Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 60 - Nenek Keras Kepala
Suma Han mengerutkan alisnya
yang sudah bercampur uban. Im-kan Ngo-ok, sesungguhnya bukan berita kosong yang
mengabarkan bahwa kami sudah bertahun-tahun berada di Pulau Es dan tidak mau
lagi mencampuri urusan dunia yang penuh dengan permusuhan. Akan tetapi kami
keluar dari Pulau Es bukanlah untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mencari
kedua orang putera kami. Sebaliknya Im-kan Ngo-ok yang juga terkenal sebagai
tokoh-tokoh yang sudah mengundurkan diri dan bertapa, tiba-tiba muncul dan
bahkan mengacau dunia dengan perbuatan-perbuatan jahat mereka, bahkan membantu
pemberontakan. Andaikata kami mendengar dari Pulau Es, agaknya sudah wajar pula
kalau kami sengaja keluar dari sana untuk menghadapi kalian! Sekarang, kulihat
pemberontakan telah dipadamkan, dan aku pun tidak mempunyai niat untuk
bermusuhan dengan kalian, dan ini bukan berarti bahwa aku takut kepada kalian.
Nah, cukuplah, aku harus pergi mencari anak-anakku.!
Nanti dulu!! Twa-ok membentak
dan sekarang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini sudah mendapatkan kembali
keberaniannya. Pendekar Super Sakti, sudah semenjak dahulu kami ingin sekali
berkenalan dengan kelihaianmu, bahkan kami pernah merencanakan untuk
mengunjungi Pulau Es, hanya untuk menguji kepandaianmu. Sekarang setelah kita
dapat bertemu di sini, dan memang jalan hidup kita selalu bersimpangan, maka
kami menantangmu untuk melanjutkan pertempuran antara kita beberapa bulan yang
lalu, dan sekali ini kami tidak akan berhenti sebelum satu di antara kita
roboh!! Setelah berkata demikian, Twa-ok meloncat bangun diikuti oleh tiga
orang temannya. Mereka berempat sudah memasang kuda-kuda dan siap maju
menerjang.
Agaknya masa untuk menyukai
pertempuran bagi Suma Han sudah lewat. Kalau dulu, tentu dia akan menyambut
tantangan ini dengan gembira. Akan tetapi sekarang dia bangkit dengan segan,
menarik napas panjang dan merasa malas untuk berkelahi.
Tanpa alasan kalian menantang
orang berkelahi, sungguh kalian ini orang-orang tua sudah kembali seperti
kanak-kanak.!
Ha-ha-ha, Pendekar Siluman,
bilang saja engkau tidak berani, ha-ha-ha!! Siauw-siang-cu atau Su-ok yang
pendek cebol itu mentertawakan dengan lagak mengejek dan dia sudah memasang
kuda-kuda dengan berjongkok, siap untuk melancarkan pukulan Katak Buduk yang
amat lihai itu.
Majulah, siapa takut kepada
kalian?! kata Suma Han, suaranya sama sekali tidak mengandung kemarahan. Dia
tidak mudah terpancing lagi untuk terjerumus ke dalam kemarahan yang hanya akan
melemahkannya.
Siancai....! Sungguh inilah
yang kukhawatirkan!! Tiba-tiba terdengar Dewa Bongkok berkata halus. Im-kan
Ngo-ok, kalian termasuk datuk-datuk yang sudah memiliki kedudukan dan ilmu
kepandaian tinggi, kenapa bersikap seperti tukang-tukang pukul bayaran yang
muda saja? Dunia kang-ouw selama puluhan tahun tentu mengetahui hal ini.
Sekarang kalian hendak maju melakukan pengeroyokan, apakah itu dapat dinamakan
gagah perkasa? Apakah kalian ingin merendahkan diri sebagai jagoan-jagoan pasar
saja?!
Ha-ha-ha!! Su-ok tertawa.
Kalau kau merasa penasaran, majulah, Dewa Bongkok!!
Su-te, serahkan Si Bongkok itu
kepadaku!! Ji-ok menyambung.
Akan tetapi Twa-ok dengan
sikap ramah-tamah dan suara halus menjawab, Locianpwe agaknya tidak tahu bahwa
julukan kami adalah Im-kan Ngo-ok dan kami sudah biasa maju bersama, baik
menghadapi seorang lawan atau seratus orang lawan! Jumlah sudah tidak masuk
hitungan lagi. Kalau Pendekar Super Sakti maju ditemani orang-orang lain, kami
pun tidak akan menolak. Nah, Pendekar Super Sakti, apakah engkau berani melawan
kami?!
Suma Han berkata kepada Dewa
Bongkok, Harap Locianpwe suka menonton saja di pinggir, saya masih sanggup
menghadapi mereka ini.!
Dewa Bongkok menarik napas
panjang. Kalau saja dia tidak terluka, tentu akan mudah saja menanggulangi
golongan sesat ini. Karena dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu, maka dia
lalu melangkah ke pinggir dan memandang penuh perhatian karena dia tahu bahwa
pertandingan yang akan terjadi ini adalah pertandingan tingkat tinggi yang
tentu amat hebat.
Dan memang sesungguhnya
demikianlah. Empat orang Im-kan Ngo-ok itu merupakan tokoh-tokoh tingkat atas
yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dalam perkelahian
mereka itu tidak lagi mengandalkan ketajaman dan kekuatan senjata. Kaki tangan
mereka telah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya orang-orang yang
benar-benar sudah mencapai tingkat tinggi saja yang tidak lagi membutuhkan
bantuan senjata.
Twa-ok Su Lo Ti berdiri dengan
kedua lengan terpentang lebar, dan sikunya ditekuk dan tangannya membentuk
cakar-cakar, seperti sikap seekor gorilla, yang hendak menyerang. Dan memang
kakek bermuka gorilla ini mendasarkan ilmunya kepada gerakan gorilla, hanya
bedanya, kalau binatang gorilla atau kera raksasa itu mengandalkan kekuatan
otot dan tulang, kakek ini mengisi gerakannya dengan tenaga sinkang yang amat
kuatnya, dan bahkan sambaran angin pukulannya saja sudah amat berbahaya bagi
lawan, di samping kekebalan kedua tangannya yang mampu menangkis
senjata-senjata tajam. Ji-ok Kui-bin Nio-nio amat berbahaya dengan ilmunya yang
luar biasa, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang).
Apalagi tersentuh atau
tertusuk oleh jari-jari tangannya, baru terkena hawanya saja sudah dapat
melukai lawan. Su-ok Siauw-siang-cu amat hebat dengan ilmu pukulan Katak Buduk
yang berbisa, sedangkan Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang tubuhnya jangkung tidak
lumrah manusia itu bersilat dengan jungkir balik, dan memiliki ginkang yang
amat tinggi di samping pukulan-pukulan beracun pula. Empat orang itu
masing-masing sudah merupakan lawan yang cukup berat, apalagi kalau mereka maju
berbareng. Namun, Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri tegak dengan sebelah
kakinya dengan sikap tenang sekali, tangan kanan memegang tongkat bututnya,
tangan kiri disilangkan di depan dada, sikapnya menanti gerakan lawan, menanti
saat penyerangan lawan.
Dan saat yang dinantinya itu
pun tibalah. Cepat bukan main gerakan pertama yang dilakukan oleh Ngo-ok itu.
Tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba sekali ada dua batang kaki yang
panjang dan besar, seperti dua buah cangkul menyerang Suma Han, mencangkul ke
arah kepala dan dada pendekar itu. Kecepatannya sukar diikuti dengan pandang
mata.
Plak-plak, wuuuttttt!! Dua
batang kaki itu tertangkis oleh tongkat dan cengkeraman tangan Ngo-ok, dari
bawah mengarah bawah pusar itu dihindarkan oleh Suma Han dengan meloncat ke
kiri.
Akan tetapi, dengan gerakan
otomatis, dia disambut oleh Twa-ok yang mencengkeram dari kanan kiri, akan
tetapi sebelum lawan sempat menangkis, gerakan mencengkeram itu sudah berubah,
yang kanan menampar dan yang kiri menotok ke arah lambung. Sungguh merupakan
dua serangan yang amat berbahaya dan satu di antaranya saja mengenai sasaran
akan cukup merenggut nyawa dari tubuh! Namun, Pendekar Super Sakti tidak
menjadi gugup, dia memutar tongkatnya yang berubah menjadi segulung sinar
terang, kemudian dia meloncat ke depan sehingga dia terhindar dari serangan itu
untuk menghadapi serangan langsung lagi dari Ji-ok.
Terdengar suara bercuitan
ketika jari-jari tangan yang kecil runcing itu bergerak menyambar, seperti
ujung-ujung pedang yang menyerang secara bertubi-tubi. Namun, semua tusukan
jari tangannya yang menjadi Kiam-ci ini dapat di tolak oleh kibasan tangan kiri
Suma Han. Belum juga jari-jari tangan itu tertangkis, sudah ada hawa dingin
sekali, lebih dingin daripada hawa Kiam-ci, menolak sehingga tangan Ji-ok
terpental. Kini Su-ok menyerang dari bawah dengan pukulan Katak Buduk. Suma Han
mengenal pukulan beracun, maka dia pun cepat menggunakan kelincahannya untuk
meloncat dan menghindar dengan loncatan tinggi.
Kini, empat orang itu mulai
menyerang secara bertubi-tubi, kadang-kadang berbareng dan saling membantu dan
terjadilah pertandingan yang amat luar biasa. Suma Han yang mengenal kelihaian
lawan, kini sudah mempergunakan ilmunya yang membuat dia amat terkenal, yaitu
Ilmu Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan
yang menyambar-nyambar, ke kanan ke kiri, kadang-kadang melesat jauh ke atas,
sukar sekali diikuti dan dengan Soan-hong-lui-kun, maka pendekar ini berhasil
menghindarkan diri dari semua serangan lawan. Dia pun membalas dengan tamparan
dan tusukan tongkatnya, namun empat orang lawannya itu pun mampu membela diri,
apalagi karena mereka saling bantu sehingga kedudukan mereka amat kuat.
Agaknya, pengalaman bertempur
melawan Suma Han tiga bulan yang lalu membuat mereka berhati-hati dan sudah
mengatur siasat untuk menandingi pendekar itu, yaitu dengan jalan saling bantu
dan tidak melakukan penyerangan sendiri-sendiri, melainkan dengan teratur dan
saling terlindung oleh kawan.
Sambil duduk bersila di
pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu dengan hati tertarik sekali.
Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia amat kagum
melihat Soan-hong-lui-kun yang hanya didengarnya saja akan tetapi baru sekarang
ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan itu, maklumlah dia bahwa Suma Han
telah menemukan suatu ilmu yang hanya mungkin dapat dimainkan secara sempurna
oleh orang yang berkaki tunggal.
Orang yang berkaki dua jangan
harap akan dapat menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan
Pulau Es itu. Diam-diam dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama
dengan Suma Han. Dia pun telah menemukan suatu ilmu yang khas untuk seorang
yang hanya berlengan satu seperti dia atau seperti Kao Kok Cu, muridnya, yaitu
Ilmu Sin-liong-liok-te dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan
harap akan dapat mainkan ilmu ini sebaik orang yang berlengan satu! Dia
menonton dengan kagum dan beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang
amat indah dari Suma Han ketika pendekar ini menghindarkan diri secara cepat
dan tepat sekali menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat ke
sana-sini seperti ada per-nya itu.
Akan tetapi, setelah
menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok dapat
melihat perbedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu
Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai
ilmu membela diri atau menghindarkan diri dari serangan lawan, kurang sekali
daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan lain-lain
yang tidak sehebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebaliknya, ilmunya itu lebih
banyak menyerang dan lebih kuat daya serangnya daripada daya tahannya.
Dengan Soan-hong-lui-kun,
biarpun Suma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar pula bagi pendekar
itu untuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini dapat bekerja sama
dengan amat baiknya itu. Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai berkemak-kemik,
menggunakan Imu Coan-im-jip-bit untuk memberi petunjuk kepada Suma Han seperti
yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia memberi petunjuk
mempergunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih memperkuat
daya serangan dari pendekar itu. Diam-diam Suma Han mendengar bisikan-bisikan
ini yang memang hanya ditujukan kepadanya. Dia maklum bahwa kakek itu memiliki
ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu-malu untuk menerima petunjuk ini,
Dan tiba-tiba dia berhenti
meloncat, melainkan menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian ke kiri
tiga kali dan tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok dan cepat
dia memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.
Wusssss....!! Hawa dingin yang
tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat. Biarpun
tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri sehingga
pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan
karena pendekar itu harus menghindarkan tiga orang penyerangnya, namun hawa
pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil!
Kembali Suma Han bergerak
aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian membalik dan tahu-tahu dia telah
menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia menggunakan
pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang amat panas. Kakek itu terkejut dan mengerahkan
kedua tangannya ke depan dengan tenaga sinkang sepenuhnya. Tidak urung dia
merasa kedua telapak tangannya seperti dibakar dan untung baginya, pada saat
yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi sehingga
terpaksa Suma Han kembali menghindar dan tidak mendesaknya. Demikianlah, dengan
petunjuk-petunjuk dari Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang dan beberapa
kali mendesak empat orang lawannya, sungguhpun selalu dapat digagalkan oleh
kerja sama empat orang itu yang saling membantu.
!Mana Sam-te, mengapa
terlambat benar?! Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring.
Aku datang.... aku
datang....!!
Dan bersama dengan suara itu
muncullah Sam-ok Ban Hwa Seng-jin, koksu atau lebih tepat lagi bekas koksu dari
Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apalagi setelah tewasnya Pangeran
Liong Bian Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal, bahkan dia
dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana Nepal. Dalam keadaan seperti itu,
ketika datang Su-ok menyusulnya dan minta kepadanya untuk membantu
teman-temannya menghadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu meninggalkan
Nepal tanpa pamit 1agi, melepaskan jabatan koksu yang dirasakan makin panas dan
tidak enak itu.
Kedatangannya agak terlambat,
akan tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada yang roboh,
bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau saudara
segolongannya itu terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang dibantu oleh
Dewa Bongkok yang memberi petunjuk. Begitu datang dan melihat Dewa Bongkok di
situ, Sam-ok terkejut setengah mati, akan tetapi dia pun lega ketika mendapat
kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat dan tidak mungkin
ikut bertanding.
Sejenak Sam-ok melihat
kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ternyata empat orang teman itu dapat
menandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan suara gerengan
seperti beruang marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti gasing! Itulah
Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti
gasing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat pukulan seperti
kilat cepatnya yang amat kuat menghantam ke arah Pendekar Super Sakti!
Melawan empat orang itu saja
keadaannya sudah seimbang, apalagi kini dibantu oleh orang seperti Ban Hwa Seng-jin.
Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya dibandingkan dengan kepandaian
Twa-ok atau Ji-ok dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri.
Memang sebenarnya lima orang itu sama sekali tidak mempunyai pertalian
persaudaraan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka ilmu mereka
masing-masing jauh berbeda dan memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau
mereka bergabung, adalah karena watak dan kesukaan mereka sama, dan tingkat
mereka itu ditentukan oleh pertandingan yang mereka adakan untuk mengukur
tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah amat banyak.
Kini Suma Han mulai terdesak
lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak. Dengan
Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima orang lagi
seperti mereka, kiranya tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han yang
mempergunakan Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya seperti bersayap dan
sukar sekali dipukul itu. Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia tidak
sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan diri
dari semua serangan. Tentu saja pertandingan seperti ini berat sebelah dan Suma
Han terus didesak dan dikejar-kejar oleh lima orang Im-kan Ngo-ok yang
lihai-lihai itu. Dewa Bongkok tidak sempat lagi memberi petunjuk saking
cepatnya serangan lima orang yang bertubi-tubi datangnya dan dilakukan dengan
gaya ilmu silat yang jauh berlainan itu. Kalau saja dia tidak terluka, tentu
dia dapat membantu dan bersama dengan Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan
mampu merobohkan lima orang itu. Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian
menyerang! Akan tetapi, apa mau dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak
mengerahkan sinkang karena hal itu akan berarti kematiannya.
Suma Han juga harus mengakui
bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini benar-benar terlalu berat baginya. Ilmu-ilmu
mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelimanya mempergunakan ilmu yang
berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal dasar atau sifat ilmu
mereka, dan hal ini membuat dia tidak mungkin melakukan serangan balasan.
Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti sehingga dia tidak sempat
membalas, dan terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan
Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Akan tetapi, tidak mungkin
berkelahi hanya dengan mengelak dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu
kali pun!
Tiba-tiba Suma Han
mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suaranya yang terdengar
seolah-olah dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru,
Haiii! Aku di sini!! disusul gemanya, Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!
Aku di sini!!
Lima orang Im-kan Ngo-ok
mengeluarkan seruan kaget dan mereka bergerak dengan kacau-balau karena mereka
melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi iima orang! Lima
Pendekar Siluman, semua memegang tongkat, dan masing-masing kini menghadapi
seorang Pendekar Siluman!
Seketika keadaan menjadi
berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat bekerja sama karena
masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya! Dan kini Pendekar
Super Sakti atau Pendekar Siluman itu mulai menyerang! Repotlah lima orang itu
dan segera mereka terdesak mundur!
Dewa Bongkok memandang dan
mengangguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh kekuatan
sihir itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Pendekar Super Sakti yang
dia dengar juga dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain sihir itu kini
telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga lima orang lawan itu menjadi
kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar Super Sakti yang
berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu kehilangan kerja
sama mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa tentu Majikan Pulau
Es itu akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran satu lawan lima itu.
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Dan muncullah seorang nenek
tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian tuanya sehingga
tubuhnya seperti telah mengerut menjadi kecil! Nenek itu adalah nenek bangsa
India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya berkeriput
terkekeh-kekeh seperti orang gila.
Heh-heh-heh, permainan kanak-kanak!
Hanya satu orang mana bisa berubah lima?! Nenek itu berkata sambil mengacungkan
tongkat hitamnya ke atas.
Terjadi perubahan pada
pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok itu! Kini lima
orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han yang lain, dan
yang ada hanya seorang saja. Tentu saja mereka menjadi girang dan cepat
menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi! Keadaan menjadi berbalik
kembali.
Suma Han terkejut sekali.
Tahulah dia bahwa nenek itu amat kuat dalam ilmu sihir dan kalau dia belum
dapat menundukkan nenek itu, tentu akan sukar baginya untuk mencapai
kemenangan. Tak disangkanya bahwa Im-kan Ngo-ok telah bersiap-siap, dibantu
oleh seorang nenek ahli sihir. Padahal Durganini, yaitu nenek India yang pandai
ilmu sihir itu, sama sekali tidak datang karena diundang oleh Im-kan Ngo-ok,
melainkan karena kebetulan belaka. Durganini kebetulan lewat di tempat itu dan
nenek ini yang sudah tua dan pikun, begitu melihat orang main sihir terus saja
terjun dan menentang karena gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat
disukanya, maka tanpa peduli siapa orangnya dan apa urusannya, tanpa diminta
dia terus saja menentang dan melawan Suma Han dengan ilmu sihirnya, membuyarkan
kekuatan sihir Suma Han yang membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima
orang itu!
Heh-he-he-he-he, orang kaki
buntung, hayo kau main-main dengan aku sebentar!! kata nenek itu terkekeh-kekeh
dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. Hadapilah naga api hitamku ini!!
Im-kan Ngo-ok terkejut
setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tongkat hitam itu sudah berubah
menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari mulutnya! Karena naga
hitam itu menubruk dari atas ke arah Suma Han, tentu saja mereka berlima takut
kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis mereka berloncatan ke belakang
sambil menonton dengan mata terbelalak. Sebagai orang-orang sakti mereka dapat
menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu hanyalah hasil kekuatan
sihir, akan tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh sihir itu
dan mata mereka melihat betapa naga itu seperti benar-benar naga hidup yang
amat menyeramkan!
Hemmm.... lihatlah naga putih
ini!! Suma Han membentak dengan suara yang mengandung tenaga hebat sekali
sambil melontarkan tongkatnya dan.... Im-kan Ngo-ok melihat tongkat Pendekar
Super Sakti atau Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi seekor naga putih
yang terbang melayang dan menyambut terkaman naga hitam. Terjadilah pertempuran
yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu, ditonton dengan
mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak mengenal nenek ini,
akan tetapi kedatangan nenek itu sungguh menguntungkan mereka karena mereka
tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh lima orang Pendekar Siluman.
Hanya Dewa Bongkok yang duduk
bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh oleh sihir kedua orang itu
karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat tinggi, akan tetapi dia
dapat merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari dua orang yang berdiri
berhadapan dalam jarak kurang lebih lima meter itu. Suma Han berdiri tegak
tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri membungkuk sambil
mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda.
Suma Han merasa terkejut sekali
ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu dalam ilmu sihir.
Beberapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptanya menjadi lemah dan dalam
pandangan lima orang Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus mundur. Suma Han
harus mengerahkan seluruh tenaganya dan barulah dia sedikit demi sedikit
mendesak mundur kekuatan nenek itu. Sebetulnya, kekuatan sihir yang dimiliki
oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan kebetulan saja,
melaiui proses kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia masih kecil (baca
cerita Pendekar Super Sakti), sedangkan Durganini semenjak muda sampai tua
mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu hitam dari India, maka tentu saja
nenek ini jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan Suma Han.
Akan tetapi, nenek ini sudah
tua sekali dan sudah pikun, lahir batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja
kekuatan sihirnya juga banyak menurun dan karena ini Suma Han dapat
mengimbanginya, bahkan kalau Suma Han hanya harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja, karena biarpun seenaknya dia
melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya.
Kau.... kau bandel, ya....?!
Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah menjadi dua tongkat yang
kembali ke tangan masing-masing. Lihat ini, aku akan membikin kau beku dengan
angin dingin!!
Nenek itu mendorongkan kedua
tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan panjang melengking seperti
orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri karena bertiup
angin yang amat dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah Suma Han
karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir itu langsung menyerangnya.
Api panas tidak takut
menghadapi dingin, nenek tua!! Suma Han berkata dan dia bersedakap. Im-kan
Ngo-ok terbelalak kagum dan serem melihat betapa kini tubuh Pendekar Siluman
itu seperti terbakar, bernyala dan bercahaya, mengandung api panas dan angin
dingin itu tidak mempengaruhinya! Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan
sinkang mereka untuk menahan hawa dingin yang menyusup tulang-tulang mereka
itu.
Nenek itu kembali mengeluarkan
teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di antara mereka, akan tetapi
baik nenek itu maupun Suma Han berdiri dengan kedua lengan diluruskan ke depan
seperti sedang mendorong dan mereka itu seperti patung-patung saja, hanya kedua
tangan mereka saja yang nampak agak tergetar. Sampai beberapa puluh menit
lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan seperti itu, dan diam-diam Suma
Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras kepala bukan main dan agaknya hendak
mengadu nyawa! Dia sudah merasa lelah sekali, dan dia maklum bahwa setelah
melakukan pertandingan mengadu kekuatan sihir seperti ini, dia bisa kehabisan
tenaga dan semangat, padahal dia masih menghadapi lima orang lawan tangguh itu!
Apa-apaan sih mereka itu?!
Ji-ok Kui-bin Nio-nio berseru tak sabar. Kesempatan baik ini tak boleh
kulepaskan begitu saja!! Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap untuk
menyerang Suma Han dengan pukulan Kiam-ci.
Ji-moi, jangan....!! Twa-ok Su
Lo Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka
dia lalu mendorongkan kedua tangannya untuk mendorong wanita itu ke samping.
Masih untung dorongan Twa-ok ini amat kuat karena pada saat itu, terdengar
Ji-ok menjerit dan berbareng dengan dorongan Twa-ok, dia terpelanting keras dan
bergulingan lalu bangkit berdiri dengan muka pucat, tangan kirinya hitam
seperti terkena api!
Cepat Twa-ok menghampirinya
dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok menyerang
tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri dengan kedua
lengan diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar biasa
panasnya akan tetapi yang seperti ada besi semberaninya membetotnya masuk.
Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia sampai terbetot masuk di
antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya lengannya
yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia bergidik
ngeri. Wanita bermuka tengkorak yang biasanya ditakuti orang seperti iblis itu
kini bergidik penuh rasa ngeri.
Sementara itu, adu tenaga
sihir antara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus. Wajah nenek yang
berkulit hitam itu kini nampak pucat, sedangkan wajah Pendekar Super Sakti
penuh keringat dan dari kepalanya mengepul uap putih, seperti juga kepala
Durganini. Celaka, pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main
dan hatinya keras seperti baja, tidak mau mengalah sedikit pun juga. Apakah
nenek ini hendak mengadu nyawa? Sungguh terlalu, karena dia merasa belum pernah
bentrok dengan nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena getaran yang
terasa olehnya amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan
sihirnya dengan sinkangnya yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan
Durganini.
Memang Durganini semenjak
mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan mempunyai watak yang enggan
mundur dan pantang mengaku kalah! Apalagi setelah dia berubah menjadi nenek tua
yang pikun, kekerasan kepala itu agaknya makin menjadi-jadi. Kini dia merasa
penasaran bukan main mengapa dia belum juga berhasil menundukkan orang muda!
itu.
Tiba-tiba keluar suara
gerengan dari dalam dadanya dan dengan bengong Im-kan Ngo-ok melihat betapa
dari uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-lumpai ke atas,
membentuk bayangan dan ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil terbungkus
uap atau kabut, meluncur ke atas menuju ke arah Pendekar Super Sakti! Inilah
puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan semangat
dari tubuhnya dan semangat! itu kini hendak langsung menyerang Suma Han! Suma
Han mengenal ilmu ini dan dia pun sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan
tetapi sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu, tubuhnya menjadi tidak
terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka.
Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek
yang sudah nekat itu!
Nini....! Jangan....!!
Tiba-tiba di tempat itu muncul
seorang kakek tua renta berpakaian sederhana. Begitu tiba di situ dan melihat keadaan
Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma Han dan tak lama kemudian
dari kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang membentuk bayangan seperti
dirinya yang terbungkus uap dan bayangan kecil ini meluncur naik menyambut
bayangan nenek itu.
Bayangan kakek itu seperti
membuat gerakan membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu
malah menyerangnya dengan hebat! Siapakah kakek itu? Dia adalah See-thian
Hoat-su, suami dari Durganini! Seperti telah diceritakan di bagian depan,
antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan suami isteri yang saling
mencinta dan mesra, akan tetapi, karena watak Durganini yang ku-koai (aneh)
mereka itu sering cekcok, sering berpisah, bahkan sering pula berkelahi! Dalam
hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng Siang In itu
masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini menang
setingkat. Seperti biasa, begitu bertemu dengan bekas suaminya ini, Durganini
tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang mati-matian! Tentu saja
See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri, dia berusaha
membujuk.
Suma Han duduk bersila dengan
bengong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang mencampuri, apalagi
melihat betapa kakek itu selalu mengalah biarpun terdesak hebat dan menerima
beberapa kali pukulan yang amat berat. Akan tetapi, tak lama kemudian, dua
bayangan itu sama-sama meluncur kembali kepada raga! masing-masing. Keduanya
mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut karena nenek itu
terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu muntah darah, lalu
bangkit terhuyung dan menghampiri nenek itu.
Durganini.... kau.... kau
kenapa....?! Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh cinta kasih.
Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan merangkul nenek itu, diangkatnya
kepala nenek itu dan disandarkan ke dadanya.
Ah, kau.... kau terluka hebat
oleh kekuatanmu sendiri.... kenapa engkau selalu keras kepala....?!
Nenek itu masih
terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa. Hiiiii.... kau.... kau pun
terluka parah.... ah, suamiku.... sakitkah....? Maafkan aku....!
Sungguh aneh, menggelikan dan
juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu berangkulan dan saling bersikap
mesra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa Bongkok mengeluh,
Siancai.... siancai, siancai....!!
Suma Han pun tahu bahwa kakek
dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita kakek oleh
pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek itu agaknya
telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga terpukul sendiri dan keduanya
menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi juga karena usia mereka yang sudah
terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal dunia. Dia
menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas, tenaga
sinkangnya banyak terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk sementara dia
tidak akan dapat menggunakan kekuatan sihirnya yang seperti dikuras habis tadi.
Im-kan Ngo-ok, lihat akibat
dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada dua orang luar yang
menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja perkelahian tiada guna ini,! kata
Pendekar Super Sakti.
Apa? Mereka ini datang tanpa
kita undang, dan mati karena perbuatan sendiri, apa sangkut-pautnya dengan
kami? Kami masih belum kalah!! bentak Sam-ok Ban Hwa Seng-jin dan dia Sudah
bergerak lagi membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang, diikuti oleh empat
orang saudaranya. Terpaksa Suma Han menggerakkan tongkat menjaga diri dan
melawan.
Sekali ini Suma Han benar-benar
terdesak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar sudah dibantu
dengan petunjuk Dewa Bongkok, masih sukar baginya untuk menandingi lima orang
Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak ketika dia mempergunakan sihir.
Kini, dia tidak lagi mampu menggunakan sihir seperti tadi dan sinkangnya sudah
banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu mengandalkan
Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Napasnya mulai memburu
karena dia merasa lelah sekali.
Melihat keadaan lawan, Twa-ok
girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya, Adu tenaga....!!
Lima orang itu kini menyerang
sekaligus, dengan pengerahan tenaga sekuatnya! Suma Han tidak melihat jalan
lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya pula. Terjadilah adu
tenaga sinkang tanpa telapak tangan mereka bertemu, akan tetapi dalam jarak
yang kurang dari satu meter. Lima orang itu mengerahkan tenaga dan terjadilah
adu tenaga satu lawan lima!
Andaikata Suma Han tidak
berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan Durganini, kiranya dia
dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan diri dan meloncat
untuk menghindar. Akan tetapi tenaganya sudah berkurang dan dia tidak dapat
mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka bertemu dan melekat, tidak ada
lain jalan kecuali melawan keras sama keras.
Dengan menancapkan tongkatnya
di atas tanah, Suma Han menggunakan kedua tangannya untuk menolak serangan
lawan. Dia menggunakan tenaga gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang,
gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi lawannya adalah orang-orang yang
amat kuat, dan kini mereka menggabungkan tenaga, maka terasalah oleh Suma Han
betapa pertahan-lahan dia mulai kalah tenaga dan keadaannya amat berbahaya!
Tiba-tiba dia merasa ada
sebuah tangan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan tenaga sinkang
yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam keadaan berbahaya
sekali bagi nyawanya dan dia tahu bahwa tangan ini menyalurkan tenaga untuk
membantunya, akan tetapi karena dia tahu bahwa penolong itu adalah Dewa Bongkok
padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia berseru, Locianpwe,
jangan....!!
Akan tetapi terlambat sudah.
Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan itu terjengkang
ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han terlepas dari bahaya,
akan tetapi dia melihat kakek berlengan buntung itu terhuyung, lalu duduk
bersila dan tak bergerak lagi.
Locianpwe....!! Suma Han
berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah menjadi
mayat itu! Lima orang lawannya sudah bangkit berdiri lagi. Mereka tidak
mengalami luka, akan tetapi hanya terkejut dan terdorong saja ke belakang
sampai terjengkang. Kini mereka memandang kepada Suma Han yang perlahan-lahan
sudah bangkit berdiri menghadapi mereka dengan sinar mata seperti mata naga
berapi-api.
Im-kan Ngo-ok, lihatlah apa
yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini adalah Dewa Bongkok,
Penghuni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka. Kini, akibat dari
perbuatan kalian yang memaksaku bertanding, beliau sampai menjadi korban!
Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau melepaskan kalian lagi!! Dan dengan
kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat kepada lima orang
itu.
Pada saat itu, begitu Suma Han
menyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, terdengat jerit
seorang wanita dan nampak tubuh berkelebat cepat, lalu wanita itu berlutut dan
menangisi mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee Li. Tadinya, karena merasa
sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki dia sebagai
puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin, Hwee Li
melarikan diri sambil menangis. Akan tetapi dia segera teringat kepada kakek
berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh meninggalkan kakek yang amat baik
kepadanya itu. Dia akan kembali dan mengajak kakek itu pergi meninggalkan
Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya. Ketika dia tiba di tempat itu,
dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti melawan Im-kan Ngo-ok,
kemudian dia melihat betapa gurunya, atau kakek berlengan satu itu membantu
Suma Han, kemudian terhuyung dan duduk bersila kembali. Ketika dia mendengar
kata-kata Pendekar Super Sakti bahwa kakek itu telah tewas dan bahwa kakek itu
adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan main, terkejut dan juga berduka
karena kakek yang ternyata adalah masih terhitung kakek gurunya sendiri itu,
atau mertua guru dari subonya, telah meninggal dunia. Maka dia menjatuhkan diri
berlutut sambil menangis dan tersedu-sedan.
Kini, Suma Han yang sudah
terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot karena
berturut-turut muncul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw Siauw
Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu datang-datang terus mengeroyok! Tentu saja
Suma Han makin terdesak hebat. Kalau dia mau mempergunakan Ilmu
Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar sakti itu masih akan
mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara lawan-lawannya yang akan mampu
mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi seorang pendekar besar seperti
Pendekar Super Sakti untuk lari meninggalkan gelanggang pertempuran. Dia
mempertahankan diri sedapatnya, biarpun dia sudah menerima beberapa kali
pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya terguncang dan tergetar. Namun
dia masih mengamuk terus dan ketika melihat dara remaja itu menangisi jenazah
Dewa Bongkok, pendekar sakti ini masih sempat berkata.
Nona, lekas kau menyingkir
dari sini selagi ada kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku
menahan mereka!!
Tadinya, hati Hwee Li penuh
kemarahan terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan ucapannya yang
menyakitkan hati, biarpun dia tahu bahwa pendekar itu tidak mengenalnya
sehingga kata-katanya di depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan untuk
ditujukan kepadanya. Marah karena mengingat akan sikap Kian Lee dan kini sikap
ayahnya yang sama pula. Akan tetapi, begitu mendengar bujukan halus pendekar
itu agar dia melarikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa kagum dan
terharu juga. Dia dapat melihat dengan jelas betapa pendekar itu dikurung hebat
dan didesak oleh para musuhnya, namun pendekar itu tidak memikirkan kepentingan
diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatannya dan membujuk agar dia
yang menyelamatkan diri! Betapa mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan
watak Kian Lee yang juga demikian gagah perkasa dan bijaksana. Hanya terhadap
dia dan riwayat keturunannya mereka itu amat tidak bijaksana! Kini, dara itu
bangkit berdiri, sama sekali bukan untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini
menjadi penyebab kematian kakek gurunya, atau juga gurunya karena dia telah
diwarisi bermacam ilmu silat yang hebat. Mana mungkin dia melarikan diri?
Tidak, sebaliknya malah. Dia harus membasmi orang-orang ini untuk membalas
kematian Dewa Bongkok!
Tiba-tiba terdengar pekik
nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke depan. Sekali
kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu terlempar
sampai lima meter jauhnya dan terbanting mati seketika! Dara itu dalam
kemarahannya telah mempergunakan satu di antara delapan jurus Cui-beng
Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok. Biarpun latihannya
belum matang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang
sute Su-ok terlempar dan tewas, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu
pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang yang berada dalam diri Hwee Li setelah
Dewa Bongkok mengoperkan! tenaganya kepada dara jelita itu!
Tentu saja tiga orang cebol
yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw Mo-li. Terutama
sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik karena bukankah dara
itu masih keponakan muridnya sendiri? Melihat dara itu membantu Pendekar Super
Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang cebol yang lain dia sudah menerjang
maju, bukan hanya dengan tangan kosong, melainkan menggunakan pedangnya yang
bersinar hijau! Akan tetapi, Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya
mencorong dan hal ini adalah berkat tenaga sinkang yang diterimanya dari Dewa
Bongkok. Begitu melihat sinar pedang hijau menusuk, dia miringkan tubuhnya dan
sekali tangan kirinya menekan ke bawah, terdengar bunyi krekkk! dan pedang di
tangan Mauw Siauw Moli telah patah! Sebelum wanita cabul itu hilang kagetnya,
tangan kiri Hwee Li yang mematahkan pedang itu kini menyampok ke atas, dan
kembali terdengar suara krekkk! disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang
telah patah tulang lehernya dan tewas seketika! Bukan main hebatnya
gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan keganasan pukulan-pukulan
itu saking marahnya. Dia terus menghadapi tiga orang cebol yang lain, kemudian
dia menggerakkan jurus ke empat, tubuhnya merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri
ditarik ke belakang, tubuhnya seperti hampir bertiarap, akan tetapi kedua tangannya
menyambar ke depan. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol
itu terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali karena ada yang
kepalanya retak, ada yang tulang-tulang dadanya remuk terkena sambaran hawa
pukulan jurus mujijat itu!
Sungguh sukar untuk dipercaya!
Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu membunuh lima orang cebol
yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw Mo-li yang merupakan seorang
tokoh besar dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan Ngo-ok yang terkejut setengah
mati, juga Suma Han sendiri memandang dengan penuh keheranan, kekaguman, akan
tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang luar biasa itu.
Kini Hwee Li menerjang maju ke
arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan mendesak Suma Han yang
sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti. Melihat ini, Sam-ok alias
bekas Koksu Nepal yang merasa sudah mengenal betul tingkat kepandaian nona muda
itu, cepat meloncat maju.
Eh, Nona, mengapa engkau
membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku menangkapmu dan
menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermainkan habis-habisan!! Ternyata Sam-ok
memandang rendah kepada nona ini. Memang betul bahwa nona ini telah merobohkan
enam orang itu, akan tetapi Sam-ok pun memandang rendah kepada enam orang itu.
Sambil menyeringai dia mementang kedua lengannya dan melangkah maju, sikapnya
menakutkan.
Kemarahan Hwee Li makin
memuncak. Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana-mana mendatangkan
kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locianpwe itu dengan nyawamu yang tak
berharga!!
Huh, bocah tak tahu diri!!
Sam-ok Ban Hwa Seng-jin marah sekali dan menubruk ke depan. Gerakannya cepat
bukan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li sehingga dara itu
sukar mencari jalan keluar dari serangan ini. Kedua tangannya yang besar itu
mencengkeram dari kanan kiri.
Hwee Li memang tidak berniat
untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu menyambar, dia pun lalu menyambut
dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga dari pusarnya.
Dukkk! Desss....!! Hebat
sekali benturan antara sepasang lengan yang besarnya melebihi betis Hwee Li
sendiri dengan dua lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Seng-jin
terpental sampai empat meter dan dia terbanting jatuh, debu mengepul dan dia
bangkit sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah!
Melihat ini, Twa-ok terkejut
dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, menubruk ke arah Hwee Li dengan
mengerahankan tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak, melainkan
tiba-tiba dia berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah dan tangan
kanan dipukulkan atau didorongkan ke depan dengan tangan terbuka. Inilah
pukulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, dengan mengandalkan tenaga yang meminjam
tekanan pada bumi.
Desssss....!! Tubuh orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau
saja dia tidak cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur
tubuhnya. Dia tidak terluka, akan tetapi merasa dadanya sesak dan dia memandang
dengan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian, dia membalikkan tubuh dan
berseru kepada empat orang saudaranya, Pergi.... angin keras!! Itulah tanda
bahwa fihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun
berlari-larian secepatnya dengan hati jerih.
Suma Han yang menderita luka
berdiri sambil memandang dara itu penuh kagum. Ahh.... sungguh hebat, engkau
agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini, Nona....!
Hwee Li hanya mengangguk,
sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han menjadi pucat dan
orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri, kemudian tubuhnya
bergoyang-goyang. Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah dia kepada Kian
Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah kekasihnya. Timbul rasa kasihan di
dalam hatinya.
Kau.... kau terluka,
Locianpwe....?
Suma Han menarik napas
panjang. Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat, Nona. Siapa
namamu?!
Nama saya Kim Hwee Li,
Locianpwe!
Hwee Li menanti dengan jantung
berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan pengaruh apa-apa terhadap
pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini belum pernah mendengar
namanya dan tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi dicelanya sebagai puteri
penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin!
Sebut saja aku paman, Hwee Li.
Dengan kepandaian yang kaumiliki, lewat beberapa tahun lagi saja belum tentu
aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku locianpwe. Kalau tidak ada
engkau yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari Dewa Bongkok, kiranya
sekarang aku sudah mati pula seperti dia. Ahhh, kasihan, seorang tokoh besar
harus tewas dalam kesunyian. Kita harus menyempumakan semua jenazah itu dan
memperabukan mereka.!
Semua?! Hwee Li bertanya,
heran. Juga jenazah delapan orang itu?!
Suma Han mengangguk, berbalik
dia bertanya, Ya, mengapa tidak?!
Tentu saja aku hanya ingin
menyempumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo.... eh, Paman. Delapan jenazah
yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.!
Ah, Hwee Li, jangan kau
berpendapat demikian. Betapapun jahatnya mereka, kini mereka telah mati, telah
menjadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?!
Hwee Li mernandang tajam dan
Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang demikian tajamnya itu.
Memang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok, sepasang mata dara itu
mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti! Jadi kalau begitu kita tidak
boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?!
Ya, begitulah. Yang jahat itu
perbuatannya, bukan orangnya.!
Biarpun pada waktu hidupnya
mereka itu amat jahat sekali?!
Ya, kita tidak boleh
membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kaubantu aku mempersiapkan
pembakaran besar untuk mereka.!
Mereka lalu mengumpulkan
kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun kering,
menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma Han
menumpuk jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang
kakek cebol ke atas tumpukan kayu, sedangkan jenazah Dewa Bongkok diletakkan di
atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang berkeras untuk memisahkan
jenazah kakek bongkok itu.
Aku hendak menyimpan abu
jenazah beliau, Paman,! katanya sebagai alasan ketika dia hendak memisahkan
pembakaran jenazah itu.
Eh, untuk apa?!
Untuk kuserahkan kepada yang
berhak menerima. Menurut.... cerita beliau sebelum meninggal dunia, beliau
mempunyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin mencarinya
untuk menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.!
Suma Han mengangguk. Memang
benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu. Engkau
sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.!
Mereka lalu membakar tumpukan
kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti jenazah-jenazah itu
terbakar menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li bercakap-cakap. Dia amat
tertarik kepada gadis ini, seorang gadis yang selain cantik jelita penuh
kelembutan juga mengandung kekuatan hebat, kelincahan, kejujuran dan keberanian
dengan hati yang keras, mengingatkan dia kepada Lulu isterinya yang ke dua
ketika masih muda.
Engkau berbakti sekali kepada
orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Melihat bahwa engkau telah mewarisi
ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.!
Tidak, Lo.... eh, Paman. Kami
kebetulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka dan akan dibunuh oleh
Mauw.... eh, wanita yang telah tewas itu.! Dia menuding ke arah tumpukan
jenazah yang terbakar. Melihat seorang kakek terluka tak berdaya hendak
dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh wanita itu kalau tidak
diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan bersama
dan beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepadaku.!
Berapa lama engkau
dilatihnya?!
Kurang lebih tiga bulan.!
Ahhh! Tiga bulan dan engkau
sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah memiliki kepandaian lumayan.
Dan engkau mengenal wanita yang kaubunuh itu agaknya?!
Hwee Li mengangguk. Aku pernah
melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang penjahat wanita yang amat
kejam.!
Bukan main...., Hwee Li, melihat
usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas tahun....!
Baru delapan belas, Paman.!
Nah, masih amat muda remaja,
akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat luas dan engkau
memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat tinggalmu dan siapakah
orang tuamu?!
Ditanya demikian, tiba-tiba
saja, Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Teringat dia betapa dia hidup
sebatangkara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama sekali, bahkan Mauw
Siauw Mo-li yang dulu dianggap sebagai bibi gurunya baru saja mati olehnya. Dan
kekasihnya meninggalkannya, juga subonya agaknya membencinya karena dia
keturunan pemberontak. Dan orang yang amat baik kepadanya, kakek berlengan
buntung yang ternyata kakek gurunya juga, itu baru saja meninggal dan kini,
jenazahnya masih dimakan api. Siapa tidak akan menjadi sedih mendengar
pertanyaan itu? Apalagi yang mengajukan pertanyaan adalah orang yang
diharapkannya menjadi ayah mertuanya akan tetapi yang tadi mengeluarkan caci
maki kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya, dan dia menangis sampai
mengguguk.
Suma Han memandang dengan
wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan wajahnya yang
mirip, melainkan wataknya, begitu mudah menangis! Dia merasa kasihan sekali
karena dia dapat menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat atas diri gadis
ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa sengsara dan berduka. Akan tetapi dia
tahu bahwa kalau seorang wanita menangis karena duka, biarkanlah dia menangis,
jangan ganggu, jangan hibur karena selama air matanya belum habis ditumpahkan,
hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang kesedihannya.
Setelah tangisnya reda, dan
menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi berair karena
tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa malu-malu sebagai
seorang gadis yang terbuka dan polos sehingga malah jauh daripada menimbulkan
jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih terisak, Aku sudah tidak mempunyai
orang tua, tidak mempunyai sanak keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal lagi,
Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena hal itu hanya membikin
hatiku makin sengsara saja.!
Suma Han mengangguk-angguk.
Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li. Katakanlah siapa yang
membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan membantumu, aku akan berusaha sekuat
tenaga untuk memberi penerangan dalam kegelapan hatimu.!
Ah, benarkah, Paman?!
Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya memandang dan ada senyum di bibirnya, dan
mata berseri, biarpun masih ada dua titik air mata yang baru saja turun ke atas
pipinya! Sungguh tiada bedanya dengan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika
masih muda, persis seperti dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa! Mengapa
Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada
Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?!
!Tidak, Hwee Li. Andaikata
engkau tidak pernah membantuku sekalipun, aku akan tetap membantumu dengan
sungguh hati.!
Mengapa, Paman? Mengapa Paman
demikian baik kepadaku?! Sepasang mata itu seperti hendak menembus ke dalam
dada dan suaranya penuh desakan.
Karena aku suka kepadamu, Hwee
Li. Engkau mengingatkan aku akan isteriku Lulu di waktu dia masih semuda
engkau.!
Ahhh....!! Tiba-tiba kedua
pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi gugup, dan untuk
menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat pembakaran jenazah Dewa
Bongkok dan menambah kayu kering pada api yang masih berkobar itu.
Setelah mereka duduk kembali
di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tempat pembakaran itu agar jangan terlalu
terserang oleh bau yang keras dari jenazah yang terbakar itu, Hwee Li berkata,
Tidak ada sesuatu yang perlu bantuanmu, Paman. Aku hanya bingung ke mana aku
harus mencari murid Dewa Bongkok untuk menyerahkan abu jenazahnya.!
Aku akan menemanimu dan
membantu mencari, Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi tadi, dan
selama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau engkau
melakukan perjalanan seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat, akan tetapi
mereka berlima itu merupakan lawan yang amat tangguh. Dengan kepandaian kita
berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu pergi ke
selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.!
Jadi Paman tidak kembali ke
Pulau Es?!
Suma Han menggeleng kepala dan
menarik napas panjang. Pulang tanpa disertai putera-puteraku, aku tentu akan
menghadapi dua orang wanita yang marah persis engkau.!
Jantung di dalam dada Hwee Li
berdebar tegang. Hampir dia bertanya siapakah Lulu itu? Ibu kandung Kian Bu
atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani bertanya, karena dengan
demikian berarti dia akan membuka rahasia dirinya. Mereka harus menanti sampai
sehari penuh dan menjelang malam, barulah pembakaran jenazah itu selesai. Abu
jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol
dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han, sedangkan abu jenazah Dewa
Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian digendongnya di punggung.
Malam itu juga Suma Han dan
Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke selatan, melintasi gurun pasir dalam
cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam hutan di seberang
gurun pasir itu, membuat api unggun dan beristirahat. Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Hwee Li telah menghidangkan panggang ayam hutan untuk Suma
Han.
Suma Han tersenyum dan
mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata penuh kasih
sayang. Terima kasih, anak yang baik, kaumakanlah daging ayam itu.!
Eh, kenapa, Paman? Aku sengaja
menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak kemarin Paman tidak pernah
makan, tentu lapar. Nah, silakan, lumayan untuk sarapan pagi, Paman.!
Terima kasih, engkau memang
baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak pernah makan daging lagi selama
beberapa tahun ini, Hwee Li. Kaumakanlah sendiri, aku tidak biasa makan
daging....!
Ahhh....! Kalau begitu, biar
kucarikan sayur-sayur untuk Paman! Dan sebelum pendekar itu sempat mencegah,
dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki hutan. Sampai lama dia pergi
dan akhirnya dia datang kembali membawa banyak sekali buah-buahan dan
sayur-sayuran yang dapat dimasak.
Nah, ini buah-buah segar,
Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur-sayuran ini....!!
Tidak apa, buah-buahan ini
cukuplah.!
Mereka lalu makan. Suma Han
makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang daging ayam. Mereka makan
sambil bercakap-cakap. Paman, mengapa Paman tidak makan daging? Apakah karena
agama yang Paman anut melarang Paman makan daging?!
Tidak, Hwee Li.!
Lalu mengapa? Apakah Paman
menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang berjiwa?!
Suma Han tersenyum lebar.
Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi suci? Tidak, Hwee Li,
bukan untuk menjalani kehidupan suci.!
Lalu untuk apa, Paman?! Gadis
ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum dijawab pertanyaannya.
Persis Lulu!
Bukan untuk apa-apa, anak
baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih baik untuk diriku
lahir batin, karena itulah aku tidak makan daging! Dan sekarang aku telah
terlanjur tidak suka, jadi, aku tidak memaksa diri yang tidak suka. Nah, puas
sudah?!
Hwee Li terbelalak, akan
tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru dia merasa bahwa
dia terlalu mendesak. Ah, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman jujur, tidak
seperti orang-orang yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak mau makan
daging, padahal kalau melihat orang makan daging dia mengilar!!
Suma Han tertawa mendengar
ucapan ini. Makin lama mereka melakukan perjalanan bersama, makin suka dia
kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia merasa menyesal mengapa
putera-puteranya tidak mencari jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut
berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila kepada anak seorang
pemberontak? Gila benar! Diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengambil dara
ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan
tetapi sebaiknya dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang,
cocok kalau mendapatkan seorang isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia
dengan Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama kerasnya,
kelak bisa menimbulkan keributan. Ah, bagaimanapun juga, dia harus mengambil
dara ini sebagai mantunya!
Beberapa pekan kemudian,
mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat tertarik dan suka
kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada pendekar ini.
Demikian tenang, demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian gagah perkasa,
penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya masih terasa sakit kalau dia teringat
akan pandangan Kian Lee dan juga pendekar sakti ini terhadap dirinya dengan
mengingat keturunan orang tuanya. Hwee Li dapat menduga bahwa gurunya dan
suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah suami gurunya, Kao Kok Cu,
murid dari Dewa Bongkok itu berhasil menyelamatkan keluarga Jenderal Kao Liang
yang tertawan dalam benteng, tentu dia akan mengatur keluarga yang telah
ditinggal mati ayahnya itu. Dan karena kabarnya keluarga itu telah diusir dari
kota raja secara halus, maka tidak mungkin kalau keluarga itu kembali ke kota
raja, tentu ke kampung halaman dari mana keluarga Kao berasal. Dan dia akan
mencari ke sana! Akan tetapi semua ini tidak dia beritahukan kepada Pendekar
Super Sakti yang diam-diam juga ingin lebih dulu mencari puteranya untuk....
diperkenalkan dengan dara pilihannya ini!
Pada suatu hari, pagi-pagi
sekali mereka tiba di persimpangan jalan. Menurut pengetahuan Hwee Li yang
pernah mendengar penuturan subonya tentang kampung halaman keluarga Jenderal
Kao, mestinya mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke Kang-lam di
mana keluarga Kao berasal. Akan tetapi Suma Han ingin mengambil jalan yang
kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu jenazah itu kepada suami
gurunya, maka dia membantah dan bertanya, Mengapa Paman hendak mengambil jalan
itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah kita harus mencari
murid Dewa Bongkok?!
Suma Han menarik napas
panjang. Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh nanti saja dan aku
serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih dulu menemukan
putera-puteraku, baru kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti, Gurun Pasir
itu.!
Ah, urusan kematian Dewa
Bongkok merupakan urusan yang amat penting bagi muridnya, Paman. Kenapa Paman
tergesa-gesa hendak mencari putera Paman?!
Karena aku hendak
memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.!
Hwee Li terbelalak memandang
wajah yang berseri lembut itu. Eh? Mengapa? Apa maksudnya Paman hendak
memperkenalkan aku kepada mereka?!
Pendekar itu menarik napas
panjang lalu duduk di tepi jalan itu. Kau duduklah, Hwee Li, dan dengarkan
kata-kataku.! Gadis itu memandang heran lalu duduk di depan pendekar itu, di
atas sebuah batu bundar.
Hwee Li, semenjak berkenalan
denganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah perkasa melawan
musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian setelah melakukan perjalanan bersamamu,
terus terang saja timbul rasa suka yang mendalam di hatiku. Engkau makin
mengingatkan aku akan isteriku ketika dia masih muda. Maka, semenjak beberapa
hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk.... mengambil engkau sebagai
mantuku!!
Ahhhhh....!! Hwee Li
terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang.
!Maafkan, Nak, bukan aku ingin
lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau tidak
mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka aku bicara begini terus
terang kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali untuk menjadi isteri Kian
Lee, puteraku....!