Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 26-30

Kho Ping Hoo, Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 25-30 Melihat ini si muka hitam berubah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas.
Anonim
Melihat ini si muka hitam berubah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yang lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut. Dia pun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.

“Tranggg....!”

Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai, kemudian menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim. Akan tetapi, Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.

“Dukkk!”

Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sim terpelanting roboh. Sambil menyeringai Si muka hitam menubruk, akan tetapi pada saat itu nampak sinar putih berkelebat.

“Crottt.... aughhh....!”

Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam. Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.

Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.

“Orang muda, siapakah namamu....?”

Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab. “Namaku Suma Ciang Bun.”

Mata yang sudah sayu itu terbelalak. “Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?” Dan dia pun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.

Hok Sim bergidik. Biar pun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, tapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.

“Mengapa.... mengapa mereka.... harus dibunuh....?” Hok Sim bertanya dengan suara membayangkan kengerian.

Dengan sikap tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu, dan dia berkata, “Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat. Mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua, maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”

Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.

“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....,” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.

Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. “Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”

Mereka kemudian tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.

“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirubah. Malam itu tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”

Ciang Bun hanya tersenyum. “Hal itu terjadi karena kesadarannya....”

Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?

Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi makin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim sangatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.

“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”

Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walau pun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.

Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia dapat melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!

Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.

Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.

Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, yaitu sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan memutari kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.

“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.

“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”

“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.

Ciang Bun mengangkat muka, lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya, “Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya sama sekali selama ini.”

Wajah Hok Sim berubah menjadi merah dan dia pun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya. “Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggota keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....” Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.

Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.

Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-to dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.

Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun.

Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Pada saat Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.

“Ahhh, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.

“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,” Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang.

Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan ini pun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi dia pun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.

“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....,” kata ayah ini.

Hok Sim tersenyum. “Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”

Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupan untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.

Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pecan. Setelah itu dia baru akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak enci-nya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.

Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, enci-nya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapa pun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.

Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim dari pada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.

Dan dalam pergaulan yang beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan dia pun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biar pun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling mata dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya!

Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?

Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami ‘kemajuan’ seperti yang diharapkan keluarga itu.

“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiri pun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.

“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.

Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.

Tetapi Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.

“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.

Tentu saja ia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar sebab maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.

Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang.

Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.

“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.

“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.

“Benar sekali! Suma-taihiap, aku pun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.

Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka dia pun berkata, “Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”

“Aihh, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!” Seng Nio berkata.

Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan dia pun mulai bersajak bebas,

Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembus celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi

Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!

Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!

Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!


“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”

“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?” Seng Nio yang tidak begitu mengerti mengenai sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.

“Suma-taihiap dapat merubah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!” sambung Ci Loan.

Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka dia pun menjura kepada dua orang gadis itu.

“Ahh, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.

Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. “Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.”

Tanpa menanti jawaban Ci Loan langsung meninggalkan mereka. Karena sebelumnya memang sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.

Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.

Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, ingin sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula akan meninggalkan dia berduaan saja dengan pemuda itu.

Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!

“Taihiap....”

Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengandung daya pikat yang kuat.

“Ada apakah, nona?”

“Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”

Ciang Bun tersenyum menenangkan melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu. “Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”

“Aku hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat....”

Ciang Bun tersenyum. “Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “

“Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari pada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”

Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka dia pun berkata ramah. “Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”

“Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!” Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.

Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja dia pun mengelak sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.

“Tahan....!” Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”

Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan ia pun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.

Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya ‘masuk’ melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.

“Ihhhh....!” Seng Nio menjerit manja dan mukanya berubah merah.

Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berubah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.

“Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, oleh karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan amat cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andai kata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka.”

Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.

“Dukkk!”

Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu dapat tertangkis.

“Bagus! Sekarang lanjutkan, nona.”

Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirubah menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.

“Begini sebaiknya, nona,” kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. “Nah, sekarang engkau cobalah meniru gerakanku tadi.”

Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tenaganya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.

Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting. Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke dada pemuda itu!

“Ehhh, nona, maafkan aku tidak sengaja....”

“Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justru senang sekali begini....” dan kini kedua lengan Seng Nio merangkul leher!

“Ehh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?” Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu memperkuat rangkulannya.

“Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta kepadamu....”

“Ihhh....!” Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu terhuyung hampir jatuh. “Nona, jangan bersikap tidak sopan!”

Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak. “Tapi.... tapi aku cinta....”

“Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapa pun!” Ciang Bun membentak marah. “Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!”

Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja.

Melihat gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan dia pun termenung dengan bingung dan menyesal.

Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya?

Dia tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.

“Suma-taihiap....”

Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Dia pun cepat bangkit berdiri.

“Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?” Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali.

Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.

“Tan-siocia.... telah pergi....”

“Pergi? Ehh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”

“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”

“Kenapa dan ke mana?”

“Entah.... aku tidak tahu....” Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.

Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.

“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.

Ciang Bun menggeleng kepala. “Tidak apa-apa....”

“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”

“Tidak apa-apa....”

Hening sejenak dan Ciang Bun tak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.

“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”

Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?

“Belum....,” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah gadis di sampingnya itu.

“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”

Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.

“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”

Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.

“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan dia pun turun dari batu dan bangkit berdiri.

Ci Loan melompat turun dan menghampirinya. “Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap gadis akan berlomba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan aku pun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan....”

Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan dari pada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, dia pun merasa penasaran dan bertanya. “Kalau belum bertunangan bagaimana?”

Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. “Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”

“Keparat!” Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi.

Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan. “Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”

Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tidak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apa lagi sampai memakinya. Tadi dia mendapat laporan dari Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu. Akan tetapi karena memang di lubuk hatinya dia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, dia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan calon adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya dia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu ia pun menjadi marah sekali.

“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.

“Plakkk!”

Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!

“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?” Tiba-tiba muncullah Seng Nio.

Agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia telah dihina oleh Ciang Bun tadi. Melihat Ci Loan terpelanting, dia pun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.

“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?” Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.

Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat dari pada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.

“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.

Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!

“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?” Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.

“Mereka.... mereka di belakang....,” jawabnya gugup.

“Tapi kenapa....?” Tiba-tiba dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Ehhh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”

“Kami.... main kejar-kejaran....”

Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.

“Ehh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.

“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.

“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.

“Ehhh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.

“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka sekarang dia hendak membalas dendam.

“Ahhh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.

“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!” Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi.

Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan dia pun mencabut pedangnya.

“Dengarkan dulu....,” kata Ciang Bun.

Akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya. Dua orang gadis itu pun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka dia pun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.

Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.

“Siapa yang tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan hendak memperkosa tunanganku!” demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.

“Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?” Suma Hui bertanya heran dan penuh ketidak percayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.

Ciang Bun menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.

“Aku tidak perlu bercerita. Silakan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya.” Sambil berkata demikian, sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.

Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu. Timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!

“Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!”

Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya ini pun seorang pendekar yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?

“Aku tadi hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan cinta dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio ‘mendesak’ dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.

“Dan engkau, Loan-moi? Apa yang terjadi?” kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan.

Wajah gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun. Pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.

“Aku menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko.”

Hok Sim membanting kakinya dan menarik napas panjang. “Ah, akulah yang bodoh dan terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....”

“Sudahlah, mari kita pergi, enci Hui!” kata Ciang Bun. “Aku akan mengambil pakaianku lebih dulu di rumah, Tan-twako.”

Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu terdengar Hok Sim mengomel, “Ah, kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati.”

Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.

“Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!” tiba-tiba Seng Nio berkata.

“Bahkan kadang-kadang amat mesra!” tambah Ci Loan. “Kami sering membicarakan hal ini, dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu dari pada terhadap kami.”

Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa andai kata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!

“Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang menyamar pria!” kata pula Seng Nio.

“Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... ehhh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapa pun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!”

Mereka pun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.....

********************
“Bun-te, engkau terlalu lemah. Kenapa engkau tidak hajar saja kedua orang gadis yang tidak tahu malu itu?” Suma Hui menegur adiknya ketika mereka melakukan perjalanan dan di tengah jalan Ciang Bun terpaksa menceritakan persoalannya dengan dua orang gadis tadi.

“Ahh, aku kasihan kepada mereka, enci. Apalagi, Tan Hok Sim begitu baik kepadaku. Kalau aku berterus terang, tentu akan mengakibatkan terputusnya tali perjodohan antara dia dan tunangannya. Pula, aku tidak menganggap mereka yang.... ehhh, suka kepadaku itu sebagai suatu kesalahan, hanya aku yang tidak dapat membalas cinta mereka....”

“Hemmm, engkau memang aneh. Kulihat mereka itu cantik-cantik, kenapa engkau tidak suka dan bahkan bersikap keras kepada mereka?”

“Aku.... aku memang tidak pernah suka kepada gadis-gadis....,” Ciang Bun agaknya menemui wadah penuangan perasaannya melalui enci-nya.

“Ehh....! Bun-te, engkau sudah cukup dewasa, perasaanmu tidak pernah suka kepada gadis itu sungguh-sungguh tidak wajar,” kata Suma Hui prihatin sambil menghentikan langkahnya, memegang kedua pundak adiknya dan menatap wajah adiknya itu dengan penuh selidik.

Ciang Bun balas memandang dan dia melihat seolah-olah sinar mata enci-nya itu menembus dadanya dan menjenguk ke dalam. Selama ini, dia melihat kelainan pada dirinya dengan penuh kecemasan, menyimpannya sebagai rahasia dan dia tidak berani membicarakannya kepada siapa pun juga. Tetapi kini dia berhadapan dengan enci-nya, satu-satunya orang yang dekat dengan dia, satu-satunya orang yang benar-benar amat disayangnya karena sejak kecil dia bergaul dengan enci-nya siang malam.

Ayahnya dianggapnya terlalu keras dan menakutkan, ibunya terlalu memanjakannya, hanya enci-nya ini yang selalu bersikap terbuka dan jujur. Tiba-tiba saja ada keharuan menyelinap di hati pemuda ini dan seperti bendungan pecah, dia pun menangis terisak!

Bukan main kaget rasa hati Suma Hui. Adiknya ini sejak kecil pendiam dan serius, tak banyak bicara akan tetapi sama sekali tidak cengeng! Belum pernah ia melihat adiknya menangis seperti ini, apalagi sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, sudah dewasa! Ciang Bun menangis terisak-isak? Sukar ia membayangkannya, akan tetapi kini hal itu terjadi di depannya.

Tentu saja ia merasa kaget dan juga khawatir dan dirangkulnya adiknya itu, seperti ketika mereka masih kecil dan dituntunnya Ciang Bun, diajak duduk di bawah pohon yang rindang. Tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

“Bun-te, tenanglah. Ingat, sangat tidak baik seorang pendekar gagah seperti engkau ini menangis. Hapus air matamu dan mari kita bicara secara dewasa. Ceritakanlah apa yang merisaukan hatimu sampai engkau menangis. Aku enci-mu, saudara tunggalmu, aku akan membelamu lahir batin!”

“Enci Hui, tolonglah aku, enci....,” Ciang Bun mencoba untuk menghentikan tangisnya. Semua kegelisahan hatinya tumpah pada saat itu melalui air mata dan akhirnya dia merasa dadanya agak lega.

“Hemm, tentu saja aku akan menolongmu, adikku, jika perlu dengan taruhan nyawaku. Nah, ceritakan, apakah masalah itu?”

Ciang Bun mengusap air matanya dan kini dia dapat memandang wajah enci-nya dengan mata agak merah. “Enci Hui, tadi engkau mengatakan bahwa aku tidak wajar....”

“Aihh....! Itu? Aku hanya main-main. Mungkin engkau masih terlalu kekanak-kanakan, tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga engkau masih belum dapat menyukai gadis-gadis. Hal itu tidak aneh, kenapa dirisaukan?” Suma Hui tersenyum, merasa lega karena ternyata yang dirisaukan adiknya itu hanyalah persoalan sepele saja.

Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala. “Bukan, bukan hanya itu, enci. Ketahuilah, memang aku.... ada sesuatu yang tidak wajar kepadaku, di dalam hatiku....”

Suma Hui mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada adiknya. “Hemmm, apa maksudmu, adikku? Ada ketidak wajaran apa dalam hatimu? Engkau sungguh membikin aku heran dan cemas.”

“Enci, kalau tidak ada engkau, tentu rahasia ini akan kubawa mati. Kepada ayah dan ibu sendiri aku enggan bercerita. Ketahuilah, memang ada ketidak wajaran di dalam hatiku, ada suatu kelainan yang terasa amat menakutkan hatiku. Sejak dahulu, aku.... aku tidak pernah merasa suka kepada wanita, akan tetapi aku.... aku malah tertarik kepada pria, kepada pemuda....”

“Ehhh....?” Sepasang mata Suma Hui terbelalak dan dia memandang adiknya seperti melihat hantu di siang hari.

“Enci Hui, jangan.... janganlah memandang padaku seperti itu....!” Suma Ciang Bun mengeluh. “Jangan engkau juga menganggap aku seperti setan....”

“Bun-te....!” Suma Hui maju merangkul adiknya dan beberapa lamanya enci dan adik ini saling rangkul dengan hati nelangsa. Suma Hui teringat akan nasib dirinya sendiri dan kini ia melihat adiknya menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.

“Bagaimana.... bagaimana bisa begitu....? Aku.... aku tidak mengerti, adikku, sungguh, aku belum mengerti....” Suma Hui meragu. “Mungkinkah itu bahwa engkau.... engkau adalah seorang pria pembenci wanita....?”

“Tidak, enci. Aku sama sekali tidak membenci wanita. Aku kira.... aku akan dapat bersahabat dengan wanita, sahabat baik, seperti aku dengan engkau ini.... akan tetapi, hanya sampai di situ saja. Persahabatan biasa, tidak ada daya tarik menimbulkan gairah birahi. Pendeknya, aku tidak pernah berani melihat wanita, enci, semua wanita hanya kupandang seperti aku melihatmu, seperti saudara, seperti sahabat.”

“Apa salahnya dengan itu?” Suma Hui menegas karena ia belum mengerti dan selama hidupnya baru sekarang ia mendengar hal seperti ini.

“Memang tidak salah, akan tetapi.... aku.... aku tertarik oleh pria, oleh pemuda, merasa mesra berdekatan dengan pemuda dan timbul gairah birahiku. Aku.... aku hanya dapat jatuh cinta kepada pemuda, enci....”

“Hehh....?!” Suma Hui terbelalak, melepaskan rangkulannya, lalu mendekat lagi dan menjamah dahi adiknya seperti hendak melihat apakah adiknya tidak sedang terserang demam sehingga mengigau.

Ciang Bun tersenyum sedih melihat enci-nya meraba dahinya. Dengan halus dia menjauhkan tangan enci-nya. “Enci Hui, aku tidak gila.... biar pun kadang-kadang aku sendiri bertanya-tanya apakah aku sudah gila. Tidak, aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila. Akan tetapi, aku melihat kenyataan yang menakutkan ini pada diriku. Aku.... aku agaknya mempunyai selera seperti wanita. Tubuhku pria, segala-galanya, akan tetapi seleraku, juga terutama sekali dalam hal selera birahi, aku seperti... seperti wanita....”

“Ahhh....!”

“Enci Hui, jangan ber-ah-eh-uh saja. Tolonglah aku!”

Suma Hui menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dengan tubuh lemas. Ia merasa tidak berdaya sama sekali, bahkan bingung. “Bagaimana cara aku harus menolongmu, Bun-te?”

“Mungkin ada obat....”

“Kita bicarakan saja dengan ayah dan ibu, minta nasehat mereka....”

“Tidak! Aku akan malu sekali kalau engkau menceritakan hal itu kepada mereka, aku akan lari minggat!”

Gadis itu merasa prihatin sekali sehingga memikirkan keadaan adiknya, ia dapat sedikit melupakan kedukaan hatinya sendiri. Ia kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan Cin Liong yang memimpin pasukan menyerbu ke Nepal dan ia merasa nelangsa selama ini. Akan tetapi kini semua keprihatinan hatinya ditujukan untuk Ciang Bun.

“Aku akan bantu memikirkan keadaan dirimu, adikku. Engkau tenang sajalah dan jangan terlalu menyedihi keadaanmu, kelak tentu akan ada jalan baik untukmu. Mari kita pulang dulu, sudah terlalu lama kita meninggalkan ayah dan ibu, tentu mereka merasa cemas dan berduka.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan itu mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Ciang Bun juga merasa prihatin melihat enci-nya berduka dan kecewa karena belum juga dapat bertemu dengan Kao Cin Liong.

Setelah melakukan perjalanan yang jauh dan memakan waktu yang lama sekali, tanpa ada halangan yang berarti, tibalah kedua kakak beradik ini pada suatu siang di kota Thian-cin, tempat tinggal orang tua mereka! Berdebar juga hati mereka ketika mereka tiba di kota yang mereka kenal sejak kecil ini dan perasaan mereka bercampur aduk ketika mereka melihat rumah mereka dari jauh.

Ada rasa gembira karena hendak bertemu kembali dengan ayah bunda mereka yang sudah lama mereka tinggalkan. Ada perasaan takut-takut karena mereka dapat menduga bahwa ayah mereka tentu akan marah sekali kepada mereka. Ada perasaan terharu karena mereka teringat akan segala peristiwa yang terjadi di tempat tinggal mereka ini. Bagaimana pun juga, akhirnya kampung halaman merupakan tempat yang paling indah di dunia ini.

Pada siang hari itu, sekitar rumah keluarga mereka nampak sunyi. Dengan jantung berdebar tegang, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memasuki pekarangan rumah yang amat mereka kenal itu. Seorang pelayan tua yang melihat mereka datang, segera berteriak dan lari masuk ke dalam sambil berteriak-teriak.

“Siocia dan kongcu pulang....!”

Seruan ini membuat tiga orang keluar menyambut. Mereka adalah Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, dan Louw Tek Ciang! Sejenak dua orang kakak beradik yang baru tiba itu berdiri saling pandang dengan mereka yang menyambut. Ada keharuan di dalam hati mereka semua.

Suma Ciang Bun memperhatikan ayah ibunya. Ayahnya yang kini berusia kurang lebih lima puluh satu tahun itu kelihatan semakin tua. Agaknya selama kurang lebih dua tahun ini Suma Kian Lee menderita tekanan batin yang membuat wajahnya dihias banyak garis-garis yang dalam, juga rambutnya kini banyak ubannya. Ibunya masih kelihatan muda dan sama saja, masih cantik dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar.

Di sebelah ayahnya dia melihat suheng-nya yang tak disenanginya, yaitu Louw Tek Ciang walau pun harus diakuinya bahwa selama dua tahun ini nampak kemajuan pada diri pemuda itu. Tek Ciang semakin tampan dan gagah, nampak lebih matang dan sepasang matanya itu jelas membayangkan kecerdikan dan senyumnya kini terkendali, menunjukkan kematangan!

“Ayah....! Ibu....!” Kakak beradik itu berseru sambil menghampiri ke depan dan memberi hormat.

“Kalian baru pulang....!” Kim Hwee Li meloncat dan merangkul mereka. Sepasang mata ibu yang juga banyak memikirkan mereka ini membasah.

Akan tetapi, Suma Kian Lee tetap bersikap tenang, seolah-olah pulangnya kedua orang anaknya itu tidak mendatangkan perubahan pada hatinya. Memang pendekar ini pandai menyimpan perasaannya yang pada waktu itu penuh dengan kegirangan melihat anak-anaknya selamat dan pulang, juga penuh kemarahan, terutama sekali terhadap Suma Hui.

“Mari kita masuk dan bicara di dalam,” katanya dan suaranya begitu datar, membuat hati kakak beradik itu berdebar.

“Sumoi dan sute, selamat datang!” kata Tek Ciang dengan suara gembira dan agaknya dia tidak tersinggung ketika kedua orang kakak beradik itu hanya memandang padanya dan mengangguk tanpa menjawab.

Mereka semua mengikuti Suma Kian Lee yang sudah melangkah lebar menuju ke ruangan dalam yang luas, yang menjadi ruangan duduk atau ruangan keluarga. Tanpa banyak cakap Suma Kian Lee duduk menghadapi meja dan semua keluarganya juga mengambil tempat duduk. Kim Hwee Li duduk di sebelah kanannya, Tek Ciang mengambil tempat duduk agak jauh di belakang, sedangkan Ciang Bun dan Suma Hui duduk di depan ayah mereka dengan muka tunduk.

Keadaan amat hening dan semua orang merasakan keheningan yang mencekam itu. Semua orang tahu bahwa pendekar setengah tua itu dalam keadaan marah sekali. Udara di dalam ruangan itu seolah-olah terbakar panas oleh kemarahan Suma Kian Lee ketika duduk menghadapi kedua orang anaknya dan memandang wajah putera dan puterinya itu bergantian.

Ciang Bun, Suma Hui dan Tek Ciang tidak berani berkutik, menguasai diri sepenuhnya agar jangan mengeluarkan suara. Bahkan Kim Hwee Li yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang dapat mencairkan kebekuan dan kemarahan hati Suma Kian Lee, saat itu pun berdiam diri. Isteri ini ikut prihatin dan ia menghormati perasaan suaminya, tahu benar betapa penasaran, marah dan kecewa hati suaminya terhadap anak-anak mereka.

Tiba-tiba pendekar itu mengeluarkan suara dan biar pun kata-katanya tidak kasar atau keras, namun terdengar dingin menyeramkan.

“Hemm, setelah kalian ingat untuk pulang ke rumah sini, apa yang hendak kalian katakan sekarang?”

Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani menjawab, tidak berani mengangkat muka karena mereka maklum bahwa ayah mereka itu benar-benar sedang marah sekali.

“Brakkkk....!”

Kian Lee menggebrak meja di depannya sehingga seluruh ruangan itu seperti tergetar. “Kenapa kalian tidak menjawab? Apakah tuli dan bisu? Kalian pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, orang tua kalian anggap sampah saja! Begitukah watak anak-anak yang berbakti kepada orang tua? Apalagi engkau, Hui-ji, engkau sebagai seorang anak perempuan sungguh tidak patut pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Kalian ini sungguh hanya dapat membikin susah hati orang tua saja. Begitukah kalian membalas budi orang tua, dengan cara merusak hati kami berdua? Begitukah?”

Suma Hui makin menunduk dan biar pun ia tidak mengeluarkan suara, namun kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia teringat akan nasib dirinya, akan aib yang menimpa dirinya, akan dendam sakit hatinya terhadap Cin Liong yang belum dapat dibalas. Ia telah pergi tanpa pamit karena hendak membalas dendam, mencari orang yang telah merusak kebahagiaan hidupnya. Tetapi kepergiannya sia-sia, tanpa hasil dan setelah pulang, dimaki-maki ayahnya sebagai anak puthauw (tidak berbakti)!

Hampir semua orang tua mengharapkan agar anak mereka berbakti kepada mereka. Bahkan semenjak kecil, anak-anak ditekankan dan diajar agar berbakti kepada orang tuanya. Berbakti adalah sikap yang timbul dengan sendirinya karena rasa sayang, dan perasaan sayang tidak mungkin dipelajari, tidak mungkin dilatih. Berbakti yang dilakukan karena latihan berarti merupakan suatu sikap yang dipaksakan dan sikap apa pun kalau dipaksakan, berarti palsu.

Sikap berbakti yang dipaksakan bukanlah kebaktian lagi namanya, melainkan penjilatan atau bermuka-muka. Berbakti, menghormati, menyayang, menaruh rasa iba, semuanya itu ada dengan sendirinya apabila terdapat rasa cinta kasih di dalam hati. Kalau ada cinta kasih di dalam hati seorang anak, maka tidak perlu lagi anak itu diajari untuk berbakti dan sebagainya. Sebaliknya, kalau batin si anak kosong dari cinta kasih, maka semua kebaktian yang dilakukannya itu hanyalah palsu belaka, mengandung pamrih dan sama dengan penjilatan.

Orang tua yang mengharapkan anaknya berbakti atau membalas budi, bukanlah orang tua yang mencinta anaknya. Cintanya hanya cinta dagangan, dengan perhitungan untung rugi, memberi hutang dan menagih hutang berikut bunga-bunganya. Cintanya hanya berupa penanaman budi agar kelak dapat memetik buahnya. Cinta macam ini hanyalah cinta nafsu, yang berarti cinta kepada diri sendiri belaka, si anak hanya dijadikan jembatan untuk menikmati kesenangan dirinya sendiri.

Karena itulah, maka cinta seperti ini baru dapat bertumbuh subur kalau si anak dapat menyenangkan hatinya, sebaliknya, begitu si anak tidak menyenangkan hatinya atau malah menyusahkan, cintanya menjadi kabur dan mungkin saja berubah menjadi kebencian. Dan untuk menjamin kesenangan yang hendak direguknya melalui diri si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mempergunakan senjata berupa sebutan hauw (kebaktian). Anak yang tidak menyenangkan hatinya disebut puthauw (tidak berbakti atau durhaka) dan pada umumnya di Tiongkok orang-orang paling takut disebut puthauw. Sebutan ini seperti semacam kutukan baginya.

Khong Cu menekankan pentingnya hauw (kebaktian) ini. Akan tetapi pelajaran beliau itu ditujukan untuk orang-orang dalam kedudukannya sebagai anak. Sayangnya, orang dalam kedudukan sebagai anak tidak begitu memperhatikan pelajaran itu, sebaliknya kalau sudah menjadi orang tua, hendak mempergunakan pelajaran itu sebagai senjata agar supaya anak-anak mereka berbakti kepadanya! Berbakti yang tentu saja berarti menyenangkan hatinya! Kita manusia ini memang ingin enaknya saja, dalam segala bidang, bahkan dalam bidang kerohanian atau agama pun, kita mau yang enaknya saja untuk diri kita.

Kalau di dalam batin orang tua dan anak terdapat cinta kasih, maka segala macam pelajaran tentang hauw, tentang penghormatan, tentang kelakuan baik dan sebagainya itu tidak dibutuhkan lagi! Cinta kasih merupakan landasan mutlak bagi semua tindakan, semua sikap dan perbuatan apa pun. Cinta kasih merupakan sinar terang yang akan membuat segala perbuatan menjadi bersih dan suci, tanpa pura-pura, tanpa pamrih demi kesenangan diri sendiri, tanpa harapan untuk dibalas.

Suma Kian Lee adalah seorang pendekar besar, putera mendiang Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Namun, dia tetap hanya seorang manusia biasa dengan segala kelemahannya seperti juga kita. Kekeliruan dalam sikapnya terhadap anak-anaknya itu merupakan kekeliruan kita pada umumnya yang kita lakukan seperti dengan sendirinya dan tanpa disadari lagi. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata mempelajari batin kita sendiri, mengamati sikap kita terhadap keluarga, terhadap isteri, anak, orang tua, sahabat-sahabat, maka akan nampak dengan jelas segala kepalsuan yang terkandung di dalamnya!


“Hayo jawab, jangan diam saja!” Suma Kian Lee membentak, kemarahannya makin berkobar karena kedua orang anaknya diam saja.

Melihat ayah mereka marah, Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani berkata apa-apa. Mereka berdua sudah merasa salah, maka apa lagi yang hendak dikatakan? Akan tetapi, mereka pun penasaran karena biar pun bersalah, mereka sama sekali tidak berniat untuk menyusahkan hati orang tua mereka.

Suma Hui pergi karena didorong oleh dendam sakit hatinya dan dia pergi untuk mencari musuh besarnya. Sedangkan Suma Ciang Bun pergi karena selain hatinya sakit melihat betapa ayahnya telah mengangkat ahli waris ilmu silat keluarga mereka kepada orang lain juga ingin menyusul enci-nya. Mereka bersedia untuk ditegur dan dimarahi, akan tetapi mereka tidak mau minta ampun!

Melihat kemarahan Suma Kian Lee, tiba-tiba Tek Ciang yang sejak tadi mendengarkan tanpa mengeluarkan suara, lalu turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap suhu-nya.

“Suhu dan subo, sudilah kiranya suhu dan subo mengampunkan sumoi dan sute, mengingat bahwa usia mereka masih amat muda. Teecu mohon agar suhu dan subo bersabar dan sudi mengampuni mereka.”

Suma Hui mengerutkan alisnya dan dengan sinar mata berapi ia memandang kepada pemuda itu, kemudian terdengar ia membentak, “Louw-suheng, siapa membutuhkan pembelaanmu? Aku tidak ingin dikasihani dan sungguh engkau lancang mencampuri urusan orang!”

“Hui-ji....!” Suma Kian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada puterinya dengan mata bersinar-sinar. “Tidak patut sekali sikapmu ini! Suheng-mu telah memperlihatkan sikap yang amat baik, mintakan ampun untukmu dan engkau malah berani mengeluarkan ucapan yang kasar itu. Sungguh tidak mengenal budi! Pula, dia adalah suheng-mu dan calon suamimu!”

Kalau tadi ketika dimarahi ayahnya Suma Hui diam saja, kini mendengar ucapan ayahnya itu tiba-tiba ia membantah dengan suara yang cukup lantang. “Ayah, dia bukan calon suamiku!”

Suma Kian Lee terkejut juga mendengar bantahan yang lancang itu dan diam-diam Kim Hwee Li tersenyum di dalam hatinya. Itulah puterinya dan dia bangga melihat sikap puterinya! Wanita ini memang paling tidak suka melihat kelemahan karena ia sendiri adalah seorang wanita yang keras hati dan penuh keberanian, selalu kagum melihat kegagahan.

Akan tetapi Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak dia beradu pandang mata dengan puterinya. “Bagus sekali! Apakah engkau sudah lupa akan janjimu sebelum engkau pergi? Engkau bilang bahwa engkau mau menjadi isteri Tek Ciang kalau dia dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat. Nah, apakah engkau sekarang hendak menjilat ludah kembali seperti seorang pengecut?”

Suma Kian Lee sengaja menyentuh hal ini karena dia memang sudah mengenal watak puterinya. Suma Hui, seperti juga Kim Hwee Li, merupakan seorang gadis yang paling pantang dikatakan pengecut. Seorang wanita gagah seperti Suma Hui atau ibunya itu lebih baik mati dari pada menjadi pengecut! Maka, mendengar ucapan ayahnya, Suma Hui meloncat bangun dari tempat duduknya dan memandang kepada Tek Ciang.

“Aku tidak akan mengingkari janjiku. Louw Tek Ciang, kalau engkau memang ada kepandaian, mari kau coba robohkan aku!” Dara itu langsung menantang dengan suara geram. Dalam kemarahannya ia tidak menyebut suheng kepada pemuda itu melainkan langsung menyebut namanya begitu saja.

Wajah Tek Ciang berubah merah akan tetapi dia masih pandai bersikap merendah.

“Aih, sumoi, mana aku berani....?”

“Ucapan seorang gagah takkan diingkarinya sendiri. Hui-ji sudah mengucapkan janjinya dan kini tantangannya. Hayo kalian selesaikan ketentuan urusan ini di lian-bu-thia!” kata Suma Kian Lee sambil melangkah menuju ke ruangan silat.

Dengan langkah tegap dan muka merah karena marah Suma Hui melangkah mengikuti ayahnya. Barulah Tek Ciang melangkah perlahan dengan sikap ragu-ragu dan sungkan-sungkan. Di belakangnya, Kim Hwee Li dan Ciang Bun juga turut berjalan memasuki lian-bu-thia.

Ciang Bun yang melihat ayahnya membersihkan ruangan bermain silat itu, kemudian membantunya. Ruangan itu cukup luas sebab memang sengaja dibangun untuk berlatih silat.

Kini Suma Hui sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Setelah mengikatkan sabuknya lebih erat, dara ini berdiri dengan dua kaki terpentang dan sikap menantang. Sebaliknya, Tek Ciang bersikap hati-hati dan ragu-ragu. Dia melepaskan jubah luarnya dan ternyata di sebelah dalamnya, dia sudah siap dengan pakaian ringkas sekali dan dalam pakaian itu dia nampak gagah dan tampan. Pemuda ini memang pandai sekali berdandan.

Tentu saja diam-diam Ciang Bun mengharapkan enci-nya akan menang karena dia sendiri pun tidak setuju kalau enci-nya menjadi isteri orang ini. Akan tetapi, Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li berpikir lain. Suami isteri ini tahu bahwa selama dua tahun menerima gemblengan, Tek Ciang telah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Anak itu memang berbakat dan cerdik sehingga ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dapat diserapnya dan dapat dilatihnya dengan baik. Bahkan dia telah mempelajari dua ilmu inti dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang. Walau pun kedua ilmu ini belum dapat dikuasainya dengan baik dan dia masih kurang latihan, namun dia sudah mampu mempergunakannya dan tenaganya cukup hebat!

Tentu saja suami isteri pendekar ini sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa selain menerima gemblengan ilmu dari Suma Kian Lee, diam-diam Tek Ciang juga menerima dan mempelajari ilmu-ilmu dari Jai-hwa Siauw-ok!

Suma Hui tidak mau membuang-buang banyak waktu lagi. Begitu melihat Tek Ciang melangkah masuk ke ruangan dan menghampirinya, ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring, “Lihat serangan!” dan tubuhnya sudah meluncur maju dan ia sudah mengirim serangan kilat yang cukup hebat.

Melihat datangnya serangan, Tek Ciang cepat mengelak. Akan tetapi, Suma Hui terus menghujankan serangan dan mainkan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Silat Kapas Pencabut Nyawa). Ilmu silat ini diwarisi Suma Kian Lee dari mendiang Lulu, ibunya dan merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakannya halus akan tetapi di balik kehalusan itu mengandung jurus-jurus mematikan. Tek Ciang sudah mempelajari ilmu silat ini, maka dia pun dapat menghadapinya dan mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis.

Lewat tiga puluh jurus, Tek Ciang hanya menangkis dan mengelak saja tanpa pernah membalas. Tetapi diam-diam Suma Hui terkejut juga karena tenaga yang ia kerahkan dengan tenaga sinkang Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, dapat ditangkis oleh pemuda itu dan ia merasa betapa lengan yang ditangkis menjadi tergetar dan agak nyeri, tanda bahwa tenaga pemuda tidak kalah kuat olehnya!

Suma Hui merasa penasaran dan ia pun merubah-rubah ilmu silatnya, namun ilmu silat apa pun yang dikeluarkannya, dapat dihadapi dengan baik oleh Tek Ciang. Hanya kadang-kadang saja, kalau sudah terlampau terdesak, Tek Ciang terpaksa membalas serangan, hanya untuk membuyarkan desakan Suma Hui saja.

“Tek Ciang, jangan main-main! Balas serang!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu.

Tek Ciang terkejut dan dia pun tidak berani membantah. Kemudian mulailah dia balas menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan berusaha membalas, namun ternyata kini gerakan Tek Ciang cepat sekali sehingga ia tidak memperoleh waktu untuk membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.

Agaknya Tek Ciang memang tidak mau mengalahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat malu gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum mau tunduk kepadanya, maka dia pun ingin menundukkan hati gadis itu dengan sikap baiknya. Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi semakin penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya.

Maka, dia bersikap cerdik dan tidak mau terlalu mendesak, membiarkan pertandingan itu berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau dia mau, tidak terlalu sukar baginya untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah mewarisi ilmu keluarga gadis ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok yang juga lihai sekali.

Memang Tek Ciang sangat cerdik. Sikapnya yang banyak mengalah itu setidaknya telah membuat Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan seorang wanita yang amat cerdas seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini tidak lagi begitu tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus. Apalagi menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li harus mengakui bahwa Tek Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda itu kepada Suma Hui.

Ciang Bun sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian enci-nya dan dia dapat menduga bahwa tentu enci-nya akan kalah dan akan terpaksa menjadi isteri Tek Ciang.

Tetapi, tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li mengeluarkan seruan tertahan. Mendadak Suma Hui merubah gerakannya dan Tek Ciang nampak terkejut dan bingung, lalu berbalik terdesak!

Kiranya kini gadis itu memainkan Ilmu Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh)! Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa terdiri dari delapan jurus yang dimiliki Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepada puterinya. Tentu saja Tek Ciang belum pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan kalau dia merasa bingung karena ilmu itu, biar pun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi merupakan ilmu silat tinggi pilihan.

Kim Hwee Li memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari mendiang Dewa Bongkok dari Gurun Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang bersemangat penuh untuk merobohkan lawan. Tek Ciang segera terdesak mundur dan hampir terkena pukulan sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya ilmu silat yang dimainkan Suma Hui, Tek Ciang tidak ingin kalah dan tiba-tiba dia pun menggerakkan tubuh lebih cepat lagi, tangannya mencengkeram ke arah leher Suma Hui!

Suma Kian Lee sendiri sampai mengerutkan alis. Jurus apa yang dimainkan muridnya itu? Demikian keji dan tak tahu malu kalau dipergunakan menyerang lawan wanita. Tangan kanan Tek Ciang mencengkeram ke arah leher sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada! Juga Kim Hwee Li terkejut dan heran.

Akan tetapi, Tek Ciang yang tadi tanpa disadarinya memainkan jurus dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersadar ketika Suma Hui mengeluarkan seruan kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia merubah gerakannya, kini menggunakan jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan cengkeramannya menjadi totokan dan tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk konde Suma Hui telah dapat dicabutnya!

“Hyaaaattt....!”

Suma Hui marah sekali dan menendang. Tetapi sekali ini Tek Ciang memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu, sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok atau menusuk ke arah lutut yang menendang. Melihat ini, Suma Hui menahan tendangannya dan inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan kirinya menyambar ke depan dan.... sepatu kaki yang menendang itu pun copot, terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.

Suma Hui terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada lawan. Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak mengelak atau menangkis.

“Dukkk....!”

Tubuh Tek Ciang terjengkang. Ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah. Agaknya, biar pun dia telah menggunakan sinkang untuk menahan pukulan itu, tetap saja getaran pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata,

“Engkau semakin lihai saja, sumoi. Maafkan aku!” Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan tusuk konde.

Suma Hui menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.

“Hui-ji, apakah engkau masih tidak mau mengaku kalah?” Suma Kian Lee menegur puterinya.

Suma Hui bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya terampas lawan, itu berarti kalah mutlak. Ia pun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada Tek Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk ‘memberi muka’ kepadanya.

“Sudahlah, aku mengaku kalah!” katanya dengan suara lirih.

“Dan engkau tidak mengingkari janji, mau berjodoh dengannya?” ayahnya mendesak.

“Terserah kepada ayah sajalah, aku hanya mentaati ayah.”

Setelah berkata demikian, tanpa menoleh kepada Tek Ciang, Suma Hui kemudian lari meninggalkan ruangan itu, langsung masuk ke kamarnya dan membanting tubuhnya di atas pembaringannya lalu menangis terisak-isak, menutupi muka dengan bantal untuk menyembunyikan tangisnya.

“Enci....”

Suara halus Ciang Bun dan sentuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu dan tangisnya semakin mengguguk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis berkerut, membiarkan enci-nya menangis sepuasnya. Setelah enci-nya dapat menenangkan hatinya, dia pun berbisik.

“Enci Hui, kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja, jangan mau!” Ciang Bun berkata dengan penasaran dan merasa kasihan sekali kepada enci-nya.

Suma Hui bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat menguasai kembali hatinya, ia berkata, “Adikku, sekali ini tidak mungkin aku mengelak. Mau tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi isteri Louw Tek Ciang.”

“Hemm, mengapa begitu, enci? Apakah alasanmu?”

“Pertama, sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji kepada keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku harus berani mempertanggung jawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat, aku sudah tidak mempunyai ikatan hati dengan siapa pun. Engkau tahu betapa benciku sekarang kepada orang yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si keparat Cin Liong karena sekarang ilmu kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan hebat. Dan ke enam, melihat sikapnya tadi, betapa dia mengalah, harus diakui bahwa sesungguhnya Tek Ciang berhati baik.”

Ciang Bun mengangguk-angguk. “Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!”

********************

Pesta pernikahan yang diadakan tiga bulan kemudian di rumah pendekar Suma Kian Lee di Thian-cin itu amat meriah. Pestanya sendiri sederhana saja karena keluarga ini bukan keluarga kaya. Namun karena nama besar pendekar Suma Kian Lee sudah amat terkenal, apalagi sebagai keturunan keluarga pendekar Pulau Es, maka banyaknya para tamu yang datang membuat perayaan itu menjadi meriah dan megah.

Bukan hanya para pendekar di dunia kang-ouw yang membanjiri perayaan itu di samping para pembesar, akan tetapi bahkan tokoh-tokoh dunia hitam ada pula yang muncul sebagai tamu karena menghormati keluarga Pulau Es. Dan sebagian besar yang datang itu tidak menanti undangan. Orang kang-ouw yang mendengar bahwa keluarga Suma mempunyai kerja, merasa tertarik dan datang begitu saja sebagai tamu tak diundang! Akan tetapi, Suma Kian Lee sekeluarga menerima kedatangan semua tamu tanpa pandang bulu, menyambut mereka dengan sikap hormat tanpa membeda-bedakan.

Perayaan itu menjadi amat meriah karena kesempatan itu dipergunakan oleh para pendekar Pulau Es untuk berkumpul. Bertemulah semua keluarga mendiang Pendekar Super Sakti di rumah Suma Kian Lee di Thian-cin dan tentu saja pertemuan keluarga ini mendatangkan suasana gembira dan juga terharu. Mereka bergembira karena dapat memperoleh kesempatan saling bertemu dan berkumpul sekeluarga besar, dan mereka terharu karena mereka bersama kehilangan orang tua yang mereka hormati dan sayang, yaitu Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya yang tewas di Pulau Es, hanya disaksikan oleh tiga orang cucu Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Hui yang kini menikah, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong yang pada kesempatan itu belum juga pulang!

Kakak kandung Suma Kian Bu, yaitu satu-satunya puteri Pendekar Super Sakti yang bernama Milana, tidak dapat datang. Puteri Milana dan suaminya kini telah menjauhi keramaian dunia dan bertapa di puncak Beng-san yang bernama Puncak Telaga Warna. Akan tetapi suami isteri yang tidak lagi mau berurusan dengan keramaian dunia ini telah diwakili oleh putera kembar mereka, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.

Seperti telah diceritakan dalam kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’, pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana, hanya mempunyai sepasang anak kembar itu. Pada waktu mereka berdua datang berkunjung ke dalam pesta pernikahan Suma Hui, usia mereka sudah kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi keduanya masih belum menikah!

Agaknya ada keistimewaan pada sepasang pendekar kembar ini, yaitu mereka agaknya tidak rela kalau saudaranya menikah dengan wanita lain! Padahal, agaknya sukar dilaksanakan kalau mereka harus menikah hanya seorang isteri saja. Persoalan sepasang pendekar kembar inilah yang membuat suami isteri Gak Bun Beng menjadi kecewa dan mereka lebih banyak mengasingkan diri di puncak Gunung Telaga Warna. Ada pun dua orang pendekar kembar itu sendiri pun agaknya sudah putus asa untuk mendapatkan jodoh yang cocok.

Suma Kian Bu dan isterinya juga hadir. Sepasang suami isteri pendekar ini pun berada dalam keadaan tidak begitu gembira, bahkan mereka menahan dan menyembunyikan kegelisahan hati mereka. Sampai sekian lamanya mereka belum berhasil menemukan kembali putera mereka, yaitu Suma Ceng Liong, walau pun keduanya sudah mengikuti jejak Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat dan kemudian kehilangan jejak orang itu di Pegunungan Himalaya!

Suma Kian Bu dan isterinya tentu saja merasa heran melihat bahwa Suma Hui menikah dengan seorang pemuda yang menjadi murid Kian Lee, padahal mereka pernah melihat huhungan asmara antara Suma Hui dengan Kao Cin Liong yang masih terhitung keponakan sendiri dari Suma Hui. Akan tetapi tentu saja mereka menekan keheranan mereka ini dan tidak berani bertanya, takut kalau-kalau menyinggung.

Keluarga Kao Kok Cu tidak muncul. Tentu saja mereka yang juga mendengar tentang pernikahan itu merasa canggung dan tidak enak untuk muncul setelah pinangan mereka terhadap diri Suma Hui ditolak, bahkan setelah terjadi keributan dengan adanya tuduhan bahwa putera mereka, Kao Cin Liong, telah memperkosa Suma Hui. Sejak itu, ada ganjalan mendalam di antara kedua keluarga ini dan bagaimana pun juga, tidak mungkin Kao Kok Cu dan isterinya berani datang berkunjung sebagai tamu.

Di antara para tokoh pendekar yang kenamaan, yang hadir dalam perayaan pernikahan itu, nampak pula seorang pendekar tua yang gagah perkasa. Wajahnya tampan, sikapnya ramah dan simpatik dan semua orang yang berada di situ memandang ketika rombongan tamu ini datang memasuki ruangan.

Dia adalah Bu-taihiap, seorang pendekar kenamaan berusia lima puluh delapan tahun, namun masih nampak gagah, diiringkan tiga orang wanita cantik yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tiga orang wanita cantik ini adalah isteri-isterinya dan pendekar bernama Bu Seng Kin itu memang terkenal sebagai seorang pria romantis yang semenjak muda dicinta banyak wanita dan bahkan mempunyai isteri di mana-mana!

Tiga orang isterinya itu pun bukan wanita sembarangan. Yang tertua, berusia lima puluh satu tahun, adalah seorang puteri peranakan Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal. Ilmu silat dan ilmu perangnya cukup hebat dan namanya terkenal sebagai Puteri Nandini. Yang ke dua, berusia empat puluh delapan tahun, masih nampak cantik manis, adalah seorang wanita berpakaian nikouw akan tetapi memelihara rambut dan ia pun menjadi isteri pendekar petualang asmara itu, bernama Ga Cui Bi. Yang ke tiga, mungkin yang paling lihai di antara tiga orang isteri itu, juga termuda, dua tiga tahun lebih muda dari pada nikouw itu, adalah seorang wanita cantik genit hernama Tan Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa).

Dia sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat amat tinggi, jarang dapat ditemukan tandingan, masih ada tiga orang isterinya yang kesemuanya lihai-lihai selalu berada di sampingnya! Tentu saja jarang ada pihak yang berani mengganggu keluarga jagoan ini. Masih banyak sekali tamu yang terdiri dari orang-orang kenamaan. Bahkan Kaisar Kian Liong sendiri mengirim utusan pribadi dan mengirim sumbangan, suatu kehormatan yang besar sekali! Maka, suasana pesta pernikahan itu menjadi meriah, megah dan gembira sekali.

Suma Kian Lee dan isterinya sibuk menyambut dan melayani para tamu, menerima ucapan-ucapan selamat dan mereka merasa gembira bukan main. Tak mereka sangka bahwa pernikahan puteri mereka yang diawali dengan hal-hal amat menggelisahkan itu kini dapat berlangsung dengan lancar.

Suma Hui sendiri pun tidak banyak rewel, dan memang gadis ini benar-benar telah menyerahkan kesemuanya kepada ayahnya tanpa membantah. Agaknya sudah bulat tekadnya yang bertujuan satu, yaitu mengajak suaminya untuk membantunya membalas dendam dan membunuh Kao Cin Liong kelak! Untuk itu ia siap mengorbankan diri dan hati dan akan menerima nasib menjadi isteri Louw Tek Ciang!

Baginya toh sama saja menjadi isteri siapa pun, hanya pada diri Louw Tek Ciang ia dapat mengharapkan bantuan menghadapi Cin Liong. Dan bagaimana pun juga, Tek Ciang adalah suheng-nya sendiri dan sudah dipercaya oleh ayahnya. Ia boleh salah pilih, akan tetapi agaknya ayahnya cukup teliti sehingga tidak akan salah memilihkan suami untuknya. Dengan pikiran ini, Suma Hui dapat melaksanakan segala upacara pernikahan itu dengan tenang dan diam saja. Tidak nampak senyum di wajahnya, juga tidak nampak duka. Ia hanya menunduk dan menutup semua panca indera terhadap hal lain, dan mengikuti upacara secara membuta saja.

Kiranya hanya Ciang Bun seorang yang dapat menyelami hati enci-nya. Pemuda yang halus perasaan ini mengerti sepenuhnya bahwa enci-nya itu bagaimana pun juga masih mencinta Cin Liong dan bahwa enci-nya melaksanakan pernikahan itu dengan memaksakan diri. Dia dapat membayangkan betapa hancur hati enci-nya dan diam-diam dia pun merasa menyesal dan berjanji dalam hatinya untuk kelak menegur dan membalas dendam kepada Cin Liong yang dianggapnya tidak bertanggung jawab dan telah menghancurkan kebahagiaan hidup enci-nya.

Perayaan pernikahan itu berjalan lancar sampai selesai. Meriah dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, seperti yang sering terjadi dalam perayaan di rumah seorang pendekar. Agaknya, hadirnya para pendekar gagah membuat kaum pengacau menjadi gentar dan tidak ada yang berani mencoba-coba.

Setelah semua tamu bubaran, Suma Kian Bu dan isterinya juga berpamit karena mereka hendak kembali ke rumah mereka yang sudah terlalu lama mereka tinggalkan dalam usaha mereka mencari Ceng Liong. Sepasang pendekar kembar she Gak juga berpamit dari paman mereka. Tinggallah kini keluarga tuan rumah yang mempunyai kerja.

Seperti biasa pada semua keluarga yang mempunyai kerja, di waktu pesta terlaksana tidak terasa apa-apa, akan tetapi begitu pesta selesai, terasalah betapa lelahnya badan! Keluarga itu menyerahkan semua pemberesan perabot-perabot dan pembersihan tempat kepada tenaga-tenaga bantuan, dan mereka sendiri sore-sore telah memasuki kamar masing-masing. Juga sepasang pengantin sudah memasuki kamar mereka…..

Malam itu sungguh sunyi setelah pada siang harinya tempat itu demikian meriah dikunjungi banyak orang. Tidak terdengar suara berisik, bahkan para tenaga bantuan yang masih bekerja membersihkan tempat, bekerja dengan hati-hati dan tidak berani berisik. Setelah hari gelap benar, mereka pun menghentikan pekerjaan mereka dan mengaso di bagian belakang rumah keluarga Suma itu.

Suma Kian Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang Bun bergulingan gelisah di tempat tidurnya. Tak dapat dia melepaskan pikirannya dari membayangkan keadaan enci-nya. Dia menjadi gelisah dan sedih.

Sementara itu, di dalam kamar pengantin sendiri, sepasang pengantin sudah bertukar pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias amat indah itu, dengan bau semerbak harum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia merasa seperti ada kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak kaget dan memejamkan mata membayangkan orang yang juga berada di kamar ini, yang kini menjadi suaminya dan yang harus dilayaninya!

Ngeri ia membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bahwa bagaimana pun juga, ia harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin pria ini pun sudah berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia nampak tampan.

Pada saat Tek Ciang menghampirinya dan menyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membuatnya gemetar dan bulu tengkuknya meremang. Mengerikan, pikirnya. Tapi dia adalah seorang wanita pendekar, seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apa pun yang terjadi, dia sudah menyerah dan ia harus mempertanggung jawabkan semua itu.

“Hui-moi.... Hui-moi....” terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga Suma Hui.

Biasanya, kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara Tek Ciang mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain mengandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan menjawab lirih, “Ada apakah?”

Tentu saja jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak biasa berdekatan dengan wanita-wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan berhubungan dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan tetapi, dia harus mengakui bahwa berdekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada sesuatu yang membuatnya merasa agak gentar.

Tadi, panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan seorang suami untuk isterinya, seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau pun pembuka jalan. Namun isterinya itu langsung bertanya terang-terangan ada keperluan apa, maka tentu saja dia menjadi canggung.

Dia pun membelai tangan Suma Hui yang dipegangnya. Tangan yang memiliki jari-jari tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang tahu betapa berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui mendiamkan saja ketika tangannya dibelai, hanya jantungnya berdebar demikian kencangnya sampai kedua telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

“Moi-moi, engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan....”

Suma Hui melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih seperti berbisik, “Padamkan dulu lilinnya....”

Tek Ciang tersenyum gembira, melepaskan tangan halus itu dan menghampiri meja. Sementara itu, Suma Hui sudah mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap kelambu dan naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya makin menghebat. Lilin padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat sedikit penerangan yang menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari luar.

Detak jantung di dalam dada Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika dia merasa betapa Tek Ciang sudah naik ke atas pembaringan pula dan merangkulnya, menindihnya dan menggelutinya, lalu menciumi seluruh mukanya, matanya, pipinya, hidungnya dan mengecup bibirnya. Akan tetapi ia tidak mengelak, tidak menolak, tidak pula menyambut, hanya diam saja bergumul dengan perasaan hatinya sendiri. Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan dia melumpuhkan keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan memejamkan matanya, hanya merasakan apa yang diperbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.

“Moi-moi.... ahh, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ahh, betapa aku cinta padamu....” Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek Ciang menggeluti isterinya.

Mendadak terdengar jeritan melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja tangannya meraba punggung suaminya yang tak berpakaian lagi itu dan jari tangannya meraba benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar telur burung yang ditumbuhi rambut!

“Engkau....!” Dan ia pun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya!

Tek Ciang kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih sempat menggulingkan tubuhnya dari atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.

“Hui-moi, ada apakah....?”

“Keparat jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?” Suma Hui pun menjerit sambil menangis.

Cepat Suma Hui membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal seluruhnya oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sendiri dalam kekagetannya cepat membereskan pakaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu kini menjadi terang kembali dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi suaminya dengan sepasang mata berapi-api walau pun ada air mata menetes-netes turun.

“Engkau....!” Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan mata terbelalak. “Engkaulah orangnya! Jahanam terkutuk, engkaulah orangnya yang telah memperkosaku dahulu!”

Setelah berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui menerjang ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaganya, menghantam ke arah dada Tek Ciang dengan tangan terbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.

“Hui-moi, apa yang kau katakan ini....? Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh Kao Cin Liong....”

“Tutup mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor ular busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkaulah yang melakukan perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain! Tidak perlu engkau menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di punggungmu itulah saksinya.” Suma Hui menyerang lagi dengan sengit.

“Kau salah sangka....” Tek Ciang membela diri akan tetapi suaranya gemetar dan lemah karena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka.

Dia merasa menyesal sekali mengapa di punggungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biar pun gadis itu berada dalam keadaan terbius, namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya bergerak dan jari-jari tangannya menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu dengan tonjolan daging berambut itu. Dia menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya dari tubuh pemerkosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang punggungnya menonjol itu adalah Tek Ciang!

Suma Hui menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk menundukkan. Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak menundukkan Suma Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak dia pun balas menyerang dan sebuah tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di kamar pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri kamar pengantin, mereka mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan kata-kata Suma Hui yang terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati.

Pada saat perkelahian menghebat, Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong robohlah daun pintu. Mereka melihat Suma Hui baru merangkak hendak bangkit dan Louw Tek Ciang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

“Apa yang telah terjadi?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya marah, penuh selidik.

“Hui-ji, apa artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?” Kim Hwee Li juga bertanya.

Tendangan tadi tidak mendatangkan luka berat, tetapi tetap saja Suma Hui melangkah dengan terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.

“Ibu.... ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya adalah tonjolan daging berambut di punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda itu secara tidak disengaja dan tadi.... tadi pun hanya kebetulan saja.... dialah jahanam busuk itu!”

“Aihhhh....!” Kim Hwee Li menjerit.

“Hahhh....?!” Suma Kian Lee juga berteriak kaget.

Dia lalu melangkah maju menghampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia sudah melirik ke arah jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari jalan keluar untuk melarikan diri.

“Tek Ciang! Apa artinya ini? Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?” Suma Kian Lee bertanya ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh berlawanan dengan perkiraan dan harapan hatinya.

“Ti.... tidak.... suhu....,” jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.

“Kalau tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging jadi di punggungmu!” Kim Hwee Li membentak.

Kini wanita yang cerdik itu pun sudah dapat menduga dan membayangkan apa yang dahulu telah terjadi. Suma Kian Lee hanya berdiri terbelalak, sampai tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking hebatnya perasaan memenuhi hatinya. Marah, heran, ragu-ragu, menyesal dan malu bercampur aduk menjadi satu.

Dialah yang setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan Tek Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, murid yang mewarisi semua ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang telah memperkosa Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan ini.

“Ayah, aku sekarang mengerti semuanya!” Suma Hui berteriak lantang. “Ayahnya tewas karena bersama penjahat bayaran bermaksud membunuh Cin Liong. Penyerangan itu tentu dilakukan oleh karena mereka hendak menyingkirkan Cin Liong yang dianggap menghalangi niat mereka untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini mendendam kepada Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan perbuatan terkutuk itu dengan mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin Liong kita musuhi sedangkan dia sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahlawan yang membela nama baik keluarga kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat membalas dendam kepada Cin Liong dengan fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah....”

“Louw Tek Ciang! Cepat jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat kalau memang engkau bukan seorang iblis terkutuk seperti yang digambarkan oleh Hui-ji!” Suma Kian Lee membentak dan mukanya berubah merah sekali.

“Suhu, teecu....” Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui itu semua tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak dapat menyangkal lagi.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketawa seorang laki-laki. “Ha-ha-ha, Tek Ciang, apakah engkau bukan laki-laki lagi yang tidak berani menghadapi semua ini?”

Mendengar suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Datangnya bantuan ini sungguh di waktu yang tepat sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata, “Suhu, semua itu benar dan setelah sekarang aku menjadi suami Hui-moi....”

“Jahanam!” Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan langsung melakukan pukulan maut dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat panas menyambar ke depan.

Tek Ciang tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan gurunya. Akan tetapi karena hatinya sudah menjadi besar dengan datangnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun mengerahkan tenaganya. Sambil mengelak dia menangkis, mengerahkan tenaga sambil membongkokkan tubuhnya. Ketika lengannya menangkis, terdengar suara aneh seperti suara katak dari perutnya.

“Desss....!”

Tubuh Tek Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia dapat meloncat bangkit kembali.

Suma Kian Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup kuat dan bukan dari ilmu keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang atau Ilmu Katak Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa mulai saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang Sin-ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gurunya.

Kim Hwee Li dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan dari luar, “Tek Ciang, keluarlah!”

Tek Ciang menggerakkan tangan, melemparkan sesuatu ke tengah kamar itu. Segera terdengar bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar.

“Awas asap beracun!” teriak Suma Kian Lee untuk memperingatkan anak isterinya dan dia sendiri cepat melompat ke arah jendela dari mana tadi dia melihat tubuh Tek Ciang berkelebat keluar.

Setibanya di luar, dia melihat pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas wuwungan telah berdiri seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian indah pesolek dan wajahnya ganteng.

“Iblis busuk, jangan lari!”

Suma Kian Lee yang kini merasa marah bukan main itu kembali menyerang Tek Ciang. Serangannya jauh lebih hebat dari pada tadi karena dia menggunakan kedua tangan menyerang secara beruntun, tangan kanannya mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin.

Walau pun belum mampu menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, pendekar ini ternyata kini sudah demikian mahirnya untuk mempergunakannya secara beruntun dengan kedua tangan. Tentu saja Tek Ciang menjadi gentar. Dia maklum akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walau pun telah mempelajari kedua ilmu mukjijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia belum mampu menggunakannya secara berbareng pada kedua lengannya.

Melihat serangan hebat ditujukan kepada muridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan berkata, “Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?” Dan dia pun melangkah maju menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.

“Dess! Desss!”

Kedua orang itu menangkis dua macam pukulan. Tek Ciang yang menangkis pukulan Swat-im Sin-ciang itu merasa tubuhnya kedinginan dan dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee melangkah mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?” bentak Suma Kian Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.

“Ha-ha, dia muridku, tentu saja kubela dia,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas serangan lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa dingin.

“Cuiiiittt....!”

Jari tangan Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian Lee dan pada saat itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Suma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan mengeroyoknya bersama seorang tokoh jahat, dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.

“Iblis murtad!” bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga untuk merobohkan murid itu.

Akan tetapi, sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba dan biar pun Kian Lee mengelak dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, tetapi hanya menangkis serangan pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet bajunya.

“Brettttt....!”

Baju di dada Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti tergurat pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai.

Pada saat itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma Hui melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan membentak, “Jai-hwa Siauw-ok manusia iblis! Engkau datang mengantar kematian!”

Suma Hui sudah menerjang ke depan membantu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat bahwa lawan suaminya seorang lihai, cepat membantu suaminya. Kian Lee dan isterinya terkejut mendengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yang datang membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan Suma Hui itu.

Marahlah hati Kian Lee. Kini makin jelas baginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah seorang yang palsu, dan diam-diam mengelabuinya, dengan sikap pura-pura baik, sehingga bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga malah berhasil memperisteri Suma Hui setelah memperkosanya! Berhasil pula mengadu domba antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir!

“Bedebah!” bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk.

Melihat keluarga yang lihai itu sudah keluar semua karena kini nampak pula bayangan Ciang Bun membawa pedang, Jai-hwa Siauw-ok berseru. “Tek Ciang, mari kita pergi!”

Guru dan murid itu menggerakkan tangan dan terdengar ledakan-ledakan diikuti asap tebal ketika mereka membanting benda-benda bulat ke atas wuwungan. Di dalam kegelapan asap tebal ini mereka pun menghilang.

Kian Lee, Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun berusaha untuk melakukan pengejaran, akan tetapi malam gelap telah menelan dua orang itu.

“Jangan mengejar secara terpisah, mereka itu berbahaya.” Kian Lee memperingatkan sehingga dengan mengejar berkelompok, mereka tidak berhasil dan akhirnya terpaksa kembali ke rumah mereka.

Suma Hui menangis dalam rangkulan ibunya. “Uhh, ibu.... aku berdosa besar sekali.... aku telah memaki, menghina dan membenci Cin Liong.... padahal dia sama sekali tidak berdosa.... ah, ibuuu....”

Ingin rasanya Suma Hui menjerit-jerit ketika ia membayangkan pemuda yang dicintanya itu. Dapat dibayangkan betapa sakit dan sengsaranya hati Cin Liong dan betapa sakit pula hati orang tuanya menerima tuduhan yang keji itu. Ibunya hanya dapat merangkul dan menciuminya dengan hati penuh iba.

Suma Kian Lee terduduk di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Perasaan menyesal yang amat hebat seperti gelombang menyeretnya, dan di antara celah-celah jari tangannya ada beberapa tetes air. Terdengar suaranya penuh getaran dan tubuhnya menggigil ketika dia bicara dari balik kedua telapak tangan yang menutupi mukanya.

“Aku.... aku telah merusak anak sendiri.... dan aku pun telah mengkhianati ilmu keluarga sendiri.... aku telah berdosa terhadap keluarga Kao.... ahhh, orang bodoh macam aku layak mati.... layak mati....!” Pendekar ini mengeluh panjang dan tubuhnya lalu terguling.

“Ayahhh....!” Ciang Bun menubruk dan merangkul sehingga tubuh ayahnya tidak sampai terguling jatuh. Ternyata pendekar itu telah roboh pingsan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya.

Kim Hwee Li menjerit dan melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian menubruk suaminya sambil menangis dan mengguncang-guncang pundak suaminya yang pingsan itu. Setelah dipijat bagian leher dan bawah lengannya, Kian Lee siuman kembali. Melihat dia rebah di pembaringan ditangisi oleh isterinya dan kedua orang anaknya, pendekar ini sadar lalu bangkit duduk. Dia memandang kepada Suma Hui yang berlutut di depan pembaringannya sambil menangis. Melihat puterinya ini, tak dapat lagi Suma Kian Lee menahan hatinya.

“Hui-ji....!” Dia menubruk dan merangkul, mendekap kepala puterinya itu, air matanya bercucuran. “Hui-ji, kau maafkan aku....”

“Ayaahh.... ayaahhh....!” Suma Hui juga hanya dapat menangis tersedu-sedu di dada ayahnya. Suasana sungguh amat mengharukan ketika empat orang anggota keluarga itu membiarkan diri mereka tenggelam dalam kedukaan, dalam penyesalan yang amat mendalam.

Akan tetapi Kim Hwee Li yang pada dasarnya memiliki watak keras itu dapat lebih dahulu menguasai dirinya dan ia pun berkatalah. “Sudahlah, apa gunanya penyesalan yang berlarut-larut ini? Lebih baik kita melihat apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki semua kesalahan.”

“Ayah, yakinkah ayah sekarang bahwa Cin Liong tidak berdosa?” Dengan halus akan tetapi suaranya membayangkan kesedihan Suma Hui bertanya.

Suma Kian Lee mengangguk dan pendekar itu tiba-tiba saja nampak jauh lebih tua dari pada biasanya. “Aku pernah melupakan bahwa dia adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir....”

“Dan ayah.... ayah masih berkeberatan terhadap hubungan antara kami?” tanya pula Suma Hui.

Suma Kian Lee menarik napas panjang. “Aku bersalah.... tadinya memang kuanggap tidak baik melakukan ikatan jodoh antara keluarga sendiri. Aku lupa bahwa urusan jodoh adalah urusan yang mutlak menyangkut diri kedua orang itu sendiri.... akan tetapi aku telah menggagalkan segalanya, aku telah merusak kebahagiaanmu, Hui-ji.”

“Disesalkan pun tiada gunanya lagi,” Suma Hui menyusut air matanya. “Aku tidak patut lagi mendekatinya. Hidupku hanya untuk dua tujuan kini. Pertama, menemui Cin Liong dan minta agar dia sudi mengampuni dosaku, dan ke dua, aku belum mau mati sebelum dapat membunuh si jahanam Louw Tek Ciang!”

“Hemmm, aku sendiri yang akan menanganinya!” kata Suma Kian Lee penuh geram.

“Tidak, ayah. Harus aku sendiri yang membunuh jahanam itu!” kata pula Suma Hui.

“Dan aku akan membantumu, enci Hui!” kata Ciang Bun yang juga ikut merasa dendam.

Suma Kian Lee mengangguk. “Kita semua akan maju karena jahanam itu berkawan dengan tokoh-tokoh sesat yang pandai. Akan tetapi, kepandaian kalian masih belum cukup untuk menandinginya, maka mulai sekarang, biar kuajar semua ketinggalan, akan kucurahkan seluruh waktu dan perhatianku untuk mewariskan semua ilmu keluarga kita kepada kalian.”

Demikianlah, peristiwa hebat yang mengguncang keluarga pendekar ini bahkan membuat ayah dan anak menjadi akrab, dan mulai hari itu, Suma Hui dan Ciang Bun digembleng oleh ayah mereka secara tekun dan keras. Suma Kian Lee yang merasa bersalah kepada dua orang anaknya karena dia telah mengambil murid dan ahli waris dari luar yang ternyata seorang penjahat itu, sekarang hendak menebus kesalahannya dengan menguras semua kepandaiannya untuk diwariskan kepada mereka. Sebaliknya, Suma Hui dan Ciang Bun yang bertekad untuk menandingi Tek Ciang, berlatih dengan sungguh-sungguh sehingga dalam waktu dua tahun lebih mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan rumah dan tempat latihan!

Segala macam peristiwa yang terjadi dan menimpa diri kita adalah kenyataan-kenyataan yang tak dapat dirubah lagi dan kesemuanya itu tentu mengandung sebab. Sebab-sebab itu pun tidak akan jauh dari pada diri kita sendiri, dan sumber segala peristiwa yang menimpa diri kita berada di dalam diri kita sendiri. Menyesalkan peristiwa yang terjadi sungguh tidak ada gunanya sama sekali, karena penyesalan itu hanya akan mendatangkan duka dan karenanya pikiran bahkan menjadi keruh dan tidak dapat bekerja dengan baik.

Lebih baik kita membuka mata melihat kenyataan itu, karena semua peristiwa yang terjadi adalah suatu kenyataan, suatu fakta. Pengamatan yang mendalam dan terbuka terhadap suatu peristiwa akan membuka mata kita, membuat kita waspada dan di dalam setiap peristiwa terkandung pelajaran kehidupan yang amat berharga.

Hujan yang jatuh tak mungkin ditahan dan diminta untuk terbang ke atas lagi. Hujan turun merupakan satu di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang wajar, tidak baik tidak buruk. Tidak ada manfaatnya sama sekali kalau kita bermurung atau marah-marah oleh turunnya hujan karena kita merasa dirugikan. Juga berbahaya kalau sebaliknya kita bersenang-senang melampaui batas karena kita merasa diuntungkan oleh turunnya hujan itu karena segala macam kesenangan setiap saat bisa saja berubah menjadi kedukaan.

Para petani yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan tidak akan bersenang hati saja, melainkan waspada menjaga agar jangan sampai air hujan itu terlalu membanjiri sawahnya sehingga bahkan merusak padinya. Anak-anak yang bergembira dan bermain dalam hujan pun harus diamati dengan waspada, jangan sampai mereka menjadi kedinginan bahkan sebaliknya lalu menjadi sakit.

Jadi, dalam setiap peristiwa tentu terkandung segi baik buruknya, kalau kita sudah membiarkan diri terseret dalam perhitungan untung rugi. Lalu apa yang kita lakukan menghadapi setiap peristiwa, setiap kenyataan? Apakah lalu berdiam diri saja, masa bodoh dan tidak perduli? Sama sekali tidak bijaksana kalau begitu! Alangkah baiknya kalau dalam menghadapi setiap periswa yang menimpa diri, kita bersikap waspada, membuka mata dan menghadapi kenyataan tanpa dipengaruhi untung rugi.

Misalnya hujan turun di waktu kita hendak keluar. Perlu apa mengeluh? Yang penting, akal budi kita pergunakan untuk mengatasi halangan itu, menggunakan payung, kendaraan, atau berteduh. Tindakan ini yang penting, bukan keluhan. Keluhan muncul kalau pikiran kita sibuk menimbang-nimbang untung rugi. Dan ini tidak ada manfaatnya sedikit juga. Demikian pula, seperti peristiwa hujan turun, dalam menghadapi segala peristiwa apa pun dalam hidup, kewaspadaan dan pengamatan yang mendalam akan menciptakan tindakan-tindakan yang tepat! Tepat.....


********************

Kao Cin Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya sebagai seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw mau pun sebagai seorang panglima muda yang berkecimpung di dalam kancah-kancah peperangan. Semua pengalaman pahit dalam hidupnya membuat pemuda ini matang dan dia dapat menghadapi segala peristiwa dengan tenang.

Akan tetapi, ketika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu pulang dari tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia menyerang Nepal dan berhasil menundukkan negara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang membuat dirinya tertegun. Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan anugerah Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu berpamit meminta cuti untuk menengok orang tuanya di utara.

Akan tetapi, begitu dia memasuki rumahnya dan menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap dirinya. Ayahnya memandang dengan mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya dengan mata merah dan basah! Cin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, maka cepat dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk di kursi panjang.

“Ayah, ibu, aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul. Akan tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka? Harap ayah dan ibu suka mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberi tahu kesalahan apa gerangan yang telah kulakukan?”

“Cin Liong, karena ulahmu, atau setidaknya karena engkaulah maka kami berdua, ayah bundamu menerima penghinaan dan makian orang,” kata Kok Cu.

Pendekar ini sudah hampir enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa. Buntungnya sebelah lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan menambah kegagahannya, kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sehingga patutlah kalau dia dikenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.

Di sampingnya duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga tahun. Nenek yang biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang kepada puteranya, hampir ia tidak dapat menahan air matanya.

Tentu saja Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenang. Dia lalu bangkit duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka bergantian dengan sinar mata penuh selidik, dia pun bertanya. “Ayah dan ibu, apakah yang telah terjadi? Harap suka segera memberi tahu kepadaku.”

Wan Ceng yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului suaminya. “Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin....”

“Ahhh....!” Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaan kepada ayah bundanya untuk mengajukan pinangan. “Lalu bagaimana, ibu?”

“Kami tiba di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan kami telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kau minta.” Wan Ceng berhenti karena suaminya memotong.

“Pinangan yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi, dan berakhir dengan aneh dan memalukan pula.”

“Ibu, apakah yang terjadi selanjutnya?”

“Singkatnya, pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!” kata Wan Ceng gemas.

Cin Liong bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut. “Ahhh, sungguh tidak pantas! Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai penghinaan dan makian? Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi hati karena merasa sebagai keluarga Pulau Es?”

“Cin Liong, lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi? Dapatkah kita menilai orang dari keadaan luarnya? Memang, menolak pinangan sambil marah-marah tidak patut sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap sikap dan perbuatan itu tentu ada sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak menilai sikap atau perbuatan orang lain!”

“Maaf, ayah. Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah ditolak pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi, ayah? Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?”

“Nah, begitu lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu kenapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti perasaan hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, pada waktu kami mengajukan pinangan, paman Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya itu, bahkan Suma Hui dengan lantang mengatakan bahwa engkau telah memperkosanya!”

“Ahhh....!” Cin Liong terbelalak kaget dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, sekali ini dengan muka menjadi pucat dan pandang mata penuh keheranan.

“Kami tidak pernah meragukan dirimu, anakku,” kata Wan Ceng. “Tentu saja kami tidak percaya dan hampir terjadi kesalah pahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula kalau Suma Hui mengada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada apakah antara engkau dan Suma Hui?”

Cin Liong sudah terduduk kembali dan menutupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya menggumam heran, “Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya? Ya Tuhan, apa artinya semua ini? Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak pula kepada siapa pun juga. Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun tangan membunuhnya. Kalau aku sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Dan sekarang baru aku mengerti, kiranya ada hubungannya dengan itu maka sikap Suma Hui dahulu itu demikian aneh.”

“Apa yang kau maksudkan?” tanya ibunya.

“Seperti pernah kuceritakan kepada ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali cinta kasih. Kami saling mencinta dan biar pun kami tahu akan besarnya halangan di antara kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk bersama-sama menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan sebelum menerima perintah kaisar, aku pergi ke Thian-cin. Ketika bertemu denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuh! Ia begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka aku lalu pergi meninggalkannya. Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya tak pernah bertemu dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana jadinya dengan pinangan ayah berdua.”

Ayahnya mengangguk-angguk, “Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua itu. Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan berusaha membunuhmu. Dan engkau tidak merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu rahasia di antara kedua perbedaan yang saling berlawanan itu.”

“Sudah menjadi kuwajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera berangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka.”

“Akau tetapi, keluarga Suma sudah begitu marah kepadamu....,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.

“Ayah. Kita semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar. Aku yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan menyelidiki rahasianya, dia akan dapat menerimanya.”

“Tapi, Cin Liong....” Suara Wan Ceng menjadi lembut dan pandang matanya penuh iba kepada putera tunggalnya. “Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau pergi, Suma Hui telah menikah....”

Ciu Liong adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan lembut oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat menikam jantungnya. Akan tetapi hanya mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi selanjutnya dia nampak tenang.

“Ahh, begitukah....?”

“Kami tidak datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir setelah peristiwa peminangan dahulu itu,” kata Kao Kok Cu.

“Kami mendengar bahwa ia menikah dengan suheng-nya sendiri, murid tunggal paman Suma Kian Lee,” sambung Wan Ceng.

“Ah, tentu Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu kelihatan baik dan berbakat.” Cin Liong menunduk, tidak tahan melihat pandang mata ibunya yang penuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!

“Engkau tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?” tanya ibunya.

Cin Liong mengangkat muka, memandang kepada ibunya dengan senyum. Senyum layu!

“Tentu saja, ibu. Aku pergi untuk menjernihkan kekeruhan antara keluarga kita dengan keluarga Suma. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga, maka tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus dapat menyadarkan mereka bahwa aku terkena fitnah, bahwa aku tidak melakukan perbuatan itu.”

“Tapi.... tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya yang mendatangkan aib itu dibicarakan,” Kao Kok Cu memperingatkan.

“Aku akan membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi keributan, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga dia pun telah mengetahui segala-galanya. Dia pun sudah mengenalku.”

Karena memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah bermalam di rumah orang tuanya selama sepekan, berangkatlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke Thian-cin.

Suatu hari tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan dia pun merasa lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, maka Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biar pun dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota raja, akan tetapi Cin Liong belum pernah lewat dusun ini.

Dia kini memang sengaja mengambil jalan lain di sepanjang kaki Gunung Tai-hang-san ketika dia menuju ke Thian-cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang hendak mengambil jalan memutar agar jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar sesuatu yang membuat dia menunda kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan keluarga Suma sudah selesai, barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya sebagai panglima kembali.

Dan karena jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman, tidak ada pejabat atau petugas yang mengenalnya sehingga dia dapat melakukan tugasnya secara bebas kalau dia sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian kebesaran kalam dia memimpin pasukan dengan resmi.

Pei-san merupakan sebuah dusun di lereng bukit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun yang cukup makmur karena tanahnya yang subur karena letaknya yang dekat dengan kota raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk atau jembatan, juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak menuju ke kota raja. Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat, selalu singgah di dusun ini, untuk mengaso, atau makan, atau juga untuk melewatkan malam kalau mereka kemalaman di jalan. Tidaklah mengherankan apabila di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai makan minum.

Ketika Cin Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa dusun ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihatannya yang tajam dapat menangkap bayangan-bayangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang mata para penduduk. Agaknya ada sesuatu, atau telah terjadi sesuatu yang membuat hati penghuni dusun itu dicekam ketakutan.

Kesan ini dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya lelah sekali. Dia tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh tamu, melainkan memilih kedai yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu memilih makanan yang enak. Segala macam makanan terasa enak di mulut kalau perut sedang lapar.

Di kedai itu ada beberapa orang tamu yang duduk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah meja di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu bertanya makanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat betapa di wajah kakek pelayan ini pun terbayang rasa cemas seperti yang dilihatnya pada wajah orang-orang lain itu.

Dia memesan makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong lalu berkata, “Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada wajah penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apakah yang telah terjadi, lopek?”

Kakek pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri, nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada orang menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu?

“Lopek, aku bukan orang sini, dan aku baru saja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa apakah?” tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu yang ingin tahu dan dia pun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.

“Tidak ada apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa....”

Cin Liong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihatkan suatu ketidak wajaran. Mereka duduk, ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap urusan perdagangan dan pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan takut bicara.

“Lopek, jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau ada kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan berusaha untuk membereskannya,” kata pula Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.

Pelayan itu memandang dengan ragu, akan tetapi matanya terbelalak ketika dia melihat betapa tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti tepung di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tahulah pelayan itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.

“Di.... di dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang....”

Hanya sampai di situ saja pelayan itu berani bicara karena dia pun cepat meninggalkan Cin Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak lebih jauh, lalu melanjutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)?

Dia pernah mendengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal dengan anggota-anggota mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang selain ahli dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun. Akan tetapi, perkumpulan perampok Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di barat. Bagaimana bisa muncul di tempat ini dan apa yang telah mereka lakukan sehingga orang-orang menjadi ketakutan?

Tiba-tiba terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba jatuh terpelanting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya ikut terbanting dan menimbulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu.

Para pelayan lain dan para tamu segera menghampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia paling dulu menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa. Ternyata pelayan itu telah tewas dengan muka berubah kebiruan, sedangkan di leher sebelah kanan nampak tiga guratan yang masih mengeluarkan darah. Guratan tanda kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin Liong bahwa kakek ini tewas keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan pada leher itu.

Dia menjadi marah sekali dan memandang kepada semua orang yang berada di situ penuh selidik. Akan tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa yang hendak dituduhnya? Pula, melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat bagai mana caranya kakek itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai sekali. Juga bahwa penjahat itu bisa mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa gerombolan penjahat itu benar-benar lihai.....

Dia lalu bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. “Siapa di antara saudara sekalian yang tahu di mana adanya sarang gerombolan Eng-jiauw-pang?” tanyanya, suaranya halus akan tetapi penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan.

Ada kejahatan kejam terjadi di depan hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan sekali, merupakan tantangan kepadanya. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak sempat memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan dapat mengetahui kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di situ akan terjadi pembunuhan?

Begitu Cin Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak. Muka mereka menjadi pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti orang ketakutan. Juga para pelayan yang lain menggelengkan kepala, tanpa menjawab pertanyaan itu.

“Wiirrr.... singgg....!”

Cin Liong dengan tenang mengelak dan tangannya bergerak menangkap benda hitam yang meluncur di dekat telinganya, yang tadinya menyambar ke arah lehernya. Dengan ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah sebatang senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku Penembus Tulang). Akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah diduga bahwa paku ini mengandung racun yang amat berbahaya!

Begitu menangkap senjata rahasia itu, Cin Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia tidak melihat bayangan siapa pun yang boleh disangka melakukan penyerangan itu. Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang tertancap pisau belati, di mana terdapat tulisan dengan huruf merah.

ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA DI SEBELAH TIMUR DUSUN.

“Hemm....!” Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah.

Kiranya dia berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi dimaksudkan untuk mengujinya. Kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu! Dia tahu betapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.

Cin Liong melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah, lalu dia meninggalkan rumah makan itu. Dia langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.

Sebenarnya, perkumpulan apakah yang menamakan diri Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-kadang suka melakukan perampokan, meski perampokan kaliber besar, bukan sembarangan perampok dan maling kecil saja.

Mereka hanya melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) rata-rata mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.

Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.

Cin Liong memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki sarang harimau atau goa naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat.

Tidak lama kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru. Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan sunyi saja.

Biar pun begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada, yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.

Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya tanpa sebab? Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan tadi hanya bertanya mengenai Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri.

Akan tetapi, hal ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan dia pun mencari dengan matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak kereng dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.

“Kao Cin Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami untuk membuat perhitungan denganmu!” Seorang di antara mereka yang berkumis lebat berkata.

Cin Liong mengerutkan alisnya. “Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?”

“Benar!” jawab si kumis lebat. “Kami adalah para anggota Eng-jiauw-pang yang hendak membalas kematian ketua kami!”

Cin Liong memandang heran. “Aku hanya lewat di dusun itu dan mendengar bahwa perkumpulan Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, melakukan kejahatan hingga para penghuni dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?” Dia memandang si kumis dan melanjutkan pertanyaannya. “Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?”

“Jenderal Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu.”

“Dan siapakah ketua kalian itu?”

“Ketua kami adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Dan engkau telah membunuhnya di Pulau Es....”

“Ahhhh!”

Kini Cin Liong teringat. Ketika rombongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau Es, dia membela Pulau Es dan dalam pertempuran mati-matian itu dia telah merobohkan dan menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda itu adalah ketua dari gerombolan ini!

“Kiranya kakek jahat itu ketua kalian? Memang, aku telah menewaskannya karena dia bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada keluarga Pulau Es. Nah, kalian mau apa? Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke neraka jahanam?”

Tentu saja dua puluh orang lebih yang mengurung pemuda itu menjadi marah mendengar ucapan ini, terutama sekali lima orang pemimpin mereka yang merupakan murid-murid utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.

“Bocah sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!” teriak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang sesungguhnya dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw Siauw-ong.

Setelah memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda, diturut oleh semua anggota gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah mengenakan sarung kuku garuda yang terbuat dari pada baja. Setelah mengenakan sarung tangan kuku garuda, mereka itu nampaknya menjadi bertambah bengis.

Lalu, atas isyarat si kumis, kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang anggota gerombolan yang berdiri di belakang Cin Liong sudah menubruk dengan serangan mereka menggunakan kedua cakar garuda itu untuk mencengkeram. Mulut mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau burung garuda, ada pun gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua lengan mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat dengan gesitnya, menubruk dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua cakar baja yang amat runcing itu.

Akan tetapi, yang mereka serang adalah Kao Cin Liong, pendekar muda yang memiliki kesaktian, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu pemuda perkasa ini memutar tubuh dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak, tiga orang penyerang sudah terpelanting dan terbanting ke atas anah dengan keras, membuat mereka tidak dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening.

Akan tetapi, teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggota Eng-jiauw-pang itu, terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan yang lunak!

Kao Cin Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu siap untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan benci. Yang ditentangnya adalah perbuatan yang jahat dan mencelakakan orang lain, akan tetapi dia tidak pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam sepak terjangnya menghadapi kejahatan, selalu dia berniat untuk menghukum dan mendidik, tidak mau sembarangan membunuh orang. Jika dia sudah berpakaian jenderal, tentu saja sikap dan tindakannya lain lagi. Sebagai prajurit tentu saja dia harus membasmi musuh negara sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menghadapi Eng-jiauw-pang ini, dia pun tadinya hanya bermaksud untuk menghajar dan menghukum mereka agar bertobat dan tidak berani mengacau rakyat lagi. Akan tetapi setelah mereka mengeroyok, dia terkejut dan mendapat kenyataan betapa para anggota perkumpulan ini benar-benar memiliki kepandaian silat yang kuat. Apalagi lima orang pemimpin mereka itu sungguh merupakan lawan berbahaya setelah mereka maju bersama, dan pengeroyokan kurang lebih dua losin orang itu membuatnya repot juga.

Untuk dapat menghajar lawan sedemikian banyaknya dia harus memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari pada para lawan itu. Akan tetapi kenyataannya dialah yang terdesak karena dia tadinya tidak ingin membunuh dan hanya menggunakan ilmu silat biasa saja. Melihat betapa dia malah terdesak, terpaksa Cin Liong merubah permainannya dan demi keselamatannya sendiri, kalau perlu dia harus merobohkan beberapa orang lawan yang mungkin saja dapat menewaskan lawan karena dia hendak mengeluarkan ilmu simpanannya.

“Hyaaaattt....!”

Si kumis tebal menyerang dengan ganasnya, kedua tangan cakar bajanya menyambar cepat dan yang nampak hanya sinar hitam dua gulung menyambar ke arah muka dan dada Cin Liong. Serangan ini disusul oleh serangan empat orang kawannya dari kanan kiri dan belakang. Cin Liong meloncat dan tubuhnya melesat keluar dari kepungan, lalu tiba-tiba tubuhnya mendekam setengah menelungkup di atas tanah. Para pengeroyok merasa girang sekali, mengira bahwa pemuda itu lelah atau kehabisan tenaga atau terjatuh. Belasan orang anak buah Eng-jiauw-pang seperti berebut menubruk musuh yang sedang mendekam di atas tanah itu.

“Haiiiikkk!”

Tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang tadi mendekam secara tiba-tiba bergerak, kaki tangannya mencuat ke sekelilingnya dan angin yang dahsyat menyambar seperti badai mengamuk. Para pengeroyoknya terkejut sekali, mereka berteriak kaget dan kesakitan dan belasan orang itu pun terpelanting berjatuhan dengan terbanting keras dan ada yang terlempar sampai beberapa tombak jauhnya! Dalam segebrakan itu saja, empat orang pengeroyok tewas seketika, empat orang lain terluka parah dan beberapa orang lagi hanya terlempar dan mengalami kekagetan saja, hanya lecet-lecet karena terbanting dan terguling-guling.

Tentu saja para anggota Eng-jiauw-pang terkejut sekali. Mereka tidak tahu bahwa ketika mendekam tadi, Cin Liong mengeluarkan ilmu simpanan yang dipelajari dari ayahnya, Si Naga Sakti Gurun Pasir. Itulah Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah). Ketika dia mendekam sebetulnya dia sedang mengerahkan sinkang yang mengambil tenaga inti dari bumi. Dan pada waktu belasan orang pengeroyok itu menyerang dan menubruknya seperti hendak berlomba mencengkeramnya, Cin Liong mempergunakan Ilmu Sin-liong-cian-hoat (Silat Naga Sakti), maka akibatnya sedemikian hebat.

Lima orang pemimpin Eng-jiauw-pang dan sisa anak buah mereka melihat kehebatan pemuda ini menjadi gentar. Mereka tahu bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, akhirnya mereka semua akan roboh dan tewas. Maka lima orang pemimpin itu mengeluarkan seruan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk melarikan diri. Mereka pun berloncatan pergi sambil menyeret teman-teman yang tewas atau terluka.

Cin Liong sendiri masih tertegun melihat akibat dari ilmunya tadi. Sangat jarang dia mau menggunakan ilmu simpanan itu, dan hingga saat ini dia masih selalu merasa tertegun menyaksikan kehebatan ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya. Dia termangu-mangu, mempertimbangkan apakah sepak terjangnya tadi tepat, dalam segebrakan saja dia telah membunuh dan melukai banyak orang. Karena dia sendiri merasa agak menyesal, maka ketika melihat semua lawan melarikan diri, dia pun tidak mau mengejar dan hanya berdiri memandang sampai mereka semua lenyap dari pandang matanya.

Setelah menarik napas panjang, Cin Liong lalu melangkah memasuki hutan itu lebih dalam karena dia ingin mencari kuil tua yang menjadi sarang Eng-jiauw-pang. Dia tadi sudah memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi dia harus menemukan sarang mereka dan membasmi sarang itu agar mereka bertobat dan tidak berani lagi beraksi mengumbar kejahatan mereka.

Kuil tua itu ternyata sudah mengalami banyak perbaikan. Temboknya telah dicat baru, gentengnya banyak yang diganti baru dan dari luar saja sudah nampak bahwa kuil tua itu kini sudah menjadi bersih dan terawat. Bahkan di pekarangan kuil itu banyak ditanami kembang dan juga nampak bersih, tanda bahwa setiap hari tentu disapu. Akan tetapi ketika Cin Liong menghampiri kuil itu, kelihatan sunyi sekali. Tentu mereka sudah melarikan diri semua, pikirnya. Mereka agaknya dapat menduga bahwa aku tentu akan mendatangi sarang mereka.

Namun dia tetap bersikap hati-hati dan waspada ketika memasuki kuil. Dia tahu bahwa menghadapi musuh seperti Eng-jiauw-pang itu, dia harus bersikap hati-hati karena mereka tentu tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan dia tidak akan merasa heran andai kata mereka kini memasang perangkap untuknya di dalam kuil ini. Maka, dia pun melangkah dengan hati-hati ke dalam kuil yang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat sembahyang itu.

Ruangan depan kosong, juga ketika dia memeriksa ke ruangan dalam dan kamar-kamar di sekitarnya, tidak menemukan seorang pun. Akan tetapi Cin Liong tetap curiga. Dia melihat sesuatu yang tidak wajar dalam kekosongan kuil ini. Biasanya, kalau orang-orang meninggalkan sarang mereka dengan tergesa-gesa karena mengira bahwa sarang itu akan diserbu musuh, tentu para penghuninya akan pergi sambil membawa barang-barangnya dan kamar-kamar itu tentu akan mawut, barang-barang ada yang kececeran dan dibiarkan porak-poranda.

Akan tetapi di dalam ruangan dan kamar-kamar di kuil ini tidak nampak tanda-tanda demikian itu. Semua kamar tetap bersih dan barang-barang seperti tempat pakaian dan lain-lain masih utuh, juga tidak ada tanda-tanda orang membawa pergi barang-barang dengan tergesa-gesa. Apakah para anggota Eng-jiauw-pang itu langsuug melarikan diri tanpa singgah dulu di sarang mereka saking takutnya? Nampaknya begitulah atau.... ada maksud tertentu dari mereka. Kalau benar tidak ada orangnya dan tempat ini sudah ditinggalkan para penjahat itu, sebaiknya dibakar saja, pikir Cin Liong.

Mendadak Cin Liong tak bergerak dan mencurahkan perhatian kepada suara yang didengarnya. Suara itu datang dari arah belakang kuil itu, suara ah-ah-uh-uh, bukan seperti suara manusia, diselingi suara berdebukan seperti benda dipukul-pukulkan di lantai.

Dengan hati-hati sekali dan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf di tubuhnya menegang dan siap bergerak melindungi diri, Cin Liong lalu menuju ke ruangan belakang, satu-satunya ruangan yang belum dimasukinya. Daun pintu yang menembus dari ruangan tengah ke ruang belakang itu tertutup dan dengan perlahan dan hati-hati Cin Liong mendorongnya terbuka.

“Uhhh.... uhhhh....!”

Cin Liong melihat seorang gadis cantik yang terbelenggu kaki tangannya, diikat di atas sebuah dipan kayu. Mulut gadis itu ditutup pula dengan sebuah sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepalanya sehingga mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh. Gadis itu mencoba melepaskan diri, meronta-ronta dengan keras. Akan tetapi belenggu kaki tangannya itu terlampau kuat sehingga kaki dipan kadang-kadang terangkat sedikit dan memukul-mukul lantai mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Meski apa yang dilihatnya itu sudah nampak jelas, yaitu seorang gadis tawanan yang ditinggalkan di dalam ruangan belakang kuil itu, namun Cin Liong tidak tergesa-gesa menghampiri, melainkan menoleh ke kanan kiri dan meneliti keadaan sekitar tempat itu. Dia tidak mau jika sampai terjebak memasuki perangkap yang dipasang para penjahat.

Melihat pintu terbuka dan muncul seorang pemuda tampan, gadis itu menghentikan gerakannya meronta-ronta tadi dan kini ia memandang kepada Cin Liong dengan kedua mata basah. Gadis itu menangis dan sinar matanya mewakili mulutnya untuk minta tolong kepada Cin Liong.

Setelah meneliti keadaan dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali dia sendiri dan gadis yang dibelenggu itu, Cin Liong melangkah masuk, menghampiri gadis itu sambil memperhatikannya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya tentu sudah dua puluh tahun lebih, dengan bentuk tubuh yang matang dan padat. Agaknya gadis itu menjadi tawanan baru dan belum diganggu oleh para penjahat. Hal ini dapat diduga melihat betapa pakaian gadis itu masih lengkap dan utuh.

Melihat pakaiannya yang serba mewah, dapat diduga pula bahwa gadis ini tentulah puteri seorang hartawan atau bangsawan. Pakaian itu belum diganggu, bahkan jubah luar terbuat dari pada bahan kain indah berwarna merah itu pun masih menempel di tubuhnya. Akan tetapi, kaki tangannya dibelenggu amat kuatnya, dengan menggunakan pintalan kain sebagai tali. Halus dan tidak menyakitkan kaki tangan, akan tetapi ulet dan sukar untuk melepaskan diri dari belenggu pintalan kain ini.

Cin Liong kini cepat menghampiri dan pertama-tama dia melepaskan sapu tangan yang menutupi mulut dan diikatkan ke belakang kepala itu. Begitu bebas, gadis itu segera berkata dengan suara memohon, “Ahhh, tolonglah aku.... tolonglah aku.... mereka membelengguku dan meninggalkan aku di sini, sebentar lagi mereka tentu datang lagi. Tolong lepaskan belenggu kaki tanganku....”

Tanpa diminta sekali pun tentu saja Cin Liong bermaksud membebaskannya. Dia lalu melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan merasa kasihan karena ternyata ikatan itu kuat sekali sehingga ketika dilepaskan, kulit kaki di pergelangan yang halus putih itu menjadi merah kebiruan! Dia pun cepat melepaskan tali pengikat kedua lengan.

Akan tetapi begitu dilepaskan kedua tangannya, tiba-tiba gadis itu mencengkeram ke arah perut sendiri. Wajahnya berubah pucat, keringat membasahi muka dan lehernya dan dia pun mengeluh, “Aduhhh.... perutku....aduhhh....”

Cin Liong terkejut sekali. “Perutmu kenapa, nona....”

“Aduhh.... di antara mereka tadi.... ada yang menampar ke arah perutku.... Tadi tidak begitu terasa, akan tetapi sekarang.... aduhhh.... seperti terbakar rasanya....” Dan gadis itu pun menangis, kedua tangannya mencengkeram ke arah perutnya dan tubuhnya berkelojotan seperti dalam keadaan yang amat nyeri.

Cin Liong teringat bahwa orang-orang Eng-jiauw-pang pandai mempergunakan racun. Agaknya gadis ini terluka atau terkena racun. “Maaf, biarkan aku memeriksanya, nona, mungkin aku dapat menolongmu....,” katanya dengan perasaan kasihan kepada gadis itu dan marah kepada para penjahat.

Agaknya orang-orang Eng-jiauw-pang itu telah menaruhkan racun entah apa, yang akan terasa apabila gadis itu terbebas dari belenggunya. Racun yang aneh dan jahat sekali. Karena khawatir kalau-kalau keadaan gadis sudah parah dan sukar ditolong lagi, Cin Liong mengesampingkan segala perasaan malu dan canggung. Dengan hati-hati dia menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan kancing baju gadis itu di bagian perut, untuk memeriksa keadaan perutnya yang agaknya terluka hebat itu, entah luka di luar ataukah di dalam.

Pada saat dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan bekerja membuka kancing dan mukanya menunduk, matanya memandang penuh perhatian ke arah perut, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak dan jubah merahnya mengebut. Bubuk merah halus yang seperti asap memenuhi udara dan sebagian besar menimpa muka Cin Liong.

Pemuda ini sama sekali tidak menyangka. Tadi ketika dia melepaskan belenggu dan berada di dekat nona itu, memang dia mencium bau harum yang aneh. Akan tetapi karena keadaan gadis itu sebagai seorang tawanan yang dibelenggu kuat-kuat dan kemudian bahkan menderita nyeri yang hebat, keraguan dan kecurigaan sedikit pun terhadap gadis itu tidak ada. Maka, betapa pun lihainya, dalam keadaan berdiri bungkuk seperti itu, dan dekat sekali dengan nona yang ditolongnya, ketika nona itu menyerang dengan bubuk merah yang agaknya memang sudah sejak tadi memenuhi jubah merahnya, pendekar ini sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dan mukanya terkena bubuk merah yang harum.
“Hehhh....!”

Dia masih dapat mencengkeram ke depan, maksudnya untuk menangkap gadis yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang luar biasa gesitnya, gadis cantik itu menangkis dan meloncat jauh.

“Dukkk!”

Gadis itu terlempar dan Cin Liong juga merasa betapa tangkisan itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa gadis itu memang seorang pandai yang pura-pura tertawan sehingga dia terkecoh. Akan tetapi terlambat. Kepalanya terasa ringan dan tiba-tiba saja semuanya gelap baginya. Tanpa diketahuinya, dia roboh terkulai di atas pembaringan itu dalam keadaan pingsan.

Cin Liong tidak tahu berapa lama dia tidak sadar. Akan tetapi ketika dia siuman, dia mendapatkan dirinya berada di dalam ruangan yang sama. Akan tetapi kini dialah yang terikat dan terbelenggu di atas dipan dan ketika dia memandang, ternyata gadis cantik berpakaian mewah tadi juga berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dan sedang memandang kepadanya dengan sepasang mata tajam penuh selidik. Mata itu amat tajam bersinar-sinar. Sukarlah membaca perasaan yang berada di balik sinar mata itu.

Tiga batang lilin di atas meja menandakan bahwa hari telah malam! Juga suasana kuil yang tadinya sunyi kini berubah. Dia mendengar suara orang-orang di luar ruangan itu dan tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu dari belakang terbuka. Muncullah dua orang pria datang membawa baki-baki terisi hidangan makanan dan minuman. Dengan sikap hormat mereka mengatur hidangan itu di atas meja.

Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak melirik, tidak mempedulikan dan pandang matanya masih terus ditujukan kepada Cin Liong dengan pandang mata yang aneh. Cin Liong tahu bahwa dua orang pria itu adalah anggota-anggota Eng-jiauw-pang, karena di pinggang mereka tergantung sepasang sarung tangan cakar baja itu.

“Siocia (nona), silakan makan dulu, hari sudah malam!” kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat dan juga penuh rasa sayang.

Gadis itu hanya mengangguk, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar dua orang itu pergi lagi meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Dua orang itu menjura, lalu keluar dan menutupkan daun pintu tembusan ke dapur itu dengan perlahan dan hati-hati.

Cin Liong yang sudah siuman itu sejak tadi pura-pura masih belum sadar, dan hanya mengintai dari balik bulu matanya saja. Kini dia melihat nona itu menghadapi hidangan dan mulai makan. Namun, agaknya hidangan yang banyak macamnya dan kelihatan lezat sehingga menimbulkan selera bagi Cin Liong yang memang lapar sekali, agaknya tidak membuat nona itu bernafsu untuk makan. Hanya sedikit ia makan, kemudian ia menenggak tiga cawan arak.

Cin Liong kini sadar bahwa dia sudah terperosok ke dalam perangkap yang dipasang oleh gadis ini secara cerdik sekali. Dia menduga-duga siapa gerangan gadis ini. Tak mungkin anggota biasa dari Eng-jiauw-pang karena dua orang anggota perkumpulan itu tadi bersikap sangat hormat kepadanya dan menyebutnya nona. Tentu seorang tokoh pimpinan. Dan kecantikan seorang wanita dengan sikapnya yang pendiam dan halus itu bahkan lebih mengerikan dan berbahaya dari pada sikap seorang musuh yang kasar dan bengis seperti orang-orang gerombolan Eng-jiauw-pang.

Diam-diam dia mengerahkan tenaga untuk menggunakan sinkang-nya menembus jalan darah yang tertotok. Dia terkejut. Totokan itu istimewa sekali dan betapa pun dia mengerahkan sinkang, tetap saja dia tidak mampu menggerakkan pusarnya dan hawa di dalam pusarnya tetap dalam keadaan tidur karena tidak ada yang menggerakkan keluar. Celaka, pikirnya. Kalau dia tidak dapat mengerahkan sinkang-nya, tentu dia tidak dapat melindungi dirinya. Tali-tali belenggu itu bukan apa-apa baginya kalau dia mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia harus bersabar sampai pengaruh totokan itu menghilang atau menjadi lemah.

Tiba-tiba Cin Liong mendengar langkah-langkah kaki. Dia pun memejamkan matanya kembali dan mendengarkan penuh perhatian. Daun pintu sebelah depan terbuka dan muncullah lima orang laki-laki dipimpin oleh si kumis tebal. Mereka ini adalah pimpinan gerombolan Eng-jiauw-pang! Diam-diam Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Agaknya bukan hanya dia yang terkejut melihat munculnya lima orang tokoh Eng-jiauw-pang yang lihai itu, juga gadis cantik itu bangkit berdiri dan memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

“Suheng berlima datang memasuki ruangan ini mau apakah?” tanyanya dengan suara dingin.

Si kumis tebal melangkah maju. “Sumoi, kami datang karena khawatir akan dirimu dan ingin melihat tampangnya musuh besar kita ini. Dia harus dibunuh secepatnya, sumoi, karena kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, dia bisa mendatangkan bencana bagi kita. Dia amat lihai dan berbahaya.”

“Twa-suheng, sudah kukatakan kepada kalian bahwa selama semalam ini, dia menjadi tawananku dan boleh kuperlakukan sesuka hatiku. Tidak boleh ada orang lain yang mencampuriku! Besok baru kalian boleh bicara mengenai dia dan boleh kalian lakukan sesuka hati kalian. Nah, sekarang keluarlah, jangan mengganggu aku yang sedang termenung!”

“Akan tetapi, kita semua amat benci dan sakit hati kepadanya. Ahh, betapa ingin aku menggorok lehernya dan minum darahnya untuk memuaskan hatiku. Siang tadi dia menambah sakit hati kita dengan membunuh empat orang anak buah dan melukai beberapa orang lagi. Dia harus mati!” kata orang ke dua yang kepalanya botak.

“Ji-suheng!” gadis itu berkata, nada suaranya marah. “Bagaimana pun juga, orang itu telah membunuh ayahku. Engkau hanyalah murid ayah, akan tetapi akulah puterinya! Dendam sakit hatiku jauh lebih mendalam dibandingkan denganmu, maka janganlah bicara tentang dendam kebencian itu dengan aku!”

“Bagaimana pun juga, dia harus kupatahkan dulu siku dan lututnya, barulah hatiku lega,” kata pula orang pertama yang disebut twa-suheng dan yang berkumis tebal itu. “Kalau sudah kupatahkan lutut dan sikunya, tentu dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tidak akan membahayakan dirimu, sumoi.”

“Twa-suheng dan suheng sekalian. Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Ingat, siapa yang telah menawannya? Kalian berlima, dibantu oleh para anak buah, masih tidak mampu menangkapnya, bahkan sempat mengorbankan nyawa empat orang anak buah. Sedangkan aku seorang diri saja mampu membekuknya. Akulah yang menangkapnya dan aku juga yang berhak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan dia! Aku pula keturunan tunggal dari ayah. Sudahlah, aku hanya ingin bersama musuh besarku semalam ini, biarkan aku melampiaskan dendam pribadiku dengan caraku sendiri. Besok baru kita bicarakan hukuman apa yang akan kalian berikan kepadanya. Keluarlah sebelum aku marah!”

Lima orang itu saling pandang, lalu terpaksa mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya pendek kecil kurus, meludah ke arah Cin Liong ketika mereka pergi, dan daun pintu mereka tutupkan dari luar dengan agak keras, tanda bahwa hati mereka tidak puas dengan sikap gadis itu.

Diam-diam Cin Liong yang mengikuti semua ini harus mengakui bahwa pada saat itu, gadis cantik inilah yang telah menyelamatkannya. Karena, kalau tidak dicegah oleh gadis itu, tentu dia sudah dibunuh atau setidaknya dibikin cacat oleh lima orang itu tanpa dia mampu melawan sama sekali. Dia menarik napas lega.

Tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya. “Kao Cin Liong, apakah engkau masih hendak pura-pura belum sadar?”

Cin Liong membuka matanya, menoleh dan memandang. Dia mampu menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengerahkan sinkang-nya. Kemudian dia menarik napas panjang.

“Nona, kalau orang-orang seperti anggota gerombolan Eng-jiauw-pang memusuhi aku, hal itu tidaklah aneh karena mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi kalau sampai seorang gadis cantik dan pandai seperti engkau memusuhiku, sungguh membuat aku heran dan penasaran sekali!”

Gadis itu mengejek. “Manusia sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa seorang pendekar besar, seorang jenderal dan panglima muda seperti engkau tidak pantas dimusuhi oleh orang baik-baik, begitukah?”

“Aku tidak biasa memuji diri sendiri, nona. Akan tetapi aku selalu hanya menentang kejahatan, dan engkau sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Maka aku merasa heran melihat engkau menjebakku dan menawanku seperti ini.”

“Engkau tidak usah heran. Bukankah engkau yang dulu telah menewaskan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui? Nah, aku adalah Liok Bwee, puterinya. Ayahku kau bunuh dan aku berusaha membalas dendam itu. Apa anehnya?”

“Aneh, sungguh aneh dan sukar dipercaya....!” Cin Liong berkata, dia sengaja untuk mengulur waktu dan mencari kesempatan membebaskan diri.

“Apanya lagi yang aneh?” Liok Bwee bertanya penasaran.

“Mendiang Eng-jiauw Siauw-ong adalah orang jahat yang dulu telah diperalat oleh Hek-i Mo-ong dan antek-anteknya, para datuk sesat, untuk menyerang Pulau Es, menyerang keluarga Pendekar Super Sakti. Dan engkau, nona, engkau bahkan mengaku puterinya. Sungguh tidak pantas dan aneh sekali bahwa seorang datuk sesat seperti dia memiliki seorang puteri yang cantik dan gagah perkasa seperti engkau....”

Wajah itu sebentar merah sebentar pucat dan sepasang mata yang bening itu menatap wajah Cin Liong yang tampan. “Sudahlah, bagaimana pun juga, aku adalah puterinya dan aku harus membalas dendam kematiannya itu.”

“Nona Liok Bwee, ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak kebetulan tewas karena berkelahi melawan aku yang membela keluarga Pulau Es, tentu dia akan tewas pula oleh keluarga yang sakti itu.”

“Cukup! Apakah kau kira aku mau menjadi anak yang tidak berbakti?” Dan di dalam suara gadis ini terkandung kesedihan yang besar.

“Aku sudah terjatuh ke tanganmu, terserah kepadamu, nona. Aku tidak takut mati. Hanya aku merasa sayang sekali, mengapa seorang gagah perkasa seperti engkau ini sampai menggunakan akal busuk untuk menangkapku. Aku tahu bahwa engkau seorang gagah perkasa, sehingga engkau tidak membolehkan ketika para suheng-mu hendak membunuhku tadi. Akan tetapi, kalau engkau membunuhku dalam keadaan aku sudah terjebak begini, sungguh aku merasa amat sayang, nona. Tidak patut seorang seperti nona ini melakukan pembunuhan keji secara curang, tanpa memberi kesempatan orang itu untuk membela diri. Jauh lebih baik mati sebagai seorang gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut.”

Gadis itu memejamkan matanya dan dari kedua matanya itu menitik turun beberapa butir air mata. “Betapa kejamnya engkau.... betapa kejamnya engkau menusuk-nusuk perasaan hatiku. Aku memang selamanya tidak setuju dengan sepak terjang ayah. Ibu sampai meninggal dunia karena sedih memikirkan ayah yang suka bergaul dengan kaum penjahat. Sepeninggal ibu, ayah menjadi semakin nekat, bahkan mengangkat diri menjadi seorang di antara datuk kaum sesat. Ah, aku malu.... aku menyesal sekali. Ketika ayah diajak Hek-i Mo-ong, aku sudah mencegahnya, menangis, akan tetapi percuma saja. Ketika aku mendengar bahwa ayah tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong, tentu saja aku merasa sakit hati. Akan tetapi apa dayaku? Aku mendengar bahwa Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir! Tetapi, para suheng-ku tak pernah putus asa dan pada suatu hari mereka menemukan jejakmu. Akan tetapi mereka semua kalah olehmu. Ahh, betapa kagum hatiku. Selama hidupku, belum pernah aku melihat pendekar seperti engkau, yang dapat memukul mundur lima orang suheng-ku berikut semua anak buah! Akan tetapi, aku harus membalas kematian ayahku, maka aku.... aku....”

Cin Liong diam-diam merasa girang. Tidak keliru dugaannya. Gadis ini mempunyai kelemahan dan pada dasarnya bukanlah seorang jahat atau kejam. Namun keadaan yang memaksanya karena ia puteri ketua Eng-jiauw-pang. Maka dia pun tersenyum.

“Nona, aku tidak takut mati dan mati di tanganmu jauh lebih menggembirakan dari pada mati di tangan orang-orang Eng-jiauw-pang itu. Kalau engkau menganggap sudah sepatutnya aku mati karena membela kebenaran, nah, bunuhlah, jangan ragu-ragu lagi. Kalau nona ragu-ragu dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara hati kecil, nona akan merasa menyesal selama hidup.”

Gadis itu mengusap air matanya. Dengan mata basah ia memandang kepada Cin Liong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak.... tidak.... sejak aku berhasil meringkusmu di sini dan sampai sekarang, aku tiada hentinya menatap wajahmu dan terjadi perang di hatiku.... membuat aku gelisah dan bingung. Tidak, Kao Cin Liong, aku tidak mungkin dapat membunuhmu....”

Cin Liong tersenyum. “Sudah kuduga, nona Liok Bwee. Seorang gadis sepertimu ini, tidak mungkin menjadi seorang yang jahat atau curang. Tak mungkin engkau mau membunuh orang begitu saja. Engkau gagah dan baik....”

“Bukan....bukan begitu.... kalau bukan engkau musuh besarku, tentu sudah kubunuh sejak tadi!”

Cin Liong mengerutkan alisnya. Wanita ini sungguh aneh, pikirnya. Dan memang kalau tadi dia memuji-muji, hal itu hanya dilakukannya untuk mengulur waktu sedangkan diam-diam dia terus berusaha untuk memulihkan tenaganya, untuk membuyarkan jalan darahnya yang buntu tertotok. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengharapkan puteri seorang datuk sesat dapat menjadi seorang yang berbudi mulia dan baik. Watak seseorang amat dipengaruhi oleh lingkungannya, bahkan hampir dapat dipastikan bahwa watak dibentuk oleh lingkungan. Kalau sejak kecil terlahir dan tumbuh di dalam lingkungan penjahat, mana mungkin gadis ini tidak menjadi jahat pula?

“Apa yang kau maksudkan, nona?” tanyanya dengan hati berdebar tegang dan tidak enak.

“Kao Cin Liong, aku.... sejak kecil aku bertemu dengan orang-orang kasar. Setelah aku dewasa, ayahku berkali-kali mendesak agar aku suka menikah. Akan tetapi, di antara pemuda-pemuda kasar dan jahat itu, mana ada yang dapat menarik perhatianku? Sejak dewasa aku sering kali membayangkan dan mengimpikan jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa, halus budi dan seperti pendekar-pendekar yang digambarkan dalam dongeng. Maka, begitu melihatmu dikeroyok oleh para suheng-ku dan dengan gagah perkasa engkau mengalahkan mereka, melihat sikapmu yang halus, wajahmu, gerak-gerikmu.... sejak pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta padamu, dan aku.... aku menganggapmu sebagai seorang taihiap yang patut untuk kulayani selama hidupku. Kao-taihiap.... aku cinta padamu.... dan aku tidak akan mengingat lagi tentang permusuhan antara kita kalau saja engkau sudi menerimaku.... menerima cintaku....”

Cin Liong kaget bukan main. Sungguh tidak disangkanya bahwa urusan akan membelok ke arah itu. Mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Cinta? Betapa anehnya bicara tentang cinta pada waktu seperti itu, dalam keadaan seperti itu, di waktu nyawanya bergantung pada sehelai rambut.

“Nona Liok, maksudmu....”

“Terimalah aku sebagai isterimu, taihiap. Hanya kalau aku menjadi isterimu saja aku akan dapat menghabiskan seluruh permusuhan antara kita. Cinta seorang isteri lebih kuat dari pada bakti kepada ayah yang sudah meninggal....”

“Ahhh, tidak mungkin, nona. Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin bagiku untuk bicara soal cinta?”

“Tapi aku cinta padamu, taihiap, aku cinta padamu....” Gadis itu mendekat, duduk di tepi pembaringan dan tiba-tiba ia pun sudah menjatuhkan dirinya di atas dada Cin Liong dan menciumi muka pemuda itu, dengan malu-malu akan tetapi juga dengan nekat dan penuh perasaan.

Tentu saja Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan ketika bibir yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimana pun juga darah mudanya tersirap, jantungnya berdebar-debar dan seperti otomatis, bibirnya juga membalas, menyambut ciuman itu. Hal ini terasa oleh Liok Bwee yang mengeluarkan keluhan, mendekap lebih kuat dan mencium penuh nafsu sampai keduanya terengah-engah.

“Taihiap.... terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.... aku akan menjadi seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang kau kehendaki....”

“Nona, tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak mungkin orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Bebaskan dulu totokanku dan mari kita bicara dengan hati terbuka....”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Tidak, taihiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai isterimu, baru aku akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebaskanmu dari sini, dari ancaman para suheng-ku dan para anak buah Eng-jiauw-pang.”

“Dan kalau aku menolak, engkau akan membunuhku?”

Kembali Liok Bwee menggeleng. “Tidak, aku cinta padamu, aku tidak akan tega untuk membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu semalam ini, akan tetapi besok aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suheng-ku datang membunuhmu.”

“Nona, tidak dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini? Mana mungkin engkau memaksa seseorang untuk mencinta? Mana mungkin pertalian cinta dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kau lakukan ini! Engkau seolah-olah hendak menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa kalau aku berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan cintaku itu adalah palsu, sekedar untuk alat menyelamatkan diri? Nona, janganlah engkau membiarkan dirimu ikut tersesat. Bebaskan totokanku dan mari kita bicara. Bagaimana pun juga, sudah jelas bahwa engkau adalah seorang yang baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan....”

“Aku membutuhkan cinta, bukan persahabatan.”

“Nona, cinta timbul kalau hati tertarik, terutama oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik. Kalau hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidakkah kau dapat menyadari hal ini? Kalau kita bersahabat, mungkin dari situ dapat tumbuh perasaan cinta, bukan dari paksaan.”

Tiba-tiba gadis itu menangis dan merangkulnya kembali. “Ah, taihiap, aku takut.... aku takut kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan aku.... hidupku akan kehilangan pegangan lagi....”

“Akan tetapi kalau engkau mempergunakan kesempatan ini untuk memerasku, untuk memaksaku membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menjauhkan hatiku, nona. Apakah engkau tidak menyadari akan hal ini? Dan seorang gadis seperti engkau, betapa mudahnya mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja engkau tidak mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat.”

“Kao-taihiap.... aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain. Aku belum pernah bertemu dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang....” Gadis itu kembali menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan nafsu birahi.

“Braaakkk....!”

Tiba-tiba daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang suheng gadis itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing telah memakai sarung tangan cakar garuda, menandakan bahwa mereka telah berada dalam keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh Cin Liong, dengan marah menghadap lima orang suheng-nya itu.

“Kalian sungguh tidak tahu aturan, dan tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!” bentaknya.

Si kumis tebal menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. “Dan engkau sungguh tidak tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah dari pada seorang pelacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami sebagai calon suamimu dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi engkau menolak kami semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar, pembunuh ayahmu sendiri!”

“Tutup mulutmu!” bentak Liok Bwee. “Apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Aku tidak sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan kalian menjadi sakit hati. Cih, tak tahu malu. Aku memilih siapa pun untuk menjadi suamiku, apa hubungannya dengan kalian?”

Si kumis tebal menyeringai dan empat orang suheng-nya juga tersenyum mengejek. Memang mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu. “Sumoi, kami tidak peduli engkau mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak memilih anjing Kao Cin Liong ini pun terserah, bukan urusan kami. Akan tetapi, si keparat Kao Cin Liong ini adalah pembunuh suhu dan kami sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di tangan kami. Engkau boleh menikah dengan bangkainya saja!” Berkata demikian, si kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum mampu melawan itu, kedua tangan cakar baja itu terulur.

“Tahan!” Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis serangan maut dari twa-suheng-nya itu.

“Plak! Plak!”

Tubuh Liok Bwee terhuyung akan tetapi serangan si kumis tebal gagal. Marahlah murid pertama dari ketua Eng-jiauw-pang itu. “Sumoi, engkau hendak membela musuh besar, melindungi pembunuh ayahmu sendiri?”

“Dia adalah tawananku, siapa pun tidak boleh mengganggunya!” bentak Liok Bwee dengan sikap garang dan ia sudah meloncat ke depan tempat tidur itu, melindungi Cin Liong.

Meiihat ini, lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka melangkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.

“Sumoi, menyingkirlah. Biarkan kami membalas dendam kepada musuh besar kita, dan selanjutnya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi,” kata pula seorang di antara mereka.

“Tidak!”

Si kumis tebal melangkah maju. “Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi musuh. Menyingkirlah!”

“Tidak. Siapa pun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!”

“Sumoi, itu berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh dan terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terhadapmu!”

“Terserah! Kalian orang-orang berwatak pengecut, beraninya hanya pada orang yang sudah tidak mampu melawan. Untuk dapat menjamahnya, kalian harus melangkahi mayatku!” gadis itu berkata dengan nekat.

“Engkau anak durhaka! Murid murtad!” Si kumis tebal berteriak marah dan dia pun sudah menyerang sumoi-nya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

Liok Bwee mengelak dan balas menyerang. Walau pun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, akan tetapi ia tidak pernah memakai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia merasa tidak senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai ia dilatih ilmu silat tangan kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah yang kini ia pergunakan untuk melawan dua tangan baja twa-suheng-nya.

Totokan-totokan jari kedua tangannya menyambar dan menyambut serangan lawan dan karena ilmu menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh Eng-jiauw Siauw-ong untuk mengganti ilmu cakar baja yang tidak disukai puterinya, maka tentu saja ilmu menotok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar baja itu.

Terjadilah perkelahian yang amat seru, ramai dan mati-matian antara sumoi melawan twa-suheng-nya itu. Empat orang suheng-nya yang lain hanya berdiri menonton karena mereka merasa yakin sekali bahwa twa-suheng itu tentu akan dapat mengalahkan sang sumoi.....

Dari tempat dia rebah, Cin Liong memperhatikan perkelahian itu dan dia pun dapat melihat bahwa kalau hanya satu lawan satu, ilmu silat tangan kosong yang disertai ilmu totokan lihai dari Liok Bwee itu akan mampu menandingi cakar baja dari si kumis tebal. Akan tetapi di situ masih ada empat orang suheng gadis itu yang dia tahu setiap saat dapat turun tangan membantu si kumis. Maka dia amat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang mempertahankan nyawanya dan membelanya mati-matian itu.

Cin Liong kembali mengerahkan tenaga sinkang-nya, namun tetap saja jalan darahnya belum pulih dan tenaga sinkang-nya tidak mau timbul, hanya dia mampu menggerakkan tubuhnya agak lebih kuat dari pada tadi. Betapa pun juga, dengan kekuatan otot biasa, tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu kaki tangan itu dan ini berarti bahwa dia tidak akan mampu melindungi diri sendiri, apalagi membantu Liok Bwee.

“Nona, bebaskan totokanku!” Tiba-tiba dia berseru karena kiranya hanya nona itu yang akan mampu membebaskannya. Sekali terbebas, tak sukar baginya untuk mematahkan belenggu dan menghajar lima orang tokoh Eng-jiauw-pang itu.

Liok Bwee yang sedang berkelahi mati-matian melawan twa-suheng-nya, mendengar teriakan ini dan teringatlah ia bahwa pria yang dicintanya itu terancam bahaya maut dan hanya akan selamat kalau totokan yang membuatnya tidak berdaya itu dibebaskan. Ia pun tahu akan kesaktian pemuda itu dan dapat menduga bahwa sekali totokannya dibebaskan, pemuda itu akan mampu melepaskan diri dari belenggu dan sekali terlepas, lima orang suheng-nya ini bukanlah lawannya.

Maka ia pun cepat mengelak dari sambaran cakar besi twa-suheng-nya yang agaknya sudah marah sekali kepadanya karena telah mengirim serangan maut yang bermaksud merobohkan dan menewaskan itu. Lalu, cepat sekali Liok Bwee meloncat ke samping, ke arah pembaringan di mana Cin Liong rebah dengan maksud untuk membebaskan totokannya atas diri pemuda itu.

Tapi, empat orang suheng-nya yang sudah tahu akan maksudnya, cepat menubruknya dari kanan kiri sebelum ia sempat mendekati Cin Liong. Delapan buah cakar baja menyerangnya dan tentu saja Liok Bwee tidak dapat melawan serangan empat orang ini sehingga kedua lengannya telah kena dicenakeram!

“Lepaskan aku! Keparat! Lepaskan aku!” teriaknya dan meronta sehingga kuku-kuku baja itu merobek baju dan kulit lengannya sehingga berdarah.

Akan tetapi empat orang itu tidak mau melepaskannya dan pada saat itu, si kumis tebal yang agaknya sudah marah dan benci sekali kepada snmoi yang bukan saja menolak cintanya akan tetapi kini malah mencinta dan melindungi musuh besar Eng-jiauw-pang, agaknya sudah tidak dapat menahan panasnya hati lagi. Pada saat itu dia menubruk sambil menggerakkan kedua cakar bajanya.

“Crott! Crottt!” Cakar baja yang runcing itu telah mencengkeram tengkuk dan punggung Liok Bwee.

“Aihhhhh....!” Liok Bwee menjerit saking nyerinya ketika kuku-kuku baja yang tajam itu menusuk kulit dagingnya.

Melihat ini, empat orang suheng-nya yang lain melepaskannya dan twa-suheng-nya, si kumis tebal itu, agaknya juga terkejut sendiri melihat betapa dia telah mencengkeram tubuh sumoi-nya yang tadinya pernah dicintanya! Maklum bahwa dia telah membunuh sumoi-nya, kemarahannya lalu ditumpahkan kepada Cin Liong. Dia mengangkat tubuh sumoi-nya yang telah tak berdaya itu ke atas kepalanya, dengan masih mencengkeram tengkuk dan punggung, lalu dilontarkannya tubuh sumoi-nya itu dengan penuh geram ke arah Cin Liong yang rebah di atas pembaringan.

“Nih, ambillah sebelum engkau kucincang!” bentaknya.

“Brukkkk....!”

Tubuh Liok Bwee yang sudah lunglai itu menimpa Cin Liong di atas pembaringan dan dipan ini pun runtuh terguling. Tentu saja tubuh pemuda itu terbawa pula, terguling di atas lantai dalam keadaan menelungkup.

Dengan wajah beringas dan pandang mata bengis, lima orang itu kini menghampiri Cin Liong dengan cepat, seolah-olah mereka hendak berlomba membunuh atau menyiksa musuh besar yang sudah tidak berdaya, rebah menelungkup dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok itu. Tubuh Liok Bwee juga terlempar sampai ke sudut ruangan di mana ia menggeletak mandi darah, tidak mampu bergerak lagi.

“Jangan bunuh dia terlalu cepat!” Si kumis tebal memperingatkan para sute-nya.

Musuh besar ini amat dibencinya dan sudah mendatangkan banyak sekali kerugian. Bukan hanya kematian suhu mereka, akan tetapi juga kematian empat orang anak buah, bahkan kini matinya Liok Bwee juga dia timpakan kepada pemuda yang amat dibencinya itu. Para sute-nya mengerti dan setuju, maka mereka menubruk dengan maksud mencengkeram dan menyiksa musuh besar itu agar mati perlahan-lahan dan mengalami penderitaan yang amat hebat.

Akan tetapi, pada saat mereka berlima menubruk ke arah tubuh yang menelungkup tak berdaya itu, tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring dari mulut Cin Liong. Tubuhnya yang menelungkup itu tiba-tiba saja bergerak, membalik dan kedua tangannya yang tadinya terbelenggu itu mendadak saja bergerak. Belenggu itu terlepas dan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan yang dahsyat, juga belenggu pada kedua kakinya putus semua pada saat itu juga!

“Blaaarrrr....!”

Hebat bukan main tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, seperti ada kilat meledak dan akibatnya, lima orang yang tadi menubruknya itu terlempar dan terjengkang semua, lalu terbanting keras ke atas lantai! Seketika itu dua orang di antara mereka tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka pecah. Mereka berdua inilah yang paling dekat dan langsung menerima hantaman kedua tangan Cin Liong.

Tiga orang yang lain hanya kena disambar hawa pukulan saja, akan tetapi hal itu cukup membuat mereka terjengkang dan terbanting keras. Mereka masih dapat bangkit dengan kepala pening dan muka mereka pucat, mata terbelalak saking kagetnya. Sama sekali mereka tidak mengetahui bahwa ketika tubuh Cin Liong terlempar dari atas dipan tadi dan jatuh menelungkup di atas lantai, pada saat itu Cin Liong dapat meminjam tenaga inti bumi, dengan Ilmu Sin-liong Hok-te dia dapat menggerakkan hawa sakti dari pusarnya dan seketika jalan darahnya pulih kembali diterjang oleh hawa sinkang yang berputar dari pusar.

Maka, saat para pengeroyoknya menubruk, dengan Sin-liong-ciang-hoat dia menyambut dan karena sinkang-nya masih sedang penuh-penuhnya menguasai kedua lengannya, maka tentu saja lima orang musuh itu tidak kuat menahan, bahkan yang terkena hantaman langsung seketika mati dengan kepala pecah sedangkan yang lain, termasuk si kumis tebal, terguncang hebat sehingga ketika mereka bangkit lagi, mereka merasa kepala mereka pening!

Cin Liong sudah bangkit dan pertama kali yang dilakukannya adalah meloncat ke dekat tubuh Liok Bwee, berlutut dan memeriksa gadis itu. Dia tidak mempedulikan akibat sambutannya terhadap lima orang pengeroyok itu. Dia melihat betapa punggung dan tengkuk gadis itu luka-luka, demikian pula kedua lengannya, terkena cakar-cakar baja yang mengandung racun! Cepat dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan jalannya racun ke jantung, dan menotok jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri.

Pada saat itu, si kumis dan dua orang sute-nya melihat kesempatan baik selagi pemuda itu memeriksa dan mengobati Liok Bwee. Dua orang sute si kumis tebal sudah menubruk dari kanan kiri. Cin Liong maklum bahwa dirinya diserang oleh dua orang dari kanan kiri. Maka ia pun dengan hati-hati menurunkan lagi tubuh Liok Bwee dan secepat kilat membalik, kedua tangannya menyambut dengan dorongan, menyambut dua orang yang menyerangnya.

“Dess! Desss....!”

Dua orang itu tidak sempat mengeluarkan teriakan lagi karena tubuh mereka terlempar ke atas dan sudah putus nyawanya sebelum tubuh mereka itu terbanting ke atas lantai! Melihat ini, si kumis tebal terbelalak dan dia pun meloncat.... menjauhkan diri dan hendak lari dari ruangan itu.

“Pengecut....!” Cin Liong memaki dan dia pun mengejar.

Akan tetapi si kumis tebal sudah berteriak memanggil anak buahnya, maka begitu tiba di luar ruangan itu, Cin Liong sudah dikepung oleh sisa anak buah Eng-jiauw-pang yang jumlahnya masih ada hampir tiga puluh orang! Mereka semua mempergunakan cakar garuda pada tangan mereka. Dengan dipimpin oleh si kumis tebal, mereka menyerbu dan mengeroyok Cin Liong dengan mati-matian.

Karena mereka semua tahu bahwa pemuda itu adalah musuh besar, pembunuh mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, bahkan kini si kumis tebal berteriak-teriak memberi tahukan bahwa empat orang sute-nya dan sumoi-nya juga sudah tewas di tangan musuh ini, maka semua anggota mengeroyok mati-matian untuk membalas dendam. Si kumis tebal sendiri pun selain memberi komando, ikut pula mengeroyok, mengerahkan seluruh tenaganya karena sekarang merupakan pengeroyokan dan harapan terakhir baginya, karena itu harus berhasil.

Akan tetapi, panglima muda putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa kejam dan jahatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia mengerahkan sinkang-nya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak buah gerombolan itu merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang amat ampuh dan tenaganya yang mukjijat itu.

Setiap kali dia menyerang, tiga empat orang roboh dan tewas seketika sehingga tanpa memakan waktu lagi, para pengeroyok itu roboh berturut-turut dan akhirnya habislah mereka. Tempat itu penuh dengan mayat yang malang melintang dan tumpang tindih! Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena melihat kehebatan lawan tadi, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi komando saja.

Melihat betapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini menjadi ketakutan dan dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya, menghadang dengan berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti mata seekor naga sakti! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, si kumis tebal menjadi nekat.

“Haiiittttt....!”

Dia menyerbu dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dan tubuhnya meloncat ke atas lalu melayang turun, persis bagaikan seekor burung garuda yang terbang turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman lawan!

“Plakkk! Plakkk!”

Kedua tangan itu bertemu. Secepat kilat Cin Liong mengerahkan sinkang pada jari-jari tangannya, lalu dia membuat gerakan mematahkan.

“Krekkk! Krekkk!”

Si kumis tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi kedua cakar garuda itu tertinggal dalam genggaman tangan Cin Liong karena kedua pergelangan tangannya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat dahsyat!

Kedua lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat. Si kumis tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut dan memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong membalikkan kedua cakar itu, kemudian menghantamkan kedua senjata itu ke arah pemiliknya.

“Crott! Crott!”

Si kumis roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap dalam-dalam di kerongkongannya dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong teringat akan apa yang dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong memandang tubuh lawan yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk kembali ke dalam ruangan belakang.

Liok Bwee yang sudah membuka kedua matanya itu, nampak tersenyum ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya dan memangkunya, sinar matanya berseri gembira.

“Mereka.... mereka tewas semua....?” tanyanya lirih.

Cin Liong mengangguk.

“....aku.... aku akan mati.... ahhh, bagaimana aku nanti dapat menemui ayah di alam baka....?”

Melihat kesedihan gadis itu, Cin Liong jadi terharu. Bagaimana pun juga, gadis ini telah menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan segala-galanya. Mula-mula dia kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suheng-nya dan anak buahnya, dan kini akan kehilangan nyawanya pula. Semua gara-gara dia! Dan gadis itu merasa takut untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu karena dia merasa telah mengkhianati Eng-jiauw-pang.

“Nona, kau.... maafkanlah aku....,” katanya lirih.

Alis yang berkerut itu cerah kembali. “Ahh, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam baka sekali pun, karena dialah yang bersalah, anak buahnya yang jahat. Taihiap.... engkau.... engkau tidak benci kepadaku....?”

Cin Liong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci? Ahhh, bagaimana dia dapat membenci gadis seperti ini?

“Tidak, nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali kepadamu....”

Cin Liong lalu mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya karena memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya terhadap gadis yang malang nasibnya ini.

Wajah itu berseri-seri dan sepasang mata itu berkilat. “Aihhh, terima kasih, taihiap.... kata-katamu itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana.... terima kasih, aku sungguh cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh....”

Cin Liong semakin terharu, dan seperti ada dorongan yang amat kuat dia mendekatkan mukanya. “Liok Bwee.... kau.... kau gadis yang malang....!”

Dan dia pun lalu menempelkan bibirnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis itu mengejang, mulutnya terbuka dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya. Ketika dia melepaskan ciumannya dan memandang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi berseri dan air mata mengalir di kedua pipinya yang pucat.

“....terima kasih, aku cinta padamu.... terima kasih....” Dan kepala itu terkulai, matanya terpejam dan napasnya putus. Gadis itu sudah menghembuskan napas terakhir dengan senyum di mulut!

Cin Liong tahu bahwa gadis yang dipangkunya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa begitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Dia mendekap kepala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air mata berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa dia membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta kasih wanita. Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon kehausan.

“Bwee-moi.... ah, Bwee-moi....” keluhnya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya, terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menjadi semakin berduka.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia, betapa pria dan wanita saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus saling mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tak lengkap hidupnya tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan memanjakannya, membutuhkan dan mementingkan dirinya.

Di lain fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang wanita dalam hidupnya adalah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan getaran dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang matanya, dalam senyumnya, dalam suaranya dan dalam sentuhannya. Tanpa adanya seorang wanita yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan kekeringan, akan selalu merasa betapa hampa hidupnya.

Pria dan wanita memang merupakan dua unsur yang saling mengisi, saling melengkapi dan bersatunya kedua unsur Im dan Yang inilah yang menciptakan kehidupan, keindahan, dan keserasian, seperti matahari dengan bumi. Adanya yang satu tanpa adanya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak lengkap
.

Dan ketimpangan ini, kesepian dan ketidak lengkapan ini mulai terasa mengganggu batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita. Pertama dengan seorang pendekar wanita yang bernama Bu Ci Sian, kemudian kedua kalinya dengan Suma Hui dan kegagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak saja Suma Hui memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan ia kemudian mendengar bahwa pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang sangat menyakitkan hatinya, yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!

Cin Liong mengubur jenazah Liok Bwee dengan kedukaan yang mendalam, kemudian dia melapor kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima muda agar komandan itu suka mengerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat para anggota gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Thian-cin untuk mencari Suma Hui!

Biar pun dia seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batinnya tergembleng dan dia memiliki ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki pekarangan rumah keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan hatinya tidak urung merasa gelisah sekali.

Dia telah mendengar dari orang tuanya betapa mereka telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, bahkan hampir saja orang tuanya bentrok dengan keluarga ini. Dan dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma Hui. Hal inilah yang harus dibereskannya dan dibikin terang. Kalau toh keluarga Suma hendak menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal itu adalah hak mereka. Akan tetapi kalau mereka hendak menjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa Suma Hui, hal ini tidak boleh dibiarkan saja dan dia harus menerangkan persoalan yang amat gawat ini.

Di sepanjang perjalanannya menuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenungkan fitnah yang amat aneh itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang terkenal itu, tidak mungkin menjatuhkan fitnah sembarangan saja, apalagi fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi, mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui itu berani atau sudi membohong?

Kalau Suma Hui tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa artinya menuduh dia memperkosa? Benarkah gadis itu menjadi korban perkosaan? Ataukah Suma Hui sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu? Pamrih yang bagaimana? Kalau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat memperkosa seorang dara seperti Suma Hui? Akan tetapi dia lalu teringat kepada Jai-hwa Siauw-ok. Datuk sesat itu pun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui kalau saja dia tidak muncul di saat yang tepat!

Pendeknya, apa pun yang terjadi, dia harus menemui Suma Hui, menemui keluarga Suma untuk menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya itu.

Pada waktu pelayan mempersilakannya duduk di ruangan tamu sementara pelayan itu melaporkan kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati berdebar tegang. Apa yang harus dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau mereka keluar menemuinya? Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia langsung bicara tentang hal yang merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya? Bagaimana kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya? Haruskah dia melawan?

Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sudah menikah. Ahhh, itulah yang dapat dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!

Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja!

Pendekar itu nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Dan pada saat itu, sepasang mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang sudah cepat menjura dengan sikap hormat.

“Kao Cin Liong....!” kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkan rasa kaget melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya. “Engkau.... datang.... dengan maksud apakah....?”

Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga penghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang bukan untuk melampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walau pun alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat.

“Locianpwe, maafkanlah kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tak dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat dari ayah dan ibu.”

Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti biasa.

Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Dia pun lupa untuk mempersilakan tamunya duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.

“Terima kasih,” jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih akibat menahan perasaan yang bergolak. “Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?”

Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti? Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama sekali bukan sikap aslinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.

“Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami.”

“Bagus!” Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. “Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?”

Kao Cin Liong mengangguk. “Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami terima.”

“Bagus!” kembali pendekar itu berseru. “Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!”

Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sudah timbul penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka dia pun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu.

Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggota keluarga lainnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia. Aneh sekali, Suma Kian Lee kini berseri-seri memandang wajah pemuda itu.

“Seorang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah merasa terhina oleh keluargaku dan sekarang engkau datang untuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!” Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.

Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau diingat bahwa ibunya masih terhitung anggota keluarga Pulau Es pula. Dia datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut keadilan dengan membalas dendam.

“Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!” bantahnya.

“Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka aku pun tidak malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah.”

“Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!” bentak Cin Liong marah.

“Memang! Majulah, orang muda!” Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.

Melihat betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tak sudi disebut pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat.

Terjadilah serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda ini saling agum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan menang cepat gerakannya.

“Lihat pukulan!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga puluh jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling membalas.

Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang dan menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu.

Dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amatlah hebatnya, dia pun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan menggunakan tenaga inti bumi dalam pengerahan tenaga Sin-liong Hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan saat pukulan datang, ia pun meloncat dan menerima pukulan kedua tangan itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.

“Dessss....!”

Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke belakang sampai tiga tombak. Akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung, mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!

Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walau pun tubuhnya terlempar, dan kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi, “Lihat pukulan....!”

Kali ini pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas. Tahulah Cin Liong bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka dia pun cepat mengumpulkan tenaga dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.

“Blaarrrr....!”

Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan. Ketika memandang, dia melihat lawannya masih berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!

“Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di tanganmu. Mari lanjutkan....!” Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walau pun terhuyung-huyung.

Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih hendak menyerang lagi, maka terpaksa dia pun cepat memasang kuda-kuda dengan waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu silat tinggi yang amat hebat.

“Kao Cin Liong, terimalah seranganku!” kata Suma Kian Lee. Akan tetapi pada saat dia melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.

“Tahan....!” Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. “Suamiku, apa yang kau lakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!” Wanita itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut ruangan yang luas itu.

Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Dia pun segera duduk bersila di atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya ke dada suaminya.

“Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!” kata wanita itu.

Cin Liong cepat menghampiri. Biar pun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sinkang perlahan-lahan. Dia pun tahu cara pengobatan dengan sinkang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang.

Setelah diobati oleh pengerahan sinkang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu berkata, “Sudah, cukuplah....”

Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri mundur beberapa largkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.

“Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!” Lalu nyonya itu menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.

Suma Kian Lee kembali menghela napas. “Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja.” Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk nenahan runtuhnya air matanya.

Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan menepuk dada, membanting kakinya. “Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?” Ia menantang-nantang seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati.

Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.

“Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk menjernihkan suasana, tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk minta maaf,” katanya merendah.

Kim Hwee Li menarik napas panjang. “Duduklah, Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia dapat mati di tanganmu.”

“Locianpwe....!” Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee.

Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit!

“Apa.... apa artinya semua ini?”

Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut, wajah pendekar itu berseri gembira.

“Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu bertemu dengan ayah bundamu....”

“Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... ehh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalah pengertian di pihak locianpwe sekeluarga.”

“Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami yang baru kami ketahui setelah terlambat....,” kata Kim Hwee Li dengan suara berat.

“Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-i sekarang telah menikah dengan bahagia....”

“Tidak! Dia.... dia.... ahhh....” Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk dengan muka muram.

Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara.

Akhirnya Kim Hwee Li berkata, “Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu....”

Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia bagai diingatkan bahwa dia bukanlah apa....apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat, “Maaf.... saya telah bersikap lancang....”

“Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biar pun kini kami mengaku telah salah paham menjatuhkan fitnah keji, akan tetapi engkau berhak mengetahui apa yang telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan....”

“Tapi.... tapi.... Hui-i sudah....”

“Temui saja ia, Cin Liong,” kata wanita itu. “Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti.”

Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa mempedulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.....

********************

Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu.

Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka ada hawa pukulan yang sangat kuat menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kadang-kadang pukulan mereka itu mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya.

Setelah berlatih silat tangan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es! Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya ke air, menggerak-gerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirim getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!

Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu!

Setelah diketahuinya bahwa pemuda bejat akhlak itu seorang penjahat licik yang telah memperkosa Suma Hui, kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruannya. Dia melarang kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok! Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itu pun berlatih dengan amat tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.

Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang.

Dia telah digembleng pergalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa. Kemudian, semua ini masih disusul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng-nya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir baginya.

Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu, menuduhnya dan hampir membunuhnya. Bahkan menuduh Cin Liong langsung di depan orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao!

Di samping rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar ilmu silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si jahanam!

Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar enci-nya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali.

Enci-nya merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi enci-nya juga bingung dan tidak mampu menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasehat sehingga Ciang Bun lalu mencari pelarian dalam berlatih mati-matian. Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itu pun tidak terlalu mengganggunya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar