Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 7 - Dalam Pelarian
Ehhh!! Lawannya berseru kaget
juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu. Dia mengelak sambil berusaha
menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya.
Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap
Sang Puteri, melainkan juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi.
Karena kaki dan tengannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi
mengelak ke sana ke mari.
Kau hendak lari ke mana
sekarang?! Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram
ke arah rambut kepala Syanti Dewi. Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak,
dan selagi dia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama
sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu
saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada
Sang Puteri!
Aihhhg....!! Syanti Dewi
menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang. Dia berjungkir-balik dan
terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan,
ketika berjungkir-balik itu tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan
itu dipergunakan oleh Si raksasa untuk menyerbu ke depan. Pada saat itu, Siang
In menggerak-gerakkan tangannya ke arah Si raksasa dan berseru, Laki-laki tidak
sopan jangan main curang dan kurang ajar!! Suaranya melengking nyaring dan
mengandung daya tarik luar biasa sehingga Si raksasa itu memandang kepadanya.
Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis
dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.
Eh.... eh.... mana....?!
Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara
cantik yang menjadi lawannya.
Plak! Plak!! Dua kali pipinya
ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah
terasa panas dan dia terhuyung ke belakang.
Syanti Dewi sendiri merasa
telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya
berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka
dia lalu melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya
yang kecil.
Buk-buk-bukkk!! Tiga kali dia
memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang.
Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas
tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan
mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?
Si raksasa itu memang bingung
dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali
tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha
untuk menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini,
mencengkeram sana-sini, namun hanya menngenai angin saja karena Syanti Dewi
sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran
melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal
lawannya berada di sebelah kirinya!
Takkk! Aughhhhh....
aduhhhhh....!! Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya
dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah
digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti
bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh u
ung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya,
bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.
Dukkk....! Aduhhh....!! Dan si
raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan
itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah
menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In menggerakkan
tangannya dan kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri
di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat
mudah itu.
Siang In meloncat ke depan
sambil tersenyum. Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang
she Jiu. Sekarang kau majulah!!
Jiu Koan masih terheran-heran
oleh kekalahan temannya. Dia memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata
penuh selidik. Apakah yang terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah
atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih
daripada tolol! Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh
teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu berkata, Kemenangan temanmu
mencurigakan!!
Eh-eh-eh, sudah jelas kawanmu
kalah, engkau masih mencari alasan!! Siang In mengejek.
Benar, akan tetapi sungguh
tidak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya bukan
apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau dia dalam
keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu, yang mengganggunya!
Ah, omong kosong! Sudah kalah
masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua
adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi
menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak
alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!!
Muka Jiu Koan menjadi merah
sekali. Bagus!! bentaknya marah. Kalau begitu coba kaukalahkan aku dengan
keahlian kakimu itu!!
Diam-diam Siang In harus
mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab, Baik,
engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk
mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!!
Ucapan dara ini dianggap
terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak,
Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan
merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!!
Baru saja orang ini berkata
demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata
itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.
Plakkk!! Kaki itu sudah
menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil
memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia lalu menggereng
seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua
tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan cengkeraman
bertubi-tubi. Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih
besar lagak daripada kepandaiannya, maka dengan mudah saja dia menggunakan
ginkangnya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri. Menghadapi seorang lawan
seperti ini saja, memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apalagi
menggunakan sihirnya. Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan
setiap kali kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang tertendang,
tentu lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu
mengandung kekuatan yang amat hebat.
Baru saja berjalan belasan
jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tidak mampu menyerang
lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian
kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In tadi tidak berkata
berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh
gurunya dia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki yang dinamakan
ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) dan kedua kakinya dapat
melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.
Terdengar bunyi bertubi-tubi
ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil mungil
itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan
raksasa tadi. Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu saja mengerti
pula bagaimana untuk menggunakan kaki menendang, namun dia sama sekali bukanlah
ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki
lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang
In. Kini, biarpun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya
tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan
akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.
Bukkk!! Dan kini tubuh Jiu
Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan
mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.
Tangkap mereka! Bunuh....!!
Jiu Koan berteriak-teriak sambil bangkit memegangi perutnya, kemudian tangan
kanannya mencabut golok yang tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya
mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan
cepat dia mendekati Siang In.
Akan tetapi Siang In malah
melangkah maju. Kalian ini anggauta-anggauta Perkumpulan Hati Naga, apakah
tidak mengenal seekor naga aseli? Lihat baik-baik siapa aku!!
Syanti Dewi memandang penuh
perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang
itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali,
kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari
tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu
masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini
telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti
Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai
sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah menjadi naga,
tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap, yang
mengancam untuk menerkam mereka.
Enci, kesinilah, aku tidak
apa-apa,! kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata
Siang In sudah biasa kembali.
Aihhh, kau menakutkan aku....!
katanya.
Pada saat itu terdengar suara
melengking panjang dan suara ini disusul bentakan, Kembalilah kalian
penakut-penakut menjemukan!!
Mendengar suara ini, Jiu Koan
dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada
seorang pemuda yang baru muncul. Ampun, Kongcu.... ada.... ada siluman....! Jiu
Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu,
ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak nampak ada
naga di situ. Pemuda tampan itu tidak mempedulikan Jiu Koan dan dia segera
bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi.
Dua orang dara itu pun
memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini
yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan
Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu.
Ketika pemuda itu yang bukan
lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun, melihat bahwa yang ribut-ribut di situ
adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya, diam-diam dia merasa
terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantungnya sudah bergoncang hebat
karena harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita
sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia bengong
dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi
wajah dan tubuh mereka.
Siang In memandang sambil
tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu tampan dan
wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di
beri sedikit pemerah bibir, dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati
kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali, pakaiannya serba
indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan biarpun
pemuda itu berdiri dalam jarak empat metet darinya, dia dapat mencium bau wangi
semerbak datang dari tubuh pemuda itu! Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini
betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun,
pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh
tahun.
Enci, mari kita pergi,! kata
Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali dari
lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda
pesolek yang mengerikan itu.
Eh-eh, harap perlahan dulu,
Ji-wi Siocia (Nona Berdua)....!! Terdengar suara halus dan ada angin menyambar
dari samping mereka. Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek
itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki ginkang
yang hebat juga! Kini mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin
menyengat hidung kedua orang dara itu.
Siang In pura-pura tidak
mengenal orang itu dan dia bertanya, Siapa engkau dan perlu apa engkau
menghadang perjalanan kami?!
Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura
dengan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata, Harap Ji-wi Siocia
suka memaafkan anak buah kami kalau mereka itu lancang dan membikin Jiwi tidak
senang hati.!
!Hemmm, anak buahmukah mereka
itu?!
Benar, Nona. Saya adalah Tang
Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah tempat
tinggal kami!.
Ah, kiranya begitu? Memang
anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri hajaran
kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka....!
Aih, tidak sama sekali, Nona!
Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami yang
terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini engkau!! pemuda itu membentak
dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat datang menghampiri ketuanya dengan
sikap takut dan hormat.
Siap, Kongcu,! katanya dengan
berdiri tegak seperti perajurit.
Aku melihat tadi engkau dan
seorang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil
sini!!
Jiu Koan berteriak memanggil
temannya, si raksasa tadi digajul kedua tulang kering kakinya oleh Syanti Dewi.
Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut.
Mereka inikah yang telah
mengganggu. Ji-wi?! Tang Hun bertanya sambil kini memandang kepada Syanti Dewi.
Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan
aneh itu bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh,
hampir setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan
jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang
mengerikan.
Baik, kalian lihatlah, Ji-wi
Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurangajaran mereka. Kupenggal kepala
mereka!!
Syanti Dewi terkejut bukan
main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat,
pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.
Wuuuttttt.... crak-crakkk!!
Dan leher dua orang itu terbabat putus, kepala mereka terpental dan darah
muncrat-muncrat!
Ihhh....!! Syanti Dewi
menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi
Siang In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.
Tidak apa-apa, Enci. Lihat
lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita.!
Syanti Dewi terheran,
mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan
tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.
Tang-pangcu, kami bukan anak
kecil. Tidak perlu kau menipu, kami dengan sulapan yang hanya pantas
kaupertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi
ini disembelih!! Berkata demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah dua
orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pesmuda itu terbelalak dan meloncat
ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu berubah
menjadi dua ekor babi!
Aihhhhh...., bukan main....!!
Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan mengerahkan sinkang dan
seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat dua orang pembantunya itu kembali
menjadi manusia seperti biasa.
Hebat....!! Dia berseru lagi
dan kini dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura. Engkau hebat,
Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu
agung kami.!
Akan tetapi Siang In
menggeleng kepala. Terima kasih. Kami akan pergi saja!
Mana bisa begitu, Nona?
Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi kalau bukan hendak
mengunjungi Liong-sim-pang?! Pemuda pesolek itu bertanya heran.
Siang In menggeleng kepala dan
berkata, Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liong-sim-pang
atau siapapun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu
adalah sebuah dusun atau kota, maka kami hendak mengunjunginya. Kemudian kami
bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham. Sekarang biarkan kami
pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan orang-orang gagah
yang tidak suka mengganggu wanita.!
Pemuda itu menjura dengan
hormat. Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orangku telah berlaku lancang, akan
tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami. Hari
sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam
ditempat kami ini.!
Akan tetapi, bujukan ini tidak
dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu saja
mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya.
In-moi, mari kita pergi saja,!
Syanti Dewi berkata.
Pangcu, kami berterima kasih
atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah.!
Pada saat itu, terdengar suara
ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia mengenal
suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa akan tetapi tidak
ada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata
temannya itu. Tampak olehnya ada asap hitam yang bergumpal-gumpal dan
bergulung-gulung datang dari atas, kemudian setelah tiba di situ, asap itu
membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah
tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek
ini yang dulu merupakan pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang
sakti itu.
Subo....!! Siang In juga cepat
memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu. Di dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang nenek
India ahli sihir yang berilmu tinggi, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru
Siang In. Oleh karena itu, Siang In menyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu.
Eh, eh, Subo, siapakah Nona
ini dan mengapa menyebutmu Subo?! Hwa-i-kongcu bertanya dengan heran, kaget dan
juga girang.
Ho-ho, dia itu adalah murid
See-thian Hoatsu,! kata Si Nenek sambil tertawa sehingga mulutnya yang tidak
ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap.
Aih, kiranya masih Sumoiku
sendiri!! Tang Hun berseru girang.
Heh, bocah, siapa namamu? Aku
sudah lupa lagi!! Nenek itu dengan kata-katanya yang logatnya kaku bertanya.
Teecu (Murid) Teng Siang
In....!
Oya, Siang In! Mana tua bangka
gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!! Durganini celingukan ke kanan kiri.
Suhu sedang bertapa di Gua
Tengkorak di Po-hai, Subo....!
Hi-hik, dia, tentu akan mampus
dan menambah jumlah tengkorak di sana.! Tiba-tiba dia memandang ke arah Syanti
Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar. Hei! Ini.... bukankah
ini Puteri Bhutan itu?!
Siang In terkejut, tidak
menyangka bahwa nenek itu mengenal Syanti Dewi. Memang Durganini seorang yang
aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam.
Benar, Subo....!
Wah, kebetulan. Tang Hun,
Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi
permaisurimu. Hayo bawa dia!!
Tang Han juga terkejut dan
girang. Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok untuk menjadi
isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi dia bertemu dengan
dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan
wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pantas menjadi isterinya.
Siapa tahu, yang satu masih sumoinya sendiri dan yang lain adalah Puteri Bhutan
yang terkenal itu karena pernah nama puteri itu disebut-sebut oleh seluruh
dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah menggegerkan negara. Kiranya
orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan
agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa disuruh untuk kedua kalinya,
Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti
Dewi.
Tahan....!! Siang In berseru
marah.
Ho-ho, Siang In, kau mau apa?
Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suhengmu! Bawa dia
Tang Hun,! kata Durganini.
Tang Hun menyambar lengan
Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia
mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini
tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok
Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memondong tubuh yang padat menggairahkan
itu.
Keparat....!! Siang In
menerjang maju akan tetapi tiba-tiba dia berhenti karena ada asap hitam
menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi
dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini
dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-sim-pang menuju ke tempat itu.
Hi-hik, bocah tolol. Apakah
engkau mau melawan aku?! Durganini tertawa mengejek.
Hati Siang In mendongkol
sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum
bahwa biarpun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian
gurunya sendiri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia
sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk melindungi
dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi,
anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan
dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua
kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar dapat mencari
akal untuk menolong Syanti Dewi.
Subo, kau terlalu!! teriaknya.
Kau hanya berani mengganggu aku. Suhu berkata bahwa kalau Suhu bertemu Subo,
kalau Subo berani datang ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai Suhu akan mengunduli
kepalamu!!
Nenek itu menjerit, suaranya melengking
saperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan tetapi Siang In yang sudah
menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan mengerahkan
ginkangnya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan
tetapi, seperti telah diduga oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tidak
mampu menyusulnya dan dari belakang juga tidak mampu menggunakan sihirnya. Dia
sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu
tidak mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan
sampai dia tua renta pun rambutnya tetap hitam. Maka sengaja Siang In tadi
mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek
itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In.
Karena dia tidak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga
napasnya sampai hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah
sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari
bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya.
Dia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Gua
Tengkorak. Dan memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek
sakti itu meninggalkan benteng Liong-sim-pang!
Malam itu, Siang In duduk
dengan bingung dan termenung di bawah bukit, dalam sebuah hutan. Hatinya
gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa
kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi,
memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya!
Akan tetapi, hatinya agak
lapang, ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya menangkap seorang penjaga
di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa
Hwa-i-kongcu tidak mengganggu Saang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu
lagi Hwa-i-kongcu, akan merayakan pernikahannya dengan Syanti Dewi dan
mengundang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya
Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.
Mendengar ini, Siang In lalu
mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda pesolek
itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena
selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya
tidak banyak menolong, juga dia mendengar bahwa di dalam benteng itu
Hwai-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak buah
Liong-sim-pang juga tidak kurang dai lima puluh orang banyaknya. Dia harus
mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba,
Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau merusak keadaan
dan suasana pengantin baru, tentu tidak akan memperkosa gadis yang
dicalonkannya menjadi isterinya yang syah!
Sekarang kita tinggalkan dulu
Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi dan
marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma Kian Lee yang telah kita
tinggalkan, karena dua peristiwa itu sejalan dan agar jangan sampai salah satu
di antaranya tertinggal jauh.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana
Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya utusan kaisar
yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang
masih muda belia itu. Terjadilah keributan di dalam taman ketika terjadi
penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada utusan sehingga
mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan fihak yang anti
kaisar. Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang
diam-diam menentang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan
dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo li yang
cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-jagoan
Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Honan.
Seperti telah kita ketahui,
diam-diam Suma Kian Lee hadir di dalam pesta itu dan menyaksikan
pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat
Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su
Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah tebing, ketika dia hendak
ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam 1agi.
Betapapun juga, ayahnya adalah mantu kaisar dan dia terhitung adalah cucu
kaisar. Biarpun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu
tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan
Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma
Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu harus ditolongnya, apalagi pada saat itu
Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh
diganggu oleh siapapun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang
mengutusnya.
Pada saat itu, Pangeran Yung
Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang telah
mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran
sambil berseru, Pangeran, perlahan dulu....!!
Plakkk!! Kian Lee menampar
dari belakang menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat
akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!
Keparat, kiranya engkau pun
mata-mata dari Ho-pei!! terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin
menyambar dahsyat dari belakangnya. Kian Lee cepat mengelak dan ternyata yang
menyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang menyerangnya dengan
guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah
kepalanya, akan tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang
seolah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Akan tetapi, serangan dari
kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan cepat dapat
dihindarkan oleh Kian Lee.
Singgg....!! Sinar hijau
menyambar dari arah kirinya. Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang
bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya sangat cepat dan mendatangkan
angin dingin. Dia membuang diri dan menggerakkan kaki untuk menendang agar si
pemegang pedang tidak dapat melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan
gesitryya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata
penyerangnya itu adalah wanita cantik yang agaknya menjadi pembesar para
panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.
Kian Lee masih diserang oleh
beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun dia masih
dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut karena memang
dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun
tangan hanyalah karena dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar
oleh Perwira Su Kiat. Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya
ada enam orang itu, Kian Lee memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa
Pangeran Yung Hwa telah digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan
gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak
melerai, kemudian menarik Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia
melihat Gubernur Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu
berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee
menjadi bingung akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka
dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.
Pemuda perkasa itu memang tadi
salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena pangeran ini
hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat
mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu
nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak melindungi
Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai ikut celaka dalam penyergapan yang
ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei itu. Dia ingin menawan Gubernur Hok
Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai sebagian
daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei.
Gubernur Hok Thian Ki yang
melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh
Tok-gan Sinciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan
pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pengawal lain. Belasan orang
pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan Sin-ciang, bersama dua
orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri,
menyelinap di sebuah lorong gelap dan melihat betapa para pengawalnya terus
mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya. Gubernur Hok cepat menyelinap
memasuki sebuah kamar dan cepat-cepat menutupkan pintu kamar itu.
Taijin, cepat ke sini....!
Suara halus ini mengejutkannya. Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan
mengira kamar itu kosong. Akan tetapi ternyata kamar itu kamar tamu yang
tinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah
Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok
membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang
menegurnya hanya seorang pelayan muda yang cantik, hatinya menjadi lega.
Sssttttt.... harap kau diam
dan menolongku.... aku hanya bersembunyi.... mereka mengejar untuk membunuhku,!
katanya, terengah-engah karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di
luar kamar terdengar suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan orang
bertempur, akan tetapi masih agak jauh.
Saya mengerti, Taijin. Biarpun
saya hanya pelayan di sini, akan tetapi saya memperhatikan semua dan mengenal
Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?!
Benar, anak baik. Biarkan aku
bersembunyi di sini sampai aman!
Justeru kalau bersembunyi di
sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat
ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara.!
Tapi.... tapi bagaimana?!
Saya akan membantu Taijin.
Taijin harus menyamar, marilah, Taijin! Dengan tabah sekali wanita muda itu
lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran. Dicukurnya kumis
gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala
diawut-awut dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya digelung biasa
secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai,
menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh gubernur itu berganti
pakaian sebagai tukang kebun.
Bagaimana dengan
Pangeran....?! Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali.
Jangan khawatir, Taijin. Saya
yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak apa-apa!
Eh, engkau seorang pelayan,
bagaimana tahu ?!
Saya memperhatikan, Taijin,
dan saya mendengarkan percakapan mereka, antara gubernur dan Ouw-teetok dan
para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang
akan ditawan
Celaka....!!
Jangan khawatir, kini tidak
akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar! Cui Lan menggandeng
tangan pembesar tua itu.
Nanti dulu....!! Pembesar itu
berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh
keharuan. Nona.... kau seorang pelayan akan.... tetapi.... ah, berhasil atau
tidak usahamu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki tidak akan melupakan
pertolonganmu ini!!
Cui Lan menjadi terharu.
Sudahlah, Taijin, saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu
keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan
perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada di fihak
benar. Marilah!! Dia menggandeng tangan pembesar itu, ditariknya keluar,
kemudian mereka menyelinap di antara rumah-rumah, pohon-pohon dan di antara
orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka.
Siapa yang akan mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun di saat
geger seperti itu?
Kita harus melalui taman....!
Tempat pertempuran itu?!
Gubernur Hok terkejut.
Benar, akan tetapi hanya di
sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang kebun berada di
taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan. Mariliah,
Taijin....!
Mereka berjalan terus memasuki
taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para pengawal
utusan kaisar, para jagoan Ho-pei dan para perajurit pengawal Ho-nan yang amat
banyak. Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti
pengawal Ouw-teetok yang mata keranjang itu, Ho-nan Ciulo-mo jagoan dari Ho-nan
dan banyak lagi tokoh-tokoh pengawal yang berkepandaian tinggi karena mereka
melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan
tetapi ternyata kini membantu fihak Ho-pei itu.
Kian Lee memang sengaja
mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan agar.
mengeroyoknya sehingga dengan demikian, fihak Ho-pei akan dapat meloloskan
diri. Kalau dia mau, tentu saja dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa mengirim
pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang namun pemuda ini tidak
bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya.
Akan tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan
Ciu-lo-mo, tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya.
Sambil menghadapi pengeroyokan
itu, menggunakan kaki tangan untuk menangkisi senjata-jsenjata yang menyambar,
juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-cari.
Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana dengan Gubernur Hop-ei? Demikian
pikirnya dengan hati khawatir juga.
Tiba-tiba dia mengenal wajah
Cui Lan. Terkejut dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di
dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang
jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu?. Pada saat itu, Cui Lan juga menengok
dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda yang amat baile dan
sopan.
Aiiiiihhh....!! Cui Lan
menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Honan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat
menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak
terpecah perhatiannya memandang Cui Lan.
Desssss....!! Kian Lee
terkejut, tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis, dan ia tidak
mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia
berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam
kolam.
Byuuuuurrr....!!
Aiiiiihhhhh....!! Kembali Cui
Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu, akan tetapi
karena yang menjerit itu hanya seorang pelayan yang berdiri bersama seorang
tukang kebun, mnaka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si
tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan
cepat, menyelinap ke dalam geiap.
Tok-gan Sin-ciang dan dua
orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat memancing
para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi
dan kini, Tok-gan Sin-ciang biarpun hanya bermata sebelah, namun dia mengenal
tukang kebun! yang tadi berdiri di sana bersama pelayan itu. Dia berteriak
girang dan terus, mengamuk, agar fihak mnusuh tidak memperoleh kesempatan
memperhatikan tukang kebun itu!
Sedangkan komandan pasukan
pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang melihat betapa
pemuda perkasa yang membantu fihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia
cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai
renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang membantu fihaknya itu, maka
dia ingin menolong.
Akan tetapi, sebetulnya Kian
Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini
tentu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat
komandan yang perkasa itu berenang menghampirinya, Kian Lee berkata, Tidak
apa-apa, Ciangkun!!
Awas....!! Komandan itu
berseru ketika melihat anak panah yang banyak sekali menyambar ke arah Kian
Lee. Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan
anak-anak panah itu runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan
main.
Akan tetapi sekarang,
anak-anak panah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga
menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah
berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah
mereka!
Sibuk jugalah Kian Lee dan
komandan itu. Biarpun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja
gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang
cukup tangguh itu dapat pula menyelam untuk menghindarkan diri dari sambaran
anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa naik ke darat!
!Kita harus mencari jalan ke
luar!! Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi karena
dia sudah dijadikan sasaran anak panah. Mereka mulai berenang menjauh ke
tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam dan ternyata di pinggir timur terdapat
pintu air untuk membuang atau menguras air itu agaknya. Kalau airnya tidak
sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar
kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian Lee.
Tiba-tiba Kian Lee terkejut
bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para pernanah itu. Tadi
Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggauta pasukan itu dengan menangkapi
anak panah dan menyambitkannya ke arah mereka.
Hentikan anak-anak panah itu
kalian orang-orang tolol. Lihat, aku akan membunuh mereka dengan ini! Dan
wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee!
Celaka....!! Kian Lee berseru.
Dia mengenal benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li, sumoi dari
Hektiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga
mernpunyai senjata rahasia yang amat mengerikan, yaitu senjata peledak! Kalau
sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku
Garuda itu tentu akan celaka dan tewas!
Pemuda ini memang memiliki
dasar watak tenang sekali. Biarpun menghadapi ancaman bahaya yang amat besar
ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan
ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu
terkandung kewaspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang bergerak lebif
cepat dari apa pun juga di dunia ini. Dalam waktu beberapa detik itu saja,
ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat mempergunakan
kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur
tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras,
maka dia mengerahkan sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, kemudian
begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat melontarkan benda itu ke arah
pintu air di timur!
Blaaarrrrr....!! Sinar kilat
menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu
menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air
kolam membanjir ke arah pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air
yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga seorang yang perkasa
seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang
amat kuat itu. Apalagi si komandan yang biarpun gagah namun masih jauh di bawah
Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang
amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air di bawah
tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang datang
dari seluruh bagian istana.
Suma Kian Lee menangkap tangan
komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu mereka berdua
membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari
benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw
Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran sekali.
Kita hadang mereka di sungai,
di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana kalau
mereka belum mampus!! teriak Wan Lok It dan bersama beberapa orang pengawal dia
lalu cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di
pinggir dan luar kota.
Kian Lee dan komandan pasukan
Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air tidak lagi
begitu kencang, dan karena saluran itu mtlebar, maka air pun menjadi dangkal.
Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki dengan hati-hati di
tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di terowongan saluran air
ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.
Eh, apakah di depan itu?!
Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru.
Kian Lee juga sudah melihat
benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu kecil
dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang.
Akan tetapi bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam terowongan, di atas air?
Biasanya binatang-binatang kecil ini hanya terdapat di kebun-kebun dan
ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa heran sekali,
dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapapun mereka
membelalakkan mata, tetap saja mereka tidak dapat melihat benda atau binatang
apakah yang berkerlapan seperti kunang-kunang itu.
Eh, baunya....!! Tiba-tiba
Kian Lee terkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular merah di Pulau Es,
yang juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun
atau sejenis binatang lain yang beracun. Awas....!!
Akan tetapi terlambat karena
komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan
itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi kunang-kunang!
itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular!
Aduhhhhh....!! Dia menangkap
dengan tangan ke dua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang menggitnya adalah
seekor ular, mnaka diremasnya ular itu sampai hancur. Celaka, aku digigit
ular....!!
Dan memang yang mereka sangka
kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali terdapat di
dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan
mengeroyok mereka!
Kerahkan singkang melindungi
tubuh!! Kian Lee berseru dan mulailah dia menggunakan kedua tangannya untuk
memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular yang berdekatan dengan mereka mati
semua dan bangkai mereka hanyu oleh air. Kian Lee lalu memasukkan kedua
tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan
dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui
dari mata mereka yang bersinar-sinar. Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap
terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu tepat mengenai
kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat
membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia
telah terkena racun gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya.
Celaka....!! seruannya!
Lenganku lumpuh....!
Kian Lee meraba lengan itu
kemudian dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan
darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta
pinjam pedang komandan itu, sambil meraba-raba dia merobek kulit daging tangan
yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot dan meludahkan sendiri darah
dari luka itu.
Biarpun bukan merupakan
pengobatan yang manjur, namun cukup untuk menyelamatkan nyawamu, Ciangkun,! katanya.
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang,
juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian
Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo
yang tertawa dan berkata nyaring, Tutup mulut saluran itu, ha-ha-ha, biar
mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!!
Kian Lee maklum apa yang
terjadi.
Cepat kita harus mencapai
mulut terowongan sebelum ditutupi!! Dia berkata sambil menarik tangan komandan
itu. Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam
air itu dan ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan
tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah
tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya
sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai
naik perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun
menimbulkan bau yang menyesakkan dada.
Kita tinggalkan dulu Kian Lee
dan komandan pasukan pengawal istana itu yang terkurung di dalam terowongan
yang gelap pekat dan terancam maut dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur
Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri
bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap
sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau
dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota. Karena
mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh
tukang kebun dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka
agaknya padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk
meloloskan diri dari tembok kota. Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari
pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur
Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah
melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh
pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan
perjalanan.
Akan tetapi, belum jauh mereka
berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan dan menarik gadis itu
menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda.
Benar saja, tak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan
yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur
Hok menghela napas panjang.
Berbahaya sekali....! Dia
mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu
mereka segera kembali....!
Cui Lan duduk di atas rumput
di balik semak-semak itu. Habis, bagaimana baiknya, Toijin?!
Kalau mereka itu sudah
kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa
kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai
mereka kembali.!
Akan tetapi mereka tidak perlu
menanti terlalu lama karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu sudah
kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka menengok ke
kanan kiri mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan
mendengar komandan pasukan itu berkata, Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh
dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka
bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka
pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima
hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm.... dia harus
dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!!
Eh, Twako. Mana ada hukuman
mesra?!
Engkau tehu sendiri, ha-ha-ha!
Kabarnya dia masih perawan!! Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka lenyap
dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua
tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan
pucat.
Celaka, kalau begitu kita
tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku
tidak tahu jalan....! kata Si Gubernur tua dengan khawatir. Baiknya, biarlah
aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri
ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan....!
Aihhh, mengapa demikian,
Taijin? tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya....!
Engkau seorang wanita....!
Hanya seorang pelayan....!
Bagiku engkau bukan sekedar
pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani dan
berbudi. Nona, siapa namamu?!
Phang Cui Lan....!
Nah, Cui Lan, kita berpisah di
sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Ho-nan.
Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh
melapor kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan.
Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa
membalas budimu.!
Gubernur tua itu lalu bangkit
berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju ke
selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan
khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar
yang demikian manis budi, seolah-olah sikapnya seperti seorang ayah saja
baginya.
Taijin....!! Tiba-tiba gadis
itu memanggil dan dia bangkit berdiri.
Gubernur Hok berhenti, membalikkan
tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat
persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.
Eh, Cui Lan, jangan keluar!!
Cepat, Taijin, saya mendapat
akal mari!! Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi
jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar
yang cukup lebat sehingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan
raya itu.
Dengan suara bisik-bisik Cui
Lan berkata, Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah
pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat.
Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apabila
sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu
yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah
waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu.!
Gubernur Hok Thian Ki
mengerutkan alisnya. Cui Lan, engkau hendak melIakukan perbuatan berbahaya demi
menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita
muda yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang
yang meninggalkan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?!
Taijin, saya tidak dapat mengatakan
siapa dia, akan tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya berani
tanggung dengan nyawa saya!!
Ah.... betapa bahagianya orang
itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau!
Kedua pipi gadis itu menjadi
merah, akan tetapi matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar
pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.
Marilah, Taijin, sebelum
mereka kembali ke sini!! Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan
kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena
lecutan semak-semak yanp mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah
hutan di lereng gunung yang nampak dari situ. Yang seorang biarpun laki-laki
adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tidak pernah melakukan pekerjaan
berat, yang seorang lagi biarpun masih muda remaja hanyalah seorang gadis
lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu
terengah-engah, muka dan leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar
saking, lelahnya.
!Wah, aku tidak kuat lagi....!
Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.
Saya juga capai, Taijin, akan
tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng rumah di
sana.!
Tiba-tiba terdengar bunyi
ramai di bawah dan ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya
hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.
Celaka, mereka adalah para
pengawal yang mengejar kita!! Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi pucat
sekali. Mari, Taijin....!! Gadis itu seolah-olah memperoleh semangat baru dan
rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar
itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan.
Heiiiii! Berhenti....!!
Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan dua orang pelarian ini
makin mempercepat larinya.
Auhhhhh....!! Tiba-tiba
Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung tidak sampai terjerumus ke
dalam jurang di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya
berdiri.
Auhhh.... kakiku....! Pembesar
itu terpincang-pincang akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya menuju
ke rumah yang sudah berada di depan mereka.
Mari, Taijin....!! Cui Lan
menariknya dan mereka berdua lari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu.
Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar.
Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar.
Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah
ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat
daripada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh
di pinggir hutan!
Akan tetapi karena para
pengejar sudah dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja
tidak memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu
besar yang terbuat daripada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka
dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apalagi
membuka daun pintunya.
Bukalah.... bukalah....!!
Tolonglah kami....!! Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan
tangannya sampai punggung tangannya berdarah!
Cukup, Nona. Agaknya kosong
rumah ini....! Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis
terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu lalu mencium punggung tangan yang
berdarah itu. Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini
bersama....! bisiknya.
Empat belas orang pengawal itu
telah mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi
menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan
gubernur itu ketika dia mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat
itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan
cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.
Tiba-tiba terdengar suara
nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus,
Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!!
Karena munculnya anak kecil
itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran
mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil
yang datang dari belakang mereka. Anak ini menghampiri pintu memandang kepada
Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih, Mari ikut dengan aku!! Anak
itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun
pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam.
Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu
menutup kembali dengan suara keras berdetak!