Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 61 - Abu Jenazah (TAMAT)
Suma Han tidak melanjutkan
kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun seperti disengat
kelabang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya dengan muka merah
sekali, kemudian terdengar dia berkata, Paman, aku telah mendengar percakapan
Paman dengan locianpwe Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah puteramu itu telah
mempunyai seorang kekasih?!
Kini Suma Han juga bangkit
berdiri dan mengepal tangan kanannya. Tidak! Aku akan memutuskan hubungan yang
tidak tepat itu!!
Mengapa.... mengapa tidak
tepat, Paman?! Suma Han tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar,
karena dia sendiri sedang marah memikirkan keadaan puteranya.
Dia harus memutuskan hubungan
itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat menyadarkan Kian Lee,
bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan telah meninggalkan gadis
anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan pemberontak rendah itu!! Sepasang
mata Majikan Pulau Es ini bersinar-sinar penuh kemarahan. Dia merasa terhina
kalau harus menjadi besan orang-orang seperti penjahat dan pemberontak itu.
Dan terjadilah hal yang aneh,
yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak memandang gadis itu. Hwee
Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah padam dan
kedua matanya basah akan tetapi mengeluarkan sinar kemarahan yang berapiapi,
yang ditujukan kepadanya!
Bagus sekali, Paman! Baru saja
beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku bahwa kita tidak boleh
membenci orang yang telah mati betapapun jahatnya dia, dan kini Paman
memperlihatkan kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya yang telah
terbasmi dan binasa semua sebagai keluarga pemberontak! Apakah Paman sendiri di
waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah Mancu sekarang ini, ketika
pertama kali menyerbu ke selatan, bukankah mereka pun pemberontak? Dan Paman
juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka! Lupakah Paman
bahwa isteri Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari.... eh, puteramu Kian
Lee itu, pernah pula menjadi pemberontak dan juga menjadi ketua Pulau Neraka?
Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau pemberontakan atau penyelewengan
orang tuanya? Mengapa anaknya diikutkan bertanggung jawab dan kebagian nama
buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu? Layakkah itu bagi
seorang pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan pikiran yang demikian
picik, dangkal dan tidak adil?!
Wajah Suma Han menjadi pucat,
kemudian merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru, Hwee Li, kau....!
Hwee Li membanting-banting
kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar tempat itu terguncang!
Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman yang mulia dan setinggi
langit itu! Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat, sebaliknya Paman dan
keluarga Paman adalah keluarga langit! Sudahlah!! Dia terguguk menangis dan
melarikan diri secepatnya pergi meninggalkan Suma Han yang berdiri melongo.
Hatinya mendorong untuk
mengejar, akan tetapi dia teringat dan tidak jadi, menggerakkan kakinya. Gadis
seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dahulu, tidak mungkin ditundukkan dengan
bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri yang bersalah! Pendekar ini
tersenyum. Sudah setua, ini masih begitu tolol. Tentu saja! Tentu saja Hwee Li
adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu, gadis anak angkat Hek-tiauw Lo-mo,
puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin! Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu
datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah menjadi murid Dewa Bongkok dan
locianpwe itu datang untuk membicarakan urusan perhubungan gadis itu dengan
Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari sambil menangis ketika mendengar
dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan pemberontak!
Seperti disambar halilintar,
pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah cermin besar di mana
dia memandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia masih dikuasai oleh
watak sombong, ingin mengangkat diri dan keluarga sendiri, mempunyai gambaran!
yang amat agung terhadap keluarga sendiri yang pada hahekatnya perluasan dari
diri sendiri pula, sehingga dia memandang rendah kepada golongan lain, terutama
yang dianggapnya hina seperti penjahat dan pemberontak! Dan gadis dengan
kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang menyadarkannya!
Sampai berjam-jam lamanya Suma
Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah bergerak akan tetapi mata
batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa malu, malu sekali! Aih,
betapa Lulu akan marah sekali kalau mendengar akan sikapnya selama ini! Dan
kenapa Kian Lee juga memandang rendah kepada gadis yang menjadi kekasihnya itu
setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak? Mengapa Kian Lee setolol
itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan penyelewengan orang
tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya kebetulan saja
dihubungkan sebagai ayah dan anak. Akan tetapi, bukankah ayah dan anak
merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri, hati sendiri,
kesadaran sendiri, selera sendiri?
Sadarlah kini Suma Han.
Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan kewaspadaan sehingga
tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan perbuatan yang tidak
benar hanya dilakukan oleh manusia yang pada saat itu tidak sadar! Apabila
manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat memandang dirinya sendiri,
setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin dia melakukan
sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar itu pun
akan nampak olehnya dan karenanya tentu tidak akan dilakukannya!
Lebih dari tiga jam pendekar
sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak
marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia berterima kasih, karena
dara remaja itulah yang telah menggugahnya dari mimpi yang membawanya kepada
kesesatan. Betapa dia telah memberi kuliah kepada Hwee Li, seperti dikatakan
dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekalipun yang sudah mati, namun
sikapnya menentang hubungan puteranya karena si gadis itu anak penjahat dan
pemberontak sudah merupakan suatu kebencian pula yang terselubung! Ahhh, betapa
mudahnya memberi nasihat namun betapa sukarnya melaksanakannya sendiri! Ini
semua takkan terjadi kalau dia selalu waspada setiap saat mengamati diri
sendiri, sehingga dia akan waspada ketika memberi nasihat, waspada pula ketika
berbuat!
Akan kucari Kian Lee, akan
kubereskan semua yang tidak benar selama ini!! katanya kepada diri sendiri dan
di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi, mempergunakan ilmunya
untuk berloncatan dan melakukan perjalanan cepat sekali.
Dugaan Hwee Li memang tepat.
Setelah beberapa hari lamanya dia berputar-putar di daerah Kang-lam, akhirnya
dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga Jenderal Kao Liang,
yaitu di dusun Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang sunyi. Cepat dia menuju
ke dusun itu dan dari jauh dia sudah melihat subonya sedang duduk di depan
sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan juga Cin Liong. Bukan
main girangnya hati Hwee Li, akan tetapi di samping kegirangan ini dia pun
merasa terharu karena dia membawa berita duka, dan juga tegang dan gelisah
melihat subonya, teringat betapa subonya sudah tidak mau mengakuinya lagi
sebagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak!
Enci Hwee Li....!! Cin Liong
yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan mengajaknya
bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami isteri perkasa
itu pun memandang.
Hwee Li merangkul dan
memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu, menurunkan Cin
Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia selalu
menganggap subonya sebagai pengganti ibu, akan tetapi mengingat betapa wanita
di depannya yang amat dihormatinya, dikaguminya dan juga dicintanya itu kini
tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa sedih
sekali. Apalagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit. Dia
lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka. Dia tidak berani menyebut
subo atau suhu kepada mereka, mengingat betapa subonya telah mematahkan pedang
dan menyatakan hubungan mereka sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia
tidak akan mengemis minta diakui lagi sebagai murid, bisik hatinya yang keras,
kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah!
Sambil berlutut dan dengan
muka menunduk dia lalu berkata. Harap Taihiap dan Lihiap berdua sudi memaafkan
aku kalau aku datang mengganggu.!
Tanpa diketahui oleh Hwee Li,
suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan lihiap dan taihiap itu
sebaliknya, dari subo dan suhu. Kao Kok Cu tersenyum pahit dan pandang matanya
menegur isterinya, sedangkan Ceng Ceng kelihatan terharu, namun ditahannya
dengan hatinya yang keras. Memang dia sudah menceritakan kepada suaminya bahwa
dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li karena ternyata bahwa Hwee Li adalah
adik dari musuh mereka, yaitu adik dari Kim Cui Yan yang telah menculik Cin
Liong, atau juga puteri dari mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Mendengar
penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan
isterinya itu terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena ssudah terlanjur
maka mereka berdua tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang
dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan menyebut
mereka taihiap dan lihiap!
Sejenak mereka bertiga
merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya pertemuan antara
mereka tenntu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah seorang dara yang
lincah jenaka dan yang selalu menggembirakan suami istri itu dengan sikapnya
yang manja. Kini gadis itu berlutut dan menitikkan air mata, menyebut mereka
dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu memecahkan kesunyian yang
tidak enak itu dengan berkata halus.
Hwee Li, tentu saja engkau
tidak mengganggu. Kau bangkit dan duduklah dan ceritakan dengan tenang apa
keperluanmu datang menemui kami.!
Hwee Li bangkit dan duduk
berhadapan dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke arah wajah Ceng
Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tidak tahu apakah nyonya itu
masih marah kepadanya ataukah tidak. Betapapun juga, suasana ini amat tidak
enak terasa olehnya, apalagi dia harus membawa berita yang amat tidak baik.
Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut kepala Cin
Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar kepadanya. Enci
Hwee Li kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita
latihan silat, aku sudah mulai dilatih oleh Ayah!!
Melihat sikap Hwee Li, Kok Cu
dapat menduga bahwa tentu ada urusan penting, maka dia lalu menyuruh puteranya
itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya. Setelah anak itu masuk,
Kok Cu bertanya lagi, Nah, ceritakanlah keperluanmu, Hwee Li.!
Sejak tadi Hwee Li sudah
menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas turun, akan tetapi
kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan Kok Cu dan
menangis, suaranya terputus-putus ketika dia bicara sambil menurunkan buntalan
dari atas punggungnya.
Su.... Taihiap...., aku....
aku datang untuk menghaturkan ini....! Dia merasa lehernya tercekik dan hanya
mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala sambil menangis.
Teringat dia akan semua kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya telah menurunkan
ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan telah mengoperkan sinkang ke dalam
tubuhnya.
Apakah ini? Apakah isinya
buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau menangis?! tanya Kok Cu dengan hati
merasa tidak enak.
.... abu jenazah....! Hwee Li
berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh perhatian kepada dara
itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh suaminya.
Kok Cu terkejut dan makin
merasa tidak enak.
Abu jenazah? Punya siapa?!
.... abu jenazah Locianpwe....
penghuni Istana Gurun Pasir....!
Ahhhhh!! Kok Cu meloncat
berdiri dan tubuhnya gemetar, buntalan itu masih dipegang tangan kanannya dan
wajahnya agak pucat ketika dia memandang kepada buntalan itu, kemudian kepada
Hwee Li. Hwee Li, hayo ceritakan yang jelas!! bentaknya dengan suara mengandung
getaran amat kuat. Tidak salahkah engkau bahwa ini abu jenazah suhuku, Go-bi Bu
Beng Lojin atau Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?!
Hwee Li menentang pandang mata
Kok Cu dengan mata basah air mata. Tidak mungkin salah, karena aku sendiri
melihat beliau tewas, dan aku bersama dengan Pendekar Super Sakti yang
menyempurnakan jenazahnya menjadi abu dan kubawa ke sini untuk kuserahkan
kepadamu.!
Ahhh....!! Kedua kaki Kok Cu
menggigil dan dia lalu cepat menaruh buntalan itu di atas meja, kemudian dia
menjatuhkan diri berlutut di depan buntalan abu itu. Suhu, ampunkan teecu,
karena terlalu memikirkan keluarga sendiri teecu sampai melupakan suhu dan
tidak tahu bahwa suhu telah meninggal dunia, ampunkan teecu....!
Sebuah tangan yang halus
menyentuhnya setelah beberapa lama dia berlutut tanpa bergerak dengan hati yang
amat berduka. Dia menoleh dan ternyata isterinya juga sudah berlutut di
sampingnya, dengan mata basah air mata. Sudahlah, suhu sudah meninggal dengan
tenang, tidak baik kalau terlalu disedihkan, lebih baik kita cepat mengatur
meja sembahyang untuk beliau,! kata Ceng Ceng. Sementara itu, Hwee Li juga
sudah berlutut di belakang mereka.
Dengan bantuan beberapa orang
anggauta keluarga, diaturlah sebuah meja sembahyang dan abu itu lalu
disembahyangi sebagaimana mestinya. Hwee Li juga ikut sembahyang di depan meja
abu itu, dan ketika dia berlutut dia berkata dengan suara sayu, Locianpwe,
untuk yang terakhir kalinya aku menghaturkan terima kasih atas segala
kebaikanmu kepadaku.!
Setelah dia bangkit, Kok Cu
lalu mempersilakan dia duduk. Maaf, Taihiap, aku akan terus melanjutkan
perjalanan dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi,! katanya sambil
mengerling ke arah Ceng Ceng.
Ceng Ceng tahu bahwa muridnya
ini masih merasa tidak enak kepadanya, seperti juga dia merasa tidak enak. Dia
pernah menyakitkan hati muridnya ini dan memutuskan hubungan, siapa kira kini
anak itu malah berjasa dengan mengantarkan abu jenazah guru suaminya. Maka
dengan suara lirih dia berkata, Hwee Li, kau duduklah dulu dan ceritakan
tentang kematian suhu.!
Benar, harap kau tidak kepalang
dengan pertolonganmu, Hwee Li. Engkau sudah bersusah payah mengantar abu
jenazah suhu, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi, bagaimana engkau dapat
bertemu dengan suhu dan bagaimana suhu sampai meninggal dunia, apa pula
hubungannya dengan Pendekar Super Sakti,! kata Kok Cu dan memang suami isteri
ini amat tertarik untuk mengetahui semua itu.
Hwee Li menarik napas panjang.
Memang dia harus menceritakan itu semua. Sambil menundukkan mukanya dia mulai
bercerita secara singkat, Mula-mula aku bertemu dengan beliau ketika beliau
dalam keadaan terluka parah sekali akan dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li....!
Bagaimana beliau bisa terluka
parah?! Kok Cu bertanya kaget.
Beliau kemudian menceritakan
bahwa beliau terluka karena secara curang dipukul dari depan dan belakang oleh
Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. Mereka berdua tewas akan tetapi, beliau
sendiri terluka parah. Melihat beliau yang sudah tidak berdaya dan duduk
bersila itu hendak dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, aku lalu mencegahnya dan
melawan Mauw Siauw Mo-li....!
!Kau melawan bibi gurumu
sendiri?! Ceng Ceng bertanya, akan tetapi pandang mata suaminya membuat dia
sadar bahwa dia masih dikuasai oleh kemarahan terhadap dara ini, maka dia lalu
diam saja dan menundukkan muka. Hwee Li melirik ke arah subonya itu dan
menggigit bibir tanpa menjawab.
Hwee Li, harap kau suka
lanjutkan,! Kok Cu berkata lembut.
Kami berdua lalu melakukan
perjalanan menuju ke gurun pasir di dataran Chang-pai-san untuk menyaksikan
pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok. Selama dalam
perjalanan itu beliau bersikap amat baik kepadaku....! Sampai di sini Hwee Li
berhenti karena dia harus menyusut dua butir air mata yang kembali mengalir
turun.
Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar suara nyaring dari luar rumah, Apakah murid Si Dewa Bongkok berada di
dalam? Keluarlah menemui kami!!
Mendengar suara ini, sekali
berkelebat Kok Cu sudah meloncat keluar, diikuti oleh isterinya, dan Hwee Li
juga cepat meloncat keluar. Ternyata di pekarangan rumah itu telah berdiri
Twa-ok dan Sam-ok, dua di antara Im-kan Ngo-ok yang paling lihai! Kao Kok Cu
mengenal dua orang ini, apalagi Sam-ok yang dulu menjadi Koksu Nepal.
Heemmm, kalian dua orang
manusia iblis mau apakah datang mencari, murid penghuni Istana Gurun Pasir?!
Bagus, kebetulan sekali engkau
berada di sini! Dewa Bongkok telah mati, akan tetapi dialah yang menggagalkan
kami ketika kami sudah hampir berhasil membunuh Pendekar Siluman! Karena itu,
engkau muridnya harus menebus kesalahannya terhadap kami itu!!
Keparat!! Teriakan ini keluar
dari mulut Hwee Li dan dara ini sudah mendahului Kok Cu dan isterinya, langsung
saja dia menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang dilakukan secara
aneh, yaitu kaki kiri berlutut, tangan kiri di atas tanah dan tangan kanan
memukul ke depan, ke arah dua orang kakek sakti itu.
Cuiiiiittttt.... desss!
Desssss!!
Dua orang kakek itu terkejut
ketika melihat munculnya dara yang pernah melawan mereka secara aneh dan hebat
membantu Pendekar Super Sakti itu. Tak mereka sangka bahwa gadis luar biasa itu
pun sudah berada di situ. Gadis itu adalah Hwee Li, bekas tunangan Pangeran
Nepal, anak dari Hek-tiauw Lo-mo yang dulu hanya terbatas saja kepandaiannya,
akan tetapi yang kini memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Kini Twa-ok dan
Sam-ok tidak berani memandang rendah, cepat mereka menangkis dan akibatnya
tubuh mereka terdorong mundur sampai terhuyung-huyung! Dan Hwee Li sudah
melayang lagi ke arah mereka, kini kedua kakinya bergerak, dengan tumit
diangkat, berdiri di atas ujung jari-jari kaki, kedua lengan diputar sedemikian
rupa dan dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi
berdesingan seperti dua batang pedang diputar.
Twa-ok dam Sam-ok terkejut,
cepat mereka pun mengerahkan tenaga dan menangkis sambaran dua hawa pukulan dahsyat
itu.
Wuuuuut, brettt,
brettttt....!! Dua orang kakek itu meloncat jauh ke belakang, muka mereka pucat
karena lengan baju mereka telah robek seperti digurat pedang pusaka, dan
biarpun kulit lengan mereka thdak terluka, namun tahulah mereka bahwa dara itu
benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan aneh. Menghadapi
dara itu saja sudah berbahaya, apalagi kalau Si Naga Sakti Gurun Pasir murid
Dewa Bongkok yang lihai itu maju bersama isterinya yang juga lihai! Maka tanpa
banyak cakap lagi keduanya lalu memutar tubuh dan melarikan diri!
Sejenak Hwee Li memandang
dengan berdiri tegak, tidak mengejar, kemudian dia menoleh dan ketika melihat
bekas subonya dan suami subonya memandang dengan mata terbelalak kepadanya, dia
menarik napas panjang dan berkata lirih, Sayang aku tidak berhasil membunuh dua
manusia iblis itu.!
Kok Cu sudah cepat melangkah
maju dan memegang lengan Hwee Li. Gerakanmu tadi! Tenagamu tadi! Ah, Hwee Li,
aku mengenalnya! Engkau.... engkau telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari mendiang
suhu?!
Hwee Li mengangguk. Beliau
amat baik kepadaku, telah menurunkan ilmu-ilmu simpanannya dan juga telah
mengoperkan sinkangnya kepadaku....!
Kalau begitu, engkau termasuk
muridnya, engkau menjadi sumoiku!!
Hwee Li menggeleng kepala. Aku
tidak berharga untuk menjadi murid beliau dan aku tidak pernah diangkat murid,
aku tidak berani menjadi sumoimu, Taihiap....!
Kaulanjutkanlah ceritamu
tadi,! kata Kok Cu dan mereka lalu kembali duduk di ruangan depan di depan meja
sembahyang Dewa Bongkok. Ceng Ceng kini memandang kepada bekas murid itu dengan
mata kagum.
Kami berdua tiba di dataran
itu dan Pendekar Super Sakti dikeroyok oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Kemudian
muncul pula nenek iblis yang pandai sihir, dan Pendekar Super Sakti terdesak
hebat. Dalam keadaan amat berbahaya itu, Locianpwe Dewa Bongkok agaknya tidak
dapat berdiam saja, dalam keadaan terluka parah itu beliau lalu membantu
Pendekar Super Sakti sehingga pendekar Pulau Es itu terlepas dari bahaya maut,
akan tetapi beliau sendiri.... beliau tewas dalam keadaan duduk bersila....!
Kembali Hwee Li mengusap kedua matanya.
Ahhh, jadi Im-kan Ngo-ok yang
menjadi biang keladi kematian suhu. Kalau tadi aku tahu....! Kok Cu berkata.
Teruskan, Hwee Li, teruskan ceritamu.!
Setelah beliau tewas, Pendekar
Super Sakti mengamuk, akan tetapi terdesak oleh banyaknya lawan karena segera
muncul Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol yang lihai. Melihat Locianpwe itu
tewas, aku menjadi marah dan aku lalu maju membantu Pendekar Super Sakti. Aku
berhasil membunuh Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol, menggunakan ilmu yang
kupelajari dari Locianpwe Dewa Bongkok, kemudian membantu Pendekar Super Sakti
menghadapi lima orang dari Im-kan Ngo-ok sehingga akhirnya mereka melarikan
diri meninggalkan Pendekar Super Sakti yang telah menderita luka-luka karena
pukulan mereka.!
Hemmm, dan mereka menyalahkan
suhu dalam kegagalan mereka terhadap Pendekar Super Sakti,! kata Kok Cu. Dan
memang suhulah yang menggagalkan mereka, dengan mewariskan kepandaian suhu
kepadamu, Hwee Li. Kemudian, kau membakar jenazah suhu?!
Pendekar Super Sakti yang
melakukannya, aku membantunya, kemudian aku mengumpulkan abu Locianpwe Dewa
Bon&kok dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu, Taihiap.!
Kok Cu bangkit berdiri,
memandang kepada Hwee Li dengan mata kagum dan berterima kasih. Hwee Li, aku
amat berterima kasih kepadamu. Tidak keliru suhu memilihmu sebagai ahli waris
ilmu yang dirahasiakan itu, bahkan kepadaku pun dia tidak menurunkan ilmu itu.
Engkau baik sekali dan engkau patut menerima kasih sayangnya.!
Aku pun berterima kasih
kepadamu, Hwee Li, dan kaumaafkanlah sikapku yang lalu....! Suara Ceng Ceng ini
membuat Hwee Li memutar tubuh dengan cepat. Dia melihat subonya telah berdiri
dan memandang kepadanya dengan mata basah. Bukan main lega dan girangnya hati
Hwee Li, juga terharu sekali dan dia seperti mendapatkan kembali seorang ibu!
Dia berlari menubruk Ceng Ceng sambil merintih dan menangis! Ceng Ceng
menerimanya dalam pelukan dan sambil menyembunyikan mukanya di dada subonya itu
Hwee Li menangis sepuas hatinya sampai sesenggukan.
Subo.... ah, Subo.... mengapa
semua orang membenciku? Mula-mula Subo yang meninggalkan aku karena aku anak
pemberontak, lalu dia.... Kian Lee juga menghinaku dan meninggalkan aku....
setelah itu ditambah lagi.... Pendekar Super Sakti juga mencaci maki anak
pemberontak dan tidak menyetujui puteranya berjodoh dengan anak pemberontak....
hu-hu-huuuh...., Subo, apa salahku....?! Dia merenggutkan pelukan Ceng Ceng
sehingga terlepas, lalu memegang kedua lengan subonya itu,
mengguncang-guncangnya penuh penasaran, dengan air mata bercucuran. Apa
salahku, Subo? Apa salahku kalau ayah kandungku seorang pemberontak? Apa
salahku kalau orang yang memeliharaku seorang penjahat? Apa salahku kalau Tuhan
menentukan aku lahir dari keluarga pemberontak? Mengapa orang menyalahkan
aku....? Mengapa....? Hu-hu-huuuuuh....!! Tangisnya menjadi-jadi karena dia
teringat betapa Kian Lee meninggalkan dirinya, dan dia kembali sudah
berangkulan dengan Ceng Ceng yang juga ikut menangis bersama muridnya karena
dia merasa amat kasihan dan terharu. Berbagai hal teringat oleh Ceng Ceng. Kian
Lee pernah jatuh cinta kepadanya dan cinta kasih itu gagal karena dia masih
terhitung keponakan sendiri dari pemuda itu. Kini pemuda itu mempunyai hubungan
kasih sayang dengan muridnya, dengan Hwee Li, apakah harus putus lagi? Tidak,
sekali ini, kalau sampai putus, maka kesalahannya terletak pada Kian Lee!
Setelah mencium pipi yang
basah air mata itu, Ceng Ceng menghibur, Sudahlah, Hwee Li, tenangkan hatimu.
Aku sudah bersalah dan kaumaafkanlah aku. Akan tetapi, mereka itu tidak boleh
bersikap seperti itu kepadamu, sama sekali tidak patut! Kalau aku pada waktu
itu marah kepadamu dan memutuskan hubungan, bukan hanya karena aku tidak suka
mempunyai murid anak pemberontak, melainkan terdorong oleh kemarahan hatiku
melihat engkau melindungi musuh yang telah menculik puteraku. Akan tetapi
kemudian aku mendengar bahwa mereka semua yang bersalah itu telah tewas, enci
tirimu Kim Cui Yan, bersama suhengnya, dan juga Pangeran Liong Bian Cu, semua
telah tewas karena bentrok sendiri. Engkau tidak boleh disamakan dengan mereka,
dan kalau sampai Paman Kian Lee dan ayahnya menolakmu karena keturunan atau
karena orang tuamu, biarlah aku yang akan menemui mereka dan menegur mereka!!
Hwee Li memperoleh hiburan
batin ketika subonya kembali bersikap baik kepadanya. dia tidak menolak ketika
Ceng Ceng menyatakan hendak menyertainya mencari Kian Lee dan memperbaiki
kembali hubungan yang terputus itu. Hwee Li tidak menolak karena dia pun tidak
mempunyai orang yang dapat dipercayanya, dan subonya ini dapat bertindak selaku
walinya! Dia pun tidak putus harapan akan hubungannya dengan Kian Lee, karena
bukankah Pendekar Super Sakti sendiri sudah menyatakan ingin mengambil dia
sebagai mantu untuk menjadi jodoh Kian Lee? Akan tetapi, pemuda itu harus
melihat dulu kesalahannya, dan harus minta ampun kepadanya!
Ceng Ceng minta kepada
suaminya agar menanti dia di dusun keluarga Kao itu bersama Cin Liong, karena
dia ingin menyertai Hwee Li mencari Kian Lee. Kalau sudah selesai urusan ini,
baru mereka bersama-sama akan kembali ke Istana Gurun Pasir. Setelah memberi
hormat kepada semua keluarga Kao, Hwee Li berpamit kepada Kok Cu dan berkata,
Terima kasih atas kebaikan Taihiap....!
Hushhh, engkau adalah sumoiku,
mengapa menyebutku taihiap?!
Kedua pipi Hwee Li menjadi
merah karena jengah. Ah, mana patut aku menjadi Sumoimu....? Biarlah aku
menjadi murid Subo kembali. Tentu Subo akan sudi menerimaku kembali menjadi
murid, bukan?! kata Hwee Li dengan manja kepada Ceng Ceng yang sudah berkemas
untuk berangkat bersamanya.
Menjadi muridku? Ihhh! Sungguh
tidak patut, tidak patut!! Nyonya itu menggeleng-geleng kepala sambil
tersenyum.
Hwee Li tahu bahwa subonya itu
main-main, maka dia pura-pura kaget dan bertanya, Mangapa tidak patut menjadi
muridmu, Subo?!
Jangan menyebut subo lagi
kepadaku, anak nakal. Apa kau hendak mengejek aku? Tentu saja tidak patut, sama
sekali tidak patut. Pertama, engkau telah menjadi murid suhu suamiku, maka
engkau terhitung sumoiku, mana bisa menjadi muridku? Dan tentang kepandaian,
engkaulah yang layak mengajar aku ilmu silat, mana pantas engkau menyebut subo
kepadaku? Kemudian, masih ada lagi. Engkau tidak patut menyebutku subo, bahkan
semestinya aku menyebutmu.... eh, calon bibiku.!
Ehhh....?!
Ingat, Suma Kian Lee adalah
adik sekandung dari mendiang ayahku, jadi dia adalah pamanku, maka apa yang
harus kusebut kepada calon isterinya?!
Ihhh, Subo....!! Hwee Li
mencubit lengan Ceng Ceng dan mereka semua tertawa. Memang Hwee Li selalu
bersikap polos, lincah, jenaka dan tidak pernah mempedulikan tentang ikatan
sopan santun yang kaku sehingga bebas saja baginya untuk bersendau-gurau dengan
subonya yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri
itu.
Maka berangkatlah dua orang
wanita itu dengan wajah berseri karena kini, di samping subonya, Hwee Li
memperoleh harapan baru. Dia berjalan sambil bercakap-cakap dan dia
menceritakan semua hubungannya dengan Kian Lee dengan selengkapnya, juga
tentang sikap Pendekar Super Sakti yang amat baik kepadanya, bahkan telah
menyatakan ingin mengambilnya sebagai mantu untuk dijodohkan dengan Kian Lee,
dan betapa dia menjadi marah-marah dan meninggalkan pendekar itu ketika
pendekar itu mencaci-maki anak pemberontak!
Aihhh, kenapa engkau demikian
keras kepala dan tidak mengaku saja bahwa engkaulah gadis itu kepada beliau?!
Subonya mengomel.
Biar, Subo. Biar mereka itu
tahu akan kesalahan mereka.!
Ya, engkau memang pendendam.
Akan tetapi memang sebaiknya kalau orang yang keliru itu menyadari sendiri
kekeliruannya, seperti kekeliruan sikapku kepadamu. Jangan khawatir, aku akan
menegurnya dan kalau memang dia benar-benar mencintamu, tentu dia pun menderita
sengsara sekarang ini.!
Mereka melanjutkan perjalanan
dengan kepercayaan penuh kepada diri sendiri.
***
Dugaan Ceng Ceng memang sama
sekali tidak salah. Semenjak berpisah dari Hwee Li, Kian Lee mengalami
penderitaan batin yang parah. Rasanya jauh lebih parah daripada ketika
menderita karena kegagalan cinta pertamanya terhadap Ceng Ceng dahulu itu. Dia
merasa menyesal sekali akan kenyataan bahwa dara yang dicintanya sepenuh
hatinya itu ternyata adalah keturunan dari pemberontak Kim Bouw Sin! Betapa
tidak akan hancur hatinya. Mana mungkin dia akan dapat berjodoh dengan anak
pemberontak? Keluarganya selalu menentang pemberontak, bahkan kakaknya, Milana
adalah seorang puteri yang menjadi panglima dalam penumpasan pemberontak. Mana
mungkin dia, puteri dari Majikan Pulau Es, pendekar yang amat terkenal sebagai
seorang pendekar sakti yang gagah perkasa itu dan terkenal pula sebagai mantu
kaisar sendiri, kini bermenantukan seorang puteri pemberontak? Betapa dunia
kang-ouw akan mentertawakan hal itu, dan sudah pasti keluarganya tidak akan
menyetujui perjodohannya dengan anak pemberontak. Ah, mengapa nasibnya demikian
buruk?
Hwee Li....! untuk ribuan
kalinya dia merintih, menyebut nama dara yang amat dicintanya itu. Tubuhnya
menjadi kurus karena dia jarang makan dan jarang tidur, merantau tanpa tujuan
lagi, tidak ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi juga tidak tahu ke mana dia
harus pergi. Mengapa Hwee Li tidak menjadi anak orang biasa saja? Atau mengapa
dia sendiri tidak menjadi anak orang biasa saja? Kalau dia anak seorang petani
atau nelayan, atau bahkan anak seorang tokoh dunia hitam, tentu tidak ada
halangan baginya untuk berjodoh dengan Hwee Li. Makin diingat, makin
terbayang-bayang wajah Hwee Li yang cantik manis, sikapnya yang lincah jenaka
dan manja, dan makin perih rasa hati Kian Lee, membuat dia kehilangan gairah
hidup.
Mengapa cinta selalu
mendatangkan derita sengsara dalam batin manusia? Mengapa demikian banyaknya
kisah cinta yang berakhir dalam derita? Mengapa banyak terjadi cinta gagal
sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian dan kehancuran? Benarkah cinta
demikian kejamnya mempermainkan manusia sehingga cinta itu seperti racun dalam
madu yang manis, nampaknya saja membahagiakan namun pada akhirnya menyeret
manusia ke dalam kesengsaraan dan penderitaan batin?
Tidak mungkin! Bukanlah cinta
kasih namanya kalau mendatangkan derita sengsara! Yang mendatangkan derita
sengsara adalah keinginan manusia untukk senang! Bukan cinta kasih! Cinta kasih
tidak mengandung pamrih untuk kesenangan atau kepuasan diri pribadi! Kalau
mengandung pamrih seperti itu, maka bukanlah cinta kasih namanya. Kalau kita
mencinta seseorang, maka sudah tentu kita ingin melihat orang itu berbahagia,
tidak peduli kebahagiaannya itu ada sangkut-pautnya dengan kita atau bukan.
Cinta adalah ingin melihat orang lain bahagia, tanpa pamrih untuk diri sendiri.
Cinta adalah belas kasih terhadap orang lain, tanpa pamrih mendapat imbalan
untuk diri sendiri. Dan cinta seperti ini tidak mungkin mendatangkan derita
sengsara! Sebaliknya, kalau kita ingin memperoleh kesenangan dari orang yang
kita cinta, itu namanya bukan mencinta orang itu, melainkan mencinta diri
sendiri dan orang yang katanya kita cinta itu hanya sekedar kita jadikan alat
untuk menyenangkan diri kita. Tidakkah demikian? Karena itulah, kalau orang itu
tidak menyenangkan kita, kalau orang itu tidak mau mendekati kita, tidak mau
menjadi milik kita, lenyaplah kegunaannya sebagai alat menyenangkan kita, dan
kita kecewa, kita menderita sengsara, dan tidak jarang cinta kita berubah
menjadi kebencian, benci karena orang itu tidak mau menyenangkan kita, karena
orang itu mengecewakan kita! Inikah cinta? Jelas bukan!
Namun, semenjak kecil kita
telah dididik dan dibentuk untuk beranggapan bahwa demikianlah cinta itu! Penuh
derita, dapat menjadi sorga maupun neraka, sumber suka-duka, terisi kesenangan
dan pemuasan nafsu yang kita sulap menjadi kebahagiaan!
Bukan berarti bahwa kita harus
anti terhadap semua kesenangan, harus anti terhadap sex, terhadap kemesraan
antara pria dan wanita. Sama sekali bukan! Bahkan semua kesenangan, sex,
kemesraan dan sebagainya itu akan mengalami perubahan hebat sekali kalau di
situ terdapat cinta kasih. Dengan cinta kasih, maka segala sesuatu adalah benar
dan baik, suci dan bersih! Dan selama manusia menafsirkan cinta kasih semaunya
sendiri, disesuaikan dengan seleranya yang tentu berdasarkan pengejaran
kesenangan menurut versi masing-masing, maka di dunia ini selalu akan gagal!.
Padahal, tidak ada istilah cinta gagal atau berhasil. Cinta adalah cinta! Kapan
lagi kita dapat menyadari hal ini kalau kita tidak mau membuka mata sekarang
juga? Menyadari berarti membuka mata memandang dan mengerti, dan pengertian
inilah yang akan membebaskan kita dari lingkaran setan, lingkarang suka duka
akibat cinta seperti yang umum artikan itu!
Dalam keadaan kurus dan sakit
lahir batin, lahirnya karena kurang makan dan tidur, batinnya karena selalu
diperas oleh kekecewaan dan iba diri, Kian Lee berjalan tanpa tujuan di lembah
bawah pegunungan itu. Hampir saja timbul niat di hatinya untuk membuang dirinya
ke dalam jurang ketika dia melewati lereng gunung tadi. Namun dia masih ingat
bahwa, perbuatan itu adalah perbuatan pengecut.
Dia tidak tahu bahwa pada saat
itu ada orang yang melihatnya dari puncak bukit, dan kini orang itu berloncatan
seperti terbang mengejarnya. Orang ini bukan lain adalah ayahnya sendiri,
Pendekar Super Sakti Suma Han yang memang sedang mencari-carinya. Ketika
tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pendekar berkaki tunggal itu sudah
berdiri di hadapannya, berdiri tegak dengan tongkat di tangan, mereka saling
pandang sejenak dan Suma Kian Lee lalu cepat menubruk ke depan dan menjatuhkan
diri berlutut di depan ayahnya itu. Sungguh kemunculan ayahnya ini merupakan
hal yang tak terduga-duga olehnya dan sekaligus menggugah kesedihan hatinya
sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu mengusap beberapa tetes air mata
yang tak dapat dibendung keluar dari matanya.
Melihat keadaan puteranya ini,
Pendekar Super Sakti Suma Han menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya.
Ah, betapa kecewa hatiku melihatmu, Kian Lee. Beginikah jadinya anakku yang
sudah demikian lamanya tiada kabar beritanya, berubah menjadi seorang yang
berbatin lemah, yang menangis seperti anak kecil karena iba diri? Bangkitlah,
Kian Lee, dan berdirilah seperti seorang jantan, dan hapus air matamu!!
Seperti menerima cambukan,
Kian Lee bangkit berdiri dan berhadapan dengan ayahnya. Mereka saling pandang
dan terdorong oleh rasa rindu yang sangat, keduanya lalu saling rangkul! Akan
tetapi Suma Han sudah melepaskan anaknya lagi, mendorongnya perlahan ke
belakang. Nah, ceritakan mengapa engkau begini menderita lahir batin sampai
kurus dan pucat.!
Ayah....! Kian Lee tidak
berani melanjutkan dan hanya menundukkan muka. Apa yang harus diceritakan
kepada ayahnya? Diam-diam Suma Han tersenyum haru. Dia tahu bahwa anaknya ini
menderita sesuatu seperti yang pernah dialaminya dahulu. Dan diam-diam dia
girang karena keadaan puteranya ini membuktikan bahwa puteranya ini sungguh
amat mencinta Hwee Li! Dia dapat menduga pula bahwa agaknya sukar bagi Kian Lee
yang biasanya pendiam itu untuk bicara tentang rahasia hatinya, maka dia lalu
membantunya.
Bukankah engkau menderita
karena seorang wanita yang kaucinta akan tetapi terpaksa engkau tinggalkan
karena sesuatu?!
Kian Lee mengangkat mukanya
dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak kaget dan heran.
Bagaimana.... Ayah bisa tahu tentang hal itu?! tanyanya bingung.
Suma Han tersenyum. Tak usah
kau tahu bagaimana aku dapat mengetahui hal itu, dan tidak perlu lagi kau
memikirkan wanita itu. Aku telah menentukan pilihanku atas diri seorang dara
yang amat patut menjadi isterimu. Tidak ada wanita lain yang lebih cocok
daripada dara itu untuk menjadi jodohmu, Lee-ji.!
Ayah....!! Kian Lee terkejut
bukan main dan sejenak ayah dan anak ini saling mengadu pandang mata, akan
tetapi akhirnya Kian Lee menunduk. Dalam pandang mata ayahnya itu dia melihat
keputusan yang tak boleh diganggu gugat lagi di balik kasih sayang yang nampak
nyata. Maka selain dia tidak berani menolak, juga dia merasa tidak tega untuk
mengecewakan ayahnya yang dia percaya melakukan segala sesuatu demi kebaikannya
itu.
Aku tidak salah pilih, Lee-ji,
dan jangan mengira bahwa aku sewenang-wenang hendak memaksakan kehendakku
sendiri untuk menentukan calon teman hidupmu. Dara itu bukanlah orang
sembarangan, Kian Lee. Dia bahkan telah dengan gagah perkasa membela dan
membantuku menghadapi Im-kan Ngo-ok, bahkan dialah yang menyelamatkan nyawaku
yang nyaris tewas di tangan Ngo-ok. Dia gagah perkasa, cantik jelita, dan
lincah, jujur, keras hati, seperti ibumu ketika masih muda. Aku akan merasa
bangga kalau engkau dapat berjodoh dengan dia, Kian Lee.!
Tapi, Ayah.... perjodohan
haruslah dilakukan dengan dasar saling mencinta.!
Aku berani tanggung bahwa
engkau akan jatuh cinta begitu bertemu dengan dia.!
Tapi.... tapi dia....? Bagaimana
kalau tidak cinta kepadaku, Ayah?!
Kalau begitu, itu salahmu!
Engkau harus mencarinya dan mendapatkannya!!
Kian Lee merasa heran bukan
main. Biasanya, ayahnya tidak begini watak dan sikapnya. Begini keras dan
memaksa orang! Apalagi orang itu adalah anaknya sendiri, dan dalam menghadapi
urusan perjodohan pula! Apa yang telah terjadi dengan ayahnya?
Ayah, bagaimana aku dapat
mencari seseorang yang belum pernah kukenal?!
Mudah, saja! Cari dia, namanya
adalah Kim Hwee Li....!
Ahhhhh....!! Wajah Kian Lee
berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ayahnya seolah-olah dia tidak
percaya bahwa yang berdiri di depannya adalah ayahnya. Apa.... apa Ayah
bilang....!
Gadis itu bernama Kim Hwee Li!
Dan dia adalah anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo, dan dia adalah anak kandung
dari pemberontak Kim Bouw Sin! Ya, ya, benar dia. Dan engkau telah menghinanya,
dan engkau telah menghancurkan hatinya, telah menolaknya, telah memutuskan
hubungan cinta karena dia anak pemberontak! Bodoh kau! Kaukira ayahmu ini tidak
pernah memberontak? Kaukira keluarga kita adalah keluarga langit, sehingga
boleh memandang rendah orang lain? Ayahnya boleh jadi pemberontak, ayah
angkatnya boleh jadi manusia iblis, akan tetapi dia adalah seorang gadis
bidadari yang gagah perkasa!! Tanpa disadarinya, Suma Han mengulang sebagian
dari kata-kata Hwee Li sendiri.
Ayah.... Ayah....!! Suma Kian
Lee megap-megap, sukar bicara dan wajahnya perlahan-lahan berubah kemerahan,
sinar matanya yang tadinya layu itu kini penuh semangat, wajahnya berseri, dia
seperti hidup! kembali setelah mengalami kematian semangat hidupnya.
Mengapa gagap-gugup seperti
itu? Hayo berangkat, dan awas, jangan kau berani pulang ke Pulau Es kalau tidak
bersama Kim Hwee Li calon isterimu itu!!
Baik, Ayah! Baik, Ayah!! Suma
Kian Lee menjawab dengan suara lantang, dan sekali dia memutar tubuh
berkelebat, dia telah lari cepat sekali meninggalkan tempat itu!
Pendekar Super Sakti Suma Han
berdiri memandang bayangan puteranya sampai lenyap, dan barulah dia
mengejap-ngejapkan kedua matanya untuk mencegah runtuhnya air mata yang
membasahi matanya. Kemudian dia menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala
lalu mengayun tongkatnya, berjalan perlahan menuju ke arah perginya puteranya
tadi.
Pantai laut itu sunyi sekali
sungguhpun keramaian orang-orang nampak dari situ, agak jauh di selatan, yaitu
keramaian para nelayan yang baru datang dari mencari ikan dan pantai di selatan
itu menjadi semacam pasar pula, pasar ikan yang cukup ramai karena dikunjungi
pula oleh pedagang-pedagang ikan dari kota-kota di pedalaman. Akan tetapi di
pantai agak ke utara itu, amat sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia.
Pantai ini amat indah dan bersih karena penuh dengan pasir yang berwarna putih,
pagi itu nampak lebih putih dari biasanya karena sinar matahari pagi yang amat
cerah. Akan tetapi, di tempat sunyi itu kini nampak seorang dara yang berdiri
termenung, berdiri seorang diri sejak tadi dan matanya merenung jauh
menyeberangi lautan menuju ke utara. Jauh di sana, sebelah utara, tidak nampak
dari situ, terdapat sekumpulan pulau-pulau dan di antara pulau-pulau itu
terdapat dua buah pulau yang kini terbayang di depan mata dara itu. Pulau
Neraka dan Pulau Es! Dia telah meyakinkan hati Ceng Ceng, bekas subonya yang
kini tidak lagi mau disebut subo (ibu guru), melainkan dia harus menyebutnya
enci, bahwa dia dapat menjadi penunjuk jalan dan bahwa perahu yang cukup kuat
dapat dia layarkan menuju ke Pulau Es. Memang dia sendiri belum pernah mendarat
di Pulau Es, akan tetapi dia semenjak kecil hidup di Pulau Neraka dan dia bukan
hanya dapat mengetahui di mana letaknya Pulau Es, bahkan sering kali dia dahulu
naik perahu dan melihat Pulau Es dari jauh, karena ayah angkatnya, Hek-tiauw
Lo-mo, dulu selalu melarang dia untuk mendekati Pulau Es yang dianggap amat
berbahaya dan menjadi tempat larangan bagi semua orang dari Pulau Neraka.
Ceng Ceng pergi mencari
nelayan yang mau menyewakan perahunya atau yang mau menjual perahunya, dan Hwee
Li, dara yang kini berdiri termenung di tepi laut itu, mempergunakan waktu
luang itu untuk berdiri termenung dan memandang ke utara. Menurut pendapat Ceng
Ceng, sebaiknya mereka langsung saja menuju ke Pulau Es untuk menemui keluarga
Suma, daripada susah payah mencari Kian Lee yang belum jelas ke mana perginya
itu. Ceng Ceng menenangkan hati Hwee Li yang gelisah bahwa bekas subonya itulah
yang akan sanggup menjadi juru bicara! nanti di Pulau Es! Dan Hwee Li tidak
membantah lagi.
Hwee Li....!!
Gadis itu memutar tubuh
demikian cepatnya seperti disengat kelabang, karena dia memang terkejut bukan
main mendengar suara itu. Suara Kian Lee! Dan memang benarlah. Di depannya
telah berdiri Kian Lee! Agak kurus dan agak pucat, akan tetapi sepasang matanya
bersinar-sinar membayangkan kebahagiaan karena pertemuan itu. Memang hati Kian
Lee merasa bahagia sekali. Dia telah berhasil menemukan jejak Hwee Li dan
keterangan-keterangan yang didapatnya membawa dia ke dusun kecil di tepi pantai
itu. Dan betapa girang hatinya ketika akhirnya dia melihat dara itu seorang
diri saja di tepi pantai yang sunyi ini. Dan betapa cantiknya Hwee Li. Wajahnya
segar kemerahan, rambutnya yang dia tahu amat halus dan harum itu agak kusut
karena dibelai angin laut. Pakaiannya yang berwarna serba hitam menempel ketat
di tubuhnya karena tertiup angin pula, mencetak bentuk tubuhnya yang indah.
Hwee Li....!! Dia berseru
kembali, dan di dalam suaranya terdengar bayangan khawatir dan duka melihat
betapa sepasang mata yang amat tajam itu kini mencorong penuh kemarahan.
Ah, engkau....?! Suara itu
tetap merdu seperti biasa, suara yang selalu dirindukan Kian Lee sejak mereka
saling berpisah, akan tetapi kini terdengar demikian dingin dan kaku. Kebetulan
sekali, aku tidak perlu mencarimu ke Pulau Es!!
Kau.... kau tadinya hendak
mencariku ke Pulau Es?! Kian Lee berseru girang.
Benar, akan tetapi kini tak
perlu lagi, di sini pun sama saja. Bersiaplah!!
Apa?! Mata Kian Lee
terbelalak, tidak mengerti. Apa maksudmu, Hwee Li?!
Bersiaplah, kita selesaikan
perhitungan di tempat sunyi ini, dengan perkelahian!!
Ah, Hwee Li, mengapa begitu?
Bukankah kita.... sahabat-sahabat baik? Aku.... aku cinta padamu, Hwee Li....!
Diam! Lupakah kau bahwa aku
keturunan pemberontak! Dan engkau ini putera Majikan Pulau Es, putera Pendekar
Super Sakti, keluarga langit? Sedangkan aku ini apa? Hayo, jangan bilang bahwa
engkau takut menghadapi anak pemberontak macam aku!!
Hwee Li, jangan.... aku....
aku....!
Akan tetapi Hwee Li sudah
menerjang maju dan memukul ke arah dada Kian Lee. Pukulan itu keras sekali dan
Kian Lee hanya mempergunakan sedikit tenaga untuk menangkis. Dia tahu sampai di
mana tingkat kepandaian dan tenaga dara ini, maka tentu saja dia tidak mau
menyakitinya dan hanya menangkis dengan tenaga terbatas saja.
Desssss....!! Dan tubuh Kian
Lee terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Untung tanah di
situ berpasir sehingga dia tidak menderita nyeri, hanya terkejut setengah mati
karena tenaga Hwee Li sama sekali tidak seperti biasa, amat kuatnya.
Hayo bangunlah dan lawanlah
aku, kalau engkau bukan pengecut rendah!! bentak Hwee Li yang sudah menghampiri
dengan dua tangan dikepal.
Hwee Li.... jangan.... aku
merasa bersalah kepadamu, kauampunkanlah aku.... ah, aku telah gila, aku
seperti buta ketika aku merendahkanmu. Aku.... semenjak kita berpisah, aku
menderita, Hwee Li, baru aku tahu bahwa aku mencinta engkau, dan engkau adalah
Hwee Li, tanpa tambahan lagi, entah anak siapapun juga, tidak ada
sangkut-pautnya dengan pribadimu....!
Cerewet! Kau bangkit dan
lawanlah seperti jantan!! bentak Hwee Li dan ketika Kian Lee bangkit berdiri, dia
sudah menyerang lagi.
Kian Lee cepat mengelak karena
serangan Hwee Li itu cepat dan kuat bukan main, angin pukulannya sampai
mengeluarkan suara bersuitan. Dia terkejut sekali dan ketika Hwee Li
menyusulkan serangan lain secara bertubi-tubi, dia terus mengelak. Tentu saja
dia ingin mengalah terhadap dara ini. Akan tetapi, makin lama, serangan Hwee Li
makin kuat dan cepat saja. Kian Lee merasa terkejut dan heran bukan main.
Mengapa dalam waktu singkat saja kini dara itu telah memiliki kepandaian yang
demikian hebatnya? Jangankan mengalah, biar dia bersungguh-sungguh sekalipun,
belum tentu dia akan menang menghadapi serangan-serangan yang demikian cepat
dan ampuhnya, terutama sekali tenaga gadis itu kini benar-benar amat
mengejutkan.
Hwee Li, dengarlah, tunggu
dulu....! Akan tetapi begitu dia bicara, kewaspadaannya berkurang dan sebuah
pukulan keras menyerempet pundaknya, membuat dia terpelanting lagi, ke atas
pasir. Akan tetapi Hwee Li tidak menyusulkan serangan, hanya membentak, Hayo
bangun! Bangun....! Ahhh, bangun engkau, pengecut!!
Kian Lee mengguncang-guncang
kepalanya yang berkunang-kunang, kemudian dia meloncat bangun, terus meloncat
ke belakang. Hwee Li, hebat kau! Dari mana engkau memperoleh kepandaian seperti
ini? Dengar.... aku mengaku kalah, aku mengaku salah....!
Sambut ini!! Kembali Hwee Li
sudah menerjang dengan hebat.
Kian Lee merasa penasaran
juga. Tidak mungkin dia mengalah terus karena tingkat kepandaian Hwee Li
benar-benar sudah hebat sekali. Akan tetapi, dia tidak tega untuk mempergunakan
pukulan-pukulan berbahaya terhadap dara yang dicintanya ini, maka dia hanya
mengelak dan menangkis sedapat mungkin terhadap hujan serangan itu. Kini dia
harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena ilmu silat yang dimainkan oleh
dara itu amat aneh, gerakan-gerakannya masih kaku tanda bahwa kurang latihan,
namun benar-benar hebat gerakan itu dan terutama sekali tenaga yang terkandung
dalam setiap pukulan itu benar-benar amat kuat!
Terjadilah perkelahian yang
amat seru di tepi pantai yang sunyi itu. Tubuh mereka berputar-putar,
berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya sampai sukar diikuti dengan pandang
mata. Kian Lee tidak berani bicara lagi karena sekali bicara, dia terancam oleh
pukulan yang membutuhkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai
kena terpukul. Dan untuk mematahkan serangan bertubi-tubi itu, dia pun
kadang-kadang terpaksa membalas dengan pukulan yang tidak berbahaya, namun yang
cukup membuat dara itu membatalkan serangannya untuk balas menangkis atau
mengelak.
Saking serunya mereka
bertanding, mereka sampai tidak sadar bahwa sejak tadi, muncul dua orang di
tempat itu. Pertama-tama yang muncul adalah Ceng Ceng dan wanita ini tadinya
terkejut menyaksikan Hwee Li sudah menyerang Kian Lee dengan mati-matian
seperti itu dan Kian Lee selalu bersikap mengalah. Akan tetapi Ceng Ceng
membiarkan saja mereka berkelahi karena dia pun ingin memberi hajaran kepada
Kian Lee yang telah menyakitkan hati Hwee Li. Kemudian muncul pula Pendekar
Super Sakti yang tersenyum dan mengelus jenggotnya menyaksikan perkelahian itu.
Pendekar ini sudah mengenal pukulan-pukulan aneh dari Hwee Li, dan sekarang,
melihat betapa Kian Lee terus mengalah dan dara itu sebaliknya tidak pernah
mengeluarkan pukulan-pukulan yang luar biasa dan mematikan itu, tahulah dia
bahwa gadis itu menyerang hanya karena dorongan kemarahan saja, akan tetapi
sedikit pun tidak mempunyai niat membunuh atau merobohkan Kian Lee dengan luka
parah. Dia mengangguk-angguk dan menyaksikan dengan wajah berseri. Dia merasa
geli, akan tetapi juga siap dan waspada untuk mencegah kalau sampai timbul
bahaya bagi kedua fihak dalam perkelahian itu.
Sudah lebih dari seratus jurus
mereka berkelahi dan beberapa kali Kian Lee terkena pukulan walaupun tidak
telak dan hanya membuat dia terpelanting atau terhuyung saja. Namun selalu Hwee
Li menyuruh dia bangkit lagi dan menyerang lagi. Kian Lee menjadi bingung.
Melawan, hatinya tidak tega, tidak melawan, ternyata dara itu terus
menyerangnya dengan hebat. Akhirnya dia mendapatkan akal. Ketika Hwee Li menyerang
lagi, dia mengerahkan Swat-im Sin-kang, akan tetapi membuat dadanya menjadi
lunak dan dia menerima pukulan itu langsung dengan dadanya.
Bukkk!! Tubuh Kian Lee
terpelanting dan roboh terlentang, tak bergerak lagi!
Hayo bangun! Bangun dan
lawanlah aku!! bentak Hwee Li sambil menghampiri. Akan tetapi sekali ini pemuda
itu tidak bangkit lagi, melainkan rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan
dan sedikit pun tidak bergerak, kedua matanya terpejam dan napasnya terhenti.
Hayo bangun....!! Hwee Li
membentak akan tetapi suaranya bercampur keraguan dan kekhawatiran. Lalu dia
membungkuk, wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak, kedua tangan yang
terkepal itu kini terbuka jari-jarinya dan dia meraba sana raba sini, meraba
dada dan pergelangan tangan lalu dia menjerit.
Kian Lee....!! Dan dia sudah
mengguncang-guncang tubuh itu, sambil menangis sejadi-jadinya.
Kian Lee....! Kian Lee....!
Bangunlah.... ah, jangan kau mati.... uh-huuuuu, Kian Lee....! Kau.... kau....
ah, aku telah membunuhmu.... telah membunuhmu.... huuu-huuu-huuuhhh....!! Dia
memeluki tubuh itu, membasahi muka itu dengan air matanya, mengguncang-guncang
dan akhirnya dia menangis mengguguk di atas dada Kian Lee.
Dengan langkah lebar Ceng Ceng
sudah menghampiri tempat itu. Hwee Li, apa yang telah kau lakukan ini?!
bentaknya dengan kaget bukan main. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa Kian
Lee telah mati! Muka pemuda itu pucat kebiruan, napasnya terhenti dan sama
sekali tidak lagi membayangkan kehidupan. Hwee Li, dia.... dia.... mati....?!
Hwee Li menoleh dan menubruk
Ceng Ceng. Subo....! Enci Ceng...., kaubunuh saja aku.... ah, kaubunuh saja
aku.... huuu-hu-huuuuuh, aku.... aku telah memukulnya mati.... tidak sengaja,
Enci.... ah, sungguh celaka.... bagaimana, Enci, bagaimana....?! Dara itu menangis
lagi, menubruk tubuh Kian Lee, lalu menubruk lagi Ceng Ceng, bingung dan
menangis seperti anak kecil. Ceng Ceng juga merasa bingung sekali, tak
disangkanya perkelahian itu akan berakibat seperti itu. Dia merasa betapa Hwee
Li terlalu ganas dan kejam.
Hwee Li, mengapa kau lakukan
ini? Mengapa kau sampai memukulnya mati? Bukankah engkau.... cinta padanya?!
Ceng Ceng tak dapat menahan lagi tangisnya melihat pemuda yang pernah
mencintanya itu kini rebah terlentang tak bernyawa lagi.
Aku tidak sengaja.... sungguh,
aku tidak sengaja.... dia biasanya demikian kuat.... ah, Enci biar aku mati
saja, biar aku mati saja! Kaupukullah aku Enci, kaubunuhlah aku....!!
Akan tetapi tentu saja Ceng
Ceng tidak mau melakukan hal itu dan sebaliknya dia malah memeriksa Kian Lee.
Hwee Li menangis tersedu-sedu dan menutupi kedua matanya, mengeluh panjang
pendek dan bersambat minta mati. Ketika Ceng Ceng memeriksa detak nadi di
pergelangan tangan Kian Lee, dia tidak merasakan denyutan sedikit pun juga, dan
ketika dia meraba dada pemuda itu, juga dia tidak merasakan apa-apa. Akan
tetapi ketika dia memandang wajah yang pucat kebiruan itu, tiba-tiba saja
sepasang mata itu terbuka, lalu yang sebelah kiri berkedip kepadanya dan mulut
pemuda itu tersenyum, lalu kedua matanya terpejam lagi! Hampir saja Ceng Ceng
menjerit, kemudian dia hampir tak dapat menahan ketawanya. Kiranya pemuda ini
tidak mati! Sama sekali tidak, hanya entah dengan ilmu apa pemuda itu dapat
bersikap seperti benar-benar mati itu, tanpa detak nadi dan denyut jantung!
Bukan main lapang rasa dadanya dan kini dia ingin menggoda Hwee Li.
Nah, bagaimana sekarang?
Engkau selalu keras kepala sih! Sudah jelas bahwa engkau dan dia saling
mencinta, akan tetapi engkau memaksa dia untuk berkelahi!! dia mengomeli Hwee
Li yang masih menangis.
Tiba-tiba Hwee Li meloncat
berdiri dan tahu-tahu dia telah memegang pedang. Ceng Ceng terkejut bukan main.
Dara itu telah dapat mencuri pedangnya tanpa dia merasa sama sekali!
Hwee Li, jangan....!!
Lebih baik mati menyusul Kian
Lee!! Hwee Li berseru dan menggerakkan pedang untuk menggorok leher sendiri.
Plakkk!! Pedangnya terlepas
dari pegangan dan Pendekar Super Sakti Suma Han telah berdiri di situ,
memandang Hwee Li dengan sinar mata penuh teguran.
Membunuh diri hanya tindakan seorang
yang rendah dan pengecut!! bentaknya.
Melihat kakek ini, Hwee Li
menjerit dan menangis, menubruk kaki Suma Han dan mengguguk, kemudian di antara
tangisnya dia merintih, Paman.... tolonglah.... tolonglah.... atau bunuhlah
aku....!
Tenanglah, Hwee Li. Apakah
engkau benar-benar mencinta Kian Lee sehingga engkau mau mati untuknya?!
Aku cinta padanya, Paman, aku
cinta padanya melebihi nyawaku sendiri!!
Aku dapat menolongnya, dia
belum mati dan aku dapat menyembuhkannya. Akan tetapi....!
Ah, Paman, sembuhkanlah
dia.... hidupkanlah dia.... aku berjanji akan melakukan apa pun juga
untukmu....!!
Suma Han tersenyum. Dia itu
puteraku, tentu saja sudah semestinya aku menolongnya. Akan tetapi dia dan aku
sendiri pernah bersalah kepadamu, maka tidak semestinya dia kuhidupkan.
Bukankah dia telah menghinamu, seperti juga aku?!
Tidak.... tidak...., aku sudah
memaafkan dia, Paman.!
Aku hanya mau menghidupkannya,
akan tetapi hanya dengan satu syarat....!
.... ya? Apa syaratnya....?!
Hwee Li memohon.
Syaratnya, engkau harus mau
menjadi isterinya! Bagaimana?!
Aku mau! Aku mau....!! Hwee Li
menangis. Ohhh, aku mau....!!
Suma Han tidak tega menggoda
terus. Dia lalu menghampiri Kian Lee, pura-pura menotok sana-sini, dan meraba
sana-sini. Padahal, tidak diapa-apakan pun pemuda itu akan dapat bangkit
sendiri! Karena dia mati! hanya sebagai akal dengan mempergunakan sinkang
Swat-im Sin-kang yang sudah mencapai puncaknya sehingga seorang yang lihai
seperti Ceng Ceng sendiri pun dapat dikelabui.
Terdengar pemuda itu mengeluh,
bergerak dan bangkit duduk. Tanpa mempedulikan orang lain, Hwee Li menubruk dan
memeluk pemuda itu. Kian Lee, kau.... kaumaafkan aku....!
!Kian Lee, kau.... kaumaafkan
aku....!
Kian Lee tersenyum dan balas
memeluk. Hwee Li, akulah yang bersalah. Kaulah yang harus memaafkan aku aku
pernah mencaci maki padamu....!
Mendengar ini, Hwee Li
melepaskan rangkulannya, menjauhkan diri dan cemberut. Engkau memang
terlalu....! katanya dengan muka membayangkan kemarahan. Akan tetapi ketika
Kian Lee merangkulnya lagi, dia menangis dan membenamkan muka ke dada pemuda
itu!
Mereka berempat lalu mencari
sebuah perahu besar yang dibeli oleh Suma Han. Perahu itu cukup besar dan
mempunyai layar yang kuat. Mereka bertiga, Suma Han, Suma Kian Lee, dan Kim
Hwee Li adalah orang-orang yang berasal dari Pulau Es dan Pulau Neraka, tentu
saja mereka itu ahli berlayar, dan mereka bertiga sudah cukuplah untuk
melayarkan perahu itu ke Pulau Es. Setelah mengisi perahu dengan perbekalan,
mereka lalu naik ke perahu, diantar oleh Ceng Ceng.
Hwee Li merangkul bekas
gurunya dan mencium pipi Ceng Ceng. Banyak terima kasih atas segala kebaikanmu
dan pertolonganmu, Subo....!
Hushhh!! Ceng Ceng mencubit
dagu dara yang cantik jelita itu. Aku bukan subomu! Kelak aku malah ingin
mempelajari satu dua macam pukulan darimu. Malu ah mempunyai murid yang lebih
pandai daripada gurunya.!
Kalau begitu, selamat
berpisah, Enci Ceng....!
Ihhh! Bagaimana sih ini? Hai,
Paman Kian Lee, dengar nih calon isterimu menyebutku enci! Aku sendiri harus
menyebutnya bibi, bagaimana dia boleh menyebutku enci?!
Kini Hwee Li yang mencubit
dengan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah. Memang menyulitkan sekali
sebut-menyebut itu. Ceng Ceng sebaya dengan Kian Lee, namun pemuda itu masih
terhitung pamannya! Dan biarpun usianya sendiri tidak begitu banyak selisihnya
dengan Ceng Ceng, hanya selisih kurang lebih tujuh tahun saja, namun nyonya
muda itu pernah menjadi gurunya! Dan kini dia akan menjadi isteri dari paman
gurunya itu! Lebih dari itu lagi, dia malah masih terhitung sumoi dari suami
gurunya, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Dewa Bongkok!
Enci, kelak engkau harus
datang, bersama suamimu dan Cin Liong, kalau aku.... aku menikah. Harus lho!!
Hwee Li berkata dan agaknya berat baginya untuk berpisah dengan wanita yang
selama ini amat dikasihinya, sebagai pengganti ibu baginya itu.
Baik, asal aku dijemput perahu
karena untuk pergi ke sana sendiri aku tidak berani!! kata Ceng Ceng.
Jangan khawatir, Ceng Ceng.
Aku akan mengirim perahu untuk menjemputmu,! kata Kian Lee memandang wanita
yang pernah dicintanya itu.
Ceng Ceng memberi hormat
kepada Suma Han dan menghaturkan selamat jalan. Dia masih berdiri di pantai
dengan tangan melambai ketika perahu mulai bergerak ke tengah. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh, Haiii, tungguuuuu! Kami ikut....!!
Bu-te....!! Kian Lee berteriak
dan mendayung perahu itu ke pinggir lagi, wajahnya berseri penuh kegembiraan
melihat dua orang yang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dari
jauh saja dia sudah mengenal pemuda yang berlari cepat dengan rambut putih
panjang berkibar-kibar itu.
Siang In....!! Hwee Li juga
berseru girang mengenal dara cantik yang berlari di samping Kian Bu.
Kian Bu....?! Suma Han berdiri
bengong memandang pemuda rambut putih panjang itu, hatinya seperti diremas
rasanya bertemu dengan puteranya yang sudah enam tujuh tahun tak pernah
dijumpainya ini dan yang tahu-tahu telah menjadi Siluman Kecil, julukan yang
sama diberikan orang kepadanya, karena rambut puteranya itu putih panjang seperti
rambutnya pula.
Ayah....! Lee-ko....!!
Suma Han, Kian Lee, dan Hwee
Li berloncatan ke darat kembali dan Kian Bu sudah berlutut di depan kaki
ayahnya sedangkan Kian Lee memeluknya. Kemudian Suma Han menarik Kian Bu
bangun, dipandangnya puteranya itu dari kepala ke kaki dengan mata basah, lalu
dirangkulnya.
Setelah agak reda keharuan
yang timbul karena pertemuan itu, dengan girang dan bangga Kian Bu lalu
memperkenalkan Siang In yang tadi bercakap-cakap dengan Hwee Li, kepada
ayahnya, Ayah, inilah calon mantu Ayah, calon isteriku, namanya....!
Teng Sian In! Aku sudah
mendengar dari kakakmu, Bu-ji,! kata Suma Han sambil tersenyum memandang dara
cantik jelita itu.
Dengan muka berubah merah
sekali, Siang In lalu maju dan memberi hormat kepada Suma Han, tanpa berani
mengangkat mukanya.
Ah, tidak kusangka bahwa kakek
yang menolongku itu adalah suhumu, Siang In, dan gurumu itu telah....!
Aku sudah menceritakan hal itu
kepadanya, Paman,! kata Hwee Li dan Siang In hanya menunduk saja, dengan kuat
dara ini dapat menahan kedukaannya mendengar bahwa gurunya, See-thian Hoat-su,
telah tewas sampyuh ketika mengadu alhir dengan Durganini dalam usahanya
mencegah Durganini menyerang Suma Han. Gurunya itu sudah tahu akan hubungan
cintanya dengan Siluman Kecil, maka gurunya tentu melarang bekas isteri yang
pikun itu menyerang calon besannya.
Mendiang suhu sudah sangat tua
dan banyak menderita dari bekas isterinya itu. Sekarang beliau telah tenang dan
terima kasih banyak saya haturkan atas budi kebaikan Locianpwe yang telah
menyempurnakan jenazahnya,! katanya kepada Suma Han. Pendekar ini
mengangguk-angguk dengan girang. Dara ini juga lincah jenaka seperti Hwee Li,
akan tetapi memiliki kekuatan batin yang menonjol, agaknya karena telah
mempelajari ilmu sihir dari gurunya yang ahli sihir itu. Diam-diam pendekar
Pulau Es ini merasa bahagia sekali. Dua orang calon mantunya bukan dara-dara
sembarangan!
Ah, kami akan beramai-ramai
pergi ke Pulau Es! Enci Ceng, kenapa kau tidak ikut sekalian?! Hwee Li yang
gembira itu berkata.
Ceng Ceng tersenyum dan
menggeleng kepala. Tempatku di daratan sini, bersama suami dan anakku. Kelak
aku pasti datang menghadiri pesta pernikahan kalian semua.!
Suma Han tertawa dan
menghampiri Ceng Ceng. Sampaikan kepada suamimu bahwa aku sekeluarga minta
bantuannya untuk mengedarkan undangan-undangan kepada handai-taulan kalau sudah
tiba saatnya nanti.!
Tentu saja, Locianpwe,! kata
Ceng Ceng, tidak berani menyebut kakek! walaupun pendekar itu adalah suami dari
Lulu, nenek kandungnya!
Tak lama kemudian berangkatlah
perahu itu, kini dikemudikan oleh kakak beradik Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu,
dua orang pemuda dari Pulau Es yang tadinya meninggalkan Pulau Es dalam usia
sekitar enam belas tahun, dan seperti sepasang rajawali perkasa mereka mengarungi
daratan besar mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat dalam Kisah Sepasang
Rajawali dan Jodoh Rajawali! Dan kini mereka berlayar kembali ke Pulau Es
bersama calon isteri masing-masing. Sepasang Rajawali itu telah menemukan jodoh
masing-masing!
Ceng Ceng memandang dari
pantai laut sampai akhirnya perahu itu makin menghilang.
Beberapa bulan kemudian, lima
buah perahu besar menjemput para tamu yang berkumpul di dusun tepi laut itu
untuk menghadiri pesta pernikahan dua pasang pengantin di Pulau Es! Tentu saja
berbondong orang-orang kang-ouw berdatangan ke tempat itu. Seperti sebuah
dongeng saja. Mengunjungi Pulau Es yang tadinya hanya mereka kenal dalam
dongeng saja! Di antara mereka yang ikut hadir dan ikut dalam perahu-perahu
besar itu tentu saja terdapat keluarga dari Pulau Es sendiri, dan orang-orang
terdekat seperti Milana, Gak Bun Beng dan dua orang anak kembar mereka, Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong, kemudian Ceng Ceng dan Kao Kok Cu bersama anak mereka
Kao Cin Liong. Nampak pula Pangeran Yung Hwa yang mewakili pemerintah atau
keluarga istana, dan juga hadir Hek-sin Touw-ong, Sai-cu Kai-ong, Sin-siauw
Seng-jin, dan masih banyak tokoh besar lain, termasuk wakil-wakil partai
persilatan besar yang tentu saja ingin sekali melihat Pulau Es!
Pesta pernikahan itu cukup
meriah, apalagi karena disaksikan oleh banyak tokoh besar di dunia kang-ouw.
Muka-muka lama saling jumpa di situ dan suasana menjadi gembira sekali. Ketika
dua pasang pengantin itu dipertemukan, suasana menjadi cerah dan penuh khidmat,
diikuti oleh semua mata para tamu. Sungguh mengagumkan sekali dua pasang
pengantin itu. Kedua mempelai pria tampan dan gagah, Siluman Kecil nampak
garang dan aneh dengan rambutnya yang putih mengkilap dan panjang, sedangkan
dua orang mempelai wanita amatlah cantiknya, sukar dikatakan yang mana lebih
cantik karena masing-masing memiliki kelebihan dan kecantikan yang khas.
Ketika dua pasang mempelai
melakukan upacara pai-ciu, yaitu menyuguhkan arak kepada sang mertua dan orang
tua, maka dua pasang mempelai itu berlutut di depan Pendekar Super Sakti Suma
Han yang duduk diapit oleh kedua isterinya, yaitu Nirahai di sebelah kanan dan
Lulu di sebelah kirinya. Dua orang wanita tua itu tak dapat menahan keharuan
hati mereka dan mereka menerima suguhan arak dalam cawan sambil bercucuran air
mata. Suasana menjadi khidmat dan penuh keharuan, bahkan para tamu wanita
banyak pula yang berlinangan air mata, termasuk Ceng Ceng, Milana dan yang
lain-lain.
Malamnya indah bukan main.
Kebetulan bulan bersinar terang, bulan purnama yang memuntahkan cahaya keemasan
di atas pulau itu. Indah sekali! Para tamu menikmati dan mengagumi keindahan
Istana Pulau Es, lalu beramai-ramai mengelilingi pulau itu diantar oleh Milana
dan Gak Bun Beng sebagai penunjuk jalan mewakili fihak tuan rumah. Sedangkan
dua pasang pengantin sudah memasuki kamar masing-masing, tenggelam ke dalam
lautan kemesraan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang pengantin pada malam
pertama!
Akan tetapi, diam-diam Ceng
Ceng yang ikut pula menikmati keadaan di Pulau Es itu merasa kehilangan dan
kadang-kadang dia menarik napas panjang kalau teringat kepada kakak angkatnya,
yaitu sang puteri dari Bhutan, Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat. Apa jadinya dengan
dua orang muda itu? Suaminya telah berusaha keras mencari mereka untuk menyampaikan
undangan, namun usaha suaminya gagal! Diam-diam Ceng Ceng merasa kasihan sekali
kepada Syanti Dewi! Apakah yang terjadi dengan puteri itu? Apakah puteri itu
akan dapat bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat dan dapat berlangsung perjodohan
mereka?
Kiranya pertanyaan itu pun
terkandung dalam hati para pembaca semua. Juga pertanyaan yang sama tentang
Siauw Hong atau Kam Hang, keturunan Pendekar Suling Emas itu, dengan Yu Hwi
atau yang dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang-siocia, si gadis pencopet dan
tukang menyamar itu. Apa yang terjadi dengan mereka?
Cerita ini sudah terlampau
panjang, oleh karena itu terpaksa pengarang menutupnya, apalagi karena Sepasang
Rajawali Sakti, yaitu yang diumpamakan bagi diri Suma Kian Lee dan Suma Kian
Bu, kini telah menemukan jodohnya, bahkan telah menjadi pengantin. Maka
selesailah sudah kisah ini. Adapun mengenai nasib Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat,
juga Kam Hong dan Yu Hwi, dapat anda baca dalam cerita selanjutnya yang sedang
disusun oleh pengarang, yaitu yang berjudul SULING EMAS & NAGA SILUMAN.
Seperti biasa, harapan
pengarang semoga cerita ini selain dapat merupakan hiburan bagi pembaca, juga
mengandung manfaat yang menggugah kesadaran. Sampai jumpa pula di lain
karangan! Terima kasih!
TAMAT