Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 57 - Cinta Bersemi Kembali
Pertanyaan ini mengganggu hati
Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil. Pemuda ini merasa
khawatir bukan main. Padahal dia telah mempergunakan ilmu ginkangnya yang
membuat dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Sudah dijelajahinya seluruh
daerah itu, sudah dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil
menemukan jejak dara yang telah menggerakkan hatinya semenjak peristiwa
pembukaan rahasia itu, dara yang ternyata adalah tunangannya, calon isterinya
sendiri! Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong.
Diam-diam ada perasaan bahagia
yang luar biasa oleh kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang
dipilihkan oleh Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong, adalah justeru gadis
yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu! Akan tetapi, perasaan
bahagia ini mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil
menyusul dan menemukan Yu Hwi. Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia
menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin rasanya dara itu dapat
berlari sedemikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa
cemas sekali karena menduga tentu telah terjadi sesuatu atas diri tunangannya
itu.
Maka, Kam Hong mengambil
keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat menemukan Yu Hwi dan tidak akan
pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Seng-jin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi.
Dan mengingat bahwa cerita ini
masih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan Yu Hwi
dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita
tentang mereka akan dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan
terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga cabang dari cerita Jodoh
Sepasang Rajawali ini. Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan sebuah
cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari
keluarga Raja Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini
kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh
utamanya.
***
Tek Hoat rebah dengan kedua
mata terpejam di atas pembaringan dalam kamar yang bersih dan indah itu. Orang
yang sudah mengenalnya tentu akan terkejut sekali kalau melihat wajahnya pada
saat itu. Wajahnya pucat dan kurus sekali sehingga sepasang alisnya yang tebal
itu nampak lebih hitam lagi. Kerut-merut di antara kedua alisnya membayangkan
kedukaan besar yang agaknya menindih perasaan pemuda perkasa ini. Rambutnya
yang dikuncir itu agak awut-awutan dan tubuhnya tertutup selimut tebal.
Dua orang pelayan wanita muda
yang cantik duduk di atas lantai, di depan pembaringan. Mereka adalah
pelayan-pelayan yang menjaga, bergiliran dengan pelayan-pelayan lain. Pemuda
yang sedang menderita sakit ini selalu dijaga secara bergilir dan pada
saat-saat tertentu pelayan menyuapkan obat dan makanan ke dalam mulut pemuda
itu yang menerima segala perawatan tanpa pernah bicara atau membantah, bahkan
jarang membuka mata. Dia hanya rebahan seperti orang tidur, kadang-kadang
berbisik-bisik, kadang-kadang mengeluh bahkan tidak jarang ada pelayan melihat
air mata berlinang dan menitik turun ke atas pipi yang pucat dan cekung itu.
Sebetulnya semua luka-luka
yang diderita oleh Tek Hoat akibat pertempuran menghadapi para pemberontak itu
telah dapat disembuhkan sama sekali oleh ahli-ahli pengobatan Kerajaan Bhutan.
Akan tetapi luka di hatinya yang sukar disembuhkan. Para tabib itu merasa
khawatir juga. Pemuda itu kelihatan linglung tidak pernah dapat sadar sama
sekali dan selalu murung, seperti orang yang putus harapan.
Para pelayan wanita itu, yang
sebagian besar merupakan bekas pelayan-pelayan dari Puteri Syanti Dewi, merasa
terharu kalau mendengar betapa dalam igauannya, pemuda itu sering kali
menyebut-nyebut nama Syanti Dewi. Mereka semua tahu belaka bahwa pemuda ini adalah
bekas tunangan sang puteri dan betapa pemuda ini pernah terusir dari Bhutan
tanpa salah, betapa kemudian sang puteri juga lolos dari istana untuk mencari
pemuda kekasihnya ini. Mereka tahu bahwa ada hubungan cinta kasih mendalam
antara pemuda perkasa ini dan sang puteri, dan bahwa pemuda ini jatuh sakit
seperti orang linglung karena menyangka bahwa sang puteri telah bermain gila
dengan Mohinta, kemudian melihat sang puteri tewas tanpa mengetahuinya bahwa
yang tewas dan bermain gila dengan Mohinta itu bukanlah Syanti Dewi yang aseli!
Tiba-tiba terdengar suara
pengawal di luar pintu kamar dan dua orang pelayan itu cepat berlutut. Raja
Bhutan sendiri dengan dua orang tabib dan dikawal beberapa orang pengawal,
diiringkan pula oleh Panglima Jayin, memasuki kamar itu. Sang raja mendekati
pembaringan, memandang wajah pemuda itu, lalu menarik napas panjang.
Kasihan....! keluhnya, lalu
dia menoleh kepada dua orang tabib tua itu. Bagaimana harapannya?!
Dua orang tabib itu saling
pandang, kelihatan was-was, kemudian seorang di antara mereka berkata, Hamba
berdua telah berdaya sekuat tenaga, Sri baginda. Hamba telah membersihkan
darahnya sehingga tidak membahayakan keselamatan tubuhnya, akan tetapi....
penyakitnya bukan menyerang badan, melainkan batin dan hal ini amat sukar
diatasi dengan obat. Perasaan kecewa yang besar dan kedukaan yang hebat telah
meracuni jantungnya.!
Hemmm....! Sang raja mengusap
jenggotnya. Kalian maksudkan ada hubungannya dengan sang puteri?!
Tabib itu mengangguk. Kiranya
begitulah. Melihat semua peristiwa yang terjadi atas diri wanita yang
disangkanya sang puteri, terutama melihat wanita itu tewas, telah mendatangkan
guncangan yang amat hebat.!
Raja Bhutan mengerutkan
alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali. Kini telah terbukti bahwa
pemuda ini amat gagah perkasa dan setia, memang patut sekali menjadi mantunya,
dan pemuda ini amat mencinta Syanti Dewi. Dia merasa menyesal pernah berusaha
memisahkan dua orang muda itu dan sekarang akibatnya, Syanti Dewi masih belum
dapat ditemukan dan pemuda ini yang sudah dua kali berjasa terhadap Bhutan,
kini rebah dalam keadaan sakit hebat.
Bagaimana kalau dia diberi
tahu bahwa Syanti Dewi masih hidup?! Akhirnya dia bertanya.
Memang, guncangan itu kiranya
dapat disembuhkan dengan guncangan lain yang amat berpengaruh terhadap
batinnya, Sri baginda. Akan tetapi hamba juga khawatir kalau-kalau guncangan
lain itu bahkan akan mengakibatkan hal yaAg lebih parah lagi.!
Dapat menewaskannya....?!
Mungkin saja.!
Hemmm, kalau begitu amat
berbahaya. Biarlah saja dulu, tak usah diberi tahu sampai kita berhasil
menemukan Syanti Dewi. Panglima Jayin, bagaimana dengan usahamu menyelidiki
sang puteri?!
Panglima Jayin memberi hormat.
Hamba sudah mengerahkan para penyelidik yang terpandai. Ada kabar baik, Sri
Baginda. Ada kabar bahwa Sang Puteri Syanti Dewi diberitakan berada di sebuah
pulau pada beberapa tahun yang lalu, akan tetapi beliau sudah meninggalkan
pulau itu. Para penyelidik sedang melanjutkan penyelidikannya. Setidaknya hasil
penyelidikan itu membuktikan bahwa sang puteri memang masih dalam keadaan
sehat.!
Raja Bhutan itu
mengangguk-angguk, lalu mengomel, Itulah susahnya kalau wanita diberi pelajaran
silat. Jayin, mulai sekarang umumkan di seluruh Bhutan bahwa dilarang
mengajarkan ilnmu silat kepada kaum wanita!!
Panglima Jayin merasa geli
oleh perintah ini, namun dengan wajah bersungguh-sungguh dia mengambil sikap
tegak dan menjawab, Baik, Sri baginda!!
Setelah memandang sekali lagi
wajah pemuda itu, Raja Bhutan lalu keluar dari dalam kamar, diiringkan oleh
Panglima Jayin, para tabib dan para pengawal. Dua orang pelayan tadi masih
duduk di dalam kamar, di depan pembaringan setelah menutupkan kembali pintu
kamar.
Tidak ada seorang pun yang
melihatnya, juga Panglima Jayin yang lihai itu tidak dapat melihat betapa ada
bayangan yang amat cepat berkelebat di atas genteng kamar itu. Bayangan itu
berkelebat seperti setan saja saking cepatnya, demikian ringan seperti seekor
kucing yang berlompatan di atas genteng. Setelah rombongan raja itu meninggalkan
kamar, bayangan yang amat ringan dan cepat gerakannya itu melayang turun lalu
meloncat ke depan pintu kamar Tek Hoat.
Dengan amat hati-hati sebuah
tangan dengan jari-jari runcing kecil dan halus kulitnya itu membuka pintu
mengintai ke dalam, kemudian, daun pintu kamar itu dibukanya dan secepat kilat
tubuhnya melayang ke dalam. Gerakannya itu sedemikian ringannya sehingga sama
sekali tidak menimbulkan suara apa-apa dan dua orang pelayan wanita yang duduk
di atas lantai menghadapi pembaringan itu sama sekali tidak mendengar apa-apa
dan tidak menengok. Tiba-tiba mereka itu mengeluh dan roboh terguling, pingsan
dan tidak sempat melihat siapa orangnya yang menyerang mereka, bahkan tidak
tahu apa yang terjadi karena serangan dengan totokan kedua tangan ke arah
tengkuk yang membuat mereka pingsan itu demikian luar biasa cepatnya.
Bayangan itu bukan lain adalah
Syanti Dewi! Seperti telah kita ketahui, puteri Bhutan yang cantik jetita ini
telah melarikan diri dari Kim-coa-to karena jijik melihat kenyataan betapa gurunya,
yaitu Ouw Yan Hui, dan Maya Dewi si nenek India ahli kecantikan itu melakukan
perbuatan-perbuatan mengerikan, yaitu suka berjina dengan sesama wanita. Sang
puteri melarikan diri dengan perahu dan kini dia telah berubah menjadi seorang
wanita yang luar biasa cantiknya berkat ramuan obat yang diberikan oleh Maya
Dewi. Di samping kecantikan yang luar biasa, bagaikan batu permata yang sudah
digosok, dia pun kini memiliki kepandaian istimewa, terutama sekali ilmu
ginkang yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya!
Dengan kepandaiannya yang
hebat itu, Syanti Dewi cepat menuju ke Bhutan.
Dia sudah merasa rindu kepada
kampung halaman, dan merasa berdosa telah meninggalkan ayah bundanya di
Kerajaan Bhutan. Apalagi ketika dia mendengar berita yang didapatnya di
sepanjang jalan bahwa di Bhutan terjadi pemberontakan dan bahwa hampir saja
Raja Bhutan menjadi korban, dia mempercepat perjalanannya menuju ke Bhutan.
Setelah tiba di daerah Bhutan, berita yang didapatnya lebih mengejutkan hatinya
karena berita ini menyatakan betapa dalam keadaan bahaya besar bagi ayahnya dan
Kerajaan Bhutan itu, kernbali muncul Ang Tek Hoat sebagai pahlawan dan
penolong! Akan tetapi, hatinya merasa gelisah bukan main ketika mendengar bahwa
pemuda itu luka-luka parah dan kini rebah di istana dalam keadaan menderita
sakit berat.
Syanti Dewi mendengar pula
akan adanya wanita yang memalsu dirinya, dan betapa pemberontakan itu dipimpin
oleh Mohinta yang telah tewas. Semua ini mendatangkan tanda tanya besar baginya
dan dia tidak mau memasuki Bhutan secara terang-terangan, melainkan memasuki
daerah istana itu setelah malam tiba. Bahkan dia bersembunyi di atas genteng
ketika melihat rombongan ayahnya memasuki kamar Tek Hoat, dan mendengarkan
percakapan mereka tanpa diketahui seorang pun.
Dengan kepandaiannya yang
sekarang, hal ini dapat mudah dilakukannya karena semua gerakannya sedemikian
ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun. Setelah ayahnya dan rombongan
ayahnya meninggalkan kamar itu, sejenak dia berdiam dengan hati terguncang
hebat. Apa yang didengarnya antara percakapan ayahnya dengan Panglima Jayin dan
tabib-tabib tadi benar-benar amat mengejutkan dan mengharukan hatinya. Tek Hoat
sakit parah dan mungkin takkan tertolong keselamatannya! Tek Hoat bukan parah
karena luka-lukanya, melainkan karena mengira dia telah mati, belum tahu bahwa
yang mati adalah wanita yang mertyamar sebagai dia!
Tek Hoat....!! Setelah dia
meluncur turun dan merobohkan dua orang pelayan sehingga mereka berdua itu
roboh pingsan tanpa mengenalnya, Syanti Dewi berlari menghampiri dipan di mana
tubuh Tek Hoat terbujur terlentang di atasnya.
Tek Hoat....!! Dia berbisik,
menubruk pemuda itu dan duduk di tepi pembaringan, memandang wajah yang kurus
pucat itu dengan hati penuh keharuan. Dia merasa terharu karena betapapun juga,
Tek Hoat telah membuktikan kesetiaannya terhadap Bhutan dan cinta kasih yang
mendalam kepada dirinya sendiri. Kekerasan hatinya yang pernah marah terhadap
Tek Hoat yang meninggalkannya tanpa pamit itu melunak, akhirnya mencair bersama
keluarnya air matanya dan bangkitlah rasa cintanya terhadap pemuda ini yang
memang belum pernah padam.
Perasaan duka dan iba memang
merupakan perasaan yang paling kuat untuk menggerakkan cinta kasih dalam batin
seorang wanita! Betapa sering dan banyak terbukti bahwa seorang wanita yang
menaruh iba dan merasa terharu, akan mudah sekali menyatakan cinta kasihnya.
Agaknya Puteri Bhutan itu juga
tidak terkecuali dan pada saat itu, keharuan dan iba hati mempengaruhi batinnya
dengan amat kuatnya sehingga hatinya yang memang sejak dahulu mencinta Tek
Hoat, kini bagaikan api berkobar lagi.
Tek Hoat, ahhh.... Tek
Hoat....!!
Dia meraba-raba pipi yang
kurus itu, air matanya bertitik turun di sepanjang kedua pipinya, semua
keangkuhan terbang pergi meninggalkan batinnya dan sang puteri yang cantik
jelita seperti bidadari kahyangan ini merangkul, menunduk dan mencium ujung
mulut Tek Hoat dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Getaran perasaan yang memuncak
itu agaknya terasa pula oleh Tek Hoat yang sedang rebah tidur atau dalam
keadaan setengah sadar. Dia membuka matanya yang sayu. Pandang mata yang sayu itu
bertemu dengan sepasang mata yang amat dekat, sepasang mata bening yang basah
air mata, wajah yang cantik, yang begitu dekat sehingga dia merasakan hembusan
napas yang hangat, wajah yang selama ini membuat dia seperti bosan hidup, wajah
Syanti Dewi yang telah meninggal dunia! Tiba-tiba sepasang mata yang sayu itu
terbelalak lebar, Tek Hoat tersentak kaget seperti melihat setan. Ada kekuatan
gaib yang menibuat dia seperti kemasukan kilat, membuatnya bangkit duduk.
Syanti Dewi....!! dia
menjerit, akan tetapi jeritannya itu hanya keluar seperti bisikan halus saja.
Tak mungkin....! Tak mungkin....! Engkau telah.... mati....!! Dengan sepasang
mata tak pernah berkedip, masih terbelalak, Tek Hoat berkata dengan suara
berbisik, dan dadanya bergelombang, napasnya terengah-engah.
Sambil tersenyum dengan mata
basah air nata, Syanti Dewi mengulur kedua tangannya, memegang lengan pemuda
itu dengan lembut sambil berkata, Tidak, Tek Hoat, tidak.... aku tidak
mati....! Sungguh mengharukan sekali wajah yang cantik itu, mulutnya tersenyum
lebar sehingga nampak deretan giginya yang seperti mutiara, akan tetapi air
matanya masih membasahi matanya dan menuruni pipinya.
Akan tetapi, Tek Hoat masih
dalam keadaan belum sehat benar lahir batinnya. Tiba-tiba saja dia mengibaskan kedua
tangan dara itu dari lengannya, sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan
dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya bersungut-sungut dan kedua
tangannya dikepal! Dia seperti melihat lagi bayangan Syanti Dewi bercumbu
dengan Mohinta, mendengar kata-kata penuh rayuan dan kegenitan dari Syanti Dewi
ketika bercumbu dalam kamar bersama pemberontak itu. Makin dikenang, makin
hebatlah kemarahannya dan akhirnya meledak dengan keras dalam bentuk kata-kata
yang parau penuh kebencian.
Enyah kau, perempuan lacur!
Perempuan hina dan rendah tak tahu malu! Engkau mengotorkan negaramu, engkau
mengotorkan cinta kasih kita, engkau mengotorkan bumi dengan kecabulanmu.
Pergi!!
Syanti Dewi terhuyung ke
belakang memegangi pipinya seolah-olah menerima tamparan keras dari Tek Hoat
dengan kata-kata itu. Wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang
wajah Tek Hoat dan air matanya makin deras bercucuran. Dia lalu memejamkan
matanya, menggigit bibirnya agar jangan menjerit.
Engkau telah berjina dengan
Mohinta! Berani engkau menyentuhku setelah melakukan perbuatan keji dan kotor
itu?! Setiap kata yang keluar dari rnulut Tek Hoat seolah-olah menghujam di ulu
hati Syanti Dewi, menimbulkan keperihan yang amat hebat sehingga dia menjadi
berduka sekali, kemudian kemarahan menguasai dirinya. Tiba-tiba dia meloncat ke
belakang, mukanya berubah merah matanya bersinar-sinar, dadanya bergelombang
dan napasnya sesak, dengan kemarahan yang luar biasa dia menudingkan telunjuk
kirinya ke arah muka Tek Hoat.
Tutup mulutmu yang kotor, Tek
Hoat! Engkau laki-laki tolol, keji dan jahat! Aku.... aku.... muak perutku
melihat mukamu! Uhhhhh....!! Syanti Dewi menutupi mukanya menahan tangis, lalu
sekali berkelebat dia sudah meloncat keluar kamar itu.
Sejenak Tek Hoat berdiri
seperti patung. Mukanya sudah berubah pucat lagi, seperti mayat hidup. Baru dia
sadar betapa dia sudah menghina puteri itu, memaki puteri itu, puteri yang
selama ini tak pernah dilupakannya, yang agaknya merupakan bayangan
satu-satunya yang masih mampu menahan sehingga nyawanya masih enggan
meninggalkan tubuhnya. Betapa dia mencinta wanita itu! Dan betapa dia telah
menghinanya dengan kata-kata keji dan maki-makian! Semua itu kini nampak nyata.
Syanti Dewi....!! Dia
berteriak lantang dan cepat meloncat, terhuyung dan keluar dari kamar itu
melalui jendela, melakukan pengejaran secepat mungkin, tidak lagi mempedulikan
kepeningan yang mengganggu kepalanya dan yang membuat pandang matanya kabur.
Dewi....! Syanti Dewi....,
jangan tinggalkan aku....!! Berulang-ulang Tek Hoat berteriak sekuatnya ketika
akhirnya dia dapat melihat bayangan wanita itu. Setengah malam suntuk dia telah
melakukan pengejaran, sampai bayangan wanita itu jauh meninggalkan Kota Raja
Bhutan, naik turun bukit dan fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia dapat
melihat Syanti Dewi masih berjalan cepat di sebelah depan.
Syanti Dewi...., jangan
tinggalkan aku....!! Dia berteriak sambil mengeluh dan terus berlari
secepatnya.
Syanti Dewi yang tahu betapa
Tek Hoat mengejarnya sejak semalam dan sengaja dia tidak mau berhenti, sambil
menangis terus berjalan cepat, kini tiba-tiba berhenti dan membalikkan
tubuhnya, berdiri di tengah jalan hutan yang kecil itu, berdiri tegak, bahkan
bertolak pinggang menanti datangnya pemuda itu.
Ah, Dewi...., kau tunggu....!!
Tek Hoat berkata lemah dan terhuyung-huyung sampai juga di depan dara itu.
Siapa yang lari meninggalkan
siapa? Tek Hoat, lupakah engkau betapa dulu engkau telah lari dari Bhutan tanpa
pamit, meninggalkan aku begitu saja? Tidak tahukah engkau, atau pura-pura tidak
tahu, betapa sampai mati-matian aku bersusah payah mencari-carimu, menempuh
banyak bahaya dan penderitaan, semua kulakukan untuk dapat mencari dan
menyusulmu? Beribu macam kesengsaraan kuderita demi untukmu seorang! Dan
sekarang, setelah kita saling bertemu, apa yang kudapatkan? Hanya fitnah dari
mulutmu yang keji, makian-makian dan kata-kata kotor! Aku muak! Aku tak sudi!!
Syanti Dewi lalu menangis dan menutupi mukanya, terisak-isak dengan hati terasa
perih sekali.
Tek Hoat berdiri bingung,
tubuhnya bergoyang-goyang, kepalanya masih pening, akan tetapi pikirannya mulai
berjalan, mulai sadar. Inilah Syanti Dewi yang aseli, dan kalau Syanti Dewi ini
masih hidup, jelas bahwa yang mati itu bukanlah Syanti Dewi! Dan kalau yang
mati bukan Syanti Dewi, berarti yang berjina dengan Mohinta tentu juga bukan
Syanti Dewi. Dan yang mencoba membunuh Raja Bhutan tentu bukan yang berdiri di
depannya ini pula!
Syanti.... Dewiku.... aku....
aku bingung...., aku melihat engkau berjina dengan Mohinta, aku melihat engkau menyerang
dan hendak membunuh Raja Bhutan ayahandamu sendiri, kemudian aku melihat
engkau.... engkau mati....!!
Itulah karena matamu telah
buta! Buta oleh cemburu! Tidak sadar bahwa engkau sendiri yang mengkhianati
ikatan cinta kita, engkau pergi meninggalkan aku begitu saja! Engkau tidak tahu
bahwa wanita itu adalah wanita lain yang dipergunakan oleh Mohinta untuk
memalsu aku! Dan engkau telah memaki aku dengan kata-kata kotor, menghinaku
seperti belum pernah ada manusia berani menghinaku selama hidupku ini....!
Kembali Syanti Dewi menangis.
Mulai teranglah kini bagi Tek
Hoat terhadap semua kenangan dan gambaran yang amat membingungkan hatinya itu
dan makin jelaslah baginya betapa dia telah melakukan hal yang amat keji dan
menyakitkan hati kekasihnya itu. Dewi .... ah, Dewi.... aku telah bersalah
besar, aku berdosa padamu, kaumaafkanlah aku, Dewi, kauampunkan aku....!
Apa? Maaf? Ampun? Setelah apa
yang kuderita selama setahun lebih, setelah apa yang kaukatakan dengan
kata-kata keji terhadap diriku? Tidak! Aku tidak sudi merendah lagi, aku sudah
cukup merangkak-rangkak dengan mencari-carimu selama ini! Aku tidak mau
menyembah-nyembah lagi, aku tidak mau mendambakan cintamu dengan mengemis!
Tidak, kini sudah tiba masanya, tiba saatnya bahwa engkau yang harus benarbenar
menunjukkan cintamu kepadaku. Engkau yang harus menyembah-nyembah, harus
menderita kalau mau mendapatkan cintaku! Nah, dengar kau, Tek Hoat. Aku muak
melihatmu, aku.... ah, aku....! Dia menutupi mukanya dan menangis makin keras
sampai sesenggukan.
Wajah Tek Hoat menjadi pucat
sekali, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Dia tahu akan kesalahannya.
Kata-katanya memang terlampau keji, padahal, kalau dia mengingatkan betapa
wanita ini telah menderita hebat demi untuk mencarinya setelah dia meninggalkannya
begitu saja! Ah, betapa besar dosanya.
Syanti Dewi.... Puteri....
ampunkan hamba....!! Dia menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri berlutut di
depan Syanti Dewi, menyembah-nyembahnya dengan muka pucat dan air mata
bercucuran.
Syanti Dewi terbelalak
memandang kepada pemuda yang berlutut dan menyembah itu, mukanya membayangkan
kekagetan hebat, menjadi pucat kemudian merah dan dia menjadi semakin marah.
Dengan gemas dia membanting-banting kakinya.
Uhhhhh! Laki-laki macam apakah
engkau? Laki-laki lemah, laki-laki canggung, laki-laki cengeng! Uh, mual
perutku melihatmu!! Dia terisak dan membalik, terus lari secepat kijang
melompat.
Syanti Dewi....!! Tek Hoat
mengangkat muka, terbelalak memandang gadis itu yang lari. Dia pun cepat
meloncat dan lari mengejar, akan tetapi terhuyung dan terguling roboh karena
matanya gelap. Dia merangkak, bangkit lagi dan berlari lagi terhuyung mengejar
Syanti Dewi yang sudah lari jauh di depan.
Dewiiiii....! Tungguuuuu.....,
jangan tinggalkan aku....!!
Akan tetapi wanita itu tidak
mau peduli, berlari makin cepat dan karena kini dia telah memiliki ilmu ginkang
yang amat tinggi, sebentar saja Tek Hoat tertinggal jauh dan akhirnya dia
lenyap dari pandang mata pemuda itu yang masih terus lari mengejar dengan terhuyung-huyung
dan akhirnya Tek Hoat merasa matanya gelap sehingga dia menabrak sebatang pohon
dan terpelanting, pingsan! Sunyi sekali di tempat itu setelah Syanti Dewi pergi
dan Tek Hoat roboh pingsan. Sinar matahari pagi menimpa wajah pucat dari pemuda
yang menggeletak terlentang tak sadarkan diri itu. Burung-burung berkicau
saling bersahutan sambil berloncatan di atas dahan-dahan pohon. Mereka itu
bernyanyi menyambut datangnya matahari ataukah mereka sedang membicarakan
persoalan manusia yang hidupnya selalu penuh dengan duka dan sengsara itu?
Matahari telah naik semakin
tinggi dan burung-burung telah meninggalkan pohon-pohon di hutan itu untuk
bertebaran ke empat penjuru mengikuti jalan sendiri-sendiri untuk mulai mencari
makan ketika serombongan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panglima Jayin
memasuki hutan itu dan menemukan Tek Hoat yang masih menggeletak pingsan.
Panglima Jayin terharu dan girang dapat menemukan pemuda ini, lalu digotonglah
pemuda itu dengan hati-hati, kembali ke istana di Kota Raja Bhutan. Panglima
ini telah dengan cepat memimpin pasukan untuk mengikuti jejak Tek Hoat dan
mencarinya setelah ada dayang yang menjenguk kamar sang pendekar dan melihat
dua orang pelayan masih roboh tak bergerak karena tertotok dan pendekar itu
lenyap dari atas pembaringan. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Syanti
Dewi, maka mereka semua, termasuk Panglima Jayin, menyangka bahwa Tek Hoat,
dalam keadaan bingung dan belum sadar benar, telah menotok dua orang pelayan
itu dan melarikan diri dari dalam kanmarnya.
Ketika siuman dari pingsannya
setelah dirawat oleh para tabib, Tek Hoat gelisah dan mulutnya
memanggil-manggil Syanti Dewi. Melihat keadaan pemuda ini, sri baginda lalu
mendesak kepada Panglima Jayin untuk menggiatkan kembali pencarian terhadap
puterinya sampai dapat.
Guncangan batin yang hebat
diderita oleh Tek Hoat sehingga untuk kedua kalinya dia rebah dan sakit,
kadang-kadang berteriak-teriak memanggil Syanti Dewi seperti orang gila,
kadang-kadang merenung dan menangis, seorang diri seperti anak kecil. Dalam
penderitaan ini, teringatlah dia akan semua perbuatannya sebelum dia berjumpa
dengan Syanti Dewi dan dia merasa menyesal sekali. Agaknya dosa-dosa yang
pernah dilakukannya di masa lalu itulah yang kini berbuah dengan kesengsaraan
batin yang amat hebat sebagai hukuman baginya.
***
Dia menjatuhkan dirinya yang
sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di
bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa
hatinya. Syanti Dewi menangis sampai mengguguk dan memijit-mijit betis kakinya
yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan
ilmunya berlari cepat, berlari terus sampai dia tidak kuat lagi dan akhirnya
terpaksa menjatuhkan diri di situ.
Tek Hoat....!! Nama ini keluar
dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya terasa
perih dan nyeri. Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu.
Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat menyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek
Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar seperti dia itu adalah
dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan. Namun,
pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya
karena sambutan Tek Hoat itu sungguh menyakitkan hati. Dia telah bertahun-tahun
menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam
bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri dalam usahanya mencari
kekasihnya. Dia telah berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda
itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati siapa tidak akan menjadi panas
karenanya? Makin diingatnya peristiwa tadi ketika Tek Hoat memakinya, makin
marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu
melakukannya bukan tanpa sebab.
Marah, dalam bentuk apa pun
juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya dirugikan,
lahir maupun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, akan tetapi
sering kali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku,
bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada bedanya dengan si aku karena
di dalam semua itu bersembunyi si aku yang menyamakan dirinya. Si aku ini
selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah
dia.
Dari pengalaman, atau
pelajaran kebudayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat
kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan.
Oleh karena ini maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau
setidaknya menekannya dan mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk
bersabar. Apakah belajar sabar! ini dapat membebaskan kita daripada kemarahan?
Kiranya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja. Belajar sabar
berarti penekanan terhadap kemarahan dan biarpun kadang kala nampaknya
berhasil, namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja. Api kemarahan
itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi
pengetahuan bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum
padam, hanya nampaknya saja padam karena tertutup oleh kesabaran, seperti api
dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di sebelah dalam masih
membara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali! Belajar sabar
menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi,
bersabar lagi dan seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya
sehar-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang padam, melainkan api semangat
kita sendiri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau sinis!
Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi
di luar, lahir, kita sabar.
Setelah melihat kenyataan ini
semua, tindakan apa yang harus kita ambil dalam menanggulangi kemarahan dalam
batin? Bagaimana kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul
apabila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin?
Melakukan tindakan apa pun
juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri daripada
kemarahan. Kemarahan tidak dapat dilenyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah
si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka
kalau kesenangannya terganggu, tentu marah. Jalan satu-satunya bagi kita
hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan dan hal ini hanya
dapat terjadi apabila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin mengubah, tanpa
ingin menekan atau melenyapkan! Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung
berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka merah dan mata mendelik,
kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu
seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan mengamati saja penuh
perhatian, penuh kewaspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai
menekan atau melenyapkan. Kalau kita memandang dan mengamati dengan penuh
perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada,
maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan musnah tanpa kita hilangkan
atau tekan. Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa
pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari! Dan kalau kemarahan sudah lenyap
sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan ditutup
sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi
kemarahan, apa perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang
dinamakan kesabaran itu.
Kemarahan dalam hati Syanti
Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa hidupnya
sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia.
Ah, betapa buruk nasibnya....!
dia mengeluh di antara tangisnya. Betapa jauh dari kebahagiaan....!
Gadis ini menghapus air
matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, termenung dengan hati sayu dan
sepi. Mulailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan
hidup! Apakah yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Harta bendakah? Dia adalah
seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang
diinginkannya dalam bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia
memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap tidak berbahagia. Jelas bukan
dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam kedudukan
dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja,
kedudukannya tinggi dan terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia
kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada harta benda, mendatangkan
kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup? Juga
tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan
hampa. Ataukah dalam cinta? Dia saling mencinta dengan Tek Hoat, akan tetapi
selama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari cintanya ini daripada sukanya.
Memang kasihan sekali dara
jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya yang
hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang
biasanya bening, jeli dan tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang
nampak oleh sepasang mata itu buruk dan membosankan belaka, seolah-olah
matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia terbenam dalam lautan duka yang makin
mendahsyat oleh gelombang iba diri.
Memang kasihanlah Puteri
Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang
harus menjadi sumber kesenangan menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas
keinginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian
sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta, sudah pasti pada suatu waktu
akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan
ternyata tidaklah seperti yang diharapkan semula. Setiap bentuk kesenangan
sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan
kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti
tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka
jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa hal itu
berarti bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan!
Kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan
terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.
Patutkah kalau kita menyamakan
cinta kasih dengan kesenangan? Benarkah anggapan sementara orang bahwa cinta
kasih adalah pemuasan berahi belaka? Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan
cemburu, kemarahan, kebencian, dan kedukaan?
Tidaklah mungkin untuk
menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah
benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan
cinta kasih kalau mendatangkan duka! Dan pementingan mendatangkan duka,
pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih!
Yang menimbulkan suka dan duka
bukan cinta kasih. Yang masih dicengkeram suka-duka tak mungkin mengenal
bahagia Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka
duka!
Merasa betapa dirinya amat
celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri. Semenjak
menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari
tokoh wanita majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya. Tidak, pikirnya
sambil mengepal tinju. Aku tidak akan membiarkan diri merendah lebih lama lagi!
Dia tidak akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya
kepada pemuda itu. Sudah tiba saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja!
Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima giliran, bersusah payah
mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut kepadanya,
membuktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya!
Syanti Dewi terbangun dengan
kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat
memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan membelalakkan mata, memandang ke kanan
kiri namun sunyi saja. Kiranya dia mimpi! Tanpa disadari, ketika melamun dengan
hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia tertidur saking lelahnya. Dan kini
matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai
remang-remang.
Perutnya terasa lapar bukan
main. Syanti Dewi meneliti keadaan di sekeliling tempat itu. Hutan yang sunyi,
bahkan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu
biasanya burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat
ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula bahwa di tempat itu tidak
terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perutnya amat lapar. Di hutan itu
tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun
terdekat. Agaknya dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam
itu!
Hemmm, pada hari dan malam
pertama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!! Dia
menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas. Kalau tidak ada Tek Hoat
yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya,
melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap
dengan gembira, menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang
disukainya. Dia berjalan menyusup lebih dalam ke hutan itu, dengan harapan akan
melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa mendapatkan
makanan, baik, secara meminta, membeli, atau mencuri sekalipun! Akan tetapi
ternyata hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di
padang rumput yang luas!
Sialan, pikirnya memandang ke
depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja ditiup
dan permukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan
karena bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di
saat itu, akan tetapi keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena
dia sedang merasa jengkel dan duka, apalagi rasa lapar di perutnya amat
menyiksa.
Memang demikianlah keadaan
hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebahagiaan itu SUDAH ADA di manapun dan
kapanpun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak
terasa oleh kita apabila batin kita penuh dengan masalah-masalah kehidupan,
penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, keputusasaan, kemarahan, kebencian,
yang kesemuanya itu mendatangkan duka. Jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan
itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari segalanya berada di
dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pamrih, bebas
dari segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, maka akan
nampaklah segala keindahan yang terbentang di hadapan kita, di manapun dan
bilamanapun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta kasih! Hal-hal seperti ini
tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa
belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.
Makin besar penderitaannya,
makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat. Makin
besar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk
membiarkan Tek Hoat menderita sebelum dia mau mengalah!. Dia sudah membuktikan
cintanya terhadap Tek Hoat, maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu
membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara untuknya! Aihhh, betapa
sudah gilanya orang yang tercengkeram oleh cinta! Cinta yang sesungguhnya bukan
lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain!
Tiba-tiba Syanti Dewi
mendengar suara gaduh dan dari depan nampak serombongan orang berlari-lari
ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul. Ah, ada orang! Hati puteri itu
menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan! Akan tetapi dia
segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan
ketakutan dan dari pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah
orang-orang dusun. Anehnya, di antara mereka terdapat pula orang-orang yang
agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat dan gerak-gerik
mereka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun!
Ketika orang-orang itu melihat
Syanti Dewi di tepi hutan, mereka memandang dengan terheran-heran karena
sungguh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara sedemikian cantiknya,
lebih mirip bidadari daripada manusia, sendirian saja di tepi hutan pada waktu
senja seperti itu! Orang-orang yang memang sedang panik dan ketakutan ini,
makin menjadi takut, mengira bahwa Syaoti Dewi sudah pasti bukan manusia,
kareka kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian
saja di senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak
tahu lagi harus lari ke mana.
Akan tetapi, beberapa orang
yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan kaget,
kemudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan
diri di depan kaki dara bangsawan itu.
Sang Puteri.... tak disangka
hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini...., mari hamba antarkan pulang
dengan segera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!!
Syanti Dewi mengerutkan
alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan
karena daerah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan. Siapakah kalian dan mengapa
kalian berlari-lari seperti ini?! tanyanya tenang.
Hamba berlima adalah
pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Jayin untuk mencari jejak Paduka.
Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika
hamba sekalian tiba di dusun di luar padang rumput ini, hamba melihat
serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun. Sebagai
perajurit-perajurit Bhutan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan
menentang gerombolan itu, akan tetapi Sungguh celaka, Sang Puteri....!
Melihat orang yang bercerita
itu kelihatan berduka dan empat orang perajurit lainnya kelihatannya
takut-takut dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak, Mengapa? Apa
yang terjadi selanjutnya?!
Sementara, itu, orang-orang
dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti
Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah
Puteri Bhutan yang amat terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri
ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga memiliki kepandaian tinggi,
maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini secara aneh di tepi hutan,
apalagi melihat lima orang yang lihai itu demikian menghormatinya, mereka pun
menjadi girang dan timbul harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa.
Sungguh celaka, Sang Puteri,
gerombolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian dipukul
mundur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima
tentu akan tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan.
Hamba hendak melapor ke kota raja.!
!Hemmm, siapakah mereka itu?
Dan apa yang mereka lakukan di dusun?! Syanti Dewi bertanya dengan marah.
Hamba sendiri tidak tahu
siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula-mula yang muncul
hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun
itu. Akan tetapi, munculnya kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu
yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama sekali dikuasainya.
Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata
dusun itu mereka jadikan semacam tempat pertemuan besar antara orang-orang
cebol. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan
setiap hari untuk mereka, dan selain mereka menuntut makanan yang mahal-mahal,
juga mereka mulai mengganggu wanita....!!
Keparat!! Syanti Dewi mengepal
tinju dengan marah.
Penduduk dusun tidak ada yang
berani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di dusun itu
dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka,
hamba lalu menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan
orang-orang cebol itu mengamuk, membunuhi orang-orang dusun karena menuduh
penduduk dusun sengaja melapor kepada perajurit-perajurit kerajaan.!
Hemmm, kalau begitu kalian
boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sendiri akan menghadapi mereka.!
Akan tetapi, mereka itu lihai
bukan main....! perajurit itu berkata dengan khawatir.
Aku tidak takut. Besok
pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun,
dan kalian sekarang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.!
Lima orang perajurit itu
memberi hormat dan segera melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja, sedangkan
Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil
mendengarkan penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada
mereka memasakkan makanan sekedarnya dari perbekalan mereka. Biarpun masakan yang
dihidangkan dari perbekalan mereka itu adalah masakan sederhana sekali dari
para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum pernah dia makan
selezat itu selama ini! Sambil mendengarkan penuturan orang-orang dusun
sebangsanya itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh
kagum dan hormat dari puluhan pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu.
Siapakah sebenarnya gerombolan
orang cebol yang telah mengacau dalam dusun itu? Kakek cebol pertama yang
memasuki dusun itu bukan lain adalah Su-ok Siauwsiang-cu, orang ke empat dari
Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akherat)! Seperti telah kita ketahui, Twa-ok,
Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti dan mereka
berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan
tantangan kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir
yang berada di dataran Bukit Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh
Pendekar Super Sakti! Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat
mengadakan persiapan untuk keluar sebagai pemenang dalam pertemuan itu, karena
mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah mengalahkan
mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat menebus kekalahan
dengan persiapan sebaik mungkin. Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol
yang tingginya hanya satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi
ke barat untuk minta bantuan dari saudara-saudaranya, yaitu sekumpulan orang
cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan Himalaya, di sebelah
timur batas Kerajaan Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat
ini dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga
semua bertubuh cebol katai seperti dia!
Seperti juga Su-ok
Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang
menjadi saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk golongan orang baik-baik.
Maka ketika mereka berkumpul di dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat
berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan hanya memaksa penduduk
untuk memasakkan daging dan mencari arak untuk mereka berpesta-pora, akan
tetapi bahkan mereka tidak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk
menemani mereka dan melayani mereka!
Daerah Pegunungan Himalaya
memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak bagian dari
daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan
amat luas, juga terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar
sekali didaki. Menurut dongeng, banyak daerah rahasia yang tersembunyi dan
tidak pernah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat rahasia ini
tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat
manusia-manusia salju yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada
pula manusia-manusia monyet, yaitu monyet-monyet besar yang bertubuh manusia
atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di Himalaya ini pula
tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang aneh-aneh
lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan
masing-masing pula. Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh
pula yang bertempat tinggal di sebuah lereng Pegunungan Himalaya dan yang
menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudara-saudara pula dan
hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di
antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan)
dari Su-ok, maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka itu setelah kini
berkumpul menjadi satu di dusun itu! Pertemuan ini selain dimaksudkan oleh
Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam
pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupakan
pertemuan gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya,
orang-orang cebol itu yang hidup dalam keadaan miskin sederhana di lereng
mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun yang lemah
untuk melayani mereka.
Karena khawatir kalau-kalau
tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka Su-ok
bertugas untuk minta bantuan saudara-saudaranya, juga sekalian mengundang
Sam-ok atau Koksu Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di
mana dia berkumpul dengan saudara-saudaranya ini.
Sungguh patut dikasihani para
penduduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biarpun jumlah mereka
hanya ada belasan orang, dan rata-rata bertubuh kecil pendek pula, namun setiap
orang penduduk dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja
roboh muntah darah! Maka, ketika mereka itu menculik beberapa orang wanita
muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga mereka, hanya
mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal mereka hanya
dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam
rumah-rumah terbesar di dusun itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para
orang cebol. Su-ok sendiri bersama lima orang sutenya berpesta-pora dalam kuil,
dilayani oleh lima orang gadis tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh
lima orang sutenya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi suka mengganggu
wanita, dan hanya membiarkan lima orang sutenya dan para saudara lain untuk
memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu
menjerit dan menangis, takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai
yang buas itu. Akan tetapi, melihat betapa semua laki-laki di dalam dusun itu
tidak ada yang berani menentang, akhirnya wanita-wanita yang dipilih oleh
gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis. Juga lima
orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sutenya makan minum di
dalam kuil, tidak lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram
durja, dengan pakaian dan rambut kusut, muka pucat dan air mata sudah
mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka diraba, mereka
itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau
tersenyum.
Keadaan lima orang sute dari
Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu sendiri.
Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang sudah
berusia sedikitnya empat puluh tahun, dan tidak ada seorang pun di antara
mereka yang berwajah menyeramkan, sungguhpun tidak ada pula yang dapat disebut
tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek kecil, mereka itu nampak
seperti anak-anak yang sudah tua! Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu
daripada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka demikian buas, terutama
sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian
penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak-kanak lagi, maka para wanita itu
merasa jijik dan juga takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil,
namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke kamar masing-masing, mereka buas
melebihi binatang liar! Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang
gadis itu kelihatan jinak, akan tetapi sebetulnya mereka itu bukan jinak, melainkan
sudah patah semangat mereka untuk melawan, penderitaan mereka sudah melampaui
batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang
berwajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka
menurut saja apa yang diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti
mayat-mayat hidup.
Eh, Suheng, apakah engkau
sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari
wanita?!
Ha-ha-ha, Suheng agaknya
hendak menjadi dewa, maka tidak mau menjamah wanita!!
Mendengar kelakar para sutenya
itu, Su-ok tertawa bergelak. Siapa mau menjadi pertapa atau dewa? Ha-ha-ha, aku
masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku
bosan dengan perempuan, kecuali kalau.... eh, kalau ada seorang perawan yang
benar-benar cantik molek. Katakanlah.... eh, puteri istana. Nah, kalau ada
perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala macam perawan
dusun? Huh, menghambur-hamburkan sumber tenaga saja! Padahal kita akan
menghadapi lawan tangguh.!
Lima orang sutenya menyeringai
dan tangan kiri mereka segera meraih pinggang ramping dari tawanan
masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di
atas pangkuan lima orang cebol itu. Sambil menggunakan tangan kiri menggerayangi
tubuh-tubuh wanita itu yang hanya memejamkan mata dan menggeliat sedikit, lima
orang cebol itu melanjutkan makan minum.
Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini
menjadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih beratnya?
Biarpun lawan itu mempunyai nama menjulang setinggi langit seperti.... apa yang
kaukatakan tadi, Pendekar Super Sakti? Biarpun namanya setinggi langit,
menghadapi ilmu kami berlima yang baru kami ciptakan, tanggung dia akan
terjungkal!!
Benar, Suheng, tidak perlu
khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri,
bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan
barisan berlima dan kami namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur
Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang lawan mempunyai kepandaian seperti
dewa sekalipun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!!
Mendengar ucapan para sutenya
itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bahwa masing-masing sutenya ini
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah daripada
tingkatnya sendiri, dan mungkin setingkat dengan kepandaian Ngo-ok, maka kalau
mereka berlima ini berhasil menciptakan barisan seperti itu, agaknya tentu amat
lihai. Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sutenya ini berhasil
mengalahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para
sutenya, kedudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik!
Tapi engkau hanya mau kalau
mendapatkan perawan istana, wah, wah, jangkauanmu terlalu tinggi, Suheng!
Puteri istana? Ha-ha-ha, untuk itu engkau harus lebih dulu menghadapi bala
tentara kerajaan yang laksaan orang jumlahnya. Mana mungkin?!
Su-ok hanya tersenyum lebar
karena pada saat itu dia memang tidak berselera untuk main-main dengan wanita.
Mereka melanjutkan makan minum dan lima orang sute dari Su-ok itu mulai mabuk,
mereka tertawa-tawa dan mereka makin buas mempermainkan wanita tawanan
masing-masing secara terbuka sehingga lima orang wanita itu makin tersiksa,
akan tetapi rintihan dan keluhan mereka hanya lirih saja karena mereka sudah
tahu betapa tangis dan jerit tidak akan menolong keadaan mereka.
Malam makin larut dan
tiba-tiba pintu ruangan kuil itu terbuka dari luar dan muncullah seorang cebol
yang masuk dengan muka pucat. Twako....., celaka.... ada seorang musuh menyerbu!!
katanya sambil memandang kepada Su-ok.
Su-ok bangkit berdiri, alisnya
berkerut. Hemmm, hanya ada seorang musuh saja, mengapa engkau begitu ribut?!
Tapi.... dia..... dia itu
lihai bukan main.... beberapa orang dari kami telah roboh....!
Keparat! Siapa dia?! Su-ok
marah sekali mendengar di antara saudaranya ada yang roboh.
Entahlah.... dia seorang
wanita cantik.... dan dia merobohkan A-chui yang berada dalam kamar seorang
wanita.... dan dua orang saudara kami lagi roboh ketika mengeroyoknya. Dia kini
sedang dikepung, akan tetapi dia lihai sekali maka aku pergi mencari Twako....!
Biarkan kami pergi, Suheng!!
kata lima orang cebol itu yang sudah berdiri dan melepaskan wanita tawanan
masing-masing. Su-ok mengangguk dan dengan cepat lima orang cebol itu meloncat
keluar, diikuti oleh Su-ok.
Kagetlah hati Su-ok dan lima
orang sutenya ketika mereka tiba di tengah dusun, di pekarangan rumah kepala
dusun yang diterangi oleh beberapa buah lampu gantung besar sehingga keadaan di
situ cukup terang. Mereka melihat belasan orang saudara mereka mengeroyok
seorang wanita cantik dan gerakan wanita itu sungguh membuat mereka terkejut
setengah mati karena gerakan itu amat cepatnya seolah-olah tubuh wanita itu
seperti seekor burung terbang saja! Dan sudah ada tiga orang saudara mereka
yang roboh dan merintih kesakitan, tak mampu bangun lagi.
Tahan....!! bentak seorang di
antara lima orang sute dari Su-ok dengan suara nyaring. Dia ini adalah pimpinan
dari lima orang itu, tubuhnya juga kate seperti saudara-saudaranya, namun
mukanya penuh brewok, rambutnya juga tebal panjang, tidak seperti yang
lain-lain karena sebagian besar dari orang-orang cebol itu seperti Su-ok,
miskin rambut dan banyak yang botak!
Melihat munculnya Su-ok dan
lima orang sutenya, para orang cebol yang sudah kewalahan itu menjadi girang
dan mereka mundur, membiarkan enam orang tokoh jagoan mereka turun tangan. Akan
tetapi Su-ok yang ingin sekali menyaksikan kehebatan lima orang sutenya dan
yang kini mendapatkan kesempatan untuk menguji mereka sudah meloncat ke samping
dan memberi isyarat kepada mereka semua untuk mundur sehingga kini lima orang
sutenya yang mengurung wanita cantik itu. Dia memperhatikan dan merasa heran
karena wanita ini belum pernah dilihatnya, akan tetapi wanita ini benar-benar
amat cantik jelita dan anggun. Sebagai seorang yang bermata tajam dan banyak
pengalaman, dia tahu bahwa wanita ini bukan seorang muda lagi sungguhpun amat
cantik dan kelihatan muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun
nampaknya, dan jelaslah bahwa wanita ini bukan seorang perawan. Akan tetapi dia
merasa kagum karena tadi dia telah melihat gerakan ginkang yang amat luar
biasa, dan dapat menduga bahwa wanita ini tentu seorang ahli ginkang yang lihai
sekali. Selain cantik jelita, juga wanita itu memakai pakaian yang indah
gemerlapan, dari sutera mahal, rambutnya digelung tinggi ke atas dan dihias
dengan taburan permata. Seperti seorang puteri bangsawan saja!
Dugaan Su-ok tidaklah benar,
sungguhpun wanita itu memang patut menjadi seorang puteri atau ratu istana! Dia
itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, majikan dari Pulau Ular Emas!
Tidaklah mengherankan kalau gerakannya amat cepat luar biasa, karena dia
berjuluk Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) dan dia telah mewarisi ilmu ginkang
yang amat hebat dari Kim Sim Nikouw.
Seperti telah kita ketahui,
wanita ini hidup sebagai ratu di Kim-coa-to dan telah diceritakan pula bahwa
selama beberapa bulan lamanya Puteri Bhutan Syanti Dewi tinggal di pulau itu
dan menjadi murid wanita cantik ini dan Syanti Dewi akhirnya melarikan diri
karena tidak tahan melihat kebiasaan aneh yang dianggapnya mengerikan dan
menjijikkan dari gurunya dan juga Maya Dewi, nenek cantik yang memiliki ilmu
mempercantik diri dan membikin wanita awet muda itu. Apalagi ketika dia pun
mulai terancam oleh mereka itu untuk diajak melakukan perbuatan yang dianggap
mengerikan itu, yaitu permainan cinta antara wanita dengan wanita, maka Syanti
Dewi lalu melarikan diri.
Ketika mengetahui bahwa puteri
itu melarikan diri, Ouw Yan Hui terkejut bukan main, karena dia sudah
benar-benar jatuh cinta kepada muridnya itu. Dia merasa menyesal telah membikin
takut muridnya, dan dia merasa bahwa kalau dia harus berpisah dari Syanti Dewi,
dia tentu akan merasa berduka selalu, maka wanita ini lalu melakukan pengejaran
dan mencari-cari. Karena dia menduga bahwa muridnya itu tentu kembali ke
Bhutan, maka dia pun tidak ragu-ragu melakukan perjalanan jauh sampai ke tapal
batas negara Bhutan dan pada sore hari itu tibalah dia di dusun, di mana
gerombolan orang cebol sedang membikin kekacauan.
Ketika mendengar jerit tangis
wanita dari sebuah rumah, Ouw Yan Hui cepat menyerbu rumah itu dan melihat
seorang laki-laki cebol sedang memperkosa seorang wanita, kemarahannya
memuncak. Seperti kita ketahui, Ouw Yan Hui adalah seorang wanita yang membenci
pria karena dia pernah dibikin patah hati oleh pria. Karena inilah maka dia
lebih mendekati wanita dan melakukan praktek-praktek perjinaan antara sesama
wanita. Maka, begitu melihat seorang wanita muda menjerit-jerit dan
meronta-ronta dalam terkaman seorang laki-laki cebol yang buas itu, dia segera
menerjang maju dan sekali tangkap dan renggut, dia dapat melepaskan laki-laki
cebol itu dari wanita yang diperkosanya, kemudian melemparkan laki-laki cebol
itu keluar. Sebelum laki-laki itu sempat bangkit, Ouw Yan Hui yang bergerak
ringan seperti burung terbang telah berada di sampingnya dan dengan penuh
kebencian wanita ini lalu mengejar laki-laki cebol yang telanjang bulat itu
dengan tendangan-tendangan kakinya. Laki-laki itu berusaha mengelak dan
menangkis karena dia bukanlah orang lemah, namun setiap kali hendak bangkit,
dia roboh lagi oleh tendangan-tendangan yang amat tepat dan amat keras
datangnya. Akhirnya, laki-laki itu roboh pingsan setelah muntah darah dan
seluruh tubuhnya lukaluka oleh tendangan-tendangan yang dilakukan dengan penuh
kemarahan itu.
Tentu saja peristiwa ini
menimbulkan kegemparan besar. Dua orang cebol yang mendengar suara gaduh itu
memburu keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati mereka melihat
seorang wanita cantik sedang menyiksa seorang kawan mereka dengan
tendangan-tendangan keras yang membuat kawan mereka itu terguling-guling tanpa
mampu melawan sama sekali, bahkan kawan mereka itu terkulai seperti mati.