Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 36-40

Kho Ping Hoo, Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 36-40. Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut.
Anonim
Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut. “Aihh, saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat kami terkejut dan bungkam. Betapa pun juga, kami merasa berterima kasih sekali, bangga dan girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri puteri kami yang bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan untuk mengambil keputusan kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga lebih dulu, maka harap engkau suka bersabar menanti. Tunggulah sampai kami selesai mengurus penguburan jenazah-jenazah ini, baru kami akan memberi keputusan dan jawaban.”

Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat. “Maaf.... harap ji-wi maafkan karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-taihiap.”

“Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini,” kata Bu Ci Sian.

“Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari,” sambung suaminya.

Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu, bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan. Selama itu, biar pun sering kali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara.

Bi Eng biasanya lincah jenaka dan gembira, juga pandai bicara. Akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului menegur pemuda itu. Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.

Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Sebetulnya mereka merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti. Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah. Pemuda itu pun cukup tampan dan bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai, suami isteri ini lalu mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.

Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal ini pun mereka akan bersikap terbuka kepada puteri mereka.

“Eng-ji,” kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka, “seperti telah kau dengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itu sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami. Betapa pun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkaulah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut diri selamanya. Nah, bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau menjadi calon isteri Sim Houw?”

Biar pun pada waktu itu belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka. Bagaimana pun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lebih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walau pun mereka kini menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri.

Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita. Maka tiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding tentang pernikahannya.

Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentang perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, ia pun menunduk dan mukanya berubah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang.

Harus diakuinya bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, ia pun menunduk ketika menjawab lirih.

“Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!” setelah berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas.

Hatinya bingung dan perasaannya masih terguncang akibat pertanyaan ibunya tadi. Selama ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.

“Ahh, ia masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya sendiri,” kata Ci Sian kepada suaminya.

Suaminya mengangguk. “Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia tak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil keputusan.”

“Apakah ini berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?” isterinya bertanya.

Suaminya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Memang, dilihat begitu saja tiada alasan apa pun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinya pun keturunan keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah. Betapa pun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Aku pun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kita pun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.”

Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan meski mereka berdua memang telah condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.

Pada jaman itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis dan pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang tuanya, dijadikan semacam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja diharapkan mendapat penawaran tertinggi! Pingitan para gadis itu oleh orang tua mereka dianggap sebagai hal yang amat baik, bahkan akan mengangkat derajat dan harga diri gadis mereka dalam pandangan para calon besan.

Keadaan yang sudah menjadi tradisi ini, yang pada jamannya masing-masing berlaku pula di seluruh bagian dunia agaknya, tidak memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan hati sendiri. Pernikahan terjadi atas pilihan dan kehendak orang tua yang tentu saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan pertimbangan masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sendiri.

Pada jaman dulu dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua lebih menilai keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Ada pun orang tua si pemuda akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan keluarga, keturunannya, kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya.

Mereka itu, orang-orang tua yang memang tak mengerti itu, tak tahu bahwa perjodohan adalah urusan hati, urusan cinta. Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila terdapat cinta di dalam hati masing-masing. Tanpa adanya cinta kasih, segala macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya itu tidak mungkin dapat mengokohkan hubungan antara dua orang manusia yang berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya!

Bukan kebahagiaan yang nantinya diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa selamanya. Berkumpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti keadaan di jaman itu. Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala rintangan.

Harus diakui bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam upacara pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah demikian. Kebanyakan hanya memaksa dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peraturan, kesusilaan dan kesopanan di jaman itu. Mereka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis dan menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar disebut sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik!

Pada jaman itu ‘nama baik’ merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Untuk mengejar ‘nama baik’ ini, orang rela mengorbankan apa saja, kalau perlu berkorban nyawa sekali pun! Betapa banyaknya wanita di jaman itu, bahkan mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa batinnya dan menderita sengsara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta suaminya, namun memaksa diri mempertahankan nasibnya itu sampai selama hidupnya, hanya karena ingin menjaga nama baiknya.

Lebih baik hidup menderita selamanya namun mendapat nama baik sebagai seorang isteri yang setia, yang baik dan sebagainya dari pada bebas penderitaan batin namun menjadi bahan cemoohan dan celaan umum. Demikianlah pegangan batin mereka.

Perjodohan adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta kasih sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan mudah luntur. Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitungkan keadaan lahiriah, misalnya keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah tangga, namun sesungguhnya bukan itu yang menentukan.

Uang, kedudukan, dan segala keadaan lahiriah dapat berubah sewaktu-waktu. Pangkat dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta kasih akan dapat mengatasi segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam keadaan bagaimana pun juga. Tetapi, kenapa kita masih saja tidak mau membuka mata melihat kenyataan ini? Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan, agama, suku, bangsa dan sebagainya?


Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali. “Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok, kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka, tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi? Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagai mana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas.”

Kam Hong menjawab hati-hati, “Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa sangat tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik.”

“Jalan lain bagaimana?”

“Aku mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kita pun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walau pun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini.”

“Ehh? Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi suami Bi Eng....”

“Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh dari pada kita. Bagaimana?”

Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku sendiri pun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biar pun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah dikesampingkan. Setujukah engkau?”

Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimana pun juga, amat baik kalau Bi Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, walau pun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput dari pada bencana pada saat Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul?

Dan Bi Eng pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya! Biar kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka ia pun mengangguk setuju.

Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya! Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlomba saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, ialah dari kebun belakang.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.

“Agaknya mereka sedang berlatih,” bisik Kam Hong.

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka sedang berlatih, tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandingkan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka ia pun diam saja.

Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, ia pun meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya. Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua.

Melihat kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walau pun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula!

Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah dan ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut cerita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang tipis saja.

Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya penasaran. Kalau begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan?

Api penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak senang itu. Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemuda yang selalu membawa pedang di pinggang itu kelihatan seperti memamerkan pedangnya!

Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berubah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat. “Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin.”

Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!

“Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?” Tanya Bi Eng tanpa mempedulikan salam dan ucapan orang.

Sim Houw menunduk. Ia memandang pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan menggelengkan kepala. “Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka milik ayahku, pedangku ini biasa saja.”

“Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan sudah pandai pula memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!”

“Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku mengatakan pandai,” jawab Sim Houw sederhana.

Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.

“Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?”

“Aku tidak beranggapan begitu, nona.”

“Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin sekali merasakan sendiri sampai bagaimana kehebatannya!” Berkata demikian Bi Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.

Sim Houw membelalakkan matanya.

“Ahhh, nona Kam, mana aku berani?” katanya bingung.

“Tidak usah berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya jika kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!”

“Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah....”

“Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!”

“Wuuuuttt.... singggg....!”

Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing saat menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam ini pun memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berubah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu berkelebat mendesaknya, pemuda ini pun terpaksa mencabut pedangnya menangkis.

Bi Eng makin penasaran sebab jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan, maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.

Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat.

Hati pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu mempunyai kelembutan hati, dan juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu muncul Sim Hong Bu.

“Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau sudah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona rumah?” bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot memandang puteranya.

Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah berada kembali di dalam sarung pedang dan dia pun menunduk.

“Aku tidak berani, ayah....,” katanya lirih.

Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati, maka timbullah kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.

Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian segera mendekati puterinya dan menegur, “Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau menyerang Sim Houw?”

Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli pedang lawan sehingga biar pun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai dari pada Koai-liong Kiam-sut! Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.

“Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!”

“Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berlatih?” Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.

Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang tengah memandang kepadanya dengan senyum mengejek. Dia mengangguk. “Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak pelajaran kepadaku.”

Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan dia pun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya.

“Anak bodoh! Kau kira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima kasih kepada kakakmu Sim Houw karena ia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran kepadamu!”

Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Jika begitu, dia mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika dia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.

“Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya sungguh merasa kewalahan....”

Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng supaya jangan sampai menjadi malu. “Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.”

Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang diambil dari dusun terdekat, kemudian menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan dengan hati penuh harapan.

“Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....”

Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berubah dan timbul kerut-merut di antara kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah membesar tadi.

“Akan tetapi....?” Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.

Kam Hong tersenyum. “Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.”

Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat. “Saya percaya akan kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan mempertimbangkannya dengan seksama.”

“Kami berdua sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami baru berusia lima belas tahun, dan kami pun melihat betapa puteramu juga belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka sementara ditangguhkan dahulu.”

“Bagus! Memang itu pun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andai kata pinangan kami diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kami pun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa putera kami pun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar.”

“Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apa pun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya....”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini.

Mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu. Bahkan juga pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini?

“Kalau boleh saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?”

“Saudara Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul gagasanku untuk memberi ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami tahu bahwa kedua ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau digabungkan akan menjadi semacam ilmu yang amat hebat. Jangan engkau khawatir, saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih anak kami selama beberapa tahun sampai ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan puteramu pun sebagai gantinya akan kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-sut sampai berhasil.”

“Ahhh....!” kembali Sim Hong Bu mengeluarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan girang, walau pun masih ada keraguan di dalam hatinya, bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain.

Dia bangkit berdiri lagi dan menjura. “Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap maksud yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka sudah menjadi suami isteri, bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?”

Kam Hong dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata dengan jujur, “Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita, kita yang lebih berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu masing-masing, akan dapat membantu mereka untuk menggabungkan kedua ilmu kita itu sehingga lahir suatu ilmu gabungan yaug amat kuat. Selain itu, sambil mengajar, bukankah kita memperoleh kesempatan banyak sekali untuk lebih mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-masing?”

Mendengar ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk. “Sungguh bijaksana sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok untuk anaknya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas kau memberi hormat kepada calon mertuamu, juga gurumu!”

Dengan muka merah Sim Houw mentaati perintah ayahnya dan dia pun berlutut di depan kaki Kam Hong, menyebut ‘suhu’ lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil menyebut ‘subo’.

Kam Hong dan isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu. “Bi Eng, lekas kau beri hormat kepada suhu-mu dan calon mertuamu!” kata Kam Hong.

Akan tetapi dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walau pun mulutnya tidak mengeluarkan bantahan, namun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang berhati keras ini lalu berkata, “Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan ilmu-ilmu kita sendiri, aku merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!”

Ucapan dara ini mengejutkan tiga orang pendekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah. Memang sejak kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi kebebasan kepadanya mengeluarkan pendapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus terang seperti itu, sesungguhnya tak dapat dipersalahkan. Maka, dia pun mendebat, bukan memarahi.

“Bi Eng, jangan engkau tekebur! Lupakah engkau betapa baru beberapa hari yang lalu engkau dirobohkan penjahat? Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu tinggi, tidak akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan antara ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang rendah Koai-liong Kiam-sut?”

“Ayah, aku dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku sampai kalah, tentu karena aku kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi sudah merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah seberapa hebat. Apa artinya kalau aku membuang waktu bertahun-tahun mempelajarinya? Bukankah lebih baik aku memperdalam ilmu-ilmu yang kudapat dari ayah?”

Hati Kam Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu. “Saudara Sim, harap kau sudi memaafkan kelancangan mulut anak kami.”

Tapi Sim Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat. “Ha-ha-ha, Kam-taihiap, aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran dan kejujuran yang amat mengagumkan!”

Ucapan ini bukan basa basi belaka. Pendekar ini di waktu kecilnya adalah seorang pemburu dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarganya, para pemburu, memang sudah biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pura-pura!

Tentu saja hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap sikap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu karena biar pun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat, namun pendapatnya tentang ilmu silat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu masih mentah.

“Bi Eng, engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biar pun engkau masih kalah matang dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang kedua ilmu pedang itu dari sumber yang sama, walau pun mempunyai perbedaan besar karena Kim-siauw Kiam-sut memang khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling, adapun Koai-liong Kiam-sut khusus diciptakan untuk dimainkan dengan pedang. Akan tetapi, kalau kedua ilmu itu digabung, kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan gabungan kedua ilmu, akan mati kutu.”

“Tapi, bagaimana hal itu dapat dibuktikan sehingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?” tanya Bi Eng yang masih merasa penasaran. Ia merasa yakin bahwa ilmu keluarganya masih menang atas ilmu keluarga Sim, maka ia pun segan kalau harus mempelajari ilmu itu. Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu?

Kembali Sim Hong Bu tertawa. “Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk. Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!” Dia memuji sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.

“Bi Eng, engkau tahu bahwa tingkat kepandaianmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri belum tentu dapat menundukkanmu kurang dari tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah hadapi penggabungan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan saudara Sim Hong Bu. Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu dia pun akan dapat menundukkanmu. Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu,” kata Kam Hong.

Bu Ci Sian mengerti akan maksud hati suaminya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya, pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan hasilnya memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu mengandung unsur saling membantu. Maka dengan gembira ia pun mencabut sulingnya dan berkata kepada tamunya.

“Hong Bu, mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!”

Tentu saja Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi dia pun maklum bahwa seorang anak keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka dia pun mencabut pedangnya sambil tertawa. “Baik, aku pun ingin melihat bekal yang dibawa muridku.”

Bukan main kagetnya hati Bi Eng ketika melihat pedang itu dicabut. Terdengar suara mengaum dan nampak sinar yang demikian berkilau menyeramkan sehingga ia pun harus memicingkan matanya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya!

Kedua orang tua itu kini sudah memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi Eng, bukan mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju bersama dari depan. Melihat ini, Bi Eng merasa agak lega. Ia pun tahu bahwa ibunya memiliki gerakan yang amat cepat, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah bertanding dengan ayahnya dan kata ayahnya tingkat mereka seimbang. Kalau mereka itu maju mengepung, ia akan repot juga.

Akan tetapi kini mereka maju bersama, biar pun ia tidak mungkin dapat mengharapkan menang, namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan akan diperlihatkan kepada mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itu pun tidak banyak artinya. Ia akan berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan keluarga Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan ia pun tidak usah belajar ilmu kepada ayah Sim Houw!

Dengan tenang ia pun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang kuda-kuda untuk bertahan sebaik mungkin.

Melihat ini, ibunya lalu berseru, “Bi Eng, kami berdua akan menundukkanmu secepat mungkin. Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan segala daya tahan Kim-siauw Kiam-sut dengan sulingmu!”

Hemm, ibunya terlalu memandang rendah kepadanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan dan nasehat pula, seolah-olah ia tidak akan mampu bertahan. Ia telah mengenal semua jurus serangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus menghindarkan diri dari jurus itu, dan biar pun ia belum mengenal jurus serangan Koai-liong Kiam-sut, namun dengan mengandalkan kehebatan gerakan sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan dalam waktu singkat!

“Baik, ibu. Aku sudah siap! Majulah dan keroyok aku!”

Ci Sian menoleh kepada Hong Bu sambil berkata, “Aku menjadi inti dan engkau pelengkap.”

Hong Bu tersenyum mengangguk dan membiarkan wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu bergerak lebih dulu.

“Singgg....!”

Suling emas di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan totokan-totokan. Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara menghindarkannya adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu, nampak sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong Po-kiam telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan keluarnya! Bi Eng terkejut dan cepat memutar sulingnya menangkis pedang itu.

“Cringg....! Tukk....!”

Dan dia pun roboh terguling. Ketika dia menangkis pedang, ternyata perhatiannya ke bawah menjadi lengah dan dengan mudah ibunya telah menotok betisnya sehingga betis itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi ia pun terguling.

Dengan muka merah Bi Eng meloncat bangun lagi. “Aku masih belum puas!” teriaknya.

“Sekarang engkau penyerang inti dan aku pelengkap!” kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil tersenyum. Hong Bu mengangguk.

“Nona, awas serangan!” Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang menyambar dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut.

Bi Eng mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Ketika itu, suling di tangan ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Ia pun tahu bagaimana harus menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya, ia tidak dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya menangkis pedang sambil meloncat ke belakang menghindarkan suling ibunya. Akan tetapi pedang itu meluncur terus dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar, ujung sepatunya menyentuh lutut dan kembali Bi Eng terguling roboh!

Kini Bi Eng yakin akan kehebatan penggabungan dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia dapat dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang itu begitu tepat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat pula, menutup jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang tak terduga-duga.

Sebagai seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu menyelipkan suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong Bu seperti yang dilakukan Sim Houw tadi sambil berkata, “Suhu....!”

Sim Hong Bu tertawa girang. “Ha-ha, anak baik.... anak baik....”

Akan tetapi muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis. “Suhu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang maju adalah ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju seorang saja, biar pun sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin? Seorang dan dua orang tentu berbeda sekali!”

“Anak baik, kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu akan jauh lebih lihai dari pada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu menjadi otomatis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut, biarlah ilmu itu akan menjadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut menjadi pelengkapnya, dan untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang pendek atau pisau belati.”

“Bi Eng, kata-kata suhu-mu itu tepat sekali. Tadi pun mereka berdua maju dengan jurus-jurus yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak engkau akan mainkan Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut, sebaliknya Sim Houw akan memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di tangan kiri.”

“Bagus sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih lihai!” kata Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak. “Kurasa tiga tahun pun sudah cukup karena sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempelajari gerakan dasar pada kaki.”

“Benar!” kata pula Kam Hong gembira. “Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!”

Diam-diam Bu Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid baru mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan masing-masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan perjodohan.....

********************

Tiga hari kemudian, Bi Eng telah menggendong buntalan bekalnya meninggalkan rumah orang tuanya untuk mengikuti Sim Hong Bu yang kini menjadi guru dan calon ayah mertuanya, untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun. Sedangkan Sim Houw tinggal di rumah keluarga Kam.

Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya. Bu Ci Sian, walau pun ia seorang wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu merangkul dan menghiburnya.

“Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita pun memperoleh penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?”

“Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai sekarang, Eng-ji tak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang aku harus berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun....”

“Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”

Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang. Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.....

********************

Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Semenjak semula dia memandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri. Apalagi kini dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itu pun penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimana pun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.

Biar pun hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya. Dia teringat akan isterinya, Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi nanti kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.

Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu keluarga Cu! Walau pun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan selalu taat kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.

Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi.

Ada pun orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirubah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.

Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dulu memanggul tugas untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam Hong bertanding.

Dua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong.

Ini pula yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat dilenyapkan. Maka dia pun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang dipertentangkan oleh keluarga Cu itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.

Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap keluarga mereka tinggi dan mulia. Kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka.

Biar pun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling emas itu pun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ini pun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di goa rahasia di lembah mereka.

Pada pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’, Yu Hwi adalah bekas tunangan Kam Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!

Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat itu. Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali.

Cu Kang Bu berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat. Di antara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, dia pun juga mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya.

Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahir selalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw pergi merantau bersama ayahnya.

“Aahhh....,” terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Alangkah sepinya tempat ini semenjak Houw-ji pergi....”

Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik hanya menundukkan muka tanpa menanggapi.

“Ahh, engkau ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!”

“Tentu saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi sebagian dari pada hidup kita semua. Kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?”

“Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”

Yu Hwi menghela napas. “Aku tidak mengerti mengapa suamimu itu jauh-jauh pergi ke Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”

Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka dia pun tertawa.

“Ha-ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kau serahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa pula Hong Bu tidak mengunjunginya? Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”

Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah menguasai suaminya. Kini dia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara mengandung kejengkelan. “Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai anggota penting keluarga Cu? Hemm, kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang.”

Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata. “Sejak dahulu aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”

Cu Pek In yang semenjak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan besar yang ditahan-tahan. “Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”

“Ahhh.... gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.

Akan tetapi Cu Kang Bu tertawa gembira. “Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan ikatan perjodohan, kelak antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”

“Tidaaak, aku tidak mau....!” Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya.

Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi dia tidak tega untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan dia pun menjerit dan menangis.

“Ahhh, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga menjengkelkan hati Pek In.”

“Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu itu....”

“Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa yang bilang ini urusan keluarga Cu? Yang hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa ada sangkut pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya.”

Cu Kang Bu termangu-mangu. Baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim, bukan Cu! Dia pun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.

Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada keluarga itu.

Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita batinnya adalah Pek In. Bermacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!

Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long Kiam-sut. Ternyata pengetahuan pendekar itu amat luas mengenai ilmu silat dan petunjuk pendekar itu amat berharga.

Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya.

Apalagi setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, dia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang sedemikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, dia semakin kagum.

“Mari kita masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang terentang lurus.

Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan ketahahan yang luar biasa.

Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan ia pun meloncat di belakang gurunya. Hong Bu tersenyum girang dan mereka pun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya telah mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja mereka sudah tiba di seberang dan disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.

“Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng.

Ia menyebut suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu. Lagi pula, bukankah ia memang sudah resmi menjadi murid sehingga layak menyebut suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?

“Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tidak mungkin dilalui manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.

“Sebuah tempat yang hebat, tidak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu memuji.

“Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”

Kecuali ayah, pikir Bi Eng, dan hatinya menjadi kecut mengenang cerita ibunya betapa ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid. Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.

Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lembah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya. Tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!

“Apa.... apa artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana anakku....?”

“Mari kita bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,” kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.

Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang mengandung nada gembira.

“Begitulah. Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan antara kedua anak itu.”

Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, “Suamiku, mengapa engkau bertindak begini lancang?”

Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. “Isteriku, mengapa engkau berkata demikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena dia adalah anak kita berdua, dan sebelum berangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam!”

“Bukan itu maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu! Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”

Hong Bu yang diserang dengan kata-kata keras itu menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang padanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.

“Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon perkenan beliau,” akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak.

Namun, meski hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhu-nya menghadapi sikap menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.

Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah. Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong kemudian mengasingkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap. Dua kakak beradik ini bertapa bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong akibat kekalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan ilmu-ilmu secara bersama hingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu mereka telah menjadi semakin lihai saja!

Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar semua urusan segera beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itu pun pergi bersama gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali dia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.

Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah goa besar ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Goa itu menerima sinar matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua buah tempat untuk bersemedhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.

Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang dan bersih.

Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu.

Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang sedang semedhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki goa itu bersama Bi Eng.

“Suhu, susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.

Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia cepat menundukkan mukanya.

“Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?” ayah mertua atau gurunya bertanya.

Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!

“Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”

“Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kau ajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.

“Anak ini bernama Kam Bi Eng....”

“She Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.

“Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”

“Ehhh? Tindakan apa yang kau ambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.

“Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa dia pun menekan perasaan marahnya.

Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat dia pun bercerita.

“Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.” Sim Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu.

Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.

“Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu.”

“Pinangan teecu diterima, lalu kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk saling dididik ilmu sehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”

“Sim Hong Bu....! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau sudah gila?” Cu Han Bu membentak. Sekarang dia tak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah dipendamnya semenjak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita sambil menangis.

“Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu berkata dengan sikap masih tetap tenang.

“Tidak ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kau katakan tidak ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan pihak musuh?”

“Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan.”

Cu Han Bu mengepal tinju dan mengerutkan alis. “Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid, dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”

“Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja. Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Andai kata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti dia pun anggota keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkatnya menjadi murid.”

“Brakkk!”

Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini ketika dia menamparnya untuk menyatakan kemarahannya. “Sim Hong Bu! Bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam Hong!”
Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya dimaki pencuri, dia bangkit berdiri. “Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu? Jika dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu keluarga Cu tidak ada artinya!”

Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia pun meloncat turun dari atas dipan.

“Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita? Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu keluarga Kam!” berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya menampar ke arah leher Bi Eng!

Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga bahwa dia adalah seorang ahli ginkang yang telah tinggi tingkatnya. Gerakannya demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar seperti kilat cepatnya.

Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan bersiap untuk membalas.

Namun, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.

Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Jika dara ini tidak dihajar dan berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini ia pun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras!

Tetapi tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya. “Susiok, harap maafkan Bi Eng yang masih kanak-kanak,” katanya.

“Kau.... kau pun berani melawan susiok-mu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin menjadi.

“Teecu bukan melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,” jawab Hong Bu dengan suara tegas.

“Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!” Cu Seng Bu sekarang dengan dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu.

Pendekar ini terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia lantas terdorong ke belakang dan hampir roboh.

Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sinkang dan hendak meloloskan diri dari cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhu-nya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi juga menyerangnya, ia pun menjadi marah.

“Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”

Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar perkasa yang semenjak kecil menjunjung tinggi kehormatan, nama dan kegagahan. Kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.

Kalau menurutkan napsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.

“Brukk!”

Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.

“Anak setan yang tekebur, segera suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.

“Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!” Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu.

Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.

“Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu....”

“Sim Hong Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang dangkal ini!” bentak ayah mertuanya.

“Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji sendiri? Tidak, suhu. Teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya.”

“Maksudmu?”

“Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan kepada Kam-taihiap.”

“Engkau lebih memberatkan keluarga Kam dari pada kami?”

“Teecu memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”

“Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini. Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!” Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya.

Dahulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah terkabul karena biar pun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas. Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan mereka ambyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!

“Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau dia mau, dengan isteri teecu.” Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.

“Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi memiliknya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.

Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, kemudian menyerahkannya kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan goa itu. Dia kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka pucat.

Isteri yang mencinta suaminya ini memandang khawatir. Sinar matanya mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya berbicara, dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.

Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya. Hati Bi Eng diliputi keharuan karena dia merasakan benar perlindungan dan pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.

“Suhu tadi mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tetap tinggal di sini.”

Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat. Dia mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.

Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai mengeluarkan suara. Semenjak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.

“Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat kepadaku....” Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.

Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga akan begini jadinya.... dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini....”

Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang Bu dan Yu Hwi.

“Ehhh, engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.

Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya. “Suhu mengusir teecu pergi karena teecu bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi dari pada harus mengingkari janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”

Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu, mengantarnya sampai di tepi jurang.

“Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.

Diam-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya paman yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui tali.

“Terima kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”

Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas. “Tak tahulah, Hong Bu. Aku menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, tetapi kalau sudah menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan, mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”

“Selamat tinggal, susiok.”

Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu berdiri di tepi jurang. Keduanya lalu menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.....

********************
“Ayah, bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau Houw-ji menjadi murid orang she Kam itu! Kalau ayah tidak mau pergi mengambilnya, biarlah aku sendiri yang akan pergi ke sana untuk mengajaknya pulang!” Pek In berkata.

Wanita ini wajahnya pucat sekali dan matanya merah oleh karena banyak menangis. Ia menghadap ayahnya di goa pertapaannya. Dia pulalah yang kemarin dulu mendahului suaminya, menghadap ayahnya dan melaporkan tentang tindakan suaminya yang amat tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga begitu Hong Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati dicekam kemarahan.

Dan kini, setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In menghadap ayahnya lagi dan merengek, minta agar ayahnya suka pergi mengambil Sim Houw dari tangan keluarga Kam yang dibencinya.

“Baiklah, memang aku sendiri pun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami ingin menggemblengnya dan kelak dia akan menjadi seorang yang lebih lihai dari pada ayahnya. Dialah kelak yang akan membersihkan nama keluarga kita,” jawab kakek itu dengan suara mengandung kekerasan dan ketegasan. “Panggil pamanmu Cu Kang Bu ke sini.”

Ketika Cu Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia dan Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.

“Akan tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang menyerahkannya adalah ayahnya sendiri?” Cu Kang Bu membantah.

Saudara termuda keluarga Cu ini maklum bahwa kepergian kakaknya itu berarti hanya akan memperdalam permusuhannya dengan keluarga Kam saja.

“Akan tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku untuk minta kembali Houw-ji!” Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan. Ia pun tahu bahwa watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang Bu condong kepada suaminya.

Cu Kang Bu menggerakkan kedua pundaknya. “Terserah kepadamu. Sebagai ibunya tentu saja engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat orang mengerti bahwa ada ketidak cocokan antara suami isteri,” kata Cu Kang Bu.

“Sudahlah, sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa kita telah merasa jeri dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji sama saja dengan tanda takluk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke sana untuk memintanya kembali.”

Cu Kang Bu tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang kakaknya berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw dan mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi ketegangan di sana. Dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang sudah belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu sekarang sudah memiliki cukup kesabaran untuk menjauhkan pertikaian baru.

Dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka memiliki cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda mereka kelelahan. Karena mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pendeta, maka tidak ada gangguan di perjalanan dan akhirnya, pada suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit Nelayan, di sebelah selatan kota Pao-ting.

Mereka langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tempat tinggal keluarga Kam, kebetulan sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka berlatih silat yang baru pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan merubah kuda-kuda yang dipergunakan dalam Kim-siauw Kiam-sut.

Melihat munculnya dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan isterinya memandang penuh curiga, teringat akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak mengenal siapa adanya dua orang ini yang melihat sinar mata mereka tentu sedang berada dalam keadaan marah.

“Kong-kong....!” Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di depan seorang di antara dua kakek itu dan seketika teringatlah Kam Hong dan Ci Sian siapa adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman yang dahulu disebut Lembah Suling Emas!

“Aihhh, kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang datang berkunjung!” kata Kam Hong sambil menjura dengan hormat, diturut oleh isterinya.

Dua orang pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya mengangkat dan merangkap kedua tangan di depan dada sebentar saja, kemudian Cu Han Bu berkata dengan lantang.

“Kam-sicu, kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!”

Suami isteri itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad baik, melainkan didorong oleh hawa permusuhan yang panas.

“Locianpwe, Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri.”

“Kam Hong!” kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata hatinya yang panas. “Mana mungkin ada keganjilan seperti ini? Mana mungkin keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam? Apakah kau kira kami sudah takluk dan tunduk kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga cucu kami harus menjadi muridmu?”

Ucapan itu sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka tamunya. “Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk Sim Hong Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan pinangan kepada puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas persetujuan kedua pihak untuk saling menurunkan ilmu kepada anak kita masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan mengajak berkelahi, bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!”

“Eh, siapa takut kepadamu?” Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan nyonya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak hendak saling terjang.

Namun Kam Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut menariknya mundur, sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya bersabar.

“Kami bukan datang untuk mengajak berkelahi walau pun kami tidak pernah akan mundur apabila ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah bagaimana kalian menyambut dan menanggapinya!”

Ci Sian hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh tangannya dan Kam Hong mendahuluinya. “ Maaf Cu-locianpwe. Sebagai tuan rumah, tentu saja kami menyambut kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu dengan hormat dan senang hati. Mari, silakan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara dengan leluasa.”

“Tidak perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput cucu kami,” jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.

Kam Hong tersenyum dan menarik napas panjang. “Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi murid saya ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela....”

“Hemm, bagi kami tetap saja buruk kalau ada seorang keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam!” Cu Seng Bu memotong.

Kam Hong tetap tersenyum. “Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu melainkan she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini oleh ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar anak kami yang dibawa Sim Hong Bu untuk dididik.”

“Jadi jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi kakeknya? Begitukah?” Cu Han Bu bertanya, nadanya menantang.

“Ada tiga cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena yang menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu sendiri yang datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini berada di sini sebagai penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan, boleh saja kedua anak itu ditukar kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu kami pun tidak akan mau menahan atau memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locianpwe dapat berpikiran luas dan bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya menuruti nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!”

Cu Han Bu dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil. Kalau mereka tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak mengenal aturan) dan mereka akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi bentrokan antara mereka.

Akan tetapi, cara pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke dua menukarkan kembali dua orang anak itu tidak mungkin pula, yang ada hanya tinggal cara ke tiga. Mereka dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau memang Sim Houw mau pulang, keluarga Kam tidak akan mau menahan atau memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu menghampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu dan berkata dengan suara halus.

“Houw-ji, cucuku yang baik. Ibumu menyuruh kami menjemputmu dan mengajakmu pulang. Ibumu selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang akan menggemblengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah dibandingkan dengan ilmu yang bagaimana pun. Marilah, kau pamitlah kepada tuan rumah dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku.”

Sim Houw memang adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi bukannya tidak cerdik. Mendengar ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya. Selamanya, belum pernah dia melihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang wanita gagah yang pantang menangis. Mana mungkin kini mendadak ibunya begitu cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya? Dia tidak percaya.

Dan tentang mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran ilmu-ilmu sakti dari kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui untuk apa dan sebab apa dia belajar di bawah bimbingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini tanpa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa tentu terjadi pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia berpihak pada ayahnya. Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan kakeknya, apalagi bergaul karena kedua orang kakeknya yang kini muncul itu selalu bersembunyi di dalam goa pertapaan dan tidak pernah bersikap manis kepadanya.

“Tidak kong-kong,” katanya dengan suara tegas. “Aku tidak mau pulang dan akan tetap tinggal di sini.”

Wajah Cu Han Bu menjadi merah. “Anak bandel! Berani engkau membantah perintah kakekmu?”

“Kong-kong, aku tidak berani melanggar perintah ayah. Aku akan tetap berada di sini sampai ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!” kata pula Sim Houw dengan suara tegas.

Kakek itu marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, tetapi marah karena kembali dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu Han Bu memutar tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang tadi berada di belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam Hong melatih muridnya.

“Ciutt… ciuuuttt.... brakkk....!”

Dua batang pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Inilah satu di antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu. Diam-diam Kam Hong kagum sekali. Pukulan tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat dan sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan manusia!

Setelah merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya memandang dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw memandang dengan mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.

“Sim Houw, lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya boleh kau tiru, hasil dari pada ketekunan, akan tetapi pemarahnya itu jangan kau tiru. Nah, mulai sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak mengecewakan keluargamu, juga kakek-kakekmu itu.”

Mulai hari itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja itu pun mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing, seperti juga perlombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk perlombaan antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat, yang dapat membawa kemajuan kepada kedua pihak.....

********************

Senja itu cerah akan tetapi tidak mampu menjernihkan batin orang-orang yang sedang melakukan perbuatan jahat itu. Senja yang cerah dan tadinya hening itu kini dikotori oleh teriakan-teriakan, tawa bergelak, dan jerit tangis. Segerombolan orang laki-laki yang rata-rata bersikap kasar, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkumis lebat sedang menyerbu dua rumah yang agak terpencil di luar dusun pada sore hari itu. Pihak tuan rumah mengadakan perlawanan yang sia-sia, karena beberapa orang pria dari dua keluarga itu dalam waktu singkat saja sudah rohoh bermandi darah terkena bacokan dan tusukan golok gerombolan perampok itu.

Kemudian, kepala gerombolan muncul dari rumah sebelah kiri, tertawa-tawa dan kedua lengannya yang berbulu dan besar-besar itu mengempit tubuh dua orang wanita dusun yang cukup cantik. Dua orang wanita itu menjerit dan meronta-ronta, namun mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan kedua lengan yang kekar itu. Para anak buahnya bersorak dan tertawa-tawa ketika melihat pemimpin mereka menawan dua orang wanita itu dan teriakan-teriakan yang bernada kotor dan cabul terlontar dari mulut mereka.

Di balik sebatang pohon besar, seorang pria muda mengintai semua peristiwa itu sejak tadi. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya agak pendek namun tegap, mukanya putih dan matanya bersinar-sinar, pakaiannya mewah. Dia seorang pesolek muda yang cukup tampan dan yang sejak tadi mengintai dan diam-diam menjadi penonton ketika gerombolan perampok itu menjalankan aksi mereka merampok dua rumah yang terpencil itu. Rumah itu milik dua keluarga yang terhitung kaya di daerah itu, maka kini para anak buah perampok dengan gembira mengangkuti peti-peti berisi pakaian dan harta benda mereka.

Ketika kepala perampok itu merangkul dua orang wanita muda yang meronta-ronta sehingga kaki seorang di antara dua orang wanita itu nampak keluar sampai ke atas lutut, pemuda pesolek itu memandang penuh gairah sambil menggumam, “Hemm, lumayan untuk hiburan malam ini!”

Kini para perampok keluar membawa peti-peti harta dan melihat ini, kembali pemuda pesolek itu menggumam, “Lumayan untuk penambah bekal!”

Dia sudah membayangkan betapa malam ini dia akan menghibur diri bersenang-senang menggumuli salah seorang atau mungkin keduanya dari wanita itu, dan menambah isi buntalan pakaiannya dengan emas permata dari dalam peti itu.

Orang muda ini adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah kita ketahui, putera mendiang Louw-kauwsu ini berhasil menipu keluarga Suma Kian Lee. Bukan hanya diambil murid dan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, bahkan juga diambil mantu dan dia bahkan telah berhasil memperkosa puteri Pendekar Pulau Es itu. Tapi semua perbuatannya itu telah ketahuan dan dia nyaris tewas kalau saja dia tidak berhasil melarikan diri ditolong oleh gurunya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Kemudian, dia mengikuti Jai-hwa Siauw-ok pergi ke Puncak Bukit Nelayan untuk membantu suhu-nya yang hendak membalas dendam kepada keluarga Kam. Di tempat itu mereka bertemu dengan Hek-i Mo-ong dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, akhirnya Jai-hwa Siauw-ok tewas di tangan Hek-i Mo-ong sendiri karena memperebutkan Bi Eng, sedangkan Louw Tek Ciang terpaksa melarikan diri.

Semenjak kehilangan gurunya yang amat menyayangnya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, Tek Ciang hidup bertualang seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai keluarga dan kini keluarga Suma malah memusuhinya dan tentu akan selalu mencari-carinya untuk menghukumnya. Dia hidup seorang diri, merantau ke mana-mana dan dari Jai-hwa Siauw-ok, selain mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dia juga mewarisi kegemarannya yang amat merusak, yaitu kalau membutuhkan, tidak segan-segan melakukan pencurian dan setiap melihat wanita cantik, hatinya terpikat dan dia pun melakukan kebiasaannya yang terkutuk, yaitu mempergunakan kepandaian menculik dan memperkosa wanita yang disukainya.

Pada senja hari itu, tanpa disengaja dia menyaksikan segerombolan perampok beraksi menyerbu rumah dua keluarga. Dia menjadi penonton yang melihat peristiwa itu sebagai suatu kejadian yang lucu. Biarkan mereka itu bekerja untukku, pikirnya. Kalau mereka sudah selesai, dia tinggal turun tangan merampas dua orang wanita yang kelihatan montok dan cukup menarik itu dan merampas beberapa buah barang berharga.

Ketika gerombolan itu sambil tertawa-tawa meninggalkan dua rumah yang sudah mereka rampok ludes dan hendak menghilang ke dalam hutan yang berdekatan dengan rumah-rumah itu, tiba-tiba saja Tek Ciang meloncat keluar. Gerakannya amat cepat, tahu-tahu sudah berada di depan kepala gerombolan yang berjalan di muka.

“Serahkan dua anak ayam ini kepadaku!” bentak Tek Ciang dan tangannya sudah menusuk ke arah sepasang mata kepala perampok itu dengan totokan yang sangat berbahaya. Agaknya pemuda ini bukan hanya hendak merampas wanita, akan tetapi juga ingin membikin buta kepala perampok itu dengan tusukan dua buah jari tangan kanannya.

“Wuuuuuttt....!”

Tiba-tiba saja kepala perampok yang kumisnya tebal itu membuat gerakan meloncat ke belakang. Sambil tetap mengempit tubuh dua orang wanita itu, dia dapat membuat gerakan meloncat ke belakang sedemikian ringan dan cepatnya sehingga mengejutkan hati Tek Ciang. Orang yang dapat meloncat ke belakang secepat itu sambil mengempit tubuh dua orang berarti memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!

Agaknya kepala perampok itu pun menyadari akan kelihaian pemuda yang hendak merampas tawanannya, karena tusukan jari tangan ke arah matanya tadi benar-benar amat berbahaya dan kalau kurang cepat sedikit saja dia meloncat, tentu kedua matanya telah menjadi buta! Marahlah dia. Dengan suara menggeram hebat, dia menggerakkan tangan kanannya melontarkan tubuh wanita yang dipegang tangan kanannya ke arah Tek Ciang sedangkan wanita yang dipeluk tangan kirinya dia lemparkan begitu saja ke kiri. Tubuh dua orang wanita itu melayang dan ini pun membuktikan betapa kuat tenaga kepala perampok berkumis lebat itu.

Dengan mudah saja Tek Ciang menyambut tubuh yang melayang ke arahnya itu dan dengan lunak tubuh wanita itu dapat dirangkulnya, kemudian dia menurunkan wanita itu yang segera lari menjauh dan menangis di bawah pohon dengan ketakutan.

Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuh wanita ke dua yang tadi dilemparkan tangan kiri si kepala perampok. Cara bayangan ini menyambar tubuh itu mengagumkan hati Tek Ciang, apalagi ketika dilihatnya bahwa yang menyambar tubuh itu adalah seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun dan berwajah gagah. Pemuda itu pun menurunkan tubuh si gadis yang terculik, yang berlari menghampiri kawannya dan mereka berdua berangkulan sambil menangis.

“Kau....?” Si kepala perampok terkejut dan marah ketika melihat pemuda yang baru tiba itu. Sebaliknya, si pemuda juga memandang tajam dan tersenyum mengejek.

“Murid murtad, kiranya benar engkau yang mengotorkan nama Kun-lun-pai!” pemuda itu meloncat ke depan menghadapi kepala perampok berkumis tebal.

Kepala perampok itu marah sekali. Dia cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu menyerang pemuda baju hijau yang menghadapinya itu. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi si pemuda dapat mengelak dengan gesitnya.

“Phang Hok, aku datang atas nama suhu. Menyerahlah dari pada harus kuwakili suhu membunuhmu!” Pemuda baju hijau itu masih mencoba untuk mengajak damai. Akan tetapi lawannya mendengus dan pedangnya berkelebat semakin dahsyat menyerang.

“Singggg....!”

Pemuda baju hijau itu mengelak sambil mencabut pedangnya dan sekarang terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik.

Tek Ciang berdiri menonton dengan hati kagum. Tidak disangkanya bahwa kepala perampok itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat, ilmu pedangnya juga dahsyat. Akan tetapi pemuda baju hijau itu pun ternyata memiliki ilmu pedang yang sama gerakannya, bahkan lebih mantap dan lebih cepat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah saudara seperguruan dan melihat kelihaian pemuda baju hijau itu, Tek Ciang mengambil keputusan lain. Melihat betapa belasan orang perampok itu kini telah mencabut senjata dan bersikap hendak mengeroyok, dia pun menerjang ke depan.

“Perampok-parampok hina, kalian hanya mengotorkan dunia saja!” bentaknya dan sebagai seorang pendekar tulen, dia pun lalu menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok itu dengan tangan kosong saja.

Memang sukar mengatakan bahwa Tek Ciang seorang penjahat, walau pun dia jauh dari pada seorang pendekar! Dia tidak pernah melakukan kejahatan secara berterang. Kalau sekali waktu dia mencuri uang, hal itu dilakukan karena dia membutuhkan untuk bekal perjalanan, dan dia selalu tidak pernah meninggalkan jejak. Demikian pula kalau dia menculik dan memperkosa wanita, dia melakukannya tanpa ada yang melihatnya dan untuk menghilangkan jejaknya, bukan jarang dia membunuh wanita yang sudah dipermainkannya sampai puas itu.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa dia suka berhubungan atau berdekatan dengan kaum penjahat. Bahkan tidak jarang dia menentang kalau terjadi kejahatan, bukan karena tergerak hatinya menentang kejahatan itu sendiri, melainkan karena dia ingin mencari kepuasan dengan anggapan sendiri bahwa dia adalah seorang pendekar. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang keluarga pendekar sakti Suma, keturunan para Pendekar Pulau Es!

Kecondongan untuk mencari nama dan kehormatan bukan hanya merupakan penyakit yang diderita Louw Tek Ciang ini. Keinginan agar dianggap sebagai seorang baik, orang pandai dan yang serba menonjol merupakan penyakit kita semua, walau pun kadang-kadang sifat itu kita lakukan di luar kesadaran kita sendiri. Kita sukar menghentikan perbuatan-perbuatan buruk yang sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan buruk yang sesungguhnya menjadi cara untuk mencari atau mencapai kesenangan.

Akan tetapi di samping itu, ada hasrat dalam batin kita untuk dianggap sebagai orang baik tanpa cacat. Inilah sebabnya mengapa para koruptor condong untuk menjadi penderma paling royal. Bahkan orang yang dianggap paling jahat sekali pun, di lubuk hatinya merindukan kehormatan dan nama baik ini. Maka terjadilah konflik dalam batin antara kenyataan yang ada dengan keinginan yang kita dambakan.

Kalau saja pelaku kejahatan mengakui kejahatannya lahir batin, maka kehidupan dan dunia ini agaknya akan menjadi berbeda. Kita condong untuk membela perbuatan kita, memulasnya agar nampak tidak kotor, bahkan kita selalu mengingkari semua perbuatan buruk kita, hanya karena ingin memenuhi hasrat hati, yaitu ingin dianggap baik dan terhormat itulah! Maka timbullah kepura-puraan, timbullah kemunafikan.

Perbuatan yang oleh umum dianggap baik bagaimana pun juga, kalau hal itu dilakukan karena ada pamrih ingin dianggap baik, maka perbuatan itu adalah suatu hal yang kotor dan palsu, yang munafik dan karenanya jelas tidak baik lagi. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sama sekali tak dinilai oleh pelakunya, perbuatan yang wajar, perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sehingga perbuatan itu tidak ada ujung pangkalnya, tidak ada sebab akibatnya, tidak terikat karma. Perbuatan berdasarkan cinta kasih adalah wajar, tidak melepas atau menanamkan budi, tidak menimbulkan dendam, tidak ditumpuk dalam ingatan, dan selesai sampai di saat itu saja!


Pemuda berbaju hijau itu pun kaget dan girang melihat munculnya seorang pemuda tampan yang mengamuk dan menghadapi pengeroyokan anak buah perampok yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Dia pun kagum karena segera dapat melihat betapa lihainya pemuda bertangan kosong itu menghadapi para pengeroyoknya yang semuanya bersenjata.

Perkelahian antara pemuda baju hijau itu sendiri melawan kepala perampok tidak berlangsung terlalu lama. Betapa pun lihainya kepala perampok itu, menghadapi si pemuda baju hijau, dia kalah cepat dan kalah tinggi tingkatnya, kalah segala-galanya. Dalam waktu kurang dari lima puluh jurus, pedang di tangan pemuda baju hijau itu sudah menusuk leher lawannya yang roboh dan tewas seketika.

Ketika pemuda itu menyimpan kembali pedangnya dan menoleh, dia melihat betapa belasan orang perampok itu semua sudah roboh dan tewas, sedangkan pemuda tampan itu sedikit pun tidak terluka, bahkan pakaiannya yang mewah itu sama sekali tidak kusut atau kotor. Pemuda itu sekarang berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum.

“Ilmu pedangmu hebat sekali, sobat!” kata Tek Ciang memuji.

“Engkaulah yang berilmu tinggi sehingga dapat mengalahkan pengeroyokan para perampok dengan tangan kosong saja,” pemuda baju hijau itu balas memuji.

Tek Ciang tertawa, girang dan bangga karena dipuji. “Ahhh, dibandingkan dengan ilmu pedangmu, apa artinya kepandaianku? Kalau tidak salah, ilmu pedangmu itu adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai, benarkah? Sudah lama aku mengagumi ilmu-ilmu silat Kun-lun-pai dan baru sekarang aku bertemu dengan seorang ahlinya. Perkenalkan, sobat, namaku adalah Louw Tek Ciang.” Tek Ciang memberi hormat yang cepat dibalas oleh pemuda itu.

“Engkau adalah penolongku, Louw-toako dan terima kasih atas bantuanmu. Namaku adalah Pouw Kui Lok. Dugaanmu memang tepat karena aku adalah murid Kun-lun-pai, akan tetapi sama sekali bukan tokoh ahli.”

Para pembaca tentu masih ingat akan nama ini. Pemuda baju hijau itu adalah Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai yang pernah mencari Hek-i Mo-ong untuk membalaskan kematian gurunya, yaitu Yang I Cinjin yang dahulu tewas oleh Hek-i Mo-ong.

“Ah, Pouw-lauwte, kalau orang yang sudah pandai ilmu pedang seperti engkau ini masih bukan ahli, lalu yang ahli yang bagaimana? Janganlah terlalu merendahkan diri. Akan tetapi, kalau tidak salah, kepala perampok itu mempunyai ilmu dari Kun-lun-pai pula. Benarkah?”

“Benar, dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang murtad dan tersesat. Aku diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk mencari dan menghukumnya. Dia cukup lihai dan anak buahnya juga rata-rata pandai ilmu silat. Untung ada engkau yang membantuku. Akan tetapi marilah kita antarkan dulu dua orang nona itu pulang dan membawa barang-barang rampasan itu kembali ke keluarga mereka, baru kita bicara dan mempererat perkenalan.”

“Baik, kita harus menolong mereka tidak kepalang tanggung,” berkata pula Tek Ciang dengan sikap gagah. Dua orang muda itu lalu menghampiri dua orang wanita yang masih berlutut menangis.

“Sudahlah, nona-nona, jangan menangis. Lihat, semua penjahat telah kami bunuh. Sekarang mari kami antar pulang dan kami bawakan barang-barang keluarga nona yang dirampok.” Dengan sikap ramah Tek Ciang menghampiri mereka dan dua orang gadis itu pun menghentikan tangis mereka dan ketika mereka melihat bahwa semua penjahat telah tewas, keduanya menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Ciang.

“Kami menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan taihiap....”

Tek Ciang tersenyum. Kebanggaan bagaikan hendak meledakkan dadanya. Kadang-kadang, kegembiraan yang timbul karena kebanggaan ini lebih nikmat dari pada kalau dia memperkosa wanita.

“Ah, bukan hanya aku seorang yang turun tangan, nona. Kami dua orang she Pouw dan she Louw tidak akan membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini,” katanya dengan sikap orang yang berhati lapang dan pandai merendahkan hati.

Dua orang muda itu lalu mengangkut semua barang rampokan, kemudian mengawal dua orang gadis itu kembali ke rumah mereka yang tadi dirampok. Dan di tempat itu mereka disambut ratap tangis, bukan hanya karena bersyukur melihat mereka pulang dengan selamat membawa semua barang yang dirampok, akan tetapi juga karena terlukanya para anggota keluarga laki-laki yang tadi melakukan perlawanan.

Kui Lok dan Tek Ciang tidak berlama-lama di tempat itu. Mereka segera meninggalkan keluarga itu tanpa memberi kesempatan mereka berterima kasih, sesuai dengan watak para pendekar yang tidak mengharapkan balas jasa atas pertolongan yang mereka berikan kepada orang-orang yang dilanda mala petaka.

Demikianlah perkenalan yang terjadi antara dua orang muda itu. Ketika Pouw Kui Lok mendengar bahwa pemuda yang lihai itu adalah murid pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es, kekagumannya bertambah dan dia pun mempersilakan Tek Ciang untuk singgah di Kun-lun-pai cabang kota Tung-keng yang meliputi cabang perguruan silat ini di daerah tengah, di mana Kui Lok kini tinggal bersama para tosu yang menjadi pimpinan kuil Kun-lun-pai cabang Tung-keng itu.

Kui Lok ingin lebih mempererat persahabatannya dengan Tek Ciang karena sejak lama dia sudah mendengar tentang keluarga Pulau Es dan merasa kagum sekali. Juga para tosu Kun-lun-pai merasa gembira sekali dan kagum ketika mendengar bahwa pemuda yang pesolek itu adalah murid keluarga Pulau Es!

Tek Ciang telah tinggal di kuil itu selama tiga hari ketika pada pagi hari ke empat, Hong Tan Tosu, ketua kuil itu, seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh lima tahun, yang sejak pagi tadi keluar kuil, kembali membawa dua orang tamu. Dan dua orang tamu itu adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.....

********************

Seperti kita ketahui, dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman ini baru saja kembali dari Puncak Bukit Nelayan dimana mereka menanggung kecewa dan malu karena tidak berhasil membawa pulang cucu mereka, Sim Houw. Dengan hati kesal mereka menuju pulang dan di kota Tung-keng mereka berdua bertemu dengan Hong Tan Tosu.

Tosu Kun-lun-pai ini dahulu, ketika masih berada di Kun-lun-san, pernah bertemu di lembah keluarga Cu sehingga dia mengenal baik keluarga Cu. Maka, ketika bertemu dengan dua orang sakti itu, dia merasa gembira sekali dan mempersilakan dua orang kenalannya itu untuk singgah di kuilnya.

Cu Han Bu yang sedang kesal hatinya menerima undangan ini, maka mereka lalu mengikuti Hong Tan Tosu mengunjungi kuil Kun-lun-pai. Dan di sinilah dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu bertemu dengan Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang.

Kebetulan sekali pada saat itu, ketika dua orang sakti memasuki kuil, mereka melihat dua orang pemuda itu sedang berlatih silat di dalam kebun di samping kuil. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, dua orang kakak beradik Cu itu segera merasa tertarik sekali karena sekali pandang saja maklumlah mereka bahwa dua orang muda yang sedang berlatih silat itu memainkan ilmu-ilmu silat tinggi.

Dua orang muda itu adalah Kui Lok dan Tek Ciang. Mereka telah menjadi sahabat karib dan pada pagi hari itu, atas usul Kui Lok, mereka berlatih silat bersama. Melihat gerakan Kui Lok, dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu mengenal ilmu silat Kun-lun-pai dan mereka kagum karena pemuda itu memiliki gerakan yang amat ringan dan kuat. Akan tetapi mereka terbelalak memandang dan memperhatikan gerakan Tek Ciang. Pemuda ini memainkan ilmu silat yang aneh dan hebat, apalagi ketika terasa oleh mereka betapa dari kedua tangan pemuda ini menyambar hawa yang berubah-rubah, kadang-kadang dingin kadang-kadang panas.

Hong Tan Tosu yang menemani mereka, melihat kekaguman dua orang sakti itu, lalu berkata lirih. “Orang-orang muda sekarang bertambah hebat saja, akan kalah kita yang tua-tua ini.”

“Hong Tan To-yu, siapakah mereka ini?” tanya Cu Han Bu dengan hati tertarik.

“Yang berbaju hijau itu adalah Pouw Kui Lok, sute pinto sendiri dan dia memang sudah mencapai tingkat tertinggi di dalam perguruan kami. Dan yang ke dua itu bukan orang sembarangan. Namanya Louw Tek Ciang. Dia adalah murid Suma Kian Lee, pendekar Pulau Es.”

“Ahhh....!” Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menahan seruan mereka dan memandang kagum.

Pantas saja pemuda itu demikian lihainya, tidak tahunya murid pendekar Pulau Es! Pada waktu yang bersamaan, kakak beradik ini saling pandang dengan gejolak hati yang sama. Alangkah baiknya kalau mereka bisa menarik dua orang pemuda perkasa itu sebagai ahli waris baru mereka yang akan mewarisi ilmu-ilmu silat keluarga Cu dan kelak menjunjung tinggi nama keluarga Cu!

Setelah mereka duduk di dalam, Cu Han Bu langsung saja menyampaikan keinginan hatinya kepada sahabatnya. “To-yu, melihat gerakan dua orang muda itu, hati kami jadi sangat tertarik. Kebetulan sekali kami memang sedang mencari orang-orang yang agaknya tepat untuk mewarisi semua ilmu kami, yang lama mau pun yang baru saja kami ciptakan, dan kami melihat bahwa dua orang muda itu agaknya tepat dan berjodoh sekali. Bagaimana pendapatmu andai kata kami mengajak mereka ke lembah kami untuk menerima ilmu-ilmu silat keluarga kami?”

Mendengar ucapan ini, sejenak mata tosu itu terbelalak penuh keheranan. Dia sudah mengenal benar keluarga Cu ini yang selalu merahasiakan ilmu-ilmu mereka dan tidak akan menurunkan kepada orang luar, maka pernyataan tokoh nomor satu dari keluarga Cu itu tentu saja amat mengherankan hatinya.

Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga Cu tidak memiliki keturunan laki-laki, akan tetapi sudah mempunyai seorang mantu yang lihai sekali dan kabarnya mantu itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu keluarga Cu. Kenapa sekarang mendadak Kim-kong-sian ini menyatakan hendak mewariskan ilmu-ilmu keluarga Cu kepada orang luar? Akan tetapi, wajahnya segera berseri gembira ketika teringat bahwa yang dipilih adalah sute-nya sendiri.

“Ahh, entah bintang apa yang menerangi nasib sute!” Dia berseru gembira. “Tentu saja dua orang muda itu akan beruntung sekali kalau dapat terpilih menjadi murid-muridmu, Cu-taihiap! Biar pinto panggil mereka datang!”

Tosu itu sendiri segera bangkit dan meninggalkan dua orang tamunya untuk memanggil dua orang muda yang sedang berlatih silat di kebun. Setelah tosu itu pergi, Cu Han Bu berkata kepada adiknya.

“Bagaimana pendapatmu, ji-te?”

Cu Seng Bu mengangguk-angguk. “Aku setuju sekali, toako. Agaknya merekalah yang amat tepat menjadi ahli waris kita yang kelak akan menghadapi orang-orang yang hendak meremehkan nama kita. Apalagi mereka itu yang seorang adalah murid utama Kun-lun-pai dan yang ke dua bahkan murid keluarga Pendekar Pulau Es. Tepat sekali!” jawab adiknya.

Keduanya diam-diam merasa girang sekali. Memang pilihan mereka tepat. Dengan mengangkat murid dua orang muda itu, sedikit banyak Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es akan berdiri di belakang mereka dan kalau sudah begitu, siapa berani meremehkan mereka?

Tak lama kemudian, Hong Tan Tosu datang kembali ke dalam ruangan tamu diikuti dua orang muda yang tadi berlatih dan kini leher dan muka mereka masih basah berpeluh. Keduanya sudah mendengar secara singkat pemberitahuan Hong Tan Tosu bahwa dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman datang dan tertarik kepada mereka, dan mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu-ilmu sakti dari lembah itu kepada mereka.

Tentu saja dua orang itu terkejut dan heran juga, terutama Pouw Kui Lok yang sama sekali tidak pernah membayangkan akan berguru kepada orang lain kecuali Kun-lun-pai. Akan tetapi diam-diam Louw Tek Ciang merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, terutama sekali keluarga Pulau Es, maka kalau dia dapat mengumpulkan ilmu-ilmu tinggi sebanyaknya, berarti dia akan lebih mampu membela diri.

“Ahh, Pouw-lauwte, sungguh kita beruntung sekali!” katanya sambil memegang lengan Kui Lok. “Aku sudah mendengar nama besar keluarga Cu dari Himalaya itu, dan kalau kita dapat mewarisi ilmu-ilmu mereka, sungguh kita memperoleh keuntungan besar.”

“Akan tetapi....” Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata ragu-ragu.

Agaknya Hong Tan Tosu dapat menduga pikiran sute-nya. “Pouw-sute, jangan khawatir. Setiap orang murid Kun-lun-pai memang dilarang berguru kepada orang lain, akan tetapi kalau sudah mendapat perkenan orang yang berhak, dan mengingat bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar besar yang kukenal baik, maka pinto memberi perkenan kepadamu dan pintolah yang akan bertanggung jawab kalau ada pertanyaan dari para suhu dan susiok.”

Tentu saja ucapan Hong Tan Tosu ini membesarkan hati Kui Lok dan dengan girang mereka berdua lalu mengikuti tosu itu ke ruangan tamu di mana telah menanti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Melihat dua orang setengah tua yang bersikap angker itu, Kui Lok dan Tek Ciang cepat memberi hormat.

Setelah kini berhadapan dengan Kui Lok dan Tek Ciang, pandang mata kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu memandang penuh selidik dan mereka merasa puas dengan apa yang mereka lihat. Kedua orang muda itu jelas memiliki tubuh yang baik sekali dan juga memiliki sinar mata yang tajam dan cerdik. Calon-calon murid yang baik sekali, apalagi karena mereka telah memiliki dasar ilmu-ilmu silat yang tinggi pula.

Dalam keadaan sekarang ini pun, mereka sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan dua orang muda ini dengan mudah. Apalagi kalau dua orang muda ini sudah menguasai ilmu-ilmu silat keluarga Cu, tentu keduanya akan jauh lebih lihai dari pada mereka sendiri dan akan dapat menjunjung nama kehormatan keluarga Cu dengan baiknya, jauh lebih baik dari pada Sim Hong Bu yang murtad itu!

“Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang,” kata Cu Han Bu secara langsung setelah dua orang muda itu diajak berkenalan. “Kami berdua telah mendengar keadaan kalian dari Hong Tan To-yu, dan melihat kalian, kami tertarik sekali untuk mengajak kalian ke lembah kami dan mengajarkan ilmu-ilmu silat keluarga Cu kepada kalian. Tentu saja kalau kalian sudi menjadi murid kami.”

“Saya akan merasa gembira dan terhormat sekali, locianpwe,” kata Tek Ciang dengan cepat tanpa ragu-ragu lagi.

“Saya.... saya juga merasa setuju kalau memperoleh perkenan dari suheng sebagai wakil para suhu di Kun-lun-pai,” kata Kui Lok hati-hati.

“Ha-ha-ha, sute. Pinto sudah memberi perkenan dan harap saja engkau sebagai murid Kun-lun-pai tidak mengecewakan menerima ilmu-ilmu keluarga Cu yang amat tinggi itu.”

Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi girang. Tak mereka sangka akan semudah itu mereka menerima murid-murid yang begini lihai.

“Pouw Kui Lok sudah disetujui oleh Kun-lun-pai untuk menjadi pewaris ilmu-ilmu kami, akan tetapi bagaimana dengan engkau, Louw Tek Ciang? Kami mendengar bahwa engkau adalah murid pendekar Suma Kian Lee tokoh Pulau Es, apakah gurumu tidak akan marah dan berkeberatan kalau mendengar engkau belajar silat kepada kami?”

Hampir saja Tek Ciang tertawa. Gurunya akan berkeberatan? Gurunya sekarang telah menjadi musuh besarnya. Akan tetapi dengan cerdik dia memberi hormat dan berkata, “Suhu telah memberi kebebasan kepada saya untuk memperluas pengetahuan dan mempelajari ilmu apa saja asal ilmu itu digunakan demi kebaikan, menentang kejahatan seperti layaknya seorang pendekar. Karena itulah maka saya berani menerima uluran tangan locianpwe.”

Tentu saja hati kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu menjadi girang bukan main. Dua hari kemudian, Kui Lok dan Tek Ciang berangkat mengikuti dua orang kakek itu ke lembah di Pegunungan Himalaya itu. Di sana mereka berdua digembleng secara telaten oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang merasa girang dan beruntung sekali melihat betapa dua orang murid baru ini benar-benar tidak mengecewakan. Selain berbakat dan tekun, juga mereka adalah dua orang muda yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali Tek Ciang. Benar-benar tidak mengecewakan.....

********************
Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal, adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar Super Sakti yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga telah memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng Siang In bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka berusia kurang lebih setengah abad, kematangan lahir batin mereka sebenarnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.

Akan tetapi, biar pun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga saat mereka kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong! Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan.

Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya. Kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahun mereka hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.

Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan.

Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankan itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.

Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa manusia lain, berupa benda, atau pun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa memiliki ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini.

Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untuk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMILIKI YANG AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.

Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak peduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak peduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada
.

Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini membuktikan bahwa dia pun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa sangat kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin yang membuat ia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersemedhi dari pada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan sehat berkat semedhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.

Pagi itu sangat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput.

Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya sedikit agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu yang membayangkan kekuatan batin. Mulutnya selalu tersenyum, membayangkan kenakalan anak-anak. Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya yang bersinar sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.

Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mukjijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong.

Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, bagai seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar dari pada tempat-tempat lain walau pun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.

Beberapa orang penghuni dusun yang sedang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya.

Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah itu, tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun mengenalnya.

Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong lantas mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.

Dia merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah? Kalau mereka ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor.

Ahhh, jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?

Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.

“Siapa di luar?”

Suara ibunya! Tidak mungkin dia salah dengar. Walau pun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, dia sudah mendengar dan mengetahui adanya orang yang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.

“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.

Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”

Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biar pun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapa pun dan juga selalu menyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekali pun. Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walau pun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?

“Saya.... saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.

Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah.

“Hemm, siapa engkau yang berani lancang mengganggu ketenteraman.... ehhh, siapa engkau....?” Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong.

Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biar pun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi, walau pun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.

Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong. Hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya tadi, kini dia pun dapat mengenal ibunya walau pun jauh bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus.

Biar pun demikian, tidak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu sering kali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata siapa pun. Dan mulut itu! Biar pun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi!

Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.

“Ibu....!” Seruan ini keluar dari lubuk hatinya. Panggilan yang telah sering kali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini. Panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.

Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.

“Siapa.... siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalam mimpi.

Ia ingat wajah ini, ingat pandang mata ini, tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya bagaikan disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.

“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”

“Ceng.... Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri. Sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi dari padanya.

“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.

“Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.

“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?” Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya.

Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya bisa menekan keharuan dan kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata. “Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”

Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”

Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak. “Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong....?”

“Benar, ibu. Dia sudah menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”

“Haiiiittttt....!”

Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya, mendorong ibunya ke samping dan dia pun meloncat ke belakang. Serangan pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga mukanya tak dapat dikenal.

“Ehhh, kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran.

Akan tetapi orang itu sudah kembali menerjang, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biar pun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sinkang amat kuat. Maka dia pun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkkk....!”

Kedua pihak merasa betapa mereka barusan didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.

“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?”

Namun ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai, maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini.

Ia melihat datangnya serangan yang ke tiga kalinya. Ia mengerti pula bahwa lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Dia pun mengelak dan balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai.

Akan tetapi dia pun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang digunakan lawan ini. Walau pun lawan agaknya hendak merubah dan menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang dan penuh keheranan.

“Hyaaaaatt....!”

Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar biasa, akan tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap panas.

Mata Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulan ini sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak peduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuat pun juga.

Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sinkang-nya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.

“Blarrrr....!”

Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main saat melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.

“Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.

“Ayah....!” Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya. “Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.

Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia kini merasakan, betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.

Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini.

Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat.

Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati dari pada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walau pun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis!

Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!”

Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi dari pada ayahnya!

“Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi dari pada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?”

Siang In menghampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main.

“Arak? Ahhh, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tunggu, akan kumasak untuk kalian....!”

“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarang pun sudah pandai masak setelah banyak merantau,” kata Ceng Liong gembira.

“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum,” kata Suma Kian Bu.

Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, bagaikan hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa. Dan tidak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah ketiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liong pun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.

“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya sebab telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”

Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee.

Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa amat heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka.

Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong. Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka.

Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bu lalu menarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun mereka di belakang rumah.

“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi menyerangmu sambil mengenakan topeng?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.

Ceng Liong tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”

Kian Bu menggelengkan kepala. “Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Dari pada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”

“Kalau benar demikian?”

“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”

“Ayah hendak membunuhku?”

“Bukan, tetapi hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati dari pada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sinkang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sinkang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?”

“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....”

“Ahhh....?”

Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sinkang dari kakeknya, sebelum terjadi mala petaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.

“Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sinkang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan menggunakannya, sungguh tenaga itu amat dahsyat. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”

“Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasehat-nasehat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”

Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri.

Sebatang pisau umpamanya, apakah pisau itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalau pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinan tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itu pun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apa pun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan
.

Suma Kian Bu menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”

Pemuda itu mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng dari kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Walau pun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapa pun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari mala petaka.”

Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.

“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih oleh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mukjijat, sumber tenaga sinkang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita belum kau kuasai sepenuhnya, baru kau ketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.”

Demikianlah, mulai hari itu juga, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya.

Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini lalu dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dulu dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiri pun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya.....

********************

Sang waktu meluncur dengan pasti, tak terelakkan oleh siapa pun juga, menerkam dan menelan segala sesuatu di jagad raya ini. Kalau lepas dari perhatian, waktu meluncur dengan sangat cepatnya, seakan-akan baru kita memejamkan mata sebentar saja, bertahun-tahun telah lewat tanpa terasa. Sebaliknya kalau diperhatikan, sang waktu merayap dengan amat lambatnya, kadang-kadang tak tertahankan oleh kesabaran kita. Nampak jelas betapa cepatnya waktu meluncur lewat kalau kita menengok ke belakang. Seolah-olah masa kanak-kanak kita baru terjadi kemarin dulu!

Waktu meluncur amat cepatnya sehingga kehidupan normal seorang manusia antara enam puluh sampai delapan puluh tahun itu nampak pendek sekali. Hal ini membuat kita termenung memikirkan. Apakah yang telah kita lakukan di dalam waktu sesingkat itu sebagai manusia hidup? Apakah kita mengisi penuh waktu singkat dalam hidup itu hanya dengan mengejar kesenangan? Hanya untuk diombang-ambingkan oleh suka dan duka? Dihimpit bermacam penderitaan, kekecewaan, kegelisahan, kebencian dan lebih banyak sengsara dari pada bahagia? Pernahkah kita mengisi waktu yang sesempit itu dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain?

Kalau tidak atau belum, mengapa tak kita lakukan mulai saat ini juga sebelum terlambat, sebelum kita kembali ke dalam tiada? Dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain dan bagi dunia, hanyalah perbuatan yang lahir dan batin yang penuh cinta kasih. Perbuatan apa pun juga, tanpa dasar cinta kasih, adalah palsu dan hanya akan menimbulkan pertentangan batin.

Sungguh amat menyedihkan melihat betapa kita sudah hampir kehilangan sinar cinta kasih itu, sehingga hampir semua perbuatan di sekitar kita adalah perbuatan pura-pura, tidak wajar, kesemuanya didasari perhitungan rugi untung, dan kebaikan-kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan rugi untung, bahkan apa yang kita namakan cinta kita juga adalah cinta berdasarkan rugi untung. Si-aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan itu tak pernah lepas dari pada perhitungan rugi untung ini, baik keuntungan lahir mau pun keuntungan batin yang dicarinya. Karena itu, setiap gerak perbuatan adalah palsu
.

Tak terasa tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.

Seperti telah kita ketahui, enci adik ini pun menerima gemblengan yang amat keras dan tekun dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka, pendekar wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawatir kalau-kalau kedua orang anak mereka itu tidak akan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh besar mereka, maka keduanya menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu mewarisi semua ilmu keluarga Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka turut pula menurunkan ilmu-ilmunya termasuk ilmu menaklukkan ular.

Dengan bekal banyak ilmu, Suma Hui dan Suma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi mencari musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah mereka yang jahat dan murtad itu, tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah menimbulkan mala petaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan kawan-kawan mereka.

Tentu saja mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan penyerbuan ke Pulau Es itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk didatangi karena pemuda itu beruntung sekali terpilih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid keluarga sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, digembleng oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, bersama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.

Tentu saja semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung berhasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil, terutama sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk lebih mudah mencari, akhirnya mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian, sebulan sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi), mereka akan saling jumpa di kota raja untuk kemudian bersama-sama pulang terlebih dahulu ke Thian-cin, berhasil mau pun tidak.

Selama melakukan perjalanan bersama enci-nya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh enci-nya, dia berusaha untuk menyelidiki keadaan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang sex, tidak seperti pria pada umumnya. Dia melakukan penyelidikan mengapa dirinya memiliki kelainan seperti itu agar dia dapat mengobatinya kalau hal itu merupakan penyakit, dan merubahnya kalau memang seharusnya demikian. Dengan latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah tubuhnya.

Dari penyelidikan bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai kemungkinan yang mungkin dapat menimbulkan kelainan itu. Pertama adalah pengaruh sekeliling. Kalau seorang anak laki-laki semenjak kecil lebih dekat dengan ibunya, lebih banyak bergaul dengan anak perempuan, maka kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat mempengaruhinya dan menular kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja memberinya selera wanita sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita dari pada laki-laki biasa. Dan hal ini pun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam soal sex terhadap seorang pria dari pada terhadap seorang wanita.

Ke dua, terjadinya suatu peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya kekecewaan berulang kali dengan wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang pria menjadi hambar terhadap wanita dan dia mengalihkan perhatian untuk melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di samping kekecewaan terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria yang amat menyenangkan dan disayangnya.

Ke tiga, seorang pria yang bertemu dengan seorang pria lain yang memiliki kelainan seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan. Dan ke empat, kelainan pada tubuh, pada kelenjar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula mendatangkan kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu.

Dari penyelidikan dia dan enci-nya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain itu tidak pernah terjadi pada dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah bahwa memang terdapat kelainan di dalam tubuhnya. Dan hal ini tentu saja hanya dapat diatasi dengan pengobatan jasmani. Akan tetapi, siapakah yang akan mampu memberi obat? Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya kepada batin sendiri. Adakah dia menghendaki dirinya berubah? Dan jawabannya adalah : Tidak!

Dia suka berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya, bahkan terasa wajar. Kalau pun dia menjadi prihatin adalah karena dia melihat betapa pria pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa dirinya ganjil dan terasing.

“Bun-te,” kata Suma Hui setelah mereka berdua berbincang-bincang tentang hal dirinya. “Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimana pun juga beratnya, engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau perlu, kita tidak usah berurusan dengan cinta birahi pun kita akan kuat! Pergunakanlah tenaga dalam untuk melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan jika engkau belum dapat menemukan obatnya, lawan saja dengan tenaga sakti. Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan hasrat hati sehingga melakukan perbuatan yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorongan birahi? Kita kan sudah terlatih.”

Suma Ciang Bun mengangguk dan menarik napas panjang. “Benar, enci. Memang hal ini tidak perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat adalah karena adanya pertentangan dalam batinku. Jika kudiamkan saja dan kuanggap sebagai sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat nafsu, maka sebetulnya juga tidak ada apa-apa.”

Demikianlah, setelah berpisah dari enci-nya, Ciang Bun mulai dapat menguasai diri sepenuhnya. Dia tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria atau pun berusaha mendekati wanita, melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang tenggelam timbul di batinnya sebagai dorongan naluri jasmaninya. Dan dia mengerti bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk penyaluran hasratnya tanpa menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan seorang pria yang mempunyai masalah yang sama dengan dirinya!

Akan tetapi, hal ini pun merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu kelainan akan dapat memilih di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu dengan seorang yang disukainya. Akan tetapi, berapa banyak adanya pria seperti dia? Andai kata ada pun tentu tidak akan terang-terangan mengaku dan sukar dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa orang saja dan andai kata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia, belum tentu dia menyukai orang itu. Maka, Ciang Bun kemudian mengambil keputusan untuk berdiam diri saja dan melihat perkembangan hidupnya tanpa banyak mengeluh dan tanpa banyak menentang.

Keadaan jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya. Tetapi, untuk sementara waktu, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga dia tidaklah menderita lagi.

Suma Ciang Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bulat dengan kulit yang agak gelap membuat dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wataknya yang memang pendiam itu menjadi semakin serius. Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia memang suka akan pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang merupakan satu di antara kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan Ciang Bun selalu mengenakan pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan dikuncir dengan rapi pula. Pemuda ini selalu nampak bersih dan tampan sekali.

Kalau pun ada nampak sifat kewanitaannya mungkin hanya pada kerling matanya. Biji matanya bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti kebiasaan wanita mengerling ke kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan ini pun tidak akan mudah diketahui orang kalau tidak amat memperhatikannya. Sepasang siang-kiam yang tergantung di punggungnya juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih senjata rahasia pun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia ini dia peroleh dan dia pelajari dari ibunya. Dandanan dan sikapnya yang halus pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang pelajar dari pada seorang pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya.

Pada waktu itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang berlalu-lalang membawa senjata tajam. Akan tetapi, para pendekar tidak mengabaikan larangan ini dan memang bagi para pendekar, bukan penjahat, larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal oleh para pejabat tinggi. Bagaimana pun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kaisar.

Hari masih pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan enci-nya, enam bulan yang lalu. Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa hasil. Dia telah berpencar dengan enci-nya, enci-nya mengambil jalan barat dan dia mengambil jalan timur.

Dia telah merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung. Banyak pengalaman dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda ini menjadi semakin matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan Louw Tek Ciang atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak mereka pun tidak pernah.

Janji pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih beberapa hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat dan berjalan-jalan di kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki taman, bukan untuk bertemu dengan enci-nya karena memang belum waktunya, melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian serba biru sehingga wajahnya yang memang tampan nampak semakin gagah.

Taman itu sudah mulai dibanjiri tamu. Di situ terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak yang diatur indah menarik. Ada pula beberapa pondok yang menjulang ke kolam teratai di mana orang dapat bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung sendirian melihat bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup lebar berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum arak.

Ciang Bun merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu dia belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika dia masuk, di ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula beberapa orang gadis dari keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini segera mengangkat muka memandang kagum kepada Ciang Bun.....

Pemuda ini tidak merasa aneh dengan pandangan ini. Di mana pun berada banyak dia menerima pandang mata seperti itu dari para wanita. Ia pun bersikap wajar, tersenyum sedikit lalu memilih tempat duduk di sudut. Seorang pelayan menghampirinya dan dia pun memesan beberapa butir bak-pauw dan air teh panas. Dia tidak biasa minum arak di pagi hari.

Bukan hanya para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru masuk ini, akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang yang tergantung di punggung itu. Ciang Bun tidak mempedulikan semua perhatian yang ditujukan kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas sambil memandang lurus ke depan.

Akan tetapi, di sebelah depannya, di meja yang berdekatan, terdapat seorang pemuda lain yang juga sedang duduk sendirian, agaknya sudah selesai makan minum karena ada mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh. Dan kini pemuda itu sedang mencoret-coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya asyik sekali.

Berdebar rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu. Kambuh kembali penyakitnya, pikirnya tak enak. Kenapa baru melihat saja seorang pemuda yang amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar? Benarkah dia semata keranjang ini? Apakah seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau melihat seorang pemuda tampan? Apakah wanita-wanita yang duduk di sana itu pun berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi memandang kepadanya?

Tanpa menggerakkan mukanya yang kini dimiringkan agar tidak lurus memandang ke depan, Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seorang pemuda yang masih amat muda, paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya sederhana, berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya sungguh amat menarik hati.

Wajah itu berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang dicoretinya. Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hitam gemuk dan panjang. Alisnya hitam dan agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik panjang. Seorang pemuda yang amat tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas bukan alis wanita.

Agaknya pemuda remaja itu sudah selesai menulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja. Sambil tersenyum-senyum sendiri dia mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun duduk arah belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan itu yang ditulis dengan huruf besar dan indah. Tulisan indah bersajak! Ciang Bun membacanya cepat.

Pergi merantau seorang diri
Berkelana menjelajah negeri
Pamer senjata menimbulkan ngeri
Apakah hanya untuk menakuti?


Wajah Ciang Bun berubah merah. Biar pun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu menyindir, bahkan mengejeknya? Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa semua tamu yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah satu-satunya orang yang membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di punggung, maka disebut pamer oleh si penulis sajak. Akan tetapi penulis itu mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu hanya untuk menakut-nakuti! Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka dan tulisannya halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada tulisan seorang asing.

Ciang Bun semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah oleh sindiran dan ejekan itu, bahkan dia pun merasa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya, akan tetapi menarik hati. Ingin dia berkenalan dengannya. Sekedar berkenalan karena selama ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu khawatir. Dia sudah dapat menguasai hatinya, lagi pula pemuda itu masih remaja dan dia pun hanya ingin bersahabat, tidak lebih…..

Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan benar dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah membayar harga makanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, menyandang buntalannya yang cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang Bun, pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang mengejek.

Ciang Bun membalas senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan persahabatan. Akan tetapi pemuda remaja itu malah membuang muka dan melangkah lebar keluar dari kedai arak.

Ciang Bun menarik napas panjang dan menenteramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan getaran seperti ini, getaran yang pertama kali dirasakan ketika dia berada di Pulau Nelayan bersama Liu Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah tertarik kepada seorang pemuda seperti halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini. Biar pun dia lebih condong menyukai pria, akan tetapi tidak sembarang pria membuatnya berdebar seperti ini.

Setelah membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, dia pun melangkah keluar dari kedai arak. Dia berjalan-jalan di taman itu. Karena tertarik oleh keadaan telaga buatan, dia menyewa sebuah perahu dan membeli seguci arak, karena akan nikmat sekali naik perahu sambil minum arak nanti kalau matahari sudah naik agak tinggi.

Taman ini indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar. Tapi sejak kaisar Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, kemudian membuka taman itu menjadi taman umum yang boleh dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan pandai menyenangkan hati rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat merasa lebih tenteram hidupnya.

Ciang Bun mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak berseri wajahnya tanda bahwa mereka semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya sampai di dekat sebuah pondok kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba dia mendengar suara lantang disertai ketawa mengejek.

“Ha-ha-ha, Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi untuk memamerkan pedangnya!”

Ciang Bun menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang tadi sedang nongkrong di pondok itu menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh bengal, suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya dan sambil tersenyum ramah dia pun berkata.

Bersama pedang menjelajah negeri
bukan pamer bukan menakuti
sekedar alat pembela diri
harap adik jangan salah mengerti!


Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak. “Aihh, kiranya engkau adalah seorang terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti orang!”

Ciang Bun tersenyum. “Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama.”

Sepasang mata itu bersinar-sinar. “Benarkah? Engkau tidak marah kepadaku karena aku telah mengganggumu tadi?”

Ciang Bun tersenyum dan menggeleng kepalanya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka kepada pemuda remaja itu yang walau pun bengal akan tetapi ternyata pandai membawa diri dan juga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini mengaku terus terang bahwa tadi telah mengganggunya.

“Engkau gembira dan jenaka, bukan mengganggu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang menjual lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja.”

Pemuda remaja itu nampak semakin gembira. “Ahh, begitukah? Kalau begitu, biar aku ikut naik perahu bersamamu.”

Gembira sekali rasa hati Ciang Bun. “Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....”

“Tidak usah. Awas, aku melompat turun!” Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat keluar dari jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih cukup jauh.

Ciang Bun terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah tiba di dalam perahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah yang tiba di dalam perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia terkejut dan kagum, tahu bahwa pemuda remaja ini memiliki ginkang yang amat hebat.

“Aihhh, kiranya engkaulah sebenarnya seorang taihiap!” katanya jujur. “Sungguh malu sekali aku yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang pendekar lihai sepertimu ini.”

Pemuda remaja itu tertawa. Wajahnya nampak semakin muda dan tampan. “Sudahlah, toako, tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu menanggapi gangguanku dan pujianmu tadi, menunjukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga berwatak rendah hati. Dan sikap ini hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar. Pula, siapa lagi kalau bukan pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa pedang secara berterang, di kota raja pula?”

Seorang pemuda yang ahli ginkang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga dari nada suaranya jelas menunjukkan lidah asing, walau pun bicaranya cukup lancar. Tentu seorang pemuda asing yang sudah lama berada di sini atau yang mempelajari Bahasa Han dengan baik.

“Siauw-te, tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh ginkang yang kau perlihatkan tadi mengagumkan hatiku. Dan mendengar suaramu, agaknya engkau adalah seorang yang datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?”

“Aku pun seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga, aku diberi nama Ganggananda (Putera Sungai Gangga).”

“Ahh....! Kalau begitu engkau tentu datang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi kulitmu putih dan mukamu, biar pun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka bangsa kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan main! Padahal, usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum dewasa benar.”

“Siapa bilang? Aku telah berusia delapan belas tahun! Dan aku sudah merantau selama satu tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan seorang pendekar seperti engkau, toako. Siapakah namamu?”

Biasanya, Suma Ciang Bun segan memperkenalkan nama, apalagi nama keturunannya, karena she Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecurigaan, membuka rahasia bahwa dia masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik perhatian. Akan tetapi terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik hatinya, dia tidak mau berbohong.

“Namaku Suma Ciang Bun....”

“Wah....! Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!”

Kini wajah Ciang Bun berubah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang asing ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya. Biar pun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.

“Pantas saja begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!” kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.

“Eh, Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?”

Pemuda itu tertawa. “Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?”

Sekarang Ciang Bun yang terbelalak, memegang lengan pemuda remaja itu. “Engkau mengenalnya? Engkau bertemu dengan Ceng Liong? Dia masih hidupkah?”

Ganggananda tersenyum. “Tentu saja dia masih hidup, setidaknya enam tujuh tahun yang lalu dia masih hidup. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat.” Tiba-tiba wajah pemuda ini menjadi muram. “Heran sekali mengapa engkau tidak tahu dan mukamu berubah ketika mendengar namanya?”

“Dengar, Nanda, aku berterus terang saja. Kami semua mengira bahwa Ceng Liong sudah tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang, bertemu denganmu mendengar bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan.”

“Memang dia masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu menjadi semakin terkejut.”

“Apa itu?”

“Katakanlah dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?”

“Benar, ayahku dan ayahnya adalah kakak beradik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakek kami.”

“Nah, itulah yang aneh. Ceng Liong cucu Pendekar Super Sakti, akan tetapi dia juga menjadi murid seorang raja iblis.”

“Apa? Siapa?”

“Hek-i Mo-ong!”

“Ahhh....!” Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget dari pada berita bahwa adiknya itu masih hidup.

Hek-i Mo-ong adalah raja iblis yang memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar nomor satu. Bagaimana mungkin kini Ceng Liong malah menjadi muridnya? Dia begitu terkejut sehingga memandang ke depan, jauh ke depan dan tiba-tiba wajahnya berubah pucat pada saat dia melihat dua orang pria berada di dalam sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.

“Kau.... kau kenapa....?” Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

“Diamlah,” bisik Ciang Bun, “Dan jangan mencampuri kalau aku nanti berkelahi. Aku bertemu dengan musuh besarku!”

Perahu di depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu adalah Louw Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu biar pun kini sudah lebih tua, masih seperti dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih tersenyum-senyum mengejek, pandang matanya membayangkan kecerdikan dan kelicikan. Biar pun dia belum bertemu dengan enci-nya, akan tetapi setelah kini melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh orang yang telah merusak kehidupan enci-nya!

Akan tetapi, agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang Bun, tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis dibuat-buat penuh ejekan, dia melambaikan tangan.

“Aha, kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?”

Akan tetapi Ciang Bun membentak sambil mencabut sepasang pedangnya. “Louw Tek Ciang keparat busuk! Bersiaplah untuk mampus!”

“Aihh, anak kurang ajar. Lupakah engkau bahwa aku ini kakak iparmu, juga suheng-mu sendiri? Keturunan keluarga Suma memang kurang ajar semua!” Louw Tek Ciang juga membentak.

Kawannya, pemuda yang berpakaian serba hijau, memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini adalah Pouw Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang kini menjadi sute dari Tek Ciang itu. Seperti kita ketahui, dua orang ini beruntung sekali diangkat menjadi murid-murid oleh kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu. Mereka diajak ke Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya dan selama kurang lebih tiga tahun mereka menerima gemblengan dari dua orang tokoh sakti itu.

Karena Louw Tek Ciang adalah murid Suma Kian Lee yang sudah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari pendekar Pulau Es itu, juga murid Jai-hwa Siauw-ok yang lihai, sedangkan Pouw Kui Lok adalah murid utama Kun-lun-pai, keduanya memiliki dasar yang kuat. Karena itulah, dalam waktu tiga tahun saja mereka mampu menguasai ilmu-ilmu tertinggi ciptaan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Juga kedua orang muda itu oleh guru mereka diberi masing-masing sebuah suling emas dan mereka mahir menggunakannya sebagai senjata.

Setelah turun gunung, kedua orang muda itu lalu kembali ke timur dan untuk bersenang-senang setelah mereka bertapa selama tiga tahun itu, mereka pergi ke kota raja untuk bersantai. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berdua sedang berpesiar di dalam taman itu, Tek Ciang melihat Ciang Bun yang segera dikenalnya. Tentu saja Tek Ciang merasa terkejut sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut, malah mengejek. Selain ilmunya sendiri sudah memperoleh kemajuan pesat, juga di sebelahnya terdapat Pouw Kui Lok, seorang sute-nya dan juga sahabat baiknya yang tentu akan membelanya kalau ada bahaya mengancam dirinya. Apa yang ditakutkan lagi?

Pouw Kui Lok telah menjadi saudara seperguruan Tek Ciang dan hubungan di antara mereka akrab sekali. Tek Ciang memang seorang yang amat cerdik. Seperti ketika dia mengelabui Suma Kian Lee sehingga pendekar itu amat percaya kepadanya, ketika berada di Lembah Naga Siluman pun dia dapat membawa diri sehingga tidak nampak sama sekali sifat jahatnya.

Kedua orang sakti she Cu itu menganggapnya seorang murid yang baik dan yang berwatak gagah perkasa, pantas menjadi seorang pendekar yang akan menjunjung tinggi nama dan kehormatan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Juga Kui Lok, murid Kun-lun-pai yang berwatak pendekar itu merasa suka kepada Tek Ciang dan menganggap suheng-nya ini benar-benar seorang gagah sejati. Apalagi suheng-nya pernah menjadi murid, bahkan mantu pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es itu.

Dengan cerdik Tek Ciang pernah menceritakan riwayatnya kepada Kui Lok. Ia bercerita bahwa dia sebagai murid Suma Kian Lee lalu diambil mantu. Akan tetapi akhirnya keluarga Suma yang tinggi hati itu merasa menyesal karena dia hanya anak seorang guru silat yang tak ternama. Dan keluarga itu hendak memisahkan dia dari isterinya.

Pouw Kui Lok tadinya merasa terkejut dan heran mendengar cerita itu. Sukar untuk dapat dipercaya. Akan tetapi, ketika dia menyebut nama Suma Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong yang merupakan musuh besarnya, dia mendengar dari suheng-nya bahwa Suma Ceng Liong juga cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, masih adik sepupu isterinya.

Barulah timbul semacam perasaan tidak suka di hati Kui Lok dan dia percaya bahwa keluarga Suma dari Pulau Es memang congkak, tinggi hati dan condong ke arah penyelewengan, seperti dibuktikan dengan kenyataan bahwa Suma Ceng Liong menjadi murid Hek-i Mo-ong, dan keluarga Suma Kian Lee bersikap tidak adil terhadap Tek Ciang. Bukan hanya Kui Lok yang terpengaruh. Saking pandainya Tek Ciang bersikap dan bicara, kedua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang tadinya kagum kepada keluarga Pulau Es, kini pun merasa tidak senang.

“Engkau atau aku yang mati!” bentak Ciang Bun yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan pemuda ini meloncat ke arah perahu di depan.

Ganggananda menjadi bingung dan menahan agar perahu yang terguncang itu tidak sampai terguling, kemudian dia cepat mendayung perahu agak menjauh sambil memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena sahabat barunya itu tidak bercerita tentang musuh besarnya. Dia tidak tahu bagaimana urusannya. Apalagi ketika mendengar betapa orang yang diserang Ciang Bun tadi bicara seperti kakak ipar Ciang Bun sendiri, dia menjadi semakin bingung dan tidak berani sembarangan mencampuri.

“Trang.... trangg....!”

Bunga api berpijar ketika sepasang pedang di tangan Ciang Bun yang menyerang itu ditangkis oleh suling di tangan Tek Ciang.

Pemuda yang baru saja turun dari Lembah Naga Siluman ini terkejut ketika menangkis sepasang pedang Ciang Bun. Tadinya dia mengira bahwa tingkat kepandaian Ciang Bun tentu tidak banyak bedanya dengan dahulu. Maka dia tadi mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan keyakinan bahwa tangkisan itu akan membuat sepasang pedang lawan terpental. Tetapi ternyata ketika sulingnya bertemu dengan sepasang pedang, dia merasa lengannya tergetar dan tenaga bekas adik iparnya itu bukan main kuatnya.

Di lain pihak, Ciang Bun juga kaget sekali karena selain tiba-tiba saja musuh besar itu memiliki senjata aneh, yaitu sebatang suling emas yang digerakkan menangkis dengan tenaga dahsyat, juga suling itu dapat mengeluarkan suara melengking yang seolah-olah menusuk telinganya. Akan tetapi karena hati Ciang Bun sudah penuh kemarahan dan dendam, dia tak peduli akan kenyataan itu dan dia pun sudah menggerakkan sepasang pedangnya lagi, menyerang dengan dahsyat. Dan terjadilah perkelahian sengit di atas perahu kecil itu.

Pouw Kui Lok yang masih duduk di ujung perahu sambil memegang dayung, menjadi bingung melihat perkelahian seru di atas perahu kecil itu. Seperti juga Ganggananda, dia pun tak tahu harus berbuat apa. Bedanya, jika Ganggananda tidak tahu urusannya, dia sendiri sudah tahu dan karenanya tidak berani lancang mencampuri. Bukankah urusan antara suheng-nya dan keluarga Suma adalah urusan pribadi mereka? Perahu itu terguncang hebat dan dengan susah payah Kui Lok berusaha menahan dengan dayungnya agar perahu tidak sampai terguling.

Tingkat kepandaian Ciang Bun pada waktu itu sungguh tak dapat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Semenjak ayahnya sadar akan kekeliruannya, pendekar itu menggembleng Suma Hui dan Ciang Bun dengan tekun sehingga kedua orang anaknya itu memperoleh kemajuan pesat sekali.

Namun lawannya sekarang adalah Louw Tek Ciang yang bukan saja telah mengenal semua ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi di samping itu juga telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari para datuk Ngo-ok melalui gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Apalagi setelah selama tiga tahun dia digembleng oleh orang-orang sakti she Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Ciang Bun.

Maka, meski Ciang Bun menggerakkan siang-kiamnya dan menyerang dengan sengit, tetap saja Tek Ciang dapat menguasai keadaan. Dia mengenal jurus-jurus gerakan Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan Ciang Bun. Sebaliknya Ciang Bun sama sekali tidak mengenal ilmu serangan yang dimainkan dengan suling itu, yang penuh dengan totokan-totokan amat berbahaya. Ciang Bun terdesak hebat dan menjadi bingung.

Betapa pun juga, karena mereka berkelahi di atas perahu kecil yang terombang-ambing, tentu saja gerakan mereka tidak sempurna benar. Sebagian dari perhatian mereka dikerahkan untuk menjaga agar tubuh mereka jangan sampai terjungkal jatuh keluar perahu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Tek Ciang yang lebih unggul belum juga mampu merobohkan Ciang Bun yang melawan dengan gigih.

Karena maklum akan kelihaian lawan yang ternyata memiliki tenaga amat kuat dan dapat memainkan suling itu sedemikian aneh dan berbahaya, Ciang Bun memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya. Dua gulung sinar menyelimuti tubuhnya, merupakan perisai yang kokoh kuat dun sukar ditembus.

Tek Ciang menjadi penasaran sekali. Dia tahu bahwa kalau mereka berkelahi di darat, tentu tidak akan begitu sukar baginya untuk merobohkan pemuda ini. Perahu yang terombang-ambing dan miring ke sana-sini itu sungguh membuat gerakannya amat sukar dan tidak leluasa, bahkan besar bahayanya dia akan terkena senjata lawan yang selain lebih panjang juga berjumlah dua itu. Maka tiba-tiba dia lalu merendahkan tubuhnya, mengerahkan tenaga sakti Hoa-mo-kang, yaitu ilmu pukulan Katak Buduk yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok sebagai ilmu peninggalan mendiang Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok.

“Arrghhh....!” Suara yang menyerupai katak berkokok keluar dari perutnya dan tangan kirinya sudah mendorong ke depan, ke arah Ciang Bun.

Serangkum angin pukulan dahsyat yang mengandung bau amis sekali menyambar. Ciang Bun terkejut bukan main. Dia maklum akan datangnya pukulan jahat. Cepat dia miringkan tubuh untuk mengelak sambil meloncat, akan tetapi karena perahu miring, dia terpeleset. Sebelum dia mampu mengatur keseimbangan tubuhnya, suling di tangan Tek Ciang meluncur. Ciang Bun masih dapat melihat sinar kuning emas menyambar pusarnya dan dalam keadaan miring hampir jatuh itu dia merendahkan tubuhnya agar suling tidak mengenai tempat berbahaya. Dia mengerahkan sinkang untuk menerima suling yang kini menyambar ke arah perutnya.

“Dukkk!”

Sinkang dari Pulau Es memang hebat, membuat tubuhnya kebal, akan tetapi, totokan suling itu pun dahsyat sekali sehingga biar pun kulit perutnya tidak terluka, namun hawa pukulan kuat menembus dan mengguncangkan isi perut, membuat Ciang Bun menahan keluhannya karena rasa nyeri dan kepalanya pun pening. Sementara itu, kaki Tek Ciang masih menyusulkan tendangan.

“Bukk.... byuurrr....!” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ciang Bun terlempar keluar dari perahu dan menimpa air telaga.

“Ha-ha-ha-ha, mampus engkau sekarang!” Tek Ciang tertawa bergelak. Da baru sadar bahwa dia telah membiarkan perasaannya meliar ketika melihat pandang mata Kui Lok terbelalak ditujukan kepadanya.

Memang pemuda Kun-lun-pai itu terkejut dan ngeri melihat sikap Tek Ciang. Dia pun mengenal pukulan keji tadi dan kini melihat sikap Tek Ciang demikian kejam tertawa-tawa buas, dia terheran sampai terbelalak!

Tek Ciang sudah cepat menguasai dirinya, maklum bahwa dia telah tanpa disengaja memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya. Dia pun menghentikan tawanya, dan menarik napas panjang.

“Aihhh.... betapa tega hatiku melihat dia roboh. Pemuda itu lihai sekali dan tadi dia bersungguh-sungguh hendak membunuhku.” Ucapan ini agaknya untuk membela diri mengapa dia tadi kelihatan kejam.

Tiba-tiba dua orang itu terkejut bukan main. Perahu mereka tiba-tiba terguncang hebat dan miring, seperti ada yang membalikkannya dari bawah! Tentu saja Tek Ciang sama sekali tidak tahu bahwa biar pun sudah terkena pukulan dan tendangannya, namun Ciang Bun belum tewas dan begitu tubuhnya terlempar ke dalam air, pemuda ini bahkan menjadi semakin berbahaya! Dia tidak tahu bahwa Ciang Bun telah memiliki ilmu dalam air yang jarang tandingannya, berkat latihan yang diperolehnya dari keluarga di Pulau Nelayan.

Bagaikan seekor ikan, walau pun dirinya sudah terluka, Ciang Bun dapat menyelam, menyimpan sepasang pedangnya dan kini dia berusaha menggulingkan perahu yang ditumpangi Tek Ciang dan kawannya. Kalau sampai Tek Ciang dapat terlempar ke air, dia yakin akan dapat membunuh musuh besar itu!

“Hei, apa ini....?” Tek Ciang berseru kaget dan mengatur keseimbangan tubuhnya.

“Ada yang hendak menggulingkan perahu!” Kui Lok juga berseru kaget.

Mereka melongok ke bawah dan melihat kepala Ciang Bun nongol. Dengan marah Tek Ciang lalu memukul ke arah kepala itu, akan tetapi kepala itu menyelam dan lenyap. Kemudian perahu terguncang lagi dan tiba-tiba ada pedang menembus dasar perahu yang tentu saja menjadi bocor! Air memasuki perahu dari bawah!

“Celaka! Perahu bocor....!” seru Tek Ciang.

Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika ada pedang menyambar dari luar perahu. Kiranya, dengan kecepatan seperti ikan berenang Ciang Bun sudah muncul lagi dan langsung menyerangnya dari luar perahu. Tek Ciang cepat mengelak dan siap untuk melawan, namun tubuh Ciang Bun sudah lenyap menyelam lagi. Kini kembali terasa guncangan-guncangan dan perahu itu pun berlubang-lubang karena ditusuki dari bawah oleh Ciang Bun!

“Ahh, iblis itu pandai bermain di air!” kata pula Tek Ciang terbelalak kaget dan khawatir.

“Berbahaya! Kita harus pergi dari sini!” Pouw Kui Lok juga berseru kaget melihat betapa dengan cepat air memasuki perahu yang hampir tenggelam.

“Byarrrr....!”

Kembali perahu yang hampir tenggelam itu terguncang hebat, membuat kedua orang muda itu terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang menyambar pula, membabat ke arah kaki Tek Ciang. Pemuda ini cepat meloncat, akan tetapi pedang ke dua menusuk dan walau pun dia mengelak pula, tetap saja ujung pedang menyerempet pahanya. Celananya robek berikut kulit paha dan darahpun mengucur deras.

Pouw Kui Lok yang melihat bahaya mendadak menyambar tubuh suheng-nya yang pahanya terluka itu, membawanya melompat ke arah sebuah perahu lain yang datang mendekat. Perahu itu ditumpangi dua orang yang agaknya melihat keributan di situ menjadi tertarik. Terkejutlah mereka melihat betapa pemuda berpakaian hijau sambil memondong seorang pemuda lain yang terluka, tiba-tiba melompat ke perahu mereka. Bukan main hebatnya lompatan pemuda itu dan mereka mengeluarkan teriakan kaget ketika Kui Lok berhasil hinggap di atas perahu bersama suheng-nya.

Akan tetapi dengan mata terbelalak Tek Ciang dan Kui Lok melihat betapa Ciang Bun berenang dengan amat cepatnya menuju ke perahu itu. Bukan main cepatnya pemuda itu bergerak dalam air. Seperti seekor ikan saja.

“Ikan besar....!” Dua orang penumpang perahu yang masih belum hilang kagetnya itu pun kini melihat Ciang Bun dan mengira bahwa ada ikan besar hendak menyerang perahu mereka.

Kini Pouw Kui Lok merasa khawatir dan dengan sendirinya dia pun harus melindungi dirinya. Kalau perahu terbalik, tentu dia pun menjadi korban. Dia merasa ngeri ketika menyaksikan kehebatan gerakan pemuda tampan di dalam air itu sehingga dia tahu bahwa sekali mereka terjatuh ke air, tentu nyawa suheng-nya tidak akan tertolong lagi. Maka dia lalu menyambar sebatang dayung dalam perahu itu dan secepat kilat dia menggerakkan dayungnya menyerang ketika pemuda yang berenang seperti ikan itu mendekati perahu.

Ciang Bun sudah terluka. Perutnya terasa nyeri. Juga pahanya biru terkena tendangan Tek Ciang tadi. Akan tetapi dengan gigih dia menyerang terus, karena dia melihat satu-satunya kesempatan baginya untuk membalas semua sakit hati keluarganya terhadap iblis itu. Kalau dia mampu membuat Tek Ciang terlempar ke air, dia pasti akan dapat membunuhnya.

Maka, ketika melihat betapa pemuda teman Tek Ciang membawa Tek Ciang meloncat ke perahu lain, dia pun mengejar. Tak disangkanya pemuda teman iblis itu pun memiliki ginkang sedemikian baiknya sehingga dapat menolong Tek Ciang yang sudah terobek sedikit pahanya oleh pedangnya. Dan kini, tiba-tiba saja ada dayung menyambutnya dari atas perahu. Ciang Bun terpaksa mengangkat pedangnya menangkis.

“Tranggg....!”

Tubuh Ciang Bun tenggelam dan dia terkejut sekali. Tenaga hantaman dayung itu kuat bukan main! Kiranya teman Tek Ciang itu pun memiliki kepandaian tinggi. Ciang Bun diam-diam mengeluh. Makin tipis harapannya kalau teman iblis itu kini membantu Tek Ciang.

Dia muncul kembali dan kini bukan hanya sebuah dayung, melainkan ada dua buah dayung panjang menyambutnya sehingga terpaksa dia menyelam kembali. Kiranya kini Tek Ciang juga memegang sebatang dayung panjang dan bersama dengan Kui Lok berjaga di kedua ujung perahu.

“Lekas dayung perahu ke tepi!” Tek Ciang berkata kepada dua orang penumpang perahu yang masih ketakutan itu. Mereka tidak membantah dan mendayung dengan dayung pendek.

Sementara itu, Ciang Bun masih penasaran. Dia menyelam dan mencoba untuk menggulingkan perahu dari bawah. Akan tetapi selagi dia mengerahkan tenaga untuk menggulingkan perahu, dayung Tek Ciang menghantam punggungnya dengan cara diluncurkan. Ternyata Tek Ciang dapat melihat bayangan tubuhnya dalam air dan dari atas, iblis itu menusuknya dengan dayung yang mengenai punggungnya.

“Bukkk....!”

Hantaman itu tidak terlalu kuat karena tenaga hantaman sudah dilawan air, akan tetapi karena tenaga Tek Ciang memang besar, tetap saja Ciang Bun merasa nyeri sekali pada punggungnya. Kembali ada rasa muak dan bau amis membuat kepalanya terasa pening.

Dia tidak tahu bahwa yang paling hebat dideritanya adalah pukulan Hoa-mo-kang yang dilakukan Tek Ciang di atas perahu tadi. Pukulan itu tidak mengenai dengan tepat, tapi karena perut Ciang Bun terkena sodokan suling, membuat isi perutnya terguncang sehingga hawa beracun pukulan Hoa-mo-kang yang hanya menyerempet itu pun dapat menerjang dan meracuninya.

Menerima pukulan dengan dayung yang mengenai punggungnya itu membuat Ciang Bun merasa pening. Sejenak pandang matanya menjadi gelap. Antara sadar dan tidak sadar dia menggerakkan kaki tangannya menjauhi perahu karena kalau sampai dalam keadaan seperti itu dia diserang lagi, tentu dia akan celaka.

Dia masih dalam keadaan setengah pingsan terapung ketika tiba-tiba ada dua tangan yang kuat mencengkeram leher bajunya dan menariknya ke atas perahu. Dengan terengah-engah karena terlalu lama bertahan dalam air, Ciang Bun terguling ke dalam sebuah perahu kecil dan dengan pandang mata masih berkunang-kunang dia melihat wajah Ganggananda, sahabat barunya. Lega hatinya melihat sahabatnya ini dan kini dia pun dapat melepaskan pertahanannya untuk jatuh tak sadarkan diri lagi. Hanya dalam keadaan seperti itu saja semua rasa nyeri dan kecewa lenyap dari dirinya.

Ganggananda sejak tadi nonton perkelahian itu dan hatinya merasa amat khawatir ketika melihat Ciang Bun terlempar ke dalam air. Akan tetapi, dia pun terbelalak kagum melihat betapa Ciang Bun masih mampu membuat dua orang lawan dalam perahu itu kebingungan dengan cara menyerang perahu dari bawah. Pemuda keturunan penghuni Pulau Es itu sungguh hebat sekali! Kiranya memiliki ilmu di dalam air yang hebat pula.

Akan tetapi dia pun melihat betapa dua orang dalam perahu yang menjadi musuh besar Ciang Bun itu bukan orang-orang sembarangan. Mereka dapat menyelamatkan diri ke lain perahu, bahkan dapat memukul Ciang Bun dengan dayung. Tadinya dia merasa terkejut karena perahu itu didayung pergi dan tidak lagi nampak gerakan Ciang Bun dalam air. Celaka, pikirnya, agaknya Ciang Bun terkena pukulan dayung dan tenggelam ke dasar telaga!

Ganggananda mendayung perahunya mendekat dan akhirnya dia melihat tubuh Ciang Bun bergerak-gerak lemah di bawah permukaan air. Cepat dia lalu mendekatinya dan meraihnya, berhasil menangkapnya dan menariknya ke dalam perahu. Kini Ciang Bun rebah di dalam perahu, tidak nampak dari jauh dan dia pun dengan pengerahan tenaga sinkang, cepat mendayung perahu ke tepi yang berlawanan dengan tempat di mana dua orang musuh besar Ciang Bun tadi mendarat.

Begitu mendarat, Ganggananda cepat memondong tubuh Ciang Bun dan meloncat ke darat. Dia sengaja mendarat di bagian yang sunyi, di mana tidak terdapat pelancong karena bagian itu penuh dengan batu-batu koral dan semak-semak belukar. Pemuda remaja ini pun bukan seorang bodoh, sebaliknya, dia cerdik sekali.

Dia dapat menduga bahwa tentu dua orang musuh besar Ciang Bun itu tidak akan tinggal diam dan tentu mencurigai perahunya karena tadi mereka melihat Ciang Bun berperahu bersamanya. Maka dia pun mendarat di bagian yang berlawanan dan sunyi, dan begitu dia mendarat, dia memondong tubuh Ciang Bun yang masih pingsan itu dan melarikan diri.

Ketika dia menoleh, benar saja dugaannya. Dua bayangan orang mengejarnya dan biar pun mereka masih jauh dan tidak dapat melihat wajah mereka, namun dia yakin bahwa mereka itu tentulah dua orang musuh besar tadi. Hal ini dapat diketahui betapa seorang di antara mereka terpincang-pincang.

Memang dugaan Ganggananda itu benar. Begitu mendarat, Tek Ciang lalu mengobati lukanya sambil memperhatikan ke tengah telaga. Dia melihat perahu kecil di mana terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi teman berperahu Ciang Bun tadi. Kini perahu itu meluncur cepat ke daratan yang berlawanan.

“Hemm, mencurigakan. Agaknya perahu itu membawa Ciang Bun. Mari kita mengejar mereka.” Dan tanpa mempedulikan pahanya yang terluka, Tek Ciang lalu lari memutari telaga untuk mengejar, dibayangi oleh Pouw Kui Lok yang mengerutkan alisnya karena hatinya sungguh merasa kurang enak melihat bahwa dia terlibat dalam permusuhan itu.

“Lihat, benar saja! Itu pemuda cilik memondong dan melarikannya. Mari cepat!” teriak Tek Ciang saat melihat perahu itu mendarat dan Ganggananda meloncat keluar sambil memondong tubuh Ciang Bun.

Akan tetapi sekali ini, dua orang murid Lembah Naga Siluman itu kecelik. Pemuda remaja itu ternyata dapat berlari luar biasa cepatnya sehingga biar pun mereka sudah mengerahkan tenaga, pemuda remaja yang memondong Ciang Bun itu sebentar saja sudah berlari jauh seperti terbang cepatnya.

Tek Ciang membanting-banting kakinya yang tidak sakit ketika melihat pemuda itu lenyap. “Ahhh, kalau saja kakiku tidak terluka, tentu aku akan dapat menyusulnya!”

Akan tetapi Pouw Kui Lok menggelengkan kepalanya. “Suheng, apakah engkau tidak melihat kehebatan itu? Pemuda remaja itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, dan aku hampir percaya bahwa kepandaiannya dalam hal ginkang dan berlari cepat, lebih lihai dari pada suhu Cu Seng Bu sendiri!”

Tek Ciang cemberut, walau pun diam-diam dia juga terkejut menyaksikan kehebatan pemuda remaja itu yang ternyata dapat berlari sedemikian cepatnya walau pun sambil memondong tubuh orang yang jelas lebih berat dari pada tubuh pemuda itu sendiri. Dengan uring-uringan Tek Ciang terpaksa kembali ke rumah penginapan bersama sahabat atau sute-nya itu, untuk mengobati luka di pahanya yang pecah kembali karena dipakai berlari cepat tadi.

“Hemmm, kalau kakiku sudah sembuh, aku harus dapat mencari keparat itu untuk membuat perhitungan!” Dia mengomel di dalam kamar ketika mengobati lukanya.

Sejak tadi Pouw Kui Lok mengerutkan alisnya. “Suheng, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu, dan aku pun tidak ingin memberi pendapat karena sesungguhnya hal itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Mungkin saja keluarga Pulau Es memang congkak dan tinggi hati, akan tetapi hal itu pun tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Kepada mereka aku tidak mempunyai dendam, tidak ada urusan apa-apa antara aku dan mereka. Maka, aku tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan pribadimu, suheng.”

“Sute, lupakah engkau bahwa Suma Ceng Liong adalah murid Hek-i Mo-ong, seperti yang pernah kau ceritakan itu? Tidakkah sepatutnya engkau memusuhi keluarga Suma mengingat bahwa Ceng Liong juga musuhmu?”

Kui Lok menggelengkan kepalanya. “Seperti sudah kuceritakan kepadamu, suheng. Mendiang guruku, Yang I Cin-jin, tewas di tangan Hek-i Mo-ong dan kepada raja iblis itu sajalah aku mendendam dan aku bersumpah di depan mayat suhu untuk membalas kematiannya. Dan aku telah berhasil membunuh Hek-i Mo-ong. Suma Ceng Liong, biar pun murid iblis itu, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Kecuali kalau dia hendak membalaskan kematian Hek-i Mo-ong kepadaku, tentu saja akan kulawan. Sementara ini, aku menganggap urusanku dengan Hek-i Mo-ong sudah habis dan aku tidak ingin bermusuhan dengan Suma Ceng Liong.”

“Akan tetapi, selama keluarga itu masih ada, mereka akan selalu memusuhiku.”

“Hem, mengapa begitu, suheng?”

“Seperti sudah kuceritakan, Suma Kian Lee merasa menyesal telah mengambil aku sebagai mantu. Dia tentu hendak menjodohkan puterinya dengan orang lain, kabarnya dia telah memilih calon mantu yang dianggapnya sederajat, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong di kota raja....”

“Ahh, jenderal gagah perkasa yang terkenal itu, putera Pendekar Naga Gurun Pasir?” seru Kui Lok terbelalak karena pemuda ini pernah mendengar akan kebebatan jenderal muda ini.

Tek Ciang mengangguk dan tersenyum kecut. “Benar, keluarga itu menganggap bahwa Suma Hui, isteriku itu, lebih cocok menjadi isteri jenderal muda itu yang juga jatuh cinta kepada isteriku. Akan tetapi, karena perkawinan antara kami sudah disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, mana mungkin Suma Hui menikah dengan orang lain kalau aku masih hidup? Karena itulah, keluarga Suma menginginkan aku mati. Engkau sudah melihat sendiri betapa ganasnya adik isteriku tadi menyerangku.”

“Begitu jahatkah mereka?” Kui Lok mengerutkan alisnya dan hatinya merasa amat ragu. Keluarga Suma dari Pulau Es terkenal sebagai keluarga sakti yang berjiwa besar, bahkan siapakah tidak mengenal nama-nama hebat seperti Puteri Nirahai, Puteri Milana, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan lain-lainnya itu?

“Sute, kalau tidak mengalaminya sendiri tentu tidak percaya. Akan tetapi, kalau orang sudah tergila-gila akan kedudukan dan derajat, tentu mampu berbuat kejam. Aku dianggap penghalang kebahagiaan mereka, tentu saja mereka berdaya upaya agar aku lenyap dari muka bumi. Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus cepat mendahului mereka, dan pertama-tama Suma Ciang Bun yang sudah menyerangku tadi akan kucari dan kubunuh.”

“Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu, suheng, akan tetapi harap kau ingat pesan suhu. Kita bertugas untuk pergi ke Puncak Bukit Nelayan, mencari kemudian menantang Kam Hong sebagai wakil suhu, wakil Lembah Naga Siluman untuk mengadu ilmu dengan keluarga Suling Emas.”

“Hem, itu pun bukan urusan pribadi kita, sute.”

Kui Lok memandang suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehhh, bagaimana engkau dapat berkata demikian, suheng? Kita tahu bahwa para suhu di Lembah Naga Siluman mengambil kita sebagai murid, bukan hanya untuk mewarisi ilmu keluarga Cu, akan tetapi juga untuk mewakili Lembah Naga Siluman dalam menghadapi satu-satunya musuh atau saingan keluarga Cu, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong di Puncak Bukit Nelayan!”

Melihat ketegasan sikap Kui Lok, Tek Ciang merasa tidak enak kalau mengingkari hal itu. Memang para suhu di Lembah Naga Siluman sudah menekankan hal itu dan kini pun mereka diserahi tugas mewakili para suhu itu untuk menghadapi Kam Hong. Mengingkarinya berarti akan merupakan kemurtadan dan dia tentu akan dihadapi oleh Kui Lok dan keluarga Cu sebagai musuh pula. Sungguh tidak enak. Musuh-musuhnya sudah terlalu banyak dan mereka semua sakti, kalau ditambah lagi dengan keluarga Cu, sungguh berbahaya.

“Baiklah, sute. Aku terpaksa membiarkan Ciang Bun pergi. Mari kuturuti kehendakmu, kita pergi ke Puncak Bukit Nelayan. Akan tetapi setelah itu, maukah engkau berjanji untuk membantuku?”

“Suheng, urusan pribadimu seharusnya kau hadapi sendiri. Jangan kau melibatkan aku dalam urusan pribadimu. Akan tetapi kalau aku melihat engkau terancam bahaya, tentu aku akan turun tangan melindungi dan membantumu. Hal itu wajar, bukan?”

Tek Ciang tidak berani terlalu banyak cakap lagi. Dia khawatir kalau sute-nya ini mencurigainya dan dapat melihat rahasia di balik semua sikapnya. Dia tidak tahu bahwa memang Kui Lok sudah menjadi heran dan mulai menaruh curiga. Hari itu juga mereka meninggalkan kota raja, melanjutkan perjalanan menuju ke pegunungan Tai-hang-san untuk mencari Pendekar Kam Hong sebagai wakil keluarga Cu di Lembah Naga Siluman.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar