Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 41-45

Kho Ping Hoo, Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 41-45 “Di mana aku....?” Ciang Bun membuka mata dan mengeluh.
Anonim
“Di mana aku....?” Ciang Bun membuka mata dan mengeluh.

“Tenanglah, Ciang Bun, tenanglah. Engkau berada di rumah Gu-sinshe, seorang tabib kenamaan di kota raja.”

“Ohhh....!”

Ciang Bun teringat dan meraba dadanya. Dadanya terasa sesak dan perutnya mual. Muak rasanya bau amis itu dan dia menahan diri agar tidak muntah. Ganggananda duduk di dekatnya dan dia rebah di atas pembaringan.

“Bagaimana rasanya, Ciang Bun?” pemuda remaja itu bertanya dengan nada suara khawatir.

Ciang Bun teringat, memandang wajah tampan itu dan memaksa tersenyum. “Nanda, engkau seorang sahabat baru, namun ternyata engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu, adik Nanda.”

“Sudahlah, tak perlu bicara tentang hutang-pihutang. Yang penting sekarang ini adalah menyembuhkanmu dari luka dalam penuh hawa beracun itu.”

“Hawa beracun? Di tubuhku? Ahhh, aku merasa dada sebelah kanan kadang-kadang panas kadang-kadang dingin dan ada rasa muak, bau amis....”

“Itulah! Menurut Gu-sinshe, engkau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya.”

“Mana dia sekarang?”

“Dia sedang mengundang seorang hwesio tua ahli racun untuk datang memeriksamu.”

Ciang Bun merasa heran. Ia juga pernah mendengar nama Gu-sinshe sebagai seorang tabib yang pandai, bahkan kabarnya kadang-kadang tabib ini dipanggil ke istana kaisar untuk memberi pengobatan dan pemeriksaan. Bagaimana sekarang tabib itu demikian memperhatikan dia, bahkan mengundang seorang ahli untuk memeriksanya?

“Nanda, apakah engkau mengenal baik tabib itu sehingga dia mau memperhatikan aku seperti ini?”

Ganggananda tersenyum dan jantung Ciang Bun berdebar kencang. Dia pun terpaksa membuang muka karena senyum pemuda remaja itu seperti mencengkeram jantungnya dan membuatnya merasa aneh. Dia teringat bahwa beginilah perasaannya ketika dulu dia dicium oleh Liu Lee Siang ketika pemuda itu mengajarnya menolong orang yang tenggelam atau kecelakaan di air.

“Ciang Bun, aku bingung saat membawamu ke darat. Engkau pingsan terus dan segala usahaku untuk menyadarkanmu gagal. Maka terpaksa kau kubawa ke sini dan karena aku tahu bahwa seorang tabib terkenal tidak sembarangan mau mencurahkan perhatian kepada orang biasa, aku pun lalu berkata bahwa engkau adalah seorang anggota keluarga Suma dari Pulau Es. Benar saja dugaanku, mendengar ini dia tergopoh-gopoh memeriksamu dengan teliti, kemudian bahkan dia keluar untuk mengundang seorang hwesio kenalannya yang ahli tentang pukulan beracun.”

“Ahh....! Berapa lama aku pingsan?”

“Dua hari dua malam! Baru sekarang siuman, itu pun setelah diberi obat tusuk jarum dan macam-macam oleh Gu-sinshe. Nah, menurut pesan Gu-sinshe, jika engkau sudah sadar, aku harus menyuapimu dengan bubur encer ini. Makanlah.” Dan Ganggananda lalu menyuapkan sesendok bubur.

“Biar kumakan sendiri....!” Ciang Bun hendak bangun, akan tetapi kepalanya seperti terputar-putar rasanya sehingga dia harus memejamkan mata kembali dan terpaksa merebahkan diri lagi.

“Nah, jangan rewel, biar kusuapkan. Makanlah.”

Baru habis beberapa suap, Ciang Bun tidak mau lagi. “Rasanya semakin mual dan hendak muntah....”

Tiba-tiba seorang kakek masuk ke dalam kamar itu. Ciang Bun memandang dengan mata yang agak kabur. Seorang kakek berpakaian sasterawan yang tubuhnya jangkung kurus dan melihat pakaiannya dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu Gu-sinshe. Orang kedua adalah seorang hwesio gendut yang mukanya riang dan selalu tersenyum, matanya lebar dan tajam.

“Inikah Suma-taihiap yang terkena pukulan beracun?” kata hwesio itu. “Ahhh, untung taihiap memiliki tubuh yang kuat. Mudah-mudahan pinceng dapat menemukan racun apa yang sudah digunakan orang untuk memukul taihiap sehingga sahabatku ini dapat memberikan obatnya yang tepat.”

“Terima kasih, locianpwe....,” kata Ciang Bun.

Hwesio itu lalu membuka baju Ciang Bun, dibantu oleh Ganggananda. Dia kemudian memeriksa seluruh tubuh Ciang Bun bagian atas, memijat sana-sini, menepuk sana-sini dan berkali-kali dia menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Taihiap, bagai mana rasanya kalau sebelah sini kutekan seperti ini?” Dan hwesio itu menekan dada kanan.

Ciang Bun menggigit bibirnya. “Rasanya perih dan panas.”

“Dan taihiap mencium sesuatu?”

“Amis.... mau muntah....”

“Omitohud....! Tak salah lagi, taihiap terkena pukulan yang mengandung hawa racun katak buduk!”

“Ehh, apakah itu? Aku belum pernah mendengarnya, dan apa obatnya?”

Hwesio itu menggelengkan kepala. “Masih untung bahwa, seperti menurut ceritamu tadi, Sinshe, Suma-taihiap sudah diselamatkan oleh sahabatnya yang membawanya ke sini. Terlambat akan celaka. Dan kalau dalam waktu tiga hari dia tidak memperoleh obatnya yang tepat, kurasa tidak akan ada obat yang dapat menolongnya lagi.”

“Apakah obat itu? Dan di mana obat itu bisa aku dapatkan?” Ganggananda bertanya dengan lantang dan tak sabar.

“Obatnya hanya terdapat di tepi Sungai Huang-ho, akan tetapi pernah pinceng melihat katak buduk hitam di dalam rawa di sebelah utara kota raja yang serupa dengan katak-katak di Sungai Huang-ho itu. Katak buduk berkulit hitam yang matanya merah. Nah, kalau bisa didapatkan belasan ekor saja anak katak buduk itu, tentu Suma-taihiap ini akan dapat disembuhkan dari pengaruh racun pukulan Hoa-mo-kang.”

“Biar aku pergi mencarinya! Tunjukkan dan gambarkan di mana rawa itu, locianpwe.” kata Ganggananda.

Hwesio itu sejenak memandang wajah pemuda remaja itu dan menarik napas panjang. “Omitohud, anda seorang pemuda yang baik sekali dan amat setia kawan. Akan tetapi, rawa itu terlalu jauh. Dengan menunggang kuda yang paling cepat pun, belum tentu akan dapat dilakukan pulang pergi selama tiga hari. Belum lagi waktu mencari anak katak itu....”

“Tapi aku dapat melakukannya, locianpwe!” kata Ganggananda penuh semangat.

Gu-sinshe menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang putih jarang. “Bagai mana caranya, orang muda? Apa yang dapat berlari lebih cepat dari pada seekor kuda yang baik?”

“Aku dapat, Sinshe. Lariku lebih cepat dari kuda. Lekas gambarkan di mana rawa itu dan bagaimana aku harus mencari anak-anak katak itu dan aku akan segera lari ke sana.”

Dua orang kakek itu saling pandang dan menggerakkan pundak seolah-olah tidak percaya kepada Ganggananda akan tetapi karena tidak ada jalan lain, si hwesio lalu menggambarkan di mana letak rawa-rawa di sebelah utara di luar tembok kota raja itu. Ternyata tempat itu memang amat jauh, naik turun gunung dan sudah dekat dengan Tembok Besar. Sesudah memperoleh keterangan lengkap, Ganggananda merenggut buntalan pakaiannya.

“Aku pergi sekarang juga. Kau tunggulah aku, Ciang Bun!” Dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap dari dalam ruangan itu.

Mereka semua hanya melihat bayangan berkelebat lenyap seakan-akan pemuda itu dapat menghilang dan merubah dirinya menjadi asap. Saking heran dan kagumnya, dua orang kakek itu lari ke jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Dan mereka melihat sebuah titik hitam bergerak cepat jauh di depan dan sebentar saja lenyap. Mereka kembali saling pandang dan hwesio itu berbisik.

“Sinshe, hebat sekali orang muda itu, dan makin percayalah aku bahwa pendekar yang terluka itu memang benar keturunan para pendekar Pulau Es.”

Sementara itu, Ganggananda berlari cepat. Tidak mengherankan kalau dia dapat berlari secepat itu karena Ganggananda ini, seperti para pembaca tentu sudah dapat menduganya, adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri dari Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi!

Dara yang kini sudah berusia tujuh belas tahun ini memang suka sekali berkelana. Sudah sering ia meninggalkan Bhutan, menjelajahi hutan-hutan dan pegunungan di sekitarnya sehingga kadang-kadang orang tuanya menjadi gelisah dan mencari-carinya. Akan tetapi kesukaannya ini tidak pernah berkurang dan akhirnya, jalan satu-satunya untuk menenteramkan hati mereka, ayah dan ibu ini lalu menggembleng puteri mereka, menurunkan semua ilmu mereka agar puteri mereka menjadi seorang gadis yang tangguh dan cukup kuat untuk menjadi bekal pembela diri dalam perantauannya.

Wan Tek Hoat pendekar sakti yang di waktu mudanya pernah mempunyai julukan Si jari Maut mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang tinggi. Juga Syanti Dewi mengajarkan ilmu ginkang-nya yang hebat, yang dahulu dipelajarinya dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hwi.

Setelah menguasai banyak ilmu, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee pergi berangkat merantau menuju dunia timur (Tiongkok), yaitu negara tempat asal ayahnya. Sejak usia belasan tahun, ketika mulai gemar merantau, Hong Bwee suka menyamar sebagai pria dan ia memakai nama Ganggananda. Hal ini pun dianjurkan oleh orang tuanya yang berpendapat bahwa sebagai pria, tentu puteri mereka tidak terlalu banyak menghadapi gangguan di waktu melakukan perjalanan seorang diri.

Dari seorang kakek pemain sandiwara di istana Raja Bhutan, Hong Bwee juga sudah mempelajari cara berhias dan menyamar sebagai pria sehingga ia dapat membuat kulit mukanya nampak kasar. Bahkan ia dapat menambah alisnya menjadi tebal dengan alis tempelan namun sama sekali tidak kentara kepalsuannya.

Demikianlah, dengan bekal semua kepandaian ini, dara yang sejak kecil digembleng bu (ilmu silat) dan bun (ilmu sastera) oleh orang tuanya itu, berangkat merantau sampai ia bertemu dengan Ciang Bun. Selain dibekali kepandaian, juga ia fasih berbahasa Han walau pun agak asing terdengarnya, dan dia pun sudah banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang para tokoh dunia persilatan, baik para pendekar mau pun para datuk sesat. Hal ini perlu diketahui agar ia dapat bersikap hati-hati kalau bertemu dengan para tokoh itu.

Raja Bhutan sendiri dan para pembesar tadinya merasa tidak setuju dan tidak rela melihat Hong Bwee yang mereka sayang itu, sebagai seorang gadis dewasa, pergi merantau sendiri sejauh itu. Akan tetapi, Syanti Dewi dan Tek Hoat menenangkan hati mereka. Syanti Dewi mengingatkan bahwa dia sendiri pada waktu masih gadisnya juga meninggalkan Bhutan dan merantau ke timur. Ada pun Tek Hoat sendiri adalah seorang pendekar yang suka merantau, tentu saja tidak berkeberatan akan kesukaan puterinya.

Di samping itu juga, bagaimana akan dapat mencegah kehendak Hong Bwee? Anak ini memiliki kekerasan hati melebihi ibunya, tidak mungkin kehendaknya dihalangi. Tidak mungkin merantainya di rumah. Kalau dihalangi tentu gadis itu malah akan minggat dan hal ini jauh lebih buruk dari pada jika gadis itu berangkat merantau dengan restu orang tuanya.

Biar pun demikian, diam-diam Raja Bhutan mengutus beberapa orang pengawal pilihan untuk membayangi dan melindungi gadis itu. Sialnya, tidak ada seorang pun di antara para pengawal itu yang mampu menandingi kecepatan lari Hong Bwee sehingga dalam waktu beberapa hari saja mereka sudah kehilangan jejak dan tertinggal jauh. Terpaksa mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan mencari-cari karena mereka tidak tahu ke mana tujuan perjalanan gadis itu.

Demikianlah, dengan menyamar sebagai pria, Hong Bwee tiba di kota raja. Ia merasa gembira sekali melihat kota raja yang besar, megah dan indah itu, jauh lebih besar dan lebih indah dari pada kota raja Bhutan. Ketika ia bertemu dengan Suma Ciang Bun, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menarik perhatiannya. Baru dara ini mengerti bahwa ada suatu persamaan atau kemiripan pada diri pemuda ini dengan Ceng Liong sehingga menarik perhatiannya ketika ia mendengar bahwa Ciang Bun adalah saudara sepupu Ceng Liong.

Mendengar bahwa Suma Ciang Bun ialah saudara sepupu Ceng Liong, hatinya merasa hangat dan tertarik. Bagaimana pun, ada hubungan akrab antara ibunya dan keluarga Pulau Es sehingga ia merasa seperti bertemu sahabat lama atau sanak keluarga ketika berjumpa dengan Ciang Bun.

Kini ia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya berlari cepat untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu. Ia harus dapat mencari dan menemukan katak-katak buduk hitam dalam waktu tiga hari. Menurut perhitungannya setelah mendengar penjelasan hwesio ahli racun, kalau ia berlari cepat, dalam waktu sehari tentu ia akan dapat tiba di rawa yang dimaksudkan itu. Ia harus dapat menemukan obat itu. Ngeri ia membayangkan betapa pemuda yang tampan, pendiam dan halus lagi gagah perkasa dan pandai bersajak itu akan mati konyol keracunan.

Ilmu berlari cepat Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dari Wan Hong Bwee memang hebat sekali. Tubuhnya ringan dan ia dapat berlari bagaikan terbang saja, dan dalam waktu sehari lebih, hanya berhenti untuk makan roti bekal dan minum air, ia telah tiba di tepi rawa.

Akan tetapi, hari telah malam dan cuaca gelap sekali. Tak mungkin dapat mencari katak buduk pada waktu malam gelap itu. Menurut keterangan hwesio ahli racun, katak-katak buduk hitam itu berkeliaran di waktu malam mencari mangsa. Berbeda dari katak-katak biasa yang makan serangga biasa seperti semut, nyamuk dan sebagainya, katak buduk hitam mencari makanan serangga berbisa dan suka sekali makan binatang berbisa seperti kelabang, kalajengking, bahkan ular-ular kecil yang berbisa. Hebatnya, katak ini tidak takut terhadap ular besar!

Menurut hwesio itu, sukar menangkap anak-anak katak di waktu malam karena selain katak-katak besar itu berkeliaran, juga amat berbahaya menangkap katak besar. Anak anaknya di waktu malam bersembunyi di dalam goa-goa kecil atau celah-celah batu, sukar ditemukan. Waktu yang tepat untuk menangkap adalah pada pagi hari di waktu induk-induk katak memberi makan anak-anaknya di tepi rawa. Caranya adalah dengan memberinya makanan yang dimuntahkan dari perutnya.

Karena itulah, Hong Bwee lalu mencari tempat yang kering dan enak untuk melewatkan malam, tak jauh dari rawa itu. Ia mengumpulkan rumput kering, menumpuknya di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mencari kayu kering dan membuat api unggun, bukan untuk melawan dingin karena tubuhnya yang terlatih itu mampu menahan hawa dingin mau pun panas, melainkan untuk mengusir nyamuk. Memang ia dapat melindungi tubuhnya dari gigitan nyamuk, akan tetapi bunyi nyamuk di sekitar telinga sungguh amat mengganggu dan membuatnya tidak dapat mengaso enak. Api unggun akan membuat nyamuk-nyamuk itu menjauhkan diri karena panas dan asap.

Akan tetapi, baru saja api unggun itu jadi, tiba-tiba ada angin menyambar kuat dan nyala api itu padam! Padamnya api membuat bara api pada kayu-kayu itu mengeluarkan asap yang memedihkan mata. Akan tetapi Hong Bwee segera maklum bahwa angin yang menyambar tadi bukanlah angin biasa, melainkan angin pukulan yang datangnya dari arah kiri, maka ia terkejut sekali dan cepat meloncat ke arah tempat itu. Dan benar saja, di dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh jutaan bintang di langit, ia melihat sesosok tubuh seorang wanita tua yang agak bongkok.

“Engkaukah yang tadi memadamkan api unggunku?” tanya Hong Bwee ragu-ragu karena ia tidak tahu pasti apakah benar nenek bongkok ini yang memadamkan api dari jauh menggunakan angin pukulannya.

Nenek itu agaknya melihat kelincahan Hong Bwee ketika meloncat, maka ia pun berkata dengan suara membela diri, “Api itu akan menakutkan ular dan katak!”

Disebutnya katak membuat hati dara ini tertarik sekali. Ia mendekat, namun sikapnya waspada dan ternyata nenek itu menyembunyikan sebuah teng (lampu minyak) yang tertutup kertas tipis merah sehingga lampu itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang cukup menerangi wajah nenek itu ketika ia mengeluarkan lampu dari balik tubuhnya. Kini Hong Bwee dapat melihat bahwa biar pun tubuhnya agak bongkok, ternyata wajah nenek ini menunjukkan tanda-tanda bahwa dahulu di waktu muda ia tentu memiliki wajah yang cantik. Juga pakaiannya bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi.

“Nenek yang baik, apa maksudmu dengan ular dan katak?”

“Hi-hik,” nenek itu terkekeh. “Engkau melakukan perjalanan seorang diri dan berani tidur di tepi rawa, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi pernahkah engkau melihat betapa ular besar dibunuh seekor katak? Aku sedang mengintai seekor ular besar dan tiba-tiba engkau di sini membuat api unggun. Tentu saja ular dan kataknya akan ketakutan dan mana mungkin aku dapat menangkap ular itu?”

“Ahh, maafkan aku, nek. Aku ingin sekali melihat engkau menangkap ular.”

Hati Hong Bwee tertarik sekali karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang kang-ouw yang aneh dan berkepandaian tinggi. Hal ini terbukti dari keanehan sikap, bicara dan perbuatannya seperti ketika dia memadamkan api unggun tadi.

“Kau mau nonton? Heh-heh-heh, boleh sekali. Mari ikut aku.” Nenek itu membalikkan tubuhnya dan berjalan berindap-indap. Hong Bwee yang merasa tertarik sekali segera mendekati dan berjalan di dekat nenek itu.

“Engkau melarang aku membuat api unggun, akan tetapi engkau sendiri membawa lentera, apakah sinar lenteramu itu tidak akan menakutkan ular dan katak?”

“Heh-heh-heh, lentera ini merah, tidak akan menakutkan mereka. Sssttt.... sekarang diamlah....”

Nenek itu mendekati batu-batu besar di mana terdapat celah-celah dan ia mengeluarkan sebuah kantung hitam dari punggunguya, di mana tergantung buntalan besar. Kantong ini bergerak-gerak, tanda bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang bernyawa. Ketika nenek itu meneteskan arak dari sebuah guci ke mulut kantong hitam, terdengarlah bunyi “kok-kok-kok” keras sekali sehingga mengejutkan hati Hong Bwee.

Akan tetapi karena nenek ini sudah memberi tahu agar diam, Hong Bwee tidak berani membuka mulut, hanya memandang penuh perhatian. Ia menujukan pandang matanya ke arah mata nenek itu memandang, yaitu ke arah sebuah celah besar di antara batu-batu hitam.

Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi berdesis, mula-mula perlahan, makin lama semakin nyaring dan akhirnya dari celah-celah batu itu tersembul keluar sebuah kepala ular yang besarnya sekepalan tangan. Kembali nenek itu meneteskan arak dan kembali terdengar suara “kok-kok-kok” berkali-kali. Agaknya suara inilah yang menarik perhatian ular itu. Binatang itu kini keluar dari dalam celah batu dan ternyata tubuhnya sebesar betis orang dan panjangnya ada enam tujuh kaki! Seekor ular kembang yang besar dan agaknya lapar.

Dengan tangan kanannya, nenek itu memungut sebuah batu dan sekali tangan terayun, batu itu meluncur dan memasuki celah tadi, menutupnya. Bidikannya demikian tepat sehingga kembali Hong Bwee menyadari bahwa nenek ini memang lihai. Dan kini nenek itu membuka mulut kantong hitam dan melemparkan isinya ke arah sang ular.

Kiranya isi kantong itu adalah seekor katak buduk hitam yang besarnya tiga empat kali katak biasa. Akan tetapi dibandingkan dengan ular itu, katak ini tentu saja amat kecil dan sekali caplok tentu ular itu akan dapat melahapnya. Lemparan nenek itu tepat pula. Katak terlempar dan terbanting ke atas kepala ular, membuat kedua binatang itu terkejut dan segera bersiap siaga ketika saling berhadapan. Agaknya sang ular menganggap bahwa ia memperoleh mangsa, sebaliknya katak itu merasa berhadapan dengan seekor binatang yang menjadi musuh besarnya.

Hong Bwee semakin tertarik. Ia tahu bahwa katak adalah satu di antara binatang yang menjadi makanan ular. Akan tetapi ia sudah mendengar dari hwesio itu bahwa katak buduk hitam demikian berbahaya dan lihainya sehingga berani melawan seekor ular besar. Agaknya kini secara kebetulan ia akan menyaksikan pertunjukan yang tak masuk akal itu.

Ular itu memandang dengan mata beringas, mengangkat kepalanya dan mendesis-desis, agaknya marah melihat sikap katak yang menantang. Memang katak itu bersikap menantang, tubuhnya merendah, perutnya menempel tanah dan dari lehernya keluar bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali. Semua ini dapat dilihat jelas oleh Hong Bwee, di bawah cahaya lentera merah yang agaknya tidak mengganggu kedua ekor binatang yang sedang berlagak itu.

Tiba-tiba ular itu menyerang. Kepala yang diangkat itu bergerak meluncur ke depan dengan moncong terbuka, siap untuk mencaplok. Akan tetapi katak itu pun tiba-tiba menggunakan kaki belakangnya yang besar dan kuat, mengenjot tubuhnya menubruk ke depan, menyambut kepala ular dari samping dengan tak kalah cepat dan kuatnya.

“Plokkk!”

Tubuh bagian atas ular itu terpental dan ular itu kembali mengangkat kepala dan leher, menggoyang-goyang kepala seperti mengusir rasa pening. Lalu dia mendesis dan menyerang lagi. Kepalanya meluncur ke depan dengan moncong dibuka lebar hendak mencaplok ke arah katak. Katak itu meloncat ke samping mengelak dan tiba-tiba saja ia sudah melompat ke atas kepala ular itu dan menggigitnya.

“Bagus!” Ganggananda memuji kagum.

Akan tetapi ketika ular itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk melepaskan diri dari terkaman katak tanpa hasil, ia menggerakkan ekornya menghantam dari atas ke arah katak di kepalanya. Katak itu amat cekatan dan cerdik sekali, cepat mengelak dengan lompatan ke bawah.

“Tarrr!”

Ekor ular itu melecut kepalanya sendiri! Kepalanya sudah terluka oleh gigitan katak, kini masih dicambuknya sendiri membuat binatang itu merasa kesakitan dan makin marah. Ia pun menyerang lagi dengan ganasnya. Serangan ini disambut oleh katak buduk hitam dengan suara “kok-kok-kok!” dari mulutnya dan keluarlah uap hitam disemburkan ke depan.

Agaknya sang ular kebal terhadap racun katak, akan tetapi matanya terkena uap hitam, sehingga menjadi nyeri dan ia pun menggoyang kepala dengan gelisah. Kesempatan ini digunakan oleh katak hitam untuk meloncat dan menerkam lagi kepala ular, menggigit tengkuk yang agaknya menjadi sumber utama kekuatan ular. Ular itu mencoba untuk melepaskan diri dari gigitan. Akan tetapi tenaganya semakin lemah dan tubuhnya berkelojotan.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangannya dan kantong hitamnya sudah menubruk katak dan kepala ular. Sekali tangan kirinya dibacokkan miring ke arah leher ular, terdengar suara keras dan leher itu pun hancur dan putus! Dan kini kepala ular dan katak itu sudah masuk kantong yang mulutnya cepat diikatnya kembali. Katak buduk hitam bergerak-gerak di dalam kantong, lalu terdengar suara katak berkokok disusul suara berkerotokan seolah-olah katak itu sedang menggerogoti tulang kepala ular. Ganggananda bergidik ngeri.

Nenek itu menyimpan kantongnya dalam buntalan, lalu menusuk ekor bangkai ular dengan kayu yang ditancapkan pada akar pohon. Direntangnya bangkai itu dan ia pun merobek perut ular menggunakan kuku jari telunjuknya dan semua isi perut ular itu pun dikeluarkan. Ganggananda memandang heran.

Nenek itu mengangkat muka memandang dan terkekeh. “Apakah engkau tidak merasa lapar, orang muda?”

“Kalau lapar mengapa, nek?” Ganggananda bertanya, tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.

“Hi-hik, orang muda yang bodoh. Ular ini adalah ular kembang. Dagingnya gurih dan manis, pula menguatkan otot-otot kaki, berguna bagi perantau-perantau seperti kita yang suka berjalan kaki dan melakukan perjalanan jauh. Nah, sekarang buatlah api unggun, biar kupanggang daging ini dan nanti kita makan sambil bercakap-cakap.”

Ganggananda dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang luar biasa dan berilmu tinggi, dan yang dia yakin tentu tahu banyak tentang katak buduk hitam yang amat dibutuhkan itu. Maka dia pun tidak mau membantah. Nenek ini harus dibaiki, pikirnya, sehingga dia tentu dapat mengharapkan bantuan nenek ini untuk memperoleh obat bagi Ciang Bun.

Segera dia membuat api unggun yang cukup besar, bahkan membantu nenek itu ketika mulai memanggang daging ular yang sudah dikuliti dan dipotong-potong itu. Ternyata dagingnya putih bersih dan ketika dipanggang terciumlah bau sedap, apalagi karena nenek itu agaknya sudah membawa bekal bumbu. Terciumlah bawang dan garam yang membuat daging itu berbau sedap.

Ketika nenek itu mengajak Ganggananda makan, gadis yang menyamar pemuda ini pun tidak menolak. Dan ternyata bahwa memang daging ular panggang itu lezat sekali! Nenek itu pun mengeluarkan seguci arak sehingga lengkaplah kini hidangan mereka. Tanpa banyak cakap mereka makan dan nenek itu lahap sekali. Daging panggang itu diganyangnya panas-panas.

Setelah daging ular itu habis, barulah nenek itu bicara. “Orang muda, engkau seorang diri saja di tempat sunyi yang amat berbahaya ini, sebetulnya bermaksud apakah?”

“Nenek yang baik, memang ada kepentingan yang amat mendesak sehingga aku berada di tepi rawa ini, dan pertemuanku denganmu ini sungguh menggembirakan karena aku yakin bahwa engkau akan dapat membantuku sehingga aku akan berhasil dalam tugasku.”

Nenek itu mengerutkan alisnya dan terkena cahaya api unggun, wajahnya nampak kemerahan. Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan, bahkan sebaliknya, wajah itu jelas membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. “Kepentingan? Tugas? Tugas apakah itu yang membawamu ke tepi rawa ini?”

“Aku harus mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang....”

“Ihh! Su-ok sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?”

“Entahlah. Pokoknya, seorang sahabat baikku sudah terkena pukulan itu dan menurut keterangan tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini.”

“Katak buduk hitam?”

“Benar, nek, karena itu aku mengharapkan bantuanmu.”

“Engkau takkan berhasil!”

“Kenapa tidak? Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap anak-anak katak di tepi rawa, ketika sedang diberi makan induknya.”

“Hi-hik, engkau tolol!”

Ganggananda mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan kemarahannya. “Hemm, mungkin juga, akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol? Dalam hal apa?”

“Engkau takkan berhasil, tidak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat anak-anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena sekarang belum waktunya katak-katak itu bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan engkau takkan mampu menangkap mereka.”

“Ahh....!” Ganggananda terkejut dan bingung, mukanya berubah pucat. “Lalu bagaimana baiknya? Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu, nek.”

“Mengobati pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan manjur sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempunyai pel-pel racun katak buduk yang jauh lebih mudah ditelan, juga hanya menelan berturut-turut tiga butir saja sudah akan menyembuhkan, tak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk diminumkan airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak.”

“Nenek yang baik, kau tolonglah aku. Tolonglah sahabatku itu dan aku mohon kau suka memberi pel-pel itu kepadaku.”

Nenek itu memandang tajam. “Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada syarat-syaratnya, orang muda.”

“Apa syarat-syarat itu, nek?”

“Pertama, engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku menghadapi musuh besarku.”

Ganggananda mengerutkan alisnya. Menandingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. “Nek, untuk menghadapi musuh bersama, aku mau membantu asal kau katakan terlebih dulu mengapa engkau memusuhinya. Akan tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?”

“Heh-heh, kalau mengalahkan aku saja engkau tidak mampu, lalu apa perlunya engkau membantuku? Musuhku itu jauh lebih lihai dari pada aku. Kalau aku sendiri mampu mengalahkannya, apa perlunya minta bantuan orang lain?”

“Ah, begitukah?” Jantung Ganggananda berdebar tegang.

Nenek ini saja dia duga tentu sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah, tugasnya sungguh tidak ringan. “Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengira bahwa aku memiliki kepandaian silat, nek? Aku hanya seorang perantau yang tidak berilmu, mana bisa menandingimu?”

“Heh-heh, orang muda, jangan engkau mencoba untuk membodohi aku. Seorang muda seperti engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi berani bermalam di tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas mencari katak buduk hitam, mana mungkin berani kalau tidak memiliki kepandaian lihai?”

“Mungkin aku pernah melakukan sedikit latihan silat, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingimu? Engkau yang selihai ini saja tak mampu mengalahkan musuh besarmu itu, apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel obat itu kepadaku dan hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang dari cengkeraman maut.”

“Enak saja kau bicara. Orang hidup harus saling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah karena dia memiliki ginkang yang amat tinggi. Dia terlampau cepat bagiku.”

“Ginkang?” Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. “Jadi aku harus memiliki ginkang yang lebih tinggi darinya?”

“Setidaknya, harus setingkat agar engkau mampu membantuku.”

Ganggananda mengangguk. “Baiklah, nek, aku hendak mencoba. Bagaimana kalau kita berlomba memetik bunga putih di puncak pohon di depan itu?”

Biar pun malam itu hanya diterangi sinar bintang-bintang yang remang-remang, akan tetapi bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat karena menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.

Nenek itu mengangkat muka memandang. “Setinggi itu? Kita berlomba memanjat dan memetiknya?”

“Dengan ginkang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke cabang.”

“Baik, nah, mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba.” Nenek itu berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda ini sanggup bertanding ginkang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi yang boleh diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil menghadapi lawannya yang tangguh.

Mereka berdiri dan nenek itu menghitung “Satu.... dua.... tiga....!”

Dan melesatlah tubuh nenek itu ke depan karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloncat dan berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu ia melihat pemuda itu sudah tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu.

Ketika ia melihat betapa tubuh pemuda itu berloncatan tinggi sekali, kemudian seperti burung terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklumlah dia bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat. Maka ia pun tidak melanjutkan larinya, melainkan menonton saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan cepat sekali telah memetik bunga, lalu dari atas meloncat turun, bahkan melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi ke atas tanah, hinggap di tanah sedemikian ringannya bagai sehelai daun kering melayang, kemudian melesat ke dekat api unggun kembali.

“Hebat.... engkau telah mengalahkan aku....!” Nenek itu berkata sambil berlari menyusul. Wajahnya berseri gembira. “Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu akan dapat mengalahkan ginkang-nya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau aku sudah berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak buduk hitam untuk menyembuhkan sahabatmu.”

“Nanti dulu, nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain begitu saja. Aku hanya mau membantu orang tertindas, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu itu dan kenapa engkau hendak membunuhnya?”

“Aha, ternyata engkau berjiwa pendekar, ya? Bagus, memang aku mencari bantuan dari pendekar, bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu maka engkau dapat memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya?”

“Namaku Ganggananda, nek.”

“Ha, orang Nepal?”

“Bukan, orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah bundaku sendiri,” kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia tidak suka banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa ia adalah keluarga Raja Bhutan. “Sekarang ceritakanlah, nek, agar supaya aku dapat mengambil keputusan apakah aku akan membantumu atau tidak.”

“Baik, dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika usiaku baru tiga puluh tahun lebih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di selatan. Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertamu di rumah kami. Dia amat tampan dan gagah, pandai merayu dan aku pun jatuh oleh rayuannya.”

Nenek itu menarik napas panjang dan Ganggananda memandang penuh perhatian, merasa tertarik sekali. Tak disangkanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang demikian romantis, akan tetapi juga penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada sahabat suaminya sendiri?

“Aku jatuh hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga aku pun rela menyerahkan diri kepadanya, menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini diketahui oleh suamiku. Kami tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu diserangnya. Terjadilah perkelahian seru. Ilmu kepandaian sahabat itu amat tinggi dan kalau dia mau, dengan mudah dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan tetapi sahabat itu juga seorang pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka dia pun hanya melindungi diri saja tanpa mau membalas. Melihat ini, aku berpikir. Kalau sampai aku harus kembali pada suamiku, tentu suamiku akan membenciku, bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan aku. Sudah kepalang bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku. Maka aku pun membantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan tewas oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku dapat terlepas dari suamiku dan selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu.”

Ganggananda mengerutkan alisnya. “Ahhh, engkau kejam terhadap suamimu, nek,” celanya.

“Tidak, bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku. Dan aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan aku pun bukan turun tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu, terutama sekali untuk membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku, juga membuka mata kekasihku agar dia tahu bahwa aku bersedia membantunya dan ikut dengannya. Akan tetapi terjadi kesalahan tangan sehingga suamiku roboh dan tewas.”

“Hemm, lalu bagaimana?” Ganggananda bertanya tidak puas. Dia sudah memperoleh gambaran bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak baik! “Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?”

Nenek itu mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. “Itulah yang membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuhnya! Dia menolakku. Dia merasa menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia bahkan menyalahkan aku, memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!”

Diam-diam Ganggananda mentertawakan nenek itu dan dalam hatinya berbisik, “Puas! Rasakan engkau!” akan tetapi mulutnya diam saja.

“Aku telah memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menerimaku dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku memperdalam ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya kekasihku itu yang belum kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Kemudian aku mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal sebagai tukang mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya dan kepandaiannya yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita, tidak peduli masih gadis, isteri orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu ternyata adalah seorang perayu dan lelaki gila perempuan!”

Ganggananda tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya sudah merasa semakin tidak suka kepada laki-laki itu. Kini dia pun dapat membayangkan bahwa bukan semata kesalahan nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi terutama karena pandainya orang she Bu itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah tergelincir.

“Aku berusaha menemuinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku hidup sebatang kara setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dia satu-satunya orang yang menjadi harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku bahkan berusaha untuk menyerangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya.”

Ganggananda merasa bingung. Dia merasa tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.

“Puluhan tahun aku menekan dendam ini. Aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan belajar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku bisa mengimbangi tingkat musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam ginkang sehingga masih sukarlah bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuanmu.”

“Hemm, tidak begitu mudah, nek. Aku hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengobati sahabatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Tinggal dua hari lagi. Kalau terlambat, sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari saja, karena pada hari ke tiga harus kupergunakan untuk berlari cepat kembali ke kota raja.”

“Cukup, engkau tidak akan terlambat kalau sekarang juga kita berangkat. Kebetulan musuhku itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang melakukan perjalanan dan si bedebah itu membawa ketiga orang isterinya!”

“Tiga....?”

“Itu yang resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang ditinggalkan begitu saja seperti aku. Mereka itu tidak berdaya menuntut, tidak mampu melawan. Dan sampai sekarang pun, si tua bangka itu masih saja suka merayu dan mempermainkan wanita-wanita muda.”

“Dia tentu sudah tua sekali!”

“Sedikitnya enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan. Marilah, mari kita berangkat. Pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di tempatnya.”

“Tapi obat itu....”

Nenek itu mengeluarkan tiga butir pel dari dalam sebuah botol. “Inilah obatnya, akan tetapi kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!” Dan nenek itu pun sudah lari meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada Ganggananda untuk membantah lagi.

Dara yang menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk bisa menyelamatkan nyawa Ciang Bun adalah nenek itu. Dia pun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat, berlari mengejar. Karena memang ginkang dari Ganggananda amat hebat, sebentar saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perjalanan itu melalui tanah datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya.

Kini perjalanan mendaki dan agak sukar, dan karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang, cuaca suram muram, maka perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Ganggananda untuk mencari keterangan lebih lanjut.

Nenek itu memperkenalkan diri sebagai Gan Cui. Akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan Bu-taihiap, ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap adalah seorang laki-laki yang gila perempuan.

Kalau saja Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan terkejut sekali karena Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi. Didalam Kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’ banyak diceritakan tentang pendekar ini.

Bu-taihiap bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal sebagai seorang pria yang ganteng, tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita. Memang dia romantis sekali, dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang mau melepaskan kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik. Entah berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya.

Bahkan isterinya pun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, karena nyonya ini tadinya adalah isteri seorang di antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu bertemu dengan Bu-taihiap, nyonya ini pun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya ini pun mencari Bu-taihiap dan ikut mendampinginya.

Ada pula yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah jatuh pula ini pun mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang wanita Nepal, bukan sembarang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal. Tiga orang isteri yang mendampinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Nenek Gan Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya, kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan jika nenek itu tidak pernah berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap tinggal di Puncak Merak Emas di Pegunungan Himalaya, kini ia lebih suka merantau di seluruh daratan bersama tiga orang isterinya. Karena mereka kini sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka kalau mereka memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu untuk sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.

Dan pada waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan pohon bunga yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat ini Bu-taihiap membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa buah kamar untuk dirinya dan tiga orang isterinya.....

“Nenek Gan, engkau sendiri yang begini pandai tidak mampu mengalahkan Bu-taihiap, lalu bagaimana seorang muda seperti aku akan mampu mengalahkannya. Aku harus tahu diri, dan kalau aku disuruh menghadapi seorang yang ilmunya jauh lebih tinggi dariku, bukaukah itu berarti aku akan mati konyol dan akan bunuh diri?”

“Heh-heh, aku tidak setolol itu. Aku sudah mengenal wataknya. Selain mata keranjang, manusia she Bu itu pun tinggi hati dan angkuh sekali. Dia tidak pernah mau kalah dalam ilmu kepandaian bu. Maka, aku akan menemuinya dan menantang kepadanya untuk mengadu ilmu ginkang. Karena ilmu itu merupakan andalan dan kebanggaannya, tentu dia dengan girang menerimanya dan aku akan mengajukan engkau sebagai jagoku. Dan kalau dia sampai kalah, heh-heh, selain dia harus memenuhi janji, juga dia akan malu setengah mati. Dia, Bu-taihiap jagoan terkenal itu, jagoan perempuan, akhirnya harus mengaku kalah oleh seorang wanita!”

Ganggananda terkejut sekali dan cepat ia agak menjauh dan menghentikan langkah, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, nek?”

“Hi-hik, antara kita sama-sama wanita, tentu engkau berpihak padaku dari pada laki-laki gila perempuan itu, bukan?”

“Bagaimana engkau bisa tahu, nek?” Ganggananda bertanya penasaran.

Selama ini, penyamarannya dapat dibilang sempurna sehingga belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya sebagai wanita. Akan tetapi nenek ini yang sejak tadi tidak memperlihatkan sikap bahwa ia tahu akan keadaan dirinya, menyebutnya orang muda, bagaimana tiba-tiba kini mengatakan bahwa ia seorang wanita?

“Ah, apa sukarnya bagiku! Penyamaranmu memang baik dan engkau seorang ahli pula dalam hal itu. Akan tetapi terhadap ketajaman penciumanku, mana mungkin engkau mampu menyembunyikan atau merubah bau khas seorang wanita? Dengan ketajaman hidungku, aku dapat mencium bau binatang-binatang berbisa dari jarak jauh. Ular itu pun dapat kucium walau pun dia bersembunyi di dalam lubang, bukan? Dan semenjak pertemuan pertama, baumu sebagai wanita sudah pula tercium olehku. Dan karena engkau seorang wanita pulalah yang mendorongku untuk minta bantuanmu. Wanita mana pun akan membenci pria yang suka mempermainkan wanita.”

Ganggananda atau Gangga Dewi atau yang biasa disebut Gangga saja, menarik napas panjang dan diam-diam dara ini kagum terhadap nenek yang selain lihai juga memiliki ketajaman penciuman yang istimewa itu. “Engkau benar, nek. Aku adalah seorang gadis. Akan tetapi merantau seorang diri dalam dunia yang begini kotor dan penuh dengan orang jahat....”

“Memang tepat menyamar sebagai pria agar lebih aman, apalagi kalau bertemu dengan laki-laki jahat dan gila perempuan macam Bu-taihiap, sungguh tidak aman sekali bagi seorang wanita yang muda lagi cantik seperti engkau.”

Pada keesokan harinya, ketika matahari telah menyinari permukaan bumi, membuat bayangan panjang dan masih lemah, tibalah nenek Gan Cui dan Gangga di depan sebuah pondok kayu yang berada di tanah datar puncak bukit itu. Rumah itu terpencil, sederhana dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi namun indah. Memang indah pemandangan alam di tempat itu.

Dari puncak ini nampak bumi terhampar luas, sinar matahari tak terhalang apa pun dan tanah di puncak itu sendiri amat subur, penuh dengan tanaman bunga dan tanaman obat. Akan tetapi tidak nampak seorang pun manusia, seolah-olah pondok itu kosong. Hal ini mulai dikhawatirkan Gangga. Kalau pondok itu kosong, berarti usaha mereka gagal dan bagaimana nenek itu akan mau memberikan obat yang amat dibutuhkan Ciang Bun? Akan tetapi, nenek itu tidak nampak khawatir seperti Gangga. Ia kelihatan tegang dan siap, maju menghampiri pondok dari depan.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang muncul dari sebelah kiri pondok dan ternyata ia adalah seorang nenek yang usianya tentu sudah lima puluh lima tahun kurang lebih, namun masih nampak bekas kecantikannya. Nenek ini memakai pakaian mewah, tubuhnya masih ramping dan padat dan gerakannya gesit. Wajahnya yang cantik dan terawat baik itu membayangkan kegalakan dengan sinar matanya yang tajam.

Sebatang pedang yang tergantung di punggungnya menandakan bahwa nenek ini adalah seorang ahli silat dan hal ini pun kentara dari gerakannya ketika berkelebat datang tadi. Kini ia sudah berdiri di depan Gan Cui dan Gangga, sejenak memandang tajam penuh selidik, kemudian tersenyum mengejek menatap wajah nenek Gan Cui.

“Hemm, perempuan tak tahu malu. Engkau masih berani merangkak datang lagi setelah berkali-kali kalah oleh suamiku?” kata wanita itu dengan suara mengejek.

Wanita ini adalah seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap dan dialah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Ia adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, janda tokoh keluarga Lu yang tergila-gila kepada Bu-taihiap dan kini menjadi seorang di antara isteri-isterinya yang selalu mendampingi pendekar petualang asmara itu.

Disambut dengan ucapan keras itu, nenek Gan Cui tetap tenang saja. Agaknya ia tidak mau ribut dengan para isteri Bu-taihiap karena urusannya adalah urusan pribadi, antara ia dan pendekar itu sendiri. Kalau sampai ia melibatkan isteri-isterinya, terlalu berat dan berbahaya baginya, karena ia pun maklum betapa lihainya para isteri Bu-taihiap. Maka, ia pun hanya memandang tajam dan berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan orang she Bu. Dan sekali ini aku tidak akan gagal.”

“Kami sudah tahu akan kedatanganmu dan kami sudah siap menyambutmu. Marilah masuk dan langsung saja ke ruangan belakang di mana suami kami telah menantimu,” kata nyonya itu yang segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondok.

Nenek Gan Cui mengikutinya tanpa ragu-ragu, sedikit pun tidak kelihatan takut, padahal Gangga mempunyai perasaan seperti memasuki goa naga atau sarang harimau. Bagai mana takkan merasa ngeri memasuki rumah orang yang dianggap musuh? Dan melihat sikap gagah nyonya rumah itu, ia pun merasa semakin ngeri. Ia sudah dapat menduga, dari langkah kaki nyonya tua itu, bahwa nyonya itu tentu lihai sekali, apalagi telah berani bersikap memandang rendah seperti itu terhadap seorang nenek seperti Gan Cui.

Ruangan belakang itu ternyata cukup luas dan dinding belakangnya tidak ada, terbuka menembus ke taman bunga di belakang. Hawanya sejuk sekali di ruangan itu. Di ruangan ini nampak duduk seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan di sebelah kirinya duduk dua orang wanita.

Kakek itu bertubuh tegap dan wajahnya yang sudah mulai dibayangi ketuaan usianya itu masih nampak amat tajam dan ganteng, dengan kulit mukanya yang bersih kemerahan. Alisnya yang tebal dan pandang matanya yang demikian tenang dan penuh pengertian, mulutnya selalu tersenyum dan tahulah Gangga mengapa pria ini banyak digandrungi wanita. Senyumnya itu! Sungguh merupakan senyum yang sangat melumpuhkan. Dan sepasang matanya juga begitu hidup seolah-olah dia dapat menyatakan isi hatinya melalui pandang mata dan senyumnya.

Kedua orang wanita itu pun cantik-cantik. Yang seorang memakai penutup kepala pendeta, berjubah seperti seorang nikouw, wajahnya putih bundar, mulutnya kecil dan ia nampak manis sekali walau pun usianya juga sudah lima puluh tahun lebih. Wanita ke dua juga beberapa tahun lebih tua, akan tetapi wanita ini jelas bukan orang Han. Sekali pandang saja tahulah Gangga bahwa wanita itu adalah seorang wanita berbangsa India atau Nepal, tubuhnya kecil jangkung, hidungnya mancung dan matanya hitam tajam sekali, sikapnya ketika duduk itu membayangkan kegagahan.

Kedua orang nenek ini adalah dua orang isteri Bu-taihiap di samping Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang menyambut tamu tadi. Yang seorang adalah Gu Cui Bi yang pernah menjadi nikouw dan sampai sekarang tidak pernah mengganti jubah nikouwnya dan selalu menutupi kepalanya dengan penutup kepala para nikouw. Ada pun yang ke dua adalah Nandini, puteri Nepal yang pernah memimpin pasukan Nepal sebagai panglima yang gagah perkasa. Dua orang wanita ini duduk dengan anteng, hanya pandang mata mereka menyambut munculnya nenek Gan Cui dan Gangga dengan sikap memandang rendah. Tanpa bicara apa pun, Tang Cun Ciu juga duduk di kursi pertama di sebelah kiri suaminya.

Kini Bu-taihiap memandang nenek Gan Cui sambil tersenyum. “Adik Cui, engkau baru datang? Apakah sekali ini engkau datang untuk menerima usulku dan menghabiskan sisa hidup bersama kami? Agaknya engkau membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengambil keputusan yang amat baik itu.”

“Orang she Bu! Jangan engkau mimpi bahwa aku akan mengalah begitu saja! Aku datang untuk menantangmu!”

Pendekar itu menarik napas panjang dan masih tersenyum, menoleh kepada tiga orang isterinya dan berkata lirih, “Lihat, ia ini sungguh memiliki hati yang keras seperti baja!”

Ucapan itu bukan memburukkan, bahkan lebih condong memuji. Tiga orang wanita di sampingnya hanya melirik. Melihat cibiran bibir mereka menunjukkan bahwa ketiganya merasa tidak puas dengan ucapan ini dan di dalam hati mereka mengejek, walau pun tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Gangga melihat semua ini dan diam-diam dara ini tertarik sekali. Sebuah keluarga yang aneh, pikirnya, juga penuh diliputi sikap gagah.

Kini Bu-taihiap memandang kepada Gan Cui, masih terus tersenyum. “Adik Cui, kiranya selama tiga tahun ini tidak jumpa, engkau terus menghimpun kekuatan untuk berusaha menantangku kembali? Hemm, engkau menantangku? Ingat baik-baik, tidaklah mudah mengalahkan ilmuku dan andai kata aku kewalahan menghadapimu, tentu tiga orang isteriku ini tak akan tinggal diam. Apakah engkau mampu menghadapi kami berempat?”

“Boleh! Kalau kalian begitu tidak tahu malu untuk mengeroyokku, aku pun tidak takut!”

“Bukan mengeroyok, akan tetapi sebagai isteri, tak mungkin mendiamkan saja suaminya terancam bahaya. Sudahlah, kenapa engkau tidak mau menempuh jalan damai saja?”

“Orang she Bu, aku datang bukan untuk mendengar ocehan dan rayuanmu, Pendeknya, sekali ini aku datang untuk menantangmu mengadu ilmu ginkang. Kalau aku kalah, aku akan pergi dan takkan mengganggumu lagi. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi tuntutanku!”

“Wah, tuntutanmu itu tidak masuk akal, adikku yang manis! Mereka bertiga ini adalah isteri-isteriku yang setia, mana mungkin harus kutinggalkan begitu saja agar aku dapat hidup berdua saja denganmu? Sebaiknya kalau engkau tinggal bersama kami, hidup aman dan damai bersama kami....”

“Tidak! Tidak sudi aku kalau cintamu dibagi-bagi!”

“Siapa yang membagi-bagi? Cinta tak mungkin dibagi-bagi. Aku cinta pada mereka, aku cinta kepadamu seperti cinta kepada banyak orang lain lagi. Kalau aku menghadapimu, aku mencintamu sepenuhnya, demikian pula kalau aku menghadapi seorang di antara mereka. Marilah, adikku, untuk apa kita bersitegang? Kita sudah tua, tinggal menikmati hidup tenteram beberapa tahun lagi saja.” Pendekar itu sungguh pandai merayu dengan suara halus dan pandang mata demikian lembut, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya.

Dan Gangga yang mendengarkan percakapan itu diam-diam terkejut bukan main. Bagai mana pula ini? Pendekar itu dengan baik-baik membujuk nenek Gan Cui untuk hidup bersama dia dan isteri-isterinya, tapi sebaliknya nenek ini ingin Bu-taihiap meninggalkan isteri-isterinya yang lain agar supaya dapat hidup berdua saja dengannya, agar ia dapat memonopolinya? Mulailah kini dia mengerti dan dia meragukan kebenaran nenek yang dibantunya.

“Cukup semua kata-kata itu! Berani atau tidak engkau menerima tantanganku mengadu ginkang? Kalau tidak berani engkau harus memenuhi tuntutanku dan mengaku kalah!”

Tiba-tiba pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Dan memang dia masih ganteng!

“Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal ginkang, engkau kalah jauh dari aku. Biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”

“Dan kalau engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”

“Aha, soal itu nanti dulu.”

“Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek Gan Cui berteriak penasaran.

“Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati.”

“Tapi engkau terima tantanganku?”

“Tentu saja.”

“Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Kini aku menantangmu untuk mengadu ilmu ginkang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.

“Siapa dia?” Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.

“Tidak perlu kau tahu siapa dia. Pendeknya, dia adalah jagoku dan wakilku untuk menandingimu dalam ilmu ginkang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”

Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia mengangguk-angguk. “Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?”

“Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini.”

Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini, Gangga terkejut karena botol itu adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untuk dipakai berebut, agar ia mau berlomba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!

“Perempuan licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”

Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah. “Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimana pun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlomba. Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol di tanganmu itu, dia yang menang!”

Nenek itu menyeringai. “Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan ia pun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghendaki benda ini!” Setelah berkata demikian, nenek itu pun berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu.

Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.

Gangga tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu. Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa dia tidaklah selemah itu untuk bisa dipandang ringan saja.

Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimana pun juga, tiga orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan.

“Kita mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum.

Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”

Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di sampingnya. Ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya.

Bu-taihiap menjadi penasaran dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan betapa pun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu ginkang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat hebat. Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang wanita yang juga membayangi tertinggal jauh dan sebentar saja mereka sudah dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung timur tanah datar puncak bukit itu.

Sementara itu, Gangga merasa amat puas bahwa ternyata ginkang-nya tidak kalah oleh Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan? Tetapi, dia membutuhkan obat itu!

Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu kepadanya?

Mereka kini terpaksa juga merubah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu ginkang ini.

“Nona, perlahan dulu....!” Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang menahannya dari belakang.

Pendekar tua itu agaknya telah menggunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sinkang! Dan pendekar tua itu pun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan sinkang-nya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sinkang yang kuat.

“Wuutttt....!” Dan tenaga yang menahannya dari belakang itu pun terlepas.

Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang ahli ginkang, melainkan juga mampu menangkis sinkang-nya yang dipergunakan untuk menahan larinya yang cepat itu.

“Ahhh.... nona....,” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali, nona....”

Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa tak akan senang mendengar pujian? Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi ia pun teringat bahwa pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penaluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.

“Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?”

Biar pun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan dengan sendirinya dia pun mengurangi lagi kecepatan larinya. Dia sudah menduga apa yang terjadi antara pendekar ini, dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.

“Aku membutuhkan obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.

“Aha, jadi ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan kau kira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Dia seorang yang keras hati dan licik sekali, dan jika ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”

“Aku.... aku sudah menduga begitu....”

“Nona, biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat menguasainya.”

Gangga hanya menggunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini dari pada nenek Gan Cui yang curang.

“Silakan....,” katanya dan ia pun memperlambat larinya.

Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya. Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!

Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkan lawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat dari pada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh.

Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat.

“Bocah tolol, lari ke sini....!” Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga.

Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan tetapi, ginkang-nya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.

“Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”

“Tidak.... tidak....!” Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk menyambar botol di tangannya itu.

“Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!” kembali Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!

Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat-cepat dia mengelak dan membalas dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itu pun memiliki gerakan cepat. Ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itu pun disodokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!

“Hemm, engkau sungguh keras hati, adik manis!” kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar ini mengerahkan tenaga sinkang-nya menerima tendangan di perutnya, mengelak dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.

“Bukkk!”

Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak anggota rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggota kelaminnya telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.

Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal ginkang saja. Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat. Kini, setelah melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya mencabut sapu tangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedang tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan dari lawan.

Bu-taihiap terkejut menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debu hitam kehijauan ini. Cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga!

Kiranya Gangga telah menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan ginkang-nya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya.

Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan marah. “Bocah tolol! Kembalikan botol itu....!”

Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan merangkulnya, serta memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.

“Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku masih tetap cinta padamu....” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.

Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini. Lenyaplah seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan menangis lirih!

Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi tiga butir pel, memandang dengan muka merah.

“Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?” Kembali Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk.

Bu-tahiap maklum bahwa ia telah menalukkan hati nenek itu, maka ia pun melepaskan kedua tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra. Gan Cui mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah Gangga. Biar pun sikapnya tidak galak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia berkata kepada Gangga.

“Engkau telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”

“Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal ginkang, aku Bu Seng Kin harus mengakui keunggulan gadis ini.”

Sepasang mata Gan Cui terbelalak. “Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis? Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”

“Mengapa mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh luar biasa sekali ilmu ginkang-nya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”

“Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.

Gangga terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena dia pun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar biasa, juga di samping itu memiliki ginkang yang hebat.

“Benarkah, nona?”

Gangga mengangguk. “Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Wan Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”

“Ahhh....!” Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Jikalau begitu, aku semakin tidak merasa malu lagi kalah dalam ginkang olehmu, nona!”

“Siapakah namamu?” tanya Nandini.

“Gangga Dewi.”

“Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari silakan duduk dalam pondok kami dan kita bercakap-cakap,” Bu-taihiap berkata, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.

“Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis muda?” bentak Gan Cui.

Dan tiga orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mereka. Biar engkau rasakan sekarang, pikir mereka, mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak! Tentu saja Bu-taihiap tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai niat sedikit pun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilakan ke rumah untuk beramah tamah karena dia pun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.

“Terima kasih atas kebaikan kalian semua,” kata Gangga Dewi sambil menjura. “Tapi sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”

“Ahh, pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada Gangga.

“Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini? Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah satu-satu?”

Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah. “Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu apa aku memberi tahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”

Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya, “Nona Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-mo-kang itu?”

“Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja....”

“Suma....?” Bu-taihiap terbelalak.

“Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara bangga.

“Ahh....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”

“Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya sembuh,” jawab nenek itu singkat dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.

“Terima kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka. Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala tanda kagum.

“Bukan main....!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.

Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk lari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan pada keesokan harinya, pada hari ke tiga, tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang mengobati Ciang Bun.

Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti kembalinya. Bagaimana pun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja, menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.

“Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.

Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. “Kini belum musimnya telur katak menetes, tidak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari.”

Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. “Omitohud.... racun katak buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat disembuhkan.”

Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai tiga hari tiga malam lamanya! Sedikit pun dara ini tak pernah mau meninggalkan pembaringan Ciang Bun. Bahkan makan atau tidur pun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat.

Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berubah, dan setiap hari berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.

“Di manakah aku....?” tanyanya lemah.

Gangga yang duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum girang sekali. “Ahhh, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh, bahaya telah lewat!”

Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk, akan tetapi tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali.

Ganggananda cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, “Jangan engkau bangun dulu. Sudah empat hari engkau tidak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, dia pun bangkit dan cepat-cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.

“Omitohud, engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”

Ciang Bun menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari?

Sambil masih terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. “Ji-wi locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”

Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga dari pada pemberian benda berharga apa pun juga.

“Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami sebab yang menyelamatkan nyawa si-cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,” kata kakek tabib.

Dia segera menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.

“Omitohud....! Yang paling sukar didapatkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu sampai lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh kebaikannya amat mengharukan hati pinceng.”

Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada Ganggananda yang sebelumnya memang sudah amat menarik hatinya. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan sangat menyenangkan itu ternyata memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa bersyukur sekali.

“Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya,” kata si tabib dengan suara sungguh-sungguh.

Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nyawanya itu. Setelah kekuatannya pulih kembali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan tak lupa memberi hadiah yang cukup besar. Ternyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.

“Ahhh, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk bertemu di kota raja,” katanya kepada Ganggananda.

Gangga memandang penuh perhatian. “Kami? Siapa yang kau maksudkan?”

“Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang kumaksudkan dengan kami adalah aku dan cici-ku yang bernama Suma Hui.”

“Hemm, agaknya masih ada hubungannya dengan musuh besarmu itu, ya? Dia pun menyebutmu seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh besarmu itu.... kakak iparmu, suami enci-mu?”

“Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan nyawa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang.”

Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan enci-nya untuk mengadakan pertemuan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang terlambat. Mereka lalu duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai merah dan putih.

Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun kemudian menceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama enci-nya dan Ceng Liong belajar ilmu di Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. Diceritakannya mala petaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian disusul mala petaka yang menimpa diri enci-nya, Suma Hui, dan kejahatan yang dilakukan oleh Tek Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami enci-nya itu.

Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan hingga wajahnya sebentar merah karena marah dan pucat karena turut merasa terharu dan berduka. Pandang matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda ini mati-matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak iparnya. Dan ia ikut merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.

“Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan secara tidak terduga-duga dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam taman. Dapat kau bayangkan betapa girang rasa hatiku dan betapa dengan penuh semangat aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kini pun dia dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau yang menyelamatkanku, sahabatku,” berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangannya dan dipegangnya tangan Gangga.

Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu mengandung getaran halus yang seolah-olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar, sementara bulu-bulu di lengan dan tengkuknya meremang. Maka dengan halus pula Gangga menarik dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan pemuda itu.

“Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bicara seperti itu, Ciang Bun? Bukankah kita ini sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada istilah tolong-menolong? Apa yang kulakukan untukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. Dan andai kata aku yang menderita seperti engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?”

Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa amat terharu dan semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam dia pun mengeluh. Penyakit lamanya telah kambuh dan kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia tertarik kepada pria, bukan hanya tertarik biasa sebagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah!

Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walau pun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pemuda itu dan juga rasa akrab sebagai seorang kekasih enci-nya. Kemudian dia pun jatuh cinta kepada Liu Lee Siang, pemuda Pulau Nelayan itu walau pun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar jatuh cinta kepada Ganggananda!

Sekarang dia menyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, sedekat mungkin, untuk melindungi, untuk bergantung. Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat gagah, baik dan membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.....


Itulah yang amat membingungkan dan menyedihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda tentu akan memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan dirinya.

Tidak, dia tidak akan dapat menahan jika sampai Ganggananda membencinya dan jijik melihatnya. Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda amat baik kepadanya, tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya sebagai seorang sahabat, rasa suka yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia?

Dia mencinta Ganggananda, bukan hanya sayang dan suka, akan tetapi juga bangkit birahinya berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana mungkin dia dapat bertahan kalau berdekatan terus. Tidak, dia harus menjauhkan diri, harus membiarkan bayangan dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sahabat yang disukanya, bukan sebagai seorang laki-laki ganjil yang dibencinya.

“Gangga, tentu saja aku akan berusaha menolongmu kalau engkau berada dalam kesukaran, bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawaku sekali pun. Gangga, aku suka padamu, aku sayang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!” Aneh sekali, dalam suaranya terkandung keharuan dan kesedihan sehingga suara pendekar muda ini agak gemetar.

Hal ini sebenanya tidak mengherankan karena memang hatinya amat berduka. Ciang Bun sudah mengambil keputusan, karena hanya itulah satu-satunya jalan keluar. Dia harus mengangkat Gangga sebagai saudara! Kalau sudah menjadi saudara, tentu akan lain pandangannya, lain lagi perasaan hatinya terhadap Gangga. Ikatan persaudaraan itu diharapkannya akan merubah perasaan cinta birahi menjadi cinta saudara tanpa birahi, tanpa gairah yang menyesakkan dada untuk dapat berdekatan dan bermesraan dengan Gangga.

Tetapi, mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya yang indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng kepala tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata, “Ahh, tidak, Ciang Bun. Aku tidak mau, aku lebih senang menjadi sahabatmu saja, sahabatmu yang amat baik. Apa sih bedanya menjadi sahabat atau saudara angkat?”

Dan Ciang Bun merasa lega dengan jawaban ini! “Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, aku pun tidak kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik.”

Ganggananda khawatir kalau menyinggung hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun. “Sahabatku yang baik. Siapa orangnya tidak akan merasa bangga menjadi saudara angkat seorang pendekar seperti dirimu? Apa lagi engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas menjadi sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab.”

“Terima kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik dari pada seorang saudara bagiku,” kata Ciang Bun dan kembali tangannya gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.

Percakapan mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis dikawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian kedua orang muda itu, mudah diduga bahwa mereka tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah tampan, dan gadis itu pun manis. Melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung. Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali. Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas tahun dan si gadis agaknya adiknya, lebih muda satu atau dua tahun.

Tujuh orang yang mengawal mereka itu tidak berpakaian seragam, akan tetapi dari sikap mereka ketika berjalan, dapat diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan pengawal yang memiliki ilmu silat tangguh. Di punggung mereka terselip senjata, ada yang membawa pedang, ada pula golok. Sikap tujuh orang ini congkak seperti sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul pada umumnya.

Kalau muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat-lihat bunga dengan sikap gembira, tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Ganggananda dengan pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tak membawa apa-apa dan sikapnya tidak mencurigakan, mereka pun tidak memperhatikan lagi dan sebentar saja mereka sudah lewat.

“Uh, congkak-congkak benar sikap tukang-tukang pukul itu,” kata Ganggananda dengan nada suara gemas. “Kalau saja ada alasannya, tentu akan senang hati aku menghajar mereka.”

Ciang Bun tersenyum. “Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin menghajar orang. Apalagi jika hujan angin....”

“Jika hujan angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!” Gangga memotong dan tertawa.

Ciang Bun juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Ganggananda juga menoleh dan perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu. Dua orang kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan keadaan dua orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka, gerak-gerik mereka dan langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua orang kakek ini bukan sembarangan, sama sekali tak boleh disamakan dengan tujuh orang pengawal yang garang dan congkak tadi.

Pandang mata Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan memasuki taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan orang-orang sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, walau pun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar. Melihat jubah dan kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lama. Kepalanya gundul tidak tertutup, jubahnya berwarna merah kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali, dua kali lebih besar dari pada ukuran telinga manusia biasa. Di lehernya tergantung tasbeh hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling. Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok yang memberontak di Sin-kiang.

Ada pun orang ke dua tidak kalah lihainya. Dia pun berpakaian pendeta atau pertapa, seperti pakaian seorang tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-ong, seorang pertapa dari Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biar pun kedua orang kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya merupakan rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan Gubernur Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong. Gubernur itu sendiri tertawan dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian tinggi, berhasil menyelamatkan diri dan lolos. Karena mereka berdua merasa seperjuangan dan senasib, maka mereka pun selanjutnya menjadi sahabat dan ke mana pun mereka bersama-sama.

Sebagai buronan pemerintah, mereka lalu menyembunyikan diri dan baru setelah kini keadaan menjadi reda dan dingin, mereka berani muncul. Keadaan mereka sebagai dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian, bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua orang ini pun memiliki kepandaian dan kedudukan yang terlalu tinggi untuk merendahkan diri melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh. Andai kata mereka itu membutuhkan uang, tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta seorang pembesar atau hartawan tanpa ada yang tahu, bukan hanya mencuri atau merampok biasa saja.

Melihat betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-jalan akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu, Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang membayanginya itu dengan penuh perhatian sampai mombongan itu keluar dari dalam taman menuju ke taman atau hutan kecil di depan.

Hutan ini hutan buatan untuk keperluan kaisar dan para pembesar tinggi melakukan perburuan. Kalau musim berburu tiba, hutan kecil itu diramaikan oleh binatang-binatang yang sengaja dilepas di situ untuk diburu dan dibunuh oleh para pejabat tinggi. Setelah bayangan rombongan itu lenyap, Ciang Bun mengerutkan alisnya.

“Gangga, sikap dua orang kakek itu amat mencurigakan. Apa yang mereka kerjakan dengan membayangi rombongan muda-mudi itu?”

Ganggananda mengangguk. “Memang mencurigakan. Mungkin mereka itu merupakan pengawal pribadi yang melakukan pengawalan secara tersembunyi. Sikap mereka jelas membayangkan bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.”

“Engkau benar, mereka tentu bukan orang-orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir jangan-jangan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap rombongan pertama itu. Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua orang kakek itu, terutama sekali si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan memandang kita, aku merasa seram.”

“Hemm, biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itu pun congkak sekali, bukan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam sendiri dengan dua orang kakek itu.”

“Akan tetapi aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat buruk terhadap muda-mudi itu dan biar pun mereka itu dikawal oleh orang-orang congkak, mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita bayangi mereka dan lihat apa yang akan terjadi.”

“Bagaimana kalau enci-mu muncul nanti?”

“Jangan khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama satu pekan terhitung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan terlambat. Kalau nanti ia datang, tentu ia akan menungguku.”

Keduanya lalu bangkit dan melakukan pengejaran ke arah lenyapnya rombongan muda-mudi berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka sudah tidak nampak lagi. Ketika Ganggananda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata dan telinga mereka dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang mana, tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat. Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemudian mereka melihat perkelahian yang sungguh berat sebelah.

Kakek pendeta Lama berkepala gundul itu sedang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang pengawal! Para pengawal menggunakan senjata golok atau pedang, sedangkan pendeta Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi, sekali pandang saja tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang lawannya yang kelihatan galak dan garang.

Sambaran pedang dan golok berkelebatan dan bergulung-gulung menyilaukan mata, akan tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di antara gulungan sinar pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu dekat, dia cukup mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itu pun terpental! Ada pun kakek ke dua yang seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir, menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya karena kakek ini tentu yakin pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyok yang hanya mengandalkan senjata tajam dan tenaga kasar itu.

“Lama tua, jangan main-main seperti anak kecil. Lekas bereskan mereka!” kata tosu yang sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.

“Ha-ha-ha!” Thai Hong Lama tertawa sambil menyampok sebuah golok dengan lengan bajunya sehingga golok itu terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya. “Agaknya kau sudah tidak sabar lagi, Tok-ong? Lihat, sepasang burung dara remaja yang lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke mana pun juga, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, biar pun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itu pun sudah jemu mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh tasbeh yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh itu keluar dari lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika tasbeh iu diputar-putar. Dan terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika pedang dan golok tujuh orang itu terlempar karena benturan tasbeh, disusul teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala pecah terpukul tasbeh! Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.

Melihat ini, Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang berkelahi itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tujuh. Bagai mana mungkin mereka turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan menang, dan mereka berdua enggan membantu tujuh orang pengawal yang kasar, congkak dan yang kini secara curang mengeroyok seorang lawan dengan tujuh orang.

Akan tetapi, sungguh tidak disangka oleh Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus membunuh tujuh orang lawannya. Juga mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya pendeta Lama itu lihai bukan main dan mereka pun dapat menduga bahwa temannya, si tosu itu, tentu lihai pula.

Kini, dua orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan ketakutan melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu tertawa dan sekali berkelebat, mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai Hong Lama telah menyambar tubuh gadis kecil itu sedangkan Pek-bin Tok-ong menyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyambar bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan sambil tertawa-tawa, keduanya memondong korban mereka dan berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

Ciang Bun dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek pendeta itu membunuh tujuh orang dengan ganas. Akan tetapi ketika mereka melihat dua orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mereka berdua masih ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.

“Kita kejar mereka!” kata Ciang Bun.

Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh tangannya. “Apa gunanya kita mengejar mereka? Mungkin juga dua orang kakek lihai itu hendak mengambil mereka sebagai murid! Jika kita mengejar dan bisa menyusul, habis kita mau apa? Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak mengambil murid, itu pun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?”

“Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, telah mengelus pipi gadis itu? Dan aku melihat jelas betapa tosu itu pun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang yang akan mengambil murid? Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja itu.”

Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya. Mereka lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah larinya dua orang kakek yang menculik dua orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus berlari cepat dan mencari ke sana-sini karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk menyudahi saja pencarian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.

“Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang remaja itu. Kita harus cari dan susul sampai dapat.”

“Akan tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari? Mereka tidak berada di dalam hutan ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka.”

Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka dan memandang wajah sahabatnya. “Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka takkan dapat melakukan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, jika mereka memang berniat jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu-satunya tempat sunyi tentu saja keluar dari kota raja ini. Tempat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana.”

Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada dua orang kakek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar, memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik. Menurut keterangan dua orang kakek pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa muda-mudi itu ke gunung untuk diobati.

Ada pun muda-mudi itu selain lumpuh, nampaknya payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan mudah kedua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.

Mendengar keterangan ini, makin besar keyakinan hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek itu tentulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan. Bahkan kini Gangga sendiri pun menaruh curiga dan dengan penuh semangat ia pun bersama Ciang Bun melakukan pengejaran ke barat.

Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan. “Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan tempat yang baik sekali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?”

“Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!”

Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar. “Aku pun belum pernah. Apa kau kira aku biasa melakukan perbuatan busuk?” Pertanyaan yang dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya sendiri. Apakah kelainannya itu termasuk sesuatu yang busuk?

“Nah, kalau kita belum pernah melakukan, mana bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan busuk.”

“Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Mari kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-kalau kita terlambat!”

Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih sempat bertanya, “Ciang Bun, aku tidak mengerti. Kejahatan apa yang dapat dilakukan dua orang kakek itu terhadap muda-mudi remaja itu?”

“Kejahatan apa? Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang sudah menimpa diri enci-ku.”

“Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja? Mengapa pula dia ikut diculik? Mau diapakan?”

“Mungkin mau dibunuh!”

“Tidak mungkin, kalau memang dua orang kakek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik.”

“Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua orang muda-mudi itu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi.”

“Itu pun kecil kemungkinannya. Dua orang kakek itu andai kata benar penjahat, tentu bukan penjahat-penjahat kecil yang suka menculik dan melakukan pemerasan.”

Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri pemuda itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan merasa heran, juga jijik kalau dia mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa diri pemuda itu pula.

“Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga muda-mudi itu.”

Mendengar ini, Gangga terkejut. “Ahh, kenapa aku tidak memikirkan hal itu? Mungkin sekali tepat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!” Dan kini Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya sebab begitu Gangga mempercepat larinya, dia lantas tertinggal jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.

“Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!”

Setelah tiba di depan kuil mereka bersembunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang memang kosong dan sudah tidak digunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga sudah jebol.

Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap menghampiri kuil dari dua jurusan. Mereka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil dan bertemu di belakang kuil. Gangga mengambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun sebelah kanan.

Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela-jendela jebol. Tiba-tiba dia menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di dalam dan ketika mengintai, matanya terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Dia melihat hal yang memang dikhawatirkan terjadi di balik dinding retak itu.

Pemuda remaja itu nampak terbelalak ketakutan, wajahnya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya yang sebagian banyak sudah telanjang karena pakaiannya direnggut lepas. Pemuda remaja itu tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan.

Ciang Bun mengepal tinju. Hatinya merasa muak dan jijik. Sekarang dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan nafsu birahinya kepada seorang pemuda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia merasa seolah-olah dia sendiri yang sedang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir telanjang, harus diakuinya bahwa ada semacam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.

Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang menggunakan kedua tangannya yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil menyeringai lebar menjijikkan.

“Iblis tua bangka cabul!” Gangga membentak marah.

Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak, “Kakek iblis tak tahu malu!”

Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali, juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka terganggu dan mereka mendorong tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.

Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong Lama yang tinggi besar, dan yang diintainya tadi, dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.

“Haiiiiittt....!” Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong Lama melihat serangan yang amat cepat ini.

“Hahh! Ehhh....!” Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya.

Akan tetapi demikian cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah berubah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan amat ringan seperti seekor burung terbang saja.

“Hemm....!” Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa biar pun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali ginkang-nya sungguh amat luar biasa dan berbahaya.

Maka dia tidak bersikap sungkan dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga dicabutnya sebatang suling bambu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu. Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling! Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu melakukan serangan dahsyat yang membuat Gangga terpaksa mengandalkan ginkang-nya untuk meloncat jauh ke belakang. Dara ini kaget sekali karena biar pun gerakannya cepat, tetapi serangan tadi hampir melukainya.

“Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini namanya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita disuguhi calon makanan yang lezat.” Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju lagi menerjang Gangga.

Sulingnya melakukan totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang melumpuhkan. Dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya tidak bermaksud mengalahkannya dengan membunuh, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, dia dapat membayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai tertawan hidup-hidup. Mukanya berubah semakin merah dan kemarahannya memuncak. Ia pun mengeluarkan suara melengking-lengking dan tubuhnya langsung berkelebatan membuat lawannya terkejut sekali.

Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk!”

Mereka mengadu sinkang dan ternyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan Ciang Bun dengan lengannya, biar pun diam-diam kakek ini terkejut ketika merasakan betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak dengan temannya. Mendengar suara temannya dia pun tertawa.

“Bagus, orang muda yang tampan. Engkau boleh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat dari pada pemuda hartawan itu, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia telah menerima gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Biar pun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu-ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok-ong merasa kerepotan menghadapi pemuda ini.

“Heiiiiittt....!” Dia membentak.

Kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Dua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan mengerikan ketika bergerak.

“Plakk! Dukk....!”

Ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam. Kedua lengannya untung terlindung oleh sinkang yang amat kuat, kalau tidak tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas!

Pemuda ini berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapinya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipelajarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.

Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja.

Sebaliknya, senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walau pun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya. Maka, ia hanya mengandalkan ginkang-nya yang menang jauh ketimbang lawannya untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.

Walau pun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya bahwa keadaan Gangga tak menguntungkan. Maka, dia pun cepat mencabut sepasang siang-kiam dari punggungnya.

“Sringggg....!”

Nampak dua gulungan sinar. Begitu Ciang Bun mainkan pedang di kedua tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi lebih pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu sekarang menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.

“Tringgg.... trangg....!”

Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu pula Pek-bin Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan! Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.

“Dukk! Plakk....!”

Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan tetapi, kembali kehebatan ginkang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tokong tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha-ha. Tok-ciang (Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!”

Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua tangannya.

“Celaka....!” Teriaknya sambil melompat ke belakang. “Gangga, jangan engkau biarkan tanganmu bersentuhan dengan tangan iblis itu!”

Akan tetapi sahabatnya itu pun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan lawan menjadi gatal-gatal. Marahlah Ganggananda.

“Iblis tua curang!” Dan ia pun sudah menyerang dengan cepatnya.

Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat, seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga dia sudah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya.

Dia menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apa lagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang saja.

Pek-bin Tok-ong telah berusaha keras mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.

“Plakk.... aduhhh....!”

Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadi pun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang.

Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Akan tetapi, dia masih mampu untuk meloncat bangun dan menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun. Terpaksa Gangga kembali mengelak ke sana-sini berloncatan cepat.

Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biar pun dia merasa kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat dikalahkan lawan.

“Iblis-iblis tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?!” Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan yang langsung menyerang Thai Hong Lama dari samping.

Biar pun pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya. Dia pun terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya lebih galak lagi.

“Mari kita pergi....!” Teriaknya dan Pek-bin Tok- ong yang sudah terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.

“Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?” Suma Hui, yang baru saja datang dan menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak untuk melakukan pengejaran.

“Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!”

Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri adiknya.

“Bun-te, apa yang terjadi denganmu? Engkau keracunan?” tanyanya dengan khawatir sambil memandang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Ia pun menoleh kepada pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini terluka.

“Lenganku.... Iblis itu telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” kata Ciang Bun, akan tetapi dia tak mempedulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.

“Gangga, engkau tadi telah beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?”

“Lengan kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal,” jawab Gangga.

“Coba kuperiksa,” kata Ciang Bun sambil menyingkap lengan baju Gangga.

Akan tetapi jantungnya berdebar ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit lengan yang putih halus itu sehingga terpaksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan gejolak birahi yang tiba-tiba saja bergelora di dalam hatinya.

Gangga melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia segera menyingkap lengan bajunya memeriksa dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan, bahkan agak membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun sibuk pula menyingkap kedua lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya juga terdapat bekas-bekas jari tangan lawan yang membuat kulit lengannya keracunan. Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini mengerutkan alisnya.

“Memang kulit lenganmu telah keracunan, tetapi karena engkau telah menggunakan sinkang, kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah. Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh.”

Suma Hui mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan ia pun lalu mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih. Obat ini adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka selalu membawa bekal obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan perjalanan. Dan memang tepat ucapan gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk putih, maka hilanglah rasa gatal-gatal dan tak lama kemudian warna merah itu pun menghilang.

Kakak beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa enci-nya kecewa dan hal ini tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. “Bagaimana, Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?”

Suma Hui menggeleng kepala. “Iblis itu tak dapat kutemukan, jejaknya pun tidak. Ketika aku tiba di kota raja, aku langsung menuju ke taman yang menjadi tempat pertemuan seperti yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di sana. Untung aku bisa melihat coretanmu pada batang pohon di dekat kolam ikan emas itu, maka aku segera menyusul ke barat secepatnya. Kiranya engkau dan kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek yang lihai. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu? Siapa pula temanmu ini?”

“Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu,” kata Ciang Bun.

Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu. Juga merasa kasihan karena ia telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.

Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.

Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang pada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.

“Jangan takut,” kata Gangga. “Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan kami datang untuk menolong kalian.”

Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu menarik tangan adiknya, diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. “Terima kasih, terima kasih....,” kata mereka berulang-ulang.

“Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang kakek itu,” kata Ciang Bun.

Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh orang pengawal atau tukang pukul mereka.

“Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami sampai di dekat hutan buatan yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini.”

Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.

“Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang,” katanya.

Mereka bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.

“Bun-te, siapakah kawanmu ini?” tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga.

Di dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka pria dari pada wanita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walau pun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih heran lagi.

“Dia bernama Ganggananda, enci.”

“Ahhh, seorang Nepal?”

“Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan,” kata Gangga.

Suma Hui mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang sangat cantik, pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiri pun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.

“Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?” tanyanya ingin tahu sekali.

“Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar sekali kepadanya. Jika tidak ada dia yang telah menolongku secara mati-matian, kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini.”

“Aihh, itu terlalu dilebih-lebihkan.” Gangga merendahkan diri walau pun hatinya girang sekali oleh pujian ini.

Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas. “Apakah yang telah terjadi denganmu, Bun-te?”

“Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci.”

Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya. “Apa? Dia?! Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?”

“Teranglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kita antarkan dulu dua orang anak ini ke rumah mereka.” jawab Ciang Bun.

Suma Hui maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka dia menahan gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk singgah.

“Ceritakan saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang juga.” Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu.

Mereka membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari enci-nya. Diceritakannya pertemuannya dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang menggunakan ginkang-nya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.

Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya. “Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku berhasil membunuhnya. Ia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, untung ada.... sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya.”

Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas. “Ahh.... nona, harap jangan sungkan. Ciang Bun sudah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?”

Suma Hui mengangguk-angguk, dan diam-diam dia merasa suka kepada gadis yang menyamar sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?

“Ahhh....” Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda yang lain.

“Ada apakah, Hui-ci?”

Suma Hui tertegun dan menjadi bingung. Dia tidak menyangka bahwa jalan pikirannya membuat dia lupa diri tadi. “Ahh, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu.”

“Biar pun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu....”

Mendengar adiknya menyebut ‘kanda’ kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut ‘kanda’.

“Baiklah, usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukarlah menemukan jahanam yang licik itu.”

Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada keesokan harinya. Malam hari itu mereka akan bermalam di sebuah rumah penginapan.....

Melihat betapa Ciang Bun ternyata tidak sekamar dengan Ganggananda, Suma Hui mengerutkan alisnya. Bagaimanakah adiknya ini? Benarkah adiknya belum tahu akan keadaan Gangga sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis? Akan tetapi kalau Ciang Bun mengira bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah kamar?

Barangkali Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andai kata dirinya menjadi Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, ia pun tentu tidak mau tidur sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apa pun agar mereka dapat tidur berpisah. Betapa pun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar adiknya dan bertanya.

“Bun-te, di mana Gangga?”

“Dia berada di kamarnya, di sudut lorong ini.”

“Ehh, kenapa tidak di sini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar untuk kalian berdua?”

Wajah Ciang Bun berubah merah dan dia lalu menyuruh enci-nya duduk, kemudian menutupkan daun pintu. “Hui-ci, aku mau bicara denganmu,” katanya serius.

“Bicara apa? Katakanlah,” berkata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.

“Enci, maukah enci andai kata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti halnya Gangga?”

“Ehhh? apa maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!” Suma Hui berkata tegas dan heran.

“Nah, begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu? Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.”

Melihat adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat dia menepuk paha sendiri mengejutkan Ciang Bun.

Di dalam perahu itu ia pun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan bagai mana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan wanita!

Tiba-tiba saja dia seperti memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui melihat cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang pernah dialaminya.

“Adikku yang baik,” katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan kemudian menegakkannya. “Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib! Aku sudah tahu keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya. Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari ketidak wajaran atau penyakitmu itu.”

“Aku tahu akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, aku pun sudah bertahan dan menentang dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.”

Suma Hui menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung di dalam hati adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong. Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin berpisah lagi.

“Adikku, engkau pun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran dari ayah. Cinta kasih adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampur adukkan cinta kasih dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah birahi itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya. Itu hanya birahi yang timbul dari pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, birahimu timbul kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu. Maka, sekarang juga aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?”

“Kurasa kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena ia pernah menolongku dan secara mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.”

“Jika begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu kelak, kalau keadaan mengijinkan, lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang kelainanmu.”

“Ah, aku tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!”

“Belum tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang sudah dibuktikannya ketika dia mencarikan obat untukmu. Dia, seperti aku, tentu akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.”

Setelah menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam dia justru pergi ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Dia bersikap hati-hati sekali dan menjaga agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.

Setelah tiba di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.

“Siapa....?” terdengar suara Gangga dari dalam.

“Adik Gangga, bukalah, aku ingin bicara,” kata Suma Hui lirih.

Daun pintu terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang ‘pemuda’.

“Ahhh, kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?”

Belum habis Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum dan berkata, “Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?”

Ganggananda atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum. “Ahhh, enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.”

“Sstt, adik Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu,” kata Suma Hui yang segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping rumah penginapan. Ia memberi isyarat, dan tidak lama kemudian dua orang gadis itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.

“Kita ke taman dan bicara di tempat sepi....,” kata Suma Hui.

Mereka pun kemudian berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang jalan. Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun, betapa dengan mengandalkan ginkang-nya, Gangga sudah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji kehebatan ginkang dari gadis Bhutan itu.

Ia sengaja mengerahkan ginkang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di mana siang tadi dia mencari adiknya dan kemudian melihat coretan-coretan di batang pohon.

Memang pemuda ini dengan cerdik telah membuat coretan-coretan di batang pohon dengan harapan enci-nya akan dapat menemukannya kalau enci-nya datang. Coretan-coretan itu dibuatnya dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat mencari dua orang kakek yang melarikan muda-mudi itu. Dan ternyata Suma Hui yang cermat itu dapat menemukan coretan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu pergi keluar kota melalui pintu barat.

Suma Hui harus mengakui kehebatan Gangga, karena betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk meninggalkan Gangga, dia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya. Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu ginkang gadis ini.

Tak lama kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau ada orang lain mendekat.

“Nah, enci Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?” tanya Gangga sambil memandang wajah yang cantik dan gagah itu.

Sepasang mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan. “Adik Gangga, sekarang ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari mana kau datang.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini membuat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya? Bukankah sudah jelas bahwa dia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah membuktikan dengan usahanya menyelamatkan pemuda itu? Mengapa kini enci-nya malah seperti orang menaruh curiga dan bertanya dengan nada menyelidik?

“Enci Suma Hui, sebelum aku menjawab, katakanlah dahulu kenapa engkau kelihatan seperti orang sedang menyelidiki diriku? Apakah engkau curiga kepadaku?”

Suma Hui mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang mata gadis itu bagai mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum. Gadis ini tentu memiliki sinkang yang hebat, pikirnya, teringat bahwa gadis ini adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!

“Terus terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik menyamar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria tulen. Kenapa begitu? Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini merupakan teka-teki yang mencurigakan hatiku. Karena itulah maka kini, sebagai sama-sama wanita, aku ingin mendengar sendiri darimu tentang keadaan dirimu.”

“Engkau adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga sangat jujur dan cerdik, enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena aku pun sudah tahu bahwa engkau dan Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang terkenal itu. Sudah sejak kecil aku mendengar nama keluarga Pulau Es, dan Ciang Bun sedemikian percayanya kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang semua peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga kalian dan dirimu.”

“Hemmm, dia cerita tentang aku?” Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya bahwa adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya dan benar-benar amat mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.

“Ya, dan maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga Wan Hong Bwee....”

“Kau.... peranakan....?”

“Benar, ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi....”

“Ahh, Puteri Bhutan yang terkenal itu?”

“Enci, engkau sudah mengenal ibuku?”

“Sejak kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti Dewi. Ahhh, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan orang lain. Engkau masih adikku sendiri....!” Suma Hui lalu merangkul Gangga dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walau pun hatinya merasa heran.

“Enci Hui, menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi, tentang hubungan keluarga, aku belum tahu....”

“Memang antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah bahwa ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....! Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walau pun jauh?”

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main. “Setelah engkau mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku, bukan?”

Suma Hui menggeleng kepala dan tersenyum. “Semenjak tadi pun aku tidak menaruh curiga, hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda. Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak benarkah dugaanku, adik Gangga?”

Seketika wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya. “Enci Hui, aku tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak tahu....”

“Adikku yang baik,” Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. “Biarlah aku berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan menyakitkan, tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, dan demi kebahagiaanmu berdua, sekarang aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh cinta padamu....”

“Ahhh....!” Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. “Tidak mungkin! Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?”

Suma Hui menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya kini harus ia lalui. Maka dia pun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih ia pun berkata setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.

“Adik Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?”

Gangga terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu berubah sedikit pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran. “Sakit? Dia sakit? Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan segar!”

“Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya ada pada dirimu. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.”

“Ahhh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku bisa mengobati penyakit Ciang Bun jika orang lain yang ahli tak mampu menyembuhkan dirinya? Penyakit apakah itu?”

“Kami berdua pun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku menderita sekali karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki-laki, seorang jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria dari pada wanita.”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu. “Apa.... apa yang kau maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!”

“Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biar pun Ciang Bun adalah seorang pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, namun selera dan birahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria dari pada seorang wanita. Mengertikah engkau?”

“Ahhh....!” Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu.

Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang sedemikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu ternyata diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Dia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekali pun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!

“Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa kalau Ciang Bun kelak mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku, begitukah?”

Suma Hui mengangguk. “Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang terdorong gairah birahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu, walau pun rasa cintanya itu mengandung gairah birahi karena mengira bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga. Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?”

Dalam suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali dan dia dapat merasakan betapa besar cinta kasih gadis itu kepada adiknya. Ia sendiri pun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walau pun terdapat perasaan tidak enak menganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.

“Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merubah seleranya?”

“Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta kasih murni yang akan menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.”

“Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?”

“Begini, Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.”

“Pemupukan bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cinta.”

“Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu mungkin akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria. Dia akan mencintamu, tak peduli engkau pria atau pun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat dari pada sekedar birahinya yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?”

Gangga Dewi mengangguk.

“Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah suatu kelainan yang bukan timbul akibat disengaja, atau pun karena memang wataknya yang kotor, tetapi karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti. Bagaimana pun juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria karena bertubuh laki-laki, dan setengah wanita karena berselera perempuan, tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah jika ia dapat dijadikan pria sepenuhnya. Hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta kasih.”

Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata-katanya bisa dimengerti bahwa Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan perantauan, Suma Hui berubah menjadi seorang wanita yang matang dan berpemandangan luas. Masalah adiknya sangat mengganggu hatinya dan selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.

Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda yang sama-sama mereka cinta. Yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak perempuan sedangkan, yang lainnya mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang dikaguminya.....

********************

Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, dia pun memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.

“Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang engkau hendak mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?”

“Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apa pun juga. Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fitnah?”

“Benar, tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah mereka itu mempertanggung jawabkan sendiri kelalaian mereka, kemudian menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?”

Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.

Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini sangat dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.

“Liong-ko....!” kata Suma Hui lirih.

Biar pun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.

“Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?” Cin Liong juga menyapa dengan halus.

Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.

“Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!” Cin Liong menegur pemuda yang dulu disebutnya paman itu. “Dan siapakah saudara ini?”

“Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, dan nama saya Ganggananda,” kata Gangga memperkenalkan diri sambil memberi hormat.

“Ahh, saudara dari Nepal?”

“Bukan, saya dari Bhutan,” jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal muda itu.

Hatinya menjadi terharu karena dia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai seorang saudara angkat yang sangat disayanginya, dan saudara angkat ibunya itu adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu.

Ayahnya she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka rahasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapa pun juga, tidak pula kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang masih ada pertalian keluarga dekat, karena satu kakek dengannya. Demi penyamaran Gangga, dan demi kepentingan adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.

“Silakan masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.”

Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, dia pun lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Ganggananda.

Mereka menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya. Biar pun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat dan gagah.

Karena maklum apa yang sedang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.

“Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu,” kata Cin Liong.

Melihat wajah gadis yang tengah menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan, kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Ia pun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan hidup dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu.

Kini Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal itu di luar kesadarannya, sebaliknya Suma Hui menjadi korban kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu!

Semua telah didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan semua kesalah fahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Ia pun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.

“Suma Hui, engkau adalah calon mantu kami yang baik....” Dan ia pun menarik bangun gadis itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi.

Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.

Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali. Dia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penonton dan pendengar.

Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng secara terang-terangan menyatakan keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.

“Saatnya sudah lebih dari matang,” antara lain pendekar berlengan satu itu berkata. “Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai sekarang sama sekali tidak mau mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selir pun tidak sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.”

Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata ‘banci’ ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.

“Akan tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar saya....”

“Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui,” kata Wan Ceng sambil menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. “Menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas tiap orang gagah, bukan? Tidak peduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.”

“Jangan khawatir, Suma Hui,” sambung Kao Kok Cu, “Suamimu terikat tugas dan kiranya hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!”

“Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!” Suma Hui berkata penuh geram.

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. “Baiklah, terserah padamu, tapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk segera menikah dengan tunanganmu.”

Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menyetujui.

Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.

Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di gedung itu semalam saja. Malam itu, setelah mempunyai kesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan kepadanya agar supaya segera mulai dengan usahanya menolong dan menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.

Rencana itu adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika keluar dari kamarnya, dia tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari enci-nya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.

“Ahhh, kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?” Ciang Bun mengeluh dengan muka berubah pucat, nampaknya dia terpukul sekali.

Diam-diam Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.

“Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang biasa hidup menyendiri. Kemudian dia menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah.”

“Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?”

“Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negerinya?”

Seketika wajah pemuda itu berubah pucat. “Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus cepat mengejarnya....”

Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan enci-nya telah berdiri di depannya dengan pandang mata serius, “Adikku, engkau mau apa?”

“Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau harus berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....” Ciang Bun tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Kedua matanya sudah basah oleh air mata! Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan adiknya itu.....

********************

Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walau pun sinarnya telah lama mengusir kabut dan menciptakan tetes embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.

Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap. Wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walau pun hawa udara cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja.

Akan tetapi yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tidak tergoyahkan apa pun ketika dia memasang kuda-kuda, hanya menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga.

Tetapi tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya. Cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.

Pengintai itu menarik napas panjang dan menggumam seorang diri, “Hebat.... seorang pemuda yang hebat tidak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda....”

Kakinya bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.

“Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya jika tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan mengintai.”

Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya. Mantap.....

Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum pernah dia melihat orang ini.

Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari kepala sampai ke kaki, seluruh sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang sangat mengagumkan hati Ceng Liong.

Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata, “Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”

Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. “Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!” Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong!

Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

“Plakk! Plakk!”

Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu sekarang menggunakan lengannya menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat.

Keduanya menjadi semakin gembira ketika mendapatkan kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang, Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka dia pun melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam dia pun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.

Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran. Mereka tak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti ini pun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.

Mendadak, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka tersenyum ramah.

“Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”

Suma Kian Bu dan isterinya cepat-cepat membalas penghormatan tamu itu. “Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan kepada puteranya juga.

Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap sudah tidak mengenali aku, si pemburu miskin ini?”

Suma Kian Bu memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan dia pun lalu berseru, “Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!” Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.

Sim Hong Bu juga tertawa. “Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Pemurah, menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”

“Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa,” kata Suma Kian Bu.

“Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”

Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya,

“Nah, saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”

“Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah semenjak kurang lebih tiga tahun lalu aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengar sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pendekar?”

Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala. “Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu dan tidak mendengar apa pun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara Sim?”

“Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan membebaskan diri dari pada belenggu penjajahan!”

Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan! “Tapi.... tapi....,” keduanya menggagap.

Sim Hong Bu bersikap serius. “Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk oleh bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini....!” Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya. “Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?”

Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata yang mencorong seperti berapi-api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat.

Teng Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu. Akan tetapi, sebelum dia mengeluarkan sepatah kata pun, suaminya telah mendahuluinya berkata,

“Memang, sesungguhnya kami pun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....”

“Tentu saja tidak berdaya kalau kita tetap diam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan mala petaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?”

“Engkau betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk. “Biar pun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri.” Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apa lagi, saudara Sim?”

“Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana telah diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebar luaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dan kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menyebar luaskan dan mencari teman sehaluan inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”

“Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri sedangkan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.

“Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.”

Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang semenjak tadi nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak segembira ayah ibunya.

“Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar. Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.

Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, kemudian ayahnya dan tamu itu. Akhirnya dia menarik napas panjang. “Nanti dulu, ibu. Aku tentu tidak bisa mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.”

“Hal-hal apakah yang belum kau mengerti?” Ayahnya bertanya.

“Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba merubah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah juga selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”

“Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!” Ibunya berseru menegur.

Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.
“Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya,” kata Suma Kian Bu.

“Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain,” kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.

“Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot. Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walau pun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walau pun hal ini patut disayangkan.”

“Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.

“Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut peri kemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, dan menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar mau pun pengemis, bila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa mau pun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.”

“Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah Ceng Liong.

Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.

“Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa bahwa dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang pernah aku baca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik dari pada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?”

Ketiga orang sakti itu menggelengkan kepala. “Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapa pun jeleknya pemerintahannya, kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang sering kali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.

“Akan tetapi, kalau begitu mengapa tidak dari dulu-dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah? Mengapa ayah dan ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?”

“Itu lain lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu, kalau saatnya belum tiba, lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.”

“Tapi, bukankah sudah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu pemberontakan seperti itu?”

“Bolehkah aku menjelaskan?” berkata Hong Bu, dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk, dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara kita jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam ini pun tidak akan didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”

“Kita usir penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya.

Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya. “Ayah, satu pertanyaan lagi.”

“Tanyalah.”

“Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.”

“Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.”

“Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapa pun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tidak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu yang bahkan pernah menjadi panglima? Dan bibi Puteri Milana pernah menjadi panglima juga? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?”

Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, dia pun lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.

“Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itu pun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain dan sama sekali bukan pemberontakan para patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Memang banyak pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?”

Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan dia pun menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.

Sampai larut malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.

“Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya pulau itu.
“Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.

Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk-angguk. “Aku sudah mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.”

“Apakah yang terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma Hui.”

“Bagus! Kami pun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahaya.”

“Dan maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.

“Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan, menyelidiki kemungkinan-kemungkinan menarik jenderal itu ke pihak kita. Ia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tidak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao....”

“Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada bicaranya,” kata Ceng Liong.

Ayahnya mengangguk setuju. “Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”

Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.

Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal ginkang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sinkang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sinkang yang diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.....

********************

Rumah perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi hari itu nampak ramai sekali dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih) adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang sangat terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang usianya sudah lima puluh tahun lebih adalah seorang murid Siauw-lim-pai, tentu saja lihai ilmu silatnya. Karena dia mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan mengembangkannya, maka dia menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para muridnya selalu memakai baju putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.

Song-pangcu terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai membawa diri dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan dihormati golongan kang-ouw.

Tidak mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang dibanjiri tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena pada hari itu Pek-eng-pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari perkumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-wakil perguruan silat, piauwsu, orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan yang tidak diketahui benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka semua disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid pertama yang bersikap gagah.

Para tamu kehormatan dipersilakan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan rumah. Tamu-tamu yang tidak dikenal pun dipersilakan duduk di panggung samping kiri. Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Mereka tidak mengenal para tamu itu. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang-orang pandai. Maka agar cukup menghormat, mereka dipersilakan duduk di panggung kiri. Panggung kanan ditempati wakil-wakil perkumpulan lain yang memiliki kedudukan sebagai murid saja, sedangkan orang-orang muda diberi tempat paling belakang.

Ketika tidak nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di mana pun juga, dalam setiap pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana menjadi meriah.

Akan tetapi tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena sikap dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap kasar dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat senjata-senjata tajam.

Rombongan tamu baru ini jelas-jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berperut gendut. Hanya mereka berdua ini yang bersikap tenang dan halus tidak seperti belasan anak buah mereka, walau pun pada pandangan mereka dan gerak bibir seperti anggota rombongan yang lain, yaitu penuh kecongkakan dan ketinggian hati.

Melihat munculnya belasan orang yang jelas merupakan suatu golongan tertentu itu, Song-pangcu dan empat muridnya cepat mengadakan sambutan. Dengan sikap hormat ketua Pek-eng-nang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada belasan orang tamu yang masih berdiri dengan sikap angkuh itu.

Akan tetapi, hanya kakek gendut dan si tinggi kurus itu yang membalas penghormatan Song-pangcu, sedangkan tiga belas orang anak-anak buah mereka sama sekali tidak mempedulikan penghormatan itu. Kini Si tinggi kurus yang melangkah maju dan bicara mewakili kakek gendut.

“Sudah lama sekali kami dari Hek-i Mo-pang mendengar tentang Song-pangcu beserta Pek-eng-pang. Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang sedang merayakan ulang tahun, kami semua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah dan mengucapkan selamat!” Ucapan itu terdengar nyaring, dapat didengar oleh semua yang hadir.

Banyak di antara mereka yang terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Hitam). Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia kang-ouw, tetapi siapakah yang belum mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i Mo-pang?

Song-pangcu juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu untuk menakuti orang. Betapa pun juga karena mereka datang sebagai tamu, dia pun menghaturkan terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilakan mereka duduk. Dia mengisyaratkan para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam itu ke panggung kiri di mana berkumpul tamu yang tak begitu dikenal. Panggung inilah yang masih agak kosong.

Akan tetapi ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi marah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang ke arah rombongan yang masih berdiri berkelompok di depan panggung kiri itu, dan tidak seorang pun di antara mereka mau duduk.

“Ini penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima penghinaan orang begitu saja!” Si kurus berseru keras sedangkan kakek gendut hanya berdiri dan menumbuk-numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan alis berkerut marah.

Tentu saja empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadi pun mereka merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau bukan suhu mereka yang mempersilakan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka akan lebih suka mengusir tamu-tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si kurus yang sejak tadi menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis panjang segera menjura kepada si tinggi kurus.

“Maafkan kami yang tidak mengerti akan maksud ucapan saudara tadi! Siapa yang menghina kalian?”

“Siapa lagi kalau bukan Pek-eng-pang? Huh!”

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala yang termuda dari Pek-eng-pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang memang berdarah panas, segera menegur, “Ehh, saudara ini tamu tanpa diundang, sudah kami terima dengan ramah, kenapa menuduh kami menghina? Jika bicara urusan menghina, sikap kalian yang congkak itu baru menghina!”

Si tinggi kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, kemudian bertanya lambat-lambat dengan nada suara yang memandang rendah, “Kamu ini murid Pek-eng-pang yang kelas berapa?”

Lelaki tegap itu membusungkan dada. “Aku murid termuda di antara murid-murid kepala Pek-eng-pang!”

“Begitukah? Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!” Berkata demikian, si tinggi kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong dada murid Pek-eng- pang. Tentu saja yang didorong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.

“Plak.... desss....!”

Kiranya dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis lantas mencuat ke atas dan menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Akibatnya muka murid termuda itu yang kena tampar dengan kerasnya sehingga tubuh yang tegap itu terpelanting jauh dan roboh tak mampu bergerak lagi. Kiranya tamparan itu telah membuat murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang patah! Beberapa orang muda baju putih segera menolong dan menggotong masuk kawan mereka yang pingsan itu.

Si tinggi kurus tersenyum sinis. “Ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kemampuan murid kepala Pek-eng-pang? Dan kelemahan seperti itu berani menghina Hek-i Mo-pang? Hm, aku Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!” Suaranya lantang, sikapnya sombong, petentang-petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang tanding.

Sikapnya itu membuat para tamu merasa muak dan marah, tetapi nama Hek-i Mo-ong masih membuat mereka merasa ngeri. Apa lagi tadi mereka telah melihat sendiri betapa lihainya orang she Ciong yang tinggi kurus dan yang segebrakan saja telah merobohkan seorang murid utama Pek-eng-pang itu.

Tiga orang murid Pek-eng-pang yang lainnya menjadi penasaran, juga murid yang lain sudah mengurung maju, siap menyerang tamu-tamu yang tak diundang yang agaknya mau membikin kacau itu. Akan tetapi Ciu Hok Tek memberi isyarat kepada para anak buah untuk mundur. Dia sendiri bersama dua orang sute-nya maju menghadapi Ciong Ek Sim.

“Maafkanlah kelancangan sute kami. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti, kenapa Hek-i Mo-pang menuduh kami dari Pek-eng-pang melakukan penghinaan?”

Si tinggi kurus mengerutkan alis. Dia maklum betapa semua orang yang berada di situ kini menaruh perhatian dan semua orang memandang kepadanya. Maka dia berlagak, bertolak pinggang dan mendelik kepada Ciu Hok Tek, murid pertama Pek-eng-pang itu.

“Sudah bersalah, masih pura-pura bertanya lagi? Sudah jelas kami semua mengiringi suhu hadir di sini, tetapi kami orang Hek-i Mo-pang hanya disuruh duduk di panggung samping! Kami mau disejajarkan dengan orang-orang biasa? Bukankah itu penghinaan namanya. Apakah mereka yang duduk di panggung kehormatan itu lebih tinggi ilmunya dari kami?”

“Sobat, sikapmu ini sungguh terlalu!” Murid pertama Pek-eng-pang itu berkata, suaranya dingin dan tegas. “Tuan rumah adalah raja di rumah sendiri. Semua peraturannya harus ditaati tamu. Kalau tamu tidak suka dengan peraturan itu, silakan pergi, kami pun tidak pernah mengundang Hek-i Mo-pang!”

Ucapan ini mendapat sambutan para tamu yang rata-rata mengangguk membenarkan. Agaknya tidak ada tamu yang memihak Hek-i Mo-pang. Akan tetapi Ciong Ek Sim si tinggi kurus baju hitam itu tersenyum mengejek.

“Ha-ha, kau mau bersikap gagah-gagahan ya? Bagaimana pun juga, Pek-eng-pang telah menghina kami dan aku tidak terima!”

“Habis, kau mau apa?” Ciu Hok Tek membentak.

“Ketua Pek-eng-pang sendiri harus minta maaf kepada suhu kami, barulah kami mau mengampuni, dan memberi tempat di panggung kehormatan untuk kami!” kata Ciong Em Sim dengan galak.

Mendengar ucapan ini, para tamu menjadi semakin penasaran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Song-pangcu yang tenang menyuruh tiga orang muridnya mundur. Kemudian dia sendiri turun dari panggung kehormatan, menghampiri kakek gendut baju hitam yang bernama Boan It, menjura dan berkata, “Saudara pemimpin Hek-i Mo-pang harap maafkan kelancangan murid-murid kami.”

Sikap merendah tuan rumah ini memanaskan hati para tamu. Mereka melihat sendiri bahwa gerombolan baju hitam itulah yang membikin kacau, bahkan berani melukai murid tuan rumah, akan tetapi malah pihak tuan rumah yang meminta maaf. Ini sudah keterlaluan sekali.

Boan It, kakek gendut tokoh Hek-i Mo-pang yang sejak tadi hanya diam saja, kini menumbuk lantai dengan tongkatnya dan membentak, “Berlutut!”

Suasana menjadi bising. Para tamu berbisik-bisik marah. Betapa kurang ajarnya kakek gendut itu. Betapa sombongnya. Song-pangcu sendiri menjadi merah mukanya. Dia sudah banyak mengalah untuk menghindarkan keributan dalam pestanya. Akan tetapi gerombolan hitam itu sungguh tak tahu diri!

“Sobat-sobat dari Hek-i Mo-pang! Sebetulnya, kalian datang mau apakah? Kami merasa tidak ada urusan dengan kalian!” Akhirnya dia pun berkata, hilang kesabarannya.

“Ha-ha-ha! Pangcu dari Pek-eng-pang! Kamu sudah terlanjur menghina kami, sekarang kami menantang. Hayo perlihatkan bahwa Pek-eng-pang memang berkulit baja dan bertangan besi! Kalau kami dapat dikalahkan, baru kami mau pergi!” kata si tinggi kurus mewakili gurunya.

Setelah berkata demikian, dengan tangan kirinya dia membuat gerakan mendorong ke samping. Angin pukulan menyambar ke arah seorang tamu muda yang sedang enak- enak duduk nonton percekcokan itu. Pemuda itu berseru kaget ketika tubuhnya tiba-tiba terdorong dan terpental jatuh dari kursinya.

Ketika Ciong Ek Sim menarik tangannya, kursi kosong bekas pemuda itu melayang ke arahnya. Kursi ditangkapnya dan dia berkata kepada si kakek gendut, “Harap suhu duduk saja, biar aku yang menghajar tikus-tikus yang sudah berani menentang Hek-i Mo-pang!”

Kakek gendut itu tersenyum, menerima kursi lalu duduk di atasnya. Muridnya berkata, “Tidakkah suhu sebaiknya menanti di panggung kehormatan?”

Kakek itu mengangguk. Tiba-tiba dia menggunakan tongkatnya menekan lantai dan.... tubuhnya berikut kursi yang sedang diduduki itu terbang melayang ke atas panggung kehormatan dan akhirnya hinggap berada di deretan terdepan!

Tentu saja demonstrasi yang baru diperlihatkan Ciong Ek Sim dan Boan It itu membuat semua orang melongo! Itulah bukti kepandaian yang amat hebat! Bahkan Song-pangcu sendiri terkejut. Dia maklum bahwa yang diperlihatkan kakek gendut Boan It itu adalah kehebatan ginkang dan sinkang sekaligus!

Akan tetapi, para murid Pek-eng-pang selalu digembleng kegagahan oleh guru mereka. Biar pun mereka juga tahu akan kelihaian si kurus Ciong Ek Sim, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar. Seorang di antara tiga murid utama sudah meloncat ke depan Ciong Ek Sim, membentak dengan marah.

“Ciong Ek Sim! Seorang gagah tak takut mati dalam menentang kejahatan, dan kalian orang-orang Hek-i Mo-pang adalah penjahat-penjahat besar!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan pukulan tangan kanan yang terbuka sehingga membentuk cakar garuda ke arah kepala si tinggi kurus. Itulah jurus serangan Pek-eng-kun (Silat Garuda Putih) ciptaan Song-pangcu sebagai perkembangan dari ilmu silat garuda Siauw-lim-pai.

“Plakkk!”

Tanpa merubah kedudukan tubuhnya, seenaknya saja Ciong Ek Sim menangkis dengan tangan kiri, akan tetapi agaknya dia sudah mengerahkan tenaganya sehingga tubuh murid Pek-eng-pang terhuyung ke belakang.

“Ha-ha, tikus macam kamu ini tidak ada harganya, tak pantas melawanku! Suruh saja gurumu yang maju, atau kalian bertiga maju berbareng!” Ciong Ek Sim tertawa dengan congkaknya.

Tiga orang murid Pek-eng-pang menjadi semakin marah. Ciu Hok Tek sendiri, si murid kepala, berseru keras dan menerjang ke depan, melakukan serangan dahsyat. Ciu Hok Tek ini adalah murid pertama, tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada para sute-nya. Ketika dia menyerang, kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang menyambar keras dengan bunyi bersiutan.

Akan tetapi, tetap saja Ciong Ek Sim merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Semua pukulan atau cengkeramannya dapat dielakkan atau ditangkis. Dan dia pun hanya dapat bertahan selama sepuluh jurus saja karena begitu Ciong Ek Sim membalas dengan tendangan kaki yang menyambar dari samping, lambungnya terkena tendangan yang membuat tubuhnya terbanting cukup keras!

Dua orang sute-nya maju menyerang, tetapi mereka pun bukan lawan yang seimbang, segera disambut tamparan dan tendangan yang membuat mereka jatuh bangun! Ciong Ek Sim menghajar tiga orang murid pertama Pek-eng-pang sambil tertawa-tawa. Jelas dia mempermainkan karena kalau dia menghendaki, agaknya dengan mudah dia akan mampu membunuh tiga orang lawan itu.

Kini semua tamu menjadi terkejut. Mereka semua kini tahu bahwa orang Hek-i Mo-pang itu lihai bukan main. Tiga belas orang anak buah Hek-i Mo-pang dengan mudah segera memperoleh kursi yang ditinggalkan para tamu yang menjauhkan diri, nonton sambil bersorak dan tertawa-tawa, kadang-kadang bertepuk tangan setiap kali tangan Ciong Ek Sim merobohkan seorang lawan. Suasana menjadi tegang. Para tamu memandang marah, tegang dan khawatir. Hanya orang-orang Hek-i Mo-pang itu saja yang gembira sambil menyambar guci-guci arak dan meminumnya.

“Haaaitt....!”

Seorang murid Pek-eng-pang menyerang dengan tubuh meloncat dan menerkam. Inilah jurus Garuda Putih Menyambar Ayam yang dilakukan sambil meloncat, merupakan jurus serangan nekat dan berbahaya, baik yang diserang mau pun yang menyerang. Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Ciong Ek Sim menyambutnya dengan tendangan keras yang mengenai perut lawan.

“Ngekk!”

Tubuh murid Pek-eng-pang itu terpental dan terbanting dalam keadaan pingsan. Anak buah Hek-i Mo-pang bersorak gembira.

“Hyaaatt!”

Murid kepala Pek-eng-pang yang ke dua juga menerjang marah, bahkan sekali ini dia menggunakan sebatang pedang. Namun Ciong Ek Sim dapat mengelak dengan mudah. Ketika pedang itu lewat, tendangan kakinya pada tangan lawan membuat pedang terlempar ke atas lantai kemudian sekali sambar, tangan kirinya menjambak rambut kepala lawan dan tangannya menampari kedua pipi lawan. Terdengar suara plak-plok berkali-kali dan ketika dia melepaskan jambakan dan mendorong, tubuh lawan itu terpelanting tak mampu bangun lagi, dengan kedua pipi bengkak-bengkak matang biru!

Melihat ini, Ciu Hok Tek kemudian menjadi nekat. Di antara empat orang murid kepala Pek-eng-pang, tiga orang sudah roboh pingsan dan digotong pergi kawan-kawannya, tinggal dia seorang sebagai murid pertama. Tadi pun kalau dia tidak bertindak hati-hati dan pertahanannya lebih kuat dari pada sute-nya, tentu dia pun sudah roboh.

“Biar aku mengadu nyawa denganmu!” teriaknya marah dan dia pun menerjang sengit, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan bertubi-tubi dan dahsyat karena dia telah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Tingkat kepandaian Ciu Hok Tek tidak boleh disamakan dengan tingkat para sute-nya. Biar pun dia masih bukan tandingan murid kepala Hek-i Mo-pang, namun desakan yang dilakukan dengan nekat itu sempat membuat lawan terhuyung dan sebuah tendangan kilat sempat mencium pinggul Ciong Ek Sim.

Melihat ini, terdengar sorakan gembira yang segera disusul tepuk tangan pujian para tamu. Jelaslah, para tamu ini ingin sekali melihat si tinggi kurus yang congkak itu kalah.

Si tinggi kurus menjadi marah, melirik ke arah orang yang pertama kali menyorakinya tadi. Kiranya orang itu adalah pemuda yang tadi kursinya dirampas untuk diberikan kepada gurunya. Pemuda itu memang kelihatan gembira sekali dengan desakan murid Pek-eng-pang tadi dan kini pun masih bertepuk-tepuk tangan walau pun tamu-tamu lain sudah berhenti bersorak karena dia telah mampu mematahkan serbuan Ciu Hok Tek.

“Hem, hanya sekiankah kepandaianmu? Keluarkan semua, atau kamu berlutut minta ampun dengan mencium kakiku, baru akan kuampuni kamu!” kata Ciong Ek Sim dengan lagak sombong.

Pemuda bersorak tadi kini berteriak, “Ciu-eng-hiong, hajar monyet hitam itu! Pukul dan tendang lagi!”

Teriakannya ini pun diikuti teriakan banyak orang untuk menambah semangat pria baju putih yang mewakili Pek-eng-pang itu. Namun diam-diam Ciu Hok Tek terkejut sekali. Dia tadi sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun hanya mampu membuat lawan keserempet tendangan dan terhuyung. Maklum bahwa dia tidak akan menang, dia menjadi nekat. Disambarnya sebatang pedang dari tangan salah seorang sute-nya dan sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia pun menerjang maju.

Sekali ini Ciong Ek Sim sudah siap. Kalau tadi dia sampai terkena tendangan adalah karena dia terlalu memandang rendah sehingga agak lengah. Kini, melihat lawan menyerang dengan pedang, dia menghadapi dengan tangan kosong saja. Si baju hitam itu mendengus penuh ejekan dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan bergerak-gerak lincah di antara sambaran sinar pedang.

“Plakkk!”

Tiba-tiba dengan tangan terbuka Ciong Ek Sim menangkis pedang membuat pedang terpental dan hampir terlepas! Ciu Hok Tek kaget bukan main, demikian pula para tamu. Si tinggi kurus itu demikian lihainya sehingga berani menangkis pedang dengan tangan terbuka! Bukan hanya menangkis karena di lain saat dua buah tangan yang jarinya kecil-kecil panjang itu sudah berhasil pula menangkap pergelangan tangan Ciu Hok Tek sedemikian kuatnya membuat murid Pek-eng-pang itu tidak mampu berkutik!

Akan tetapi Hok Tek sudah nekat. Karena kedua tangannya seperti terjepit baja yang amat kuat, dia lalu menggerakkan kaki untuk menendang ke arah selangkangan lawan!

“Heh-heh-heh-heh!” Ciong Ek Sim terkekeh mengejek dan menekan tangan lawan yang memegang pedang ke bawah!

Hok Tek terkejut, tetapi sudah terlambat untuk menghindar! Paha kaki yang menendang disambut ujung pedang sendiri dan celana berikut kulit dan daging pahanya terobek. Darah muncrat dan terpaksa dia melepaskan pedangnya. Pada saat itu Ciong Ek Sim sudah memuntir tangannya yang kiri ke belakang. Demikian kuatnya puntiran itu, tak terlawan olehnya sehingga tubuhnya terputar membelakangi lawan. Ketika itu si tinggi kurus berbaju hitam mendorong lengan kirinya ke atas punggung, dia terbungkuk dan tak mampu bergerak lagi. Rasa nyeri pada pangkal lengan yang ditekuk itu membakar seluruh tubuhnya.

“Ha-ha-ha, tikus cilik! Kamu murid pertama Pek-eng-pang, bukan? Nah, berlututlah dan minta ampun pada tuanmu baru aku akan mengampunimu!” kata si tinggi kurus dengan muka penuh ejekan.

Para tamu melihat dengan muka tegang dan pucat. Keadaan Ciu Hok Tek memang sudah tak mampu bergerak lagi, nyawanya berada dalam tangan tokoh Hek-i Mo-pang itu. Tentu saja mereka tegang sekali, ingin sekali melihat apakah murid Pek-eng-pang itu mau minta ampun secara terhina itu dan apakah si baju hitam itu benar-benar akan membunuh lawannya yang sudah tak berdaya itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar