Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 59 - Mimpi Buruk
Karena membuang muka, Hwee Li
tidak melihat betapa pandang mata kakek itu makin berseri, karena sikap dara
ini amat menarik hatinya dan menimbulkan rasa suka di hatinya.
Hwee Li, ketika aku diserang
oleh wanita itu, mengapa engkau membelaku? Bukankah wanita itu bibi gurumu?
Mengapa engkau berani melawan bibi guru sendiri?!
Huh, bibi guru macam apa dia?
Jangankan bibi guru, biar ayah sendiri, kalau jahat, tentu akan kutentang!!
jawab Hwee Li marah.
Kakek itu makin tertarik.
Gadis ini benar-benar luar biasa. Jarang menemukan seorang gadis yang begini
keras namun tegas dan wajar, penuh kepolosan dan keberanian. Mirip watak
mantunya, isteri dari muridnya!
Bukankah engkau sudah
mendengar dari bibi gurumu bahwa ayahmu tewas karena aku? Bukankah Hek-tiauw
Lo-mo itu ayah kandungmu?!
Sama sekali bukan!! Hwee Li
makin gemas karena dia diingatkan akan keadaan keluarganya yang hanya
mendatangkan kesialan baginya. Dia adalah musuh besarku!!
Hemmm.... bagaimana pula ini?!
Kakek itu bertanya dan tersenyum.
Sebenarnya aku tidak suka
bicara tentang ini, Kek, akan tetapi agar engkau tidak menjadi penasaran dan
bingung, biarlah kuceritakan kepadamu. Memang aku dan semua orang tadinya
menganggap Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungku. Akan tetapi kini telah terbuka
kedoknya. Dia sama sekali bukan ayah kandungku, bahkan dia musuh besarku yang
dulu menculik ibuku dan menjadi sebab kematian ibuku. Ah, andaikata dia itu
ayahku sendiri sekalipun, tetap saja kutentang karena dia jahat.!
Kakek itu memandang dengan
penuh perhatian.
Kau akan menentang ayah
kandung sendiri?!
Tentu!! Hwee Li berkata gemas
dan mengepal kedua tinju tangannya, lalu bangkit berdiri dan berdongak
memandang ke udara. Apa artinya ayah kandung kalau dia jahat? Dia hanya akan
melumuri aku dengan kekotoran namanya! Nama busuk seorang ayah akan diwarisi
anaknya yang tidak bersalah, mendatangkan kesialan, membuat aku dibenci orang,
hanya karena orang tua....!! Dan tiba-tiba Hwee Li menangis dan
membanting-banting kakinya.
Sepasang mata kakek itu
terbelalak. Dia membiarkan gadis itu menangis sesunggukan sambil menutupi muka
dengan kedua tangan. Akan tetapi tidak lama Hwee Li menangis. Dia tadi menangis
karena mendapat kesempatan menumpahkan rasa penyesalan dan penasaran hatinya,
teringat betapa Kian Lee menyia-nyiakan dan meninggalkannya hanya karena dia
keturunan pemberontak! Kekerasan hatinya membuat tangisnya itu hanya sebentar
lalu mereda.
Melihat ini, Dewa Bongkok
menarik napas panjang. Hwee Li, apakah orang tuamu sendiri, ayah kandungmu,
juga seorang jahat seperti Hek-tiauw Lo-mo?!
Hwee Li menggeleng kepala. Dia
tidak mengenal kakek ini. Dan karena kakek ini orang asing, orang asing yang
kebetulan saja kini terlibat menjadi orang yang menjadi tempat pencurahan semua
rasa penasaran hatinya, maka dia tidak ragu-ragu untuk bicara tentang dirinya
sendiri. Aku sendiri tidak pernah melihat ayah kandungku, Kek. Entah dia orang
baik atau jahat aku pun tidak tahu. Hanya karena dia dikenal sebagai seorang
pemberontak, maka orang lalu menghinaku, bahkan orang yang paling baik.... yang
paling kucinta.... telah meninggalkanku. Kek, apa sih salahnya orang yang
menjadi anak pemberontak? Ayah kandungku memberontak ketika aku masih bayi, aku
tidak tahu mengapa dan untuk apa dia memberontak. Akan tetapi mengapa semua
orang benci kepadaku?!
Kakek itu menarik napas
panjang dan menengadah seolah-olah dia bicara kepada awan yang berarak di
langit, bukan kepada Hwee Li, Begitulah memang pendapat umum, watak masyarakat
yang sudah membudaya! Manusia dinilai dari keturunannya, dari agamanya, dari
kedudukannya, dari harta bendanya, dari pengetahuannya. Betapa menyedihkan ini.
Dan karena penilaian didasarkan atas semua itu, maka manusia lalu memperebutkan
semua itu yang dianggap sebagai syarat untuk dapat hidup mulia! Manusia
dianggap seperti pohon-pohon, pohon yang buahnya masam pasti menghasilkan bibit
yang masam pula. Manusia yang dianggap jahat pasti menurunkan anak yang jahat
pula! Betapa menyedihkan anggapan ini! Dan betapa banyaknya anak-anak yang
tidak berdosa menjadi korban nama buruk orang tuanya. Memang tidak adil! Bahkan
menilai seseorang sebagai jahat pun tidak adil. Kehidupan ini selalu berubah.
Manusia pun selalu mengalami perubahan, ada kalanya dia dianggap jahat, ada
kalanya dia dianggap baik. Anggapan itu hanya penilaian belaka, tergantung
kepada kepentingan si penilai. Aih, Hwee Li, kalau orang menganggap engkau
rendah dan hina, maka yang jelas dia itulah yang rendah dan hina, karena
anggapan seperti itu sudah rendah namanya. Mengapa engkau hiraukan benar?
Jangankan hanya beberapa orang yang menganggapmu jahat, kalau engkau meneliti
diri sendiri dan mendapat kenyataan bahwa engkau tidak jahat, peduli apa?
Biarlah semua orang menilaimu jahat. Hidup bukan tergantung daripada penilaian
orang lain. Yang penting adalah mengamati diri sendiri. Biar tidak ada seorang
pun manusia lain mengetahuinya, akan tetapi kalau dalam pengamatanmu itu engkau
melihat dirimu kotor, haruslah segera dibersihkan! Jadi, yang penting bukan
penilaian orang lain, melainkan pengamatan diri sendiri terhadap diri sendiri.
Mengertikah engkau, Hwee Li?!
Ucapan kakek yang dilakukan
dengan suara halus itu meresap ke dalam hati sanubari Hwee Li dan gadis itu
merasa bangkit kembali semangatnya, Engkau benar, Kek! Terima kasih. Akan tetapi,
aku pun tidak akan peduli penilaian orang lain, biar orang sedunia sekalipun,
hanya.... karena mereka berdua itulah yang membuat hatiku terasa perih....,
penilaian mereka berdua yang kini menjauhiku membuat hatiku merana.!
Hemmm, mereka berdua itu siapakah?
Mengapa justeru mereka berdua yang kauhiraukan?!
Dia.... dia.... pacarku, Kek.
Dan yang seorang guruku....!
Diam-diam kakek itu terharu
juga. Dara ini sungguh amat jujur, tidak seperti orang lain yang malu-malu
kucing dan menyembunyikan perasaannya. Dara ini berterus terang, apa adanya,
dan amat menarik hatinya.
Hemmm, mereka itu tidak
bijaksana. Tidak mengherankan kalau pacarmu memiliki pandangan umum seperti itu
karena tentu dia masih muda dan hijau. Akan tetapi gurumu, mengapa dia sepicik
itu pula?!
Guruku pun masih muda, Kek,
tidak banyak selisihnya usianya dengan pacarku. Dia pantas menjadi enciku. Aku
amat sayang kepadanya dan dia pun tadinya amat cinta kepadaku, akan tetapi
setelah dia tahu bahwa aku keturunan pemberontak.... dia memutuskan
hubungan....! Hwee Li memejamkan mata menahan air matanya yang sudah membikin
panas kedua matanya lagi.
Hemmm, gurumu masih begitu
muda? Dan kau sudah selihai itu? Tentu gurumu lihai sekali.!
Tentu saja dia lihai! Suaminya
lebih lihai lagi, Kek. Suaminya adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir!!
Karena kakek itu menundukkan
mukanya, Hwee Li tidak melihat keheranan yang membayang di kedua mata kakek
itu. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran. Kiranya gadis yang amat menarik
hatinya ini adalah murid dari Ceng Ceng, isteri muridnya sendiri! Dia memang
pernah mendengar bahwa isteri muridnya itu mempunyai seorang murid yang selama
beberapa bulan pernah pula ikut ke Istana Gurun Pasir, akan tetapi dia tidak
pernah tahu siapa namanya dan tidak pernah pula saling bertemu. Memang selama
itu dia hanya bertapa saja, menyendiri di kamar rahasia dalam istana itu.
Dan tadi ketika melawan Mauw
Siauw Mo-li, Hwee Li juga tidak pernah menggunakan jurus dari aliran Dewa
Bongkok maka dia tidak mengenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa sesungguhnya
gadis ini menjadi murid Ceng Ceng hanya dalam hal penggunaan racun dan
pukulan-pukulan beracun saja, dan mendapat bimbingan untuk mematangkan
ilmu-ilmu yang telah dimilikinya, yaitu yang dipelajarinya dari Hek-tiauw
Lo-mo. Sebaliknya, Hwee Li tentu saja tahu bahwa suami dari gurunya adalah
murid seorang manusia dewa yang berjuluk Si Dewa Bongkok atau Go-bi Bu Beng
Lojin, akan tetapi karena belum pernah jumpa, sama sekali dia tidak pernah
mimpi bahwa kakek yang ditolongnya ini adalah kakek gurunya itu! Apalagi dia
membayangkan kakek guru itu sebagai dewa yang tidak pernah memperlihatkan diri
kepada manusia lain.
Hening sampai lama semenjak
Hwee Li menyebut nama Naga Sakti Gurun Pasir tadi. Berbagai pikiran memenuhi
kepala Dewa Bongkok dan dia sudah mengambil keputusan mengenai gadis ini.
Hwee Li, maukah engkau menjadi
ahli waris ilmu silat yang akan membuat engkau tidak mudah dikalahkan orang,
apalagi kalau hanya oleh orang seperti wanita tadi? Maukah engkau mempelajari
ilmu simpananku yang belum lama kuciptakan?! Tiba-tiba kakek itu bertanya.
Dan menjadi muridmu, Kek?!
Hwee Li mengangkat muka memandang. Dia merasa pernah melihat sepasang mata
mencorong seperti itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana. Dia lupa bahwa
yang memiliki mata mencorong seperti itu adalah suami gurunya, Si Naga Sakti
Gurun Pasir! Akan tetapi, aku belum mengenalmu.!
Hemmm, tidak perlu mengenal.
Engkau sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi tewas karena mereka
itu menyerangku dan aku menderita luka parah. Biarpun aku telah menyembuhkan
luka itu, namun aku perlu beristirahat dan mengingat usiaku sudah amat tua,
kalau tidak sekarang kuturunkan kepada seseorang, tentu aku tidak akan sempat
lagi mewariskan kepada orang lain. Kau cocok untuk menjadi ahli warisku, Hwee
Li.!
Kalau begitu aku tidak perlu
menjadi muridmu?!.
Murid atau bukan hanya sebutan
saja. Aku percaya bahwa di tanganmu, ilmuku tidak akan sia-sia.!
Baiklah, Kek. Akan tetapi, aku
harus melakukan perjalanan jauh menyusul dia....!!
Pacarmu?!
Benar. Aku masih penasaran.
Dia tidak boleh membawa-bawa aku ke dalam keburukan nama ayah kandung yang sama
sekali tak pernah kukenal itu. Dia tidak adil dan aku harus menegurnya!!
Baaus! Memang engkau benar,
dan pacarmu itu picik. Dia tentu seorang pemuda bodoh, mengapa engkau memilih
pacar macam dia?!
Uwah! Kakek terlalu memandang
rendah dia! Engkau tidak tahu siapa dia, Kek, dia adalah Suma Kian Lee, putera
dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!!
Kembali kakek itu terkejut
bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Ah, kiranya
begitu? Sungguh kebetulan sekali aku memilihmu sebagai ahli waris ilmuku karena
dengan ilmu itu engkau harus dapat melindungi Pendekar Super Sakti.!
Eh, apa maksudmu, Kek?!
Menurut pengakuan Hek-hwa Lo-kwi
sebelum dia tewas oleh ulahnya sendiri, di gurun pasir di dataran Bukit
Chang-pai-san akan diadakan pertemuan yang pasti akan menjadi pertandingan
mati-matian antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok, maka mereka ini
tentu mendatangkan jagoan-jagoan untuk membantu mereka mengeroyok Pendekar
Super Sakti. Kalau aku tidak sedang terluka, tentu aku akan dapat mendamaikan
mereka dan melindungi Majikan Pulau Es itu, akan tetapi aku terluka, maka aku
sengaja memilihmu untuk mewarisi ilmuku dan mewakili aku melindungi pendekar
sakti itu.!
Jadi untuk itukah maka engkau
hendak menurunkan ilmu itu kepadaku, Kek?!
Sebagian, yang terutama, untuk
itu. Akan tetapi juga karena aku suka melihatmu, Hwee Li.!
Biarpun aku keturunan
pemberontak?!
Hemmm, mereka yang menghinamu
karena keturunanmu akan kutegur kalau aku sempat bertemu dengan mereka. Mereka
itu tolol dan picik!!
Besarlah hati Hwee Li
mendengar ini. Kakek ini adalah orang pertama yang bukan saja tidak merendahkan
keturunannya, bahkan hendak membelanya dan lebih dari itu, hendak menurunkan
ilmunya kepadanya. Dan mengingat betapa kakek ini dapat merobohkan Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apalagi sudah dapat dia buktikan kesaktiannya ketika
memberi petunjuk dia menghadapi Mauw Siauw Mo-li, dia yakin bahwa ilmu yang
akan diturunkan itu tentu hebat bukan main.
!Nah, sekarang bersiaplah,
Hwee Li. Engkau harus menghafal kauw-koat (teori silat) lebih dulu, baru kuberi
petunjuk tentang gerakan-gerakannya, yaitu gerakan dasar dan gerakan pokok.
Kita hanya memiliki waktu sebulan lebih lagi, yaitu pada malam bulan purnama
bulan depan.!
Mana mungkin menghafal ilmu
yang hebat hanya dalam waktu sesingkat itu?! tanya Hwee Li.
Ilmu itu hanya terdiri dari
delapan jurus, Hwee Li.!
Delapan jurus? Kalau hanya
sedemikian pendeknya, mana bisa disebut hebat?!
Ah, engkau tidak tahu. Aku
telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk merangkai ilmu yang kunamakan
Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Mengejar Arwah) ini. Dan biarpun
kauw-koatnya dapat kauhafalkan dalam waktu singkat setelah kuberi
kunci-kuncinya, namun untuk mematangkan ilmu ini, biar sampai lima puluh tahun
sekalipun masih dapat terus ditingkatkan, Hwee Li. Dasar dan pokok gerakan ilmu
yang hanya delapan jurus ini telah mencakup semua dasar ilmu silat dan dapat
kaupergunakan untuk menghadapi ilmu yang bagaimana lihai pun dari lawan.!
Hwee Li menjulurkan lidahnya
karena kaget, kagum dan juga girang. Dia lalu mulai mempelajari Ilmu Silat
Cui-beng Pat-ciang dengan penuh ketekunan dan kakek itu merasa girang karena
gadis ini memang cerdas sekali, dengan mudah dapat mengerti ketika dia memberi
penjelasan tentang kunci rahasia ilmu itu, kemudian menghafal teorinya.
Semua ini mereka lakukan
sambil melanjutkan perjalanan perlahan-lahan karena kakek itu harus sering beristirahat
untuk menghimpun tenaganya. Siang malam Hwee Li menghafal dan melatih
gerakan-gerakan pokok dan dasar dari ilmu silat baru itu, dan dengan girang
sekali dia memperoleh kenyataan betapa baru melatih beberapa hari saja,
sinkangnya bertambah kuat. Apalagi ketika kakek itu memberi petunjuk kepadanya
cara mengumpulkan hawa murni dan mempergunakan tenaga dari pusarnya, dia
memperoleh kemajuan hebat dalam waktu beberapa hari saja!
***
Syanti Dewi....!! Dia
terhuyung, hampir jatuh, akan tetapi bangun lagi dan terus berlari sambil
terhuyung-huyung.
Dewi.... kauampunkan aku,
Dewi....!!
Tek Hoat terus memasuki hutan
yang lebat itu, berlari sambil mengeluh dan bersambat, menyebut-nyebut nama
Syanti Dewi seperti orang gila. Pemuda ini setelah ditolong oleh Panglima Jayin
dan pasukannya, dibawa kembali ke dalam istana. Akan tetapi baru dua hari dia
dirawat, begitu siuman dia sudah meloloskan diri lagi, malam-malam dia
melarikan diri meninggalkan istana untuk mengejar dan mencari Syanti Dewi.
Akhirnya, kegelapan malam
membuat dia roboh tersungkur menabrak batang pohon dalam hutan yang gelap itu.
Dia merangkak bangun, lalu duduk dan menggunakan kedua tangan memegangi
kepalanya yang terasa pening berdenyut-denyut. Dia belum sembuh benar, tubuhnya
masih terasa lemah, kepalanya masih pening.
Syanti.... kalau engkau tidak
mau mengampunkan aku, lebih baik kau bunuh saja aku....! keluhnya.
Pikirannya melayang-layang ke
masa lampau ketika dia merasa betapa sengsaranya rasa hatinya, ditinggalkan
oleh Syanti Dewi yang marah kepadanya. Syanti Dewi tentu benci kepadanya! Ah,
semua ini tentu merupakan hukuman baginya, hukuman atas semua penyelewengannya,
atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lampau.
Terbayang kembali semua
perbuatannya, yang baru sekarang nampak olehnya betapa kejam, jahat dan
terkutuknya. Dia telah melakukan pembunuhan-pembunuhan, perjinaan-perjinaan,
perbuatan yang kejam dan jahat sekali di masa lampau (baca Kisah Sepasang
Rajawali). Kalau dia membayangkan semua perbuatannya itu, di waktu dia masih
muda remaja, maka amatlah tidak patut kalau dia kini dicinta seorang wanita
seperti Syanti Dewi!
Hal ini merupakan kenyataan
yang luar biasa, terlampau baik baginya. Syanti Dewi adalah seorang puteri raja
yang demikian cantik jelita, demikian berbudi dan mulia. Sedangkan dia? Hanya
seorang bekas penjahat yang terkutuk! Dan dia masih tidak menerima kebahagiaan
ini. Dia menghancurkan sendiri kebahagiaan yang tidak patut dimilikinya itu.
Dia bahkan berani memaki, berani menghina sang puteri yang demikian mulia, yang
terlalu mulia baginya. Menjadi pelayan puteri itu saja masih terlalu mulia
baginya.
Dia sebenarnya amat tidak
berharga, bahkan untuk menggosok sepatu puteri itu saja dia masih terlalu
kotor. Namun dia terangkat sebagai kekasih, sebagai calon suami puteri itu! Dan
puteri itu mencintanya dengan suci. Puteri itu telah rela hidup sengsara demi
untuk dia! Dan dia.... dia malah memaki dan menghina puteri itu! Dituduhnya
berjina, padahal dialah sendiri tukang berjina di waktu remaja. Dituduhnya
memberontak, padahal dialah yang pernah membantu pemberontak! Dituduhnya keji
dan hina, padahal dialah yang jelas seorang manusia keji dan hina!
Syanti....!! hatinya menjerit
dan dia menjambak-jambak rambutnya sendiri.
Kau layak mampus! Kau layak sengsara!!
Dia berteriak-teriak dan menjambak rambutnya, lalu menghempas-hempaskan
dirinya, membentur-benturkan kepalanya ke batang pohon itu sampai kulit dahinya
luka-luka dan pecah-pecah berdarah dan akhirnya dia roboh pula tak sadarkan
diri di bawah batang pohon itu. Malam itu sunyi sekali, sunyi dan gelap, dan
tubuh Tek Hoat membujur di bawah pohon, pingsan.
Dia bermimpi. Dia terjerumus
ke dalam lumpur. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, selalu
tidak berhasil. Lumpur itu menyedot kedua kakinya, makin dia berusaha lolos,
makin dalam dia tersedot sampai akhirnya tubuhnya tersedot sebatas pinggang.
Dia meronta, kedua tangannya mencakar sana-sini dengan sia-sia. Kemudian muncul
Dewi Kwan Im yang berwajah Syanti Dewi, dengan ringannya sang dewi melangkah di
atas lumpur tanpa mengotorkan sepatunya yang bersih, lalu sang dewi mengulurkan
tangan, hendak menariknya keluar dari dalam lumpur. Akan tetapi pada saat itu
dia teringat akan hal yang tak pernah dilupakannya sama sekali itu, ialah ketika
Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, kemudian betapa Syanti Dewi telah berusaha
membunuh Raja Bhutan, ayahnya sendiri.
Teringat akan ini semua,
tangan yang terulur kepadanya untuk menariknya keluar dari dalam lumpur itu
malah diludahinya! Sang dewi menangis dan melarikan diri sambil terisak-isak.
Tek Hoat yang ditinggalkan di dalam lumpur itu tersedot makin dalam. Lumpur
mencapai lehernya, bahkan masih terus saja tubuhnya tersedot ke bawah, kini
lumpur mencapai dagunya. Barulah dia, teringat kepada Syanti Dewi, betapa dia
mencinta dara itu dan dengan napas terengah-engah seperti ikan dilempar ke
darat, dia memanggil-manggil nama Syanti Dewi.
Syanti Dewi....! Syanti
Dewi....!!
Tek Hoat terbangun dengan
napas terengah-engah. Dia membuka matanya dengan penuh kegelisahan dan menjadi
semakin bingung ketika dia menemukan dirinya sendiri telah rebah di atas
pembaringan dalam sebuah kamar yang indah, kamarnya di istana Bhutan! Dan
terdengar suara yang tenang dan penuh perasaan iba.
Tenanglah, Taihiap. Harap engkau
suka menguatkan batinmu.!
Tek Hoat menoleh dan ternyata
yang bicara itu adalah Panglima Jayin. Dia bangkit duduk dan memegang tangan
panglima itu yang dijulurkan kepadanya. Panglima apakah yang terjadi dengan
Syanti Dewi?!
Panglima itu menggeleng kepalanya.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan beliau, Taihiap.!
Akan tetapi.... dia.... dia
telah mati dan aku.... aku masih bertemu dengannya....!
Panglima Jayin itu tersenyum
sedih dan mengira bahwa pemuda ini tentu mengigau. Taihiap terlalu mendalam
memikirkan beliau. Beliau belum meninggal dunia, dan atas perkenan sri baginda
raja saya akan menceritakan semua kepadamu, Taihiap. Wanita yang kausangka sang
puteri itu, yang datang bersama pengkhianat Mohinta, kemudian berusaha membunuh
sri baginda dan akhirnya tewas, sebenarnya bukanlah Sang Puteri Syanti Dewi,
melainkan seorang wanita lain yang memalsukan beliau. Sang Puteri Syanti Dewi
adalah seorang wanita budiman dan mulia, tidak mungkin melakukan hal rendah
seperti itu.!
Tek Hoat meloncat berdiri,
wajahnya berseri biarpun masih amat pucat. Ah, sudah kuduga demikian, hanya
hati yang lemah ini, otak yang tolol ini masih saja meragukan kesuciannya! Aku
harus pergi mencarinya!!
Panglima Jayin memegang
lengannya dan dengan lembut menyuruh pemuda itu duduk kembali. Ketika engkau
menderita luka-luka parah dan rebah tak berdaya, kami tidak berani menceritakan
tentang beliau kepadamu. Kemudian, kemarin kami tidak melihatmu di dalam kamar
dan setelah kami mencari-cari, kami menemukan Taihiap rebah pingsan di dalam
hutan, lalu kami bawa kembali ke sini. Agaknya Taihiap mengigau atau mimpi....!
Tidak, tidak....! Aku tidak
mimpi, aku benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Ah, aku harus segera
mencarinya sebelum dia pergi jauh!!
Engkau masih lemah, Taihiap.!
Tidak, biarkan aku menghadap
sri baginda, mohon perkenannya. Akan kucari sang puteri sampai dapat!!
Raja Bhutan merasa girang
melihat betapa Tek Hoat kelihatan sembuh dan dia pun tidak berkeberatan
mendengar permohonan Tek Hoat.
Memang hanya engkaulah yang
kiranya akan mampu menemukan kembali anakku itu, Tek Hoat. Engkau carilah dia,
bawa bekal secukupnya, kalau perlu bawa pasukan sebanyaknya, dan jangan kembali
ke sini kalau belum bersama anakku.! Demikian antara lain Raja Bhutan berpesan
kepada pemuda yang telah diakuinya sebagai panglima muda dan juga sebagai calon
mantunya itu.
Demikianlah, untuk kedua
kalinya Tek Hoat meninggalkan Bhutan. Akan tetapi sehali ini kepergiannya jauh
berbeda dengan yang sudah-sudah. Sekali ini dia pergi dengan doa restu dari
Raja Bhutan dan membawa perbekalan secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau
membawa pasukan dan pergi seorang diri saja. Dia melakukan pengejaran dan
mencari jejak Syanti Dewi yang diketahui penuh keyakinan telah datang
menjenguknya, akan tetapi karena ketololannya kembali dia menyakitkan hati
puteri itu, sungguhpun tidak seorang pun di Bhutan percaya bahwa sang puteri
benar-benar telah pulang untuk waktu singkat sekali itu.
Penderitaan batin yang timbul
akibat cinta asmara memang amatlah berat penanggungannya, karena orang akan
merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada
artinya, lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua kegembiraan, yang terasa
hanyalah kelesuan, lemah lunglai rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat
orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena perasaan iba diri yang amat
mendalam.
Tek Hoat melakukan perjalanan
seperti boneka hidup, seorang manusia yang kehilangan semangat dan
kegembiraannya. Hanya ada satu saja yang masih membuat dia kuat mempertahankan
semua itu, ialah semangat mencari Syanti Dewi sampai dapat! Dia melakukan
perjalanan yang susah payah, tak pernah berhenti, hanya makan kalau perutnya
sudah tidak kuat menahan lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tak dapat
dibuka, dan hanya beristirahat kalau kedua kakinya sudah mogok jalan.
Berhari-hari dia menjelajahi seluruh hutan di mana dia mengejar Syanti Dewi,
kemudian dia melanjutkan perjalanan ke timur, karena dia merasa yakin bahwa
kekasihnya itu tentu pergi ke timur. Ke mana lagi kalau tidak ke sana? Dan dia
akan terus mencari, sampai ke ujung dunia sekali pun!
Tanpa diketahuinya, Tek Hoat
menuju ke arah tempat di mana Su-ok dan anak buahnya, yaitu para orang cebol
itu, berkumpul dan menimbulkan kekacauan di dusun. Pagi itu dia berjalan
seenaknya memasuki daerah itu, tidak tahu bahwa gerak-geriknya sudah diintai
oleh banyak mata, karena dianggap sebagai hasil pancingan orang-orang pendek
yang mempergunakan Yan Hui sebagai umpan! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Ouw Yan Hui yang lihai itu dikeroyok oleh anak buah Su-ok dan akhirnya
tertawan, dibelenggu di belakang kuil sebagai umpan karena Su-ok merasa yakin
bahwa wanita lihai itu pasti datang bersama teman-temannya. Dan pagi hari itu,
muncul seorang pemuda yang dari jauh saja sudah dikenal oleh Su-ok! Seperti
diketahui, Tek Hoat pernah membantu para pendekar ketika terjadi pertandingan
di dalam benteng para pemberontak, dan Su-ok mengenal pemuda ini sebagai Si
Jari Maut! Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan
terhitung musuh karena bukankah kemudian ternyata bahwa pemuda ini membantu
fihak pendekar yang ikut menyerbu benteng? Maka diam-diam Su-ok sudah
mempersiapkan lima orang sutenya yang lihai itu, mengikuti gerak-gerik Tek
Hoat. Dan tepat seperti yang dia duga, pemuda itu menuju ke kuil, tentu saja
untuk menolong wanita tawanan mereka itu! Padahal, Tek Hoat sendiri tidak
pernah menduga bahwa di belakang kuil itu ada seorang wanita tertawan, dan
kalau dia menuju ke kuil itu adalah karena kakinya telah merasa lelah dan dia
hendak beristirahat di dalam kuil itu. Dan karena pikirannya banyak termenung,
kewaspadaannya banyak berkurang dan dia tidak tahu bahwa ada beberapa orang
mengintai gerak-geriknya.
Maka terkejutlah Tek Hoat
ketika tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon, semak-semak dan batu-batu
berlompatan keluar lima orang cebol yang dengan buasnya serta-merta menerjang
dan menyerangnya tanpa banyak cakap lagi!
Eh, eh, eh, mau apa kalian
ini?! bentaknya sambil mengelak ke kanan kiri.
Ha-ha-ha, Si Jari Maut, kenapa
kelihatan gugup? Hayo kaucoba pecahkan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, ha-ha-ha!!
Mendengar suara orang itu dari
atas, Tek Hoat menengok dan segera dia mengenal Su-ok Siauw-siang-cu, orang ke
empat dari Ngo-ok yang lihai. Terkejutlah dia dan tahulah dia bahwa dia telah
bertemu orang jahat, musuh yang tak mungkin dapat diajak bicara lagi. Maka dia
pun lalu mencurahkan perhatiannya untuk membela diri. Kini, dia melihat betapa
lima orang cebol itu mengurungnya, melangkah lambat-lambat mengitarinya, wajah
mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh itu kelihatan menyeramkan, mata mereka
terbelalak dan seperti mata binatang haus darah. Agaknya gerakan mereka itu
dipimpin oleh kakek cebol yang brewok, karena empat yang lain selalu melirik ke
arah si brewok ini. Maka Tek Hoat yang berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran
itu juga memperhatikan cebol brewok itu. Dan dugaannya itu memang tepat. Si
brewok ini memang merupakan pimpinan dari Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, yaitu
barisan lima orang yang amat lihai dan yang kemarin telah merobohkan Ouw Yan
Hui itu.
Tiba-tiba, seperti merupakan
aba-aba, si brewok itu mengeluarkan bentakan yang parau seperti suara singa
kelaparan dan tubuhnya yang pendek itu sudah bergerak. Serangan si brewok cebol
itu amat dahsyat, tubuhnya melayang ke atas dan kedua tangannya mencengkeram ke
arah mata dan leher Tek Hoat. Namun, dengan tenang Tek Hoat sudah memutar
tubuhnya mengelak dan tangannya sudah siap untuk merobohkan lawan ini dengan
pukulan dari bawah. Akan tetapi, pada saat itu, dari empat penjuru, empat orang
cebol lainnya telah menyerbu dengan gerakan berbareng, dan terpaksa Tek Hoat
harus menghadapi mereka semua itu dengan mengandalkan kelincahan gerakannya
untuk mengelak karena masing-masing lawan yang bertubuh kecil pendek itu
ternyata melakukan serangan yang cukup ampuh dan berbahaya.
Tubuh Tek Hoat masih belum
sembuh betul dari kelemahan yang menyerangnya selama berbulan-bulan, dan selama
itu, dia tidak pernah berlatih silat sehingga otot-ototnya kaku. Akan tetapi,
begitu menghadapi bahaya, secara otomatis semua syaraf dan otot tubuhnya
bekerja dan mulailah dia menggerakkan tubuhnya dengan penuh tenaga sinkang dan
kini dia mulai membalas dengan tamparan, pukulan maupun tendangan. Dan setiap
tamparannya yang ditangkis lawan tentu membuat lawan itu terdorong, bahkan
angin pukulannya yang kuat membuat beberapa orang cebol mengeluarkan teriakan
kaget. Tak mereka sangka bahwa lawan ini ternyata lebih lihai daripada wanita
cantik itu!
Tek Hoat sama sekali tidak
memandang rendah lawan, sungguhpun lima orang cebol yang mengeroyoknya itu
seolah-olah hanya merupakan lima orang anak kecil yang nakal. Dengan hadirnya
Su-ok di situ, dia dapat menduga bahwa tentu lima orang cebol ini pun
berkepandaian tinggi. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan
seluruh kepandaian untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Melihat betapa
lima orang itu setiap kali menyerang tentu mengarah nyawanya, Tek Hoat menjadi
marah dan dia pun mengerahkan ilmunya yang ampuh, yaitu Toat-beng-ci (Jari Pencabut
Nyawa), ilmu pukulan dengan jari yang membuat dia dikenal gebagai Si Jari Maut.
Jari-jari tangan ini bukan hanya menotok jalan darah, akan tetapi sekali
mengenai lawan akan langsung mencabut nyawa lawan. Jari-jari itu dapat memutus
otot dan tulang, merusak jalan darah, bahkan dapat menusuk kepala!
Perkelahian yang terjadi ini
amat hebat. Gerakan Tek Hoat, tidak begitu cepat karena dia yang cerdik, maklum
bahwa tidak mungkin dia dapat mengandalkan kecepatan melawan lima orang yang
memiliki gerakan teratur dan kerja sama yang amat baik seolah-olah dikemudikan
oleh satu kepala saja itu. Dia bersilat dengan tenang, lambat namun gerakannya
kuat sekali dan setiap bagian tubuhnya selalu terjaga dan terlindung. Lima
orang itu pun mengeluarkan semua kepandaian mereka. Gerakan mereka teratur dan
saling membantu, saling melindungi, dengan serangan-serangan yang bertubi dan
bergiliran secara teratur sekali, dan serangan mereka itu berubah-ubah dengan
tenaga yang berubah-ubah pula sesuai dengan sifat Ngo-heng. Namun, Tek Hoat
yang bersikap tenang itu tidak menjadi gugup. Dia bersilat dengan ilmu silat
gabungan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, dan dia selalu mengerahkan tenaga
Inti Bumi yang amat hebat sehingga setiap kali beradu lengan dengan seorang
lawan, tentu lawan itu terpelanting. Namun begitu terpelanting, empat orang
saudaranya telah melindunginya secara otomatis!
Seratus jurus telah lewat dan
barisan Ngo-heng-tin itu belum mampu merobohkan Tek Hoat. Kalau tadinya Tek
Hoat masih bersilat dengan lambat berhubungan dengan kekuatannya yang belum
pulih, kini nampak dia mulai bersemangat, gerakan-gerakannya lebih dahsyat. Hal
ini adalah karena Tek Hoat mulai hidup! lagi semangatnya bertanding. Mengingat
bahwa Su-ok merupakan seorang di antara mereka yang berusaha menawan Syanti
Dewi dan mengganti kekasihnya itu dengan wanita palsu, semangatnya bangkit dan
kemarahannya meluap. Bagus, kalian semua sudah bosan hidup agaknya!! dia
membentak dan kini dari kedua tangan dengan jari-jari terbuka itu keluar hawa
yang mengeluarkan suara bercuitan mengerikan!
Begitu dia memutar tubuh dan
kedua lengannya dikembangkan, lima orang lawan itu terkejut, ada yang meloncat
mundur, akan tetapi dua di antara mereka memberanikan hati menangkis. Dukkk!
Dukkkkk!! Dua orang itu terpelanting dan mereka berloncatan bangun dengan muka
pucat. Lengan mereka terluka, kulitnya robek berdarah! Memang luka-luka itu
tidak berat, akan tetapi setidaknya membuat mereka terkejut dan jerih sekali
terhadap pemuda yang amat lihai ini. Melihat itu, Su-ok marah bukan main.
Sute semua jangan takut, biar
aku membantu kalian merobohkan bocah sombong ini!!
Tubuh yang pendek kecil itu
menyambar turun langsung saja menerkam Tek Hoat dengan dahsyatnya. Namun Tek
Hoat sudah siap siaga, dengan cepat dia meloncat mundur, kemudian mengirim
tendangan yang juga dapat dielakkan oleh Su-ok. Lima orang cebol menjadi besar
hati dan timbul kembali keberanian mereka ketika mereka melihat suheng mereka
ikut maju mengeroyok, dan mereka kini menyerang dan menghujani Tek Hoat dengan
pukulan-pukulan yang dibantu pula oleh berbagai macam senjata!
Tek Hoat mengamuk terus. Akan
tetapi kini dia menghadapi lawan yang amat berat. Su-ok Siauw-siang-cu adalah
seorang datuk kaum sesat yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi,
sukar dicari bandingannya. Melawan kakek cebol ini sendirian saja masih amat
sukar bagi Tek Hoat untuk menang, apalagi kini Su-ok dibantu oleh lima orang
sutenya, dan dia sendiri baru saja sembuh dari sakit sehingga betapapun juga,
dia belum dapat menguasai kembali seluruh kelincahan dan tenaganya. Betapapun
juga, Tek Hoat tidak merasa gentar dan dia terus mengamuk, biarpun kini dia
harus lebih banyak berloncatan dan mengerahkan dan untuk menangkis. Dia tidak
mempunyai banyak kesempatan lagi untuk membalas serangan.
Tiba-tiba Su-ok meloncat ke
depan, tubuhnya berjongkok rendah, kedua tangannya digerak-gerakkan secara aneh
dan lima orang sutenya meloncat Ke kanan kiri menjauh! Tiba-tiba Su-ok
mendorongkan kedua tangannya ke arah Tek Hoat dan terdengar dari perutnya
keluar bunyi berkokok beberapa kali. Angin dahsyat menyambar dibarengi bau yang
amis ke arah Tek Hoat. Pemuda ini terkejut bukan main, mengenal ilmu pukulan
yang dahsyat dan amat berbahaya, maka dia sudah meloncat jauh ke kanan di mana
dia disambut dan dikurung oleh lima orang kakek cebol lairinya. Su-ok
mengeluarkan pukulan Katak Buduk ini sebagai selingan dan selalu Tek Hoat
meloncat jauh, tidak berani menghadapi pukulan ini dengan langsung, tidak
berani menangkis, karena dari sambaran anginnya saja dia tahu bahwa pukulan itu
mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Dia sendiri pun sudah memiliki
tenaga ampuh, dan pukulan-pukulan beracun setelah dia mempelajari kitab-kitab
peninggalan para tokoh Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek
Siauw-jin. Akan tetapi karena dia kalah tingkat dan kalah latihan, maka dia
tahu bahwa menghadapi pukulan itu secara langsung amatlah berbahaya. Maka, dia
lalu mengamuk dan makin mendesak lima orang sute dari Su-ok itu saja, dan
begitu Su-ok datang menyerangnya, dia meloncat menjauhkan diri.
Sementara itu, setelah melihat
bahwa penjaganya, Su-ok yang mengerikan itu, telah pergi dan agaknya ada suara
perkelahian di sebelah depan kuil, Ouw Yan Hui berusaha untuk melepaskan
belenggu kedua tangannya, Namun usahanya itu tidak berhasil. Belenggu dari
rantai besi yang kokoh itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak berhasil
mematahkannya, bahkan kedua pergelangan tangannya lecet-lecet dan terasa nyeri
sekali. Hatinya mulai khawatir. Dia tidak tahu siapa yang datang dan bertanding
dengan para orang cebol itu. Melihat betapa sampai lama orang itu dapat
mempertahankan diri, jelas bahwa yang datang adalah orang yang pandai. Betapa
inginnya untuk dapat bebas dan membantu orang itu, siapapun juga orangnya,
untuk menghajar orang-orang cebol yang kurang ajar itu.
Hui-ci...., sssttttt....!!
Yan Hui terkejut, menoleh dan
wajahnya berseri melihat munculnya orang yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya akan muncul di tempat itu. Kiranya yang muncul adalah Syanti
Dewi!
Syanti! Cepat.... belengguku
ini....! bisiknya kembali.
Syanti Dewi meloncat ke
belakang pilar, menggunakan pedangnya untuk mematahkan belenggu yang mengikat
kedua tangan Ouw Yan Hui. Setelah bebas, Ouw Yan Hui menggosok-gosok kedua
pergelangan tangannya, memandang kepada Syanti Dewi dengan muka merah.
Syanti.... ah, ternyata engkau
malah yang rnenolongku! Mari kita bantu orang itu!! Tanpa menanti jawaban lagi,
tubuh Yan Hui mencelat keluar kuil, diikuti oleh Syanti Dewi. Seperti telah
kita ketahui, dalam perjalanannya, Syanti Dewi melihat penduduk dusun diganggu
sekumpulan orang cebol yang sakti menurut penuturan para perajurit Bhutan yang
mengenalnya. Dia menyuruh para perajurit minta bantuan ke Kota Raja, Bhutan,
sedangkan dia sendiri lalu melakukan penyelidikan pada pagi hari itu. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika dia tiba di kuil itu dari belakang, dia
melihat Ouw Yan Hui terbelenggu pada pilar besar, sedangkan di bagian depan
kuil itu terjadi perkelahian yang belum dia ketahui siapa orangnya. Tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu menolong gurunya, kemudian mengikuti Ouw Yan Hui ketika
gurunya itu meloncat keluar kuil untuk membantu orang menghadapi para orang
cebol yang sakti.
Ketika dua orang wanita cantik
ini tiba di depan kuil, pertempuran antara Tek Hoat yang dikeroyok enam masih
berlangsung seru, biarpun kini Tek Hoat hanya mengelak dan menangkis saja, sama
sekali tidak mampu lagi membalas serangan. Pemuda itu sungguh hebat, masih
dapat mempertahankan diri dan belum dapat dirobohkan.
Manusia-manusia cebol
terkutuk!! tiba-tiba Ouw Yan Hui membentak nyaring dan tubuhnya melesat ke
depan, terjun ke dalam medan pertempuran. Semua orang cebol kaget, terutama
sekali si brewok yang langsung menerima serangan Ouw Yan Hui. Datangnya
serangan demikian tiba-tiba dan pada saat itu, tubuhnya masih terhuyung oleh
tangkisan Tek Hoat. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tendangan Ouw Yan tepat
mengenai lambungnya. Si brewok berteriak dan tubuhnya terlempar, perutnya
mendadak menjadi mulas dan dia mengaduh-aduh.
Su-ok adalah seorang yang
cerdik, juga licik. Dia tahu bahwa Tek Hoat Si Jari Maut amat berbahaya, bahkan
setelah dibantu oleh lima orang sutenya, sampai ratusan jurus dia dan para
sutenya belum mampu mengalahkan pemuda ini. Dan sekarang muncul wanita yang memiliki
ginkang amat luar biasa itu. Munculnya wanita yang terbelenggu itu membuktikan
bahwa tentu ada orang sakti lain yang membebaskannya, maka tentu akan muncul
orang-orang sakti lain. Keadaan menjadi berbahaya dan tidak menguntungkan bagi
fihaknya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan sebagai isyarat dan cepat dia
meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para sutenya, si brewok paling
belakang karena dia harus berlari sambil memegangi perutnya yang masih mulas!
Tek Hoat berdiri dengan kepala
terasa pening, berdenyut-denyut. Dia baru saja sembuh, akan tetapi tadi dia
telah terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga kepalanya kini menjadi pening,
dan dia tidak mengejar mereka yang melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah
dibantu orang pandai, maka biarpun, pandang matanya menjadi agak kabur karena
kepeningan kepalanya, dia menengok dan memandang orang yang telah membantunya
sehingga musuh melarikan diri. Dia melihat seorang wanita cantik jelita dan
seorang wanita lain agak jauh di belakangnya.
Dewi....! Ah, Syanti
Dewi....!! Dia berseru dan seperti orang mabuk dia terhuyung ke depan,
menghampiri Syanti Dewi yang sejak tadi berdiri bengong ketika mendapat
kenyataan bahwa orang yang bertanding dikeroyok banyak orang cebol dan dibantu
oleh gurunya itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Ahhh, engkau....!! Dia terisak
lalu sekali meloncat dia telah melarikan diri.
Syanti....! Syanti Dewi....!
Jangan tinggalkan aku....!! Tek Hoat meloncat dan mengejar akan tetapi
kepalanya terasa makin pening dan dia tersandung, jatuh terguling.
!Syanti, tunggu dulu!! Ouw Yan
Hui yang menyaksikan semua itu menjadi bingung, akan tetapi dia lalu mengejar
Syanti Dewi. Syanti Dewi tidak mau berhenti sehingga Ouw Yan Hui terpaksa terus
mengejar sambil mengerahkan tenaganya karena muridnya itu telah memiliki ilmu
berlari cepat yang hebat dan tidak jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri.
Suara panggilan dari mulut Tek Hoat sudah tidak terdengar lagi ketika akhirnya
dia berhasil menyusul Syanti Dewi.
Syanti, tunggulah aku ingin
bicara denganmu!! kata Ouw Yan Hui. Syanti Dewi akhirnya berhenti dan mengusap
beberapa butir air matanya.
Sejenak Ouw Yan Hui berdiri
tertegun di depan muridnya itu. Dia adalah seorang wanita yang sudah banyak
pengalaman, dan dia pernah mendengar penuturan Puteri Bhutan ini tentang
riwayatnya.
Syanti, apakah dia itu tadi
yang bernama Ang Tek Hoat itu?!
Syanti Dewi masih menunduk,
dan dia hanya mengangguk.
Aih, Syanti, bagaimana engkau
ini? Bukankah engkau dahulu mencari-carinya? Bukankah engkau menderita karena
perpisahanmu dengan dia? Sekarang, setelah bertemu, mengapa engkau malah
menjauhkan dirimu darinya?! Diam-diam Ouw Yan Hui harus mengakui bahwa pria
yang dicinta oleh muridnya itu adalah seorang pemuda yang tampan dan memiliki
kepandaian tinggi, seorang yang patut menjadi jodoh puteri yang cantik jelita
ini.
Akan tetapi Syanti Dewi hanya
menangis. Syanti Dewi teringat akan nasibnya yang dianggapnya amat buruk.
Harapannya yang mulai timbul kembali hancur berantakan. Kehidupannya yang penuh
damai di Pulau Ular di sisi gurunya ini dihancurkan oleh kenyataan keji, oleh
kebiasaan gurunya yang menjijikkan dan membuatnya lari ketakutan. Kemudian,
pertemuannya dengan Tek Hoat yang menghidupkan kembali harapan dan cinta
kasihnya, dihancurkan oleh kenyataan ketika Tek Hoat memakinya. Kini dia tidak
tahu lagi ke mana harus pergi, dan apa yang harus diperbuat!
Melihat ini, Ouw Yan Hui
merasa kasihan kepada Syanti Dewi dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak
Syanti Dewi. Akan tetapi, begitu pundak itu tersentuh, puteri itu tersentak
kaget dan meloncat ke belakang, mengelak dan memandang kepada gurunya dengan
mata terbelalak, mata yang amat indah, akan tetapi kini terbuka lebar seperti
mata seekor kelinci yang ketakutan.
Tidak....! Tidak.... jangan
sentuh aku....!!
Melihat sikap muridnya ini,
Ouw Yan Hui memandang dengan muka pucat, kemudian dia menjatuhkan diri di atas
rumput, menutupi mukanya dan menarik napas panjang berkali-kali. Ahhh, sekarang
aku mengerti mengapa engkau melarikan diri dari pulau.... maafkan aku, Syanti,
bukan maksudku untuk membuat engkau terkejut dan ketakutan. Maafkan aku....
wanita yang kesepian dan sengsara ini....! Dan Ouw Yan Hui, wanita yang angkuh
dan bersikap dingin itu kini menangis tersedu-sedu!
Syanti Dewi tertegun. Sejenak
dia berdiri seperti patung memandang kepada gurunya, kemudian timbul rasa iba
di hatinya. Betapapun juga, dia telah berhutang banyak budi kepada gurunya ini,
dan harus diakuinya bahwa gurunya ini merupakan sahabat yang amat baik, yang
telah banyak melakukan kebaikan kepadanya, banyak menghiburnya, banyak pula
mendidiknya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika Ouw Yan Hui membawanya
lari dari dalam benteng yang terbakar. Akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut
di samping gurunya dan memegang lengan gurunya. Enci.... akulah yang harus
minta maaf, telah pergi tanpa pamit.!
Ouw Yan Hui menurunkan kedua
tangannya dan memandang melalui air matanya yang memenuhi kelopak matanya, dan
dia mencoba untuk tersenyum, senyum pahit sekali. Tidak, Syanti, engkau tidak
bersalah. Tentu engkau jijik dan ngeri menyaksikan apa yang kulakukan itu
bersama bibi Maya Dewi....! Dia menarik napas panjang dan mengusap air matanya.
Tapi.... kenapa engkau lakukan
perbuatan seperti itu, Enci Hui?!
Ahhh, engkau tentu tidak
mengerti, Syanti. Aku adalah wanita yang telah mengalami kehancuran hati karena
pria, maka, anehkah kalau aku mencari hiburan antara sesama wanita? Memang aku
lemah.... ah, akan tetapi.... sungguh mati aku tidak ingin menyeretmu ke dalam
kebiasaan buruk itu. Aku sayang kepadamu, Syanti, seperti kepada adik sendiri.
Aku merasa terkejut dan berduka sekali ketika engkau pergi, aku mencari-carimu
untuk minta maaf. Dan siapa duga, engkau malah yang tadi telah menyelamatkan
aku....!
Tidak ada artinya, Enci.
Engkau pun pernah menyelamatkan aku, bahkan telah melimpahkan banyak sekali
kebaikan.!
Syanti, kalau eengkau memang
mencinta pemuda itu, yang kulihat amat baik dan gagah perkasa, mengapa engkau
lari meninggalkannya? Kulihat dia masih amat mencintamu, bahkan agaknya menderita
karenamu....!
Tidak! Dia keji, dia
menyakitkan hati, biar dia menderita sekarang!! Tiba-tiba Syanti Dewi mengepal
tinju dan wajahnya membayangkan kemarahan, biarpun kembali air matanya mengalir
keluar. Kemudian dia pun menceritakan semua yang telah dialaminya dengan Tek
Hoat, betapa dia dituduh yang bukan-bukan oleh Tek Hoat setelah segala
pengorbanan yang dilakukannya demi cintanya kepada pemuda itu. Ouw Yan Hui
mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya dia pun mengangguk-angguk.
Ah, pantas engkau merasa sakit
hati. Memang sesungguhnya prialah mahluk berhati lemah, bukan wanita! Pria yang
suka menyeleweng, yang tidak mempunyai keteguhan hati, tidak mempunyai
kesetiaan, mudah tergoda oleh kesenangan! Memang sepatutnya kalau engkau memberi
pelajaran kepadanya, Syanti. Mari engkau ikut saja bersamaku ke pulau,
bersembunyi di sana dan kita hidup bahagia di sana, jauh dari godaan kaum pria
yang mata keranjang dan berhati palsu.!
Terima kasih, Enci. Memang aku
senang sekali tinggal di sana, hanya....!
Harap kau jangan ulangi lagi
hal itu. Kasihanilah aku, Syanti. Aku merasa malu dan menyesal sekali telah
membuatmu ketakutan. Aku berjanji bahwa engkau tidak akan melihat lagi hal
seperti itu terjadi di pulau....!
Akan tetapi.... bibi Maya....!
Jangan khawatir, dia telah
pergi dan tidak akan pernah datang lagi ke pulau.!
Syanti Dewi merasa girang dan
hatinya terasa lapang. Aku girang sekali, Enci, akan tetapi aku hanya....
mengganggu kesenanganmu saja....!
Tidak, kesenangan terkutuk itu
memang harus dihentikan. Andaikata aku menghendaki, aku masih dapat
melakukannya di luar pulau, di luar pengetahuanmu. Sudahlah, Syanti Dewi, mari
kita pergi menikmati hidup berdua di sana.!
Terima kasih, Enci. Aku pun
berjanji tidak akan meninggalkan pulau lagi sampai datang.... dia yang
minta-minta ampun kepadaku.!
Aku mengerti, dan aku akan
membantumu, adikku yang manis.!
Maka pergilah kedua orang
wanita itu dengan perjalanan cepat sekali, menuju ke Kim-coa-to (Pulau Ular
Emas) dan karena memang ada rasa sayang di antara keduanya, sebentar saja
mereka telah akur dan akrab kembali. Di sepanjang perjalanan, semua orang,
terutama yang pria, tentu memandang mereka dengan sinar mata penuh kagum karena
mereka merupakan dua orang wanita yang luar biasa cantiknya, dengan pakaian
yang mewah pula dan Ouw Yan Hui amat royal mengeluarkan uang di sepanjang
perjalanan. Seperti dua orang puteri istana saja yang sedang melakukan tamasya
tanpa pengawalan!
Sejauh mata memandang yang
nampak hanya pasir dan pasir. Itulah permulaan gurun pasir di luar Tembok
Besar. Jarang ada manusia lewat di tempat yang sunyi dan liar ini, kecuali pada
waktu-waktu tertentu, di musim tenang karena hanya kalau tidak banyak angin
bertiup dan panas matahari tidak begitu menyengat saja maka tempat ini sering
dilalui rombongan pedagang yang membawa barang-barang dagangan ke utara, dan
pulangnya membawa kulit-kulit binatang yang berharga dan hasil-hasil lain untuk
dibawa pulang ke selatan. Hanya keledai-keledai saja yang kuat menyeberangkan
manusia melalui padang pasir, kecuali tentu saja binatang onta. Di musim yang
banyak mengandung angin besar, bahkan kadang-kadang angin puyuh, tidak ada
orang berani lewat di daerah ini. Padang pasir itu berubah menjadi lautan
pasir, bergelombang, membuat orang tak mampu membuka mata, dan kalau angin
besar menyerang, terjadilah banjir! pasir yang kadang-kadang menimbun apa saja
sampai puluhan kaki tingginya!
Akan tetapi di dataran
Chang-pai-san, pasirnya tidak begitu tebal, bahkan di sana-sini. nampak
batu-batu menonjol keluar dan ada pula tanah yang berpadas. Daerah ini pun
sunyi sekali, akan tetapi pada pagi hari itu nampak dua orang berjalan
menyeberangi padang pasir menuju ke Bukit Chang-pai-san yang nampak menjulang
tinggi di depan. Melihat ada dua orang berada di tempat sunyi ini saja sudah
merupakan suatu kejanggalan, apalagi kalau melihat mereka, karena mereka itu
sama sekali bukan orang-orang yang pantas melakukan perjalanan jauh sampai ke
daerah tandus dan sunyi liar ini. Yang seorang adalah seorang kakek yang sudah
tua sekali, sukar ditaksir berapa usianya, tubuhnya bongkok sekali biarpun agak
gemuk, jalannya lambat-lambat malas-malasan dan kepalanya botak sampai licin
mengkilap. Sudah tua renta, punggungnya bongkok pula, masih ditambah lengan
kirinya buntung! Sungguh merupakan gambaran seorang tua yang patut dikasihani,
yang kelihatan cacat dan lemah, maka amatlah mengherankan melihat seorang tua
renta cacat ini melakukan perjalanan di tempat seliar itu. Dan temannya? Juga
tidak patut menemani seorang tua renta lemah seperti itu karena orang ke dua
ini adalah seorang dara yang masih amat muda, cantik jelita dan pakaiannya yang
serba hitam itu membuat kulit leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin
halus dan putih.
Memang merupakan pasangan yang
aneh dan juga janggal karena mereka berdua adalah orang-orang lemah nampaknya.
Akan tetapi kalau orang mengenal siapa adanya mereka, tentu orang tidak akan
merasa heran lagi. Kakek tua renta yang lengan kirinya buntung dan punggungnya
bongkok itu bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok,
penghuni atau majikan dari Istana Gurun Pasir! Seorang datuk besar dalam dunia
persilatan dan namanya dihubungkan dengan dongeng-dongeng aneh karena kakek ini
lebih dikenal dalam dongeng daripada dalam kenyataan yang jarang dijumpai
manusia. Sedangkan dara remaja itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah
amat terkenal, baik oleh golongan pendekar maupun golongan hitam. Dia adalah
Kim Hwee Li, yang pernah dikenal sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau
Neraka! Nama dara ini bahkan tidak kalah tenarnya dibandingkan nama Hek-tiauw
Lo-mo sendiri.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, dengan gagah berani Hwee Li telah menolong Dewa Bongkok dari
bahaya maut ketika kakek yang telah menderita luka parah itu nyaris dibunuh
oleh Mauw Siauw Mo-li. Hwee Li sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek
yang ditolongnya dan yang kemudian menurunkan ilmu-ilmunya yang aneh kepadanya
itu sebenarnya adalah kakek gurunya sendiri. Kakek ini adalah guru dari Kao Kok
Cu, suami dari subonya! Memang selamanya, biarpun pernah datang ke Istana Gurun
Pasir, Hwee Li belum pernah bertemu dengan kakek sakti ini. Setelah menolong
kakek itu, Hwee Li lalu diajak ke dataran Chang-pai-san oleh Dewa Bongkok yang
ingin menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan kelima Ngo-ok yang
lihai, juga kakek ini ingin bicara dengan Pendekar Super Sakti tentang putera
pendekar itu yang telah menyusahkan hati Hwee Li! Di sepanjang perjalanan itu,
Hwee Li menerima ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu baru ciptaan kakek itu yang
diberi nama Cui-beng Pat-ciang oleh kakek itu. Sebutan Cui-beng Pat-ciang
(Delapan Pukulan Pengejar Arwah) ini dipergunakan oleh Dewa Bongkok bukan untuk
memberi kesan menyeramkan seperti yang biasa dilakukan oleh tokoh-tokoh dunia
hitam, melainkan untuk memperingatkan muridnya bahwa delapan jurus pukulan
sakti itu sungguh amat ampuh dan sekali dipergunakan, amat berbahaya bagi lawan
yang bagaimana lihai pun sehingga agar muridnya yang baru ini tidak sembarangan
mempergunakannya untuk memukul orang, melainkan lebih condong mempergunakan
untuk menjaga diri.
Selain, menurunkan Pat-ciang
ini, juga Bu Beng Lojin menyempurnakan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasai dara
itu dengan menyuruh Hwee Li berlatih silat dan memberi petunjuk-petunjuk dan
perbaikan-perbaikan sehingga dalam ilmu-ilmu ini Hwee Li memperoleh kemajuan
amat hebat, menutupi kelemahan-kelemahan dan menambah daya-daya serangan dalam
setiap jurus. Dasar anak ini berotak tajam dan Si Dewa Bongkok memberi petunjuk
secara langsung, maka dalam waktu beberapa bulan saja dalam perjalanan, Hwee Li
telah menguasai semua petunjuk, bahkan telah menguasai pula Cui-beng Pat-ciang
dengan baik, tinggal mematangkan saja dalam latihan.
Selain itu, yang amat
mengharukan hati Hwee Li dan membuat dara ini amat menyayang kakek itu adalah
ketika pada suatu malam, kakek tua renta ini memindahkan tenaga sinkang dari
tubuhnya ke dalam tubuh Hwee Li! Hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang sudah memiliki kesaktian setingkat dengan kakek bongkok ini.
Dewa Bongkok mempergunakan ilmu yang disebut Hoan-khi-khai-hiat (Memindahkan
Hawa Sakti Membuka Jalan Darah). Tentu saja perbuatan ini amat merugikan
dirinya sendiri, mengurangi banyak sekali tenaga saktinya, akan tetapi di lain fihak
amat menguntungkan Hwee Li karena dara ini mendapat tambahan tenaga sakti yang
berlipat ganda.
Pada pagi hari itu tibalah
mereka di tempat yang dituju, yaitu di dataran Chang-pai-san. Dari jauh mereka
sudah melihat seorang pria yang bertubuh kurus jangkung, rambutnya putih semua
seperti perak, berkibar-kibar tertiup angin, kaki kirinya buntung sebatas paha,
berdiri dengan satu kaki ditunjang tongkat bututnya, tak bergerak seperti
patung. Biarpun kakek itu hanya berkaki satu dan menimbulkan belas kasihan,
namun dalam keadaan berdiri tegak seperti patung itu, terdapat sesuatu yang
membuat orang merasa jerih dan kagum.
Melihat orang itu dari jauh,
Hwee Li merasa bulu tengkuknya eremang dan dia bertanya kepada Dewa Bongkok
dalam bisikan, Locianpwe....! dia tidak menyebut suhu atau kakek kepada Dewa
Bongkok setelah dia menerima ilmu-ilmu itu, melainkan menyebutnya locianpwe,
Siapakah orang di sana itu....?! Biarpun mulutnya bertanya, namun batinnya
menduga hahwa orang itu, pastilah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, ayah
dari Kian Lee! Ketika masih kecil, nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es
merupakan nama dongeng yang menakutkan baginya, seperti juga bagi semua
penghuni Pulau Neraka, bahkan ayahnya sendiri, atau ayah angkat, Hek-tiauw
Lo-mo, merasa takut sekali mendengar nama itu. Dan sekarang, orang itu di sana,
begitu menyeramkan, tentu saja hatinya menjadi gentar sekali.
Go-bi Bu Beng Lojin adalah
seorang tua renta yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, maka melihat
sikap Hwee Li yang jerih itu dia pun sudah dapat menduganya. Tentu anak ini
merasa geiisah bertemu dengan ayah dari kekasihnya, dan tentu anak ini sudah
dapat menduga siapa adanya orang itu karena memang amat mudah mengenal Pendekar
Super Sakti, melihat kaki buntung dan rambut putih seperti benang-benang perak
itu.
Dia sendiri memandang kagum
ketika dia melangkah mendekati dan diikuti oleh Hwee Li yang agak ketinggalan
karena gadis ini merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan kedua kakinya
gemetar! Bahkan dia lalu berhenti, membiarkan kakek bongkok itu seorang diri
menghampiri kakek berkaki tunggal. Dari jauh Hwee Li melihat betapa kakek
berambut putih itu memutar tubuhnya yang hanya berkaki satu, menghadapi kakek
bongkok dan keduanya lalu saling memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada, entah apa yang mereka ucapkan karena Hwee Li berada terlalu jauh
untuk dapat mendengar kata-kata mereka. Akan tetapi, melihat betapa sikap kedua
orang itu amat bersahabat, kelihatan saling beramah-tamah dan saling menghormat,
timbul keberanian di dalam hatinya dan dia pun mendekati sampai dapat mendengar
percakapan mereka, dia berhenti lagi, merasa sungkan untuk makin mendekat dan
dia mendengar kakek bongkok berkata dengan suara halus.
Pertama-tama, aku telah
mendengar bahwa Ngo-ok menantangmu untuk mengadakan pertemuan di sini, Taihiap.
Aku merasa khawatir karena orang-orang sesat seperti mereka itu dapat melakukan
segala macam kecurangan, oleh karena itu aku datang untuk menjadi saksi.!
Pendekar Super Sakti menjura
dengan hormat, Banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe, akan tetapi
sungguh tidak enak kalau sampai menyeret Locianpwe ke dalam urusan pribadi ini,
padahal Locianpwe berada dalam keadaan terluka begitu parah. Biarkanlah saya
mengobati Locianpwe....!
Terima kasih, Taihiap, tidak
perlu lagi, sudah terlambat. Memang aku tidak akan dapat membantumu menghadapi
mereka, akan tetapi setidaknya, dengan memandang mukaku, mereka tidak akan
berani sembarangan melakukan kecurangan. Dan urusan ke dua lebih penting lagi,
Taihiap. Aku sengaja menemuimu untuk membicarakan keadaan puteramu yang bernama
Suma Kian Lee.!
Pendekar Super Sakti Suma Han
nampak terkejut mendengar disebutnya nama Kian Lee. Ah, ada apakah dengan dia,
Locianpwe?!
Kakek itu menarik napas
panjang. Sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, juga tidak semestinya
kalau aku mencampuri, akan tetapi mengingat pemuda itu adalah puteramu, putera
seorang pendekar yang sudah lama amat kukagumi, perlu kiranya aku
membicarakannya denganmu, Taihiap. Suma Kian Lee puteramu itu saling mencinta
dengan seorang gadis, akan tetapi akhirnya meninggalkan gadis ini setelah
mendengar bahwa gadis itu adalah puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata
anak tunggal dari mendiang Kim Bouw Sin yang telah memberontak....!
Ah, sungguh terlalu dia, mau
saja terpikat oleh seorang perempuan rendah! Ada berita yang sampai kepada saya
tentang hal itu, Locianpwe, dan saya pun memang hendak mencari dan menegurnya.
Bagaimanapun juga, saya tidak akan membiarkan dia merendahkan diri sedemikian
rupa berdekatan dengan anak seorang penjahat keji seperti Hek-tiauw Lo-mo,
apalagi kalau perempuan itu ternyata anak kandung seorang pemberontak seperti
Kim Bouw Sin! Tindakannya itu benar kalau dia meninggalkan perempuan itu.!
Pendekar Super Sakti bicara penuh perasaan marah dan penasaran, dan hal ini
tidak aneh karena memang semenjak dia mendengar dari Ngo-ok tentang puteranya
yang tergila-gila kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo, hatinya sudah penuh dengan
kemarahan terhadap puteranya. Maka, begitu mendengar kakek itu menyebut tentang
puteranya yang berhubungan cinta dengan gadis itu, kemarahannya berkobar
sehingga dia agak lupa diri dan mengeluarkan kata-kata keras. Si Dewa Bongkok
sendiri yang tidak kebagian waktu bicara dan sudah didahului oleh kemarahan
Pendekar Super Sakti sampai melongo dan hanya memandang wajah pendekar itu
dengan alis berkerut. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Pendekar Super
Sakti, Hwee Li mendadak menjadi pucat mukanya, dia merasa seolah-olah
jantungnya ditusuk pisau berkarat. Dia mengeluh dan membalikkan tubuhnya
kemudian melarikan diri sambil merintih panjang.
Tentu saja hal ini tidak
terlepas dari penglihatan Suma Han dan juga Dewa Bongkok. Keduanya memandang
dan selagi Dewa Bongkok hendak memanggil gadis itu, tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa mengejek, Seorang pendekar besar tidak mampu mengurus puteranya
sendiri, sungguh amat menggelikan!!
Suma Han dan Dewa Bongkok
menoleh dan melihat munculnya empat orang di antara Ngo-ok. Yang pertama adalah
Ji-ok (Si Jahat Nomor Dua) Kui-bin Nio-nio, wanita yang mukanya selalu tertutup
oleh topeng tengkorak tulen yang mengerikan itu, tubuhnya kecil ramping seperti
tubuh seorang gadis muda, dari balik mata tengkorak yang berlubang itu
mengintai sepasang mata yang amat menyeramkan, mata yang terbelalak lebar,
jernih seperti mata kanak-kanak akan tetapi tajam bukan main dan selalu
bergerak-gerak bola matanya, sedangkan rambutnya sudah putih semua. Di sebelah
kanannya berjalan Twa-ok (Si Jahat Nomor Satu) Su Lo Ti, kakek tinggi besar
yang mukanya seperti gorilla itu, pakaiannya sederhana, gerak-geriknya tenang
dan halus. Di belakang dua orang ini berjalan Su-ok (Si Jahat Nomor Empat)
Siauw-siang-cu yang berkepala gundul seperti hwesio, juga jubahnya seperti
jubah hwesio, tubuhnya cebol dan wajahnya selalu menyeringai, bersama Ngo-ok
(Si Jahat Nomor Lima) Toat-beng Sian-su, si jangkung kurus yang jubahnya
seperti tosu, juga gelung rambutnya. Hanya Sam-ok (Si Jahat Nomor Tiga) Ban Hwa
Seng-jin atau Koksu Nepal saja yang tidak nampak. Akan tetapi Pendekar Super
Sakti tidak memandang rendah, karena dia dapat menduga bahwa belum tentu kalau
hanya empat orang ini saja yang datang, dan kemungkinan besar teman-teman
mereka masih bersembunyi. Maka dengan tenang dia lalu menyambut mereka dengan sikap
angkuh.
!Im-kan Ngo-ok datang tepat
pada waktunya akan tetapi belum lengkap!!
Ucapan Suma Han ini sekaligus
memuji dan juga menantang, seolah-olah dia merasa kecewa mengapa musuh-musuhnya
tidak datang lengkap! Twa-ok tertawa halus mendengar ini dan dia pun menjura
lalu berkata, suaranya ramah-tamah seperti orang yang manis budi bahasanya, Ah,
Pendekar Super Sakti memang gagah perkasa, memenuhi undangan kami. Akan tetapi
agaknya keberanian Majikan Pulau Es yang disohorkan orang itu. terlalu berlebihan,
karena sekarang dia membawa-bawa seorang teman yang tidak kepalang tanggung.
Bukankah Locianpwe ini Si Dewa Bongkok, majikan Istana Gurun Pasir?! Kembali
Twa-ok menjura ke arah Dewa Bongkok sambil tersenyum mengejek. Memang orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok ini pandai sekali berpura-pura, padahal sejak muncul
tadi, hatinya sudah gentar bukan main ketika melihat Dewa Bongkok berada di
situ bersama Pendekar Super Sakti. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan
kakek sakti itu, akan tetapi dia dapat menduganya melihat keadaan kakek itu dan
mendengar Pendekar Super Sakti tadi menyebut Locianpwe kepadanya. Betapapun
juga, sebagai seorang ahli yang pandai dia pun dapat melihat bahwa kakek sakti
yang amat ditakuti orang ini sedang berada dalam keadaan luka hebat sekali, hal
yang membuatnya diam-diam merasa heran akan tetapi juga girang. Hilang
kekhawatirannya karena dia maklum bahwa kakek sakti ini tidak mungkin ikut maju
membantu Pendekar Super Sakti.
Im-kan Ngo-ok, jangan mengukur
baju orang dengan bentuk tubuh sendiri!! Dewa Bongkok berkata penuh wibawa. Aku
datang bukan atas ajakan atau undangan Suma-taihiap, melainkan secara suka rela
karena aku ingin menonton pertemuan ini dan akan menjadi saksi agar jangan ada
perbuatan pengecut dan curang dilakukan di sini!!
Hi-hi-hik, Twa-ko, perlu apa
bicara dengan dia? Tidak peduli siapa dia itu, kulihat dia tiada lain hanyalah
seorang kakek tua renta yang sudah menderita luka hebat dan hampir mampus, tapi
sombongnya bukan main!! tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata sambil meludah
melalui lubang di antara gigi-gigi tengkorak yang mengerikan itu. Ji-ok
bukanlah seorang perempuan muda yang lancang dan sombong, sama sekali bukan.
Dia adalah seorang wanita yang cerdik sekali, dan kalau dia tidak melihat
betapa kakek tua renta itu memang sudah terluka parah, tentu saja dia akan
bersikap lain dan sama sekali tidak berani main-main seperti itu. Mendengar
ucapan wanita bermuka tengkorak itu, Dewa Bongkok hanya menarik napas panjang
karena memang apa yang dikatakan wanita itu bahwa dia terluka parah merupakan
kenyataan. Tentu saja kalau dia mau, sekali dia menggerakkan tubuh dan
menyerang dengan ilmunya yang hebat, wanita muka tengkorak itu akan dapat
ditewaskannya seketika, akan tetapi pengerahan tenaga itu pun akan mencabut nyawa
sendiri. Hal ini dia sadari benar, maka dia pun hanya menarik napas panjang.
Pendekar Siluman atau Pendekar
Super Sakti maklum akan keadaan Dewa Bongkok, maka dia menggerakkan tangannya,
berkata dengan suara lantang, Kita bukan anak-anak kecil yang datang untuk
mengadu mulut. Mari, silakan duduk dan bicara sepatutnya!! Dia lalu duduk
bersila dengan sebelah kakinya didahului oleh Dewa Bongkok yang memang perlu
banyak beristirahat sambil duduk bersila. Melihat kedua orang itu sudah duduk
berdampingan, empat orang di antara Im-kan Ngo-ok itu lalu mengambil tempat
duduk pula, duduk di atas tanah berpasir. Twa-ok dan Su-ok di depan mereka,
Ji-ok dan Ngo-ok di kanan kiri. Dewa Bongkok sudah duduk diam, memejamkan mata
dan melintangkan lengan tunggalnya di depan dada.
Keadaan menjadi sunyi
menegangkan. Enam orang itu duduk saling berhadapan membentuk lingkaran dan
Pendekar Super Sakti menatap wajah empat orang lawan itu satu demi satu.
Kemudian, terdengar suaranya lantang dan suara ini mengandung getaran amat kuat.
Im-kan Ngo-ok, kalian
mengundangku untuk mengadakan pertemuan di tempat ini. Nah, aku sudah datang,
kalau ada persoalan lekas kemukakan, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk
melayani kalian!!
Diam-diam Dewa Bongkok kagum.
Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh yang jauh lebih muda dibandingkan
dengan dia, namun pendekar ini telah membuat nama besar sehingga namanya
menggetarkan dunia persilatan dan menjadi semacam nama dalam dongeng. Dan
ternyata sikap pendekar ini memang amat berwibawa, sungguhpun tadi dia merasa
kecewa akan wawasan Pendekar Super Sakti tentang hubungan puteranya dengan
seorang gadis. Getaran suara penuh wibawa itu juga mempengaruhi empat orang
datuk kaum sesat itu, karena sejenak mereka duduk diam dan tiga orang di antara
mereka memandang kepada Twa-ok karena orang tertua atau pertama inilah yang
diharapkan untuk menjadi wakil pembicara.
Twa-ok dapat merasakan
tuntutan saudara-saudaranya ini, dan dia sendiri pun agak gugup. Menghadapi
pendekar yang demikian tenang dan penuh wibawa sikapnya, sungguh mendatangkan
kegugupan dan biarpun dia mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan diri,
tetap saja suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menjawab, Kami telah lama
mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang datuk yang telah mengundurkan
diri dari dunia ramai, selalu tinggal dengan aman tenteram di Pulau Es. Akan
tetapi secara tiba-tiba saja Pendekar Super Sakti muncul di dunia kang-ouw. Hal
ini amat mengherankan dan membuat kami merasa penasaran.!