Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 21-25

Kho Ping Hoo,Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 21-25 Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi ‘koksu’
Anonim
Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi ‘koksu’ dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik, dia harus menyamar. Tak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu.

Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih mau pun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya.

Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.

Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, sekarang pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan dia pun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.

“Kita akan melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku adalah kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh saja memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”

“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong. “Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka dia pun mengerti akan tugas gurunya.

Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. “Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”

Karena Ceng Liong tidak mengerti, dia pun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang sangat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan masak, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.

Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Se-cuan.

Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang telah berusia empat puluh dua tahun ini. Ia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.

Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP.

Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.

Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.

Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tidak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.

Kemudian dia pun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagai mana pun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.

Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan atau pun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.

Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.

Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal.

Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan dia pun sudah siap membantunya.

Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.

Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, ia pun akan minta pengobatan.

Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan saat dia menyulap sepotong batu berubah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, “Bagus! Bagus....!”

Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.

Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya.

Biar pun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.

Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur.

Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan. Akan tetapi, ketika kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.

Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta. Begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir.

Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda. Anak ini menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengnwal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian.

Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!

Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan. Mereka memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berubah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.

“Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.

Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. “Ahh, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,” kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!

“Engkau anak yang baik sekali!” kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong.

Anak ini pun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biar pun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.

“Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.

“Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”

Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.

“Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong.”

“Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.

Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. “Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini.”

Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.

“Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.

Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah ‘membuka praktek’ di pasar itu. Tak pernah disangkanya pintu gubernuran akan sedemikian mudahnya terbuka baginya.

“Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,” katanya dan dia pun cepat menyuruh cucunya berkemas.

Tidak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali. Sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang telah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu. Semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.

Begitu tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.

“Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.

“Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”

Sinshe Phang menjura. “Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?”

“Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”

Sinshe Phang mengangguk-angguk. “Maaf, hamba harus memeriksa lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya.”

Gubernur Yung Hwa yang amat mencinta isterinya itu berkata, “Mari, silakan masuk ke kamar, Sinshe Phang.”

Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, “Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik.”

“Biar Kui Lan menemaninya,” kata nyonya itu.

Dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walau pun dia merasa sungkan dan juga malu.

Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. “Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah.”

Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, “Ahhh, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”

Sang gubernur tertawa. “Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu dia pun telah kau gembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!”

Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimana pun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang, maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu.

Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu.

Tentu saja gubernur dan selirnya merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang sekarang telah bersahabat dengannya.

“Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.” Di waktu bermain-main Kui Lan berkata.

Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.

“Kenapa engkau berkata demikian, nona?”

“Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap sombong dan kasar, padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukanlah anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”

Ceng Liong tertawa. “Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”

Kui Lan menarik napas panjang. “Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?”

“Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon mana pun bebas!”

Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. “Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!”

“Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana mungkin bisa dibandingkan dengan aku?”

“Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ihhh, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”

Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus dia pun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.

“Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamanan pun baik?” Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga sudah mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.

Kakek itu mengerutkan alis, bersikap pura-pura sedang keberatan untuk menyatakan pendapatnya.

Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, “Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur, maka engkau pun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!” Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.

“Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”

Gubernur itu menghela napas. “Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Ketika mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”

Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikit pun rasa dendam dalam ucapan itu.

“Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di mana-mana?”

Gubernur itu mengerutkan alisnya. “Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andai kata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara.”

Sekarang yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimana pun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa supaya tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.

“Bagaimana pun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”

“Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silakan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”

Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini.”

Gubernur itu nampak kecewa. “Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa?”

“Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba memang sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan....” Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walau pun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.

“Ke Bhutan....? Ahh, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”

“Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan dia pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba telah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan.”

“Apakah itu, Phang-sinshe?”

“Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”

“Ahhh, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”

Bukan main girangnya hati kakek itu. “Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”

Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditanda tanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.

Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya…..

********************

Biar pun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga mau pun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.

Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka. Pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.

Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas dari pada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana mau pun di luar istana.

Walau pun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, tetapi pendekar ini disebut pangeran. Dia bersama isterinya merupakan penasehat-penasehat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini.

Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jeri. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.

Tidak mungkin ada yang sempurna di dunia ini. Setiap ada yang menganggapnya baik, tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung dari pada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya selalu ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah.

Kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tentu saja karena dianggap menguntungkan bagi fihak itu, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik sebab merasa dirugikan. Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.

Sudah jamak di satu pemerintahan negara mana pun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidak puasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak memperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin. Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.

Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang lebih condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.

Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasehat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.

Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit. Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar. Mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang. Dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan.

Anak ini sungguh cantik, gerakannya amat lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan. Tangan kirinya memegang busur kecil, tangan kanannya memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.

Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga meski usianya baru sembilan tahun, tetapi Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar. Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan. Sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai menggunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.

“Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.

“Di dalam hutan mana ada puteri-puteri segala macam?” Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigap di antara semak-semak belukar.

“Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!” teriak suara wanita ke dua.

Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya, kemudian menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tentu saja kedua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.

Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.

“Sungguh sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekor pun rusa atau binatang lain!”

“Nona, sebaiknya kita segera kembali ke kota. Kita telah hampir sampai di perbatasan!” seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.

“Tidak, kita belum memperoleh seekor pun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.

“Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan....”

“Tak tahu malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”

“Ihhh.... jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.

“Kenapa?”

“Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada beruang-beruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”

“Aku tidak takut!”

“Tapi.... tapi beruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”

Hong Bwee memandang kepada dua orang pengawalnya sambil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan. “Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang sekarang ini menemaniku? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor beruang yang menjadi korban anak panah atau pedangku!”

Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya telah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya kemudian cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.

Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Mereka pun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.

Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Jika mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah. Maka mereka pun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pemburu-pemburu yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak panah dari balik semak-semak.

Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.

Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh, lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina ini pun indah dan rusa ini pun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berubah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina.

Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.

“Wuuuutt.... singggg.... ceppp!”

Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadi pun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.

Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.

Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.

Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Dia pun kena kutuk dan roboh tewas.

Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walau pun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.

Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.

“Nona, jangan kejar....!” teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa mereka pun mengejar secepat mungkin.

Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya.

Ketika anak ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor beruang hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor beruang hitam kecil, anaknya yang baru sebesar anjing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu dengan Hong Bwee.

Kini Hong Bwee telah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke arah si beruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan beruang dan mendapat kesempatan merobohkan seekor beruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.

“Prattt.... wirrrr.... ceppp....!”

Anak panah itu menyambar dan anak beruang itu pun roboh terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan khawatir sekali.

Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Beruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak beruang kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat beruang besar lari maju, dengan tabah ia pun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya.

Anak panah itu meluncur dan menyambar ke arah beruang betina. Namun ketika anak panah itu mengenai pundak beruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka kecil saja. Kulit beruang itu dilindungi bulu yang kuat! Dua orang pengawal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi beruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian dia pun menyerang dan menubruk ke depan.

“Nona, cepat lari....!” teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang. Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan beruang itu dengan pedang di tangan.

Akan tetapi beruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungi bulu yang kuat dan pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu.

Beruang itu menerjang terus. Tamparan-tamparan dua tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tidak mampu bangkit kembali. Mereka hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee.....

Akan tetapi anak ini pun bukan sembarangan bocah. Walau pun ia hanya merupakan seorang anak perempuan yang usianya belum genap sepuluh tahun, namun ia sejak kecil telah mengalami gemblengan lahir batin oleh ayahnya yang sakti sehingga biar pun ia melihat dua orang pengawalnya sudah roboh dan kini beruang itu menyerangnya, ia masih dapat bersikap tenang dan tidak gugup sama sekali.

Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil melolos pedangnya. Dia tahu bahwa menyerang beruang itu sama dengan mencari celaka karena beruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya.

Kini Hong Bwee tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sebisa mungkin hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.

Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, beruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke arah muka beruang itu.

“Braaakkk....!” Pohon itu tumbang dilanda tubuh beruang yang menubruk sekuat tenaga tadi.

Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika beruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata beruang!

Beruang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah. Akan tetapi dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang, sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya, menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.

“Trakkk!” Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling.

Ketika itu beruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua buah kaki meluncur cepat menghantam dada beruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.

“Bukkkkk....!” Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada beruang.

Binatang itu tidak terjengkang, tapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimana pun juga, dia telah berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini memperoleh kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.

Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan terhadap amukan seekor beruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya, anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya.

Ceng Liong memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum, sedikit pun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang diancam oleh beruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat menggembirakan hatinya. Ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.

Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong. Tanpa memperdulikan gurunya yang diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan Hong Bwee.

Pada saat itu pula terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut, membentuk corong kemudian mengeluarkan pekik melengking. Tidak lama kemudian berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.

“Ayah, beruang itu berbahaya sekali!” teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya datang.

Sementara itu, beruang yang marah itu sekarang sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Beruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.

“Plakkk! Plakkk!”

Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala beruang itu, namun akibatnya sungguh hebat. Beruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan berkelojotan lalu mati!

Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan beruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di dada dan kepala beruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.

Maka dia pun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!

“Ayah....! Kau hebat....!” Hong Bwee meloncat menghampiri beruang yang mati itu dan memandang kepada ayahnya dengan wajah berseri.

“Hong Bwee, engkau terluka....!” kata Tek Hoat sambil meraih puterinya.

Ternyata anak peremnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri. Untunglah ia cepat-cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu dengan tangan beruang.

“Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman beruang,” kata Hong Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.

Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia lalu menoleh, memandang Ceng Liong penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya.

Kemudian dia memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak pada sinar mata yang tajam berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.

“Dua pengawalku telah roboh terluka oleh beruang. Aku mempertahankan diri dengan pedang dan anak panah, akan tetapi aku pun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat dan menendang dada beruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!”

Hong Bwee memang luar biasa. Dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan tadi, ternyata ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang beruang.

Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-orang tua yang sakti, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.

“Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari mala petaka.”

Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu. “Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh beruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka.”

Tentu saja Tek Hoat mengangguk, mengijinkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Phang-sinshe cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka dia pun merasa semakin girang.

Pada waktu itu, selosin pemburu yang semuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang memiliki kesenangan merantau, dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.

“Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan.”

“Apakah anak itu murid sinshe?” tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.

“Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya.”

“Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan....”

Kakek itu memperlihatkan muka terkejut. Sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia berkata, “Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan. Apakah... apakah... taihiap orangnya?”

Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan jika dalam perantauannya di Himalaya kakek ini mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk.

“Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi.”

“Ahh, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat,” Phang-sinshe segera memberi hormat.

Akan tetapi Tek Hoat cepat membalas. “Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilakan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke istana dan menjadi tamu kehormatan kami.”

Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu. Dan kini, tanpa disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!

“Ahh, terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!” katanya berulang-ulang sambil memberi hormat. “Semenjak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Kini taihiap mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima kasih sekali!”

Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.

“Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dahulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!”

Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, dia pun tidak mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu.

Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Melihat Ceng Liong telah duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.

Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rombongan itu kemudian berangkat meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, ketika melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira. Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk.

Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor beruang hitam besar dan anaknya, rakyat lalu menyambut sambil mengeluarkan pujian. Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.

Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itu pun mengagumi keindahan istana tua itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira, tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur.

Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, yaitu di bagian bangunan sebelah kanan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka, Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung di depan ibu anak perempuan itu.

Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan tubuhnya, tentu baru berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun lebih muda.

Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun! Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda.

Seperti diceritakan dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’, Syanti Dewi dulu pernah mendapat obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Sebelum menikah dengan Wan Tek Hoat, ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, walau pun ia sudah tidak memakai obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.

Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya pada Syanti Dewi yang segera mengucapkan selamat datang dan juga ucapan terima kasih kepada kakek itu. Lalu Phang-sinshe dan Ceng Liong dipersilakan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.

Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga Pangeran Wan Tek Hoat.

Berkat ‘nasib’ baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan para pejabat yang benar-benar setia dan jujur. Bahkan pada suatu hari, setelah sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta. Dia sedang duduk di kamarnya pada saat pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon untuk bertemu.

Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar ini pun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilakan duduk dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.

“Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai.”

Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan sehat, sedikit pun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya.

“Ciangkun menderita penyakit apakah?”

Brahmani tersenyum. “Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati penyakit.”

“Bantuan dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya.” Phang-sinshe memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.

“Saya mendengar bahwa sinshe adalah orang yang banyak merantau dan sudah amat berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu telah menjelajah daerah-daerah utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai, bukan?”

Oleh karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.

“Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh besar yang bernama....” Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan, “Hek-i Mo-ong?”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa perubahan sedikit pun pada air mukanya dan dia pun bertanya perlahan-lahan, “Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?”

Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau perlu, untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau mengetahuinya?

Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, tapi karena dia sudah memperoleh keterangan dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum dia pun berkata, “Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar mengenai dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini.”

Phang-sinshe mengangguk-angguk. “Hemm, apa buktinya?”

Brahmani lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata, “Aku pun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku telah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani mendekati sinshe.”

Sekarang Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik.

Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu Nepal!

Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. “Kalau persiapannya sudah begitu masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?” tanyanya.

Brahmani menarik napas panjang. “Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan dicinta rakyat, bahkan oleh pasukan-pasukan Bhutan, membuat pemberontakan atau penyerbuan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itu pun akan enggan melakukan perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami tengah menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi sinshe sebab satu-satunya cara untuk membuat lemah pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan dari sini.”

Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat, bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur Syah dan para pembantunya, agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur…..

********************

“Ceng Liong, mari kita berlomba menangkap kelinci itu!” Hong Bwee berteriak sambil melompat ke depan ketika dia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak.

Melihat kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan ‘matang’ di depan gadis cilik ini.

“Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya saja!” dia pun berseru dan mengejar.

Oleh karena kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari, dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.

Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-engah dan keringat membasahi leher bajunya. Keadaannya sama dengan kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil.

Ceng Liong menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh terpelanting.

“Aduhhh....!”

Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tiba juga terpelanting dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.

“Engkau tidak apa-apa?” Ceng Liong membantu gadis itu bangkit.

Hong Bwee menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku terluka oleh batu.

“Aku sudah menangkapnya untukmu!” kata Ceng Liong menuding ke depan.

Hong Bwee memandang dan terbelalak, kemudian lari menghampiri bangkai binatang itu. Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.

“Ceng Liong, engkau amat kejam!” Lalu diusapnya bulu kelinci itu. “Kelinci yang malang, engkau telah menjadi korban kekejaman orang....”

Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu. “Nona, mengapa engkau mengatakan aku kejam?” Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam!

“Ehh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi. Setelah aku membantumu menangkapnya, engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?”

Akan tetapi Hong Bwee tak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut. Ia lalu berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci itu.

Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tapi tidak luput dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!

“Apakah nona hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa....”

Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan dia pun makin heran, sampai terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!

Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan ‘upacara’ sembahyang itu dan duduk di atas akar pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walau pun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.

Ceng Liong yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia menekan perasaannya supaya suaranya tidak terdengar marah. “Nona, sungguh aku merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah kepadaku. Kenapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di depan kuburannya? Apa artinya semua ini?”

Kini Hong Bwee memandang dan alisnya berkerut. “Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?”

“Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?”

“Memang, tapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!”

Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci yang terbunuh? Apa-apaan ini?

“Tetapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa banyak binatang? Pada waktu kita bertemu untuk pertama kalinya, engkau pun membunuh anak beruang, bahkan juga mencoba untuk membunuh induknya. Binatang buruan memang untuk dibunuh!”

“Membunuh dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya dan engkau tadi membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!”

“Wah, membunuh tapi pakai aturan?” Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. “Nona, tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?” Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.

“Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh,” kata gadis cilik itu bersungut-sungut. “Nah, kau dengarkan baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita terancam bahaya, untuk mempertahankan nyawa dan keselamatan diri, tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam keselamatan kita itu, baik dia binatang atau pun manusia. Pembunuhan ini namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini benar adanya.” Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Ada lagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk mengenyangkan perut atau untuk memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami, yaitu membunuh tanpa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita, tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai santapan. Dan engkau membunuhnya seperti pembunuhan yang ke tiga tadi, kejam dan kelinci itu mati sia-sia!”

Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, tapi dilemparkan dan dibuang begitu saja.

“Tapi, nona....” Dia membantah, bermaksud untuk ‘meringankan’ dosanya. “Ketika aku merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau malah hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan dagingnya.”

“Benarkah itu?” Hong Bwee memandang tajam.

Sinar mata lembut akan tetapi tajam itu seakan-akan berubah menjadi ujung pedang yang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh.

“Tentu saja benar.”

“Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoa pun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?”

Sekarang wajah yang manis itu telah menjadi terang dan berseri kembali. Senyumnya mengembang lagi, seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.

Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan dia pun tersenyum. “Maaf, karena tidak tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona.”

“Hi-hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum, bukan?”

Ceng Liong mengangkat dadanya. “Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut mempertanggung jawabkan perbuatannya!”

“Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!”

Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, “Ahh, aku hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itu pun masih dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari.”

“Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke Bhutan, begitu jauhnya....”

“Ahh, engkau hanya menduga saja, nona.”

“Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala macam!”

“Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani....”

“Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona.”

“Baik, non.... ehh…. Hong Bwee.”

Nona kecil itu tersenyum geli. “Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!”

“Nona.... ehhh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat membuktikan kepandaianku mengobati?”

“Bukan itu, yang satunya lagi.”

“Ohh, main sulap? Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah, sekarang batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!”

Ceng Liong membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga sedikit mengaburkan pandang mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena ilmu sulap gurunya adalah ilmu sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi dengan kecepatan gerak tangannya, dia dapat memindahkan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri tanpa dapat terlihat oleh Hong Bwee.

“Lihat batu ini!” Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang tadi tergenggam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di situ terdapat sehelai daun hijau.

“Ah, tidak aneh! Biar pun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu kanak-kanak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksudkan.”

“Habis, yang mana lagi? Aku tidak bisa apa-apa.”

“Jangan engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar sekarang juga engkau mempertunjukkan ilmu silatmu.”

“Aku tidak bisa....”

“Bohong, nah aku akan mengujimu!” Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat sambil memukulkan tinjunya ke arah dada Ceng Liong.

Tentu saja, sebagai anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, dengan otomatis tubuh Ceng Liong bergerak mengelak. Hong Bwee menyerang terus dengan pukulan, tendangan dan tamparan, bahkan ia mempergunakan pula cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali, berkat ilmu silat yang dipelajarinya dari Wan Tek Hoat.

Melihat gerakan gadis ini mainkan Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi kagum. Dia pun tahu bahwa ayah gadis ini, seperti yang pernah dituturkan oleh ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan dari ayahnya sendiri, keponakan tiri, masih agak jauh huhungan darah antara dia dengan Wan Tek Hoat, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek Hoat adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan demikian, Wan Tek Hoat adalah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih terhitung keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan Suma Hui. Gadis cilik ini adalah cucu buyut nenek Lulu.

Agaknya Hong Bwee memang sungguh-sungguh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia mendesak terus, mengirim serangan bertubi-tubi.

Diam-diam Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka dia pun tidak berani main-main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pukul dan dia tidak mau hal ini sampai terjadi. Harga dirinya sebagai laki-laki akan turun kalau sampai dia terkena pukulan atau tendangan yang bertubi-tubi itu.

Maka dia pun segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya ilmu keluarga Pulau Es yang sudah dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru dipelajari teorinya saja dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya dengan matang itu cukup hebat.

Kini keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong menangkis dan balas menyerang, repotlah Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa menggunakan langkah-langkah mundur. Hal ini membuatnya penasaran. Sejak kecil Hong Bwee memang memiliki watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng Liong hanya sebaya dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang obat perantau. Tidak mungkin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak laki-laki ini.

“Heiiiiittt....!”

Tiba-tiba saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir hitam tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hidung Ceng Liong.

“Ehhh....!” Ceng Liong terkejut sekali dan biar pun dia sudah menarik tubuh atasnya ke belakang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.

“Plakk!” Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.

“Sudahlah, engkau yang menang,” katanya.

Wajah Hong Bwee menjadi kemerahan. “Tidak.... sebetulnya tadi aku yang kalah. Kau maafkan aku, Ceng Liong.”

Pada saat itu muncullah enam orang, semuanya memakai topeng yang menutupi muka mereka dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan.

Melihat keadaan mereka yang bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat buruk maka dia pun sudah siap siaga untuk melawan, menyelamatkan diri sendiri dan juga Hong Bwee. Biar pun masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki kecerdikan dan pandai menarik kesimpulan, maka dia pun menduga bahwa mereka ini datang untuk mengganggu Hong Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di situ dan tidak mempunyai harga untuk diganggu.

Dugaannya memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan berkata dalam bahasa Bhutan, “Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil.” Tanpa menanti jawaban, orang yang bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak menangkap pundak Hong Bwee.

“Siapa kau, manusia jahat?” Hong Bwee membentak marah sambil mengelak.

Gerakan gadis cilik ini memang lincah, maka terkaman itu pun luput. Orang bertopeng itu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Dia pun lalu menubruk lagi, sekali ini dengan kasar dan lebih cepat.

“Plakkk!”

Hong Bwee menangkis sambil mengelak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu tidak berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan tendangan, akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Melihat kawannya sukar menangkap anak perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru saja dia menubruk ke depan, dari samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu terkejut dan berusaha membalik sambil memutar lengan, akan tetapi dia terlambat.

“Desss....!”

Lambungnya kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras sekali karena tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke kakinya yang menendang. Orang itu terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting roboh!

Ceng Liong hendak mengamuk untuk melindungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat menghadangnya. Ceng Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendangan, menyambut lawan yang menghadangnya ini. Namun terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia bahwa orang ini lihai sekali, maka dia pun segera mengeluarkan Ilmu Silat Sin-coa-kun dan mendesak.

Orang yang menjadi lawannya itu hanya menangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-diam memancing Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat orang bertopeng! Tentu saja hanya dalam waktu singkat sang puteri telah dapat diringkus dan dibawa pergi.

“Ceng Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!”

Akan tetapi seorang di antara mereka membungkamnya dan mengikatkan sapu tangan di depan mulut anak perempuan itu sehingga tidak lagi mampu berteriak.

Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat tangguh dan biar pun lawannya belum pernah membalas serangannya, dia pun sudah tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.

“Ceng Liong, hentikan perlawananmu.”

“Mo-ong....!” Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. “Apa artinya semua ini? Mengapa Hong Bwee ditawan....?”

“Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee. Mereka....”

“Mereka itu siapa?”

“Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan pembicaraanku waktu itu dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau paling tidak jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanyalah keberadaan pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Jika Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang tuanya.”

Selagi gurunya bicara, Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka dia pun mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama sekali tidak senang akan siasat keji ini.

“Siasat itu bagus sekali,” dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.

“Kami sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini.”

“Akan tetapi, bagaimana pun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu. Kasihan, dia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga orang tuanya pun sangat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus kita balas dengan kejahatan?”

“Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?”

Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dalam hatinya, dia sama sekali tidak bisa menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan dapat leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia harus menolong Hong Bwee.....

“Begitukah? Aku pun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan kepadanya.”

“Ha-ha-ha, aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis cantik, ha-ha-ha!”

Wajah Ceng Liong menjadi merah. Kalau bukan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah diserangnya. “Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia amat baik kepadaku.”

“Aku tahu, dan aku pun yakin engkau akan dapat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penyakit, suatu tanda kelemahan yang akan mendatangkan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja. Kita kembali ke istana dan kita menghadap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa sang puteri telah diculik oleh enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari pulang, engkau bertemu denganku di tengah jalan karena aku sedang berbelanja obat, mengerti?”

Ceng Liong mengangguk.

“Untuk membuktikan bahwa engkau telah melakukan perlawanan mati-matian untuk membela sang puteri, engkau harus menderita luka. Bersiaplah menerima beberapa pukulanku, Ceng Liong!” Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong menerima pukulan itu.
“Plakk! Plakkk!”

Ceng Liong terpelanting, tapi hanya merasakan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itu pun nampak merah kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang cukup keras. Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng Liong. Dan kakek itu pun diam-diam gembira sekali melihat sikap Ceng Liong yang tenang saja menerima pukulan itu, tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak hanyut oleh perasaan.

“Mari kita pergi!” ajaknya dan mereka pun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu menuju ke Kota Raja Bhutan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima laporan guru dan murid itu.

“Kami datang membawa kabar buruk, taihiap,” demikian Phang-sinshe mulai dengan pelaporannya. “Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan murid saya yang tubuhnya bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa puteri paduka, nona Wan Hong Bwee telah diculik orang....” Kakek itu memandang ke arah keranjang berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, bahan-bahan obat yang sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.

“Apa yang telah terjadi dengan anakku? Bagaimana ia sampai diculik orang?” Wan Tek Hoat bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan.

Selama dia berada di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, kecuali tentu saja para penjahat yang dibersihkannya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti Dewi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan muka pucat. Ia melihat betapa pipi kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat itu, Phang-sinshe juga menyingkap baju Ceng Liong agar kulit pundak yang matang biru itu nampak.

“Ceng Liong, kau ceritakanlah.” Kakek itu menyuruh muridnya.

Ceng Liong menelan ludah sebelum mulai bicara. Untung bahwa dia tidak disuruh membohong, biar pun ada beberapa bagian yang harus dirahasiakannya.

“Kami berdua sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng yang memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua mengadakan perlawanan, akan tetapi saya.... saya tidak berhasil melindungi nona Hong Bwee. Ia dilarikan dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya....” Suara Ceng Liong terdengar sedih karena memang hatinya sangat gelisah dan sedih memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu amat ketakutan sekarang ini.

“Apa engkkau tidak mengenal seorang di antara mereka? Suaranya? Perawakannya?” tanya Wan Tek Hoat sambil memandang tajam.

“Tidak, taihiap. Mereka semuanya memakai topeng yang menyembunyikan muka dari hidung ke bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya, karena mereka berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama dengan orang-orang di sini, agak asing bagi pendengaran saya yang belum faham benar dalam Bahasa Bhutan.”

Tek Hoat lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah menerima penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersama isterinya lalu berangkat ke tempat itu untuk mencari jejak para penculik. Sementara itu, Ceng Liong dan Phang-sinshe dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama Ceng Liong yang harus menjadi penunjuk jalan.

Mereka tiba di dalam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka tidak dapat menemukan apa-apa karena sukarlah mencari jejak tapak kaki di tanah yang tertutup daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu. Tek Hoat dan isterinya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan gurunya pura-pura ikut mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon diri, bahkan membujuk suami-isteri itu untuk pulang dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian.

“Isteriku, engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia mengerahkan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu mencari, malam ini juga. Aku sendiri akan terus mencoba mencari jejak mereka di hutan ini.”

Syanti Dewi mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah hatinya, wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Melihat gerakan ini, diam-diam Phang-sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat sekali sehingga dia sendiri pun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan nyonya itu.

Juga Ceng Liong terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu. Guru dan murid ini tentu saja tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah mewarisi ilmu ginkang dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, murid dari seorang pendeta wanita sakti yang telah menguasai ilmu ginkang luar biasa, yaitu Kim Sim Nikouw.

Phang-sinshe dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata, “Mo-ong, rencanamu itu memang baik sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan nona Hong Bwee, tentu Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet. Akan tetapi, jangan main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau sampai puteri mereka itu terganggu sedikit saja, mereka akan mengamuk dan kalau ketahuan bahwa kita mencampuri urusan penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi mereka mati-matian.”

“Ha-ha-ha, jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan juga, siapa pula yang akan mengganggu nona Hong Bwee? Ia diculik hanya untuk mengalihkan perhatian dan juga sebagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap, tidak mencampuri penyerbuan Nepal ke Tibet.”

“Rencanamu memang bagus, akan tetapi apakah orang-orang Nepal itu boleh engkau percaya? Ingat, Mo-ong, aku telah banyak mendengar tentang kebiadaban orang-orang Nepal terhadap wanita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai dia terganggu, kita pun harus bertanggung jawab.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan muridnya itu terjadi, pasti kelak akan menimbulkan kesulitan.

“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?” tanyanya ragu-ragu.

“Mo-ong, serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang menjaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan melaporkan kepada ayah bundanya bahwa ketika ditawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah pengawasanku, ia tidak akan mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku dari pada kepada orang-orang kasar itu. Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong Bwee, tetapi juga untuk melancarkan jalannya siasatmu.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita langsung ke sana!”

Ceng Liong tidak merasa heran ketika dia diajak memasuki kota raja oleh gurunya, kemudian masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal seorang perwira tinggi! Dia memang sudah dapat menduga sebelumnya bahwa tentu ada ‘orang-orang dalam’ yang ikut memegang peranan dalam persekutuan busuk itu.

Perwira Brahmani, mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup menjadi perwira tinggi di Kerajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.

“Anak ini.... dia....”

Hek-i Mo-ong menggerakkan tangannya ke atas. “Cocok sekali dengan rencana kita, Brahmani.” Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira tinggi yang menjadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan sikapnya juga sebagai seorang atasan. “Dengan begitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami. Nah, sekarang di mana nona kecil itu? Sudah dapat diamankan di tempat rahasia?”

Mereka dipersilakan masuk dan duduk di ruangan dalam. “Jangan khawatir. Anak itu telah berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapa pun tidak akan mencari ke sini. Siapa yang akan menduga dan menuduh aku menjadi penculik puteri Pangeran Wan?” Brahmani tertawa puas ketika Hek-i Mo-ong mengangguk dan memuji kecerdikannya.

“Ketahuilah, Brahmani. Muridku ini memang sengaja mengambil sikap melindungi anak itu. Hal ini amat penting untuk menghindarkan kecurigaan kepada kami. Dan sekarang, aku berpendapat bahwa sebaiknya kalau muridku yang melakukan penjagaan terhadap puteri Wan Tek Hoat itu, atau setidaknya, muridku inilah yang dibolehkan menjenguknya sewaktu-waktu.”

Brahmani mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, sinshe, anak itu sudah dijaga siang malam oleh selosin anak buahku yang cukup lihai. Ia tidak mungkin dapat lolos dari tempat tahanannya, dan tidak ada seorang pun dari luar tahu bahwa di rumah ini terdapat kamar rahasia bawah tanah, apalagi mengetahui bahwa puteri itu berada di sini. Penjagaan sudah cukup kuat!”

“Bukan kekuatan itu yang kumaksudkan, akan tetapi dari segi keamanan. Kalau muridku yang ikut mengamati, anak perempuan itu tidak akan ketakutan dan memberontak. Bayangkan kalau sampai anak itu mogok makan dan rewel terus sampai jatuh sakit, bukankah hal itu berbahaya sekali? Kalau sampai ia mati, tentu akibatnya amat besar, mengingat akan kesaktian dan kekuasaan Wan Tek Hoat. Muridku dapat menghiburnya dan menenteramkan hatinya.”

Brahmani mengangguk-angguk walau pun dia masih memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata ragu-ragu dan curiga. Dia teringat betapa pemuda cilik ini tadi merobohkan seorang anak buahnya dan membuat anak buahnya nyaris tewas oleh tendangan yang amat keras itu.

Mereka bertiga lalu menjenguk keadaan Hong Bwee. Ternyata di dalam ruangan tidur perwira itu, terdapat sebuah lubang di balik almari, lubang yang merupakan terowongan bawah tanah dan berhenti pada sebuah kamar di bawah tanah. Tempat itu cukup luas dan hawanya masuk dari lubang-lubang angin yang dipasang secara bersembunyi, juga memperoleh penerangan dari lampu yang bernyala siang malam. Biar pun demikian, tentu saja orang yang disekap di dalamnya akan menderita karena tak dapat melihat keluar dan tidak terkena sinar matahari.

Di dalam ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil, sebuah meja, sebuah kursi. Dua buah lampu tergantung di dinding dan ada lukisan-lukisan cukup indah ditempel di atas dinding. Cukup menyenangkan dan bersih.

Hong Bwee sedang duduk dengan wajah muram di atas dipan ketika tiga orang itu masuk. Pintu besi yang atasnya terdapat ruji yang kokoh kuat itu terbuka dan masuklah Brahmani, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Begitu melihat anak laki-laki itu, Hong Bwee meloncat turun dan memandang dengan mata terbelalak, dan wajahnya menjadi cerah dan gembira ketika ia mengenal Phang-sinshe.

“Phang-sinshe....! Ceng Liong....!” Anak itu lari ke depan dan merangkul Ceng Liong sambil menangis saking lega dan girang hatinya, terbebas secara mendadak dari rasa khawatir, takut, dan marah semenjak ia ditawan.

Ceng Liong memeluk anak perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia coba menghibur, akan tetapi dia membiarkan Hong Bwee melepaskan semua kegelisahannya melalui air mata. Sementara itu, Hek-i Mo-ong dan Brahmani saling pandang, kemudian diam-diam meninggalkan kamar dan memesan kepada para penjaga agar Ceng Liong diperbolehkan keluar masuk kamar tahanan itu.

Ketika Hong Bwee sudah puas menangis, mengangkat mukanya dari dada Ceng Liong dan memandang, gadis cilik ini terkejut karena Phang-sinshe sudah tidak berada di situ lagi dan pintu kamar tahanan itu sudah tertutup lagi.

“Ceng Liong....!” teriaknya kaget. “Apakah engkau ditawan juga? Dan gurumu?”

“Tenanglah, nona.... ehhh, Hong Bwee, tenanglah. Memang engkau dijadikan tawanan atau sandera, akan tetapi aku menjamin bahwa engkau tak akan diganggu. Sedangkan aku.... aku dan guruku tidak ditawan. Eh, terus terang saja, aku malah ditugaskan untuk menjagamu....”

“Ihhh....? Berarti engkau dan gurumu telah berkhianat dan memusuhi keluargaku?” Gadis cilik itu marah sekali dan mengepal kedua tinju tangannya.

“Tenanglah dan dengarkan ucapanku baik-baik. Mari kita duduk di sana.” Ceng Liong mengajak anak perempuan itu duduk di atas dipan. Mereka duduk bersanding sambil memandang ke arah daun pintu karena takut kalau-kalau ada yang mengintai atau mendengarkan. Dia berbisik-bisik.

“Kini ada persekutuan rahasia di Bhutan yang menentang kebijaksanaan sri baginda. Mereka itu bersekutu dengan Nepal dan mereka tidak ingin melihat Bhutan campur tangan kalau Nepal menyerbu ke Tibet. Akan tetapi mereka takut kepada ayahmu, maka mereka menawanmu di sini untuk melumpuhkan ayahmu. Jadi, engkau hanya ditawan dan tidak akan diganggu. Aku tanggung jawab akan hal itu.”

Dua mata yang indah itu masih terbelalak dan mukanya merah karena kemarahan. “Akan tetapi engkau.... dan gurumu ikut dalam persekutuan busuk itu! Padahal ayahku telah menerima kalian sebagai tamu terhormat! Beginikah cara kalian membalas budi orang?”

“Ssstt, jangan keras-keras bicara, Hong Bwee. Dengarlah, engkau bukan anak kecil lagi dan aku tahu engkau tidak bodoh. Harus pandai bersiasat. Menggunakan kekerasan saja kita berdua mampu berbuat apakah? Akan tetapi engkau yakinlah bahwa selama ada aku di sini, engkau tidak akan diganggu. Aku harus pura-pura mentaati mereka, akan tetapi aku akan mencari jalan agar engkau dapat bebas dengan aman. Tapi engkau harus menurut semua pesanku. Bagaimana, percayakah engkau kepadaku?”

Mereka saling berhadapan muka. Melihat betapa pipi anak laki-laki itu masih bengkak, Hong Bwee teringat betapa Ceng Liong telah mencoba untuk melindunginya ketika enam orang bertopeng itu muncul. Maka ia pun mengangguk.

“Habis, kita harus berbuat apa? Dan di mana aku sekarang? Aku dibawa ke sini dengan kedua mata ditutup sapu tangan hitam.”

“Engkau berada dalam sebuah kamar bawah tanah dari gedung tempat tinggal perwira Brahmani.”

“Ahhh, dia mengenal baik orang tuaku!”

“Tentu saja karena dia mata-mata Nepal yang diselundupkan di sini. Engkau tenang-tenang saja dan jaga kesehatanmu baik-baik. Makan dan minumlah agar engkau tidak jatuh sakit. Aku akan mencari jalan bagaimana baiknya untuk menolongmu. Percayalah bahwa biar pun aku murid Phang-sinshe, akan tetapi aku tidak sudi bersekongkol dan melakukan kejahatan. Akan tetapi, untuk menentang dengan kekerasan tentu saja aku tidak berani.”

“Ceng Liong, tolong engkau beritahukan ayah, tentu mereka akan dihajar dan aku akan dibebaskan.”

“Hemm, tidak semudah itu, Hong Bwee. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sudah nekat dan mereka itu akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka. Engkau dijadikan sandera, maka kalau ayahmu datang menyerbu, mungkin sekali keselamatanmu terancam. Kita harus pakai siasat. Aku akan mencari akal itu supaya mereka dapat dihancurkan tetapi engkau pun harus dapat diselamatkan. Sementara ini, engkau bersikaplah tenang, tidur dan makan minum secukupnya agar jangan sampai jatuh sakit. Aku akan mencari akal supaya dapat membawamu keluar dari sini dan mengabarkan kepada ayahmu tentang semua ini. Aku harus hati-hati agar guruku dan persekutuan itu tidak menaruh curiga kepadaku. Maka, di depan mereka, kalau aku bersikap kasar terhadap dirimu, harap engkau tidak salah sangka.”

Anak perempuan itu mengangguk-angguk dan memandang ke atas meja di mana terdapat hidangan yang sejak tadi belum dijamahnya. Memang perutnya lapar sekali dan tenggorokannya haus, akan tetapi dengan keras hati ia tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya. Kini, mendengar omongan Ceng Liong, dan setelah hatinya merasa lega karena di situ terdapat Ceng Liong yang akan menolongnya, ia pun baru merasakan kelaparan dan kehausan itu. Diraihnya cangkir teh dan diminumnya sedikit.

“Nah, kau makanlah, aku harus keluar dulu. Tidak baik berlama-lama di sini,” kata Ceng Liong sambil bangkit berdiri.

“Jangan terlalu lama meninggalkan aku sendirian saja di sini,” kata anak perempuan itu dengan suara sedih.

“Tentu saja tidak. Aku akan sering datang menengokmu dan memberi kabar tentang perkembangan selanjutnya.”

Ceng Liong lalu keluar, diikuti pandang mata Hong Bwee yang hanya mengharapkan bantuannya untuk dapat keluar dengan selamat dari dalam kamar tahanan itu. Oleh para pengawal, pintu dibuka dan setelah pemuda itu keluar, daun pintu ditutup dan dikunci lagi dari luar. Wajah dua orang penjaga nampak di luar jeruji besi, memandang kepada Hong Bwee yang sedang makan itu sambil menyeringai menakutkan. Hong Bwee membuang muka, tidak sudi bertemu pandang dengan mereka dan terdengar mereka itu tertawa mengejek.

Para pengawal itu menyampaikan keadaan anak perempuan yang ditawan kepada Brahmani, bahwa anak itu sudah mau makan minum dan tidur nyenyak semenjak Ceng Liong masuk ke situ dan bercakap-cakap cukup lama. Hal ini menggirangkan hati Brahmani dan kini dia mulai percaya penuh kepada murid Hek-i Mo-ong yang tadinya dicurigainya itu.

Dia makin kagum akan kecerdikan Hek-i Mo-ong yang menyuruh muridnya itu pura-pura melindungi puteri Pangeran Wan itu sehingga memperoleh kepercayaan dari si anak perempuan. Karena, kalau sampai terjadi puteri itu mogok makan minum dan jatuh sakit, rencana siasat mereka akan menjadi rusak dan mereka bahkan dalam keadaan berbahaya. Seorang sandera harus berada dalam keadaan segar bugar, barulah ada harganya, karena kalau sampai mati, sandera itu tidak ada artinya lagi.

Hek-i Mo-ong sendiri sangat girang dengan hasil pendekatan muridnya ini dan semenjak itu, Ceng Liong memperoleh kepercayaan besar untuk menghibur dan menemani Hong Bwee. Dia makin sering datang bercakap-cakap di dalam kamar tahanan Hong Bwee, dan diceritakannya semua perkembangan di luar tempat tahanan itu kepada gadis cilik ini.

Ternyata siasat yang diatur oleh persekutuan itu berjalan dengan lancar dan berhasil baik sekali. Sepucuk surat diterima oleh Wan Tek Hoat yang telah mengerahkan semua pasukan mencari puterinya dengan sia-sia. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya berada tidak jauh dari istana, dalam gedung seorang perwira tinggi!

Maka ketika dia menerima sepucuk surat dari Siwananda, Koksu Nepal, dia hanya dapat membaca dengan muka kemerahan saking marahnya. Bagaimana pun juga ini menyangkut keselamatan puterinya, dan juga kewibawaan Kerajaan Bhutan, dua hal yang saling bertentangan. Maka, bersama isterinya dia membawa surat itu menghadap raja.

Raja Badur Syah mengerutkan alisnya ketika Wan Tek Hoat memperlihatkan surat dari Siwananda itu. Isinya ringkas saja, yaitu bahwa Nepal tidak bermaksud memusuhi Bhutan, hanya minta agar diperbolehkan melewati daerah Bhutan sebelah utara untuk pasukan Nepal yang mengadakan penyerbuan ke Tibet. Agar Bhutan tidak mencampuri urusan itu dan sebagai tanda terima kasih, Nepal akan menjaga Puteri Gangga Dewi baik-baik dan akan mengantarkannya kembali dalam keadaan sehat dan selamat.

“Keparat!” Raja Badur Syah membentak marah. “Tak kusangka Kerajaan Nepal akan mempergunakan kecurangan yang begini tidak tahu malu! Menculik anak kecil untuk memaksakan kehendaknya kepada kerajaan kita!”

“Bagaimana baiknya, rakanda?” tanya Syanti Dewi sambil meremas-remas tangannya sendiri. “Kami ayah dan ibu dihadapkan pada dua masalah yang sama pentingnya bagi kami. Di satu fihak, masalah keselamatan anak tunggal kami dan di lain fihak masalah wibawa kerajaan yang terancam!”

Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa suami isteri di depannya ini adalah tulang punggung pemerintahannya. Tidak mungkin kiranya membiarkan Gangga Dewi terancam bahaya maut. Akan tetapi, jika ia membiarkan pasukan Nepal menyerbu Tibet dengan mengambil jalan lewat Bhutan, hal ini pun akan besar akibatnya. Pertama, Bhutan akan dianggap musuh oleh Tibet, dan terutama sekali, Kerajaan Ceng-tiauw tentu akan menganggap Bhutan bersekutu dengan Nepal. Akibat ini lebih hebat lagi bagi kerajaannya.

“Serba salah.... serba salah memang,” akhirnya raja itu berkata. “Memang, bagi Nepal, jalan satu-satunya menuju ke Tibet hanya melalui daerah kita sebelah utara. Menurut catatan, dahulu pernah Nepal menyerang ke Tibet melalui daerah mereka sendiri di utara, akan tetapi Nepal kehilangan banyak prajurit yang tewas dalam perjalanan karena perjalanan itu melalui puncak-puncak yang tinggi dan jurang-jurang yang curam, amat sukar dilalui manusia. Kita berdiri di tengah-tengah, antara dua negara yang sedang bermusuhan. Kalau kita membiarkan Nepal melewati daerah kita, kita dapat dianggap bersekongkol dan menentang Kerajaan Ceng. Sebaliknya, jika kita menolak permintaan Nepal, kita dapat dianggap menentangnya. Serba salah, serba susah!”

“Menurut surat itu, kita masih mempunyai waktu dua pekan. Selama dua pekan ini kami akan mencari jejak anak kami, kalau perlu, kami atau saya sendiri akan memasuki Nepal, mencari di mana anak kami itu ditawan,” Tek Hoat berkata sambil mengepal tinju.

“Kami amat mencinta anak kami dan tentu saja mengutamakan keselamatannya, akan tetapi, rakanda, kami juga tahu bahwa kewibawaan Kerajaan Bhutan tidak mungkin dibiarkan untuk diinjak-injak secara begitu saja oleh Nepal. Suamiku berkata benar, masih ada waktu dua pekan sebelum pasukan Nepal mempergunakan daerah kita untuk lewat menyerbu Tibet. Kalau dalam waktu itu kita sudah berhasil menemukan Gangga Dewi dengan selamat, maka kita akan menolak permintaan itu! Kalau andai kata kami tidak....berhasil terserah saja kepada keputusan rakanda!”

Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Memang tiada pilihan lain. Raja ini lalu melepas kepergian suami isteri itu sambil berulang kali menghela napas panjang. Tak diduganya bahwa kerajaannya yang makmur dan tenteram itu kini dilanda ancaman mala petaka, bahkan yang langsung terkena adalah adik tirinya, Puteri Syanti Dewi.....

********************

Sepekan lagi hari yang disebutkan oleh fihak Nepal untuk menyeberang ke Tibet melalui Bhutan tiba. Dan selama itu, Tek Hoat belum juga berhasil menemukan puterinya yang hilang. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk berdua pergi ke Nepal dengan cara menyelundup karena merasa yakin bahwa anak mereka tentu ditawan di kerajaan itu.

Akan tetapi, sebelum mereka berangkat yang menurut rencana akan mereka lakukan pada keesokan harinya pagi-pagi benar, malam itu Ceng Liong menghadap mereka.

“Locianpwe, saya mau bicara penting sekali!” kata anak itu sambil celingukan ke kanan kiri.

Melihat sikap anak itu yang telah mereka kenal kecerdikannya, Tek Hoat lalu menarik tangannya diajak masuk ke ruangan dalam. Syanti Dewi cepat mengikuti setelah puteri ini merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat anak laki-laki itu memasuki istana.

“Apa yang hendak kau bicarakan, Ceng Liong? Di mana Phang-sinshe?” tanya Tek Hoat sambil memandang tajam penuh selidik.

“Locianpwe, ada persekutuan yang malam ini hendak turun tangan mengacau. Mereka bahkan berusaha untuk menduduki istana sri baginda!”

“Apa?!” Tek Hoat terkejut sekali.

Dia memegang pundak anak itu, lupa akan tenaganya sendiri dan terkejutlah Tek Hoat ketika dari pundak anak itu keluar tenaga penolak yang amat hebat. Dia cepat menarik kembali tangannya dan memandang anak itu dengan mata terbelalak. Tidak pernah disangkanya bahwa anak ini memiliki tenaga sinkang yang sedemikian hebatnya. Ceng Liong tahu bahwa sumber tenaganya itu kembali telah bergerak otomatis, maka dia merasa tidak enak sekali.

“Apa yang terjadi?” tanya Tek Hoat, lebih ingin tahu tentang persekutuan itu dari pada tentang kekuatan tersembunyi di tubuh Ceng Liong.

“Locianpwe, beberapa orang pembesar dan panglima telah bersekongkol dengan orang Nepal. Malam ini mereka akan melakukan pengacauan dan penyerbuan ke istana untuk memancing perhatian, agar semua kekuatan ditujukan untuk menghadapi kekacauan itu sehingga tentara Nepal dapat melewati daerah utara dengan aman.”

Tek Hoat semakin terkejut. Teringatlah dia akan pemberontakan yang dahulu dilakukan oleh Mohinta, putera mendiang Panglima Tua Sangita yang berhasil dia hancurkan saat dia membela Bhutan. Apakah kini terulang lagi peristiwa pemberontakan itu? Panglima Jayin telah tiada, telah meninggal dunia karena usia tua, dan kini para panglima Bhutan adalah muka-muka baru, walau pun mereka itu sejak muda sudah mengabdi kepada kerajaan.

“Hemm, ceritakan semua apa yang kau ketahui dan bagaimana engkau bisa tahu!” bentak Tek Hoat, belum mau percaya begitu saja keterangan anak itu.

“Saya mendengar sendiri percakapan mereka dalam rapat sore tadi, locianpwe, bahkan saya hadir pula bersama guru saya....”

“Phang-sinshe? Dia ikut bersekongkol?”

Ceng Liong menarik napas panjang. Tak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan itu. “Benar, locianpwe. Dia bersekongkol dengan perwira Brahmani dan yang lain-lain.”

“Brahmani orang Nepal itu? Keparat! Dan engkau sendiri? Bukankah engkau muridnya Phang-sinshe?”

“Memang saya muridnya, akan tetapi murid untuk mempelajari ilmu kepandaian, bukan murid untuk mempelajari kejahatan.”

“Biarkan dia bercerita terus. Ceng Liong, ceritakanlah sejelasnya dan apakah engkau tahu pula di mana Gangga Dewi anakku?”

“Di mana dia?!” Tek Hoat membentak. Dia sudah mencengkeram lagi ke arah pundak Ceng Liong.

Akan tetapi dari samping isterinya memegang pergelangan tangan suamimya, “Sabar dulu, mungkin dialah yang akan dapat menyelamatkan anak kita,” tegurnya.

“Harap locianpwe berdua tidak perlu khawatir. Selama ini saya telah menghibur dan menemaninya.”

“Bocah setan! Engkau dan gurumu telah menerima budi kebaikan orang, akan tetapi membalasnya dengan perbuatan keji. Kenapa tidak semenjak dahulu engkau memberi tahukan kami tentang anak kami? Begitu jahatkah kalian?!” Tek Hoat membentak lagi.

“Lebih baik cepat katakan di mana anakku supaya kami dapat segera menyerbu dan membebaskannya!” Syanti Dewi juga berkata dengan hati penuh ketegangan dan amat gelisah.

“Jangan, jangan lakukan itu. Itulah sebabnya kenapa saya tidak sejak kemarin memberi tahu kepada ji-wi locianpwe. Jika locianpwe menggunakan kekerasan menyerbu tentu dengan mudah mereka akan membunuh puteri locianpwe. Mereka adalah orang-orang kejam. Harus diatur dengan baik agar puteri locianpwe dapat diselamatkan, dan juga agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan.”

Tek Hoat seketika sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang amat cerdik dan berpemandangan luas. Seperti seorang dewasa saja anak ini, pikirnya kagum.

“Baiklah, bagaimana keadaannya yang sebenarnya? Dan bagaimana engkau akan bisa menyelamatkan anak kami?”

“Mereka terdiri dari mata-mata Nepal, yaitu perwira Brahmani, beberapa orang pejabat tinggi dan beberapa orang panglima pasukan, juga.... juga guru saya ikut di dalamnya. Malam ini, menjelang tengah malam, mereka akan melakukan penyerbuan dan kini mereka sudah berkumpul di markas yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan.”

“Panglima Ram Rohan?” Tek Hoat terkejut sekali karena panglima itu masih saudara sepupu dari mendiang Mohinta, putera Panglima Tua Sangita yang dahulu pernah memberontak itu.

Inilah akibatnya kalau raja terlalu lunak terhadap mereka. Setiap kali ada kesempatan, hati yang membenci itu tentu kambuh pula dan mereka ini akan mudah melakukan pemberontakan untuk membalas dendam atas kesalahan mereka yang lalu.

“Saya memberi tahu locianpwe agar supaya penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan. Sedangkan mengenai nona Hong Bwee, sayalah yang akan melarikannya dari tempat tahanan. Mereka semua percaya kepada saya sebagai murid Phang-sinshe. Dan untuk keperluan ini, saya hanya minta dibekali seguci arak terbaik yang sudah dicampuri obat bius untuk membuat selosin penjaga di dalam itu lumpuh. Lalu saya akan mencoba membawanya keluar dari gedung itu melampaui para pengawal yang berjaga di luar.”

Melihat gawatnya suasana, Tek Hoat tidak membuang banyak waktu lagi. Dia segera berunding dengan isterinya. Dia sendiri akan cepat-cepat melapor kepada sri baginda, mempersiapkan pasukan yang kuat untuk mengepung dan menghancurkan markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan, menghancurkan persekutuan itu. Sedangkan isterinya akan membantu Ceng Liong dan membayanginya dari belakang, melindunginya kalau sampai dua orang anak itu diancam oleh para penjaga di luar gedung di mana anak perempuan itu disekap.

Kepada Ceng Liong lalu diberikan seguci arak merah yang wangi dan sudah dicampuri obat bius oleh Tek Hoat yang pernah mempelajari ilmu pengobatan, bahkan memiliki kepandaian membuat racun perampas ingatan yang diwarisinya dari Pulau Neraka.

Sebelum berangkat, Ceng Liong membalik dan berkata, “Locianpwe, saya minta obat penawarnya.”

“Ehhh? Untuk apa?”

“Siapa tahu para penjaga itu curiga kepada saya dan tidak mau minum arak ini, maka kalau mereka memaksa saya ikut minum, sebelum saya menjaga diri dengan obat penawarnya, kan celaka....”

Tek Hoat mengangguk-angguk dan semakin kagum kepada anak kecil ini. Diambilnya dua butir pel merah. “Telanlah ini dan biar pun engkau harus menghabiskan seguci arak itu, engkau tidak akan mabok atau terbius.”

Ceng Liong menerimanya dengan girang, lalu pergi dari situ diam-diam dibayangi oleh Syanti Dewi. Sedangkan Wan Tek Hoat sendiri secepatnya pergi untuk menghadap sri baginda. Karena dia yang datang, maka para pengawal berani melaporkan ke dalam bahwa pangeran itu minta ijin menghadap raja karena ada keperluan yang amat penting dan gawat.

Sementara itu, Ceng Liong segera pergi membawa guci arak menuju ke gedung perwira Brahmani, bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi menghampiri para penjaga. Para penjaga di luar gedung sudah mengenal anak ini dengan baik dan mereka semua sudah tahu bahwa anak ini adalah murid Phang-sinshe yang dipercaya sebagai satu-satunya orang yang boleh memasuki kamar tahanan di mana Puteri Gangga Dewi ditahan.

“Hei, Ceng Liong, engkau membawa arak baik ya?”

“Beri kita sedikit ah!”

Ceng Liong tersenyum kepada mereka dengan sikap ramah. “Mana aku berani? Arak ini adalah pesanan Brahmani tai-ciangkun, kalau berkurang sedikit saja aku akan celaka! Biar nanti kucarikan untuk kalian yang lain saja.” Sambil berkata demikian Ceng Liong menyelinap ke dalam gedung tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun.

Dua belas orang pengawal pilihan yang berjaga di luar kamar tahanan Hong Bwee mengira bahwa Ceng Liong membawakan makanan atau minuman untuk anak yang ditawan, akan tetapi melihat anak laki-laki itu membawa guci arak, mereka menjadi heran.

“Ehhh, Ceng Liong, untuk siapa engkau membawa seguci besar arak itu?” tegur komandan jaga. Tentu saja mengherankan melihat anak itu membawakan seguci arak untuk tawanan, seorang anak perempuan yang jarang minum arak.

Ceng Liong tertawa. “Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kakak-kakak sekalian? Melihat kakak sekalian siang malam berjaga tak mengenal lelah, aku merasa kasihan dan tadi aku melihat arak berlimpahan dalam pertemuan para panglima. Maka aku minta kepada suhu-ku untuk diperkenankan membawa seguci arak wangi untuk dihadiahkan kepada kalian.”

Dua belas orang pengawal itu bersorak gembira dan banyak tangan menerima guci arak itu. Tutup guci dibuka dan terciumlah keharuman arak yang amat sedap, membuat mereka bergegas mencari cawan. Akan tetapi, komandan jaga cepat membentak.

“Jangan sentuh dulu arak itu!”

Para anak buahnya terkejut dan kecewa. Mereka lalu memandang kepada komandan mereka dengan alis berkerut.

“Kenapa? Apa salahnya dengan arak ini?”

“Kita sudah bersusah payah, sudah selayaknya menerima hadiah minuman baik!”

Namun komandan jaga itu tidak menghiraukan omelan anak buahnya. Dia menghampiri guci arak, mencium-cium dan memeriksa isinya. Diam-diam Ceng Liong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa kepala jaga ini orangnya demikian cerdik dan banyak curiga. Akan tetapi, dia bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum.

Semua pengawal melihat komandan mereka menuangkan arak dari guci ke dalam sebuah cawan dan mereka mengilar melihat arak merah yang jernih dan wangi itu. Akan tetapi komandan itu tidak minum arak ini, melainkan menyodorkan cawannya kepada Ceng Liong sambil berkata, “Ceng Liong, kau minumlah arak ini!”

Semua pengawal memandang heran dan Ceng Liong juga mengambil sikap seperti orang merasa kaget dan heran. “Akan tetapi, aku sengaja membawa arak ini untuk kakak sekalian!” bantahnya.

“Hemm, bagaimana kami tahu bahwa arak ini tidak beracun kalau engkau tidak mau minum dulu secawan?” kata si komandan dengan muka berseri, merasa bangga memperlihatkan kecerdikannya.

Kini para anak buahnya, pengawal-pengawal yang berpengalaman, terkejut dan timbul pula kecurigaan mereka. Beramai-ramai mereka lalu mendesak kepada Ceng Liong untuk minum arak dalam cawan itu.

“Hemm, aku tidak pernah atau jarang sekali minum arak, akan tetapi untuk memuaskan hati kakak sekalian, apa boleh buat, akan kuminum arak ini. Akan tetapi, tolonglah aku nanti kalau sampai mabok.” Tanpa meragu lagi, Ceng Liong lalu mengangkat cawan arak itu, menempelkan ke mulutnya dan menenggaknya sekaligus sampai habis! Dia menjilati bibirnya, nampak keenakan sekali dan mengangguk-angguk.

“Wah, belum pernah aku minum arak seenak ini. Bolehkah aku minta secawan lagi?”

Begitu Ceng Liong berkata demikian, para pengawal itu segera berebut mengisi cawan arak mereka dari guci itu tanpa memperdulikan permintaan Ceng Liong, sambil tertawa-tawa. Si komandan jaga juga tidak lagi melarang mereka, bahkan dia pun menuntut agar diberi lebih dahulu.

Tentu saja dua belas orang pengawal itu kini percaya sepenuhnya bahwa arak itu tidak mengandung sesuatu yang tidak baik setelah anak itu berani minum secawan dan tidak kelihatan ada akibat yang mencurigakan. Memang arak itu arak tua yang harum dan lezat, maka mereka pun seperti berlomba, minum sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, baru menghabiskan dua cawan saja, mereka sudah roboh terguling, terbius dan tidur pulas atau pingsan, malang-melintang tidak teratur di tempat penjagaan di luar kamar tahanan itu.

Ceng Liong tidak mau membuang terlalu banyak waktu lagi. Diambilnya kunci pintu kamar tahanan itu dari saku baju komandan jaga, dan dibukanya pintu kamar tahanan. Hong Bwee telah mendengar akan kedatangan Ceng Liong dan mendengar percakapan antara Ceng Liong dan para penjaga, mendengar betapa mereka minum arak dan tertawa-tawa. Kini, anak perempuan itu merasa heran sekali mengapa suasana di luar kamar tahanan begitu sunyi seolah-olah semua penjaga telah pergi dan nampak Ceng Liong masuk sendirian saja.

“Ceng Liong, apa yang telah terjadi?”

“Ssttt, diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini,” kata Ceng Liong sambil menaruh telunjuk di depan mulutnya.

Biar pun semua penjaga di luar kamar tahanan telah roboh, akan tetapi masih banyak pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-hati untuk dapat membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.

Ketika ia digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas orang penjaga itu malang-melintang dalam keadaan seperti sudah tewas saja, Hong Bwee terkejut dan merasa ngeri. “Apa yang terjadi dengan mereka?” bisiknya.

“Mereka hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari kita pergi melalui pintu belakang.”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi. Ceng Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa orang pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan. Kesempatan ini dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar dari gedung, menyusup ke dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri.

Ternyata di luar gedung memang terjadi keributan. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadi membayanginya, telah mengamuk dan menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang memberontak itu. Para penjaga melawan dengan hati kecut, karena mereka tahu siapa adanya puteri ini, akan tetapi mereka pun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di rumah Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja.

Akan tetapi, para penjaga yang berjumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri Syanti Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu? Cepat bukan main sang Puteri bergerak di antara mereka, merobohkan mereka dengan tamparan atau tendangan. Sang puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut Ceng Liong ditawan di dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira Brahmani yang ternyata adalah mata-mata Nepal itu.

Akan tetapi, setelah para penjaga itu berantakan dan sebagian besar melarikan diri tidak berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai menghilang itu, dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tak dapat menemukan lagi puterinya.

Kamar tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di luar kamar. Dan Ceng Liong pun tidak nampak di situ. Sang puteri pun paham bahwa anaknya sudah diajak lari keluar gedung oleh murid Phang-sinshe. Dia pun cepat pergi meninggalkan gedung itu untuk membantu suaminya yang sedang mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum pemberontak yang berkumpul di markas Panglima Ram Rohan.....

********************

Tentu saja para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!

Melalui seorang pelantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat segera memerintahkan para pemberontak untuk cepat menyerahkan diri tanpa melawan. “Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Dan tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!”

Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung. “Ahh, tentu ada yang membocorkan rahasia kita,” kata Phang-sinshe. “Tentu ada pengkhianat di antara kita!”

“Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!” bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.

“Siapa? Siapa pangkhianatnya?” tanya semua orang yang berada di situ.

“Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?” kata Brahmani. “Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?”

“Jangan menuduh sembarangan!” bentak Phang-sinshe. “Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?”

“Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!” bentak Brahmani marah.

“Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!” Kini Phang-sinshe berubah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiri pun mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.

“Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,” kata Panglima Ram Rohan. “Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.”

Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidak berbantahan lagi dan mereka pun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti.....

Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pemerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak. Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti ini pun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jeri. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah.

Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, yaitu di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tiada seorang pun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali prajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya.

Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada prajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.

Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya. Terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!

“Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?!” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”

Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini telah dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan perasaan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka, yang kemudian diwarisi oleh Tek Hoat.

“Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!”

Sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan, Tek Hoat menyerang dengan pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.

“Cring! Cring! Tranggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong memeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali.

Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang sedikit, tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu. Maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat dia pun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berubah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing.

Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.

Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.

Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya telah menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping.

Kakek itu terkejut sekali, tak pernah mengira bahwa puteri itu bisa bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang bagaikan terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka dia hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.

“Tranggg....!”

Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu ginkang-nya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri agar tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biar pun sang puteri itu memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sinkang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidak terlalu membahayakan baginya.

Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung.

Kakek itu pun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka dia pun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka dia pun lantas mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.

Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Jika orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.

Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itu pun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walau pun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.

Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia bahkan menjadi penasaran dan marah.

“Haiiiiiitttt!” Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.

Terdengar jeritan mengerikan. Dua orang perwira Bhutan roboh dan tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.

Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam dia pun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.

Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu lalu membentak, “Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?”

Tiba-tiba kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”

“Siapkan anak panah!” Tek Hoat memberi aba-aba.

Sepasukan pemanah yang telah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.

“Tahan! Jangan bunuh dia!”

Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee. Wajahnya berubah pucat dan dia pun cepat sekali membentak, “Tahan semua senjata!”

Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah, hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya. Akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.

“Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?” bertanya Tek Hoat dengan suara lantang. Dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya.

Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut. Hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seakan-akan tidak sedang dalam ancaman maut.

“Aku minta agar guruku dibebaskan!”

“Tidak mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.

“Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!” Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikit pun dia tidak kelihatan gentar. Matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.

Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Jangan ganggu anakku!”

“Aku tak akan mengganggunya, selembar rambutnya pun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng Liong tenang.

Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Mengapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?

“Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?”

“Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andai kata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apa harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.”

Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak prajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?

“Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!” katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.

Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga. “Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apa pun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”

“Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, dan engkau akan dikutuk!” Tek Hoat masih membantah.

“Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”

Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat.

Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi dan nyaring, “Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”

Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi. “Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.”

Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang, “Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapa pun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!”

Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu. “Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”

Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih, “Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”

Ceng Liong mengangguk. “Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.”

“Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”

Ceng Liong mengangguk.

Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang pada Ceng Liong dengan alis berkerut, lalu berkata agak ketus, “Pergilah cepat!”

Ceng Liong menghampiri gurunya. Sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata, “Mo-ong, mari kita pergi.”

Mendadak Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang yang melihat merasa terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu.

Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja. Ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara tawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.

“Ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, dan engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!”

Kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorang pun berani menghalanginya. Pertama, karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya, dan kedua kalinya, karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.

Tek Hoat menggelengkan kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya. Dan muridnya itu bahkan lebih hebat lagi.

Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutan pun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar…..

********************

Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.

Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur dari pada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.

Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biar pun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keinginannya memperoleh sesuatu.

Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampak dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanyalah merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi dari pada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan kebahagiaan kepada mereka!

Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, meski yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biar pun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas dari pada segala keinginan memperoleh apa pun juga.

Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir mau pun batin. Dan bentuk pencarian, betapapun agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita menghalalkan segala cara.

Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan untuk atau demi cita-cita!

Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu. Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat sendiri di seluruh penjuru dunia dan di negara mana pun juga. Sebaliknya, walau pun tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!

Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan ‘hal-hal baik’ yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik!

Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri mau pun bagi orang lain. Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya dari pada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik atau buruk. Perbuatan apa pun di dunia ini yang didasari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!


Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu dia mulai menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.

Ceng Liong merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu dengan bermacam orang yang lihai-lihai. Dan para pertapa itu hampir semua suka kepadanya, melihatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak pelit untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong.

Anak ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak mungkin untuk memetik hasil dari pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya dalam waktu beberapa hari, maka ia pun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk yang diterimanya dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan semua teori itu dilatih dan dipraktekkan.

Ceng Liong bukan hanya menerima banyak petunjuk dan menambah pengalamannya dalam hal ilmu silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib dan mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seorang pertapa bangsa India. Dia tidak memperdulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak mau mencampurinya, melainkan tekun belajar dari para pertapa yang sakti.

Hek-i Mo-ong adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta dan pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran dan berhasil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalah pahaman di antara para tokoh sakti di pegunungan itu. Walau pun mereka itu belum sampai saling serang secara terbuka, tapi setidaknya mereka telah saling tak percaya dan kehilangan persatuan sehingga ketika bala tentara Nepal melintasi pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, mereka pun diam saja dan tidak memperdulikannya.

Berkat usaha Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur, akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyerbu Tibet dan menduduki Tibet. Penguasa Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta Lama yang menjadi boneka Nepal.

Kaisar Kian Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan Nepal. Marahlah kaisar. Tibet menupakan daerah yang biar pun tidak dijajah, namun merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan Tibet oleh pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tamparan bagi muka kerajaannya dan sebagai tantangan.

Maka kaisar lalu memanggil Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk menghadap. Setelah kaisar juga memanggil para panglima lain mengadakan perundingan, diperintahkannya agar Jenderal Muda Kao Cin Liong membawa pasukan besar membebaskan Tibet dari cengkeraman pasukan Nepal dan juga agar memberi hajaran kepada Kerajaan Nepal yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan Ceng.

Berangkatlah bala tentara besar dari Kerajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara bala tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pasukan Nepal untuk memperebutkan Tibet. Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang sudah lama saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana perang itu terjadi.

Jika sebuah dusun diduduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal. Kalau tentara Nepal mundur dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang dianggap kaki tangan Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya.

Bangsa Tibet tidak dapat memilih, karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang. Mereka harus mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan dan isteri-isteri yang masih muda. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada yang dapat melindungi mereka. Hanya doa mereka saja yang semakin banyak dan semakin kuat dilontarkan kepada para dewa yang agaknya tidak juga mau mendengarkan dan memenuhi permintaan dalam doa-doa mereka.

Perang antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak korban jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima harus mengerahkan tenaga sebab pihak musuh bukanlah pasukan lemah, melainkan pasukan terlatih yang sudah berhasil melintasi Pegunungan Himalaya yang demikian sukarnya.

Akan tetapi, akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan kerajaannya sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin Liong pernah terluka dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan sembuh, dia memimpin lagi pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal! Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal, berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua tahun lamanya!

Dan perang, seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai sekarang, merupakan mala petaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda musnah, banyak nyawa melayang dengan sia-sia, di mana-mana terjadi kekejaman-kekejaman yang mengerikan, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit jumlahnya. Dan semua itu hanya untuk mencapai apa yang disebut kemenangan!

Kemenangan yang sementara saja, karena sementara itu yang kalah selalu mencari kesempatan untuk bangkit lagi, untuk membalas dendam. Rakyat dijadikan permainan beberapa gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, beberapa gelintir pemimpin ini pun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing, menjadi korban permainan ambisi
.....

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui, dan sekarang marilah kita mengikuti perjalanannya…..

Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi hendak mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri.

Dan ia marah kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang. Kenapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suheng-nya itu dan tidak mungkin menjadi isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat mengalahkannya, tapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!

Tentu saja tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah menguasai Tibet.

Dengan nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa susah payahnya perjalanan yang amat jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh banyak mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di jalan-jalan.

Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua gangguan di perjalanan. Akan tetapi, oleh karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun tangan dan membasminya, dan baru puas kalau ia sudah berhasil, maka perjalanannya menjadi semakin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.

Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan musuh ke Negara Nepal! Biar pun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, kali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.

Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja, berubahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam mala petaka menghantuinya.

Cintanya dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.

“Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?” Demikian gadis itu menangis dan merintih dalam batinnya.

Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimana pun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat bahwa pemuda itu jauh lebih lihai dari padanya, maka hal itu baik sekali. Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu.

Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, dia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas dendam! Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti.

Duka adalah permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir mau pun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menyenangkan.

Tanpa mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka. Di dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya!

Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam lembah duka dari kekecewaan?


Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam keadaan panik dan sengsara itu.

Dia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.

Tetapi agaknya ia datang terlalu pagi. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.

Angin pagi pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang dirias mutiara.

Sinar matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak dapat terpisahkan antara bumi dan langit. Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya? Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemukjijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemukjijatan itu tidak pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.

Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara-mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang.

Ia seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.

Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis.

Dari jauh Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantap dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu. Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya melesat dan ia pun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!

Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundak sehingga tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biar pun pukulan itu keras sekali, agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sinkang-nya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka dia pun sudah dapat bangkit lagi sambil berkata, “Kenapa engkau memukulku....?”

Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka ia pun mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.

“Plakk! Plakk! Dukkk!”

Dua orang gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya, sedangkan pemuda itu harus menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.

Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka dia pun hanya menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Walau pun yang dikeroyok adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.

“Enci, jangan....!” Suma Ciang Bun berseru.

Pemuda ini sudah memegangi lengan enci-nya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau enci-nya akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.

Suma Hui memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.

“Bun-te....!”

“Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil....”

“Bun-te apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?”

Agaknya Ciang Bun baru teringat akan ketiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh membuat enci-nya terheran-heran, “Mereka.... adalah sahabat-sahabatku.”

Tentu saja selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini telah bangkit berdiri itu.

“Hemm, kalian ini manusia-manusia tidak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau bahkan membunuh kalian dalam sepuluh jurus saja?”

Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui dan berkata dengan nada suara sedih, “Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa menentangnya.”

Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan fihak lawan. “Bun-te, apakah yang telah terjadi?”

Pemuda itu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, enci Hui, akulah yang bersalah.” Dan dia pun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.

Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak betul. Maka ia pun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya, “Coba ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga mengeroyoknya secara tak tahu malu.”

Bagaimana pun juga, suara Suma Hui agak lunak ketika melihat bahwa tiga orang itu sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa biar pun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.

Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimana pun juga jujurnya, tentu saja ceritanya mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.

Seperti kita ketahui, sepeninggal enci-nya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak lama kemudian dia pun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari enci-nya. Dia merasa gelisah memikirkan enci-nya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang tidak disenanginya.

Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari enci-nya, sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan dia pun sudah pergi ke kota raja, karena dia menduga bahwa enci-nya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja.

Akan tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan enci-nya. Dia mendengar bahwa Cin Liong juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet.

Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa enci-nya sedang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, enci-nya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, dia pun mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak digunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.....


Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja sedang dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru daerah yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan. Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.

Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.

Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!

Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.

Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan mengangguk.

“Maaf,” kata pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?”

Melihat keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.

“Ya, aku baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”

Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, “Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. “Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”

Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. “Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”

“Akan tetapi kita bukan burung....”

“Ha-ha, apa bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Namaku Suma Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.

Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.

Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.

“Tidak enak bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.”

“Rahasia apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.

“Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”

“Tukang korupsi?”

Hok Sim mengangguk. “Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.”

“Eh, mengapa begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya bukanlah ujian.”

“Memang bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya,” Tan Hok Sim menjawab marah.

“Lalu bagaimana dengan engkau, twako?”

“Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....”

“Ayahmu seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ahh, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!”

“Ahh, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”

“Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”

“Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”

“Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”

“Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”

“Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.

Tan Hok Sim membelalakkan matanya. “Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”

Ciang Bun menarik napas panjang. “Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”

Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?

“Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.”

Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?

“Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.”

Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. “Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?”

Ciang Bun tersenyum. “Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun?

Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.

Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apa pun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.....

********************

Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedung pun tidak berani banyak membuat gaduh agar tak mengganggu sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya. Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta pada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.

“Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?” bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang. “Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!”

“Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.”

Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Huh, kau kira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan mengganggu beliau!”

“Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....”

“Cukup!” Kepala jaga itu menghardik. “Lekas kau pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?”

Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok yang tinggi besar itu. “Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....”

“Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!”

Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. “Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkaulah yang perlu dihajar!”

Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu padanya, kemarahannya langsung memuncak. Sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.

Ciang Bun tenang-tenang saja. Tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.

“Dukk! Tukk! Plakkk!”

Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah.

Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahannya. Dia sekarang menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor beruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.

Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, maka pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.

“Desss....!”

Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya punggungnya mengalami salah urat ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.

“Berani kau melawan tentara?” bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.

“Tahan!” Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja. “Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Mereka pun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dan melihat pula betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka. Mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi mereka pun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.

Ciang Bun tidak pergi jauh tetapi mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.

Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya.

Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu.

Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itu pun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang. Akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka dia pun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar sedikit pun ketika berkata, “Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.”

Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.

“Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!”

Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak cepat menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang.

Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!

“Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!” Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.

“Ampun....,” rintihnya.

Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apa pun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekali pun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.

“Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini.”

Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar. Akan tetapi, melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.

“Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua,” kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya.

Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.

“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”

Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan dia pun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jeri, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, dan bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.

“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”

Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia kemudian berkata, “Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”

Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. “Ahh, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”

“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. “Justru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biar pun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok dengan uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapa pun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”

Wajah yang tadinya sudah mulai berseri itu berubah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi. “Ini.... ini.... kami tidak tahu....”

“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku pasti akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”

Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! “Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”

Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka dia pun bangkit berdiri dan berkata lagi, “Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga Jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, boleh renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”

Pemuda itu lalu menggunakan ginkang-nya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng itu telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin, “Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”

Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.

Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. “She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”

Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.

Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, sekarang benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tan Hok Sim. Dia pun lulus walau pun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan.

Hok Sim dikerumuni ternan-temannya. Kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biar pun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan dia pun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil dari pada ‘bualan’ teman barunya itu!

Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. “Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merubah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”

Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. “Ahh, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merubahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”

“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”

Ciang Bun tersenyum. Bagaimana pun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian. “Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”

“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merubah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”

“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”

“Bagaimana pun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biar pun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ahh, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”

“Aku pergi bersamamu, twako. Aku pun hendak melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”

Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan mereka pun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.

Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan.

Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu.

Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan dia pun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walau pun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.

“Tenanglah, twako,” dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang.

Mereka pun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar, “Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”

“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.

“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”

“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.

“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!” Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.

“Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!” bentak si muka hitam sambil melangkah maju.

“Tahan!” Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini. “Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!”

Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai. “Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya.” Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim.

Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!

“Huhh....!”

Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.

Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. “Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!” Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya.

Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca dari pada ilmu silat oleh ayahnya, juga andai kata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itu pun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim berloncatan, mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi baginya untuk mengelak.

“Dukkk!”

Lengan Tan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu bagaikan hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya.

“Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu.”

“Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!” bantah Hok Sim.

“Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau tak akan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?” Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya kemudian membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.

“Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!” kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.

Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biar pun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja.

Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.

“Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.

“Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan ingin membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini supaya tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa.”

Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya jika seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam akan membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali.

Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun.

Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.

“Tuk! Tukk!”

Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.

“Desss....!”

Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja, maka dia pun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.

“Bun-te, kau pakailah pedangku ini!” Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi.

Kini dia pun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapa pun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.

“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,” jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang.

Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya mereka pun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan sesuatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang sekarang memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.

“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam.

Dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.

“Plak-plak-plak! Desss....!”

Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh. Lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya.

“Tringgg.... wuuutt, crottt....!”

Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri.

Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan mereka pun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang sudah membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat.

Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi salah satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan dia pun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti enci-nya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.

Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.

“Plakkk!”

Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu. Isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar