Kisah Sepasang Rajawali Jilid 11-15

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 11-15. Kho Ping Hoo,Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.
Anonim
Kho Ping Hoo,Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.

Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil. Betapa pun juga, tetap saja ada di antara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup ke mana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!

Apa lagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin di antara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.

Biar pun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyak pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar, juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.

Di antara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua di antara para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar di luar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu.

Di antara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini ada terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.

Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggota Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara. Di dalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.

Ada pun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!

Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam itu tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu kembali mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.

Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan. “Ada orang dari depan...!” serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.

“Berhenti dan berjaga-jaga!” Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.

Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda.

Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah justru yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.

“Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Shen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silakan mengambil jalan dulu!” Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.

Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggota piauwsu, bahkan dua orang kusir kereta pun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari siapa, karena selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu.

Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan ‘setan’ semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suheng-nya menjawab, “Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian.”

Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata, “Kami tldak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!”

Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.

“Kami pun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan mengganggu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami.”

“Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!” kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi.

Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapa pun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela bertaruh nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.

“Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami,” katanya tenang.

“Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari,” kata tosu tertua.

“Apakah yang sam-wi cari?” tanya piauwsu.

“Bukan urusanmu!” jawab si tahi lalat. “Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet?”

Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta itu, lalu mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan. “Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga dari pada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapa pun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang-barang dan orang-orang kawalan kami.”

Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!”

“Kami juga tak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, terpaksa kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini.”

“Wah, piauwsu sombong, keparat kau!” Si tahi lalat sudah hendak bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suheng-nya.

“Piauwsu, kalau dua orang sute-ku bergerak, apa lagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab, akan tetapi sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan.”

Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali jika dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Bagi seorang piauwsu, mati dalam tugas melindungi kawalan adalah mati yang terhormat! Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah?

Pula, dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw? Jika dia menang, dia percaya bahwa mereka tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biar pun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andai kata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya masih amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.

“Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi,” katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu. “Saya sudah siap!”

Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata, “Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!”

Si tahi lalat dan suheng-nya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai!

Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata, “Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?”

Piauwsu itu tentu saja menjadi heran. Dia mengangkat goloknya lalu berkata, “Apakah totiang tidak mengenal senjata ini? Ini sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu.”

Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk, “Aahhh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?”

Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, sementara rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena tadi pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!

“Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewaklli rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai,” kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.

“Senjata... he-he-he, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh dari pada alat pemotong babi di tanganmu itu?”

Piauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu. “Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku.”

“Majulah, kau terlalu cerewet!” kata tosu kecil kurus itu dan dia berdiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda. Sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.

Melihat sikap tosu itu, piauwsu ini juga tidak mau sungkan-sungkan lagi. Cepat dia lalu mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.

“Wuuuuttt... sing-sing-sing-singgg...!”

Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar lagi, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan berikutnya. Demikianlah, golok itu terus menyambar-nyambar tanpa putus bagaikan seekor burung garuda, dari kanan ke kiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.

“Wah-weh... wutt, luput...!” Tosu kurus kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali dan walau pun dia juga terkejut menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.

Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan ke atas. Suara golok membacok angin mengeluarkan suara berdesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke mana pun tosu itu bergerak.

Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena sedikit saja sampokan itu meleset, tentu mata golok akan menyayat kulit merobek daging mematahkan tulang!

“Kau boleh juga, piauwsu!” kata si tosu.

Tiba-tiba tosu itu mengeluarkan suara melengking keras. Tubuhnya lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara gulungan sinar golok. Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khikang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah.

“Bret-brett-brettt...!”

Terdengar suara kain terobek dan... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya, “Saya mengaku kalah. Silakan totiang bertiga kini melakukan penggeledahan!”

Terdengar suara berbisik di antara para piauwsu, tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak, “Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!”

Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya!

Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata, “Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!”

Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan cepat-cepat menjawab, “Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan.”

“Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah ke sana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian.”

Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata, “Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan sembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang.”

Si tahi lalat tersenyum menyeringai, “Heh-heh, tidak kau sembahyangkan pun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!”

Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.

“Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Aku pun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!”

“Aihhh...!” Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.

“Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!” kata tosu bertahi lalat itu serius. “Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!”

Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.

“Aku... aku tidak membawa apa-apa...! Aku... tidak punya apa-apa...”

“Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!” Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu

Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus, kadang diselingi terkekeh genit dan suaranya yang mencela, “Ehh... ihhh... hi-hik, jangan begitu totiang...!”

Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya, “Hushh, jangan ribut... kau diamlah saja ku... ku... geledah...”

Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali hanya peti-peti berisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.

“Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar-benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!” Tosu kurus kering mengomel.

“Mana ji-sute?” Tosu tertua bertanya.

“Ke mana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?”

“Hemm... marilah kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita kurang baik tentang Pek-lian-kauw.”

Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah. “Ji-sute, hayo cepat kita pergi!”

“Ehh... uhhh... baik, suheng!”

Tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta. Pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah-engah. Saat dua orang hartawan dan isterinya naik ke atas kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka.

Akan tetapi, ketika kedua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka.

Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur, “Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!”

Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.

Melihat ini, biar pun hatinya menyesal, ketiga orang tosu itu terpaksa turun tangan. “Jangan kepalang, kalau sudah begini, bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak kita!” kata si tosu tertua.

Memang terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang kereta, karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa Pek-lian-kauw mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan ketua mereka dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin mereka akan dibunuh sendiri oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang karena dapat memburukkan nama Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan dukungannya.

“Bunuh semua, jangan sampai ada yang lolos!” tiga orang tosu itu berteriak-teriak sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di dekat tiga orang tosu yang bertangan kosong ini, pasti roboh.

Tiba-tiba tampak berkelebatnya dua sosok bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul Kian Lee dan Kian Bu. Mereka sudah sejak tadi membayangi dan mengintai dari jauh. Mereka melihat lagak para tosu dan karena wanita muda itu sama sekali tidak minta tolong, bahkan ada terdengar suara ketawanya di antara rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja tidak ingin turun tangan dan mendiamkannya saja. Juga ketika terjadi adu kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena memang pertandingan itu sudah adil, satu lawan satu.

Tetapi melihat pertempuran pecah dan mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee dan Kian Bu hampir berbareng melompat dan lari cepat sekali ke medan pertempuran. Sekali mereka bergerak, robohlah empat orang di antara sepuluh orang tinggi besar pengikut Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak, “Cu-wi piauwsu, harap kalian hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami menghadapi tiga orang pendeta palsu ini!”

Melihat munculnya dua orang muda yang segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi besar itu, semua piauwsu terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si penculik nyonya muda dan penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan kini membantu mereka menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw?

Akan tetapi, mereka tidak ada waktu untuk bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama pemimpinnya masih berjumlah delapan belas orang karena yang enam orang telah roboh, maju menyerbu dan mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu. Biar pun pada umumnya tingkat kepandaian orang Pek-lian-kauw itu lebih tinggi sedikit, namun karena mereka harus menghadapi para piauwsu dengan perbandingan satu lawan tiga, mereka segera terdesak.

Sementara itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah menghadapi ketiga tosu yang memandang pada mereka dengan mata terbelak dan dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan bertanya, “Apa kabar, sam-wi totiang? Aihhh, kenapa sam-wi bau air kencing?”

Mendengar kata-kata ini, ketiga orang tosu itu kontan berteriak marah sekali karena mereka tahu bahwa dua orang pemuda inilah yang mengganggu mereka semalam dan yang telah menyamar sebagai ‘setan’. Biar pun semalam mereka mendapatkan bukti betapa lihainya dua orang itu, namun begitu melihat mereka berdua hanyalah pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi besar hati. Sampai di mana sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti itu? Mereka tentu saja tidak merasa gentar sedikit pun dan sambil mengeluarkan suara teriakan seperti harimau buas, si tahi lalat telah lebih dahulu menerjang maju dan mencengkeram dengan dua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian Bu!

Pemuda ini sama sekali tidak mengelak. Akan tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar itu dekat dengan kepalanya, secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan kirinya menangkis dua tangan lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya bergerak selagi tubuh lawan masih berada di udara.

“Plak! Crettt! Aduuhh...!”

Tosu bertahi lalat di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur berjungkir balik sambil mendekap hidungnya yang keluar ‘kecap’ terkena sentilan jari tangan Kian Bu. Biar pun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sinkang membuat tubuhnya kebal, akan tetapi kekebalannya tidak dapat melindungi hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar.

Tosu kurus kering juga sudah menerjang Kian Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati dan tidak sembrono seperti sute-nya, dia menyerang dengan jurus pilihan dari Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan sinkang yang mendorong hawa beracun menyambar ke luar dari telapak tangannya. Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang sudah agak tinggi tingkatnya, semua mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang hanya dapat dipelajari oleh kaum Pek-lian-kauw.

Ilmu pukulan ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang (Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan memang amat dahsyat karena begitu tosu itu memukul dengan kedua tangan terbuka, tidak saja dapat melukai lawan di sebelah dalam tubuhnya dengan hawa pukulan sinkang itu, akan tetapi hawa beracun itu masih dapat mencelakai lawan yang dapat menahan sinkang. Berbahayanya dari pukulan ini adalah karena hawa beracun itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa, berbeda dengan pukulan tangan beracun lain yang dapat dikenal, yaitu dari baunya atau dari uap yang keluar dari tangan sehingga lebih mudah dijaga.

Kian Lee agaknya tidak tahu akan pukulan beracun ini, maka dengan seenaknya dia menyambut dengan kedua telapak tangannya pula. Melihat ini, si tosu kurus kering dan twa-suheng-nya yang belum turun tangan menjadi girang, mengira bahwa pemuda itu pasti terjungkal, karena andai kata dapat menahan tenaga sinkang dari pukulan itu, pasti akan terkena hawa beracun.

“Duk! Plakk!”

Terjungkallah tubuh... si tosu kurus kering! Kejadian aneh ini tentu saja membuat tosu pertama menjadi kaget setengah mati karena hal yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang disangka dan diharapkannya. Dia melihat tubuh sute-nya yang roboh bergulingan menggigil kedinginan, terheran-heran mengapa sute-nya bisa begitu.

Akan tetapi tak ada waktu untuk memeriksa. Dia segera menerjang maju dengan marah sekali sambil meloloskan sabuk sutera di pinggangnya. Sabuk pendek ini memang selalu dilibatkan di pinggang dan merupakan senjatanya yang ampuh sungguh pun jarang sekali dia mempergunakannya karena biasanya, kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan. Akan tetapi sekarang, melihat betapa ji-sute-nya dalam segebrakan telah remuk hidungnya dan sam-sute-nya juga telah roboh dan menggigil kedinginan, dia maklum bahwa kedua orang muda itu kepandaiannya amat hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu meloloskan senjatanya itu.

Juga si tahi lalat yang sudah hilang puyengnya karena hidungnya remuk itu, setelah menghapus darah dari mulutnya yang ternoda oleh darah yang menitik dari bekas hidung, sudah mengeluarkan senjatanya pula. Berbeda dengan suheng-nya, senjata tosu ini ada dua macam, yaitu seuntai tasbeh dan setangkai kembang teratai putih yang entah diberi obat apa sudah menjadi keras seperti besi! Tadinya kedua senjata ini tersimpan di dalam saku bajunya yang lebar dan kini sudah berada di kedua tangannya.

“Wah-wah-wah, setelah menghadapi kesukaran baru kau ingat kepada tasbehmu dan kembang, ya? Apakah kau hendak membaca doa dan memuja dewa dengan kembang itu?” Kian Bu mengejek.

“Keparat, mampuslah kau di tanganku!” Si tahi lalat membentak.

Tasbehnya sudah menyambar ganas ke arah dahi Kian Bu sedangkan kembang teratai itu menyambar leher. Serangan ini berbahaya sekali karena merupakan serangan palsu atau ancaman. Kelihatannya memang ganas, akan tetapi keganasan ini hanya untuk mengelabui perhatian lawan karena pada detik selanjutnya, selagi perhatian lawan tertuju untuk menghadapi dua serangan ganas itu, kakinya menyambar dan menendang ke arah anggota kelamin yang merupakan satu di antara pusat kematian bagi seorang laki-laki!

“Cuuuutt-wuuuttt... wessss!”

Namun sekali ini yang dihadapi oleh si tahi lalat adalah putera Pendekar Super Sakti! Menghadapi serangan ini, dengan amat tenangnya Kian Bu tersenyum dan memandang saja. Ketika dua senjata itu sudah datang dekat, dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, dan pada saat kedua senjata itu ditarik secara berbareng, tahulah dia bahwa dua serangan itu hanyalah merupakan gertak sambal saja, maka dengan tenang dia menanti serangan intinya. Ketika melihat berkelebatnya kaki tosu itu menendang ke arah alat kelaminnya, Kian Bu tersenyum dan pura-pura terlambat mengelak.

“Desss!” Tepat sekali kaki itu menendang bawah pusar dan Kian Bu terjengkang roboh, mukanya pucat dan matanya mendelik dan napasnya terhenti.

“Hua-ha-ha-ha! Kiranya engkau hanya begini saja! Tidak lebih keras dari pada tahu!” Sambil berkata demikian, si tahi lalat itu melangkah maju, mengangkat kakinya dan mengerahkan sinkang, hendak menginjak hancur kepala Kian Bu.

“Wuuutttt! Plak! Tekkk... wadouww...!” Tosu itu memekik, kedua senjatanya terlepas dan dia berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan, namun air matanya bercucuran, mulutnya megap-megap dan mendesis-desis seperti orang sedang kepedasan, kedua tangannya mendekap alat kelaminnya dan kaki kanannya diangkat, kaki kiri berloncat-loncatan! Apa yang terjadi?

Tentu saja Kian Bu tadi menerima tendangan itu dengan sengaja! Sebagai seorang putera Pendekar Super Sakti yang telah memiliki sinkang luar biasa sekali tingginya, pada saat kaki lawan datang, dia sudah mengerahkan sinkang-nya menyedot seluruh alat kelaminnya masuk ke rongga perut sehingga tendangan itu hanya mengenai kulitnya yang dilindungi oleh hawa sinkang di sebelah dalam.

Akan tetapi dia pura-pura jatuh dan semaput! Pada saat kaki tosu itu datang hendak menginjak kepalanya, dia cepat menangkap kaki itu, menariknya sehingga tubuh tosu itu merendah, kemudian dengan jari tangannya dia ‘menyentil’ alat kelamin tosu itu, mengenai sebutir di antara bola kelaminnya, dan tentu saja mendatangkan rasa nyeri yang sukar dilukiskan di sini.

Hanya mereka yang pernah terpukul bola kelaminnya sajalah yang akan tahu bagai mana rasanya. Kiut-miut berdenyut-denyut terasa di seluruh tubuh, merasuk di otot-otot dan tulang sumsum, terasa oleh setiap bulu di badan, membuat kepala rasanya mot-motan dan ulu hati seperti diganjal, nyeri dan linu, pedih cekot-cekot dan segala macam rasa nyeri terkumpul jadi satu membuat tosu itu pingsan tidak sadar pun tidak, hidup tidak mati pun belum!

Dalam keadaan seperti itu, tentu saja kedua senjatanya terlepas tanpa disadarinya lagi, bahkan dia masih berjingkrakan seperti seekor monyet diajari menari ketika Kian Bu sambil tertawa mengalungkan tasbeh di leher tosu itu dan menancapkan tangkai kembang di rambutnya!

Sementara itu tosu tertua yang menyerang Kian Lee pun kecelik. Sabuknya menyambar seperti seekor ular hidup, mula-mula melayang-layang ke sana-sini untuk mengacaukan perhatian lawan. Tetapi, melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membuat gerakan mengelak, bahkan memandang gerakan sabuk itu tanpa gentar sedikit pun juga, sabuk itu melayang turun dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Kian Lee. Kalau saja pemuda ini belum yakin akan kemampuan dan kekuatan sinkang lawan, tentu saja dia tidak begitu gegabah berani menerima totokan ujung sabuk ke arah bagian kepala yang lemah ini. Akan tetapi perhitungannya sudah masak, dan dia menerima saja totokan itu.

“Takkkk!”

Ujung sabuk tepat mengenai ubun-ubun kepala pemuda itu, tetapi sabuk itu membalik dan hebatnya, bukan sembarangan saja membalik, melainkan mengandung kekuatan dahsyat dan sabuk itu menyerang ubun-ubun kepala tosu itu sendiri tanpa dapat ditahannya. Kaget setengah mati tosu itu dan cepat dia miringkan kepala sehingga totokan sabuk itu meleset.

Akan tetapi dia masih penasaran. Disangkanya hal itu hanyalah kebetulan saja karena kuatnya dia menggerakkan sabuk dan kuatnya pemuda itu menahan totokannya. Biar pun dia kaget dan juga heran, namun kembali dia menggerakkan sabuknya dan sekali ini sabuknya meluncur dan menotok ke arah mata kanan Kian Lee! Secepat itu pula, tangan kirinya bergerak ke depan mencengkeram ke arah pusar. Sukar dibandingkan yang mana antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya. Sudah jelas bahwa totokan ujung sabuk ke arah mata itu sedikitnya dapat membuat sebelah mata menjadi buta! Akan tetapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu ke pusar, kalau sampai pusar dapat dicengkeram dan terkuak, tentu isi perut akan ambrol dan terjurai keluar semua!

Kian Lee yang senantiasa bersikap tenang itu sedikit pun tidak menjadi gugup, bahkan dengan tenangnya tanpa berkedip dia menanti sampai ujung sabuk dekat sekali dengan mukanya, lalu tiba-tiba tangannya menyampok dan mengirim kembali ujung sabuk itu ke muka lawan, sedangkan perutnya menerima cengkeraman itu, bahkan menggunakan sinkang untuk membuat perutnya lunak seperti agar-agar sehingga tangan lawan terbenam masuk, tetapi setelah tangan lawan memasuki perutnya, dia mengerahkan sinkang untuk menyedot dan tangan itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya.

Bukan main kagetnya tosu itu, dia harus membagi perhatiannya menjadi dua, sebagian untuk menarik kembali tangannya yang terjepit di perut lawan, dan kedua kalinya untuk menguasai sabuknya sendiri yang menjadi ‘liar’ dan menyerang dirinya sendiri.

“Plakk! Krekkk!”

Tubuh tosu itu terjengkang dan dia mengerang kesakitan karena selain pipinya terobek kulitnya oleh hantaman ujung sabuknya sendiri, juga tulang ibu jari dan kelingkingnya patah-patah terkena himpitan di dalam perut pemuda luar biasa itu!

“Tahan semua senjata! Cu-wi piauwsu, biarkan mereka pergi semua!” Kian Lee berseru. Suaranya lantang sekali, penuh dengan kekuatan khikang sehingga mereka yang masih bertanding itu terkejut dan menahan senjata masing-masing.

Melihat betapa tiga orang tosu itu sudah dibuat tidak berdaya oleh kedua orang pemuda aneh itu, kepala piauwsu itu tidak berani membantah, lalu berkata kepada sisa pengikut Pek-lian-kauw, “Kalian tahu sendiri kami tidak berniat untuk memusuhi Pek-lian-kauw, melainkan pimpinan kalian yang terlalu mendesak kami. Nah, pergilah dan bawa teman-temanmu!”

Sisa pihak Pek-lian-kauw yang maklum bahwa melawan pun tiada gunanya, lalu saling tolong dan naik ke atas kuda. Tiga orang tosu yang tadinya ketika datang menggunakan ilmu lari cepat di depan rombongan kuda, sekarang dalam keadaan setengah pingsan dipangku oleh mereka yang masih sehat, kemudian tanpa pamit mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Para piauwsu lalu menolong teman-teman mereka yang terluka sedangkan pimpinan rombongan itu, piauwsu berjenggot putih menjura kepada Kian Lee dan Kian Bu sambil berkata, “Berkat pertolongan ji-wi taihiap maka kami masih dapat selamat dan...,” tiba-tiba dia menghentikan kata-kata dan terbelalak ketika melihat kedua orang pemuda itu saling pandang, mengangguk dan tiba-tiba saja melesat dan lenyap dari depannya! Yang terdengar dari jauh hanya suara melengking tinggi, seperti suara burung rajawali yang sedang berkejaran.

“Bukan main...!” Piauwsu itu menggeleng kepala dan melongo. “Sepasang pemuda itu... seperti... sepasang rajawali sakti saja...! Sayang mereka tidak memperkenalkan diri...!”

Memang selama hidupnya berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah piauwsu ini menyaksikan kepandaian dua orang pemuda semuda itu, dua orang pemuda yang tingkat ilmunya tidak lumrah manusia dan ketika pergi seperti terbang, seperti sepasang rajawali sakti saja!

Tiada habisnya mereka membicarakan kedua orang pemuda itu yang pada kemunculan pertama sudah aneh, seorang menjadi penculik dan seorang menjadi penolong, kemudian penculik dan penolong itu bekerja sama mengusir orang-orang Pek-lian-kauw secara mengherankan sekali. Tak salah lagi, tentu mereka itu bersaudara melihat wajah mereka yang mirip, dan tentu soal penculikan tadi hanya main-main saja, permainan dua orang pemuda aneh yang tidak lumrah manusia.

Cerita itu menjalar cepat dari mulut ke mulut sehingga mulai hari itu, terkenallah julukan Sepasang Rajawali Sakti untuk dua orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bukan hanya dari pihak piauwsu itu saja yang memperluas cerita itu, juga dari pihak Pek-lian-kauw sendiri segera mengakui bahwa memang di dunia kang-ouw muncul dua orang pemuda yang aneh dan yang patut disebut Sepasang Rajawali Sakti karena ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.....

********************

Tidak baik kalau terlalu lama kita meninggalkan Lu Ceng atau Ceng Ceng, dara remaja cantik jelita dan lincah jenaka yang sejak permulaan cerita ini sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat itu. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng yang juga mempunyai nama baru setelah diangkat adik oleh puteri Bhutan, yaitu Candra Dewi, hanyut di dalam perahu tanpa kemudi bersama kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi yang dalam penyamarannya karena dikejar-kejar kaum pemberontak juga mempunyai nama baru, yaitu Lu Sian Cu.

Seperti telah diceritakan, Syanti Dewi dan Ceng Ceng terlempar ke air sungai yang dalam dan deras arusnya, ketika perahu yang tanpa kemudi karena ditinggalkan tukang perahu itu menabrak perahu-perahu lain dan terguling. Syanti Dewi dapat tertolong oleh seorang laki-laki gagah perkasa yang bukan lain adalah Gak Bun Beng, akan tetapi keduanya tidak berhasil mencari Ceng Ceng dengan jalan menyusuri tepi Sungai Nu-kiang. Namun tidak ditemukan jejak Ceng Ceng dan dengan hati berat terpaksa Syanti Dewi bersama penolongnya itu meninggalkan sungai itu dan menganggap bahwa Ceng Ceng tentu sudah tenggelam dan tewas.

Benarkah Ceng Ceng tewas tenggelam di dasar Sungai Nu-kiang di barat itu?

Tidak, Ceng Ceng tidak tewas dan pada saat Syanti Dewi dan Gak Bun Beng menyusuri tepi Sungai Nu-kiang itu, dia sudah menggeletak jauh dari tepi sungai, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dan liar, menggeletak pingsan dengan muka masih kebiruan, akan tetapi perutnya telah kempis tidak penuh air dan napasnya sudah berjalan dengan halus dan kuat. Krisis telah lewat dan dara itu telah selamat dari cengkeraman maut melalui air Sungai Nu-kiang.

Ceng Ceng mulai siuman dan menggerak-gerakkan pelupuk mata, atau lebih tepat lagi, bola mata yang masih tertutup pelupuk itu mulai bergerak, kemudian pelupuk matanya terbuka perlahan, makin lama makin lebar sehingga matanya seperti sepasang matahari baru muncul dari permukaan laut di timur. Mendadak, mata itu terbuka serentak dengan lebar, kepalanya menoleh ke kanan kiri, lalu ke pinggir tubuhnya.

Mengapa dia rebah terlentang di bawah pohon-pohon besar, di atas rumput kering, di dekatnya ada api unggun yang mendatangkan hawa hangat? Saat menengok ke kanan, dia melihat seorang pemuda sedang duduk di tepi sungai kecil di dalam hutan itu, duduk membelakanginya dan memegang tangkai pancing, sedang tangan kirinya memegang sebuah paha ayam hutan yang sudah dipanggang, dan di dekatnya tampak kayu yang masih terbakar mengepulkan asap dan di antara api membara itu masih terdapat sisa ayam hutan.

Ceng Ceng tidak bergerak, memandang seperti dalam mimpi. Siapa pemuda itu? Dan dia... mengapa berada di tempat ini? Tiba-tiba dia menahan seruannya karena teringat. Bukankah dia bersama kakaknya Syanti Dewi terlempar ke dalam sungai dan hanyut? Teringat akan ini, teringat akan kakaknya yang hanyut, serentak Ceng Ceng melompat bangun.

“Iihhh...!” Dia menjerit kecil dan cepat-cepat dia merobohkan diri ‘mendekam’ lagi di atas tanah, kedua tangannya sibuk menutupkan jubah lebar yang kedodoran dan tadi terbuka ketika dia meloncat bangun. Baru sekarang dia melihat dan memperhatikan keadaan tubuhnya dan rasa malu membuat seluruh tubuhnya, mungkin saja dari akar rambut sampai akar kuku jari kaki, menjadi kemerahan.

Siapa yang tidak akan malu setengah mati mendapat kenyataan bahwa tubuhnya hanya tertutup oleh jubah lebar itu saja, tanpa apa-apa lagi di sebelah dalamnya? Dia telah telanjang bulat-bulat betul, hanya terlindung oleh jubah itu. Di mana pakaiannya? Mengapa dia telanjang bulat? Siapa yang mencopoti pakaiannya tanpa ijin? Dan jubah ini, siapa yang menutupkan di tubuhnya? Siapa lagi kalau bukan pemuda itu, pikirnya dan matanya mulai mengeluarkan sinar berapi. Kurang ajar! Pemuda laknat, berani menelanjangi aku dan memakaikan jubah ini. Pemuda yang harus mampus!

Ingin dia menjerit dan menangis, akan tetapi melihat pemuda yang duduk mancing ikan dan membelakanginya itu diam tak bergerak, dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak boleh sembrono dan lancang, pikirnya. Bagaimana kalau bukan dia yang melakukannya?

“Setan alas di kali eh, setan kali di alas!” Tiba-tiba pemuda itu mengomel.

Kalau Ceng Ceng tidak sedang marah besar sekali, tentu dia akan tertawa geli melihat pemuda itu mengangkat pancingnya dan melihat ada tahi tersangkut di mata kail itu! Agaknya tahi monyet atau binatang lain, akan tetapi bentuknya seperti kotoran manusia dan cukup menjijikkan!

Dengan gerakan gemas pemuda itu menyabet-nyabetkan kailnya di air sampai kotoran itu lenyap, lalu mengangkat mata kailnya yang sudah kehilangan umpan, mengambil lagi daging bakar, sebagian kecil dicuwil untuk dipakai umpan, sebagian lagi dijejalkan mulutnya. Melihat betapa pemuda itu kembali mengambil paha ayam dan menggigitnya, timbul air liur di mulut Ceng Ceng karena baru terasa olehnya betapa lapar perutnya.

Pemuda itu lalu menancapkan gagang pancingnya di tanah, lalu bangkit berdiri dan membalik. Agaknya kini barulah dia melihat Ceng Ceng! Melihat gadis itu sudah siuman, mendeprok di bawah dengan tangan sibuk menutupi tubuhnya dengan jubah kedodoran yang kancingnya banyak yang sudah rusak sehingga tidak dapat dikancingkan itu, dia tersenyum mengejek! Senyum yang bagi Ceng Ceng amat menggemaskan, senyum yang lebih tepat disebut menyeringai dan sengaja mengejek, malah matanya melirak-lirik seperti orang menggoda, tangan kiri memegang paha ayam diacungkan ke atas, dicium dengan cuping hidung kembang kempis.

“Hemmm... sedap dan gurihnya...!” lalu dia menoleh kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Wah, lama benar engkau tidur! Keenakan mimpi, ya? Kau membikin aku repot bukan main, yaaaa... repot bukan main, lahir batin. Untung engkau tidak mati di sungai, dan untung aku mempunyai jubah cadangan, walau pun sudah agak tua akan tetapi cukup untuk menyelimutimu.”

Mendengar ini, kontan keras Ceng Ceng jadi naik darah! Betapa tidak kalau kata-kata pemuda itu jelas membuktikan bahwa pemuda inilah yang telah mencopoti semua pakaiannya, kemudian mengenakan jubah itu pada tubuhnya! Sialan! Dia meloncat bangun, kedua tangan dikepal dan siap untuk menyerang, akan tetapi agak kaku karena tangan kanannya tertutup oleh tangan baju yang terlalu panjang itu dan telapak kakinya terasa nyeri dan juga geli karena kakinya telanjang dan batu-batu di tempat itu agak runcing.

Akan tetapi hanya beberapa detik saja dia memasang kuda-kuda yang kaku itu karena dia melihat pemuda itu sudah menaruh telunjuknya di depan hidung sambil berkata, “Cih, tidak tahu malu, ya? Lihat jubah itu kedodoran!”

Tentu saja Ceng Ceng sudah cepat menggunakan kedua tangannya untuk menutupi depan jubahnya dan dia tidak berani lagi maju menyerang karena begitu dia menyerang, tentu jubah itu akan terlepas, terbuka dan... akan tampaklah semua bagian depan dari tubuhnya. Dia membanting-banting kakinya, akan tetapi segera menjerit dan mengaduh karena kakinya menimpa batu runcing. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang wajah pemuda itu.

Pemuda itu lalu enak-enak duduk lagi di tepi sungai, membelakangi Ceng Ceng dan sambil melanjutkan makan ayam panggang dia mencurahkan perhatiannya kepada pancingnya, seolah-olah Ceng Ceng tidak ada di belakangnya atau bahkan seolah-olah di dunia ini tidak ada seorang manusia lain kecuali dia dan pancingnya!

Ceng Ceng makin panas perutnya. Dia memutar otaknya dan teringat akan cerita tentang jai-hwa-cat, yaitu penjahat berkepandaian tinggi yang kerjanya hanya menculik dan memperkosa seorang gadis lalu membunuhnya. Dia bergidik. Kiranya pemuda itu seorang penjahat jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)! Dia terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat keji.

Diam-diam selagi pemuda itu membelakanginya, dia meraba-raba tubuhnya, memeriksa dan merasakan keadaan tubuhnya. Hatinya lega karena dia merasa yakin bahwa dia belum ternoda. Akan tetapi berapa lama lagi? Dan dia sudah ditelanjangi oleh pemuda itu, jari-jari tangan pemuda itu telah menggerayangi tubuhnya ketika menanggalkan semua pakaiannya, bahkan sepatunya, kemudian mengganti dengan jubah itu! Pemuda kurang ajar! Pemuda yang harus mampus!

Makin dipikir, makin dikenang, makin panas rasa perutnya. Dia lalu merobek pinggiran jubah itu sehingga merupakan tali yang cukup panjang, kemudian selain menggunakan sebagian tali untuk ikat pinggang, juga dia mengikat lubang-lubang kancing jubah itu sehingga tidak ada bahaya terbuka lagi kalau kedua tangannya digerakkan. Setelah itu lalu digulungnya lengan bajunya sampai ke siku agar tidak menghalangi gerakannya oleh karena dia sudah mengambil keputusan pasti untuk menghajar jai-hwa-cat itu! Menghajarnya sampai mati!

Setelah selesai persiapannya, dia lalu melangkah perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya sudah terkepal di pinggang, siap untuk menerjang dan memukul. Dia harus menyerang dengan jurus apa? Bagian mana yang harus dipukulnya dan sebaiknya memukul dengan tangan terbuka atau terkepal?

Dia mempertimbangkan, memilih-milih bagian mana yang paling ‘lunak’ dan yang paling tepat. Karena dia yakin bahwa pemuda itu tentu pandai, maka dia harus dapat berhasil menyerang secara ‘tek-sek’, yaitu satu kali ‘tek’ (suara pukulan) hasilnya ‘sek’ (mati), atau sekali pukul mati! Tengkuknya yang sebagian tertutup rambut yang hitam lebat dan dikuncir tebal itu? Ah, kuncir itu terlalu tebal dan ini bisa menahan pukulannya.

Punggungnya? Pemuda itu memakai baju dengan berlapis jubah tebal, ini pun tidak menguntungkan kalau dia memukul punggung, apa lagi menotok karena totokannya bisa terhalang oleh tebalnya pakaian. Kepalanya! Ya, ubun-ubun kepalanya itu. Biar pun pemuda itu rambutnya hitam dan tebal, akan tetapi kiranya rambut itu tidak cukup kuat untuk melindungi ubun-ubun yang lemah.

Sekali pukul ubun-ubunnya, pasti beres! Apa lagi kalau dia mengerahkan sinkang-nya, menggunakan jari tangan terbuka mencengkeram, tentu jari-jari tangannya akan menancap di ubun-ubun itu. Crottt, dan otaknya akan muncrat keluar! Ceng Ceng bergidik ngeri juga. Belum pernah dia melakukan hal sekejam itu. Membayangkan otak kepala manusia berlepotan di jari tangannya, dia sudah mau muntah.

Ah, ditotok saja jalan darah di lehernya. Totokannya biasanya jitu dan sekali totok tentu pemuda itu akan tak berdaya lagi, kalau sudah begitu, terserah nanti bagaimana dia akan membunuhnya. Tangannya sudah dibuka jarinya, kedua jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan sudah menegang sedangkan tiga jari lainnya ditekuk, siap untuk melakukan totokan yang jitu selagi pemuda itu tekun memperhatikan pancingnya.

“Apakah sebelum membunuhku, kau tidak lebih dulu menanyakan di mana kusimpan pakaianmu? Kalau aku mati dan kau tidak dapat menemukan pakaianmu, apakah kau akan melakukan perjalanan seperti itu?”

Ucapan pemuda itu membuat dia lemas! Lemas dan jengkel. Jari tangan yang sudah menegang menjadi lemas kembali.

“Jai-hwa-cat! Manusia cabul! Mata keranjang! Laki-laki tak tahu malu! Ceriwis dan muka tebal!”

Pemuda itu menoleh, tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan putih bersih, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. “Hayo, apa lagi? Kalau masih ada, keluarkan semua, kalau perlu boleh melihat kamus mencari kata-kata makian. Tidak baik menyimpan penasaran.”

Bagaikan api disiram bensin, kemarahan Ceng Ceng makin berkobar, telunjuknya menuding. “Kau... kau... babi celeng monyet anjing kerbau! Kau manusia iblis, setan, siluman eh, apa lagi... eh, keparat jahanam! Hayo kembalikan pakaianku, kalau tidak...”

“Kalau tidak mengapa sih?”

“Kalau tidak... akan kuhancurkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu, kupotong lehermu, kaki dan tanganmu...!”

“Heh-heh, memangnya aku ayam? Terlalu kejam bagi seorang dara secantik engkau!”

Karena kata-kata dan sikap pemuda itu mengejeknya, Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi, “Kembalikan pakaianku!”

“Nanti dulu! Kalau kau minta dengan cara kurang ajar seperti itu, jangan harap aku akan mengembalikannya!”

“Apa? Harus bagaimana aku minta?”

“Yahhh, dengan kata-kata yang sopan dan manis, namanya saja orang minta-minta.”

“Aku bukan pengemis!”

“Akan tetapi engkau minta sesuatu, harus yang sopan dan manis.”

“Manis hidungmu! Mampuslah!”

Ceng Ceng sudah tak dapat lagi menahan lebih lama. Dia menyerang dengan dahsyat, menggunakan dua tangannya memukul meski pun kakinya berjingkrak karena telanjang.

“Hehhhh... waaahhh... luput!”

“Haaiiiiiitttt...!” Tubuh Ceng Ceng sudah menerjang maju, kakinya menendang menyusul hantamannya mengarah dada.

“Wuuuussss...!”

“Hampir saja... tapi luput!”

“Hyaaatttttt...!” Kemarahan membuat Ceng Ceng menyerang sehebatnya, kini tangan kirinya mencengkeram ke mata lawan, disusul tangan kanannya menyodok lambung. Pukulan yang berbahaya sekali.

“Bagus sekali, sayang gagal...!”

Bertubi-tubi Ceng Ceng menyerang, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah dipelajarinya, terus mengejar ke mana pun pemuda itu loncat mengelak, namun tak pernah serangannya berhasil. Gerakan pemuda itu luar biasa gesitnya. Dan tiba-tiba Ceng Ceng mengaduh-aduh, lalu menghentikan serangannya dan pergi dari tempat yang penuh batu kerikil runcing itu ke tempat tadi. Kiranya pemuda itu mengelak sambil memancing gadis itu mengejarnya ke tempat yang penuh dengan batu kerikil runcing. Tentu saja kaki Ceng Ceng menjadi korban.

Semenjak kecil, dara itu tidak pernah mempergunakan kakinya bertelanjang menginjak sesuatu, tentu saja telapak kakinya menjadi amat halus, kulitnya tipis dan perasa sekali. Tanpa sepatu, kakinya itu merupakan bagian tubuh yang lemah sekali.

Kini dia memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lagak dan kata-kata pemuda itu, caranya mengelak dan mengejeknya saat semua serangannya gagal, mengingatkan dia akan seseorang.

Melihat dara itu tidak menyerangnya lagi, pemuda itu berkata seperti kepada diri sendiri, “Melihat orang yang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis. Menyebalkan!” Tiba-tiba tubuhnya lenyap begitu saja dan Ceng Ceng melongo.

Kiranya pemuda itu adalah iblis! Hanya iblis saja yang pandai menghilang seperti itu. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan iblis, dan menurut dongeng, iblis hanya muncul di waktu malam. Sekarang, masih siang begini iblis macam apa muncul dalam ujud seorang pemuda tampan?

“Nih, pakaianmu!”

Tiba-tiba terdengar suara dari atas dan ketika Ceng Ceng memandang ke atas, kiranya pemuda itu nongkrong di atas dahan pohon dan sedang mengeluarkan pakaiannya dari bungkusan, kemudian melemparkan pakaiannya kepadanya.

Ceng Ceng menerima gulungan pakaiannya itu, lengkap pakaian dalam dan luar, dan sepatunya, akan tetapi pakaian petani yang dipakai menyamar, yang dipakai di luar pakaiannya sendiri, tidak ada. Dia tidak pula memperhatikan hal ini, bahkan kini pakaian itu hanya dipegangnya saja dengan kedua tangannya karena dia memandang pemuda itu yang meloncat turun dengan gerakan yang membuat dia kaget dan kagum.

Pantas saja seperti menghilang, kiranya pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya. Akan tetapi, bukan itu yang membuat dia bengong dan seperti orang terpesona, tetapi buntalan yang dibawa turun oleh pemuda itu. Teringat benar bahwa dia pernah melihat buntalan itu, bahkan pernah melemparkannya ke dalam sungai. Melemparkan buntalan! Dari perahu!

“Heiiiii...!” Tiba-tiba karena teringat dia menjerit sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu.

Tepat pada saat itu, sambil memegang buntalan pemuda itu sedang berjongkok untuk memeriksa apakah pancingannya mengena. Ketika ditunjuk dan mendadak gadis itu menjerit, dia kaget sampai terloncat.

“Wah, kau ini gadis aneh. Ada apa lagi hingga kau menjerit-jerit seperti melihat setan?” dia mengomel.

“Bukan melihat setan, melainkan melihat engkau! Engkau tukang perahu keparat itu! Benar, matamu, senyummu...”

“Bagus dan menarik, ya?”

“Menarik hidungmu! Hayo mengaku! Kaulah yang menyamar sebagai tukang perahu itu, bukan?”

“Kalau tidak mengaku, mengapa?”

“Mengaku atau tidak, tetap saja aku sekarang mengenalmu. Buntalan itu! Aku sudah membuangnya ke dalam sungai dan kau meloncat mengejar dan menyelam.”

“Kau memang gadis liar dan galak!”

“Dan kau... kau meninggalkan perahu, membuat perahu hanyut dan terguling. Dan enci-ku..., ehhh, enci-ku... dia tentu celaka...!”

“Hemmm, semua gara-gara engkau juga! Mengapa engkau begitu jahat dan kejam, membuang buntalan orang? Sepatutnya engkau yang harus mati tenggelam, bukan kakakmu yang baik hati dan manis budi dan cantik jelita itu.”

“Tidak, justru engkaulah yang meninggalkan perahu sampai perahu hanyut!” Ceng Ceng membantah, marah.

“Jika kau tidak begitu kejam membuang buntalanku, apakah aku meninggalkan perahu? Kau saja yang tak mengenal budi orang!” Pemuda itu mengomel lalu mengambil sebuah topi caping lebar dari buntalan besar dan mengebut-ngebutkannya.

Melihat caping itu, Ceng Ceng semakin kaget dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak lebar. “Heiii...!”

“Ihhhh!” Pemuda itu mencela, terperanjat. “Apa engkau sudah gila, menjerit-jerit tidak karuan?”

“Capingmu itu! Kau adalah orang yang dulu mengganggu ketika sang... eh, kakakku hendak mandi!”

Pemuda itu menoleh, tersenyum mengejek dan berkata, “Benarkah?”

“Ternyata kau memang kurang ajar, agaknya sejak dahulu engkau membayangi kami, ya?”

“Kalau kau yang minta aku pergi ketika itu, aku tentu tidak sudi. Akan tetapi Sang Puteri Syanti Dewi, dia begitu cantik, begitu halus, sayang, gara-gara kenakalanmu dia sampai lenyap!”

“Gara-gara kekurang ajaranmu!” Ceng Ceng membantah.

“Gara-gara engkau!”

“Engkau!”

“Hemmm, engkau ini hanya seorang dayang pelayan, besar lagak amat!” pemuda itu mengejek.

Sepasang mata yang sudah terbelalak itu mengeluarkan sinar berapi. “Apa katamu? Dayang pelayan? Keparat bermulut lancang dan busuk!”

Ceng Ceng melepaskan gulungan pakaiannya. Saking marahnya dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus yang paling ampuh. Akan tetapi, dengan gerakan yang aneh dan sigap, pemuda itu berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya dan dia meronta-ronta namun tidak bisa melepaskan kedua tangannya yang terpegang.

Ceng Ceng marah sekali, kakinya menendang-nendang namun selalu dapat ditangkis oleh kaki pemuda itu. Betapa pun juga, memegang seorang dara yang liar seperti itu sama dengan memegang seekor harimau betina, salah-salah bisa terkena cakarnya. Maka pemuda itu berkata sungguh-sungguh, “Gadis liar! Kalau kau tak menghentikan kegalakanmu, terpaksa aku akan menghukummu dengan ciuman-ciuman di mulutmu!”

Diancam pukulan atau maut, agaknya Ceng Ceng takkan merasa takut. Akan tetapi diancam ciuman, hal yang sama sekali belum pernah dialaminya biar dalam mimpi sekali pun, meremang seluruh bulu di tubuhnya, dan otomatis dia menghentikan gerakan tubuhnya. Melihat ini, pemuda itu tertawa dan sekali mendorong, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting ke atas tanah.

“Huhh, biar belajar ilmu silat lagi sampai kau menjadi nenek-nenek keriput, tak mungkin engkau dapat melawanku.” Pemuda itu mengejek dengan nada suara sombong sekali.

Ceng Ceng yang terduduk di atas tanah itu tak bergerak, hati dan pikirannya terasa sakit bukan main. Pemuda ini seorang pemuda yang tampan dan berkepandaian begitu tinggi, dan kini dia dapat menduga-duga bahwa dia yang terseret arus sungai tentu telah ditolong oleh pemuda ini, tentu dalam keadaan hampir mati dan basah kuyup. Pemuda aneh ini, yang tampan dan gagah, tentu telah mengeluarkan air dari perutnya dan oleh karena pakaiannya basah kuyup, tentu telah menanggalkan pakaian itu, memakaikan jubahnya kepadanya. Dan pakaiannya itu, sampai sepatu-sepatunya, dijemur sampai kering, mungkin setelah dicuci dulu karena terkena lumpur.

Dan ketika menanggalkan semua pakaiannya, pemuda itu jelas tidak melakukan sesuatu yang melanggar susila, kalau demikian halnya, tidak akan begini keadaannya. Pemuda yang aneh, tampan, gagah, kurang ajar akan tetapi juga baik sekali. Justeru kebaikan pemuda itulah yang membuat hatinya menjadi makin sakit, karena betapa pun baik dan tampan serta gagahnya, pemuda itu kini ternyata tidak menghargainya, menghinanya, memandang rendah mengatakannya pelayan dan biar sampai menjadi nenak-nenek keriput takkan mampu melawannya. Dan pemuda itu sudah dua kali mengalahkannya.....

Dia jengkel sekali, marah sekali. Melawan dengan tenaga, tidak mampu, bahkan kalah jauh sekali. Melawan dengan maki-makian, ternyata pemuda itu pun pandai sekali bicara, bahkan setiap kata-katanya menusuk perasaan! Dia kalah segala-galanya!

Perasaan ini membuat dia terasa begitu nelangsa, teringat dia akan kakeknya, karena kalau ada kakeknya, tentu tidak ada manusia berani bersikap begini kurang ajar kepadanya. Selama hidupnya, ketika kakeknya masih ada, dia belum pernah mengalami penghinaan seperti ini. Juga kalau ada Syanti Dewi yang biar pun halus dan lemah namun amat berwibawa itu, agaknya dia ada yang membela. Sekarang, dia seorang diri dan dihina orang tanpa mampu melawan sedikit pun.

Teringat akan ini, biar pun pada dasarnya Ceng Ceng bukan seorang dara yang cengeng, bahkan amat keras hati dan pantang menangis karena iba diri, kini tak dapat menahan tangisnya dan dia menundukkan muka, menutupi kedua matanya yang mengalirkan air mata.

Siapakah pemuda tampan yang amat lihai itu? Dia ini bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini semenjak meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho, telah banyak mengalami hal yang hebat-hebat. Selama dua tahun dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi, kemudian petualangannya sebagai Si Jari Maut dengan menggunakan nama Gak Bun Beng untuk merusak nama musuh pembunuh ayahnya yang sudah meninggal itu dan kemudian setelah dia dikalahkan oleh Puteri Milana yang membuat dia malu dan penasaran sekali, dia bertemu dengan Kong To Tek bekas tokoh Pulau Neraka yang telah mewarisi kitab-kitab peninggalan dua orang Iblis Tua dari Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin.

Karena Kong To Tek menderita sakit ingatan, tokoh ini yang melihat wajah Tek Hoat mirip sekali dengan Wan Keng In yang telah meninggal, mengira bahwa dia berhadapan dengan Wan Keng In dan menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan dua orang Iblis Tua itu kepada Tek Hoat, berikut pedang pusaka Cui-beng-kiam yang ampuh dan catatan pembuatan obat perampas ingatan yang amat luar biasa. Karena mencobakan obat perampas ingatan dan obat penawarnya kepada Kong To Tek, maka kakek ini waras kembali dan melihat dia tertipu, dia hendak membunuh Tek Hoat, namun kalah dan bahkan dia yang terbunuh oleh Tek Hoat yang telah menjadi lihai sekali!

Dengan hati girang Tek Hoat yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat, bahkan masih ada dua buah kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang dianggap gurunya dan yang belum dilatihnya, pemuda ini lalu pergi hendak pulang ke rumah ibunya di puncak Bukit Angsa, membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.

Kini dia tidak sudi lagi menyamar dengan nama Gak Bun Beng. Dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, dan dia menganggap bahwa di dunia ini tidak akan ada yang dapat melawannya, maka dia berhak menggunakan namanya sendiri dan hendak mencari nama besar dengan cara yang akan menimbulkan kegemparan di dunia!

Akan tetapi alangkah kecewa hatinya sesudah dia tiba di puncak Bukit Angsa, dia mendapatkan rumah ibunya kosong dan ibunya tidak berada lagi di rumah itu. Bahkan melihat bekas-bekasnya, agaknya sudah lama ibunya meninggalkan rumah itu tanpa meninggalkan pesan apa pun dan kepada siapa pun. Tek Hoat menjadi jengkel dan marah kepada ibunya, lupa bahwa dialah yang telah melanggar janji. Ketika pergi dahulu, dia berjanji untuk pulang menengok ibunya setiap tahun, akan tetapi dia telah pergi hampir empat tahun lamanya dan baru ini dia pulang!

Terpaksa dia pergi meninggalkan Bukit Angsa lagi dengan tujuan mencari ibunya, dan terutama sekali mencari nama besar di dunia kang-ouw. Pertama-tama dia harus mengunjungi Bu-tong-pai dan memberi hajaran kepada para tokoh Bu-tong-pai yang telah berani menghinanya empat tahun yang lalu! Kedua, dia akan mencari Puteri Milana di kota raja dan akan menantangnya untuk menebus kekalahannya dua tahun yang lalu! Kemudian dia akan membuat geger dunia kang-ouw dan minta diakui sebagai jagoan nomor satu, lalu dia akan menantang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

Dengan cita-cita besar itu, pergilah Tek Hoat dari Bukit Angsa. Akan tetapi sebelum semua cita-citanya terkabul, dia bertemu dengan rombongan Pek-lian-kauw dan dalam bentrokan kecil antara dia dengan para tokoh Pek-lian-kauw, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang dahsyat. Para tokoh Pek-lian-kauw tertarik, lalu membujuknya dan membawa pemuda yang masih hijau ini pergi menghadap Pangeran Tua, yaitu Pangeran Liong Bin Ong di kota raja!

Pertemuannya dengan Pangeran Liong Bin Ong membuat terbuka mata pemuda ini bahwa jalan satu-satunya untuk mencari kedudukan tinggi, juga membuat nama besar dan melakukan kegemparan di dunia, adalah membantu pangeran ini. Kalau sampai mereka berhasil merampas tahta kerajaan, tentu dia akan memperoleh pangkat tinggi dan siapa tahu terdapat kesempatan baginya untuk kelak merampas mahkota sendiri dan menjadi kaisar! Lamunan muluk-muluk ini membuat Tek Hoat untuk sementara melupakan urusan pribadinya dan mulailah dia mengabdi kepada Pangeran Tua yang mengangkatnya menjadi pengawal kepala dan menugaskannya mewakili pangeran ini mengadakan kontak dengan para pembantu pangeran di luar kota raja.

Ketika Kaisar Kang Hsi melamar Puteri Syanti Dewi di Bhutan untuk diperisteri adik tirinya, Pangeran Liong Khi Ong, adik tiri Pangeran Tua, diam-diam Pangeran Tua ini tidak setuju. Tentu saja dia tidak setuju karena ikatan keluarga itu akan memperkuat kedudukan kaisar atau kakak tirinya sendiri di dunia barat. Karena itulah maka diam-diam dia mengusahakan agar pernikahan itu gagal dan dia lalu mengirim sogokan dan bujukan kepada Raja Muda Tambolon, seorang pemberontak di daerah Bhutan untuk menghalangi diboyongnya Puteri Syanti Dewi di daratan besar. Bahkan dia mengutus orang kepercayaannya yang baru, Ang Tek Hoat untuk menyelidiki ke Bhutan dan membantu usaha penggagalan pernikahan itu.

Demikianlah singkatnya keadaan Ang Tek Hoat yang muncul di Bhutan sebagai seorang pemuda yang menyembunyikan mukanya di balik caping lebar ketika Puteri Syanti Dewi hendak mandi. Kemudian melihat bahwa pasukan Raja Muda Tambolon berhasil, dia diam-diam membayangi sang puteri bersama Ceng Ceng yang melarikan diri.

Dia pula yang menyamar sebagai pedagang garam untuk membantu dua orang gadis pelarian itu lolos, kemudian dia menyamar sebagai tukang perahu. Semua itu dilakukan agar dia dapat mengamat-amati dua orang gadis itu, dan terutama sekali agar Puteri Syanti Dewi tidak sampai lolos dan dapat mencapai kota raja. Kalau saatnya tiba, dia akan ‘menggiring’ sang puteri ini dan dihaturkan kepada majikannya, kemudian terserah keputusan Pangeran Liong Bin Ong.

Hanya dia harus mengakui bahwa diam-diam dia tertarik dan terpesona oleh kecantikan dan sikap halus sang puteri, sehingga diam-diam membayangkan betapa akan gembiranya kalau dia dapat menduduki pangkat tinggi, kalau mungkin kaisar, dengan seorang isteri seperti puteri Bhutan ini! Baru sekali ini Tek Hoat merasa tertarik kepada seorang wanita, dan biasanya dia memandang rendah kaum wanita.

Akan tetapi, rencananya menjadi berantakan karena kenakalan Ceng Ceng yang melemparkan buntalannya ke sungai. Padahal buntalan itu berisi pedang Cui-beng-kiam! Tentu saja dia tidak mau kehilangan pedang itu dan cepat meloncat ke air sehingga perahu itu hanyut sendiri. Dia melakukan pengejaran sambil berenang secepatnya. Namun tetap saja tidak dapat mencegah terjadinya tabrakan sehingga perahu itu terguling.

Cepat dia meloncat ke darat dan lari di sepanjang tepi sungai dan akhirnya dia melihat Ceng Ceng dalam keadaan pingsan hanyut di air. Dia segera menolong gadis itu, namun tidak berhasil menolong Puteri Syanti Dewi, sama sekali dia tidak mimpi bahwa puteri itu telah ditolong oleh seorang yang namanya akan membuat dia terkejut seperti melihat mayat hidup, yaitu Gak Bun Beng musuh besarnya, pembunuh ayahnya yang telah dianggapnya mati itu.

Tek Hoat yang memiliki watak amat luar biasa, kejam, dingin, tak mengenal sedikit pun perasaan iba, penuh dendam dan penuh kebencian terhadap manusia umumnya, hanya mengejar keuntungan diri pribadi saja, betapa pun juga bukanlah seorang yang mudah hanyut oleh nafsu birahi.

Dia seorang pemuda yang kuat luar dalam, kuat pula perasaannya yang seperti membeku dingin sehingga ketika dia menolong Ceng Ceng, mengempiskan perut dara itu yang penuh air, kemudian menanggalkan pakaian Ceng Ceng karena pakaian itu basah kuyup. Melihat bentuk tubuh yang sedang mekar dan menggairahkan itu, dia sama sekali tidak terangsang! Bahkan secara kasar dia menolong Ceng Ceng karena marah, menganggap gadis ini yang menghancurkan rencananya sehingga dia terpisah dari Syanti Dewi. Kemudian setelah melihat nyawa Ceng Ceng tertolong, dia mengenakan jubahnya pada gadis itu dan menangkap ayam, memanggangnya, kemudian dia memancing ikan. Selanjutnya kita telah mengetahui apa yang terjadi.

Kini, melihat Ceng Ceng menangis, Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk atau diremas-remas. Memang ada keanehan pada diri Tek Hoat, keanehan yang seolah-olah tidak normal, yaitu dia tidak tahan melihat orang menangis, atau lebih tepat, melihat wanita menangis! Mungkin saja hal ini timbul dan menjadi wataknya karena di waktu dia masih kecil, sering sekali dia melihat ibunya menangis sesenggukan dan terisak-isak dengan sedihnya, bahkan hampir setiap malam dia melihat ibunya menangis seorang diri dan kalau ditanya kenapa menangis, ia hanya menggeleng kepalanya.

Boleh jadi Tek Hoat merupakan pemuda keras hati dan dingin yang tiada keduanya di dunia, apa lagi setelah dia mempelajari ilmu-ilmu mukjijat dari dua Iblis Tua Pulau Neraka, wataknya menjadi makin tidak lumrah. Namun kesan mendalam karena tangis ibunya setiap malam itu masih melekat di hatinya sehingga kini, melihat Ceng Ceng menangis, dia seolah-olah mendengar ibunya menangis dan hatinya seperti diremas-remas!

“Aihh, kenapa kau menangis?” tanyanya sambil membalikkan tubuh, duduk menghadapi gadis itu.

Ditanya dengan suara yang halus seperti itu, makin menjadi-jadi tangis Ceng Ceng, akan tetapi segera ditahannya ketika teringat bahwa yang menegurnya adalah pemuda yang memanaskan dan menjengkelkan hatinya itu.

Dia mengintai dari celah-celah jari tangannya dan dengan heran dia melihat betapa pemuda itu amat pucat wajahnya, pandang matanya sayu dan amat berduka, agaknya menderita sekali melihat dia menangis!

“Sudahlah, mengapa menangis? Aku tidak akan mengganggumu dan kalau tadi kau tersinggung, sudahlah kau maafkan aku dan jangan menangis...” Suaranya halus dan lunak, bahkan agak gemetar!

Hal ini mengherankan hati Ceng Ceng sehingga otomatis tangisnya berhenti. Teringat dia akan kata-kata pemuda itu tadi ketika dia menyerangnya, “Melihat orang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis!”

Agaknya pemuda ini memiliki ‘kelemahan’, pikirnya. Yaitu tidak tahan melihat orang menangis! Teringat akan ini, Ceng Ceng lalu menangis lagi sesenggukan! Diam-diam dia mengintai dari celah-celah jari tangannya, melihat betapa pemuda itu memejamkan matanya, menggigit bibirnya kemudian berkata dengan lantang, “Harap kau jangan menangis!”

Akan tetapi Ceng Ceng menangis terus, memaksa diri menangis sungguh pun kini tidak ada air matanya yang keluar, karena memang tangisnya tangis buatan, disembunyikan di balik kedua tangannya. Karena dia tertarik melihat sikap pemuda yang aneh itu dia lupa akan kemarahan dan kedukaannya, maka tentu saja sukar baginya untuk benar-benar menangis.

Tek Hoat makin tersiksa. Suara sesenggukan itu persis suara ibunya di waktu malam. “Nona, kau maafkan aku dan jangan menangis. Kau lihat aku tidak melakukan sesuatu kepadamu, bukan? Kalau aku berniat buruk, betapa mudahnya aku memperkosamu ketika kau pingsan. Akan tetapi aku tidak berniat buruk...”

“Uhuuuu... huuhhh... huuuu...!” Ceng Ceng memperhebat tangisnya dan dari celah-celah jari tangannya dia melihat betapa pemuda itu pun makin hebat penderitaannya. “Kau... kau... telah menanggalkan pakaianku, engkau telah menelanjangi aku, berarti engkau telah menghinaku uh-hu-huuu...!”

“Nanti dulu, jangan menangis, nona. Memang benar aku telah menanggalkan semua pakaianmu, kemudian mengenakan jubahku ini kepadamu. Akan tetapi, kalau tidak begitu, habis bagaimana? Pakaianmu basah kuyub, engkau terancam bahaya maut dan satu-satunya cara untuk menolongmu hanya mengeluarkan air dari perutmu, kemudian mengeringkan pakaianmu. Aku melakukan semua itu hanya untuk menolongmu, untuk menyelamatkan nyawamu...”

“Uhu-hu-hu, bohong... huuuu... bagaimana pun juga, kau telah menghinaku dan setelah kau melihat aku telanjang, bagaimana aku tidak akan malu setengah mati? Bagaimana aku dapat bertemu pandang denganmu? Uhu-hu-huuu...”

“Kalau begitu jangan memandang aku...”

Ceng Ceng menangis makin hebat sampai menggerung-gerung. Dari celah-celah jari tangannya dia melihat benar betapa pemuda itu menjadi makin gelisah dan bingung, bahkan kemudian berkata, “Sudahlah, jangan menangis. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa, asal kau jangan menangis...”

“Kau harus berjanji... tidak, harus bersumpah...!”

“Baiklah, aku bersumpah. Bersumpah bagaimana?”

“Keluarkan sapu tanganmu, untuk saksi sumpah.”

Tek Hoat yang ingin agar dara itu benar-benar menghentikan tangisnya, maka terpaksa dia mengeluarkan sapu tangannya. Sesungguhnya, pemuda ini bukanlah seorang yang begitu bodoh. Akan tetapi dia benar-benar tidak tahan mendengar dan melihat wanita menangis, dan kalau saja bukan Ceng Ceng, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya. Dia tidak bisa melakukan itu, dia membutuhkan dara ini. Bukankah dara ini sahabat baik Puteri Syanti Dewi? Dengan perantaraan Ceng Ceng ini dia masih ada harapan untuk mendapatkan puteri itu, kalau saja puteri itu masih hidup, dan dia yakin masih karena dia tidak melihat mayatnya.

“Baik, inilah sapu tanganku,” katanya mengeluarkan sapu tangan, tidak melihat betapa Ceng Ceng menggosok-gosok keras kedua matanya sehingga menjadi makin merah dan basah air mata ketika dia menurunkan tangan menyambut sapu tangan itu.

“Taruh tanganmu di sapu tangan ini dan bersumpahlah!” kata Ceng Ceng mengulurkan sapu tangan di tangannya. Terpaksa Tek Hoat meletakkan tangannya di atas sapu tangan yang berada di telapak tangan Ceng Ceng.

“Bersumpahlah bahwa kau tidak akan menggangguku,” kata dara itu.

“Aku bersumpah tidak akan mengganggumu,” Tek Hoat mengulang.

“Dan kau tidak akan memandangku.”

“Hehhh...? Habis bagaimana? Aku kan punya mata!” pemuda itu membantah.

“Kalau kau memandangku, aku akan teringat bahwa aku pernah telanjang di depan matamu dan aku akan mati karena malu.”

“Habis bagaimana? Apakah kalau bertemu denganmu aku harus memejamkan mata?”

“Terserah, memejamkan mata atau membalik belakang atau menutupi mata dengan sapu tangan, pendeknya kau tidak boleh melihat aku!”

“Baiklah...” Di dalam hatinya Tek Hoat memaki.

“Bersumpahlah bahwa kau selalu akan menutupi atau memejamkan mata jika bertemu denganku.”

“Aku berjanji akan selalu menutupi atau memejamkan mataku kalau bertemu.”

“Dan kau akan selalu menurut kata-kataku, kau akan mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku, dan engkau akan mencarikan enci Syanti sampai bertemu, dan engkau akan...”

“Wah, tidak jadi saja kalau begitu!” Tek Hoat lantas berseru keras sambil menurunkan tangannya dari sapu tangan. “Masa aku harus bersumpah begitu banyak? Pula, tidak mungkin aku mengajarkan ilmu silat, dan tidak mungkin harus menurut segala kata-katamu.”

Melihat ini Ceng Ceng maklum bahwa dia sudah terlalu jauh dalam tuntutannya, maka cepat dia berkata, “Baik, kalau begitu ulangi dua sumpahmu itu saja, bersumpah bahwa kalau sampai melanggarnya, engkau akan mati muda dan sapu tangannya ini menjadi saksinya!”

Karena ingin lekas beres agar dara itu tidak rewel lagi, dia berkata, “Akan tetapi sebagai imbalannya, kau pun harus bersumpah bahwa kau tidak akan menangis lagi!”

“Baik, aku bersumpah takkan menangis lagi kalau kau sudah bersumpah.”

Tek Hoat menarik napas panjang dan meletakkan tangannya di atas sapu tangan lalu berkata, “Aku...”

“Sebutkan namamu!”

“Aku... Ang Tek Hoat, bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggumu...”

“Sebutkan namaku, Lu Ceng!”

“...bahwa aku tidak akan mengganggu Lu Ceng, dan bahwa aku akan selalu menutupi atau memejamkan mata kalau bertemu dengan Lu Ceng dan kalau aku melanggar sumpah ini, biarlah aku mati muda dan sapu tangan ini menjadi saksi!”

Ceng Ceng girang sekali lalu menyimpan sapu tangan itu di sakunya. “Heiii, kau mau melanggar sumpah? Hayo pejamkan mata atau, membalik! Aku mau berganti pakaian!”

Tek Hoat yang terlupa dan membuka mata memandang tadi, cepat-cepat memejamkan mata dan memutar tubuhnya membalik, diam-diam dia mengutuk diri sendiri mengapa dia mau bersumpah seperti itu. Akan tetapi, dia sudah terlanjur bersumpah dan memang dia memerlukan gadis ini untuk dapat bertemu kembali dengan Syanti Dewi dan melaksanakan cita-citanya terhadap puteri Bhutan itu.

Kalau segala itu sudah tercapai, membunuh gadis ini apa sih sukarnya? Biarlah sementara ini dia mengalah dulu. Pula, dia juga merasa kurang enak dan tidak aman kalau harus melanggar sumpahnya. Siapa tahu, sumpah itu benar-benar manjur dan kalau dilanggarnya dia akan mati muda! Dia bergidik! Nanti dulu, ya! Dia masih memiliki banyak cita-cita yang belum terlaksana. Pokoknya hanya terletak pada sapu tangan itu. Jika kelak dia membunuh gadis ini, atau setidaknya merampas kembali sapu tangannya, berarti sumpahnya sudah punah karena tidak ada lagi saksinya!

Dengan hati gembira Ceng Ceng segera mengganti jubah yang kedodoran itu dengan pakaiannya sendiri, menyimpan sapu tangan di balik kutangnya, dan sambil berganti pakaian dia memandang punggung pemuda itu dengan tersenyum. Dia menang! Tak disadarinya lagi, dia memberes-bereskan pakaian dan rambutnya agar kelihatan patut. Dia mempersolek diri untuk pemuda itu tanpa disadarinya!

“Aku sudah selesai!” akhirnya dia berkata, ingin melihat pemuda itu memandangnya dengan kagum. Setelah mengenakan pakaiannya sendiri, tentu dia akan tampak lebih cantik!

Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menoleh, bahkan melanjutkan memancing ikan dan tiba-tiba mengangkat tangkai pancingnya dan seekor ikan lele yang gemuk menggelepar-gelepar.

Ceng Ceng kecewa, akan tetapi segera teringat. Celaka! Pemuda itu tentu tidak akan memandangnya! Karena sumpah itu! Perlu apa dia bersolek? Wah, serba berabe kalau begini. Tetapi dia tahu bahwa pemuda ltu lebih repot lagi karena harus menghindarkan pandang matanya darinya. Biar tahu rasa dia! Pikiran ini mengusir kekecewaannya.

“Nona Ceng...”

“Tak usah nona-nonaan. Aku biasa disebut Ceng Ceng.”

“Hemm... Ceng Ceng, apakah kau tidak lapar?” tanya Tek Hoat tanpa menoleh.

“Tentu saja.”

“Nah, ini ada sisa ayam panggang...”

“Aku tak sudi makan sisamu!”

“Kalau, begitu, ikan ini kau boleh ambil dan bakar.”

Tanpa menoleh Tek Hoat menyerahkan ikan itu yang diterima oleh Ceng Ceng dan tak lama kemudian Ceng Ceng sudah memanggang daging ikan yang gemuk dan makan dengan lahapnya tanpa menawarkannya kepada Tek Hoat.

Hari mulai gelap, senja telah mendatang.

“Kita harus pergi mencari majikan...”

“Apa? Siapa kau maksudkan?”

“Siapa lagi kalau bukan Puteri Syanti Dewi?”

“Tek Hoat, kau jangan sembarangan omong, dan aku bukanlah pelayannya. Mengerti?”

Tek Hoat mengangguk-angguk dan merasa girang. Tidak keliru dia mengalah kepada gadis liar ini, kiranya sudah diaku sebagai adik angkat. Kalau dia membunuhnya, tentu sukar baginya untuk berbaik dengan Syanti Dewi.

“Kau tergila-gila kepada kakakku, ya?”

Tek Hoat terkejut, akan tetapi hanya mengangguk. Dia masih duduk membelakangi Ceng Ceng.

“Wah, tidak enak benar begini! Masa aku bicara dengan... pinggul saja?”

Tek Hoat tersenyum akan tetapi menahan gelak tawanya. “Habis bagaimana? Aku tidak berani melanggar sumpah.”

“Wah, kau menghadap ke sini dan memejamkan mata, masa tidak bisa?”

“Lebih tidak enak lagi buat aku, terus memejamkan mata, masa seperti orang buta.”

“Kalau begitu, tutup saja dengan sapu tangan.”

“Sapu tanganku sudah kau bawa.”

Terpaksa Ceng Ceng memberikan sapu tangannya sendiri yang berbau harum. Tek Hoat menerimanya, menutupkan sapu tangan itu di depan matanya dan mengikatkan kedua ujung di belakang kepala, kemudian membalik menghadapi Ceng Ceng. Gadis itu tersenyum lebar menutupi mulutnya. Lucu sekali, seperti anak kecil bermain-main!

“Ceng Ceng, kau mengatakan aku tergila-gila kepada kakakmu? Memang bukan tergila-gila, melainkan aku... aku jatuh cinta kepadanya.”

“Hemmm, bagus! Betapa pun juga, engkau bukan pemuda yang buruk rupa dan masih muda lagi. Dari pada kakakku itu menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong yang kabarnya sudah hampir lima puluh tahun usianya, lebih baik menikah denganmu.”

“Benarkah?” Tek Hoat bertanya girang.

“Ya. Dan aku suka membantumu agar enci-ku suka kepadamu, asal saja engkau tidak melanggar sumpahmu. Kalau kau melanggar, tidak saja engkau tidak dapat berkenalan dengan enci Syanti Dewi, malah engkau akan mampus di waktu usiamu masih muda. Sayang, kan?”

Kembali dia tersenyum dan menutupi mulutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Tek Hoat dapat melihatnya dari balik sapu tangan sutera yang tipis itu! Akan tetapi pemuda ini pun tidak berani memandang langsung, takut akan sumpah.

“Hari telah malam, tidak mungkin kita mencari enci Syanti. Malam ini gelap tidak ada bulan. Lalu bagaimana kita akan melewatkan malam?”

“Tak jauh dari sini, di tepi sungai ini terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Kita dapat bermalam di situ dan tempat itu memang tidak jauh dari Sungai Nu-kiang. Besok pagi-pagi, kita mencari lagi, mendengar-dengarkan, mungkin ada nelayan yang tahu bagaimana nasib enci-mu itu.”

Lega hati Ceng Ceng. “Kalau begitu, mari kita ke kuil.” Dia bangkit berdiri dan pergi.

“Haii, bagaimana aku bisa berjalan kalau mataku ditutup begini?”

Ceng Ceng tersenyum. “Bodoh, kalau begitu mengapa tidak dibuka?”

“Kalau dibuka, mana bisa jalan bersama? Aku tidak mau berjalan dengan mata terpejam, salah-salah bisa terjatuh ke dalam sungai!”

Ceng Ceng tertegun dan bingung. “Habis bagaimana?”

“Kecuali kalau kau sudi menuntun...”

Karena hari sudah hampir gelap dan hutan itu kelihatannya menakutkan, terpaksa Ceng Ceng menyambar tangan pemuda itu dan menuntunnya. “Jalan ke mana?” dia bertanya.

“Terus saja menurutkan aliran sungai ini,” jawab Tek Hoat yang diam-diam merasa geli dan juga bangga bahwa kini dia dapat membalas. Sesungguhnya dia dapat melihat melalui sapu tangan tipis itu, akan tetapi biarlah, biar gadis itu tahu rasa, pikirnya. Betapa pun juga, gadis yang liar dan galak ini ternyata cukup baik, mau menuntunnya.

Mereka tiba di kuil kosong. Karena ruangan yang merupakan kamar tertutup hanya sebuah, maka Ceng Ceng berkata, “Aku tidur di sini dan biar kau tidur di mana sesukamu asal jangan di kamar ini.” Berkata demikian dia lalu menutupkan daun pintu. Perbuatan ini sia-sia saja karena biar pintu ditutup, jendela di kamar itu melongo tanpa daun! Lalu dia membuat api unggun dan tidak mempedulikan lagi kepada Tek Hoat.

Pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan kalau pemuda ini berwatak jahat, sukar untuk melawannya. Dan dia... agak aneh rasanya. Mengapa hatinya tidak enak mendengar pengakuan pemuda itu yang mencinta Syanti Dewi? Mengapa dia tidak puas? Mengapa dia tadi merasa jantungnya berdebar-debar ketika tangannya menggandeng tangan Tek Hoat? Seolah-olah ada getaran dari tangan itu yang menyentuh hatinya, menimbulkan rasa girang yang luar biasa. Mengapa?

Celaka, jangan-jangan dia telah jatuh hati seperti yang hanya dikenalnya dalam cerita dongeng! Itukah cinta? Memang pemuda itu cukup segala-galanya untuk menjatuhkan hati seorang gadis, memang patut dicinta. Betapa tidak? Tampan, gagah perkasa, lucu dan pandai mengalah. Biar pun agak kasar, akan tetapi buktinya tidak suka melakukan pelanggaran susila. Wah, jangan-jangan aku jatuh cinta kepadanya, bisik Ceng Ceng sebelum tidur.

Menjelang tengah malam dia terbangun karena mimpi ditelanjangi oleh Tek Hoat! Ditelanjangi selagi dia sadar dan anehnya, dia diam saja. Setelah kelihatan pemuda itu hendak merabanya dan hendak memeluknya, barulah dia meronta dan terbangun! Bulu tengkuknya berdiri. Kalau tadi bukan mimpi, melainkan sungguh-sungguh terjadi, tentu dia akan membunuh pemuda itu! Atau, kalau dia kalah, dia akan melawan mati-matian, kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk membela kehormatannya. Bedebah! Dia memaki pemuda itu akan tetapi segera teringat bahwa yang dikalahkan pemuda itu hanya dalam mimpi saja! Mungkin kenyataannya tidak demikian, buktinya Tek Hoat juga tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya.

Tiba-tiba dia bangkit duduk. Terdengar suling ditiup orang amat merdu dan indahnya. Akan tetapi hanya lapat-lapat terdengar, agaknya dari jauh. Ceng Ceng membereskan rambut dan pakaiannya, kemudian meloncat keluar melalui jendela. Biar pun tidak ada bulan malam itu, namun langit bersih terhias bintang sejuta, cukup memberi cahaya penerangan di permukaan bumi. Dia melangkah dengan hati-hati, mencari-cari, akan tetapi ternyata Tek Hoat tidak berada di kuil itu! Ke mana perginya pemuda itu? Buntalannya pun tidak nampak.

Ceng Ceng mulai bergidik. Ngeri dia memikirkan bahwa dia ditinggal sendirian saja di kuil tua itu. Kuil yang biasanya dalam dongeng kalau sudah kosong dan kuno begitu selalu dihuni oleh siluman-siluman! Cepat dia keluar dari kuil dan mendengar suara suling lapat-lapat dari depan, dia lalu melangkah maju menuju ke arah suara itu.

Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari balik pohon, memandang ke arah Tek Hoat yang berdiri di tepi sungai besar. Sungai Nu-kiang! Kiranya dia telah berada di tepi sungai itu, di mana anak sungai dari hutan memuntahkan airnya ke situ dan di tepi sungai tampak Tek Hoat yang tadi meniup suling. Kini pemuda itu sudah berhenti meniup suling dan menyelipkan kembali sulingnya.

Yang menarik perhatian Ceng Ceng adalah sebuah perahu besar yang bergerak mendekat pantai di mana pemuda itu berdiri, sebuah perahu yang indah dan mewah, dan tampak diterangi lampu-lampu sehingga dia melihat beberapa orang berpakaian tentara mengiringkan seorang berpangkat tinggi yang mewah pakaiannya ke pinggir perahu. Ceng Ceng mengintai penuh perhatian dan memasang pendengarannya agar dapat mendengarkan apa yang akan terjadi. Dia melihat Tek Hoat memberi hormat kepada pembesar itu dari pantai sambil berkata, “Maafkan, hamba tidak sempat melapor karena hamba tidak dapat meninggalkan gadis itu sebelum dia tidur.”

“Hemm, Ang Tek Hoat, ceritakan semua yang terjadi. Kami sudah mendengar akan lenyapnya puteri itu, akan tetapi belum jelas bagaimana. Apa saja yang telah kau lakukan selama melakukan tugas yang diperintahkan saudara tua kami Liong Bin Ong?”

“Rombongan penjemput puteri itu telah berhasil dihancurkan oleh Tambolon, dan puteri itu bersama pelayannya yang sudah diangkat saudara, berhasil meloloskan diri, akan tetapi hamba terus membayangi mereka. Bahkan hamba telah berhasil mengajak mereka naik perahu hamba...”

“Bagus! Bagaimana puteri itu? Benarkah amat cantik?” tanya pembesar itu.

“Memang cantik jelita seperti bidadari, dan paduka beruntung sekali...”

“Aahhh, sayang sekali dia harus dikorbankan demi cita-cita,” orang setengah tua itu menghela napas. “Akan tetapi, kalau semuanya berhasil dia akan tetap menjadi selirku! Aku Liong Khi Ong bukanlah orang yang suka menyia-nyiakan waktu... eh, Tek Hoat, lalu bagaimana? Di mana dia?”

“Harap paduka sudi memaafkan hamba. Terjadi kecelakaan, perahu bertabrakan dan terguling. Hamba berhasil menyelamatkan adik angkatnya akan tetapi belum berhasil menemukan Puteri Syanti Dewi...”

“Hahh? Bodoh! Habis bagaimana? Celaka, jangan-jangan dia terjatuh ke tangan orang-orangnya kaisar!”

“Hamba akan mencarinya sampai dapat besok pagi, kalau andai kata dia terampas oleh orang lain, hamba akan merampasnya kembali, harap paduka jangan khawatir,” kata Tek Hoat.

“Hemm, baik. Apa perlu kau dibantu pasukan?”

“Tidak perlu, Ong-ya. Hamba lebih leluasa bekerja sendiri. Hamba tanggung akan bisa menemukan puteri itu, asal dia belum tewas.”

“Bagus, kami akan menanti saja di kota raja, di sana masih banyak urusan dan kau harus cepat kembali, banyak tugas menantimu.”

“Baik, Ong-ya...”

Tiba-tiba Ceng Ceng yang bengong terlongong itu terkejut karena mendengar suara berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri tepat di belakangnya. Dia hampir berteriak dan membuka mulut.

“Eekkk... eeekkk...!” Mulutnya telah dibungkam tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan, pundaknya sudah ditotok dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.

“Ssstt, diam... jangan bergerak... aku bukan musuh melainkan sahabatmu dan sahabat Puteri Syanti Dewi...” Setelah berkata demikian dan melihat Ceng Ceng mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng terbebas.

Dara ini terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai di sini. Pemuda itu lihai dan orang ini pun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak. Orang itu mukanya membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang mengantuk, alisnya tebal dan kepalanya agak botak. Jenggotnya panjang, usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian petani. Melihat orang itu memperhatikan ke depan, dia pun lalu memandang lagi. Kini tampak betapa pemuda itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar tinggi yang ternyata adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi!

Ceng Ceng berdebar-debar. Bingung dia dan diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya pemuda itu adalah kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya ini semua? Kalau dia kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap begitu aneh, tidak bersama anggota rombongan lainnya yang dipimpin oleh pengawal kaisar Tan Siong Khi? Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula artinya kata-kata pangeran itu bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya melihat betapa Tek Hoat telah pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali, sedangkan perahu mewah itu pun bergerak ke tengah sungai.

“Cepat, mari pergi dari sini. Kalau dia kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua bukanlah lawannya,” bisik laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.

“Hemm, mengapa aku harus menurut kata-katamu? Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi dari pada dia?”

“Nona Lu, percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu Lu Kiong belum pernah menyebut namaku, akan tetapi aku mengenal baik Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah rekan dari Tan Siong Khi. Aku sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku hampir mengerti semuanya, kecuali beberapa hal.”

“Apakah yang terjadi? Siapakah sebenarnya pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?”

“Sstt, marilah kita segera pergi,” kakek itu mendesak.

“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku.”

“Dia seorang manusia luar biasa, ilmu kepandaiannya sangat tinggi...”

“Aku sudah tahu!”

“Tapi dia adalah pengawal Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang merencanakan pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang mengatur pencegatan rombongan hingga kakekmu tewas. Pemuda itu tangan kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi telah menyalah gunakan niat baik kaisar yang menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu demi cita-cita pemberontakan tidak segan-segan melakukan kekejian, bila perlu membunuh Puteri Syanti Dewi dan engkau.”

“Ohhhh...”

“Marilah, nona. Demi keselamatanmu sendiri dan keselamatan Syanti Dewi.”

Dengan hati penuh kengerian Ceng Ceng lalu mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia percaya penuh karena bukankah dia sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri pertemuan dan percakapan antara Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat? Kiranya pemuda itu seorang mata-mata pemberontak! Kiranya justru musuh dari kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan, hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan yang merencanakan pencegatan rombongan yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya, adalah para pemberontak itu! Dan dia sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.

“Ahhhh...!”

“Ada apa, nona Lu?” tanya kakek itu.

“Tidak apa-apa...” jawab Ceng Ceng karena yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk hatinya, bukan badannya.

Setengah malam penuh mereka berjalan terus, melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam perjalanan ini, kakek tadi menceritakan keadaan kerajaan yang diancam pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang pengawal kaisar pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki secara diam-diam keadaan rombongan itu.

Tentu saja dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan dan berhasil menolong Raja Bhutan, akan tetapl sebagai seorang penyelidik yang tahu akan keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih tajam. Dia mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan kotor ke dalam pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan oleh tangan kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang Tek Hoat yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu. Maka ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng.

Mendengar semua penuturan ini, Ceng Ceng makin terheran-heran dan bingung. Tak disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan membawa akibat sedemikian hebat dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan yang ruwet.

“Bagaimana dengan enci Syanti Dewi?” tanyanya dengan khawatir.

“Sudah kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu juga tertolong secara ajaib oleh seorang nelayan tua yang tidak dikenal siapa sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib hingga sukar aku mempercayai cerita mereka itu. Tetapi, laki-laki gagah yang menolongnya itu telah pergi bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin ketahui adalah, ke manakah rencana nona dan sang puteri tadinya setelah terpaksa meninggalkan kakek Lu yang gugur?”

“Kakek meninggalkan pesan agar supaya kami pergi ke kota raja, minta perlindungan dan bantuan kepada Puteri Milana...”

Souw Kee It mengangguk-angguk. “Memang tepat sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak tahu akan perubahan di kota raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah tiba di kota raja dan berada di tangan Puteri Milana, kiranya setan pun tidak ada yang berani mengganggu. Akan tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota raja itulah yang amat sukar dan berbahaya. Kaki tangan mereka sudah disebar di mana-mana untuk menangkap kalian berdua.”

“Ouhhh, habis bagaimana?”

“Harap nona jangan khawatir. Aku juga mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur bagaimana membawa nona pergi ke timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak tepat kalau nona pergi ke kota raja sebelum bertemu dengan Puteri Syanti Dewi. Kalau kita berhasil sampai ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara berlindung di benteng yang dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu kota.”

Hati Ceng Ceng agak lega mendengar bahwa Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong orang pandai, sungguh pun dia bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang pandai muncul? Siapakah penolong Syanti Dewi dan ke mana perginya kakak angkatnya itu?

Dua hari kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun dan di sini terdapat pasukan kaisar yang masih setia kepada kaisar. Souw Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai seorang prla, lengkap dengan kumis palsu sehingga andai kata Tek Hoat sendiri bertemu dengannya kiranya akan sulitlah untuk mengenalnya, demikian pendapat Ceng Ceng ketika dia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah membawa bekal secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng lalu menunggang kuda-kuda pilihan, melanjutkan perjalanan mereka ke timur.

********************

Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengawal kaisar Souw Kee It yang melakukan perjalanan amat jauh ke timur, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Syanti Dewi.

Secara kebetulan dan aneh sekali, Puteri Syanti Dewi tertolong oleh Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Pendekar ini sudah mengenyampingkan urusan dunia, hidup tenteram di antara rakyat kecil, kadang-kadang menjadi petani, atau kadang-kadang bercampur dengan para nelayan, selalu memilih tinggal di dusun-dusun yang dianggapnya tidak akan terjadi hal yang penting.

Sungguh di luar dugaannya bahwa hari itu dia terlibat dalam urusan yang amat besar, bukan hanya menyangkut urusan diri pribadi seorang gadis cantik, melainkan diri seorang puteri Raja Bhutan, bahkan menyangkut urusan kerajaan!

Gak Bun Beng yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu melakukan perjalanan dengan hati kadang-kadang berdebar keras. Benarkah yang dilakukannya ini, mengantarkan Syanti Dewi ke kota raja? Benarkah kalau kini dia akan menjumpai Milana? Sesungguhnya tidak benar dan amat berbahaya, bagai orang hendak membuka balutan luka yang amat parah. Akan tetapi apa dayanya?

Tidak mungkin dia membiarkan Syanti Dewi begitu saja setelah dia mengetahui siapa adanya gadis ini. Calon mantu kaisar! Dan terancam bahaya karena dikejar-kejar oleh mereka yang hendak menggagalkan perkawinan itu. Apa boleh buat, demi gadis ini, dan terutama demi kesejahteraan negara, kerajaan kaisar dan Bhutan, dia harus berani menanggung semua itu, harus berani menghadapi resiko perjumpaannya dengan Puteri Milana!

Perjalanan yang amat jauh itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh Gak Bun Beng yang menjaga agar jangan sampai terjadi keributan di perjalanan. Dia sudah muak akan keributan dan permusuhan yang banyak dibuat oleh manusia-manusia yang mengaku berkepandaian. Untuk menjaga agar perjalanan dapat dilalui dengan aman, dia lalu menyamar sebagai seorang perantau yang baru pulang dari perantauannya ke Tibet, dan Syanti Dewi diakuinya sebagai anaknya. Agar tidak dicurigai orang, dia mengaku bahwa ibu Syanti Dewi seorang wanita Tibet dan memang Syanti Dewi selain pandai dalam bahasanya sendiri, yaitu Bahasa Bhutan, juga pandai berbahasa Tibet dan Bahasa Han.

Berpekan-pekan telah lewat tanpa ada peristiwa penting yang mengganggu perjalanan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Pada suatu hari, ketika sedang berjalan melalui jalan raya kasar di lereng pegunungan, mereka berpapasan dengan serombongan pasukan yang terdiri dari kurang lebih seratus orang. Pasukan ini kelihatan letih dan banyak yang terluka. Sekali pandang saja Gak Bun Beng dapat melihat bahwa mereka adalah Bangsa Han yang bercampur dengan orang-orang Mongol.

Agaknya pasukan yang hanya tinggal sisanya dari suatu pertempuran yang merugikan pihak mereka. Diam-diam Gak Bun Beng terkejut. Apakah kini sudah timbul perang lagi? Ataukah hanya sisa-sisa pemberontak ataukah pemberontak baru yang sedang ditindas oleh pasukan pemerintah? Dia tahu bahwa pemberontak Mongol yang amat hebat, yang dipimpin oleh Pangeran Galdan telah dihancurkan oleh pasukan Kaisar Kang Hsi, bahkan kabarnya Galdan sendiri telah dibinasakan. Apakah sekarang Bangsa Mongol memberontak lagi, bergabung dengan orang Han yang masih merasa penasaran akan penjajahan Bangsa Mancu?

Karena dilihatnya masih banyak rombongan-rombongan pasukan campuran itu lewat, Gak Bun Beng hendak menghindarkan keributan, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk melalui jalan hutan. Untung bahwa rombongan pertama yang lewat tadi terlalu lelah dan sudah terlalu tertekan batinnya untuk melakukan sesuatu. Mereka hanya memandang tajam kepada Syanti Dewi, bahkan ada pula yang menyeringai, dan ada yang mengeluarkan kata-kata tak senonoh akan tetapi hanya sambil lalu.

Tetapi dasar mereka harus mengalami keributan. Saat melalui jalan sunyi, menyelinap-nyelinap di hutan tidak jauh dari jalan raya itu, mereka bertemu dengan rombongan lain yang hanya terdiri dari belasan orang, tetapi rombongan ini semua duduk melepaskan lelah. Mereka terdiri dari tujuh orang Han dan delapan orang Mongol dan ada seorang Han dan empat orang Mongol sedang minum arak, agaknya untuk menghibur hati yang penasaran karena kekalahan mereka. Melihat bahwa rombongan ini hanya lima belas orang, timbul niat di hati Gak Bun Beng untuk bertanya, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk mendekat.

Orang-orang itu memandang kepadanya dengan curiga, tapi ada yang tersenyum lebar ketika melihat Syanti Dewi yang biar pun berpakaian sederhana seperti gadis dusun, namun kecantikannya masih menonjol.

“Maaf, laote,” kata Gak Bun Beng kepada seorang Han yang duduk bersandar pohon, sambil menekuk lutut duduk pula dekat orang itu, diikuti juga oleh Syanti Dewi di belakangnya, “bolehkah kami bertanya mengapa banyak pasukan yang mundur dan banyak yang terluka? Apa yang telah terjadi? Kami ayah dan anak dari Tibet hendak ke Se-cuan, akan tetapi kami khawatir melihat cu-wi terluka, seolah-olah ada perang di sana.”

Orang yang mukanya dilindungi brewok itu memandang pada Gak Bun Beng, kemudian melirik ke arah Syanti Dewi. “Lebih baik kalian kembali ke barat.”

“Ya, kembali saja bersama kami! Biar kami yang melindungi kalian!” teriak orang Han yang sedang minum arak bersama empat orang Mongol tadi.

“Kami mempunyai urusan penting sekali di timur, sobat,” kata Gak Bun Beng. “Apakah yang terjadi di sana? Dan siapakah cu-wi?”

“Apakah tidak tahu bahwa kami adalah pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot?” Tiba-tiba orang berewok itu menjawab marah.

Gak Bun Beng menggangguk-angguk. “Ahhh, kiranya laote dan cu-wi sekalian adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah, benarkah? Lalu, apa yang terjadi?”

Dipuji demikian, si brewok agak sabar, lalu menarik napas panjang. “Si keparat Jenderal Kao Liang itu! Anjing penjilat kaki Mancu dia! Begitu dia datang meronda di bagian barat dan memimpin sendiri pasukan pembersihan, kita dipukul hancur!”

“Paman, kembalilah saja ke barat, dan sebelum anakmu itu diperebutkan anjing-anjing Mancu, lebih baik diberikan kepadaku!” Orang Han yang minum arak, usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu berkata.

Gak Bun Beng menahan kesabarannya. “Apakah tentara pemerintah itu juga melakukan perbuatan jahat?”

“Siapa bilang tidak? Merampok, membunuh, menculik dan memperkosa! Dari pada diperkosa oleh anjing-anjing Mancu, para penghianat dan penjilat, lebih baik diberikan kepada kami agar menghibur kami para patriot. Dengan demikian, kau dan anakmu itu ikut berjasa untuk tanah air dan bangsa!” kata pula orang itu.

“Akur! Jumlah kita hanya lima belas orang, masih bisa dibagi rata. Marilah, manis, kau layanilah aku!” kata seorang Han yang lain yang berkumis panjang melintang.

Bun Beng bangkit berdiri sambil tersenyum. “Kami tahu penderitaan dan perjuangan kalian, sobat-sobat. Akan tetapi anakku ini adalah pembantuku yang utama, seolah olah tangan kananku sendiri, bagaimana bisa kuberikan kepada orang lain? Mana mungkin aku memberikan tangan kananku?”

“Ahhh, dasar kau pelit! Apakah kau hendak peluki anakmu sendiri? Tidak tahu malu! Masa menolong dan meringankan penderitaan kaum pendekar dan pahlawan sedikit saja tidak mau?” Mereka semua sudah bangkit berdiri dari mengurung.

Syanti Dewi terkejut dan mukanya berubah pucat, kedua tangannya sudah dikepal untuk membela diri. Dan tidak hanya takut, tetapi juga amat marah mendengar omongan yang kotor itu.

Akan tetapi Gak Bun Beng tetap tenang dan sabar. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Bukan aku pelit, akan tetapi sungguh mati, kalau kalian memaksa hendak mengambil anakku, sama saja dengan kalian memaksa mengambil tangan kananku. Sebelum kalian mengambil anakku, biarlah kuberikan saja kedua tanganku. Hidup tanpa tangan kanan kepalang tanggung. Nah, siapa mau lebih dulu membuntungi kedua tanganku?” dia mengacungkan kedua tangannya ke atas.

“Ha-ha-ha-ha! Orang ini sinting, tetapi anaknya cantik manis sekali! Biarlah aku penuhi permintaannya!” Teriak orang muda Han yang mabok itu sambil menghunus goloknya yang sudah berkarat karena darah orang dalam pertempuran.

“Baiklah, mari kau buntungi tangan kiriku lebih dulu!” Bun Beng lalu memberikan tangan kirinya.

Golok itu menyambar kuat sekali ke arah tangan kiri Gak Bun Beng yang diacungkan ke atas. Tangan itu tidak mengelak, malah memapaki golok.

“Krekkkk!” Golok itu patah-patah dan pemiliknya memandang gagang goloknya dengan mata terbelalak!

“Sayang, golokmu itu sudah berkarat dan rapuh!” Gak Bun Beng berkata dengan suara biasa. “Siapa lagi yang mempunyai senjata lebih tajam untuk membuntungi tanganku?”

“Biar kulakukan itu!” Bentak seorang Han lainnya sambil meloncat maju, pedangnya menyambar tangan kanan Gak Bun Beng. Kembali pendekar sakti ini tidak mengelak, melainkan memapaki pedang itu dengan tangannya.

“Krak... krakkk!”

“Hayaaaa...!” Si pemilik pedang terbelalak memandang gagang pedangnya yang hanya tinggal pendek saja itu karena pedangnya sendiri sudah patah-patah.

Melihat ini, tiga belas orang lain serentak maju dengan senjata mereka yang bermacam-macam, ada tombak, golok, pedang dan toya. Gak Bun Beng membiarkan mereka mencabut semua senjata, kemudian dia meloncat ke depan dan menerima semua serangan dengan kedua tangan dan juga kakinya sambil mengerahkan sinkang-nya. Terdengar suara krak-krek-krak-krek disusul oleh teriakan si pemilik senjata dan dalam sekejap mata saja semua senjata milik dari lima belas orang itu sudah patah-patah semuanya.

“Ilmu siluman!” terdengar seorang di antara mereka berteriak dan larilah mereka lintang pukang ketakutan, meninggalkan segala perbekalan yang tadi mereka taruh di atas tanah.

Gak Bun Beng menghela napas, kemudian menyambar guci arak yang ditinggal di situ, menenggak isinya sampai habis. Dilemparkannya guci kosong dan diusapnya mulut yang basah itu dengan ujung lengan bajunya. Dia kelihatan tidak senang sekali. Memang dia tidak senang karena terpaksa dia harus memperlihatkan kepandaiannya lagi setelah secara terpaksa dia mengeluarkan kepandaian itu ketika menyelamatkan Syanti Dewi.

“Gak-sioksiok....” Syanti Dewi tahu-tahu sudah berada di sampingnya dan menyentuh lengan pendekar itu karena dia pun dapat merasakan betapa pendekar itu kelihatan tidak tenang, bahkan seperti orang berduka. “Engkau banyak repot karena aku saja...”

Gak Bun Beng menoleh dan melihat wajah yang cantik dan agung itu menyuram. Dia tersenyum dan mengelus kepala Syanti Dewi. Bukan main halusnya perasaan anak ini, pikirnya terharu. “Tidak apa-apa, Dewi. Aku pun tadi hanya menakut-nakuti mereka saja. Marilah kita melanjutkan perjalanan.”

“Akan tetapi di timur ada perang dan pertempuran, sioksiok.”

“Bukan perang, hanya pasukan pemerintah mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa gerombolan pemberontak seperti mereka tadi.”

“Tetapi, mendengar omongan mereka tadi, mereka bukanlah pemberontak, melainkan patriot-patriot yang berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air mereka.” Puteri itu membantah. Biar pun hanya seorang wanita, tapi sebagai puteri raja tentu saja dia telah banyak membaca kitab-kitab sejarah dan ketata negaraan sehingga pengetahuannya agak luas dibandingkan wanita-wanita terpelajar biasa.

Gak Bun Beng menghela napas panjang. Ucapan puteri ini menyentuh perasaannya, perasaan muak terhadap ulah tingkah manusia dalam hidup ini, maka dengan suara bersemangat, di luar kesadarannya dia berkata, “Manusia di dunia ini siapakah yang tidak akan membenarkan dirinya sendiri? Pemerintah Mancu menganggap mereka pemberontak karena mereka melawan pemerintah yang syah dan menganggap diri sendiri sebagai penolong rakyat, sebaliknya mereka itu menganggap pemerintah sebagai penjajah laknat dan menganggap diri sendiri sebagai patriot. Namun keduanya tetap sama saja, tetap saja melakukan kekerasan dan kekejaman dengan dalih kebenaran masing-masing. Padahal, apa sih bedanya manusia? Dari kaisar, jenderal, pedagang, petani, si jembel sekali pun, hanya dibedakan oleh pakaian dan embel-embel di luar badan. Coba kumpulkan mereka semua, telanjangi mereka semua dalam sebuah kandang, apa bedanya mereka dengan sekumpulan domba atau kuda? Manusia hanyalah mahluk biasa yang mempunyai kelebihan, inilah yang merusak hidup!”

Syanti Dewi mendengarkan dan memandang wajah pendekar itu dengan mata terbelalak. Baru satu kali ini selama hidupnya dia mendengarkan pandangan orang tentang manusia seperti itu. Ada artinya yang mendalam, ada kesungguhan dan kebenarannya, akan tetapi juga lucu sekali. Kalau dibayangkan betapa seluruh manusia di dunia ini tidak berpakaian, tidak dihias segala benda-benda yang hanya menjadi pemisah dan penentu dari tingkat masing-masing, alangkah lucunya dan memang sukar membedakan mana raja mana jembel mana kaya mana miskin! Dia sendiri pun tadinya seorang istana dan memakai pakaian puteri. Sekarang? Setelah berpakaian gadis petani seperti itu, siapa percaya bahwa dia seorang puteri? Apa lagi kalau harus telanjang bersama seluruh manusia lain!

“Kau... kau hebat, paman!” katanya lirih.

Gak Bun Beng sadar lagi dan memegang tangan Syanti Dewi. “Kau... kau semuda ini, sudah dapat menangkap arti kata-kataku tadi?”

Syanti Dewi mengangguk, lalu mengangkat mukanya memandang wajah yang masih tampan dan gagah itu. Gak Bun Beng dulunya memang seorang pemuda yang tampan, dan gagah. Matanya mengeluarkan cahaya tajam, mulutnya terhias kumis kecil yang terpelihara rapi, demikian juga jenggotnya yang pendek saja. Pakaiannya sederhana, pakaian petani atau nelayan, namun bersih dan kuku-kuku tangannya terpelihara baik, giginya terawat.

“Paman Gak, di manakah adanya keluargamu?”

Gak Bun Beng terbelalak dan mengerutkan alisnya. “Apa? Keluarga?”

“Ya, isteri dan anakmu...”

“Ahhh, marilah kita cepat melanjutkan perjalanan ini, aku khawatir mereka datang lagi mengganggu.” Dia lalu memegang tangan Syanti Dewi dan diajaknya dara itu pergi meninggalkan tempat itu.

Sampai lama mereka berjalan menyusup-nyusup hutan karena Gak Bun Beng tak ingin terganggu lagi oleh gerombolan pemberontak atau pejuang yang melarikan diri karena diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah yang kabarnya tadi dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang ditakuti. Beberapa kali Syanti Dewi menengok dan memandang tajam wajah pendekar itu, namun Gak Bun Beng berjalan terus tanpa mengeluarkan kata-kata.

Akhirnya Syanti Dewi tidak dapat menahan hatinya. “Paman Gak, di manakah isteri dan anak-anakmu?”

Sesungguhnya pertanyaan ini sejak tadi bergema di telinga Gak Bun Beng dan dia sengaja mengalihkan perhatian dan mengharapkan gadis itu lupa akan pertanyaannya yang terngiang-ngiang di telinga hatinya. Maka mendengar pengulangan pertanyaan ini, dia menahan napas sejenak untuk menekan perasaannya, baru dia menjawab tenang saja. “Tidak ada.”

“Ehhh...?” Syanti Dewi terkejut.

“Aku tidak pernah mempunyai isteri atau anak, tidak mempunyai saudara, tidak ada orang tua lagi, aku sebatang kara di dunia,” kembali jawaban yang keluar dari mulut pendekar itu terdengar datar, seolah-olah seorang nelayan membicarakan jalan atau pancingnya, biasa saja.

“Tapi... tapi tidak mungkin itu, paman Gak!”

“Apa maksudmu, tidak mungkin? Mengapa harus tidak mungkin?”

“Seorang seperti paman ini... ehhh, tidak mungkin tidak menikah! Paman, apakah tidak ada wanita di dunia ini yang mencintamu?”

Tanpa menengok Gak Bun Beng menggeleng kepala dan matanya memandang jauh ke depan.

“Hemm, mustahil! Dan apakah paman tidak ada mencinta seorang pun wanita di dunia ini?”

Gak Bun Beng tersenyum ketika menoleh dan melihat wajah puteri ini diliputi penasaran besar, bahkan seperti orang marah! “Dewi, engkau kenapa? Aku tak pernah memikirkan hal itu dan hidupku sudah cukup bahagia.”

“Tidak masuk akal! Seorang pria seperti paman!”

“Hemm, hanya seperti aku ini, apa sih bedanya dengan orang lain?”

“Tidak sama sekali, jauh sekali bedanya! Pangeran-pangeran di Bhutan, bahkan orang berpangkat jauh di bawah pangeran dan orang berharta, mereka itu sedikitnya punya tiga atau empat orang isteri! Padahal dibandingkan dengan paman, mereka itu tidak ada sekuku hitam paman!”

“Aihhh, Dewi. Aku seorang tua yang miskin, tidak memiliki apa-apa, mana ada ingatan yang bukan-bukan?” Gak Bun Beng berkata untuk menghibur diri karena percakapan ini tanpa disengaja oleh puteri itu telah menusuk-nusuk perasaannya, mengingatkan dia kepada Milana.

“Jangan paman berkata demikian. Siapa bilang paman sudah tua? Usia paman tidak akan lebih dari empat puluh tahun! Dan pangeran yang namanya Liong Khi Ong itu, yang akan mengawiniku, kabarnya malah berusia lima puluh tahun, dan aku berani bertaruh potong rambut bahwa dibandingkan dengan paman, dia itu bukan apa-apa!”

Gak Bun Beng berhenti melangkah dan memegang kedua tangan Syanti Dewi. “Dewi, kuminta kepadamu, janganlah kau membicarakan urusan diriku. Aku minta ini dengan sangat, ya? Banyak hal yang pahit getir telah berlalu, dan pembicaraanmu hanya akan menggali segala kepahitan yang telah lewat itu saja.” Ucapan ini keluar dengan suara agak gemetar.

Syanti Dewi mengangkat muka memandang dan melihat wajah penolongnya ini diliputi awan kedukaan, hatinya terharu dan dua titik air mata menetes seperti dua butir mutiara di atas kedua pipinya.

“Eh? Kau... menangis?”

“Aku kasihan kepadamu, paman Gak.”

Gak Bun Beng tersenyum dan menggunakan telunjuknya menghapus dua butir mutiara itu. “Kau anak yang aneh! Kau memperlakukan aku seolah-olah aku ini seorang yang jauh lebih muda dari pada engkau. Sudahlah, jangan membicarakan tentang diriku, tidak ada harganya dibicarakan. Sekarang aku ingin bicara tentang dirimu. Mengapa engkau malah membicarakan pribadi calon suamimu seperti itu? Agaknya engkau tidak suka kepadanya?”

“Hemm, tentu saja,” jawab Syanti Dewi ketika mereka melangkah lagi. “Siapa orangnya yang suka dikawinkan dengan seorang kakek yang belum pernah dilihatnya selama hidupnya? Dia seorang pangeran, dan kulihat pangeran-pangeran di Bhutan hanyalah orang-orang yang berlomba mengejar kesenangan, tenggelam dalam kemewahan dan aku berani bertaruh bahwa Pangeran Liong Khi Ong itu tentu sudah mempunyai isteri sedikltnya selosin orang, apa lagi usianya sudah lima puluh tahun. Aku tentu sudah gila kalau aku mengatakan suka kepadanya, paman Gak.”

Gak Bun Beng tersenyum geli. Bukan main anak ini! Pandangannya selalu tepat sekali, membayangkan pengetahuan luas dan pertimbangan yang masak, kata-katanya tepat mengenai sasaran dan perasaannya amat halus bukan main.

“Dewi, kalau kau memang tidak suka, kenapa kau mau?”

“Paman, masa paman tak mengerti? Aku hanya bertugas di dalam perkawinan ini untuk menjadi paku utama dalam singgasana ayah.”

“Ehhh...?”

“Aku kawin bukan karena cinta, melainkan kawin politik. Agar kedudukannya di Bhutan menjadi kuat, apa lagi dalam menghadapi pemberontakan Bangsa Mongol dan Tlbet yang dipimpin oleh Tambolon, ayah mengorbankan aku untuk menjadi mantu kaisarmu di sana!” Kedua pipi itu menjadi merah karena penasaran dan matanya yang indah bersinar-sinar.

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. “Kau kan bisa menolak?”

“Aih, paman. Apa dayaku sebagai seorang puteri raja? Kalau aku menolak, andai kata aku bisa menolak, kemudian terjadi sesuatu yang bisa merobohkan kerajaan, bukankah namaku akan dicatat di dalam sejarah sebagai seorang anak yang paling durhaka terhadap orang tua, sebagai seorang puteri yang tidak dapat menjaga negaranya? Ahh, kalau saja aku hanya seorang gadis petani biasa, tentu tidak ada yang usil mulut!”

Gak Bun Beng maklum akan hal ini dan dia menghela napas panjang, merasa kasihan sekali kepada gadis ini, dan dia lalu teringat pula akan nasib Milana yang juga menikah karena dipaksa oleh kaisar! “Akan tetapi, sekarang engkau telah bebas, bukan? Engkau telah menjadi seorang gadis petani, bukan?”

“Apa gunanya? Tak mungkin aku menjadi begini terus. Setelah paman menyerahkan aku ke istana nanti, apa dayaku selain menurut dan menerima pernikahan itu dengan mata meram dan perasaan mati?”

“Kalau aku tidak menyerahkan engkau ke istana, bagaimana?”

Sepasang mata itu terbelalak. “Benarkah itu, paman? Tetapi, tidak diserahkan pun aku tidak berdaya. Mana mungkin aku dapat hidup sendiri di dunia ini? Aku sudah terbiasa hidup keenakan di istana. Aihh, kalau saja ada adik Ceng Ceng... tentu dia akan dapat mencarikan akal.”

“Tenanglah, Dewi. Aku akan membawamu ke kota raja, namun aku menjamin bahwa tidak ada seorang iblis pun akan dapat memaksamu menikah dengan siapa pun yang tidak kau suka. Aku tidak akan membiarkan itu, Dewi.”

Syanti Dewi memegang tangan kanan Gak Bun Beng yang terkepal itu erat-erat, membawa kepalan tangan itu ke depan hidungnya dan menciuminya sambil terisak. Di dalam diri penolongnya itu dia tidak hanya menemukan seorang penolong, akan tetapi juga seorang kawan baik, seorang yang menjadi pengganti ayah bundanya, seorang pelindung dan pembela yang dia percaya sepenuh hatinya, seorang yang menimbulkan kasih sayang di hatinya.....

“Bangun...! Gak-sioksiok... bangunlah...!”

Gak Bun Beng membuka matanya.

“Paman, lihat, ada pasukan tentara datang...!”

Gak Bun Beng mengeluh dan merasa kasihan sekali kepada dara itu. Baru saja mereka beristirahat di dalam rumah kosong yang rusak itu. Setelah membuat api unggun dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi yang tidur di atas rumput kering, dia sendiri lalu duduk bersandar dinding rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat, dan dia pun tertidur saking lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena dia pun belum pulas benar, sudah ada orang yang mengganggu. Dia bangkit dan berdiri, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang keluar.

“Heiiiiii...! Yang berada di dalam rumah kosong! Hayo kalian semua keluar!” terdengar teriakan seorang di antara para prajurit yang memegang obor.

Obor itu besar sekali dan amat terang. Di atas sebuah tandu pikulan duduklah seorang panglima yang berpakaian lengkap dan gagah, pakaian perang, sikapnya gagah sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok, seorang panglima perang yang jarang bertemu tanding saking gagah perkasanya.

“Tenanglah, Dewi, mari kau ikut aku keluar,” kata Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan dara itu, diajaknya keluar menghadap panglima itu.

“Suruh pergi mereka semua! Jika mereka ternyata tidak menyembunyikan pemberontak, sudahlah, jangan ganggu penduduk di sekitar sini! Tetapi cari di rumah-rumah kosong, di goa-goa dan basmi semua pelarian pemberontak, barulah daerah ini akan aman. Kalian jangan terlalu malas, bekerja kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan tenaga hasilnya harus dapat dirasakan selama satu tahun! Tidak setiap hari mengalami gangguan terus!”

Beberapa orang panglima dan perwira yang mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan mereka kelihatannya takut sekali pada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba panglima gagah perkasa ini memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak Bun Beng terkejut. Pandang mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer ini benar-benar bukan orang sembarangan, akan tetapi ia balas memandang dengan sikap tenang.

Pembesar itu memberi isyarat dengan tangan dan seorang perajurlt menggapai kepada mereka sambil berkata, “Heii, kalian berdua majulah menghadap tai-goanswe!”

Gak Bun Beng menarik tangan Syanti Dewi lalu menghadap pembesar itu dan menjura dengan dalam-dalam, tetapi tidak berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.

“Hei, berlutut kalian!” bentak seorang perajurlt.

“Biarkan mereka!” kata Jenderal besar (tai-goanswe) itu, melambaikan tangan kepada Gak Bun Beng memberi isyarat agar mereka berdua maju. Sekali lagi pandang mata Jenderal itu memandang tajam penuh selidik, kemudian bertanya kepada Syanti Dewi dengan suara membentak dan tiba-tiba, “Kau, wanita muda, katakan siapa namanya laki-laki ini?”

Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak Bun Beng yang maju ke depan dan Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab. Sekali ini, secara tiba-tiba jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa itu menanya kepadanya. Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih dulu secara otomatis, “Namanya adalah Gak Bun Beng!”

Jenderal ini mengerutkan alisnya yang tebal, mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun menghadapi Gak Bun Beng. Tepat dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu meloncat menunjukkan pula kemahiran ilmu silat tinggi, biar pun tubuhnya tegap tinggi besar namun gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.

“Kau Si Jari Maut?” tiba-tiba jenderal itu membentak.

Gak Bun Beng melepaskan tangan Syanti Dewi dan menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi sendiri juga kaget sekali, apa lagi mendengar nama Si Jari Maut. Mengapa pula penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah Si Jari Maut adalah tukang perahu itu?

Gak Bun Beng juga merasa heran dan dia menggeleng kepala. “Bukan, tai-goanswe. Saya tidak punya nama lain kecuali yang dikatakan tadi.”

“Siapa dia?” Jenderal itu menuding ke arah Syanti Dewi.

“Dia anak saya.”

“Hemm, wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan membohong kau!”

“Memang anak saya ini berdarah campuran, tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet.”

Jenderal ini meraba jenggotnya. “Hem... kau dari mana hendak ke mana?”

“Saya dari Tibet di mana selama belasan tahun saya merantau dan menikah di sana, sekarang hendak pergi ke Se-cuan.”

“Kau bukan Jari Maut?”

“Bukan, tai-goanswe.”

“Tapi kau tentu bisa ilmu silat, bukan?”

Sukarlah bagi Gak Bun Beng untuk mendusta terhadap jenderal yang bermata tajam ini. Tentu saja bagi seorang ahli, dapat melihat bahwa dia seorang yang ‘berisi’, maka dia bersenyum dan menjawab, “Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari.”

“Nah, coba kau hadapi seranganku ini, ingin aku lihat sampai di mana kepandaianmu!”

Tiba-tiba saja jenderal itu menerjang maju. Gerakannya cepat bukan main, sama sekali tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar tegap itu, apa lagi dengan memakai pakaian perang yang cukup berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya didahului angin yang menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah dada Gak Bun Beng.

Pendekar sakti ini maklum bahwa sang jenderal sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian dan agaknya dia hendak menguji karena curiga, maka dia pun tidak mau berpura-pura lagi karena toh akan sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal yang cerdik itu, maka ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya sebagian saja, cukup untuk menandingi tenaga sinkang penyerangnya.

“Dukkk!”

Jenderal itu berseru kaget ketika pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat memukul lagi dan tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya menggunakan tenaga setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai di mana kekuatannya. Kini jenderal itu menghantam lagi, sekali ini dengan tenaga penuh, tenaga yang melebihi kekuatan seekor kerbau jantan mengamuk!

“Dess...!” Kembali pukulan tertangkis dan jenderal itu terhuyung ke belakang.

“Coba pergunakan jari mautmu!” Bentak sang Jenderal dan kini dia menerjang lagi.

Kaki tangannya bergerak dan sekaligus Gak Bun Beng menghadapi serangan pukulan, tamparan, totokan dan tendangan sebanyak delapan kali berturut-turut. Maklumlah dia bahwa jenderal ini benar-benar pandai, agaknya sengaja mendesaknya dengan jurus luar biasa itu untuk memancing dia agar dia, kalau memang mempunyai, mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia Jari Maut.

Tentu saja kalau Gak Bun Beng menghendaki, dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia menangkis dan sengaja memperlambat gerakannya sehingga dua pukulan mengenai bahu dan dadanya.

“Bukk! Dess...!”

Gak Bun Beng terhuyung ke belakang sambil bereru, “Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat bertahan!”

“Ha-ha-ha!” Jenderal itu tertawa bergelak, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Perutnya sampai bergoyang-goyang ketika dia tertawa sambil mendongak ke angkasa. “Ha-ha-ha, engkau terang bukanlah Si Jari Maut, sungguh pun engkau pandai sekali merendah. Sobat, aku Kao Liang kagum sekali kepadamu!”

Terkejutiah hati Gak Bun Beng mendengar nama ini. Kiranya inilah jenderal yang amat ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas saja! Memang seorang jenderal yang hebat! Untung jenderal ini agaknya tak pernah atau jarang sekali muncul di kota raja sehingga tidak mengenalnya. Pula, andai kata pernah, tentu sudah sejak mendengar namanya tadi pembesar itu lain sikapnya.

“Ah, kiranya Kao-taigoanswe...! Saya pernah mendengar nama besar tai-goanawe dari para pemberontak yang lari terbirit-birit ke barat.”

“Ha-ha-ha, dan aku tadinya mencurigaimu sebagai anggota pemberontak. Tak mungkin. Apa lagi dengan anakmu ini. Nah, kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silakan, kalau di jalan bertemu kesukaran, katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu akan dapat menolong!”

Gak Bun Beng menjura, menghaturkan terima kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ cepat-cepat, biar pun malam itu cukup gelap karena bintang di langit terhalang sedikit awan.

Gak Bun Beng mengajak Syanti Dewi berhenti di bawah sebatang pohon besar di dekat padang rumput. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan melintasi padang rumput yang demikian rimbun, takut kalau-kalau ada ularnya atau binatang lain. Melihat lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu bangkit lagi dan menuju ke tempat itu. Kiranya itu adalah sebuah dusun yang lumayan besar. Akan tetapi karena dusun itu baru saja mengalami pemeriksaan dan pembersihan, semua penduduk masih merasa takut dan pintu rumah ditutup rapat-rapat.

Beberapa kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara bisik-bisik di dalam, namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika mereka melihat sebuah rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tak ada pelayan yang membukanya. Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan pintu, daun pintu terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh curiga.

“Kenapa kalian ini malam-malam menggedor-gedor pintu rumah orang?” tanyanya dengan hati lega akan tetapi juga jengkel ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara remaja yang keduanya berpakaian seperti orang dusun.

“Hemm, bukankah ini rumah penginapan untuk umum?” Gak Bun Beng bertanya sabar.

“Benar, akan tetapi apakah kau tidak bisa mengerti akan keadaan? Dunia sedang mau kiamat begini mencari kamar waktu tengah malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau tidak siapa lagi yang berani dan kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah mana pun juga.”

“Maaf kalau kami mengganggu dan mengagetkan, biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar kami beri juga uang kaget,” kata pula Gak Bun Beng.

Mendengar bahwa dia akan menerima uang kaget sebagai hadiah, pelayan itu menjadi lebih ramah. “Baru siang tadi dusun kami digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak yang ditangkap dituduh teman pemberontak. Tentu saja seluruh dusun ini masih dalam suasana panik dan takut.”

Gak Bun Beng mengangguk-angguk dan akhirnya mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur. Tadinya Gak Bun Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di depan pelayan itu Syanti Dewi berkata, “Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu saja cukuplah asal ada dua tempat tidur. Apa lagi, aku takut tidur sendiri dalam kamar!”

Malam itu keduanya dapat tidur nyenyak setelah bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal Kao Liang. “Dialah seorang jantan sejati,” kata Gak Bun Beng kagum. “Negara memang membutuhkan orang-orang seperti dia itulah! Aku berani bertaruh apa saja bahwa orang seperti dia tentu setia kepada negara, tidak mabok kedudukan, tidak sudi menjilat dan tidak suka pula menekan bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh juga.”

“Aku juga sudah khawatir, paman. Dia kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi ternyata kau tidak apa-apa! Dia memang mengerikan, seperti seekor singa!”

“Jarang kini terdapat orang seperti dia,” berkata pula Gak Bun Beng. “Orang pemberani macam dia tentu tidak berhati kejam. Hanya orang penakutlah yang berhati kejam karena kekejaman lahir dari rasa takut. Dan dia tidak pula penjilat, karena hanya orang yang suka menindas bawahannya sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia memang jantan sejati dan aku benar-benar kagum!”

Sementara itu, di perkemahannya, Jenderal Kao Liang juga berkata kepada seorang perwira kepercayaannya. “Orang yang bernama Gak Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah seorang penjahat yang memang sengaja hendak merusak namanya.”

Memang tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang ini. Yang merusak dan menggunakan nama Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah mendengar akan sepak terjang Si Jari Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa penjahat kejam itu adalah seorang pemuda, maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari Maut. Tentu saja dia tidak tahu bahwa ketika menangkis serangannya tadi, Gak Bun Beng baru mengerahkan sedikit bagian saja dari tenaganya, dan sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng adalah seorang pendekar sakti murid dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang amat hebat!

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi Gak Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi, “Dewi, kita harus menyamar dalam perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau sampai terjadi seperti malam tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya padang rumput itu terdapat perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan penyelidikan, dan mengetahui apakah gerangan yang terjadi sehingga seorang jenderal yang berpangkat tinggi itu sampai datang ke tempat ini dan melakukan perondaan sendiri, memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan.”

“Paman, bukankah Jenderal Kao telah menjamin...”

“Ah, aku tidak mau berkedok nama jenderal, Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri menggunakan akal sendiri untuk menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita menyamar sebagai ayah dan anak penjual silat?”

“Tapi ilmu silatku masih rendah, paman.”

“Habis apa kiranya yang menjadi keahlianmu?”

“Aku agak pandai menari...”

“Nah, itu dia! Kita dapat menyamar sebagai penjual obat dan engkau menari, aku yang mengiringi dengan meniup suling.”

Syanti Dewi tertawa dan cahaya matahari menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang halus itu sungguh-sungguh mendatangkan kesegaran dalam perasaannya. Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan baru sekarang dia merasakan kehangatan peri kemanusiaan.

“Menari hanya diiringi dengan suling saja? Dan lagunya? Apakah kau mengenal lagu Bhutan, paman?”

“Tentu saja tidak. Akan tetapi cukup asal melagukan. Apa lagi kita adalah penjual obat, bukan ahli tari sungguh pun aku yakin bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli tari yang luar blasa. Nah, sekarang kita harus berbelanja ke dusun ini menyiapkan segala keperluan penyamaran kita. Untukku sebatang suling dan sebuah caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu dalam penyamaranmu, Dewi?”

“Sebagai penari keliling, cukup dengan sehelai selendang panjang saja, selendang dari sutera berwarna merah.”

Setelah menemukan dan membeli kebutuhan mereka itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun itu dan melintasi padang rumput. Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi menyanyikan beberapa lagu Tibet yang dikenalnya. Dengan sulingnya Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan penuh kagum dan keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan mempunyai suara yang amat merdu dan halus.

Ketika mereka sudah melewati padang rumput, Gak Bun Beng berhenti dan meminta kepada Syanti Dewi agar supaya menari. “Kita harus berlatih dulu agar cocok antara suling dan gerakan tarianmu,” katanya.

Dia duduk di bawah pohon dan mulai meniup sulingnya, menirukan lagu yang pernah dinyanyikan dara itu, dan Syanti Dewi mulai menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor kupu-kupu beterbangan di atas kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang merah itu digerak-gecakkan, selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang amat indah dan berubah-ubah. Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang, kadang-kadang seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya tampak sekilas pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya. Bukan main!

Gak Bun Beng terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di kahyangan menyaksikan tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar matahari pagi di musim semi!

Setelah Syanti Dewi menghentikan tariannya sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia menurunkan sulingnya pula, masih terlongong dan termenung, seolah-olah orang baru terbangun dari suatu mimpi yang amat indah.

“Paman Gak!” Syanti Dewi memanggil ketika melihat pendekar itu duduk termenung, aeolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.

“Heh...? Ehh...!” Gak Bun Beng langsung menyeka peluh yang tanpa diketahuinya telah memenuhi dahi dan lehernya, kemudian dia memandang Syanti Dewi dengan sinar mata lembut dan penuh kasih sayang. “Dewi, bukan main kau...! Bukan main...!” Dan tak dapat ditahan lagi, dia mengatupkan bibir dan dua titik air mata menetes ke atas pipinya.

Syanti Dewi menubruknya. “Paman, ada apakah? Paman... paman menangis?” Ucapan ini dikeluarkan penuh ketidak percayaan. Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat seorang pria yang demikian gagah perkasa, jantan keras bagaikan baja, lembut dan budiman seperti kapas, yang dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan air mata walau pun hanya dua butir!

Gak Bun Beng tidak mampu menjawab dan memejamkan mata ketika merasa betapa Syanti Dewi menyeka dua butir air mata itu dengan ujung selendangnya. Terbayanglah wajah Milana, teringatlah dia akan semua kenikmatan dan kebahagiaan ketika berkasih sayang dengan wanita itu.

Kehadiran Syanti Dewi dalam hidupnya membuat luka lama di dalam hatinya merekah kembali dan dia menjadi sangat rindu kepada Milana, sangat rindu pada belaian kasih sayang wanita. Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu, telah membuat hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang dilihatnya di dalam diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh pertahanannya dan menjadi jebol!

“Paman kau kenapakah? Mengapa paman berduka?” Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara penuh kedukaan dan kecemasan.

Gak Bun Beng membuka mata, lalu memaksa diri tersenyum dan membuka capingnya. Dia mengipasi muka dan lehernya dengan caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan dengan harapan angin dari kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang mencekik lehernya. Sukar dia mengeluarkan suara, karena itu dia hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.

“Paman, kau tadi kelihatan demikian berduka, sampai menangis! Padahal tadinya tidak apa-apa. Setelah aku menari, paman lalu berduka dan terharu. Tentu ada sebabnya, paman. Demikian tegakah paman membiarkan aku dipermainkan kesangsian? Tidak sudikah paman mempercayaiku dan menceritakan apa yang mendukakan hatimu?”

Gak Bun Beng menggerakkan tangan dan mengelus rambut kepala gadis itu. Gerakan ini meruntuhkan hati Syanti Dewi dan otomatis dia kemudian menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada pendekar itu. Dia merasa begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia, seolah-olah dada yang bidang itu melindunginya dari segala mala petaka yang akan datang mengancamnya, melindunginya dari segala kedukaan dan mendatangkan kebahagiaan yang dia tidak mengerti.

Gak Bun Beng pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah sudah semestinya demikian dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut kepala yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa janggalnya keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari atas dadanya.

Mereka duduk berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng, “Syanti Dewi, kaulah satu-satunya manusia yang berhak mengetahui segala mengenai diriku.”

“Terima kasih, paman. Aku yakin bahwa memang engkau akan menceritakan kepadaku, karena kiranya tidak ada lagi manusia yang demikian mulia seperti engkau, paman.”

Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, akan tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan yang luar biasa keluar dari tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali dan menghela napas, membuang pandang matanya ke tanah, lalu menunduk. “Dewi, engkau terlalu tinggi memandang diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh, yang canggung dan lemah.”

“Sebenarnya bukan aku yang memandang terlalu tinggi, melainkan engkau yang selalu merendahkan diri, dan itulah satu di antara sifat-sifat paman yang kukagumi. Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis ketika melihat aku menari?”

“Syanti Dewi, karena kau mengingatkan aku akan seorang lain...”

“Seorang wanita?”

Gak Bun Beng mengangguk.

“Wanita yang paman cinta?”

Kembali Gak Bun Beng mengangguk.

“Dan dia pun mencinta paman?”

Untuk ketiga kalinya Gak Bun Beng mengangguk.

Syanti Dewi menunduk, dia kelihatan berduka sekali. Sampai lama keduanya diam saja, kemudian terdengar dara itu bertanya, suaranya gemetar menahan isak, “Paman Gak, sudah lamakah dia meninggal?”

Gak Bun Beng mengerutkan alis, lalu mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah meninggal. “Sampai sekarang dia masih hidup, Dewi.”

Muka dara itu menjadi pucat sekali, kemudian merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran dan kemarahan, “Kalau begitu dia telah meninggalkan paman, sungguh kejam sekali!”

Gak Bun Beng cepat menggelengkan kepalanya. “Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang meninggalkan dia...”

Wajah yang tadinya merah menyala itu menjadi pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka dan tubuh yang menegang itu menjadi lemas. “Ouhhh...!” Syanti Dewi mengeluh dan duduk kembali di depan pendekar itu.

Syanti Dewi melihat Gak Bun Beng pendekar pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat sekali. Alisnya yang tebal berkerut, dan di permukaan wajah itu seperti terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan. Melihat wajah pendekar itu seperti ini, Syanti Dewi tak dapat menahan tangisnya. Dia lalu terisak dan memegang kedua tangan pendekar itu, mengguncang-guncangnya sambil bertanya di antara isaknya. “Akan tetapi... mengapa, paman? Mengapa...? Mengapa...?” Suaranya bercampur isak dan dia membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.

Melihat keadaan dara ini, Gak Bun Beng merenggutkan kedua tangannya. Ia takut pada dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya, seakan-akan mendorongnya untuk memeluk dan mendekap dara itu penuh cinta kasih. Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia merenggutkan kedua tangan dari pegangan dara itu, lalu menutupkan kedua tangannya ke mukanya sambil menahan air matanya dengan jari-jari tangannya. Sampai lama mereka tidak berkata-kata, yang terdengar hanya suara isak Syanti Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun Beng.

Setelah Syanti Dewi agak mereda dan berhasil menekan perasaan harunya dan ibanya, dia mengangkat muka yang basah dan merah, memandang punggung kedua tangan yang menutupi muka pendekar itu, bertanya, “Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab yang memaksa paman meninggalkannya. Sudah pasti ada, dan maukah paman menceritakan kepadaku?”

Mendengar suara gadis itu telah tenang kembali biar pun masih gemetar, Gak Bun Beng yang juga telah berhasil meredakan gelora hatinya, menurunkan kedua tangannya dan tampaklah wajahnya yang pucat dan muram. “Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa aku akan menceritakannya kepadamu. Memang ada sebabnya, dan sebab itu adalah karena aku bodoh dan serba canggung! Begitu banyak aku melihat perkawinan gagal, cinta kasih berantakan setelah terjadi perkawinan, kemesraan lenyap terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan yang berakhir dengan kebencian dan dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri. Aku menjadi takut kalau-kalau dia pun akan menderita apa bila kasih di antara kita yang murni itu akan menjadi palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak tega membiarkan dia kelak menderita, karena itu, aku mundur... tidak tahu bahwa aku membawa pergi racun yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi hari. Dengan kekuatan batin aku bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku keras dan melupakan segala.” Dia menarik napas panjang dan menengadah, memandang ke langit seolah-olah hendak mengadukan nasibnya kepada Thian.

“Jadi... itukah sebabnya, paman, seorang pendekar besar kemudian mengasingkan dan menyembunyikan diri di antara orang-orang biasa, menjauhkan diri dari segala urusan dan kesenangan duniawi?”

Gak Bun Beng mengangguk.

“Dan selama itu paman tidak lagi tertarik kepada wanita yang mana pun?”

“Hemmm... sebelum mengenal dia, aku belum pernah mencintai orang lain, sesudah itu pun aku tidak ada minat dan waktu... aku malah muak dan tidak percaya akan cinta kasih antara pria dan wanita yang kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak percaya lagi akan kata-kata cinta yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan keinginan pribadi untuk mencari kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan tetapi... sikapku karena patah hati itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa memang ada cinta kasih yang murni, yang tanpa pamrih... yaitu setelah aku bertemu denganmu, Dewi. Setelah aku berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa lamanya denganmu, kau mengingatkan aku kepada dia...”

“Aduh, paman Gak... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi saja mencari dia? Di mana kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang sampai saat ini pun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!”

Gak Bun Beng menggeleng kepala. “Dia... dia telah menikah dengan orang lain, Dewi...”

“Ihhhh...!” Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng. “Mana mungkin...? Bukankah dia mencintamu, paman?”

“Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya.” Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut. Melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri.

Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata, “Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa hidup yang sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah sekali pun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat di sana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki.”

Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu maklum jika pendekar itu selain hendak mengubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia semakin kagum dan bersyukur, maka dia pun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.

“Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran prajurit-prajurit itu.”

“Jangan khawatir. Betapa pun juga, andai kata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!”

“Eh, mengapa, paman?”

“Mana mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi?! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah gerakan kaki tanganmu.”

Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung. “Perintahmu ini jauh lebih sukar dari pada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara sulingmu.”

“Membantu bagaimana?”

“Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku.”

Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!

Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berani berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap bawahannya.

Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang di antaranya menghardik, “Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa di sini adalah markas pasukan?”

“Maaf, kami memang rombongan tari, maka sudah menjadi kebiasaan saya jika berjalan meniup suling agar tidak lekas lelah. Jadi di sini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana keadaan di sana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur.”

Para penjaga itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biar pun sederhana pakaiannya itu. “Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!” kata seorang di antara mereka penuh gairah.

Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja karena dia merasa ‘ngeri’ melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!

Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan terlihat lucu. Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat. Perwira itu sebetulnya seorang yang sabar dan baik, akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut rombongan tari itu terdapat seorang gadis yang demikian denok, kontan saja sikapnya menjadi berubah dari biasanya.

Dia memasang aksi seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah panglima tertinggi atau bahkan kaisar sendiri! Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya tajam menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai ‘komandan’ betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa kau dan dari mana hendak ke mana?”

Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang ‘komandan sungguhan’! Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular di antara rumput dan minta-minta ampun!

“Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!” berkata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa ketika mendengar sebutan tai-ciangkun perwira itu langsung saja melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya. Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya mengempis.

“Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun.”

Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.

“Dewi... hemmm...” Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama lakl-laki bercaping itu.

“Bagaimana, tai-ciangkun?” Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.

“Ohhh... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?”

Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.

“Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang ke sini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apa lagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi prajurit dalam pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri.”

“Ohhh...!” Seruan ini terdengar dari banyak mulut para prajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali.

Mendengar ini, perwira gendut itu berseri wajahnya. “Nah, apa kataku tadi! Tepat sekali, bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silakan, nona... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!”

Syanti Dewi menjura dengan hormat sedang Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja sampai sudah lewat tengah hari, dan tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.

“Sebaiknya tari-tarian dilakukan pada waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah,” kata Gak Bun Beng.

“Baik, dan memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas,” berkata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.

“Sekarang kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan di sana.”

Perwira itu menggelengkan kepalanya. “Sebetulnya, perjalanan ke sana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak.”

“Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidaklah percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau sekiranya memang perlu, biar pun sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk menjadi prajurit lagi, membela pemerintah.”

Perwira itu menggeleng-geleng kepala. “Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk ke sana ke mari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biar pun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui mana yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apa lagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran.”

Perwira itu agaknya senang bercerita, apa lagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal dan membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau.

Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata, “Mengapa pertalian jodoh saja dapat menimbulkan ramai dan keributan, ciangkun?”

“Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari...”

“Hemm, saya pun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari,” kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada ‘ayahnya’ dan tersenyum.

“Akan tetapi di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, sebab ingin mendapat perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol pimpinan Raja Muda Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tentangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu, dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya, ada kabar angin bahwa usaha itu sudah diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak.”

Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?

“Lalu bagaimana pula kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?”

“Pangeran Liong Khi Ong? Hemmm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini dia pun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!”

“Mengapa demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang kedudukannya tinggi?” Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri.

Perwira gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya, “Menarik sekali ceritaku, ya?”

“Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun,” jawab Syanti Dewi.

“Biar pun andai kata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.” Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal. “Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang. Selain selirnya sangat banyak, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andai kata puteri itu pun menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!”

“Ahhh...!” Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.

“Ceritamu menarik sekali, ciangkun, terima kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk prajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur buat luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun.”

“Terima kasih, terima kasih.” Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para prajurit sudah berkumpul untuk menonton.

Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, makin malam makin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu tampak seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.

Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara kaku, sungguh pun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali. Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya seperti suling ular! Tari-tarian dara itu pun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!

Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata ‘haus wanita’ itu keadaannya akan menjadi runyam, apa lagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya.

Selain itu, si perwira gendut bisa saja nanti menuntut yang bukan-bukan. Keterangan yang resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.

“Saudara sekalian,” mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk.

Suara berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang penuh pesona itu. “Saudara-saudara sekalian, kami masih memiliki pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula dengan senang.”

Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari. Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa ‘ayahnya’ ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Dia pun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya.

Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya, “Kau nanti naik ke punggungku!” lalu kembali menyuling, mengejapkan mata ke pada Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir, kemudian secara tiba-tiba dia berbisik, “Hayo sekarang!”

Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu. Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu!

Semua orang lalu bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut.

“Ke mana mereka?”

“Mereka menghilang!”

“Wah, tentu telah lari!”

“Mengapa lari?”

“Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!”

Perwira gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali jauh dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.

“Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?”

“Hemmm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!”

Syanti Dewi mengerti dan dia menghela napas panjang. “Sungguh tidak enak menjadi wanita...”

“Heh...?”

“Apa lagi kalau masih muda...”

“Hemm...”

“Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan pria.”

“Tidak semua pria, Dewi.”

“Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!”

Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguh pun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?

“Paman, kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasa pun bisa. Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?”

“Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan.”

“Setelah mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman.”

“Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus ke sana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?”

“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!” kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.

“Habis bagaimana?”

“Terserah kepada paman saja, ke mana pun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan, atau... ah, apa saja terserah paman.”

“Hemm... hemm...” Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.

“Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!”

Gak Bun Beng menengok dan tersenyum melihat betapa kini gadis itu pun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.

“Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi.”

Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.

“Coba kau mainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu.”

“Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman.” Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh.

Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu. Maka, dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apa lagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu.

Diam-diam Gak Bun Beng membayangkan dengan hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan. Cerita dari perwira gendut itu hanya menggambarkan keadaan luarnya saja, namun tidak menceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi dan siapakah di antara para pangeran yang merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet. Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja.

Dia sudah mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Walau pun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana sangat mencintainya, dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti. Oleh sebab itu dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.....

********************

Sebetulnya, apakah yang sedang terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, yaitu seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir kaisar, tetapi yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang.

Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena mereka sudah tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu. Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran lainnya.

Suatu hari, seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan lalu mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu. Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini.

Tetapi seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepat kalau putera kaisar dijodohkan dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan! Pangeran Yung Hwa lebih patut dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak menurun.

Ada pun Puteri Bhutan itu, untuk bisa menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang walau pun sudah berusia lima puluh tahun, namun masih ‘perjaka’ dalam arti kata belum memiliki isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja.

Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian ‘hadiah’ ini bertujuan pula untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!

Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih hebat lagi. Ada pun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong!

Justeru kesempatan ini digunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan malah menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah saja mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri.

Betapa pun kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana. Apa lagi ketika dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang ‘patah hati’ itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit!

Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa di antara perdana menteri dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apa bila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata, sungguh pun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.

Puteri Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya sudah tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana. Dari suaminya, yang biar pun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana.

Dengan hati khawatir Milana mulai sering mengunjungi istana untuk mendengar-dengar dan melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya soal desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah.

Kakeknya menertawakan cucunya ini, tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk menyelidik dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja! Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga kaisar!

Dengan adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena mereka pun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana.....

********************
Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun, tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andai kata tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apa pun tentang kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.

Di sepanjang perjalanan, semakin dekat dengan kota raja semakin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan di antara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapa pun juga menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimana pun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.

Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sinkang gabungan Swat-im-sinkang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sinkang (Tenaga Inti Api) yang amat mukjijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu.

Sampai pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri, pengoperan tenaga sinkang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan memiliki dasar tenaga sinkang gabungan ini, biar pun ilmu silat yang dimainkan oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, akan tetapi kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biar pun dalam waktu singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuat pun!

Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.

Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan perempatan, mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok. Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap saja kereta itu terbakar!

“Ohhh...!” Syanti Dewi berseru, seruannya kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk.

“Kita harus menolong penumpang...!” kata pula puteri ini.

Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu. Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang prajurit sudah tiba di situ. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu loncat mendekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena ‘dikejar’ api di belakang mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.

Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapa pun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar urusannya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat ke luar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.

“Keparat, berani engkau mencampuri urusan kami?” Perwira itu bersama belasan orang prajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.

“Hemmm, kalian terlalu kejam!” Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang. “Dewi, lindungi dia!” katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.

“Tringg... krekkk!” Pedang itu patah menjadi dua!

Gak Bun Beng lalu berkelebat di antara mereka, dan ke mana pun dia berkelebat, tentu senjata seorang prajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang prajurit menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.

“Mundur...! Pergi...!” Perwira itu memberi aba-aba. Pasukan kecilnya yang telah ‘dilucuti’ senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.

Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu bisa diselesaikan sedemikian mudahnya. Namun betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.

“Apa yang terjadi? Mana dia?”

“Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman.”

“Dalam keadaan terluka itu dia pergi?”

Syanti Dewi mengangguk. “Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa.”

“Hemm... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang.”

Memang pada saat itu orang-orang sudah mulai berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan kegagahannya saat menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan tadi. Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan berwatak aneh.

Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka dapat menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah salah seorang putera kaisar sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng.

Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan sudah menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu!

Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apa lagi memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.

Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apa lagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali.

Kelihatannya memang amat gawat keadaannya. Di sepanjang jalan dia terus mencari keterangan, tapi para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai, seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis keluar dari neraka!

Dan bahwa sekarang sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.

Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yang lalu dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih dicintanya. Puteri Milana!

Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa.

Akan tetapi keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang tampan, sedangkan biar pun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apa lagi karena kulit mukanya sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip seorang gadis dusun biasa saja sungguh pun amat manisnya.

“Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja di sini?” Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.

“Ahh... eh... benar kau... mari...” kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.

“Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit.”

“Sakit? Siapa...? Aku sakit? Ah, tidak...!” jawab Gak Bun Beng, namun kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.

“Agaknya kau sedang masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu.” Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.

Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi.

Kenyataan ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping gadis ini?

Biar pun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apa bila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itulah yang amat memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!

Mereka melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.

“Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul di sini, cepat laporkan padaku!”

Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng, dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri. Seketika mukanya menjadi semakin pucat bagaikan mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca.

Matanya memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak. Tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana!

Hatinya menjerit. “Milana...!” akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.

Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia cepat menengok dan dia pun melihat wanita yang menunggang kuda itu. Segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.

“Paman...! Ada apakah...? Paman...!”

Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ terdapat sebuah rumah penginapan.

“Paman, kita beristirahat di penginapan itu, ya?”

Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.

Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Dia menderita pukulan batin yang amat hebat. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.

“Aku menyiksanya... aku menyiksa batinnya... ahhh, aku menyiksanya...,” demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.

Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas! “Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam...”

Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti Dewi sekejap, kemudian segera memejamkannya kembali. Dia menggeleng kepala dan berkata lemah, “Tidak apa-apa, Dewi... sebentar juga sembuh... tidak apa-apa...”

“Paman, ahhh, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?”

“Milana... dialah Milana...!” Ketika mengucapkan nama ini, seakan-akan hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya. “Milana...!”

Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut. “Sang Puteri Milana...?”

Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan matanya.

Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, lalu dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata, “Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?”

Sejenak Gak Bun Beng tak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.

“Aihhhhh...!” Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri!

Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi, mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!

“Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus...”

“Hush...! Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku padanya sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan...”

“Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini tentu matanya buta!” Syanti Dewi melanjutkan.

“Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, aku pun tak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku berada di sini dan... dan melihat dia... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?”

“Cantik dan agung, paman. Tetapi... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung...”

“Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku... ohhh...” Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.

“Paman...! Paman...!” Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil ‘paman’ oleh gadis itu pingsan dan kaku ia pun ikut menjadi bingung sekali.

“Lekas... ohhh, lekas panggilkan tabib...!” Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.

Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, lalu dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sinkang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus menyalurkan sinkang.

Akhirnya Gak Bun Beng sadar. Cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata, “Anak bodoh...! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!”

Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Sekarang Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.

“Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Tapi jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia...”

“Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap kapan saja pun boleh. Kalau tidak pun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang paling perlu kau harus berobat sampai sembuh.”

Pelayan datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu mengangguk-angguk. “Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obat pun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu.”

Setelah membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.

“Sinshe itu memang pandai...” kata Gak Bun Beng. “Sungguh pun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!”

Biar pun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teringat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira, “Hi-hik, paman. Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih... perjaka lagi, hi-hi-hik!”

Gak Bun Beng coba untuk tersenyum. “Bagaimana kau tahu?” Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan badani dengan wanita!

“Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!”

Gak Bun Beng tak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Namun gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!

Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat, bahkan menyuapi Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.

Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus, hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu ‘mati’ Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.

“Bagus, bagus...!” Sinshe itu mengangguk-angguk. “Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik. Dia gelisah dan berduka. Tidur, istirahat, dan bergembira adalah obat yang paling mujarab.”

Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan. Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi jadi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali.

Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian. Kedua orang kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya persis sehingga mudah diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatu pun tidak!

Adapun kakek yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena di luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini lagi marah-marah.

“Kami juga mampu bayar, mengapa kami tidak boleh memakai kamar ini?” bentak yang bermantel bulu.

“Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan kini sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada di dalam atau di belakang.”

“Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke belakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!”

“Tapi, loya...”

“Heh-heh, kamu minta mampus?” Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!

Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demonstrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sinkang yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.

Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata, “Biarlah kubereskan urusan di luar.”

“Jangan, paman... mereka... mereka lihai sekali...”

Tentu saja kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng lalu mengerutkan alisnya dan berkata, “Andai kata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit dan bersedia untuk mengambil kamar di dalam saja.”

“Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?” Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan... seketika keempat kaki meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!

Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya. “Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!”

Gak Bun Beng melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!

Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng. “Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?”

Serta merta kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang, maka dia pun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.

“Plakkk!”

Pada saat itu kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka dia pun menyambut dengan tangan kanannya.

“Plakk!”

Dua orang kakek ini terkejut dan berseru, “Aughhh...!” dan muka mereka menjadi pucat.

Tentu saja kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo.

Kedua kakek kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau si baju tebal itu seorang ahli tnaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sinkang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!

“Ouhhhh...!” Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh kepanasan.

Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak mempunyai niat membunuh orang, dan lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini digunakan oleh kakek kembar itu untuk segera menarik tangan masing-masing, kemudian melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!

Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya. Biar pun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di depan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main! Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti!

Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.

Pendekar ini berusaha mengelak, bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sinkang. Namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.

Pada saat itu Syanti Dewi telah meloncat masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia lalu menjerit.

Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang wanita. “Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?”

“Sing-sing...!” Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.

“Trang-trang...!”

Dua batang pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan dari kedua orang kakek kembar.

“Hayaaaa...!” Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan di mana mereka disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.

Sementara itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh dua kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar kedua kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apa lagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.

“Paman, kau... terluka...” Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.

“Dewi... cepat... cepat bawa aku pergi... jangan sampai dia melihatku...!”

Syanti Dewi tadi telah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya puteri itu, walau pun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?

“Dewi, cepat... aku tak tahan lagi...” Bun Beng berbisik. “Ke sana... melalui jendela...”

Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguh pun kedua orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.

“Gak-twako...!” Seruan lirih ini terdengar di antara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang.

Akan tetapi Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak mempedulikan bahwa tenaganya sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh pingsan di tempat gelap itu!

“Paman...! Paman...!” Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak bergerak.

Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Di antara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biar pun laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.

Karena perhatiannya tertarik, apa lagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.

“Mereka lari!”

“Kejar...!”

Barulah Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar dua orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk cepat mencari orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.

Milana termenung mendengar keterangan pelayan. Melihat wajahnya, apa lagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Ke mana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu bukan hal penting, hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.

Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.

Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apa lagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi.

Tentu saja dia terkejut melihat obor-obor di tangan para prajurit itu. Dilihatnya bahwa di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.

Sambil memangku kepala penolongnya, dia membasahi sapu tangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya. “Paman Gak... jangan kau mati... jangan tinggalkan aku sendiri, paman...!”

Akan tetapi karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia menangis tanpa suara. Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.

Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang dianggapnya kejam!

Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis dengan putus harapan. Didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.

Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik ke kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di situ. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.

“Dewi...!” Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.

Biar pun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.

“Paman ! Aihh, paman... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahhh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam ini melihat paman hanya diam tak pernah bergerak...”

Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam. “Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku... aku tak sadarkan diri?”

Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.

“Dan selama ini engkau... engkau telah memaksa diri melarikan aku ke sini... dan... dan merawatku...?” Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.

Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih, “Aihhh, paman Gak. Bagai mana aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan ketika pagi tadi melihat engkau seperti... seperti mati. Aku takut sekali...”

Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Dewi... kau... kau seorang... anak yang baik sekali.”

Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi. “Paman, engkau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Sekarang aku akan mencari buah-buahan untukmu.”

Namun Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu. “Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?”

Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.

“Dan pernah minum?”

Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.

Bun Beng menghela napas. “Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati sangat mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara bagai manakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?”

Wajah yang agak pucat itu sekarang menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.

“Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin dilihat... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar pula dia mengenali dan memanggil paman malam itu. Mengapa, paman?”

Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala. “Aku... aku tidak kuat menghadapinya... aku... aku... ahhhh, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh.”

Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk dapat menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang sangat muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih. “Paman Gak, sedemikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?”

Bun Beng tak menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya. Dia kemudian berkata, “Dewi, kita harus segera kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkanmu sampai ke luar pintu gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakanlah riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu.”

“Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu, paman.”

“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya.”

“Kalau begitu aku pun tidak sudi menghadapnya!” Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia marah-marah.

Bun Beng mengangkat muka memandang. “Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?”

“Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Lebih baik aku... mati di sini...”

Bun Beng memegang tangan dara itu. “Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapa pun yang berani mati memaksamu.”

Wajah yang jelita itu berseri. “Baik, paman. Ke mana pun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah...”

Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup di antara semak-semak itu mati seketika. “Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah.”

Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Dan benar saja, di sana ada seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya. Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali, sungguh pun tubuhnya masih terasa amat lelah.

Tetapi ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana, ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya.

Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Walau pun dara ini tidak pernah menyatakan dengan mulut, biar pun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi Bun Beng sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya.

Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapa pun juga, dia takkan menyeret dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri saja.

Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!

Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.

********************

Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utara untuk menemui Jenderal Kao Liang, dan marilah kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong oleh Tek Hoat dari bahaya tenggelam, kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran Liong Khi Ong hingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang merencanakan pemberontakan.

Masih untung bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andai kata dia tidak bertemu dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda itu tak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat tertutup.

Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang nelayan.

Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak diketahui ke mana perginya. Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat kepada Tek Hoat. Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak! Betapa rendah dan hina!

Dan pemuda itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu di waktu dia mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.

Selama dalam perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong.

“Mengapa sri baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud memberontak?”

Souw Kee It menarik napas panjang. “Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata rakyat. Apa lagi karena niat pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap sendiri.”

Ceng Ceng bersungut-sungut. “Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin merajalela.”

“Demikian pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu.”

“Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan bahaya!” Berkata demikian Ceng Ceng jadi teringat kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu.

Souw Kee It mengangguk. “Memang aku pun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang belum kami kenal, dan agaknya telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong.”

“Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata keranjang dan jahat lagi?” Ceng Ceng teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di perahu.

“Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan kebaikan hati kaisar sehingga biar pun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita.”

“Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi kepentingan kerajaan.”

“Memang tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apa lagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan ini pun yang hancur hatinya adalah Pangeran Yung Hwa.”

“Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?”

“Dia juga putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun. Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Namun, permintaannya ini ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong.”

“Si tua bangka!” Ceng Ceng mengomel.

“Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana.”

“Lolos?”

“Ya, patah hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda...”

Ceng Ceng terdiam, dia merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.

Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Oleh karena Ceng Ceng menyamar sebagai pria berkumis, maka biar pun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari, namun hasilnya sia-sia. Dan di sepanjang perjalanan itu, biar pun ada banyak mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa ‘pemuda ganteng berkumis’ itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari.

Tentu saja Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dia menganggap gadis itu merupakan orang penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya dapat menyumpah-nyumpah....

Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara. “Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao,” kata kata pegawal itu. “Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu.”

Ceng Ceng merasa girang sekali. Dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya ‘kumis’ yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.

“Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini.”

“Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?”

“Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang.”

Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan di tempat ini.

“Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi.”

“Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?” tanya Ceng Ceng terheran.

Souw Kee It tersenyum. “Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekali pun, mau mencuri kuda.”

“Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?”

“Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda.”

Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlarian datang menyambut Ceng Ceng.

“Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!” kata seorang di antara mereka.

“Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!” kata orang kedua.

“Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,” kata orang ketiga.

Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!”

“Ha-ha-ha, pintar sekali!” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira.

Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. “Hekkk... hekkk... mau mencekik malah tercekik... mampus..., kena batunya sekarang...”

“Bu-te, jangan kurang ajar...!” Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih.

Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.

“Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikit pun juga!”

Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga ‘pasaran’. Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mungkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.

“Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan...”

“Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...”

“Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?”

Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.

Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, lalu dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.

Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.

Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.

“Plakk...! Krekk...! Aduhhh...!” laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya, sedangkan pisaunya terlempar entah ke mana.

Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar tubuh, dan sekali dia menampar, pergelangan tangan laki-laki kurus yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.

“Ampunkan saya... anak-anak saya kelaparan...” Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.

Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu. “Ambillah dan pergilah!”

Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.

“Wah, kiranya seorang yang lihai!” Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.

“Dia tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya,” kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.

Kian Bu bersungut-sungut kecewa. Apa lagi ketika melihat ada seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.

“Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?”

“Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”

“Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal.”

“Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?”

“Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?”

“Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apa lagi kalau kita sudah tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya.”

“Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!”

“Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggar, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi.”

“Konyol!” Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran.

Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia ‘sopan’ ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.

Kini darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, tetapi menghadapi penghalang yang besar sekali dan dirasakannya amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguh pun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biar pun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.

Maka, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, tetapi dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!

“Siapakah mereka...?” Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.

“Hi-hik-hik, pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.

“Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati.”

“Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek.”

“Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini.”

“Ihhh...!” Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.

“Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona.” Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. “Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara.”

“Habis, apa yang kini hendak kau lakukan, Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius.

Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, kemudian berkata, “Tenang, tidak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik...”

Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa keempat orang ini memang sengaja menunggu dan menghadang mereka di tempat ini!

“Lopek, hajar saja mereka!” Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.

Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.

“Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.

Ceng Ceng mengangguk. Dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biar pun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.

“Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan apakah?” Souw Kee It lantas bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.

Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.

“Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?”

“Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!”

Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itu pun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.

“Pemberontak hina dina!” bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang.

Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka.

Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan menerjang maju, yang langsung disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka!

Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, sehingga dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.

“Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!” bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan kalau mereka datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.

“Baik, Lopek!” Ceng Ceng memang tadinya ingin mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia lalu memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!

Souw Kee It juga telah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya bergulung-gulung sinarnya, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!

“Haiiitttttt...!” Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik. Pisaunya menyambar dan berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.

“Aku mencari bantuan...!” Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.

“Lari ke mana?” Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.

“Augghhh...!” Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya.

Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng telah menendang tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.

Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It, “Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”

“Jika begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”

Souw Kee It menggelengkan kepala. “Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”

Ceng Ceng mengangguk. “Baik, Lopek.”

Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu.”

Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.

“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”

Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Ada pun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan oleh tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.

Memang daerah yang merupakan front kedua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.

Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat di antara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu prajurit di tapal batas utara.

Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh dari pada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!

Ambisi ini yang lalu menyeretnya untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biar pun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!

Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi.

Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun dan diatur demi mencapai tujuan!

Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perbµatan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita.

Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apa pun, dengan judi, dengan korupsi, dengan menyuap, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yaitu mencari keuntungan! Lebih hebat lagi adalah, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!

Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Jika tidak bercita-cita, tak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan?

Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!

Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biar pun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Dari pada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita
.

Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!

Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!

Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.

“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”

“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,” kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, “karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidaklah demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan sebagai bawahannya Ciangkun tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya.”

“Itulah yang memusingkan kepalaku!” Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi dari pada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”

“Bukankah Jenderal Kao gemar sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?” berkata seorang di antara utusan Pangeran Liong. “Bagaimana kalau digunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?”

Kim Bouw Sin mengangguk. “Memang ada rencana itu, tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak...”

Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir. “Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu pasti dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”

Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah. Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar!

Demikianlah keadaan batin orang yang telah diracuni oleh cita-cita. Demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir mau pun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?

********************

“Berhenti!” Tiba-tiba bermunculan prajurit-prajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang prajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya.

Diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi. Mudah diduga bahwa prajurit-prajurit ini merupakan anggota pasukan pilihan yang kuat. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para prajurit Jenderal Kao ini.

“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?” teriaknya.

Seorang di antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring, “Nona, kau sudah melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”

Ceng Ceng tersenyum. “Aihhh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”

“Terpaksa kau harus kami tangkap dan akan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”

“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”

Para prajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.

“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” kata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.

“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”

Merahlah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya. “Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.

Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para prajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!

Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka. Bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para prajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.

Ceng Ceng menggapai kepada para prajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!”

Tentu saja para prajurit menjadi marah dan serentak bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak, “Tahan!”

Serentak para prajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata, “Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?”

Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata, “Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...”

Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala. “Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapa pun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”

“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”

“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”

“Cobalah!”

Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu. “Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”

Para prajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab, “Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”

“Heiiiiitttt!” Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.

“Yaahhh!” Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak kanan.

“Plakkk!”

Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yang berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis ini memang berilmu tinggi sehinga dia berani berlagak seperti itu. Maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras kini mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.

Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan ginkang-nya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.

“Plak! Plak!”

Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para prajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras, “Tahan...!”

Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak marah. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata, “Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya.”

Komandan itu mengerutkan alis. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.

“Nona, terpaksa kami hanya bisa menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”

Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata, “Apakah engkau masih mencurigai aku?”

Komandan itu segera memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para prajuritnya terkejut dan biar pun mereka belum mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.

“Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,” kata komandan itu.

“Aihhh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang engkau antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”

“Baik, Nona.”

Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri kemudian mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apa bila tidak diantarkan oleh komandan itu.

Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apa lagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.

“Aihhh, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona mau menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silakan duduk di ruang dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.

Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya. “Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor mereka di daerah perbatasan ini.”

Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk. “Ha-ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!”

Kembali dia tertawa bangga, lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”

“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya dari pada yang Tai-ciangkun kira.” Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”

“Ehhh...?!” Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.

Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang kini entah berada di mana, akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.

Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja. “Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding secara langsung dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”

Pada saat itu pula seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”

“Ah, dia datang? Suruh cepat masuk!” kata jenderal itu.

Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena dia tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya, “Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?”

Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa. “Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”

“Hemmm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin sendiri? Kita harus segera mengadakan pembersihan, jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.

Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata, “Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”

“Hemm... berita apakah yang begitu penting?”

“Para peyelidik kami mendapat keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan pemberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak.”

Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja. “Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”

Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata, “Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”

“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?”

“Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir.”

“Hemmm, di tempat terpencil dan mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri.”

“Kalau begitu baik sekali. Saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.

Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.

Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke kanan kiri.

Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apa lagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di mana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ.

Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biar pun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.

“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.

“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan di sini,” kata orang kedua.

“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua telah berjalan sesuai rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan di sana.”

Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun!

Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tidak mungkin dapat dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah cepat melapor kepada Jenderal Kao yang telah pergi.

Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.

Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.

Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah sampai di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.

Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak ada seorang pun manusia di sekitar daerah yang amat sunyi itu. Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?

“Mari coba kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.

Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda. “Jangan mendekati sumur itu...!”

Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut. Selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya. Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya.

Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu.

Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!

Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.

Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.

Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya. Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biar pun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!

Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.

“Haiiiiittttt...!” Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat.

Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu lalu melompat mundur dan kesempatan ini digunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.

Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa, “Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andai kata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa, benar-benar merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”

Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.

“Hyaaaattt...! Ceppp...! Desss...!”

Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkis hujan golok dan tombak, Ceng Ceng masih sempat menjawab, “Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak. Agaknya dia yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”

“Prakkk! Desss!” Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.

“Hemmm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”

Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biar pun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu. Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan gigih, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar