Kisah Sepasang Rajawali Jilid 16-20

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 16-20. Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. “Engkau hebat... wah, engkau hebat...!
Anonim
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. “Engkau hebat... wah, engkau hebat...! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari klta berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”

Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Ceng Ceng bersama Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya ini telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!

Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biar pun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.

Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah, datangnya dari arah selatan. Namun Ceng Ceng tak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!

“Heiiiiittt...!”

Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!

Ceng Ceng berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, lalu kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya sehingga terpental keluar dari mulut sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!

“Nona Ceng Ceng...!” Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.

“Keparat, kalian telah membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!”

Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak bagaikan seekor singa terluka, kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa kasih kepada dara remaja itu.

Tiada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya.

Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu menggunakan siasat dalam perang, tetapi seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!

Biar pun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.

Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, lalu menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti langsung roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.

Melihat tiba-tiba muncul seorang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pemberontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka. Tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban amukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.

Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tidak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan penuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.

Ketika melihat siapa yang telah menolongnya, Jenderal Kao menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng. “Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah aku jumpai di barat?”

Gak Bun Beng menjura dan berkata, “Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan secara kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu.”

“Terima kasih... terima kasih, engkau memang gagah perkasa...” Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

“Aihhhh... sungguh sangat kasihan... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang, dia seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan...” Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!

Bun Beng mengerutkan alisnya. “Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?”

“Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...”

Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, “Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!”

Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.

“Nona itu bernama Lu Ceng...”

Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. “Lu Ceng...? Candra Dewi...? Dan... dia... dia... di manakah dia...?”

Jenderal Kao semakin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab, “Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini.”

Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu. Bun Beng juga terkejut karena dia telah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya, “Gak-enghiong, apakah artinya ini?”

“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak.”

“Ahhh...!” Jenderal Kao terkejut bukan main.

Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan saat diboyong. Kiranya puteri ini masih dalam keadaan selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.

“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke arah sumur itu.

“Baru saja,” jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.

“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!” Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol. Mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka. Gak Bun Beng lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali lagi ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.

“Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya.

“Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya.”

“Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi.”

“Betapa pun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”

“Paman... Paman Gak... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?”

“Mudah-mudahan saja.”

“Tapi... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...” puteri itu bergidik ngeri. “Kalau berbahaya... harap jangan turun ke sana...” Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.

Gak Bun Beng tersenyum. “Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andai kata aku terancam bahaya, pasti masih dapat ditolong.”

Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.

Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang. Dua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.

“Aahhhhh...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget.

Wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.

Biar pun sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur, tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya. Dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!

“Paman...!” Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.

“Harap paduka mundur. Dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!”

Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sinkang-nya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,

“Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.” Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, “Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”

Jenderal itu mengangguk-angguk. “Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu... kasihan dia...”

“Dia... dia... telah mati...” Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur.

Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang tadinya datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.

Jenderal Kao mengepal tinjunya. “Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!”

Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.....


********************


Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguh pun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.

Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi dengan susah payah, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan Puteri Milana, kekasihnya yang kini telah menjadi isteri orang lain.

Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu, dan sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali!

Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya.

Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andai kata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, sudah tentu ia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.

“Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan... aku membuat kau menjadi sengsara saja...”

“Paman, jangan berkata demikian.”

“Betapa pun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi... ahhh, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditunda-tunda...”

“Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu...”

Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, keselamatan Syanti Dewi akan terancam karena dia harus hidup tanpa pengawal.

“Dewi, kau buatiah alat penyeret dari bambu... kita harus melanjutkan perjalanan...”

“Aduh, Paman... sakitmu semakin hari semakin bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan perjalanan ini.”

“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?”

Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena ingin memperoleh pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, sekarang harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan tandus dan merawat orang sakit. Dapat dibayangkan, betapa hebat penderitaannya.

Namun Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng dari pada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu jelas kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apa lagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan.

Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba di sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.

“Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!” dara itu berkata sambil berhenti.

“Hadapkan aku ke sana, Dewi.” Bun Beng berkata lirih.

Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata, “Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biar pun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah.”

Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!

Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak mempedulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang bertempur itu.

Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.

“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.” Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.

“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe.” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, berkata dengan sikap dan suara amat menghormat.

Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah ‘salah alamat’ dan mengira dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja ‘anak kecil’ itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa ‘anak kecil’ itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!

“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”

Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak yang bersifat sombong ini, Gak Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan.

Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kepada si kecil, “Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?”

“Ha-ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”

Tiga orang itu kelihatan marah, tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jeri menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata, “Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?”

Melihat sinar mata Bun Beng yang sangat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan menjadi ragu-ragu dan menjawab, “Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!” Sambil berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.

“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan suara halus, akan tetapi sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa, “seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan seseorang bukan diukur dari keberaniannya berkelahi, sebab sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka melanggar janji?”

Wajah si kecil itu sebentar pucat dan sebentar merah. Ranting yang di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan sesungguhnya dia marah sekali. Tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu tidak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata,

“Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu juga selihai mulutmu. Huhhh!” Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.

Gak Bun Beng menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya, “Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan, apakah sebenarnya yang telah terjadi di sini?”

Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka dia pun kemudian duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.

Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Namun karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah.

Akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih di satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai.

Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggota itu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tidak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!

Betapa pun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun kemudian.

Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!

“Dan hari pertandingan untuk tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri ceritanya. “Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin sekali mencapai kemenangan, kedua belah pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Pada tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tak dapat menandinginya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang!”

“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”

“Biar pun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami.”

Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.

“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu ternyata tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan darah.”

Tiga orang itu girang sekali. Biar pun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biar pun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi!

Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.

Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggota Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.

Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada setiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua belah pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan.

Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suheng-nya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata, “Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?”

Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek. “Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu.”

“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?”

“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!”

“Dan kami juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!”

Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggota Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang aturan jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.

“Pamanku itu bukanlah Sin-ciang Yok-kwi,” kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.

Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum. “Tentu saja bukan...” katanya karena dia pun sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di sana itu amat lihai.” Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.

Oleh karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya, “Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?”

Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu. “Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu.”

“Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?”

Pemuda itu mengangguk. “Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya.”

Percakapan itu terpaksa dihentikan karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan terhuyung-huyung, sudah naik ke atas Jembatan Angkasa.

“Paman...!” Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.

Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.

Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.

“Ha-ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago dari Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak itu menantang.

Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai, “Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ketiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!”

“Apa katamu...?” ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.

“Locianpwe... apa... apa artinya ini...?” Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.

“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!” Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!

“Hmm...” Pendekar ini menggeram. Biar pun tubuhnya terasa lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali dia mengerahkan sinkang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah sinar pedang yang berkelebat.

“Krekkkk! Aughhhh...!”

Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!

“Bawa dia pergi...!” Bun Beng berseru ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat lari mendatangi, dan dua orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut. “Sebetulnya, apa kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.

“Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini pihak Pek-san-pai yang menang?” tanya ketua Pek-san-pai penuh harap.

Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek. “Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sejak tadi sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya.”

“Ahhh! Tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali.

Bun Beng memperlebar senyumnya. “Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan.”

Kedua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri untuk masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!

“Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?” Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.

“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...,” kata ketua Peksan-pai.

“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!”

“Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.

“Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama.”

Dua orang ketua itu telah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sinkang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri. Biar pun kini dia tidak mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, lama kelamaan Bun Beng merasa betapa kepalanya pening.

Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!

“Kalian manusia-manusia berhati kejam...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata kalian?”

Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan bingung.

“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan mengorbankan dirinya agar kalian menang dan bisa berdamai. Kalau tidak, apakah kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapi dia? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.

Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.

“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini...,” kata ketua Pek-san-pai.

“Kami memang bodoh dan locianpwe ini telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya.”

Syanti Dewi bangkit berdiri. “Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?”

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.

“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok.”

Kembali kedua orang ketua itu tertegun. “Jadi... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?”

“Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”

Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru.

“Tahan dulu, Nona!”

“Ada apa lagi?”

“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe ini dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau, bahkan amat berbahaya bagi keselamatanmu.”

“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!” Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, dia tidak mempedulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu.

Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali. Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.

Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh.

Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan. Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.

Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapi ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol. Tetapi apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar pun dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti). Sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, tapi tangannya dianggap sakti.

Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diobatinya biar pun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!

Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.

Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar kuil, mereka berhenti.

Biar pun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.

Seorang di antara mereka, yang masih berusia muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.

“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri...” Orang muda itu berkata sambil berlutut.

Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya. “Huh, kau habis berkelahi?” tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.

“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya...”

“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”

“Harap Locianpwe mengasihi saya... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...”

“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya hingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.

“Dukkkk...! Uakkhh...!” Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.

“Locianpwe...! Aihhh... dadaku... sudah tidak terasa sakit lagi...!” 

Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biar pun bibirnya masih berlepotan darah.

“Pergilah!” Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.

Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat!

Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jeri dan agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi.

Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu terus mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Tapi suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan sang suami sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kwi membuka matanya memandang.

“Ada apa kalian ini?” tegurnya.

Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata, “Mohon maaf, Locianpwe... saya... ehhh, kami... mohon obat kepada Locianpwe... agar kami berdua... dapat dikurniai anak...”

Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu, “Benarkah engkau ingin mempunyai anak?”

Dengan muka berubah merah sekali dan tanpa berani mengangkat mukanya, wanita itu menjawab lirih, “Benar... Locianpwe...”

Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan. “Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”

Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap, “Akan tetapi... Locianpwe, ini... ini adalah...”

“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.

Si isteri lalu memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ. “Hayo cepat pergi...” bisiknya.

Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok. “Kini kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.

“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya membantah.

“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain...!”

“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?”

Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkannya dengan cara pukulan sinkang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.

Ada pun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur, melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami yang gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya.

Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan agak kurang ajar, dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti dapat memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!

Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.

“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil berlutut.

Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak, “Apa kau ingin membunuh suamimu?”

Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya. “Apa... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya dengan gagap, sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.

“Kalau kau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, kalian pergilah!”

Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Mereka pun berpikir, itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali.....

Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak, “Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kau cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”

Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biar pun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapa pun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?

“Hayo pergi...!” Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.

“Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit. Kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apa lagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya.”

Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai orang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukanlah wanita sembarangan. Namun mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak menghina dan merendahkannya?

“Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biar pun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apa pun, selama dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!” Suara kakek itu kereng dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu.

Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus. Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa. Maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini agar pergi mengobati Gak Bun Beng.

“Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?”

Kakek itu makin marah. “Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa pedulimu dengan itu semua?”

Diam-diam, biar pun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu.

Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata, “Locianpwe, harap jangan marah dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai dari pada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai.”

“Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!”

Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapa pun juga, dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan,

“Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai mau pun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang di antara mereka. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian.”

“Apa...?” Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. “Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!”

Biar pun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah. “Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan kedua belah pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?”

“Bodoh...! Bodoh...! Mengapa aku sampai susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan mau pun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?”

Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah. Syanti dewi kembali tersenyum. “Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, namun Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku pasti akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe.”

“Omong kosong!”

“Marilah kita buktikan saja! Mari, jikalau Locianpwe berani ikut bersama saya, dan coba Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku akan mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa di antara kalian yang lebih sakti!”

Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi. “Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga.”

“Boleh, itu taruhanku!” jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.

Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada di situ menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.

“Paman...!” Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.

“Dewi, apa yang kau lakukan? Ke mana kau pergi...?”

“Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang.”

Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu, sebab dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu.

Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata, “Keponakanmu ini menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kemudian kau mengobati aku, kalau kau mampu!”

Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni. Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.

“Ahhhh...!” Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun Beng.

Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya. Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.

Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biar pun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!

“Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali pun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata, “Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!” Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguh pun tidak sukar untuk dicari. Di antara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!

“Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!” kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa mempedulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.

Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak mempedulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.

Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali!

Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah kedua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.

“Paman, kau sudah sembuh...!” Syanti Dewi langsung berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.

“Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”

“Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak.”

“Ahhh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.

“Ah, Taihiap... justru kamilah yang harusnya berterima kasih,” dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng.

Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu. “Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,” kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan.”

Keduanya menjura. “Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi orang-orang baik.”

Gak Bun Beng menghela napas panjang. “Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya.”

Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya. Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, tetapi dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.

Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik!

Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukan pun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan. Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalau pun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka.

Kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir mau pun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu. Kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang dipamrihkan tadi.

Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!

Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Dari pada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidak baikan kita, akan kekotoran kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala ketidak baikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidak baikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap
.

“Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?” Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.

“Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia ke sini untuk mengobati Paman.”

“Aihhh, kalau begitu aku harus mengunjungi kakek itu dan menghaturkan terima kasih kepadanya.” Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.

“Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!” Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan ‘diadu’ dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang digunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.

Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng jadi terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Kemudian dia memegang tangan puteri itu dan berkata, “Jangan khawatir, kita tetap harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!”

Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata, “Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman.”

“Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, namun aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya.”

Syanti Dewi terkejut. “Begitukah? Ahhh, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!”

Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!

“Syanti Dewi, engkau baik sekali. Selama ini... ahhh, takkan terlupakan selama hidupku, kau sudah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku...”

“Sshhhh..., cukuplah, Paman. Di antara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang telah kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau kita tidak saling bantu, habis bagaimana? Pula... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman.”

Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!

“Kau kenapa, Paman?” Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan kening.

Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah. “Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi.”

Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk di atas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.

“Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?”

“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Sebenarnya sejak dahulu pun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti Dewi.

“Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heiiii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Apakah benar kau pandai mengobati?”

Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia berkata, “Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu.”

Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada. “Nah, kau boleh memeriksa!”

Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mukjijat dalam dada kakek itu yang sangat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.

“Tidak salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan saja!”

“Engkau hebat,” Yok-kwi berkata. “Biar pun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sinkang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun, dan lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit dalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sinkang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena pengerahan sinkang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm... kau sudah menemukan penyakitku, biar pun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andai kata penyakit ini akan mencabut nyawaku.”

“Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu masih dapat diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu.”

“Tapi... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat...”

“Akan kucoba. Duduklah bersila dan marilah kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar.”

Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya, “Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?”

Gak Bun Beng tersenyum den menggeleng kepala. “Bukan dari partai mana pun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan.”

Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu. Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena biar pun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sinkang itu sangat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.

Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap! Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.

Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sinkang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali.

Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sinkang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sinkang tadi menjadi Swat-im Sinkang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sinkang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.

Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah!

Dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mukjijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu! Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sinkang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sinkang-nya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.

Uap menghitam yang membubung keluar itu semakin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.

Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia hingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil mulutnya menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, sekarang mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!

Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah. Oleh karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu langsung roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah!

Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya sudah kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.

“Manusia keji...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng.

Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.

“Prakkk!” Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.

“Ohhh... jangan...!” Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

“Singgg...!”

Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!

“Takkk! Aughhh...!”

Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya. Dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.

Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sinkang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mukjijat itu dan terlempar ke belakang!

Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sinkang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi.

Hawa sinkang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sinkang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan hanya menancap setengahnya saja. Jadi Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum merah, melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.

Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak, “Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?”

Tangannya bergerak dan jarum merah itu menyambar. Lo-thong lalu memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!

“Paman...!” Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang.

Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.

“Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?”

“Dia layak dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.

“Kenapa?”

“Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggota pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw.”

“Hemm...!” Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi, melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.

Yok-kwi menghampirinya dan menjura. “Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Jika sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu dari Pulau Es yang terkenal.”

Gak Bun Beng tersenyum. “Beliau adalah guruku.”

Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang ke sini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi kepada Puteri Milana...”

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum dia berkata, “Budi apakah yang kau terima dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?”

Yok-kwi menjura lagi. “Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau...”

“Tentu saja, dia terhitung sumoi-ku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima darinya?”

“Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, yaitu para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Sekarang, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan adanya usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan di sini.”

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. “Aihhh, kiranya engkau juga seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwan).”

“Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba di tempat sejauh ini?”

“Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini...” Gak Bun Beng ragu-ragu.

Yok-kwi tertawa. “Ha-ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!”

Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu. “Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?”

“Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul di sini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja menduga-duga.”

“Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”

Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi. “Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurang ajaran saya.”

Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu. “Aihhh, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang harus minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe.”

Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya, “Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan.”

“Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh.”

Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.

“Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun Beng.

“Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya masih akan tetap tinggal di sini dan siap setiap saat untuk membantu, biar pun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan.”

Mereka lalu berpisah, dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.

“Aahhh... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ahhh, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Semenjak sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan.”

Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut di mana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak.

Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak terlambat sehingga biar pun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao, namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biar pun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.

Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.

Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao, “Jika Goanswe tidak berkeberatan, ijinkan saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini.”

Kao Liang memandang dengan wajah berseri. “Tepat sekali. Aku memang sudah punya rencana demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada di antara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja.”

Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar serta dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.


********************

Bagaimanakah keadaan Ceng Ceng? Benarkah seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi bahwa dara perkasa itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun dan sukar diukur dalamnya itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya kita mengikuti semua pengalamannya.

Dara perkasa itu terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao Liang dengan menendang tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang sumur, dia sendiri terdorong dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah lagi! Dia merasa ngeri dan ketika tubuhnya melewati bagian yang ada gasnya, dia tak dapat bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian itu, tentu dia akan tewas oleh gas beracun.

Akan tetapi, ternyata bahwa gas itu keluar dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka setelah tubuhnya yang melayang ke bawah itu melewati sumber gas, di sebelah bawah tidak ada gas beracun ini dan dia selamat, biar pun masih dalam keadaan pingsan dan masih terus melayang ke bawah, ke dalam sumur yang seperti tidak ada dasarnya itu.

Dalam keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu tubuhnya akan hancur lebur kalau terbanting ke dasar sumur itu. Akan tetapi, tidak jauh dari dasar sumur yang merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh Ceng Ceng terhenti dan tertahan oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap oleh seekor ular besar! Ular ini besarnya melebihi paha seorang dewasa dan panjangnya lima meter lebih!

Dengan ekornya, ular itu telah ‘menangkap’ tubuh Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu dengan ekornya sehingga Ceng Ceng tidak sampai terbanting mati di dasar sumur. Memang sudah menjadi kebiasaan ular besar ini untuk menangkap binatang apa saja yang kebetulan jatuh dari atas, yang kemudian menjadi mangsanya. Kini, memperoleh korban seorang manusia, ular itu mulai mendekatkan kepalanya kepada Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu dinding yang menonjol. Matanya berkilat-kilat, lidahnya keluar masuk dan agaknya dia sudah mengilar sekali melihat calon mangsanya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis tajam dari bawah, suara mendesis yang membuat ular itu tampak terkejut dan menoleh ke bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis penuh kemarahan dari mulut seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai sumur itu. Mula-mula ular besar itu meragu, akan tetapi kemudian dengan perlahan dia merayap turun setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang masih pingsan, membawa gadis ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu.

Setelah tiba di depannya, nenek itu berkata, “Lepaskan dia!”

Ular itu melepaskan gigitannya sehingga tubuh Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu, kemudian mengangkat kepalanya dan mendesis-desis seperti ragu-ragu.

“Pergi...!” Nenek itu menjerit lagi, tangan kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor anjing jinak yang dibentak majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara berkokok lalu merayap pergi, naik lagi ke atas.

Ceng Ceng mengeluh, membuka matanya dan cepat meloncat bangun, berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Cahaya dari atas mendatangkan penerangan yang cukup dan ketika dia menengok ke atas, dia seperti melihat benda bulat yang bercahaya di dalam tempat gelap ini. Kemudian ia teringat dan tahu bahwa benda bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang demikian tingginya seperti sebuah matahari yang aneh.

Matanya mulai terbiasa dengan keadaan remang-remang itu dan dia menggigil teringat betapa tubuhnya terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi mengapa dia tidak mati? Mengapa tubuhnya tidak hancur, bahkan luka pun tidak, hanya terasa agak sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat mundur ketika melihat gerakan di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking ngerinya. Tadi dia tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap dan di lantai dasar sumur itu yang kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini baru terlihat olehnya bahwa di depannya, duduk di atas lantai, terdapat seorang manusia yang keadaannya amat aneh dan mengerikan!

Ceng Ceng mengerahkan kekuatan pandang matanya agar dapat melihat lebih jelas lagi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena ia tidak tahu apakah makhluk yang berada di depannya ini. Manusia ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus, hanya tengkorak terbungkus kulit, rambutnya panjang riap-riapan, tubuhnya kurus kering terbungkus kain lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap seperti mata kucing dan mulut yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat mengerikan hati Ceng Ceng, apa lagi ketika dia melihat betapa nenek itu merangkak mendekatinya dengan menggunakan kedua siku lengannya, mengesot karena kedua kaki itu ternyata lumpuh. Makhluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau setan dari pada seorang manusia.

“Heh-heh-heh, kau cantik, cantik dan muda...!” Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi mengejutkan hati dan Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.

“Kau... siapakah...?” Walau pun tergagap, akhirnya dara itu dapat juga mengeluarkan suara melalui kerongkongannya yang terasa kering. “Dan... bagaimanakah aku dapat... selamat tiba di sini...?” Dia memandang ke atas, ke arah ‘matahari’ yang tinggi itu dan bergidik. Tidak mungkin manusia dapat hidup setelah terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.

“Heh-heh, kalau tidak ada Siauw-liong (Naga Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di lantai batu ini, heh-heh!” Nenek itu berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya ke atas.

Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat ke belakang ketika dia melihat ular besar yang tadinya tak tampak olehnya itu, melingkar di dinding sumur dan memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat. Seekor ular yang besar dan panjang sekali, yang disebut Naga Kecil oleh nenek itu! Bagaimana ular besar itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit, tentu pernah dililit oleh tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.

“Dan sekarang engkau tentu sudah aman di dalam perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok Mo-li, heh-heh-heh!”

“Ban-tok Mo-li...?” Ceng Ceng bertanya heran. Dia memang tidak pernah mendengar nama julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).

“Ya, Ban-tok Mo-li Ciang Si, aku sendiri, heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika tubuhmu melayang turun, sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku telah mencegahnya.”

Sekarang mengertilah Ceng Ceng apa yang telah terjadi dengan dirinya. Betapa pun menjijikkan dan menakutkan keadaannya, dia menduga bahwa nenek yang bernama Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang yang memiliki kepandaian amat hebat dan tadi telah menolongnya, maka dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

“Banyak terima kasih teecu haturkan kepada Locianpwe yang telah menolong teecu dari cengkeraman maut.”

“He-he-heh-heh, aku senang menolongmu, aku senang bertemu denganmu. Siapakah namamu?”

“Nama teecu (murid) adalah Lu Ceng.”

“Engkau dapat tiba di sini dengan selamat, ini namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke tempat tinggalku. Kau lihat, aku tidak bisa jalan. Maukah engkau menggendongku kalau memang benar kau berterima kasih kepadaku?”

Ceng Ceng bergidik, akan tetapi dia menekan perasaannya dan mengangguk. Namun ketika dia hendak membungkuk untuk mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu, tiba-tiba secepat kilat tubuh itu melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di punggungnya! Dia terkejut bukan main menyaksikan kelincahan luar biasa ini.

“Heh-heh, kau gendonglah aku lewat terowongan itu.” Nenek itu menuding ke depan.

Ceng Ceng lalu menggendong nenek itu melalui terowongan yang gelap sekali. Kalau tak ada nenek itu yang memberi petunjuk, tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya nenek itu sudah hafal benar akan jalan terowongan gelap ini. Dia selalu mengingatkan Ceng Ceng, membelok ke kiri, ke kanan, merendahkan tubuh agar tidak terbentur kepalanya dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang berliku-liku dan gelap itu sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya terang dan keluarlah Ceng Ceng dari terowongan, memasuki sebuah goa yang menghadapi jurang amat curamnya.

“Heh-heh-heh-heh, di goa sinilah aku tinggal,” kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung Ceng Ceng.

Dara ini melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan goa, menengok ke bawah dan bergidik ngeri. Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak nampak dasarnya karena terhalang oleh uap halimun saking dalamnya! Menengok ke kanan kiri goa, juga merupakan dinding batu yang curam dan tegak lurus, licin dan tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia benar-benar telah terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya dengan dunia ramai!

“Heh-heh-heh, kau mencari jalan keluar? Tidak mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh tahun lebih berada di sini, tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya hanyalah melalui mulut sumur itu, dan tidak mungkin ada manusia dapat naik melalui jalan itu karena dinding sumur itu banyak mengeluarkan gas beracun. Dan menuruni tebing-tebing jurang di sini, sama saja dengan membunuh diri. Engkau sudah berjodoh denganku untuk menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis.”

“Tidak! Tidak mungkin...!” Ceng Ceng menjerit. “Harap Locianpwe turun, teecu hendak mencari jalan keluar.”

Melihat dara itu hendak menurunkannya, tiba-tiba nenek itu berkata, “Tidak, aku tidak mau turun lagi selamanya dari punggungmu, heh-heh-heh!”

Ceng Ceng menjadi terkejut sekali, terkejut dan marah. Kedua tangannya sudah hendak bergerak menangkap tubuh nenek itu dan memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.

“Jangan bergerak! Kalau bergerak, kepalamu akan kuhancurkan!” bentak nenek itu, suaranya mendesis-desis seperti ular marah. “Aku sudah terlalu lama hidup tanpa kaki, merayap seperti ular. Aku ingin hidup wajar, ingin melihat dunia ramai dan tak mungkin kulakukan tanpa kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan kedua kaki, kakimu, dan aku tidak akan melepaskannya lagi!”

“Locianpwe... gila...!” Ceng Ceng berseru, matanya terbelalak. Ngeri dia membayangkan bahwa untuk selamanya nenek itu tidak mau turun dari punggungnya!

“Heh-heh, aku ahli racun yang nomor satu di dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok (Selaksa Racun), dan memang aku mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia ini. Aku bisa menggunakan ilmuku untuk menanam tubuhku ini di punggungmu, melekat untuk selamanya dan kedua kakimu menjadi pengganti kedua kakiku yang lumpuh, ha-ha-ha!”

Bukan main ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang nenek gila, seorang nenek yang berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik mati dari pada harus hidup seperti itu, selamanya menggendong nenek ini, siang malam, di waktu dia makan, di waktu tidur, mandi dan lain-lain. Selamanya! Mana mungkin? Lebih baik mati!

Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan hidupnya, masih suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia mendekati tebing jurang, kemudian berkata, “Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu mari kita mampus bersama!”

“Heiii...! Apa... apa maksudmu...?” Nenek itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tertutup kabut tebal itu.

“Locianpwe lebih suka hidup, akan tetapi aku lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah, mungkin di bawah sana terdapat air yang akan menelan dan membuat kita mati tenggelam, mungkin juga batu-batu runcing tajam seperti pedang yang akan menerima tubuh kita sampai hancur berkeping-keping, atau batu keras yang menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari kita mampus bersama!”

“Heiii, jangan...! Apa kau gila...? Dua puluh tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku, masa sekarang akan kau akhiri begitu saja. Biarkan aku turun...!”

Akan tetapi kini Ceng Ceng menggunakan kedua tangannya memegang erat-erat dua kaki yang lumpuh itu. “Tidak, aku tidak akan menurunkanmu, aku akan mengajakmu mampus bersama, untuk menjadi temanku pergi ke neraka menerima siksaan di sana!”

“Lepaskan... aihhh... aku tidak mau mati... belum mau mati...!” Kini nenek itu merengek dan hampir menangis.

Ceng Ceng tersenyum geli. Biar pun dia telah terjebak ke tempat mengerikan itu, namun pada saat itu dia lupa akan kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan nenek yang seperti iblis ini.

“Aku hanya mau menurunkan Locianpwe dan tidak akan meloncat ke bawah kalau Locianpwe suka berjanji untuk mengangkat murid kepada teecu dan menurunkan semua ilmu kepandaian Locianpwe kepada teecu.”

“Baik, aku berjanji... lekas mundur jauhi tebing ini... hihhh...!”

Ceng Ceng melompat mundur, melepaskan kedua kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat turun. Mereka berhadapan dan kembali Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan tetapi juga kasihan menyaksikan nenek itu menelungkup seperti seekor kadal.

“Kau... kau bocah nakal dan cerdik, hi-hik! Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku memang membutuhkan teman di sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita tidak akan saling berpisah pula, Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku.”

Karena tidak ada pilihan lain dan agaknya dia harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini untuk dapat keluar, selain itu juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia kelak dapat mencari sendiri jalan keluar kalau nenek itu tidak mau membantunya, Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Teecu Lu Ceng menghaturkan terima kasih kepada Subo (Ibu Guru).”

“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu betapa beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tak tahu siapakah Ban-tok Mo-li Ciang Si yang kau angkat menjadi guru ini. Aku sendiri mungkin tidak terkenal, akan tetapi suheng-ku adalah seorang di antara tokoh-tokoh nomor satu dari Pulau Neraka. Suheng-ku Bu-tek Siauw-jin (Manusia Hina Tanpa Tanding) adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan dari Suheng itu aku memperoleh banyak ilmu mukjijat. Hi-hik, kau beruntung sekali.”

Mulai hari itu Ceng Ceng berdiam di tempat terasing ini bersama gurunya dan di dalam penyelidikannya, tempat itu benar-benar terputus dari dunia luar. Untung bahwa di dalam terowongan terdapat sumber air yang terus menetes dari dinding batu, dan untuk menyambung hidup, selama puluhan tahun gurunya hanya makan daun-daun dari tanaman yang merambat di tepi jurang di luar goa, jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tumbuhan yang terpendam di dalam tanah di goa dan di luar goa.

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya yang kadang-kadang makan cacing dan binatang dalam tanah lainnya. Dia merasa jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti gurunya, akhirnya dia berhasil juga menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan terbang di tempat tinggi itu.

Setelah berhari-hari tinggal dengan Ban-tok Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan gurunya. Ceng Ceng memperoleh kenyataan bahwa gurunya itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Tidak saja ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang ahli besar dalam soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh tahun, gurunya telah menguasai semua racun. Seluruh tubuh gurunya mengandung racun yang dapat digunakan untuk membunuh lawan. Dari tamparan tangannya, sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak bergigi lagi, sampai ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat membunuh lawan!

Biar pun pada waktu itu dia belum melihat kemungkinan untuk dapat bebas dari neraka itu, namun Ceng Ceng tidak putus asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam kedukaan atau keputus asaan yang menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa yakin bahwa pada suatu saat kalau ilmu kepandaiannya sudah tinggi, dia pasti akan dapat keluar dari tempat itu. Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira dan bahkan membuatnya makin tekun mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu.....

Pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis latihan pagi, Ceng Ceng memberanikan dirinya bertanya kepada gurunya, “Subo, bagaimanakah Subo sampai dapat berada di tempat ini, dan bagaimana pula Subo yang berilmu tinggi sampai dapat menderita penyakit lumpuh kedua kaki Subo?”

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada di situ, melihat kebersihan muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan ini dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan pakaiannya. Pakaiannya kini bersih, dicucikan oleh muridnya dan rambutnya pun bersih dan disanggul, tidak seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya kelihatan seperti kuntilanak. Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang pucat menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.

“Kalau yang mengajukan pertanyaan itu orang lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena pertanyaan itu mengingatkan aku akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi karena kau adalah muridku, sebaiknya kau tahu karena hanya engkaulah yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan penderitaanku ini kepada mereka itu.”

“Mereka siapakah, Subo? Dan apa yang mereka lakukan kepadamu?”

“Ahhh...” Nenek itu menarik napas panjang. “Mungkin hari ini atau besok mereka akan datang ke sini untuk menagih janji, mengambil kitab catatanku tentang racun...”

Ceng Ceng cepat menekan jantungnya yang berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka akan datang ke tempat itu? Hal ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk memasuki tempat ini dan berarti ada pula jalan keluarnya!

Biar pun dia tidak mengatakan sesuatu, gurunya dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya berkata, “Percuma saja, Lu Ceng. Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di sini dan apakah kau kira aku selama itu tidak berusaha menemukan jalan keluar itu? Akan tetapi aku tidak berhasil. Jalan rahasia itu hanyalah diketahui oleh mereka berdua, karena memang tempat ini adalah milik mereka, dulu adalah tempat pertapaan mereka.”

“Siapakah mereka?”

“Mereka adalah dua orang iblis berwajah manusia yang terkenal dengan julukan Siang Lo-mo (Sepasang Iblis Tua), dua orang kembar yang amat jahat.”

“Mengapa mereka menganiaya Subo?”

Nenek itu kembali menarik napas panjang. “Dua puluh tahun yang lalu mereka bertemu denganku dan hanya setelah mereka maju mengeroyok saja aku terpaksa harus kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi tentang racun, mereka memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang selaksa racun. Tentu aku tidak sudi, biar pun mereka memaksaku. Akan tetapi, mereka berdua amat keji, dengan marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku.”

“Aihhh...!” Ceng Ceng menjerit ngeri.

“Kemudian mereka membawa aku yang pingsan ke dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka mengancam akan datang membunuhku jika aku tak mau memenuhi permintaan mereka. Aku tetap menolak dan hingga kini mereka belum juga membunuhku. Karena sudah tahu bahwa tidak dapat keluar dari sini, aku memperdalam ilmuku tentang racun dan aku bersiap untuk membunuh mereka. Paling akhir mereka mengancam bahwa mereka akan datang untuk yang terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan racun, mereka tentu benar-benar akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu adalah hari ini atau besok pagi. Akan tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka dan mereka akan mampus, hi-hi-hi...!”

“Maksud Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat mengalahkan mereka?”

“Tidak, kalau melawan terang-terangan, tak mungkin dapat menangkan dua tua bangka kembar itu. Akan tetapi sudah bertahun-tahun aku merencanakan akal, mari kau lihat saja dan bantu aku membuat persiapan!”

Ceng Ceng mengikuti subo-nya memasuki goa dan sesampainya di mulut terowongan yang berada di sebelah dalam goa, nenek itu kemudian berhenti dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis dan diseling suara melengking.

“Subo memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?” bertanya Ceng Ceng yang sudah pernah mendengar subo-nya memanggil ular besar itu. Selama sebulan di tempat itu baru pagi hari ini dia merasakan ketegangan hebat setelah mendengar bahwa tempat itu akan kedatangan musuh yang lihai, bukan hanya tegang karena musuh itu melainkan karena harapannya bahwa dia akan dapat menemukan jalan keluar yang dirahasiakan oleh sepasang kakek iblis itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap dari dalam terowongan. Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan perut ular dengan kedua tangan. Dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular itu ke atas, ke arah batu menonjol di atas goa. Ular itu menggunakan ekornya melibat batu dan berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu.

Setelah melihat ular itu di tempat seperti yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan yang ternyata berisi bubuk berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang jalan terowongan di mulut goa sebelah dalam. Tidak ada tampak bekasnya, namun lantai yang ditaburi bubuk sambil mengesot mundur itu, mulai dari mulut terowongan sampai ke dalam sejauh tiga meter lebih telah terlapis dengan bubuk hitam.

“Ha-ha-ha, nanti kau akan melihat mereka bergelimpangan, Lu Ceng.” Nenek itu tertawa sambil mengantongi lagi kertas pembungkus racun hitam tadi.

“Apakah Subo pasti akan berhasil?” Ceng Ceng bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya betapa lihai kedua orang kakek itu.

“Hi-hi-hik, tentu saja! Racun itu tidak tampak sama sekali, tetapi sekali menyentuhnya, biar memakai sepatu sekali pun, yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andai kata kakek kembar iblis busuk itu mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang girang melihat kedatangan korban akan menyerang mereka. Serangan ini tentu akan membuat mereka meloncat mundur lagi dan mau tidak mau akan menginjak racun hitam. Heh-heh-heh!”

“Kalau gagal bagaimana, Subo?”

“Hemm, gagal? Aku sudah siap dengan jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar goa. Dan engkau selama ini sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir beracun, kau bantu aku menyerang dari samping kiri.”

“Baik, Subo.”

“Nah, kita siap sekarang.”

Nenek itu lalu mengesot ke sebelah kanan mulut goa, bersembunyi di balik batu besar. Ceng Ceng juga melompat ke samping kiri mulut goa, bersiap dengan pasir dan jarum merah beracun yang sudah dikantonginya. Jantungnya berdebar tegang. Yang menjadi perhatian sepenuhnya adalah kemungkinan baginya untuk menemukan jalan rahasia keluar dari tempat itu! Kalau selama sebulan ini dia kurang giat mencari jalan keluar adalah karena dia sudah putus harapan untuk dapat menemukan jalan keluar, karena dia tidak tahu bahwa memang terdapat jalan rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya, timbul semangatnya. Kalau orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia tidak?

Menanti merupakan pekerjaan yang paling melelahkan. Apa lagi dalam suasana di mana ketegangan mencekam hati seperti pada saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti bersama subo-nya, di kanan kiri mulut goa, bersembunyi sambil mengintai ke sebelah dalam terowongan yang hitam pekat. Apa lagi dia sebagai manusia yang dipermainkan pikiran dan khayal pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu pun mulai kelihatan gelisah akan tetapi tidak berani merayap turun karena takut sekali kepada nenek itu. Hanya kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri, matanya melirik-lirik dan lidahnya berkali-kali dijulurkan keluar sambil mengeluarkan suara mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu mendesis-desis keras dan ular itu terdiam.

Ceng Ceng sudah hampir tidak kuat lagi menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah gembira, mana dia dapat bertahan untuk diam saja seperti arca selama berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan sudah lebih dari tiga jam mereka menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia hendak membuka mulut mengajak subo-nya bicara, nenek itu sudah menggerakkan tangan memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara. Ceng Ceng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Dengan amat jelas terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah dalam terowongan itu!

“Ha-ha-ha! Ban-tok Mo-li nenek ular yang buruk! Keluarlah kau..., kami datang menagih janji! Ha-ha-ha-ha!”

Ceng Ceng merasa ngeri. Baru suaranya saja sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa itu mempunyai kekejaman luar biasa!

Keadaan menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa dan kata-kata itu habis gemanya. Dara itu melirik ke arah subo-nya dan melihat betapa nenek itu juga tegang, memandang ke dalam goa sambil mengintai dari balik batu besar, jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga mempersiapkan jarum merah di tangan kanan dan pasir di tangan kiri. Pasir yang digenggamnya itu bukanlah pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai goa itu dan yang sudah direndam dalam racun oleh subo-nya. Dia sendiri sudah menggunakan obat pemunahnya sehingga tidak berbahaya baginya, namun lawan yang terkena pasir ini, sedikit saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut karena dari luka itu racun pasir akan meracuni semua jalan darahnya!

Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja. Tetapi dengan jantung berdebar Ceng Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu? Akan tetapi kini dia mengerti akan siasat gurunya.

Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau tidak kelihatan ada orang di situ, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali.

Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur membasahi lidahnya binatang itu sudah siap mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.

Setapak demi setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit melengking. Kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka menyentuh lantai itu!

Bukan main ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar, tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya. Dia melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah memberi isyarat agar tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk melemparkan jarum-jarumnya ke depan!

Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang pertama yang masih menelungkup di atas lantai beracun, lalu dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang kedua duduk di atas pundak orang pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan orang kedua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!

Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah.

“Heh-heh-heh!” Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh. “Masih adakah permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?” bentaknya dan kedua tangannya bergerak cepat.

Dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan ke arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu! Darah muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua orang tadi.

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar putih dari pasir beracunnya. Namun, sambil tertawa kakek yang telanjang itu sudah memutar-mutar bangkai ular besar sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun, kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut goa.

Sekarang Ceng Ceng dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar. Akan tetapi kesamaan ini lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang amat mencolok.

Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan penutup kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan!

Ada pun kakek kedua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah dan mukanya pun kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biar pun wajahnya yang merah itu kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.

“Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kau kira kami hanyalah orang-orang bodoh? Untung kami menemukan dua orang di atas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!” kata kakek bermuka merah.

“Ban-tok Mo-li, cepat kau berikan kitab catatan racun kepada kami!” Kakek muka putih menyambung.

Si Muka Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan). Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar) dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti, namun dikalahkan oleh pendekar itu dan kedua orang isterinya yang sakti.

Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus, maka dia selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.

“Aku tidak akan menyerahkan kitab apa pun kepada kalian dua manusia iblis!” Ban-tok Mo-li memekik marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.

“Kau bosan hidup!” Pak-thian Lo-mo membentak marah.

“Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang akan mampus lebih dulu!” nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.

“Singgg...!” Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.

“Eihhh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya. “Jika dia berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!”

Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala jenis racun itu mengerti akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang ampuh.

“Ban-tok Mo-li dengarlah,” kata Lam-thian Lo-mo sambil tertawa. “Telah puluhan tahun engkau hidup seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau mampus?” nenek itu balas mengejek. “Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian tentu akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau melumpuhkan kedua tanganku ini, hi-hi-hik. Majulah!”

Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun di dalam goa, memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling nenek itu beracun!

“Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya dari jarak jauh!” kata Si Muka Merah.

“Memang dia harus dihajar sampai mampus!” jawab Si Muka Putih. “Lam-te, mari kita serang dia dengan batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata.”

Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil berseru, “Dua orang kakek berhati kejam!”

“Lu Ceng, jangan...!” Ban-tok Mo-li berteriak, akan tetapi terlambat sebab dara itu sudah menyerang kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.

“Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!” Lam-thian Lo-mo tertawa mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng yang marah sekali.

“Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!” Ceng Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi dengan ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya tanpa banyak bergerak.

Melihat betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu menjadi tercengang dan terheran-heran. Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapa pun dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan kehilangan dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya sebagai murid.

Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian, dengan nekat melawan dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan muridnya itu.

“Lu Ceng muridku..., jangan...! Kau mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!” Nenek itu berteriak-teriak sambil mengesot maju.

Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun. Kalau sampai mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek itu.

Kini mereka dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka sudah dapat mengerti isi hati masing-masing.

Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini terkejut bukan main menyaksikan serangan yang teramat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya dengan berbareng, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya, yang kiri mencengkeram ke arah dadanya dengan jari-jari terbuka.

Dia cepat meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih.

Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak berdaya melepaskan diri dari pegangan dua orang kakek itu. Jika mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.

“Lu Ceng...!” Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan. “Siang Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan muridku!”

“Ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan goa. “Ban-tok Mo-li, kau lihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar dapat kau nikmati sebelum kau pun mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!” Bersama kakak kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.

“Tunggu...! Tahan...! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan...!” Nenek itu menjerit penuh kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilemparkan ke jurang.

“Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek busuk?” Lam-thian Lo-mo mengejek.

“Bedebah! Ini kitabnya! Sudah aku siapkan!” Nenek itu merogoh pinggangnya untuk mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.

“Bagus! Berikan itu kepada kami, maka kami akan membebaskan muridmu,” kata pula Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.

“Lemparkan dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!” nenek itu kini menahan diri karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.

“Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku.” Lam-thian Lo-mo berkata.

“Nanti dulu, Lam-te!” Pak-thian berkata tenang. “Jangan sampai kita dapat ditipu nenek busuk itu! Peganglah tangan gadis ini!”

Lam-thian Lo-mo memegang kedua pergelangan kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu.

Pak-thian Lo-mo mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru dia berkata, “Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te.”

“Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun berbahaya pula!” Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah.

“Ban-tok Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku akan melemparkan dara ini kepadamu!”

“Keparat, iblis busuk!” Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.

Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting jika saja kedua tangan subo-nya tidak menarik dan menyangganya agar dara itu duduk di sebelahnya dan segera dapat dilindunginya. Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat catatan racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, di atas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.

Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu. “Kau mau apa?”

“Subo, aku hendak membayangi mereka untuk mencari jalan keluar mereka.”

“Sssttt... percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan bahwa kau membayangi mereka, tentu kau akan mereka bunuh.”

Ceng Ceng mengurungkan niatnya, tetapi diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi, tentang kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengira-ngira dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan dunia luar.

“Jangan mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tak berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmu-ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu keluar dari sini.”

“Apakah mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?”

Nenek itu menyeringai lalu tertawa. “Heh-heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah kuatur sebelumnya dan biar pun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena kecerdikan Pak-thian Lo-mo, tetapi aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu di antara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat kenyataan itu, apa lagi kalau mereka membutuhkan obat pemunah, tentu mereka akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan dapat kita bersama membunuh mereka...”

“Membunuh...?”

“Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar.” Nenek itu cepat menyambung.

Ceng Ceng boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu. Akan tetapi dia ingin melihat muridnya ini berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu atau tidak, sama sekali tidak dipedulikannya.

Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai memasukkan sari-sari racun yang terdapat di antara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena mulailah dia menjadi seorang ‘manusia beracun’ seperti ibu gurunya, sehingga setiap tendangan, setiap pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu sinkang beracun untuk membuat setiap anggota tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun yang berbahaya.....

********************

Pertentangan antara para pangeran yang dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong di satu pihak dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar, sungguh pun merupakan pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah mendatangkan keadaan yang panas dan kacau di kota raja. Namun, berkat ketrampilan dan kegagahan Puteri Milana dan pasukan-pasukan yang dipimpin olehnya sebagai bantuan terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi Kong, keadaan di kota raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang Pangeran Liong tidak berani membuat huru-hara di kota raja karena mereka tahu bahwa pihak Menteri Su dan Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu hanya menanti sampai ditemukan bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun tangan menentang mereka secara terang-terangan.

Sebagai adik-adik dari Kaisar, tentu saja kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar sendiri tidak dapat mengambil tindakan secara begitu saja. Dan mereka cukup cerdik untuk menghapus semua bekas dan bukti pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pembantu-pembantu yang amat pandai, orang-orang berilmu tinggi yang mewakili mereka melakukan hubungan dengan luar kota raja.

Pada hari itu, kota raja kelihatan ramai dan banyak pembesar keluar dari gedung masing-masing untuk mengunjungi Istana Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh! Diadakan perayaan besar-besaran di dalam istana pangeran tua ini dan tentu saja para bangsawan dan keluarga kerajaan datang semua memenuhi undangan ini. Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana sendiri, merasa tidak enak kalau tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka diundang dan termasuk tamu-tamu kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya dan ucapan selamatnya kepada Perdana Menteri Su.

Gedung istana yang besar dan megah itu dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat banyak, maka yang datang terlambat terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi yang diatur di luar ruangan depan, yaitu di dalam taman dan di samping kiri ruangan itu, taman yang sudah dihias dan dirubah menjadi ruangan tamu dengan penerangan cukup dan terlindung tenda-tenda besar.

Sejak siang tadi sampai malam, bunyi alat musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi sampai dapat tercium oleh penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di tepi jalan raya depan istana pangeran itu. Karena pesta itu diadakan di waktu malam, maka para tamu datang berbondong-bondong mulai sore dan setelah keadaan menjadi gelap dan tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu penerangan, tempat itu telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh dengan penduduk yang turut menonton, sebagian besar anak-anak.

Mereka ini tidak hanya ingin mendengarkan musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga ingin sekali melihat orang-orang besar dan bangsawan-bangsawan istana yang pada malam hari itu berkumpul di situ, padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk menyaksikan mereka. Mereka memperhatikan para penyambut tamu yang meneriakkan nama tamu yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah yang menyambut di ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang dan mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu.

Sejak tadi, pihak penyambut tamu di depan tiada hentinya meneriakkan nama-nama para bangsawan yang datang berbondong, dari pejabat militer yang tentu berkedudukan panglima sampai kepada pembesar yang merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Setiap ada nama bangsawan disebut, orang-orang yang berkerumun di luar memanjangkan leher untuk melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak yang sudah mereka dengar namanya namun belum pernah melihat orangnya.

“Yang terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong bersama isteri, Yang Mulia Puteri Milana...!”

Seruan ini disambut oleh suara gaduh dan bahkan ada suara tepuk tangan di antara para penonton di luar pagar. Siapakah yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi penghuni kota raja, besar kecil semua mengenal nama ini dan merasa kagum serta berterima kasih karena puteri inilah yang selalu menentang para pengacau dan puteri ini yang selalu siap melindungi rakyat apa bila terjadi penindasan dari pihak pemerintah atau alat pemerintah yang menyalah gunakan kekuasaannya.

“Hidup Yang Mulia Puteri Milana...!” Terdengar seruan di antara para penonton itu dan bahkan anak-anak yang berada di situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan lebih jelas wajah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati itu. Di antara para penonton ini, terdapat dua orang pemuda yang juga memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri kepada puteri yang baru saja turun dari kereta bersama suaminya, seorang perwira yang tampan dan gagah itu.

Perwira itu adalah Han Wi Kong, seorang pria berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira pengawal dengan sebatang pedang tergantung di pinggangnya. Dengan sikap amat menyayang dan menghormat dia membantu isterinya turun dari kereta. Begitu turun dan mendengar sambutan rakyat yang menonton, Puteri Milana menoleh keluar dan mengangkat tangan melambai sambil tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat merubah wajahnya yang agak pucat dan dingin.

Puteri ini memang cantik jelita. Biar pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih ramping seperti seorang dara belasan tahun. Pakaiannya indah namun sederhana bahkan rambutnya pun tidak dihias dengan emas permata. Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang sering melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana dari pada pakaian seorang puteri cucu kaisar dan isteri perwira.

Sehelai mantel berwarna ungu yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali dengan warna pakaiannya yang serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di samping suaminya, mukanya diangkat dan matanya lurus memandang ke depan, sikapnya tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri tahu bahwa dia memasuki goa macan!

Pangeran Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana dan suaminya dengan penuh kehormatan dan dengan wajah berseri dan mulut tersenyum lebar. Lalu setelah mereka saling memberi hormat seperti yang semestinya karena pangeran itu masih terhitung paman kakeknya sendiri, Puteri Milana lalu diantar duduk di tempat kehormatan di mana telah duduk Perdana Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan pandang mata penuh arti dan mulut tersenyum.

Setelah duduk di kursi yang disediakan untuknya, Milana lalu memandang ke seluruh ruangan itu penuh perhatian. Dia memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah telah mengatur sedemikian rupa sehingga golongan yang memihak Kaisar berada di satu kelompok, ada pun para bangsawan yang diragukan kesetiaannya duduk tersebar mengelilingi kelompok itu. Kini seolah-olah kelompok yang setia kepada Kaisar telah dikurung! Namun dia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada hal yang perlu dirisaukan.

“Wah, Enci (Kakak) Milana hebat sekali, ya?” Seorang di antara kedua pemuda yang berada di antara para penonton berkata sambil menyiku lengan pemuda kedua.

“Memang dia hebat! Mengapa kita tidak menghadap dia, Bu-te?” kata Suma Kian Lee kepada Suma Kian Bu yang kelihatan girang dan bangga sekali melihat kakaknya.

Dua orang pemuda Pulau Es itu baru saja tiba di kota raja siang tadi dan sebagai dua orang pemuda yang belum pernah melihat kota besar dan seindah itu, mereka menjadi kagum dan berkeliling kota, mengagumi segala keindahan yang amat luar biasa itu. Akhirnya mereka terbawa oleh arus orang yang menuju ke depan istana Pangeran Liong Bin Ong yang sedang mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula menonton.

“Lee-ko, Ibu telah berpesan kepadaku agar aku pandai-pandai membawa diri di kota raja, jangan bersikap liar dan tidak sopan, karena hal itu akan memalukan Enci Milana sebagai seorang puteri istana. Aku tidak berani memanggilnya di tempat ini, Koko.”

“Kau benar, Bu-te. Memang tidak pantas, apa lagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci Milana dihormati sedemikian rupa dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan semua orang mendengar bahwa kita adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan keributan dan akan memalukan Enci Milana. Kita menonton saja di sini dan nanti kalau dia pulang, kita ikuti dan kita menghadap di tempat tinggalnya.”

Kian Bu mengangguk dan kedua orang muda itu lalu menonton ke dalam, bercampur dengan anak-anak dan orang-orang lain. Tentu saja perhatian mereka selalu tertuju kepada Puteri Milana yang tempat duduk kelompoknya agak tinggi sehingga dapat terlihat dari luar.

Sementara itu, sambil kadang-kadang mengangkat cawan arak mengajak para tamunya minum, diam-diam Pangeran Liong Bin Ong tersenyum memandang ke arah kelompok yang duduk di bagian kehormatan. Mereka yang memusuhiku berada di situ, pikirnya melamun.

Terutama sekali Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besar dan penghalang utamanya. Jika pada saat itu dia mengerahkan kaki tangannya dan berhasil membunuh mereka, alangkah baiknya! Akan tetapi tentu saja hal itu akan menimbulkan geger! Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya dengan para pembantunya. Betapa pun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat membunuh mereka semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia mengerahkan para pengawal dan pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu tidak akan mampu lolos!

Tiba-tiba seorang pengawalnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat agar pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang sudah disuruhnya melakukan penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut:

Menurut hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana sudah menyelinap di antara para tamu, para penabuh musik dan di antara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.

Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan sapu tangannya. Untung bahwa semua rencananya membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kalau dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia sudah ditangkap dan istana itu diserbu!

Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggota pasukan istimewa itu telah melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!

Pangeran Liong Bin Ong masih memandang pada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Tetapi karena pada saat itu hidangan sedang dikeluarkan, ia menahan sabar dan bahkan dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan. Mulailah para tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah meja!

Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala, kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu.

Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di taman!

Mereka bersikap biasa-biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak yang telah diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah ‘biasa’ dengan hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya.

Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat itu.

Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah memancing keributan hingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya ‘diculik’ oleh pengacau.

Hal ini diatur untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang ‘menculiknya’ adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak istana.

Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana, karena dia menduga keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu saja akan ketahuan bahwa dialah yang mengatur kekacauan itu.

Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi terus memandang ke arah majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, dan menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia menghendaki agar ‘siasat kedua’ dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai seorang ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya sudah mengatur rencana secara lengkap, yaitu telah merencanakan siasat cadangan untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.

Rencana ini akan mempergunakan siasat kedua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu.

Akan tetapi siasat kedua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.

Kalau sampai berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apa lagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat ditewaskan.

Andai kata sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mudah dijadikan bahan menghasut Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan!

Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam lalu memberi isyarat. Tidak lama kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang kedua tinggi kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah.

Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, kemudian menjatuhkan diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah disiapkan untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan. Dua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.

“Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua. Namun kami berdua menagih janji paduka untuk menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya.”

Semua orang tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Tetapi pangeran itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak.

“Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan?” Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu mendengar suaranya,

“Jangan persalahkan mereka! Memang aku sudah berjanji kepada mereka untuk menguji mereka dalam pesta ini!” Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian kehormatan sambil berkata, “Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauan-pengacauan para pemberontak suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk menjadi pengawal-pengawal dan melindungi kita.”

Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang, dan Puteri Milana menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Biar pun belum ada bukti, sudah terang bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!

“Kedua orang saudara dari dunia kang-ouw ini sudah mendengar bahwa kami sedang membutuhkan tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari Pantai Po-hai!”

Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya tampak menggembung. Dia membungkuk dan memberi hormat keempat penjuru.

“Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan,” kata pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat keempat penjuru.

“Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal ini!” Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali.

Suasana menjadi sunyi sekali. Biar pun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk menantang! Betapa pun, di antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu.

Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling, dan kelihatan bingung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong.

Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring setelah tertawa, “Ha-ha-ha, harap para orang gagah yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiat-liong (Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!”

Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar yang mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata, “Harap paduka maafkan saya. Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya? Kedua orang itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya.”

Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab, “Boleh sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam turun tangan!”

Jawaban ini memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong sekali. Namun Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu, sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran.

Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia bertanya, “Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai manakah?”

Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang pengawal itu menjawab, “Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun.”

“Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku sudah mengenal baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan?”

Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan, “Kalau begitu, biarlah kalian menguji tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baik-baik dari Gak-kauwsu.” Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya.

Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata, “Harap Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di lain pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan hubungan di antara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas?” Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak hingga menarik perhatian para tamu.

“Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!” dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan pihaknya.

Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelangan kaki, tangan, juga pinggang Si Muka Hitam itu diikat dengan tali, kemudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam. Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan di antara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum, kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih tenang-tenang saja.

“Siap...! Tarik...!” Tiba-tiba Yauw Siu berteriak nyaring dan lima orang pengawal itu telah mengerahkan tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.

Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam. Urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!

“Tahan...!” Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang.

Dua orang pengawal yang memegang kedua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan. Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya melangkah mundur, juga mengakibatkan dua orang pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!

Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan membungkuk keempat penjuru menerima sambutan dan pujian itu.

Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sedangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.

“Apakah Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya?”

Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka lagi kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia berkata, “Baik, kami setuju sekali!”

Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin, “Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima orang biasa saja kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid perguruan Gak-bukoan ini.”

Lalu sambil menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata pula, “Harap Ngo-wi suka mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju menyerang saya.”

Lima orang yang sudah kalah dalam adu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning. Kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan aba-aba, maka serentak menyeranglah mereka dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan yang tidak sempat dielakkannya.

Tampaklah pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam menggunakan kelincahannya dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, maka sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya.

“Ngo-wi, awas...!” Tiba-tiba ia berkata halus, lalu kaki tangannya bergerak dengan cepat sekali dan berturut-turut terdengar kelima orang itu memekik disusul robohnya tubuh mereka di atas lantai karena totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki Sun Giam.

Kembali terdengarlah sorak dan tepuk tangan memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan membungkuk ke empat penjuru. Seperti dua orang yang memang sudah biasa berdemonstrasi dan menjual kepandaian di depan umum, kini Yauw Siu dan Sun Giam sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi kesempatan kepada lima orang pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian agak mereda.

Terdengar Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang, “Sahabatku Sun Giam telah memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi kami berdua masih belum puas karena apa yang kami perlihatkan tadi tidak ada harganya dan tentu belum memuaskan hati junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena itu kami mohon dengan hormat sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di sini suka turun tangan menguji kami. Lima orang pengawal tadi, biar pun kepandaiannya cukup hebat, namun masih jauh di bawah tingkat kami!”

Hening sampai lama setelah Si Muka Hitam ini bicara. Melihat bahwa tiada sambutan, Sun Giam membuka mulutnya, “Kami berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa kota raja menjadi pusat orang pandai, menjadi pusat para pengawal berilmu tinggi. Sungguh kami tidak percaya kalau sekarang tidak ada yang berani menghadapi kami!”

Ucapan ini mulai memanaskan hati para tamu yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika Han Wi Kong yang mukanya menjadi merah karena marah hendak bangkit. Puteri Milana, isterinya yang duduk di sampingnya, mencegah dengan pandangan matanya. Puteri ini masih kelihatan tenang-tenang saja karena dia sedang memutar otak mencari tahu atau menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik semua ini, yang dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong. Dia tidak mau sampai terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka dia menyabarkan suaminya yang mulai marah melihat sikap dan mendengar kata-kata kedua orang jagoan Pangeran Liong Bin Ong itu.

Sebagian para pengawal yang hadir di tempat itu dalam melaksanakan tugas mengawal para pembesar militer dan sipil, biar pun merasa marah dan penasaran, namun mereka ini tidak berani lancang turun tangan di dalam perjamuan orang-orang besar seperti itu tanpa perintah dari junjungan masing-masing. Sedangkan para pembesar jarang pula yang berani memerintahkan pengawalnya untuk menghadapi dua orang jagoan itu.

Mereka yang memang terpengaruh oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang, sedangkan mereka yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran ini, juga tidak berani menyuruh pengawal mereka setelah Sun Giam membuka mulutnya setengah menantang para pengawal kota raja. Mereka merasa segan juga untuk menentang pangeran ini secara terang-terangan, mengingat akan pengaruh dua orang pangeran itu.

Melihat betapa tidak ada sambutan sama sekali, Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah menerima tugas dari Pangeran Liong Bin Ong untuk memanaskan suasana dan untuk menujukan tantangan kepada Puteri Milana secara halus, lalu saling pandang dan Yauw Siu bangkit berdiri, menghadap ruangan kehormatan dan berkata lantang, “Kami berdua belum lama meninggalkan tempat pertapaan, saya meninggalkan pantai laut dan Sahabat Sun Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah mendengar akan kehebatan ilmu kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja datang ke kota raja untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat digunakan demi kepentingan kerajaan! Apakah sekarang tidak ada orang gagah yang sudi menguji kami? Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun Giam tadi bahwa orang-orang di kota raja agak... penakut?”

“Manusia busuk...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan orang. Tahu-tahu di depan kedua orang jagoan itu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, pakaiannya preman, jenggotnya panjang sekali dan wajahnya angker, mengandung wibawa.

“Di jaman kekacauan merajalela dan banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian yang bermulut besar! Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu orang-orang gagah di kota raja turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah kiranya menghadapi orang-orang macam kalian yang bermulut besar!” Orang ini memang Tan Siong Khi, pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal karena dialah yang memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!

Namun sebelum dua orang jagoan itu sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil berkata, “Bukankah engkau Pengawal Tan Siong Khi yang sudah gagal melaksanakan tugas mengawal Puteri Bhutan sehingga puteri itu telah lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?”

“Keparat! Berani engkau muncul di sini setelah engkau melakukan dosa dan kelalaian besar itu? Kebodohan dan kelalaianmu menyebabkan Sang Puteri lenyap tak diketahui masih hidup atau sudah mati. Dan kau berani malam ini datang ke sini dan berlagak menjadi jagoan? Kenapa kegagahanmu tidak kau perlihatkan ketika rombonganmu dihadang musuh? Mengapa Sang Puteri yang kau kawal sampai lenyap sedangkan kau masih hidup? Aku sendiri akan minta kepada Sri Baginda untuk menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu!”

Semua tamu memandang dengan hati tegang. Semua mengenal pula siapa adanya Tan Siong Khi, seorang pengawal kepercayaan Kaisar, bahkan kini menjadi pembantu dari Puteri Milana dalam mengamankan kota raja. Mereka semua telah mendengar pula akan kegagalan pengawal itu menjemput Puteri Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi Ong. Maka sepantasnyalah kalau pangeran itu, yang urung menjadi pengantin, yang kehilangan calon isterinya marah-marah kepada pengawal ini.

“Mengapa kau berani datang ke sini? Hayo pergi...! Pergi kau...!”

Tan Siong Khi yang kelihatan tenang itu menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri Milana. Dia melihat kedua orang pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi isyarat agar supaya dia pergi. Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu adalah karena dia ditugaskan oleh Kaisar untuk mengawal Perdana Menteri Su yang malam itu juga mewakili Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan Kaisar. Akan tetapi, sebagai seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan berpemandangan luas, di tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan menyebut nama perdana menteri, karena dia tidak mau menjadi penyebab terjadinya keributan atau perasaan tidak enak.

Setelah menerima isyarat, dia kemudian menjura kepada Pangeran Liong Khi Ong dan berkata, “Baik, hamba dengan langkah lebar meninggalkan tempat pesta melalui pintu gerbang depan.”

Keadaan menjadi sunyi sekali setelah pengawal itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan ketegangan. Tiba-tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa dari Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan berkata, “Sungguh menyesal sekali bahwa Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya seorang yang telah melakukan dosa dan kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum. Kalau tidak agaknya dia memiliki sedikit kepandaian untuk diperlihatkan agar kami berdua dapat diuji. Harap Cu-wi yang merasa memiliki ilmu kepandaian sudi maju sebagai penggantinya. Kami maklum bahwa di antara Cu-wi banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami akan celaka. Kami takkan mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum pernah dikalahkan orang. Bahkan kami tadinya merencanakan untuk mencari Pulau Es...”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun suara ini menembus semua kegaduhan dan memasuki telinga Yauw Siu seperti jarum-jarum menusuk. “Mau apa kalian mencari Pulau Es?”

Yauw Siu terkejut sekali, cepat menoleh ke arah Puteri Milana yang telah mengajukan pertanyaan itu. Melihat sepasang mata yang amat tajam itu, diam-diam dia menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu dan Sun Giam maklum siapa adanya puteri cantik dan agung itu.....

Mereka maklum bahwa puteri itu adalah puteri dari Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, dan ibunya adalah bekas panglima besar wanita Puteri Nirahai! Kalau saja mereka berdua tidak menjadi kaki tangan kedua orang Pangeran Liong, tentu mereka akan berpikir-pikir dulu untuk berani main-main di depan Puteri Milana. Akan tetapi, justru tugas mereka adalah untuk memancing puteri itu agar bangkit kemarahannya dan membuat puteri itu menjadi serba salah. Maju menghadapi mereka berarti merendahkan derajatnya, kalau tidak berarti terhina karena ditantang tanpa menanggapi!

“Kami hendak mencari Pulau Es karena kami tidak pernah bertemu tanding! Kami mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!” jawab Sun Giam.

“Akan tetapi, sebelum melihat sendiri, bagaimana kami dapat percaya?” sambung Yauw Siu. “Hanya kabarnya, banyak pula muridnya berada di kota raja, maka apa salahnya kalau ada muridnya yang mau mencoba-coba dengan kami agar dari kepandaian muridnya kami dapat mengukur pula tingkat gurunya? Kami adalah dua orang baru yang tidak tahu apakah benar di kota raja ada murid Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es yang terkenal itu.”

Tentu saja Yauw Siu cukup cerdik untuk melindungi diri mereka dengan dalih bahwa mereka tidak tahu menahu tentang Pendekar Super Sakti, tidak tahu bahwa puteri Pendekar Super Sakti berada di tempat perjamuan itu karena kalau demikian halnya, tentu Puteri Milana yang cerdik langsung merasa curiga dan menduga akan adanya pancingan dan jebakan.

“Biar aku menghajar mereka!” kata Panglima Han Wi Kong dan isterinya mengangguk.

Tadi Puteri Milana telah menyaksikan gerakan kedua orang jagoan itu dan dia maklum bahwa mereka berdua itu hanyalah memiliki tingkat yang biasa saja sehingga dia merasa yakin bahwa suaminya akan dapat mengalahkan mereka. Mendengar dua orang jagoan kasar itu menyinggung nama ayahnya tanpa dia melakukan sesuatu, tentu akan mencemarkan nama dan kehormatannya.

Akan tetapi kalau dia turun tangan sendiri juga merupakan hal yang tidak baik karena dia adalah seorang puteri cucu Kaisar dan puteri Pendekar Super Sakti, amat rendahlah untuk melayani dua orang jagoan kasar! Berbeda lagi kalau Han Wi Kong yang turun tangan karena suaminya itu juga bekas seorang pengawal kaisar yang kini turun tangan menghadapi mereka yang menantang-nantang semua orang gagah di kota raja!

“Manusia-manusia sombong! Biar akulah yang akan menghadapi kalian!” bentak Han Wi Kong yang sekali melancat sudah berada di depan kedua orang itu.

Sun Giam dan Yauw Siu cepat menjura dengan hormat, kemudian Sun Giam menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong sambil berkata, “Harap Paduka Pangeran berkenan dan sudi mengampunkan permohonan hamba berdua. Hamba berdua tentu tidak berani sembarang mengangkat tangan menghadapi para tamu yang terdiri dari para pembesar dan bangsawan agung. Oleh karena itu, kami baru berani mengangkat tangan kalau yang datang ke gelanggang ini menganggap diri sendiri sebagai seorang kang-ouw, seorang ahli silat tanpa membawa-bawa kedudukannya.”

Sebelum Pangeran Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong sempat menjawab, Han Wi Kong sudah membentak, “Aku takkan membawa kedudukanku karena aku pun bekas seorang pengawal! Aku maju karena ingin menyaksikan kepandaian kalian manusia sombong!” Han Wi Kong cukup mengerti untuk tidak membawa-bawa nama ayah mertuanya, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengaku bahwa dia maju sebagai seorang bekas pengawal, jadi atas namanya sendiri.

“Bolehkah kami mengetahui nama besar paduka?” Yauw Siu bertanya.

Tentu saja dia tadinya sudah memperoleh keterangan bahwa laki-laki gagah ini adalah suami Puteri Milana, akan tetapi dia ingin memancing agar dari mulut laki-laki ini keluar sendiri pengakuannya. Akan tetapi Han Wi Kong sudah terlalu marah, dan menjawab dengan bentakan nyaring, “Tidak perlu aku memperkenalkan nama kepada kalian! Semua yang hadir sudah tahu siapa aku! Hayo majulah kalian berdua!”

Sun Giam berseru, “Ehh...! Maju berdua? Benarkah kami disuruh maju berdua?”

Han Wi Kong bukan orang yang sombong atau sembrono. Kalau dia berani menantang agar mereka maju berdua secara berbareng adalah karena tadi dia sudah menyaksikan sepak-terjang mereka dan merasa yakin akan dapat mengalahkan mereka berdua, apa lagi dia ingin cepat merobohkan mereka yang sombong ini, tidak usah mereka disuruh maju satu demi satu!

“Ya, majulah kalian berdua mengeroyokku. Aku ingin menguji kepandaian kalian yang sesungguhnya tidak patut menjadi pengawal seorang pangeran!”

“Bagus! Engkau yang menyuruh sendiri, Sobat. Kalau sampai kami kesalahan tangan membunuh, jangan persalahkan kami.”

“Dalam pibu, membunuh atau terbunuh adalah soal biasa, mengapa kalian banyak cerewet lagi? Majulah!”

“Awas serangan. Hiaaaatttt...!” Sun Giam sudah menyerang.

“Haiiittt...!” Yauw Siu juga menyusul dengan pukulannya yang dahsyat.

“Hemmm...!” Han Wi Kong menggeram dan cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan menangkis dengan kedua lengannya.

“Dukkk! Dukkk!”

Tubuh Han Wi Kong tergetar akan tetapi pukulan kedua orang lawannya juga terpental. Diam-diam Han Wi Kong terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang ini ternyata mempunyai tenaga sinkang yang sangat kuat! Mengapa tadi mereka tidak memperlihatkan tenaga sinkang ini? Di dalam otaknya segera dia mencari dan mengerti bahwa kedua orang ini telah menjebaknya! Tadi mereka sengaja berpura-pura sebagai ahli-ahli silat biasa saja dan menyembunyikan kepandaian asli mereka dan dia sudah terjebak! Dua orang ini ternyata bukan orang sembarangan dan segera dia memperoleh kenyataan akan hal itu karena kini mereka telah mainkan ilmu silat yang amat aneh, cepat, dan kuat sekali!

Wajah Puteri Milana juga berubah agak pucat. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat melihat perubahan yang terjadi pada kedua orang jagoan itu. Dan gerakan-gerakan mereka sekarang ini, jelas tampak olehnya bahwa mereka bukanlah jagoan-jagoan kasar seperti semula setelah melihat sepak terjang mereka tadi. Kiranya mereka adalah ahli-ahli yang tangguh, yang menyembunyikan kepandaian mereka di balik sikap kasar dan ugal-ugalan tadi. Tentu untuk memancing!

Puteri Milana menjadi serba salah. Memang, di dalam tahun-tahun pertama pernikahan mereka, dia telah menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada suaminya dan ilmu kepandaian suaminya sudah meningkat dengan pesat kalau dibandingkan dengan dahulu sebelum menjadi suaminya. Namun, suaminya tidak memiliki dasar untuk menjadi seorang ahli ilmu silat tinggi dan tidak mungkin dapat melatih sinkang dari Pulau Es. Maka kini bertemu dengan dua orang jagoan itu, suaminya berada dalam keadaan terancam! Kalau maju seorang lawan seorang, mungkin suaminya masih dapat mengimbangi, akan tetapi dikeroyok dua!

Memang demikianlah sebenarnya! Dua orang itu bukanlah orang sembarangan dan tadi memang mereka berpura-pura, mengeluarkan ilmu-ilmu kasar untuk memancing dan menjebak. Sebenarnya mereka adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah lama menjadi tangan-tangan kanan dari Raja Muda Tambolon, yaitu raja muda kaum pemberontak di perbatasan barat yang sedang merongrong Kerajaan Bhutan. Karena kedua orang ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw maka mereka sama sekali tidak terkenal dan memang hal inilah yang dikehendaki oleh Pangeran Liong Bin Ong.

Tadinya, untuk keperluan memancing kemarahan Puteri Milana untuk menjatuhkan orangnya atau namanya ini, Pangeran Tua Liong Bin Ong hendak menggunakan tenaga Siang Lo-mo, sepasang kakek kembar yang amat lihai itu. Akan tetapi sungguh di luar dugaan dan perhitungannya bahwa Siang Lo-mo ketika tiba di kota raja telah bentrok dengan Milana di dalam rumah penginapan ketika Siang Lo-mo bertemu dengan Gak Bun Beng yang mereka kenal selama ini sebagai ‘orang sakit yang lihai’.

Karena peristiwa itu, maka Pangeran Liong Bin Ong kemudian tidak berani dan tidak jadi menggunakan kedua orang kakek itu, dan mencari penggantinya. Siang Lo-mo pula yang mengusulkan kepada Liong Bin Ong untuk mengundang Yauw Siu dan Sun Giam, dua orang di antara para pembantu Raja Tambolon.

Untuk menjaga nama keluarga isterinya, yaitu para penghuni Pulau Es, juga untuk menjaga nama isterinya dan dirinya sendiri, biar pun maklum bahwa kedua orang itu merupakan dua orang lawan yang terlalu tangguh baginya, namun Han Wi Kong tidak menjadi gentar dan dia sudah menerjang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun dua orang lawannya dapat mengelak dan menangkis dengan cepat, bahkan langsung membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang kembali membuat Han Wi Kong terhuyung ke belakang ketika terpaksa menangkis dua serangan dari depan itu.

Segera berlangsunglah pertandingan yang seru sekali antara tiga orang itu, disaksikan oleh banyak pasang mata dengan tegang. Diam-diam suasana tegang itu ditimbulkan oleh perasaan bahwa di dalam pertandingan ini seolah-olah terjadi persaingan antara Pangeran Tua Liong Bin Ong dan pihak Milana serta Perdana Menteri Su! Semua tamu maklum belaka atau setidaknya sudah dapat menduga bahwa diantara kedua pihak itu memang terdapat permusuhan atau persaingan terpendam! Dan kini, seolah-olah kedua orang jagoan itu mewakili pihak Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Han Wi Kong tentu saja mewakili pihak isterinya, Puteri Milana dan Perdana Menteri Su.

Tentu saja yang merasa paling tegang dan gelisah adalah Puteri Milana sendiri! Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tadi dia membiarkan suaminya turun tangan dan memasuki jebakan pihak Pangeran Liong Bin Ong sehingga kini suaminya terancam. Dia adalah seorang yang amat cerdas, maka setelah berpikir sejenak maklumlah dia bahwa sesungguhnya yang diserang adalah dia!

Suaminya tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Liong Bin Ong yang menjadi paman kakek tirinya itu, akan tetapi dia tentu saja dianggap musuh oleh pangeran tua itu. Maka pertandingan itu tentu dimaksudkan untuk memukul dia! Mulai merah kedua pipi puteri yang gagah perkasa ini dan setiap urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk membela suaminya.

Dia merasa kasihan sekali kepada suaminya, seorang pria yang amat baik dan gagah perkasa. Bertahun-tahun dia menjadi isteri Han Wi Kong hanya pada lahirnya saja, namun mereka sebetulnya hanyalah merupakan sahabat setelah keduanya maklum bahwa tidak ada cinta kasih antara pria dan wanita, antara suami dan isteri di dalam hati mereka, atau setidaknya, di dalam hati Milana. Han Wi Kong maklum akan hal ini, maka dia pun secara jantan dan bijaksana membebaskan isterinya dan hanya mengakui isterinya secara lahiriah saja untuk menjaga nama baik isterinya! Bukan isterinyalah yang menemaninya di dalam kamarnya, melainkan dua orang selir cantik yang setengah dipaksakan oleh Milana untuk melayani suaminya itu!

Biar pun tidak ada hubungan kasih di dalam hatinya terhadap Han Wi Kong, namun Milana menganggapnya sebagai seorang sahabat yang paling baik di dunia ini, maka tentu saja dia merasa gelisah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan suaminya dan dia sudah mengambil keputusan untuk melindungi suaminya dari bahaya.

“Yaaahhh!”

Tiba-tiba Han Wi Kong yang sudah terdesak terus-menerus itu mengeluarkan teriakan nyaring, tubuhnya menerjang dengan kecepatan kilat ke depan, kedua tangannya dikepal dan menghantam ke arah muka dan pusar Yauw Siu secara hebat sekali!

Milana terkejut menyaksikan gerakan suaminya ini. Kalau suaminya terus memperkuat daya pertahanannya, walau pun terdesak kiranya masih tidak mudah bagi kedua orang pengeroyoknya untuk merobohkannya. Tetapi agaknya suaminya itu tidak mau didesak terus dan kini mengeluarkan jurus nekat yang ditujukan kepada seorang di antara dua orang pengeroyoknya. Agaknya Han Wi Kong sudah bertekad untuk merobohkan salah seorang lawan dengan resiko dia sendiri terpukul oleh lawan kedua. Milana maklum akan isi hati suaminya, yaitu bahwa biar pun suaminya roboh, setidaknya telah dapat merobohkan seorang lawan pula, sehingga tidaklah akan terlalu memalukan.

“Heiiiittttt...!” Yauw Siu berteriak, kaget juga menyaksikan serangan yang hebat ini. Dia mencelat mundur dan ketika lawan terus mengejar, dia juga melonjorkan dua lengannya dan bertemulah kedua tangannya dengan kepalan tangan Han Wi Kong.

“Desss... bukkk...!”

Yauw Siu kalah tenaga karena memang dia sedang mundur. Begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan lawan, dia terlempar dan terjengkang, akan tetapi pada saat itu juga, Sun Giam sudah menerjang dari samping dan pukulannya yang amat keras dan ditujukan kepada leher Han Wi Kong, meski pun sudah dielakkan oleh Han Wi Kong dengan jalan miringkan tubuh, tetap saja masih mengenai pundaknya, membuat bekas panglima pengawal ini roboh pula!

Yauw Siu dan Sun Giam kini melompat ke depan, agaknya hendak mengirim pukulan maut kepada lawan yang sudah rebah miring dan belum sempat bangun itu, apa lagi Yauw Su yang menjadi marah karena tubuhnya masih tergetar oleh pertemuan kedua tangannya tadi, dan pinggulnya masih panas dan nyeri karena dia terjengkang dan terbanting.

“Plakk! Plakk!”

Dua orang jagoan itu terkejut sekali dan terhuyung-huyung ke belakang. Mereka terbelalak memandang puteri cantik yang sudah berdiri di depan mereka yang tadi menangkis kedua tangan mereka yang sudah diayun untuk menghantam Han Wi Kong, tangan halus sekali yang ketika menangkis terasa dingin seperti es dan membuat mereka menggigil dan terhuyung ke belakang.

“Bedebah! Kalian manusia curang, setelah mengeroyok masih hendak membunuh orang yang terluka? Tunggulah sebentar!” kata Puteri Milana dengan nada suara dingin sekali, lalu dia memapah suaminya kembali ke kursinya.

Setelah melihat bahwa luka suaminya tidaklah berat, hanya mengalami patah tulang pundak, dia lalu membalikkan tubuh hendak menandingi dua orang jagoan itu. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika di tengah tempat pibu itu kini telah muncul dua orang pemuda remaja yang menghadapi Yauw Siu dan Sun Giam sambil tersenyum-senyum mengejek! Dan banyak tamu yang berbisik-bisik dan ada yang bertepuk tangan memuji karena ketika Milana sedang memapah suaminya tadi, dari tempat duduk para tamu di samping melayang dua sosok bayangan dan tahu-tahu dua orang pemuda itu telah berdiri di depan Sun Giam dan Yauw Siu. Gerakan meloncat yang indah inilah yang menarik perhatian para tamu.

“Siapakah mereka?”

“Dari mana mereka datang?”

Pangeran Liong Bin Ong sendiri terkejut dan bingung, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah dua orang pemuda yang masih remaja, dia percaya bahwa dua orang jagoannya itu akan dapat mengatasi mereka.

Sun Giam yang tinggi kurus bermuka kuning itu sudah meloncat ke depan dan matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti terpejam ketika dia membentak marah, “Bocah-bocah lancang, mau apa kalian datang ke sini?”

Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Kian Bu yang setengah memaksa kakaknya untuk maju di gelanggang itu, dengan mendahului meloncat dan disusul oleh kakaknya. Saat tadi melihat Puteri Milana tiba-tiba maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju menghadapi dua jagoan dan yang terkena pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang penuh perhatian. Mereka berdua tidak tahu siapa adanya laki-laki itu.

Mereka dahulu masih terlalu kecil ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka tidak ingat lagi. Akan tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki ini ketika melihat betapa laki-laki gagah ini menghadapi dua orang jagoan yang menantang Pulau Es! Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika mendengar tantangan tadi tentu dia sudah meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu.

Sekarang melihat kakaknya menolong laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke kursinya, Kian Bu berbisik kepada kakaknya, “Lee-ko, dia itu adalah Cihu (Kakak Ipar)!”

“Ah, benar...! Cihu telah terpukul oleh mereka!” kata Kian Lee.

“Dan Enci Milana akan maju sendiri, hayo kita dului!” Tanpa menanti jawaban Kian Lee, Kian Bu sudah meloncat dan terpaksa Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Sun Giam dan Yauw Siu.

Kian Bu tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam itu, maka dia cepat mendahului kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi. “Siapa adanya kami bukan hal yang patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah siapa adanya kalian berdua! Kalian berdua mengaku hendak melamar pekerjaan pengawal, akan tetapi kami tahu bahwa kalian tidak patut menjadi pengawal, karena kalian hanyalah dua orang badut yang tidak lucu!”

Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang mendengar ucapan pemuda tampan yang suaranya lantang itu. Betapa beraninya bocah itu menghina dua orang jagoan yang demikian kosen, yang telah berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal Han Wi Kong, suami Puteri Milana sendiri! Akan tetapi yang lebih heran dan juga amat marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.

“Setan cilik, apa kau sudah bosan hidup?”

“Setan gede, kalian yang sudah bosan hidup berani menjual lagak di sini. Apa kalian kira kami tidak tahu bahwa tadi kalian bermain curang. Kalau kalian tidak main curang, mana kalian mampu menang menghadapi orang gagah tadi? Manusia macam kalian ini, jangankan menjadi pengawal, menjadi jongos pun tidak patut,” kata Kian Bu.

“Wah, pantasnya menjadi apa, Adikku?” Kian Lee bertanya membantu adiknya.

“Jadi apa, ya? Pantasnya mereka ini tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet di pasar, menjadi penjahat besar pun tidak patut!”

Tentu saja makin bising keadaan di situ karena para tamu maklum bahwa dua orang pemuda yang masih remaja itu dengan sengaja hendak mencari perkara dan sengaja menghina dua orang jagoan tangguh itu. Hati mereka menjadi tegang dan bertanya tanya siapa gerangan dua orang muda yang nekat itu.

Yang paling marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak mengenal takut karena bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang memiliki kekuasaan di antara gerombolan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon, maka kini dimaki dan dihina oleh dua orang pemuda tanggung itu, hati mereka seperti dibakar rasanya.

Akan tetapi, di samping kekasaran mereka, dua orang ini pun cerdik dan mereka menahan kemarahan hati karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang pandai dan bahwa mereka berada di kota raja yang besar dan tidak boleh bertindak sembarangan. Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu mereka sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani menghina mereka seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda ini. Siapa tahu, melihat sikap mereka yang begitu berani, dua orang pemuda ini adalah putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja! Maka Sun Giam lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian dia menoleh dan berlutut ke arah Pangeran Liong Bin Ong.

“Mohon paduka mengampuni hamba berdua!” katanya lantang. “Tanpa perkenan atau perintah paduka, hamba tidak berani turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang pemuda ini telah menghina hamba berdua dan karena hamba adalah calon pengawal paduka, maka penghinaan yang dilakukan di sini berarti menghina paduka pula. Maka hamba berdua mohon perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini dengan perkenan paduka!”

Tadinya Liong Bin Ong juga terkejut dan marah, dan memang diam-diam dia merasa girang bahwa kedua orang jagoannya itu ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai suami Milana dan mungkin akan berhasil membikin malu puteri yang menjadi musuhnya itu. Dia menduga bahwa kedua orang pemuda itu jelas merupakan pendukung puteri itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!

Tentu saja girang bukan main rasa hati Sun Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih terpaksa menelan kesabaran adalah karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal kedua orang pemuda itu, takut kalau kesalahan tangan. Sekarang, setelah memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin Ong, tentu saja hati mereka menjadi besar dan dengan muka beringas mereka menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.

“Bocah-bocah lancang, hayo lekas beritahukan siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau menghajar anak orang tanpa diketahui siapa ayahnya!” kata Yauw Siu dengan lagak sombong karena dia kini tidak khawatir lagi terhadap ayah anak-anak ini setelah dilindungi oleh Pangeran Liong Bin Ong.

Semua tamu termasuk Milana yang sudah duduk kembali karena dia dapat melihat sifat luar biasa pada kedua orang anak itu, memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian karena dia pun ingin sekali mendengarkan siapa gerangan dua orang pemuda remaja yang sudah begitu berani mengacaukan pesta Pangeran Liong Bin Ong! Namun, diantara semua tamu yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani mempersiapkan diri untuk melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau terancam bahaya maut di tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja tidak tega membiarkan mereka tewas karena membela dia, atau membela nama Pulau Es yang disebut-sebut dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.

Sementara itu, melihat lagak sombong dari Yauw Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah tertawa riang dan mendahului kakaknya menjawab, “Kalian adalah she Yauw dan she Su, dan ketahuilah bahwa kakakku ini bernama Ta-yauw-eng (Pendekar Pemukul Orang she Yauw) dan namaku adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she Sun)! Nah, kalian tidak lekas berlutut minta ampun?”

Jawaban yang tak disangka-sangka orang ini selain menimbulkan kemarahan hebat di dalam hati dua orang jagoan itu, juga membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami Puteri Milana yang terluka tadi. Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan kekhawatiran karena mereka maklum betapa marahnya dua orang tukang pukul yang sudah memperoleh perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk menghajar dua orang pemuda remaja itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung. Mungkin akan dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikit pun tidak mengenal takut itu.

“Bocah setan! Kau sudah bosan hidup!” Sun Giam dan Yauw Siu membentak, lalu keduanya menerjang dan menyerang Kian Bu.

“Heeiiitt...! Eiiittt...!” Kian Bu sudah berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan mempermainkan, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka mereka bergantian. “Kiranya kalian ini benar-benar hanya tukang-tukang pukul kampungan yang beraninya mengeroyok orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan curang, tentu kalian telah roboh oleh orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku pula?”

Wajah kedua orang jagoan itu menjadi merah. Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang mereka merasa dipermainkan oleh seorang anak-anak! “Kalian juga berdua, majulah!” teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena dia pun malu kalau dikatakan mengeroyok seorang bocah!

“Eh-eh, nanti dulu!” Kian Bu mengangkat kedua tangan ke atas menahan mereka, juga sekaligus menahan kakaknya yang sudah bersiap-siap hendak menerjang Yauw Siu. “Katanya kalian adalah orang-orang gagah, maka sekarang di depan begini banyak tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu. Kalian merupakan dua jago tua dan kami adalah dua orang jago muda, mari kita bertanding satu-satu agar lebih sedap ditonton dan lebih dapat dinikmati bagaimana kalian menghajar kami satu-satu! Betul tidak?”

“Betul...!” Otomatis Yauw Siu menjawab karena tertarik oleh cara Kian Bu bicara.

“Hushhh!” Sun Giam membentak dan barulah Yauw Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh kata-kata bocah itu dan menanggapinya! Terdengar suara tertawa di antara para tamu menyaksikan sikap dua orang jagoan itu.

Yauw Siu yang menjadi malu sekali sudah melangkah maju. “Baik, mari kita bertanding satu lawan satu!” bentaknya sambil membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.

“Nanti dulu, kau tidak sabar amat!” Kian Bu berkata sambil tersenyum. “Lawanmu adalah kakakku, ingat? Kakakku adalah Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau! Sedangkan aku adalah Ta-sun-eng, biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih dulu, baru engkau.”

“Setan! Siapa pun di antara kalian boleh maju, kalau perlu boleh maju berdua kulawan sendiri!” teriak Yauw Siu yang hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi.

“Heiit, sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran saja mengapa tergesa-gesa amat? Hayo, engkau orang she Sun, kau hadapilah aku Tukang Pemukul Orang she Sun!”

Sun Giam lebih pendiam dari pada kawannya, dan juga ia tidak kelihatan menyeramkan seperti Yauw Siu yang tinggi besar bermuka hitam itu. Akan tetapi, orang berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, bermuka kuning dan matanya sipit ini memiliki keahlian yang sebetulnya lebih berbahaya dibandingkan dengan Yauw Siu.

Kalau Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah seorang yang bertenaga raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot), sebaliknya Sun Giam adalah seorang ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Hal ini diketahui dengan baik oleh Milana ketika wanita sakti ini tadi menangkis pukulan mereka berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian mereka berdua itu tidak ada artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam berhadapan dengan pemuda remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun itu, tidak urung hati Milana menjadi tegang juga.

Sun Giam orangnya pendiam, namun menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan yang amat memandang rendah kepadanya itu, dia juga sudah tidak dapat menahan kemarahannya. “Baik, bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu agung yang hadir menjadi saksi. Kalau kau terpukul mampus, nyawamu jangan penasaran dan menyalahkan aku!”

Setelah berkata demikian, Sun Giam sudah menggulung kedua lengan bajunya hingga tampaklah kedua lengannya yang kurus kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu tertawa, “He-he-he-he, kedua lenganmu kecil sekali seperti kayu kering yang lapuk, perlu apa dipamerkan? Jangan-jangan untuk menyerangku menjadi patah-patah nanti!”

Kembali terdengar suara orang tertawa. Biar pun semua orang masih ragu-ragu apakah pemuda remaja yang tampan dan nakal jenaka itu dapat menandingi Sun Giam, namun setidaknya godaan-godaan itu cukup membuat hati mereka yang tidak suka kepada dua orang jagoan itu menjadi senang.

Akan tetapi suara ketawa itu terhenti dan semua mata memandang penuh ketegangan ketika mereka melihat Sun Giam menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan berbentuk cakar dan terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari tulang-tulang lengan dan tangannya! Juga tampak betapa kedua lengan itu berubah menjadi kehijauan dan mengeluarkan getaran hebat.

Milana menggenggam tangan kanannya. Dia mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu, semacam tok-ciang (tangan beracun) yang mengandung sinkang kuat dan berbahaya karena beracun! Dia mengerti bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat kuat, juga dapat menembus kulit daging dan meracuni tulang dan otot di tubuh lawan. Dugaannya memang tidak salah, Sun Giam sudah melatih semacam pukulan beracun dan kedua tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan Beracun Hijau) yang dahsyat!

“Wah-wah, kiranya engkau pandai main sulap. Tentu dulu kau adalah seorang penjual obat yang suka main di pasar-pasar, bukan? Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak kebetulan aku tidak membawa uang kecil!” berkata Kian Bu sambil menyeringai. Tentu saja, sebagai putera Pulau Es, dia pun mengenal kedua tangan itu, akan tetapi dia memandang rendah.

“Bocah sombong, terimalah pukulan mautku!”

Sun Giam sudah menghardik sambil bergerak maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya maju tanpa diangkat, hanya bergeser mengeluarkan suara “syet-syet!” dan kedua lengannya sudah bergerak-gerak, setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak keras,

“Huiii...! Wut-wut-wut-wut!”

Empat kali beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri membacok dengan tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram iga, lalu tangan kiri menusuk lambung dan diakhiri dengan tangan kanan mencengkeram ke arah bawah pusar. Tiap serangan merupakan cengkeraman maut yang bisa merenggut nyawa seketika.

“Aihh...! Wuusss... plak-plak-plak...!”

Dengan gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak kemudian menangkis tiga kali dengan tangannya, lagaknya seperti orang kerepotan tetapi semua tangkisannya tepat membuat kedua tangan lawan terpental.

“Sayang luput...! Desss...!” Kembali dia menangkis hantaman ke arah mukanya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya menampar ke depan.

“Plakk...! Aughhh...!”

Sun Giam terkejut setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, bahkan tahu-tahu pipi kirinya sudah kena ditampar keras sekali sampai kepalanya mendadak menjadi puyeng dan matanya berkunang, pipi kirinya berdenyut-denyut panas! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi kirinya.

“Wah, mukamu menjadi hitam sebelah!” Kian Bu menggoda. “Mari biar kutampar yang sebelah lagi agar tidak menjadi berat sebelah!”

Bisinglah keadaan para tamu ketika menyaksikan hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda nakal itu dalam segebrakan saja telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan dengan cara semudah itu, seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah diejek seolah-olah Sun Giam merupakan lawan yang sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa.

Sun Giam mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Tubuhnya mencelat lagi ke depan, sekali ini menggunakan jurus yang amat hebat, kedua lengannya sampai kelihatan menjadi amat banyak saking cepatnya kedua tangan itu bergerak mengirim pukulan-pukulan maut yang amat gencar bertubi-tubi dan saling susul-menyusul.

“Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt...!

“Aihhh, lagi-lagi hanya kena angin belaka!” Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan, berputaran, seperti menari-nari dan dengan gerakan yang aneh menyelinap ke sana-sini namun selalu dia dapat mengelak atau menangkis semua pukulan itu.

“Mampuslah!” Sun Giam yang terus menyerang itu tiba-tiba berteriak, kaki kanannya melayang ke arah bawah pusar Kian Bu.

Kalau tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari seorang pria itu, tentu sukar dapat menyelamatkan nyawa. Semua orang yang ahli dalam ilmu silat diam-diam menahan napas menyaksikan serangan maut ini, kecuali Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya mengeluarkan sinar aneh memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak bersiap-siap lagi untuk membantu.

“Wirrrrr...!”

Tendangan itu melayang dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu seolah-olah tidak melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia menggeser tubuh ke kiri, membiarkan kaki lewat di sebelah kanan tubuhnya, tangan kanannya menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan tangan kirinya menyambar ke depan.

“Plakkk!”

Kembali Sun Giam terhuyung ke belakang dan mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi kanannya yang kena ditampar.

“Nah, sekarang barulah berimbang, mukamu menjadi kemerah-merahan seperti muka seorang dara cantik yang segar, he-he-heh!” Kian Bu berkata sambil bertepuk tangan.

Para tamu yang berpihak kepadanya juga tertawa dan bahkan ada pula yang bertepuk tangan.

Sun Giam menjadi mata gelap saking marahnya. Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Bukan hanya dapat menangkis tangan beracunnya tanpa terluka sedikit pun, juga pemuda itu memiliki gerakan yang kelihatannya seenaknya dan sembarangan saja, namun selalu dengan tepat dapat menangkis semua pukulannya, dan setiap kali pukulannya tertangkis, Sun Giam merasa betapa seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya, terasa tergetar hebat sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang amat luar biasa! Dia maklum, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyerah begitu saja.

Dia tidak sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka sambil mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor harimau kelaparan yang menubruk kambing.

Kembali banyak orang terkejut karena melihat betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan bertepuk tangan, seolah-olah terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau dia tidak tahu betapa dirinya terancam bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan lawan itu bergerak-gerak dan sukar diduga ke arah mana akan menyerang dan sekali saja dirinya kena dicengkeram tentu akan hebat akibatnya.

Namun tentu saja ini pendapat para penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu sendiri. Dia dapat melihat dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan lawan itu, maka dia enak-enak saja. Ketika jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia pun mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman kedua tangan lawan dan berbareng dia mengangkat lutut kirinya ‘memasuki’ perut lawan.

“Ngekkk...!”

Biar pun Sun Giam sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat perutnya keras dan kebal, namun hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung membuat perutnya mulas dan napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan dengan tangan kiri lawan, menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu, sikunya menyambar ke depan.

“Croott...!”

Siku itu mencium muka Sun Giam, tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi tenaga lweekang sekuatnya, maka biar pun batang hidung itu tidak remuk, akan tetapi getaran pukulan siku itu membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!

“Aughhh...!” Sun Giam mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya, yang satu mengelus perut yang mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang berdarah.

“Bocah setan...!” Tiba-tiba Yauw Siu memaki dan langsung dia menubruk ke arah Kian Bu.

“Heiii...! Eh, uh, luput! Eh, kau adalah lawan kakakku!” Kian Bu mengelak ke sana ke mari dengan cekatan sekali sehingga setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat kosong.

Namun Yauw Siu yang marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking marahnya terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar panjang itu bergerak-gerak dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam dan matanya melotot lebar menyeramkan.

Melihat betapa calon lawannya itu mengamuk dan menyerang adiknya, Kian Lee hanya berdiri tersenyum. Tentu saja seratus persen ia tahu bahwa orang kasar itu sama sekali bukan tandingan adiknya. Biar ada sepuluh orang seperti itu belum tentu akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang saja dan membiarkan adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!

“Wah... eiiittt... Koko, bagaimana ini?” Kian Bu masih mengelak terus.

“Ambil saja untukmu, biar aku menonton saja!” jawab Kian Lee.

“Begitukah? Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu akan hancur. Aku masih mending, kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!”

“Keparat...!” Yauw Siu sudah menubruk lagi, kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Kian Bu untuk mengelak.

Dan pemuda ini pun sama sekali tidak mengelak lagi! Bahkan ia memapaki, menyambut terkaman itu, kedua tangannya didorongkan ke depan sehingga... tubuh tinggi besar itu seperti daun ditiup angin, terlempar ke samping dan terbanting keras.

Yauw Siu terkejut bukan main. Dia tidak tahu bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang dirasakannya hanyalah ada angin menyambar dahsyat, angin yang terasa amat dingin. Akan tetapi dia merasa penasaran. Cepat dia meloncat berdiri dan menerjang lagi bagai angin puyuh, mengamuk membabi buta mengirim pukulan dan tendangan.

Kian Bu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan amat mudah ia mengelak dengan jalan meloncat ke belakang dan tahu-tahu lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi bingung dan terbelalak memandang, mencari ke kanan kiri. Terdengar gelak tawa para penonton karena mereka dapat melihat betapa tubuh pemuda lihai itu tadi mencelat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu telah berada di belakang Yauw Siu sambil tersenyum-senyum.

Mendengar suara ketawa dari para penonton, Yauw Siu menjadi makin bingung dan matanya memandang liar. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Dia membalik dan...

“Plak-plak!” kedua pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang.

Tepuk tangan menyambut ‘kemenangan’ pemuda itu. Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong memandang pucat, memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para pengawalnya.

Yauw Siu sangat terkejut dan semakin marah. Biar pun dia kini juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai, namun rasa malu dan marahnya membuat dia nekat.

“Srattt...!” Dia telah mencabut sebatang ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di pinggangnya.

“Singgg... wir-wir-wirrr...!” Sun Giam kini juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi melibat pinggangnya, yaitu sebuah senjata rantai baja dengan bola berduri di kedua ujungnya.

“Mundurlah, Bu-te!” Kian Lee berkata dengan marah melihat betapa dua orang jagoan itu benar-benar tak tahu diri. Betapa pun juga, dia amat sayang kepada adiknya dan melihat kenekatan dua orang itu yang telah mengeluarkan senjata, dia cepat melompat maju.

Kian Bu meloncat ke belakang. “Celakalah kalian sekarang,” katanya mengejek kepada dua orang jagoan itu.

Akan tetapi dua orang jagoan yang sudah amat marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu. Melihat bahwa sekarang pemuda kedua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan sikap tenang sekali namun dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan dan mata yang tajam itu memandang tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju menggerakkan senjata masing-masing tanpa peduli lagi akan teriakan-teriakan para tamu yang memaki mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.

Han Wi Kong yang pundaknya sudah dibalut dan sejak tadi memandang kagum, kini hendak bangkit dari tempat duduknya. “Si keparat tak tahu malu!” desisnya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Milana menyentuh lengannya.

“Biarkan saja...”

“Apa...? Kedua orang anak muda itu terancam...”

Milana menggelengkan kepala. Mulutnya tersenyum dan matanya bersinar, wajahnya berseri-seri. “Apakah kau tidak juga dapat menduga siapa mereka? Apakah kau tidak mengenal Sin-coa-kun, kemudian loncatan Soan-hong-lui-kun dan dorongan pukulan Swat-im Sin-ciang yang dilakukan Kian Bu tadi?”

“Kian Bu... ahhh dan yang satu itu...?”

“Kian Lee, siapa lagi?”

Han Wi Kong memandang terbelalak dan dengan penuh kekaguman dia melihat betapa Kian Lee menghadapi dua orang lawan bersenjata itu dengan sikap tenang sekali. Dua gulungan sinar senjata itu datang menyambar-nyambar ke depan. Kian Lee berkelebat mengelak di antara dua gulungan sinar senjata itu, gerakannya cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat lagi bentuk tubuhnya, hanya bayangannya saja berkelebatan dan tiba-tiba terdengar dua kali teriakan keras, dua batang senjata itu terlempar dan dua orang jagoan itu terlempar dan roboh terbanting!

Kian Lee telah berdiri dengan sikap penuh wibawa, kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bersedakap dan ia menghardik, “Kalian masih berani menjual lagak lagi di sini?”

Dua orang jagoan itu merangkak bangun, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian mereka saling pandang dan membalikkan tubuhnya.

“Tunggu...!” Klan Bu mencelat dari tempat dia berdiri, tahu-tahu telah berada di depan kedua orang itu. “Tadi kalian melukai orang, terlalu enak kalau kalian dibiarkan pergi begitu saja tanpa dihukum!” Kedua tangannya bergerak cepat menyambar ke depan.

Kedua orang jagoan yang masih merasa nanar itu berusaha membela diri, akan tetapi mereka jauh kalah cepat.

“Krek-krek! Krek-krek!” Dua orang itu jatuh berlutut, kedua tulang pundak mereka telah dipatahkan oleh jari tangan Kian Bu yang hendak membalaskan orang gagah yang tadi patah tulang pundaknya.

“Nah, pergilah kalian!” bentaknya.

Dua orang itu mengeluh, menggigit bibir, memandang dengan mata melotot, kemudian bangkit berdiri dan pergi cepat meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang dengan gerak langkah yang amat lucu. Kaki mereka melangkah cepat setengah berlari, tetapi kedua lengan mereka tidak dapat berlenggang, hanya tergantung lumpuh di kanan kiri tubuh.

“Tangkap kedua orang pengacau itu...!” Tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong berteriak memerintah sambil menudingkan telunjuknya ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Belasan orang pengawal bergerak maju mengepung dengan senjata di tangan.

“Ehh, ehhh, kenapa kami hendak ditangkap?” Kian Bu berseru heran sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Kalian mengacau!” Pangeran itu membentak pula. Dia pun telah melihat betapa banyak di antara para tamu menggelengkan kepala tanda tidak setuju kalau dua orang muda itu ditangkap.

“Ahh! Ahh! Jadi kami yang mengacau?” Kian Bu berteriak pula tanpa takut sedikit pun. “Dua orang jagoan kampungan tadi telah mengeluarkan tantangan dan penghinaan terhadap Pulau Es. Siapa pun tahu bahwa Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti! Pendekar itu adalah mantu dari Yang Mulia Kaisar dan ayah dari Puteri Milana yang hadir di sini sebagai tamu kehormatan! Kami berdua maju menghajar orang yang menghina mantu Kaisar malah dituduh pengacau! Kalau begini, siapa yang mengacau?”

Mendengar ucapan ini, Liong Bin Ong menjadi merah mukanya. Apa yang diucapkan dua orang pemuda remaja itu terdengar oleh semua orang dan hampir semua orang mengangguk-angguk membenarkan.

“Siapa kalian?” bentaknya.

“Sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja kami tidak membiarkan orang-orang macam mereka itu menghina Pulau Es.”

“Kian Bu...! Kian Lee...!” Milana tak dapat menahan lagi kegirangan hatinya. Dia sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pemuda yang serta merta berlutut di depan Milana itu.

“Enci Milana...!” Mereka berkata hampir berbareng.

Milana tertawa dan sekaligus mengusap air matanya, menyuruh bangun mereka dan memeluk mereka, menarik mereka ke ruangan tamu kehormatan dan memperkenalkan mereka kepada Pangeran Liong berdua dan para tamu.

“Mereka adalah adik-adikku Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dari Pulau Es!”

Melihat keluarga yang saling bertemu itu bergembira dan disambut oleh para tamu dengan girang, dua orang Pangeran Liong saling pandang dengan muka pucat. Tentu saja mereka tidak dapat berbuat sesuatu terhadap adik-adik Puteri Milana, yaitu cucu Kaisar sendiri, apa lagi karena semua tamu tadi jelas menyaksikan betapa dua orang pemuda itu mengalahkan dua orang jagoan yang dianggap menghina Pulau Es. Para tamu berbondong datang dan menghaturkan selamat kepada Puteri Milana yang telah bertemu dengan dua orang adiknya yang gagah perkasa.

Dengan alasan kedatangan dua orang adiknya, Puteri Milana dan suaminya yang terluka pundaknya itu bergegas meninggalkan tempat pesta, pulang ke istana mereka sendiri. Setelah Han Wi Kong yang patah tulang pundaknya itu memperoleh perawatan dari seorang tabib dan mengundurkan diri untuk beristirahat di kamarnya sendiri, Milana mengajak dua orang adiknya bercakap-cakap sampai semalam suntuk.

Tidak ada habis-habisnya mereka saling menceritakan keadaan masing-masing, dan terutama sekali dengan penuh kerinduan hati Milana ingin mendengarkan segala hal mengenai Pulau Es. Ketika dia mendengar tentang Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar yang pernah dilawannya di rumah penginapan itu ternyata pernah pula menyerbu Pulau Es dengan kawan-kawannya, puteri ini mengerutkan alisnya dan dengan penuh kekhawatiran dia dapat menduga bahwa Pangeran Liong ternyata dibantu oleh orang-orang pandai.

Beberapa hari kemudian, setelah membawa dua orang adiknya menghadap kepada Kaisar, Milana lalu memberi tugas kepada kedua orang adiknya yang dia tahu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk menjaga diri dan untuk menunaikan tugas rahasia itu. Dia menyuruh Kian Lee dan Kian Bu pergi ke utara, menemui Jenderal Kao Liang dan menceritakan semua keadaan di kota raja, mengajak Jenderal Kao yang amat setia dan yang menguasai sebagian besar pasukan itu untuk mengerahkan pasukan menumpas pemberontak-pemberontak tanpa menanti perintah Kaisar lagi karena Kaisar tentu saja terpengaruh oleh para pangeran yang menjadi saudaranya sendiri itu, dan tidak percaya bahwa mereka merencanakan pemberontakan. Pendeknya Milana mengajak Jenderal Kao untuk mendahului gerakan pemberontakan dan sekaligus membasmi pemberontak yang belum sempat bergerak itu.....

********************
Tengah malam telah lewat. Udara amat dingin membuat para penjaga yang berkumpul di gardu benteng mengantuk dan mereka berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun besar. Perang antara dinginnya hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan kehangatan yang membuat orang cepat mengantuk, apa lagi setelah bertugas menjaga dan meronda sehari semalam menanti penggantian giliran besok pagi. Banyak di antara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang berbaring begitu saja di bawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur rata-rata sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan perondaan secara ketat? Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki benteng?

Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat ke atas pagar tembok, lalu melayang turun dan cepat menyelinap di antara bangunan-bangunan di dalam benteng, menghindarkan diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.

Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik ke atas genteng dan berloncatan, kemudian melayang turun lagi dan menyelinap di antara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah hafal akan keadaan di situ.

Tentu saja demikian karena seorang di antara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jenderal Kao Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak. Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik.

Sudah tentu saja andai kata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar akan kedatangannya, tentu panglima yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya. Maka mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim Bouw Sin.

Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar di mana Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, kelihatan panglima itu marah-marah.

“Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!” Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti itu. “Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka.”

“Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam berusaha lagi untuk...”

“Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut harus cepat menyembunyikan diri sehingga andai kata dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apa-apa di sini.”

“Bagus sekali siasatmu, tetapi rahasiamu sudah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak busuk, menyerahlah kalian!”

Bentakan suara Jenderal Kao yang sangat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang tengah berada di dalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ke arah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi.

Kim Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana dan bercaping lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa rahasianya telah terbuka, maka dia cepat berseru, “Bunuh mereka!”

Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa di antara belasan orang itu terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya di sumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu.

Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi ketiga orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi yang penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.

Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu. Sungguh pun kebanyakan di antara mereka tidak ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu, namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao. Hanya dua orang yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu.

Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Akan tetapi melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing dan lantas menyambar ke arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.

“Crak-crakkk!”

Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata mereka terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah Gak Bun Beng.

Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan pergelangan tangan yang istimewa sehingga berputar amat cepatnya. Maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun Beng melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.

Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak. Ketika dia melihat capingnya melayang kembali, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, dan lalu menyambar benda itu untuk terus dipakai di atas kepalanya dan mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.

Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, sehingga lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua di antara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin yang mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung dan pundaknya terluka parah.

Gan Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apa lagi membunuh, merasa ngeri juga, maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan. Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu.

Kemudian tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk. Dengan beberapa kali menggerakkan tangan dan kakinya, maka robohlah seorang panglima pembantu dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal ini kagum dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapa pun Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!

Melihat robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok segera menjadi jeri dan cepat melarikan diri keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak untuk minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah para pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.

“Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!”

Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara? Maka dia tidak banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela.

Terdengar suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir menyambar, namun Jenderal kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.

“Mari kau ikuti aku!” Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di dalam benteng itu menuju ke menara!

Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang, menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao kini datang untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan tanda supaya seluruh prajurit berkumpul!” dengan suara yang nyaring dan penuh wibawa jenderal itu membentak, kemudian menambahkan. “Ataukah kalian hendak ikut memberontak pula dan ingin kubunuh semua di sini?”

Para penjaga itu menjadi ketakutan, apa lagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua orang di antara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biar pun cuaca masih remang-remang, namun tidaklah segelap tadi.

Para prajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di bawah menara. Dalam keadaan hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan simpang-siur oleh para prajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita kekacauan itu.

Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat saja semua prajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu, menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing. Dari atas menara, Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang pun panglima yang hadir. Dari tempat itu dia dapat melihat jelas karena para prajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglima-panglima di benteng itu. Tiga orang di antara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang dua itu pun ikut memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri?

Setelah semua prajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah pingsan itu ke depan menara sehingga tampak oleh semua prajurit karena di bagian depan menara itu telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua prajurit itu.

Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua prajurit dan di bawah menjadi bising.

“Semua tenang...!” Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan menjadi hening, tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.

Hati jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua prajurit dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong. Dan dia pun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara menyelundup ke dalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia datang bersama sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan.

Akan tetapi sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan, mereka tidak sempat lagi membujuk dan para prajurit yang kebingungan baru bangun tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan hormati.

Setelah melihat semua prajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya menggema dari atas menara, “Para perwira dan para prajurit yang gagah perkasa! Di antara kalian tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin, juga menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah berkhianat dan menyelewengkan kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan rendah!”

Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia menyambung, “Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana? Kalian akan dibasmi, dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang terbawa-bawa ke dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng. Oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa. Bagaimana pendapat kalian?”

Hening sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para prajurit ini sehingga mereka memberontak, tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang prajurit itu!

“Hidup Jenderal Kao...!”

“Basmi pemberontak...!”

Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya sehingga semua kebisingan yang di bawah berhenti.

“Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya Panglima Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua orang itu?”

Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira, “Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!”

“Ahh!” Jenderal Kao Liang berseru. “Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!”

Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut di bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.

“Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin?” Jenderal Kao bertanya.

“Kami berdua menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati dari pada harus memberontak,” jawab Kwa-ciangkun.

“Para perwira dan prajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang prajurit sejati! Maka, untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!”

Kembali terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para prajurit yang merasa beruntung sekali bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan yang demikian mudahnya. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi pasukan pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan dibasmi hancur!

Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi ‘kuliah’ kepada para prajurit sampai hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu ditawan dengan kaki tangan dibelenggu. Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin telah tewas semua, membunuh diri!

“Ahhh... saya yang ceroboh, Panglima!” Bun Beng berseru menyesal. “Mestinya mereka itu kutotok lumpuh sebelum kita tinggalkan tadi.”

“Tidak mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut.”

Jenderal Kao lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun Beng kembali ke bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya mereka dihadapkan ke kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.

Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar di hati jenderal yang perkasa itu. Di sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan, tiada hentinya bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya.

Di dalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan ketika keluarganya dahulu dibawanya di perbatasan itu....

Di waktu keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru berusia sepuluh tahun, pada suatu hati telah lenyap ketika anak itu bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao telah mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiri pun sudah mencari, mengarungi padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat diketemukan kembali bahkan mayatnya pun tidak! Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, ia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak tentu kuburnya itu.

Ada pun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dia pun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi selengkapnya, seperti yang diketahuinya.

“Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir dan batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah tiba di sini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya.”

Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolong dirinya itu! Tidak pernah dia akan dapat melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang akan tewas!

“Memang kasihan sekali dia...” katanya, sudah tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan ‘dia’, puteri itukah atau Ceng Ceng.

“Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi kepadamu agar kelak dapat kau antarkan dia kepada Puteri Milana...”

“Hemm, kenapa kepada Puteri Milana?” Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu.

Bun Beng menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja. “Siapa lagi yang dapat melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu? Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa tenang.”

“Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang, kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana.”

Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri. “Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!”

Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata, “Gak-taihiap, engkau memutar balikkan kenyataan dan demikianlah memang sifat pendekar-pendekar budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi... hemm, sungguh aneh sekali... aneh sekali...!”

Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya di sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran, “Apakah yang aneh, Kao-goanswe?”

“Taihiap, pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?”

Bun Beng memandang dengan hati penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu menanyakan ini, lalu mengingat-ingat, dan akhirnya menggeleng kepalanya.

“Dan kurang lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?”

“Shen-yang dekat kota raja?”

Jenderal itu mengangguk.

“Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun ini saya mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota besar.”

Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk. “Sudah kuduga demikian... tetapi menurut berita, namanya juga Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut...”

“Aihhh, dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia dan apa sangkut-pautnya dengan saya, Kao-goanswe?”

“Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkau pun belum tua benar, Taihiap.”

“Hemm, tentu dia orang lain. Apakah pekerjaannya?”

“Dia merampok, membunuh, memperkosa...”

“Ahhh...!” Bun Beng mengerutkan alisnya. “Kalau begitu halnya, tentu hanya ada dua kemungkinan.”

“Maksudmu, Taihiap?”

“Pertama, memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama dengan saya. Kedua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya. Akan tetapi, yang mana pun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kao-goanswe.”

Jenderal itu mengangguk-angguk. “Saya lebih condong menduga kemungkinan kedua, Taihiap. Seorang pendekar lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum sesat, oleh karena itu tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan cara memburukkan namamu.”

Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya perlahan. “Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya akan melakukan penyelidikan.”

“Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Ke sanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap.”

“Baik, hari ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi.”

Setelah tiba di benteng, Gak Bun Beng segera menemui Syanti Dewi. Akan tetapi puteri itu tidak berada di dalam kamarnya dan menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun Beng dan Jenderal Kao berangkat, semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan berada di dalam taman. Bahkan para pelayan yang hendak menemaninya disuruh pergi semua.

Cepat Bun Beng memasuki taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang sedang duduk menutupi muka dengan sapu tangan yang basah air mata. Agaknya puteri itu menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama dalam perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam suntuk tidak meninggalkan taman itu!

“Dewi...!”

Sapu tangan basah itu terlepas, muka yang agak pucat dengan mata merah itu tampak menengok, lalu dia meloncat, berlari menghampiri sambil mengeluh panjang, “Paman..., ahhh, Paman...!” Syanti Dewi menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis di atas dada pendekar itu.

Bun Beng mengelus rambut kepala yang halus itu, berkali-kali menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya, kemudian baru ia berkata lirih, “Aih, Dewi, kau kenapakah? Semalaman engkau berada di taman dan engkau... menangis? Apa yang menyusahkan hatimu? Apakah engkau masih berduka karena kematian adikmu Candra Dewi?”

Syanti Dewi terisak-isak dan semakin mempererat pelukannya, kemudian melepaskan rangkulannya, memandang wajah pendekar itu, berusaha tersenyum tetapi kelihatan makin mengharukan.

“Maafkan aku, Paman...! Tentu saja aku masih terus berduka kalau teringat kepada Adik Candra, akan tetapi semalam aku... aku cemas sekali memikirkan Paman...”

Bun Beng tersenyum dan kembali jantungnya bagai ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara ini kepadanya! Mencemaskan keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin terasa olehnya betapa Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa hati Gak Bun Beng, apa lagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di situ terdapat kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini, seolah-olah pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana kini dibelokkan ke arah Syanti Dewi!

Bun Beng memaksa senyum untuk menutupi perasaan hatinya. “Dewi, kau lucu sekali. Mengapa mengkhawatirkan aku?”

“Ada dua hal yang membuat aku merasa khawatir sekali sehingga membuat aku menangis, Paman. Sampai saat ini pun, biar Paman telah kembali dengan selamat, namun masih ada hal kedua yang mencemaskan hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman akan celaka dan ternyata Paman telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada hal kedua...” Kembali Syanti Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.

“Ada apakah, Dewi? Katakanlah kepadaku.”

“Aku... aku khawatir... bahwa Paman... Paman akan meninggalkan aku...”

“Ah, Dewi, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu?”

Syanti Dewi mengangkat muka, lalu memegang kedua lengan pendekar itu. Wajahnya berseri, matanya bersinar penuh harapan. “Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku? Paman, berjanjilah bahwa Paman tidak akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak akan saling berpisah!”

Bun Beng menghela napas panjang. “Aihhh, bukan begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau mengkhawatirkan perpisahan antara kita yang memang sudah semestinya? Biar pun engkau sudah kuanggap sebagai keponakan sendiri, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang, bukan keluarga. Antara kita tidak ada ikatan keluarga, dan memang aku akan melanjutkan perjalananku, meninggalkan engkau di sini bersama Jenderal Kao yang menganggap kau sebagai anak sendiri...”

“Tidak...! Aku ikut denganmu, Paman.”

Bun Beng menggeleng kepala. “Aku seorang yang hidup sebatang kara, tidak tentu tempat tinggalku, tidak tentu makanku, mana mungkin engkau ikut?”

“Biar! Aku akan ikut ke mana pun engkau pergi!”

“Perjalanan hidupku hanyalah menghadapi kesengsaraan belaka...”

“Aku tidak takut! Aku bersedia menderita sengsara di sampingmu, Paman.”

“Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan, Dewi! Di antara kita tidak ada ikatan apa-apa, tidak ada hubungan keluarga dan...”

“Siapa bilang tidak ada ikatan apa-apa, Paman?”

“Maksudmu...”

“Tidak terasakah oleh Paman akan adanya ikatan yang amat erat di antara kita, ikatan batin yang amat kuat? Dan Paman masih mengatakan tidak ada ikatan apa-apa? Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya hidup serba mewah dan mudah, dapat melakukan perjalanan yang sukar dan menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia di samping Paman? Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa di antara kita?”

“Maksudmu...?”

“Maksudku...?” Wajah itu pucat dan dari kedua matanya mengalir air mata di pipinya, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar. “Masih perlukah kujelaskan lagi? Mengapa aku gelisah kalau Paman pergi? Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit? Mengapa aku berbahagia kalau berada di samping Paman? Perlukah kujelaskan lagi, Paman? Perlukah...?” Syanti Dewi tersedu.

Wajah Bun Beng berubah pucat. Inilah yang ditakutinya, yang dikhawatirkannya selama ini. Bibirnya bergetar, alisnya berkerut, seluruh tubuhnya terasa menggigil.

“Kau... kau...?”

“Aku cinta padamu, Paman! Kurasa Paman tidak buta untuk melihat hal itu...”

“Aku tahu... aihh, Dewi... aku tahu... tapi...”

“Paman...!” Syanti Dewi merangkul dan menangis di dada pria itu.

Bun Beng juga memeluk gadis itu dan mengelus rambutnya. Mukanya ditengadahkan, menghadap ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan dari atas, tetapi dia merasa ngeri untuk menyaksikan kenyataan ini sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tidak bergerak seperti telah berubah menjadi arca.

Ketika Syanti Dewi yang tadinya menangis di dada pria itu merasa betapa tubuh itu bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya dan betapa kaget hatinya melihat Bun Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti itu menangis!

“Paman...!” Dia berseru kaget karena hal ini merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa. Sukar dapat membayangkan betapa pendekar yang sakti itu, pria yang gagah perkasa, kuat dan budiman, dapat menangis!

Gak Bun Beng memejamkan kedua matanya, melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi dengan ujung lengan bajunya, kemudian terdengar suaranya agak parau, “Syanti Dewi, engkau duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan membiarkan perasaan mencengkeram hati kita.”

Dengan pandang mata khawatir Syanti Dewi melepaskan pelukannya, lalu duduk di atas bangku taman itu. Bun Beng juga duduk di sampingnya. Sejenak mereka hanya saling pandang, kemudian setelah berulang kali menarik napas panjang, Bun Beng berkata, suaranya sudah tenang dan biasa kembali, “Dewi, aku merasa berterima kasih dan terharu sekali bahwa engkau, seorang puteri kerajaan yang cantik jelita dan masih muda sudi memperhatikan dan menaruh hati kasih kepada seorang laki-laki seperti aku yang miskin dan pengembara, sengsara dan sudah hampir tua...”

“Paman Gak Bun Beng! Apakah cinta kasih itu juga harus disertai usia dan kedudukan seseorang?”

“Tentu saja tidak, Dewi. Akan tetapi cinta kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada perjodohan, sudah tentu harus memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan kelangsungan perjodohan itu sampai selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah bangsawan, dan...”

“Cukup, Paman! Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis yang tidak mempunyai apa-apa, yang sebatang kara pula seperti Paman... dan aku... aku tidak sanggup kalau harus hidup berpisah dari samping Paman.”

“Dewi...! Pikirlah baik-baik, tidak mungkin keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga aku datang menemuimu untuk berpamit. Aku akan melanjutkan perjalananku, melanjutkan hidupku yang merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk menyeretmu ke dalam kehidupanku yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan aku sudah membicarakan tentang dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan mengatur kesemuanya demi kebaikanmu, Dewi...”

Gak Bun Beng sudah bangkit berdiri, akan tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan menubruknya, erat memegangi lengannya sambil menangis. “Jangan, Paman... Jangan tinggalkan aku... ahhh, jangan tinggalkan aku... aku tidak akan kuat menanggungnya...”

Bun Beng menjadi terharu sekali. Dia benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat keadaan dara itu, dan dia hanya dapat mengelus rambut dara itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan kelemahan hatinya, dia harus ingat akan masa depan gadis ini!

“Jangan begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi masa depanmu sendiri, aku harus pergi, sekarang juga. Nanti Jenderal Kao akan mengurus segala keperluanmu, tinggal engkau rundingkan dengan dia yang menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat mengantar engkau kembali ke Bhutan atau kota raja menghadap Kaisar...”

“Paman... Paman Gak... apakah Paman tidak cinta kepadaku?”

“Demi Tuhan... satu-satunya orang yang kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah engkau seorang, Dewi. Namun, ngeri aku membayangkan untuk mencintaimu dengan disertai keinginan memiliki dirimu lahir batin. Aku... ahhh... agaknya luka di hatiku masih belum sembuh, aku belum berani lagi mencinta wanita... pengalaman yang lalu... ahhh, kau pasti mengerti, Dewi. Betapa pun juga, kalau ada orang yang kusayang, kukasihi sepenuh hatiku, selain dia... ah, kiranya orang itu hanya engkau, Dewi...”

Gak Bun Beng memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan dara itu, kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan meloncat pergi. Dalam sekejap mata saja ia lenyap dari pandangan Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan jiwa yang menggetar, “Selamat tinggal, Dewi...!”

“Paman Gak...!” Syanti Dewi menjerit dan berlari ke sana ke mari mencari-cari, namun pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara ini menjatuhkan diri di atas tanah, berlutut sambil menangis sampai mengguguk. Sampai lama sekali dara itu menumpahkan duka hatinya seperti itu, sampai dia lupa waktu.

“Syanti Dewi, anakku... mengapa engkau berduka seperti ini?”

Syanti Dewi mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di situ, mendengar bahwa jenderal itu tidak lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan menyebutnya ‘anakku’, hatinya yang penuh kecewa dan duka itu menjadi terharu.

“Paman...!” Serunya sambil berlari ke depan, lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan jenderal itu sambil menangis.

Jenderal Kao Liang mengangkatnya bangun, membiarkan gadis itu menangis dengan muka di atas dadanya, sambil mengelus rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.

“Tenanglah, anakku. Janganlah meneruskan hati yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi kepergian Gak-taihiap, bukan?”

Tanpa menjawab, Syanti Dewi mengangguk. Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata, “Dia memang seorang yang amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut dijunjung tinggi, patut dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara seperti engkau. Aku mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau menggunakan kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau khawatir, Anakku. Jodoh tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan. Kalau memang sudah berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali.”

Sambil menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak puteri itu kembali ke dalam rumah sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati puteri itu. Akan tetapi setelah dia tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao Liang untuk mengantarkannya ke kota raja, ke istana Puteri Milana!

“Apakah engkau tidak ingin kembali saja ke istanamu di Bhutan?” Jenderal Kao Liang bertanya.

“Tidak, saya ingin bertemu dan bicara dengan Puteri Milana!” jawab Syanti Dewi dengan tegas. Dia tidak mengatakan kepada jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri Milana bukanlah untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri itu yang telah membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur Puteri Milana!

“Baiklah, Syanti Dewi. Tetapi kau bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu sekarang. Aku sudah menyusun laporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban pelaporan tentang pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba, tentu aku diharuskan menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan kepada Puteri Milana.”

Terpaksa Syanti Dewi menanti dengan sabar dan menekan kedukaan hatinya yang selalu mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti yang amat dikagumi dan yang telah menjatuhkan hatinya itu.....

********************

Kita tinggalkan dulu Puteri Syanti Dewi yang merana dan menderita kesengsaraan batin sebagai akibat cinta pertama itu dan kita mengikuti keadaan Candra Dewi atau Lu Ceng atau Ceng Ceng yang seolah-olah terkubur hidup-hidup di dalam dunia bawah tanah bersama nenek lumpuh Ban-tok Mo-li.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, melihat betapa Ceng Ceng membelanya ketika Siang Lo-mo datang menuntut diberikannya kitab catatan racun, timbul rasa sayang di dalam hati nenek lumpuh yang tidak waras lagi otaknya itu terhadap Ceng Ceng.

Dengan penuh kesungguhan hati mulailah nenek itu menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ceng Ceng, terutama sekali ilmu menggunakan racun-racun berbahaya ke dalam tubuh sehingga dalam waktu beberapa bulan saja Ceng Ceng telah berubah menjadi seorang ‘gadis beracun’ yang amat menyeramkan karena bukan saja dara ini dapat mengisi hawa pukulan dan serangannya dengan hawa beracun, akan tetapi juga dapat menggunakan racun ke dalam seluruh anggota tubuhnya sehingga setiap tamparan, jamahan tangan, kalau dikehendakinya, dapat membuat lawan roboh dan tewas. Bahkan dengan pengerahan istimewa, gadis ini dapat membuat ludahnya beracun pula!

Dengan amat tekun Ceng Ceng melatih dirinya dengan semua ilmu kaum sesat yang mengerikan itu dan dalam waktu tiga bulan dia telah memperoleh kemajuan hebat sehingga jauhlah kalau dibandingkan dengan sebelum dia terjerumus ke dalam sumur maut. Memang nenek yang sudah putus asa untuk dapat membalas dendam sendiri kepada Siang Lo-mo, mewariskan ilmu-ilmunya kepada muridnya ini, dengan harapan agar kelak Ceng Ceng dapat membalaskan dendamnya kepada sepasang kakek kembar yang lihai itu.

Bahkan catatan racun yang aslinya, tidak seperti yang diberikan kepada Siang Lo-mo yang mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja, telah diperlihatkan dan diserahkan kepada Ceng Ceng untuk dipelajarinya sehingga dara ini bukan saja menjadi ahli dalam ilmu silat beracun, juga ahli pula dalam soal segala macam racun sehingga dengan tuntunan kitab catatan kecil itu dia bisa menyembuhkan segala macam keracunan!

Selain memperoleh ilmu silat dan ilmu tentang racun, juga Ceng Ceng memperoleh sebatang pedang dari gurunya, sebatang pedang yang indah dan ampuh, akan tetapi sudah direndam racun yang bermacam-macam, lama, dan amat jahatnya. Pedang ini yang tadinya merupakan sebatang pedang pusaka ampuh, terbuat dari logam pilihan, oleh Ban-tok Mo-li telah diubah menjadi sebatang pedang iblis yang amat mengerikan dan oleh nenek itu diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun).

Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan pada suatu senja, seperti biasa kalau sudah lelah berlatih, Ceng Ceng yang tidak ada bosan-bosannya itu memeriksa terowongan dan mencari-cari jalan rahasia dari mana datangnya Siang Lo-mo. Terutama sekali dia memeriksa terowongan di mana dahulu sepasang kakek kembar itu muncul karena dia yakin bahwa tentu di sekitar tempat inilah terdapat sebuah pintu rahasia.

Dia sudah hampir setiap hari mengetuk, memukul, mendorong dan menarik batu-batu dinding terowongan itu tanpa hasil. Sekali ini ia melihat-lihat ke atas. Terowongan itu cukup tinggi, tidak kurang dari dua tombak tingginya, dan permukaan dindingnya agak kasar karena batu-batunya menonjol. Kalau pintu rahasia itu tidak berada di kanan kiri dinding terowongan itu, apakah terdapat di atas, di langit-langit terowongan, pikirnya. Dia lalu mengangkat kakinya menginjak batu menonjol, lalu mengenjot tubuhnya ke atas, berpegang kepada batu menonjol di langit-langit, kaki yang sebelah lagi menginjak batu menonjol yang lain, kemudian dengan kedua tangannya, mulailah dia mengetuk-ngetuk, mendorong atau menarik batu-batu menonjol di sekitar langit-langit terowongan itu.

Tiba-tiba jantungnya berdebar tegang ketika sebuah batu menonjol yang dipegang tangan kirinya ketika dia dorong bergerak sedikit! Dia membenarkan letak kakinya mencari tempat berpijak yang kuat, kemudian mengerahkan tenaganya mendorong batu menonjol itu.

“Kraaakkkk...!” terdengar suara batu bergeser dan tampak sebuah lubang yang bergaris tengah hampir satu meter terbuka di langit-langit terowongan itu!

Ceng Ceng hampir bersorak girang. Tentu saja sampai bertahun-tahun Ban-tok Mo-li tidak dapat menemukan pintu rahasia ini karena nenek yang bernasib malang itu telah lumpuh kedua belah kakinya. Dia tidak dapat menggunakan lagi kakinya itu, sedangkan rahasia pintu terowongan itu hanya dapat ditemukan kalau orang menggunakan kedua kakinya untuk memanjat dan kedua tangan untuk menarik. Dan agaknya ini pula yang menjadi satu di antara sebab mengapa dua orang kakek kembar itu membikin lumpuh kaki Ban-tok Mo-li.

Dengan hati girang sekali Ceng Ceng lalu meloncat turun, mengambil kitab catatan racun dan pedang Ban-tok-kiam pemberian subo-nya, kemudian dia lari kembali ke bawah pintu rahasia itu. Akan tetapi baru saja kedua kakinya bergerak hendak meloncat ke atas memasuki lubang itu, tiba-tiba terdengar suara berkaok ular besar yang melingkar di batu menonjol tak jauh dari lubang rahasia itu, kemudian dengan kaget Ceng Ceng mendengar suara teguran subo-nya.

“Ceng Ceng, kau hendak pergi ke mana membawa-bawa pedang dan kitab?”

Ceng Ceng terkejut sekali. Dia maklum bahwa dia harus pergi meninggalkan gurunya, karena tidaklah mungkin baginya untuk pergi mengajak subo-nya yang cacad kedua kakinya itu. Tanpa menjawab dia menyelinap di ujung terowongan untuk bersembunyi. Akan tetapi tiba-tiba tampak tubuh subo-nya yang merangkak cepat sekali datang dari dalam.

“Heh-heh-heh, aku tahu kau berada di situ, Ceng Ceng. Kau mencurigakan sekali, tentu engkau telah menemukan pintu rahasia itu, bukan? Heh-heh, jangan kau tinggalkan tempat ini tanpa aku, muridku!”

“Tidak! Subo harus tetap tinggal di sini, biar teecu yang keluar dan kelak teecu akan membalaskan dendam Subo terhadap Siang Lo-mo!”

“Heh-heh-heh, enak saja! Tidak, kau harus membawa aku atau kau tidak akan dapat pergi dalam keadaan hidup!”

Ceng Ceng maklum akan watak subo-nya yang amat kejam. Ancaman subo-nya itu tentu akan dilaksanakan kalau dia tidak mau menurut, akan tetapi dia pun tidak mau menyia-nyiakan jalan kebebasan ini. Keluar dari tempat itu bersama subo-nya bukanlah kebebasan namanya. Subo-nya lihai sekali, sekali mereka keluar dari neraka di bawah tanah itu, dia akan dipaksa untuk memenuhi kehendak subo-nya di bawah ancaman maut.

“Tidak, Subo. Teecu akan pergi sendiri!” Ceng Ceng meloncat ke atas, ke arah lubang dan pada saat itu dia tidak lengah, melainkan dengan waspada dia memandang ke arah subo-nya.

“Kalau begitu mampuslah!” Ban-tok Mo-li menggerakkan tangan kanannya, dan sebuah benda bulat yang mengeluarkan sinar melayang ke arah Ceng Ceng dengan kecepatan hebat.

Ceng Ceng terkejut. Dia maklum bahwa subo-nya memiliki senjata-senjata rahasia yang aneh-aneh dan dia belum sempat mempelajarinya. Ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang dipergunakan subo-nya saat itu untuk menyerangnya, karena itu dia mengambil keputusan untuk mengelak dengan jalan meloncat turun kembali karena dia tidak berani menangkis atau menendang bola yang meluncur ke arahnya itu sebelum dia tahu benda macam apa yang dipergunakan untuk menyerangnya selagi tubuhnya melayang ke atas itu.

Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan meluncur dari atas menyambar ke arah bola yang melayang itu. Ceng Ceng sudah bergantung ke pinggir lubang sambil memandang ke bawah. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang meluncur itu adalah ular besar yang dengan moncong terbuka lebar menyambar ke arah senjata rahasia berupa bola itu.

“Ular tolol! Jangan...!” Ban-tok Mo-li yang sudah tiba di bawah tempat itu berteriak.

Namun terlambat! Ular itu sudah mencaplok benda melayang itu dan terdengarlah bunyi ledakan keras dan tampak api bernyala besar membakar tubuh ular itu yang terpaksa melepaskan belitannya pada batu, jatuh ke bawah merupakan api berkobar-kobar.

Terdengar jerit melengking mengerikan dan Ceng Ceng terbelalak memandang, lalu dia meloncat turun sambil berteriak, “Subo...!”

Akan tetapi gadis ini hanya berdiri bingung dengan jari-jari tangan saling cengkeram, tidak tahu harus berbuat bagaimana melihat subo-nya yang tertimpa ular itu kini juga terbakar secara hebat! Melihat ular dan subo-nya bergulingan dan berkelojotan tanpa dia mampu menolong sedikit pun, Ceng Ceng hanya memejamkan matanya, tidak tega menghadapi peristiwa yang amat mengerikan itu, kemudian dia meloncat lagi memasuki lubang terowongan, lalu merangkak dengan cepat melalui terowongan yang ternyata amat panjang dan gelap itu.

Terowongan yang gelap itu ternyata amat panjang, berlika-liku dan selalu naik. Dara itu tidak tahu sampai berapa jauhnya dia merangkak-rangkak, kaki dan tangannya sampai terasa lelah, namun mengenangkan gurunya dia merasa ngeri dan terus melanjutkan perjalanan yang sukar itu tanpa berhenti.

Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, kadang-kadang terowongan itu sempit dan licin basah, kadang-kadang melalui lantai yang penuh batu tajam dan runcing, akhirnya dia berhenti karena jalan itu buntu. Selama menempuh perjalanan sukar sambil merangkak-rangkak itu, dia harus meraba-raba dengan kedua tangannya karena amat gelap. Kini pun dia meraba-raba dan mendapat kenyataan mengejutkan bahwa jalan itu berhenti dan buntu, di depannya adalah dinding batu. Ketika dia meraba-raba lantai yang penuh dengan benda-benda berserakan seperti batu-batu besar, tiba-tiba keadaan di situ menjadi agak terang dan dia cepat mengangkat muka memandang ke atas.

Hampir dia berteriak saking kaget dan heran, juga girangnya, dan cepat dia bangkit berdiri. Betapa enaknya rasa tubuhnya berdiri seperti itu setelah berjam-jam merangkak terus! Kiranya tempat itu merupakan sebuah sumur yang cukup tinggi, biar pun tentu saja tidak setinggi sumur di padang pasir, sumur maut di mana dia terjungkal. Dan cuaca di dasar sumur itu menjadi makin terang, bahkan kini terdengar suara-suara banyak orang di atas sumur! Ceng Ceng terkejut dan cepat menyelinap bersembunyi ke terowongan sambil mengintai ke atas.

Tampaklah obor-obor dipegang tangan banyak orang, lalu tampak kepala-kepala orang yang kelihatannya aneh dan menyeramkan dari bawah itu. Keadaan menjadi makin terang dan ketika dia melihat lagi ke atas lantai sumur, hampir saja Ceng Ceng menjerit. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau yang amat tidak enak, bau busuk, bau bangkai!

Hanya karena dia sudah melatih diri dengan ilmu yang membuat tubuhnya beracun, maka tadi dia tidak begitu merasakan hal ini. Sekarang, setelah keadaan menjadi terang oleh sinar banyak obor di atas sehingga dia dapat melihat bahwa benda-benda berserakan yang disangkanya batu-batu tadi ternyata adalah tumpukan tulang-tulang dan tengkorak manusia, barulah dia tahu bahwa tempat itu merupakan gudang tulang-tulang manusia, bahkan ada tulang-tulang yang masih belum bersih betul, masih ada sisa hancuran dan cairan bekas tubuh manusia yang tentu saja berbau busuk sekali!

Ceng Ceng memandang lagi ke atas. Agaknya terdapat kesibukan-kesibukan di atas sumur itu, akan tetapi suara orang-orang itu tidak terdengar jelas, karena campur aduk tidak karuan. Tiba-tiba tampak oleh Ceng Ceng betapa banyak tangan manusia mengangkat sesuatu kemudian melemparkan benda yang panjang ke dalam sumur itu! Dengan cepat Ceng Ceng merangkak mundur ke dalam terowongan dan merasa ngeri karena dia sudah menduga benda apakah itu yang dilempar ke bawah.

“Bukkk!”

Benda itu terbanting keras dan betul dugaannya bahwa benda itu adalah mayat seorang manusia! Dia tidak sempat melihat apakah mayat itu laki-laki atau wanita, yang jelas bahwa mayat itu telanjang bulat dan jatuh menimpa tulang-tulang yang berserakan di tempat itu. Keadaan kembali menjadi gelap pekat karena agaknya orang-orang yang berada di atas itu mulai pergi meninggalkan sumur.

Ceng Ceng terpaksa merangkak mundur sampai belasan meter dari dasar sumur itu. Dia akan menanti sampai terang. Jika dia mengingat-ingat akan waktu yang digunakan untuk merangkak-rangkak tadi, dia dapat menduga bahwa saat itu tentu sudah lewat tengah malam dan kiranya pagi tidaklah lama lagi. Dia lalu rebah terlentang di dalam terowongan, beristirahat. Dia akan mencari jalan keluar kalau sudah pagi dan terang, dan untuk menanti datangnya pagi, dia memilih terowongan sempit ini dari pada dasar sumur yang luas akan tetapi penuh dengan tulang dan mayat manusia.

Tentu saja Ceng Ceng tak dapat tidur sekejap mata pun. Hatinya terlalu tegang dan dia ingin lekas-lekas dapat keluar dari tempat itu. Hatinya girang sekali ketika sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam sumur itu. Ketika dia merangkak ke dasar sumur, hatinya merasa jijik sekali melihat mayat telanjang seorang laki-laki tua yang dilempar dari atas semalam. Dia menujukan perhatiannya ke atas tanpa banyak membiarkan pandang matanya melihat ke bawah.

Tepat seperti diduganya malam tadi bahwa pasti ada jalan keluar karena terowongan rahasia ini adalah yang dilalui Siang Lo-mo. Dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa biar pun sumur itu dalamnya tidak kurang dari lima belas meter, namun dia sanggup naik melalui dindingnya yang kasar dan penuh batu-batu untuk injakan kaki. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Ceng Ceng merayap atau mendaki naik dengan harap-harap cemas agar jangan sampai muncul orang yang mengganggunya setelah dia tiba di luar sumur.

Ketika akhirnya dia meloncat keluar, ternyata sumur itu berada di tengah hutan di lereng gunung! Bukan di tengah padang pasir lagi! Pantas saja kalau terowongan itu banyak mendaki, kiranya membawanya ke lereng bukit. Dan sumur itu adalah sebuah kuburan! Agaknya penduduk di sekitar daerah ini mempunyai cara penguburan yang aneh, yaitu melemparkan mayat-mayat dalam keadaan telanjang bulat ke dalam sumur ini!

Dia dapat mengetahui hal ini karena di tepi sumur terdapat banyak papan-papan nama yang ditancapkan di atas tanah, dan di situ terdapat pula bekas-bekas hio, agaknya mereka menyembahyangi leluhur mereka di tepi sumur ini secara beramai-ramai. Sumur ini merupakan kuburan bersama! Pantas saja Siang Lo-mo dapat menggunakan sumur ini tanpa diketahui orang, karena orang lain tentu tidak ada yang berani memasuki sumur yang dijadikan kuburan ini, yang tentu merupakan sebuah tempat yang keramat!

Dengan perasaan yang mungkin hanya dapat dirasakan oleh seekor burung yang baru terlepas dari sangkarnya, atau seekor harimau yang baru terlepas dari kerangkeng, Ceng Ceng segera pergi dari tempat itu, menuruni lereng atau memilih jalan menurun untuk keluar dari dalam hutan yang cukup lebat itu.

Biar pun semalam suntuk tak pernah tidur dan baru saja mengalami ketegangan yang cukup hebat, namun kelegaan dan kegembiraan hatinya dapat terbebas secara yang tak disangka-sangkanya itu membuat wajah Ceng Ceng berseri-seri, dan segala yang tampak di depan matanya, pohon-pohon dan batu-batu, bahkan rumput dan daun kering, kelihatan amat indah dan menyenangkan hatinya. Ingin dia tertawa-tawa, ingin dia bernyanyi-nyanyi, akan tetapi kadang-kadang dia berhenti dan termenung, alisnya berkerut kalau dia teringat kepada gurunya. Betapa pun juga, harus ia akui bahwa Ban-tok Mo-li yang kejam dan mengerikan itu telah menyelamatkan nyawanya, bukan itu saja, bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Kini nenek itu telah tewas.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar