Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 16-20

Kho Ping Hoo, Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 16-20. Melihat pemuda itu telah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak membasah.
Anonim
Melihat pemuda itu telah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak membasah. Selama ini dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa seolah-olah kehidupan menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang tiba-tiba itu membuat hidup seolah-olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar kebahagiaan.

“Cin Liong, mari bicara di dalam....,” ajaknya dengan gembira dan ia pun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu.

Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi juga membuatnya ragu-ragu dan takut.

“Ayah ibumu....?” bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandengan dalam pertemuan antara jari jemari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaan rindu dan sayang.

“Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum kembali. Di rumah kosong tidak ada orang....”

“Dan susiok tadi?”

“Ahhh, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri dengan dasar sinkang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin Liong....” Mereka bergandengan tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu.

Begitu tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.

“Hui....,” bisik Cin Liong.

“Cin Liong....” Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.

“Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini....,” bisik Cin Liong.

Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul akibat kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.

“Dan engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?”

Suma Hui hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegangan di atas meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang pada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.

“Ahh, bagus sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walau pun mereka masih merasa takut-takut untuk melakukan peminangan atas dirimu.”

“Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Dia setuju sepenuhnya, tetapi ibu menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju.”

“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Cin Liong khawatir.

“Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal itu sudah dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah....”

“Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju....”

Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata, “Baik ayah mau pun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan ada yang dapat menghalangiku berjodoh denganmu!”

Cin Liong memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang tak mungkin ditekuk sampai bagaimana pun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan mala petaka di dalam keluarga itu.

“Kita harus tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui, andai kata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain, melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar.”

Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang!

Biar pun mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah. Gelora asmara yang sedang mengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum dua orang muda itu masuk ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.

“Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i....”

“Hishh, masa engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!” sela Suma Hui.

Cin Liong tersenyum, “Ah, segala macam sebutan dalam huhungan keluarga yang jauh masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)....”

“Kenapa mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!”

“Tapi kalau terdengar orang....”

“Perduli apa dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?”

Cin Liong menarik napas panjang. “Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung.”

“Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu.”

“Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu.”

Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju keluar. Cin Liong kemudian meninggalkan kekasihnya yang mengantar dengan pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, barulah kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari jauh!

Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan bahwa yang membayanginya itu adalah Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari Suma Hui dan yang tadi disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam?

Ahhh, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang sebodoh itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seolah-olah hendak ‘melindungi’ sumoi-nya? Bagaimana pun juga, Cin Liong tidak mau membuat ‘susiok-nya’ itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata ‘susiok’ itu telah lenyap dan dia pun tersenyum sendiri.

Dengan napas terengah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya dilakukan sambil berlari cepat, Tek Ciang menghadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.

“Wah, celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!”

“Hushhh....!” Louw-kauwsu terkejut bukan main, cepat menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya. “Ucapan apa itu?” bentaknya ketika dia berada aman di dalam kamar bersama puteranya.

“Siapa sudi menikah dengan gadis seperti itu? Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran dengan keponakannya sendiri!” Dengan suara mengandung kemarahan Tek Ciang lalu menceritakan semua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pemuda bernama Kao Cin Liong datang berkunjung ke rumah suhu-nya.

Bukan main kaget dan heran hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh merupakan hal yang amat aneh dan sukar dapat dipercaya.

“Benarkah ceritamu itu? Benarkah pemuda itu keponakannya?”

Kalau Suma Hui mempunyai seorang pacar, hal itu masih dianggapnya biasa walau pun tentu saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran dengan seorang keponakan sendiri? Mustahil rasanya!

“Aku pun tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu mengaku keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok.”

“Jangan-jangan hanya murid keponakan saja, bukan keluarga.”

“Dia menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi gurunya. Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!”

“Tolol! Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk menggagalkan hubungan mereka. Aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan antara puterinya dan keponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang. Bukankah dia sudah memilih engkau untuk menjadi calon menantunya? Pula, kurasa hubungan itu hanya hubungan akrab antara bibi dan keponakannya saja.”

“Hubungan akrab? Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan, saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta, tidur bersama....!” kata Tek Ciang marah.

“Hushh....! Tahan mulutmu. Pemuda itu pun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani bermain gila dengan bibi sendiri? Tek Ciang, kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah muridnya yang ditugaskan menemani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu datang mengacau, kita harus melindungi kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh pemuda tidak sopan itu. Di mana dia?”

Louw-kauwsu tentu saja marah dan khawatir sekali melihat bahaya kegagalan ikatan jodoh antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan hancurnya semua kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang amat terkenal itu.

“Tadi aku membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang berada di bagian kiri.”

“Baik, engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya jalan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu. Nah, kau kembalilah ke rumah suhu-mu dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”

“Tapi, ayah....!” Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena sudah tertanam rasa tidak senang dan bahkan kebencian terhadap diri Suma Hui yang mengecewakan hatinya.

“Diam! Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi masa depanmu sendiri, tahu?” Tek Ciang tidak berani membantah lagi, kemudian kembalilah dia ke rumah keluarga Suma.

Bagaimana pun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan amat pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan dia pun diundang untuk makan bersama, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma Hui menikmati masakan gadis itu. Biar pun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap mereka sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara mereka, namun Tek Ciang merasa sekali adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara mereka. Tentu saja hatinya terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam saja. Akan tetapi begitu selesai makan, dia pun berpamit dengan alasan untuk berlatih di dalam kamarnya.

Cin Liong bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal beberapa hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan berita tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan.

Mereka bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seperti yang hanya dapat dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul bahwa hubungan mereka akan ditentang oleh ayah gadis itu, dapat mereka lenyapkan dengan kebulatan tekad mereka bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka berdua akan menghadapinya bersama dan takkan ada apa pun di dunia ini yang dapat menghalangi huhungan mereka dan niat mereka untuk menjadi suami isteri!

Senja telah berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya. Bagai mana pun juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan. Dia pun tidak berani terlalu malam bertamu walau pun hatinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia berjalan menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati yang penuh rasa bahagia. Biar pun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun baru dua kali inilah Cin Liong jatuh cinta.

Pertama kali, cintanya terhadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami kegagalan karena cintanya tidak terbalas dan semenjak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta lagi sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di hatinya membuat pemuda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda remaja mengalami cinta pertama saja.

Cin Liong adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di antara prajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk yang menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia selalu pergi dengan pakaian preman, bagaikan seorang pemuda pelajar biasa. Hanya pada waktu memimpin pasukan sajalah maka ia berpakaian seragam seorang panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena memudahkan dia dalam tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.

Itulah sebabnya, walau pun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja, akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang mengenalnya sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu.

Demikian pula Louw Kam atau Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang membayanginya sejak tadi, sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak diserang itu adalah seorang panglima kerajaan yang ternama, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti. Andai kata Louw-kauwsu tahu akan hal ini, tentu dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani menggunakan tindakan menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.

Penyerangan itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan golok dan pedang. Cin Liong cepat mengelak, melompat ke depan, lalu membalikkan tubuhnya.

Penyerangan gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa oleh peristiwa seperti ini. Dalam tugasnya, sudah sering kali dia menghadapi penyerangan gelap yang dilakukan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu kaki tangan pemberontak, atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha membunuhnya dengan jalan membokong. Dia pun tidak merasa heran ketika melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal tiga orang ini.

Sementara itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Tadinya sudah dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali serang saja.

Maka dia pun lantas membentak marah, “Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan pedangku!” Dan dia pun sudah menyerang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah dada Cin Liong.

“Wirrrrr....!”

Cin Liong mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan orang. Biasanya, kalau dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hubungannya dengan tugas dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang dengan tuduhan menjadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali.

“Ehhh, nanti dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!” bantahnya.

Akan tetapi, dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri, menggunakan golok mereka. Serangan mereka jelas adalah serangan untuk membunuh dengan gerakan yang cepat, kuat dan keji sekali. Dan memang dua orang ini adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang telah disewa oleh Louw Kam untuk membantunya membunuh pemuda yang dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.

Karena menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya berkelebat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia bergerak seperti kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan kanannya.

“Bukkk! Dessss....!”

Dua orang itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka terpental dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang lututnya, dan orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.

Melihat ini, Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang walau pun tidak memiliki ilmu silat terlalu tinggi, akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja mereka sudah roboh dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap sebagai makanan lunak itu.

Karena sudah terlanjur, guru silat yang ambisius ini kemudian menyerang lagi dengan pedangnya. Cin Liong dapat mengenali jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih baik dan lebih tangguh dibandingkan dua orang pertama tadi, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu orang ke tiga inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan membiarkan tusukan itu lewat di samping tubuhnya dan dengan perlahan dia mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat menahan hawa dorongan dahsyat itu dan dia pun terjengkang!

Akan tetapi, Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal ini tidak diselidiki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang anggota keluarga Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi!

Kenekatan Louw Kam membuat dia dapat meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Biar pun baru diserang beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenali dasar gerakan silat Siauw-lim-pai ini, maka dia pun mengelak lagi, merasa ragu menjatuhkan atau melukai lawan.

“Nanti dulu, sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Kenapa tanpa sebab engkau menyerangku?”

Makin jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pemuda ini benar-benar seorang ahli silat yang pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya. Dia merasa makin menyesal, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus terang. Terus terang sama saja artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan satu-situnya hanyalah membunuh orang ini.

Dia menyerang lagi tanpa menjawab dan sekarang dia menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar ketika menyambar ke depan, dibarengi bentakannya yang nyaring.

Cin Liong menjadi marah. Dia pun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng sendiri. Maka tentu orang di depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang telah murtad, atau bukan murid Siauw-lim-pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat membongkar rahasia penyerangan ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh lawannya.

“Bressss....!”

Serangan Louw Kam disambut oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan kilat yang amat dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah. Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan main. Jika bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serangan pedangnya tadi dengan tendangan yang membuatnya terlempar?

Dia merasa sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang iganya yang patah. Akan tetapi, tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti akan mencelakakan namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian Lee bahwa dia sudah mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu keponakan pendekar itu, sungguh dia tak berani membayangkan apa yang akan menjadi akibatnya sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri pendekar sakti itu!

Satu-satunya jalan hanyalah melawan dan berusaha sedapat mungkin untuk membunuh pemuda ini. Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula, biar pun dengan terpincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran itu juga memegang teguh janji mereka dan biar pun mereka sudah terluka, melihat betapa Louw-kauwsu melawan terus, mereka pun mencoba untuk membantunya.

Diam-diam Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang ini, akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan membencinya? Tentu ada sebabnya, dan mungkin juga hanya suatu kesalah pahaman belaka.

Maka, ketika mereka menerjang lagi, dia pun cepat bergerak dan mendorong mereka sampai mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam tidak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri mengalami patah tulang pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak ada artinya.

Pemuda itu sungguh terlampau kuat untuk dilawan olehnya. Dan ia tahu bahwa pemuda itu agaknya hendak menangkapnya dan hendak memaksanya mengaku mengapa dia dan dua orang temannya melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw Kam menjadi bingung sekali.

Tetapi tiba-tiba dia memperoleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya dan juga menjatuhkan fitnah buruk terhadap pemuda yang kini menjadi penghalang kebahagiaan puteranya ini. Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak tidak jauh dari tempat dia roboh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali dia menusuk dan pedangnya menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah muncrat-muncrat dan mereka berkelojotan dalam sekarat.

“Heiiii!” Cin Liong berseru kaget melihat perbuatan laki-laki murid Siauw-lim-pai itu. Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tak mau membiarkan orang itu lari.

“Tunggu dulu, jangan lari!” bentaknya.

Dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul. Akan tetapi, tiba-tiba Louw Kam membalik dan menggunakan pedang di tangannya menggorok leher sendiri.

“Celaka....!” Cin Liong berteriak.

Cepat kakinya menendang lengan yang memegang pedang. Namun karena perbuatan guru silat itu sama sekali tidak pernah diduganya, meski tendangan itu tepat mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she Louw itu sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama kemudian!

Sejenak Cin Liong termenung, memandangi tiga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang jahat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia merobohkan lawan, tentu dia mengenal siapa lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya. Akan tetapi, tiga orang ini menyerangnya tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa mereka begitu nekat? Mengapa pemimpin mereka itu sampai tega membunuh kawan-kawan sendiri kemudian membunuh diri?

Hanya satu jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati dari pada menyerah dan tertangkap!

Cin Liong lalu pergi mengunjungi perwira yang menjadi komandan keamanan di kota Thian-cin. Ketika Cin Liong malam-malam datang ke rumah komandan ini dan kemudian memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut bukan main dan dengan gugup melakukan penyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong, panglima muda yang amat terkenal dan yang datang dengan pakaian preman itu.

Cin Liong menceritakan tentang penyerangan ketiga orang itu. “Harap ciangkun suka melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku mati-matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an.”

Coa-ciangkun, komandan itu, mengangguk-angguk. “Baik, Kao-goanswe, besok akan saya laporkan. Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaiknya tidak bermalam saja di rumah kami? Dari pada di rumah penginapan umum itu....”

Akan tetapi Cin Liong menggoyang tangan. “Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan melakukan perjalanan dengan diam-diam untuk dapat melakukan pengamatan dan penyelidikan dengan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiranku di kota ini.”

Walau pun kehadiran jenderal muda itu dirahasiakan sehingga tidak ada yang tahu, namun peristiwa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang dikenal sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran, telah tewas di tepi jalan tanpa diketahui siapa pembunuhnya!

Tentu saja Tek Ciang kemudian menjadi terkejut sekali dan pemuda ini menangisi jenazah ayahnya. Hanya dialah seorang yang tahu benar mengapa ayahnya tewas dan dia dapat menduga siapa pembunuh ayahnya itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membuka mulut mengatakan kepada siapa pun juga karena hal itu akan membuka rahasia ayahnya yang hendak membunuh Cin Liong dan juga membuka rahasia dirinya sendiri.

“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan kematian ayah kepada Kao Cin Liong itu, apa pun jalannya!” Begitulah dia berbisik dalam hati ketika dia menyembahyangi peti mati ayahnya.

Suma Hui yang mendengar berita itu pun terkejut sekali dan dara ini menyatakan duka citanya atas mala petaka yang menimpa diri ayah suheng-nya. Karena orang tuanya tak berada di rumah, ia pun mewakili mereka untuk datang melayat dan bersembahyang di depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tak tahu betapa selagi ia bersembahyang, sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh rasa dendam dan kemarahan yang ditahan-tahan.

Sementara itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa adanya mereka.

“Kami tidak dapat mengetahui mengapa mereka itu menyerang paduka,” demikian kata komandan Coa. “Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu adalah dua orang pembunuh bayaran dan siapa pun akan mereka serang dan bunuh asalkan mereka diberi uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari keterangan mengapa dia minta bantuan dua orang penjahat itu untuk menghadang dan menyerang paduka. Putera tunggalnya juga tidak tahu, apalagi karena sudah beberapa bulan ini putera tunggalnya tinggal bersama Suma-taihiap....”

“Suma-taihiap?” Cin Liong bertanya kaget. “Suma-taihiap siapa?”

“Pendekar Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap dan memang ada jalinan persahabatan antara Suma-taihap dan Louw-kauwsu.”

“Ahhhhh....!” Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah dia bergegas ke rumah Suma Hui.

Gadis itu menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu. “Cin Liong, telah terjadi mala petaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbunuh orang!”

Akan tetapi, bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang memandang dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang-tenang saja, bahkan menjawab, “Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sendiri.”

“Apa.... apa maksudmu....?”

Cin Liong menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk ke dalam rumah. “Mari kita bicara di dalam.”

Setelah mereka berada di dalam rumah, Cin Liong kemudian menceritakan semua pengalamannya malam tadi sesudah meninggalkan rumah kekasihnya.

“Aku berusaha untuk mengetahui sebab-sebab mengapa mereka menyerangku kalang kabut tanpa alasan, dan aku sudah berhati-hati agar tidak sampai membunuh mereka. Maka aku hanya merobohkan mereka dengan mematahkan tulang pundak saja. Siapa kira, orang itu membunuh kedua orang temannya dengan tusukan pedang, kemudian melarikan diri. Pada saat aku mengejarnya, tiba-tiba dia menggorok leher sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Komandan Coa yang kuperintahkan menyelidiki, juga tidak dapat menerangkan mengapa guru silat Louw itu mati-matian hendak membunuhku.”

Suma Hui merasa demikian kaget dan heran sehingga tak dapat berkata-kata sampai beberapa lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang. “Sungguh mati kejadian itu amat aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan bertanya kepada Louw-suheng pagi tadi, aku pun berada di sana melayat. Louw-suheng tidak dapat memberi keterangan apa-apa, karena dia pun sama sekali tidak tahu dan sudah empat bulan selalu berada di rumah ini.”

Cin Liong mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari kemarin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.

“Aku ingin dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimana pun juga, aku ingin mengetahui apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak kenal denganku itu demikian membenciku dan ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu ada sebab-sebab yang amat penting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak mungkin kalau puteranya tidak tahu.”

Suma Hui memandang khawatir. “Akan tetapi, suheng masih belum tahu bahwa yang menyebabkan kematian ayahnya adalah engkau! Apakah perlu hal itu diberi tahukan kepadanya?”

Cin Liong tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya. “Hui-moi, kenapa engkau? Bukankah itu sudah seharusnya? Seorang gagah tidak akan memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan akibat membunuh diri karena tidak mau kutangkap. Dan serangan-serangan itu pun dimulai dari pihaknya terhadap diriku tanpa alasan. Betapa pun pahitnya, Louw Tek Ciang harus berani menghadapi kenyataan ini, dan kalau dia menganggap aku sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam, dia bukan seorang berwatak gagah dan tidak patut menjadi suheng-mu!”

Suma Hui sadar dan ia pun mencengkeram tangan kekasihnya. “Engkau benar, Cin Liong, engkau benar dan memang seharusnya hal ini dibicarakan dengan terus terang kepadanya. Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku. Agaknya ayahku tidak akan keliru memilih sahabat.”

“Aku pun sudah mendengar pelaporan dari Coa-ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa sesungguhnya yang menjadi sebab hingga dia membenciku. Apakah dia telah tersesat menjadi kaki tangan pemberontak? Dan ada satu hal lagi yang sangat mengganggu pikiranku. Sebelum roboh dan sebelum membunuh diri, orang itu pernah memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak gadis orang!”

“Ehhh....?” Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti.

Kekasihnya dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang? Sungguh aneh, lucu dan membuat orang menjadi penasaran! Kekasihnya ialah seorang jenderal muda, seorang panglima muda yang terhormat, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi dan gagah perkasa!

“Itulah sebabnya yang mendorongku untuk bicara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat membantu memecahkan persoalan yang membingungkan ini.”

Terpaksa Cin Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan dia pun memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi. Setelah acara penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhu-nya dengan pakaian berkabung, Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek Ciang masih pucat ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.

“Louw-suheng, Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai ayahmu,” Suma Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.

Tek Ciang mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong, kemudian menoleh kepada Suma Hui. “Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku telah meninggal....,” suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.

“Louw-susiok,” kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati Suma Kian Lee, walau pun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu. “Apakah engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?”

Louw Tek Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam. “Dia dibunuh penjahat, apa lagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!” Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi beringas.

Tentu saja hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang tidak enak ini.

“Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya.”

Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Karena akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”

Wajah itu semakin pucat dan matanya makin terbelalak. “Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!” Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.

“Suheng, tenang dan duduklah lagi!”

Tek Ciang menoleh kepada sumoi-nya, kemudian menjatuhkan diri duduk kembali dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.

“Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang semalam diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula.”

“Aku sudah mendengar akan kematian ayah!” Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata. “Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”

“Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong.”

Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoi-nya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran, “Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri.”

“Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang lagi, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka. Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri. Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga-duga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?”

Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itu pun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biar pun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela!

Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati?

Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”

Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya yang baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!

Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir. “Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu sama sekali tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak kaum wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”

“Ahhh....! Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya. “Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?”

“Suheng, jangan menuduh sembarangan!” Tiba-tiba Suma Hui membentak suheng-nya dengan muka merah karena marah.

Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum “Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka.”

“Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan dia pun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?”

Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan dan kemudian terbuka rahasianya.

“Ahhh....!” keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa, akan tetapi agaknya ayah menyangka engkaulah penjahat itu.”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang tersisa. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran di sini dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.

“Atau kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.

“Tidak ada lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.

“Bagaimana pun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!” teriak Tek Ciang. “Aku tak akan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”

Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya.

Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui! Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka dia pun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!

Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil.

Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila! Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya?

Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang masih mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.....

“Siapakah engkau....?” Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.

Laki-laki yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang lalu tersenyum. “Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah aku, lalu engkau mau apa?”

Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku bahwa dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat!

Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah Cin Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.

“Hemm, setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu yang hanya pura-pura saja?”

“Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga mulutmu!” Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan penjahat palsu.

Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga menjadi marah. “Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku, keparat!”

Pemuda ini lalu menerjang ke depan dan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya, menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.

Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan, dan akibatnya tubuh Tek Ciang terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak!

Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat. Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.

“Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan aku pun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”

Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!

“Siapakah engkau....?” Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.

“Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”

Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri.

Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan dia pun tidak mau berhenti sampai di situ saja. Diam-diam dia lalu melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian dia pun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya.

Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang sangat baik di dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan seluruh dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong.

Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu dia memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.

Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biar pun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.

“Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya hati-hati, “tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”

“Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak pernah dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkau pun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!” Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinya pun menggelinding keluar.

Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.

Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, ia pun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon, “Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku....”

Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, dia pun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walau pun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.

“Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok. “Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”

Tek Ciang menggeleng kepala. “Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe.”

“Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang sekarang mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu.

Pakaiannya masih utuh akan tetap kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang. Gadis ini merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya.

Tadi dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali. Berkali-kali dia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.

Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja dia pun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, lalu mempermainkan wanita itu serta menghinanya. Sesaat timbul nafsu birahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan.

Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini segera akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya!

Tek Ciang menggeleng kepala. “Tidak, locianpwe. Aku.... aku tak ingin....”

Siauw-ok menyeringai. “Siapa bilang tak ingin? Nafsu birahimu telah membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”

Setelah berkata demikian, Siauw-ok lalu mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.

“Manis, ke sinilah engkau!”

Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah dia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.

“Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut....,” berkata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.

Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.

“Ahh, jangan lari, manis!” Siauw-ok berkata, suaranya masih halus. Tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.

“Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!” Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu kini terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.

“Uhhh....!” Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya.

Terdengar suara kain robek berkali-kali yang disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, lalu dia pun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia lalu duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu.

Mendengar rintihan yang memelas itu dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu saja dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh terisi dendam dan kebencian!

Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan orang lain.

Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa mala petaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak. Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan haru ini sudah tidak peka lagi?

Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara.

Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita. Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, justru mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini?

Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, ketika kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah semuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan ‘si aku’ yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan mau pun kesukaan orang lain
.

Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.

“Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!”

Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan dia pun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.

Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perubahan, hanya mukanya menjadi agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yaug pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam. Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi memperdulikan gadis itu.

“Nah, sekarang kita bicara mengenai urusan kita,” kata Siauw-ok, juga sikapnya sama sekali tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.

“Locianpwe telah tahu mengapa aku mendendam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku belum tahu mengapa locianpwe juga memusuhinya.” Tek Ciang memulai. Untuk bekerja sama dengan seseorang, dia harus tahu terlebih dulu dasar yang mendorong orang itu untuk bekerja sama.

“Kao Cin Liong adalah seorang panglima muda yang telah banyak menghancurkan dan membunuh golongan kita, bahkan subo-ku dan semua supek dan susiok-ku juga tewas di tangan dia dan kawan-kawannya.”

“Lalu apa maksud locianpwe untuk mengajakku bekerja sama? Aku bukan tandingan Kao Cin Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, mengapa mengajak kerja sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?”

“Kita dapat saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah mengenalmu, mengetahui segala hal mengenai dirimu dan rahasia ayahmu. Karena itu, engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku. Beberapa patah kata saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau akan dapat terus menjadi murid Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya.”

Diam-diam Tek Ciang terkejut. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang licik, curang dan kejam sekali, juga amat lihai. “Locianpwe, sebelum kita berunding, aku ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan kerja sama kita ini.”

Siauw-ok tertawa. “Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik dari pada ayahmu yang tolol itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong.”

“Harap locianpwe tidak membawa-bawa ayahku yang sudah meninggal, dan katakan keuntungan apa yang dapat kuperoleh.”

“Keuntungannya? Wah, banyak sekali bagimu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid Suma Kian Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan dapat membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara, terputus hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi oleh keluarga Suma. Ha-ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan menjadi musuh yang saling menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku ini!”

Tentu saja hati Tek Ciang tertarik sekali. Begitu banyak hal-hal yang menguntungkan baginya. Akan tetapi dia masih menawar, “Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat mampus di depan kakiku?”

“Oho-ho-ho-ho, bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat sekali dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan ilmu-ilmunya yang hebat. Aku sendiri pun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Jika ia tidak sampai terbunuh oleh siasatku ini, kelak engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri. Bukankah engkau menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es? Nah, kelak masih banyak kesempatan bagimu kalau hendak membunuhnya dengan tangan sendiri. Tetapi, mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam permusuhan dengan keluarga Suma dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu.”

“Baik, locianpwe, aku setuju untuk bekerja sama. Nah, apa yang sekarang harus aku lakukan?”

“Mendekatlah dan dengar baik-baik....,” kata Siauw-ok.

Tek Ciang mendekat dan datuk sesat itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat terdengar oleh mereka yang berada di dalam ruangan itu. Sampai lama mereka berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah selesai bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mereka berjalan ke arah pintu depan.

Tiba-tiba Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah terlentang. Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan dan mukanya miring, matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan lehernya.

“Bagaimana dengan perempuan itu? Ia mungkin mendengar semua percakapan kita,” kata Tek Ciang.

“Dibiarkanpun ia akan mati, tapi lebih aman begini!”

Tiba-tiba Siauw-ok menggerakkan lengannya berputar. Ketika dia melakukan gerakan memukul dengan jari terbuka ke arah gadis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan tubuhnya terkulai. Di dadanya, di antara buah dadanya, nampak guratan merah yang mengeluarkan darah seolah-olah dada itu baru saja ditusuk pedang. Itulah Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga kekasihnya.

Melihat ini, Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh dengan pukulan sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan luka seperti ditusuk pedang, baru kali ini dilihatnya, bahkan belum pernah didengarnya.

“Engkau sungguh hebat, locianpwe.”

“Ha-ha, kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan berkeberatan kelak mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang bawalah tubuh itu berikut semua pakaiannya. Kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang akan menjadi tempat pertemuan kita.”

Tek Ciang menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua robekan pakaiannya, kemudian mengikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat sunyi, jauh dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pakaiannya ke dalam sebuah jurang yang amat dalam sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat itu akan ditemukan orang. Kemudian mereka berdua berpisah dan mengambil jalan masing-masing tanpa banyak cakap lagi karena semua rencana siasat mereka telah mereka bicarakan sampai jelas sekali malam tadi.....

********************

Dendam merupakan racun bagi batin yang amat berbahaya. Dendam bisa menciptakan perbuatan-perbuatan yang amat keji dan kejam, amat kotor dan hina. Dendam membuat kita mau melakukan apa saja, betapa pun kotornya, untuk melampiaskan dendam itu. Dendam menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam adalah kebencian dan penyakit batin ini sudah umum diderita oleh kita semua.

Kalau perasaan benci dan dendam mulai menyerang batin kita dan kita lalu bersikap waspada, mengamati perasaan kita sendiri, maka segera akan nampaklah dengan jelas rangkaian-rangkaiannya, sebab-sebabnya dan timbulnya benci. Mula-mula kebencian timbul kalau si aku merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang dan dikecewakan, pendeknya yang membuat si aku merasa rugi, baik lahir mau pun batin. Dari perasaan tidak senang inilah timbulnya kebencian.

Kalau hanya sampai di situ, kalau kita lalu mengamati dengan penuh kewaspadaan, mengamati dengan batin kosong tanpa menilai, maka kebencian akan berakhir pula sampai di situ. Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu bekerja dengan sibuknya, menilai perasaan benci ini, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan.

Sebagian pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik, sebagian pikiran pula membela perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya, yaitu karena dirugikan. Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik dan tarik-menarik dari penilaian itu, dan konflik ini bahkan menambah pupuk bagi kebencian itu sendiri. Yang benci adalah aku, kebencian adalah aku, yang menilai, mencela dan membela adalah aku pula, yakni kesibukan pikiran sendiri. Dengan demikian, kebencian takkan mungkin lenyap.

Bisa saja kebencian dikendalikan dan ditekan dan NAMPAKNYA saja lenyap, namun sesungguhnya hanya merupakan penundaan sementara saja. Api kebencian itu masih membara, seperti api dalam sekam, nampaknya saja padam namun di sebelah dalam membara dan sewaktu-waktu pasti akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakar!

Pupuk yang membuat suburnya kebencian itulah yang harus lenyap dari batin kita. Penilaian, pengendalian, celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya mengamati saja kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa menilai, bukan AKU yang mengamati karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran belaka yang menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya.

Yang ada hanyalah pengamatan penuh kewaspadaan saja, perhatian yang menyeluruh terhadap kebencian yang mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu, kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api yang kehabisan bahan bakarnya.

Benci pribadi, atau kebencian yang timbul karena demi keluarga, demi golongan, demi bangsa, semua itu pada hakekatnya sama saja. Yang menjadi peran utama adalah si aku yang dapat saja diperluas menjadi keluargaku, golonganku, bangsaku, agamaku dan selanjutnya
.

Louw Tek Ciang pulang ke rumah suhu-nya dengan dendam yang sudah digodok matang dengan rencana siasat keji yang diatur oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng!

Dua hari kemudian, pada suatu sore, seperti biasa Cin Liong datang mengunjungi kekasihnya, disambut dengan gembira oleh Suma Hui. Mereka lalu duduk di ruangan tamu dan pada sore hari itu, seperti sudah dijanjikan, Cin Liong harus makan malam di situ karena sudah dipersiapkan oleh kekasihnya. Dan baru pada waktu makan itulah, setelah lewat beberapa hari, Cin Liong berkesempatan jumpa dengan Tek Ciang. Dia memandang tajam dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah berubah. Tidak muram atau pucat lagi, bahkan hormat dan ramah kepadanya.

“Kao-taihiap, aku minta maaf atas segala kesalahanku....”

“Ahh, Louw-susiok mengapa menyebutku taihiap segala?”

“Suheng, engkau kenapa sih? Kenapa menyebut taihiap kepada Cin Liong?” Suma Hui juga menegur sambil tersenyum, merasa geli oleh sikap baru ini.

Tek Ciang menarik napas panjang. “Ahh, aku ingin menampar pipi sendiri kalau berani menyebut nama begitu saja.”

“Ih, kenapa begitu, suheng? Cin Liong ini memang masih terhitung keponakanku, maka sudah sepatutnya dia menyebutmu susiok dan engkau menyebut namanya begitu saja. Bukankah yang sudah-sudah engkau pun menyebut namanya saja?”

“Karena aku belum mengenal siapa dia! Kalau dia seorang biasa yang lemah seperti aku masih mending. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal, dan jauh lebih tua dariku. Kalau aku menyebut namanya begitu saja tentu aku akan menjadi buah tertawaan orang. Tidak, aku harus menyebut taihiap atau aku tidak akan berani menyebut sama sekali.”

Cin Liong tersenyum, di dalam hatinya dia membenarkan Suma Hui yang menceritakan kepadanya bahwa pemuda itu selalu ramah dan hormat. “Baiklah, Louw-susiok, sesukamulah. Apa artinya dalam sebuah sebutan? Akan tetapi, mengapa engkau minta maaf?”

“Karena aku telah bersikap kasar selama ini terhadap taihiap, juga menyangka yang bukan-bukan berhubung dengan kematian ayah, dan juga.... ketika pertama kali taihiap datang, aku.... aku telah membayangimu sampai ke rumah penginapan, maklumlah, aku.... aku ketika itu menaruh curiga kepadamu.”

Cin Liong tertawa. “Aku sudah tahu akan hal itu dan tak perlu dirisaukan, susiok. Eh, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang jai-hwa-cat itu?”

Tek Ciang menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Agaknya aku masih terlalu bodoh, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat menemukan jejaknya, walau pun beberapa kali aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali di wuwungan rumah-rumah. Bahkan aku mendengar pula berita akan hilang terculiknya seorang gadis dari keluarga Ciong di ujung barat kota. Aku yakin bahwa ayah benar, yakni bahwa ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini.”

Cin Liong mengangguk. “Aku pun sudah mendengar berita itu dari komandan kota. Karena kebetulan aku sendiri sedang berada di kota ini, biarlah aku akan melakukan penyelidikan malam ini.”

“Aku juga akan melakukan penyelidikan sedapatku, taihiap. Pendeknya, aku takkan berhenti menyelidiki sebelum penjahat itu tertangkap atau terbunuh!” Tek Ciang berkata penuh semangat.

Setelah makan selesai, Tek Ciang yang ‘tahu diri’ lalu mundur dan memasuki kamarnya sendiri, membiarkan sepasang kekasih itu asyik berdua saja di kamar tamu.

Dan memanglah, setiap kali mereka bertemu berdua saja, Cin Liong dan Suma Hui tentu menumpahkan rindu dan sayangnya melalui suasana yang akrab dan santai, romantis dan mesra. Mereka asyik bercakap-cakap, bersendau-gurau, kadang-kadang berangkulan dan berciuman.

“Hui-moi, kalau ayah bundaku sudah melamar, dan kalau orang tuamu setuju, aku ingin kita tidak lama-lama menunda pernikahan. Aku ingin segera menikah denganmu, tinggal di kota raja dan aku akan mengajukan permohonan kepada sri baginda kaisar agar ditugaskan di kota raja saja, agar tidak banyak berkeliaran meninggalkan rumah seperti sekarang. Dengan demikian, kita akan dapat setiap hari berjumpa dan berkumpul.”

“Ihh, kenapa tergesa-gesa amat menikah?” Suma Hui menggoda sambil tersenyum dan kedua pipinya merah.

Cin Liong mencubit dagunya. “Masa tidak mengerti? Aku… aku sudah ingin.... eh, selalu di sampingmu, Hui-moi.”

Sejenak mereka bermesraan. Tiba-tiba Suma Hui menarik napas panjang. “Bagaimana andai kata.... ayahku tidak setuju?”

Cin Liong mengerutkan alisnya. “Kalau begitu.... tinggal terserah kepadamu. Tentu saja aku tidak berani menentang orang tuamu, Hui-moi, akan tetapi demi engkau, apa pun juga akan kulakukan, kalau perlu menghadapi orang tuamu.”

“Kalau aku.... jika ayah melarang dan menentang, aku akan pergi meninggalkan rumah ini, aku akan pergi bersamamu.... maukah engkau, Cin Liong?”

“Tentu saja! Dan aku akan melindungimu, membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mudah-mudahan tidak sampai sejauh itu, Hui-moi, aku percaya akan kebijaksanaan ayahmu sebagai seorang pendekar sakti yang berpandangan luas.”

Demikianlah, mereka bercakap-cakap, kadang-kadang gembira, kadang-kadang gelisah kalau membayangkan halangan besar yang mungkin timbul dalam hubungan mereka karena penentangan ayah gadis itu. Lalu pemuda itu menyatakan bahwa sebaiknya jika dia pergi dulu ke kota raja, selain untuk urusan tugas, juga untuk menanti datangnya ayah bundanya.

Suma Hui terkejut mendengar kekasihnya akan pergi. “Apakah engkau tidak dapat menanti sampai pulangnya ayah dan ibu?” Gadis ini membayangkan betapa hidup akan terasa sunyi dan tidak menyenangkan kalau kekasihnya ini pergi dari Thian-cin.

“Agaknya tidak baik kalau di waktu orang tuamu tidak ada di rumah, aku setiap hari datang mengunjungimu, Hui-moi. Apa akan kata orang nanti? Pula, orang tuaku sudah berjanji bahwa kalau mereka pergi ke Thian-cin, mereka akan singgah dulu di kota raja.”

Biar pun hatinya terasa berat, namun Suma Hui tidak dapat membantah kekasihnya. Ia hanya bertanya muram, “Kapan engkau akan pergi?”

“Sebaiknya besok atau lusa, Hui-moi. Sudah agak lama aku berada di sini.”

Malam itu, ketika Cin Liong hendak meninggalkan Suma Hui, gadis itu merangkulnya dan suaranya penuh kesedihan pada saat ia berkata, “Cin Liong, jangan terlalu lama meninggalkan aku.... aku akan merasa kesepian dan tidak betah di rumah ini....”

Cin Liong merangkul dan menciumnya. Karena mereka berdua maklum bahwa besok mereka akan berpisah, maka rangkulan dan ciuman mereka lebih hangat dan mesra dari pada biasanya. Cin Liong yang merasa betapa gairah birahi menyerangnya, cepat mendorong tuhuh Suma Hui dengan halus sambil berkata dan tersenyum.

“Ahhh, Hui-moi. Kenapa engkau bersedih? Kita berpisah hanya untuk beberapa bulan saja. Bagaimana pun juga, engkau adalah calon isteriku, apa pun yang akan terjadi, bukan? Engkau adalah punyaku....” Mereka berdekapan lagi.

“Aku punyamu dan engkau milikku, Cin Liong.... hanya kematian yang akan mampu memisahkan kita....”

“Aku cinta padamu, Hui-moi.... aku cinta padamu....”

Dengan kata-kata yang diucapkan suara tergetar ini masih terngiang di telinganya, Suma Hui mengantar kekasihnya yang meninggalkan rumahnya itu. Cin Liong juga merasa berat sekali meninggalkan Suma Hui, walau pun besok sebelum berangkat dia tentu akan singgah untuk berpamit dulu.

Dia tidak langsung ke rumah penginapan karena teringat akan cerita yang didengarnya tentang gadis yang lenyap diculik penjahat. Kalau memang benar ada jai-hwa-cat berkeliaran di kota ini, sebelum dia pergi, dia harus dapat menangkapnya lebih dulu. Adanya seorang penjahat cabul di Thian-cin sama dengan memandang rendah kepada keluarga Suma! Maka dia pun mulai melakukan penyelidikan pada malam hari itu.....

********************

Malam itu Suma Hui tidak dapat tidur, gelisah saja di atas pembaringannya. Ia sudah memerintahkan pelayan rumah untuk menutup semua pintu dan jendela rumah setelah kekasihnya pergi, dan setelah membersihkan diri, ia pun memasuki kamarnya. Ia tahu bahwa suheng-nya tidak ada, seperti katanya tadi ketika makan bersama, suheng-nya itu akan melanjutkan usahanya mencari jejak jai-hwa-cat. Juga kekasihnya akan ikut membantu dalam pengusutan dan pencarian jejak penjahat itu. Akan tetapi ia sendiri tidak perduli. Hati dan pikirannya sudah penuh dengan masalahnya sendiri, penuh dengan kekhawatiran bahwa ayahnya akan menentang perjodohannya.

Akhirnya pikiran yang sibuk itu membuatnya lelah dan mulailah dara itu terlelap. Lapat-lapat ia seperti mendengar suara suheng-nya perlahan-lahan bicara dengan pelayan di belakang. Suheng-nya sudah pulang agaknya, demikian pikirannya yang terakhir. Lalu ia mencium bau harum yang aneh. Sejenak ia terlena dan bau harum itu membuat ia sadar dan curiga akan bau harum ini. Cepat ia membuka mata dan bangkit. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa kepalanya pening begitu ia membuka mata dan bangkit. Pada saat itu, sesosok bayangan yang amat ringan gerakannya meloncat masuk kamar melalui jendela yang dipaksanya terbuka dari luar.

Biar pun kepalanya pening, akan tetapi kewaspadaan seorang pendekar silat masih ada pada Suma Hui, membuat dara ini cepat membalikkan tubuh dan siap menghadapi lawan. Akan tetapi orang itu ternyata lihai bukan main, sekali mengulur tangannya dia telah mengirim totokan-totokan secara beruntun.

Suma Hui mencoba untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena totokan, disusul totokan pada lehernya yang membuat ia tiba-tiba menjadi lemas dan tak dapat mengeluarkan suara. Dalam keadaan lemas dan setengah terbius, juga dalam cuaca dalam kamar yang remang-remang, ia tidak mengenal orang ini, hanya melihat bentuk tubuh seorang pria yang bertubuh sedang dan tegap.

“Cin.... Cin Liong....” Hatinya berbisik karena dia tidak mampu bersuara setelah urat gagunya tertotok.

Karena ia kini direbahkan dengan muka menghadap ke dinding dalam keadaan miring, ia tidak melihat apa yang dilakukan oleh orang yang menotoknya itu. Hatinya penuh dengan keheranan dan juga kemarahan. Orang itu bentuk tubuhnya seperti Cin Liong dan melihat kelihaiannya, agaknya pantaslah kalau ia menduga orang itu kekasihnya.

Akan tetapi, mungkinkah Cin Liong melakukan hal aneh ini? Ia tidak tahu bahwa orang itu berkelebat keluar dari lubang jendela. Waktu rasanya berjalan amat lambat bagi Suma Hui yang tidak mampu bergerak itu. Bau harum masih memasuki hidungnya dan kepalanya terasa semakin berat dan mengantuk, tubuhnya tak dapat digerakkan dalam keadaan lemas seperti orang tidur dan dia pun tidak mampu membuka mulut. Asap harum yang mengandung obat bius itu semakin menguasainya, membuat pandang matanya semakin suram.

Tiba-tiba ia menjadi kaget setengah mati ketika merasa betapa sepasang lengan memeluknya. Ia berusaha membuka mata melihat, akan tetapi cuaca terlalu gelap dan pandang matanya juga sudah kabur. Ia hanya merasa ada orang yang memeluknya ketat, lalu ada orang yang menciumi mukanya, menciumi bibirnya. Ia hanya mendengar desahnya napas memburu, lalu mendengar bisikan-bisikan lembut.

“Hui-moi.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu....”

Cin Liong! Demikian hatinya berteriak. Akan tetapi ia merasa betapa pikirannya pusing. Dunia bagaikan berputar dan kiamat rasanya ketika ia merasa betapa jari-jari tangan meraba dan membelainya, membuka pakaiannya.

“Tidak....! Tidak....! Jangaaaannn....!” Hatinya menjerit-jerit akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Ingin ia menjerit, ingin ia meronta dan mengamuk, ingin ia menangis. Akan tetapi hanya air matanya saja yang menetes-netes dalam tangis tanpa suara.

“Hui-moi.... engkau calon isteriku....” demikian suara itu berbisik-bisik.

Selanjutnya Suma Hui bergidik ngeri merasakan apa yang akan menimpa dirinya dan pada saat terakhir, ia pun tidak ingat apa-apa lagi, tak sadarkan diri karena tidak dapat menahan guncangan batin yang terjadi melihat kenyataan bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang dicintanya tanpa mampu mencegah, melawan atau bahkan berteriak.

Ketika ia siuman kembali, Suma Hui masih belum mampu menggerakkan tubuhnya. Hancur luluh rasa hatinya, dunianya seperti kiamat. Ia dapat merasakan apa yang telah menimpa dirinya, mala petaka terbesar bagi seorang wanita, terutama bagi seorang gadis. Aib telah menimpa dirinya, aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa, dicuci dengan darah.

Yang membuat ia merasa semakin sedih adalah kenyataan bahwa yang melakukan hal itu adalah Cin Liong, pria yang dikasihinya, yang dicintanya, calon suaminya, calon ayah dari anak-analnya! Cin Liong telah memperkosanya! Padahal, tanpa diperkosa sekali pun, kalau waktunya telah tiba, ia akan menyerahkan segala-galanya kepada pemuda itu. Akan tetapi, Cin Liong telah merusaknya, menghancurkan kebahagiaannya dengan perbuatannya yang keji dan hina!

“Ya Tuhan....!” Dalam hatinya Suma Hui mengeluh dan merintih.

Ia teringat kepada ayah ibunya dan kembali air matanya bercucuran. Gadis ini biasanya keras hati dan tidak mudah baginya mengucurkan air mata, akan tetapi sekali ini, dirinya telah tertimpa mala petaka yang sangat hebat, yang lebih berat dari pada kematian sendiri. Ia lalu teringat bahwa dalam keadaan tertotok, ia harus dapat menenteramkan batinnya agar dapat membuka jalan darah melalui kekuatan Swat-im Sinkang.

Dengan segala kekuatan dan kemauan yang ada, ia pun lalu memejamkan matanya, mengheningkan cipta. Perlahan-lahan, setelah dapat melupakan segala peristiwa yang menimpanya, dia mulai merasakan adanya gerakan hawa dalam tian-tan di pusarnya. Ia membiarkan hawa itu bergerak perlahan, makin lama makin cepat dan makin terasa kekuatannya. Dengan kemauannya yang membaja, akhirnya dia dapat menggerakkan hawa itu naik, membuka jalan darah yang masih dipengaruhi totokan.

Dapat juga ia membebaskan diri dari totokan sebelum waktunya. Akan tetapi, karena pengaruh obat bius masih membuat kepalanya pening, ia pun dengan hati-hati bangkit berdiri, turun dari pembaringan dan bersila di atas lantai dekat jendela yang dibukanya. Dia lalu menghadap keluar dan membersihkan diri melalui pernapasan, mengumpulkan hawa pagi yang murni.

Malam telah hampir terganti pagi ketika akhirnya ia sadar sama sekali dan bebas dari pengaruh obat bius. Mulailah dia meneliti keadaan dirinya dan ia mengepal tinju dengan kemarahan memuncak pada saat melihat betapa sebagian pakaiannya bernoda darah.

Tanpa melihat tanda ini pun ia sudah tahu apa yang menimpa dirinya, yaitu bahwa ia telah diperkosa orang, atau lebih tepat lagi, diperkosa Cin Liong ketika ia tidak sadar. Dengan menahan tangis ia lalu berganti pakaian, akan tetapi makin lama, kemarahan makin memuncak dan menusuk-nusuk hatinya seperti jarum beracun. Makin panaslah ia dan tanpa disadarinya ia lalu mengamuk! Meja kursi dipukuli dan ditendanginya, kasur dirobek dan diawut-awut dan mulutnya memaki-maki.

“Jahanam! Keparat bedebah kau! Manusia laknat, aku bersumpah untuk membunuhmu, memusuhimu sampai tujuh turunan!”

Terdengar suara hiruk-pikuk yang mengejutkan dari dalam kamarnya, membuat pelayan dan Tek Ciang datang berlari-larian.

“Brakkkk!”

Kini daun pintu kamar itu pecah tertendang oleh Suma Hui, hampir saja menimpa Tek Ciang dan si pelayan yang sudah tiba di luar pintu. Untung Tek Ciang bergerak cepat, menarik tangan si pelayan kemudian meloncat ke belakang ketika daun pintu ambrol. Keduanya berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Suma Hui yang muncul dengan rambut awut-awutan, pakaian kusut dan mata beringas.

“Nona....!” Pelayan itu menjerit kaget.

“Sumoi....! Ada apakah, sumoi? Apakah yang telah terjadi....?” Louw Tek Ciang juga menegur sambil melangkah maju. “Ingatlah, sumoi, ingatlah. Apakah yang telah terjadi denganmu, sumoi....?”

Suma Hui yang seperti kesetanan itu, tiba-tiba terbelalak memandang Tek Ciang dan pelayannya. Mendengar suara Tek Ciang yang halus dan penuh perhatian itu, tiba-tiba saja ia memperoleh pelepasan dan gadis itu tidak dapat menahan lagi tangisnya.

“Suheng.... ahhh, suheng.... hu-huuu-huuuhhh....” Ia terhuyung dan Tek Ciang cepat memegang pundaknya.

Karena Tek Ciang merupakan satu-satunya orang yang dekat dengannya, Suma Hui kemudian menangis mengguguk dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan pemuda itu, menangis sambil menyandarkan muka di dada Tek Ciang. Pemuda ini mengelus kepala Suma Hui sambil menghiburnya dengan kata-kata yang tenang dan ramah.

“Sumoi, segala hal dapat diurus dengan baik. Tiada masalah yang tidak dapat diatasi dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Sumoi, apakah yang telah terjadi....”

Akan tetapi, Suma Hui makin mengguguk dalam tangisnya sehingga Tek Ciang hanya membiarkannya saja, malah berkata dengan halus, “Menangislah, sumoi. Menangislah sepuasmu kalau tangis dapat meringankan hatimu, sumoi....”

Dan memang hanya tangis saja yang dapat meringankan hati yang sedang sesak oleh kedukaan bercampur kemarahan. Setelah menangis terisak-isak dan menumpahkan banyak air mata, Suma Hui dapat menguasai dirinya lagi. Tentu saja dia tidak mau menceritakan mala petaka apa yang menimpa dirinya. Ia melepaskan diri dari pelukan Tek Ciang, memandang kepada suheng-nya itu dengan berterima kasih.

“Maafkan kelemahanku, suheng....”

“Sumoi, engkau sungguh membuat aku terkejut dan khawatir sekali. Apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau mengamuk?” Dia memandang ke dalam kamar yang kalang kabut itu.

“Nampaknya seperti ada perkelahian di dalam kamarmu. Engkau berkelahi dengan siapakah?”

Suma Hui menggelengkan kepalanya. “Aku sendiri tidak tahu dia siapa. Tapi, suheng, apakah semalam engkau tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat orang memasuki rumah kita?”

Tek Ciang menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut. “Aku baru pulang menjelang pagi, bahkan belum dapat tidur saat tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari kamarmu. Semalam aku keliling kota melakukan penyelidikan dan kebetulan sekali aku melihat perkelahian yang amat hebat antara Kao-taihiap dan seorang yang tidak kukenal....”

Seketika perhatian Suma Hui tertarik. “Dia....? Dia.... berkelahi? Di mana dan siapa lawannya? Bagaimana....?” Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dengan gagap.

“Aku sedang melakukan penyelidikan ke lorong-lorong gelap pada waktu aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang meloncat ke atas genteng. Aku terkejut sekali dan menyelinap ke tempat gelap sambil mengintai. Tiba-tiba aku melihat Kao-taihiap juga meloncat ke atas sambil membentak. Mereka lalu berkelahi di atas genteng, bahkan lalu keduanya meloncat turun dan melanjutkan perkelahian di atas tanah. Orang itu lihai sekali dan agaknya menjadi tandingan yang seimbang dari Kao-taihiap. Keduanya berkelahi tanpa menggunakan senjata. Entah berapa lama dan siapa yang unggul aku tidak dapat mengikuti saking cepatnya mereka bergerak. Akan tetapi akhirnya, lawan Kao-taihiap melarikan diri dikejar oleh Kao-taihiap. Aku berusaha mengejar pula dan mencari-cari, akan tetapi mereka lari terlampau cepat dan aku kehilangan jejak mereka. Aku terus mencari sampai hampir pagi tanpa hasil, kemudian aku pulang.”

Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati tertarik. Siapakah yang berkelahi melawan Cin Liong? Dan apakah sesudah berkelahi itu Cin Liong kemudian memasuki kamarnya?

“Apakah engkau tidak melihat bagaimana wajah lawannya itu, suheng? Bagaimana pula bentuk tubuhnya?”

“Keadaannya amat gelap, sukar mengenal wajahnya. Akan tetapi pakaiannya mewah dan agaknya dia setengah tua, tubuhnya sedang....”

“Ahhh, tentu dia Jai-hwa Siauw-ok!” Suma Hui berseru.

“Mungkin, karena ketika mengejar, Kao-taihiap juga berseru begini : Jai-hwa-cat, jangan lari!”

Suma Hui termenung. “Mengasolah, suheng. Aku pun hendak istirahat....”

“Tapi, sumoi.... apa yang terjadi di sini? Engkau belum menceritakan kepadaku.”

Suma Hui menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa. Ada yang memasuki kamarku. Kami berkelahi, namun dia keburu pergi tanpa aku dapat mengenalinya. Sudahlah, suheng, aku lelah dan hendak istirahat.” Suma Hui memasuki kamarnya dan mengangkat pintu yang jebol itu, menutupkannya begitu saja.

Sejenak Tek Ciang bengong di depan pintu, lalu mengangkat pundak dan memberi isyarat kepada pelayan yang juga ikut bengong itu untuk pergi dan membiarkan nona itu beristirahat dalam kamarnya yang awut-awutan.....


Suma Hui memandang ke sekeliling kamarnya. Meja dan kursi hancur berantakan oleh amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi dia tak perduli. Dia menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya telah robek-robek itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi.

Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Dia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimana pun juga, ia tak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadapnya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ahhh, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti dia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan mala petaka yang begini hebat atas dirinya?

Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya. Kelihaian pemerkosa itu pun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya. Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tetapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu birah? Tak mungkin!

Saat mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, ia pun dapat merasakan gairah birahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri. Cin Liong bukanlah seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah....?

Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia cepat bangkit duduk, mengepal tinju. Apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?

“Tidak!” Ia mendesis. “Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!”

Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tak disadari kalau ia sedang marah.

“Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!”

Dan ia pun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!

“Sumoi....!”

Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui. Pemuda itu memandang penuh gelisah ke arah punggung sumoi-nya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoi-nya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.

“Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau apakah engkau....?”

Suma Hui mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin, “Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorang pun boleh mencampuri.” Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.

“Hui-moi....!”

Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong. Dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.

“Singgggg....!” Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.

“Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!” bentaknya.

Dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui langsung menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.

“Heiiiiii....!” Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu. Saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak.

“Crottttt....!”

Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadi dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!

“Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku....”

“Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah serta ditebus dengan nyawamu, manusia hina dina!”

Kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya makin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.

“Eh, Hui-moi, nanti dulu....!” Cin Liong menjadi bingung sekali.

“Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!”

Suma Hui menyerang bertubi-tubi. Sepasang pedangnya menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuhnya ke belakang, kemudian bergulingan dengan cepat.

“Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!” teriaknya penasaran. “Apa salahku?” Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.

Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main.

Biar pun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja sangat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang sudah robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.

“Hui-moi, kita bicara dulu....!”

“Engkau atau aku yang harus mampus!” bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.

“Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!” Berkali-kali Tek Ciang juga turut menasehati sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.

“Sing-singgg.... wuuutttt....!”

Segumpal rambut kuncir dari kepala Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara.

Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara. Namun dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.

“Ahhh, Hui-moi.... Hui-moi....,” keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.

“Jahanam jangan lari!” Suma Hui membentak, akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.

“Sumoi, jangan kejar....!” Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.

Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suheng-nya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok.

Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.

“Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, dan kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu.”

Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu.

Setelah sampai di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya, “Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan tiba-tiba hendak membunuh Kao-taihiap?”

Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suheng-nya, kemudian berkata, “Louw-suheng, aku harap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapa pun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!” Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.

Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang mau pun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali, akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja sebab gadis itu sama sekali tak pernah mau menemaninya latihan lagi.

Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui segera merangkulnya sambil menangis.

“Bun-te.... ahhh, Bun-te, syukur engkau selamat....!” katanya sambil merangkul Ciang Bun yang juga merasa terharu.

Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.

“Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?”

“Engkau kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.

“Dan mukamu agak pucat,” sambung ibunya.

Dihujani pertanyaan oleh ayah, ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang, “Tidak apa-apa, ahhh, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu.”

Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee memandang girang.

“Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sute-mu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu.”

“Ehh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?” tiba-tiba Hwee Li yang waspada itu bertanya.

Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-tiba membasahi kedua matanya. “Suhu, subo, teecu dilanda mala petaka besar dan mohon petunjuk suhu berdua....”

“Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?”

“Ayah.... ayah teecu terbunuh....”

“Ehhh....? Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?” Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar ucapan itu.

Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoi-nya, akan tetapi Suma Hui diam saja dan hanya memandang padanya dengan sinar mata kosong.

“Mendiang ayah tewas…. tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”

“Ihhh....!” Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. “Penjahat cabul mana yang begitu berani mengacau di Thian-cin?”

“Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia berkelahi melawan Kao Cin Liong....”

“Heh, bagaimana pula ini?” Hwee Li berteriak. “Kao Cin Liong datang ke sini dan dia berkelahi dengan Louw kauwsu?” Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. “Tek Ciang, ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!”

“Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah,” kata Suma Kian Lee yang dapat menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang.

Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.

“Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Lalu pada suatu malam, ayah bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tak dapat menang dan akhirnya ayah tewas....”

Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan ia pun tahu mengapa suheng-nya tak menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian, berarti pengecut.

Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andai kata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat berjumpa dengannya kelak!”

“Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela Pulau Es secara mati-matian. Tidak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang yang tidak berdosa. Ehhh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi hingga Cin Liong sampai berkelahi serta membunuh Louw-kauwsu?” Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.

Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya. “Aku tidak tahu, ibu,” jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak, “Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang bersama ayah dan ibu.”

Tek Ciang masih berdebar-debar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan subo-nya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat. “Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa.”

Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda ini yatim-piatu.

“Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggota keluarga kami sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan.”

Tentu saja ucapan suhu-nya ini membesarkan hati Tek Ciang. Dia pun kembali duduk, namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan.

Ciang Bun lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik dan kakek mereka itu.

“Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan ayah dan ibu.” Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.

“Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun,” sambung Kim Hwee Li. “Padahal kami berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan sudah hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun.”

Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walau pun ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik. Akan tetapi, biar pun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang rahasia sekali pun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong?

Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka. “Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji,” demikian antara lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. “Ia menderita sesuatu.”

“Sungguh tidak baik kalau hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka.”

“Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberi tahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau guncangan batin yang hebat. Aku khawatir dia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang.”

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, tetapi dia pun tidak dapat membantah isterinya. Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati isterinya.

“Baiklah, dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji.”

********************

Suma Hui sendiri tidak tahu bahwa pada malam harinya ketika terjadi penyerangannya terhadap Cin Liong, diam-diam Cin Liong kembali mendatangi rumahnya dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Cin Liong berhasil menemui Tek Ciang. Sebelum Tek Ciang mampu bersuara, Cin Liong telah menotok urat gagunya dan juga membuatnya lemas, lalu memanggul pemuda itu pergi dari rumah itu menuju ke tempat sunyi.

Setelah tiba di tempat sunyi, Cin Liong membebaskan totokannya pada tubuh Tek Ciang dan diam-diam pendekar ini merasa heran dan juga kecewa melihat betapa pucat wajah pemuda itu dan tubuhnya menggigil ketakutan! Orang penakut begini diangkat menjadi murid pendekar sakti seperti Suma Kian Lee? Sungguh mengecewakan sekali. Akan tetapi pikiran itu hanya sekilas saja memasuki benaknya yang sudah sarat dengan masalahnya sendiri yang membuatnya bingung, penasaran dan berduka itu.

“Maafkan aku, Louw-susiok. Terpaksa aku menggunakan jalan ini karena ingin sekali bicara denganmu tanpa diketahui oleh Hui-moi.”

Tek Ciang menarik napas lega dan kentara sekali bahwa baru saja dia terlepas dari himpitan rasa takut yang hebat. “Aahhhh, taihiap, sungguh engkau membikin aku kaget setengah mati. Perkara apakah yang ingin kau bicarakan?”

“Tidak lain hanya perkara Hui-moi. Engkau melihat sendiri pagi tadi bagaimana ia telah menyerangku dan serangan-serangannya itu sungguh-sungguh. Ia berniat keras untuk membunuhku dengan penuh kebencian. Louw-susiok yang baik, apakah artinya semua itu? Mengapa ia hendak membunuhku dan demikian membenciku? Apakah yang telah terjadi malam tadi?”

Tek Ciang memandang bingung dan mengangkat pundaknya. “Bagaimana aku tahu, taihiap?”

Cin Liong penasaran dan memandang tajam penuh selidik. “Louw-susiok, kini engkau tinggal serumah dengan Hui-moi, agaknya tak mungkin kalau terjadi hal-hal yang hebat engkau tidak mengetahuinya.”

“Malam tadi hampir semalaman aku tidak berada di rumah, taihiap.”

“Hemm, ke mana saja engkau pergi?”

“Sudah kukatakan kepadamu kemarin sore bahwa aku hendak menyelidiki penjahat cabul yang menyebabkan ayahku tewas itu. Dan aku melihat ketika engkau berkelahi dengan penjahat itu! Ternyata memang benar ada penjahat yang berkeliaran, buktinya engkau menyerangnya dan berkelahi dengannya. Benarkah orang yang berkelahi denganmu itu penjahat cabul?”

“Jadi engkau melihatnya? Benar, dia adalah penjahat cabul terbesar di dunia hitam. Lalu bagaimana?”

“Aku bersembunyi dan nonton sampai penjahat itu lari dan kau kejar. Aku pun lalu ikut mengejar, akan tetapi sebentar saja kalian berdua sudah lenyap. Aku terus mencari berputar-putar sampai hampir pagi. Karena tidak berhasil menemukan penjahat itu mau pun engkau yang mengejarnya, aku lalu pulang dan langsung memasuki kamarku. Belum juga aku pulas, terdengar suara hiruk-pikuk dari kamar sumoi. Aku dan pelayan terkejut, lalu lari ke kamarnya. Di dalam kamar itu sumoi mengamuk, menghancurkan perabot-perabot kamarnya dan katanya ada penjahat memasuki kamarnya dan penjahat itu melarikan diri tanpa sumoi dapat mengenal wajahnya.”

Cin Liong mendengarkan dengan alis berkerut. “Lalu apa katanya kepadamu setelah ia menyerangku pagi tadi?”

Tek Ciang menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali. “Ia tidak mau bicara apa-apa, taihiap. Bahkan ketika aku mencoba bertanya mengapa ia mengamuk dan menyerangmu, ia marah-marah dan minta kepadaku agar aku tidak lagi menanyakan hal ini atau bicara tentang itu dengan siapa pun juga. Ahh, aku khawatir sekali, taihiap. Sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu....”

“Aku harus menemuinya dan minta keterangan tentang sikapnya itu!” Cin Liong berkata penasaran.

“Ahh, bijaksanakah itu, Kao-taihiap? Aku melihat sumoi sedang dalam keadaan tidak wajar, marah sekali dan juga amat berduka. Melihat keadaannya, aku yakin bahwa setiap kali taihiap muncul, tentu akan diserangnya tanpa banyak kata lagi. Watak sumoi keras sekali dan sementara waktu ini percuma saja kalau mengajaknya bicara. Kalau taihiap muncul, akibatnya hanya akan membuat ia semakin marah.”

Cin Liong mengepal tinju dan alisnya berkerut. “Habis bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya? Aihhh, kenapa ada urusan yang begini aneh?”

“Kao-taihiap, kalau taihiap suka mendengar pendapatku, sebaiknya kalau sementara ini taihiap malah menjauhkan diri. Dan sejauh mungkin karena agaknya sumoi masih terus merasa penasaran dan hendak mencari taihiap untuk dibunuh. Susah payah aku tadi membujuknya agar bersabar dan akhirnya baru ia mau berhenti setelah kuperingatkan bahwa segala urusan harus diselesaikan dengan tenang. Kalau taihiap menampakkan diri, tentu kemarahannya memuncak dan berkobar lagi. Biarlah sampai ia dingin dan tenang dulu, baru kelak taihiap boleh menemuiku, dua tiga bulan lagi, dan aku akan memberitahu taihiap kalau keadaan sudah mendingin.”

Cin Liong tidak mengira bahwa pemuda ini sedemikian baiknya. Dia memegang pundak pemuda itu. “Louw-susiok, engkau sungguh seorang yang berhati mulia. Aku sangat mengharapkan bantuanmu dalam urusanku dengan sumoi-mu ini.”

Tek Ciang mengangguk. “Aku mengerti, taihiap, aku tahu bahwa ada hubungan batin antara kalian dan sekarang agaknya sedang terjadi kesalah pahaman di pihak sumoi. Engkau sebagai laki-laki sepatutnya mengalah dan bersabar.”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Tapi, apa yang harus kulakukan sementara menanti ia bersabar itu? Sungguh aku bingung sekali dan baru sekarang dunia seolah-olah gelap bagiku, membuat aku tak berdaya.”

“Taihiap, kurasa sudah pasti ada hubungannya antara perkelahianmu melawan penjahat malam itu dengan sikap sumoi ini....”

“Si keparat Jai-hwa Siauw-ok!” Cin Liong mengepal tinjunya.

“Nah, bagaimana taihiap pikir kalau taihiap mencari orang itu sampai dapat tertangkap dan taihiap menuntut keterangan dari dia?”

“Ah, benar sekali! Andai kata jahanam itu tidak tahu apa-apa tentang Hui-moi, tetap saja dia harus ditangkap dan dihukum. Baiklah, susiok. Banyak terima kasih atas semua bantuan dan nasehatmu. Aku pergi dan harap engkau membantuku menyelidiki apa sebabnya Hui-moi marah-marah kepadaku dan bahkan hendak membunuhku. Dua tiga bukan lagi aku datang ke sini dan menemuimu sebelum aku mencoba menemuinya.”

Tek Ciang mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, aku akan membantumu, Kao-taihiap dan mudah-mudahan semuanya akan berjalan dengan lancar.”

Demikianlah pertemuan rahasia antara Kao Cin Liong dan Louw Tek Ciang, yang tidak diketahui orang lain. Juga masih ada pertemuan lain lagi di malam berikutnya yang lebih dirahasiakan oleh Tek Ciang. Seorang diri dia pergi menganjungi makam ayahnya di luar kota pada malam hari itu.

Setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya dia lalu melanjutkan perjalanannya di malam gelap itu menuju ke sebuah kuil tua yang letaknya terpencil di tempat sunyi. Seperti sikap seorang maling, pemuda itu menyelinap di tempat-tempat gelap, memandang ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya, barulah dia meloncat masuk ke dalam kuil tua.

Sesosok bayangan orang yang gerakannya amat ringan dan cepat seperti setan menyambutnya. Orang itu Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.

“Bagus, bagus! Engkau amat hati-hati dan memang begitulah seharusnya, waspada dan hati-hati, begitulah sikap seorang jai-hwa-cat tulen!” Datuk sesat itu tertawa bergelak.

Tek Ciang merasa betapa mukanya menjadi panas. “Tapi.... locianpwe.... aku.... bukan jai-hwa....”

“Ha-ha-ha, memang belum, baru calon saja! Akan tetapi seorang calon yang amat baik dan kelak engkau pun bisa menggantikan aku kalau engkau suka belajar dengan tekun. Ha-ha-ha, sekarang ceritakan semua, bagaimana hasilnya siasat kita?”

Tek Ciang tersenyum dan wajahnya berseri. Cuaca di dalam kuil itu remang-remang saja karena Jai-hwa Siauw-ok hanya menyalakan sebatang lilin kecil. Ia melihat betapa wajah yang masih ganteng dari kakek itu berseri-seri dan diam-diam dia kagum sekali. Memang kakek ini hebat. Selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga memiliki kecerdikan seperti setan.

“Semua berjalan dengan baik sekali, locianpwe. Terima kasih kepada locianpwe.”

“Aha, setelah aku membuat dara itu tidak berdaya dengan asap bius dan totokan, melihat ia rebah tak berdaya seperti menantang itu, timbul seleraku, akan tetapi aku ingat kepadamu, orang muda. Bagaimana, berhasilkah engkau memperkosanya?”

Pertanyaan itu diajukan dengan sikap wajar seperti orang menanyakan suatu hal yang lumrah saja. Akan tetapi bagi Tek Ciang merupakan hal yang membuatnya merasa jengah dan malu. Dia mengangguk tanpa menjawab.

“Hemm, engkau menyesal setelah berhasil?”

“Tidak, tidak, locianpwe. Sebaliknya, aku merasa girang sekali.”

“Dan engkau sudah merasa puas?”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Belum, ia belum menjadi isteriku dan aku pun belum mewarisi ilmu Pulau Es dan belum membalas dendam terhadap jenderal itu.”

“Ha-ha-ha, tak perlu tergesa-gesa. Yang penting, engkau telah berhasil memperkosanya dan ia tidak mengenalmu?”

“Tidak. Tempatnya gelap dan dia berada dalam keadaan setengah sadar. Aku sudah sangat berhati-hati dalam menirukan suara Cin Liong.”

“Bagus! Dan hasilnya?”

“Hasilnya baik sekali. Ketika Cin Liong datang, dia diserang dan akan dibunuh oleh sumoi.” Pemuda itu lalu menceritakan semua yang telah terjadi sampai ketika dia diculik oleh Cin Liong untuk dimintai keterangan. Semua ini didengarkan oleh Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum girang, hanya dia merasa agak khawatir mendengar pemuda itu diculik oleh Cin Liong.

“Untung engkau cerdik. Jadi engkau berhasil memancingnya agar menjauhkan diri dulu dari gadis itu dan agar dia mencari aku? Baik sekali. Engkau telah menjalankan rencana siasatku dengan baik. Ha-ha-ha, kita berdua sudah mengecap hasilnya. Engkau telah menikmati tubuh dara itu dan aku.... ha-ha-ha, girang hatiku melihat permusuhan antara keluarga Suma dan keluarga Kao itu mulai tumbuh. Tentu akan menjadi permusuhan keluarga yang hebat sekali kelak. Tetapi engkau harus berhati-hati, Tek Ciang. Engkau sebagai orang di belakang layar yang memainkan semua ini, jangan sekali-kali lantas menonjolkan diri. Tahan dahulu nafsumu jikalau engkau ingin memiliki tubuh gadis itu sepenuhnya. Kita harus cerdik. Aku akan memancing agar Cin Liong makin menjauhi tempat ini.”

“Baik, aku akan mentaati semua pesanmu, locianpwe.”

“Kelak, sewaktu-waktu aku berada di daerah ini, engkau boleh menemui aku di sini untuk menerima beberapa macam ilmu dariku seperti yang telah kujanjikan padamu.”

Dengan girang Tek Ciang menghaturkan terima kasih. Dia menganggap bahwa datuk sesat ini telah berjasa besar kepadanya. Mereka lalu berpisah dan meninggalkan kuil yang sunyi itu, kuil tua yang menyeramkan karena baru saja dijadikan tempat oleh para iblis dan setan untuk mengusik hati dua orang manusia yang tersesat.

Iblis dan setan yang suka mengusik hati orang tidak pernah jauh dari diri kita sendiri. Suaranya selalu berbisik dalam batin kita, mendorong kita untuk selalu mendambakan kesenangan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Tercipta oleh pikiran kita sendiri, pikiran yang mengumpulkan dan menumpuk semua pengalaman dalam hidup lahiriah yang yang praktis.

Secara teknis pikiran dibutuhkan untuk mengingat, bekerja dan segala gerak hidup lahiriah. Akan tetapi, dalam komunikasi dengan manusia lain, dengan benda, dengan hal-hal batiniah, pikiran yang masuk hanyalah akan menimbulkan nafsu, kebencian, keserakahan, dan sebagainya. Jadi setan datangnya bukan dari luar, melainkan dari dalam batin kita sendiri
.....

********************

Dua orang yang memasuki kota Thian-cin pada sore hari itu menarik perhatian orang. Mereka adalah sepasang pria dan wanita yang sudah berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak gagah perkasa dan sehat, juga wajah mereka jauh lebih muda dari pada usia mereka yang sebenarnya.

Pria itu berpakaian sederhana tapi bersih dan cukup rapi. Rambutnya sudah bercampur sedikit uban, namun masih segar dan panjang, dikuncir tebal dan kepalanya terlindung sebuah caping lebar. Walau pun pria ini hanya berlengan satu karena lengan kirinya buntung di atas siku, akan tetapi sikapnya gagah dan langkahnya tegap dan tenang. Terutama sekali sepasang matanya amat mengejutkan orang karena mata itu, biar pun lembut dan tenang namun mengeluarkan sinar mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!

Yang wanita juga amat menarik perhatian. Usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak jelas kecantikan membayang di wajahnya. Pakaiannya juga sederhana, tapi bersih dan rapi. Di punggungnya nampak sepasang pisau belati bersilang, tertutup oleh jubahnya. Wajahnya selalu riang gembira, di dalam sinar matanya membayangkan semangat yang tak kunjung padam.

Mereka adalah Sang Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya yang bernama Wan Ceng. Suami isteri pendekar ini tinggal jauh di utara, di padang pasir, di dalam sebuah istana tua yang jarang kedatangan manusia lain. Hanya baberapa tahun sekali suami isteri ini suka berpesiar ke selatan, kadang-kadang sampai ke kota raja. Akan tetapi mereka selalu menjauhkan diri dari pada segala keributan.

Karena mereka tinggal di tempat jauh dan jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw, maka jarang ada yang mengenal mereka ketika bertemu di jalan. Padahal, nama mereka sudah dikenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai datuk yang berilmu tinggi. Naga Sakti Gurun Pasir mempunyai nama yang sama tenarnya dengan keluarga Pulau Es. Dan sesungguhnya pendekar ini amat sakti.

Dialah satu-satunya orang yang telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari Dewa Bongkok dari Go-bi-san yang bernama Bu Beng Lojin. Biar pun lengan kirinya buntung, tetapi buntungnya sebelah lengan itu sama sekali tak mengurangi kelihaiannya, bahkan buntungnya lengan kiri ini membuat dia dapat menguasai Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat lihai kalau dimainkan dengan satu lengan saja.

Isterinya, Wan Ceng, juga bukan wanita sembarangan. Ia masih cucu dari nenek Lulu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti. Dan wanita ini selain telah mempelajari banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga telah menerima bimbingan dari suaminya sehingga kelihaiannya juga meningkat.

Suami isteri yang saling mencinta ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kao Cin Liong. Semenjak anak itu masih kecil, mereka berdua telah menggemblengnya dan oleh karena Cin Liong seorang putera tunggal, tentu saja mereka amat menyayanginya. Hampir semua ilmu kepandaian mereka sudah mereka turunkan kepada Cin Liong.

Saat pemuda itu menarik perhatian istana karena perbuatan-perbuatannya yang gagah perkasa dan padanya ditawarkan kedudukan dalam kemiliteran, terjadilah perbantahan antara suami isteri ini.

“Menjadi tentara hanya menjadi alat pembunuh bagi kepentingan ambisi orang-orang atasan saja. Apa baiknya? Aku ingin puteraku menjadi seorang pendekar, tidak berfihak siapa pun kecuali berfihak kepada mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menindas,” kata Wan Ceng penuh semangat.

Suaminya menarik napas panjang. “Sudahlah, isteriku. Yang penting adalah perasaan Cin Liong sendiri. Biarkan dia yang menentukan pilihannya. Apakah engkau lupa bahwa kakeknya adalah seorang jenderal besar, seorang panglima dan pahlawan besar yang amat perkasa? Siapa tahu dia menuruni darah kakeknya itu. Pula, dia sudah kita beri gemblengan dasar dan dia dapat melihat mana yang benar dan mana yang tidak. Aku percaya bahwa dia berjiwa pendekar dan biar pun dia menjadi tentara, tentu dia tidak akan membuta mentaati perintah atasan kalau perintah itu melawan hati nuraninya sebagai pendekar.”

Akhirnya Wan Ceng mengalah setelah melihat kenyataan, bahwa memang puteranya suka sekali menjadi prajurit. Kemudian ternyata bahwa Kao Cin Liong telah membuat kemajuan pesat dalam bidang militer ini. Jasa-jasanya menumpas para pemberontak di perbatasan dan daerah-daerah sangat besar sehingga dalam usia muda dia sudah diangkat menjadi seorang jenderal, bahkan menjadi seorang kepercayaan Kaisar Kian Liong.

Suami isteri ini sudah lama sekali mendambakan seorang mantu dan seorang cucu, akan tetapi selalu putera mereka menolaknya kalau mereka menganjurkan dia agar segera menikah. Cin Liong mengemukakan alasan bahwa belum ada wanita yang menarik hatinya. Tentu saja suami isteri itu maklum akan kegagalan puteranya dalam jalinan asmara bersama seorang gadis yang bernama Bu Ci Sian sehingga putera mereka itu menjadi patah hati dan sampai berusia tiga puluh tahun kurang sedikit masih juga belum mempunyai seorang isteri.

Dan pada suatu hari, alangkah girang hati mereka ketika putera mereka itu datang mengunjungi mereka dan menyatakan bahwa putera mereka itu sudah memperoleh pilihan hati, saling mencinta dengan seorang gadis dan Cin Liong minta kepada mereka untuk mengajukan pinangan! Akan tetapi, dalam kegembiraan itu mereka merasa khawatir sekali ketika mendengar penjelasan Cin Liong siapa adanya gadis yang saling mencinta dengan putera mereka itu. Gadis itu puteri Suma Kian Lee!

“Aihhh....!” Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu, matanya terbelalak dan mukanya berubah. “Puteri.... paman Suma Kian Lee? Cin Liong, lupakah engkau siapa adanya Suma Kian Lee itu? Dia adalah paman kakekmu sendiri dan puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!”

Cin Liong menarik napas panjang dan mengangguk. “Hal itu sepenuhnya telah kami sadari, ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun.”

“Tapi.... engkau tahu ia bibimu dan engkau masih nekat?” teriak Wan Ceng.

Cin Liong tersenyum menenangkan hati ibunya yang terguncang. “Bukan nekat, ibu. Aku jatuh cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan ia pun cinta kepadaku. Hubungan keluarga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga, itu pun hanya keluarga tiri saja, sudah berlainan nama keluarga.”

“Tapi.... tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!”

Sejak tadi Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh seperti itu. Dia pun memejamkan mata, teringat akan riwayat isterinya di waktu muda dahulu. Bukankah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng? Dan setelah mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini berarti bahwa Suma Kian Lee masih memegang teguh adat istiadat tentang larangan berjodoh antara keluarga sendiri!

“Tapi.... tapi.... bagaimana mungkin engkau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong? Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu kecuali seorang bibimu?” Suara Wan Ceng terdengar seperti hampir menangis.

Cin Liong mengerutkan alisnya. “Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini aku gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak mau gagal sampai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka melamarkan Suma Hui untukku atau tidak.” Suara pemuda itu tegas akan tetapi tidak mengandung kemarahan.

“Cin Liong, aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang kehendakmu. Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh paman Suma Kian Lee yang kami tahu masih amat memegang teguh adat-istiadat kekeluargaan.”

“Benar apa yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah menyetujui ikatan jodoh ini?”

Cin Liong menggeleng kepala. “Mereka belum tahu, jadi aku pun tidak dapat menduga bagaimana sikap mereka terhadap hubungan kami.”

“Aihhh.... kalau mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan pinangan? Anakku yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan meminang saja aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana mukaku?” Wan Ceng berkata sambil mengepal tangan kanannya. Hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Rasa gelisahnya jauh lebih besar dari pada rasa gembira karena akhirnya putera mereka minta dilamarkan seorang gadis.

“Ibu, kalau tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu setuju ataukah tidak? Pula, kenapa mesti takut mengajukan pinangan? Meminang anak gadis orang merupakan suatu hal yang terhormat dan menghormati keluarga gadis yang dilamar. Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang adalah hak kita. Kalau ibu tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus melamarnya sendiri?”

“Liong-ji, engkau tak boleh mendesak ibumu seperti itu!” Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka dia pun cepat menghampiri ibunya dan berlutut.

“Ibu, maafkan aku....”

Wan Ceng cepat merangkulnya. “Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan perasaan hatimu kalau sampai kami ditolak.”

“Sudahlah, bagaimana pun juga, kita harus berani menghadapi kenyataan yang bagai mana pahit pun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan itu?”

“Sebaiknya dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali lebih dahulu ke kota raja dan kuharap ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan perjalanan ke Thian-cin.”

Demikianlah, dua bulan kemudian, suami isteri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong kosong dan menurut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan tugas dan sudah beberapa pekan meninggalkan kota raja.

Seperti kita ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin, kemudian terjadi peristiwa dia hampir dibunuh oleh kekasihnya. Dia kemudian berusaha mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok, maka dia tidak sempat kembali ke kota raja sehingga gedungnya kosong ketika orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka tidak berada di rumah dan agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.

Pada sore hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami isteri yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan mereka, masih saja menarik perhatian banyak orang yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah pendekar-pendekar yang lihai. Ketika mereka mendengar sepasang suami isteri ini menanyakan di mana letak rumah keluarga Suma, dugaan bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang lihai lebih meyakinkan lagi.

Dengan mudah suami isteri ini dapat memperoleh keterangan tentang rumah keluarga Suma Kian Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah keluarga Suma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.

Tak lama kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapnya, yaitu Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun. Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah, sedangkan kedua orang anak mereka menyambut dengan sikap hormat walau pun dengan pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih puteranya itu, walau pun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah atau galak. Juga Kao Kok Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar mata yang tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali. Hanya Kim Hwee Li seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat.....


“Aihh, Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari manakah yang meniup kalian sampai terbang ke sini?” tegur Kim Hwee Li dengan gembira.

Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut ‘paman’ dan ‘bibi’.

“Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang terkenal itu.” Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya. Suma Hui dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya, dibalas pula oleh Kao Kok Cu dan isterinya.

“Silakan masuk, kita bicara di ruangan dalam,” Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah akan tetapi wajahnya dingin.

Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.

“Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap suami isteri dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat penting,” Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang menghidangkan minuman dan segera pergi lagi ke ruangan dalam.

Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar dia saja yang bicara. Nyonya ini tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee sekarang telah banyak berubah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka, dengan hati-hati ia pun berkata.

“Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua, maka kami harap kedua adik ini....” Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang Bun.

“Mereka adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka,” Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang hendak dibicarakan itu.

Tiada lain tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar supaya ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya yang tentu saja akan menolak keras.

Mendengar ucapan tuan rumah yang memotong itu, Wan Ceng dan suaminya kembali saling lirik. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar dia melanjutkan bicaranya. Maka dari itu, setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.

“Sebenarnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... ehhh, Suma Hui ini.”

Sukar sekali rasanya menyebut ‘adik’ kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi mantunya.

“Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami….” Sampai di sini dia berhenti seperti kehabisan keberanian dan akal, bahkan kemudian menundukkan mukanya saat bertemu pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong tanda kemarahan.

Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan dia pun cepat menyambung keterangan isterinya, “Terus terang saja, betapa berat rasa hati kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao Cin Liong.”

“Tidak.... tidak pantas....!” Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan.

Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, dan lebih mementingkan hati puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.

“Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi, sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami.”

“Brakkkk!”

Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan. “Tidak! Ini penghinaan namanya!”

Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan perubahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama semakin memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat menahannya lagi.

“Aku pun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!”

Semua orang meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget sekali. Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.

“Enci Hui....!” Suma Ciang Bun berteriak kaget.

“Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!” Kim Hwee Li menegur puterinya.

“Hui-ji, engkau harus dapat mempertanggung jawabkan ucapanmu dan mengemukakan alasan mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!” Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada alasannya yang kuat sekali.

“Dia.... dia telah menodaiku....!” Hanya sekian saja Suma Hui mampu bicara karena ia sudah menangis sesenggukan.

“Ahhhh....!” Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis sesedih ini.

“Anakku.... apakah yang telah terjadi....?” tanyanya penuh kegelisahan.

“Hui-ji, ucapanmu itu harus segera dijelaskan!” bentak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang tinjunya.

Ada pun Kao Kok Cu dan isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah mereka pun berubah agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu hebat, terlalu keji!

Suma Hui menyembunyikan mukanya di dada ibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.

“Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya. Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku....”

“Engkau tahu benar siapa pelakunya?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu amarah yang ditahan-tahan.

“Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!”

Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya. “Hemmmm, pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!”

Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar puteranya diancam. Mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika dia berhadapan dengan Suma Kian Lee. “Bohong! Aku tak percaya! Tak mungkin puteraku melakukan perbuatan hina seperti itu.”

Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu, Suma Kian Lee menjadi agak tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya.

Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu. “Keterangan anakku kau katakan bohong?” bentaknya marah.

“Kalau tidak bohong dia tentu salah lihat!” Wan Ceng membantah “Suma Hui, apakah engkau benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu adalah Cin Liong?”

“Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, tetapi suaranya.... dan bicaranya.... dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi.”

“Fitnah....!” Wan Ceng membentak.

“Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tidak tahu malu, tidak becus mendidik anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang, dan sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku membohong? Sungguh tidak tahu malu!” Kim Hwee Li marah sekali dan dia sudah menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng.

Akan tetapi, wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat ia pun sudah menangkis dan membalas dengan menampar pula.

“Dukkk....! Wuiiitttt!”

Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya. Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.

“Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Menggunakan kekerasan bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki dan dipecahkan.”

Melihat sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga menahan dirinya, walau pun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.

“Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!”

“Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang tuanya berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah dia melakukan perbuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani mempertanggung jawabkannya dan kami yang akan menghukumnya.” Berkata demikian, pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi merah.

Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia sendiri pun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini? Bagaimana pun juga, mereka menjadi prihatin sekali.

Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu segera menarik lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.

Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui kemudian menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. “Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!”

Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itu pun ia tak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu!

Kim Hwee Li bisa merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu ini pun merangkulnya sambil menangis pula.

Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi mala petaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda? Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu? Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.

“Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!” kata pendekar itu dengan wajah lesu.

Kim Hwee Li tahu bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka ia pun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri.

Dia menahan langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang enci-nya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada enci-nya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu pemuda yang menjadi suheng-nya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa itu.

Dia sendiri masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa enci-nya! Dia mengenal betul jenderal muda itu. Seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah mati-matian membela Pulau Es, bahkan telah menyelamatkan enci-nya dari mala petaka pada saat enci-nya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kalau kemudian Cin Liong sendiri yang memperkosa enci-nya?

Akan tetapi, dia pun tahu bahwa enci-nya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau enci-nya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itu pun sukar untuk diragukan lagi. Sungguh membingungkan!

Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman. “Ahhh, sute, apakah tamunya sudah pulang?”

Ciang Bun masih termenung dan hanya mengangguk.

“Siapakah tamunya, sute?”

“Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka datang untuk meminang enci Hui!” Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah suheng-nya dengan tajam. “Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin Liong.”

“Ahhh....!” Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.

Ciang Bun mengerti bahwa tentu suheng-nya ini tak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya. Ciang Bun lalu menghampiri suheng-nya. “Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu.”

Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sute-nya dengan heran. “Bicara apakah, sute?”

“Tentang.... Cin Liong!”

“Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?”

“Dia telah membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa matinya ayahmu?”

Pemuda itu menarik napas panjang, nampak sedih. “Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingan Kao-taihiap dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah.”

“Engkau percaya akan keterangan itu?”

“Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah.”

“Engkau tidak mendendam?”

Tek Ciang nampak bingung. “Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, tapi aku pun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”

“Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?”

“Apa....? Ahhh, entahlah, sute, aku menjadi bingung....”

Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otak, bagaimana untuk dapat membongkar rahasia terpendam yang mungkin diketahui oleh suheng-nya ini. Sedangkan Tek Ciang bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pertanyaan sute-nya.

“Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah. Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?”

Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sute-nya yang masih remaja dan yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.

“Suheng, apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin Liong?”

“Sesuatu yang aneh? Apakah yang kau maksudkan, sute?”

“Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?”

“Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis.”

“Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!”

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia tersenyum. “Ahhh, bagaimana mungkin aku berani menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku.”

“Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?”

“Itulah yang membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!” Tek Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga.

Memang aneh kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru) kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya mau pun tingkat kepandaiannya.

“Sekarang harap kau jawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka bertengkar?”

Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.

“Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tak berani bicara langsung kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?”

Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara. “Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!”

“Berkelahi?”

“Sebenarnya bukan berkelahi, tetapi sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba melerai, akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tak berhasil menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu.”

“Hemm, begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main saja ataukah hanya untuk menguji?”

“Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap.”

“Hemm, sungguh aneh. Kenapa enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?”

Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut bersedih. “Aku tidak tahu mengapa, sute. Pada waktu aku bertanya, sumoi juga tidak mau menceritakan.”

“Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?”

Tek Ciang menggeleng kepala.

“Malam itu engkau berada di mana, suheng?”

“Aku? Ahh, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku sempat melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat persembunyian tak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar, tapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri pun bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?”

Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Tidak tahulah, suheng, tidak tahulah....” dan pemuda remaja ini pun meninggalkan suheng-nya dengan hati yang tidak puas.

Semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalan. Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa enci-nya? Kemudian setelah mereka kembali bertemu pagi itu, enci-nya lalu mati-matian menyerangnya? Dia menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib enci-nya yang malang.

********************

“Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....” Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.

Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis dari pada enci-nya di waktu kecil. Bahkan diam-diam dia sering merasa heran, mengapa puterinya berhati baja bagaikan seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.

“Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja....”

Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya. Mereka bertangisan, baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis. Dia pun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!

“Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapa pun besar mala petaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?”

Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut di kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka agak mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata, “Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.”

Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas. Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya serta mengeluarkan suara kutukan perlahan.

Setelah puterinya selesai bercerita, dia bertanya, “Begitu gelapkah cuaca malam itu di dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?”

“Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.”

“Asap yang berbau harum seperti hio?”

“Benar.”

“Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berubah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita mana pun kiranya akan bisa dia dapatkan!”

“Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!”

“Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?”

“Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ahhh, ibu.... sungguh dia bukan manusia....” Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali. “Aku.... aku mencintanya, dan dia pun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia lakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?” Gadis itu menangis lagi.

Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagai mana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa mala petaka itu. Ia tahu bahwa jika tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.

Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biar pun hanya puteri angkat dan ia pun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Dia baru berubah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKisah Jodoh Sepasang Rajawali).

Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua agar menjadi suami isteri!

“Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.”

“Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!”

“Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengarlah, bukankah engkau amat mencintanya?”

“Itu dulu sebelum....”

“Dan dia pun mencintamu....?”

“Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....”

“Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apa pun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi. Satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong....”

“Tidak....! Tidak....!”

“Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai menantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka sebagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan cara menikahimu....”

“Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku dari pada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berubah benci oleh perbuatannya yang keji itu!”

“Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita.”

“Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, aku pun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini.”

“Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!”

“Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Dia pun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!”

“Hui-ji! Jangan putus asa seperti itu, anakku....!” Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali.

Akan tetapi, ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.

Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap Cin Liong, dalam seketika dapat saja berubah menjadi kebencian yang amat mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya.

Tanpa kita sadari, kita sekarang pun hanya memiliki cinta yang semacam ini saja. Kita mencinta seseorang, dan tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya, kedudukannya atau lain hal lagi. Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan ORANGNYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah.

Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berubah atau hilang, cinta kita pun luntur dan berubah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita DISENANGKAN, kini kita merasa DISUSAHKAN. Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya berubah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itu pun berubah menjadi benci setengah mati!

Yang beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta birahi saja, atau keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita sendiri pun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati ‘cinta’ kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka segera nampak nyatalah betapa ‘mengerikan’ wajah dari cinta kita itu.

Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng
.

Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang telah menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya.

Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong tega melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itu pun tertebus dan aib pun terhapus.

Hanya ada satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.

Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biar pun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan dia pun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.

“Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.”

“Tapi....!” Isterinya membantah dengan kaget. “Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ahh, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.”

Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya. “Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak.”

“Apa? Ilmu keluarga kita akan kau wariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?” isterinya bertanya, penasaran.

“Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.”

Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena dia pun mengerti alangkah kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan sebenarnya watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.

“Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?”

“Kalau dia menolak, dia tak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.”

Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong. Andai kata puterinya mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik itulah.

“Sekarang juga kita hadapi dia,” kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk datang menghadap.

Kedua suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.

“Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapa pun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin kami,” demikian katanya dengan sikap tegas.

Ciang Bun menoleh sejenak kepada suheng-nya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera menemui enci-nya, yang berada di ruangan belakang.

Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan subo-nya.

“Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang,” kata Kian Lee sambil menunjuk sebuah kursi di seberang meja.

“Teecu tidak berani....”

“Diperintah guru berani membantah tapi masih mengatakan tidak berani?!” Kim Hwee Li membentak.

Pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya, apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang kini menatap wajahnya dengan penuh perhatian dan seperti orang menyelidik.

Kalau saja Hwee Li tahu betapa jantung pemuda itu berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa hormat.

“Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu,” Kian Lee mulai bicara.

“Teecu siap mendengarkan dan mentaati, suhu,” jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu teramat baik itu.

Hwee Li mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau kepalsuan itu.

“Beginilah, Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita mengenai hal itu kepadamu?”

Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subo-nya, memandang kepada wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggelengkan kepala. “Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu.”

“Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga-duga sama sekali, sekarang aku terpaksa yang memberi tahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang.” Berkata demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian.

Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berubah merah dan dia lalu menundukkan mukanya, tidak berani memandang kepada suhu-nya atau subo-nya! Sungguh seperti seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!

Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya. “Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu, Tek Ciang?”

“Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu? Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu? Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua....”

Kalau tak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapa pun juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.

“Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?” tanya pula Kian Lee menegaskan.

Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut kepada mereka dan menangis! Kim Hwee Li tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu benar-benar menangis dan bercucuran air mata, ia pun tercengang.

“Ehh, kenapa engkau menangis?” bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan heran.

“Teecu.... teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ahh, teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu....”

Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang, berhati lembut dan berbudi luhur?

“Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kau dengar selanjutnya.”

Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan. Pemuda itu menyusut air matanya dan duduk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.

“Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?” tanya Kian Lee.

“Teecu berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali, tentu saja teecu setuju dengan sepenuh hati teecu.”

“Baik, sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?”

“Teecu mengerti dan siap mendengarkan.”

“Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoi-mu, atau juga tunanganmu itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?”

“Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil.”

“Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?” tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.

“Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu bertanya-tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberi tahu kepada teecu.”

Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi, “Malam itu ada seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoi-mu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin Liong dan....”

“Ahhh....!” Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.

“....dan.... dan sumoi-mu terkena asap pembius dan.... sumoi-mu diperkosa olehnya....”

“Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau teecu ada kemampuan!” Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.

“Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami,” kata pendekar sakti itu.

“Maaf, suhu....” Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis membayangkan kebencian yang mendalam.

“Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoi-mu, tunanganmu itu kini telah ternoda, apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini? Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?” Di dalam suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu.

Hwee Li tahu bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biar pun tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang. Kalau pemuda ini menolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka.

Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik.....


Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas, “Kenapa teecu tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu.”

Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.

“Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!” Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.

“Terima kasih, suhu, terima kasih!”

Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu. “Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?”

“Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali,” kata Suma Kan Lee.

Tek Ciang bangkit dan duduk. Mukanya merah oleh karena malu mendengar ucapan subo-nya tadi, malu akan tetapi girang. Subo-nya yang biasanya bersikap galak itu pun kini bersikap manis kepadanya!

“Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merubah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi....” Tek Ciang tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.

Hwee Li saling pandang dengan suaminya. Ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh-sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya?

Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua tentunya peristiwa perkosaan itu, dan kalau sekarang sampai menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

“Panggil dia ke sini sekarang juga!” katanya memerintah kepada Tek Ciang.

“Baik, suhu.”

Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoi-nya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.

“Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga,” katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.

“Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?”

“Suhu tidak memberi tahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam,” jawab Tek Ciang dengan suara biasa.

Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapa pun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan dia dapat melihat bahwa suheng-nya itu memang baik sekali. Dan kini suheng-nya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!

Agak berdebar juga hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.

“Duduklah di situ, Hui-ji,” kata Suma Kian Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang. Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.

“Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, di antara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang....”

“Ayah....!”

“Dengar dulu!” Ayahnya memotong.

Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi. Dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang, ia memandang ayahnya.

“Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberi tahu tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak menanyakan lebih dulu pendapatmu.”

Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya.

“Perlu apa dibicarakan lagi, ayah? Hal itu telah berlalu dan kini tak mungkin dilanjutkan!” katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan yang mengakibatkan nama dan kehormatan keluarga Suma tercemar. Sama dengan membongkar dan memperlihatkan aib sendiri.

“Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu, juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu, aku pun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang mala petaka....”

“Ayah....!” Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.

Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang. “Tenang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahit pun juga. Dia tak menyalahkanmu, Hui-ji, manusia keparat itulah yang terkutuk. Tek Ciang memaklumi keadaanmu, dan ia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi.”

“Tidak mungkin....!” kata Suma Hui.

“Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat.”

Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat kebenaran kata-kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormatannya seperti dirinya itu!

Tapi.... tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biar pun ia sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.

“Ohh, ibuuuu....!” Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis.

Ibunya merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu bangkit dan duduk kembali.
“Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja tersisa cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh Kao Cin Liong.”

“Aku akan membantumu, sumoi!” tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.

Suma Hui menoleh dan memandang kepada suheng-nya atau tunangannya yang duduk di sebelah kanannya itu, lalu mendengus. “Engkau jangan ikut campur urusanku ini!” Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suheng-nya sangat rendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suheng-nya yang belum ada seperempatnya.

“Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang,” kata Suma Kian Lee menegur puterinya.

“Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia sudah bisa mengalahkan aku dalam ilmu silat!”

“Hui-ji....!” ibunya menegur.

“Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan saja bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku?” balas puterinya menantang.

“Baiklah!” kata Suma Kian Lee. “Akan tetapi ingat, seorang gagah tidak akan menjilat kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!”

“Saya tidak akan mengingkari janji!” bantah Suma Hui. “Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba kepandaiannya kepadaku!”

“Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!”

Akan tetapi Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.

Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada Tek Ciang, “Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun supaya dalam waktu singkat engkau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!”

Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi melihat enci-nya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang menangis. Karena khawatir melihat keadaan enci-nya, pemuda ini nekat lalu memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada suheng-nya itu. Hatinya merasa tidak senang mendengar ayahnya hendak mengajarkan ilmu kepada suheng-nya agar dapat melampaui enci-nya dalam waktu singkat. Apa artinya itu?

“Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?”

“Ciang Bun, mulai hari ini, enci-mu telah menjadi tunangan suheng-mu,” Suma Kian Lee berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.

“Ahhh....?” Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa suheng-nyalah yang akan menjadi suami enci-nya, padahal enci-nya sudah mengalami aib.

Melihat puteranya hanya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur. “Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada calon ci-humu (kakak iparmu)!”

Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan dia pun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang sambil berkata, “Suheng, kionghi (selamat)!”

“Terima kasih, sute,” jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.

Malam itu Suma Hui tak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, ia pun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiri pun tahu harus bagaimana untuk menghibur hati puterinya. Maka dia pun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, dia akan bicara dan menghiburnya.

Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian, meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit sekali tulisan yang ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!

Suma Kian Lee menjadi marah. “Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa Tek Ciang dan ia masih bertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan dapat dilakukannya?”

“Biar aku menyusul dan membujuknya pulang,” kata isterinya.

“Hemm, kau kira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya? Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga,” bantah suaminya dan Hwee Li tak dapat membantah.

Memang dia pun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya dia dapat mencarinya, hal yang tentu saja sangat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.

Kekecewaan demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu. Tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga enci-nya, pemuda remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi untuk mencari enci-nya!

Sungguh pun benar Ciang Bun pergi untuk mencari enci-nya, tapi yang mendorongnya pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini sangat menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat enci-nya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda ini pun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan.

Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan. Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?

Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.....

********************

Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.

Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali.

Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biar pun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya. Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya.

Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu atau pun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.

Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman.

Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, dia pun lalu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu Jai-hwa Siauw-ok tidak muncul, ia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subo-nya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan.

Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih semedhi seperti yang diajarkan oleh suhu-nya kepadanya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya, bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sinkang. Bahkan kini dia mulai dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es!

Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi kuil itu menjadi tempat yang amat baik untuk bersemedhi menghimpun tenaga dalam. Selain tempatnya sunyi, juga malam itu amat dingin, cocok untuk berlatih.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itu pun dapat didengarnya dan dia pun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul. Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!

Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, dia pun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.

“Siapa....?” bentaknya sambil meloncat berdiri.

“Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!”

“Locianpwe....!” teriak Tek Ciang dengan girang saat mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.

“Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini....,” suara itu berbisik.

Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Dia pun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.

“Locianpwe, ada apakah....?” tanyanya heran.

“Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....”

“Apa....? Di.... di mana dia....?” Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.

“Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.”

“Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?” tanya Tek Ciang penasaran.

“Ahhh, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biar pun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang.”

Otak pemuda itu bekerja dengan cepatnya. “Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan saya pun memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan manakah dia datang mengejar?”

“Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!” Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan.

Tek Ciang tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong. Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang.

Dia tidak dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.

“Engkau hendak lari ke mana?” Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin Liong.

Dia melarikan diri dengan cepat. Karena dia sering datang ke hutan ini, dia mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang berlawanan dari tempat Jai-hwa Siauw-ok tadi bersembunyi.

Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di dalam hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah tahun dan menurut suhu-nya, dia memperoleh kemajuan pesat yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dia dikejar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.

Maka dia kemudian menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat ke depan, menyerang Cin Liong. Langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!

Cin Liong yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.

“Dukk!” Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.

“Hwi-yang Sin-ciang....!” serunya kaget.

Namun lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.

“Tahan....!” katanya.

Tek Ciang juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.

“Louw-susiok....!”

“Kao-taihiap....!” Tek Ciang berseru dan mendahului. “Kukira tadinya penjahat cabul itu....!”

“Ehh? Justru aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama, jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?”

“Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu itu....”

“Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok!” kata Cin Liong. “Lalu bagaimana? Ke manakah dia?”

“Aku melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka aku pun lantas menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu, ‘Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja’ dan dia pun lenyap. Ehhh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!”

“Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya di sana!”

“Kao-taihiap, bagaimana pula engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?” Tek Ciang bertanya, suaranya mengandung kekaguman.

“Ahhh, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari. Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... ehhh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?”

“Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?”

Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala. “Aku tidak berani mendekati keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja. Aku berkeliaran saja mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani.”

“Ahh, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah.”

“Apakah yang telah terjadi, susiok?” Cin Liong mendesak. “Apakah paman kakek Suma Kian Lee belum pulang?”

“Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun.”

“Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah dapat pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?”

“Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya.”

“Benarkah?” Jantung Cin Liong berdebar tegang. “Lalu bagaimana?”

“Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu.”

“Lalu....?”

“Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada hubungan keluarga.”

Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walau pun dia sudah dapat menduga akan hal itu. Lagi pula, setelah sekarang Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak membunuhnya, apa lagi artinya andai kata pinangan diterima juga?

“Kemudian bagaimana?”

“Kemudian.... kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan sumoi dan aku....”

“Hemm, begitukah? Lalu....?”

“Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan....”

“Dan engkau....?”

“Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid. Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar perjodohan itu dilanjutkan?”

“Hemmm....”

“Di lain pihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan sumoi....”

“Ya....?”

“Terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik kalian itu?”

Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik. “Ahh, terima kasih, susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walau pun sekarang baru dalam taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?”

“Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma.”

Cin Liong mengangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan ayah ibunya.

“Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-susiok!”

“Selamat jalan, taihiap!”

Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama Tek Ciang termenung dan berusaha menenteramkan perasaannya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!

“Bagus.... bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!”

Pemuda itu terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu. “Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?”

“Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!”

Legalah hati Tek Ciang dan dia pun tertawa. “Yang belum kuat harus menggunakan kecerdikannya, locianpwe.”

“Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih hebat dari pada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara.”

Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati lukanya.

“Apakah yang telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?”

Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka dalam keadaan terluka sekali pun dia masih bisa tertawa gembira.

“Kau kira orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah, Tek Ciang. Betapa pun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai dari pada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!”

Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembius dan berhasil menculik wanita itu.

Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapa pun lihainya, karena dia sambil memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil membawa wanita itu.

“Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku tidak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan, dia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka.”

Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa menyenangkan hal itu.

“Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?”

Kakek itu mengangguk dan menyumpah. “Memang aku sedang sial! Dalam perjalanan menuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu akibat aku sedang terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku.”

Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Mendadak tangan kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.

“Tek Ciang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan ilmu-ilmuku kepadamu.”

Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut. “Locianpwe maksudkan untuk mengambil saya sebagai murid?”

“Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, tapi sebagai anakku!”

“Anak....?”

“Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah. Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi seluruh kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?”

Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima dari pada menolak.

“Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?”

“Engkau mau? Mau menjadi puteraku?”

“Tentu saja aku mau.”

“Bagus! Hayo kau sebut ayah padaku!”

“Ayah!”

“Ha-ha-ha!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, lalu merangkul pemuda yang sedang berlutut itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berubah menjadi setengah menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok Ciang mengkirik seram.

“Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau, setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Ke sinikan lenganmu!”

Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar. Tek Ciang terkejut, tetapi pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andai kata datuk itu hendak membunuhnya sekali pun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka dia pun pasrah dan sedikit pun tidak nampak takut.

Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiri pun sudah luka tergores dan berdarah pula.

Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.

“Hayo minum darah di lenganmu itu!” katanya.

Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai bersih.

“Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.”

Demikianlah, mulai saat itu juga, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu saja dia menjadi semakin lihai. Namun dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma Kian Lee dan isterinya yang cerdik itu pun sama sekali tidak pernah menduganya.....

********************

Biar pun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai. Namun karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah mengherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-daerah yang terpencil.

Kaisar Kian Liong dengan pasukan-pasukannya yang amat kuat berhasil menundukkan semua daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat.

Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di barat itu maka Kaisar Kian Liong agak terlambat mengetahui bahwa diam-diam telah terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat. Mereka diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet. Mereka kemudian akan menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang Kerajaan Ceng.

Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.

Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong!

Setelah menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan sudah menjanjikan kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting. Datuk itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya.

Dia ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal. Kemudian bersama-sama, kekuatan gabungan persekutuan itu akan membentuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.

Bhutan merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur Nepal. Hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka hanya dapat melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.

Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran subur, lembah-lembah yang indah.

Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.

Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi. Namun puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasehatnya yang paling utama.

Para pembaca cerita seri ‘Suling Emas Naga Siluman’ tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik. Kemudian dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’ diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan.

Suaminya itu bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut. Ketika kedua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat.

Akan tetapi akhirnya, walau pun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali. Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan. Selama itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.

Oleh karena semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih menjadi pangeran, maka tentu saja kini dia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han.

Tidaklah aneh jika garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak menjadi sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar dan lebih berharga dari pada upeti yang dikirimkan.

Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga pembesar-pembesar.

Maka, Hek-i Mo-ong diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka untuk berpihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan mereka.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar