Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 1 - Kaisar Kang Hsi
Kaisar pertama yang bertahta
di Kerajaan Ceng-tiauw, yaitu kerajaan penjajah Mancu yang menguasai Tiongkok,
merupakan kaisar yang sampai puluhan tahun dapat mempertahankan kedudukannya,
mengatasi banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Kaisar tua ini mulai
bertahta dalam tahun 1663 dan dapat mempertahankan kedudukannya ini selama lima
puluh sembilan tahun!
Pada awal tahun 1700
terjadilah pemberontakan dua orang pangeran kakak beradik, yaitu Pangeran Liong
Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, adik-adik tiri kaisar pertama itu, ialah
Kaisar Kang Hsi. Dua orang pangeran yang mencoba untuk berkhianat terhadap
kaisar itu melakukan pemberontakan yang nyaris menggulingkan kedudukan kaisar,
atau sedikitnya telah menggegerkan kota raja. Akan tetapi akhirnya berkat
bantuan para menteri dan panglima yang setia, apalagi karena bantuan Puteri
Milana yang terkenal gagah perkasa dan pandai, pemberontakan itu dapat
digagalkan, bahkan dua orang pangeran pengkhianat itu dapat ditewaskan.
Akan tetapi, pemberontakan ini
dengan segala akibatnya menggores hati kaisar yang sudah tua itu, karena,
pertama dia merasa kecewa dan terkejut melihat kenyataan betapa dua orang adik
tiri yang dipercayanya itu betul-betul melakukan pemberontakan terhadapnya. Ke
dua, melihat bahwa dia terpaksa membiarkan dua orang adiknya itu tewas. Dan ke
tiga, perpecahan-perpecahan yang diakibatkan oleh pemberontakan itu diantara
ponggawa dan pembantunya.
Lima tahun telah lewat sejak
pemberontakan itu dapat ditumpas. Namun, biarpun pemberontakan telah dipadamkan
dan dua orang pangeran tua itu telah tewas, peristiwa yang mengakibatkan
perpecahan di kalangan atas, dan mengakibatkan timbulnya sikap
curiga-mencurigai di antara mereka, mempunyai pengaruh besar terhadap para
pembesar atasan yang mempengaruhi pula para anak buah mereka dan terasa pula
ketegangan-ketegangan yang timbul di antara kelompok satu dan kelompok lain
sehingga rakyat pun merasa gelisah.
Peristiwa itu banyak
mengurangi kedaulatan dan wibawa Kaisar Kang Hsi. Kaisar tua itu tidak kuat
lagi mengendalikan kemudi pemerintahannya yang dilanda gelombang perpecahan
itu. Banyak raja-raja muda, gubernur-gubernur dan panglima-panglima komandan
barisan di perbatasan yang menguasai daerah propinsi yang jauh letaknya dari kota
raja, sedikit demi sedikit dan secara halus tidak menyolok mulai memisahkan
diri dari pusat. Mereka itu masing-masing menyusun kekuatan dan berusaha
mengatur daerah kekuasaan masing-masing seperti seorang raja. Semua hasil
pemungutan pajak dan lain-lain mereka simpan sendiri, dan kalau pun sebagai
basa-basi mereka masih mengirimkan hasil daerah mereka ke kota raja, maka yang
dikirim itu tidak ada artinya dibandingkan dengan hasil yang masuk.
Tentu saja tidak semua
pembesar bersikap demikian. Banyak pula yang semenjak semula berpihak kepada
kaisar, masih merupakan pembesar yang setia. Oleh karena itu timbullah
pertentangan diam-diam antara para pembesar dan pertentangan ini tentu saja
menimbulkan keadaan yang kacau dan tidak aman. Biarpun dari pusat sendiri tidak
atau belum ada tindakan apa-apa, namun antara para pembesar yang setia kepada
kaisar dan yang hendak memisahkan diri, terdapat pertentangan baik secara
sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan sehingga sering pula terjadi
pertempuran-pertempuran kecil antara pembesar yang mempertahankan daerah
kekuasaannya masing-masing hanya karena urusan perairan, urusan perdagangan dan
lain-lain.
Semua bentuk permusuhan, baik
dimulai dari permusuhan perorangan sampai kepada perang dunia, adalah
pencetusan dari sifat mementingkan diri pribadi dan manusia. Sifat mementingkan
diri pribadi ini yang didorong oleh keinginan mengejar kesenangan, menimbulkan
ambisi-ambisi pribadi dan dalam pengejaran ambisi-ambisi pribadi inilah terjadi
kekerasan, saling menjegal, saling merobohkan dan saling membunuh demi mencapai
ambisi pribadi. Kalau hanya begitu saja kiranya masih mending, akan tetapi yang
lebih celaka lagi adalah kenyataan bahwa di dalam pengejaran ambisi pribadi
itu, dalam menghadapi saingan, mereka tidak segan-segan untuk mempergunakan
tenaga orang lain, bahkan tidak segan-segan mengorbankan orang-orang lain yang
tak terhitung banyaknya, dengan menggunakan kedok perjuangan dan sebagainya
yang muluk-muluk untuk menutupi dasar perbuatan mereka yang sesungguhnya, yaitu
demi kepentingan diri mereka sendiri! Hal seperti ini merupakan kenyataan dalam
kehidupan manusia, kenyataan yang terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun
lamanya, namun sampai kini pun masih ada saja manusia yang berhati srigala
bermuka domba, mengorbankan banyak orang demi tercapainya cita-cita atau ambisi
mereka dan menggunakan slogan-slogan muluk, dan anehnya masih banyak pula
orang-orang yang begitu bodohnya, mudah saja diperalat oleh beberapa gelintir
orang dengan umpan slogan muluk-muluk.
Demikianlah, daerah-daerah
yang berbatasan antara propinsi, bahkan antar karesidenan atau kabupaten,
sering kali terjadi kekacauan dan permusuhan karena perpecahan itu. Dan
siapakah yang menderita? Lagi-lagi rakyat jelata. Di waktu perang terlanda oleh
kejamnya peperangan, dirampok dan dibakar. Di waktu damai terlanda kejamnya
para pembesar atau penguasa yang korup. Demikianlah nasib rakyat kecil yang
tidak berdaya. Akibat pertentangan-pertentangan antara pembesar yang
memperebutkan kebenaran mereka sendiri itu tentu saja melalaikan penjagaan dan
muncullah segala macam orang yang biasa mempergunakan kekacauan untuk mengail
di air keruh,yaitu kaum maling, rampok, bajak dan sebagainya. Hal seperti ini
tentu saja mendatangkan perasaan prihatin dalam hati para pembesar yang berjiwa
pahlawan, yang berjiwa pemimpin dan yang benar-benar mementingkan kehidupan
rakyat jelata.
Akan tetapi, Kaisar Kang Hsi
yang sudah tua itu sama sekali tidak menyadarinya. Bahkan kematian dua orang
adik tirinya itu, pemberontakan mereka itu membuat dia merasa tidak suka kepada
orang-orang yang menentang dua orang adiknya yang memberontak itu, karena
dianggapnya bahwa merekalah yang membuat dua orang pangeran itu tidak suka dan
memberontak. Mulailah kaisar ini menyingkirkan orang-orang yang tidak
disukainya ini, orang-orang yang dengan gigih menentang dua orang pangeran
pemberontak. Sikap kaisar seperti ini tentu saja mengakibatkan terpecahnya para
pembantu yang dekat dengannya, yaitu mereka yang prihatin melihat ulah kaisar,
dan mereka yang menggunakan kesempatan ini untuk menjilat. Penjilatan ini pun
hanya merupakan percerminan dari keinginan menyenangkan diri pribadi yang ingin
mencari kedudukan, dan penjilatan itu hanya merupakan cara! mereka untuk dapat
mencapai ambisi mereka. Mulailah bermunculan jari-jari maut! dan bibir-bibir
berbisa! yang tunjuk sana-sini, bisik sana-sini untuk menjatuhkan fitnah kepada
orang-orang yang dibenci.
Melihat keadaan ini, para
pembesar yang setia kepada negara mulai melakukan gerakan halus, diam-diam mereka
mencalonkan seorang kaisar baru untuk menggantikan kaisar yang lalim itu.
Mereka ini tidak rela melihat pemerintah dan rakyat dirusak oleh ulah kaisar
tua yang agaknya sudah pikun.
Akan tetapi, orang yang paling
merasa sengsara hatinya adalah seorang panglima besar yang merupakan orang
paling tinggi pangkatnya di dalam angkatan perang Kerajaan Ceng-tiauw. Orang
ini bukan lain adalah Jenderal Kao Liang, yang diangkat menjadi panglima besar
setelah pemberontakan itu dapat ditumpasnya. Akan tetapi, melihat sepak terjang
kaisar, Jenderal Kao yang jujur itu tidak rela dan tidak dapat diam saja. Pada
suatu hari, dengan terang-terangan dia menghadap kaisar dan memperingatkan
kalsar akan penyelewengannya.
Aklbatnya hebat! Karena marah,
terutama karena suara-suara hasutan dari kanan kiri, kaisar yang tidak berani
menghukum panglima terkenal ltu secara berterang, lalu menggunakan siasat
halus. Jenderal Kao di pensiun!! Jenderal Kao diberhentlkan dengan hormat dan
dipersilakan untuk beristirahat! menikmati hari tua dan diberi bekal banyak
harta benda oleh kaisar.
Sungguh kaisar tua itu telah
linglung. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghentian Jenderal Kao ini membuat
para panglima dan gubernur yang berkuasa di propinsi-propinsi yang berjauhan,
yang menganggap diri sendiri sebagai raja-raja, bersorak kegirangan dan menjadi
lega hati mereka. Betapa tidak? Jenderal Kao seoranglah yang mereka takuti
sehingga mereka masih belum berani memisahkan diri secara berterang. Mereka
merasa ngeri kalau membayangkan betapa Jenderal Kao yang galak dan pandai itu
membawa pasukan menghukum mereka. Akan tetapi kini Jenderal Kao sudah
dihentikan dari jabatannya, sudah dipensiun dan menjadi rakyat biasa! Jenderal
Kao tanpa pasukan bukan merupakan tokoh yang menakutkan lagi.
Malam itu bulan purnama
tersenyum cerah di angkasa. Tiada awan nampak menghalangi sinar bulan yang
lembut dan bulan yang bundar itu seperti sebuah bola emas tergantung di langit
biru. Malam hening dan sejuk sungguhpun tiada angin menggerakkan daun-daun
pohon yang mengapit lorong di dalam hutan itu. Dan celah-celah daun, sinar
bulan menerobos dan menerangi lorong yang ditilami daun-daun kering yang lunak
dan agak lembab di malam itu.
Malam sudah agak larut, akan
tetapi di lorong itu masih ada serombongan orang yang bergegas jalan tanpa
berkata-kata, di tengah-tengah mereka terdapat beberapa orang yang memikul
tandu-tandu. Kalau datang dari jurusan ini, lorong melalui hutan itu merupakan
jalan satu-satunya yang terdekat untuk memasuki daerah Kang-lam. Melihat orang-orang
yang berjalan di depan dan di belakang rombongan tandu itu berpakaian seragam,
dan selalu siap memegang golok dan tombak,, mudah diduga bahwa rombongan itu
tentulah rombongan pembesar dan mereka itu tentu pasukan pengawal.
Dugaan ini memang tidak keliru
karena rombongan itu adalah rombongan Jenderal Kao Liang dan keluarganya.
Setelah dipensiun dan dihentikan dari jabatannya, jenderal ini maklum bahwa dia
tidak berdaya lagi untuk bertindak sebagai jenderal, maka dia lalu mengumpulkan
semua harta miliknya, dan mengajak keluarganya untuk menlnggalkan kota raja,
kembali ke tempat kelahirannya atau tempat kampung halamannya, yaltu di daerah
Kang-lam. Dan ingin mendinginkan hati dan pikirannya yang panas, kemudian baru
hendak memutuskan apa yang dapat ia lakukan untuk negara dan bangsanya dalam
keadaan seperti itu.
Tiba-tiba tirai penutup tandu
yang paling depan tersingkap dan terdengarlah suara yang berat dan penuh
wibawa, yang ditujukan kepada seorang bertubuh tinggi kurus yang memakai pedang
di pinggangnya, yaitu kepala pengawal yang jumlahnya dua losin orang itu.
Kepala pengawal! Kita berhenti
sebentar di sini agar para pemikul tandu dapat beristirahat.!
Kepala pengawal itu sambil
masih berjalan mengiringkan tandu itu membungkuk dan berkata, nada suaranya
sungguh-sungguh, Yang Mulia, tidakkah lebih baik kalau kita melanjutkan
perjalanan sampai kita keluar dari hutan ini baru beristirahat? Di dalam hutan
begini keadaannya amat berbahaya karena bahaya dapat muncul dari mana-mana
tanpa kita ketahui, tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, berbeda
kalau berada di tempat terbuka di mana kita dapat menghadapi ancaman bahaya
secara terbuka. Daerah ini terkenal sebagai daerah yang sering diganggu oleh
penyamun-penyamun yang berkepandaian tinggi.!
Hemmm.... siapakah yang
kaumaksudkan dengan penyamun-penyamun berkepandaian tinggi? Mana ada penyamun
berkepandaian tinggi kalau mereka itu bukan bekas orang-orangnya Tambolon?
Ataukah dari golongan lain? Bukankah kabarnya mereka semua sudah dihalau dan
dibasmi oleh Pendekar Super Sakti dan kedua anak dan mantunya, Puteri Milana
dan pendekar sakti Gak Bun Beng?!
Paduka belum mengetahui
perkembangan yang terjadi di dunia hitam selama satu dua tahun ini. Di daerah
ini pernah terjadi bentrokan-bentrokan hebat antara dua golongan hitam, yaitu
golongan perampok Gunung Cemara di sebelah selatan lembah melawan golongan
bajak di timur lembah, di sepanjang Sungai Huang-ho.!
Hemmm, sungguh menarik
ceritamu. Lalu bagaimana akhir pertempuran di antara mereka?! tanya orang tua
bersuara berat dan berwibawa itu yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang
sendiri.
Pertempuran itu hebat dan
makan banyak korban di antara kedua fihak, akan tetapi setelah muncul seorang
Pendekar berambut putih yang sangat lihai dan melerai di antara mereka,
pertempuran segera berhenti dan berakhir.!
Pendekar rambut putih? Ho-ho,
itulah Pendekar Super Sakti!! Jenderal Kao Liang berseru sambil tertawa girang.
Bukan, Yang Mulia. Bukan
beliau. Pendekar itu masih sangat muda, dan kakinya utuh, tidak buntung sebelah
seperti kaki Pendekar Siluman!
Ehhhhh? Bukan Pendekar
Siluman?! Jenderal Kao makin terheran dan ingin sekali tahu.
Benar, bukan Pendekar Siluman.
Akan tetapi karena kepandaiannya juga hebat luar biasa seperti bukan manusia,
apalagi rambutnya juga putih terurai bagaikan benang perak seperti rambut
Pendekar Siluman, maka orang menamakan dia Pendekar Siluman Kecil.!
Hemmm.... sungguh luar biasa.
Bagaimana mukanya, apakah wajahnya tampan ataukah buruk mengerikan?!
Itulah yang aneh, Yang Mulia.
Orang tidak pernah bisa melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian dari
mukanya tertutup oleh rambutnya yang terurai itu, dan gerakannya amat cepat
saperti menghilang saja.!
Jenderal Kao
mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang seperti orang termenung. Bukan
main! Memang di dunia ini banyak orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian
hebat dan watak yang aneh-aneh.!
Benar, Tuanku. Bahkan putera
sulung Paduka sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat dan kabarnya tidak
kalah dibandingkan dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Siluman itu sendiri.!
Hemmm.... agaknya begitulah.
Akan tetapi sayang dia tidak berada di sini. Sudahlah, kau hentikan perjalanan
ini,jangan takut, kita tetap beristirahat di sini. Sejak dahulu aku tidak
pernah bermusuhan dengan golongan sesat secara pribadi, maka perlu apa kita
mengkhawatirkan gangguan mereka?!
Kepala pengawal itu tidak
berani membantah lagi dan dia pun maklum akan kelihaian jenderal tua ini,
apalagi di dalam rombongan itu terdapat pula dua orang puteranya yang biarpun
tidak sepandai putera sulung Jenderal itu, namun juga bukanlah orang-orang
lemah. Selain itu, dia sendiri pun mempunyai dua losin anak buah yang cukup
kuat, maka perlu apa mereka takut beristirahat di dalam hutan ini? Dia lalu
mengangkat tangan kanan ke atas, mengeluarkan aba-aba yang cukup nyaring
sehingga terdengar oleh semua anak buahnya, Berhentiiiii....! Kita beristirahat
di sini....!!
Rombongan itu berhenti dan
para pemikul tandu menjadi lega hatinya karena memang mereeka sudah merasa
lelah sekali, membutuhkan peristirahatan yang cukup untuk mengumpulkan kembali
tenaga mereka. Para pengawal lalu bergerak memenuhi perintah kepala pengawal,
ada yang mencari kayu-kayu kering dan ada yang membuat api unggun, ada pula
yang mulai menyedu air dan sebagian dari mereka melakukan tugas menjaga di
sekitar tempat itu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih dan semua
bekerja sesuai dengan tugas mereka yang telah dibagi-bagi oleh kepala pengawal.
Jenderal Kao Liang turun dari
atas tandunya yang telah diletakkan di atas tanah. Jenderal ini usianya sudah
hampir enam puluh tahun, akan tetapi berdirinya tegak, dengan dadanya yang
bidang itu menonjol ke depan, perutnya besar akan tetapi kokoh, rambutnya sudah
setengah putih, dan biarpun dia kini bukan seorang panglima lagi, namun dari
sikapnya jelas dapat dilihat bahwa dia adalah seorang yang biasa mengatur
banyak orang, memiliki wibawa dan ketegasan. Kini jenderal itu duduk di atas
sebuah batu besar. Bulan purnama yang sinarnya gemilang itu sudah berada di
atas kepala, sebagian sinarnya menerobos di antara daun-daun pohon menimpa
tempat yang dijadikan peristirahatan rombongan ini. Dua orang pemuda yang
berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah berdiri di
belakang bekas jenderal ini. Yang seorang berusia dua puluh satu tahun, bernama
Kao Kok Tiong, putera ke dua dari jenderal itu, sedangkan pemuda yang ke dua
berusia delapan belas tahun, bernama Kao Kok Han, putera ke tiga atau bungsu
dari Jenderal Kao Liang. Agaknya dua orang putera ini maklum pula bahwa tempat
itu mencurigakan dan berbahaya, maka mereka siap di dekat ayah mereka untuk
sewaktu-waktu membantu apabila tenaga mereka diperlukan. Sedangkan para
keluarga wanita dan anak-anak yang ikut di dalam rombongan itu tetap berada di
dalam tandu-tandu yang dikumpulkan di tempat terbuka di antara pohon-pohon di
tengah-tengah tempat itu dan terlindung oleh para pengawal yang melakukan
penjagaan di sebelah tempat peristirahatan itu. Segera api unggun bernyala
besar, menerangi dan menghangatkan tempat itu,juga mengusir nyamuk yang mulai
beterbangan menyerang mereka.
Kepala pengawal tinggi itu
menghampiri Jenderal Kao, memberi hormat dan berkata, Karena perbekalan air
habis, saya mohon perkenan Paduka untuk mencari air bersih.!
Jenderal Kao mengangguk.
Pergilah.!
Kepala pengawal bersama lima
orang anak buahnya yang membawa guci-guci tempat air, segera pergi meninggalkan
tempat itu memasuki hutan untuk mencari air jernih dengan bantuan sinar bulan
purnama yang masih terang tidak terhalang awan sedikit pun. Para pengawal
lainnya, sambil berjaga-jaga, melepaskan lelah dan duduk di tempat penjagaan
masing-masing mengelilingi tempat itu sambil membuat api unggun sendiri.!
Ayah, silahkan minum.! Kao Kok
Tiong mengeluarkan tempat airnya dan memberikan kepada ayahnya.
Kok Han, kaulihat apakah ibumu
baik-baik saja, dan beri ibumu minum dan tawarkan kalau-kalau dia lapar dan
ingin makan atau ingin sesuatu,! kata Jenderal Kao Liang sambil menerima tempat
minum puteranya yang ke dua, minum beberapa teguk dan mengembalikannya kepada
Kok Tiong. Sedangkan Kok Han lalu menghampiri tandu ibunya dan kelihatan dia
bicara dengan nyonya tua di dalam tandu, kemudian pemuda ini pun memeriksa
tandu-tandu lain.
Jenderal Kao Liang ditemani
dua orang puteranya lalu duduk melepaskan lelah di dekat api unggun, wajah
jenderal itu muram karena dia teringat akan keadaan dirinya. Negara sedang
kacau, terjadi perpecahan dan pertentangan diantara para kaki tangan
pemerintah, dan dia, yang sesungguhnya amat dibutuhkan di saat negara
menghadapi bayangan ancaman pemberontakan, dia malah dihentikan! Dia mengerti
bahwa penghentiannya itu adalah fitnah atau hasil bujukan mulut beracun kepada
kaisar. Akan tetapi kaisar sendiri yang memutuskan itu, tentu saja dia tidak
berdaya dan tidak berani atau lebih tepat, tidak mau membantah. Dia adalah
seorang jenderal yang setia, yang rela mempertaruhkan jiwa raganya demi negara.
Maka baginya, kehilangan kedudukan itu bukan apa-apa. Dia sama sekali tidak
mementingkan diri pribadi, akan tetapi dia merasa prihatin melihat betapa
kedudukan kerajaan amat lemah dan bahaya mengancam dari setiap penjuru.
Jenderal Kao Liang mengepal tinjunya yang besar dan keras. Biarpun dia sudah
bukan panglima lagi, akan tetapi dia tidak akan membiarkan para pengkhianat
memberontak. Kalau terjadi hal itu, dia akan membantu negara dan akan
membersihkan para pemberontak! Demikian tekad hatinya. Akan tetapi dia harus
menyelamatkan keeluarganya dulu, membawa mereka ke kampung halamannya di mana
mereka akan hidup tenteram. Setelah itu, dia akan bebas berbuat apa saja, dan
dia akan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di kota raja.
Ayah, sungguh mengherankan
sekali, mengapa Cio-ciangkun belum juga kembali dari mencari air,! tiba-tiba
Kok Tiong berkata dan memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut karena
pemuda ini merasa tidak enak hati. Sudah hampir setengah jam kepala pengawal
she Cio itu pergi mencari air bersama lima orang anak buahnya, namun belum juga
kembali.
Mungkin sukar mencari air di
sini,! kata Jenderal Kao Liang.
Akan tetapi, belum lama tadi
rombongan kita melewati sebuah sumber air, dan untuk pergi mengambil air ke
sana makan waktu sebentar saja,! bantah Kok Tlong.
Hemmm, kalau begitu suruh
wakilnya pergi menyusu!!
Kok Tiong lalu mencari wakil
kepala pengawal dan wakil ini segera mengajak dua orang anak buahnya untuk
pergi menyusul atau mencari komandan Cio yang sejak tadi pergi mencari air. Kok
Tiong yang sudah mulai bercuriga itu menanti dengan hati tegang. Sampai
setengah jam kemudian, wakil itu pun belum juga kembali, demikian pula Cio
ciangkun belum juga kembali.
Ayah, saya khawatir terjadi
sesuatu dengan mereka,! Kok Tiong berkata dan kini Jenderal Kao juga mulai
merasa curiga. Biar saya pergi membawa pasukan pengawal untuk mencari mereka.!
Jenderal Kao Liang mengerutkan
alisnya dan menggeleng kepala. Jangan! Kalau benar ada terjadi sesuatu yang
tidak beres, jelas bahwa fihak sana hendak memecah belah kita. Agaknya selagi
kita bersatu mereka tidak berani turun tangan, maka kalau kau pergi membawa
pasukan, berarti siasat mereka untuk memecah kekuatan kita berhasil.!
Kok Tiong mengangguk-angguk,
diam-diam kagum akan kecepatan pikiran ayahnya dalam menghadapi keadaan yang
mencurigakan itu. Lalu bagaimana baiknya, Ayah? Ibu juga sudah menaruh curiga
dan tadi sudah beberapa kali menanyakan mengapa pengawal-pengawal yang pergi
mencari air belum juga kembali.!
Sebaiknya kita melanjutkan
perjalanan saja, selain untuk keluar dari hutan ini, juga agar ibumu tidak
menjadi gelisah. Siapkan semua pasukan pengawal,dan kauwakili Cio-ciangkun.!
Kok Tiong, dibantu oleh Kok
Han adiknya, cepat melakukan perintah ayahnya dan tak lama kemudian
berangkatlah rombongan itu dikawal oleh pasukan pengawal yang kini berkurang
dengan sembilan orang jumlahnya. Malam sudah agak larut, sudah hampir tengah
malam, bulan sudah berada di atas kepala dan tak lama kemudian rombongan ini
sudah mulai tiba di pinggir hutan karena pohon-pohon sudah mulai jarang. Cuaca
makin terang karena pohon-pohon tidak sebanyak tadi, kanan kiri lorong tidak
selebat tadi. Akan tetapi karena peristiwa menghilangnya sembilan orang itu
membuat semua orang merasa curiga dan tegang, mereka melakukan perjalanan
dengan diam-diam dan suasana menjadi sunyi bukan main, yang terdengar hanya
daun-daun kering terinjak kaki dan napas pemikul tandu.
Tiba-tiba semua orang terkejut
dan Jenderal Kao cepat membuka tirai tandunya dan mengulurkan tangan ke luar
sambli berseru, Berhenti....!!
Tanpa komando sekalipun, semua
orang memang sudah berhenti dengan kaget karena mereka semua mendengar suara
hiruk-pikuk, teriakan-teriakan bising seperti suara banyak orang sedang
bertempur di luar hutan itu. Jenderal Kao Liang sudah meloncat ke luar dari
tandunya dan memberi isyarat dengan tangan agar semua pasukan pengawal
berkumpul, mengelilingi tandu-tandu yang dikumpulkan di situ dan siap siaga.
Semua pengawal mencabut golok masing-masing dan berjaga-jaga dengan hati penuh
ketegangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak merasa takut, karena di situ
terdapat Jendera Kao Liang dan dua orang puteranya. Bagi para pengawal itu,
lebih baik langsung menghadapi musuh daripada keadaan penuh rahasia seperti
lenyapnya sembilan orang kawan mereka tadi.
Ayah, biar saya pergi
menyelidiki.! kata Kok Tiong.
Saya akan menemani Tiong-ko,!
kata pula Kok Han.
Jenderal Kao Liang menggeleng
kepalanya. Jangan, kita tunggu saja di sini. Kita sudah kehilangan sembilan
orang pembantu, sebaiknya kita bersatu menghadapi musuh. Biarkan mereka
menyerang, kita siap saja menyambut, akan tetapi lebih dulu biar aku yang
bicara dengan pemimpin musuh.!
Dua orang pemuda itu tidak
membantah, akan tetapi menanti di situ sambil mendengarkan suara pertempuran
yang tidak kelihatan itu menegangkan hati juga. Di dalam hati Jenderal Kao
Liang sendiri, timbul berbagai pertanyaan. Dia merasa yakin bahwa pertempuran
yang terjadi di luar hutan itu tentu ada hubungannya dengan lenyapnya
Cio-ciangkun dan delapan orang anak buahnya, akan tetapi apa yang terjadi
sesungguhnya dia tidak dapat memastikan. Apakah pertempuran di luar hutan itu
hanya merupakan pancingan belaka? Apakah memang ada golongan hitam yang
mengincar rombongannya? Sebagai seorang bekas panglima besar yang pensiun dan
kini menuju ke kampung halamannya, tentu saja rombongannya membawa harta benda
yang cukup banyak. Mungkin saja ada golongan hitam yang memang mengincar dan
hendak merampas harta yang dibawa rombongannya. Ataukah Cio ciangkun dan anak
buahnya yang menghilang itu mungkin berkhianat dan bersekongkol dengan golongan
hitam? Mereka itu telah menjadi korban dan tewas oleh golongan hitam, ataukah
diam-diam bersekongkol dengan mereka? Dan siapa yang bertempur di luar hutan
itu?
Tiba-tiba saja, seperti
terdengar tadi, suara hiruk-pikuk pertempuran itu berhenti. Berhenti sama
sekali dan tidak terdengar suara sedikit pun. Suasana kembali menjadi sunyi.
Bahkan terasa jauh lebih sunyi daripada tadi sebelum ada suara pertempuran.
Kini sunyi yang menyeramkan. Beberapa orang pengawal menggigil, sebagian karena
dingin hawa malam itu, sebagian besar pula karena merasa seram. Memang amat
menyeramkan kesunyian tiba-tiba itu setelah tadi mereka dicekam ketegangan
suara pertempuran di luar hutan. Jenderal Kao menanti sejenak, khawatir
kalau-kalau fihak musuh memang sengaja memancing dan hendak menjebak. Akan
tetapi sampai lama tidak terdengar suara apa pun dan kini daun-daun mulai
berkelisik karena mulai tengah malam itu angin menggugah daun-daun pohon yang
tadinya tidur.
Setelah ternyata benar-benar
tidak terdengar lagi suara, Jenderal Kao lalu memanggil Kok Han, puteranya yang
bungsu, Kok Han, kaubawa sepuluh orang perajurit pengawal dan selidiki di luar
hutan depan itu. Akan tetapi jangan melibatkan diri dalam pertempuran. Kalau
ada penyerangan, tarik kembali pasukanmu ke sini.!
!Baik, Ayah.! Kok Han lalu
mengajak sepuluh orang pengawal, berindap keluar dari tempat itu menuju ke
tempat dari mana tadi terdengar suara pertempuran, yaitu di sebelah depan.
Jenderal Kao Liang tidak mengutus puteranya yang leblh besar karena penjagaan
di situ lebih penting diperkuat daripada rombongan penyelidik itu.
Kao Kok Han membawa sepuluh
orang pengawal keluar dari hutan dan tak lama kemudian tibalah dia di tempat
pertempuran tadi, di luar hutan. Akan tetapi tidak kelihatan seorang pun
manusia di situ. Yang ada hanya bekas-bekas pertempuran yang agaknya memang
hebat dan seru. Beberapa batang pohon roboh dan darah berceceran di mana-mana,
akan tetapi tidak ada sebuah pun mayat tampak di situ. Sungguh mengherankan
sekali, seolah-olah yang melakukan pertempuran tadi bukan manusia, melainkan
setan-setan dan siluman-siluman penghuni hutan dan yang kini semua telah
menghilang kembali.
Setelah memeriksa dengan
teliti, Kok Han lalu mengajak pasukan kecil itu kembali ke dalam hutan
menghadap ayahnya. Jenderal Kao Liang juga merasa terheran-heran mendengar
pelaporan puteranya itu.
Tidak ada mayat sebuah pun?
Jangan-jangan itu hanya pancingan dan jebakan, kata Jenderal Kao Liang sangsi.
Akan tetapi jelas ada
tanda-tanda bekas pertempuran hebat, Ayah,! Kok Han berkata. Darah berceceran
di mana-mana dan senjata-senjata golok dan pedang berserakan di sekitar tempat
itu, bahkan ada pohon-pohon yang tumbang. Melihat bekas-bekasnya, tentu itu
merupakan haslil kerja seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat.!
Suasana menjadi makin tegang,
akan tetapi Jenderal Kao Liang segera menghentikan dugaan-dugaan di dalam hati
semua pengawal itu dengan kata-kata yang nyaring dan tegas, Apapun yang
terjadi, harap tenang dan menanti komando. Sekarang kita melanjutkan
perjalanan, tidak perlu tergesa-gesa dan semua pengawal harap waspada dan siap
siaga.
Rombongan bergerak lagi dan
kini Jenderal Kao Liang sendiri tidak naik tandu melainkan ikut berjalan kaki,
bahkan berada di bagian paling depan bersama Kao Kok Han, sedangkan Kao Kok
Tiong menjaga di bagian belakang melindungi rombongan itu.
Tidak terjadi sesuatu sampai
rombongan ini tiba di tempat pertempuran yang tadi telah diselidiki oleh Kok
Han. Jenderal Kao Liang yang mengkhawatirkan adanya jebakan, mengangkat
tangannya dan rombongan itu pun berhenti lagi. Tempat pertempuran ini sudah
berada di luar hutan, di tempat terbuka sehingga dapat menampung sinar bulan
sepenuhnya. Semua orang memandang ke kanankiri ke arah batang-batang pohon dan
semak-semak belukar, semua mata terbelalak mencari-cari sesuatu, semua telinga
memperhatikan setiap suara yang mungkin terdengar.
Tiba-tiba semua orang menengok
ke kiri karena mereka mendengar sesuatu. Juga para wanita dan anak-anak yang
menyingkap tirai tandu mengintai, menengok ke kiri dan terdengarlah jerit-jerit
tertahan dari para wanita dan anak-anak itu ketika mereka melihat seorang yang
berlumuran darah merangkak keluar dari semak-semak!
Dia.... Hun Kai....!!
Tiba-tiba seorang di antara para pengawal berseru ketika dia mengenal wajah
yang berlumuran darah itu.
Jenderal Kao yang kini juga
mengenal seorang di antara para pengawal yang lenyap tadi, cepat memandang
penuh selidik ke arah belakang orang itu, kemudian dengan langkah lebar dia
menghampiri orang yang sudah terguling di atas rumput itu, lalu berjongkok dan
bertanya, Apa yang telah terjadi?!
....Yang Mulia....
hati-hatilah.... ada.... seorang akan.... membunuh seluruh.... rombongan....
i.... ni.... aughhh....!! Dia terkulai dan tewas di saat itu juga.
Semua orang mendengar ucapan
itu dan banyak wajah menjadi pucat seketika. Para wanita menjadi panik dan
memeluk anak-anak mereka, para pengawal dengan geram memutar tubuh memandang ke
empat penjuru. Jenderal Kao Liang berdiri dan berkata, suaranya lantang, Jangan
takut dan panik. Tenanglah! Apapun yang terjadi, kita masih hidup dan selamat,
dan tidak seekor setan pun yang akan dapat dengan mudah membunuh kita selama
aku masih berdiri di sini!! Jelas bahwa jenderal tua ini menjadi marah sekali
dan dia menduga bahwa semua pengawal tadi tentu tewas. Sayang bahwa pengawal
yang bemama Hun Kai itu tewas sebelum dapat menceritakan dengan jelas apa yang
terjadi.
Paman.... Paman Hun Kai....
ceritakanlah, di mana adanya teman-teman yang lain?! Kok Han
mengguncang-guncang tubuh pengawal itu, berusaha untuk menyadarkannya agar
pengawal itu dapat menceritakan sejelasnya. Akan tetapi tubuh yang
diguncang-guncang itu terkulai lemas dan tidak dapat memberi jawaban.
Sudah, Kok Han, tidak ada
gunanya lagi. Dia sudah mati,! kata Jenderal Kao Liang. Hayo cepat gali lubang
kuburan untuk dia!! perintahnya dan kini para pengawal cepat menggali lubang
kemudian mengubur mayat itu. Setelah itu, Jenderal Kao Liang memerintahkan agar
rombongan melanjutkan perjalanan. Kini jumlah pengawal hanya tinggal enam belas
orang saja, dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya.
Adapun jumlah tandu semuanya
ada enam buah yang memuat isteri dari Jenderal Kao Liang, isteri dari Kao Kok
Tiong, bibinya, yaitu adik perempuan Nyonya Jenderal yang sudah menjadi janda
bersama dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan yang sudah remaja, kemudian
dua orang anak Kok Tiong sendiri, dan dua orang inang pengasuh perempuan. Tandu
bekas tempat Jenderal Kao Liang dibiarkan kosong dan masih dipikul oleh dua
orang pemikul tandu. Jadi bersama dengan enam belas orang pengawal, masih ada
dua puluh empat orang pemikul tandu karena tandu-tandu yang memuat orang
dipikul oleh empat orang.
Setelah malam lewat dan tidak
terjadi sesuatu, Jenderal Kao memerintahkan rombongannya berhenti di kaki bukit
untuk beristirahat dan menggunakan kesempatan itu untuk tidur secara
bergiliran. Sampai matahari naik tinggi mereka mengaso dan setelah mereka semua
makan, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki bukit yang cukup sukar. Lorong
kecil pendakian itu diapit-apit tebing tinggi dan batu kapur.
Ketika rombongan membelok di
atas lorong yang tertutup tebing tinggi di kedua tepinya itu, merupakan tempat
yang amat berbahaya, tiba-tiba mereka berhenti lagi dan suasana mulai tegang.
Lorong itu tertutup oleh sebatang balok besar sekali yang melintang di jalan!
Kembali hati mereka menjadi tegang karena jelaslah bahwa balok besar itu tidak
mungkin bisa berada di situ tanpa ada yang menaruhnya, dan melihat balok itu
melintang menghalang jalan, jelaslah bahwa itu tentu perbuatan mereka yang
hendak menentang rombongan atau setidaknya mempunyai niat buruk. Jelas bahwa
gerombolan orang jahat sudah mulai memperlihatkan gerakan dan tentu sebentar
lagi akan muncul. Semua orang siap siaga dan Jenderal Kao Liang sendiri sudah
meraba gagang pedangnya. 8ahkan Kok Tiong dan Kok Han sudah mencabut pedang
masing-masing dan berdri di kanan kiri ayah mereka.
Akan tetapi, semua ketegangan
urat syaraf itu temyata sia-sia belaka, karena ditunggu sampai lama sekali,
tidak ada terjadi sesuatu. Sampai capai rasanya mata mereka karena jarang
berkedip memandang ke kanan kiri, depan belakang dan atas bawah, namun tidak
terdengar sesuatu dan tidak nampak sesuatu yang bergerak. Hati mereka menjadi
kesal juga, akan tetapi diam-diam mereka bersyukur bahwa tidak ada musuh datang
menyerbu. Karena kalau hal itu terjadi, sungguh amat berbahaya. Tempat itu
sangat berbahaya dan tidak menguntungkan bagi mereka untuk menghadapi musuh.
Berada di lorong yang diapit-apit dinding batu tinggi terjal itu, mereka amat
lemah dan andaikata ada beberapa orang musuh melempar-lemparkan batu dari atas
tebing, mereka akan tak berdaya dan akan terkubur hidup-hidup.
Setelah jelas ternyata bahwa
di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada
musuh akan menyerbu, Jenderal Kao Liang segera memerintahkan sepuluh orang
pemikul joli yang bertubuh kuat-kuat untuk menyingkirkan balok besar yang
melintang di tengah jalan itu. Pekerjaan itu dilakukan tanpa ada kesukaran
apa-apa, dan karena tidak ada tempat untuk membuang balok itu, maka sepuluh
orang tukang pikul tandu itu lalu meletakkan balok perintang itu di tepi
lorong. Kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.
Akan tetapi belum ada sepuluh
langkah mereka bergerak, tiba-tiba dua orang pemikul tandu kosong berteriak
aneh dan roboh, disusul oleh teriakan-teriakan delapan orang pemikul tandu lain
yang juga terguling roboh dan menyebabkan orang-orang yang naik tandu itu pun
berteriak-teriak kaget dan kesakitan. Jenderal Kao Liang cepat meloncat mendekati
dan dengan mata melotot dia melihat betapa sepuluh orang ini adalah sepuluh
orang yang tadi menyingkirkan balok besar. Kini tangan mereka membengkak, tubuh
mereka kejang dan berkelojotan, tak lama kemudian mereka itu terkulai mati
dengan tubuh di jalari warna hitam dari tangan sampai ke muka mereka.
!Jangan pegang....!! Jenderal
Kao membentak kepada para pengawal, pemikul tandu, dan dua orang puteranya
ketika mereka ini mendekat. Mereka keracunan!!
Keadaan menjadi makin panik
dan dua orang putera jenderal itu segera menolong dua orang inang pengasuh yang
tandunya terbalik. Kemudian dengan muka merah padam saking marahnya, Jenderal
Kao Liang mengajak dua orang puteranya untuk naik ke atas tebing. Jenderal yang
sudah tua masih gagah sekali dan dengan mudahnya dia mendaki tebing yang amat
terjal itu, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok Han yang harus mengerahkan ginkang
mereka untuk dapat mengikuti ayahnya mendaki tempat yang amat berbahaya itu.
Gerakan mereka cepat dan gesit, dan mereka itu terus mendaki naik, diikuti oleh
pandangan mata mereka yang merasa gelisah dan tegang dari bawah.
Setelah tiba di atas tebing di
bukit itu, Jenderal Kao Liang dan putera-puteranya melihat ke kanan kiri dan
tampaklah oleh mereka seorang laki-laki yang kelihatan masih muda sedang duduk
di atas sebongkah batu besar, membelakangi mereka, tidak jauh dari tempat itu
dan mereka mendengar betapa laki-laki yang masih muda itu sedang bersenandung,
senandung yang terdengar menyedihkan seperti orang berkeluh-kesah, sambil
berdongak memandang awan berarak di angkasa.
Karena di tempat itu sunyi
tidak ada orang lain kecuali orang muda yang bersenandung itu, Jenderal Kao
Liang tidak merasa syak lagi bahwa tentu inilah orangnya yang mengganggu
rombongannya, maka dia lalu cepat menghampiri, diikuti oleh Kok Tiong dan Kok
Han. Akan tetapi agaknya orang itu merasa atau mendengar kedatangan mereka. Dia
menoleh sehingga nampak separuh mukanya, kemudian orang itu bangkit,
menghentikan senandungnya dan melangkah perlahan menjauhkan diri. Tentu saja
Jenderal Kao dan dua orang puteranya meloncat dan cepat melakukan pengejaran.
Mereka bertiga menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar dan menangkap
orang itu.
Akan tetapi, sungguh aneh
bukan main! Kelihatannya saja orang itu melangkah perlahan-lahan, akan tetapi
mereka bertiga tidak pernah dapat mendekatinya. Hal ini membuat Jenderal Kao
menjadi penasaran sekali, penasaran dan marah. Tahulah dia bahwa pasti orang
itu yang mengganggunya, atau setidaknya tentu merupakan seorang di antara
gerombolan yang mengganggu rombonganya. Maka dia mempercepat larinya mengejar
dengan geram. Akan tetapi, begitu jarak mereka mulai berdekatan dan mereka
mulai dapat menyusul, tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan sebuah
loncatan yang mentakjubkan hati Jenderal Kao dilakukan orang itu. Tubuhnya
melayang seperti seekor burung terbang melayang saja dan sekali melompat sudah
meninggalkan mereka, kemudian berjalan lagi dengan tenangnya.
Orang itu naik turun tebing
dan akhirnya lenyap ke dalam hutan di depan. Jenderal Kao Liang terkejut bukan
main, kalau dikehendaki, orang itu dengan mudah saja dapat melenyapkan diri
sejak tadi, akan tetapi kenapa agaknya sengaja memancing mereka untuk mengikuti
sampai jauh? Celaka, terlalu ini pancingan yang dalam ilmu perang disebut memancing!
harimau meninggalkan sarangnya!. Dia dan dua orang puteranya sengaja dipancing
meninggalkan rombongannya yang kini hanya dilindungi oleh para pengawal yang
sudah kehilangan kepalanya.
Cukup! Tidak perlu mengejar
terus. Mari kita cepat-cepat kembali!! Jenderal Kao Liang yang merasa curiga
dan khawatir itu berkata kepada dua orang puteranya. Mereka bergegas kembali ke
tempat tadi, di mana rombongan mereka tadi mereka tinggalkan. Ketika mereka
akhirnya dapat menuruni tebing terjal dan tiba di tempat tadi, dari atas
jantung mereka sudah berdebar keras penuh kekhawatiran dan ketegangan, setelah
tiba di tempat itu, mereka memandang dengan mata terbelalak dan kedua tangannya
mengepal tinju, kumis dan jenggotnya seolah-olah berdiri saklng marahnya. Dua orang
puteranya juga terbelalak, menoleh ke kanan kiri, kemudian memandang kepada
ayah mereka dengan sinar mata bingung dan gelisah.
Betapa mereka tidak akan
bingung dan gelisah? Semua tandu telah lenyap dari situ, tandu-tandu yang
membuat Nyonya Kao Liang, Nyonya Kao Kok Tiong, bibi mereka, anak-anak Kok
Tiong, anak-anak bibi mereka, dan dua inang pengasuh, serta harta benda mereka
semua telah lenyap. Dan di tempat itu menggeletak berserakan mayat-mayat para
pengawal mereka, dan para tukang pikul tandu-tandu itu. Tidak ada seorang pun
diantara mereka itu yang masih hidup, semua telah tewas dalam keadaan
mengerikan!
Keparat....! Bedebah....!!
Jenderal Kao Liang memaki-maki, kemudian dia menjambak rambutnya sendiri penuh
penyesalan. Bodoh kau! Tolol kau!! Dia memaki diri sendiri, kemudian
menjatuhkan dirinya di atas tanah sambil bertopang dagu. Betapa dia tidak akan
menyesal? Jenderal Kao Liang telah berpuluh tahun berkecimpung di dalam bidang
kemiliteran, entah sudah berapa ratus kali menghadapi lawan-lawan tangguh dan
lihai, sudah biasa bersiasat dan mengadu kepintaran dengan fihak lawan. Dia
merupakan seorang ahli siasat yang biasa mengatur puluhan, bahkan ratusan ribu
perajurit di medan perang. Dia ditakuti dan disegani oleh musuh di medan perang
karena kemahirannya bersiasat. Akan tetapi kini, menghadapi perjalanan
rombongan keluarganya, menghadapi gangguan seperti itu saja dia telah terkecoh
dan dipermainkan orang secara habis-habisan, sampai seluruh anak buah
pengawalnya tewas semua dan seluruh anggauta keluarganya diculik orang, semua
harta benda yang dibawanya dicuri orang. Dan dia tidak tahu bagaimana hal itu
dilakukan, tidak tahu pula siapa yang melakukannya dan ke mana keluarganya
dibawa pergi. Sungguh memalukan dan menggemaskan sekalil
Ayah....!! Tiba-tiba terdengar
Kok Han memanggilnya.
Jenderal Kao menoleh dan dia
melihat puteranya yang bungsu itu sedang jongkok di depan sesosok di antara
mayat-mayat yang berserakan di situ. Melihat sikap puteranya, dan kini Kok
Tiong juga lari menghampiri adiknya, Jenderal Kao lalu bangkit dan menghampiri
tempat itu.
Jenderal Kao Liang juga
terheran-heran ketika dia melihat mayat yang ditunjuk oleh puteranya itu. Mayat
seorang wanita! Bukan anggauta keluarganya, dan tentu saja bukan seorang
diantara para pengawal. Mayat wanita yang menindih seorang laki-laki, kedua
tangan wanita itu mencekik leher laki-laki itu, demikian hebatnya sampai
kuku-kuku tangan wanita itu terbenam ke dalam leher! Akan tetapi, tangan
laki-laki itu memegang golok kecil dan agaknya ketika wanita itu mencekiknya,
laki-laki itu berhasil menghujamkan golok kecil itu ke lambung si wanita sampai
masuk dalam sekali. Terang bahwa mereka tadi bertempur dan keduanya tewas dalam
pertempuran ini.
Sungguh aneh....! Jenderal Kao
Liang berkata. Aku tidak pernah melihat wanita ini.... dan entah siapa pula
laki-laki di bawahnya itu.! Dengan ujung sepatunya, Jenderal Kao Liang
membalikkan tubuh wanita itu sehingga terpisah dari mayat laki-laki yang
ditindihnya. Tampaklah kini seorang laki-laki yang berpakaian seperti seorang
petani, seorang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gagah perkasa dan
bertubuh kokoh kuat, sedangkan wanita itu berwajah kejam dan usianya sudah tiga
puluh tahun lebih.
Heee! Bukankah dia ini....
seperti.... seperti Hok-ciangkun!! Tiba-tiba Kok Tiong berseru heran.
Jenderal Kao Liang mengangguk.
Sungguh aneh! Dia memang Hok-ciangkun, pengawal istana kepercayaan Kaisar.
Kenapa dia sampai berada dl sini? Siapa pula wanita ini? Terang bahwa dia
berkelahi dengan Hok-ciangkun, akan tetapi kenapa? Dan mengapa pula
Hok-ciangkun berpakaian menyamar seperti petani?!
Jenderal Kao dan dua orang
puteranya menjadi bingung. Siapakah orang-orang yang telah memusuhi mereka?
Kenapa mereka membunuh para pengawal dan menculik wanita-wanita dan anak-anak?
Dan kenapa pula agaknya terjadi perkelahian antara mereka sendiri? Jenderal Kao
dan dua orang puteranya lalu mulai memeriksa dan makin heranlah mereka bertiga
ketika melihat bahwa temyata di antara mayat-mayat itu terdapat pula
mayat-mayat yang tidak mereka kenal di antara tumpukan mayat-mayat pengawal
mereka sendiri dan tukang-tukang pikul tandu.
Kita harus mencari keluarga
kita!! Jenderal Kao mengepal tinju. Aku harus bisa berhadapan dengan
pengecut-pengecut itu!! Dia marah sekali, akan tetapi ke mana dia harus
mencari? Lorong itu berbatu sehingga sukar mencari jejak mereka yang membawa
pergi tandu-tandu itu.
Apa ini....?! Jenderal Kao
Liang membungkuk dan dengan hati-hati memeriksa sebuah benda putih mangkilap
yang terletak di dekat mayat si wanita tadi. Teringat akan racun hebat yang
agaknya dilumurkan pada balok, Jenderal Kao Liang memeriksa dengan teliti
sebelum mengambilnya. Setelah yakin bahwa benda itu tidak beracun, dia
mengambil dan mengamat-amatinya. Benda itu bentuknya bulat seperti sebuah
lencana. Di tengah-tengahnya terlukis seekor burung garuda berwarna hitam
sedang mementang sayap dan di bawah gambaran burung itu terdapat dua buah huruf
yang berbunyi BHOK TIN! (Pasukan Kayu). Lencana itu sangat indah buatannya,
dari perak murni. Milik siapakah lencana ini? Wanita itukah? Apa artinya
lencana ini? Jenderal Kao tidak dapat memecahkan rahasia ini dan dia
mengantongi lencana perak itu, lalu berkata kepada kedua orang puteranya yang
tentu saja merasa bingung dan berduka sekali, Mari kita berusaha mencari
mereka!!
Dua orang muda itu hanya
mengangguk lesu dan mereka segera berjalan cepat untuk ke luar dari jalan
bertebing tinggi itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di jalan tikungan dan
sudah ke luar dari lorong bertebing, mereka dikejutkan oleh penglihatan yang
mengerikan. Di jalan itu bertebaran mayat-mayat orang yang memenuhi jalan,
banyak sekali jumlahnya, kurang lebih ada seratus buah mayat! Seperti dalam
perang kecil saja.
Jenderal Kao berhenti dan
memandang ke sekeliling dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia tidak merasa
ngeri melihat ini. Sudah biasa dia menyaksikan pemandangan seperti ini di medan
perang, bahkan pernah melihat puluhan ribu mayat berserakan. Akan tetapi rasa
hatinya tidak seperti sekali ini karena sekarang, keluarganya yang langsung
terlibat.
Mereka lalu memeriksa
mayat-mayat itu dan di antara mayat-mayat itu terdapat beberapa mayat wanita
yang memakai seragam hitam dengan gambar cacahan (tatoo) berbentuk burung
garuda di telapak tangan mereka.
Heiii! Ini seperti penjaga
gardu di depan gerbang istana!! teriak Kok Tiong sambil menuding sebuah mayat
yang menggeletak miring dengan kepala pecah.!Dan ini juga! Itu ada pula
pengawal Hok-ciangkun!!
Jelaslah sudah bahwa ada
pasukan pengawal istana bertempur di sini. Akan tetapi mengapa pasukan pengawal
istana berkeliaran di sini? Apakah tugas mereka? Dan sungguh aneh, mengapa
mereka tidak memakai pakaian seragam dan menyamar sebagai orang-orang biasa?
Peristiwa apakah yang menyebabkan Kaisar mengerahkan pasukan-pasukan pengawal
istana ke tempat ini?! Jenderal Kao berkata perlahan seperti bertanya-tanya
kepada diri sendiri, sedangkan dua orang puteranya juga ikut memikirkan
pertanyaan ayahnya itu. Sungguhpun mereka tidak dapat mencari alasan-alasan dan
sebab-sebabnya, akan tetapi di dalam hati mereka timbul dugaan bahwa adanya
pasukan-pasukan pengawal istana di tempat itu tentu ada hubungannya dengan
berangkatnya rombongan keluarga mereka meninggalkan kota raja menuju ke kampung
halaman mereka.
Suasana tempat itu sungguh mengerikan.
Matahari sudah condong ke barat, beberapa saat lagi senja akan tiba. Mereka
bertiga duduk kecapaian di atas batu di antara. mayat-mayat yang berserakan.
Mereka merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Mereka menghadapi misteri yang
tak dapat mereka pecahkan. Keanehan-keanehan yang terjadi bertubi-tubi ditambah
lenyapnya keluarga mereka membuat pikiran Jenderal Kao Liang yang biasa tenang
dan cerdik itu menjadi keruh. Jenderal yang gagah perkasa itu kelihatan lebih
tua sepuluh tahun dari keadaan biasanya karena tekanan batin yang hebat, karena
kekhawatiran akan keselamatan isteri dan keluarganya. Ingin mereka itu mengejar
dan kalau perlu berkelahi mati-matian untuk melindungi keluarga mereka, akan
tetapi mereka tidak tahu harus mencari ke mana. Mereka tidak tahu siapa
penculiknya, di mana tempatnya, bahkan tidak tahu pula mengapa keluarga mereka
diculik. Kalau mereka itu menghendaki harta benda, tentu hanya harta benda saja
yang dirampas, tidak perlu menculik keluarga mereka. Kalau mereka itu musuh yang
mendendam, tentu keluarga mereka sudah dibunuh seperti halnya para pengawal,dan
tidak diculik seperti sekarang ini.
Mungkinkah pemuda aneh yang
lihai dan yang bersenandung sedih itu yang melakukan penculikan? Ah, tidak
mungkin. Karena mereka bertiga cepat-cepat menghentikan pengejaran dan kembali
ke tempat rombongan. Kalau bukan pemuda itu, siapa? Apakah wanita-wanita yang
bertanda cacahan burung garuda di tangan mereka? Akan tetapi mereka itu agaknya
bertempur mati-matian dengan rombongan Hok-ciangkun, pasukan pengawal istana
yang menyamar itu. Apakah anak buah si pemuda lihai? Mungkin begitu, dan kalau
begitu agaknya ada tiga rombongan bertindak pada waktu itu. Demikianlah
Jenderal Kao memutar-mutar otaknya yang sudah penat. Akan tetapi tetap saja dia
tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan di benaknya yang bertubi-tubi.
Suasana menjadi sunyi sepi,
dan menjadi kebalikan dari pikiran mereka yang ramai dengan
pertanyaan-pertanyaan dan dugaan-dugaan yang menggelisahkan. Tiba-tiba
terdengar suara suling mengalun memecah kesunyian dan menghentikan lamunan
mereka yang penuh kegelisahan itu. Suara suling itu menggetar-getar halus,
penuh perasaan, dan suara suling seperti itu hanya dapat ditiup oleh peniup
yang mencurahkan seluruh perasaan hatinya terhadap tiupannya. Hawa yang keluar
dari mulutnya agaknya langsung keluar dari hatinya sehingga ketika menyelinap
di dalam tabung bambu suling itu mencipta suara yang mengalun penuh perasaan,
melagukan irama lagu sedih, lagu seorang yang patah hati, gagal dalam asmara,
atau seorang yang merasa kerinduan hebat terhadap seorang kekasih yang pergi
meninggalkannya. Tentu saja jiwa dari lagu ini terasa oleh Jenderal Kao Liang
dan kedua orang puteranya yang sedang merana ditinggalkan oleh keluarga mereka
yang tidak mereka ketahui bagaimana nasibnya, ditinggalkan oleh orang-orang
yang mereka kasihi. Terutama sekali Kok Tiong yang teringat kepada isteri dan
dua orang anaknya yang masih kecil sehingga orang muda ini cepat membuang muka
membelakangi ayahnya agar Si Ayah tidak sampai melihat dua titik air mata.
Di antara pengaruh suara
suling yang ditiup penuh perasaan itu, Jenderal Kao Liang segera cepat
menyadari keadaan. Lagu yang ditiup suling itu adalah lagu sedih, kiranya mudah
diduga siapa peniupnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang tadi pun
bersenandung lagu sedih? Tentu Si Pemuda lihai tadi. Dan siapa tahu, boleh jadi
pemuda itu yang menjadi biang keladi semua peristiwa ini, atau setidaknya,
pemuda aneh itu tentu tahu-menahu akan peristiwa yang menimpa keluarganya ini.
Dengan muka merah dan mengepal
tinjunya, Jenderal Kao Liang bangkit berdiri lalu melangkah pergi dengan cepat
menuju ke arah suara suling diikuti oleh dua orang puteranya yang sudah
mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sungguh aneh, suara suling itu amat
luar biasa, begitu dldekati seolah-olah berpindah tempat. Mereke bertiga terus
mengejar, akan tetapi mereka berputaran dan belum juga dapat melihat pemain
atau peniupnya. Setelah berputaran sampai beberapa kali, akhirnya Jenderal Kao
Liang menjadi naik darah, sungguhpun dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan
tetapi Kok Han yang masih muda belia itu tak dapat menahan kemarahannya dan
berteriaklah dia menantang, sungguhpun dia tahu pula betapa lihai si peniup
suling itu.
Heeeiiiii....! Keluarlah
engkau peniup suling sialan! Jangan main sembunyi-sembunyi kalau engkau memang
jantan! Ayo, keluarlah dan lawanlah aku, engkau akan mampus kalau tidak
kaukembalikan keluarga kami!!
Sssttttt....!! Jenderal Kao
mencegah puteranya akan tetapi tantangan telah dikeluarkan dan mereka kini
berdiam, memperhatikan semua penjuru. Suara suling tiba-tiba berhenti keadaan
menjadi makin sunyi mencekam dan menyeramkan. Lalu terdengar suara orang
menguap panjang dan disusul suara langkah kaki orang tersaruk-saruk.
Selagi tiga orang ayah dan
anak itu saling pandang, terdengar suara orang bergumam, Hahhhhh perutku lapar
dan kakiku capai. Sebentar lagi malam tiba dan aku belum beristirahat barang
sekejap pun. Lebih baik mencari warung di depan, makan bubur hangat, mandi air
sejuk lalu tidur mendengkur!!
Jenderal Kao dan dua orang
puteranya cepat meloncat dan mencari ke arah datangnya suara itu. Dari jauh
kelihatan berkelebatnya seorang dengan cepat. Bajunya yang putih itu tampak
menyolok dengan cuaca yang sudah mulai suram karena senja. telah tiba. Sebentar
saja bayangan itu berkelebat dan lenyap, seperti setan menghilang saja.
Kejar!! Jenderal Kao Liang
berbisik dan ketiganya lalu mengerahkan ginkang, meloncat lalu berlari mengejar
secepat mungkin. Jenderal itu merasa yakin bahwa orang di depan tadi tentu tahu
akan segala peristiwa yang terjadi, maka dia tidak mau kehilangan orang itu.
Akan tetapi, bayangan itu
telah lenyap dan mereka mengejar sampai malam tiba, belum juga dapat menyusul.
Tentu saja ketiganya merasa mendongkol dan malam itu berbeda dengan malam tadi.
Awan mendung berkumpul di langit sehingga keadaan menjadi gelap pekat,
sedangkan mereka tidak mengenal jalan. Maka terpaksa mereka menghentikan
pengejaran sia-sia itu dan melewatkan malam di tepi jalan di kaki bukit yang
sunyi, membuat api unggun dan semalam suntuk mereka tidak dapat tidur, menanti
datangnya fajar untuk melanjutkan pengejaran dan pencarian mereka.
Orang itu agaknya sengaja
menyebut tentang sebuah warung di depan. Biar dia memancing sekalipun, kita
harus pergi mengejarnya dan mencari warung itu!! demikian Jenderal Kao berkata.
Ketika fajar mulai menyingsing
dan cuaca tidak begitu gelap lagi, ketiganya sudah meninggalkan api unggun yang
sudah tidak bernyala, tinggal berasap saja dan mereka bergegas menuju ke depan
melanjutkan perjalanan semalam yang terganggu oleh kegelapan malam. Ketika
mereka mulai bertemu dengan para petani yang menuju ke sawah, tiga orang ayah
dan anak ini mempercepat langkah kaki mereka, tidak mempedulikan pandang mata para
petani yang terheran-heran melihat mereka berjalan cepat itu. Di mana ada
petani tentu ada dusun, pikir Jenderal Kao Liang dan dia melanjutkan perjalanan
dengan penuh semangat.
Benar saja dugaan mereka.
Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun. Matahari pagi dengan cerah dan
riangnya menyinari sebuah warung makan di dusun itu dengan hati berdebar
Jenderal Kao mengajak anak-anaknya memasuki warung. Akan tetapi, warung itu
masih sunyi dan belum ada pengunjungnya, maka duduklah mereka dengan hati
kecewa. Jenderal Kao memesan bubur hangat tiga mangkok yang dilayani oleh
pemilik warung dengan ramahnya.
Kami mencari seorang teman,
dia masih muda dan berpakaian putih. Apakah dia sudah tiba di sini? Malam tadi
atau tadi? Katanya dia ingin makan bubur panas! kata Jenderal Kao kepada
pemilik warung secara sambil lalu.
Akan tetapi sungguh tidak
disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung menjadi berseri.
Aih, tentu Tuan maksudkan Suma-kongcu (Tuan Muda Suma)! Memang dia sering makan
di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan bubur panas. Lihat, mangkoknya
juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!!
Ketiganya cepat bangkit. Di
mana dia? Ke mana perginys?! Jenderal Kao bertanya, suaranya keras, mengejutkan
pemilik warung.
Eh mana saya tahu? Tadi saya
lihat ke jurusan selatan sana!
Tukang warung itu menjadi
bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi meninggalkan warungnya.
Eh, ini bubur pesanan....!!
Akan tetapi Jenderal Kao dan
anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya menggeleng kepala.
Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan main!!
Sementara itu, Jenderal Kao
Liang sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan,
berkata dengan desis terheran-heran, Suma-kongcu!? Tidak banyak orang di dunia
ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian tinggi! Siapa lagi kalau bukan
keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti? Dan setahuku, ada dua
orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik keluarga kita? Bukankah kita
bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan mereka?! Jenderal Kao
menduga-duga dengan hati penasaran.
Itu kan dahulu, Ayah!! kata
Kok Tiong dengan suaranya mengandung kegemasan. Dahulu ketika Ayah masih
terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah seperti juga
disingkirkan oleh Kaisar, sungguhpun sebagai basa-basinya Ayah disuruh
istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja betapa
pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang perjalanan
kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan Ayah,
takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya Kaisar
memang berusaha untuk membasmi, keluarga kita agar aman, karena Ayah adalah
seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi, demikianlah
keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal menyamar sebagal
petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan tetapi mereka tahu,
keluarga kita bukanlah keluarga sembarangan. Apalagi ada Kok Cu koko, maka
Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es, keluarga Suma. Bukankah
keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga? Bukankah Pendekar Super
Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?!
Ehhhhh....?! Jenderal Kao Liang
berteriak dan menghentikan langkahnya.
Kalau dalam keadaan biasa,
tentu kata kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun tangan menampar
mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar, menuduh yang
bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan tetapi dia tidak
jadi menggerakkan tangan, karena kata-kata itu membangkitkan kecurigaannya pula
dan dia termenung.
Suma-kongcu, kata tukang
warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu, seorang di antara
dua putera Majikan Pulau Es.
Majikan Pulau Es adalah Suma
Han yang terkenal sebagai Pendekar Pulau Super Sakti bagi yang memujanya dan
Pendekar Siluman bagi yang membencinya, dan Suma Han ini menikah dengan Puteri
Nirahai sebagai isteri pertama, Puteri Nirahai cuku kaisar! Ucapak Kok Tiong
tadi biarpun agaknya tidak masuk di akal mengingat akan watak keluarga Pulau Es
yang sakti dan budiman, namun beralasan juga. Jenderal ini tahu bahwa di dalam
pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja terjadi. Buktinya, dua orang
Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar sendiri, memberontak karena
politik, karena pengejaran ambisi pribadi. Siapa tahu, kaisar benar-benar
menganggap dia berbahaya dan hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu,
mungkin pandangan putera Pendekar Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik
juga berubah terhadap dirlnya!
Akan tetapi....!! bantahnya
dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari suara hatinya,
Andaikata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara berbelit-belit?
Andaikata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau memerintahkan
perajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman mati. Mengapa harus
memakai cara penuh rahasia ini, dengan bermacam muslihat? Aku siap untuk
menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi negara!!
Saya kira persoalannya tidak
semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu terhadap Ayah, tentu beliau
akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu beliau tidak ingin perbuatan
beliau itu diketahui oleh umum. Rakyat jelata dan semua pembesar tahu belaka
siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah terhadap negara dan bangsa. Agaknya
Kaisar ingin agar kita sekeluarga seolah-olah terbasmi oleh penyamun atau, oleh
golongan hltam dan hal ini pun bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah
sudah banyak melakukan pembersihan terhadap mereka.!
Mendengar ucapan puteranya
yang ke dua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan tiba-tiba hatinya
menjadi berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan bunyi
berkerotan. Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat yang
hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!!
Kok Tiong menarik napas
panjang. Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu keluarga sendiri
terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan.!
Jenderal Kao termenung, sadar
akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan keadaan keluarganya.
Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja, kuminta kepada Thian,
Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu, andaikata benar demikian, mengapa
keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu? Di mana adanya
ibumu, isterimu, anak-anakmu?!