan seekor naga mengamuk,
Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat
menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah
meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak
yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat
mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya
sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia merobohkan mereka
satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh
puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang
pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti
mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!
Biarpun dia sendiri luka-luka
dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu.
Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biarpun dia sudah
merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta
yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja
yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang
amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang
pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri
hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat
mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya. Melihat kecurangan orang yang
amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil
memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta
itu. Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya
lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi
setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan
meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai. Mohinta terkejut
dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek Hoat yang berada di
belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-kiam ke
belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya.
Blesssss....!! Mohinta
menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke
perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti
babi disembelih.
Itu untuk ibuku!! teriak Tek
Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung,
kembali pedangnya membabat dua kali.
Crakkk! Crakkk!! Kedua lengan
Mohinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam.
Itu untuk Kerajaan Bhutan!!
kembali Tek Hoat berteriak.
Mohinta kembali menjerit dan
matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darah
muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan
tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali
berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang
tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta
yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.
Crakkk!! Leher Mohinta putus
disambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan
tadi.
Itu untuk Syanti Dewi!!
kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang
pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam. Akan tetapi karena
dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang
tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak
melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam
masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!
Di luar istana juga terjadi
pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan
pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan
tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka,
yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun
setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari
lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar
di antara mereka menaluk. Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran
antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang
dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar
sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah
Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal
itu diserbu dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik,
akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal meninggalkan banyak korban.
Pemberontakan itu berhasil
dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka
terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan
hidup. Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti
Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!
Akan tetapi, Ang Tek Hoat
tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai
beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya menderita demam panas. Dia jatuh
sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena
kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini
telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah
mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan
pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri
yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli
pengobatan dalam istana.
Para ahli pengobatan yang
pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di
tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih
sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang
mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat
pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.
Memang Tek Hoat menjadi
seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk, diam saja
tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu menutupi mukanya,
memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan
mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama
Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta. Para ahli pengobatan merasa khawatir
kalau-kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya
menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasihatkan
kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi
itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang
menyamar. Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan akan
mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek
Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan
memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek
Hoat.
Sri baginda cukup bijaksana
untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya
panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan
para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman
cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk
memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan
kawan-kawannya, dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang
setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.
Setelah Panglima Sangita yang
tua itu dipensiun dan dibebastugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin
rmenjadi panglima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi, namun
Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.
Perang terjadi di seluruh
dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya. Baik yang
dinamakan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan,
perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa
sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang
terjadi antara bangsa, di bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari
setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena
itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di
manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau
tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri
setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang
timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan,
perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya
merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita
sendiri masing-masing. Setiap saat, setiap hari juga terjadi
pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian,
kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari
oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau
keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan
ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain. Demi mencapai cita-cita,
mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan
kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi
penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikianlah keadaan perang di dalam
batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian,
dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di
sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita
masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini,
karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan
bumi ini.
Dapatkah kita hidup tanpa
perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara
kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia
perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita?
Berakhirnya perang! di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir
dan batin tak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana
mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung
kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak
sendiri? Jelas tidak mungkin! Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh
kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin
seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan
cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada
permusuhan, tidak ada kekerasan!
Raja Bhutan dan Panglima Jayin
tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, akan
tetapi mereka lupa bahwapemberontakanpemberontakan tidak akan pernah berhenti,
baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan,
harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar
kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri.
Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, melainkan
hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula
dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan
kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan
kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan
pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih,
melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman
seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan
bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan
terganggu oleh pemberontakan yang lain apabila yang takut sudah tidak takut
lagi menurut keadaan pada saat itu!
Ketertiban yang
sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih!
Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi
namanya, melainkan ketidaktertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta
kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apabila
kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri
sendiri, apabila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa
kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan
tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan
kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah
atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama
sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan
kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus
keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia.
Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau
dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah
lenyap sama sekali dari batin.
***
Seperti juga dengan para
pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh
Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi
cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para
tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu. Seperti kita ketahui, rombongan
Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan
mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan
Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu
Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Hek-tiauw Lo-mo
juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga
sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang
tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok,
dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya,
juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.
Demikian pula dengan halnya
Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Biarpun tadinya
mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun
setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok
tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mereka tidak
mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri,
meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya,
Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara
Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau
Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dkn mereka mengharapkan
kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu
gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain
seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil
jalan sendiri, sungguhpun mereka berempat masih belum berpencar, masih
melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.
Pada saat benteng yang
dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh
dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri
Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam
bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu. Orang-orang yang
berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk
dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak
ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini
makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor
burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang
bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andaikata ada yang
melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa
di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang
melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang
dewa!
Burung itu sendiri adalah
seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu,
seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara.
Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan
sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di
punggungnya. Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki
kanannya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan
berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak
kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu
merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan
dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti
orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang
tongkat butut yang ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang
menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk
memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.
Kini burung rajawali itu
menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam
bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu.
Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu
menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri
menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya
menyesakkan napas itu.
Hemmm, perang...., lagi-lagi
perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!! Kakek itu
menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung.
Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, Majikan Pulau Es.
Seperti telah kita ketahui,
Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya yang
tercinta untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang
sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya,
pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi
akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya dan
pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau dan mulai
dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma
Kian Bu.
Ketika dia mendengar akan
gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi
Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah,
hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat
pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan
ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu
menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.