Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 11-15

Kho Ping Hoo,Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 1-5 Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, para penjahat maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu.
Anonim
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, para penjahat maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu.

Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri, melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudah dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat. Begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.

“Plakkk!”

Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itu pun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!

Orang pertama yang menyerang Teng Siang In ialah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar. Orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Sekarang, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar ini pun tak bergerak dari tempat ia berdiri, tetapi sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.

Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.

Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih saja terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara keras.

“Prakkk!”

Dia pun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya telah membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan mereka pun bersorak gembira.

Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya lalu ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tetap tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung.

Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itu pun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan langsung amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam oleh karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.

Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus, “Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”

Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan!

Dan memang sesungguhnya demikian. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, tetapi sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berubah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia masih kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.

“Dukkk!”

“Ahhhh….”

Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu, lalu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!

Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya bahwa mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh, lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.

“Eh, ehhh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!” Teng Siang In berkata halus.

Akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari.

Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.

Para anak buah perahu itu bersorak, tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbahaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perubahan besar di dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka.

Hal ini terjadi sejak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Sejak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.

Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!

Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekali pun, akan berubah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit.

Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu pun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan ‘terbalas’.

Setelah menghajar kelima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar.

Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata, “Suma-taihiap, tolonglah…. tolong selamatkan nyawa kekasihku ini....”

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya dapat saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan. Keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi.

Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam mereka pun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.

Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang semenjak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, yaitu sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran.

Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Ia pun mendendam pada kaisar yang masih terhitung susiok-nya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!

Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu roboh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat.

Ternyata sang pangeran itu sudah jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman.

Souw Li Hwa masih sadar dan gadis ini pun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Ia pun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka ia pun berkata lemah, “Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....”

“Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tak pernah muncul....?” Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa, ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.

“Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu seorang…. mulia seperti paduka....?”

“Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku sudah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku....”

“Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ahhh, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.

Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik. “Taihiap.... ahhh, tolonglah dia....”

Namun Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. “Luka-lukanya terlampau parah, sri baginda.”

Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis. “Li Hwa.... ahhh, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....”

Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu, walau pun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. “Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....” Dan ia pun terkulai karena nyawanya telah melayang.

“Li Hwa....!”

“Sri baginda, ia telah tiada....” Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar.

Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah, “Tangkap semua penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!”

Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.

Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu. Jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.

Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan mereka pun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan tidak akan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.....

********************

Peralihan dari kehidupan ke kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tak dapat ditolak dengan cara bagaimana pun juga. Betapa pun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.

Jika sudah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebat pun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput dari pada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.

Sudah terlalu banyak contoh-contoh mengenai kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka. Banyak pula cerita tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.

Ada orang yang semenjak mudanya menjadi prajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terluka pun tidak, sampai dia mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai prajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan menyeretnya ke lubang kubur!

Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati, melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana
.

Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walau pun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana pandai pun tidak akan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya di dalam air terbatas.

Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sinkang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.

Bagaimana pun juga, tenaga manusia adalah terbatas. Ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu. Dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke mana pun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu.

Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.

Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tidak pernah melepaskan papan kayu itu.

Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.

Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, dia pun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas. Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan dia pun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada enci-nya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.

Sejak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong dari pada dengan enci-nya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.

Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perubahan dalam batin Ciang Bun, perubahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong beserta Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perubahan.

Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti enci-nya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi dari pada kakaknya.

Apakah gejala ini timbul karena semenjak kecil dia hanya berdua saja dengan enci-nya sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru enci-nya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.

“Aduh, lapar sekali perutku....!” Ciang Bun mengeluh, mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, masih hidup atau sudah mati.

Mendadak dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!

Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walau pun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!

“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....,” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.

“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.

“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”

“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!

Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sinkang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya!

Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah. Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh enci-nya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui enci-nya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.

Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun.

Kini dia terpesona, ya, amat terpesona memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau.

Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan.

Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya. Tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.

“Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?” Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak.

Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.

“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”

“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.

“Ha-ha-ha-ha....!” Pemuda itu pun tertawa.

Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka dia pun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walau pun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.

“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa.

Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.

Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut akan semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan mereka pun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.

“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.

“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan dia pun terpelanting dan jatuh pula.

Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali. Dia pun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.

Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya bahkan terhenti sama sekali. Matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali!

Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.

Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlomba!

Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka dia pun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sinkang-nya, memang dia dapat bertahan lebih lama dari pada orang biasa.

Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air sangat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.

Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan dia pun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya.

Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Kedua orang muda itu sudah demikian lamanya berada di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sinkang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu.

Kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!

Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.

“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.

Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan dia sendiri kalau berenang, walau pun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.

Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.

“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”

Wajah Ciang Bun menjadi merah dan dia pun mengangguk.

“Ke pulau? Pulau manakah?”

“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”

Ciang Bun terkejut. “Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”

“Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.

Ciang Bun mengangguk. “Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”

Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.

“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.

“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”

“Aihhh....!” Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh rasa hormat dan kagum. “Kiranya engkau ini adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.

“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....,” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.

“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!” Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.

“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.

Ciang Bun memandang, mukanya berubah merah. “Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”

“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”

“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.

“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.

“Bun-koko....!” Dara itu pun menyebut dengan sikap agak malu-malu, namun ia pun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.

“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.

“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah sekarang engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”

“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”

Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.

“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”

Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.

“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.

Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Kedua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itu pun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.

“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.

“Apa katamu, Bun-hiante?” Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya Lee Siang balas bertanya sambil menoleh.

Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia sekali lagi mengulang pertanyaannya, kali ini mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.

“Heiii! Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.

Pemuda ini tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.

“Kami bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus berganti-ganti agar tidak bosan.”

“Ikan-ikan yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.

“Ahh, kalian sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku kagum bukan main.”

“Engkau pun hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.

Wajah Ciang Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.

Tak lama kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.

Mereka disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari. Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan senjatanya yang ampuh.

Wajah yang penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu datang bersama seorang pemuda tampan.

Tidak pernah ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?

Begitu tiga orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya, “Lee Siang dan Lee Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”

Lee Siang memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan kakeknya amat sayang kepadanya.

“Kong-kong jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”

“Ahhh….!” Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.

“Jadi Kongcu (tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.

“Memang benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan saudara-saudaranya naik perahu menjauh pulau, akan tetapi di tengah pelayaran mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”

Mendengar ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.

“Ahh, siapa menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”

Lalu kakek itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya. “Suma-kongcu, mari kita ke pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”

Mereka lalu pergi membawa empat ekor ikan itu ke sebuah pondok di tengah pulau itu. Pondok itu terbuat dari kayu dan batu karang, namun cukup kokoh kuat dan cukup besar, dengan tiga buah kamar dan di sebelah dalamnya sangat bersih dan terawat sehingga menyenangkan untuk ditempati.

Setelah tiba di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian. Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan makan. Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap. Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam ruangan sebelah dalam.

Setelah makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.

Setelah makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya Pulau Es.

Ciang Bun sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga orang muda lainnya.

Kakek dan dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata, “Suma-kongcu….”

Akan tetapi Ciang Bun cepat memotong, “Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”

Kakek itu tersenyum sedih. “Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi, dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku menyebutmu kongcu.”

Ciang Bun termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan akan percuma sajalah kalau dibantahnya. “Terserah padamu, locianpwe,” katanya.

“Suma-kongcu, apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”

“Jenderal muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”

Kakek itu meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak. “Ahh…. pantas saja kalau begitu!”

“Apa maksudmu, locianpwe?”

“Tadinya aku sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”

“Kalau saja Bun-ko sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.

“Suma-kongcu, namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.

Ciang Bun menggeleng kepala. “Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”

Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu dan memang aku sendiri pun masih merasa heran, kenapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”

Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.

Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah mereka pun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walau pun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan.

Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun.....


Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong.

Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka.

Dua orang anak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelum mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam.

Didayungnya perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau sudah menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.

“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorang pun yang tahu akan hal ini. Aku lalu merawat dan mendidik kedua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”

Ciang Bun memandang kagum. “Dan berkat pendidikan locianpwe, kini Siang-twako dan Hiang-siauwmoi menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”

“Ahhh, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”

“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”

“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.

“Benar, dan kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!” Lee Siang menyambung.

Pemuda ini pun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan hati mereka.

Lain lagi yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee, keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pendekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini!

Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?

“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”

Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan dia pun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.

“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara waktu dan mempelajari ilmu itu.”

“Tetapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”

“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”

Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sinkang yang kuat! “Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkau pun menyebut kakek kepadaku?”

Ciang Bun menjadi girang sekali “Baik, Liu-kong-kong, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”

“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”

Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu dalam air, dibimbing dengan penuh perhatian oleh Liu Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan Lee Hiang. Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga Pulau Es dan cucunya berjalan lancar dan mereka Nampak akrab sekali.

Bahkan pada bulan-bulan berikutnya, pandangan kakek yang sudah berpengalaman ini dapat melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati pada Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga ‘ada hati’ kepada dara itu.

Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk hatinya. Sikapnya pada Lee Hiang memang baik dan ramah, tetapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya bagaikan bunga sedang mekar semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang dari pada Lee Hiang!

********************

“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air telah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya.

Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.

Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk. “Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Lagi pula, tubuhnya sangat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”

“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiri pun tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan dia baru dapat ditangkap sebab jika bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”

“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.

Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.

“Ada apakah, Hiang-moi?”

“Engkau lupa penutup telingamu,” kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berubah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.

“Ahh, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun.

Dia pun memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam. Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air.

Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sinkang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sinkang-nya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.

Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal ini pun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan.

Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti.

Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.

Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada pula Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan dia berhasil menangkap belut itu pada perutnya.

Belut itu meronta dan membelit hendak menggigit, tapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali.

Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.

“Ihhh....!” Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan dia pun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan mereka pun terlepas.

Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil dari pada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.

“Pratttt!” Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun.

Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah dia menyembulkan kepala di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, dia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.

“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”

Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.

“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!” Ia menangis sesenggukan.

Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang kereng, “Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”

Lee Hiang melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang segera memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walau pun lemah sekali. Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula.

Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun.

Dada Ciang Bun bergerak mekar. Ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan ‘ciumannya’, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.

“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”

Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Ia telah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi.

Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya. Lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.

Ciang Bun membuka mata, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya, “Apakah yang terjadi? Di mana.... ehh, belut itu....?”

Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.

“Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau tadi nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”

Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata. “Apa yang terjadi?”

“Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ahhh, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”

Lee Siang juga menyambung. “Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sinkang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sinkang-mu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”

“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.

“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sinkang-mu.”

Ciang Bun memandang dengan rasa kagum. “Ahh, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”

Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah “Aihhh, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”

“Aku pun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Apa menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”

“Tidak, melainkan dengan cara meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.

“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”

Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.

“Hei, kalian kenapa?”

“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....,” dara itu berkata jenaka.

“Ehhh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.”

“Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.

Lee Siang menghela napas. “Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.”

Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan. Napasmu terhenti sama sekali, akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walau pun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya supaya lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini….”

Biar pun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan dia pun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuat ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena ia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya.

Lee Hiang memandang dan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja. “Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kembali.”

Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.

“Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau sudah dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum nakal.

“Ehhh, bocah nakal! Mengapa engkau jadi ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.

“Aku memang lebih senang dicium oleh Bun-ko dari pada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.

Kakak dara itu tertawa. “Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”

Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan, sedangkan kakaknya tak menegurnya bahkan membantu dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.

Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras. “Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan sampai kita membuat dia bingung, Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.”

Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri, memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.

Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan!

Apakah soal cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang ‘tidak sopan’? Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukuran kesopanan umum, tidak susila jika dipandang dari kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya?

Mengapa tata kesusilaan kita mengharamkan kejujuran terhadap dua hal ini, terutama perihal sex? Bukankah cinta dan sex merupakan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan, bahkan merupakan kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh setiap orang manusia sehingga merupakan suatu kewajaran dalam hidup? Mengapa lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita menjauhkan anak-anak dari pengertian tentang hal itu?

Tak perlu dibantah lagi bahwa membicarakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara cabul, untuk main-main, adalah hal yang sama sekali tidak patut. Membicarakan apa pun juga, jika pamrihnya hanya untuk main-main dan mengandung dasar pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tiada manfaatnya, bahkan merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau membicarakannya tanpa dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan sesuatu yang tidak terpisah dari pada kehidupan itu sendiri?

Pandangan tradisionil nenek moyang kita memang sengaja mengharamkan percakapan tentang cinta dan sex sebagai sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya dimaksudkan untuk membuat kita malu untuk melanggarnya. Akan tetapi, pandangan macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang tidak menguntungkan terhadap sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas, memalukan, dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang menyebabkan semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya pendapat tradisionil itu.

Sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengubah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan memasuki tahap ini dan dari pada mereka memasukinya dengan membuta, dari pada mereka memperoleh keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex dari orang lain, dari pada mereka memperoleh pengertian melalui percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan cabul dan kotor, alangkah baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua atau pendidikan sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan
.

Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain. Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri.

Akan tetapi kakek mereka cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walau pun secara sederhana. Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar.

Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi birahi sama sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterus terangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu dan canggung.

Malam itu Ciang Bun tak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini dia tinggal di pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merubah seluruh kehidupannya.

Peristiwa siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, lalu ketika Lee Siang ‘menciumnya’ untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!

Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia suka sekali pada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!

Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, sering kali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu ‘menciumnya’.

Ciang Bun merasa terkejut, bingung dan gelisah. Kini dia melihat kenyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak pernah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh wanita dan kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya.

Sebaliknya, dia sangat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu ‘menciumnya’, dia merasa amat senang. Bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.

“Ya Tuhan....!” Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini.

Birahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dia pun menangis!

Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang bertanya halus, “Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?”

Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang dapat menambah keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan dia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.

Diam-diam Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya itu.

Maka, karena merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, dia pun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini justru membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.

“Siang-twako.... ahhh, Siang-twako....” keluhnya.

Lee Siang memeluk. “Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah hatimu....”

Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa dia pun seorang pria, maka dia pun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka dia pun meronta dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.

“Tidak.... tidak.... jangan....!” Dan dia pun meloncat dan berlari keluar dari kamar, terus keluar dari pondok itu.

“Bun-hiante....!” Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya.

Lee Siang keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan dia pun hampir merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itu pun nampak demikian akrabnya.

Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.

“Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.”

“Baik, koko, akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.” Dan Lee Hiang pun lalu keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.

Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu. Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa.

Tetapi semua kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya. Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan.

Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya.

Ciang Bun yang duduk di atas pantai berpasir itu mengepal tinju. Kenapa dia begini lemah? Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih menyukai pria dari pada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!

“Bun-koko....! Ehh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?”

Ciang Bun menoleh. Lee Hiang telah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah. Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat dan nampak menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan dia pun bangkit berdiri.

“Hiang-moi....,” katanya perlahan.

“Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk termenung di sini.” Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra, mengangkat mukanya memandang. “Bun-koko, janganlah berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....” Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.

Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri, memeluk tubuh dara itu. “Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.”

“Bun-ko....!” Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.

Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan dia pun mempererat rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang menantang itu.

Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus mendesah keluar dari kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri. Mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak!

Bukan, bukan kelembutan seorang wanita yang dia dambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yaug kuat akan tetapi lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tidak tahan lagi dan cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.

“Tidak....! Tidak....! Jangan....!” Dan dia pun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah berohah pucat dan mata terbelalak.

“Bun-koko....!” Ia berteriak dan mengejar.

Sesosok bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perubahan pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, dia pun ikut mengejar dengan hati khawatir.

Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.

“Bun-koko....!”

“Bun-hiante....!”

Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan dia pun menghardik, “Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!”

Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi mengapa sekarang begitu berubah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah sekali?

Akan tetapi Lee Siang mempunyai pandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan adiknya dan berkata lirih, “Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-te. Marilah, adikku!” Dia pun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang Bun sendirian.

Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan dia pun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir.

“Ya Tuhan, ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.

Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, saat dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.

Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini menarik napas panjang. “Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”

Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus, “Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”

Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih, “Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang. “Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini. Semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”

“Hal apakah itu, kong-kong?”

“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkau pun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”

Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka dia pun cepat berkata,

“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tak dapat membicarakannya.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Namun, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”

“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku akan pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak lagi takut menghadapi badai.”

Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan. “Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”

“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.” Ciang Bun menghela napas.

“Bun-koko.... benarkah engkau.... engkau hendak pergi?” Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.

Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang mana pun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.

“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”

“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”

“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”

“Tapi, kapan, koko....? Ahhh, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.

Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.

“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan juga Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”

Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.

“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.

“Aihh, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!” kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.

Akhirnya, Ciang Bun berangkat naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.

“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.

Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan dia pun memandang ke arah pulau itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh.

Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang sangat bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.

Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?


********************
“Ayah....! Ibu....!”

Melihat Sama Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dari pekarangan dara itu sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apa pun juga. Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!

Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dengan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulu seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang.

Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari suaminya. Tetapi, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh lebih muda dari pada usianya yang sesungguhnya.

Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja. Seperti telah kita ketahui, kedua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka.

Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang sedemikian mengherankan dan mengkhawatirkan.

Suami isteri itu menyambut Suma Hui dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee bersikap tenang-tenang saja, tidak begitu dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak, “Apa-apaan engkau ini, Hui-ji? Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana Ciang Bun?”

“Nanti dulu,” kata Kian Lee. “Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang bersamamu ini.”

Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya. “Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng.”

“Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?” Kim Hwee Li berseru girang.

“Hemm, kalau begitu dia masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.

Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri pendekar itu pun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.

Sebenarnya dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.

“Terima kasih, locianpwe.”

Mereka pun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini, “Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi.”

“Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita....” Suma Hui mengeluh, “peristiwa yang amat buruk....”

“Setiap peristiwa yang terjadi pun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya menipiskan kewaspadaan,” kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. “Ceritakan saja selengkapnya dan jangan menilai.”

Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka! “Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?”

Karena maklum akan watak ibunya yang dikenalnya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan kesabaran, maka ia pun langsung saja menceritakan inti semua peristiwa dengan kata-kata lirih, “Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!”

Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan tabah, tidak mengenal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat!

Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.

“Tidak....! Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, kupatahkan kaki tangannya!” Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.

Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tidak sadar ini merasakan hawa yang hangat menggetar memasuki kedua lengannya dan ia pun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya. Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.

“Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya....,” katanya lirih sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.

Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya bergoyang sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetes pun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.

“Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu,” Kian Lee berkata dengan suara yang lirih dan lesu.

Dan untuk kedua kalinya, pertama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya kini kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang penyerbuan para datuk, tentang kedatangan Kao Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya. Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.

“Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama saja,” demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.

“Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka sekarang,” Cin Liong merendahkan diri.

“Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?” tanya Kim Hwee yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik dalam ingatannya.

“Betul, ibu,” kata Suma Hui. “Aku pun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong.”

“Mudah saja engkau bicara,” kata Suma Kian Lee. “Mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Lagi pula, nama Hek-i Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun.”

“Aku juga pergi!” kata Kim Hwee Li. “Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es.”

Kian Lee tak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap hormat, “Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ccng Liong.”

“Tugasmu sebagai jenderal?” tanya Kim Hwee Li tertarik.

“Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu sedang membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat.”

Kian Lee mengangguk-angguk. “Jika memang begitu, tak sepatutnya kami menahanmu, Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkau terima kasih atas segala bantuanmu, baik terhadap keluarga Pulau Es mau pun terhadap Hui-ji.”

“Saya kira tak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya mohon diri, locianpwe.” Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian menghadapi Suma Hui.

“Bibi Hui, selamat tinggal....”

“Cin Liong....!” kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, “Bagaimana dengan urusan kita....?”

“Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku,” bisik Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba.

Malam itu Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar gadis itu. “Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?”

Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya teguran ibunya.

Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang. “Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?”

Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi di dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama beberapa hari berturut-turut ini, kini dia merasa aman sentosa dalam rangkulan ibu kandungnya.

Kembali sunyi sejenak. Dan sekarang kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan, “Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”

Meski ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka ia pun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka ia pun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.

“Akan tetapi dia lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Ia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, ia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia jugalah yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!”

“Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi, kalau pun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”

Mendengar ini, Suma Hui lalu bangkit dan memandang ibunya penuh harapan. “Kalau begitu, ibu setuju?”

Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan yang mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk. “Ibu sih setuju saja.”

“Ibuuu....!” Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.”

Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, dia tidak begitu malu menitikkan air mata walau pun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.

“Jangan bergirang-girang dulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, sudah jatuh hati kepada Ceng Ceng. Akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng ialah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa kau saling mencinta dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”

“Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya keras.

Kim Hwee Li menarik napas panjang. Dia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walau pun pendiam dan tenang, akan tetapi juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia telah dapat melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.

“Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri oleh karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”

“Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!” Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir.

Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.

“Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”

Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang tadi menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.

“Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.

“Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang-orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga dari pada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”

“Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biar ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanya pun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Jika benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.”

“Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.

Isterinya kemudian merangkulnya. “Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua semakin pemarah, sungguh tidak baik itu. Sudahlah, marilah kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.”

Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Akan tetapi, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itu pun tertidur.

Tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya, “Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.”

“Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ahh, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.”

“Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana dari pada membiarkan dia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw-twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.”

“Tapi.... bagaimana pun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”

“Hal itu tidak perlu kau khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”

“Ahhh....!” Kim Hwee Li mengerutkan alisnya.

Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas. “Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka punya kesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”

“Hemm, aku tidak yakin. Kukira semua ini kau lakukan bukan untuk Hui-ji, melainkan untuk menjaga nama kehormatanmu sendiri.”

“Apa bedanya? Kehormatan kita adalah kehormatan Hui-ji pula. Kebahagiaan kita juga kebahagiaannya. Dia masih muda dan perlu dibimbing, baik dalam urusan cinta dan jodoh sekali pun. Percayalah, aku tidak akan bertindak salah, isteriku.”

“Sesukamulah,” akhirnya sang isteri menjawab, walau pun hatinya merasa tidak enak karena ia belum yakin betul akan kebenaran ucapan suaminya.

Suma Kian Lee, pendekar sakti itu, bagaimana pun juga hanyalah manusia biasa yang dapat terjerumus ke dalam pendapat yang keliru seperti terjadi kepada sebagian orang besar, orang-orang tua di dunia ini. Orang-orang tua seperti Suma Kian Lee itu terlalu memandang rendah kepada anaknya sehingga seolah-olah merasa dapat mengatur kehidupan dan kebahagiaan anaknya. Seolah-olah kebahagiaan dalam kehidupan itu adalah sesuatu yang dapat diatur.

Dia lupa bahwa kehidupan seseorang adalah mutlak milik si orang itu sendiri, tidak peduli orang itu adalah anaknya. Tiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, dan si orang itu sendirilah yang dapat merasakan kebahagiaan hidupnya.

Orang boleh saja mengatur untuk mengadakan kesenangannya, seperti kekayaan, kedudukan, termasuk pula suami yang dianggap sempurna dan sebagainya. Akan tetapi semua itu hanyalah bayangan khayal belaka dan hanya berlangsung sementara saja.

Siapa yang berani memastikan bahwa bagi seorang wanita, mempunyai suami yang muda, kaya, pandai dan berkedudukan itu pastilah akan mendatangkan bahagia? Atau sebaliknya bagi seorang pria mendapatkan isteri yang muda dan cantik jelita, pintar dan halus budi itu pun akan mendatangkan bahagia?

Kebahagiaan dalam perjodohan hanya mempunyai satu syaratnya, yaitu cinta kasih! Tanpa ini, segala macam kesenangan yang terdapat dalam perjodohan itu akan luntur dan besar kemungkinannya akan berakhir dengan percekcokan dan kesengsaraan.

Orang-orang tua banyak yang tidak sadar bahwa cintanya terhadap anaknya sudah menyeleweng ke arah cinta terhadap diri sendiri atau keinginan untuk mencari kepuasan diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa orang-orang tua selalu memilihkan sesuatu bagi anaknya, dengan keyakinan bahwa pilihannya itu tentu akan cocok bagi anaknya, tentu akan membahagiakan anaknya! Padahal pada dasarnya, yang dapat dipilihnya itu yang dapat menyenangkan hatinya sendiri.

Orang tua seperti ini akan merasa senang jika yang dipilih anaknya itu yang disukainya pula, dan akan merasa tidak senang dan menentang kalau yang dipilih anaknya itu tidak mencocoki seleranya. Dia lupa bahwa selera anaknya itu, biar pun keturunannya sendiri belum tentu sama dengan seleranya sendiri.

Kalau orang tua sungguh-sungguh mencinta anaknya, dia harus berani membiarkan anaknya itu bebas menentukan jalan hidupnya, bebas memilih segala hal mengenai hidupnya, jodohnya, agamanya, pekerjaannya, sahabatnya, dan sebagainya. Tentu hal ini bukan berarti orang tua harus diam saja tak acuh dan tak peduli. Sama sekali bukan demikian.

Bahkan sebaliknya orang tua harus selalu waspada dan kalau dia melihat anaknya itu bertindak menuju ke arah hal yang membahayakan kehidupannya, adalah menjadi kewajibannya, berdasarkan cinta kasih, untuk mengingatkan anaknya, menantunya. Ini bukan berarti memaksanya menuruti kemauan orang tua dalam menentukan jalan hidup
.

Akan tetapi, Suma Kian Lee agaknya merasa yakin bahwa tindakannya benar kalau dia dengan kekerasan menentang pilihan hati puterinya. Bahkan mengusahakan supaya puterinya itu berjodoh dengan orang lain yang dipilihnya, yang menurut anggapannya, cocok menjadi suami anaknya dan kelak akan berbahagia…..

********************

Pilihan Suma Kian Lee itu adalah seorang pemuda berusia Sembilan belas tahun, dan bernama Louw Tek Ciang. Pemuda ini cukup tampan, bahkan kelihatan menarik karena kulit mukanya yang putih bersih. Matanya tajam membayangkan kecerdikan, mulutnya selalu tersenyum dan sikapnya ramah. Biar pun tubuhnya agak pendek, namun tegap dan gagah, apalagi karena pemuda ini selalu berpakaian yang bagus-bagus dan agak pesolek.

Ayahnya bernama Louw Kan atau terkenal di kota Thian-cin sebagai Louw-kauwsu (guru silat Louw) karena kakek berusia lima puluh tahun yang sudah menduda ini membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) di mana dia mengajarkan ilmu silat cabang Siauw-lim-pai dengan memungut bayaran.

Semenjak berusia lima tahun, Tek Ciang telah kematian ibunya, dan ayahnya tidak pernah menikah lagi. Dia merupakan anak tunggal yang tentu saja amat dimanja oleh ayahnya. Sejak kecil dia telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, dan ternyata Tek Ciang memiliki bakat yang amat baik. Di antara murid-murid ayahnya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam ilmu silat dan bahkan dia mulai mewakili ayahnya dan membimbing murid-murid ayahnya.

Ketika dia berusia delapan belas tahun, terjadi gejolak batin yang amat hebat dalam diri pemuda ini, tanpa diketahui oleh ayahnya atau pun oleh dirinya sendiri. Ketika itu, untuk ke sekian kalinya, Tek Ciang bertanya kepada ayahnya tentang ibunya.

“Ayah dulu pernah bilang bahwa ada suatu rahasia besar tentang kematian ibu dan jika aku sudah dewasa, baru ayah akan menceritakan rahasia itu. Ayah, aku sangat rindu kepada ibu yang sudah tidak dapat kuingat wajahnya, akan tetapi aku masih ingat bahwa ibu adalah seorang wanita yang cantik. Ceritakanlah, ayah, mengapa ibu mati muda?”

Louw-kauwsu mengerutkan alisnya, dan sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) yang panjang, wajahnya berubah menjadi muram. Kemudian, setelah menghembuskan asap tembakaunya, dia berkata, “Memang ibumu itu wanita yang amat cantik, paling cantik bagiku di dunia ini dan aku amat mencintainya. Akan tetapi sayang…., batinnya tidaklah secantik wajahnya, hatinya tidak sebersih kulitnya.”

“Kenapa, Ayah?” Tanya Tek Ciang kaget.

“Ia adalah wanita berhati palsu, seorang isteri yang menyeleweng dan menyakitkan hati suaminya, seorang wanita yang gila lelaki.”

“Isteri menyeleweng? Gila lelaki?” pemuda itu bertanya bingung mengapa ayahnya yang katanya mencintai isterinya itu kini memakinya dengan kata-kata keji.

“Ya, cintanya terhadap suaminya hanya di mulut saja dan diam-diam dia melakukan penyelewengan, berjinah dengan pria lain. Mula-mula suaminya masih mengampuninya. Akan tetapi penyakit itu tidak dapat sembuh, berulang kali dilakukannya perjinahan itu dengan lelaki demi lelaki. Ia memang gila lelaki sehingga akhirnya, perbuatan yang kotor dan keji itu membuatnya mati terbunuh.”

Tek Ciang mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, dan dia kaget bukan main mendengar ucapan terakhir dari ayahnya itu.

“Terbunuh? Jadi ibu mati terbunuh? Siapa yang membunuhnya, Ayah?”

“Suaminya yang entah berapa kali disakiti batinnya.”

Makin pucat wajah Tek Ciang ketika dia bangkit dari tempat duduknya. “Jadi…. jadi…. ayah sendiri yang membunuh ibu?”

Louw-kauwsu menarik napas panjang. “Duduklah, anakku. Memang aku sendiri yang membunuhnya, demi cintaku kepadanya. Karena kalau tidak dibunuh, dia akan terus melakukan hal yang amat tidak sepatutnya itu. Tentu saja bukan tangan ini yang dahulu membunuhnya. Pada penyelewengan terakhir saat tertangkap basah, aku membuatnya berjanji bahwa kalau sekali lagi ia berjinah dan ketahuan, ia akan bunuh diri. Nah, baru beberapa bulan saja, ia telah berjinah lagi dan saat ketahuan olehku, ia lalu membunuh diri, mungkin karena takut atau karena malu. Aku cinta padanya, bahkan aku tidak mau menikah lagi sejak ia meninggal karena aku takut kalau-kalau penyiksaan terhadap perasaanku akan terulang lagi. Jarang ada wanita yang dapat dipercaya, Tek Ciang, oleh karena itu engkau harus berhati-hati sekali dalam memilih jodoh. Dari pada tersiksa hatinya setelah menikah, lebih baik tinggal membujang selama hidup.”

Percakapan dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada timbul semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim.

Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorang pun yang akan menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin.

Tek Ciang terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat-tempat pelacuran itu. Maka ayahnya sendiri pun tak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat pelesir itu.

Juga dia tidak tahu bahwa biar pun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walau pun dia memang royal dengan uangnya.

Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu.

Saling berkunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya makin maju karena para murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, akhirnya menjadi gentar melihat hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Oleh karena hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat.

Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini…..

Pada suatu pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika ia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.

“Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!” kata guru silat itu dengan ramah. “Silakan masuk dan duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini.”

“Terima kasih, Louw-twako,” kata Suma Kian Lee dan mereka pun duduk menghadapi minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.

“Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berkabung?” Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.

Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang mala petaka yang menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.

“Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin....”

“Ahh, Siocia sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!” teriak guru silat itu dengan kagum.

“Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia.”

“Ahhh....!” Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada pendekar itu sambil berkata, “Maafkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik.”

“Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami pun dapat menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi mala petaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang....”

“Ahhh!” Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. “Suma-kongcu hilang? Ke mana dan bagaimana?”

“Dia tercebur ke lautan, terpisah dari enci-nya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang dia.”

“Siancai....! Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana mala petaka menimpa demikian berturut-turut?”

“Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan antara puteri kami dan puteramu.”

Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biar pun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.

“Bagaimanakah kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh puteri taihiap yang mulia.”

“Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan kelebihan orang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, tetapi.... maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh.”

Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa. “Ah, biar saya latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan dapat menandingi tingkat Suma-siocia.”

“Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu bahwa puteriku dalam ilmu silat jauh lebih pandai dari pada puteramu. Akan tetapi kulihat puteramu itu pun memiliki bakat yang baik sekali, maka andai kata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu....”

Louw-kauwsu cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat. “Laksaan terima kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!”

“Jangan beri tahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako,” kata Suma Kian Lee berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang.

Melihat pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.

“Ahhh, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan terimalah hormat saya,” katanya ramah.

“Terima kasih, Tek Ciang,” jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya selalu rapi dan bagus.

“Tek Ciang, cepat engkau berlutut pada Suma-taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu sebagai muridnya!” kata Louw-kauwsu dengan girang.

Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya akan terangkat dan tak seorang pun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut “Suhu!” berkali-kali.

Kian Lee membangunkan pemuda itu dan berkata, “Tek Ciang, engkau adalah murid pertama dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Sekarang, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat.”

“Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung tinggi.”

“Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan ayahmu.”

Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, dia pun berkata, “Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan mereka. Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan ke dua, mereka dapat saling berkenalan sebelum perjodohan diumumkan. Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?”

Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!

“Jika begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw-twako. Dan selama kami pergi dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan.”

“Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian.”

Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu menyuruh puteranya segera berkemas. Dia memberi banyak nasehat kepada puteranya itu. “Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang jauh lebih berharga dari pada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah. Suma-taihiap menghendaki supaya engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia, karena gurumu itu bersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan engkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jagalah rumah itu seperti rumahmu sendiri, bersikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akan membikin malu aku sebagai ayahmu.”

Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasehat kepada seorang anak kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhu-nya suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita!

Akan tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan dia pun mengangguk taat. “Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasehatmu.”

Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.

“Ayah,” Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum dikenalnya itu. “Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?”

Ayahnya mengerutkan alis. “Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw-kauwsu, adalah seorang sahabat baikku. Dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itu pun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sinkang dan semedhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sinkang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.”

Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, Suma Hui mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka dari itu ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagai mana pun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.

Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap menghormat sekali, Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan.

Pemuda itu sedikit pun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu.

“Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui,” kata Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang ‘siasat’ suaminya untuk mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.

“Terima kasih, subo,” berkata Tek Ciang sambil memandang kepada suhu-nya dengan ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah suhu-nya.

Melihat ini, diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!

“Bangkit dan duduklah, Tek Ciang,” katanya halus.

Baru pemuda itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya. “Terima kasih, subo.”

Kemudian dia baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walau pun baru melihat sekelebatan saja, kemudian dia pun cepat menjura kepada dara itu.

“Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia.”

Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat. Tentu saja dia segera menekan perasaannya karena dugaan itu pun masih membuat dia ragu.

Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang demikian merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.

“Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw),” katanya.

“Hemm, buang saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!” Suma Kian Lee berkata sambil tersenyum. “Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biar pun dia murid baru, akan tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biar pun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya suheng. Dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji.”

Kembali Louw Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata, “Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walau pun sesungguhnya saya tidak berani lancang.”

Bagaimana pun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan. Maka ia pun menjura dan berkata manis, “Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?”

“Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subo-mu akan pergi merantau untuk beberapa lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan dasar untuk mempelajari sinkang dan semedhi. Harus kau perhatikan baik-baik karena dasar latihan sinkang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkau pun tak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di sini ada sumoi-mu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau merasa ragu-ragu.”

“Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari sumoi, dan untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu.”

“Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya,” jawab Suma Hui yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini.

Hanya Kim Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.

“Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, lalu kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sinkang,” kata pula Suma Kian Lee. “Hui-ji, suruh pelayan datang mengantar suheng-mu ke kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu.”

“Baik, ayah.” Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira. Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itu pun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.

Demikianlah, dalam beberapa hari itu Suma Kian Lee memberi dasar latihan sinkang dengan sungguh-sungguh kepada Tek Ciang. Biar pun pemuda ini pernah mempelajari semedhi dan latihan sinkang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhu-nya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar-benar.

Memang pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga walau pun latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini dan ia pun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hemm.....


Seminggu kemudian, suami isteri itu berangkat meninggalkan rumah mereka, memulai dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba di dalam kegelapan. Bagaimana pun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasehat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinya pun berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.

Louw-kauwsu sering kali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai ‘gagal’ menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasaan hatinya sendiri dia pun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!

“Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkau pun pura-pura tak tahu sajalah. Aku menceritakan padamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.

Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tiada alasan sedikit pun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sinkang itu dengan baik.....

********************

“Hyaaaaatttt, ahh…! Hyaaaaatttt, ahh…!”

Lengkingan ini terdengar berkali-kali, menggema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu, dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu. Itulah bukit Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang dengan Cing-hai.

Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang pernah kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek-i Mo-ong yang dibantu oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong!

Puing-puing itu adalah bekas sarang Hek-i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang pernah dipimpinnya akan tetapi yang dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim Hong Bu, bahkan kemudian bekas sarang itu dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.

Karena tempat itu sunyi dan indah, Hek-i Mo-ong mengajak muridnya tinggal di situ, membangun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biar pun sederhana dan mulailah dia melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh tahun lebih itu.

Lengkingan nyaring berulang-ulang yang terdengar dari belakang pondok itu adalah lengking suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah daratan di belakang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa yang berani mengunjungi tempat itu?

Sebelum Hek-i Mo-ong pulang ke situ pun tiada orang yang berani mendekat. Rakyat yang membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka terhadap gerombolan yang sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah membakar, mereka pun cepat-cepat pergi, tak berani berlama-lama di situ apalagi saat mereka mendengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah Hek-i-mo-pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di belakang pondok batu itu.

Apakah yang sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu? Mereka sedang berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak sedang bersemedhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Semedhi jungkir balik ini memang tidak mengherankan dan sudah banyak dilakukan orang, yaitu dengan kepala di atas tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan menopang kepala.

Semedhi seperti ini amat baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan memperlancar jalannya darah ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidak seimbangan antara hawa Im dan Yang di dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain dari pada yang lain.

Kepalanya memang di bawah dan kedua kakinya tegak lurus ke atas, tetapi kepalanya tidak berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya bersedakap di depan dadanya, dan dia pun tidak berjungkir balik dengan diam saja, melainkan tubuhnya yang berjungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu meloncat dan hinggap di atas sebuah tengkorak lainnya dan demikian seterusnya, berpindahan dari tengkorak yang satu ke tengkorak yang lain.

Semuanya terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah dengan membentuk garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan tiga buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah tengkorak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu, dan terdengar suara dak-duk-dak-duk saat kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak berikutnya, seperti seorang anak kecil bermain loncat-loncatan.

Tak jauh dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya. Setiap kali berteriak “hyaaaaaatt!” dia berlari menyerbu ke arah sepotong tulang, baik itu tulang kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan begitu tiba dia berteriak “ahh!” dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak melengkung seperti cakar, mencengkeram ke arah tulang-tulang itu. Dan tulang-tulang itu pun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil bekas cengkeraman jari-jari tangannya!

Itulah Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang sangat keji karena selain jari-jari tangan itu dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan jari itu membawa hawa beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Meski masih kecil, Ceng Liong adalah putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber tenaga sakti dari mendiang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi Hek-i Mo-ong untuk menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya untuk mempelajari ilmu-ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa artinya ilmu bersih dan ilmu kotor, hanya merasa suka kalau diberi pelajaran ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.

Agaknya kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka tiba-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun dan kini dia berdiri dengan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya yang berlatih itu. Kakek itu nampak mengerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa itu nampak kuat dan kokoh. Pakaian sampai ke sepatunya serba hitam hingga rambutnya yang putih nampak menyolok.

“Cukup, Ceng Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat penting.” Berkata demikian, kakek ini lalu mengumpulkan tengkorak-tengkorak di tempat itu dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun teratur dengan tengkorak-tengkorak itu seperti saling mengisap tengkuk tengkorak di atasnya dan semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah, lalu di atasnya sembilan buah, terus delapan buah, dan seterusnya setiap tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah tengkorak saja.

“Latihan bagaimana, Mo-ong ?” Ceng Liong bertanya.

Memang anak ini tidak menyebut suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis) begitu saja karena dia memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan tetapi tidak mau menyebut suhu dan tidak mau mempelajari kejahatan. Dan bagi seorang datuk kaum sesat yang berwatak aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan Mo-ong sebaliknya dari pada suhu ini justru menggembirakan hatinya. Makin aneh keadaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan berbangga kalau orang-orang lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu saja, tanda keanehan mereka yang lain dari pada orang lain!

“Aku hendak berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir. Selama aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andai kata ada musuh datang menyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh karena itu, engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku berlatih. Ingat, selama hawa api itu masih di luar badan dan belum kutarik kembali, berarti aku masih tak berdaya dan engkau harus melindungiku dari serangan lain dari luar.”

“Tapi, siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?”

“Memang tidak ada, akan tetapi siapa tahu? Di dunia ini lebih banyak musuh dari pada sahabat. Dan siapa tahu mala petaka datang selagi aku berlatih. Kau jagalah baik-baik dan hentikan latihanmu.”

“Baik, Mo-ong. Aku akan menjagamu,” anak itu berjanji.

Ia lalu berdiri di bawah pohon tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang dengan hati tertarik sekali karena dia tahu bahwa gurunya itu memang amat lihai dan memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.

“Nah, kau siaplah!” kata Hek-i Mo-ong.

Dia sendiri lalu mengatur pakaiannya, menggulung lengan bajunya, mempererat ikat pinggang, membetulkan ikatan pita rambutnya, lalu dia berdiri tegak dan mengambil napas dalam-dalam sampai beberapa lamanya. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya itu meloncat ke atas tumpukan tengkorak, berjungkir balik dan kepalanya hinggap di atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Oleh karena tengkorak ini, seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut tengkorak itu seperti mengecup tengkuknya.

Setelah tubuhnya yang berjungkir balik itu tegak lurus dan sedikit pun kakinya tidak bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas dalam dan keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak lama kemudian, Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar dari mulut kakek itu yang terbuka!

Dan dia yang berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah mulai merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi, melainkan berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan melayang maju dan makin memanjang, ada kalanya tertarik kembali mendekati mulut.

Ceng Liong memandang dengan penuh perhatian. Biar pun dia masih kecil, namun sudah banyak melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan dia pun telah mempelajari teori-teori ilmu yang tinggi dari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat tinggi dan di antara ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sinkang yang panas, yaitu Hwi-yang Sinkang yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya dipergunakan melalui gerakan pukulan. Dan Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu melalui pernapasannya, dikeluarkan dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung dipergunakan untuk menyerang musuh!

Kini, uap putih yang tebal itu makin lama semakin tebal dan semakin panjang, sampai melayang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas dari mulut yang terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter lebih, baru akan menjadi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.

Dan agaknya, dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh dan napasnya mulai terengah. Padahal, uap itu baru melayang sejauh satu setengah meter. Terpaksa dia menghentikan dorongan dari dalam itu dan uap itu kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda keras saja.

Pada saat itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada enam puluhan tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya banyak bayangan orang di sekitar tempat itu. Tentu saja dia bersikap waspada dan siap sedia melindungi gurunya.

Mula-mula tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i Mo-ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba saja dia mengirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke arah punggung Raja Iblis itu!

“Desss....!”

Tubuh tosu itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada anak berusia sepuluh tahun yang tiba-tiba menangkis pukulannya tadi dan membuatnya terhuyung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat, dan ketika anak kecil tadi menangkis, dia merasa adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia terhuyung dan anak itu hanya mundur dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat!

Tentu saja dia menjadi penasaran dan marah, dan menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja Iblis itu memiliki murid kecil yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia harus lebih dulu menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimana pun juga, di depan banyak orang dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap, dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong.

Ceng Liong mengelak, menangkis dan membalas. Dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun yang pada waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu merasa terheran-heran karena serangannya luput dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim serangan balasan yang cukup cepat.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Gerakannya belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biar pun dia sudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar sehingga belum dapat mempergunakan sumber tenaga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia mulai dihajar tunggang-langgang oleh tamparan, pukulan dan tendangan tosu itu.

“Plakkk!”

Keras sekali pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang ketika dia melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras dan akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi, Ceng Liong merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya terancam bahaya. Kalau orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung tempat itu turun tangan, tak mungkin dia dapat melindungi gurunya.

“Mo-ong, sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!” Ceng Liong mulai berteriak-teriak menyadarkan gurunya.

Teriakannya itu tentu saja membuat si tosu dan orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu itu pun meragu mendengar seruan anak itu. Tidak mungkin murid si raja iblis kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja. Bagaimana pun juga, dia khawatir kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah menyerangnya. Maka dengan gemas tosu ini pun melakukan serangan dahsyat sekali.

“Bresss....!”

Tubuh Ceng Liong kini terlempar sampai empat meter lebih terkena tendangan kilat tosu itu. Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi telah tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng Liong!

Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun teringat akan ilmu yang baru saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci. Maka dia mengangkat tangan kanan menyambut pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.

“Crottt....! Aughhh....!”

Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan dia pun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.

“Trakkk....!”

Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiri pun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Dia pun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.

Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Pada saat itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.

“Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?” Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam dia pun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Mau apa begini banyak orang sakti yang ia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Tapi mereka jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang sedang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.

“Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur.”

“Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tidak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekali pun!”

Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka sekarang perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.

“Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama.”

Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biar pun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana!

Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.

“Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi.”

Dia menudingkan telunjuknya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian.

Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Oleh karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.

“Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”

“Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apa pun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!” kata Yang I Cinjin.

Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya telah terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa!

Maka dia pun melangkah mundur dan berkata, “Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi.”

Mendengar ucapan ini, para tokoh lain juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimana pun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.

Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu. “Ha-ha-ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!”

Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga ikut melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.

“Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik, akan tetapi kurang kuat. Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!”

“Iblis busuk, lihat pedang!” Tiba-tiba tosu itu membentak.

Pedangnya diputar sedemikian cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu. Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok pada saat kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.

Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seakan memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tiada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi ‘hati’ dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba saja kakek itu berseru, “Ceng Liong, lihatlah Coan-kut-ci ini!”

Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Tangan kirinya bergerak dan mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang dengan kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.

“Krekkk!” Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Tangan kanannya menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.

“Krakkk....!”

Tosu itu mengeluh. Ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulitnya saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Dan cengkeraman tangan kirinya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mukjijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena sekarang cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.

“Crotttt....!”

Lima jari-jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.

Semua yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu.

Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!”

“Omitohud!” kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”

Hek-i Mo-ong tertawa. “Hahh, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong atau ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?”

“Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.

“Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itu pun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.

Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura. “Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemuan. Bagaimana, dapatkah undangan kami ini diterima?”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan muridku ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?”

Ceng Liong mengangguk. Ia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian mudah mengalahkan tosu tadi dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. “Memang harus begitu, Mo-ong. Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!” Tentu saja semua orang merasa heran sekali mendengar ucapan bocah itu terhadap gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan menyebut gurunya Mo-ong begitu saja.

“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” kata pula Thong–ciangkun.

Hek-i Mo-ong mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada saat itu terdengar teriakan dan tangis orang. Kiranya seorang pemuda tanggung yang usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi mayat Yang I Cinjin, kemudian memondong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum pergi dia menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

Peristiwa ini mengejutkan semua orang dan seorang di antara mereka yang berada di situ berkata, “Itu adalah muridnya....”

Mendengar ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tak akan membunuhmu, memberi waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak dapat datang mencari aku atau muridku ini, ha-ha-ha!”

Di dalam hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, dia pun hanya memandang kepada anak itu dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakannya kelak. Dia melihat sebuah tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan ini menjadi tanda yang takkan pernah dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, anak itu sambil menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya dan pergi dari tempat itu.

Bagaimana pun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan dia pun cepat merubah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i Mo-ong.

“Karena akan menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-sahabat ini kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak dari Raja Nepal untuk menghadap Yong-taijin.”

“Hemm, Koksu Nepal? Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin....,” kata Hek-i Mo-ong.

“Saudara Lakshapadma? Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena mengalami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa dia bekerja sama denganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar segalanya dan dia percaya bahwa tentu orang ini pun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa Sengjin dahulu. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas dan Naga Siluman’, Sam-ok Ban Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah menjadi Koksu Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan bentrok dengan para pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Dan saudara ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk berunding dengan Gubernur Yong.”

Hek-i Mo-ong dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian mereka berangkat menuju ke kota Li-tan yang letaknya di dekat perbatasan antara Tibet, Ching-hai dan Propinsi Uighur yang lalu menjadi daerah yang disebut Sin-kiang (Daerah Baru). Pasukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga mereka itu dianggap sebagai tamu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat.

Di dalam sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Gubernur Yong. Pembesar ini bernama Yong Ki Pok, peranakan Ulghur yang memperoleh kedudukannya melalui ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para pembesar, maka pembersihan diadakan sampai ke daerah ini, dan Gubernur Yong merasa sangat tersinggung ketika menerima teguran dari para pejabat pemeriksa.

Maka, diam-diam gubernur ini lalu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang menentang kekuasaan kaisar. Apalagi ketika dia mendengar pergerakan pasukan Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet, dianggapnya itulah kesempatan baik untuk bersekutu dengan pasukan asing agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Maka dia lalu mengutus Thong–ciangkun, orang kepercayaannya untuk menghubungi pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan antara wakil-wakil semua pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.

Mereka sudah berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah. Meja besar diatur memanjang sehingga semua orang dapat duduk di sekelilingnya. Agak lucu melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja dengan gubernur dan tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu dan janggal.

Akan tetapi ini merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari muridnya. Tak ada seorang pun di antara mereka itu pernah menduga seujung rambut pun bahwa bocah itu adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Entah apa yang akan menjadi reaksinya kalau hal ini mereka ketahui. Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan memperhatikan orang-orang yang duduk semeja dengannya itu.

Dengan sinar matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir dan sinar matanya seperti menilai dan mengukur kelihaian mereka itu. Yang hadir di tempat itu memang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai.

Panglima Thong Su adalah tangan kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam puluh tahun ini, yang tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang yang amat berpengalaman. Biar pun ilmu silat atau kekuatan pribadinya tidaklah demikian hebat, namun dalam gerakan perang, orang seperti dia amat diperlukan untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.

Thai Hong Lama, pendeta dari Tibet yang kepalanya gundul dan jubahnya merah itu nampak menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh serta kuat, sepasang telinganya lebar sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan sikap alim, seperti sepatutnya sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip di pinggang, tertutup jubah. Akan tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi ambisi yang amat besar.

Saat itu Tibet adalah wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh Kaisar Kian Liong. Sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang pembesar yang bekerja sama dengan para pendeta Lama yang berpengaruh. Dan Thai Hong Lama tidak kebagian tempat karena pendeta ini, biar pun memiliki kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang penyeleweng ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang wanita di kuilnya. Maka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk menggulingkan mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang nomor satu yang paling berkuasa di daerah itu.

Ilmu silatnya tinggi dan sinkang-nya sudah demikian kuatnya sehingga dengan tenaga khikang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat menyerang lawan dengan suara suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari tangan kirinya seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya merupakan senjata yang ampuh.

Kemudian Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek-bin Tok–ong. Dia sudah tahu kelihaian orang ini. Pek-bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang maha luas itu. Dia berpakaian pertapa serba putih dan longgar, rambutnya putih panjang dan kadang-kadang dibiarkan terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara sembarangan saja.

Tubuhnya kurus tinggi dan mukanya putih seperti kapur, karena muka yang putih itulah maka dia dijuluki Raja Racun Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah dapat menduga bahwa tokoh ini adalah seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun. Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai racun saja dia lihai, juga ilmu silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-ilmunya yang semua dilatih dengan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat, melainkan juga mengandung racun mengerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat hebat, seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).

Orang lain yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi besar dan tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih hitam itu dibalut kain kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan tenaganya dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Walau pun dia kurus, namun nampak tinggi besar karena tulang-tulangnya memang besar dan kokoh kuat. Dia bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli gulat dan pandai pula ilmu sihir.

Biar pun tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, tetapi mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh Mongol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja Mongol yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Dia pun lihai sekali dan bertenaga gajah. Juga dia pandai berlari sangat cepat seperti larinya kuda dan juga amat pandai menunggang kuda, bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar. Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula dengan ilmu silat dan gulat Mongol.

Seperti diketahui, Bangsa Mongol pernah menjajah daratan Tiongkok dan mendirikan Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan Tiongkok, termasuk ilmu silatnya. Maka raksasa Mongol ini pun tidak asing dengan ilmu silat yang telah dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa sebatang tongkat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat lagi, yaitu sebuah tongkat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari pada kayu dari batang semacam pohon yang dinamakan pohon besi.

Hek-i Mo-ong sudah pernah mendengar banyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari Tibet dan Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang Siwananda dan Tailucin, maka dia pun hanya dapat menduga-duga saja sampai di mana kehebatan kedua orang ini.

“Kami merasa gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja bahwa kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu kami, bukan?” Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong.

Hek-i Mo-ong menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab, “Taijin, terus terang saja tadinya saya sedikit pun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk mencampuri urusan pergerakan dan pemberontakan terhadap pemerintah. Resiko dan bahayanya terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Namun, karena saya sejak dahulu tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal, dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup membantu, akan tetapi hanya dengan satu syarat....” Hek-i Mo-ong menghentikan kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir satu demi satu, seolah-olah hendak melihat apakah ada yang menentang atau merasa tidak setuju dengan ucapannya itu.

Akan tetapi semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi pada wajah mereka, hanya Gubernur Yong mengerutkan alisnya karena pembesar ini diam-diam mengkhawatirkan bahwa syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan terlampau memberatkan dirinya.

“Syarat apakah itu? Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya? Harap lo-sicu suka memberitahu.” Gubernur Yong yang pandai mempergunakan tenaga orang-orang kuat ini berkata dengan nada suara ramah.

“Taijin, sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati. Oleh karena itu, tanpa imbalan yang pantas, tentu saja saya segan untuk melakukannya. Imbalan atau syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya menjadi penasehat utama dan kalau kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi koksu.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam sebuah pemerintahan karena koksu memiliki kekuasaan yang amat besar, hanya di bawah kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak setelah memperoleh nasehat dan persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gembira.

“Ahhh, tanpa syarat itu pun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau lo-sicu suka menjadi pembantu dan penasehat utama kami. Tentu saja syarat itu kami terima dengan segala senang hati!”

Tiba-tiba Thong-ciangkun, panglima yang telah belasan tahun mengabdi pada gubernur itu dan menjadi kepercayaan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan, “Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Dan terutama sekali harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong-taijin yang menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan menasehati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu.”

Wajah Hek-i Mo-ong berubah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu. “Hemm, Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu? Kalau begitu, majulah dan marilah kita memperebutkan kedudukan itu!” berkata demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.

Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. “Ah, satu di antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang prajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikit pun aku tidak akan menandingimu.”

Hek-i Mo-ong tersenyum “Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!”

Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Jangan salah sangka, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali pula aku tidak percaya kepandaianmu. Tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan penting itu berarti kau peroleh secara terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur.”

“Dengan cara bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?” tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.

“Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?”

Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Sungguh bagus sekali usul itu! Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan.”

Hek-i Mo-ong segera menjawab, “Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara yang gagah ini ingin melakukan ujian terhadap diri saya.” Ucapan ini setengah merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!

Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang seperti kebanyakan para tokoh kang-ouw selalu ‘haus’ akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali.

“Jika hanya merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!” Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka diam-diam dia pun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!

Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing dia pun berseru, “Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?”

Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara mereka yang dianggap akan menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya dalam pergerakan negaranya.....

Thai Hong Lama masih memutar tasbehnya saat dia berkata, “Omitohud....! Kekerasan tak akan mengatasi persoalan! Masalah ujian kepandaian ini dapat saja dilakukan tanpa kekerasan, yaitu dengan menguji ketangkasan yang menjadi inti dari ilmu kepandaian silat. Entah Hek-i Mo-ong setuju ataukah tidak dengan pendapat pinceng ini?”

“Ha-ha-ha! Thai Hong Lama memang pandai. Akan tetapi bagiku, diuji secara bagai mana pun juga aku tentu setuju saja, demi untuk memenuhi harapan Yong-taijin. Nah, katakanlah, bagaimana usulmu itu, Lama?”

“Menggunakan sepasang sumpit untuk menjepit makanan, merupakan hal yang amat mudah dan seorang anak kecil sekali pun akan mampu melakukannya. Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, tenaga dalam tangan yang memegang sumpit haruslah seimbang dan tidak boleh terganggu, karena kalau terganggu, banyak bahayanya makanan yang dijepit sumpit akan terlepas. Kalau Mo-ong mempertahankan makanan yang dijepit di antara dua batang sumpitnya supaya jangan sampai terlepas ketika menghadapi serangan sampai sepuluh jurus dari kami masing-masing, maka dapat dianggap dia menang. Akan tetapi, pinceng peringatkan kepada Mo-ong bahwa amatlah sukar mempertahankan makanan itu sampai sepuluh jurus serangan karena selain tenaganya harus dibagi, juga kalau dia terlalu mempertahankan makanan itu, tubuhnya terbuka dan dapat menjadi sasaran serangan. Kalau makanan itu terlepas, dia kalah, juga kalau sampai ada serangan yang menyentuh sasaran di tubuhnya, dia dapat dianggap kalah.”

Hek-i Mo-ong yang menghadapi syarat berat ini, tidak menjadi khawatir malah tertawa bergelak. “Bagus! Bagus! Usulmu itu baik dan cerdik sekali, Lama! Nah, aku sudah siap! Siapa yang sekarang hendak menguji lebih dulu? Ataukah kalian berempat hendak maju berbarengan?” tantangnya dan tangan kanannya yang memegang sepasang sumpit itu telah menjepit sepotong daging dari dalam panci masakan.

“Ahhh, tidak adil kalau maju berbareng. Seyogianya satu demi satu.” Mendadak saja Thong-ciangkun berkata dan memang perwira ini cerdik sekali.

Selain ingin menguji kemampuan Hek-i Mo-ong, juga ia tidak ingin membuat Raja Iblis itu tidak senang kepadanya karena usulnya tentang ujian tadi, maka kini dia cepat mencela kalau empat orang penguji itu maju semua.

“Dan pula, karena yang boleh menyerang hanya pihak penguji sedangkan Mo-ong sendiri hanya mempertahankan dan tidak boleh membalas, maka terlalu berat bagi yang mempertahankan kalau sampai sepuluh jurus. Lima jurus pun sudah cukup baik kalau dia mampu mempertahankan diri.”

Gubernur Yong sudah memiliki kepercayaan mutlak kepada pembantunya ini, maka biar pun dia tidak paham tentang ilmu silat, dia tahu bahwa tentu Thong-ciangkun memiliki alasan kuat dengan pendapat-pendapatnya itu. Maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar sekali seperti yang dikatakan oleh Thong-ciangkun. Harap maju satu demi satu dan menggunakan lima jurus saja!”

Karena meja di mana mereka duduk itu penuh hidangan, maka Thong-ciangkun lalu mengatur sebuah meja kecil dengan dua bangku berhadapan, terhalang meja. Di atas meja itu hanya ditaruh semangkok masakan dan dua pasang sumpit. Kini Hek-i Mo-ong sambil tersenyum-senyum memandang rendah, duduk di atas sebuah bangku dan memegang sepasang sumpit. Orang-orang lain masih duduk di tempat masing-masing dan memandang dengan penuh perhatian. Tailucin sudah bangkit dari tempat duduknya dan kini raksasa ini duduk di atas bangku, berhadapan dengan Hek-i Mo-ong terhalang meja.

Hek-i Mo-ong lalu menggunakan sumpitnya, menjumput sepotong daging, kemudian mengacungkan daging itu ke depan sambil berkata kepada Tailucin, “Nah, saudara Tailucin, engkau cobalah merampas daging ini kalau mampu. Pergunakan sepasang sumpitmu itu!”

Akan tetapi Tailucin hanya memandang ke arah sepasang sumpit yang menggeletak di depannya tanpa menyentuhnya, lalu menggeleng kepala. “Biar pun banyak bangsaku sudah ikut-ikut makan dengan sumpit, akan tetapi aku sendiri lebih suka makan dengan menggunakan tangan. Oleh karena itu, bagaimana kalau aku mencoba merampas daging itu dari sumpitmu menggunakan tangan saja, Mo-ong?”

Tentu saja kalau lawan menggunakan tangan, keadaan ini amat tidak menguntungkan bagi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena tokoh ini memang angkuh dan memandang rendah lawan, dia pun mengangguk. “Boleh saja, akan tetapi, makan dengan tangan tanpa mencuci tangan lebih dulu, amatlah tidak sehat!” Ucapan ini sama saja dengan mengejek lawan yang memiliki kebiasaan makan tanpa sumpit!

“Mo-ong, jagalah seranganku!” Raksasa Mongol itu membentak tanpa mempedulikan ejekan orang.

Tangan kanannya yang besar dan lebar itu terbuka jari-jarinya menyambar ke arah daging di ujung sumpit dengan cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin keras.

“Wuuuutttt....!”

Raksasa itu tercengang karena sumpit yang disambarnya itu tiba-tiba saja lenyap dan sambarannya hanya mengenai angin kosong belaka. Tidak disangkanya bahwa lawan dapat bergerak sedemikian cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran dan dengan bentakan nyaring, kini kedua tangannya menyambar dari kanan kiri!

“Ha-ha-ha, agaknya Tailucin biasa makan dengan kedua tangan!” Hek-i Mo-ong tertawa dan seperti tadi, dia cepat menggerakkan tangan kanannya, mengelak dari sambaran kedua tangan dari kanan kiri itu.

“Plakkk!”

Kedua telapak tangan besar itu bertemu seperti bertepuk dan untuk kedua kalinya serangan itu gagal. Wajah raksasa itu menjadi merah karena kembali terdengar Hek-i Mo-ong mentertawakannya.

Karena tadi dia mendengar bahwa usaha merampas daging itu boleh dilakukan dengan menyerang, maka kini dia menggunakan lengannya yang panjang dan kuat itu untuk menonjok ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sambaran ke arah ujung sumpit. Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-i Mo-ong mengelak dari pukulan itu tanpa menarik tubuhnya dan juga tangan yang memegang sumpit itu mengelak tepat pada saat tangan kiri lawan menyambar dari kiri.

Melihat usahanya gagal lagi, si Raksasa Mongol sudah melanjutkan serangannya, kini mencengkeram dengan tangan kanan ke arah pundak Hek-i Mo-ong dan tangan kirinya menghantam ke arah lengan kanan yang memegang sumpit. Hebat serangan yang keempat kalinya ini dan amat berbahaya bagi Hek-i Mo-ong. Kalau dia hanya mengelak dari cengkeraman itu, tentu lengannya akan diancam bahaya pukulan yang seperti palu godam datangnya itu.

Tetapi, Raja Iblis ini dengan tenang saja menerima cengkeraman itu dengan pundaknya sambil menarik tangan yang memegang sumpit sehingga terhindar dari hantaman. Saat cengkeraman tiba, si raksasa Mongol sudah merasa girang karena cengkeramannya itu tentu akan membuat lengan kanan itu lumpuh dan sumpitnya akan terlepas!

Tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram itu meleset seperti mencengkeram bola baja yang amat licin saja. Hanya terdengar kain robek, yaitu baju Hek-i Mo-ong yang hitam itu di bagian pundaknya robek terkena cengkeraman yang amat kuat.

“Ha-ha, engkau telah menyerang empat jurus, Tailucin!” Hek-i Mo-ong memperingatkan sambil tertawa lagi.

Tiba-tiba semua orang menahan napas sebab tanpa menjawab, tahu-tahu kedua tangan orang Mongol itu telah berhasil menangkap lengan kanan Hek-i Mo–ong! Ternyata raksasa Mongol itu mengeluarkan ilmu gulatnya dan dengan kecepatan kilat tahu-tahu kedua tangan dan jari-jari tangan yang panjang dan kuat berotot itu telah menangkap lengan Hek-i Mo–ong, mencengkeram dengan keras hendak memaksanya melepaskan sumpit!

Terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan. Buku-buku jari tangan raksasa Mongol itu berkerotokan dan otot-ototnya menggembung. Akan tetapi, lengan Hek-i Mo-ong yang nampak kecil dibandingkan dengan lawannya itu, sama sekali tidak terguncang dan sepasang sumpit di tangannya itu masih tetap menjepit potongan daging, bahkan jari-jari tangan itu masih dapat mempermainkan sumpit itu sehingga bergerak ke sana-sini! Selain itu, dari wajah Raja Iblis itu dapat dilihat bahwa dia sama sekali tidak merasa nyeri, seolah-olah himpitan dan cengkeraman jari-jari tangan yang amat kuat itu tidak terasa sama sekali olehnya!

Dan terjadilah keanehan ketika tiba-tiba raksasa Mongol itu melepaskan cengkeraman kedua tangannya, menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan, lalu dia bangkit dan menjura ke arah Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Aku terima kalah!” Lalu dia kembali ke tempat duduknya di meja besar.

Ternyata kedua telapak tangannya itu nampak merah sekali seperti baru saja dekat dengan benda panas. Rakasa itu mengambil arak dan membasahi kedua tangannya dengan arak! Memang sesungguhnya, tadi Hek-i Mo-ong menunjukkan kepandaiannya dengan penyaluran tenaga sinkang yang mengeluarkan hawa panas sehingga raksasa Mongol itu merasa seolah-olah telapak kedua tangannya dibakar, maka terpaksa dia melepaskan cengkeramannya.

“Omitohud! Nama besar Hek-i Mo-ong ternyata bukanlah kosong belaka. Biarlah pinceng yang bodoh mencoba-coba.” Sambil berkata demikian, Thai Hong Lama lalu bangkit dan menghampiri meja kecil, duduk berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, dan mengeluarkan suling dan tasbehnya. “Maaf, Mo-ong, walau pun pinceng biasa makan dengan sumpit, akan tetapi tidak biasa mempergunakannya untuk menguji. Maka, kalau engkau tidak berkeberatan, pinceng hendak mempergunakan tasbeh dan suling untuk menguji. Bagaimana?”

Hek-i Mo-ong mengangguk sambil tersenyum. “Boleh saja, Lama. Suling adalah alat musik untuk menghibur hati lara, sedangkan tasbeh adalah alat pemusatan pikiran. Kedua benda itu tentu tidak akan menyakitkan aku, ha-ha-ha!”

Pendeta Lama itu lalu menoleh ke arah meja besar dan berkata, “Harap taijin dan ciangkun suka menggunakan kedua tangan untuk menutupi kedua telinga rapat-rapat jangan sampai suara suling pinceng kedengaran oleh ji-wi.”

Mendengar ini gubernur itu menoleh dan memandang kepada Thong-ciangkun dengan heran, akan tetapi melihat panglimanya itu mengangguk dan panglima itu mengunakan kedua telapak tangan menutupi kedua telinganya sendiri, dia pun melakukan hal serupa. Sementara itu, Pek-bin Tok-ong, Siwananda dan Tailucin sudah mengatur pernapasan dan mengerahkan sinkang karena mereka maklum apa yang akan dilakukan oleh rekan mereka itu. Hanya Ceng Liong yang tidak mengerti dan anak ini hanya memandang kepada gurunya yang amat dikagumi karena gurunya tadi telah mengalahkan lawan dengan baik sekali.

“Ceng Liong, kau tutuplah kedua telingamu dengan tangan, atau untuk sementara ini keluarlah engkau dari ruangan ini,” kata Hek-i Mo-ong kepada muridnya.

“Aku ingin menonton, Mo-ong!” Ceng Liong membantah dan gurunya tertawa. Anak itu sungguh tabah dan membanggakan hati yang menjadi gurunya.

Sementara itu, Thai Hong Lama telah mulai meniup suling dengan tangan kanannya. Terdengar suara melengking nyaring, semakin lama semakin tinggi dan halus sekali, memasuki anak telinga seperti jarum menusuk-nusuk! Itulah suara suling yang ditiup dengan pengerahan khikang yang amat kuat.

Hek-i Mo-ong melempar pandang sekali lagi ke arah muridnya, akan tetapi dia tidak bicara lagi karena dia harus mengerahkan sinkang-nya untuk menghadapi serangan suara ini. Dia merasa tubuhnya agak tergetar dan maklumlah dia bahwa suara suling itu sungguh berbahaya dan kalau dia tidak hati-hati, maka pertahanannya dapat dibobolkan sekali ini oleh Lama yang lihai itu.

“Rrrrtttt....!”

Tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dan tasbeh di tangan kiri kakek gundul itu telah menyambar ke arah sepasang sumpit yang menjepit daging. Hek-i Mo-ong terkejut dan cepat menarik tangan kiri mengelak, akan tetapi dia merasa betapa jari tangannya tergetar, tanda bahwa pertahanannya sudah goyah oleh suara suling itu. Urat-urat halus di jari-jari tangan yang memegang sumpit itu terpengaruh dan keadaannya berbahaya sekali.

“Rrrrkkkkkkk!” Kembali tasbeh menyambar, sekali ini ke arah pergelangan tangan yang memegang sumpit.

“Trikkkkk!”

Hek-i Mo-ong terpaksa melempar daging itu ke atas, menggunakan sumpit menangkis tasbeh dan ketika daging itu meluncur turun, disambutnya dengan sepasang sumpitnya lagi! Sungguh indah sekali pertahanan ini sampai Thai Hong Lama mengangguk sedikit tanpa menghentikan permainan sulingnya. Memang hebat Raja Iblis ini, pikirnya. Akan tetapi dia masih mempunyai tiga jurus lagi.

Sementara itu, ketika suling mulai ditiup, Ceng Liong mendengarkan dengan penuh perhatian. Ada getaran halus yang menyerang telinganya, membuat tubuhnya tergetar, akan tetapi tanpa disadarinya, sumber tenaga sinkang yang amat kuat, yang berada di pusarnya, bergerak sendiri naik dan melindungi tubuhnya yang segera terasa hangat. Suara suling itu sama sekali tidak mempengaruhi telinga, jantung mau pun syarafnya. Hanya anak ini merasa tidak senang sekali oleh suara itu, yang dianggapnya sumbang dan tak enak bagai orang mendengarkan kaleng diseret. Maka, kegemasan mendengar suara tidak enak ini mendorong Ceng Liong untuk memukul-mukulkan sumpit gading di bibir mangkok kosong di atas meja di depannya sehingga terdengarlah bunyi tang-ting-tang–ting yang nyaring.

Suara tang-ting-tang-ting ini berlawanan dengan suara suling, dan karena Ceng Liong memukulnya dengan sengaja untuk mengacaukan suara suling yang dianggapnya tidak enak itu, maka terdengarlah paduan suara yang sumbang dan tidak karuan! Mula-mula suara ini membuat Thai Hong Lama terheran, akan tetapi perhatiannya segera tertarik dan suara sulingnya tersendat-sendat seperti dihalangi oleh suara pukulan mangkok itu. Tentu saja kekuatan dalam suara suling menjadi terpecah dan kehilangan banyak daya serangnya.

Hal ini amat terasa oleh Hek-i Mo-ong dan Raja Iblis ini pun tertawa, suara ketawanya mengandung khikang dan segera sisa tenaga dalam suara suling itu lenyap oleh suara ketawa ini.

“Ha-ha-ha, Lama apakah engkau sudah lupa akan sisi seranganmu?”

Diejek demikian, tanpa mengandalkan suara sulingnya lagi, Thai Hong Lama kemudian menggunakan suling yang sudah dilepas dari mulutnya itu untuk menotok ke arah pundak lawan sedangkan tasbehnya menyambar ke arah daging di sumpit.

“Wirrr.... wuuuutt!”

Kembali serangan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Hek-i Mo-ong yang kini telah bebas dari gangguan suara suling sehingga mampu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mempertahankan daging di ujung sumpit.

Dua kali lagi berturut-turut Lama itu menyerang, akan tetapi, selain sumpit itu selalu dapat dihindarkan dari benturan, juga kini tangan kiri Hek-i Mo-ong membantu dan melakukan penangkisan. Pada serangan terakhir, mendadak tangan kiri Hek-i Mo-ong menyambar sepotong bakso di dalam mangkok. Sekali menyentilkan bakso itu dengan telunjuk kirinya, ‘peluru’ ini meluncur cepat dan memasuki lubang suling. Kalau tadinya suling yang digerakkan itu mengeluarkan suara, kini tiba-tiba saja suara itu terhenti seperti jengkerik terpijak! Serangan terakhir itu menjadi kacau dan tidak berhasil menjautuhkan daging dari jepitan suling di tangan Hek-i Mo–ong.

“Sungguh Hek-i Mo-ong amat lihai, pinceng mengaku kalah,” kata pendeta berjubah merah itu yang segera kembali ke tempat duduknya semula.

Kini Pek-bin Tok-ong mempersilakan Siwananda untuk maju akan tetapi Siwananda yang merasa bahwa dia adalah wakil pemerintah Nepal, seorang wakil koksu negara, bersikap tenang dan berkata, “Silakan Tok-ong maju memperlihatkan kepandaian, kami ingin memperluas pengetahuan dengan menjadi saksi saja.”

Terpaksa Pek-bin Tok-ong maju dan menghampiri Hek-i Mo-ong. Kakek iblis ini tertawa dan mengganti daging baru yang diambilnya dari dalam mangkok. “Ha-ha-ha. Tok-ong, terhadap engkau aku akan menghormati dengan daging baru, dan juga harus berhati-hati. Jangan-jangan semua ototku akan putus dan tulang-tulangku akan terlepas!” Jelas bahwa dengan kata-kata itu Hek-i Mo-ong hendak menyindir calon lawan ini dengan Ilmu Hun-kin Coh-kut-ciang yang dimiliki Si Raja Racun itu.

Pek-bin Tok-ong tersenyum. Tokoh Go-bi pertapa ini sudah pandai sekali menyimpan perasaannya dan wajahnya nampak sabar dan tenang walau pun sesungguhnya orang ini memiliki kekejaman yang luar biasa.

“Mo-ong, aku selalu tidak percaya bahwa ada ilmu lain dapat menandingi ilmu barumu Tok-hwe-ji itu. Marilah kita coba-coba dalam kesempatan ini!” Sambil berkata demikian, kakek ini menyingkap jubah putihnya, menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang kurus panjang seperti tulang terbungkus kulit saja.

Akan tetapi, begitu dia menggerak-gerakkan kedua lengannya, kulit lengan yang tadinya putih pucat itu berubah menjadi agak biru seperti warna baja matang! Biru mengkilap dan kelihatan keras sekali. Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lawannya ini ternyata telah melatih sinkang yang amat kuat, yang membuat kedua lengan itu menjadi seperti baja dan jari-jari tangan itu tentulah amat kuat pula sehingga mampu memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan. Maka, diam-diam dia pun mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan diri dengan ilmunya yang mukjijat, yaitu Ilmu Tok-hwe-ji yang mengerikan itu.

Dengan tubuh tegak di bangkunya, tangan kanan memegang sumpit yang menjepit daging baru, tangan kiri siap di atas meja di depan dadanya, Hek-i Mo-ong memandang lawan dengan mata beringas. Dari pandang matanya saja keluar tenaga mukjijat dan walau pun dia tidak bermaksud mempergunakan ilmu sihirnya di dalam ujian itu, namun tenaga ilmu hitam keluar dari matanya dan membuat Pek-bin Tok-ong bergidik. Tokoh ini pun maklum bahwa kalau saja pertandingan ilmu ini bukan hanya sekedar ujian dan main-main, dia akan berpikir beberapa kali sebelum menentang seorang seperti Raja Iblis ini.

“Mo-ong, jaga seranganku!” Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar ke arah lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di antara mereka.

Kedua tangannya itu menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang pisau yang amat kuat dan cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan Mo-ong. Terdengar suara bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa angin yang dingin sekali bertiup. Itulah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat itu.

Namun, Hek-i Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis sekaligus mematikan serangan pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak untuk mengelak.

Serangannya belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari tangan yang dia tahu amat ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa menarik kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal. Lantas dia menyerang lagi dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan Tok-hwe-ji yang menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat ampuh itu. Hebatnya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya jari-jari tangannya yang amat hebat, dapat menembus tulang, akan tetapi juga dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan inilah yang membuat Pek-bin Tok-ong merasa kewalahan.

Beberapa kali kedua lengan bertemu, bahkan jari-jari tangan mereka sempat bertemu, akan tetapi selalu pertemuan itu mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar. Setelah lewat lima jurus dia menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya penuh keringat dan mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat dari serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe-ji!

“Hebat.... engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!” kata kakek muka putih itu sambil menjura dan kembali ke tempat duduknya.

Melihat kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan merasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i Mo-ong sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat Siwananda yang menjadi seorang di antara sekutunya yang terpenting. Bukankah kakek berkulit kehitaman ini wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan akan dapat memperkuat kedudukannya kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja? Maka, Gubernur Yong lalu berkata sambil tersenyum, “Sekarang tiba giliran saudara Wakil Koksu Nepal untuk menguji calon pembantu kami.”

Siwananda bangkit berdiri dengan sikap angkuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata, “Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi sudah mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji sampai di mana kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang koksu yang baik.”

Gubernur Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi dia pun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan adu kekuatan sihir. Dia mengangguk gembira dan berkata, “Silakan, saudara Siwananda.”

Kakek Gurkha yang tinggi besar ini lalu menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong telah menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya saling berpandang mata. Biar pun bagi orang lain mereka itu hanya saling pandang, namun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengukur tenaga dan kekuatan batin mereka masing-masing melalui pandang mata itu!

Terjadilah adu kekuatan mukjijat melalui sinar mata mereka dan diam-diam Siwananda terkejut. Dia pun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai ilmu sihir, akan tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata itu demikian kuatnya! Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi berlipat ganda dengan kuatnya tenaga sinkang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biar pun mereka yang hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling mengukur tenaga batin, namun mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi ruangan itu, yang membuat mereka merasa tegang dan juga seram.

“Hek-i Mo-ong, yang kau pegang dengan sumpit itu seekor burung hidup!” Tiba-tiba terdengar suara Wakil Koksu Nepal itu.

Semua orang memandang ke arah potongan daging yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong dan terbelalaklah mereka ketika melihat bahwa daging itu kini benar-benar telah menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan sayapnya berusaha untuk lolos dari jepitan sepasang sumpit. Kalau burung itu sampai lolos, maka berarti Hek-i Mo-ong kalah sebab bukankah ujian itu untuk merampas daging dari jepitan sumpitnya? Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan jepitan sumpit saja.

“Biar pun burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?” tiba-tiba terdengar suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi.

Burung yang tadinya menggeleparkan sayap itu tiba-tiba saja kehilangan kekuatannya dan sayap itu benar-benar telah kehilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat digerak-gerakkan naik turun dengan lemah saja!

“Hek-i Mo-ong, sepasang sumpitmu itu adalah sepasang ular!”

Dan semua orang terbelalak kaget dan heran karena begitu Siwananda mengeluarkan teriakan ini, sepasang sumpit di tangan Raja Iblis itu benar-benar berubah menjadi dua ekor ular, sedangkan burung tadi telah berubah pula menjadi sepotong daging!

“Sepasang ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!” Hek-i Mo-ong menyambung, dan dua ekor ular itu kini ‘menari–nari’ berlenggak-lenggok, akan tetapi daging itu mereka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mungkin terlepas lagi.

Siwananda tertawa dan bangkit sambil menjura. “Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami mengucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon koksu yang amat pandai!”

Kakek Gurkha ini lalu memberi hormat kepada Gubernur Yong. Pembesar ini merasa girang sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong daging dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke mulut, lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Ceng Liong merasa bangga dan girang. Ia menghampiri gurunya dan berkata, “Mo-ong, aku mengucapkan selamat atas pengangkatanmu sebagai koksu!” Dan dengan hati setulusnya anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat!

“Ha-ha-ha, terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru calon koksu saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku benar-benar menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bangsawan, murid koksu. Ha-ha-ha!”

Tailucin, Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok-ong juga memberikan ucapan selamat atas kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu.

Dan Thai Hong Lama yang tadi merasa betapa suara sulingnya sudah dikacaukan oleh anak itu sehingga memudahkan Hek-i Mo-ong memperoleh kemenangan atas dirinya, lalu menambahkan, “Omitohud.... Mo-ong, muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia akan lebih hebat dan lebih jahat dari pada gurunya!”

Dikatakan jahat bagi seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima pujian! Maka dia pun tertawa bergelak. Akan tetapi Ceng Liong memandang pendeta Lama itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.

“Lama, jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan menjadi seorang penjahat biar pun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!”

Tentu saja semua orang menjadi heran mendengar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-ong tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang ditimbulkan oleh sikap muridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak muridnya, semakin sukalah hati Hek-i Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan adalah keanehan dan sifat yang lain dari pada orang lain, dan menerjang semua hukum-hukum yang telah ada tanpa memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.

Gubernur Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini, akan tetapi terpaksa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan bantuan mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang sesungguhnya merupakan acara inti dari pertemuan itu.

Sebagai seorang yang mengharapkan kedudukan koksu dan pembantu utama gubernur yang hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga Ceng Liong, walau pun belum dapat menangkap seluruh maksud dari percakapan itu, mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa apa yang didengarnya itu amat penting baginya.

Dengan panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong lalu menceritakan rencana mereka bersama. Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang sangat kuat dan besar untuk menyerang Tibet. Serbuan ini diharapkan dapat berhasil dalam waktu yang tidak terlalu lama dan mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan diatur oleh Thai Hong Lama.

“Jangan khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan sewaktu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pendeknya, dengan bantuan kami, bala tentara Nepal tentu tidak akan sukar untuk menduduki Tibet.” Demikian Thai Hong Lama mengutarakan isi hatinya.

Menurut perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan Nepal, Thai Hong Lama yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara taklukan dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu, yaitu dengan mencegah datangnya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng.

Dengan demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amat penting karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan sukarlah daerah itu direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh panglima-panglima pandai seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah membuat tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang lalu.

Kemudian, setelah mereka berhasil merebut Tibet, barulah mereka akan mengadakan pasukan gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di barat dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan melakukan penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.

“Akan tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan menanti saat yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memiliki banyak panglima yang pandai dan pasukan yang kuat,” kata sang gubernur.

“Ha-ha-ha, harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang dan membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman-teman, bahkan para penghuni Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!”

Akan tetapi, ketika bicara sampai di situ, Hek-i Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang mendelik kepadanya. Dia menoleh dan terkejut melihat bahwa orang yang melotot kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para tokoh di situ menjadi terbelalak.

“Apa katamu? Para penghuni Pulau Es....?” kata Pek-bin Tok-ong kaget.

“Omitohud! Kau maksudkan bahwa engkau telah berhasil membunuh Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” tanya pula Thai Hong Lama yang menganggap berita itu seperti petir menyambar di siang hari panas.

Hek-i Mo-ong menjadi serba salah. Dia tahu bahwa di depan muridnya, amat tidak baik membicarakan tentang kebinasaan para penghuni Pulau Es, akan tetapi dia telah terlanjur bicara dan tidak akan dapat ditariknya kembali. Maka dia pun menarik napas panjang.

“Manusia mana di dunia ini yang sanggup mengalahkan Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es? Bahkan dewa sekali pun akan sukar mengalahkannya. Tidak, kami tidak berani melawan Pendekar Super Sakti. Kami hanya melawan isteri-isterinya dan hal itu pun mengakibatkan tewasnya banyak anak buah dan hampir semua kawan-kawanku. Mereka itu sungguh hebat bukan main. Aku sendiri nyaris binasa. Bagaimana pun juga, sekarang Pulau Es telah terbakar habis berikut para penghuninya, dan kami akan terus melakukan sampai semua pendekar yang menentang kami lenyap dari permukaan bumi. Bukankah kalau sudah begitu, gerakan taijin akan lebih mudah dilakukan?”

Gubernur Yong mengangguk-angguk, akan tetapi Pek-bin Tok-ong agaknya masih penasaran mengenai Pulau Es. “Mo-ong, kau katakan bahwa Pulau Es terbakar habis berikut para penghuninya. Benarkah itu? Apakah engkau dan kawan-kawanmu yang telah berhasil membakar pulau itu?”

Kalau saja dia tidak teringat kepada kehadiran muridnya, tentu dengan senang dan bangga sekali Hek-i Mo-ong akan membual dan mengaku bahwa dialah yang telah menghancurkan dan membakar Pulau Es. Akan tetapi, kehadiran Ceng Liong membuat dia tidak mungkin dapat membohong. Watak muridnya ini aneh sekali, siapa tahu muridnya akan membuatnya malu dan menyangkalnya kalau dia berbohong.

“Tidak, kami sisa para penyerbu telah meninggalkan pulau ketika kami melihat dari jauh pulau itu terbakar habis.” Karena tidak ingin mereka itu mendesak lebih lanjut tentang Pulau Es dan kini sikap Ceng Liong telah biasa kembali, Hek-i Mo-ong lalu berkata cepat, “Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kita. Lebih baik kita sekarang melihat halangan dan hambatan apa yang kiranya akan mengganggu gerakan kita dan kita lenyapkan halangan itu.”

Semua orang mengangguk setuju dan Wakil Koksu Nepal lalu berkata, “Memang benar apa yang dikatakan Mo-ong. Kita harus menghalau semua hambatan dan ada beberapa hal yang membuat kami merasa gelisah. Pertama-tama adalah negara tetangga kami yang kecil, yakni Bhutan. Negara kecil itu menjadi penghalang besar bagi gerakan kami menyerbu Tibet karena sampai sekarang Bhutan tak mau tunduk, bahkan tidak memiliki sikap bersahabat dengan kami. Sebab itu, setiap gerakan kami yang melanggar wilayah mereka, tentu akan mereka tentang dan hal ini sungguh memusingkan dan membuang banyak tenaga kalau kami harus menggempur Bhutan lebih dulu.”

“Bhutan? Negara yang demikian kecilnya?” Gubernur Yong memandang rendah. “Apa sih kekuatan negara kecil itu? Mengapa tidak ditundukkan saja lebih dulu? Hal itu tentu jauh lebih mudah dari pada menundukkan Tibet.”

“Agaknya Yong-taijin belum mendengar. Bhutan sekarang tak dapat disamakan dengan Bhutan belasan tahun yang lalu. Biar pun negara itu kecil, akan tetapi memiliki pasukan pilihan yang amat kuat, di bawah pimpinan Puteri Syanti Dewi yang lihai dan suaminya yang lebih lihai lagi. Tidak, menyerbu Bhutan sama dengan mencari penyakit,” kata Siwananda, orang Gurkha yang menjadi Wakil Koksu Nepal itu dan sikapnya nampak jeri.

Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa heran. Wakil koksu itu sendiri begitu lihai, akan tetapi kelihatan jeri ketika menyebutkan nama seorang Puteri Bhutan dan suaminya.

“Omitohud, pinceng pernah mendengar tentang mereka dan kabarnya suami isteri itu memang luar biasa lihainya. Kabarnya, puteri itu pandai menghilang saking cepatnya ia dapat bergerak, sedangkan suaminya adalah seorang Han yang pada belasan tahun yang lalu pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Kalau tidak salah, dahulu dia berjuluk Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Sang puteri kabarnya tidak mau menggantikan ayahnya dan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang saudara laki-laki, sedangkan ia sendiri bersama suaminya menjadi panglima-panglima yang memimpin bala tentara Bhutan. Benarkah demikian, saudara Siwananda?”

Yang ditanya mengangguk membenarkan.

“Dan halangan lain, apakah itu, saudara Siwananda?” tanya sang gubernur.

“Selain adanya Bhutan yang menjadi penghalang, juga kini banyak terdapat tokoh-tokoh pertapa di Himalaya yang kabarnya diam-diam juga mengamati gerak-gerik kami. Mereka itu kadang-kadang mengambil sikap bermusuh dan agaknya mereka tentu akan ikut menentang kalau kami menyerbu Tibet. Semua ini adalah gara-gara Jenderal Kao Cin Liong yang dahulu pernah menentang kami dan di sana dia telah mempunyai banyak sahabat yang siap membantunya dan menentang kami.”

Semua orang merasa khawatir dengan berita yang tidak baik ini. “Ahh, kalau begitu.... gerakan kita menghadapi ancaman yang berat,” kata Gubernur Yong, kemudian ia teringat akan Hek-i Mo-ong yang menjadi pembantu utamanya, maka dia pun menoleh kepada Raja Iblis itu.

“Lo-sicu, kita menghadapi rintangan yang cukup berat, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?” Pertanyaan ini selain hendak memancing, juga agaknya sang gubernur ingin melihat kegunaan dari orang lihai ini.

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk sambil mengerutkan sepasang alisnya yang sudah beruban, seperti seorang ahli pikir yang sedang mengerjakan otaknya yang cerdik. “Hal itu sudah saya pikirkan sejak mendengar dari saudara Siwananda tadi, taijin. Harap taijin jangan khawatir. Kalau yang menjadi penghalang itu berupa pasukan besar, tentu saja yang harus menghalaunya juga pasukan yang lebih kuat lagi. Akan tetapi kalau yang dikhawatirkan itu perorangan, seperti suami isteri bangsawan Kerajaan Bhutan itu atau tokoh-tokoh pertapa di Himalaya, serahkan saja kepada saya, tentu akan dapat saya enyahkan mereka!”

Sang gubernur mengangguk-angguk gembira. “Lalu, sekarang apa yang hendak sicu lakukan?”

“Perkenankan saya dan murid saya pergi ke Bhutan dan Himalaya untuk melakukan penyelidikan dan saya akan membasmi setiap orang yang hendak menentang gerakan kita dari Nepal ke Tibet lalu ke timur.”

“Omitohud....! Itulah cara yang terbaik!” kata Thai Hong Lama. “Kalau Mo-ong mau membantu, nanti akan pinceng tunjukkan siapa-siapa orangnya yang patut dibasmi. Kita dapat bekerja sama, Mo-ong.”

“Aku pun telah mengenal mereka yang berpihak kepada Kerajaan Ceng!” kata Pek-bin Tok-ong. “Dan engkau bisa mendapatkan bantuanku untuk menghantam para pertapa itu, Mo-ong.”

Hek-i Mo-ong mengangguk. “Baik, kalau perlu, aku akan menghubungi kalian di sana. Akan tetapi, agaknya untuk melaksanakan pekerjaan yang ringan ini aku tidak akan membutuhkan bantuan orang lain.”

“Dan kami akan mempersiapkan pasukan kami di perbatasan utara dan Tibet. Harap saudara Siwananda selalu mengirim kurir penghubung agar kami selalu dapat mengikuti sampai di mana majunya gerakan dari Nepal,” kata Tailucin.

“Baik, kami tentu selalu menghubungi pasukanmu, saudara Tailucin, jangan khawatir,” jawab orang Gurkha itu.

Perjamuan dilanjutkan dengan meriah dan gembira. Kemudian sang gubernur dengan royal lalu membagi-bagi hadiah berupa barang-barang berharga kepada mereka semua sebelum mereka bubaran. Hek-i Mo-ong menerima sekantung uang emas sebagai bekal, juga dua ekor kuda yang sangat baik. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong telah berangkat menunggang kuda menuju ke barat…..

********************

“Sumoi, engkau lihat bagaimana dengan kemajuan latihanku? Sudah selama empat bulan aku berlatih menurut petunjuk suhu, aku khawatir masih belum sempurna,” kata Louw Tek Ciang, pemuda yang diambil murid dan diambil calon mantu pula oleh Suma Kian Lee itu, pada suatu pagi kepada Suma Hui yang sedang bertugas mengawasi dan membimbingnya.

Mereka berada di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah sudah berapa puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui menganggap pertanyaan itu lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda itu sengaja bertanya agar kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal yang amat disuka oleh pemuda itu.

“Dua pekan yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau tentu sudah paham benar,” jawab Suma Hui yang sedang memotongi daun-daun bunga yang ditempeli telur belalang.

“Maukah engkau mencoba dan mengukur latihan dasar sinkang yang kupelajari, sumoi?” Tek Ciang memohon dan seperti biasa.

Suma Hui tidak menolaknya. Biar pun tadinya ia merasa tidak puas melihat ayahnya menerima pemuda ini sebagai murid, akan tetapi setelah bergaul selama empat bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan, sehingga tidak ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walau pun hal itu bukan berarti bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin sikap yang terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga dan kepercayaan hatinya belum penuh kepada suhengnya ini.

“Tentu saja. Nah, marilah kita mulai!” kata Suma Hui.

Dengan girang Tek Ciang Lalu memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan suhu-nya, menggerakkan kedua lengannya ke atas bawah kemudian bersilang dan pada saat itu mendorongkan kedua lengannya ke depan dengan tangan terbuka sambil mengerahkan tenaga. Suma Hui yang berdiri di depannya menyambut tangan yang didorongkan itu dengan kedua tangannya sendiri.

“Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang merasakan telapak tangan yang lunak, halus dan hangat, membuat jantungnya berdebar penuh gairah.

Suma Hui mengerutkan alisnya. Pemuda ini memang berbakat dan agaknya telah menguasai tehnik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sinkang yang kemudian dapat dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi, seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan yang hanya terjadi kalau pemuda itu kurang memusatkan perhatian pada getaran melalui telapak tangan itu. Ini menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang atau terkacau oleh sesuatu.

“Suheng, engkau telah berhasil baik, hanya masih saja engkau belum bisa memusatkan seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendorong. Aku merasakan adanya kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kau pikirkan setelah engkau melakukan gerakan mendorong itu?”

Apa lagi yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk berkata demikian lancang, maka dia pun mengambil sikap menyesal. “Ahhh, dasar aku yang bodoh, sumoi. Aku selalu merasa ragu-ragu akan kemampuan sendiri sehingga pada saat aku mendorong, aku merasa khawatir kalau-kalau salah.”

“Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkau pun sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sinkang dari keluarga kami. Aku mengucapkan selamat, suheng.”

“Dan engkau terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat baik hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling cantik jelita, yang pernah kukenal.”

“Suheng....!” Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya sudah berubah merah. Bagaimana pun juga, suhengnya ini hanya memujinya, jadi tidak ada alasan baginya untuk marah-marah.

“Aku hanya bicara apa adanya, sumoi....” Tek Ciang melanjutkan rayuannya.

“Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang diriku....”

“Tapi, sebaliknya aku suka sekali....”

Pada saat itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu dari luar. Keduanya mengangkat muka memandang.

“Siapa engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?” Tek Ciang membentak marah akan tetapi dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoi-nya berubah menjadi amat gembira.

“Cin Liong....!” Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.

“Hui-i....!” Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi dia pun berhenti berdiri saja sambil memandang kepada pemuda tampan bermuka putih dan pesolek yang tidak dikenalnya itu.

Melihat sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Suma Hui lalu memperkenalkan, “Cin Liong, dia ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan diangkatnya.”

“Ahh....!” Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, kemudian teringat bahwa menurut kedudukan, dia lebih rendah, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada pemuda itu sambil berkata, “Susiok....!”

Sekarang giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini tadi menyebutnya susiok (paman guru)! “Sumoi.... siapakah orang ini....?” tanyanya gagap dan bingung.

“Suheng, dia bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... ehh, seorang keponakanku.”

Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong bergantian dengan sinar mata tidak percaya. “Keponakan....? Tapi.... tapi…. mana mungkin....?”

Suma Hui tersenyum. Kegembiraannya melihat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar untuk dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang. “Sudahlah, suheng. Engkau tidak mengerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Biarlah lain kali saja kuceritakan dan sekarang kuharap engkau suka meninggalkan kami dan membiarkan kami bercakap-cakap.”

Tek Ciang merasa terpukul. Dia menunduk dengan muka merah, sekali lagi mengerling ke arah Cin Liong lalu berkata, “Baiklah, sumoi, baiklah....”

Dia pun pergi dari situ menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kamarnya di dekat lian-bu-thia, yakni ruangan berlatih silat.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar