Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 26 - Menjual Anak Ke Pangeran
Hwee Li, bukalah pintunya. Aku
mau bicara denganmu.!
Suara ayahnya! Hwee Li lalu
menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, Ayah datang dengan
siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu.!
Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu
saja aku datang sendirian. Bukalah!!
Hwee Li membuka pintu dan
ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar
berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum.
Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali
bagimu!!
Ayah, aku lebih senang pakaian
hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang
berada di dalam lemari itu....! Dia menuding ke arah lemari di sudut.
Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak
bodoh. itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati
Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum
pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan
sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu,
Hwee Li!
Ahhh....!! Hwee Li terkejut
sekali. Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas ukurannya?!
Ha-ha-ha, tentu. saja aku yang
memberi tahu.!
Ayah! Kenapa Ayah begitu....
merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, biarlah
aku memakai pakaianku sendiri!! Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang
hendak menanggalkannya.
Eh, eh.... jangan begitu Hwee
Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku.!
Hwee Li menjadi girang. Tepat
dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti
menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia lalu duduk menghadapi ayahnya, terhalang
oleh meja berukir indah itu.
Kau tidak tahu siapa Pangeran
Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya
adalah Puteri Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa
gurunya? Gurunya Adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi
sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!!
Hemmm, aku sudah mendengar
akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?! Hwee Li menjawab dan bibirnya
berjebi, memandang rendah pangeran itu.
Artinya? Anak bodoh! Artinya,
pangeran itu mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu
saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai
Gubernur Ho-nan, dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku
tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan
menjadi seorang kaisar!!
Hwee Li masih tersenyum
mengejek. Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekalipun, apa
hubungannya dengan kita?!
Ayahnya membelalakkan matanya
sampai lebar sekali. Oooh-ho-hoh-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu
apa-apa, anakku!!
Tidak, Ayah. Aku tahu
semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah
kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?!
Hek-tiauw, Lo-mo mengepal
tinjunya. Kaukira aku orang macam apa yang suka menjilat dan merendahkan diri
begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup
dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan
kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan
mulia,seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai
seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai
seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!!
Hemmm, terserah kepada Ayah.
Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki
apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!! Berkata demikian, Hwee Li
menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw
Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.
Hwee Li, jangan begitu....!
Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain....!
Peduli!! Hwee Li menjawab
dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini
mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan
pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar
mandi.
Wajah kakek raksasa itu
menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga
berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. Hwee Li,
engkau adalah puteriku! Apakah engkau tidak mau mentaati perintahku? Apakah
engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?!
Hwee Li mengerutkan alisnya.
Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak
menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak
pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau
kepada siapa pun juga.!
Tidak boleh! Engkau harus
berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!!
Akan tetapi aku tidak butuh
bantuan pangeran.!
Aku butuh! Dan aku ingin
menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!!
Ucapan itu seolah-olah kilat
yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu
berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia
memandang ayahnya.
Apa kata Ayah? Menjadi
mertuanya? Jadi aku.... aku....!!
Engkau akan menjadi isterinya,
menjadi permaisurinyai, Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang
kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu
denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan
segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi
Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua
kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?
Akan tetapi Hwee Li sudah
tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah
mencelat keluar dari situ.
Hwee Li....!! Ayahnya
mengejar.
Ayah, aku mau pergi dari
sini!! terdengar dara itu menjawab.
Apa kau ingin Ayahmu
menggunakan kekerasan?! bentak ayahnya sambil mengejar.
Jantung Hwee Li berdebar
keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya
yang dahulu selalu memanjakannya, yang tidak pernah bersikap keras kepadanya
sungguhpun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Dia terisak dan
melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya
dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap
untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada
orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.
Semenjak dia menjadi murid
Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subonya itu, Hwee Li telah
memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkangnya juga meningkat dengan luar biasa.
Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak
sekali para anggauta Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari
dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani
mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam
larinya, Hwee Li melihat Hekhwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil
tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.
Hwee Li berlari cepat sampai
di tempat lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai
menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan
tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah!
Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang
bersama ayahnya menunggang garuda, maka dia tahu bahwa tempat itu memang sudah
dikelilingi air yang amat luas. Melihat bahwa bayangan ayahnya tidak
mengejarnya lagi, tiba-tiba Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring,
memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi
garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil,
betapapun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau
setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.
Kembali dia melengking nyaring
dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut.
Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih
menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu mengandung keluhan yang membuat dia
mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke
situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma
saja dia memanggilnya!
Hwee Li jangan pergi....!!
Hwee Li meloncat dan lari lagi
ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba
hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri
perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan
tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air,
lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!
Hatinya sudah merasa lega dan
girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu.
Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu
pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia
tercebur ke dalam air! Padahal, sungai itu amat luas dan dia baru saja
meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan
membunuh diri, karena dia bukan ahli, biarpun dia dapat berenang sekedar untuk
mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki
tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah, bukan pantai di seberang!
Ketika dengan pakaian dan
rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah, dia merangkak. keluar dari
air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua
kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee
Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan
diserangnya atau dimakinya habishabisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada
ayahnya, penuh kemarahan.
Ayah, kau.... kau kejam!!
akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.
Ayahnya menghampirinya. Hwee
Li, siapa bilang aku kejam? EngKau lah yang terlalu, tidak mau mentaati
perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan
terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu.
Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau
harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu.!
Watak Hwee Li memang keras.
Begitu mendengar kata-kata harus!, dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan
dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun
dari rambutnya, Kalau aku tidak sudi?!
Kau akan dipaksa! Nah, boleh
kaupilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya
dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!!
Hwee Li membelalakkan, kedua
matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin
ayahnya akan berbuat sekeji, itu. Ayah! Kau.... kau....! dia tidak dapat
melanjutkan, hanya menangis keras.
Tiada gunanya engkau menangis,
Hwee Li. Kalau engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku
tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah
musuhku! Dan engkau tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!!
Biar sampai mati aku tidak
sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!! Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak,
kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di
tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.
Hemmm, engkau tidak akan mati,
akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!! bentak Hek-tiauw Lo-mo.
Aku adalah anakmu, aku tidak
akan melawan Ayahku sendiri, akan tetapi kalau aku hendak kau umpankan
kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan srigala, aku akan
melawan!! kata Hwee Li.
Huh, agaknya gurumu telah
mendidikmu untuk menjadi anak durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba Kau lawan
aku!! Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.
Hwee Li cept mengelak dan
balas menyerang dengan dahsyat sehingga ayah dan anak itu lalu saling serang
dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia
tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan
entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan
ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma
saja karena tentu ayahnya lebih mahir. Maka dia selalu bergerak menurut
petunjuk Ceng Ceng dan suami subonya itu. Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti
pernah dijanjikan oleh subonya itu dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali),
dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan
penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang
lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu
semacam ilmu silat yang diciptakan dengan bantuan suaminya, yang disaring dari
ilmu-ilmu silat yang dikenalnya lalu ditambah dengan beberapa gerakan yang
mengambil dari ilmu mujijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat
dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.
Akan tetapi betapapun lihainya
Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa
kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya,
maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu
dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan
terguling-guling. Akan tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun
kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan
ayahnya sendiri daripada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian
Cu!
Hyaaaaattttt....!! Tiba-tiba
dia melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua
tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya melayang di udara. Inilah
jurus yang amat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mujijat
Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!
Ihhh....!! Hek-tiauw Lo-mo
terkejut bukan main karena dari serangan ini menyambar hawa dahsyat yang
membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi
yang mengenal pukulan mujijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia
melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya
berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mujijat itu.
Bocah durhaka!! Dia membentak
dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang
yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut
serangan ayahnya dengan tendangan.
Plakkk!! Ayahnya menangkis,
demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu
melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil
tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah
ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang
ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.
Wuuuuuttttt....!! Hwee Li
terkejut. Hendak mengelak namun terlambat dan tubuhnya sudah tercakup oleh
sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh
Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.
Cukup, Locianpwe!! Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu
dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, Andaikata bukan Locianpwe
yang melakukan hal ini, terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku
dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!!
Hek-tiauw Lo-mo membungkuk,
Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang
tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan
dia. Ha-ha-ha!! Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal
itu.
Liong Bian Cu menerima tali
itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. Marilah,
Nona, biar aku merawatmu, Nona....! Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh
itu.
Hwee Li yang kini mengalihkan
kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang
keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu
membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat
tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap,
pukulannya tidak dapat dilakkan dan terhenti setengah jalan.
Tenanglah, Nona, dan
percayalah bahva aaku tidak tega untuk menyakitimu,! kata pangeran itu dengan
tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh
pangeran itu, dibawa ke arah gedung. Semua orang yang melihat dan bertemu di
jalan, membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap
seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak
dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa
pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah
ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam
pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan
kepandaiannya yang hebat. Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan
percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ
terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya
untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya
Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah
pangeran itu sendiri. Juga, biarpun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di
situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya
memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan
Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia
belaka, maka dia harus berlaku cerdik.
Pangeran itu memondongnya
dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan
gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan
jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li
yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu
menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu
melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung
dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut
sampai ke kakinya. Tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan seperti
telanjang saja.
Ah, betapa kejam ayahmu,
Nona.... sungguh kasihan engkau....! kata pangeran itu dengan sikap menyayang
sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak
bundas karena dibanting-banting tadi. Aku akan mengobatimu. Ah, kalau lain kali
dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!!
Hwee Li memandang dengan mata
terbelalak. Hatinya lega. Biarpun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang
wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia.
Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu
dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya.
Akan tetapi, biarpun dia cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta,
dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus
bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari
orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya,
namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak
akan suka melihat dia sengsara.
Pangeran.... harap.... harap
kau suka membebaskan aku.... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan
berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai
seorang yang amat baik.!
Liong Bian Cu tersenyum,
memandang mesra dan menggeleng kepala. Jangan kita bicara tentang itu. Engkau
perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih
dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu.... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku
amat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini,
pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian....!
Jari-jari tangan pangeran itu
menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Biarpun pangeran itu bersikap
lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki
tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah
meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.
Jangan....! Tidak.... jangan
buka pakaianku....!! dia meratap.
Jari-jari tangan yang baru
berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap
tajam, mulutnya tersenyum dingin. Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat
jatuh sakit. pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru,
luka-lukamu akan kuobati sendiri....!
Hwee Li melihat sinar gembira
di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik
kelembutannya, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak
aneh yang amat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia
digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi. Hwee Li tiba-tiba
menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut
seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, Pangeran, baru
saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang
engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini Kau lanjutkan, aku
akan merasa amat benci kepadamu!!
Benci?! Pangeran itu
mengerutkan alisnya. Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan
menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau
membenciku?!
Di luar banyak terdapat
pelayan, mengapa engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu menandakan
bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang
gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang
laki-laki.!
Tangan itu meninggalkan baju
Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk-angguk. Sikapmu ini menambah besar
cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi
calon isteriku.! Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan
tadi.
Kalian bantu Nona Hwee Li
berganti pakaian kering. Eh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa?!
Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah
gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.
Aku selamanya memakai pakaian
hitam,! jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.
Hei, kau! Cepat Kau suruh
penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara
kilat. Harus jadi sekarang juga!! Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan
yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li.
Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk
sementara saja, Nona.! Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan
kakinya menuju ke pintu.
Pangeran....!! Hwee Li
tiba-tiba memanggil.
Liong Bian Cu membalikkan
tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri.
Apalagi yang dapat kulakukan
untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina
kalau.... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan
nanti baru kuobati engkau....!
Pangeran, engkau tentu maklum
bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa
Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu
lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba
melarikan diri.!
Pangeran itu
mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin
mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku.!
Hwee Li merasa malu sekali
melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang
masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, Kalau engkau sudah
tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih
menotokku? Apakah kau ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini....!
Pangeran itu melangkah menghampiri
pembaringan. Dan kau berjanji tidak akan memukul pelayan, tidak akan
memberontak?!
Aku bukan seorang tolol.
Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu
apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak.!
Bagus, aku percaya kepadamu,
Nona.! Pangeran itu lalu menggerakkan tangan kanannya menotok kedua pundak Hwee
Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika
pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan,
hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka
dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang kepada pangeran yang diam-diam
telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.
Melihat ini, Hwee Li
tersenyum. Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku
hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku
perlu bantuan kalian kupanggil.!
Tiga orang pelayan itu
memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati perintah
gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah
meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya
sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum. Kalau sudah selesai, beritahulah aku,
Nona.! Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar oleh Liong Bian
Cu.
Setelah mereka semua keluar,
Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya lancar
kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya
teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar
otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak
boleh sembrono lagi. Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya,
dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan
tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi.
Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau
dalam kemarahannya pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap
dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta
kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.
Hwee Li memilih pakaian hijau
dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan dua benda
seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian
hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan
seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular! Kemudian dia
menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula
sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah
lemari.
Aku sudah selesai, Pangeran!!
katanya sambil duduk di atas kursi.
Daun pintu itu segera terbuka,
tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah
melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya
bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!
Bukan main....!! Engkau....
engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aih, rambutmu yang masih
agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh
seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati luka-lukamu.! Pangeran itu
mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.
Terima kasih, Pangeran. Kurasa
tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya.!
Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini
sudah menjadi kering.
Ahhh, engkau lihai, ilmu
silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan
cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam
dirimu, Nona Hwee Li.!
Hanya luka di pundakku ini
masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak....! Hwee
Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.
Ahhh....! Benarkah? Celaka!
Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa pundakmu, Nona. Jangan khawatir,
jangankan baru retak, biar sudah remuk sekalipun, aku akan dapat mengobati dan
menyembuhkannya!! Pangeran itu datang mendekat.
Dengan hati-hati, sambil
kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas
sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak
kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus
dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak
kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran
itu lalu berseru, Ahhh, sungguh kejam....!! Tangannya lalu memeriksa dan dengan
halus menyentuh pundak itu.
Saat inilah yang
ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat
pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk
membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu
bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran
ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu
ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan
pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap
ayahnya, tentu akan pulih seperti dulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya
tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.