Kisah Sepasang Rajawali Jilid 1-5

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 1-5. "Eh, Bu-te (adik Bu), jangan main-main! Angin bertiup begini kencang, lekas duduk dan membantu aku.
Anonim
"Haaiiiii... hiiyooooo... huiiiiii...!"

"Eh, Bu-te (adik Bu), jangan main-main! Angin bertiup begini kencang, lekas duduk dan membantu aku. Gulung layar itu, kita bisa celaka kalau angin sebesar ini dan layar tetap berkembang!"

"Yahuuuuu...! Wah, dengar, Lee-ko (kakak Lee), suara terbawa angin tentu terdengar sampai jauh. Hiyooooohhhhh...!"

Mereka adalah dua orang anak laki-laki yang menjelang dewasa, berusia empat belas tahun, berwajah tampan dan bertubuh tegap kuat. Mereka ini kakak-beradik yang mempunyai ciri wajah berbeda sungguh pun sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tampan. Yang disebut Lee-ko adalah Suma Kian Lee, sedangkan adiknya itu adalah Suma Kian Bu, dan kedua orang anak laki-laki ini bukan anak-anak nelayan biasa yang bermain-main dengan perahu mereka, melainkan putera-putera Pendekar Super Sakti Suma Han atau yang lebih terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es!

Pendekar Super Sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai selama bertahun-tahun, tinggal di Pulau Es bersama dua orang isterinya, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang isteri yang cantik jelita dan mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa raga mereka. Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan betapa suami dengan kedua orang isterinya ini baru berkumpul kembali di pulau itu setelah mereka berusia empat puluh tahun dan hidup bertiga di pulau kosong itu, mengasingkan diri dari dunia ramai dan saling mencurahkan kasih sayang yang terpendam selama belasan tahun berpisah!

Dari curahan kasih sayang yang amat mendalam dan mesra itu, terlahirlah dua orang anak laki-laki itu. Lulu melahirkan puteranya lebih dahulu, dan anak itu diberi nama Suma Kian Lee. Setengah tahun kemudian, Nirahai juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Suma Kian Bu. Tentu saja kelahiran dua orang anak laki-laki itu menambah rasa bahagia di dalam kehidupan mereka bertiga sehingga tidak begitu terasalah kesunyian di pulau itu. Dan setelah kedua orang anaknya terlahir, demi kepentingan dua orang anaknya, Suma Han tidak lagi pantang bergaul dengan orang lain, bahkan sering kali dia mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Pulau Es mengunjungi pulau-pulau lain di dekat daratan besar yang dihuni oleh nelayan-nelayan.

Karena kedua orang anak itu lebih mirip dengan ibu masing-masing, maka biar pun keduanya sama tampan, namun terdapat perbedaan dan ciri khas pada wajah mereka, juga semenjak kecil sudah tampak perbedaan watak mereka yang menyolok sekali. Suma Kian Lee, putera Lulu, berwatak lembut dan halus, sabar dan tidak pernah melakukan kenakalan, juga pendiam. Sebaliknya, Suma Kian Bu, putera Nirahai, amat nakal dan periang, mudah tertawa dan mudah menangis, bandel dan berani, akan tetapi juga amat mencinta kakaknya dan betapa pun nakalnya, akhirnya dia selalu tunduk dan taat kepada kakaknya. Padahal dia berani membangkang terhadap ibunya sendiri, bahkan kadang-kadang dia berani menentang ayahnya!

Pada pagi hari itu, ketika kedua orang ibu mereka sedang sibuk di dapur dan ayah mereka seperti biasa di waktu pagi hari duduk bersemedhi dalam kamar semedhinya, mereka berdua bermain-main dengan perahu mereka. Kemudian timbul niatan tiba-tiba dalam kepala Suma Kian Bu untuk pergi menggunakan perahu ke daratan besar dan mencari enci-nya (kakak perempuannya) yang tinggal di kota raja!

Memang anak ini mempunyai seorang kakak perempuan yang bernama Puteri Milana. Puteri Nirahai adalah puteri Kaisar Tiongkok yang lahir dari seorang selir, maka anaknya yang pertama, yang bernama Milana, juga seorang puteri, cucu kaisar! Di dalam ceritera Sepasang Pedang Iblis dituturkan betapa Puteri Milana, kakak Suma Kian Bu ini, oleh ayahnya diharuskan ikut kakeknya, Kaisar Tiongkok, untuk tinggal di istana kaisar dan selanjutnya mentaati semua perintah kakeknya itu.

Akhirnya oleh kaisar, Puteri Milana yang cantik jelita itu dijodohkan dengan seorang panglima muda yang juga berdarah bangsawan, setelah panglima muda ini berhasil keluar dari sayembara yang diadakan oleh Milana. Dara bangsawan itu, cucu kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, hanya mau dijodohkan dengan seorang yang mampu menahan serangannya selama seratus jurus! Dan kalau dia menghendaki, sukarlah ditemukan orang yang dapat menahan seratus jurus serangannya. Akan tetapi ketika Han Wi Kong, panglima muda itu memasuki sayembara, pemuda perkasa ini berhasil mempertahankan diri dan dialah yang terpilih menjadi suami puteri jelita dan perkasa itu! Sesungguhnya, hal ini hanya dapat terjadi karena memang Milana memilihnya di antara sekian banyaknya pelamar yang datang memasuki sayembara.

Ketika diadakan pesta pernikahan Puteri Milana, Pendekar Super Sakti bersama kedua orang isteri dan kedua orang puteranya datang pula ke kota raja. Hal ini terjadi ketika kedua orang puteranya masih kecil, baru berusia lima atau enam tahun dan itulah pengalaman pertama dari kedua orang anak ini melihat kota raja!

Demikianlah pagi hari itu Suma Kian Bu membujuk kakaknya untuk pergi menyusul enci-nya (kakak perempuannya) di kota raja. Tentu saja Suma Kian Lee menolak dan mengingatkan adiknya bahwa kota raja amatlah jauh dan pergi ke sana tanpa ijin ayah mereka tentu akan membuat ayah mereka marah. Akan tetapi, Suma Kian Bu merengek dan akhirnya Suma Kian Lee yang amat sayang kepada adiknya, terpaksa menyanggupi dan berlayarlah keduanya meninggalkan Pulau Es!

Biar pun kedua orang anak laki-laki itu baru berusia empat belas tahun, akan tetapi sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja mereka tidak dapat disamakan dengan anak-anak lain yang sebaya dengan mereka. Semenjak kecil mereka berdua telah digembleng oleh ayah bunda mereka yang berilmu tinggi sehingga mereka merupakan dua orang anak-anak yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan memiliki tenaga sinkang latihan Pulau Es yang mukjijat.

Betapa pun juga, mereka hanyalah anak-anak dan sifat kanak-kanak mereka yang suka bermain-main masih melekat dalam hati mereka. Setelah mereka menjelang dewasa, jiwa petualang yang terdapat dalam hati semua anak laki-laki bergejolak dan kini dicetuskan oleh Kian Bu yang mengajak kakaknya untuk pergi merantau, menyusul enci-nya di kota raja.

Perahu mereka telah jauh meninggalkan Pulau Es karena angin di pagi hari itu bertiup kencang sehingga layar yang mereka pasang berkembang penuh. Akan tetapi makin lama angin bertiup makin kencang sehingga Kian Lee merasa khawatir sekali karena perahu mereka sudah miring-miring dan meluncur terlalu cepat. Sebaliknya Kian Bu masih bermain-main, berdiri di kepala perahu, bertolak pinggang dan berteriak-teriak membiarkan suaranya dibawa angin.

"Bu-te, cepat bantu. Berbahaya kalau begini, kurasa akan ada badai!" Kian Lee yang mengemudikan perahu dengan dayungnya berteriak lagi.

Mendengar disebutnya ‘badai’, otomatis Kian Bu menghentikan teriakan-teriakannya dan air mukanya berubah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggulung layar dan membantu kakaknya mendayung sambil berbisik, "Benarkah ada... badai, Lee-ko?"

"Entahlah, mudah-mudahan saja tidak," jawab kakaknya. "Dan payahnya, mungkin kita salah jalan, Bu-te. Mengapa belum juga nampak daratan besar?"

Dua orang kakak-beradik ini memang agak gentar terhadap badai. Pernah ayah mereka bercerita betapa hebatnya kalau badai telah mengamuk di daerah lautan ini. Bahkan menurut cerita ayahnya, Pulau Es sendiri pernah diamuk badai sampai tenggelam di bawah permukaan air laut! Betapa mengerikan. Kata ayah mereka, dahulu pulau mereka itu merupakan sebuah kerajaan, akan tetapi semua penghuninya dibasmi habis oleh badai dan hanya tinggal bangunan istananya saja. Biar pun mereka berdua yang sejak kecil tinggal di pulau dan tidak asing dengan lautan, bahkan ahli dalam ilmu renang, pandai pula menguasai perahu, namun mendengar tentang badai sehebat itu, mereka merasa gentar juga. Dan sekarang, berada di tengah lautan, jauh dari Pulau Es, mereka merasa ngeri kalau-kalau ada badai akan mengamuk.

"Lee-ko, bukankah daratan besar letaknya di sebelah barat?"

"Menurut ibu demikian dan tadi aku sudah mengarahkan perahu ke barat. Akan tetapi, angin kencang mengubah haluan dan kita agaknya menyimpang ke utara. Awas, Bu-te, angin makin kencang!"

Kedua orang pemuda tanggung itu kini tidak bicara lagi, tetapi menggerakkan dayung dengan amat hati-hati untuk mengemudikan perahu mereka yang mulai dipermainkan ombak. Makin lama angin makin kencang bertiup dan ombak makin membesar hingga perahu mereka diombang-ambingkan bagai sebuah mainan kecil dipermainkan tangan-tangan raksasa! Mereka tidak dapat lagi menentukan arah, hanya mempergunakan tenaga melalui dayung untuk menjaga agar perahu mereka tidak sampai terbalik.

"Tenang saja, Bu-te...," di tengah-tengah amukan ombak itu Kian Lee berkata kepada adiknya.

Kian Bu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Lee-ko, harap jangan khawatir."

Dua orang pemuda tanggung itu memang memiliki nyali yang amat besar. Biar pun keadaan mereka cukup berbahaya, namun keduanya masih tenang saja, percaya penuh akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri.

"Dukk! Dukk!"

"Apa itu...?" Kian Bu berteriak kaget, cepat menggerakkan dayung untuk membantu kakaknya mengatur keseimbangan perahu yang tadi terpental seolah-olah ditabrak sesuatu.

"Hemmm, ikan-ikan hiu...! Lihat itu mereka!" Kian Lee berseru sambil menuding ke depan.

Tampaklah sirip-sirip ikan hiu yang berbentuk layar itu meluncur di dekat perahu mereka. Agaknya ikan-ikan itu sudah tahu bahwa perahu kecil itu ditumpangi dua orang yang tentu akan menjadi santapan lezat bagi mereka kalau perahunya dapat terguling. Mereka tadi tidak sengaja menabrak perahu, akan tetapi melihat dua orang di atas perahu, ikan-ikan itu lalu berenang di kanan kiri perahu, agaknya menanti dengan tak sabar lagi sampai dua orang manusia yang akan dijadikan mangsa mereka itu terjatuh ke air dan diperebutkannya.

"Setan air!" Kian Bu memaki. "Lee-ko, jaga perahu, biar kuhajar mereka!"

Tanpa menanti jawaban kakaknya, Kian Bu sudah meloncat keluar dari perahunya, dipandang dengan mata penuh kegelisahan oleh kakaknya. Kakak ini maklum akan keberanian dan kenakalan adiknya, akan tetapi kadang-kadang dia harus menahan napas menyaksikan kenakalan Kian Bu, apalagi sekarang!

Kian Bu yang meloncat keluar itu menggunakan kakinya hinggap di atas sirip seekor ikan hiu besar, sedangkan dayung di tangannya, dayung yang ujungnya dipasangi besi, dihantamkan ke kanan kiri mengenai dua ekor ikan hiu lain, tepat di bagian kepala sehingga kepala dua ekor ikan itu pecah. Segera terjadilah pesta pora, karena dua ekor ikan hiu yang terluka kepalanya dan mengeluarkan darah itu telah dikeroyok oleh belasan ekor ikan hiu lainnya sehingga dalam waktu sebentar saja daging mereka terobek-robek dan ditelan habis. Kian Bu sudah meloncat lagi ke atas perahunya dan sambil tertawa-tawa dia membantu kakaknya untuk mendayung perahu meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi karena gelombang lautan masih amat besar, usaha mereka mendayung perahu itu hanya sedikit sekali hasilnya, perahu mereka tetap saja diombang-ambingkan dan mereka tidak tahu lagi ke mana mereka akan dibawa oleh perahu.

"Bu-te, lihat di sana ada pulau!"

Kian Bu menoleh ke kiri dan tampak olehnya sebuah pulau kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak karena perahu mereka masih dipermainkan ombak yang naik turun bergelombang. "Lee-ko, mari kita ke sana!"

Dengan susah payah kedua orang kakak beradik ini mendayung perahu mereka dan akhirnya mereka dapat juga mendarat di pulau kecil itu dan menarik perahu sampai ke atas daratan yang tidak tercapai oleh air yang bergelombang. Tiba-tiba mereka dikejutkan suara riuh rendah seperti ada puluhan ekor anjing menggonggong dan menyalak. Ketika mereka naik ke tengah pulau yang agak tinggi, tampaklah oleh mereka pemandangan yang menakjubkan. Kiranya pulau itu merupakan tempat tinggal atau sarang dari sekawanan anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor!

"Lee-ko, betapa lucunya mereka. Mari kita menangkap seekor anak anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor dan kita bawa pulang!" Kian Bu sudah berlari menuju ke tempat itu.

"Jangan, Bu-te!" Kian Lee melarang, akan tetapi karena adiknya sudah berlari cepat, terpaksa dia mengejarnya.

Rombongan anjing laut itu makin hiruk-pikuk mengeluarkan teriakan-teriakan mereka ketika melihat dua orang manusia yang berlari menuju ke arah mereka itu, dan dalam sekejap mata saja mereka telah terjun ke air dan berenang ke tengah laut. Tampak tubuh mereka itu timbul tenggelam dan suara mereka masih menguik-nguik sebagai tanda kemarahan karena ketenangan mereka terganggu.

"Bu-te, jangan ganggu mereka. Bukankah tujuanmu mencari enci Milana, mengapa kau hendak menangkap anjing laut?" Kian Lee menegur.

Kian Bu tertawa. "Aihhh, aku sudah lupa lagi akan tujuan perjalanan kita, Lee-ko. Padahal, selain kita masih jauh dari kota raja, sekarang kita bahkan tidak tahu lagi di mana kita berada."

Suara gerengan dahsyat yang menggetarkan pulau itu mengejutkan mereka. Ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata di depan mereka telah berdiri seekor binatang yang besar sekali. Besar dan tinggi binatang itu ada satu setengah kali manusia dewasa dan binatang itu adalah seekor beruang es yang bulunya putih seperti kapas, mata dan moncongnya kemerahan. Biar pun jarang mereka bertemu dengan seekor beruang es, namun kedua kakak beradik itu mengerti bahwa binatang itu marah sekali. Mereka sudah siap dan waspada menghadapi segala kemungkinan.

Sekali lagi binatang itu menggereng dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan. Walau pun tubuhnya amat besar dan canggung, namun ternyata binatang itu dapat bergerak dengan cepat sekali, dan dari sambaran angin tahulah dua orang kakak beradik itu bahwa beruang es ini memlliki tenaga yang amat besar.

"Awas, Bu-te!" Kian Lee berseru memperingatkan sebab yang terdekat dengan beruang itu adalah Kian Bu, maka pemuda inilah yang lebih dulu menjadi sasaran serangannya.

Suma Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat berani dan agak ugal-ugalan, terlalu mengandalkan kepandaian dan tenaganya sendiri, berbeda dengan kakaknya yang lebih berhati-hati. Melihat beruang itu menubruknya dengan kedua kaki depan diangkat hendak mencengkeramnya dari kanan kiri, Kian Bu cepat menggerakkan kedua tangan menangkis.

"Dukkk!"

Tubuh Kian Bu terjengkang dan tenaga dahsyat dari beruang itu membuat dia jatuh terguling-guling. Beruang itu agaknya juga merasa nyeri kedua kakinya ketika terbentur oleh lengan pemuda yang mengandung tenaga sinkang itu, maka dia menggereng lagi penuh kemarahan, lalu secepat kilat dia menubruk pemuda yang masih bergulingan di atas tanah itu!

Melihat bahaya mengancam adiknya, Kian Lee cepat menyambar dari samping, memukul ke arah kepala beruang sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dahsyat. Dengan tenaga sinkang istimewa ini, Kian Lee sanggup menghantam remuk batu karang!

Akan tetapi ternyata beruang yang besar itu gesit sekali, kegesitan yang dikuasainya bukan karena ilmu silat, melainkan karena keadaan hidupnya yang setiap saat penuh bahaya, membuat dia gesit dan waspada. Nalurinya tajam sekali dan perasaannya amat peka. Begitu pukulan dahsyat itu menyambar, dia sudah dapat mengelakkan kepalanya, dan kedua kaki depannya yang tadi menubruk ke arah Kian Bu, kini menyimpang dan menghantam pundak Kian Lee.

"Wuuuuttt... dessss!"

Kian Lee cepat mengelak, melempar diri ke kanan, kemudian dari kanan dia sudah menampar dengan telapak tangan kanannya yang tepat mengenai punggung beruang es. Tamparan ini keras sekali, namun agaknya tidak terasa oleh beruang itu yang hanya terhuyung sedikit, menurunkan kedua kaki depannya ke atas tanah, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat dan menubruk orang yang telah menampar pundaknya itu.

"Awas, Lee-ko...!"

Kian Bu yang terkejut melihat serangan beruang itu yang menubruk dengan cepat dan agaknya tak mungkin dapat dielakkan oleh kakaknya karena jaraknya terlalu dekat, sudah berteriak dan menubruk ke depan. Dia merangkul kedua kaki belakang beruang itu dari belakang sehingga beruang yang sedang menubruk itu terguling, membawa tubuh Kian Bu terguling bersamanya! Karena Kian Bu mempergunakan ginkang-nya, membuat tubuhnya ringan dan gerakannya gesit sekali, dia berhasil jatuh di bagian atas, menindih tubuh beruang es itu.

Akan tetapi celaka baginya, binatang raksasa itu telah menggunakan kedua kaki depannya yang amat kuat untuk merangkul pinggangnya dan menarik sekuat tenaga, agaknya berusaha untuk mematahkan tulang punggung pemuda itu.

"Auggghhh...!" Kian Bu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, akan tetapi ternyata binatang itu memiliki tenaga kasar yang kuat sekali!

"Plak! Desss!"

Tubuh binatang itu terlempar ketika pada saat yang tepat Kian Lee telah menolong adiknya dengan memukul tengkuk binatang itu dari atas, dan tepat pada saat itu juga, Kian Lee telah menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada binatang itu. Menerima pukulan Kian Lee yang dahsyat, seketika pelukan binatang itu mengendur, maka ketika dadanya dihantam, dia terlempar dan bergulingan.

"Bu-te, hati-hati, dia buas sekali!" Kian Lee memegang tangan adiknya dan kini kakak beradik itu berdiri berdampingan, siap untuk mengeroyok binatang yang amat kuat itu.

Beruang es itu pun berdiri di atas kedua kaki belakang, matanya makin merah menatap kedua orang muda penuh kemarahan, mulutnya mendesis-desis memperlihatkan taringnya, tetapi agaknya dia gentar juga menghadapi dua orang lawan yang cepat itu. Akhirnya, tidak kuat dia menghadapi tatapan pandang mata yang amat tajam dan pantang menyerah dari kedua orang muda itu, beruang ini mundur-mundur, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari situ.

"Bu-te, mari kita lekas kembali ke perahu. Tempat ini berbahaya," kata Kian Lee yang segera lari diikuti oleh adiknya, kembali ke perahu mereka.

Mereka cepat menarik perahu ke laut dan ternyata bahwa laut telah mulai tenang. Kini tampaklah sebuah pulau memanjang yang berwarna hitam, tak jauh membentang di depan.

"Agaknya pulau itu tidak seliar tempat ini, Lee-ko. Mari kita ke sana, siapa tahu kita dapat bertemu dengan nelayan dan kita dapat bertanya arah ke daratan besar kepadanya."

Kian Lee setuju dan mereka lalu mengembangkan layar. Angin perlahan meniup layar dan tak lama kemudian mereka telah tiba di pulau yang kelihatan penuh dengan hutan liar itu. Tadinya mereka merasa ragu-ragu untuk mendarat, akan tetapi ketika mereka melihat sebuah perahu kecil berwarna hitam berada di tepi pantai, mereka menjadi girang dan cepat mendaratkan perahu mereka dekat perahu hitam, kemudian mereka meloncat turun.

Akan tetapi baru saja kedua orang kakak beradik ini melangkah menuju ke tengah pulau, tiba-tiba dari dalam hutan tampak belasan orang berlari-larian keluar dan yang mengejutkan hati kedua orang pemuda Pulau Es itu adalah ketika mereka melihat gerakan belasan orang itu.

Gerakan mereka ketika berlari amat cepat, tubuh mereka berkelebatan seperti terbang, tanda bahwa belasan orang itu telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi! Yang lebih mengherankan dan menyeramkan lagi adalah seorang yang memimpin rombongan itu, seorang kakek yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar dan dua pasang kaki tangannya yang tampak sebatas lutut dan siku, penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar!

Siapakah mereka itu? Pertanyaan ini mengganggu pikiran kedua kakak beradik itu. Tentu saja mereka tidak tahu dan mereka sama sekali juga tidak pernah menyangka bahwa mereka yang diserang gelombang besar itu ternyata telah kesasar ke Pulau Neraka! Pulau Neraka adalah sebuah pulau yang baru dua tiga puluh tahun ini terkenal sekali, bahkan sama terkenalnya dengan Pulau Es. Sebetulnya, Pulau Neraka ini menurut riwayatnya masih ada hubungannya dengan Pulau Es.

Dahulu kala, ratusan tahun yang lalu, ketika di Pulau Es masih terdapat sebuah kerajaan kecil, Pulau Neraka merupakan tempat pembuangan orang-orang yang melakukan dosa besar. Akhirnya, setelah kerajaan di Pulau Es terbasmi habis oleh badai sehingga seluruh penghuninya tewas, Pulau Neraka dengan penghuninya merupakan daerah yang bebas. Bahkan Lulu, isteri Pendekar Super Sakti pernah pula menjadi ketua atau majikan dari Pulau Neraka ini.

Setelah Pulau Neraka kehilangan semua tokohnya dan tidak ada yang memimpin lagi, terjadilah perebutan kekuasaan. Akan tetapi baru tiga tahun yang lalu, Pulau Neraka kedatangan seorang kakek raksasa yang amat sakti, yang dengan kepandaiannya menundukkan semua penghuni Pulau Neraka sehingga otomatis dia diangkat menjadi ketua.

Dia memperkenalkan diri dengan nama julukan Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) dan memang dia pantas memakai nama julukan seperti itu karena selain tubuhnya seperti raksasa dan mukanya yang terhias caling itu seperti iblis, juga dia datang ke Pulau Neraka dengan menunggang seekor burung rajawali hitam! Lebih hebat lagi, di belakang burung rajawali hitam ini terdapat dua ekor burung rajawali lain yang berbulu putih dan bermata emas, akan tetapi dua ekor burung rajawali ini masih muda dan agaknya takluk kepada burung rajawali hitam sehingga dia ikut saja ke mana sang rajawali hitam itu terbang.

Hek-tiauw Lo-mo memang seorang sakti. Dia datang dari daratan negara Kolekok (Korea) dan di sana dia menjadi orang buruan pemerintah karena dia merupakan seorang penjahat yang kejam dan dimusuhi pemerintah dan semua orang gagah. Karena merasa tidak aman berada di negaranya sendiri, Hek-tiauw Lo-mo melarikan diri dengan sebuah perahu ke selatan. Di dunia selatan, dia berhasil menjadi raja suatu bangsa yang masih biadab dan yang tinggal di dalam hutan-hutan pegunungan yang amat liar.

Karena kepandaian dan kekuatannya, bangsa biadab ini tunduk kepadanya dan sampai sepuluh tahun dia menjadi raja mereka. Selain dapat memperoleh ilmu-ilmu yang aneh dan tinggi, juga Hek-tiauw Lo-mo ini ketularan kebiasaan dan kesukaan bangsa itu, yaitu kadang-kadang makan daging manusia, musuh mereka dari lain suku yang menjadi korban perang! Agaknya kebiasaan memakan daging orang inilah yang lalu membuat gigi calingnya menonjol keluar, membuat dia kelihatan menyeramkan, seperti seorang iblis.

Setelah tidak kerasan lagi tinggal bersama orang-orang liar dan merasa rindu kepada dunia ramai, Hek-tiauw Lo-mo dengan membekal pengalaman hebat dan ilmu kepandaian yang tinggi, menggunakan perahu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke utara. Kini dia tidak takut lagi dimusuhi oleh siapa pun juga karena dia mempunyai andalan ilmu-ilmu yang tinggi dan sakti. Akan tetapi, ketika dia berlayar mencari negaranya, dia tersesat jalan dan akhirnya dia tiba di sebuah pulau kosong yang tak pernah didatangi manusia.

Di tempat ini dia diserang oleh tiga ekor burung rajawali tadi, akan tetapi karena kepandaiannya, dia berhasil menundukkan mereka, bahkan membuat rajawali hitam yang liar dan ganas itu menjadi jinak dan menjadi binatang tunggangannya. Ada pun dua ekor rajawali putih yang masih muda, menurut saja kemana pun perginya rajawali hitam, maka sekaligus dia memperoleh tiga ekor binatang peliharaan yang boleh diandalkan!

Setelah memiliki binatang tunggangan yang hebat ini, dia mencari lagi negaranya dengan menunggang rajawali hitam. Akan tetapi kembali dia tersesat, dan kini rajawali itu membawanya turun ke Pulau Neraka! Begitu melihat keadaan pulau ini dan melihat para penghuninya yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, seketika hatinya tertarik. Dia menundukkan mereka semua dengan kepandaiannya dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka.

Karena selama perantauannya dia sudah membuang nama sendiri, melupakan nama itu yang dianggap sebagai nama buronan yang rendah, maka dia memperkenalkan dirinya sebagai Hek-tiauw Lo-mo. Nama Hek-tiauw diambil dari nama tunggangannya, seekor burung rajawali hitam, dan nama Lo-mo diambilnya karena dia memang merasa sebagai seorang iblis tua yang cocok menjadi ketua Pulau Neraka!

Demikianlah, selama tiga tahun Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua Pulau Neraka, dan dia malah menurunkan ilmu kepada para penghuni Pulau Neraka yang kini hanya tinggal dua puluh orang pria dan tujuh orang wanita itu. Empat orang di antara tujuh orang wanita yang masih muda, biar pun sudah menjadi isteri empat orang penghuni Pulau Neraka, secara paksa diambil oleh Hek-tiauw Lo-mo sebagai selir-selirnya sendiri! Dan dia menganjurkan kepada anak buahnya untuk mencari wanita dari perkampungan nelayan. Dalam tiga tahun itu, bertambahlah penghuni Pulau Neraka dengan tiga puluh orang wanita lagi, wanita-wanita muda yang mereka culik dari perkampungan nelayan di sekitar laut itu.

Kedua kakak-beradik dari Pulau Es yang tadinya merasa girang melihat bahwa di pulau asing itu ada penghuninya, yang menimbulkan harapan bahwa mereka akan dapat menanyakan arah menuju ke daratan besar, kini menjadi terkejut sekali melihat orang-orang ini ternyata berkepandaian tinggi, bersikap liar dan rata-rata mereka mempunyai wajah yang pucat putih seperti dikapur, kecuali wajah kakek raksasa itu. Lebih kaget lagi hati mereka melihat orang-orang itu telah mengurung mereka dengan sikap mengancam.

"Huah-ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak saking girang hatinya melihat dua orang laki-laki muda yang bertubuh tegap sehat dan bersih itu. Mulutnya mengeluarkan air liur ketika seleranya bangkit!

Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali dan memandang dengan hati ngeri melihat betapa kakek raksasa itu ternyata bercaling seperti beruang es yang belum lama ini mereka lawan!

Melihat sikap mereka yang mencurigakan dan mengkhawatirkan itu, Kian Lee sudah cepat mengangkat tangan di depan dada, menjura sambil berkata, "Harap Cu-wi sudi memaafkan kami berdua kalau kami mengganggu Cu-wi dan datang di sini tanpa ijin Cu-wi. Kami datang hanya ingin menanyakan sesuatu kepada Cu-wi."

Mendengar cara bicara pemuda tampan itu yang halus dan teratur rapi, Hek-tiauw Lo-mo kembali tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, menarik sekali! Katakanlah, orang muda yang tampan, apa yang hendak kalian tanyakan kepada kami?"

Kian Lee tak ingin berpanjang cerita, maka dia berkata singkat, "Kami berdua tersesat jalan karena terbawa gelombang lautan dan kami ingin bertanya ke manakah arah daratan besar?"

Hek-tiauw Lo-mo menoleh ke kanan dan ke kiri memandang anak buahnya, tersenyum menyeringai lalu berkata, "Dengarkah kalian? Mereka sudah datang ke daratan sini masih ingin mencari daratan besar. Heh-heh!"

Semua penghuni Pulau Neraka yang kini telah datang berkumpul, tersenyum lebar menyeringai. Dua orang pemuda tanggung itu menjadi makin gelisah dan mulailah mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang tidak baik bagi mereka.

"Kalau Cu-wi tidak mau memberi tahu, biarlah kami pergi lagi saja dan kami tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Marilah, Lee-ko!" berkata Kian Bu yang sudah hilang sabarnya menyaksikan sikap mereka.

"Hai, nanti dulu! Kalian hendak pergi ke mana?" Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring dan semua anak buahnya sudah bergerak menghadang kedua orang muda itu.

"Kami hendak pergi dari sini!" Kian Bu membentak, marah sudah.

Melihat kemarahan adiknya, Suma Kian Lee cepat berkata dengan suara masih penuh kesabaran dan ketenangan, "Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang hendak pergi lagi dengan aman."

"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, orang-orang muda yang baik! Siapa pun dia yang telah mendarat di Pulau Neraka, tidak dapat pergi begitu saja!"

"Pulau Neraka...?" Kedua orang muda itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata ini. Tentu saja mereka telah mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang tua mereka, bahkan Kian Lee tahu pula bahwa ibu kandungnya dahulu adalah ketua Pulau Neraka!

"Aihhh! Jadi kalian ini adalah para penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di Pulau Neraka? Sungguh kebetulan sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.

"Ha-ha-ha-ha, mengapa kau katakan kebetulan, orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak kecewa mengapa kedua orang pemuda tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau Neraka.

"Karena ibu kami, ibu kandung kakakku ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"

"Bu-te...!" Kian Lee terkejut melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.

Benar saja, kakek itu terkejut sekali, namun lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau Neraka itu yang kini memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh selidik. Mereka semua tahu bahwa majikan mereka yang dahulu sekarang telah menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es.

Hek-tiauw Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan dengan wanita ketua Pulau Neraka itu, bertanya mendesak, "Benarkah demikian?"

Karena adiknya sudah terlanjur bicara, maka Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang, dan sesungguhnya, "Tidak salah ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi sekarang ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua datang dari Pulau Es, kami adalah dua orang putera Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es."

Mendengar ucapan ini semua penghuni Pulau Neraka terbelalak. Serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah dua orang pemuda itu! Melihat betapa semua anak buahnya memperlihatkan sikap menghormat kepada dua orang muda yang mengaku datang dari Pulau Es itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah sekali. Dia membanting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah itu ke atas tanah sehingga tanah sekeliling tempat dia berdiri tergetar seperti dilanda gempa bumi!

"Bangun semua! Hayo bangkit semua, yang tidak bangkit akan kubunuh!"

Tentu saja para anak buah Pulau Neraka terkejut dan ketakutan. Cepat mereka bangkit berdiri sungguh pun mereka masih memandang ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan sikap sungkan.

Hek-tiauw Lo-mo telah meloncat ke depan dan dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa gerakan kakek ini ringan sekali, sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang demikian besarnya.

"Bagus! Jadi kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu Pendekar Super Sakti? Baru sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan kujadikan pesta, daging kalian yang muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi karena kalian adalah orang-orang Pulau Es, biarlah aku menjadikan kalian tahanan di sini. Hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar Super Sakti!"

Tiba-tiba seorang yang tua dan tubuhnya gendut tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di depan ketuanya.

"Ji Song, engkau mau bicara apa?" Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah karena para anak buahnya tadi memberi penghormatan besar kepada dua orang pemuda itu.

Ji Song adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang boleh dibilang tertua, juga dia lihai sekali dan menjadi orang kedua setelah Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan Pendekar Super Sakti yang amat ditakutinya itu. Maka begitu mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan akibatnya. Kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan hanya ketua Pulau Neraka, mungkin seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.

"Tocu, harap maafkan saya... akan tetapi saya harap tocu tidak main-main dengan... dengan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada saya dan... dan sebaiknya kalau kedua orang pemuda ini dibebaskan saja agar jangan timbul banyak urusan yang akan memusingkan saja."

Raksasa itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hemmm, kalau bukan engkau yang bicara aku tentu tidak akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut terhadap seorang manusia lain? Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih besar lagi, melihat engkau sendiri begitu takut! Seperti apakah Pendekar Super Sakti?"

"Seperti apa? Kalau dia datang, jangan harap engkau akan dapat hidup lebih lama lagi!" Tiba-tiba Kian Bu berkata dengan suara mengejek. "Lagi pula tidak perlu ayah datang, kami berdua pun tidak takut menghadapi kalian!"

"Bu-te...!" Kian Lee mencela adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua Pulau Neraka itu, "Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan oleh lopek itu tadi benar. Sebaiknyalah kalau di antara kita tidak timbul permusuhan apa-apa. Harap tocu membiarkan kami pergi."

"Nanti dulu, orang muda. Tidak begitu mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha! Boleh jadi ayah kalian itu berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para penghuni Pulau Neraka, akan tetapi aku yang belum pernah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, sama sekali tidak takut!"

"Habis, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?" Kian Bu membentak lagi saking marahnya. Kalau tidak melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju dan menggunakan kekerasan untuk membebaskan diri dan meninggalkan pulau berbahaya itu.

"Ha-ha-ha, seperti melihat bumi dengan langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan tetapi begitu sama tampan dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan, siapakah nama kalian?"

"Namaku adalah Suma Kian Lee dan dia ini adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku mengharap kebijaksanaan tocu untuk membebaskan kami dan biarlah kami akan menceritakan kepada ayah kami akan kebaikan hatimu itu."

"Oho! Kau hendak menggunakan nama ayahmu untuk menakuti aku?"

"Habis, kau mau apa?" Kian Bu membentak.

"Kalian tidak boleh meninggalkan pulau ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah kalian super sakti dan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali tak mungkin, kalau aku kalah, baru kalian boleh pergi bersama ayahmu."

"Manusia sombong! Aku tidak takut, akan kulihat bagaimana kau hendak menangkap aku!" Kian Bu membentak lagi dan sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh, kedua kakinya menyilang dan agak ditekuk lututnya, kedua lengan di depan dan di belakang tubuh, sikap yang siap menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang mengurungnya.

Kian Lee yang kini maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga sudah bersiap untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh kewaspadaan. Cepat dia meloncat di belakang tubuh adiknya sehingga mereka berdua berdiri saling membelakangi dan dengan demikian saling melindungi.

"Heh-heh-heh, luar biasa! Ji Song, perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak kulihat gerakan mereka. Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat mengukur kepandaian ayahnya," kata raksasa itu sambil tertawa penuh kegirangan.

Kedua alis Ji Song berkerut. Dia takut sekali terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering kali dia menyaksikan kehebatan sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan Pulau Es itu. Bahkan bekas ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi, sekarang menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan seorang di antara kedua pemuda ini, yang bersikap tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya.

Tentu saja dia menjadi jeri sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru ini, yang dia tahu juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat membiarkan kedua orang muda itu pergi, seperti membiarkan kedua ekor singa muda yang masuk ke dalam rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh lima orang pembantunya yang paling lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.

"Tangkap mereka, akan tetapi jangan sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima orang anak buahnya itu.

Lima orang itu, tidak berbeda dengan Ji Song, adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka, tentu saja mereka pun gentar terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu, bekas ketua mereka. Ngeri rasa hati mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh melawan putera bekas ketua mereka itu! Akan tetapi karena mereka maklum bahwa kalau mereka berani membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan ragu-ragu membunuh mereka, bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk lalu meloncat maju mengurung dua orang muda itu.

Kian Lee dan Kian Bu tidak bergerak, tetap memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka seperti arca, sedikit pun tidak bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti gerakan lima orang pengurung mereka itu. Seluruh urat syarat di dalam tubuh mereka menegang dan dalam keadaan siap siaga.

Lima orang itu juga tidak berani turun tangan secara sembrono karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka mereka lalu mengurung sambil melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua orang muda itu, saling memberi tanda dengan mata untuk mengatur gerakan mereka.

Ternyata mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang) seperti yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat gerakan anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia sudah merasa yakin bahwa dalam beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat diringkus dan ditawan.

Tiba-tiba seorang di antara lima penghuni Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang menyayat hati saking tinggi lengkingannya, dan teriakan ini disusul oleh teriakan keempat orang kawannya. Teriakan-teriakan ini mempunyai wibawa yang amat kuat dan dengan teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang kuat sinkang-nya sudah akan dapat dirobohkan!

Harus diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka tidak boleh disamakan dengan dahulu ketika Lulu masih menjadi ketua di situ. Ketika Lulu masih menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh tahun yang lalu, kepandaian anak buah Pulau Neraka memang sudah hebat dan tingkat kepandaian atau kekuatan sinkang mereka ditandai dengan warna muka mereka.

Muka mereka sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah menjadi berwarna-warna, ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan sebagainya. Makin muda warna muka mereka, makin tinggilah kepandaian mereka dan makin kuat sinkang mereka. Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru, dahulu bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka. Akan tetapi sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini telah memberikan latihan baru dan kepandaian para penghuni Pulau Neraka meningkat demikian hebat hingga warna muka mereka telah berubah menjadi putih semua. Putih seperti dikapur!

Hal ini bukan merupakan tanda bahwa racun Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka lenyap, sama sekali tidak, bahkan perubahan itu datang karena hawa beracun lain yang lebih hebat memasuki tubuh mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam keselamatan nyawa, melainkan yang mendatangkan tenaga sakti beracun yang hebat!

Mendengar lengking-lengking mengerikan dan menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat mengerahkan sinkang mereka. Biar pun kedua orang pemuda tanggung ini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak pernah bertempur dengan lawan tangguh, maka kini menghadapi pengeroyokan lima orang yang menggunakan khikang untuk merobohkan mereka itu mereka menjadi terkejut sekali. Mereka mampu mempertahankan serangan suara khikang ini dengan mudah, namun rasa kaget di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang.

Hal ini disalah tafsirkan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda tanggung ini dianggapnya sebagai tanda bahwa sinkang mereka tidaklah begitu kuat, maka dia tertawa bergelak dan membentak, “Lekas tangkap mereka!”

Mendengar aba-aba yang keluar dari mulut sang ketua sendiri, lima orang itu cepat bergerak. Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian Lee, orang kedua menyerang Kian Bu sedangkan tiga orang yang lainnya sudah menerjang ke tengah-tengah di antara kedua orang muda itu.

Kian Lee dan Kian Bu dengan mudah dapat menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi ketika melihat tiga orang yang lain menyergap ke bagian kosong di antara punggung mereka, keduanya terkejut dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil mengelak ini, Kian Lee merendahkan tubuhnya, kakinya bergerak menyapu dengan kecepatan kilat dan seorang lawan terpelanting!

Kian Bu juga mengelak dengan melompat ke atas, dengan gaya yang amat indah tubuhnya berjungkir balik di udara dan kedua tangannya bergerak menyambar ke arah kepala dua orang pengeroyok lain. Gerakannya cepat sekali dan tidak terduga-duga, juga amat ganas karena serangannya adalah serangan yang dapat mendatangkan maut. Kalau jari tangannya menemui sasaran, yaitu ubun-ubun kepala, lawan yang betapa kuat pun tentu akan terancam bahaya maut! Akan tetapi, seorang di antara mereka melempar diri ke belakang sehingga terluput dari serangan itu, yang kedua menangkis dan inilah kesalahannya. Biar pun ditangkis, karena Kian Bu menyerang dari atas dan menggunakan inti tenaga Im-kang yang dingin, tetap saja orang itu mengeluh, tubuhnya menggigil dan roboh terguling!

Dia tidak terluka hebat, tetapi tubuhnya terbanting dan dia harus cepat bergulingan menyelamatkan diri. Memang keistimewaan sinkang yang dilatih di Pulau Es adalah sinkang yang mengandung hawa dingin. Dan seperti gumpalan es yang dingin, sinkang ini amat kuat terhadap perlawanan dari bawah, amat kuat untuk menekan ke bawah, berbeda dengan Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk mendorong, terutama ke atas, sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.

Dalam segebrakan saja, dua orang pengeroyok telah terguling. Biar pun mereka tidak roboh terluka, namun mereka telah terguling dan barisan mereka telah kacau, hal ini menunjukkan betapa hebatnya dua orang muda itu! Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan melongo. Ia tadi sudah girang menyaksikan gerakan lima orang anak buahnya dan ia melihat pula betapa lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin dengan baiknya.

Bahkan gebrakan pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang memancing perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua orang kakak-beradik itu terpisah dan tidak saling melindungi dengan berdiri saling membelakangi. Namun, biar pun kedua kakak beradik itu kini berpisah, pihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua orang pemuda remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi. Akan tetapi agaknya mereka menganggap hal itu tidak perlu.

Dan memang benar. Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para pengeroyok mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika menangkis, gerakan mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini mengerti bahwa untuk menghadapi lima orang ini saja, mereka berdua tidak perlu untuk saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata, “Lee-ko, mundurlah dan biarlah aku main-main dengan mereka ini.”

Kian Lee percaya akan kekuatan adiknya, maka dia mengangguk lalu mundur dan berdiri dengan sikap tenang. Hal ini tentu membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran. Benarkah lima orang anak buahnya hanya akan dihadapi oleh seorang pemuda saja?

Pemuda itu masih belum dewasa benar, baru lima belas tahun usianya. Biar pun menerima pendidikan orang pandai, tentu belum matang kepandaiannya dan banyak pengalamannya. Hatinya merasa penasaran sekali dan perasaannya menegang ketika ia melihat lima orang anak buahnya telah menerjang maju dengan gerakan berbareng, menubruk dari lima jurusan seperti lima ekor burung rajawali memperebutkan seekor kelinci, mereka mengulur lengan dengan jari-jari terbuka, siap hendak mencengkeram dan menangkap.

Kian Bu yang memang merasa penasaran dan marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini menggunakan kepandaiannya dan mengerahkan sinkang-nya. Sengaja dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing, berputar dan sekaligus dia telah dapat menangkis lengan lima orang lawannya dengan keras sekali sehingga lima orang lawannya itu berteriak kaget karena tiba-tiba saja mereka merasa betapa hawa yang amat dingin menjalar melalui lengan yang ditangkis, membuat mereka menggigil! Itulah inti yang dilatihnya di Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut Swat-in Sin-ciang (Inti Salju).

Melihat lima orang lawannya dapat dibuatnya mundur dengar tangkisan tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan kedua lengannya meluncur ke arah lima orang itu seperti dua ekor ular yang bergerak ganas dan cepat sekali. Pemuda ini telah mainkan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) yang dipelajarinya dari ibunya, Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua lengannya itu bergerak sehingga sukar diikuti pandangan mata para pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih dahulu.

“Bu-te, jangan lukai orang!” Kian Lee berseru karena dia tidak menghendaki adiknya yang berwatak keras itu menimbulkan keributan dan memperbesar permusuhan dengan Pulau Neraka

Untunglah bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa Kian Bu selalu mentaati perintah kakaknya, kalau tidak, tentu mereka itu akan tewas!

Mendengar ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya ditujukan kepada jalan darah berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai dada mereka. Tamparan yang tidak begitu keras tetapi akibatnya cukup hebat. Berturut-turut lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan tergulinglah mereka ke atas tanah.

Melihat lima orang anak buahnya menggigil dan muka mereka kebiruan, Ji Song cepat menghampiri mereka dan dengan menempelkan telapak tangannya sebentar dalam gerakan menekan, dia telah menyalurkan sinkang dan membantu mereka mengusir keluar hawa dingin yang menyesak dada. Lima orang itu maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka mereka lalu mundur mentaati isyarat mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.

Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah terhias uban. Sama sekali tidak diduganya keadaan akan menjadi demikian. Lima orang anak buahnya kalah oleh seorang pemuda tanggung, hanya dalam segebrakan saja! Hal yang tidak mungkin! Akan tetapi jelas telah terjadi! Gerakan tangan pemuda itu tadi amat cepat dan hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu silat yang tinggi tingkatnya.

Mulai khawatirlah hatinya. Benarkah ayah dua orang pemuda yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu amat hebat ilmunya? Tidak, tidak bisa dia percaya bahwa di dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu menandinginya.

“Bagus sekali!” Hanya satu kali dia menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Kian Bu dan Kian Lee. Sejenak dia menatap wajah kedua orang pemuda tanggung itu. “Kalian ternyata memiliki juga sedikit kepandaian. Hendak kulihat apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku. ”

“Tocu, mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua orang muda sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan tocu. Mana kami berani bersikap begitu kurang ajar?” Kian Lee masih berusaha membujuk ketua itu.

“Ha-ha-ha, apakah kalian takut?”

Mata Kian Bu yang sudah merasa tidak puas menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah, kinl meledak menjadi kemarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak pinggang dan membentak, “Iblis tua, siapa takut kepadamu?”

Kian Lee terkejut mendengar adiknya memaki, akan tetapi karena memang julukan ketua itu adalah Iblis Tua Rajawali Hitam, maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu, ketua itu tidak menjadi marah, bahkan tertawa. “Kalau tidak takut, lekas maju dan menyerangku.”

Kian Bu sudah siap, mengepal kedua tinjunya.

“Bu-te, perlahan dulu,“ tetapi kakaknya memperingatkan.

“Ha-ha, orang muda yang halus. Kau pun boleh maju. Majulah kalian berdua dan hendak kulihat apakah kalian berdua sanggup bertahan sampai sepuluh jurus.”

“Kakek sombong!” Kian Bu membentak lagi. “Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang dan akan malulah ayah dan ibu kalau kita tidak menyambut tantangannya!”

Kian Lee mengangguk kepada adiknya dan berkata, “Hati-hatilah, Bu-te, kau jangan sembrono.”

Melihat kedua orang pemuda itu sudah siap, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. “Ha-ha-ha, majulah kalian...”

Sejenak mereka saling berpandangan. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Celana yang pendek, hanya sebatas lutut itu membuat dia kelihatan seperti seorang pengemis saja, akan tetapi kedua kakinya kelihatan bersih dan putih kulitnya, walau pun penuh dengan bulu dan otot yang melingkar-lingkar. Juga kedua lengannya yang hanya tertutup baju dengan lengan sampai ke siku, kelihatan kekar dan kuat.

“Hyaaattt...!”

Kian Bu yang sudah marah sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan kembali dia menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu sebuah jurus pilihan dari Ilmu Silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).

Mula-mula dia meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya lantas menerjang dengan pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Akan tetapi secara tiba-tiba sekali gerakan yang hanya merupakan pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya menurun dan tahu-tahu pukulannya berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu hati dan menonjok ke arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng (Dewa Arak Menukar Bayangan).

“Ha-ha-ha, bagus!”

Kakek itu mengubah kedudukan kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil dia mundur, kini menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di belakang, tubuh agak merendah, kedua lengannya yang berotot bergerak cepat, yang kiri menangkis totokan lawan, yang kanan bergerak menangkap pergelangan tangan kiri Kian Bu.

“Dukkkk!”

Pertemuan kedua lengan ketika kakek itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sinkang kakek itu kuat bukan main, sedangkan tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa dapat dihindarkan lagi karena luar biasa cepatnya gerakan lawan, tahu-tahu telah dicengkeram pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa!

Kian Bu mengerahkan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa, seolah-olah tenaga Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam kakek itu juga terkejut bukan main ketika merasa betapa hawa dingin yang tak dapat dilawannya menyusup melalui tangan pemuda itu memasuki lengannya!

Kian Lee lebih hati-hati dari pada adiknya. Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang dengan dahsyat, dia diam saja, hanya mendekat dan siap membantu. Dia maklum bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini tentu lihai sekali dan dugaannya ternyata tepat ketika melihat betapa menghadapi serangan adiknya yang amat dahsyat itu, Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya dapat menangkis, bahkan berhasil memegang pergelangan tangan kiri Kian Bu.

“Wuuuuutttt...! Plak-plak!”

Kedua pukulan Kian Lee yang mengarah lambung dan tengkuk kakek itu berhasil ditangkis dengan tepat oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang mendatangkan angin dingin ini, terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu karena maklum bahwa serangan pemuda kedua ini pun hebat sekali.

Dia makin penasaran dan mulailah mengeluarkan kepandaiannya. Tubuhnya bergerak-gerak seperti orang menari, akan tetapi tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu silat kakek ini bersumber kepada tari-tarian bangsa yang masih liar dan belum beradab, dan melihat unsur-unsur ajaib dalam gerakan tari liar ini, dia lalu menciptakan semacam ilmu silat dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat! Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang dikeroyok oleh dua orang pemuda tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau Neraka, bahkan Ji Song sendiri, terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh tiga orang itu berkelebatan, kadang-kadang lenyap terbungkus bayangan lengan mereka, kadang-kadang mencelat ke sana-sini, sehingga bagi mereka sukar sekali menentukan siapa di antara kedua pihak yang mendesak dan siapa pula yang terdesak!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan penuh penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi dia menantang dan mengejek karena dia merasa yakin bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia tentu akan berhasil mengalahkan dua orang pemuda tanggung itu dan mampu menawannya.

Akan tetapi siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu mengalahkan mereka, bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban kedahsyatan serangan mereka, dan setiap kali bertemu dengan tangan mereka, tentu ada hawa dingin menyusup yang sungguh pun dapat dilawannya dengan sinkang-nya yang amat kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya dingin seperti terkena salju.

Rasa penasaran membuat kakek ini merasa malu dan marah. Malu kepada para anak buahnya dan marah kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut, dia merasa sayang. Selain keinginan makan daging mereka yang timbul melihat daging muda mereka yang menimbulkan seleranya, juga ia ingin menggunakan mereka sebagai pancingan agar orang yang berjuluk Pendekar Super Sakti yang amat ditakuti oleh semua penghuni Pulau Neraka itu datang ke tempat itu.

“Terimalah ini...!” Kedua tangan kakek itu bergerak.

Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek itu tentu menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka. Akan tetapi tiba-tiba tampak benda seperti kabut atau uap tebal mengurung mereka dan ketika mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah sebuah jala yang terbuat dari bahan tipis sekali tetapi amat ulet dan kuat! Saat mereka berdua meloncat, tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua terguling. Jala yang aneh itu makin menggulung mereka hingga kedua orang pemuda tanggung itu tak dapat meloloskan diri, betapa pun mereka meronta-ronta dan menarik-narik jala tipis itu.

Penggunaan jala sebagai senjata ini memang luar biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya sehingga tadi dapat dikepal di kedua tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi setelah dilempar dan dikembangkan, dapat menyelimuti tubuh kedua orang pemuda itu. Senjata istimewa ini merupakan sebuah di antara senjata-senjata yang hebat dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja bangsa biadab di dalam hutan liar di selatan, bahannya dibuat dari otot-otot binatang semacam rubah aneh yang hanya terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot binatang ini amat ulet, sukar dibikin putus oleh senjata tajam sekali pun, dan memiliki sifat melar seperti karet.

Setelah menotok jalan darah kedua orang pemuda itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali jalanya dan memerintahkan kepada Ji Song, “Tangkap dan belenggu mereka! Masukkan ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos, tetapi perlakukan mereka dengan baik.”

Ji Song meneruskan perintah ini kepada para anak buahnya dan setelah kedua orang pemuda yang tak dapat bergerak lagi itu digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada Ji Song, “Suruh orang menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan.”

“Maaf, tocu. Apakah tocu sudah memikirkan secara mendalam persoalan ini?” Ji Song berkata. “Apa gunanya bermusuh dengan Pendekar Super Sakti? Dia pun tidak pernah mengganggu kita. Lebih baik kedua orang pemuda itu dibebaskan saja.”

Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya. “Tidak mengganggu kita, ya? Bukankah aku tadi mendengar dari kalian bahwa Pulau Neraka ini dahulunya merupakan tempat pembuangan? Pembuangan dari kerajaan di Pulau Es?”

“Itu adalah sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada, bahkan kabarnya Pendekar Super Sakti pun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau Es.”

“Sudah, diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran kalau belum dapat bertemu dengan dia dan mengalahkannya.”

“Dia sakti sekali, tocu.”

“Aku tidak takut. Aku sudah siap menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan kita, takut apa?”

********************

Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan Kian Bu yang sedang tertawan di Pulau Neraka dan dijadikan umpan oleh Hek-tiauw Lo-mo untuk memancing datang Pendekar Super Sakti, dan marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi pada waktu itu, terjadi jauh di sebelah barat daratan besar.....

Negara Bhutan berada jauh di selatan Tiongkok, merupakan sebuah kerajaan kecil namun yang rakyatnya memiliki kebudayaan tinggi, menjadi perpaduan dan perantara antara Negara India dan Tiongkok. Karena dihimpit oleh dua buah negara besar yang memiliki kebudayaan tinggi itu, Nepal atau Bhutan mencangkok kebudayaan keduanya dan karenanya di situ terdapat banyak orang-orang pandai dari kedua negara itu.

Daerah Pegunungan Himalaya terkenal sebagai pegunungan yang paling tinggi di seluruh dunia, paling tinggi dan paling luas. Selain amat luas, juga pegunungan ini amat terkenal sebagai tempat yang suci, bahkan bagi yang percaya terdapat keyakinan bahwa para dewa yang tersebut dalam dongeng-dongeng bertempat tinggal di pegunungan inilah! Karena kepercayaan ini agaknya, dan terutama sekali karena keindahan alamnya dan kesunyiannya, maka Pegunungan Himalaya menjadi tempat pelarian para pendeta, pertapa dan manusia-manusia yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai.

Di sebuah dusun tak jauh dari kota raja, di kaki Pegunungan Himalaya, pada suatu pagi yang sejuk, tampaklah belasan orang pria yang bertubuh tegap dan kuat sedang berlatih ilmu silat. Tubuh mereka, dari yang besar sampai yang kecil kurus, kelihatan kuat dan berisi tenaga besar ketika mereka bergerak secara berbareng dengan tubuh atas telanjang, hanya memakai celana panjang dan sepatu, rambut mereka dikuncir semua, mengikuti petunjuk dan aba-aba yang keluar dari mulut seorang kakek berwajah tampan gagah yang bertopi bulu.

Kakek ini usianya sudah tua sekali, tentu kurang lebih ada delapan puluh tahun, namun sikapnya masih amat gagah, sungguh pun gerak-geriknya halus dan wajahnya tampan terpelihara. Suaranya masih lantang ketika dia mengeluarkan aba-aba agar gerakan mereka yang sedang berlatih itu dapat seirama, sedang kaki tangannya masih tangkas ketika dia memberi contoh gerakan.

“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan! Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!” demikian aba-abanya.

Makin cepat aba-aba dihitung, bertambah cepat pula gerakan mereka yang sedang berlatih hingga terdengar angin bersuit dan buku-buku lengan kaki berkerotokan ketika mereka bergerak memukul dan menendang.

“Hemmm, mengapa pula engkau, Ceng Ceng?” Kakek itu menghentikan hitungannya, membiarkan para murid itu bergerak dengan irama mereka sendiri, sedangkan dia melangkah ke arah kanan sebelah kiri rombongan pemuda yang sedang latihan itu, kemudian berhadapan dengan seorang dara remaja yang tadinya ikut pula berlatih.

Dara remaja itu tentu belum ada lima belas tahun usianya. Wajahnya cantik manis, bentuk tubuhnya kecil ramping namun juga padat berisi, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang panjang dan gemuk itu dibagi menjadi dua kuncir yang besar dan panjang, bergantungan di depan dadanya. Kedua kakinya masih memasang kuda-kuda seperti mereka yang sedang berlatih, tetapi kedua lengannya tidak melakukan gerakan memukul-mukul lagi. Mulutnya yang kecil mungil itu cemberut dan matanya yang lebar seperti sepasang bintang itu membayangkan kekesalan hati.

Dara itu tidak menjawab teguran kakeknya melainkan hanya mengurut-urut bahu dan lengannya, kepalanya menunduk dan kedua kakinya diluruskannya kembali.

Kakek itu menghela napas panjang. “Hahhhh... kau... terlalu, Ceng Ceng! Selalu tidak mentaati perintahku. Mula-mula engkau akhir-akhir ini tidak mau berlatih di dekat para suhengmu...”

“Kongkong (kakek), bagaimana aku tahan berlatih dekat mereka. Keringat mereka memercik ke sana-sini!” Dara itu membentak.

Kakek itu menahan geli hatinya. Gadis yang menjadi cucunya ini selalu ada saja bahan untuk menyangkal dan membantah, dan selalu menyatakan sesuatu dengan jujur sehingga kadang-kadang lucu. Memang tak dapat dibantah bahwa tubuh-tubuh sehat tanpa baju itu di waktu berlatih mengeluarkan banyak keringat dan gerakan cepat itu membuat keringat mereka memercik ke sana-sini!

“Sekarang, latihan yang amat penting ini kau abaikan juga.”

“Habis, kaki tanganku sudah pegal dan kaku semua, kongkong! Masa untuk satu jurus saja harus diulang sampai lima ratus kali!”

“Hmm, kau tidak tahu keganasan jurus istimewa ini. Jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) ini merupakan satu di antara jurus-jurus pilihan dari ilmu silat kita. Diulang sampai lima ratus kali pun kalau belum sempurna harus diulang terus!”

“Apa gerakanku belum sempurna?”

“Engkau sudah menguasai gerakan ilmu silat kita, tetapi para abangmu itu? Mereka harus diberi semangat, dan dengan mencontoh gerakanmu, mereka tentu akan lebih tekun. Lihat, betapa besar semangat mereka melatih jurus ini.”

Dara yang bernama Ceng Ceng itu menengok dan mulutnya yang tadi merengut kini tersenyum mengejek, cuping hidungnya sedikit bergerak. “Semangat apa? Mereka semua menoleh ke sini!”

Kakek itu cepat menengok dan benar saja. Mereka itu masih bergerak, akan tetapi mata mereka semua mengerling ke arah dara itu sehingga kelihatannya lucu.

“Ihh, engkau yang menjadi gara-gara!” Kakek itu memaki lirih, kemudian menghampiri lagi ke depan para muridnya dan kembali terdengar hitungannya yang menambah semangat.

Kini para murid itu tidak berani lagi mengerling ke arah sumoi mereka. Terpaksa pula Ceng Ceng juga bergerak lagi, akan tetapi biar pun gerakannya lemas dan baik, dia seperti tidak menggunakan tenaga sehingga kalau para suheng-nya itu ngotot dengan pengerahan tenaga, dia kelihatan lebih mirip dengan orang menari!

Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dulu dia bekerja sebagai seorang pengawal kaisar di Tiongkok, memiliki ilmu kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastera. Namun nasib malang menimpa diri kakek ini saat dia sudah mengundurkan diri sebagai pengawal dengan adanya peristiwa yang menimpa keluarganya sehingga akhirnya dia mengasingkan diri di dusun terpencil di kaki Pegunungan Himalaya ini.

Ketika masih berada di Tiongkok, kakek ini sudah kehilangan putera tunggalnya dan mantunya, dan hanya hidup berdua dengan seorang cucunya, cucu wanita bernama Lu Kim Bwee. Kurang lebih lima belas tahun yang lalu, peristiwa hebat menimpa diri Lu Kim Bwee ini. Cucunya yang juga telah digemblengnya dengan ilmu silat itu, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya oleh seorang muda dan diperkosa! Akibatnya, Lu Kim Bwee mengandung! Semua peristiwa itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Sepasang Pedang Iblis.

Melihat penderitaan cucunya itu, Lu Kiong lalu mengajak Lu Kim Bwee untuk pergi meninggalkan Tiongkok. Akhirnya mereka tinggal di dusun kecil di kaki Pegunungan Himalaya itu. Di tempat terpencil dan sunyi ini, Lu Kim Bwee melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi malang sekali, ibu muda itu meninggal dunia ketika melahirkan karena memang dia selalu berduka dan batinnya terhimpit oleh peristiwa yang sangat memalukan dirinya itu. Anak yang terlahir selamat itu lalu diberi nama Lu Ceng dan sebenarnya anak ini adalah cucu buyut dari kakek Lu Kiong, akan tetapi diakui sebagai cucunya.

Biar pun kini kehidupannya di dalam dusun itu bersama cucu buyutnya dapat dikatakan tenteram dan penuh damai, namun kakek yang tua ini masih selalu gelisah kalau mengingat akan masa depan cucu buyutnya itu. Pernah dia ditekan dan merasa terdesak oleh pertanyaan Ceng Ceng yang berwatak periang, cerdik dan jenaka itu, yaitu pertanyaan mengenai ayah dara itu. Tadinya dia hanya memberi tahu kepada Ceng Ceng bahwa nama ibunya adalah Lu Kim Bwee. Dara yang cerdik itu cepat membantah.

“Tidak mungkin itu, kongkong!”

“Apanya yang tidak mungkin?”

“Kalau ibu she Lu, mengapa aku juga she Lu?”

“Ahh... kau sebetulnya... ah, engkau memang she Lu, cucuku.”

“Hemm, kongkong menyembunyikan sesuatu dariku! Siapakah ayahku? Dan di mana ayah? Apa dia sudah meninggal? Mengapa pula aku tidak diberi she (nama keturunan) ayahku?”

Dihujani pertanyaan ini, kakek Lu Kiong menjadi sibuk sekali sehingga akhirnya dia mengaku juga. “Ayahmu bernama... Gak Bun Beng.”

“Gak Bun Beng...” Dara itu membisikkan nama itu seolah-olah hendak menanamkan nama itu di dalam hatinya. “Kalau begitu, namaku adalah Gak Ceng, bukan Lu Ceng!”

“Tidak, Ceng Ceng!” Kakek itu membentak dan terkejutlah dara itu karena selamanya belum pernah dia mendengar suara kakeknya mengandung kemarahan seperti itu.

“Mengapa, kongkong?”

“Namamu tetap Lu Ceng!”

“Tapi ayahku...”

“Tidak! Kau tidak perlu memakai nama keturunan orang itu!”

“Mengapa...?” Wajah Ceng Ceng menjadi berubah agak pucat.

“Dia... dia... sudah meninggalkan ibumu, dia membuat ibumu hidup sengsara sehingga meninggal dunia ketika melahirkan kau.”

“Ouhhh...” Ceng Ceng kecewa bukan main mendengar ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik itu menduga-duga. Tak mungkin agaknya ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja tanpa sebab.

“Mengapa ayah meninggalkan ibu?” desaknya lagi.

“Entahlah. Dia bukan orang baik, karena itu kau harus memakai nama keturunan kita, nama keturunan Lu.”

“Aku akan mencari ayah, biar kutanya sendiri mengapa dia sampai hati meninggalkan ibu!”

“Jangan...! Takkan ada gunanya, dia... dia sudah mati...”

“Ouhhh...” Dan kini dara itu terisak menangis.

Lu Kiong menarik napas panjang. Hatinya terasa perih mengenang semua peristiwa yang menimpa diri cucunya, Lu Kim Bwee, belasan tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak mau membuka rahasia itu, tidak sampai hati dia menceritakan cucu buyutnya ini bahwa ibunya diperkosa orang, bahwa dia adalah seorang anak haram! Dia tidak ingin melihat dara ini jadi menyesal dan berduka, merasa rendah dan membenci ayahnya sendiri. Biarlah riwayat yang mendatangkan aib itu dikubur bersama meninggalnya Lu Kim Bwee dan Gak Bun Beng.

Tentu saja dia pun tidak mau menceritakan bahwa Gak Bun Beng, ayah dara ini, tewas di tangan ibunya sendiri, yaitu ketika Lu Kim Bwee mengeroyok Gak Bun Beng dengan wanita-wanita yang lain yang juga menjadi korban keganasan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) itu! Tentu saja kakek ini, juga cucunya, Lu Kim Bwee yang telah meninggal dunia ketika melahirkan Ceng Ceng, sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng, yang mereka sangka telah tewas itu, sebetulnya sama sekali belum tewas.

Untuk mengisi kekosongan hidupnya di dusun yang terpencil di kaki Pegunungan Himalaya itu, kakek Lu Kiong menerima murid-murid untuk dilatih ilmu silat. Tentu saja dia memilih dalam penerimaan murid ini, dan setelah dia kumpulkan, hanya ada lima belas orang pemuda di sekitar daerah itu yang diterimanya menjadi murid-muridnya. Tentu saja karena Ceng Ceng telah digemblengnya sejak kecil sedangkan penerimaan murid dilakukan setelah Ceng Ceng berusia dua belas tahun, maka biar pun Ceng Ceng disebut sumoi (adik perempuan seperguruan) namun dalam hal ilmu silat dara ini jauh lebih pandai dari pada semua suheng-nya.

Kekesalan hati Ceng Ceng di pagi hari itu bukan hanya karena dia jemu berlatih silat. Sama sekali tidak. Sesungguhnya dia amat gemar berlatih ilmu silat dan bakatnya amat baik. Akan tetapi pagi itu lain lagi. Ada berita menggemparkan bahwa rombongan utusan kaisar Tiongkok akan lewat di dusun itu dalam perjalanan mereka menuju ke kota raja, untuk memboyong puteri Raja Bhutan ke Tiongkok karena puteri itu telah dijodohkan dengan seorang pangeran Mancu yang menguasai Tiongkok di waktu itu.

Rombongan utusan kaisar Mancu ini kabarnya membawa pula peralatan dan hadiah-hadiah istimewa sehingga semua penduduk di daerah yang akan dilalui rombongan telah bersiap-siap untuk menonton! Tentu saja Ceng Ceng, seorang dara remaja yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dan haus akan segala yang menarik hati, ingin sekali menonton, maka latihan-latihan keras yang diadakan kakeknya pada saat seperti itu membuat hatinya mendongkol.

Betapa pun juga, Ceng Ceng tidak mau membantah lagi kepada kongkong-nya, apa lagi di depan lima belas orang suheng-nya. Dan dia sudah ikut pula berlatih, biar pun hanya dengan setengah hati. Latihan berjalan tertib kembali dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka yang mengikuti pukulan-pukulan tertentu, suara pernapasan dan suara kakek yang menghitung dengan irama yang khas.

Tiba-tiba terdengar suara tambur yang datang dari jauh dan makin lama semakin mendekat, kini terdengar keras diselingi sorak-sorai suara anak-anak, membuat Ceng Ceng hampir menangis. Suara tambur itu seolah-olah mengejeknya, seolah mengiringi gerakannya berlatih. Ketika dia melirik ke arah kongkong-nya dan para suheng-nya, mereka itu masih tenggelam ke dalam semangat yang tetap menggelora.

Hampir Ceng Ceng terisak-isak dan lari dari tempat itu, tetapi ia merasa malu kepada para suheng-nya, dan takut kepada kongkong-nya. Betapa besar keinginan hatinya untuk pergi menonton rombongan utusan itu! Utusan raja dari Tiongkok! Banyak sudah dia mendengar tentang kehebatan kota raja di sana, akan tetapi hanya mendengar dari cerita kakeknya, bahwa kota raja di Tiongkok seratus kali lebih besar dan lebih megah dibandingkan dengan kota raja dengan istananya dan rumah-rumah besar di Bhutan yang telah pernah dilihatnya. Dan sekarang, selagi kesempatan tiba dengan datangnya rombongan utusan kaisar, dia tidak bisa menonton, bahkan harus terus berlatih silat! Siapa tidak akan mendongkol hatinya?

Pada saat itu seorang pelayan memasuki kebun tempat berlatih itu, menghadap kakek Lu Kiong dan memberitahukan bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan kakek Lu Kiong. Kakek itu lalu menggapai muridnya yang pertama.

“Kau lanjutkan, wakili aku memimpin latihan ini baik-baik. Aku akan menemui tamu.”

“Baik, suhu!”

Kakek itu pergi setelah menoleh ke arah cucunya, kemudian menghela napas dan pergi bersama pelayan itu memasuki rumahnya. Begitu kakek itu lenyap di balik pintu, Ceng Ceng serta merta menghentikan latihannya dan berlari meninggalkan tempat latihan menuju ke pintu samping kebun itu.

“Haiii... sumoi...! Kau tidak boleh pergi!” kata murid pertama yang mewakili gurunya.

Tetapi Ceng Ceng telah tiba di pintu kebun samping. Mendengar seruan twa-suheng-nya (kakak seperguruan pertama), dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan dada, membuka bibir dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek suheng-nya itu, kemudian tertawa terkekeh dan lari dari tempat itu.

Twa-suheng-nya hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap sumoi-nya yang manja dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah dia bisa dilawan oleh sumoi-nya, dan tentu saja dia tidak menghendaki hal ini. Dia dan para saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi yang cantik jelita, bengal akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya yang periang dan jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati sumoi-nya untuk menonton rombongan utusan kaisar.

Hati Ceng Ceng merasa gembira bukan main. Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri dia menonton rombongan yang megah itu lewat di dusun untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari dusun itu. Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para penonton, menuju ke kota raja.

Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu saja tak diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian ini.

Para penjaga dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk memasuki pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar itu terjadi desak-mendesak.

Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat, dipegang pundaknya oleh seorang penjaga.

Ketika penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada. Ceng Ceng menjadi marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal! Tiga orang penjaga lain datang, seorang di antara mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.

Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka. Akan tetapi dengan teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira ini pun hendak berbuat kurang ajar kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itu pun terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!

“Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!” Suara itu terdengar nyaring dan dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia tentulah seorang yang penting.

Memang demikianlah sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak seberapa tinggi, tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok. Jenggot itu panjang sekali, dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.

Pengawal berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika dia berkata, “Nona cilik, berani kau membikin kacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada para penjaga untuk ditangkap!”

“Plak-plak-plak-plak!”

Sampai empat kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja yang masih berbau kanak-kakak yang dapat menangkis terkamannya sampai empat kali!

“Bagus, kau boleh juga!” Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan... bagaikan seekor ular hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan darah di leher Ceng Ceng!

Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih menjijikkan dan mengerikan hatinya dari pada menakutkan itu, membuat dia pun menggerakkan kepalanya dan... dua helai kuncirnya yang tadinya tergantung ke belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!

“Plakkkk!”

Ujung jenggot bertemu dengan dua ujung kuncir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa, sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua!

Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah tiba di pintu gerbang istana itu.

“Sumoi...”

Melihat komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut ‘sumoi’ kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata, “Maaf...!”

Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk menambah ilmu kepandaian silatnya saja. Akan tetapi tentu saja dia pun menyebut sumoi kepada Ceng Ceng, sedang dara itu pun menyebut suheng kepadanya. Ketika melihat bahwa keributan yang terjadi di luar pintu gerbang itu adalah gara-gara sumoi-nya, maklumlah dia karena dia pun sudah mengenal watak sumoi-nya yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka dengan suara mencela dia berkata, “Sumoi, apa yang kau lakukan di sini? Mengapa membikin ribut?”

Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata, “Aihh, suheng, siapa yang tidak jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoi-mu malah mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar.”

Perwira itu maklum akan kecantikan sumoi-nya. Dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng. Untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura dan berkata, “Harap maafkan kesalah pahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri.”

Pengawal berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata, “Sungguh hebat sekali kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan merasa kagum.”

Pertemuan itu ditutup dengan upacara penyambutan pasukan yang dipimpin perwira itu, kemudian rombongan utusan diiringkan memasuki halaman istana yang sudah berada dalam keadaan dan suasana pesta penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira yang menjadi suheng Ceng Ceng itu tentu saja memungkinkan gadis ini untuk diperkenankan ikut memasuki istana!

Tentu saja hati Ceng Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas boleh masuk ke dalam istana. Oleh mereka yang belum mengenalnya, dia tentu dianggap seorang di antara anggota rombongan utusan sehingga siapa pun yang bertemu dengan rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh hormat. Sementara itu hari telah menjadi siang.

Rombongan utusan kaisar itu disambut dengan upacara meriah oleh para pembesar istana dan penyambutan ini dikepalai oleh pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh karena pada hari itu, raja yang diharapkan sudah pulang dari berburu binatang pada hari kemarin, masih juga belum tiba! Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di dalam hati keluarga raja dan para pembesar, dan sejak kemarin telah dikirim utusan untuk menyusul ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan tetapi utusan itu pun belum pulang sampai hari itu!

Karena kedatangan rombongan utusan kaisar itu adalah untuk memboyong puteri, berarti urusan perjodohan, maka tentu saja tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi ayah kandung sang puteri, penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu harus bertemu dan menghadap raja untuk menyampaikan segala pesan kaisar dan menghaturkan semua hadiah perjodohan.

Setelah diadakan penyambutan meriah dan dijamu dengan hidangan mewah, maka oleh pangeran tua rombongan tamu agung ini dipersilahkan mengaso di dalam kamar-kamar istana yang telah dipersiapkan untuk para tamu yang penting dan terhormat itu. Dengan perasaan girang Ceng Ceng juga ikut makan minum di meja sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suheng-nya. Sambil makan dia kemudian menyatakan rasa kagumnya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu.

Setelah rombongan tamu mengundurkan diri beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak suheng-nya ke rumahnya yang terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan tetapi dara ini membantah ketika suheng-nya menyuruh dia lekas pulang agar tidak mengkhawatirkan hati kakeknya.

“Aku ingin sekali menonton sampai sri baginda pulang, aku ingin melihat sang puteri diboyong!”

“Sumoi, engkau tadi mengatakan bahwa kau pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu akan membikin tidak senang hati suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati orang tua itu tidak gelisah.”

“Biar pun aku pergi tanpa setahu kongkong, akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali menonton keramaian, maka dia tentu dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di kota raja bersama suheng. Hati orang tua itu tidak akan menjadi gelisah. Suheng, kalau suheng keberatan aku bermalam di rumah suheng ini, biarlah kucari tempat penginapan lain, di kuil atau di mana saja. Pendeknya, aku harus melihat sang puteri diboyong!”

Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu benar akan watak sumoi-nya ini dan dalam keadaan sibuk dengan kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia tidak ingin ditambah dengan kesibukan mengurus sumoi-nya yang bengal ini. Maka dia hanya berkata, “Sumoi, tentu saja engkau tahu aku tidak keberatan kau bermalam di sini. Aku hanya ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri yang harus menanggung karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang.”

Ceng Ceng tersenyum manis dan memegang tangan suheng-nya dengan sikap manja, kemanjaan seorang anak-anak kepada orang yang patut menjadi ayahnya. “Suheng yang baik, seorang gagah sudah tentu harus berani mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, bukan?”

Mau atau tidak perwira itu tertawa. Dia sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu dia amat sayang kepada sumoi-nya ini yang dianggap seperti seorang anaknya sendiri. Isterinya juga amat suka kepada Ceng Ceng yang menyebut isteri suheng-nya itu ‘so-so’ (kakak ipar perempuan).

Perwira ini bernama Jayin dan di Kota Raja Bhutan namanya cukup terkenal karena dia merupakan tokoh kedua dalam deretan nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di lingkungan istana dan Kerajaan Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi yang mengepalai pasukan pengawal yang bertugas menjaga keselamatan di kota raja. Tokoh pertama adalah panglima sendiri, yang selain merupakan panglima perang juga selalu mendampingi raja.

Panglima itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama pasukan pengawal pilihan lain yang jumlahnya semua dua losin orang. Perwira Jayin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apa lagi setelah ilmu silatnya ditambah dengan latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong kepadanya. Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu Kiong, karena kakek itu mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil, setelah kakek itu tertarik melihat watak gagah perkasa dari perwira tinggi itu.

Dapat dibayangkan betapa khawatir dan pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang bertanggung jawab penuh di kota raja di saat raja dan panglima tidak berada di istana, padahal hari itu terjadi peristiwa amat penting dengan kedatangan rombongan utusan kaisar. Kesibukan dan kekhawatiran menghadapi urusan itu membuat dia tidak banyak cerewet lagi menghadapi sumoi-nya. Maka setelah mengajak sumoi-nya ke rumah dan ‘menyerahkan’ dara bengal itu kepada isterinya, perwira itu bergegas kembali ke istana untuk menanti kembalinya raja dan rombongannya yang pergi berburu semenjak tiga hari yang lalu.

Sore harinya dia pulang dengan wajah letih lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti pulangnya ternyata masih belum pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul ternyata juga belum kembali dan tidak ada kabar apa-apa dari rombongan raja yang memburu binatang di hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya sebelah barat.

Ceng Ceng tidur dan bermimpi tentang yang indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar, tentang istana yang megah dan mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya sendiri berpakaian seperti seorang puteri raja yang dijemput dan diboyong ke istana kaisar! Akan tetapi tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan terbangun dari tidurnya oleh suara orang bercakap-cakap.

Sebagai seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan seluruh urat syaraf di tubuhnya berada dalam keadaan siap bergerak, begitu terbangun Ceng Ceng sudah meloncat turun dari pembaringan dan berindap-indap keluar dari kamarnya, mengintai suheng-nya yang terdengar bercakap-cakap dengan seorang laki-laki lain. Pada waktu itu telah lewat tengah malam, tentu saja Ceng Ceng menjadi curiga dan menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat penting maka pada saat selarut itu suheng-nya masih menerima tamu.

Ketika Ceng Ceng mendengarkan percakapan mereka, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Kiranya terjadi hal yang demikian hebat, pikirnya! Pantas saja suheng-nya kelihatan sibuk benar dan malam-malam begitu masih menerima tamu dari istana.

Tamu itu adalah komandan bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi menyusul rombongan raja. Dan orang ini datang melapor kepada suheng-nya bahwa rombongan raja yang dikawal oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu telah mengalami mala petaka!

Rombongan raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing yang hendak menawan raja. Terjadi perang kecil. Akan tetapi, walau pun raja dikawal oleh pasukan pengawal pilihan yang dipimpin panglima sendiri, namun jumlah musuh terlalu besar, sedikitnya ada seratus orang, maka tentu saja pasukan pengawal raja menjadi repot dan kewalahan.

Pasukan pengawal tetap mempertahankan diri, sementara sang raja yang dikawal oleh panglima sudah melarikan diri. Akibatnya, raja berhasil lolos dari kepungan dengan pengawalan panglima yang lihai, sekarang entah bersembunyi di mana, sedangkan dua losin pengawal pilihan itu mempertahankan diri sampai tewas semua, terbasmi oleh pihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu.

“Saat ini juga ciangkun diminta datang ke istana oleh pangeran tua untuk merundingkan urusan ini.” Demikian pembantunya mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar pelaporan itu dan dia cepat berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana bersama pembantunya.

Ceng Ceng tidak dapat tidur lagi. Menghadapi peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia bisa tidur? Terlalu hebat peristiwa ini. Betapa kongkong-nya dan para suheng-nya akan melongo mendengarkan ceritanya kelak. Raja terancam bahaya! Raja hendak diculik, hendak dibunuh oleh pasukan asing ketika raja dan panglima sedang berburu. Padahal rombongan utusan kaisar sudah tiba! Dan sekarang raja dan panglima tidak tahu berada di mana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus tahu lebih banyak, demikian pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan rambutnya, mencuci muka dan diam-diam dia meninggalkan rumah suheng-nya melalui jendela dan berlari menuju ke istana.

Dia sudah mengambil keputusan untuk masuk ke istana, apa pun juga yang akan terjadi, diperkenankan atau tidak! Dia harus mengikuti terus perkembangan keadaan, harus tahu apa yang selanjutnya terjadi agar kelak ceritanya kepada kongkong-nya dan kepada suheng-nya dapat lengkap! Betapa senangnya nanti menceritakan itu semua, pikirnya.

Tentu saja para penjaga menghadangnya di pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan perintah yang dikeluarkan Perwira Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya tamu agung yang bermalam di istana dan dengan terjadinya hal-hal yang mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh komandan pasukan yang menyusul rombongan raja.

Dara ini tersenyum mengejek, menggeser tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya kelihatan sambil berkata, “Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas hendak mencari ribut lagi dengan aku?”

Mendengar suara wanita dan melihat wajah cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja para penjaga mengenal Ceng Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira Jayin, yang siang tadi membikin ribut di pintu gerbang, merobohnya para penjaga dan dua perwira, bahkan yang berani menandingi pengawal kepala dari rombongan utusan kaisar!

“Eh... kau lagi... nona?” Komandan jaga yang mengenalinya berkata gugup.

“Ya, aku! Apakah kau hendak melanjutkan gerakan tombakmu itu?”

Komandan jaga itu cepat-cepat menurunkan tombaknya yang tadi menodong. “Ahhh, tidak...! Maafkan, nona, tetapi... kami menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh masuk.”

“Tentu saja! Kalau kau membiarkan orang asing masuk, suheng-ku Perwira Jayin tentu tidak akan memberi ampun kepadamu! Akan tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku disuruh oleh so-so, isteri abangku, untuk menyusul suheng yang baru saja masuk ke istana.”

Komandan jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari Perwira Jayin dan memang benar baru saja perwira itu masuk ke istana!

“Ada ada urusan apakah, nona? Boleh kami yang menyampaikan...”

“Husshhh! Urusan keluarga, urusan isteri hendak kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah kalian? Akan kulaporkan kepada suheng...”

“Ah, maaf..., maaf... harap nona tidak marah. Kami bukan berniat buruk...”

“Kalau tidak berniat buruk, mengapa melarang aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih ada lagi penjaga yang hendak kurang ajar kepadaku?”

Komandan jaga itu kewalahan. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua minggir, memberi jalan dan komandan itu berkata, “Baiklah, nona masuk saja. Akan tetapi harap jangan bicara yang bukan-bukan kepada ciangkun.”

Ceng Ceng memasuki pintu gerbang itu, menoleh dan tersenyum. “Aku akan melaporkan kepada suheng bahwa komandan jaga malam ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang amat baik hati dan ramah.”

Setelah dara itu pergi memasuki halaman istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya itu meraba-raba kumisnya, tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng itu sekaligus merubah keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan pelanggaran, kini dia merasa bangga karena telah melakukan jasa.

Niat hati hendak mencari suheng-nya di dalam istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal akan keadaan di istana yang demikian besarnya, yang mempunyai banyak lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan hiasannya, membuat dia kesasar ke lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana besar itu. Padahal suheng-nya saat itu sedang sibuk terlibat dalam perundingan yang serius dengan Pangeran Tua dan para panglima lainnya yang berlangsung di sebelah kanan bangunan istana. Ceng Ceng tersesat jalan, memasuki daerah yang dihuni oleh para puteri dan semua anggota wanita dari keluarga kerajaan.

Barulah dara ini sadar akan kesalahan jalan ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga wanita yang sudah bermunculan dari kanan kiri dan mengurungnya!

“Siapa kau?”

“Tangkap dia!”

“Dia tentu mata-mata musuh!”

Para penjaga wanita itu sudah berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng Ceng untuk membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya. Ceng Ceng menjadi marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit dan terpelanting roboh terkena dorongan tangan dan tendangan kakinya.

Ributlah keadaan di situ. Ceng Ceng marah karena para penjaga wanita itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan terus mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu beterbangan di sekelilingnya. Betapa pun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa dia berada di dalam istana, maka dia mengatur kaki tangannya agar jangan sampai melukai berat lawan, apa lagi membunuh seorang di antara mereka. Namun, karena kaki dan tangan dara ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya mengalami bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar jeritan wanita-wanita yang terpelanting itu.

“Siapa berani main gila di sini?” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng memandang dengan penuh kagum dan tercengang ketika dia melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita.

Dara ini cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan jernih, terlindung bulu mata yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk berombak dan dibiarkan terurai di belakang punggungnya, diikat di dekat tengkuk dengan gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan rambut yang dihias dengan seekor burung Hong terbuat dari pada emas dan permata.

Telinganya terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan tangannya. Pakaiannya juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang cantik jelita dan pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi pada saat itu, dia bukan merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang sedang marah, yang tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula, pedang yang gagangnya terhias emas terukir halus.

Ceng Ceng sejenak memandang kagum dan terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu menghampirinya dan menampar dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras, Ceng Ceng sadar dan cepat dia menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak menangkis, akan tetapi mengingat betapa halus dan putih lengan dara itu, dia merasa tidak tega, maka dia lalu merubah tangkisannya menjadi tangkapan.

“Plakkk...!”

Lengan tangan kiri dara itu diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang di tangan kanan dara itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, “Harap tahan dulu dan jangan menyerang. Aku bukan orang jahat, aku mencari suheng-ku, Perwira Jayin!”

Mendengar ini, sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan tangan kanan yang memegang pedang menurun. Ceng Ceng sudah melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu melangkah mundur, berdiri tegak dan memandang dengan penuh kagum.

“Dia...?”

“Benar dia...!” Demikian terdengar beberapa orang penjaga wanita berkata.

Dara jelita berpakaian merah itu melangkah maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik, sinar matanya merayapi tubuh Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki, kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh wibawa, “Apakah engkau sumoi dari Perwira Jayin yang siang tadi menimbulkan geger di pintu gerbang dan yang kabarnya telah berani pula melawan pengawal kaisar sendiri?”

Ceng Ceng tersenyum dan dia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya, “Kalau boleh aku mengetahui, siapakah anda yang begini cantik jelita seperti dewi?”

Dara itu tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah silau oleh kecantikan yang makin menonjol itu. Alangkah manisnya senyum itu, senyum wajar yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh wajah jelita itu, bahkan yang seolah-olah langsung menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!

“Kabarnya engkau bernama Ceng Ceng dan engkau mengakibatkan geger karena ingin melihat puteri yang akan diboyong oleh rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?”

Ceng Ceng mengangguk.

“Nah, akulah puteri itu.”

Mata Ceng Ceng makin melebar, bibirnya yang kecil mungil dan kemerahan itu terbuka. Sejenak dia tidak dapat berkata apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan diri berlutut. “Ampunkan hamba... ahhh, hamba tidak tahu...”

Puteri itu tertawa, melempar pedangnya yang disambut oleh seorang di antara para pengawal wanitanya. Kemudian puteri itu maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya berdiri. Mereka itu sebaya, dan perawakan mereka pun tidak berselisih banyak. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang dan kemudian keduanya tersenyum dengan rasa suka timbul di hati masing-masing.

“Paduka... paduka Puteri Syanti Dewi...?”

Puteri itu mengangguk, tersenyum dan memegang tangan Ceng Ceng, digandengnya dan ditariknya dara itu masuk ke dalam kamarnya yang besar dan indah. Puteri itu memberi isyarat kepada semua pelayan dan penjaganya agar tidak mengganggu mereka berdua, kemudian pintu kamarnya ditutupkan dari luar dan dia berkata sambil tersenyum lebar. “Nah, duduklah dan anggap ini kamarmu sendiri, Ceng Ceng. Ehhh, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau tidak seperti orang Mancu.”

“Benar, hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi biasa disebut Ceng Ceng.”

“Ah, engkau puteri guru Perwira Jayin yang bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu?”

“Bukan anaknya, melainkan cucunya. Paduka sangat baik terhadap hamba, padahal hamba telah mengagetkan paduka dan telah berani memasuki tempat ini...”

“Hushh, kalau kau tak merubah sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku kepadamu, Ceng Ceng. Tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap hari disembah-sembah orang, setiap hari mendengar sebutan paduka tuan puteri atau yang mulia dan lain-lain yang kosong dan palsu, mendengar orang merendahkan diri dan menyebut diri hamba yang rendah dan sebagainya. Alangkah rinduku diperlakukan seperti manusia biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang siluman yang bukan manusia. Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang terbuka, menyebutku dengan kata kau atau anda saja. Akan tetapi begitu kau meniru sikap mereka yang merendahkan diri seperti orang menjilat, aku menjadi tidak senang.”

“Habis...?” Ceng Ceng meragu dan terheran, juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang puteri raja yang menyatakan pendapat seperti itu.

“Engkau Ceng Ceng, dan aku Syanti saja. Kau sebut saja namaku.”

“Ini... ini... mana hamba berani...”

“Kalau tidak berani, lekas kau pergi dari sini dan aku tidak mau bersahabat denganmu lagi.”

“Ahhhh...” Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan merasa kecewa sekali. “Hamba ingin sekali... bersahabat... hamba kagum dan suka kepada paduka...”

“Hushh! Hanya satu syaratnya, yaitu kau menganggap aku sebagai sahabat atau... eh, bagaimana kalau sebagai saudara? Berapa usiamu?”

“Kurang lebih lima belas tahun.”

“Kalau begitu sama dengan aku. Nah, untuk menghormatiku biarlah kau menganggap aku lebih tua setengah bulan darimu, dan kau menyebut aku enci (kakak), dan aku menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Selanjutnya kau harus ber-engkau dan ber-aku kepadaku, tidak ada lagi paduka-padukaan atau hamba-hambaan. Bagaimana, maukah kau?”

Ingin Ceng Ceng menari kegirangan. Siapa bisa percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang gadis gunung, diakui sahabat baik, bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang terkenal itu! Duduk berdua sekamar dengan puteri itu, bicara dengan sebutan engkau dan aku! Mana mungkin ini? Hanya dapat terjadi dalam mimpi! Mimpikah dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri.

“Haiiii, Ceng-moi, apa yang kau lakukan itu?” Puteri Syanti memandang heran ketika melihat Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri dan meringis karena merasa nyeri.

“Ehh...! Ohhh...! Tidak... tidak apa-apa... eh, enci Syanti.”

Puteri Syanti tertawa lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga mulut yang merah dan lidah yang kecil yang bergerak hidup dan berwarna merah muda.

“Senang hatiku mendengar kau menyebutku enci! Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak boleh menyimpan rahasia. Aku melihat kau tadi mencubit pahamu sampai kau meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu, mencubit paha sendiri?”

“Habis, tidak ada yang mencubit... eh, maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar mukanya, apa lagi kalau dia seorang pria!”

Jawaban ini membuat sang puteri terkekeh geli. “Bagaimana kalau yang mencubit itu pria kekasihmu?”

“Kekasih?” Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.

“Kekasih, pria yang kau cinta. Bagaimana kalau dia yang mencubit pahamu?”

“Cinta? Aku tidak tahu, aku tidak mengerti apa itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu, berarti dia manusia kurang ajar dan tentu akan kutampar mukanya sampai bengkak-bengkak!”

“Ouhhh...!” Puteri itu menutupi mulutnya dan memandang heran.

“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah berpacaran?”

“Hehh? Berpacaran?”

“Ya, mempunyai teman pria yang kau sukai, dengan siapa engkau bersendau-gurau, bersenang-senang, bermain-main bersama dan sebagainya.”

Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri, “Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas di luar, tidak seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri...”

“Enci Syanti, apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak mengerti.”

“Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah justru yang beruntung, tidak dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?”

“Karena aku masih tak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku sedang mimpi, maka kucubit pahaku.”

“Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng.”

“Dan aku... aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali padamu.”

“Kalau begitu...!” Puteri itu meloncat. “Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Ahhh, kau tahu, adik Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku, barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!”

“Apa...? Aku...? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?” Jantung di dada Ceng Ceng berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!

“Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran seorang sahabat, seorang saudara yang sangat kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan hatiku ini” Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!

Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat. “Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!”

“Adikku...!” Saking girangnya puteri itu lalu menubruk dan memeluk Ceng Ceng, lalu mencium pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masing-masing yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru sekarang bertemu.

“Tetapi bagaimana kalau kongkong melarangku?” Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya, bertanya ragu.

“Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh kongkong-mu.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh gembira, kemudian tidur bersama dalam pembaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai.

Benar saja apa yang dikatakan oleh Puteri Syanti Dewi. Setelah puteri ini menyatakan kehendaknya mengangkat Ceng Ceng sebagai pengawal pribadinya, pangeran tua sendiri pun tak berani melarang sehingga Perwira Jayin yang tadinya mendengar akan perbuatan Ceng Ceng dan hendak membawa pulang sumoi-nya itu, jadi ‘mundur teratur’ dan terpaksa dia mengirim laporan kepada suhunya di dusun tentang keadaan Ceng Ceng yang kini diangkat oleh sang puteri menjadi pengawal pribadi, bahkan sudah ditentukan oleh puteri itu bahwa Ceng Ceng akan mengawalnya kalau tiba saatnya dia diboyong oleh rombongan utusan kaisar!

Sementara itu, pada malam hari itu juga ketika merundingkan persoalan raja yang terancam bahaya dengan para panglima dan pembantunya, pangeran tua mengambil keputusan untuk mengirim pasukan yang terdiri dari seribu orang prajurit, dipimpin oleh Panglima Jayin sendiri untuk mencari raja dan menyelamatkannya dari ancaman bahaya.

Berangkatlah Panglima Jayin menunggang kuda memimpin seribu orang prajurit itu pada malam hari itu juga. Bhutan bukanlah sebuah negara besar dan karena negara itu selalu berada dalam keadaan aman, jarang sekali dilanda perang, maka tentaranya juga tidak terlatih dan tidak banyak jumlahnya. Kalau sekarang dikerahkan seribu orang pasukan adalah karena mereka hendak menolong dan melindungi raja mereka. Obor-obor dipasang mengiringi keberangkatan barisan itu keluar dari benteng kota raja.

Akan tetapi ketika barisan itu tiba di pintu gerbang kota raja, terdengar teriakan penjaga dan Panglima Jayin cepat menengok. Kiranya di antara sinar obor tampak berkelebat bayangan orang yang melompati dinding benteng yang sangat tinggi itu dengan gerakan seperti seorang burung terbang saja.

“Kejar dia! Tangkap! Panah dia!” Panglima Jayin yang merasa curiga sekali memerintah dengan suara nyaring.

Beberapa orang prajurit ahli panah sudah menyerang bayangan itu, akan tetapi karena gerakan bayangan itu cepat laksana burung terbang, serangan anak-anak panah itu sia-sia belaka dan dalam sekejap mata saja bayangan itu telah lenyap ke dalam kota raja.

Panglima Jayin mengangkat tangan menahan gerakan barisannya, lalu mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyuruh mereka menahan barisan untuk berhenti di luar tembok kota raja karena dia ada urusan penting. Seorang diri panglima ini lalu membalapkan kudanya kembali ke kota raja, menuju ke istana.

Dalam hati Panglima Jayin mulai merasa curiga terhadap para tamu agung, yaitu para rombongan utusan kaisar. Bukankah mala petaka terjadi ketika rombongan itu di Bhutan? Kebetulan sajakah ini, atau ada apa-apa di balik kedatangan rombongan itu? Mereka datang pada saat raja berburu dan rombongan raja dihadang oleh pasukan musuh yang kini dia tahu adalah orang-orang Mongol dan Tibet yang telah lama sering mengadakan gangguan kepada Pemerintah Bhutan.

Orang-orang campuran antara bangsa Mongol dan Tibet yang sebenarnya merupakan orang-orang pelarian negara mereka sendiri ini telah membentuk sebuah perkumpulan besar atau dapat juga dikatakan sebuah ‘kerajaan’ kecil, dipimpin oleh seorang tokoh hitam yang kabarnya berasal dari Tiongkok dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akan tetapi, selama ini, karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah barisan Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan dan sudah lama mereka tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu raja yang sedang berburu, tepat ketika rombongan utusan kaisar tiba?

Bayangan yang dilihatnya meloncat seperti terbang tadi memakai kuncir, tanda bahwa bayangan itu adalah seorang dari Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin terhadap rombongan utusan kaisar makin besar, maka dia menahan barisannya dan kini dia kembali ke istana untuk menemui mereka, untuk melihat keadaan dan kalau perlu bertindak.

Ketika panglima memasuki pintu gerbang istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan dia berlari-lari masuk ke tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di situ juga sedang dalam keadaan ribut-ribut. Semua tamu itu telah terbangun dan banyak pula para pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika mereka melihat Panglima Jayin, maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang memimpin rombongan utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin dengan muka merah dan alis berkerut.

“Apa yang sudah terjadi?” tanya Jayin dengan pandang mata penuh selidik kepada pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu.

Pengawal ini ini bernama Tan Siong Khi. Ketika mendengar pertanyaan Jayin dia memandang tajam dan berkata, “Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan ini, panglima!”

Jayin mengerutkan alisnya, terheran akan tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata itu, “Hemm... apakah sesungguhnya yang telah terjadi?”

“Ada orang menyelundup masuk ke tempat penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku sendiri sudah menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia berhasil melarikan diri dan lenyap.”

Tentu saja Jayin terkejut, “Benarkah? Seperti apa orangnya?”

“Keadaan gelap, dan gerakannya gesit. Kami tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan tetapi yang amat mengherankan, mengapa dia dapat memasuki istana yang terjaga kuat dan bagaimana mungkin dia melarikan diri dari istana dan dari dalam kota raja?”

Biar pun ucapan Tan Siong Khi diucapkan seperti orang yang merasa heran dan penasaran, namun di dalamnya terkandung kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk mengimbangi sikap Jayin yang datang-datang memperlihatkan kecurigaan pula.

Jayin mengerutkan alisnya lagi. Memang sukarlah baginya keadaan seperti itu. Kecurigaannya terhadap rombongan utusan ini memang makin besar. Siapa tahu keributan dengan alasan orang luar memasuki tempat penginapan mereka ini hanya sandiwara belaka!

Akan tetapi untuk menuduh begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula, mereka ini adalah utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya sendiri sampai mengorbankan puterinya untuk menjadi isteri seorang Pangeran Mancu hanya karena mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan terlindung sebagai keluarga Kerajaan Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok.

Akan tetapi Jayin adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman, tidak hanya berpengalaman dalam medan perang, tetapi juga berpengalaman dalam hal diplomasi. Dengan cerdik dia lalu berkata dengan muka sungguh-sungguh, “Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi urusan besar yang juga menyangkut kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja kami sedang terancam bahaya.” Dia lalu menuturkan bagaimana rajanya yang sedang berburu itu diserbu oleh musuh dan kini tidak tahu berada di mana dan bagaimana pula keadaannya.

“Kalau raja kami tidak dapat segera diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan gagal pula. Maka setelah ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk ciangkun yang sudah tentu memiliki kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai pengawal kaisar sebuah negara besar. Saya harap ciangkun tidak akan berkeberatan untuk membantu kami melakukan penyelidikan untuk menolong raja kami.”

Tan Siong Khi juga bukanlah seorang pengawal bodoh. Tentu saja dia mengerti apa arti permohonan yang diajukan dengan halus oleh Jayin itu. Untuk urusan dalam seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini minta bantuan orang luar. Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan, akan tetapi sebetulnya dia akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini agaknya mencurigai rombongannya! Maka dia tersenyum dan berkata, “Kami diperintah untuk menjemput mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang akan menjadi besan dari kaisar kami terancam bahaya, sudah tentu saya suka membantu.”

“Kalau begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam ini juga kita berangkat dan tentaraku sudah siap di luar tembok benteng kota raja.”

Panglima Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan tak lama kemudian berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda keluar dari kota raja dan memimpin pasukan yang seribu orang besarnya itu. Obor di tangan para prajurit yang bertugas membawa obor dan berada di depan, tengah, dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang menyala-nyala keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke Pegunungan Himalaya, ke arah utara.....

********************
Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat mencari raja mereka itu untuk menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi seorang.

Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat.

Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di sebelah samping sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu.

Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga menaruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya.

Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hal ini menandakan bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar.

Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah ‘matang’, gerak-geriknya tenang, wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya.

Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tong-pai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sute-nya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.

Di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda. Biar pun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak yang diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu. Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi.

Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan pihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggota Bu-tong-pai. Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin Bu-tong-pai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.

Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Huang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur. Dengan uang yang diperoleh dari Bu-tong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puteranya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan.

Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar, dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit, kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak ia ia masih dalam kandungan.

“Mengapa, ibu?” tanya anak kecil berusia enam tahun itu. “Mengapa ayahku meninggal dunia?”

Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata, “Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Karena itu kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat.”

Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya. “Siapa yang membunuh ayah?”

“Tidak perlu lagi kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu.”

“Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang...”

“Eh? Mengapa sayang?”

“Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!”

Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun Beng, orang yang bagaimana pun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biar pun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biar pun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu, namun harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.

“Ibu, siapa namanya?”

“Nama siapa?”

“Nama penjahat yang membunuh ayah itu.”

“Namanya? Namanya... Gak Bun Beng.”

“Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu.”

“Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati.”

“Orangnya sudah mati, akan tetapi namanya masih ada, bukan? Dan siapakah nama ayahku, ibu?”

Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama keturunan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab, “Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa.”

Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.

Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu hanya bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apa lagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka, karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya di samping pelajaran menulis dan membaca.

Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat mau pun ilmu menulis membaca, sekali dihafal, dilatih, terus saja bisa.

Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itu. Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.

“Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?”

Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali. “Pendekar? Aihhh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak gampang menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali.”

“Ada orang yang lebih pandai dari ibu?” tanya anak berusia empat belas tahun itu.

Ang Siok Bi tertawa. “Baru di Bu-tong-pai saja, paling banyak ibu hanya menduduki tingkat ke empat!” Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai!

“Bu-tong-pai?” Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu.

Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menaruh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata, “Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin.”

Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini. “Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?”

“Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi.”

“Siapa ketuanya, ibu?”

“Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kongkong-mu sendiri.”

“Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?”

“Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja.”

Tek Hoat membelalakkan matanya. “Benarkah, ibu?” Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini. “Siapakah mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?”

“Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman.”

“Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?”

Ibunya tersenyum. “Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman.”

“Pendekar Siluman....” Tek Hoat berkata perlahan.

“Juga Pendekar... Super Sakti.”

“Pendekar Super Sakti....” kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.

“Dia Majikan Pulau Es!”

“Pulau Es... di manakah Pulau Es itu, ibu?”

“Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya.”

“Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?”

“Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?”

“Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!”

“Eh, mau apa kau?”

“Aku mau menantangnya.”

“Kau gila?”

“Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Jika benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai.”

Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es.”

“Tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu.”

Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.

“Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka orang yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di sana...” Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai?

Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng, akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!

“Ibu, aku akan pergi sekarang juga.”

“Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak.”

“Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku.”

“Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana...?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis. “Ibu, mengapa kini ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?”

Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biar pun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya.

Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa.

Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan takut, akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kong-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguh pun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya.

Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggota pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua mereka menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.

“Hemm, kami tak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,” seorang di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata. “Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi.”

Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya telah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras, “Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?”

Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Tidak ada kakekmu yang pernah menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini.”

Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!

“Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusatnya orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!”

“Anak haram!” Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat.

Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!

“Plak... brukkk...!” Tubuh Tek Hoat terbanting keras.

Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter di mana dia terbanting keras, membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!

Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong.

Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang karena pandang matanya berputar, namun dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.

“Bocah hina, apakah kau ingin mampus?” Kakek itu berteriak marah.

Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.

“Bressss...!”

Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.

“Hemmm... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!” Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan.

Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biar pun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.

“Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!” Kakek itu kemudian menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.

Tek Hoat tadi sempat melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika mendadak kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya ‘terbang’ cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.

“Kakek yang baik, aku ingin sekali menjadi muridmu,” tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat.

Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.

“Aku takkan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tak akan menerima murid.”

Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biar pun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itu pun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata, “Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid, mengapa tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?”

Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap tertawa. “Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah engkau mencuri sesuatu?”

“Sudahlah, jika engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong.”

“Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?”

“Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Heiiii... engkau kenapa?” Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan!

Tentu saja kakek lumpuh itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang.

Seperti telah diceritakan dalam Sepasang Pedang Iblis, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja. Kakek lumpuh namun lihai ini seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya, Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh.

Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali.

Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya Gak Bun Ben, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya merasa sengsara sekali. Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana, meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

“Eh, anak yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?”

Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!

“Apakah engkau Pendekar Siluman?”

“Ha-ha-ha-ha!” Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata.

Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biar pun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biar pun kini kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!

“Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau apakah kau mencari Pendekar Siluman”

“Aku mau menantangnya!”

“Heiii...? Kau...? Menantangnya...?” Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar mengejutkan. “Mengapa?”

“Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong langit, aku akan berguru kepadanya.”

“Bocah lancang! Kau kira begitu mudah untuk menantang dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih sukar dari pada mencari naga di langit. Ehhh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?”

“Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Bu-tong-pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai tidak baik, malah memukulku.”

Kakek itu memandang tajam. “Siapa kakekmu?”

“Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin.”

“Ang Lojin...?” Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan.

“Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat.”

Mata yang biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah memperkosanya!

“Ibumu yang suka memakai pakaian kuning itu?” Tanyanya di luar kesadarannya sebab hatinya yang bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu.

Tek Hoat tercengang. “Kau sudah mengenal ibuku?”

Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus-elus jenggotnya dan termenung. Dia mengenang semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji.

Karena dia sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat kenyataan hebat, tentang terbukanya semua rahasia yang selama ini mengganggu hatinya.

Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu! Bukan Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapa pun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti.

Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?

“Anak baik, siapakah nama ayahmu?” Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.

“Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia.”

Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?
“Siapa bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?”

“Kakek aneh, siapa lagi kalau bukan ibu yang bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah. Kata ibu, ayah telah meninggal dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu.”

Kembali kakek itu mengelus jenggotnya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh kasihan wanita yang bernama Ang Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Anak ini tentu anak yang terlahir akibat perbuatan Wan Keng In yang memperkosa gadis itu! Timbul rasa iba besar di dalam hatinya terhadap anak ini.

“Ang Tek Hoat, aku mau menerima kau sebagai muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus berani hidup sengsara dan kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih ilmu silat selama dua tahun, dan kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut namaku sebagai gurumu. Bagaimana, maukah kau menerima syarat itu?”

Tek Hoat adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di depan kakek lumpuh itu, mengubah sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata, “Suhu, teecu menerima semua syarat itu, dan mohon Suhu sudi memberitahukan nama Suhu.”

“Ha-ha-ha, namaku sendiri aku sudah lupa, akan tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama julukan yang dilebih-lebihkan karena singa ini sudah lumpuh!”

Mulai saat itu Tek Hoat menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan ke mana pun juga kakek itu pergi, dia mengikutinya, melayani gurunya dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini menjadi girang sekali, lalu mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat. Dia mengajarkan ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya setelah kakek ini mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia mengajarkan sinkang yang mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil dari pada pemberian Nirahai setelah dia menjadi lumpuh kedua kakinya.

Makin girang hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu ini. Mereka melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu menghindarkan diri dari persoalan dengan orang lain, bahkan selalu menyembunyikan diri karena memang dia sudah muak dengan persoalan di dunia, apa lagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.

Patut disayangkan dan amat tidak baik bagi Tek Hoat, kakek itu ternyata sama sekali tidak mengacuhkan tentang pendidikan. Dia hanya membawa muridnya merantau dan mengajar silat kepadanya, dan dia sama sekali tidak mempedulikan tentang pendidikan batin.

Padahal ketika itu Tek Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang sedang berangkat menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini merupakan usia yang paling gawat karena jiwa petualang yang ada dalam diri anak itu sedang menonjol mencari penyaluran dan pemuasan dari keinginan tahunya mengenai segala macam hal.

Demikianlah, selama dua tahun itu Tek Hoat berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali, tumbuh dengan liar. Dia telah berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian yang hebat dan wataknya aneh, sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya yang tampan itu selalu terbayang senyum, sedangkan pandang matanya yang tajam tidak membayangkan perasaan hatinya.

Setelah sekali lagi dia harus berjanji kepada Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan menyebut-nyebut nama kakek ini sebagai gurunya, mereka saling berpisah. Tek Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri dan pemuda ini merasa lega hatinya. Selama dekat dengan gurunya dia merasa tidak bebas. Biar pun gurunya tidak mempedulikannya, dia mengerti bahwa gurunya tentu akan turun tangan apabila dia melakukan sesuatu yang tidak disukai gurunya. Kini dia bebas, seperti seekor burung terbang di angkasa.

Dia tidak mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak membawa hasil apa-apa? Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang tinggi dari Sai-cu Lo-mo, tetapi pemuda ini belum merasa puas. Bekal uang yang dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya hampir habis dan pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi.

Dia akan terlantar kalau tidak lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih belum menemukan apa yang dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu Pendekar Siluman! Dan kini dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan mencoba kepandaiannya lagi untuk melawan kakek Bu-tong-pai yang dulu pernah menghajarnya. Sebelum dapat membalas kepada kakek itu, dia akan selalu merasa penasaran.

Demikianlah, pada pagi hari itu Tek Hoat tiba di kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja, lalu dia memasuki sebuah rumah makan yang baru buka dan masih kosong belum ada tamu lainnya. Hari masih terlalu pagi untuk makan, tetapi Tek Hoat yang melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, bahkan semalam suntuk dia tidak berhenti berjalan, merasa lapar sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah dari gurunya, berpisah di hutan yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya memakan waktu perjalanan tiga hari.

Maka dia ingin sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama gurunya, kakek itu tidak pernah mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja. Dari tempat dia duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan orang berlalu lalang di luar rumah makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula kesibukan di sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang mempersiapkan hidangan yang dipesan tamu.

Terdengar suara ayam dipotong, suara orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya di sebelah dalam itu. Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan agaknya termasuk rumah makan terkenal di Kota Shen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat melihat bayangan wanita, di samping mendengar suara mereka yang merdu.

Pemuda itu makan dengan lahapnya. Masakan rumah makan itu memang terkenal enak dan perutnya lapar sekali, maka dia makan dengan penuh semangat sehingga dia tidak perduli akan masuknya serombongan tamu yang disambut dengan penuh hormat oleh dua orang pelayan. Mereka ini terdiri dari tujuh orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai jagoan silat berikut lagak-lagak mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk mereka menaruh golok dan pedang di atas meja, bicara dengan suara keras, tertawa-tawa, tidak memperdulikan keadaan sekelilingnya. Pendek kata, lagak jagoan-jagoan.

Ketika seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah dengan suara menjijikkan, barulah Tek Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia tahu bahwa di sebelah dalam, tak jauh dari pintu tembusan ruangan itu ke dalam, telah duduk tujuh orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia tidak mau perduli lagi kepada mereka dan melanjutkan makan minum.

Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan kota Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari Shen-yang dan nama mereka amat terkenal di daerah itu sampai ke kota raja. Mereka bukanlah penjahat-penjahat atau perampok, sebaliknya malah. Mereka adalah gerombolan orang yang tidak bekerja tetapi menjadi kaya karena kejagoan mereka, mendapat ‘sumbangan’ dari para hartawan yang membutuhkan ‘perlindungan’ mereka. Nama Jit-hui-houw (Tujuh Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi mereka yang kaya dan demi keamanan mereka dan harta mereka, para hartawan ini dengan rela menyerahkan sejumlah sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal ini memang amat menguntungkan mereka karena tidak ada penjahat berani mengganggu hartawan yang ‘dilindungi’ oleh Jit-hui-houw!

Akan tetapi, nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan itu mendatangkan kesombongan dalam hati mereka, dan biar pun mereka tidak melakukan perampokan atau kejahatan lain secara terang-terangan, namun sering juga mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan nama besar mereka.

Para pelayan rumah makan tentu saja sudah mengenal mereka biar pun baru beberapa kali Jit-hui-houw makan di tempat ini. Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka akan sarapan di rumah makan lain yang lebih besar. Dengan suara ribut mereka memesan arak dan bakpauw karena bakpauw buatan rumah makan ini memang terkenal enak. Kemudian mereka menyerang bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi sehingga sebentar saja suara ketawa mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin kotor.

Saat mereka melihat berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan, mereka lalu berbisik-bisik. Dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung karena setengah mabok, menghampiri meja di mana duduk majikan rumah makan itu dan berkata,

“Perut kami mulas. Kami hendak ikut ke kamar kecil di belakang.”

Pemilik rumah makan itu berubah air mukanya. Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu pucat dan mendapat firasat tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk karena tidak berani melarang, akan tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar menyuruh nyonya dan nona menyingkir.

Akan tetapi, kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah masuk mendahului pelayan, semua pelayan yang berada di luar tidak berani masuk, muka mereka pucat sedangkan lima orang jagoan yang masih duduk di luar tertawa bergelak. Ketika kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik, bangkit dan hendak mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang jagoan dan ditarik ke meja mereka.

“Lopek yang baik, sebagai tuan rumah marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah sahabat-sahabat baik? Ha-ha-ha!”

“Maaf... saya... saya...”

“Ah, apakah Lopek tidak menghargai ajakan kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum menjadi tanggung jawab kami untuk membayarnya. Ha-ha-ha-ha!” Tangan yang menggenggam pergelangan kakek itu mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan meringis kesakitan dan tidak berani banyak membantah lagi. Dia duduk, akan tetapi mukanya yang pucat selalu menoleh ke dalam.

Tek Hoat sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya tertarik kepada tujuh orang itu. Apa lagi ketika dua orang di antara mereka memasuki ruangan dalam dan melihat pula pemilik rumah makan dipaksa duduk menemani lima orang yang lain, dia mengerutkan alis, menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu. Karena Tek Hoat sudah mencurahkan perhatiannya, mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat menangkap suara lirih yang keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah makan itu, suara lirih yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran telinga biasa, suara wanita!

“Ampun... ah, jangan...!” Dan terdengar isak tertahan karena takut.

Cepat sekali Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan belakang.

“Haiii...!” Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang berkelompok, berdiri ketakutan.

“Di mana mereka?” Tek Hoat bertanya singkat.

Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun pintunya.

“Brakkkk...!” Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat.

Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan kehormatannya dari perkosaan seorang di antara jagoan tadi. Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan ke dua. Agaknya, sedikit saja kedatangan Tek Hoat terlambat, kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.

“Keparat!” Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang menengok kaget itu.

“Prak! Prak!”

Dan dua orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan, yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi, tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat. Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut dua orang jagoan itu, menyeretnya ke pintu kamar.

“Haiii... siapa dia? Hayo seret ke luar!”

Lima orang jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh melayang dari dalam dan menerjang mereka.

“Awasss...!”

Mereka cepat menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.

“Celaka!” teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, sekarang menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah.

Yang mereka pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.

“Kalian juga sudah bosan hidup?”

Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini?

Sejenak lima orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan ‘potongan’ jago kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?

“Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?” tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.

“Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku sudah turun tangan membunuh mereka. Dan kau mau tahu namaku? Aku bernama... Gak Bun Beng.”

Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan nama itu. Dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk menggantikan nama aslinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.

“Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?” Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat.

Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaiannya mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya. Akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya.

Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat. Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah tangan!

Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sinkang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pletok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.

Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika.

Empat orang anggota Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan dahsyat, kemudian berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penyerangan mereka cukup hebat dan sinar pedang serta golok berkelebatan menyilaukan mata. Para pegawai rumah makan sudah lari cerai berai.

Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan mereka lalu melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas. Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat.

Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan. Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang!

Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apa pun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya.

Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang. Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian istimewa!

Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk. Melihat dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak, “Lepaskan aku! Biarkan aku mati...!”

“Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tak perlu begini,” kata Tek Hoat sambil menyingkir dari depan kedua suami isteri yang berlutut itu. “Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?”

“Taihiap (pendekar besar)... tolonglah kami... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri, akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi...” Kakek pemilik rumah makan itu berkata sambil menangis.

“Hemm, apa maksudmu, lopek?” Tek Hoat bertanya, hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap. Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!

“Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap,” ajak kakek itu.

Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu hampir menjadi korban perkosaan.

Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata, “Taihiap, anak perempuan saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia merasa malu sekali.”

“Ah, bukankah dia tidak sampai diperkosa?” tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia tadi terlambat.

“Memang benar, namun taihiap mengerti, sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat oleh seorang laki-laki dalam keadaan telanjang bulat... hal ini menimbulkan rasa malu yang hebat...”

“Mengapa begitu?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Bukankah penjahat yang hendak memperkosanya tadi telah kubunuh mati?”

“Bukan penjahat itu yang dia maksudkan, taihiap. Laki-laki itu adalah... taihiap sendiri.”

“Haiii...? Eh, bagaimana pula ini...?”

“Taihiap, bukan hal itu saja yang menyusahkan hati kami, tetapi lebih-lebih kenyataan bahwa peristiwa ini tentu akan berekor panjang. Dari pihak petugas keamanan mudah saja diselesaikan karena memang nama Jit-hui-houw terkenal sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang dan kematian mereka di warungku cukup membuktikan bahwa mereka yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami yakin bahwa mereka tentu akan menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru mereka. Kami tentu akan dibasmi habis...” Dan kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. “Kecuali kalau taihiap menolong kami sekeluarga...”

“Bagaimana aku dapat menolongmu? Ahhh, mudah saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu tidak akan ada pembalasan dendam lagi!”

Sebelum kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari dalam kamar dan ternyata pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di depan, di mana dia tadi meninggalkan empat orang lawannya. Dia sudah membunuh yang tiga, sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja.

Akan tetapi ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggota Jit-hui-houw sudah tidak nampak bayangannya lagi, sedangkan mayat tiga orang itu pun sudah lenyap. Mereka telah melarikan diri sambil membawa mayat ketiga suheng mereka!

Terpaksa Tek Hoat kembali ke kamar dan dengan menyesal berkata kepada pemilik rumah makan. “Sayang sekali mengapa aku tadi tidak membunuh yang empat orang lagi.”

“Taihiap, biar pun mereka dapat melarikan diri, kalau taihiap suka membantu kami, hidup kami akan tenteram dan mereka tentu tak akan berani lagi bermain gila.”

“Bagaimana aku dapat menolongmu, lopek?”

“Dengan menerima permohonan kami agar taihiap sudi menjadi suami anak kami Siu Li...”

“Hahhh...?!” Terbelalak sepasang mata yang tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia mendengarkan juga ketika kakek itu menceritakan keadaan keluarganya.

Kakek itu bernama Kam Siok yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia tujuh belas tahun yang bernama Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah meninggal dunia karena sakit, dan Kam Siok lalu menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan seorang janda muda, yaitu wanita cantik berusia tiga puluh tahun lebih yang tadi hampir diperkosa bersama Siu Li, anak tirinya.

Keadaan mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu cukup besar sehingga mereka hidup tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu, hari itu terjadi mala petaka yang hebat dan kalau tidak ada jalan yang baik, tentu mereka akan terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh keluarga mereka.

“Demikianlah, taihiap. Hanya ada satu jalan bagi kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan Siu Li agar dia tidak menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, mau pun untuk kami sekeluarga agar terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw.”

Pada saat itu, dua orang wanita yang tadi hampir diperkosa memasuki kamar. Gadis yang bermuka merah sekali, dengan air mata bercucuran, digandeng tangannya dan agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya dan bersama puterinya itu, wanita cantik isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri di depan Tek Hoat sambil berkata dengan suara merdu halus dan penuh daya membujuk, “Mohon kemurahan hati taihiap agar memenuhi permohonan suami saya karena hanya taihiaplah bintang penolong kami satu-satunya.” Muka yang cantik dengan sepasang mata yang penuh gairah menantang itu diangkat.

Tek Hoat diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya, bibirnya yang menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya yang tadi dirobek penjahat masih belum dibetulkan sama sekali.

Ada pun gadis yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher yang putih halus. Sungguh pun kecantikannya tidak menggairahkan seperti kecantikan ibu tirinya, namun Siu Li tergolong dara yang cantik manis.

Hati Tek Hoat tertarik, bukan hanya kepada wanita-wanita itu, terutama mengingat akan kekayaan kakek Kam Siok. Dia memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali uang banyak dan pakaian yang indah. Apa salahnya kalau dia menerima penawaran ini? Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat wajahnya kelihatan makin tampan, tetapi senyum yang sinis dan mengandung ejekan penuh rahasia. Dia mengangguk.

“Baiklah, demi keselamatan kalian sekeluarga, aku menerima usul kalian ini.”

Kakek Kam Siok girang bukan main, maju menubruk dan merangkul calon mantunya, “Anak baik... agaknya Thian sendiri yang menurunkan kau dari sorga untuk menolong kami...! Kalau begitu, perayaan pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal? Eh, siapa pula namamu? Ha-ha-ha, betapa lucunya. Seorang mertua tidak tahu nama mantunya!”

“Tidak perlu repot-repot, lopek. Aku seorang yang sebatang kara, tiada tempat tinggal tiada keluarga. Namaku... Gak Bun Beng.”

Dapat dibayangkan betapa girang hati keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima permintaan mereka. Kam Siok merasa terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa tertebus aibnya, apa lagi memperoleh suami yang amat tampan dan gagah perkasa, hal yang sama sekali tak pernah dimimpikan karena dia hanyalah anak seorang pemilik rumah makan! Dan ada orang yang diam-diam merasa girang sekali dan memandang hari depan penuh harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok yang masih muda dan cantik.....

Dengan mata halus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya bergelora panas. Tentu saja dia tak pernah memperoleh kepuasan batin dari suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua dari pada dia dan dia memang mau menjadi isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia. Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya makin menderita dan matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap kali dia melihat seorang pria muda yang tampan.

Betapa pun hatinya merindu, kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang kehausan yang tidak pernah mendapatkan kepuasan. Namun sekarang, kesempatan terbuka lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini mantunya?

Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga. Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai banyak langganan, maka perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan ‘Gak Bun Beng’ ini mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu itu ingin sekali menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang, pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka!

Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi ketika sisa Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun, sudah menghilang entah ke mana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan bersyukur kepada pemuda asing ini.

Ketika sepasang mempelai dipertontonkan kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak perawannya yang hampir diperkosa anggota Jit-hui-houw, tidak saja terbebas dari mala petaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang demikian gagah perkasa dan tampan!

Pada saat para tamu sedang bergembira menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak tamu yang sudah bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatuk-batuk karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang datang itu dengan sikap garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh tambalan dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!

Gegerlah suasana pesta ketika empat orang Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan mereka karena meja kusi menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari tempat jauh walau pun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di pinggiran.

Dapat dibayangkan alangkah paniknya pihak tuan rumah. Walau pun mereka sudah menduga-duga bahwa setiap waktu pihak Jit-hui-houw tentu akan datang mengacau dan membalas dendam, dan biar pun mereka sudah percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang Jit-hui-houw bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi pucat ketakutan. Kam Siok sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar dengan jantung berdebar tegang.

Tentu saja Tek Hoat merasa marah sekali menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan perayaan pesta pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang, baik yang dekat mau pun yang menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang menjadi pengantin itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan bersikap menantang itu.

Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek Hoat memandang empat orang sisa Jit-hui-houw dan berkata sambil tersenyum mengejek, “Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian, apakah kini kalian datang untuk menyerahkan nyawa?”

Empat orang itu mencabut pedang dan golok, muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik. “Suhu, inilah jahanam yang telah membunuh ketiga suheng itu!” kata seorang di antara mereka.

Kakek tua berpakaian jembel itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun, tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal itu.

Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian yang hebat, dan biar pun tidak dapat dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia menyangka bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang ternama.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat orang muridnya memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini, yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali. Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau ini?

Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang kelihatannya masih belum dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apa pun, dia segera membentak kepada empat orang muridnya, “Kalau begitu tunggu apa lagi kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suheng-mu!”

Empat orang itu sebetulnya merasa jeri karena mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang kelihatan lemah ini. Akan tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan suhu mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini mereka sudah menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.

Pemuda ini biar pun mulutnya tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat dua batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali. Tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar senjata lawan, tangan kakinya pun bergerak sehingga terdengar suara berkerontangan ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para pemegangnya yang terkena tamparan dan tendangan.

Kemudian sebelum mereka sempat mundur dan sebelum kakek jembel itu sempat menolong murid-muridnya, Tek Hoat sudah berkelebat cepat sekali. Jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul dengan robohnya empat orang Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar, lalu diam tak bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari tangan Tek Hoat!

Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai yang melihat empat orang muridnya roboh dan tewas, terbelalak kaget dan hampir dia tidak dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh orang Jit-hui-houw telah tewas semua, dan semuanya dibunuh oleh pemuda yang luar biasa ini!

Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak, “Bocah kejam! Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw Lo-kai turun tangan membunuhmu!”

Tek Hoat tersenyum mengejek. “Perlu apa menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut macam murid-muridmu yang belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun Beng.”

“Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!”

Setelah berkata demikian, kakek jembel itu kemudian menggerakkan tongkatnya dan menyerang. Karena tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan bertangan kosong, dengan menggunakan tongkatnya yang ampuh.

Melihat tongkat menyambar-nyambar serta berbunyi bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa kepandaian kakek ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini, ternyata murid-muridnya tadi hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu ternyata terbuat dari pada baja yang kuat dan berat.

Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani lawannya dengan ilmu silat yang dipelajari dari ibunya. Tubuhnya amat gesit saat mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.

“Haiit, kau murid Bu-tong-pai!” Kakek itu menahan tongkatnya dan membentak.

Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke depan, mainkan ilmu silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Melihat pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya. Akan tetapi berkali-kali dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat aneh. Ilmu silat pemuda itu dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat. Itulah ilmu silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas!

Sekali ini, Sin-houw Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya hanya dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru! Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti tubuhnya.

Tek Hoat juga merasa penasaran. Pemuda ini terlalu mengandalkan dirinya sendiri, terlalu percaya bahwa dia akan sanggup mengalahkan lawannya yang mana pun juga, apa lagi setelah dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo selama dua tahun. Kini belum mampu mengalahkan kakek jembel itu biar pun mereka sudah bertanding selama seratus jurus, dia merasa penasaran bukan main. Akan tetapi dia tetap keras kepala dan tidak mau menggunakan senjata. Dia harus mampu mengalahkan kakek itu hanya dengan tangan kosong saja!

“Mampuslah...!” Tiba-tiba kakek itu membentak dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.

“Cuat-cuat-cuattttt...!” tiga sinar putih menyambar ke arah tubuh Tek Hoat.

Pemuda ini cepat mengelak dari serangan piauw (senjata runcing yang dilontarkan), akan tetapi tiba-tiba kakinya tersandung bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja Sin-houw Lo-kai menjadi girang sekali. Cepat dia menubruk ke depan dan tongkatnya dihantamkan sekuat tenaganya ke arah kepala lawannya.

“Siuuuuttt... plakkk!”

Tongkat menyambar turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas. Kiranya dia tadi hanya pura-pura terjatuh untuk memancing perhatian lawan. Ketika melihat lawannya menghantamkan tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat meloncat dan menangkap tongkat itu di bagian tengah-tengah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang tongkat.

Kakek itu mengeluh, dan terpaksa membiarkan tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah membetotnya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat mempertahankan tamparan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang amat panas, sinkang yang dilatihnya di bawah bimbingan Sai-cu Lo-mo.

Kini Tek Hoat berdiri tegak setelah tadi meloncat ke belakang sambil membawa tongkat rampasannya. Ada pun kakek itu telah bersiap untuk bertanding mati-matian, matanya menjadi merah dan mulutnya seolah-olah mengeluarkan uap panas.

“Ha-ha, tongkatmu ini tidak ada gunanya, Sin-houw Lo-kai.” Sambil berkata demikian, pemuda itu menekuk-nekuk tongkat baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat itu tertekuk sampai bengkok-bengkok seperti ular! Dengan senyum mengejek pemuda itu melemparkan tongkat itu ke atas lantai, lalu melangkah maju menghampiri lawannya.

Pucatlah wajah kakek itu. Dia maklum bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat. Dia tahu bahwa dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi setelah pemuda itu membunuh semua muridnya, setelah pemuda itu begitu menghina dan memandang rendah kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati dari pada mundur!

Dia mengeluarkan pekik melengking penuh kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan menubruk seperti seekor harimau. Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu Silat Harimau sehingga julukannya Harimau Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya yang tewas itu pun terkenal dengan julukan Tujuh Harimau Terbang. Lawan yang ditubruk oleh jurus paling ampuh dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi panik, dan gerakan menubruk ini banyak sekali perkembangannya.

Akan tetapi Tek Hoat yang kini sudah merasa yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat dari pada kakek itu, memandang rendah serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan lawan dan siap mengadu tenaga! Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, Tek Hoat juga mengembangkan kedua lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu dengan tangannya sendiri.

“Plak! Plak!”

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan mulailah terjadi adu tenaga sinkang yang dilakukan tanpa bergerak akan tetapi yang kehebatannya tidak kalah dengan adu kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya beringas seperti muka harimau marah, tubuhnya agak merendah, dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat berdiri biasa saja, senyumnya masih menghias mulutnya, matanya tajam bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam dia mengerahkan Yang-kang yang mengandung hawa panas itu.

Dua pasang lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu tenaga itu, akan tetapi lambat laun kakek jembel itu sukar dapat mempertahankan diri lagi karena hawa panas itu semakin mendesak dan semakin membakar seakan-akan hendak membakar seluruh tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan tenaga sinkang lawan, akan tetapi menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam tubuhnya itu dan membuat dadanya seperti akan meledak, dia merasa tersiksa sekali.

Tek Hoat makin memperkuat dorongannya makin mengerahkan sinkang-nya sehingga dari telapak tangannya mengepul uap panas. Kakek itu meringis, makin menderita dan akhirnya kedua kakinya gemetaran, perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama makin rendah dan akhirnya dia jatuh berlutut dan tubuhnya gemetar semua.

Untuk kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan tenaganya, terutama pada tangan kanannya yang sudah menekan tangan kiri lawan.

“Krekkk...! Aughhhh...!”

Sin-houw Lo-kai memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi lengking mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan tangan kiri lawan dan menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk dan jari tengah, menusuk dan masuk semua ke dalam kepala kakek itu. Tubuh kakek itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat menendangnya, tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat orang muridnya.

Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima orang pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan lega ini merangkul mantunya penuh kebanggaan. Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskan persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itu yang datang untuk mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut apa pun, lebih-lebih karena Kam Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.

Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama ‘Gak Bun Beng’ terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.

Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan gagah itu, oleh karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Ada pun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika baru beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri! Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini. Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinahan dengan mantu tirinya ini secara berterang!

Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya di depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya! Ada pun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Namun apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada ‘Gak Bun Beng’, dan mereka takut sekali kepada pemuda ini. Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!

Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu saat sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan tewas di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memaki-maki dan menantang-nantang.

“Jahanam keparat!” teriaknya nyaring. “Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar! Mengapa beraninya membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!”

Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam, maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka.

Namun, kemesraan di antara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan. Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara.

Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biar pun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Dan akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya di mana dia memuaskan semua kehausannya.

Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan!

Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khikang-nya berteriak keras, “Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?!” Dan dia berkali-kali berteriak “Pembunuh!” sampai para tetangga terkejut dan keluar.

Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal adalah pemuda tetangga telah terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati dengan kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger. Tek Hoat lalu menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia tahu ibu mertuanya sedang kedatangan kekasihnya, akan tetapi dia tidak berani mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika dia meloncat dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.

“Dia lihai sekali!” demikian dia menyambung. “Tentu dialah orangnya yang telah membunuh isteriku, dan yang sekarang kembali datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya. Bedebah dia! Aku akan mencarinya sampai dapat! Aku tidak akan kembali ke sini sebelum aku dapat membunuh penjahat itu!”

Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia menyerahkan rumah yang harta bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa ini, dan nama ‘Gak Bun Beng’ menjadi kenangan mereka di kota itu.

Akan tetapi, banyak di antara para tetangga yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa pembunuhan selalu terjadi tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang semua terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya! Mereka teringat betapa mayat lima orang yang mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati dengan kepala berlubang! Apa lagi si tetangga yang diserahi rumah makan mendapatkan kenyataan bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, sedangkan semua harta benda yang berharga telah lenyap!

Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan timbullah dugaan bahwa si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri! Apa lagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat! Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang memasuki kota Shen-yang melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!

Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng, telah meninggalkan kota itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak menyenangkan dan amat membosankan hatinya. Tentu saja ketika dia menerima penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia tidak berniat untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu! Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.

Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang bermata tajam. Namanya yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah perampok yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka kecele karena perampok yang bagaimana lihai pun, begitu bertemu dengan pemuda ini tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak pula yang tewas dengan kepala berlubang. Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang tokoh baru, seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng!

Hal ini adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini! Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya sendiri.

Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan untuk berburu binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya bahwa selama ini dia terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan bahwa yang dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!

Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan itu, sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan dalam hutan itu sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!

“Haiii...! Minggir...!” Penunggang kuda terdepan berseru.

Namun Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum sindir. Penunggang kuda terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, yaitu seorang berpakaian perwira yang berwajah tampan dan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!

“Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka tidak mau minggir?!” Bentak perwira itu sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke samping.

Tubuh Tek Hoat lantas meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan ginkang-nya, tubuhnya melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar juga memiliki kepandaian hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah oleh orang itu? Dengan hati penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan perwira tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar ke dalam hutan.

Tidak lama kemudian dia melihat lima orang penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka telah turun dari kuda dan binatang tunggangan mereka sedang makan rumput, sedang mereka sendiri duduk di bawah pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk di atas kudanya, seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah.

Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu sebaya ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah pakaiannya. Kudanya pun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia hampir berteriak saking kagetnya.

Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk! Kuda tunggangan wanita itu kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput juga mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu, sedangkan wanita cantik itu sendiri juga tetap duduk di atas punggung kudanya dengan tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.

Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiri pun tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apa lagi melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin sekali memamerkan ilmu kepandaiannya kepada lima orang laki-laki itu terutama sekali kepada perwira tampan gagah yang tadi melemparnya.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan wanita itu, menghadapi harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang ‘terbang’ turun di depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-matian sungguh pun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan mulut penuh taring.

“Bocah lancang! Mundurlah kau!” Terdengar bentakan halus dan mendadak Tek Hoat merasa pinggangnya seperti dirangkul orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas.

Biar pun dia berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya ketika dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apa lagi hanya seorang wanita, bisa menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat tubuhnya melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu bernyawa dan amat kuatnya!

Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang, pegangan yang kuat bukan main sehingga usahanya untuk merenggut lepas sia-sia belaka. Ketika menoleh, dia melihat orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak betapa pakaian orang ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau perwira tinggi yang berwibawa dan bermata tajam.

“Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa ganasnya harimau itu!”

Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke arah harimau dan melihat harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi anehnya kuda itu tidak mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga tidak mampu berkutik. Ketika tubuh harimau itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah menyambut datangnya terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular hidup melibat perut harimau dan membanting ke bawah.

“Bressss!”

Tubuh harimau terguling-guling sampai mendekati seorang di antara pengawal yang duduk di bawah pohon. Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.

“Krekkkk!” Tombak itu patah-patah.

“Hati-hati, mundur...!” Wanita itu berseru lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap pinggang harimau yang kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan membantingnya lagi.

Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya membuat binatang itu marah, sama sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini, mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan kebal.

Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap bangkit dan melawan lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.

“Bunuh dia!” Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, kemudian menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.

Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.

Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!

“Heiiii...!” Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sinkang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.

“Plakkk...!”

Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia selalu mengagulkan kepandaiannya, dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang!

Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!

“Hei, bocah lancang! Tunggu...!” Terdengar panglima itu berseru.

“Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian memang biasanya keras kepala dan sombong!” terdengar wanita itu mencegah.

Tek Hoat berlari semakin kencang saja. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Ia mengepal tinjunya. Ia harus belajar lagi. Ia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!

Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apa lagi kepandaian Puteri Milana!

Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguh pun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapa pun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.

Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apa lagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.

“Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,” kata Milana.

“Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”

“Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali...!”

Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu, akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.

Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanan dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?

Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!

“Brukkk!”

Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.

“Ha-ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,” kata seorang di antara mereka.

“Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk,” kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.

“Twako, air di sini pun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya?”

“Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.

Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!

Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.

“Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!” tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat.

Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.

“Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!” kata pula orang ke dua.

Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!

“Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!” Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.

“Huhhh!” Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.

Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.

“Wirrrr... trakkkkk!” Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam.

Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarang pun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”

Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematah-matahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!

Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan... muka mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!

Pada saat itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, “Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat.”

Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

Pelayan itu terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali.

“Jari... Jari Maut...” Bisiknya lirih, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan heran, kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan cara mencukilnya dengan pisau.

Dengan hati yang mendongkol sekali Tek Hoat keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan. Kalau saja dia tidak mengingat bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa tinggi kalau dibandingkan dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya dalam hutan di luar kota raja, tentu dia tadi sudah membunuh empat orang kasar itu. Sekarang dia harus semakin berhati-hati, tidak mencari permusuhan karena kepandaiannya belum tinggi.

“Wan-kongcu...!”

Tek Hoat terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba terdengar di belakang itu demikian nyaringnya, merupakan lengking yang dahsyat tanda bahwa yang bersuara itu memiliki khikang yang kuat sekali. Dia cepat menoleh dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu ternyata masih jauh dan kini orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya terbelalak heran dan kagum. Sebentar saja orang itu sudah berada di depannya dan untuk ketiga kalinya Tek Hoat terkejut.

Orang ini memang luar biasa sekali. Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis cantik yang dirias bedak dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk, bulat dan serba besar hidung dan bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata orang yang miring otaknya, dan kepalanya gundul, ditumbuhi rambut yang jarang dan layu. Tubuhnya gendut pendek.

Akan tetapi yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika melihat betapa dari mulut orang itu keluar asap tipis putih yang keluar masuk menurutkan jalan napasnya yang agaknya bukan hanya melalui hidung saja, akan tetapi juga melalui mulutnya yang terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu musim dingin, tidaklah aneh. Akan tetapi sekarang hawa sedang panasnya, bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap dengan napasnya?

Dan dari dalam perut orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya bedanya, kalau perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang ini mengeluarkan bunyi berkokok seperti katak, hanya agak jarang terdengarnya dan hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.

Sejenak kedua orang ini saling berpandangan. Tek Hoat memandang penuh keheranan sedangkan orang aneh itu memandang dengan mata berputaran dan mulut yang menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Aha, tidak salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)! Ha-ha-ha, akhirnya dapat juga kita saling bertemu!”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka dia bersikap hati-hati, tidak segera menyangkal dan dia malah memancing, “Siapakah engkau?”

“Heh-heh-heh, kongcu sudah lupa kepada saya? Masa lupa kepada anak buah sendiri? Saya orang yang paling setia di Pulau Neraka, saya Kong To Tek.”

Tentu saja Tek Hoat sama sekali tidak mengenal nama ini, bahkan sebutan Pulau Neraka pun baru sekarang dia mendengarnya. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal, maka dia diam saja dan segera menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon berhadapan dengan si kepala gundul yang aneh ini. Dikeluarkannya daging dan roti yang dibelinya tadi.

“Kau mau makan?” Dia menawarkan.

Kong To Tek girang sekali, kamudian tanpa sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan, dia menyerbu daging dan roti itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.

Kong To Tek adalah salah seorang di antara tokoh Pulau Neraka, menjadi pembantu ketua Pulau Neraka yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia bahkan merupakan tokoh pembantu pertama, dan yang kedua adalah Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Pulau Neraka ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh Pulau Neraka yang penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sute-nya, Bu-tek Siauw-jin, saling bertanding sendiri hingga keduanya tewas bersama, kemudian ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk kemudian ikut suaminya, yaitu Pendekar Siluman ke Pulau Es. Lalu mengapa Kong To Tek bisa berada di tempat itu, berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau Neraka? Biarlah kita dengarkan sendiri penuturannya kepada Tek Hoat.

“Benarkah engkau Kong To Tek tokoh Pulau Neraka?” Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata memancing. “Engkau berubah sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi.”

“Ha-ha-heh-heh, di dunia ini masa ada Kong To Tek kedua? Saya adalah Kong To Tek yang tulen, Kongcu. Kong To Tek dari Pulau Neraka yang asli!” Si gundul itu mengusap sisa makanan di bibir dan menggaruk-garuk kepalanya, matanya memandang liar ke kanan kiri. Diam-diam Tek Hoat merasa ngeri juga menyaksikan sikap liar ini.

“Kalau engkau betul Kong To Tek yang asli, coba katakan siapa namaku.”

“Wah, masa aku bisa lupa kepadamu, kongcu. Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal Ketua Pulau Neraka.”

Tek Hoat terkejut sekali, akan tetapi bersikap tenang. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang disebut Wan Keng In itu sebenarnya adalah ayahnya, ayah kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan bahwa wajahnya memang mirip sekali dengan Wan Keng In.

“Benar, akan tetapi aku belum puas. Coba katakan siapa guruku?”

“Ha-ha-ha, apakah kongcu main-main? Tentu saja guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong... dan karena pesan mendiang gurumu itulah maka dengan susah payah saya mencari kongcu.”

Tek Hoat pura-pura kaget. “Apa? Guruku... Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia?”

Si gundul itu mengangguk-angguk. “Banyak hal terjadi di Pulau Neraka, sejak kongcu berlari pergi... dan tocu (majikan pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah kembali lagi...”

Tek Hoat bisa menggambarkan apa yang diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia disangka putera seorang majikan pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid Cui-beng Koai-ong yang telah meninggal dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau telah pergi dan tidak kembali lagi!

“Kong To Tek lopek (paman tua), coba kau ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka.”

Kong To Tek duduk setengah rebah, bersandar pohon dan sikapnya seenaknya biar pun berada di depan majikannya, hal ini menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka adalah orang-orang liar yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun. Akan tetapi dia tidak peduli dan mendengarkan penuturan kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, otaknya miring, akan tetapi jelas berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.

Dan cerita Kong To Tek memang aneh. Dia menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat di Pulau Neraka, yaitu matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak beradik seperguruan yang merupakan manusia-manusia sakti yang jarang ada tandingnya, pada suatu hari dia didatangi oleh Cui-beng Koai-ong Si Mayat Hidup.

“Agaknya gurumu itu telah mempunyai firasat buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari setelah dia mendatangi saya, terjadilah pertandingan hebat antara gurumu dan susiok-mu Bu-tek Siauw-jin yang mengakibatkan keduanya tewas!”

“Kong-lopek, apa maksudnya mendiang suhu mendatangimu?” Tek Hoat mendesak, makin tertarik dengan cerita aneh ini.

“Gurumu menyerahkan dua buah kitab dan sepatang pedang yang katanya merupakan inti segala ilmu yang dimiliki suhu-mu dan susiok-mu, dengan pesan agar kelak aku menyerahkan semua itu kepadamu.”

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Tek Hoat. Dia cepat melompat bangun dan menghardik. “Di mana pusaka-pusaka itu?”

Si gundul tertawa. “Jangan khawatir, kongcu. Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang sekali, saya buta huruf dan tidak dapat mempelajari kitab-kitab itu. Padahal, baru melihat-lihat dan meniru gambar-gambarnya itu saja sudah membuat saya memperoleh kemajuan yang hebat ini, kongcu!”

Si gundul menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang. Dia memekik, kemudian menubruk pohon itu dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat sekali.

“Heiii...!” Tek Hoat berseru kaget.

“Desss! Brakkkkk...!”

Pohon itu patah dan tumbang, sedangkan si gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut setengah mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang bukan main. Wajahnya tenang saja, bahkan dia mengejek, “Hem, Kong-lopek, apakah engkau hendak menyombongkan diri di depanku?”

Tiba-tiba si gundul berlutut. “Sama sekali tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin membuktikan bahwa betapa hanya dengan mempelajari gambar-gambarnya saja, kepandaian saya sudah meningkat hebat.”

“Hayo cepat serahkan kitab-kitab dan pedang dari suhu kepadaku!”

“Baik, baik... mari, kongcu. Benda pusaka itu kusembunyikan di dalam goa yang selama ini menjadi tempat tinggal saya.”

Keduanya berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan ginkang-nya dan sudah berlari secepat mungkin, akan tetapi kakek gundul itu sambil tertawa-tawa masih dapat mengimbangi kecepatan larinya. Hebat!

Goa itu berada di daerah berbatu-batu di lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat. Sunyi dan tak pernah dikunjungi manusia. Goa yang cukup besar, dalamnya ada lima meter dan gelap. Ketika akhirnya kakek itu menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang kepadanya, Tek Hoat menjadi girang sekali dan dengan jantung berdebar dia membawa benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang.

Dicabutnya pedang itu dan matanya langsung menjadi silau. Sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kebiruan dan mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan begitu tercabut terciumlah bau amis bercampur harum yang memuakkan. Ukiran huruf kecil-kecil di dekat gagang memperkenalkan nama pedang itu. Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa)!

Disarungkannya kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia membalik-balik lembaran dua buah kitab itu. Dan ternyata itu adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat yang mukjijat, inti dari semua ilmu silat yang dikuasai oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil ciptaan Bu-tek Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling bertanding sampai keduanya mati, Cui-beng Koai-ong yang agak jeri terhadap sute-nya telah berlaku curang, dengan mencuri kitab yang kedua itu dari sute-nya.

Akan tetapi sebelum dia sempat mempelajari kitab sute-nya, keburu mereka bertanding karena masing-masing membela murid mereka.

“Heh-heh-heh, apakah engkau tidak girang, kongcu?”

Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan mengangguk. “Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali. Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan melupakan jasamu ini.”

“Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan yang kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhu-mu. Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggung jawabkan kelak kalau aku tidak berhasil menyerahkan semua ini kepadamu.”

Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada ‘gurunya’ yang bernama Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya, “Kong-lopek, menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai di antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?”

Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan. “Jangan... jangan... sebut-sebut nama dia... dia... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti... ihhh... aku takut, kongcu.”

Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek ini pun ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.

“Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka?”

“Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu hebat, mengerikan... tapi kalau suhu-mu dan susiok-mu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang.”

Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab wasiat suhu dan susiok-nya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman.....

Demikianlah, sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam goa bersama Kong To Tek yang melayaninya dan yang selalu menjaga di luar goa di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat. Untuk kedua kalinya, pemuda ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biar pun hanya terhadap kakek gundul itu! Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sinkang dan bersemedhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.....

********************

Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mukjijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.

Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang prajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para prajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.

Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.

“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”

“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”

Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, “Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”

“Tentu saja. Mari kita pergi.”

Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka menggunakan ilmu berlari cepat.

Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.

Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.

“Hemmm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa isi rumah itu,” kata Panglima Jayin.

“Ssttttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarang obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”

Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.

“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...”

Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak.

Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!

Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.

“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk.

Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jeri dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.

Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.

Para pengeroyok tadi sekarang menyerang mereka dari luar benteng obor dengan menggunakan anak panah! Tentu saja kedua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang lagi oleh hujan anak panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka berpijak terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kanan untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!

Dalam keadaan yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. “Ke kiri melalui tiga obor...!”

Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.

“Maju melalui sebatang obor...,” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor...!”

Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!

Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu. “Masuklah cepat, dan untung kalian masih dapat tertolong.”

Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh.

Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.

Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.

“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.

“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh, kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”

Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. “Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”

“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”

Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.

“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang terlambat tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.

Laki-laki buntung itu menahan senyumnya, berkata halus, “Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”

Raja Bhutan dan dua orang panglimanya tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!

Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut.

Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, yang membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!

“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar.” Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya.

Ketika melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.

Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.

“Betapa pun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan jika makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”

“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.

“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.

“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”

“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi ‘menuntun’ Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.

“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.

“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan?” Jayin mengusulkan.

“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andai kata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”

Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.

“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”

Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, “Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”

Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu, “Dapatkah disebut perbuatan baik apa bila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apa bila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih.”

Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!

“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.

“Kita menunggu sampai api obor padam.” Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja. “Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar.” Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!

Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.

Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apa bila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biar pun kecil, cukup kuat dan lengkap.

Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak.

“Sudah ada di antara obor yang padam!”

Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.

Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata, “Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, pihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”

Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, “Bagaimana dengan sri baginda?”

“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada.”

Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu dari pada mereka?

“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”

Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku hanya minta apa bila sewaktu waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini, agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat.”

“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka.”

“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”

“Sayang sekali tidak, taihiap.”

Kembali pendekar itu menarik napas panjang. “Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”

Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor.

Sekilas tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di pihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapa pun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam.

Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!

Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disambit-sambitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman.

Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.

Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, “Harap paduka suka duduk di punggung saya.”

Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.

Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi.

Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai ‘menghilang’ ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.

Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras, “Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!”

Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang prajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!

Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit.

Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!

Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itu pun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.

“Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,” kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh dari pada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.

“Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”

“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi mala petaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata Nirahai.

“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.

“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti membantah.

Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, “Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!”

Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi ‘orang ke dua’!

“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.” Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.

“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.

Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, “Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?”

Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, “Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”

“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.” Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka.

Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan dia pun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.

“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?” Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.

Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, “Hemmm..., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupanku yang sudah tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?”

Milana dan suaminya menggelengkan kepala. “Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...”

“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihhh, ke mana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...” Suma Han mengerutkan alisnya.

“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu...!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.

“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang,” kata Milana.

“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.

“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu.”

Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu.

Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.

“Aihh...! Bhutan...? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”

“Bisa jadi begitu!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”

“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan,” kata Suma Han dengan tetap.

“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.

Suma Han memandang tajam. “Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”

Milana menunduk. “Aku... aku ingin sekali seperti dulu...”

Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihhh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.

Dia menggeleng kepala. “Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan.”

Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana. “Ayah...”

“Eh, ada apakah, Milana?”

“Ayah...,” suaranya lirih sekali, agak gemetar dan parau, “Pernahkah ayah mendengar tentang... dia...?”

Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, “Aku tidak pernah mendengar... entah di mana... kau... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...”

Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi dia pun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia.

Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu kini menimpa pula diri puterinya? Kasihan Milana...!

Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biar pun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.....

********************

Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.

Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya. “Lihat itu...!”

Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.

“Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?”

“Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah.”

Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. “Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!”

Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun.

Akan tetapi dua orang anggota Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar.

Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!

“Lee-ko... aku... aku takut...” Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.

Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.

“Bu-te... kita harus dapat meloloskan diri... sekarang juga...,” bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu!

Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.

“Bu-te, sekarang...!” bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan ginkang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi.

Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.

“Rajawali, terbanglah!” Suma Kian Bu membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!” Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya.

Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!

“Yahuuu...!” Suma Kian Bu bersorak kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa...!” Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.

“Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar...!”

Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya. Dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!

“Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”

Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
“Eh-eh, heiiitttt... kurang ajar!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya.

Tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?

Ternyata Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia kemudian mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya.

Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya hingga dia mengamuk membabi buta. Karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam!

Ada pun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, “Rajawali yang baik, kau tolonglah kami berdua...”

Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, dia pun membantu dan menyerang dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa. Sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!

Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat dia pun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.

“Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya!

Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!

Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jeri, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapa pun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.

Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.

“Aduhh... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning... dan pepohonan itu demikian kecil!”

Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biar pun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.

“Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!” Kian Lee berteriak.

“Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas.”

Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal dari pada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan.

Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia ‘menyetir’ burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.

“Ah, di sana itu, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.

“Benar, mari kita pulang, Lee-ko!” Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana.

Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!

“Ayaaaaaaahhhhh...! Ibuuuuu...!” Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.

Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.

“Kian Lee! Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. “Lekas kalian turun...!”

Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapa pun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.

“Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun...!” Kian Lee berseru keras ke bawah.

“Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!” Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.

Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah.

Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.

“Kian Lee...!”

“Kian Bu...!”

Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.

“Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”

Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa, menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata, “Aku telah bersalah, ayah.”

“Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,” kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Mereka pun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.

Biar pun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal dari pada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguh pun jantungnya dicekam rasa jeri. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan ‘petualangan’ kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.

Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. “Kalian sampai di Pulau Neraka?” serunya dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi di sana?”

“Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya.”

“Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han bertanya.

Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!” Nirahai berseru heran.

Mendengar suara ibunya, Kian Bu mulai berani membuka mulut. “Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!” Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik.

“Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!” Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee. Mereka berniat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan anak-anak mereka dengan rantai besi panjang itu.

“Jangan buka belenggu itu!” Tiba-tiba Suma Han berkata.

Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka. Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi, “Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersemedhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!” Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.

“Bukk! Bukk!”

Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.

Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, “Mengapa mereka...?”

“Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah.

Mereka berdua hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.

Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.

Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari semedhinya. Melihat ibunya, Kian Lee hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.

“Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersemedhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu.”

Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan semedhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.

Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak. “Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!” Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khikang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang semedhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka.

Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, “Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggutkan belenggu itu agar patah.”

Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersemedhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sinkang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sinkang dan merenggut.

“Krekk! Krekk!” Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!

Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang.

“Haiii...! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti bersemedhi, kemudian makan dan minum?”

Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidak pun dia tidak berani.

“Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?”

Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. “Aihhh... kelemahan hati wanita memang sering kali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan.”

Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah. “Eh... apa... maksudmu...?”

“Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru saja mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah berhasil mengumpulkan sinkang yang sepuluh kali lebih kuat dari pada sekarang!”

“Ohhhh...!” Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya?”

“Tidak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh dari pada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya.”

Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlomba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Ada pun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Sering kali dua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekedar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.

Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!

“Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?” tanya Kian Bu dengan heran.

“Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, aku pun tidak akan menyusul sejauh itu.”

Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan.

Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.

Seperti biasanya kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sekarang mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar