Jodoh Rajawali Bab 41 - Syanti Dewi Yang Sangat Cantik

Jodoh Rajawali Bab 41 - Syanti Dewi Yang Sangat Cantik
Anonim
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Bab 41 - Syanti Dewi Yang Sangat Cantik

Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di waktu api berkobar-kobar di dalam benteng itu, nampak bayangan berkelebatan yang sukar diikuti pandang mata. Bayangan ini cepatnya bukan main sehingga tidak ada orang melihatnya. Apalagi setelah api berkobar-kobar, asap membubung tinggi di mana-mana, ba­yangan itu seperti setan saja berkelebat­an di antara genteng-genteng dan api­api berkobar, dari atas dia merupakan seorang wanita cantik sekali yang ber­pakaian mewah. Kini wanita itu mengintai ke bawah dan melihat Mohinta yang masih merangkul Syanti Dewi yang me­ronta-ronta berusaha melepaskan diri.

Wanita ini bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui! Wanita cantik jelita ini pernah bertemu dengan Siluman Kecil dan dia amat tertarik kepada pendekar yang namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi ketika dia mengadu ilmu silat dengan pendekar itu, dia terkejut sekali dan diam-diam dia maklum bahwa dia sendiri pun tidak akan mampu menandingi pendekar itu. Akan dicobanya lagi kalau dia mempunyai kesempatan berjumpa dengan pendekar itu.

Betapapun juga, pendekar itu hanya­lah seorang sutenya! Dia sudah men­dengar bahwa Pendekar Siluman Kecil berguru, bahkan dianggap putera oleh gurunya, yaitu Kim Sim Nikouw di lereng Bukit Tai-hang-san, maka pendekar itu masih terhitung sutenya juga. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Pendekar Siluman Kecil itu adalah putera Pulau Es! Andaikata dia tahu akan hal ini, tentu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tidak akan merasa penasaran dikalahkan oleh pemuda itu. Betapapun juga, dia merasa senang juga mendapatkan kenyataan bah­wa dalam hal ginkang, dia masih menang dibandingkan dengan pendekar perkasa itu.

Dalam perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan ber­kumpulnya tokoh-tokoh besar di dalam lembah Huang-ho. Hal ini menarik per­hatiannya dan dia lalu menuju ke ben­teng itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang kakek bersama seorang dara yang cantik berpakaian hitam! Dia sendiri tidak tahu bahwa dua orang kakek itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu keti­ka mereka sedang memasuki pintu ger­bang. Karena amat tertarik melihat “sutenya” itu menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi. Mu­dah saja bagi ahli ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa diketahui orang.

Akan tetapi begitu menyaksikan ke­adaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut bukan main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikir­nya! Amat kuatnya sehingga merupakan benteng perang yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari luar! Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak memiliki ginkang yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasukinya, apalagi pasukan yang hendak masuk le­wat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu! Dia sendiri menjadi bingung setelah naik ke atas tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana dibawa­nya Siluman Kecil dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis itu.

Selagi dia bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya mempergunakan ginkangnya yang luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rum­put), dia berkelebatan di atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis cantik dan dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk! Dia menjadi girang sekali dan diam-diam dia membayangi dari atas.

Kemudian dia menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran-kebakaran yang dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan peledaknya. Kini tahulah dia bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah menjadi kawan-kawan dari Siluman Kecil dan gadis cantik itu! Ketika dia melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika dia ter­tarik dan merasa suka seketika! Akan tetapi, agaknya wanita aneh ini tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri Syanti De­wi dipeluk dan diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki se­buah rumah.

Melihat puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul ke­marahan wanita ini. Dan memang menjadi pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Ketika dia melihat lima orang penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan se­orang gadis, Ouw Yan Hui juga mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang penjahat itu telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat oleh Siluman Kecil.

Kini melihat, puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan dirangkul secara paksa oleh seorang Pang­lima Bhutan, dia marah sekali dan bagai­kan seekor burung garuda yang marah, dia mengeluarkhn suara melengking nya­ring dan tubuhnya sudah menyambar dariatas ke bawah, menukik turun menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak memaksa puteri itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan orang, sedangkan Syanti Dewi yang ingin me­larikan diri bersama Hwee Li, meronta-ronta.

Ketika Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah kagetnya ketika dia melihat seorang wanita seperti seekor burung saja menyerangnya. Dia mengira bahwa yang menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.

“Mundur!” bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti Dewi. Kalau saja yang me­nyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani melanjutkan serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi terancam. Akan te­tapi Ouw Yan Hui sama sekali tidak peduli akan hal ini. Dia marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan Syanti Dewi yang tidak dikenalnya. Maka dia tidak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus me­luncur dan menyerang Mohinta dengan hebatnya!

Mohita terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk membunuhnya sungguh-sung­guh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan menyerang terus, dia terpaksa melepaskan Syanti Dewi dan mengguna­kan pisaunya untuk memapaki wanita yang menyerangnya itu, karena kini dia melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!

“Plakkk.... tringgg....!” Untuk kedua kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Ketika dia meloncat bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik berpakaian mewah itu telah berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!

“Hei, berhenti....!” Mohinta berseru dan cepat mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin menyambit, akan tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu berteriak-teriak minta bantuan dan dia sendiri lalu mengejar. Akan te­tapi kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa kali lompatan saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu.

Mula-mula Syanti Dewi meronta ka­rena terkejut sekali melihat dirinya di­bawa loncat secepat itu ke atas. Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang wanita cantik dan dibawa “terbang” melalui api yan ber­nyala-nyala dan asap tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat ter­bakar dijilat lidah api merah, dia me­rasa ngeri sekali.

Melihat bahwa wanita itu adalah se­orang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia berkata, “Lepaskan aku....!”

“Huh, lepaskan? Benarkah?” Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri di atas tembok benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.

“Eh, ohhh.... tolong....!” teriaknya.

“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang saking ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya lalu dia berloncat­an lagi amat cepatnya seperti terbang saja! Beberapa kali Syanti Dewi mem­buka mata akan tetapi terpaksa meme­jamkannya kembali matanya ketika me­lihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan terus ke tem­bok-tembok benteng yang berlapis-lapis itu untuk kemudian berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung ter­bang saja! Hampir Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan tempat penjagaan di atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu, padahal di kanan kiri tembok itu api masih berkobar! Akan tetapi sebenarnya puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat dan hinggap di atas tembok dengan kaki kanan, gerakannya seperti orang menari saja.

Kemudian, dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di dalam kegelapan malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar benteng itu.

***

Malam telah larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lem­bah Huang-ho ketika Ouw Yan Hui ber­henti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi. Mereka berada di lereng sebuah bukit, di dalam hutan kecil yang amat sunyi. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui mem­buat api unggun dan mereka berdua du­duk di dekat api unggun, saling ber­hadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini, mereka berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang menyinari wajah dua orang wanita itu dengan cahaya yang kemerah­an.

Keduanya terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api unggun, duduk berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas dan keduanya merasa kagum bukan main oleh kecantik­an masing-masing. Syanti Dewi meman­dang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh lebih tua daripada dia, sungguhpun melihat wajahnya, tentu orang akan menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.

Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus penuh ke­merahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguhpun di balik kelembutan itu mengandung sifat dingin yang menyeramkan. Rambutnya digelung seperti model gelung puteri istana, dihias, dengan hiasan rambut dari emas permata yang indah dan tentu ma­hal sekali harganya, berbentuk burung hong.

Telinganya juga memakai perhiasan yang bermata besar dan berkilauan. Hi­dungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang kempis, mulutnya kecil akan tetapi selalu terbuka secara me­nantang, mulut yang membayangkan be­rahi yang besar, sungguhpun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat berwatak kejam. Alisnya seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan anak rambut di pelipisnya. Wajah yang cantik jelita dan manis bukan main, tidak kalah oleh wanita puteri-puteri istana! Dan tubuh itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh se­orang wanita yang sudah matang.

Sung­guh sukar membayangkan betapa di da­lam tubuh yang penuh daya tarik ke­wanitaan ini dapat tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian tinggi. Perhiasan wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di ta­ngannya, sepatunya, semua menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang pu­teri istana atau seorang puteri yang kaya raya. Bahkan Puteri Milana yang pernah dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah wanita ini! Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang telah menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah menculiknya?

Di lain fihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga sejenak dia tidak dapat ber­kata-kata, hanya menatap wajah Syanti Dewi penuh kekaguman dan perhatian. Selama hidupnya, belum pernah dia me­lihat wajah yang demikian sempurna kecantikannya! Tadinya dia, seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna! Dan gurunya itu, Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita India yang paling sem­purna!

Akan tetapi kini, berhadapan de­ngan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui melihat kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar, bahkan pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang ter­belalak lebar penuh kekhawatiran, bibir­nya yang agak pucat dan agak gemetar karena cemas, tidak mengurangi kecantik­annya! Diam-diam Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik di manapun juga, dia selalu merasa besar hati karena ya­kin akan kecantikannya sendiri yang su­kar dicari bandingnya, akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan dara yang di­tolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba merasa bimbang!

“Siapa engkau? Siapa namamu?” tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus merdu, seperti suara seorang dara muda, suara halus yang “basah”.

“Namaku Syanti Dewi.”

“Eh?? Engkau bangsa apakah?”

“Aku datang dari Bhutan”

“Hemmm, engkau tentu bukan gadis kampungan biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau yang mengaku dari Bhutan ini?”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku ini, juga sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin se­kali dan menyeramkan itu. Syanti Dewi menegakkan kepalanya dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Bhutan!”

Kini Ouw Yan Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin tertarik. Sudah terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencam­puri urusan dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang Puteri Bhutan yang sudah banyak menggegerkon dunia kang-ouw ini.

“Kau puteri Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh ber­keliaran sampai di sini?”

Syanti Dewi tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar seorang puteri yang agung dan angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia! Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka me­mandang, mengikuti gerakannya.

“Kau bisa silat?” kembali Ouw Yan Hui bertanya.

Syanti Dewi menggeleng kepala. Ouw Yan Hui tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini me­lawan dan sempat pula merobohkan be­berapa orang perajurit sebelum dia di­tangkap oleh Panglima Bhutan itu.

“Aku hendak membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian tanpa mem­bela diri!” Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui meloncat dan menendang ke arah tubuh Syanti Dewi untuk mem­buat puteri itu terlempar ke dalam api unggun.

“Ihhh!” Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia telah memperoleh banyak kemajuan. Semenjak dia dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun Beng (baca Ki­sah Sepasang Rajawali), kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh kemajuan pesat dan kalau hanya beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap dapat menandingi­nya.

“Bagus!” Ouw Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan maut! Tentu saja Syanti Dewi marah sekali.
Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita cantik ini membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah wanita ini kawan atau lawan. Siapa kira, kini wanita itu hendak membunuhnya, setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila! Jangan-jangan memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuk­nya meremang ngeri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan dan sambil mengelak atau menangkis, dia pun menyerang pula de­ngan dahsyat untuk merobohkan wanita ini agar dia dapat melarikan diri.

Diam-diam Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pu­kulan yang menunjukkan bahwa dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Ha­nya latihannya belum matang dan me­mang jiwa puteri ini adalah lemah lem­but sesuai dengan kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung kedahsyatan. Mula-mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti Dewi, bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji dan memper­oleh kenyataan bahwa puteri ini tidak mengecewakan dan mulailah dia memper­cepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi menjadi bingung. Tiba-tiba saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu menowel pinggulnya dari belakangnya. Dia mem­balik dan cepat menyerang, akan tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul secara aneh di belakangnya, di kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh karena pening dan duduk terengah-engah di de­kat api unggun.

“Bunuhlah kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawan­mu!” katanya dengan kepala ditegakkan penuh keagungan.

Ouw Yan Hui makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata tidak cengeng seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan tabah sekali menghadapi ancaman ke­matian seperti sikap seorang pendekar wanita tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.

“Tadi kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu dengan dia?”

Syanti Dewi terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah karena marah dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih Suma Kian Bu kepadanya. Sukar baginya untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata, “Hanya teman baik, aku pun baru tahu ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa.” Syanti Dewi lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara mengandung penasaran. “Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan tetapi engkau me­loloskan aku keluar dari benteng, hanya untuk kauhina. Apa maksudnya ini se­mua?”

Ouw Yan Hui tersenyum. “Aku paling benci melihat pria, apalagi yang meng­ganggu wanita. Ketika kau diganggu Pang­lima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau cantik sekali. Aku tidak bermaksud menghinamu.”

“Dan tadi engkau menyerangku, mem­permainkan aku....“

“Hemmm, kau tidak tahu, Syanti De­wi. Aku hanya ingin menguji sampai di mana kepandaianmu.”

“Siapakah engkau sebenarnya?” Syanti Dewi tertarik sekali. Wanita ini aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan marahnya karena dipermainkan tadi. Biarpun dia sendiri bukan terhitung seorang wanita kang-ouw, akan tetapi selama beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan yang aneh­aneh, maka dia dapat memaklumi ke­anehan wanita ini.

“Orang menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan Hui. Aku juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri Bhutan, maka aku adalah seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!” Ouw Yan Hui tersenyum dan kalau dia tersenyum, memang dia cantik sekali, sedikit pun tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang amat lihai.

Syanti Dewi menjadi heran. “Dan apa yang hendak kaulakukan kepadaku?”

“Apa yang kauharapkan?”

“Agar engkau membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau ber­hasil meloloskan aku dari benteng itu. Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui.”

“Dan ke mana kau hendak pergi?”

“Ke mana saja kakiku membawaku. Aku...., aku mencari dua orang.”

“Siapa mereka?”

“Yang pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan, dan ke dua adalah.... Ang Tek Hoat, dia.... dia tunanganku!”

“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa se­orang dara secantik Puteri Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di dunia ini tidak ada yang baik, tidak ada yang bisa dipercaya! “Dengan kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyaknya orang pandai di dunia, apalagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan mengejar dan mencarimu, mana mungkin kau melakukan perjalanan seorang diri saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke ta­ngan orang jahat lagi.

“Aku tidak takut.”

“Akan tetapi aku tidak mau melepas­mu ke dalam bahaya.”

“Lalu apa yang akan kaulakukan ter­hadap diriku, Bu-eng-kwi?”

Ouw Yan Hui memandang penuh per­hatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun sehingga apinya ber­kobar lagi. Dia tidak takut kepada wa­nita cantik ini karena dia dapat menduga bahwa wanita ini hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.

“Apa yang akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil keputusan kalau kau sudah mendengar riwayatmu mengapa engkau seorang puteri dari Bhutan sam­pai bisa berada di sini dan menjadi ta­wanan di dalam benteng itu.”

Syanti Dewi menarik napas panjang. Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapa­pun juga wanita ini telah menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku terus terang agar jangan mem­bikin marah hati wanita aneh ini. Dengan singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos dari istana ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan mencari tunangannya, yaitu Ang Tek Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan Hwa­i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong­siam-pang dan akan dipaksa menjadi isterinya, kemudian betapa dia diperebut­kan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan Gitananda, kakek pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke ta­ngan Pangeran Nepal dan ditawan di dalam benteng itu. Betapa kemudian Hwee Li, yang tadinya juga menjadi ta­wanan di benteng itu dan dijadikan tu­nangan oleh Pangeran Nepal secara pak­sa, mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.

“Suma Kian Bu? Siapa dia?” Ouw Yan bertanya.

Kini Syanti Dewi yang memandang heran. “Bukankah kau tadi sudah me­nyebutnya, dengan sebutan aneh, kalau tidak salah, Siluman Kecil?”

“Ah, jadi Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma....? Seperti pernah kudengar nama keturunan ini....“

“Tentu saja. Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dari....“

“Pulau Es....?” Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui agak berubah saking kaget­nya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari Pulau Es!

Kini Syanti Dewi mengangguk bangga. “Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han, majikan dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap....“ Tiba-tiba Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini, tanpa disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan begitu saja menyatakan perasaan hatinya yang selalu merasa iba kepada putera Pulau Es itu. Apalagi begitu dia teringat betapa hebat perubahan terjadi atas diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas kedukaan yang diderita pemuda itu sam­pai rambutnya putih semua!

Ucapan dan sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui. “Apa maksudmu? Mengapa ka­sihan?” dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu.

Ada dua macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita normal. Pertama adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan ke dua adalah bahwa dia dicinta oleh pria! Apalagi kalau pria yang men­cintanya itu adalah seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria tergila-gila dan jatuh cinta kepada­nya, akan makin bangga dan besarlah hatinya. Betapapun pandainya seorang wanita, betapapun majunya, betapapun dia hendak menutupinya dan merahasia­kannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan besar ka­lau dia mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria. Andaikata dia tidak membalas cinta kasih pria itu, dan dengan sikapnya menyatakan ketidak­senangan hatinya, namun di sebelah da­lam hatinya ada perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang tidak disadarinya un­tuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih terlalu “tinggi” untuk pria yang tidak dibalas cintanya itu.

Syanti Dewi, biarpun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri kewanitaan ini. Kebangga­anlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan Hui. Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu terkejut mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena kenyataannya bahwa pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan sendirinya dia menjawab, “Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa aku dapat membalasnya....“ Kembali Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia merasa me­nyesal juga telah membuka rahasia itu, akan tetapi di samping penyesalannya ini, dia mengerling untuk melihat sikap wa­nita itu sewaktu mendengar pengakuan­nya ini.

Dan memang wanita cantik itu ter­tarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga alisnya bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa ber­suara. Akhirnya, Ouw Yan Hui berkata “Dan kau menolak cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah jatuh cinta kepada.... siapa pula nama tunanganmu tadi?”

“Ang Tek Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!” jawab Syanti Dewi dengan tegas dan memang suara ini adalah suara hatinya.

“Akan tetapi Ang Tek Hoat itu me­ninggalkanmu dan kau, perempuan bodoh ini, mengejar dan mencari-carinya dari Bhutan sampai ke sini?” Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat karena dia me­rasa marah dan penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab, dia me­lanjutkan dengan suara yang kedengaran marah, “Dan kau percaya saja kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja? Kau, seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh laksaan Laki-laki, kau begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki yang tak dapat dipercaya mulutnya?”

Syanti Dewi terkejut melihat kema­rahan ini. Dia menggeleng kepala. “Ti­dak, dia..... dia amat gagah dan baik.... dia terpaksa meninggalkan Bhutan, kare­na ayah marah kepadanya....“

“Huh! Laki-laki di dunia ini, di mana­pun sama saja. Mahluk yang palsu, tak dapat dipercaya sama sekali. Apa kau­kira Ang Tek Hoat itu pun Laki-laki yang dapat dipercaya? Semua Laki-laki di du­nia ini adalah jahat dan palsu!”

“Tetapi.... tapi dia baik sekali....”

“Itulah kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan ke­cewa dan merana seperti aku....“

Syanti Dewi terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu. “Apakah yang telah terjadi denganmu.... Enci Ouw Yan Hui?” Pertanyaan dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena me­mang merupakan suara dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia menunduk, lalu berkatalah dia de­ngan suara gemetar.

“Aku mencinta dia, suamiku itu.... apalagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang pertama kalinya.... akan tetapi.... malam itu.... aku melihat suamiku bermain cinta, berjina di dalam kamar seorang wanita tetangga....“

“Ahhh....!” Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.

“Kubunuh dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir mati, kebetulan malah. Huh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu mempermainkan aku, kalau perlu akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi, jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus yakin dulu akan hati orang bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian.”

“Akan tetapi dia lihai sekali....“

“Apa artinya kelihaiannya kalau eng­kau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapapun, dan aku dapat memperlakukan pria sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi permainan pria. Lupakah engkau betapa sudah ber­kali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat? Kalau engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat meman­dang rendah kepadamu.”

“Maksudmu....?”

“Kau ikutlah bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan mem­buat engkau dapat bergerak seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat berbuat sesuka hatinya kepadamu, tanpa kaukehendaki. Engkau akan menjadi bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat dipandang, dikagumi, akan tetapi tidak dapat di­tangkap tangan!”

Syanti Dewi termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia mengingat bahwa orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan semua anak buah Pangeran Nepal yang amat banyak dan amat lihai, tentu akan mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apa­lagi janji yang diberikan Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai “terbang” seperti itu, tentu selain tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya untuk mencari Tek Hoat. Untuk sementara ini lebih banyak selamatnya daripada rugi­nya kalau dia ikut bersama dengan wa­nita cantik itu, Maka dia mengangguk. “Baiklah, aku mau ikut bersamamu, Enci.”

***

“Sialan! Pangeran Nepal bedebah! Kalau dapat dia oleh tanganku, hemmm, akah kupatahkan batang hidungnya yang panjang bengkok itu!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel panjang pendek sambil melempar-lemparkan penyamaran­nya sebagai Hek-tiauw Lo-mo “Sudah payah-payah aku setengah mati menya­mar seperti setan dan hampir berhasil, eh, tahu-tahu si hidung kakatua itu mem­bikin gagal saja.” Tiba-tiba dia menoleh kepada Hwee Li seperti orang teringat akan sesuatu dan cepat berkata, “Ah, maafkan aku, Adik Hwee Li, bukan mak­sudku menyinggung engkau.”

Hwee Li tadinya tersenyum mende­ngar omelan Swi Hwa, akan tetapi men­dengar ucapan ini dia mengerutkan alis­nya dan bertanya, “Mengapa kau minta maaf kepadaku, Enci Hwa?”

“Aku telah memaki dan mengancam mematahkan batang hidung.... eh, tu­nanganmu.”

Sepasang mata Hwee Li memancarkan sinar marah. “Hemmm, sekali lagi kau menyebut dia tunanganku, hidungmu sendiri yang akan kupatahkan!” katanya.

Ang-siocia tertawa. Dia kecewa dan penasaran oleh kegagalan itu, akan tetapi tadi dia melihat Hwee Li masih dapat tersenyum-senyum, maka dia sengaja menggoda dara itu yang kini juga men­jadi marah, maka legalah hatinya.

“Tidak ada yang harus dipersalahkan,” terdengar Hek-sin Touw-ong berkata sambil menggeleng kepala. Dia pun sudah melemparkan semua penyamarannya. “Benteng itu kokoh kuat bukan main. Masih untung kita dapat menyelamatkan diri keluar dari sana. Hemmm, hebat sekali benteng itu dan penjagaannya amat kuat. Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan orang seperti Koksu Nepal itu berada di lembah, mana mung­kin kita dapat menyelamatkan diri?”

“Ucapan Touw-ong memang tepat. Benteng itu tidak mungkin dapat ditem­bus tanpa bantuan pasukan yang kuat. Dan tanpa penyerbuan oleh pasukan, tidak mungkin menyelamatkan keluarga Jenderal Kao dan Puteri Syanti Dewi.” Dia diam sejenak, teringat akan puteri itu, hatinya menjadi gelisah sekali. “Se­karang juga aku akan pergi ke kota raja untuk minta bantuan dan melaporkan keadaan di dalam benteng yang siap untuk memberontak itu.”

“Aku ikut!” Hwee Li sudah memotong cepat.

“Sayang kami tidak dapat membantu,” kata Hek-sin Touw-ong. “Kami mem­punyai urusan kami sendiri. Taihiap, kami ingin mohon pertolonganmu sedikit, yaitu, dapatkah Taihiap memberi tahu kepada kami, di mana adanya orang muda yang bernama Siauw Hong itu?”

“Siauw Hong?” Kian Bu memandang kepada guru dan murid itu, dan melihat betapa Ang-siocia menundukkan mukanya. Dia tidak tahu akan peristiwa yang ter­jadi antara Siauw Hong dan Ang-siocia. “Maksudmu pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu? Tentu saja dia berada di Bukit Nelayan di lereng Pegungungan Tai-hang-san itu.” Kian Bu tidak mau banyak ber­cerita tentang Siauw Hong, pemuda yang ternyata adalah keturunan dari keluarga Suling Emas yang hebat itu. Karena hal itu amat dirahasiakan tadinya oleh kedua fihak yang bersangkutan, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin, maka dia pun tidak mau membuka rahasia itu dan hanya mengatakan bahwa Siauw Hong yang telah diketahuinya bernama Kam Hong, keturunan langsung dari keluarga Suling Emas, kini berada bersama guru­nya, Sai-cu Kai-ong di Tai-hang-san.

“Terima kasih, Suma-taihiap. Kami akan pergi ke Tai-hang-san,” kata Hek-sin Touw-ong dengan singkat pula.

Mereka lalu mengucapkan selamat berpisah. Hwee Li memegang tangan Swi Hwa. “Enci Hwa, jangan kau lupa padaku, ya? Aku kagum sekali akan ilmu penya­maranmu dan kalau ada waktu kelak aku ingin belajar menyamar seperti engkau.”

“Mana mungkin aku dapat melupakan orang seperti engkau, Adik Hwee Li? Engkau mempunyai seorang ayah yang jelek sekali....“

“Hanya ayah paksaan!”

“Dan engkau mempunyai tunangan yang lebih jahat lagi....“

“Juga tunangan paksaan!”

“Akan tetapi engkau sendiri amat cantik jelita, lihai dan manis, adikku. Sebetulnya, kalau tidak bersama Suhu.... aku, aku akan suka sekali melakukan perjalanan bersamamu!” Sambil berkata demikian, mata dara ini mengerling ke­pada Suma Kian Bu, karena sesungguhnya yang membuat hatinya merasa berat adalah berpisah dari Siluman Kecil yang amat dikaguminya itu.

Maka berpisahlah empat orang itu. Ang-siocia yang merasa berat berpisahan dengan Hwee Li dan terutama Kian Bu, terpaksa ikut bersama suhunya untuk mencari Siauw Hong! Sedangkan Hwee Li pergi bersama Suma Kian Bu menuju ke kota raja karena Kian Bu melihat bahaya besar mengancam keamanan kerajaan dengan adanya bencana di lembah Huang-ho itu.

Sementara itu, kebakaran di dalam benteng itu akhirnya dapat dipadamkan juga. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu marah bukan main karena men­dengar berita bahwa Puteri Syanti Dewi hilang diculik orang dan terutama sekali bahwa Hwee Li, dara yang dicintanya itu pun telah melarikan diri. Mendengar betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat, membantu Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi, dan juga membakar benteng, kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang kakek iblis yang dianggapnya ber­khianat itu telah tidak ada lagi, maka kemarahannya dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!

“Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh-sungguh dalam pembuatan ben­teng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kaubuat ini?”

Jenderal Kao Liang memandang ke­pada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang. “Pangeran, sama sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobolkan bentengku ini! Akan tetapi, yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pan­dai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan aku?”

Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao! Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang ren­dah. Sudah lama dia kehilangan perhati­annya terhadap keselamatan dirinya sen­diri sehingga baginya tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga ben­teng itu sampai dapat diserbu dan di­masuki oleh musuh!

Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Ne­pal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal lain telah membuka baju atas­nya dan pengawal algojo sudah memper­siapkan cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu.

Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini daripada kalau dia melaksanakan tugasnya menghajar atau membunuh se­orang hukuman. Di dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa kor­bannya, dia menemukan kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang men­datangkan perasaan puas dan lega, pe­nyaluran dari rasa dendamnya terhadap manusia lain! Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk per­tama, melainkan mengayun-ayunkan cam­buknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian pung­gung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan lezat, sebelum me­makannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.

“Wirrr.... siuuuuuttttt....!” Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung Jenderal Kao yang sudah siap untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekalipun, de­ngan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyik­sanya dengan keluhan sedikit pun juga.

Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang se­dang menubruk mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia me­ngerahkan tenaga, akan tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat betapa ujung cambuk­nya itu telah ditangkap oleh tangan se­orang kakek botak yang bukan lain ada­lah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!

“Mundur kau!” Koksu ituu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani mem­bantah. Walaupun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharu­hendra, akan tetapi kakek botak ini ada­lah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan ker­ling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.

Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa Lo-kwi, Hek­tiauw Lo-mo, kakek seperti gorilla, ne­nek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan merasa gi­rang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa pe­rintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia me­langkah maju dan menudingkan telunjuk­nya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.

“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di hadapanku? Kok­su, kenapa dua orang manusia pengkhi­anat ini tidak ditangkap dan diberi hu­kuman yang berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran.

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi saling pandang dengan penuh keheranan, dan koksu itu lalu ber­kata, “Harap Paduka tenang, Pangeran. Mengapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan mengapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjaai kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”

“Musuh telah memasuki benteng de­ngan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan pembakaran-pem­bakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.

“Ini dia orangnya!” teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, kini jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.

“Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru. “Dengan bantuan para pengawal saya telah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan.... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pe­ngawal. Akan tetapi tiba-tiba saya di­serang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”

“Koksu, cepat tangkap mereka!” ben­tak Liong Bian Cu dengan marah. Dia sudah kehilangan kekasihnya, dan ke­hilangan Puteri Bhutan yang amat pen­ting baginya, ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini me­lakukan pengkhianatan!

Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin ber­sikap tenang saja. “Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalahfahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai dan terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.” Koksu lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajak­nya untuk melakukan perundingan pula di sebelah dalam. Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, akan tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan me­nahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, em­pat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.

Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng.

Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh pelaporan se­mua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa lni marah bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu! Maka, setelah Pa­ngeran Liong Bian Cu selesai mencerita­kan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru, “Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”

“Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan mem­bikin kacau di dalam benteng!” Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.

Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya ke­pada dua orang tokoh yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini. “Apa maksud kalian?”

“Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabuhi para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak men­jatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?”

Liong Bian Cu masih terheran-heram mendengar bahwa dua orang kakek yang menghadapnya sambil membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lo­mo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bi­ngung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab, “Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengata­kan bahwa benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan dia menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang-orang kang-ouw.”

Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata, “Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Un­tuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabat­sahabat saya ini telah datang untuk mem­bantu kita. Andaikata tadi sewaktu mu­suh menyelundup ke sini ada seorang di antara kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sa­habat, perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini.” Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekagum­an, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!

“Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu meng­halau setiap pasukan musuh yang bagai­mana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, ma­ka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran Liong Bian Cu hanya mengangguk.

“Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya me­reka itu.”

Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gun­dul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin, “Ahhh, Koksu, kalau saja tidak mengingat betapa Pa­ngeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang be­lum disambut dengan makanan lezat dan arak wangi!”

Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak me­nyuruh pengawal memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, akan tetapi Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab, “Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan-masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!”

Si pendek dan si tinggi itu lalu meng­gerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi diam-diam harus mengakui bahwa kini mereka mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang mem­bantunya, maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti dan Ji-ok Kui-bin Nio-nio.

“Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,” kata Jenderal Kao Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak be­gitu mempedulikan. Jenderal tua ini lalu meninggalkan ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.

Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di atas pem­baringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata bergerak keluar dari sepasang ma­tanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa. Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata, lebih baik mengucurkan peluh dan darah daripada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu men­datangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberon­tak itu! Ah, kalau saja keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam ke­adaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa se­mua keluarganya! Akan tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Si­luman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya!

“Suhu, aku tidak mau!”

Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu besar, se­pasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis.

Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu mogok berjalan! Biarpun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayang­kan kelembutan apalagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.

“Hayaaa....“ Dia menarik napas pan­jang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya. “Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Eh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?”

“Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan.”

“Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara eng­kau dan pemuda bernama Siauw Hong itu.”

“Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia me­lihat bahwa aku seorang wanita.”

“Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apalagi disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu telah menyentuhmu. Hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan sendiri yang menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi se­orang wanita terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!”

“Kalau begitu, aku akan membunuh­nya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.

“Dan engkau menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas kebaikan dengan kejahat­an? Dia telah menolongmu, menyelamatkannu, dan kau hendak membunuhnya?”

“Habis, bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, kawin dengan dia atau membunuhnya. Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuh­nya.”

“Swi Hwa, muridku yang baik. Meng­apa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”

“Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah....“

“Nah, kalau begitu, mengapa menolak?”

“Dia hanya seorang pengemis, Su­hu! Aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”

Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya menundukkan mukanya, kini dia mengangkat muka me­mandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah. “Suhu, hatiku se­dang mengkal, Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”

“Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”

“Bercermin?” Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut kepala dan mukanya. Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?”

Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri itu. “Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajahmu, melainkan ber­cermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau memandang rendah pengemis, agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya daripada seorang pengemis?”

Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah. “Akan te­tapi kita adalah maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa disamakan dengan pengemis....?”

“Hemmm, Swi Hwa, apakah kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan tahukah engkau? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang.... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama sekali.”

Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya. “Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”

“Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu, Swi Hwa?”

Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.

“Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan dalam per­temuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodoh­mu, muridku.”

“Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”

“Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak me­lihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya maupun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apalagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi daripada bintang di langit, muridku, agak­nya lebih sukar berjodoh dengan dia dari­pada dengan seorang pangeran sekalipun untukmu.”

Mendengar ini, Swi Hwa makin me­nunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tak terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.

Kakek itu menyentuh tangan murid­nya. “Hidup memang penuh dengan ke­pahitan-kepahitan yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Ke­kecewaan timbul karena harapan-harapan kita tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah daripada kenyataan....”

Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara ketawa yang terdengar amat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri semalam, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.

“Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu me­mang awas sekali dan benar saja, mereka berada di sini!”

Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa me­loncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah ber­pedang lagi, berdiri dengan penuh ke­waspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan tetapi suara­nya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya mengejar mereka.

Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan yang mengejut­kan hati guru dan murid itu.

Gurunya menggeleng kepala. “Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan per­cuma saja melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja me­reka sudah tiba di depan guru dan murid itu.

Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biarpun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuan­nya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang ting­ginya hanya sampai di pundaknya, akan tetapi kakek ke dua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah kalau hendak memandang wajahnya. Ka­kek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang mem­buat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biarpun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak me­nelanjanginya dengan pandang matanya!

“Su-ko, yang tua untukmu, aku perlu dengan yang muda!” tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu berkata, dan sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu mengerikan sekali karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk dapat menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat diulur lebih panjang daripada se­mestinya. Gerakan yang mengerikan se­kali!

“Ihhh....!” Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik melihat lengan itu seperti se­ekor ular panjang hidup meluncur ke arah pundaknya. Dia cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebat­nya, tangan itu terus mengejarnya, se­buah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kuku­nya panjang hitam! Swi Hwa kaget se­tengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya terancam ba­haya. Dia cepat menggerakkan tangan kirinya.

“Cusssss....!” Tangan kiri dari Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah ta­jam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar