Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 36 - Pangeran Bloon
Ah, tapi siluman itu!
Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?! Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan
alis berkerut.
Kita harus membayangi dia!!
Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.
Sang pangeran menjadi bingung,
dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya
agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan kini kekasihnya itu terancam bahaya
tanpa dia berani mengerahkan orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam
ancaman seorang musuh yang amat lihai.
Kenapa tidak menggunakan
garuda saja....?! Tiba-tiba Gitananda berkata.
Ah, benar! Hanya dengan cara
itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee
Li!!
Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan
wajahnya berseri. Kenapa aku melupakan garuda itu?! Dia mencela diri sendiri.
Lo-kwi, hayo Kau bantu aku menghadapi Siluman Kecil!!
Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu
memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini mendengar
ajakan itu, dia membuang muka. Urusan anakmu sendiri, kenapa kau hendak
merepotkan orang lain? Katakan saja engkau tidak berani menghadapi siluman itu
sendirian saja!!
Siapa tidak berani? Biar
ditambah engkau sekalipun, aku tidak takut!! Hek-tiauw Lo-mo menghardik.
Melihat dua orang pembantunya
yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu
cepat berkata, Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe
menyelamatkan Adinda Hwee Li.!
Barulah dua orang kakek iblis
itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah
menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan
sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu
lalu memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan
pengejaran jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan
ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi.
Dengan pengerahan tenaga dan
kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari
benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Para
penjaganya yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong
melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu
keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap. Hwee Li sendiri
memejamkan mata karena ngeri.
Dia sudah biasa menunggang
garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini
berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah
cepatnya, dia merasa ngeri juga.
Setelah jauh meninggalkan
lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar
bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu
membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, dan menurunkannya
dari pondongan. Kemudian dia menjura kepada dara itu sambil berkata, Nona,
sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan
obat untuk kakakku, kini engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari
cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang
besar itu.!
Siapa berterima kasih kepada
siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,! kata Hwee Li.
Tidak, engkau yang telah
melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini
sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang
nyawa kepadamu.!
Hi-hik, berhutang nyawa? Lalu
kapan kau akan membayar hutangmu itu?!
Kian Bu gelagapan, akan tetapi
memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini
bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu.
Ah, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat balk. Kalau engkau
terancam bahaya maut, aku akan menolongmu sehingga dengan demikian aku akan
dapat membayar hutangmu itu.!
Hemmm....! Hwee Li lalu duduk
di atas rumput. Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir
menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang
lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan
membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya.
Sinar bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada
kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang. Kau benar-benar ingin
membalas budi kepadaku?!
Benar! Sungguh, Nona, hanya
aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan
budi yang telah berkali-kali Kau lepaskan kepadaku itu.!
Kalau ada sebuah permintaanku,
benar engkau mau memenuhinya?!
Benar, pasti akan kupenuhi
permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.!
Nah, mulai sekarang, jangan
lagi menyebut nona kepadaku.!
Ehhh....?! Kian Bu melongo.
Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus
menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan.
Lalu.... menyebut apa?! tanyanya, ragu.
Kau harus menyebut aku enci
(kakak perempuan).!
Hehhh....? Tapi.... tapi aku
lebih tua daripada engkau....! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau
paling banyak delapan belas....!
Tujuh belas!! potong Hwee Li
dengan cepat.
Nah, baru tujuh belas malah!!
Hemmm, baru permintaan
sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak mau!
Apalagi untuk membayar hutang nyawa segala....!! Hwee Li bersungut-sungut dan
memalingkan muka dari pemuda itu.
Ah, tentu saja aku mau. Enci
Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso
(kakak ipar)....?!
Ihhh! Tak tahu malu!! Hwee Li
membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar bulan juga
mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara.
Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi.
Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar
mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya
tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah
jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!
Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku
berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi....!
Hwee Li menoleh dan matanya
yang indah itu melotot. Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus
mengulang! Kau menantang, ya?!
Eh, oh.... tidak...., maafkan.
Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan ketika mengatakan
bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali
menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih,
bukankah itu artinya mengejekku?!
Huh, kau tidak tahu. Apakah
kaukira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku menolongmu
kalau hal itu tidak penting bagiku?!
Maksudmu....?!
Bukan aku yang menolongmu,
melainkan engKau lah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku adalah
seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?!
Tentu saja Kian Bu menjadi
terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan
dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan. Tawanan?
Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu
pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?!
Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku,
melainkan musuh besarku!!
Ehhhhh....?! Kan Bu memandang
dengan mata terbelalak.
Dia.... dia bahkan musuh yang
telah membunuh ibuku....! Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan
riwayatnya itu.
Ahhh....! Kalau begitu kionghi
(selamat) kepadamu, Enci!! Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan
memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk
di depan dara itu.
Hwee Li meloncat berdiri.
Engkau.... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!! Dan tiba-tiba dara itu
telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang,
tangannya meluncur menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan
kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga
merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!
Eh.... plakkk! Ohhh....
plekkk!! Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa
mengerahkan sinkangnya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan
itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat
cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li
telah menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian
Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.
Eh, nanti dulu.... wah,
Enci.... eh, Ciciku yang baik.... tahan dulu....!! Melihat Hwee Li terus
menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!
Hwee Li termangu-mangu, dan
merasa heran, lalu bersungut-sungut, Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu!
Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!!
Wah, engkau salah sangka, Enci
Hwee Li....! Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut
putih itu telah berdiri di belakangnya! Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan
ke atas, tanda takluk dan tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang
galak itu sampai menyerangnya lagi, Dengarkan dulu! Aku memberi selamat
kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri
Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek
menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek
dan manis jelita seperti engkau....!
Wah, engkau memang seorang
adik yang bejat moralnya!!
Lhoh, kenapa lagi?!
Engkau memuji-muji kecantikan
cicimu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?!
Kian Bu tersenyum. Aihhh,
segala yang kuucapkan ternyata Kau anggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf.
Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah
puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku
sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan
khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li.
Lalu...., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?!
Akan tetapi Hwee Li sudah
duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi sunyi, keduanya
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena
kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas
menjadi jodoh kakaknya. Betapapun cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri
Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di
Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu.
Akan tetapi, melihat Hwee Li
tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani
mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas
kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Di lain fihak, Hwee Li juga
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci
karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah
sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum
waktunya!
Dan kini, sukar baginya untuk
mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di
perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan
memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim
Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan,
bahkan ibu Kian Bu Siluman Kecil ini adalah seorang puteri istana kaisar! Maka,
dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang
sesungguhnya.
Melihat Hwee Li menunduk
seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang
tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. Enci Hwee Li, jadi engkau telah
ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa
engkau.... eh, engkau adalah tunangan pangeran itu!!
Tidak sudi! Dia memaksa aku
menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya. Akan
tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?!
Eh, kenapa? Bukankah pangeran
itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?!
Tampan? Dia me....
memuakkan....!!
Hwee Li teringat betapa dia
pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar. Terutama....
hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu.... ihhh, menjijikkan!! Dan Hwee
Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.
Kian Bu tidak mau mengukur isi
hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri
dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran
dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia
mengapa Hwee Li menolongnya. Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li
bukan semata-mata menolongnya, melainkan juga hendak menggunakan kesempatan itu
untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Dan memang perhitungan dara itu amat
cerdik. Karena membiarkan! dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu,
maka biarpun tokoh-tokoh lain tidak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa
khawatir akan keselamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee
Li.
Kalau begitu, Enci Hwee Li,
apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos bersamaku?!
Akhirnya Kian Bu bertanya.
Kembali ke sana? Apakah engkau
gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi.... aku terpaksa harus
kembali ke sana.!
Ehhh? Engkau memang aneh,
Enci.! Kian Bu memandang heran. Setelah berhasil lolos, mengapa hendak kembali
lagi ke sana? Katanya engkau membenci sang pangeran?!
Hushhh, aku bukan hendak
kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati
ibuku terhadap ibliss tua bangka dari Pulau Neraka itu.!
Hemmm, tidak mudah! Dia lihai
sekai!.!
Takut apa? Dengan adanya
engkau di sampingku yang membantuku, apakah kaukira aku tidak mampu membekuk
batang lehernya?!
Aku....? Ah, akan tetapi....
belum tentu aku akan kembali ke sana.!
Hwee Li meloncat bangun,
berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya yang
ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal
dan marah. Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana
bersamaku, membantu aku!!
Terlalu sekali bocah ini,
pikirnya. Belum apa-apa saja lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa.
Bagalmana kalau kelak benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee
harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!
Bagaimana kalau aku tidak....
sanggup?! Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akah
marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi. Betapapun juga, dia tidak dapat
lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya
mencarikan jamur mujijat itu, kemudian telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika
dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.
Engkau harus sanggup dan
engkau harus mau!! jawab Hwee Li. Tanpa kuminta sekalipun engkau pasti akan
kembali ke sana!!
Eh, bagaimana engkau begitu
pasti, Enci....?! Kian Bu terheran.
Karena ketahuilah bahwa
keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri,
isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu
akan mencoba untuk menolong mereka.!
Kian Bu menunduk dan
mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan
jenderal yang dulu amat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di
telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan
keluarga jenderal itu, apalagi melihat kenyataan kemudian betapa jenderal itu
benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara!
Maka dia menggeleng kepalanya. Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal
Kao....!
Akan tetapi dia melakukan
semua itu karena terpaksa, Kian Bu!! Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk
kembali. Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang
pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan
matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng itu.!
Huh, laki-laki macam apa itu?
Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk
menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat
dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut.!
Akan tetapi dia tidak berkhianat!
Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng
itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa
orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan
siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti
akan kaucoba selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!!
Bibi....? Kau menyebutnya
bibi?! Kian Bu bertanya heran.
Tentu saja! Habis disuruh
menyebut apa?!
Dia usianya tidak berselisih
banyak denganmu.!
Dasar kau yang tolol! Apakah
sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andaikata dia lebih muda daripada
aku sekalipun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat
dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?!
Kian Bu makin terheran dan
juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah
seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri
menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng
ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia
diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang masih terhitung murid cucu
keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara ini?
Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka
kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung
sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!
Bagaimana, Kian Bu. Engkau
tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri
memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti....!
Kian Bu menggeleng kepala.
Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat
Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada
di sana sebagai tamu....!
Wah, engkau ini berjuluk
Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, eh, kiranya hanya seorang
bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik
oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak
tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi
pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo!on itu....!
Eh, kok ada pangeran blo'on
segala?!
Maksudku, pangeran hidung kakatua
itu. Mohinta bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka berjanji
untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan
Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti
Dewi.... Coba, apa kau rela?!
Ahhh....!! Kian Bu meloncat
berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman
Kecil ini marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti
harus berhadapan dengan dia!
Melihat pemuda itu termenung
dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba
sepasang matanya memandang sayu. Kian Bu.... dia.... dia.... Bibi Syanti
Dewi....! Dia tidak melanjutkan kata-katanya ketika Kian Bu cepat menoleh
kepadanya, lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti
Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh
kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian
Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa
kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang
puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang
lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak
mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta
puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat
melanjutkan kata-katanya.
Dia kenapa....?! Kian Bu
mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.
Dia.... harus ditolong, kalau
tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan
Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu akan celaka akibat pemberontakan
Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal.!
Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo,
anakmu itu sungguh tak tahu malu!! Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas.
Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah
mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda
besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!
Tutup mulutmu yang berbau
busuk, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!! Hek-tiauw Lo-mo
membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu
sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah
terbang lagi ke atas.
Hemmm, begini sajakah Siluman
Kecil yang terkenal hebat itu?! Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian
Bu. Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!!
Huh, manusia dari Pulau Es
mana bisa dipercaya omongannya?! Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai
penuh kebencian. Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es
amat dibencinya. Dan biarpun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini
memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang
menggemparkan namanya di sepanjang lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa
takut. Pernah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan
dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup
menandinginya. Apalagi kini ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia
belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mujijat itu.
He, Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!! tiba-tiba Hwee Li
membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri. Bocah ini memaki ayahnya
dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biarpun Hek-tiauw Lo-mo bukan
ayahnya sendiri, biarpun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus
diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu
sungguh terlalu kasar dan tidak enak didengar. Kalian jangan menuduh orang
sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan
raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap
khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang
dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke
sana. Tahukah kalian?!
Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang
seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka
makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali
tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak. Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang
tidak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak, Lo-mo, perlu apa
banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang
ke benteng!! Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok
kedua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih
seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di Lmbah bersama para
pengikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu
menjadi ketua Lembah Bunga Hitam (baca Kisah Sepasang Rajawali). Ilmunya ini
dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu pukulan yang
mengandung hawa mujijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan
dia menanam diri di dalam rumah tempurung, diikuti oleh para anak buah bekas
perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu
saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang dicapai
oleh Hek-hwa Lo-kwi ini.
Biar kauhajar Siluman Kecil
yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang
tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya,
biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!!
Hek-tiauw Lo-mo memang licik
sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia
berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan
tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan
banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua
Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek
Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.
Di dalam lubuk hatinya, Hwee
Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang ini adalah
musuh besarnya, yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini
melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah
mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya.
Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun
dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia
tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh
mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia
telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu
melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh
ke kiri dan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya. Kini kedua tangannya
mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya.
Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah
mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang
diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu,
murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang dia
berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti telah
dijanjikan oleh gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Melihat tubrukannya
dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan
daripada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri,
maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan dulu Hek-hwa Lo-kwi
setengah mati menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja
menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan mudah. Nanti
kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan bantuan,
barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya. Heh-heh, bocah kurang
ajar, kaukira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran,
tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan
ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!!
Hampir Hwee Li menjerit saking
marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan
kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur-mundur menjauhi
lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau
lawan lengah akan diserangnya dengan senjata! istimewa di dalam genggaman kedua
tangannya itu.
Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi
juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah
bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh
mengamuk, dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang
mengeluarkan sinar putih. Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya.
Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar. Dia maklum
bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, akan tetapi juga bau itu
dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Namun, dia sudah
cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan
didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang. Tenaga
berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi.
Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat
dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal
ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke
kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk
menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar
putih nampak, bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.
Nyesssss....!!
Kian Bu terkejut bukan main.
Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air
dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam
mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa
betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang
kembali ke gua karena takut bertemu lawan yang kuat! Namun, pemuda ini sudah
menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat menyimpan kembali
hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka
tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun
membalik. Maka dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan
pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim
Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga
membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini. Bahkan dia
sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat
hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji
di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan
pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis
lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkangnya menjadi Swat-im
Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin,
yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi
salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.
Bagus....!! Hek-hwa Lo-kwi
berseru girang dan seperti juga tadi, dia telah menggerakkan kedua tangan
mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat didahului sinar putih
bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan
ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.
Kembali dua macam hawa pukulan
sakti bertemu di udara. Cesssss....!! Dan sekali lagi nampak asap mengepul,
akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih.
Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang dipergunakannya
membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa
Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika
dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang.
Mendadak Kian Bu berteriak, Celaka....!! dan dia pun terhuyung. Kepalanya
terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak!
Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat.
Memang itulah kelihaian
Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk
menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mujijat, yang mengandung
racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak
apa-apa, akan tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti
tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar
oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan
tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh
tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil! Memang dalam hal tenaga sinkang dia
masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu
bahwa ketika tangan saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari
Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang
Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im
Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya!
Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai kawan,
maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulanpukulan itu yang
dilakukan dengan bertubi-tubi. Memang hebat sekali ilmu mujijat ini. Angin
berpusing-pusing dan sinar putih bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi
pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah
menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya seperti kilat
menyambar-nyambar saja, mencelat ke sana-sini sampai tak dapat diikuti oleh
pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingun, namun
dia terus mengejar.
Kian Bu tidak mengerahkan
lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan Yang-kang dan
Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia
mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan
lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan
berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya
menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguhpun kecepatan itu
masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.
Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo
cepat bantu aku. Sialan kau!! Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak.
Hek-tiauw Lo-mo tentu saja
melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap kelihaian
ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li
yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan di desaknya itu. Hwee Li tidak dapat
mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.
Dukkk!! Tendangan kakinya
mengenai perut bekas ayahnya, akan tetapi tendangan itu membalik dan kakinya
terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan
dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah
senjata! tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia
memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah
terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa
dan kelihatan lengah.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo
adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi
tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup,
bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang
tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan
bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana menyambar
angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan
pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri. Sebelum Hwee Li
dapat mengelak, dia telah kena ditendang lututnya dan jatuh terpelanting.
Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya
memaki-maki kalang-kabut, Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau
mampus!!
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo
hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu
sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan
kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya berkelebat
menyambar ke arah leher pemuda itu. Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan
biarpun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun
mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya
berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali sehingga leluasalah bagi
Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang sempurna itu. Akan
tetapi, setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat merobohkan
dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu
kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah
merobohkan dua orang raksasa ini. Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin
menghebat, apalagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi
agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena
disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat
melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau membagi perhatiannya. Sebetulnya,
kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu
Sin-ho-coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan
mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda
sekalipun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu
mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ
secepatnya.
Akan tetapi, dua orang kakek
itu adalah tokoh-tokoh besar yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik.
Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang
puthauw (tidak berbakti) itu!! kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata
demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya. Untuk ke sekian
kalinya, Kian Bu tidak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu
mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu
di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang
terkena benda cair itu mendidih!
Melihat ini, agaknya Hek-tiauw
Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku
jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di
sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri
dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapapun yang akan menolong Hwee
Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu.
Kian Bu menjadi makin
khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa
berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan
mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan
lweekangnya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia
tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!
Tiba-tiba terdengar suara
parau, Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?!
Pertanyaan parau ini dijawab
oleh suara merdu seorang gadis, Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya
dengan baik.!
Kian Bu yang sedang
berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik.
Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan
berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang
gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang
pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan
lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari
rumah Sin-siauw Seng-jin itu! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi
bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sesungguhnya bukan lain
adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si
kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri
uangnya sekantung!
Hemmm, aneh....!! kata kakek
bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti
Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. Gerakannya demikian
hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tidak akan mampu
memukulnya roboh. Hebat bukan main, akan tetapi mengapa dia tidak balas
menyerang?! Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan
heran. Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali.
Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi,
menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda
itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan
balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana
mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah
menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak tahu bahwa kecepatan
Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja karena gerakannya
sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.
!Suhu, tentu ada sebabnya dia
tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu.... ah, dia agaknya terluka, tidak
mampu bergerak.... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau.! Kang Swi
Hwa mendekati Hwee Li.
Awas, Hwa-ji, jangan kau
menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!! gurunya memperingatkan
karena dia merasa curiga.
Hwee Li juga melihat munculnya
dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi dari sikap mereka, dia
dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan
melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula
sekutu dua orang iblis tua itu.
Heiii, kalian ini apakah
orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua
orang kakek iblis jahanam ini?! tanya Hwee Li dengan suara lantang.
Kakek itu mengerutkan alisnya
dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, Kau ini bocah bermulut
lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau
mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia
seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!!
Swi Hwa, jangan sembrono dan
jangan layani orang!! gurunya memperingatkan, karena dia masih kagum sekali terhadap
gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.
Kalau kalian bukan pengecut
dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua
orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah
membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!!
Hwee Li berkata lagi.
Hemmm, kau bocah bermulut
jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin
menontonnya!! Kang Swi Hwa balas membentak.
Wah, kau perempuan cabul....!!
Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong,
Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak
berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?!
Apa? Mereka itu adalah....!
Benar, Suhu. Kakek yang
mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua dari Kui-liong-pang di lembah.
Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan
gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo
ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw
Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?! kata Kang Swi
Hwa. Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa
atau Ang-siocia ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan
di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili
ayahnya yang juga tidak dapat hadir.
Aihhh, kiranya engkau si
maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling-maling besar dan
kecil, tentu cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api
neraka!! Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal
Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai
maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri pertemuan di
lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!
Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong
sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh
yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas
ditotok orang. Sepantasnya, kalau gadis itu benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo
yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan
oleh ayahnya sendiri, apalagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh
gadis baju hitam itu. Jadi, tentu pemuda rambut putih itulah yang telah
menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang menotok dan hendak
memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal. Akan tetapi, dia mengenal nama
Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang
ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah
saja?
Ha, apakah Lote ini Hek-sin
Touw-ong?! Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran karena dia dan
Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.
Kebetulan sekali, marilah
bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang berani melarikan tunangan Pangeran
Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan
pangeran itu ke lembah!!
Tunangan pangeran....?! Kang
Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, lalu dia mengangguk-angguk. Ahhh,
kiranya dia telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!!
Cocok hidungmu!! Hwee Li
membentak dan matanya melotot. Boleh kau gantikan saja kalau kau sudah ingin
sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!!
Kang Swi Hwa tidak menjawab.
Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba runyam dan
bertentangan itu. Gadis itu tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan
tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil
agaknya.
Melihat betapa guru dan murid
itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu seperti
orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali. Melihat betapa kakek
bermuka hitam itu tidak melayani ajakan Hek-hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan
dia lalu berkata nyaring, Hek-sin Touw-ong, biarpun julukanmu Raja Maling,
kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah bahwa aku dipaksa dan
ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh
anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku
dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan tetapi dikejar dan.... entah mengapa,
dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua bangka itu. Maka,
kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas kusebut
locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah, Locianpwe!!
Ha-ha, kita adalah orang
segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh
kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini,
Hek-sin Toauw-ong!! kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
Swi Hwa, Kau bebaskan
totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot
asap itu!! tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam
gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan
dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Si muka
tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata
malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan
mengelak:
Srattt!! Dan ujung lengan
bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!
Ahhh....!! Hek-hwa Lo-kwi
terkejut bukan main. Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian
hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah
mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Kalau
murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, kini si raja
maling ini menggunakan tangan seperti pedang! Dia balas menyerang dan karena
Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia
pun cepat mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran hebat,
saling menyerang antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam
pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan
dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak
mungkin dapat merobohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah
Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo
seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi
bingung. Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia
menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa
kali jala hltamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung,
namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian
Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu mengulurkan
tangan dan menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.
!Dukkk....!! Tubuh Hek-tiauw
Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu
banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama
sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya.
Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi dan robohlah kakek itu dalam
keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!
Sementara itu, Kang Swi Hwa
sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu
silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, akan tetapi
tentang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran
asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan menginjak paku dan
jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati sekali Swi Hwa
menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya
memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh
kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkangnya dan melompat
melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar.
Hwee Li melihat itu semua dan
tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia, diam saja. Dara ini semenjak
kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw
Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal
kasihan, sungguhpun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup
oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo. Apalagi setelah dia ikut bersama gurunya yang
baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan
petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak-watak Ceng Ceng dan
suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak
kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang-kadang, timbul
keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apalagi kalau dia sedang marah.
Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak,
lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya.
Swi Hwa berhasil meloncat ke
dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening,
akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. Bocah galak, akhirnya toh engkau
membutuhkan pertolonganku....! kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa
pening di kepalanya bertambah.
Hwee Li menjebikan bibirnya
yang merah. Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kau lihat saja, bukan aku
yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engKau lah yang akan mampus kalau
tidak ada aku yang menolongmu!!
Tentu saja Swi Hwa menjadi
marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah
memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini
tak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya.
Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo,
bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu.
Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia
mengiri juga.
Huh, manusia macam engkau ini
mana pantas ditolong orang?! dia bersungut-sungut akan tetapi kembali kepalanya
seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi
dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan
Hwee Li.
Nanti dulu!! kata Hwee Li.
Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu
membuyarkannya? Hayo Kau totok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena
ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!!
Sikap dan kata-kata Hwee Li
benar-benar membuat Swi Hwa menjadi mendongkol bukan main. Bocah ini benarbenar
sombong, pikirnya. Akan tetapi karena dia tentu akan makin diejek dan makin
dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok
dengan pengerahan lweekangnya ke arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee
Li.
Dukkk....!! Totokan itu keras
sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak
lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam
keadaan pingsan!
Hwee Li bangkit berdiri,
mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi
Hwa dengan senyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong, Hei,
apa yang terjadi dengan Swi Hwa?! Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan
tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, Touw-ong, jangan meloncat ke
sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya keluar!!
Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga
sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan
Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja
Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang
lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sinciang membuat kedua tangannya seperti golok dan
pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang
mampu merobohkan lawan tangguh. Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan
ilmunya yang mujijat itu, Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu
terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling,
mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat
dan mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa
Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh
Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan
kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.
Mendengar ucapan Hwee Li,
Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu. Harap turut saja kata-katanya,
Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,! kata Kian Bu dan dia sendiri pun
cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa
murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya.
Hwee Li mengempit tubuh Swi
Hwa, menggunakan saputangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah
itu dengan mengikatkan saputangan di depan muka gadis itu, kemudian dia
melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu.
Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila sambil memejamkan kedua
matanya, Hwee Li terkejut dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan
itu ke atas tanah dan tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan
lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk
memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu.
Kian Bu, kau.... kau kenapa?
Apakah kau terluka?! Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan
penuh kekhawatiran.
Kian Bu membuka matanya,
tersenyum. Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa kuketahui lebih dulu
terkena hawa beracun dari pukulannya...., akan tetapi perlahan-lahan dapat
kuusir dengan sinkang....!
Ahhh? Kau terkena
Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau bilang
perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat
ces-pleng (manjur) sekali!! Gadis itu segera mengeluarkan buntalan besar dari
dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat. Kemudian dia
mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil seperti tahi
kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu. Kau telan ini dan tentu hawa
itu akan mudah terusir!! katanya.
Kian Bu maklum akan kelihaian
dara ini tentang segala racun, maka dia percaya, menerima dua butir obat pulung
seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan
tetapi mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak
harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya
berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ. Kian Bu kaget dan girang
sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu benar-benar hebat sekali, maka
dia lalu menggunakan sinkangnya, perlahan-lahan mendorong hawa panas itu ke
arah dadanya.
Benar saja, hawa panas yang
terdorong sinkangnya itu seolah-olah seperti api yang membakar hawa beracun
yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan membubung naik
melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercampur bau harum
obat tadi. Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang
yang amat hebat. Andaikata dia tidak diberi obat sekalipun dengan sinkangnya
dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan
memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan sinkangnya.
Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa
beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.