Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 31-35

Kho Ping Hoo, Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 31-35 Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu,
Anonim
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya. Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.

Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.

Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.

Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).

Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.

Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.

“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.

Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.

Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.

“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”

Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.

“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.

“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.

Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa dia pun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sinkang yang menggerakkan lengan itu! Dia pun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.

Sementara itu, Suma Ciang Bun juga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan enci-nya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik.

Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini Ciang Bun sudah memperoleh kemajuan yang begitu pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!

Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, dia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja dia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu. Maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berubah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu.

Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah!

Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Mengapa dia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?

“Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.

“Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”

“Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya,” kata Cin Lion memuji.

Suma Hui sekarang melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.

Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te, tinggalkan kami sendirian....”

Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda ini pun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”

Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?

“Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”

Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Lalu, dia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.

“Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu.”

Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik dalam gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kau pergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu.”

“Hui-i....,” Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”

Akan tetapi Suma Hui tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya. Dia pun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.

Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.

“Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... ehhh, suamimu?”

Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu bagaikan orang yang merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”

“Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suheng-mu sendiri itu?”

Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami.

Dia pun tahu bahwa agaknya baru kini Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya, maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.

Akhirnya Suma Hui dapat menguasai hatinya. Tangisnya mereda dan ia pun berkata setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah. “Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala petaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... Malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban…. perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu.”

Suma Hui tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.

Cin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, dan kemudian, ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku dapat mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?”

Suma Hui menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tetapi.... lalu bagai mana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”

“Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”

“Suheng-mu?”

“Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik hingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biar pun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku.”

“Ahhh....!”

“Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmu dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu....”

“Hui-i....!” Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.

“Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”

“Dan dia dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.

Suma Hui mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”

“Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.

“Pernikahan itu lalu dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting....”

“Sayang kami tidak dapat hadir....”

“Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku....”

“Sudahlah, Hui-i, penyesalan pun tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andai kata engkau melakukan kesalahan sekali pun, maka engkau melakukannya tanpa kau sadari. Lalu bagaimana?”

“Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu, juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberi tahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan, dalam keadaan setengah sadar itu, aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”

“Ahh, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!”

Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa adanya cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.

“Cin Liong, tanpa kau perlihatkan punggungmu, aku pun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya.”

“Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.

“Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”

“Hehh....?” Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan. Matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tak percaya akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa pula maksudmu? Dia....? Suheng-mu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”

“Benar, ternyata dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya sehingga malam pengantin itu berubah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut.”

“Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.

“Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”

“Siapa yang menyelamatkannya?”

“Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang.”

Kembali Cin Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”

“Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepas asap pembius, lalu Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu dan aku…. aku telah bersikap bodoh sekali....”

“Di mana jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya telah berubah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”

“Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!”

“Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”

Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat, kemudian berubah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.

“Cin Liong.... maafkan.... kau maafkan aku....,” ratapnya.

“Hui-moi....!” Cin Liong melangkah maju dan menubruknya, merangkulnya dengan hati yang penuh rindu.

Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul. Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.

Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.

“Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apa pun yang telah dan akan terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.

Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”

“Hushhh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”

“Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”

“Ahhh, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas dari ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”

“Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang sudah tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, dan kalau engkau masih sudi menerimaku....”

Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”

“Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”

“Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain.”

Suma Hui tersenyum melalui air matanya. “Ahh, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.

“Hui-moi....! Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.

Tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”

Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan dia pun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.

“Aku hanya ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.

“Si jahanam Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biar pun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi.”

Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”

Sungguh ucapan ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya.

Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau pun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.

“Tapi.... tapi.... kami telah....,” katanya gagap dan isterinya menolongnya.

“Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berdua pun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati.”

“Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu.”

“Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.

“Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.

Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yang agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka dia pun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusul dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.

Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.....

********************

Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka belajar ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukar pun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!

Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.

Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.

Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga.

Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.

Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.

Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.

Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.

Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.

“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”

Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”

“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main.”

Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.

“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.

Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”

“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”

“Tak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”

Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.

“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”

“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”

Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!

Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”

“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”

“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”

Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.

Ada pun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.

Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.

Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.

Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.....

********************

Para pembaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.

Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.

Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.

Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.

Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.

Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.

Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.

Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.

Selain ini, dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!

Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, dia pernah memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya.....


Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.

Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.

Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.

Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?

Seperti kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.

Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.

Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon. “....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”

Ceng Liong makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Ceng Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”

Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda ini pun melangkah mendekati kuil.

“He-he-heh, engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki kuil tua itu.

Ruangan depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.

Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan padamu!”

“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.

“Siauw-moi, bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.

Ceng Liong makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berubah merah karena malu.

Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.

Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?

Biar pun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.

“Apakah yang sedang terjadi di sini?” Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.

Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!

Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.

“Ehh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”

Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!

“Aku tadi mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....,” katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.

“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”

“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain.

Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong. “Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”

Barulah Ceng Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.

“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.

“Singgg....!”

Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.

“Huhhh!”

Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.

“Krekkk!” terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan Ceng Liong ke atas lantai!

Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!

Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”

Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”

Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!

“Setan cilik! Kau mau apa?”

“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”

Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.

“Keparat kau!”

“Jahanam kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”

Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.

“Mampuslah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.

Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.

“Wuuutt!”

Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut.

Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.

“Desss....!”

Dua tenaga sinkang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya hanya seorang yang usil dan lancang yang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan dia pun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil.

Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu supaya tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai.

Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika, karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.

Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Sekarang Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Desss....!”

Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini, yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.

“Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?”

Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berubah pucat.

“Hek-i Mo-ong....!” serunya.

Seruan ini lebih ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang memang segera teringat akan cerita itu, maka pemuda ini pun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.

“Ahh, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalah pahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.

Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiri pun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.

“Ahhh, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”

Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es. Dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya!

Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan mau menyerahkan nyawa begitu saja.

Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat dari padanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biar pun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.

Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar.

Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, yaitu lari menyelamatkan diri sendiri tanpa mempedulikan kawan-kawan. Dan sekarang, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan ‘menghukum’ mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.

“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”

Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Dia pun merasa girang dan cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”

“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalah pahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”

“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar-benar dipertandingkan, engkau sendiri pun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itu pun bukan barang murahan. Siauw-ok, mengapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”

“Bukit Nelayan....? Ehh, Mo-ong, bagaimana engkau bisa…. bisa mengetahuinya....?”

“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”

Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah tahu segalanya.”

Kembali Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat, di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”

Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.

Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. “Ahhh, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.

Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya mau pun musuhnya.

Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang tadi diawali suara ketawa mengejek ini. “Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”

Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimana pun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biar pun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.

“Harap locianpwe suka menjelaskan!” katanya penasaran.

Sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.

“Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!”

Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tak peduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua dari pada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok yang sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara terheran.

“Ahhh, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati.”

Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. “Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai dari pada Bu Ci Sian.”

Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai dari pada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Dia pun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.

“Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... ehhh, orang she Kam yang lihai itu?”

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau amat cerdik seperti serigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”

Sekarang mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis ini pun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka dia pun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.

“Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apa pun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?”

Hek-i Mo-ong tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....”

Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.

“Ehhh, apa yang kau lakukan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.

Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, “Aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini, Mo-ong.”

Dia pun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, dia pun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.

“Ha-ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.

“Jai-hwa-cat! Lekaslah kau maju dan kau cobalah kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak dan memasang kuda-kuda. Kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.

Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimana pun juga, andai kata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.

“Hemm, orang muda, gurumu dan aku ialah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik jika urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri,” katanya.

“Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan itu, dan bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!” kata Hek-I Mo-ong.

Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang tadi dikatakan berhati lemah. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walau pun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.

Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membahas musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan itu dengan mereka berdua.

Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat Mo-ong merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong.

Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu sudah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam.....

********************

Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan memiliki anggota-anggota yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walau pun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, sekarang telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’, marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.

Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan dia pun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu, pendiri dari Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain.

Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal.

Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas asli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong-sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.

Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu.

Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyiknya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).

Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas asli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh.

Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk suling pun lenyap berubah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus gulungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum.

Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.

Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, kemudian duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu. Keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.

Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khikang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya.

Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.

Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu birahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapa pun adanya gadis itu harus dia dapatkan!

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberi tahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.

“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.

“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?” tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya pada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.

“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”

“Ha-ha-ha, kiranya kalian hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.

Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.

“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.

“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang.

Mendengar kata-kata ini, dan melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja, hanya memandang.

Enam orang pelayan itu pun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka.

Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria coba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika!

Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka lalu mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika hanya dalam beberapa gebrakan saja!

“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!”

Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam.

Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Namun karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.

Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas seketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya sudah tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, ia pun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.

“Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya.

Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona. Tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang! Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya!

Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebelum menangkapnya, mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap bagai asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu!

Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu.

Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.....

Hampir saja Ceng Liong berseru kaget pada saat dia mengenali gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernama Tek Ciang itu. Bagaimana penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu!

Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat dari pada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!

Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam gadis itu sendiri pun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka dia pun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya.

Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mukjijat, akan tetapi ia belum menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat.

Maka, ia pun mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, juga Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.

Oleh karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimana pun juga, lawannya hanyalah seorang dara remaja!

Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya menangkis dengan usaha menangkap suling itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

“Plakkk!”

Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa bagaikan dibakar. Cepat-cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sinkang dari padanya!

Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang sering dilakukan pula oleh sang guru, Jai-hwa Siauw-ok.

Benturan tenaga sinkang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimana pun juga, sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.

“Ciiiittt.... ciiittt....!”

Tek Ciang menyerang ganas. Kini tusukan-tusukan jari tangannya yang menggunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.

Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Jika saja Bi Eng sudah berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya.

Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.

“Desss....!”

Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan pingsan!

Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berubah agak kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun yang amat hebat.

“Tolol kamu....!” Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang segera melangkah mundur dengan muka pucat.

Biar pun dia telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sinkang yang membuatnya jantungnya terasa tergetar. Kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi sangat khawatir.

“Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....”

“Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!”

Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan dia pun menyesal. “Bagaimana pun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu mampu mengalahkan mereka.”

“Hei, ke mana engkau akan membawanya?” Tiba-tiba Tek Ciang berteriak.

Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.

“Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya,” Ceng Liong berkata, ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak mempedulikan teriakan Tek Ciang.

“Tahan dulu....!” Tek Ciang hendak mengejar.

“Diam kau....!” Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya.

Tek Ciang menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong sedang memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik, karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka dia pun mengalah, bahkan diam-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya.

Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.

“Sudahlah, mari kita segera mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,” kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya. “Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita.”

“Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid locianpwe,” kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.

“Cihhh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi. Bagaimana pun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu!

Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.

Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biar pun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen!

Kadang-kadang timbul penyesalan pula di dalam hatinya, mengapa dia yang di waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan itu.

Ia tahu pasti bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikit pun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu asli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!

Dia pun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali ditolong. Apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal. Gadis itu akan tewas dan tidak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.

Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika mendadak dia dan kedua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara suling itu.

Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berubah menjadi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimana pun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sinkang untuk melawannya.

Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan pengerahan sinkang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi. Tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sinkang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.

Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicara pun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka.

Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapun membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang tidak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus!

Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoi-nya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khikang yang sangat tinggi. Mereka kelihatan begitu rukun dan saling mencinta.

Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang, agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan sakit hati guru-gurunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, kemudian memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.

Sekarang sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan. Mereka merasa heran dan amat kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadi pun mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu ‘berisi’.

Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu?

Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura. “Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam keadaan sehat, Mo-ong?”

Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan tetapi mengandung penuh ancaman.

“Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!”

Kam Hong menarik napas panjang. “Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untuk meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!”

Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka wanita cantik itu sambil bertanya, “Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?”

Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-laki ini pun baru sekarang bertemu dengannya.

“Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?” tanyanya, suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.

“Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini.”

Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh, “Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang sendiri mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peri bahasa ular mencari penggebuk!”

Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka dia pun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, “Apa boleh buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai.” Setelah berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu punggung.

Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Ci Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang hendak meniup suling!

Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong maka dia pun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.

Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya.

Memang benar bahwa dia sudah menguasai ilmu-ilmu barunya seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan khikangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu dibawa oleh tenaga khikang sampai jauh sekali.

“Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!”

Kam Hong tersenyum. “Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?”

Ucapan yang halus ini lebih menusuk dari pada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya dan dia pun mengeluarkan suara gerengan.

Akan tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya telah lebih dahulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmunya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit segera terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan.

Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka ia pun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan kuatnya!

Ci Sian terkejut, tak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka ia pun cepat menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapa pun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dan sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sinkang dan khikang pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka dia pun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya!

“Tringg.... trakkk....!”

Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan menggunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri dan tenaga sinkang-nya menjadi jauh lebih hebat dari pada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sinkang.

“Hiyeeeeehhhh!”

Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mukjijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulanan jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung lawan!

Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, tetapi dengan tenang dia hantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sinkang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat. Dan tombaknya itu pun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu.

Karena itu, begitu kena dihantam oleh lengan kiri Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan langsung hancurlah kepala itu kalau kena cengkeraman itu!

Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.

“Bretttt....!” Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci.

Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai dari pada dahulu. Tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul kegembiraannya.

“Mo-ong, engkau makin tua makin hebat saja!” katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya!

Kini Kam Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu. Ketika Hek-i Mo-ong terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong!

Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Putaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.

Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es!

Ia sendiri pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada kesempatan lagi bertanya, ia pun mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.

Melihat betapa dia dan gurunya mampu menandingi wanita yang hebat ini, timbullah kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.

“Ha-ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok dari pada puterinya. Biarlah dia nanti diserahkan kepadaku saja. Timbul birahiku melihatnya, suhu!” Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan dia pun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.

Akal muslihat Tek Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan. Bagi orang yang sedang bertanding, sungguh menjadi pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadaan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang bahkan mendatangkan mala petaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri.

Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak berniat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi.

Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merubah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.

Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berubah, akan tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang melengking-lengking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.

Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga telah mengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan dia pun terpelanting jauh.

“Mari pulang!” kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa mempedulikan tiga orang yang sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.

Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang ini pun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.

“Mana.... mana nona?” tanya Ci Sian.

Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. “Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.

Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?

“Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!” tiba-tiba Kam Hong berkata dan dia pun meloncat dan lari, diikuti isterinya.

“Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!” teriak Bu Ci Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!

Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang.

Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang menggelisahkan hati mereka.....

********************

Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat.

Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati dan menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak mempedulikan teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara itu.

Dia sudah memperhitungkan bahwa andai kata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.

Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia rebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.

Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya.

Dia bukan seorang ahli pengobatan, tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan dia pun tahu bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka dia pun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sinkang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sinkang-nya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kembali sinkang-nya.

Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sinkang-nya yang panas, dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi.

Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna kehijauan pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sinkang yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!

Betapa pun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta. Akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti ini pun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka dia pun diam saja, bahkan dia lalu menerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sinkang-nya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sinkang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan ia pun mengeluh.

“Aduuuhhh....!”

Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi suara berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil membantu nona itu bangkit duduk.

“Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah khawatir.

Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala. “Tidak sangat nyeri.... ehhh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?”

Ceng Liong menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, kemudian diangkatnya lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. “Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-ong.”

Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara ini pun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.

“Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?”

Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apa lagi karena dia merasa malu akan sekutunya.

“Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya....”

Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. “Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?”

“Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak mampu merubah wataknya.... tetapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?”

“Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....”

“Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.”

Bi Eng memaksa senyum. “Bagaimana pun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Ehh, siapa namamu?”

“Namaku Ceng Liong.... dan.... dan engkau, nona?”

“Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku....”

“Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian.”

“Ahh, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana....”

Dara remaja itu bangkit berdiri, tetapi segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya, terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak sampai jatuh.

“Kenapa, nona....?”

“Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali....” Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walau pun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ceng Liong menjadi semakin khawatir.

“Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?”

Bi Eng menggelengkan kepala. “Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah di sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.”

“Kalau begitu, mari kupondong engkau....”

“Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!” Tiba-tiba Bi Eng menghardik.

Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona ini pun tidak terkecuali, baru sekali bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.

“Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini aku pun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?” dia membantah penasaran.

Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikit pun tdak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Ia pun tersenyum. “Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?”

Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. “Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong....”

“Siapa bilang tidak mau?”

“Engkau tadi....”

“Bukankah tadi aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kau pondong dan engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, dan bukan untuk main-main, tentu saja aku mau.”

Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita. “Kalau begitu marilah, non.... ehh, Bi Eng.”

Dia lalu menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.

“Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?” tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu.

“Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmu pun aku masih mampu mengangkatnya.”

“Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sinkang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku....”

Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka nampak pucat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhu-nya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga tadi dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.

Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.....

Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang merobohkan, pemuda ingusan itu yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan gurunya terluka oleh orang tua gadis itu!

“Ceng Liong, dia milikku, lekas berikan kepadaku!” kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan, menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.

“Berikan sandera ini kepadaku!” Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan.

Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut sama sekali. Namun kalau kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau salah seorang di antara mereka akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.

“Perlahan dulu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu.

Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini amat lemah, bahkan wajah gurunya pucat sekali. Napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itu pun terluka, mungkin lebih parah dari pada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.

Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah menderita luka yang lebih parah dari pada mereka.

“Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!” katanya.

“Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!” kata pula Tek Ciang.

Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti aku pun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!”

Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali.

Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.

“Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yang merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata disipitkan.

“Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah?”

Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!

Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Biar pun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walau pun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.

Dan oleh karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu menyerempet lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis itu.

“Dukkk....!”

Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah muridnya akan dapat mereka hadapi dan merampas gadis itu. Ia pun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan nyaring sekali.

“Diam kau....!”

Dibentak dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan tubuhnya seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biar pun hanya beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, lalu terdengar suara berbeletok ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok. Penjahat cabul ini menjerit mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari kepala yang berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!

Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut ini pun sudah meloncat jauh dan melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi akibat pukulan-pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah. Dia pun cepat-cepat menjatuhkan dirinya, duduk bersila dan mengatur pernapasan.

Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara itu. Andai kata Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tanpa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan.

Tadi dia tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu. Ketika gurunya terjatuh, dia pun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi dia pun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya semakin hebat.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan kedua tangannya di dada dan pundak, lalu dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk membantu gurunya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, dia pun tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.

“Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!” katanya terengah-engah.

“Mo-ong, engkau tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu meringankan penderitaanmu,” kata Ceng Liong dengan halus.

Kakek itu terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila berhadapan dan Ceng Liong membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi murid datuk sesat yang demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?

Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, “Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku pergi dari sini....!” Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.

“Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya supaya dia dapat memperoleh pengobatan,” Ceng Liong membantah.

“Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan perlawanan.”

“Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah....”

“Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang,” kata kakek itu.

Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, “Turutilah permintaannya, Ceng Liong, karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi.”

Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis ini. Akan tetapi dia pun menjadi girang dan tanpa banyak cakap dia memondong tubuh Bi Eng dan bersama gurunya dia pun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik.

Dia menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri yang luar biasa lihainya itu.

Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengan obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.

“Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah.”

Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya ia pun menuang obat cair itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amis pun tidak terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan tenaga mencegah muntah.

Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tidak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, “Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan muntah itu, engkau baru akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biar pun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.

Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan. “Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya dengan suara membentak.

“Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”

“Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.

Kakek itu mengangguk dan tertawa. “Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik.”

Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya. “Apa.... apa maksudmu....?”

“Heh-heh, kau tunggulah saja.” Kakek itu lalu memandang Bi Eng yang masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. “Nona, nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang engkau makan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu.”

Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus, “Kakek iblis berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?”

“Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku berjanji akan mengembalikan nyawamu!”

“Ahhhh....!” Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.

“Dukkk!”

Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sinkang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.

“Ahhhhh....” kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhu-nya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul suhu-nya, dipapahnya duduk di atas rumput.

“He-he-heh....!” Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadi memukulnya itu kini malah memapahnya. “Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat....”

Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat aneh, tidak lumrah manusia. Dia pun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itu pun termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal.

Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, namun karena pandangannya yang berbeda, bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kini pun gurunya telah melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini?

Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah itu! Dia pun merasa tidak perlu minta maaf walau pun hatinya menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!

“Mo-ong, mengapa kau lakukan itu? Terlalu sekali engkau!”

“Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja. Biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan gadis itu!”

Kakek itu masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu. Mukanya yang tadi pucat tiba-tiba berubah merah, lantas pucat kembali.

“Bagaimana, nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau takkan bisa menjawab lagi.”

“Kakek iblis! Kau kira aku ini orang macam apa? Kau kira aku takut mampus? Lebih baik mati dari pada menuruti kehendakmu yang hina!”

“Eh-ehh-ehh, bocah sombong! Kau bilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkau pun belum tentu pantas menjadi isteri muridku, tahu?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong memprotes.

“Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya.

Ceng Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apa pun!

“Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku berjanji.... seperti itu?” Bi Eng yang menjadi sangat tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walau pun dara ini tadi sudah menunjukkan ketidak setujuannya tanpa mempedulikan ancaman nyawa.

“Heh-heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!”

“Ahhhh....!” Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun dia teringat bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan ‘urusannya’ dengan gadis itu.

Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itu pun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!

“Kakek iblis, kau kira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!”

Dara remaja itu hampir muntah. Dia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.

“Bi Eng, jangan muntah....,” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.

“Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih baik mati dari pada menjadi isterinya?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!

“Desss....!”

Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.

“Ahhh!” Ceng Liong terkejut dan dia cepat-cepat menghampiri, berlutut dan membantu pernapasan gurunya dengan saluran sinkang dari telapak tangannya.

“Heh-heh-heh,” Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah engkau bahwa baru kini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah engkau?”

Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi Eng!

“Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”

“Uakhhhh....!”

Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh. Bisa dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hebat itu tidak sempat mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.

Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. “Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!” teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.

“Heh-heh-heh....!” Kakek itu hanya tertawa.

“Cepat, Mo-ong!” Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.

“Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?”

Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. “Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!” bentak Ceng Liong.

“Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?”

Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.

“Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau sudah membunuhku, gadis itu pun akan mati dan engkau ditinggalkan oleh dua orang yang mencintamu, atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kau cinta. Ha-ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lebih enak aku yang mati!”

Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya! “Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”

Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berubah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap tidak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja, dia malah merasa girang!

“Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!”

“Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”

“Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”

Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.

“Hayo cepat berjanji sebelum aku berubah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.

Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. “Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini....”

“Sebutkan namamu dan nama nona itu!”

“Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng....,” katanya dengan suara terpaksa sekali.

Sementara itu, wajah Bi Eng berubah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu?

Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!” kata kakek itu dengan girang bukan main.

“Suhu....”

“Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”

“Tidak, engkau adalah guruku, sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya.”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itu dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!”

Ceng Liong melongo. “Ehhh....? Jadi....”

“Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!”

Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng lalu muntah-muntah! Dan yang dimuntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam!

Ceng Liong mendekatinya. Dia berlutut dan menekan-nekan tengkuk serta mengelus punggung gadis itu untuk membantu mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak.

Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar. Wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan dan enak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan bertindak bagaimana.

Mereka telah menghinanya, menipunya, namun juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang sekarang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.

“Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni,” kata Hek-i Mo-ong.

Dan seperti mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri seorang pendekar sakti ia pun tahu bahwa nasehat itu amat tepat baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa sangat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, terus melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya.

Pada saat itu terdengar bentakan orang. “Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!”

Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu.

Maka ketika terdengar bentakan itu, walau pun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini kemudian membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.

Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak sedikit bongkok. Pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa saja. Namun sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.

Pemuda itu agaknya tak memperhatikan Ceng Liong sebab pandang matanya ditujukan terus pada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.

“Hek-i Mo-ong, janganlah berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!” pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.

“Perlahan dulu, sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak pinggang menghadang. “Mau apa engkau menghampiri guruku dengan menghunus pedang?”

Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang. “Aihh, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!”

Ceng Liong mengerutkan alisnya. Kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!

“Ahh, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!”

Pemuda itu tersenyum. “Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang telah tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!”

Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Dia pun teringat pada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar dari pada seorang sesat, walau pun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Dia pun menarik napas panjang.

“Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?”

Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak diduganya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranya pun terdengar lembut.

“Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukan hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian yang adil!”

Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali. Diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimana pun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak benar.

“Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu jika engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidak adilan....”

“Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.

“Suhu....!” Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhu-nya hanya berpura-pura saja karena sebenarnya suhu-nya terluka parah dan tidak mungkin dapat menghadapi lawan tangguh.

“Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut campur, biar kuhabiskan riwayat bocah sombong itu!”

Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di tangan, dia kemudian mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.

“Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”

“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”

Tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping.

Pada saat itu, muncul dua orang tosu berpakaian kuning. Mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata, “Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan mereka pun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.

Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong, tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka dia pun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.

“Dukkk!”

Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berubah.

“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.

Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berubah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat.

Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin. Bahkan telah pula memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biar pun bukan menjadi pendekar budiman yang terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suheng-nya menemaninya.

Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong untuk membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk dapat bertanding secara adil melawan musuh besarnya.

Walau pun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andai kata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sinkang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya.

Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani menggunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sinkang. Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.

Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!

Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan kedua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, ia pun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimana pun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas.

Ayahnya sudah sering kali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.

Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walau pun mereka belum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya.

Kakek itu sedang terluka parah dan sekarang didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng memiliki harga diri. Ia tidak mungkin dapat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan pribadi dua orang itu.

Bagaimana pun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya. Kalau kini dia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.

Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhebat desakannya. Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.

“Cetttt....!”

Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehingga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.

“Cratttt....!”

Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mukjijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong!

Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sinkang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.

“Crokkk....!”

Betapa pun lihainya Pouw Kui Lok dan biar pun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping!

Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya.

“Trakkk!”

Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung ranting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.

“Suheng, pergi....!” Pouw Kui Lok berseru.

Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati. Dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, meloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.

“Suhu....!” Ceng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya. Wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir hidupku, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!” Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong.

Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu, apalagi saat melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.....

Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat. Akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tu-buh Hek-i Mo-ong yang sudah terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bercucuran dan menghilangkan rasa nyeri.

Begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan dia pun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk kemudian berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya!

“He-he-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.

Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri mereka pun terculik dan nyaris celaka.

“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.

“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semua pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!”

Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicara pun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati dari pada hidup. Akan tetapi dia kelihatan sangat gembira menghadapi kematiannya. Dengan kedua tangan membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.

Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biar pun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.

Mendadak nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja sudah berdiri menghadang di antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!

“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya,” kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Dia pun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat dari pada gurunya kelak!”

Akan tetapi anak muda itu hanya terus berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.

“Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”

Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi siapa pun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapa pun juga!”

Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. “Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”

“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti dari pada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar lagi dari luka di dadanya.

“Hahh!” Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.

“Dukk! Dukk! Dukkk!”

Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biar pun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andai kata diadukan antara Hek-i Mo-ong dengan Ceng Liong, agaknya kakek itu pun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, pemuda tanggung ini juga telah mewarisi semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong.

Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan dia pun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat.

Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena ia pun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan. Namun ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabut suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.

“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.

Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.

“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini.

Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!

Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.

“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”

“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.

“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”

Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.

“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”

“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.

Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan bahkan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.

“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Dia pun melangkah maju dengan suling di tangannya.

“Siapa pun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas.

Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapakah orangnya yang tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?

“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”

“Apa....?!” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.

“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”

Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau sekarang dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.

Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tangan pun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku....”

“Apa?! Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih dari pada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”

“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”

Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”

“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merubah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir kalau membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walau pun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.

“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”

Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Namun mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biar pun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.

“Tidak, ibu, aku tidak mau.”

Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau tadi dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dirinya memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya.

Biar pun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya, merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhu-nya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.

“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.

Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu sekarang memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa hingga mewek-mewek bagai anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah mulai kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.

“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ahh, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalau mereka belum terikat jodoh....” Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan.

Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan sekali. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.

“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.

“Kam Hong, kau.... kau....!” Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.

“Suhu....!” Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi!

Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.

Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. “Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, jika memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silakan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.” Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan.

Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, sikap pemuda itu juga sama sekali tidak mirip penjahat. Maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dengan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biar pun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik.

Memang dia melihat dan mengalami sendiri, betapa gurunya bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka.

Dia sendiri tak menyetujui cara hidup gurunya. Andai kata suhu-nya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong.

Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri. Namun cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!

“Kam-locianpwe,” katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, aku pun tak akan mengelak. Kalau memang locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, aku pun tidak akan melarikan diri.”

Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi. Walau pun dia bersikap hormat, ucapannya mengandung penyambutan tantangan!

Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.

“Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi aku pun kematian enam orang muridku. Biar pun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biar pun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Dari pada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!”

Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur.

Wajah Ceng Liong berubah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya sering kali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merubah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.

“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe hendak menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, aku pun tidak akan mundur selangkah pun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silakan!”

Dia pun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka dia pun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.

“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”

“Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”

Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka dia pun menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.

“Orang muda, lihat seranganku!” katanya.

Kam Hong pun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi. Serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat hingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.

Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang. Dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini.

Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kirinya ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikit pun.

Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sinkang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka dia pun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.

“Dukkk!”

Tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sinkang tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi.

Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sinkang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.

Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, dia pun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Sekarang dia pun membalas dengan serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang dia pun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!

Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut.

“Ilmu keji....!” serunya.

Dia pun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mukjijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biar pun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.

“Plak-plak-plakk!”

Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sinkang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.

“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.

Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah cepat meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.

“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”

“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberi tahu padaku,” kata Bi Eng.

Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....”

Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe, orang tak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan bagaimana aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!”

Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.

“Ceng Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja dia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu telah berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.

“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.

Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biar pun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”

Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”

“Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian bertanya.

Nada suaranya masih penasaran, walau pun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini.

Jika kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua sudah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tak lagi memandang orangnya, manusianya, tetapi kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi.

Pada waktu mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!

“Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”

Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.”

Mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, beriringan melangkah ke arah yang sama, tapi jalan pikiran mereka belum tentu seiring dan sama.....

********************

Biar pun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong sehingga mereka pun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali. Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.

Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan mala petaka yang menimpa keluarga pendekar Kam kemudian datang pula berkunjung untuk menyatakan bela sungkawa.

Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggota keluarga itu saja yang masih duduk di ruangan depan sambil menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itu pun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka.

Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang itu dan mereka pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan selalu dalam keadaan tegang dan curiga.

Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria.

Yang seorang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun. Tubuhnya tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas sehingga membayangkan tubuh yang masih kekar. Wajahnya cerah, mulutnya membayangkan senyum ramah.

Ada pun pria yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alisnya tebal, nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik.

Maka, terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, Bi Eng tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan kagum.

“Ginkang yang bagus!” Pria setengah tua itu berseru memuji.

Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri, dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal pria itu. “Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!”

Dan sekali meloncat, tubuh nyonya ini pun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri. Kini dia pun mengenal pria yang gagah itu, dan dia pun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu.

Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah’Suling Emas dan Naga Siluman’).

Bukan itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian. Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suheng-nya sendiri walau pun usianya belasan tahun lebih tua.

Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya. Sim Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat mereka berkabung atas kematian enam orang pelayan atau murid itu.

Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian. “Nona Bu Ci Sian.... ehhh, maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah puterimu!” Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.

Kam Hong yang sudah tiba pula di situ tersenyum. “Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan aku pun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!”

Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya. “Houw-ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sudah sering kuceritakan padamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai pula!”

Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Setelah cintanya dengan Bu Ci Sian mengalami kegagalan, pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu.

Pada saat dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah sering kali diceritakan oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.

“Saya Sim Houw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....”

“Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, engkau jangan menyebut locianpwe kepadaku. Sebut saja paman!” kata Kam Hong gembira.

Pemuda itu kembali menjura. “Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!”

Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yang gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi putera Sim Hong Bu ini.

“Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?” tanya nyonya ini sambil tersenyum.

“Karena daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,” jawab Sim Houw sederhana.

“Kam-taihiap,” kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong. “Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Ada enam buah peti jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?”

“Mereka adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat pada Hek-i Mo-ong?”

“Apa? Iblis tua itu yang datang menyerbu?” Sim Hong Bu bertanya kaget.

“Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. “Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah dapat memukul mundur mereka.”

Kam Hong menarik napas panjang. “Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,” ajak Kam Hong.

Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada ‘paman Sim Hong Bu’. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sejak berpisah belasan tahun yang lalu.

“Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,” kata Bu Ci Sian kepada tamunya. “Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan berterima kasih.”

Sim Hong Bu menarik napas panjang. “Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah Gunung Naga Siluman. Baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat segera mengenalnya, apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya.”

“Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya,” kata Bu Ci Sian.

“Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum saya berangkat.”

“Kenapa isterimu tidak ikut datang berkunjung juga?” Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.

“Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.”

“Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?” Kam Hong sudah dapat menduga, tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan pertanyaan itu.

“Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sini pun saya kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.”

Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara remaja, biar pun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya, tentu saja ia merasa risih, rikuh dan malu. Akhirnya, keheningan yang menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan dia pun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya!

Ada pun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tak berani bergerak dari tempat duduknya, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya bicara tentang perjodohan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah keluarga Kam, yang kini ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis orang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar