Kisah Sepasang Rajawali Jilid 21-25

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 21-25. “Subo, teecu akan membalaskan sakit hatimu terhadap Siang Lo-mo!” bisiknya sambil mengepal tinju.
Anonim
“Subo, teecu akan membalaskan sakit hatimu terhadap Siang Lo-mo!” bisiknya sambil mengepal tinju. Dia cepat mengusir bayangan subo-nya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena dari atas dia melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah sana.

Dia berhenti di luar dusun itu ketika melihat anak sungai yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi dan minum. Atau setidaknya dia harus mencuci mukanya di air yang jernih itu, karena kalau mandi dia khawatir dilihat orang. Cepat dia menuruni anak sungai itu, akan tetapi baru saja kedua tangannya menyentuh air, tiba-tiba terdengar orang berseru penuh kekhawatiran, “Heiii...! Nona..., jangan sentuh air itu... Lekas kau keluar dari situ!”

Tentu saja Ceng Ceng merasa heran sekali. Jika orang itu melarangnya, tentu dia akan marah. Tetapi orang itu jelas bukan melarang, melainkan memperingatkannya seolah olah orang itu merasa ngeri dan takut akan sesuatu.

“Mengapa tidak boleh, Lopek?” tanyanya ketika laki-laki setengah tua itu sudah tiba dekat sambil berlarian.

“Aihh, Nona, harap cepat keluar. Air sungai itu beracun!”

“Hemm, beracun?” Ceng Ceng tertarik sekali dan memandang air itu, lalu membawa tangannya yang basah ke depan hidungnya, bahkan lalu menjilatnya. Memang beracun, pikirnya, akan tetapi hanya tipis dan lemah saja kekuatan racun itu, agaknya karena sudah tercampur air yang amat banyak itu.

“Biarlah aku ingin mencuci muka dan minum!” jawab Ceng Ceng seenaknya dan dia lalu mencuci mukanya, bahkan kemudian menyendok air dengan kedua telapak tangan dan diminumnya. Hemmm, menyegarkan rasanya.

“Nona! Jangan... ahhh, anakku pun sekarang hampir mati karena minum air ini, dan di kampung kami sudah ada enam orang yang tewas. Mengapa Nona begini nekat?”

Ceng Ceng makin tertarik dan dia lalu meloncat ke darat. Sekali loncat saja dia telah tiba di depan laki-laki tua itu yang memandang terbelalak kemudian menjatuhkan diri berlutut!

“Kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita yang sakti...! Nona tidak takut racun dan Nona melompat seperti terbang... kalau begitu, saya mohon dengan hormat, sudilah kiranya Nona menolong kami, mengobati puteraku dan beberapa orang lain yang belum tewas akan tetapi yang menderita sakit hebat karena air sungai ini.”

Ceng Ceng mengangguk. “Baik, akan kucoba untuk menyembuhkan mereka. Mari!”

Kakek itu girang sekali dan cepat mengajak Ceng Ceng memasuki perkampungan itu, langsung menuju ke sebuah rumah yang paling besar dan paling indah di dusun itu. Kiranya orang tua itu adalah hartawan yang paling kaya di dusun itu, dan dia lalu dengan singkat menceritakan kepada isterinya yang masih menangis bahwa nona muda ini hendak mengobati putera mereka. Ibu yang cemas ini cepat mengajak Ceng Ceng memasuki sebuah kamar dan di atas pembaringan rebahlah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang membengkak mukanya dan panas badannya.

Ceng Ceng menghampiri, dan sebentar saja dia sudah tahu bahwa anak ini memang keracunan, racun yang sama dengan yang dia dapatkan di dalam anak sungai tadi. Racun yang sama sekali tidak berbahaya kalau saja orang tahu cara pengobatannya. Cepat dia menotok jalan darah di dada kiri anak itu dan menyuruh Sang Ibu mengambil abu dapur, merendam abu itu di dalam air, lalu memberikan air itu setelah abunya mengendap, untuk diminumkan anaknya.

Setelah ditotok dan minum obat sederhana ini, anak itu benar saja sembuh, bengkak pada mukanya mengempis dan napasnya tidak memburu lagi, panas tubuhnya pun menurun! Tentu saja hartawan itu menjadi girang sekali dan orang lain yang menderita keracunan yang sama lalu dibawa ke rumah gedung itu dan semua diobati oleh Ceng Ceng dan dapat diselamatkan nyawanya.

Rumah itu penuh dengan penduduk dan mereka semua berlutut menghaturkan terima kasih kepada Ceng Ceng, dipimpin oleh kepala dusun itu yang masih adik kandung sendiri dan Si Hartawan tadi.

Ceng Ceng berkata, “Harap Cu-wi sekalian bangkit dan jangan berlebihan. Aku hanya ingin tahu mengapa air sungai itu beracun, apakah biasanya tidak begitu?”

“Tentu saja tidak, Lihiap (Pendekar Wanita),” jawab Si Kepala Dusun setelah semua orang bangkit. “Sejak turun-temurun, anak sungai itu memiliki air yang jernih dan bersih dan yang menjadi air minum seluruh penduduk dusun. Akan tetapi sejak tiga hari yang lalu, tiba-tiba saja airnya mengandung racun yang jahat itu sehingga ada enam orang penduduk kami tewas, yang lain sakit dan tentu akan tewas pula kalau tidak ada Lihiap yang menolong.”

“Hemm, sungguh aneh,” kata Ceng Ceng. “Racun seperti itu adalah buatan orang dan tak mungkin dapat meracuni sungai kalau tidak sengaja dilakukan orang.”

“Kami mendengar berita bahwa di selatan sana keadaan dusun-dusun lebih parah lagi karena mengamuknya racun yang entah datang dari mana. Kami tadinya tidak percaya sampai air sungai itu menjadi beracun,” jawab Si Kepala Dusun. “Terpaksa kini kami menggunakan air dari sumber di atas bukit untuk keperluan kami.”

“Dan Cu-wi tahu mengapa sebabnya semua itu?”

“Tidak, Lihiap, kami tidak tahu.”

“Hemmm, kalau begitu tentu ada apa-apa di selatan sana. Aku akan pergi ke sana menyelidikinya.”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang dengan muka berubah.

“Ada apakah di selatan?” Ceng Ceng bertanya melihat sikap mereka itu.

Si Kepala Kampung memandang ke kanan kiri seperti orang ketakutan, lalu berkata lirih, “Sebaiknya kalau Lihiap jangan mengambil jalan ke selatan. Kurang lebih lima puluh li dari tempat ini terdapat tempat yang dinamakan Lembah Bunga Hitam, dan tempat itu amat berbahaya...”

“Mengapa...?”

“Penghuni Lembah Bunga Hitam adalah golongan yang amat ditakuti di sekitar daerah ini, dan sudah banyak yang menjadi korban keganasan mereka, namun tidak ada yang berani melawan karena mereka itu amat lihai...”

Ceng Ceng tersenyum. “Tak usah Cu-wi khawatir, aku mampu menjaga diriku.”

Akan tetapi kepala kampung dan hartawan itu, juga para penduduk, menahan Ceng Ceng pergi seketika. Mereka lebih dulu ingin menjamu Ceng Ceng untuk menyatakan terima kasih mereka. Bahkan melihat betapa pakaian yang dipakai dara itu sudah amat lapuk, Si Hartawan sudah cepat menyiapkan pakaian baru untuk Ceng Ceng, dan setelah dara itu dipaksa untuk makan minum bersama mereka, lalu seekor kuda yang besar dihadiahkan pula kepada dara itu.

Ceng Ceng juga tidak menolak pemberian itu, menerima dengan gembira dan berterima kasih. Dia memang amat membutuhkan pakaian bersih, dan kuda itu pun dapat berguna baginya.

Maka dengan diantar oleh para penduduk sampai di pintu dusun, dara ini berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Akan tetapi baru kurang lebih sepuluh li kudanya dilarikan ke selatan, tiba-tiba di luar sebuah hutan dia melihat penduduk dusun berbondong-bondong pergi mengungsi ke utara.

Keadaan mereka sungguh menyedihkan. Terlihat muka mereka pucat akibat ketakutan, pakaian kumal, penuh luka, ada yang menggendong anak, ada pula yang menggandeng dua anak di kanan kiri, ada yang menggendong buntalan pakaian dan memikul barang-barang yang sempat mereka bawa lari ngungsi.

Ceng Ceng meloncat turun dari kudanya dan memegang kendali kuda, memandang orang-orang itu yang agaknya tidak mempedulikannya, bahkan agaknya memandang kepadanya dengan penuh curiga dan penuh kebencian. Akhirnya dia bertanya kepada dua orang laki-laki setengah tua yang berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap, “Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua) agaknya kalian semua mengungsi dengan tergesa gesa dan ketakutan, apakah yang terjadi di selatan?”

Dua orang laki-laki itu berhenti dan memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh keheranan. “Apakah Nona hendak maksudkan bahwa Nona belum tahu akan apa yang sedang dan telah terjadi, dan saat ini Nona hendak melakukan perjalanan ke selatan?” tanya yang berjenggot pendek.

“Benar, Lopek. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Lopek sekalian melarikan diri dan pergi mengungsi?”

“Aihhh, tadinya kami mengira tentu Nona adalah salah seorang di antara mereka! Kalau ternyata bukan, harap Nona cepat membalikkan kuda dan ikut melarikan diri bersama kami sebelum terlambat.”

“Sebelum terlambat?”

“Ya, lihat. Kami adalah petani-petani, akan tetapi sekarang terpaksa melarikan diri tanpa membawa seekor pun binatang peliharaan. Kuda Nona masih sehat, maka lekas-lekas Nona bawa pergi sejauhnya ke utara kalau ingin selamat.”

Tentu saja Ceng Ceng menjadi makin tertarik. Jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang amat hebat di selatan, yang akibatnya telah menggegerkan dusun di utara tadi di mana air sungai mendadak menjadi beracun.

“Lopek, tolong jelaskan. Apa yang sedang terjadi?”

“Geger hebat, dunia akan kiamat, Nona! Sejak tiga hari yang lalu, terjadi pertempuran hebat di Lembah Bunga Hitam antara golongan penghuni lembah dan musuh-musuh mereka. Pertandingan yang mengerikan, dan akibatnya bagi para penghuni dusun di sekitar lembah, lebih mengerikan lagi. Bayangkan saja, ternak-ternak kami mati, air pun keracunan, hawa udara beracun, semua tanaman layu dan agaknya tanah pun menjadi beracun. Dua golongan ahli-ahli racun perang menggunakan racun-racun mengerikan. Banyak di antara penduduk dusun sekitar tempat itu mati konyol, maka kami semua cepat melarikan diri mengungsi. Nah, sekarang sebaiknya Nona cepat memutar arah perjalanan Nona, atau kalau ada keperluan ke selatan, sebaiknya mengambil jalan memutari pegunungan di selatan itu agar tidak melewati Lembah Bunga Hitam.”

Ceng Ceng menjadi tertarik sekali. Dia lantas meloncat ke atas punggung kudanya dan berkata, “Terima kasih, Lopek. Saya akan meninjau keramalan itu!” Lalu dia membedal kudanya ke selatan.

“Ah, sayang kuda sebaik itu akan mati konyol!” terdengar seorang berkata.

“Nona itu lebih sayang lagi, begitu muda remaja dan cantik jelita!” kata orang kedua.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa Ceng Ceng, murid yang telah mewarisi ilmu dari nenek yang menjadi datuk racun, Ban-tok Mo-li, tentu saja tertarik sekali mendengar bahwa ada dua golongan ahli-ahli racun sedang bertanding dan tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.

Makin dekat lembah itu, semakin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para rombongan pengungsi. Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal berjarak lima belas li lagi jauhnya, dia memberikan kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia maklum bahwa hawa udara yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi kudanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan berlari-lari.

Dusun-dusun sudah kosong dan semakin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, semakin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun telah ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia yang berserakan di mana-mana. Pohon pohon layu semua, dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai berserakan di atas tanah, mulai dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat seperti beruang hutan sampai kijang dan kelinci, mulai dari belalang dan jangkrik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut. Juga anak-anak sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya bau di sepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati, daerah yang menyeramkan di mana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang tajam meruncing.

Makin dekat ke Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas!

Di samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena segala macam racun yang diajarkan oleh subo-nya selama ini, sekarang dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.

Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada tepat di luar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini ternyata juga sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu.

Memang ada beberapa macam racun ganas yang kalau mengenal tubuh orang lantas menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja hanya menyisakan kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis. Selain mayat-mayat ini, terlihat pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking, ular-ular berbisa segala jenis yang berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang lain. Ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia!

Ceng Ceng bergidik, apa lagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun rebah miring di atas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan masih utuh itu.

Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba di luar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! ‘Mayat’ itu kini bangkit duduk. Wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular. Suara mendesis ini disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah memenuhi penggilan anak perempuan itu!

Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang ‘berdiri’ dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.

Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat lihai.

“Hemmm...!” bentaknya dan dia melangkah maju ke arah tujuh ekor ular sendok yang paling galak. Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya supaya jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan semuanya lalu mematuk ke arah kedua lengan yang berkulit putih itu.

Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ular ekor cobra itu bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah. Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.

Anak perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, sekarang menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju. “Kau... kau... dapat mengalahkan ular-ularku...?”

Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.

“Plak! Plak!” Biar pun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!

Dingin kembali hati Ceng Ceng yang tadinya panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala anak luar biasa itu. “Kau siapa dan mengapa kau di sini seorang diri?” tanyanya dengan suara halus.

Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.

“Engkau... engkau tidak akan membunuh aku?” tanya anak itu.

Ceng Ceng tersenyum. “Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?”

“Enci, engkau orang aneh, tak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu.”

“Siapa ayahmu, dan engkau siapa?”

“Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!”

Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget. Memang Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!

“Di manakah ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan di sini seorang diri?”

“Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain main di sini. Di sini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari?”

“Aku tidak takut kepada siapa pun juga.”

“Bagus! Kiranya engkau ada di sini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan.”

Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring singa. Kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!

“Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain main sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!” Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikit pun tidak mengenal takut.

“Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya?”

“Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!” tiba-tiba Hwe Li berseru.

Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng. “Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo?”

“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!”

“Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!”

“Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, aku melihat anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun.”

“Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka?”

“Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!”

“Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam?”

“Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!”

“Ha-ha-ha-ha!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang. “Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!”

“Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya menghadapinya!” tiba-tiba Hwe Li berkata.

“Apa...?!” Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. “Ah, kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya? Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu? Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya?”

Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subo-nya yang menjadi datuk ilmu racun! “Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!” katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama subo-nya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara subo-nya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah. “Bagus, kalau begitu makanlah ini!” Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu ke arah muka Ceng Ceng.

Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia langsung tahu racun apa yang digunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya.

Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula. Akan tetapi, suara ketawanya berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.

“Kau dapat bertahan? Makanlah ini!”

Kakek itu kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara desis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!

Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat. Segala benda, apa lagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak, “Kau makanlah sendiri!” Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di tangannya memercik ke arah muka Hek-tiauw Lo-mo!

“Uhhhh...!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, tetapi dia pun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya. Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi dia? Tak mungkin!

“Kau hebat akan tetapi cobalah ini!” Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali.

Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorong kedua tangannya pula memapaki. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan ganas yang disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)! Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.

“Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah sombong!” teriaknya. Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sinkang-nya yang mendorong hawa beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.

“Plak! Plakk!”

“Aihhh...?!”

Sekarang Hek-tiauw Lo-mo benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata memiliki sinkang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi.

Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan hebat.

Ceng Ceng tersenyum mengejek, “Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo?” katanya.

“Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Cobalah kau bebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau mampu!” Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri.

Dara itu terkejut juga menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah merasakan kehebatan tenaga sinkang kakek itu, kini dia menyaksikan ginkang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar amat sakti. Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih di atas tanah di sekitarnya.

“Ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apa bila dara itu melompat ke luar dari lingkaran itu.

Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan membakarnya!

Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subo-nya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.

Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!

“Hemm, sekarang menangislah kau!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunaan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam seperti uap ke arah muka Ceng Ceng.

Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.

Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget,

“Aduhhh...! Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnya pun beracun!” teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!

Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!

“Hebat... hebat... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihhh, orang pandai harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!” Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.

Kali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanya memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun. Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biar pun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!

“Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau Neraka!” kata kakek itu. “Namun ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur penyerbuan ke lembah!” Setelah berkata begitu, sekali berkelebat lenyaplah tubuh kakek raksasa itu.

Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekali pun!

Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadaan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda. “Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat lemah.”

Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari bahaya maut. Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kini pun dia harus dapat membebaskan diri!

“Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo?”

“Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Ilmu kepandaian Ayah hebat, ya?”

Ceng Ceng mencibirkan mulutnya, “Huh, hebat apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun!”

Anak perempuan itu mengangguk. “Ya, tapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku, Enci.”

“Hwee Li, engkau suka akan kegagahan?”

“Tentu saja!”

“Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, namun dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andai kata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah olehku?”

Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci...”

“Memang harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu?”

“Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia.”

“Ayahmu bohong! Andai kata ayahmu memiliki ilmu silat nomor satu di dunia, tetap saja dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli nomor satu kelak, karena kalau kau bertemu dengan ahli racun nomor satu di dunia, kau akan celaka. Kau baru benar-benar bisa menjadi orang paling pandai kalau selain mewarisi ilmu silat ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun dariku!”

Anak itu mengerutkan alisnya dan mengangguk, “Omonganmu benar juga, Enci.”

“Tentu saja benar. Jika kau mau menjadi muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun, kau akan menjadi ahli racun nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi.”

“Sebabnya?”

“Karena aku adalah murid dan pewaris ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li...”

“Aihhhh...! Ayahku sudah lama menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli racun nomor satu di dunia itu lenyap.”

“Memang lenyap bagi dunia umum, akan tetapi tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang dia telah meninggal dunia, aku adalah ahli nomor satu di dunia, dan kelak engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka menjadi muridku.”

“Tentu saja aku suka sekali!” jawab Hwee Li dengan wajah girang.

“Kalau begitu, kau kuterima sebagai murid dan kelak setelah kau tamat belajar ilmu silat dari ayahmu, aku akan mulai mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih dulu kau harus bebaskan aku agar aku dapat menerima penghormatan sebagai muridku.”

Hwee Li memang cerdik sekali. Dia memandang ragu. “Akan tetapi, bagaimana kalau kelak kau melanggar janji dan kau gunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau dapat bebas?”

Ceng Ceng memaki di dalam hatinya akan kecerdikan anak ini. “Bodoh!” bentaknya. “Apakah ayahmu sebagai ahli nomor satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan melanggar janji?”

“Tentu saja tidak.”

“Nah, aku pun sebagai ahli racun nomor satu, mana sudi melanggar janji? Hayo cepat kau bebaskan aku, apakah kau bisa menotok?”

“Aku sudah belajar ilmu menotok dari Ayah, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus membebaskan totokan Ayah pada tubuhmu.”

“Mudah saja, asal engkau sudah dapat menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kau totoklah jalan darah di bawah tengkukku, dengan dua jari.”

Hwee Li mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi miring, kemudian dia menotok tempat itu.

“Dukk!”

Ceng Ceng menyeringai kesakitan. “Kurang ke atas sedikit...,” keluhnya.

Hwee Li kembali menotok, agak ke atas. Mula-mula totokan anak mungil ini tak berhasil membebaskan Ceng Ceng, malah mendatangkan rasa nyeri. Namun setelah diulang ulang sampai lima kali, akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng Ceng dapat digerakkan sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan sempurna. Dia lalu mengerahkan sinkang-nya mendorong dari dalam dan berhasillah dia. Setelah kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah punggungnya sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.

“Aihhh...!” Dia bangkit duduk sambil mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.

“Sekarang aku menjadi muridmu, Enci.”

“Ya, kau lakukanlah upacara pengangkatan guru, berlutut dan memberi hormat delapan kali!”

Hwee Li lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri, memberi hormat sampai delapan kali sambil menyebut, “Subo...!”

Begitu selesai memberi hormat, anak itu cepat meloncat bangun dan berkata, “Subo, sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan janji kepadaku!”

Ceng Ceng tersenyum. Memang dia sudah merasa suka kepada anak kecil ini dan andai kata kelak mereka dapat saling jumpa kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk menurunkan ilmu kepada anak yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata, “Aku berjanji...”

“Nama Subo siapa, harap sebutkan agar aku tidak lupa.”

Ceng Ceng tersenyum dan memandang kagum. Anak ini kelak akan menjadi seorang yang hebat, pikirnya. “Aku Lu Ceng, berjanji bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah tamat mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku akan mengajarkan ilmu tentang racun kepadanya sebagai muridku yang baik.”

Hwee Li tertawa girang. “Subo, mari sekarang kita pergi ke tempat yang dijadikan benteng ayahku dan para anak buah Pulau Neraka. Aku tanggung tidak akan ada yang berani mengganggumu setelah mereka tahu bahwa engkau adalah guruku.”

“Tidak, Hwee Li. Aku harus pergi dulu, kelak kita akan bertemu kembali.”

Anak itu menghela napas. “Akan tetapi ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari Ayah dan Subo tidak datang mencariku, aku yang akan pergi mencarimu.”

Ceng Ceng tersenyum, memegang dagu yang manis itu. “Engkau muridku yang baik, tentu kelak kita akan saling berjumpa. Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!” Ceng Ceng lalu cepat meloncat jauh dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia harus cepat pergi karena kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu dia akan dapat menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti itu.

Biar pun dia melakukan perjalanan cepat, namun Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dia makin mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah Bunga Hitam. Jalan mulai mendaki dan tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat sunyi melengang, sunyi yang menegangkan karena di dalam kesunyian ini seolah-olah maut mengintai di mana-mana, di balik batu, di atas pohon, di dalam jurang.

Dan memang maut mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar dan tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat dan beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tidak tersangka-sangka. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua itu dan akhirnya tibalah dia di luar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan amat sunyi melengang, di mana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering, rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni.

Dia memasuki pintu gerbang itu dan jantungnya berdebar tegang. Memang sangat menyeramkan keadaan di dusun itu. Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak olehnya rumpun tanaman yang bunganya hitam kecil-kecil dan mengeluarkan bau yang jelas mengandung racun yang amat berbahaya! Dengan hati-hati Ceng Ceng berjalan terus dan tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak karena dia melihat ada beberapa orang di depan.

Dari tempat persembunyiannya dia mengintai dan betapa herannya melihat sebuah kerangkeng yang berisi seorang laki-laki yang kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki tangannya terbelenggu dan laki-laki itu mukanya merah sekali. Kerangkeng itu bentuknya seperti kerangkeng yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang tawanan. Ada empat orang yang menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri agak jauh, mungkin orang kelima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul dari arah selatan.

Ceng Ceng merasa tertarik sekali, lalu dia menyelinap di balik pohon dan semak-semak, mendekati. Tak jauh dari tempat itu dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba sekali, hampir tidak tampak olehnya kalau saja dia tidak sedang memperhatikan sumur itu, dia melihat bayangan berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu! Timbul keheranan dan kecurigaannya.

Mungkin dia salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang tepat untuk mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa apakah benar bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan akhirnya dia meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang terbuat dari batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ, karena dari jauh tadi pun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat dari tumpukan batu-batu yang tidak rata.

Ketika dia menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri karena kembali dia melihat bayangan orang berkelebat, sekarang di dasar sumur itu dan lenyap. Benarkah ada orangnya di bawah sana yang gelap dan hitam itu? Ataukah dia sudah salah lihat? Agaknya tidak mungkin ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan perhatiannya segera ditujukan lagi ke luar sumur, ke arah kerangkeng di mana seorang laki-laki terbelenggu itu. Kini nampak jelas wajah laki-laki yang tertawan itu. Wajah yang gagah bukan main dan masih muda, tapi kulit muka itu merah seperti terbakar dan matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.

Tiba-tiba Ceng Ceng merasa jantungnya berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah dijumpainya! Tampan dan gagah! Tidak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda yang berada di dalam kerangkeng itu. Kalau tak salah..., ya, di dalam pasar kuda! Ketika dia menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam pasar itu terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda tampan. Tentu seorang di antara mereka itulah yang kini berada di dalam kerangkeng ini. Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum kepadanya ketika di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk menolong pemuda di dalam kerangkeng ini.

Empat orang penjaga yang dekat dengan kereta itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar mata mereka seram, membayangkan kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang seorang malah tidak bersepatu, dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak bergerak seperti arca. Tiga orang duduk di atas tanah, seorang berdiri dan seorang lagi berdiri jauh dari kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi pertempuran, tentu kawan-kawan mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang datang mengeroyok, akan gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak kubebaskan dia, agar dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng.

Ceng Ceng lalu bergerak naik dan meloncat keluar dari dalam sumur dengan hati-hati sekali, lalu dia mengeluarkan ginkang-nya berloncatan ke arah kerangkeng itu. Dia terkejut karena melihat betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah mereka itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul! Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.

“Ehh... ohh... mau apa kau...?” Pemuda yang berada di dalam kerangkeng melihat Ceng Ceng menghampirinya.

Mendongkol juga hati Ceng Ceng mendengar pertanyaan ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dingin. “Hanya ingin membebaskan kau dari dalam kerangkeng ini, tentu saja kalau kau mau.”

“Tidak...! Tidak...! Jangan lakukan itu, lekas kau lari dari sini kalau kau sayang jiwamu!”

Ceng Ceng menjadi makin dongkol lagi. Wataknya memang keras dan suka melawan, makin dikerasi dia makin berani dan nekat.

“Manusia tak mengenal budi! Aku nekat hendak menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak menolongmu, hendak kulihat kau mau bisa menolak atau tidak!” Dia sudah menggerakkan tangan hendak membongkar kerangkeng itu, tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan lima orang penjaga itu sudah datang berlari-lari lalu menyerangnya kalang kabut!

“Nona, siapa pun adanya engkau, lekas larilah!” Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak keras.

Akan tetapi, andai kata tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja sudah cukup baginya untuk merubah niatnya itu. Dia menghunus pedang Ban-tok-kiam, memutar pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang menggunakan senjata golok dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang itu meloncat ke belakang, seorang di antara mereka terus roboh terkena hawa beracun dari Ban-tok-kiam.

“Pedang hebat...!” Empat orang yang lain memuji karena sebagai anggota Lembah Bunga Hitam tentu saja mereka mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.

“Baik, kalau kalian sudah mengenal pedangku agar tidak mati penasaran. Majulah!” Ceng Ceng memegang sambil mengerling ke arah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum mengejek dan menantang. Kerling dan senyumnya seperti berkata, “Aku tetap hendak melawan, kau mau apa?!”

Akan tetapi mendadak Ceng Ceng melongo karena dia melihat empat orang lawannya itu sama sekali tidak bergerak lagi, seperti tadi, seolah-olah berubah menjadi patung! Melihat ini, dia tidak membuang waktu lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng untuk membebaskan pemuda itu.

“Jangan, Nona. Lekaslah kau pergi. Mereka itu terkena hawa beracun yang membuat mereka sebentar sadar sebentar tidak seperti itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan ketua lembah, lari pun akan terlambat bagimu!”

Ceng Ceng memandang dengan cemberut. “Kau ini cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari kerangkeng, akan tetapi aku justeru ingin membebaskanmu!”

“Jangan... jangan... aku... aku keracunan... pergilah saja, Nona!” pemuda itu kembali berkata, wajahnya makin merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.

“Uh, cerewet! Tranggg...!” Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan tetapi kerangkeng itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang dilapis baja.

Pemuda di dalam kerangkeng itu ternyata tadi telah menggerakkan dirinya sehingga kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis pedang itu dengan belenggu!

“Manusia tak mengenal budi! Kau bersikap hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas, ya? Dan aku pun berkeras hendak menghancurkan kerangkeng ini!” Dia mendesak lagi.

“Trang-trang-trakk...!”

Ceng Ceng kaget. Pedangnya menembus bagian kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu bertemu dengan belenggu baja. Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau tidak, mana mungkin dalam keadaan terbelenggu, di dalam kerangkeng pula, dapat menangkis pedangnya? Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda itu mampu menangkis begitu saja dan setiap tangkisannya membuat lengan kanannya tergetar hebat? Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!

Tiba-tiba empat orang itu bergerak lagi dan berseru keras menerjang. Akan tetapi, tiba-tiba secara beruntun mereka roboh terjengkang kemudian tidak bergerak lagi, entah mengapa.

“Nona, lekas pergi... ketua lembah datang...!” Pemuda di dalam kerangkeng itu berseru.

Ceng Ceng memandang dan melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua puluh orang berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan menang menghadapi begitu banyak orang. Yang membuat dia mendongkol adalah bahwa kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si Pemuda!

Memang terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut kalau dia kalah dan terluka atau tewas, namun khawatir kalau-kalau tidak berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu menolaknya.

“Kau pergi bersamaku!” katanya dan dia lalu mendorong kerangkeng yang beroda itu secepatnya pergi dari tempat itu!

“Wah-wah-wah... mana bisa melarikan diri kalau mendorong kereta? Kau bocah bandel, keras kepala! Lepaskan kerangkeng, dan larilah!” pemuda itu meronta-ronta sehingga terasa berat sekali kerangkeng itu. Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah hati Ceng Ceng dan dia makin nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.

Ceng Ceng mendengar pemuda itu mengomel akan tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dia pun merasa heran mengapa dua puluh lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya padahal larinya dengan cara mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan cepat? Huh, kalau begitu Ketua Lembah Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong belaka, pikirnya. Tetapi dia mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng, memasuki daerah di mana pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan banyak goa-goa. Akhirnya dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah di antara goa-goa itu.

“Hemmm, hendak kulihat siapa di antara kita yang menang. Aku yang akan membuka kerangkeng atau engkau yang hendak tetap mempertahankan diri di dalam kerangkeng seperti binatang!” kata Ceng Ceng dan mulailah dia menggunakan pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.

Pemuda itu kini mukanya makin merah, matanya melotot ketakutan, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering kali dia mendengus dan mengeluh seolah-olah menderita sakit hebat. Ceng Ceng pun tahu bahwa pemuda ini keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin membebaskannya, agar dia dapat memeriksanya dan memberinya obat.

Sambil mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng terdorong dan roboh telentang! Tentu saja dara itu menjadi makin marah, menyimpan pedangnya, lalu menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai. Pemuda itu terguling ke luar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan terbelenggu yang disambung rantai panjang.

“Oughhhh...!” Pemuda itu mendengus keras, tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa sekali dia telah meloncat bangun.

Ceng Ceng memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu memiliki tubuh seperti seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap, tinggi besar dan pakaiannya yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian kulit tubuh yang putih dengan otot-otot yang kekar. Seorang jantan sejati yang memiliki tubuh amat kuat dan mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng melihat seorang pria seperti ini, maka dia terlongong kagum.

Dan sekarang jelas baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang di antara dua orang pemuda yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua dari mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun uslanya, dan pada wajahnya nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami banyak kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna merah mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini memandang kepada Ceng Ceng dengan aneh.

“Oughhhh...!” Kembali dia mengeluh.

Tubuhnya gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah dalam dirinya.

Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, lalu memandang penuh selidik dan biar pun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru, “Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan... ehh... haili...!” Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!

“Gila kau...!” Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri.

Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.

“Dukkk... ihhhh...!”

Ceng Ceng terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sinkang-nya ketika menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!

“Keparat!” Dia memaki, marah sekali.

Orang yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun, cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang mengandung racun.

“Ouhhhh...!” Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam.

Akan tetapi dengan sigapnya, biar pun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biar pun dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.

“Dukkk! Desss!”

Dada dan perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sinkang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!

“Keparat, kau sudah bosan hidup!” bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang lagi.

Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng.

Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini. Secepatnya dia mengelak ke samping, tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai goa karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.

“Aihhhhh...!” Ceng Ceng menjerit.

Akan tetapi kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya. Lehernya, pipinya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu! Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng.

Selama hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apa lagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.

Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat ke luar goa!

Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi.

Baru saja dia terbebas dari bahaya yang leblh mengerikan dari pada kematian, akan tetapi bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagaimana kalau orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya?

“Uhuuuhhh...” Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat dari pada tadi!

“Keparat kau... keparat kau...!” Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu? Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya?

“Hekkk...!” Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak ke luar goa.

Tampak bayangan orang di luar goa, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah? Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan sinkang-nya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara, bahkan napas pun ditahannya agar jangan mengeluarkan bunyi.

Akhirnya bayangan itu muncul di depan goa dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api. Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya.

“Jangan... ahhh, jangan...” Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan.

Pemuda itu kelihatan bingung, lalu menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar sangat keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng.

Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki, “Keparat laknat! Apa yang akan kau lakukan? Tidak malukah engkau? Aku tadi telah berusaha menolongmu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini? Manusia macam apa engkau? Laki-laki macam apakah engkau ini?”

Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri. Kini Ceng Ceng memandang dengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, kemudian membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu goa. Hati Ceng Ceng menjadi lega.

Tiba-tiba wajah Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu goa, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah birahi, mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya dan lalu... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi.....

Apa bedanya manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap berarti menghilangkan pengertian, dan yang tertinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan.

Demikian pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tidak mungkin mampu dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biar pun dia sudah berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu dikuasai oleh nafsu birahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.

Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari goa, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, “Terkutuk...! Terkutuk...!”

Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman. Ternyata dara itu sudah dibebaskan dari totokan. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar. Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dirinya pingsan. Ingatan ini amat mengejutkan hatinya, apa lagi setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi!

Perlahan-lahan dara yang tertimpa mala petaka itu siuman, lalu merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, semakin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh pemuda itu.

Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka. Kedua tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai goa. “Jahanam...! Keparat busuk...! Manusia laknat...! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu! Aku pasti akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremukkan semua tulang di tubuhmu!” Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari goa dengan pedang terhunus di tangannya.

Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya. Tanpa dia sadari, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya. Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam dirinya. Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah hebat perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li.

Dengan semangat berapi-api untuk mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda itu, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!

Dengan kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggota lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jeri para pengeroyoknya.

Seorang di antara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun! Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggota lembah yang bersiul-siul!

Sebaliknya, Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah. Sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah dan langsung menyambar ke arah para pengeroyoknya!

Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah. Namun mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah justru pada baunya.

Begitu mencium bau keras ini, dua orang lantas menjadi pening dan terhuyung-huyung, kemudian berseru, “Celaka!” lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.

Sementara itu, Ceng Ceng sudah kembali menerjang. Pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, sedangkan ludahnya merobohkan dua orang lain!

“Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!” Berkali-kali mulutnya berkata demikian sebab dia membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan.

Tetapi berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Oleh karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang di antara orang-orang Pulau Neraka, mereka lalu menyerbu dan mengeroyok.

Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan juga menyerang dengan ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya terdengar bentakan keras, “Mundur semua!”

Ceng Ceng kini berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini usianya tentu telah berusia enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam. Matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga berwarna gelap, kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.

“Nona, siapakah kau? Apakah kau seorang Pulau Neraka?”

“Banyak cerewet! Engkau tentunya Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!” bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, dan seketika dia menggerakkan kedua tangannya.

“Cringgg...!” terdengar suara, dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar.

Kiranya kakek itu sudah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sinkang-nya juga jauh lebih tinggi dan kuat dari pada tenaganya sendiri. Namun tidak ada sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Baginya mati bukanlah apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua perasaan ini.

Dengan kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pedangnya. Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan tetapi biar pun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi.

Ceng Ceng kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali. Biar pun dia juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kirinya, dan bahkan menggunakan rambutnya serta ludahnya yang beracun, akan tetapi tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.

“Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu...”

“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.

“Pedang baik...!” kakek itu mengelak. “Tapi kau keras kepala!”

Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng, mendadak terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!

“Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir...?”

Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.

“Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!” kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur.

Ketua lembah memandang ke arah sumur, mukanya amat pucat hingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan.

Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya jadi lega karena baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur itu. Teringatlah saat dia pernah melihat bayangan samar-samar di dasar sumur. Timbullah rasa ingin tahunya. Tentu ada seorang aneh di dalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu.

Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang yang gila. Apa lagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!

“Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!”

“Engkau tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!”

“Kami datang untuk menghiburmu, Nona!”

“Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami di belakang masih banyak!”

Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja kebenciannya terhadap pria makin meledak. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu. Tangan kirinya telah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, mereka menyambut dan mengurung sambil tertawa.

“Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha-ha!” Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara.

Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam!

Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Ada pun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka.

Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya sehingga dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan. Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apa lagi karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir buntung!

Orang terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya!

Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan pedang itu ‘meminum darah’ agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!

“Keparat! Bocah setan, lagi-lagi kau! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!” Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di sekitar tempat itu.

Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam! Akan tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu, sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya.

Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya. Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah jala tipis yang lebar dan ke mana pun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu!

Dia melihat kakek raksasa itu sambil tertawa memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat. Biar pun berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Ia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, tetapi sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara orang mengejek, “Aih, Lee-ko, orang-orang di sini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!”

Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo amat terkejut melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di mana Ceng Ceng tertawan, dia membentak, “Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah kalian?”

Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda! Dua orang pemuda yang tampan, yang seorang di antaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang kedua pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang.

Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apa lagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia!

Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata, “Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!”

Mendengar ini Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apa lagi hanya dua orang pemuda remaja ini

“Kalian siapa, bocah lancang?” bentaknya.

“Kami adalah orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!”

Mendengar julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo sangat mendongkol. Tentu kedua bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam).

“Keparat, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya.

Belasan orang itu segera maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu lalu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu ketahui bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu!

Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini ia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu. Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar.

Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala dia menarik tali yang mengikat jala kemudian perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka.

Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sinkang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.

“Dukkk!”

Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur, mukanya menjadi pucat. Ia mengenal ilmu sinkang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat dengan kirinya terasa dingin sekali.

“Pulau Es...!” Serunya dan kini matanya terbelalak lebar.

Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali putih. “Kiranya kalian...”

Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya.

Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng Ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan.

“Syukur kau telah selamat, Nona,” kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita dari pada kakaknya. “Dan selamat berjumpa untuk yang kedua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Dan bolehkah kami mengetahui namamu?”

Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri.

“Crekkk!” dan roboh kembalilah anggota Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk. Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus!

Melihat ini, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya, sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dia kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda?

Dahulu, dara ini berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Namun sekarang, biar pun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan. Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian!

Segala macam kekacauan, kejahatan dan permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran. Pikiran adalah si aku yang berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk bagi pikiran yang menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali kesenangan yang pernah dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan yang pernah diderita. Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan mengalami lagi hal yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami hal yang menyenangkan.

Rasa takut ini mendorong kita untuk melakukan segala macam kekerasan di dalam kehidupan, bersumber kepada si aku yang pandai sekali mencari-cari akal sebagai alasan untuk melindungi diri sendiri, atau mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar. Kalau si aku dirugikan, lahir mau pun batin, maka aku akan menaruh benci dan dendam, dan menggunakan alasan bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat dan perlu dibasmi! Jika si aku diuntungkan, lahir mau pun batin maka aku akan mencintanya dan membaikinya, dengan menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan aku itu adalah baik dan perlu didekati.

Kita memuja dan menyembah-nyembah para dewa, para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin bahwa mereka itu menguntungkan kita, setidaknya menguntungkan batiniah dan menimbulkan harapan, menjadi pegangan, jelasnya mendatangkan harapan keuntungan lahir batin bagi kita, maka kita memuja dan menyembahnya. Sebaliknya, kita membenci dan mengutuk setan dan iblis, karena kita yakin pula, sungguh pun keyakinan ini hanya merupakan jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan iblis atau hantu itu merugikan kita, lahir mau pun batin. Jelasnya, yang kita anggap baik, yaitu yang menguntungkan kita lahir mau pun batin, akan kita puja-puja.

Sebaliknya, yang kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita kutuk dan benci. Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si benda di luar diri kita, melainkan karena diputuskan oleh pertimbangan kita sendiri, yaitu merugikan atau menguntungkan. Rasa suka atau benci melahirkan anggapan kita tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan yang merugikan kita adalah jahat.

Kenyataan ini sudah berlangsung ribuan tahun di dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai alat yang ‘lumrah’ sehingga kita tidak lagi melihat kejanggalan atau kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan membesar, menjadi si kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku bangsa-ku, bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan selama si aku ini menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul, karena pertentangan muncul di antara si aku dan si kamu.

Seorang manusia akan dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan tetapi manusia ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak kawan. Seseorang bisa dianggap sebagai ‘pahlawan’ oleh negaranya, akan tetapi orang ini pula akan dianggap sebagai ‘penjahat’ oleh negara lain yang bermusuhan. Jadi sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari keadaan si orang itu sendiri, melainkan tergantung dari negara yang bersangkutan, dirugikan atau diuntungkankah negara itu.

Pertentangan di luar diri adalah pencerminan dari pertentangan yang terjadi di dalam diri sendiri. Di dalam diri sendiri terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si aku yang ingin sabar, terdapat cemburu yang bertentangan dengan si aku yang ingin mencinta, terdapat keadaan apa adanya yang bertentangan dengan keadaan yang kukehendaki yang lain dari apa adanya. Keadaannya begini, aku ingin begitu. Si aku menjadi makin subur dipupuk oleh pikiran.

Si aku adalah pikiran itu sendiri. Dan pikiran adalah masa lalu, pikiran adalah kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa lalu, bebas dari pikiran, berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan ini. Pikiran hanya baik kalau dipergunakan di dalam tugas yang tak dapat dihindarkan lagi, untuk bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Namun sekali pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara manusia, akan rusaklah keadaannya
.

Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria!

Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andai kata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar dari pada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggota Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamatkannya tadi!

“Heiii...! Eh, Nona...!” Kian Bu berteriak.

Tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya sudah dipusatkan ke depan untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya!

“Heiiii...!” Kian Bu berteriak lagi.

“Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa kau memaksa?” Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata, “Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia...”

“Ehhh...? Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?”

“Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut dikasihani...”

Kian Bu menghela napas. “Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti... seperti...”

“Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita,” Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan mata, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya.

********************

Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan di dalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka, Puteri Milana.

Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara. Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya dari pada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada kepada Kaisar.

Dia lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar dari para pengungsi akan mala petaka yang menimpa dusun mereka.

Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, walau pun mereka bukan ahli-ahli menggunakan racun, namun dengan dasar sinkang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda ini tentu tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng.

Setelah mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apa lagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak mempedulikan mereka. Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka kemudian meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya.....

********************

Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa. Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi pucat dan layu.

Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, sekarang kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar jika tangis melanda hatinya. Air matanya sudah mengering, sumbernya telah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan mala petaka yang menimpanya di dalam goa itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk bernapas.

Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda laknat yang amat sangat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yaitu mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu! Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai, karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya.

Matahari telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!

“Nona, perlahan dulu...” Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi.

Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara laki-laki! Dia menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, bersiap-siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang.

“Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu...”

Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba.

“Mampuslah kau, keparat!” Ceng Ceng menjerit, sementara pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar ke arah leher kakek itu.

“Hemmmm, sabarlah, Nona!” kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya.

Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, kakek ini telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas.

“Tenanglah, Nona. Aku tak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kau keluarkan dari kerangkeng itu.”

“Aihhh...!” Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, cepat melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. “Kau mau bilang apa? Cepat katakan!” bentaknya.

Kakek itu menarik napas panjang. “Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguh pun sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apa lagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk di bawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kau bebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?”

Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu jika tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan nyaman.

“Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu.”

“Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan di mana aku dapat mencarinya!”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Baiklah, engkau tentu akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar.” Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita.....

Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu tiada seorang pun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti.

Penghuni Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di dunia ramai. Istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang telah ‘dipensiun’ karena dituduh berjinah dengan seorang pelayan pria. Dibangun di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air! Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya demikianlah!

Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun.

Suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang berlatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar, seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal.

Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatlah beratnya. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas dan di situ dia melatih sinkang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya.....

“Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek,” Lauw Ki Sun lalu menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng. “Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka milik majikanku. Tentu saja aku melawannya. Tetapi celaka, kiranya orang yang memiliki kepandaian tinggi itu diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil membawa salah sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu.” Kakek itu menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali. “Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?” bentaknya.

“Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah...”

“Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu...”

“Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Dan sampai hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka...”

“Pemuda laknat itu...” Ceng Ceng memotong.

“Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena merasa bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun membayanginya untuk membantu. Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh lagi. Biar pun Kok Cu telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biar pun dia telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi... dia seperti mabok, dia tidak sadar dan... dan ketika terjadi peristiwa di goa itu, dia... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona.”

“Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!” Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam.

Kakek itu pun meloncat dan cepat mengangkat tangannya, “Sabarlah, Nona. Ketika aku sampai di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya. Melihat ini, aku lalu muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam goa telah terjadi hal yang amat hebat itu...! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam goa itu seperti orang gila saking menyesalnya...”

“Aku tidak peduli! Di mana dia sekarang? Aku akan membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!”

“Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke selatan...!”

“Aku akan mengejarnya!” Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan.

Louw Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah perlahan-lahan, kembali ke arah utara untuk melaporkan kepada majikannya karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak mampu.....

********************

Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu. Betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah.

“Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?”

“Bu-te, harap jangan bergurau,” Kian Lee menegur adiknya.

Kian Bu menghela napas, namun pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah.

“Lee-ko, kali ini aku tidak bersendau-gurau. Telah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan tetapi aku tak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah kekeruhan pikiranmu. Tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu. Alismu selalu berkerut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Semua ini terjadi semenjak kita berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu.”

“Bu-te...!”

“Sekali lagi aku tidak bergurau kali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu.”

Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih, “Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepadanya.”

“Hemm, kita tidak mengenal dia, Lee-ko. Lagi pula, melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam...”

“Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu... ahhh, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku, karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!”

Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya di atas meja. “Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!”

Kian Lee merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak. “Jangan main gila kau!” bentaknya lirih.

Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum. “Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kau pikir saja sendiri. Engkau kenal pun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apa lagi namanya ini kalau bukan jatuh cinta?”

“Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini.”

Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak di luar pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan.

Ketika pelayan warung datang menghidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya, “Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?”

“Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, semua keluar dari rumah untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!”

Dua orang kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi cinta?

“Apakah panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?” Kian Lee turut bertanya karena dia pun merasa heran sekali.

“Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana.”

“Mengangumkan sekali!” Kian Lee berseru.

“Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga biar pun pasukannya agak mengurangi makan, akan tetapi rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya. Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu.”

“Jenderal Kao...?” Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu. “Jadi diakah yang akan disambut oleh rakyat ini?”

“Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat jalan ini.” Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari ke luar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun!

“Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!” Kian Bu berkata kepada kakaknya.

“Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana,” kata Kian Lee tenang.

Keduanya lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan. Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar dan berdiri di pinggir jalan bersama-sama para penduduk dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangan, ada yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan itu yang bernama Jenderal Kao Liang.

Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiring yang terdiri dari anak buahnya sendiri. Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda yang besar-besar.

Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam pengawal perwira kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala. Mereka bangga bukan main menyaksikan penyambutan itu, merasa diri mereka amat ‘penting’ dan menjadi pusat perhatian dan penyambutan rakyat.

“Lee-ko, lihat, dia begitu muram...” bisik Kian Bu.

Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas kudanya. Untuk sekedar menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri.

Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka. Hatinya risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan dari pengaruh pemberontak di dalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu.

Dia harus yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup, dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah. Namun tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu untuk menjadi komandan sementara.

Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu.

Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguh pun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapa pun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia sudah tahu, secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong.

Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar, akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung.

Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok dan memandang. Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat mereka pun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh.

Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Dan ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang ini pun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu!

“Ehh, Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke dalam!” Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya.

“Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao,” jawab Kian Lee yang biar pun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu.

Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir keluar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat banyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian mereka menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang.

“Awas, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan ada seorang penunggang kuda membalapkan kudanya.

Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu.

Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa mengejek dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu pun sudah berhasil menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.

“Jahanam kau, manusia sombong!” Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang.

“Sssttt... jangan layani dia, Bu-te...!” Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu. “Tugas kita lebih penting dari pada urusan remeh itu.”

Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu.

“Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao...” Kian Lee berbisik. “Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau jangan menimbulkan gara-gara, Bu-te.”

Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, hari pun mulai gelap. Kedua orang kakak beradik itu menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung.

“Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te.”

“Bagaimana kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?”

“Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan akan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana.”

Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu. Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan, duduk mengelilingi sebuah meja. Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara, karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini sedang merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang! Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong!

Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu sudah sering kali mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya.

Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja. Kesempatan ini digunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan keenam orang itu sebagai penculik dan pembunuh!

“Akan tetapi, Ang-taihiap!” seorang di antara mereka membantah kepada pemuda tampan itu. “Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya...”

“Apakah engkau takut?!” tiba-tiba pemuda itu membentak.

Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itu pun gemetar ketakutan.

“Tidak... tidak, Taihiap... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal...”

“Hmm, kau kira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku.”

“Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu kita serbu...”

“Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan menghadapinya. Mengerti?” Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi.

Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes.

“Lee-ko! Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi sekarang saja?”

“Sssttt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, tetapi urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka.”

Kian Bu mengangguk-angguk. “Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dahulu di Pulau Es aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!”

“Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi.”

Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas. “Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir saja menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!”

Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu sedang bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan.....

Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya! Tadinya dia mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun sama sekali tidak tahu di mana adanya Syanti Dewi. Apa lagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya.

Maka, ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya. Dia pun lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu!

Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu di mana adanya Syanti Dewi. Hanya dia memperoleh keterangan tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya.

Pangeran ini malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar!

Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda laln, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai!

Jenderal Kao Liang sudah merasa tak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apa bila dia terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu, diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya.

Pagi-pagi rombongan itu mulai meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak melupakan ‘kewajiban’ mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!

Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan kedua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya.

Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini.

Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para penglkutnya betapa di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara, mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang!

Hari itu cuaca panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasa mengganggu. Pembesar itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan pasukan pengawal.

Hanya Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah prajurit-prajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biar pun muka dan leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar saja.

“Setan keparat, panasnya!” Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan sapu tangan sutera yang sudah basah kuyup. “Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Dasar keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!” Ia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh.

Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan berseru, “Awas...!”

Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah.

“Hei, kalian mau apa...?!” Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang di antara mereka!

Tentu saja kejadian ini membuat semua orang sangat terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao.

Pembesar itu berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dada dan berkata dengan lantang, “Heiii, kalian orang-orang gagah, dengarkanlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena hal itu berarti pemberontakan!”

Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal, dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar.

“Memberontak? Heh-heh, memberontak!” katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya.

“Pemberontak! Tangkap mereka!” Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir remuk!

“Manusia jahat!” Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang.

“Singg... tarr... cringgg...!” Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main.

“Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!” teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas.

Sementara itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di antara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat lihai.

Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal.

Sementara itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi ke arah Jenderal Kao sambil membentak, “Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!”

Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri ke arah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan dua tangan telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang pengawal terkejut sekali, tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat.

Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Kedua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini.

“Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?” Jenderal Kao bertanya.

Pemuda itu tersenyum, tidak menjawab, hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao, sikapnya ini bahkan menimbulkan ancaman yang terasa mengerikan. Mendadak terdengar seruan halus, “Kao-goanswe, tenanglah, serahkan saja pemberontak she Ang ini kepada kami!”

Dua bayangan orang berkelebat menyambar. Yang seorang turun di depan Jenderal Kao melindungi, yang seorang lagi langsung menghantam dengan tangan kosong ke arah lambung Tek Hoat sambil berteriak, “Manusia sombong, rasakan perhitunganku ini!” Pemuda yang menyerang ini bukan lain adalah Suma Kian Bu, dan dia pun telah mengerahkan sinkang memukul lambung lawan.

“Eihhh...! Desss...!”

Tangkisan Tek Hoat membuat keduanya terpental dan keduanya terkejut setengah mati. Kian Bu terkejut karena baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang sedemikian kuatnya, yang membuat pukulannya yang mengandung sinkang Hwi-yang Sin-ciang tadi membalik karena bertemu dengan hawa pukulan yang amat kuat. Di lain pihak Tek Hoat juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat lengannya tergetar dan terserang oleh hawa yang amat panas.

Tahulah dia bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat lihai. Heran juga dia, mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi karena pada saat itu dia menghadapi tugas yang amat penting, yaitu menculik Jenderal Kao, dia tidak mempedulikan hal ini.

“Siang Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!” teriaknya.

Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat ke depan dan cambuk baja mereka meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu. Dalam waktu singkat kedua orang kakek kembar ini tadi sudah merobohkan keenam orang perwira yang mengeroyoknya dengan amukan cambuk mereka!

“Bagus, dulu kami tak sempat membunuh kalian!” teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju menghadapi cambuk di tangan Lam-thian Lo-mo.

“Tar-tar-tar... wuuuuttt... desss...!”

Lam-thian Lo-mo mengeluarkan seruan kaget. Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat dielakkan pemuda itu dan yang ketiga kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri pemuda itu, sedang tangan kanan pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika menangkis dengan tangan kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup ke lengannya!

Juga Kian Lee yang berhadapan dengan Pak-thian Lo-mo, langsung mengirim pukulan yang paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu khas dari Pulau Es. Pukulannya ini membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan kakek ini terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulan yang selain mengandung hawa dingin sekali, juga amat kuat.

“Pulau Es...!” Siang Lo-mo berseru hampir berbareng.

“Dulu kalian menyerang pulau kami, sekarang kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia jahat!” Kian Lee membentak dan dua orang kakak beradik ini kembali telah menyerang dengan hebatnya. Siang Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak memanggil teman-temannya untuk membantu mereka.

Sementara itu, Tek Hoat telah menerjang Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan kelihaian pemuda yang memimpin penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya menyambut dengan serangan dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak beberapa kali, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap hitam menyambar. Jenderal Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun maslh ada bau uap hitam itu tersedot olehnya.

Tiba-tiba dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi ketika pergelangan tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi telah menggunakan uap beracun. Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai. Andai kata pemuda ini tidak mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa ini.

Namun Tek Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika melihat munculnya dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan kelihaiannya menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan uap hitam, satu di antara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para datuk Pulau Neraka. Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah menyambar tubuh jenderal itu dan biar pun jenderal itu bertubuh tinggi besar, akan tetapi dengan ringannya Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti kijang melompat.

Melihat hal ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali. Mereka mendengar dari Milana bahwa Jenderal Kao memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan tadi pun mereka sudah melihat gerak-gerik jenderal itu memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat dirobohkan dan ditawan oleh pemuda yang amat lihai itu!

Mereka tentu saja hendak mengejar dan menolong jenderal yang telah duculik, tetapi Siang Lo-mo dan beberapa orang pembantunya sudah mengepung dan menyerang mereka berdua dengan hebat. Kini Siang Lo-mo sudah ingat kepada dua orang pemuda ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka dan beberapa orang tokoh dunia persilatan golongan sesat menyerbu Pulau Es, dua orang pemuda ini juga membantu keluarga Pendekar Super Sakti sehingga mereka semua dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri dari Pulau Es.

Dari pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es karena kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan pukulan seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee dan Kian Bu. Maka Siang Lo-mo lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan para pembantunya untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini.

Kian Lee dan Kian Bu juga maklum bahwa tidak mungkin seorang di antara mereka meninggalkan arena pertempuran untuk mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak pengeroyok yang dipimpin oleh Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya maka perlu dilayani oleh mereka berdua. Kalau seorang di antara mereka pergi mengejar penculik Jenderal Kao, berarti meninggalkan saudaranya terancam bahaya.

“Kalian memang pantas dibasmi habis!” Kian Bu berteriak marah sekali.

Kini gerakannya seperti seekor burung rajawali mengamuk. Biar pun dia dan kakaknya tidak bersenjata, namun mereka memiliki gerakan yang amat tangkas dan cepat sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh gerakan cambuk-cambuk baja di tangan Siang Lo-mo! Kian Lee dan Kian Bu mengamuk hebat dan dalam gebrakan selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang pengeroyok dan memaksa Siang Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.

“Lee-ko, kita basmi mereka!” seru Kian Bu yang sudah marah.

“Tidak, Bu-te. Mari ikut aku, kita harus menolong Jenderal Kao!” Kian Lee berkata.

Mereka menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi sepak terjang mereka, untuk meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti, meninggalkan lapangan pertandingan secara berbareng.

“Wir-wirrr...!”

“Sing-singgg...!”

“Siuuut...!”

Senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya melindungi tubuh mereka dengan sinkang, sehingga ketika senjata-senjata kecil itu mengenai tubuh belakang mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti membentur arca baja saja. Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang dengan bengong dan terbelalak kaget dan jeri.

“Hanya setan yang tahu bagaimana bisa muncul dua bocah Pulau Es di sini!” Pak-thian Lo-mo mengomel. “Hayo kejar mereka!”

Semua pengawal kaisar telah roboh, termasuk pembesar utusan kaisar dan para perwira, juga dua orang pengawal pribadi Jenderal Kao. Namun pihak Siang Lo-mo juga tinggal enam orang lagi, delapan orang bersama mereka, dan kini mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka pucat dan hati jeri, apa lagi mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah orang-orang dari Pulau Es, nyali mereka sudah terbang sebagian.

Hati Siang Lo-mo menjadi lega ketika melihat betapa dua orang muda itu mengejar ke arah jurusan yang keliru, bukan ke jurusan di mana Tek Hoat melarikan Jenderal Kao seperti yang telah direncanakan semula. Maka dua orang kakek ini bersama teman-temannya juga terus mengejar seenaknya, apa lagi karena memang dalam hal ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua orang muda yang berlari seperti sepasang rajawali sedang terbang itu.

Kian Lee dan Kian Bu memang sudah kehilangan jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi berlari juga amat cepatnya, sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu menghadapi pengeroyokan Siang Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari jauh dan lenyap.

Kian Lee dan Kian Bu mengejar tanpa arah. Mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai itu ke kota raja. Karena ini, maka mereka pun melakukan pengejaran terus menuju ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat membawa jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi di dalam hutan yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.

Kian Lee dan Kian Bu mempercepat larinya karena mereka mengambil keputusan bahwa apa bila mereka tidak berhasil mengejar penculik Jenderal Kao, mereka akan segera melaporkan hal ini kepada enci mereka, Puteri Milana.....

********************

Ceng Ceng merasa betapa tubuhnya lemas, hampir habis tenaga karena kelelahan dan juga amat laparnya. Dia memasuki hutan di dekat puncak pegunungan kecil itu dan melihat sebuah kuil tua di tengah hutan, dia lalu memasukinya dan menjatuhkan dirinya dengan lemas di atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan penuh dengan lumut karena atap di atas tempat itu sudah berlubang sehingga air hujan dan sinar matahari dapat menerobos masuk dan menciptakan lumut. Dia mengeluh perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak mampu untuk menangis lagi. Sudah habis tangisnya, sudah terkuras kering air matanya. Teringat dia betapa sejak peristiwa hebat yang terjadi di dalam goa itu, sampai saat ini, dia tidak pernah makan atau minum!

Tubuhnya menggigil, gemetar dan perutnya mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja, bahkan kemudian merebahkan diri. Begitu lemas tubuhnya, pening kepalanya dan kosong perasaannya. Ketika dia pejamkan matanya, terasa tubuhnya seperti melayang-layang. Aku kelaparan, pikirnya, tubuhku lemas kepalaku pening. Akan tetapi betapa nikmatnya begini, betapa nikmatnya rebah untuk tidak bangkit kembali. Betapa enaknya mati, dari pada hidup menanggung aib dan malu, menanggung derita yang amat hebat.

Tiba-tiba dia membuka matanya dan seperti ada kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri, mengepal tinjunya, matanya bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar kemerahan seperti dibakar.

“Tidak...! Tidaaaakkk...!” Dia berteriak dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika mendengar gema suaranya sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia tidak berteriak lagi. “Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku harus mencari dia, aku harus membunuh dia, baru aku boleh mati!”

Timbul kembali semangat dan gairahnya untuk hidup ketika di dalam himpitan kedukaan itu dia teringat akan sakit hatinya, seolah-olah di dalam kegelapan dia melihat titik terang. Apa lagi sekarang dia memperoleh harapan baru untuk mencari pemuda laknat yang telah menghancurkan harapan hidupnya setelah dia mendengar cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda itu katanya menuju ke kota raja! Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke neraka sekali pun akan dikejar dan dicarinya.

Gairah baru yang timbul itu membuat Ceng Ceng berlari keluar dari kuil dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi membawa seekor bangkai kelinci dan beberapa macam buah yang dipetiknya di hutan. Dia memillh tempat yang bersih di dalam kuil tua, kemudian memanggang daging kelinci dan mengisi perutnya yang sudah amat lapar.

Setelah perutnya kenyang, tenaganya pulih maka dia mulai mengantuk karena matanya pun sangat membutuhkan istirahat. Dia membersihkan kolong meja di belakang sebuah arca Jilaihud yang besarnya melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara dan sudah berlumut karena tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor kucing malas, Ceng Ceng merebahkan diri di belakang arca dan melingkar, sebentar saja dia sudah tertidur.

Ceng Ceng tidak tahu sama sekali akan apa yang terjadi di luar kuil, tak lama kemudian dia tidur pulas. Dari dalam hutan, di luar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao Liang, diiringi oleh dua orang lain, yaitu seorang nenek yang berwajah kejam dan seorang laki-laki tua berkepala gundul berpakaian pendeta berwarna kuning yang sudah kumal. Hwesio tua bertubuh tegap itu memegang sebatang toya dan mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan wajah yang serius. Mereka ini termasuk kaki tangan pemberontak yang diperbantukan kepada Tek Hoat di samping Siang Lo-mo yang amat lihai itu.

Setelah tiba di depan kuil, Tek Hoat melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal itu terjatuh ke atas tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua kakinya telah ditotok oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu menggerakkan tubuh dari pinggang ke atas.

“Uhhhh...!” Dengan sukar jenderal itu berhasil bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat sambil tersenyum mengejek kemudian berkata, “Orang muda, engkau lihai sekali, Sayang engkau menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku, tidak lekas membunuh mau menanti apa lagi?”

Tek Hoat tidak menjawab, hanya memandang tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik jubahnya yang lebar itu sehelai kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan alat-alat tulis itu kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Jenderal Kao, engkau sudah menjadi taklukan dan tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah engkau sendiri yang menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau memilih hidup ataukah mati.”

Tek Hoat menghentikan sebentar kata-katanya, sementara Jenderal Kao mendengarkan dengan sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan, “Kalau engkau memilih hidup, tulislah pengakuan di atas kertas ini bahwa engkau merencanakan pemberontakan dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani menentang usaha pemberontakanmu maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu itu berarti hidup bagimu karena engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak, berarti engkau memilih mati.”

Tiba-tiba jenderal itu tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan kedua orang pembantunya. Dengan sinar mata berapi dan wajah membayangkan kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya itu menjawab, “Orang muda, siapa pun adanya engkau dan betapa lihai pun engkau, jangan harap untuk dapat membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu dengan ancaman kematian. Aku orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang tidak gentar menghadapi kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran dari pada hidup bergelimang kehinaan. Andai kata aku memiliki sepuluh nyawa sekali pun akan kurelakan semua dari pada harus melakukan apa yang kau minta itu, apa lagi nyawaku hanya satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan berubah dengan matinya seorang manusia!”

Tek Hoat memandang kagum akan tetapi juga mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal ini membuat surat pengakuan itu, karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan surat seperti itu untuk menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran pemberontak kepada Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat melanjutkan usaha kotornya dengan aman. Kini, menghadapi sikap jenderal yang benar-benar amat jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat.

Akan tetapi dia teringat akan tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk meraih kedudukan setinggi mungkin melalui pengabdiannya kepada Pangeran Liong, maka dia lalu berkata dengan suara dingin, “Baiklah, engkau sendiri yang memilih mati dan jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak saja.”

Dia menoleh kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata, “Bikin api unggun yang besar. Kita bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi kematian!” Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api unggun.

Melihat sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi makin kagum. Dia lalu duduk di atas anak tangga kuil tua, menghadapi jenderal yang duduk di atas tanah itu dan berkata, “Jenderal Kao, mengapa engkau mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap mengorbankan nyawamu! Betapa bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa engkau hanya diperbudak saja oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang duduk di atas? Engkau diperas tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat terasing, setiap hari terancam bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya untuk mengamankan dan menyenangkan kehidupan para atasan yang hanya tahu berfoya-foya belaka. Betapa bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi kesenangan dan kelangsungan hidup makmur orang-orang lain!”

Jenderal Kao memandang pemuda itu sejenak, sinar matanya tajam sekali. “Orang muda, aku tidak mengenalmu akan tetapi engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, engkau tidak segan-segan melakukan perbuatan rendah hanya untuk memenuhi keinginan dirimu yang mengejar kesenangan belaka. Agaknya engkau tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Sama sekali bukan maksudku ingin menyenangkan dan menjaga kelangsungan hidup makmur Kaisar dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku seorang jenderal, seorang komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku dan ini adalah benar, maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan sekali-kali demi Kaisar, sungguh pun beliau merupakan satu di antara manusia yang telah melepas budi kepadaku.”

“Hemm, kau keras hati, Jenderal Kao. Sayang bahwa aku terpaksa akan membakarmu hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya seharga pengakuan di atas kertas.”

“Terserah, aku siap untuk mati. Hanya kalau boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima kasih dan penghormatanku yang terakhir kepada mereka yang telah melepas budi kepadaku ketika aku masih hidup.”

Tek Hoat makin kagum. Jenderal ini selain gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang jantan yang tidak melupakan budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya untuk menolak, maka dia mengangguk.

“Aku akan bersembahyang di depan arca Jilaihud, menyembahyangi arwah mereka.” Sambil merangkak, menggunakan kekuatan kedua lengannya saja, jenderal itu naik anak tangga menghampiri meja besar, yaitu meja sembahyang yang sudah butut di depan arca Jilaihud. Tek Hoat mengikutinya dari belakang, siap dan waspada menjaga jangan sampai tawanannya ini meloloskan diri.

Dari dalam saku baju dalamnya, jenderal itu mengeluarkan beberapa helai gambar. Pertama-tama adalah gambar kaisar tua, yaitu ayah Kaisar sekarang yang dianggapnya sebagai orang pertama yang telah melimpahkan budi kepadanya dan kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia mengeluarkan gambar-gambar kakeknya, ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir sekali dia mengeluarkan sehelai gambar lain yang membuat Tek Hoat terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah seorang wanita remaja yang cantik jelita. Gambar itu pun diletakkannya di atas meja, tetapi di sudut dan terpisah dari gambar-gambar yang lain.

Ceng Ceng sudah sadar dari tidurnya ketika mendengar suara ribut-ribut tadi. Dia mengintai dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang amat dikenalnya, pemuda nakal yang pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang Tek Hoat!

Dia tidak mengenal dua orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan nenek berwajah bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki tangan pemberontak! Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal Kao, tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka ia tidak hanya menurutkan hatinya menghadapi peristiwa itu.

Dia maklum bahwa kalau dia muncul begitu saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu lihai bukan main. Ingin menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia sendiri yang tertawan. Maka ia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai ketika Jenderal Kao mendekati meja besar di depan arca untuk menyembahyangi leluhurnya.

Hampir saja dia menjerit ketika dia melihat dan mengenal gambar gadis di atas meja itu. Gambar itu adalah gambar wajahnya! Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu, di samping kaisar tua dan leluhurnya. Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu jenderal itu menganggapnya telah mati dan mengingat betapa dulu dia menolong sehingga jenderal itu tidak terjeblos ke dalam sumur maut, maka jenderal itu menganggapnya sebagai penolongnya dan selalu menyimpan gambarnya yang agaknya disuruh buat seorang ahli lukis yang pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa terharu sekali, keharuan yang membuat dia hampir nekat untuk menerjang ke luar.

“Heiiiii...!” Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng Ceng. “Kiranya gambar dia...?”

Dan hal yang aneh sekali terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan diri dan tidak berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi kegagahan. Dia pernah bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu dengan gadis itu dia tidak akan memandangnya. Sekarang, begitu melihat gambar wajah gadis itu, otomatis dia terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka.

Ceng Ceng yang bersembunyi di balik arca besar itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia mengambil keputusan untuk menerjang ke luar menolong Jenderal Kao yang sedang berlutut terhadap gambar-gambar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di dekat jenderal jebol disusul masuknya sesosok tubuh seorang pemuda yang tinggi besar.

Ceng Ceng terbelalak memandang. Mukanya pucat seketika dan jantungnya berdebar tegang. Matanya mengeluarkan sinar berapi, bibirnya tertarik beringas, kedua tangan dikepal, napasnya agak terengah-engah. Tentu saja dia mengenal wajah pemuda tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah memperkosanya!

Melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat yang tadi membuat api unggun cepat menerjang dengan tongkatnya karena dia menduga bahwa tentu pemuda ini datang untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya dahsyat sekali, toya di tangannya mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan angin dan menyambar ke arah kepala pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda itu tidak mengelak, melainkan menggerakkan lengan kirinya menangkis.

“Dukkk...!”

“Ehhhh...!”

Hwesio Itu terpental dan terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan untuk memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia berdiri bersiap melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan mata memandang tajam ke arah tiga orang lawan itu.

Tek Hoat terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Sambil bertolak pinggang kiri, telunjuk kanannya menuding dan dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar lengking nyaring dan dari balik arca besar meloncat sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar itu dengan kedua tangan terbuka, kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun yang amat ampuh. Dari kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat dan tercium bau harum yang aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun amat hebat.

“Wut-wut-plak-plak, bretttt...!”

Pemuda tinggi besar itu terkejut, maklum bahwa dia diserang orang dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang amat berbahaya, maka dia sudah mengelak dan kemudian menangkis dengan lengannya, tetapi tetap saja ujung lengan bajunya yang digulung di bawah sikunya tercengkeram dan robek.

“Huh... pemberontak hina...!” Pemuda tinggi besar itu menghardik, suaranya nyaring dan besar, matanya bernyala memandang wajah orang yang menyerangnya, wajah yang hitam dan hanya tampak matanya saja yang bersinar-sinar penuh kebencian.

Ceng Ceng tadi telah melumuri mukanya dengan kotoran dan hangus hitam di belakang arca besar sebelum dia melompat ke luar tadi. Dia melakukan hal ini karena tadinya dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu ternyata datang untuk menolong Jenderal Kao! Kalau saja dia tidak merasa enggan dan malu terhadap Jenderal Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan mukanya.

Namun, terjadi perang di dalam hatinya. Sebagian dia harus bersyukur dan membantu pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, tetapi sebagian lagi mengingat akan kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat mungkin membunuh pemuda laknat itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia menutupi mukanya agar tidak dikenal oleh Jenderal Kao.

“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak, kemudian dia menubruk lagi ke depan dengan menggunakan seluruh sinkang untuk mendorong semua racun di tubuhnya ke dalam kedua tangannya.

“Dukk! Dess...! Aahh...!” Pemuda itu mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan tangannya yang menangkis menjadi panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun yang amat ampuh.

Akan tetapi di lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa kuat tenaga sinkang-nya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu sudah memondong tubuh Jenderal Kao dengan lengan kiri.

“Hendak lari ke mana kau?” Nenek pembantu Tek Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah menyerang dengan tangan kosong yang dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda. Terdengar suara bersiutan ketika kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu hendak meraih dan merampas Jenderal Kao, yang lain mencengkeram ke arah leher pemuda tinggi besar.

Akan tetapi, dengan gerakan indah dan gesit pemuda itu mengelak, lalu menggunakan tangan kanan menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu dan sekali sendal, tubuh nenek itu terjungkal dan terguling-guling sampal jauh!

“Wuuuutttt...! Singggg...!”

“Aihhhh...!” Pemuda tinggi besar itu cepat meloncat dan mukanya agak berubah.

Ternyata Tek Hoat telah menyerang dengan sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan. Itulah pedang Cui-beng-kiam yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk Pulau Neraka yang amat sakti. Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu ternyata lihai sekali dan Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak ingin melihat tugasnya gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya, langsung menyerang pemuda itu.

Melihat betapa pemuda tinggi besar yang memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada lawannya. Akan tetapi ternyata pemuda tinggi besar ini hebat sekali kepandaiannya dan kalau saja jenderal itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan merasa malu dan kehilangan muka terhadap dua orang pembantunya itu.

Bahkan Siang Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya dan dua orang tokoh besar itu tidak keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran Liong Bin Ong untuk ‘membantu’ dia karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek Hoat. Kalau sampai kini seorang pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao, benar-benar dia akan merasa malu sekali.

“Jahanam, jangan harap akan bisa lolos dari sini...!” Tek Hoat menghardik marah sekali dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan cepat.

Pemuda tinggi besar itu kembali terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang menculik jenderal itu ternyata bukan main lihainya. Dia hanya melihat bayangan berkelebat didahului sinar pedang Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma. Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa serangan ini bukan main hebatnya, pedang meluncur menusuk lehernya, sedangkan tangan kiri pemuda itu meraih untuk merampas jenderal di pundaknya.

“Haiiittt...!” Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking amat keras menggetarkan hati Tek Hoat yang cepat mengerahkan khikang-nya dan melanjutkan serangannya. Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepalanya. Dari rambutnya yang panjang, yang tadi melingkar di lehernya itu, mendadak mencuat ke depan menangkis pedang.

“Plakkk!”

Ujung rambut itu terus membelit pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut sekali, lalu merubah cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai sinkang kuat.

“Dessss...!”

Lengan kanan pemuda tinggi besar itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan terhuyung sampai lima langkah jauhnya! Pedang yang terlibat ujung rambut terlepas. Tek Hoat menjadi merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali dia meloncat ke depan dan menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul tubuh Jenderal Kao dengan tangan kirinya itu.

Pedang Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali disambut oleh ujung rambut yang tebal dan panjang. Sekarang Tek Hoat menggunakan tangan kiri mendorong dengan telapak tangan terbuka dan hawa sinkang yang amat dahsyat menyambar ke depan. Dia telah mengerahkan sinkang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin yang disebut Tenaga Inti Bumi. Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul tinggi ke arah pemuda tinggi besar itu.

“Hebat...!” Pemuda tinggi besar itu berseru kagum.

Kembali tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan kini yang bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan tetapi yang memiliki kekuatan dahsyat. Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya, akan tetapi karena dia sedang bertanding sinkang dengan lawannya yang amat tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.

“Bukkk...!”

Pemuda tinggi besar itu mengeluh sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang lalu melarikan Jenderal Kao yang masih terpondong di pundak kirinya.

“Jangan lari... ahhhh...!” Tek Hoat terkejut sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya hitam itu telah menyerangnya dengan kedua tangan yang mengandung hawa beracun!

Tek Hoat mengelak dengan loncatan ke samping. Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang bermuka hitam ini tadi menyerang pemuda tinggi besar ltu mati-matian, akan tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya?

“Apakah kau gila?! Siapa kau?” bentaknya.

Melihat orang itu tetap menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah. Tentu saja dia tidak takut akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya, dia menangkis dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.

“Desss...!”

Untuk kedua kalinya, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya sakit-sakit rasanya, akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan lengannya panas dan gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang beracun!

“Keparat, kau berani menggunakan racun...?” Tek Hoat menghardik. Kini dia melangkah maju, pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan kanannya.

Melihat ini, maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu menang menghadapi Tek Hoat yang amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua pipinya dan meloncat berdiri.

“Lihat, siapa aku? Berani kau melanggar sumpah memandang aku?”

Sejenak Tek Hoat terbelalak, memandang bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang tersembunyi di balik kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik. Akan tetapi ketika dia melihat sehelai sapu tangan dikeluarkan oleh gadis itu, teringatlah dia.

“Kau...?!” Serunya kaget dan heran sekali, akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan tubuhnya membuang muka!

Ceng Ceng mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat keluar dari kuil tua setelah dia menyebar tiga macam racun bubuk yang dahulu dibawanya keluar dari dalam terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan ilmunya berlari cepat, meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu.

Tek Hoat adalah seorang yang amat lihai. Walau pun matanya tidak melihat, namun telinganya dapat menangkap gerakan Ceng Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah meloncat pergi. Cepat dia membalik dan merasa menyesal mengapa dia dahulu begitu mudah bersumpah sehingga kini dia mengalami kesukaran dari gadis liar itu.

“Lari ke mana kau?!” bentaknya karena dia mulai merasa marah, merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan sumpahnya sebagai senjata.

Akan tetapi terkejutlah dia ketika mencium bau yang luar biasa kerasnya, dan melihat tanah di depannya mengeluarkan asap seperti terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu, entah bagaimana, kini sudah menjadi seorang ahli racun yang sangat berbahaya. Dia berseru keras, menahan napas dan cepat meloncat tinggi-tinggi melampaui tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh dan bergidik. Racun-racun itu amat hebat, selain dapat membuat batu-batu hancur, juga ada yang mengeluarkan bau keras mukjijat yang memabokkan. Maka dia mengambil keputusan untuk membiarkan Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat hendak mengejar pemuda tinggi besar yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang tadi telah dikejar oleh dua orang pembantunya.

Kurang lebih satu li jauhnya, ketika dia berada di luar hutan, Tek Hoat tiba-tiba berhenti dan berdiri termenung memandang mayat dua orang yang menggeletak di atas tanah. Mayat hwesio dan nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa pembantu-pembantunya begitu tidak becus, sedangkan orang-orang yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai, seperti pemuda tinggi besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul secara tidak terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan Jenderal Kao.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki banyak kuda dan ternyata yang muncul adalah rombongan Siang Lo-mo yang juga tidak berhasil merobohkan dua orang pemuda itu. Siang Lo-mo menyesal sekali mendengar bahwa Jenderal Kao yang telah berhasil diculik itu terampas musuh, maka bersama Tek Hoat mereka lalu menuju ke kota raja untuk melapor kepada Pangeran Liong Bin Ong akan kegagalan mereka.....

********************

Sementara itu, pemuda tinggi besar itu berlari cepat sekali, menyimpang dari jalan raya yang menuju ke kota raja dan menjelang senja dia berhasil membebaskan totokan di tubuh jenderal itu.

“Dari sini ke pintu gerbang kota raja tidak jauh lagi. Engkau terluka, orang muda. Marilah ikut bersamaku ke kota raja,” kata Jenderal Kao sambil memandang wajah yang gagah itu dengan rasa kagum dan suka.

Pemuda itu menggeleng kepala. “Silakan Tai-ciangkun pergi ke kota raja. Kini sudah aman. Kita harus berpisah di sini.” Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

“Nanti dulu...!” Jenderal Kao memegang lengan pemuda itu, “Engkau terluka, perlu perawatan...”

Pemuda itu menoleh, menggeleng kepala. “Aku tidak apa-apa, Ciangkun, harap jangan khawatir. Yang perlu, Ciangkun harus cepat melarikan diri ke kota raja, dan biarlah aku yang menghadang mereka yang hendak mengejarmu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkah pergi.

“Bagaimana engkau dapat pergi begitu saja setelah menyelamatkan aku? Setidaknya beritahukan kepadaku siapa namamu!” Jenderal Kao berseru penasaran.

Pemuda itu berhenti, menoleh dan menjawab, “Saya dengar dari para penghuni dusun bahwa Ciangkun adalah Jenderal Kao yang budiman dan terkenal, sehingga siapa pun sudah sepatutnya membantu kalau Ciangkun berada dalam kesulitan. Ada pun aku... aku seorang kelana yang tidak punya nama. Selamat berpisah, Tai-ciangkun!” Pemuda itu berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Jenderal Kao termenung sejenak, menarik napas panjang lalu terpaksa melanjutkan perjalanan ke kota raja. Dia harus melaporkan semua pengalamannya, akan tetapi dia menyesal sekali mengapa pemuda yang amat dikaguminya, amat menarik hatinya itu tidak mau memperkenalkan diri.

Juga dia masih terheran-heran melihat munculnya orang yang mukanya hitam, yang tadinya menyerang mati-matian kepada pemuda penolongnya, kemudian malah balik melindunginya dari pengejaran para penculik. Juga ketika rombongannya diserbu kaki tangan pemberontak, muncul dua orang pemuda remaja yang amat lihai. Benar-benar telah muncul banyak orang aneh yang berilmu tinggi, pikirnya.

Mengapa tiba-tiba saja dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi sekali dan berwatak aneh? Harus diakuinya bahwa pemuda yang menculiknya, yang masih amat muda, juga telah memiliki ilmu kepandaian yang mengejutkan dan mengerikan. Melihat adanya orang-orang seperti dua orang kakek aneh dan pemuda lihai itu berada di pihak pemberontak, tahulah dia bahwa keadaannya sudah berbahaya dan haruslah pihak Kaisar cepat-cepat turun tangan.

Dia akan merundingkan hal ini dengan Puteri Milana, karena hanya puteri yang sakti itulah yang dia harapkan akan dapat memperingatkan Kaisar dan mengatur kekuatan dari dalam untuk menghancurkan pemberontak dan kaki tangannya. Sambil melanjutkan perjalanan secepatnya, jenderal yang gagah perkasa ini beberapa kali mengepal tinju.

Sejak muda dia mengabdikan diri kepada kerajaan dan telah mengalami banyak hal. Dia hanya mengenal satu cara untuk mengamankan dunia, untuk mengamankan negara, yaitu dengan kekerasan, dengan tegas menghukum yang jahat dan dengan mati-matian membela yang benar. Maka kini hanya ada satu niat yang tercurah di dalam perhatian hati dan pikirannya, yaitu menumpas pihak pemberontak dengan kekerasan, membasmi mereka tanpa mengenal ampun lagi, karena hanya jalan inilah yang dianggapnya paling tepat untuk mengamankan negara.

Betapa banyaknya orang berpendapat seperti Jenderal Kao, yaitu bahwa keamanan dan kedamaian hanya dapat dicapai melalui kekerasan dan dengan cara membasmi mereka yang menentang. Ada pula orang berpendapat bahwa kedamaian hanya dapat tercapai dengan jalan anti kekerasan dan mengajar orang-orang supaya hidup baik dan bajik.

Kedua pendapat yang kelihatannya berlawanan ini sebetulnya sama saja, yaitu ingin merubah keadaan kehidupan manusia di dunia yang semenjak ribuan tahun sampai sekarang selalu penuh dengan pertentangan, kekacauan, permusuhan dan kebencian ini. Yang pertama adalah ingin membentuk dunia yang damai dengan cara kekerasan, yang kedua ingin membentuk dunia yang damai dengan cara lain. Kita semua lupa agaknya bahwa dunia adalah masyarakat, dan masyarakat adalah hubungan antara manusia, yaitu kita-kita ini juga. Merubah dunia atau merubah masyarakat tidak akan mungkin apa bila kita-kita ini, masing-masing manusia, tidak berubah lebih dulu.

Pemberontakan demi pemberontakan, revolusi demi revolusi, sepanjang perkembangan sejarah, telah terjadi di seluruh pelosok dunia. Namun, pemberontakan itu disusul oleh pemberontakan lain, pembaharuan disusul oleh pembaharuan yang lain, revolusi disusul oleh revolusi lain. Setiap bentuk revolusi lahiriah hanya mendatangkan permusuhan dan pertumpahan darah, saling bunuh-membunuh dan akhirnya hanya menanam bibit kebencian pada pihak yang kalah, dan menanam bibit kekuasaan kepada pihak yang menang.

Di bagian yang menang timbullah perpecahan-perpecahan lagi karena memperebutkan pahala atas jasa-jasa mereka di dalam perjuangan yang lalu. Dan tentu saja di dalam perebutan ini pun akan terdapat yang menang dan yang kalah. Yang menang akan menduduki puncak pimpinan, sedangkan yang kalah, yang tidak kebagian akan menjadi penasaran dan sakit hati, akan timbul keluhan dan tuntutan akan ketidak-adilan dan segera muncullah pemberontakan-pemberontakan yang baru dari mereka yang merasa di kesampingkan, mereka yang merasa berhak namun tidak memperoleh bagian.

Sumber segala kekacauan ini, segala perebutan ini, baik perebutan kekuasaan mau pun perebutan harta benda, terletak pada diri pribadi masing-masing manusia sendiri. Maka tidak mungkin menyalahkan kepada masyarakat karena kita sendiri yang membentuk masyarakat. Dunia akan berubah, masyarakat akan berubah kalau diri kita masing-masing berubah! Segala macam pemberontakan, revolusi, pembaharuan sosial, akan gagal selama diri sendiri masing-masing tidak berubah lebih dulu. Kalau manusianya sudah berubah, otomatis masyarakat dan dunia akan mempunyai wajah lain! Tidak sekacau dan sekejam ini, di mana kebencian dan permusuhan tampak setiap saat di mana pun juga, di mana di satu pihak orang hidup berkelebihan di lain pihak ada yang kelaparan.

Segala macam tindakan dalam hidup akan menjadi palsu dan rusak bila ditunggangi oleh si aku, karena tindakan itu tak lain tak bukan hanyalah merupakan cara bagi si aku untuk mencapai tujuannya! Dan si aku ini amatlah cerdik dan liciknya, amatlah lihainya seperti Kauw Cee Thian Si Raja Monyet yang terkenal di dalam cerita See-yu yang pandai berpian-hoa (berganti rupa) sampai menjadi tujuh puluh dua macam. Bisa saja si aku ini bersembunyi di balik istilah-istilah muluk seperti tanah air, negara dan bangsa, bendera pusaka, Tuhan, kemerdekaan, perdamaian, kebahagiaan, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi.

Namun kalau kita mau membuka mata melihat sesungguhnya apa yang berkecamuk di dalam batin dan pikiran kita, akan tampak oleh kita bahwa semua itu hanya digunakan oleh si aku untuk mencapai tujuan yang menguntungkan bagi si aku, baik keuntungan lahiriah mau pun keuntungan batiniah. Maka segala istilah itu lalu dibubuhi kata-kata ‘ku’, menjadi negaraku, bangsaku, Tuhanku, dan sebagainya yang merupakan bentuk lain dari pada si aku sendiri! Maka muncullah pertentangan yang tak dapat dihindarkan lagi antara negaraku dan negaramu, kebenaranku dan kebenaranmu, agamaku dan agamamu, Tuhanku dan Tuhanmu, dan sebagainya.

Mungkin usaha seperti yang direncanakan oleh Jenderal Kao itu akan berhasil seperti yang dibuktikan dalam sejarah, namun hasil ini untuk sementara. Dan seperti dibuktikan oleh sejarah pula, pemberontakan-pemberontakan di jaman Pemerintah Ceng timbul tenggelam seperti juga di jaman pemerintah-pemerintah terdahulu. Tiap pemberontakan menentang kekuasaan yang bercokol tentu diberi nama yang indah-indah dan gagah seperti perjuangan demi rakyat, demi bangsa, bahkan ada kalanya menarik nama Tuhan tanpa segan-segan lagi sampai pemberontakan itu berhasil menumbangkan kekuasaan yang ada. Akan tetapi setelah kekuasaan baru timbul, disusul oleh pemberontakan yang lain, yang lebih seru, dengan menggunakan rakyat, bangsa atau Tuhan sebagai topeng, namun pada hakekatnya sama saja sungguh pun mungkin istilah-istilahnya yang berbeda sesuai dengan jamannya.

Jenderal Kao Liang melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati-hati. Dia maklum bahwa pihak pemberontak tentu tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja dan tentu akan berusaha untuk menangkapnya kembali. Dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia lebih mengkhawatirkan keadaan negara.....

Ia harus berusaha sekuat tenaga agar jangan sampai tertangkap pemberontak sebelum dia tiba di kota raja, sebelum dia menyampaikan semua pengalamannya kepada Kaisar atau setidaknya Puteri Milana. Mengertilah jenderal ini bahwa kalau sampai dia tertawan atau terbunuh, tentu pihak pemberontak akan memutar balikkan kenyataan, melaporkan kepada Kaisar bahwa dialah yang akan memberontak dan dengan demikian kedudukan para pimpinan pemberontak di kota raja menjadi aman dan mereka dapat menyusun kekuatan. Tidak, dia tidak boleh tertangkap kembali. Maka jenderal ini hanya melakukan perjalanan di waktu malam, kalau siang dia bersembunyi dan pakaian perangnya pun sudah dibuangnya dan dia hanya memakai pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa.

Dengan cara demikian, setelah lewat dua malam, pagi-pagi sekali, akhirnya sampailah jenderal ini di kota raja, dengan menumpang pada seorang pedagang sayur-sayuran yang mengangkut dagangannya dengan gerobak. Setelah masuk di kota raja, jenderal ini tidak banyak membuang waktu lagi, langsung saja dia menuju ke istana Puteri Milana dan kepada para pengawal yang menjaga di depan, dia minta berjumpa dengan puteri itu.

Para pengawal yang mengenal jenderal ini cepat melapor kepada majikan mereka dan tidak lama kemudian, Jenderal Kao Liang yang disuruh menunggu di kamar tamu telah disambut oleh Puteri Milana, Panglima Han Wi Kong suami puteri itu, serta dua orang pemuda tampan yang segera dikenali oleh jenderal itu.

Melihat dua orang pemuda ini, Jenderal Kao cepat berseru, “Bukankah Ji-wi yang telah datang menolong ketika rombongan kami diserang pemberontak?”

“Sayang kami tidak berhasil menyelamatkanmu, Goanswe,” kata Kian Lee.

“Siang Lo-mo dan para pembantunya dapat kami pukul mundur, akan tetapi Goanswe telah dilarikan orang,” kata Kian Bu.

“Sudahlah, kita harus bergembira bahwa ternyata Kao-goanswe dapat menyelamatkan diri dan tiba di sini. Kao-goanswe, mereka ini adalah adik-adikku, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu dari Pulau Es,” kata Milana.

“Ahhh... pantas... kiranya putera-putera dari Pendekar Super Sakti!” jenderal itu berseru kaget, heran dan kagum sekali.

“Goanswe, silakan duduk,” Han Wi Kong mempersilakan jenderal itu dan mereka lalu duduk mengitari meja. Jenderal Kao menceritakan semua pengalamannya, didengarkan oleh mereka berempat dan Puteri Milana mengerutkan alisnya.

Setelah jenderal itu selesai bercerita, Milana mengangguk-angguk. “Sudah pasti sekali bahwa tentu Pangeran Tua yang menjadi biang keladi ini semua. Agaknya dia berhasil membujuk Kaisar untuk memanggilmu, Goanswe, dan sementara itu dia telah menaruh kaki tangannya di tengah jalan. Untung bahwa kau dapat lolos berkat pertolongan pemuda tak dikenal itu.”

“Nanti saya akan menghadap Kaisar untuk membuka rahasia mereka itu!” Jenderal Kao berkata penuh rasa penasaran.

“Sebaiknya jangan begitu. Masih belum waktunya untuk menentang mereka secara terbuka sebab kita belum memperoleh bukti pemberontakannya. Biarkan saya saja yang menyampaikan semua ini kepada Kaisar, sedangkan Goanswe sebaiknya dengan diam-diam kembali ke utara, biar dikawal dan ditemani dua orang adikku ini. Yang penting adalah agar supaya Kim Bouw Sin si panglima pemberontak itu jangan sampai lolos. Dia merupakan saksi dan bukti yang amat kuat untuk membongkar pemberontakan Pangeran itu. Kao-goanswe sendiri pasti maklum betapa kuat kedudukan kedua orang Pangeran Liong. Pengaruh mereka besar dan tentu saja Kaisar merasa segan untuk menentang adik-adiknya itu. Tanpa bukti dan saksi yang cukup, berbahaya menentang mereka secara terbuka.”

“Akan tetapi kalau dibiarkan saja, makin lama kedudukan mereka makin kuat dan amat berbahayalah bagi negara.” Jenderal itu membantah.

“Karena itu, tugas kita adalah dua. Pertama, dengan kekuatan pasukan yang dipimpin oleh Goanswe, kita harus menindas pemberontakan di mana pun, dan aku yang akan membantu dari dalam untuk membersihkan mereka dari kota raja. Kedua, kita harus mengumpulkan bukti dan saksi sebanyaknya dan sekuatnya untuk disampaikan kepada Kaisar agar pembersihan dapat dilakukan dengan sah. Maka kalau Goanswe terlalu lama di sini dan meninggalkan pasukan, saya khawatir kalau-kalau pasukan yang di utara dapat dipengaruhi dan dikuasai pemberontak.”

Jenderal Kao menepuk meja. “Bagus sekali! Memang apa yang Paduka kemukakan itu tepat semua dan harus dilaksanakan. Baiklah, hari ini juga saya akan kembali ke utara setelah saya menjumpai keluarga saya. Memang, yang terpenting adalah agar manusia rendah Kim Bouw Sin itu tidak sampai lolos!”

“Kedua adik saya Kian Lee dan Kian Bu akan mengawal dan menemani Goanswe,” kata Milana sambil mempersilakan Jenderal itu minum teh panas yang dihidangkan oleh pelayannya.

“Hati saya akan menjadi tenang kalau begitu,” kata Sang Jenderal karena dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian dua orang muda ini, apa lagi setelah sekarang dia tahu bahwa mereka adalah putera-putera Pendekar Super Sakti!

“Kami akan menemani Goanswe dan sehidup semati dalam perjalanan sampai ke benteng di utara,” kata Kian Lee.

“Akan tetapi sebaiknya kita berangkat meninggalkan kota raja malam nanti...,” kata Kian Bu.

“Eh, mengapa harus menanti sampai malam?” Kian Lee berkata.

Kian Bu mengejap-ngejapkan matanya kepada kakaknya itu, akan tetapi Kian Lee tetap tidak mengerti. “Mengapa? Katakan saja, mengapa harus malam nanti baru berangkat? Tidak usah pakai bahasa rahasia, kita di sini berada di antara orang sendiri,” kata Kian Lee.

“Aihhh, masa Lee-ko tidak mengerti? Tidak enak kalau harus kukatakan begitu saja.”

“Adik Kian Bu, jangan membikin kami penasaran karena ingin tahu. Mengapa kau mengusulkan demikian?” Panglima Han Wi Kong ikut bicara.

“Waah, kalau begitu terpaksa saya bicara akan tetapi harap Kao-goanswe lebih dulu maafkan saya,” Kian Bu berkata.

“Eh, tentu saja... katakanlah apa yang terkandung di hatimu, Siauw-sicu (Orang Muda Gagah),” jenderal itu berkata sambil tersenyum.

“Kao-goanswe baru saja tiba dari utara, baru saja terbebas dari ancaman bahaya maut, dan baru saja hendak menjumpai dan berkumpul dengan keluarganya di kota raja. Lalu bagaimana kami berdua bisa tega untuk mendesaknya agar cepat-cepat meninggalkan mereka? Maka sebaiknya malam nanti kita berangkat.”

Milana tersenyum, Kian Lee menjadi merah mukanya karena marah pada kelancangan adiknya, Han Wi Kong mengangguk-angguk dan Jenderal Kao tertawa bergelak sambil memegang pundak Kian Bu. “Siauw-sicu, engkau jujur dan memperhatikan kepentingan orang lain. Sungguh bagus sekali!”

“Bu-te, kau memang nakal!” Milana menegur akan tetapi sambil tersenyum. Sedangkan Kian Lee memandang adiknya itu dengan mata penuh teguran.

Jenderal Kao berkata, “Memang saya setuju dengan usul itu, bukan sekali-kali karena saya ingin terlalu lama melepas rindu terhadap keluarga. Saya sudah tua, dan berpisah dengan keluarga sudah merupakan hal yang tidak asing lagi bagi saya. Akan tetapi memang sebaiknya kalau malam nanti baru kita berangkat agar tidak menarik perhatian pihak pemberontak. Biarlah mereka menyangka bahwa saya masih menjadi buronan dan sebaiknya kalau tahu-tahu saya telah berada kembali di benteng agar mereka tidak sempat lagi mengusahakan lolosnya Kim Bouw Sin.”

“Memang tepat sekali, Kao-goanswe. Kim Bouw Sin merupakan saksi yang sangat penting,” Milana berkata.

“Tetapi ada lagi orang yang lebih penting dan yang amat membutuhkan perlindungan saya, yang terpaksa saya tinggalkan ketika utusan Kaisar datang,” Jenderal itu berkata. “Dia itu adalah Puteri Bhutan, Syanti Dewi.”

“Ehhh...?” Milana berseru kaget dan heran sekali. “Bagaimana dia yang dikabarkan hilang itu bisa berada di utara? Menurut para penyelidikku, Syanti Dewi berhasil lolos dari kepungan pemberontak dengan dikawal oleh seorang gadis perkasa, akan tetapi lalu hilang, dan kabarnya ditolong oleh seorang nelayan tua ketika Syanti Dewi dan pengawalnya itu hanyut di sungai.”

“Memang demikianlah,” jawab jenderal itu. “Dan nelayan tua itu adalah Gak Bun Beng taihiap yang mengantarnya ke benteng saya.”

“Ahhh...!” Seruan yang keluar dari mulut Milana agak tergetar, namun dia sudah dapat menguasai hatinya yang berdebar keras, sedangkan suaminya, Panglima Han Wi Kong, diam saja pura-pura tidak melihat keadaan isterinya ketika mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng.

“Sedangkan gadis perkasa yang mengawalnya itu adalah adik angkat Sang Puteri sendiri, yang juga telah mendahului datang ke benteng utara akan tetapi... dia tewas ketika menyelamatkan saya. Gak-taihiap meninggalkan Puteri Syanti Dewi kepada saya dengan harapan untuk melindunginya dan kalau waktunya tiba mengantarnya ke kota raja atau kembali ke Bhutan. Akan tetapi terpaksa dia saya tinggalkan ketika utusan Kaisar tiba. Saya amat mengkhawatirkan keadaan puteri yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri itu. Nah, sekarang saya harus singgah menjenguk keluarga di rumah dulu, kemudian saya akan cepat kembali ke utara dan saya bergembira sekali ditemani oleh Ji-wi Siauw-sicu yang lihai ini.”

Semua orang mengangguk setuju dan tak lama kemudian, dengan kereta milik Milana sendiri sehingga tak akan ada yang berani mengganggunya, Jenderal Kao bersembunyi di dalam kereta yang membawanya ke gedung tempat tinggal keluarganya, di ujung kota raja sebelah timur. Kian Lee dan Kian Bu mengawal di belakang kereta dengan menunggang kuda sehingga orang-orang yang telah mendengar bahwa mereka adalah adik-adik dari Puteri Milana, jadi juga masih cucu dari Kaisar, menduga bahwa yang berada di dalam kereta tentulah Puteri Milana yang mereka kagumi.

Kereta itu memasuki halaman gedung keluarga Jenderal Kao dan setelah jenderal itu turun dan menyelinap masuk diikuti oleh Kian Lee dan Kian Bu yang disambut dan dipersilakan menunggu di ruangan tamu, kereta itu kembali ke istana Puteri Milana. Tentu saja terjadi pertemuan yang amat mengharukan dan penuh dengan kegembiraan dan pelepasan rindu antara Jenderal Kao dan keluarganya.

Sementara itu Kian Lee dan Kian Bu kembali lebih dulu ke istana kakak mereka untuk membuat persiapan sebagai bekal di perjalanan. Menjelang senja, baru mereka berdua datang ke gedung keluarga Jenderal Kao dan untuk menanti datangnya malam kedua orang muda ini asyik bermain siang-ki (catur) di ruangan tamu yang luas.

Jenderal Kao keluar sebentar menemui mereka dan mengatakan bahwa mereka akan berangkat setelah malam menjadi gelap dan keadaan di luar menjadi sunyi. Dia sudah mengatur dengan kepala penjaga malam itu sehingga mereka akan dapat keluar dari pintu gerbang utara tanpa banyak halangan dan dengan diam-diam. Dua orang kakak beradik itu menyetujui, kemudian melanjutkan permainan catur mereka.

Setelah malam mulai sunyi, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat cepat sekali naik ke atas genteng gedung itu dari arah kiri. Gerakannya lincah, ringan dan cekatan dan dia berindap-indap mengintai ke bawah gedung dari atas genteng. Bayangan hitam ini bukan lain adalah Ceng Ceng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini telah berhasil lolos dari kuil setelah dia membikin Tek Hoat tidak berdaya dengan sapu tangan dan sumpah pemuda itu, lalu melarikan diri sambil menyebar racun sehingga Tek Hoat tidak mengejarnya. Ceng Ceng lalu menuju ke kota raja dengan hanya satu tujuan, yaitu mencari pemuda laknat itu.

Di tengah perjalanan inilah dia melihat Jenderal Kao Liang. Hatinya girang sekali karena pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya itu tentu mempunyai hubungan dengan jenderal ini, bahkan yang terakhir dia melihat pemuda itu menolong Jenderal Kao. Akan tetapi, untuk keluar begitu saja menemui jenderal ini, dia tidak sanggup.

Pertama, dia masih ingat akan kebaikan jenderal ini kepadanya, bahkan melihat betapa dalam menghadapi kematian, jenderal ini masih ingat kepadanya dan bersembahyang kepada arwahnya! Kedua, dia kini merasa tidak seperti dulu lagi, selalu timbul perasaan rendah diri dan malu bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya dahulu sebagai sahabat-sahabat baik. Ketiga, setelah pemuda itu menolong Jenderal Kao, tentu saja pemuda itu menjadi sekutu jenderal ini.

Bagaimana dia dapat menjumpai jenderal ini dan menanyakan pemuda yang hendak dibunuhnya itu? Tidak, sebaiknya dia membayangi jenderal ini yang tentu akhirnya akan membawanya bertemu dengan pemuda laknat itu!

Demikianlah, dengan hati-hati, Ceng Ceng membayangi Jenderal Kao dari jauh, sampai jenderal itu memasuki kota raja. Ketika jenderal itu memasuki istana Puteri Milana, dia tidak berani ikut masuk karena malam telah terganti pagi dan istana itu dijaga ketat. Apa lagi setelah dia memperoleh keterangan bahwa istana itu milik Puteri Milana, dia makin tidak berani masuk! Kakeknya dulu telah berpesan kepadanya untuk membawa Syanti Dewi kepada Puteri Milana.

Sekarang, tanpa Syanti Dewi, bahkan dengan diri yang sudah ‘kotor’, bagaimana dia berani berhadapan dengan Puteri Milana yang dipuji-puji dan dijunjung tinggi namanya oleh mendiang kakeknya? Maka dia menanti sambil bersembunyi di luar dan ketika dia melihat kereta yang dikawal oleh dua orang pemuda tampan yang juga telah dikenalnya, diam-diam dia membayangi pula. Girang hatinya ketika dia dapat melihat Jenderal Kao turun dari kereta itu memasuki gedung. Apa lagi ketika dia mencari keterangan dan mendengar bahwa gedung itu adalah tempat tinggal keluarga Jenderal Kao Liang, dia segera menanti dan mengintai sampai datangnya malam.

Ceng Ceng telah meloncat naik ke atas genteng gedung itu. Kini timbul tekad di hatinya bahwa kalau dia tidak bisa menemukan pemuda laknat itu di dalam gedung Jenderal Kao, dia akan menampakkan diri dengan menutupi sebagian mukanya dengan sapu tangan, kemudian menanyakan kepada jenderal itu tentang si pemuda tinggi besar.

Tetapi Ceng Ceng sama sekali tidak menyangka bahwa gerak-geriknya telah sejak tadi diikuti oleh dua pasang mata yang memandang dengan penuh keheranan, kecurigaan, juga kegelian. Yang memandang ini adalah Kian Lee dan Kian Bu. Mereka berdua tadi masih asyik bermain catur di ruangan tamu dan tentu saja pendengaran mereka yang sudah terlatih secara hebat itu segera dapat menangkap suara tidak wajar dari atas genteng.

Keduanya saling pandang, mengangguk dan di lain saat mereka telah mengintai dari balik wuwungan, mengawasi gerak-gerik Ceng Ceng dengan heran. Kedua orang pemuda ini tidak turun tangan karena mereka terheran-heran mengenal wajah Ceng Ceng ketika ada sinar lampu dari bawah menyorot ke atas tepat menimpa wajah cantik itu.

“Dia...!” Kian Lee berbisik dan jantungnya berdebar. Sejak bertemu dengan Ceng Ceng di pasar kuda, hatinya sudah tertarik sekali oleh kecantikan dara ini dan sekarang, gadis yang sering kali dikenangnya itu berada di atas gedung Jenderal Kao dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.

“Sssttt...” Kian Bu menegur.

“Bu-te, jangan... janganlah tergesa-gesa turun tangan... kita jangan sampai keliru, kita membayanginya saja...,” bisik Kian Lee.

Kian Bu menahan senyumnya. Rasakanlah, pikirnya. Setiap menghadapi wanita cantik, sikap kakaknya ini selalu dingin. Baru sekarang kakaknya kelihatan gugup dan tegang melihat seorang gadis cantik! Akan tetapi dia mengangguk setuju karena dia pun tidak ingin salah tangan sebelum tahu apa maksud kedatangan gadis yang aneh itu.

Kini Ceng Ceng yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa dirinya dibayangi oleh dua orang pemuda yang amat lihai, berlutut di atas genteng dan mengintai ke bawah, lalu melayang turun dengan amat ringannya, berindap-indap menghampiri jendela dan mengintai dari balik jendela dengan melubangi kertas jendela. Dari lubang kecil itu dia melihat Jenderal Kao duduk menghadapi meja bersama seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan lemah lembut, dan dua orang anak laki-laki, bercakap-cakap dalam suasana yang mesra. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu jenderal itu bercakap-cakap dengan isteri dan putera-puteranya. Dia melirik ke sana-sini, namun tidak tampak pemuda laknat yang dicarinya. Hatinya kecewa sekali.

Dia sudah terlanjur masuk, penasaran kalau sampai tidak menemukan orang yang dicarinya. Diambilnya segulung kertas, kertas yang telah direndam obat yang dapat menimbulkan asap beracun yang membius orang. Dia ingin membius mereka yang berada di dalam kamar itu agar tertidur semua baru dia akan menggeledah dan mencari. Kalau tidak berhasil menemukan pemuda itu, baru dia akan memakai topeng dan memaksa Jenderal Kao memberitahukan di mana adanya si laknat itu.

Akan tetapi, baru saja dia hendak membakar kertas itu pada lampu yang tergantung di situ, tiba-tiba terdengar bentakan Kian Lee, “Nona, apa yang hendak kau lakukan itu?”

Melihat menyambarnya dua sosok bayangan orang yang bagaikan sepasang burung rajawali melayang dari luar itu, Ceng Ceng terkejut bukan main. Tidak ada jalan keluar baginya untuk lari karena dua orang pemuda lihai itu melayang dari luar, maka cepat dia mendorong daun jendela dan terpaksa dia meloncat ke dalam, di mana Jenderal Kao dan anak isterinya berada! Saking gugupnya, lupalah dia untuk menutupi mukanya dengan sapu tangan dan baru dia teringat setelah dia telah berada di dalam kamar itu dan Jenderal Kao sudah memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat, tanda bahwa jenderal itu telah mengenalinya!

Maka cepat dia mengeluarkan bubukan putih dari sakunya, meremas-remasnya dengan tangan kanan dan tampaklah asap putih tebal mengebul dan menyelimuti dirinya.

“Kau... kau... Nona Ceng...,” Jenderal Kao hanya dapat berkata demikian karena hatinya tergoncang hebat. Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai selimut dan melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.

“Bangsat, hendak lari ke mana kau?” Dua orang putera Jenderal Kao yang berada di situ hendak meloncat mengejar.

“Jangan... mengganggunya...! Biarkan dia pergi...!” Jenderal Kao membentak dan dua orang pemuda yang usianya belasan tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka.

Dari jendela dari mana Ceng Ceng masuk tadi berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee bersama Kian Bu sudah berada di dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa keluarga Jenderal Kao selamat, maka cepat mereka berlari ke arah jendela di seberang yang sudah terbuka.

“Ji-wi Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda), harap jangan mengejar dia...!” kembali Jenderal Kao berseru keras kepada dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka kaget dan heran, lalu membalik dan memandang kepada jenderal itu.

“Dia... dia tadi..., dia bukan manusia melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona Ceng...!” Jenderal itu lalu menoleh kepada dua orang puteranya. “Lekas kau suruh pelayan mempersiapkan meja sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya agar tidak penasaran dan dapat tenang...”

Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang. Mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap prajurit-prajurit yang amat baik!

“Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia biasa,” Kian Bu berkata.

Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu. “Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi, kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut.”

Ketika dua orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak yang menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya.

“Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!” Kian Bu kembali membantah. “Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi...” Dia tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu.

“Yang kalian jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur.”

“Akan tetapi dia tadi...” Kian Bu mencoba membantah.

“Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik... sampai mati pun masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia... dia arwah Nona Ceng... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak aku sembahyangi.”

“Tapi...”

Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya, “Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah mendiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan.”

Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang.

Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah, “Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?”

Penjaga itu cepat memberi hormat dengan berlutut. “Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andai kata paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa melapor...”

Wajah yang tadinya marah itu kini berseri. “Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!”

“Ayah...!” Kao Kok Tiong berseru khawatir. “Biarkan aku yang menemuinya.”

Ayahnya menggeleng kepala. “Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri.”

Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apa lagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya dari pada membawa kebaikan

Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor, “Tamu telah datang menghadap!” Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu.

“Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?” Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya, “Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah.”

Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao, “Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang amat mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu...”

“Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagai mana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?”

“Sungguh, kalau tidak sangat terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu di antara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas di sana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka aku harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberi tahu kepadaku di mana adanya orang itu.”

Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kau cari itu?”

“Iiihhh...” Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Kenapa kau?” Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya.

“Nah, orang muda, katakan siapa orang yang kau cari itu?”

“Aku... aku tidak tahu namanya...” Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung.

Memang dia bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia ditemukan oleh suhu-nya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama keluarganya) pun dia sudah lupa, apa lagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di benteng utara. Kao Liang memandang tajam dengan alis berkerut, penuh iba dan penasaran.

“Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kau cari itu? Apakah dia musuhmu?”

“Dia... dia adalah ayahku... akan tetapi aku tidak tahu namanya... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira...”

Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar, “Kau... kau... siapa namamu...?”

Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih, “Nama saya Kok Cu...”

“Kok Cu...?!” Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.

“Kok Cu anakku...!” Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis.

“Kok Cu, ya Tuhan... engkau ini...?” Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya.

“Twako...!” Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya.

“Twako...!” Kok Han juga mendekat.

Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dia terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini.

“Ayah dan ibuku...? Ah, bagaimana...?” Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu.

Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu. “Mari kita semua duduk. Nah, Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum lagi menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara.” Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao.

“Ayah..., Ibu...!” Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.

“Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka bersilih ganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang sangat hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?”

“Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!” Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama adiknya.

“Terima kasih, terima kasih...!”

“Mengapa kalian begitu bodoh?” Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata. “Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah menduganya... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu...” Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran.

“Ayah...,” Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku. “Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?”

“Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar...”

“Cukuplah semua kementerengan itu, Kao-goanswe!” Suma Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!” Kian Lee berkata.

Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguh pun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.

“Ibu, saya melihat persiapan sembahyang... siapakah...”

“Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!” Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang. “Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya.”

Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang.

Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata.

“Mereka itu salah duga...” Kian Bu berbisik. “Dia belum mati.”

Kian Lee mengangguk dan menghela napas panjang. “Akan tetapi tidak perlulah kita menyangkal dan berdebat dengan mereka...”

“Ahhh...!”

Semua orang menjadi terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar di atas meja sembahyang.

“Hei, kau kenapa, Kok Cu?” Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai sembahyang dan tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu.

“Ayah, siapa... siapa yang kita sembahyangi ini? Gambar siapa itu?” Dia menunjuk ke arah gambar Ceng Ceng di atas meja.

“Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah mengorbankan diri dan tewas dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu.” Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya, “Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?”

Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas bagai ditusuki jarum-jarum beracun. Teramat perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya pucat.

Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam goa, tampak jelas olehnya betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat jahat. Betapa pun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu birahinya yang didorong oleh racun-racun yang sangat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya yang keji sekali, memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya!

Dia telah membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu! Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itu pun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawa sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat dari pada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada di antara keluarga terhormat itu!

“Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?” Ibunya bertanya.

“Kok Cu, kau tadi kelihatan amat kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?” Jenderal Kao bertanya pula.

“Ayah, Ibu... aku amat terkejut karena... karena aku pernah bertemu dengan Nona ini...” jawabnya. “Dia... dia belum mati, Ayah.”

“Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!” Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati!

Tetapi dia sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu!

Jenderal Kao Liang menghela napas panjang. “Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andai kata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh rahasia?”

Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu kini telah menjadi gila karenanya!

“Kok Cu, sekarang kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai,” perintah Jenderal Kao.

Seperti orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu.

“Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku tertipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana...” Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.

“Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung, usiamu tentu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali karena aku dapat mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu.”

“Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!” ibunya menambahkan.

“Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu.”

Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata, “Engkau benar! Kalau tidak ada suhu-mu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhu-mu sampai mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus kau laksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi..., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?”

“Maaf, Ayah. Karena aku harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam ini pun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu...”

Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali.

Seperti setan cepatnya Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya rasanya tidak karuan. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka. Dia merasa tidak patut menjadi anggota keluarga yang mulia dan terhormat itu.

Ia merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja! Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng!

********************

Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya.

Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya.

Teringat olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya. Dan kakeknya...

“Aihh, Kongkong...!” Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu.

Teringat pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam goa yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu!

“Ahhh...!” Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu! Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji dari pada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hidup pun tidak.

Betapa dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang antara negara.

Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si aku yang dirugikan lahir mau pun batin, melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini. Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku pun menjadi marah, dendam dan benci! Segala hal yang tampak mau pun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya.

Di mana terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik perorangan mau pun kelompok, mau pun negara. Maka dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, di antara manusia, di antara bangsa dan negara.

Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha ke arah perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apa bila dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan dan perang!

Jika dendam kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan perdamaian palsu belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang lain, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak mendendam mau pun membenci siapa pun!

Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku.

Diri sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi apa bila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akhirnya akan menimbulkan perubahan
.

Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri!

Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apa lagi ketika dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul.

Ditiupnya lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam, dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat mereka.

“Sudah pastikah engkau, Twako?”

“Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya.”

“Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!”

“Memang perintahnya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita.”

Tidak terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.

Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguh pun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Ada pun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita itu.

Tidaklah mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona.

Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu!

Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia lima puluh tahun dan telah mempunyai banyak selir! Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua yang tak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri.

Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini karena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat.

Di bagian depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu!

Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi di luar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan dari kota raja oleh kedua orang pangeran tua, Yung Hwa amat terkejut. Ia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua.

Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera memerintahkan tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa.

Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya. Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam, “Siapakah di luar?”

“Aku ingin berjumpa dengan Pangeran,” kata Ceng Ceng.

Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati.

“Nona, engkau siapakah dan apa maksud kedatanganmu?”

“Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya.”

Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi sekaligus menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar.

“Bukalah sebelum terlambat,” Ceng Ceng berbisik. “Rumah ini sudah mereka kurung!”

Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya.

“Di mana dia?” Ceng Ceng bertanya.

Laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat.

Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya.....

Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikapnya. Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi dari pada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguh pun bentuknya sederhana.

“Paman Chi, siapakah Nona ini?” Suaranya halus sekali saat iia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran!

Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata, “Apakah Paduka seorang pangeran?”

Pangeran Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini kelihatan makin tampan dengan deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Yung Hwa, dan baru kepadamulah aku berterus terang.”

“Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka.”

Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Mukanya menjadi pucat dan matanya memandang ke kanan kiri.

Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan. “Tenanglah, Paman Chi. Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?”

“Mendengar bahwa paduka adalah seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah semestinya kalau saya berusaha melindungi dan biar pun sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu.”

“Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita!” Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar. “Masih begini muda..., betapa mengagumkan! Akan tetapi... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda, jika dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal.”

Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao.

Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya!

“Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani masuk!” Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya.

“Singgg...!”

Perwira Chi berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang sinarnya begitu menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan.

“Lu-siocia (Nona Lu)...!” Pangeran Yung Hwa berkata. “Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!”

“Awas...! Trang-cring-cring-cring...!”

Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yang menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru.

“Kau hebat, Nona... tapi aku tetap saja khawatir...,” Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng.

Tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil berkata, “Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau dengan taruhan nyawa.”

Namun diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi.

“Paman, harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!”

Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya di bawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali.

Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah.

Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan satu-satunya pintu ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu. Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang ke atas genteng.

Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal tersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguh pun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.

“Awas racun...!” Seorang di antara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur.

Kawan-kawannya juga meloncat mundur, namun seorang di antara mereka terhuyung dan roboh di atas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu! Enam orang yang lain, seorang di antara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar.

Melihat ini, Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat. Biar pun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan hawa pukulan sinkang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.

“Mampuslah...!” Ceng Ceng membentak marah.

Pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang lawan yang lain!

“Aduhhh...!”

Seorang di antara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenal pinggul Ceng Ceng.

Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhindar dari bahaya maut ketika kelima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung.

“Trang-cring-cring-cring...!”

Ceng Ceng bergulingan di atas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang terus mengejarnya. Banyak genteng yang pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk loncat berdiri. Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah. Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya.

Lima orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biar pun ilmu silatnya tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan. Karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu kulit tebal.

“Wuuuutt-plak-plak-plak!”

Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat. Ketika melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki sinkang yang amat hebat. Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat ke atas wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri.

Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut, mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua atap di sekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling di atas genteng dalam keadaan pingsan! Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung.

Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga seram. Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan dalam dongeng!

“Kau pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya...” Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar biasa tingginya.

Sejenak Ceng Ceng termangu, kemudian secara tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang. Serangan kilat ini dilakukan dengan dahsyat karena mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat. Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar itu dan agaknya tidak ada jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat meinghindarkan diri dari bahaya maut ini, apa lagi karena tangan kiri Ceng Ceng yang mengerahkan tenaga beracun mencengkeram ke arah perut dan kepalanya digerakkan sedemikian rupa sehingga rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata lawan. Benar-benar serangan tiba-tiba yang amat berbahaya.

“Ahhh...!” Laki-laki bermuka buruk mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan kirinya ke depan dan menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut dan tangan kiri Ceng Ceng mengenai sasaran.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati dara ini ketika tangan kirinya bertemu dengan perut yang keras seperti baja, membuat jari-jari tangannya tidak dapat mencengkeram bahkan terasa nyeri, sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu tiba-tiba membuyar ditiup oleh mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap oleh tangan lawan!

Pedangnya, Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mukjijat, ditangkap oleh tangan begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang sama sekali tidak berbahaya! Dia mengerahkan tenaga membetot, akan tetapi sia-sia, bahkan ketika laki-laki itu menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya terlepas, lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu.

“Apakah kau sudah gila?” laki-laki itu menegur.

Ceng Ceng segera menjatuhkan dirinya berlutut dan laki-laki itu mendengus heran. “Memang kusengaja untuk menguji kepandaianmu In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka menerimaku sebagai murid!”

Mata yang besar sebelah itu berkedip-kedip penuh keheranan. “Kau... kau seorang yang aneh, Nona. Selamat tinggal...” Dia membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng yang masih berlutut.

“In-kong...! Jangan pergi dulu,” Ceng Ceng berseru.

Laki-laki itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan bersedakap.

“Mau bicara apa lagi?” terdengar suaranya yang halus.

“In-kong, aku ingin sekali menjadi muridmu, belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan membalas dendamku kepada seorang pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya aku tidak akan melupakan budimu... In-kong...!”

Akan tetapi, Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan hati yang kecewa sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu telah berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikit pun juga. Dengan kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun setelah melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan pingsan di atas genteng.

Ketika dia memasuki rumah dan menghampiri pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan sekeluarga Perwira Chi bersembunyi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran Yung Hwa muncul, memandang kepadanya dengan wajah girang sekali sambil berkata, “Ah, syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nona...!”

“Haiiii, jangan keluar...!” Ceng Ceng berteriak kaget ketika melihat Pangeran itu hendak melangkah keluar.

Seruannya terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung menubruk, kemudian merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya hingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti saling berpelukan!

Dengan kedua dengan masih memeluknya, Pangeran Yung Hwa membuka matanya dan memandang terheran-heran. Ketika Ceng Ceng meronta dia lalu melepaskan kedua lengannya. “Ah maaf...!” Muka Pangeran itu menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia bangkit berdiri, melihat dara itu mengebut-ngebutkan pakaiannya.

“Akan tetapi, mengapa Nona...?”

“Pangeran, di luar pintu itu tadi sudah kusebarkan racun untuk menghalangi orang luar memasuki ruangan ini, dan hampir saja engkaulah yang menjadi korban!” Ceng Ceng mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang putera Kaisar sehingga seenaknya saja dia menyebut ‘engkau’!

Sepasang mata yang indah dari pangeran itu terbelalak. “Aihhh... kiranya baru saja kau kembali setelah menyelamatkan nyawaku, Nona Lu!” Dia memandang ke atas lalu bertanya, “Bagaimana dengan mereka?”

“Semua pingsan,” jawab Ceng Ceng sederhana.

“Ahhh, sungguh hebat! Bagaimana aku dapat membalas budimu, Nona Lu?” Yung Hwa berkata lagi sambil menjura.

“Lihiap, bagaimana baiknya sekarang?” Perwira Chi yang wajahnya masih pucat itu tiba-tiba bertanya.

“Kalian semua harus cepat pergi dari sini, kalau tidak, berbahaya sekali,” jawab Ceng Ceng.

“Mari kalian semua ikut dengan aku!” Yung Hwa berkata. “Malam ini juga kita harus masuk ke istana, barulah aman.”

“Akan tetapi...,” perwira itu meragu.

“Beliau berkata benar,” Ceng Ceng memotong. “Memang sebaiknya kalau sekarang juga kalian semua menyelamatkan diri ke dalam istana. Kiranya tidak akan sukar bagi Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana.”

“Akan tetapi kalau ada pencegatan di tengah jalan?” Perwira Chi masih meragu.

“Aku akan mengawal,” Ceng Ceng menjawab.

“Ah, budimu makin bertumpuk, Nona Lu!” Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng Ceng cepat membuka pintu dan membersihkan racun dari lantai di depan pintu.

“Aku tidak yakin apakah sudah bersih betul, sebaiknya kau bawa keluargamu meloncat sampai dua meter lebih dari pintu, Chi-ciangkun (Perwira Chi)!” Ceng Ceng berkata.

Perwira itu mengangguk, segera memondong isteri dan anak-anaknya bergantian dan membawa mereka meloncat.

“Maukah engkau membantu aku, Nona?” Yung Hwa berkata, matanya memandang tajam penuh harapan dan penuh selidik.

Wajah Ceng Ceng menjadi merah, akan tetapi dengan sederhana dia mengangguk dan mengeluarkan tangannya. “Kau berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!”

Setelah mereka saling berpegang tangan, Ceng Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran itu ke atas bersamanya.

“Ahhh...!” Pangeran Yung Hwa memuji dengan kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih memegang tangan yang berkulit halus itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik tangannya.

“Mari kita berangkat dan kalau ada pencegatan di jalan, biarkan aku yang menghadapi mereka, akan tetapi lanjutkan perjalanan kalian ke istana,” Ceng Ceng memesan dan berangkatlah mereka semua meninggalkan rumah Perwira Chi menuju ke istana.

Di sepanjang jalan, Pangeran Yung Hwa kelihatan tenang saja, tidak seperti Perwira Chi sekeluarganya yang nampak gugup dan tegang, tiada hentinya memuji-muji kelihaian Ceng Ceng.

Tidak ada halangan sesuatu di jalan sampai mereka tiba di pintu gerbang istana yang terjaga ketat oleh sepasukan pengawal istana. Ketika mereka melihat Pangeran Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil itu, tentu saja mereka mengenalnya dan cepat memberi hormat kepada pangeran yang mereka kenal sebagai seorang pangeran yang baik budi dan halus itu.

“Mereka ini adalah tamuku dan malam ini kami perlu sekali menghadap ibuku di istana,” kata Pangeran Yung Hwa kepada para penjaga yang tidak berani melarang.

“Kalau begitu, kita berpisah di sini,” kata Ceng Ceng. “Selamat berpisah, Pangeran dan Chi-ciangkun.”

“Ehh, ehhh... kau juga harus ikut dengan kami memasuki istana, Lu-siocia!” pangeran itu berseru.

“Harus...?” Ceng Ceng memandang dengan sikap angkuh, matanya seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat sesuatu!

“Ehhh, maksudku...” Pangeran Yung Hwa mendekati nona itu dan berbisik, “Harap Nona mengawal kami sampai kami aman berada di tempat tinggal ibuku. Di dalam istana itu banyak kaki tangan pemberontak.”

Mendengar ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Memang kalau dia lepaskan mereka di situ kemudian mereka itu tetap saja terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar anak buahnya di dalam lingkungan istana, akan sia-sialah semua pertolongannya.

“Baiklah...!” katanya dan wajah pangeran itu menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang sekali.

Karena pangeran itu merupakan seorang tokoh istana yang amat dikenal dan disuka oleh para penjaga, maka mereka tidak menemui halangan. Bahkan semua penjaga yang melihat pangeran ini menjadi girang sekali. Tersiar luas bahwa Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena kecewa tidak diperkenankan menikah dengan Puteri Bhutan, dan kini agaknya pangeran itu sudah dingin hatinya dan mau pulang, maka tentu saja para penjaga ikut merasa girang.

Agaknya biar pun di lingkungan bangunan istana itu terdapat banyak kaki tangan Liong Bin Ong, namun pangeran ini belum begitu gila untuk berani turun tangan di lingkungan istana, karena hal ini akan berbahaya sekali bagi dirinya sendiri. Maka Pangeran Yung Hwa dan rombongannya dapat tiba di tempat ibunya dengan selamat tanpa halangan.

Ibu pangeran itu, seorang wanita setengah tua, selir Kaisar yang masih kelihatan cantik jelita, menyambut puteranya dengan cucuran air mata saking girangnya. Pertemuan mengharukan antara ibu dan anak mendatangkan rasa haru pula di hati Ceng Ceng.

“Ahhh, Ibu, saya sampai lupa. Ini adalah Nona Lu Ceng, seorang pendekar wanita yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawa puteramu.”

Selir kaisar itu mengangkat muka memandang, dan kemudian tersenyum ramah sambil menghapus air matanya. Ceng Ceng cepat menjura dengan hormat, lalu berkata, “Saya tidak berani mengganggu lebih lama lagi, perkenankan saya pergi.”

“Ehh, nanti dulu, Nona Lu. Mana mungkin malam-malam begini membiarkan aku pergi? Kau bermalam saja di sini, besok pagi masih belum terlambat untuk pergi.” Pangeran itu berkata dan ibunya juga menahan sambil melangkah maju dan memegang tangan Ceng Ceng.

Dara ini merasa bingung dan sungkan, akan tetapi sikap selir kaisar yang halus dan ramah itu membuat dia tidak berani menolak lagi. Dia lalu diantar ke sebuah kamar dan dipersilakan mengaso, dilayani oleh seorang pelayan wanita. Juga perwira Chi dan keluarganya sudah diberi tempat untuk mengaso dan tidur, sedangkan Pangeran Yung Hwa dan ibunya bercakap-cakap sampai jauh malam.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Ceng Ceng sudah bangun dan mandi di dalam kamar mandi yang serba mewah dan indah. Kemudian dia memasuki taman di samping kamarnya untuk menanti munculnya Pangeran Yung Hwa karena dia ingin segera pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru saja dia memasuki taman, tampak pangeran itu sudah bangkit dari sebuah bangku menyambutnya.

“Selamat pagi, Lu-siocia. Kuharap Nona dapat beristirahat dengan cukup semalam.”

“Ah, terima kasih, Pangeran. Kebetulan sekali karena memang saya ingin mohon diri dari sini.”

“Duduklah dulu, Nona Lu Ceng. Duduklah di bangku sini, karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.”

Terpaksa Ceng Ceng duduk di bangku berhadapan dengan pangeran itu karena melihat sikap pangeran itu yang sungguh-sungguh.

“Biar pun baru saja aku berjumpa denganmu, Nona, akan tetapi ada perasaan aneh di hatiku bahwa kita telah menjadi sahabat yang tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Karena itu aku ingin menceritakan kepadamu mengapa aku sebagai seorang pangeran kau dapatkan bersembunyi di dalam rumah perwira Chi dan mengapa pula ada usaha-usaha dari luar untuk menangkap atau membunuh aku.”

Ceng Ceng selanjutnya tidak ingin mencampuri urusan pangeran itu, juga tidak ingin mendengarkan ceritanya, akan tetapi mengingat akan sikap halus ibu pangeran ini dan akan keramahan Si Pangeran sendiri, juga karena dia merasa kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan halus bersikap sederhana, tidak angkuh seperti biasanya kaum bangsawan, merasa tidak tega untuk menolak sehingga dia hanya dapat mengangguk.

“Mula-mula adalah kesalahanku sendiri. Aku tergila-gila kepada Syanti Dewi, Puteri Bhutan... eh, kau kenapa?” Pangeran yang sambil bercerita selalu menatap wajah Ceng Ceng melihat betapa tiba-tiba dara itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya diam dan dingin itu seperti mengeluarkan cahaya dan kedua pipinya kemerahan.

Namun Ceng Ceng segera dapat menguasai hatinya yang tadi terkejut mendengar pangeran itu terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi. “Tidak apa-apa, lanjutkanlah...,” jawabnya.

“Akan tetapi ayahku, Sri Baginda Kaisar menolak permintaanku untuk dilamarkan puteri itu, bahkan menjodohkan puteri Bhutan itu dengan Paman Pangeran Liong Khi Ong yang sudah setengah abad usianya demi politik. Hatiku sakit dan aku lalu kabur dari istana, melarikan diri. Sikapku membikin marah Paman Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong, aku dikejar-kejar dan nyaris tewas. Aku dilindungi dan disembunyikan oleh pamanku, saudara ibuku di luar kota raja dan di situ aku mendengar akan rencana pemberontakan yang diatur oleh kedua orang paman Pangeran Liong itu. Bahkan pencegatan rombongan Puteri Syanti Dewi yang diboyong itu pun kabarnya dilakukan oleh sekutu para pemberontak. Maka aku lalu kembali ke Istana, akan tetapi di tengah jalan aku terlihat oleh kaki tangan pemberontak dan tentu aku sekarang telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul dan menyelamatkan nyawaku, Nona Lu Ceng!”

“Sudahlah, Pangeran. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Kakek adalah seorang bekas pengawal dahulu, maka sudah sepatutnya kalau aku melindungi seorang pangeran yang terancam bahaya oleh orang-orang jahat yang memberontak. Sekarang ijinkan aku memohon diri untuk melanjutkan perjalananku.” Ceng Ceng bangkit berdiri.

“Engkau hendak ke manakah, Nona Lu?”

Ceng Ceng termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi segera terbayang olehnya pemuda tingi besar yang memperkosanya, pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya, “Aku... aku mencari seseorang...”

“Keluargamu?”

“Bukan...”

“Sahabatmu...?”

“Bukan!”

“Habis siapakah dia? Biarlah aku akan membantumu dan menyuruh para pengawal mencarinya.”

“Terima kasih, Pangeran. Ini urusan pribadi. Aku akan pergi sekarang...”

Ceng Ceng sudah melangkah hendak pergi, akan tetapi pangeran itu bangkit berdiri dan berkata, “Nanti dulu, Nona Lu!”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuhnya, dia memandang penuh selidik. “Ada urusan apa lagi?”

“Tadi sudah kukatakan bahwa ada sesuatu yang akan kusampaikan kepadamu.”

“Engkau sudah menceritakan semua.”

“Bukan... bukan itu... akan tetapi, ahhh, maafkan aku karena engkau begitu tergesa-gesa hendak pergi, terpaksa aku terus terang saja. Nona Lu Ceng, aku... begitu bertemu denganmu... aku... aku cinta padamu, Nona!”

Ceng Ceng benar-benar terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang dengan mulut agak terbuka karena dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut pangeran yang amat tampan itu!

“Maaf, Nona. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Aku bahkan telah membicarakan dengan ibu, dan beliau sudah setuju. Nona Lu, aku cinta padamu dan kalau saja Nona setuju, aku ingin meminangmu sebagai isteriku...”

“Ahhhh...!” Ceng Ceng menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi merah sekali. Selama hidupnya, baru satu kali ini ada pria mengaku cinta secara demikian terang-terangan, bahkan sekaligus melamarnya sebagai isterinya.

“Maafkan, Nona Lu Ceng. Memang ini tidak semestinya, memang sepatutnya aku mengajukan pelamaran kepada orang tuamu, akan tetapi karena aku tidak tahu di mana kau tinggal, siapa orang tuamu, dan karena kau begitu tergesa-gesa hendak pergi, aku takut kalau-kalau kita tidak akan saling bertemu kembali, maka aku memberanikan diri...”

Tiba-tiba Lu Ceng menangis terisak-isak menutupi mukanya dan dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Disebutnya orang tuanya oleh pangeran itu membuat hatinya seperti ditusuk, mengingatkan dia akan semua nasibnya dan betapa tidak ada orang tua mau pun kakeknya yang dapat dia sandari, yang dapat menghiburnya.

“Ahhh, maafkan aku, Nona Lu. Agaknya aku telah melukai hatimu... tetapi percayalah, aku tidak bermaksud menghinamu... semua pernyataanku tadi keluar dari hatiku yang murni...”

Ceng Ceng mengusap air matanya, lalu memandang. Dilihatnya pangeran itu telah menjatuhkan diri berlutut di depannya! Seorang pangeran putera kaisar, telah berlutut di depannya! Berlutut kepadanya! Dara ini terlalu muda untuk mengerti bahwa cinta asmara memang dapat membuat seorang pria melakukan apa saja sehingga kalau seorang pangeran sampai berlutut di depan dara yang dicintanya, hal itu sama sekali tidaklah aneh! Maka dia segera meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya.

“Pangeran, harap jangan berlutut!”

Pangeran Yung Hwa bangkit berdiri, wajahnya berseri. “Engkau tidak marah kepadaku?”

Ceng Ceng kembali menghadapi pangeran itu, kini memandang dengan sinar mata penuh selidik karena masih sukar baginya untuk dapat percaya bahwa pangeran yang amat tampan ini, putera kaisar, benar-benar jatuh cinta padanya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!

“Tidak, aku tidak marah, hanya aku merasa heran sekali, Pangeran.”

“Heran? Ha-ha-ha, Nona Lu! Seorang dara seperti engkau ini, biar dewa sekali pun pantas untuk jatuh cinta, apa lagi hanya seorang pangeran putera selir macam aku!”

Ucapan ini benar-benar mengelus rasa hati Ceng Ceng dan mengangkat harga dirinya setinggi langit. “Pangeran Yung Hwa, apakah engkau sudah lupa lagi kepada Puteri Syanti Dewi yang kau katakan sendiri telah membuat engkau tergila-gila tadi?”

“Ah, dia? Aku telah insyaf setelah aku melarikan diri keluar dari istana, Nona. Aku hanya tergila-gila kepada bayangan, kepada gambaran belaka. Selamanya aku belum pernah bertemu dengan Syanti Dewi dan aku hanya tergila-gila mendengar berita orang tentang kecantikannya, tentang kebaikannya. Akan tetapi engkau... engkau adalah seorang dara dari darah daging, yang hidup, bukan bayangan mati. Setelah aku berjumpa denganmu, tidak ada lagi bayangan Syanti Dewi di dalam hatiku, yang ada hanya engkau, Nona.”

Makin nyaman rasa hati Ceng Ceng mendengarkan semua kata-kata itu. Dia seperti merasa dalam mimpi yang amat indah, dan dia pejamkan matanya karena hampir tidak percaya bahwa ini bukan mimpi. Pangeran yang tampan dan halus itu, yang di balik kehalusan dan kelemahannya memiliki keberanian dan kegagahan luar biasa pula saat menghadapi bahaya, telah jatuh cinta padanya, meminangnya sebagai isteri!

Tubuhnya gemetar semua ketika tahu-tahu merasa ada dua lengan yang memeluknya. Dari balik bulu matanya, dia melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah merangkulnya dengan mesra, betapa dekat muka yang halus tampan itu, yang kini menjadi kemerahan dan mata yang indah itu memandang kepadanya penuh cinta kasih mesra, membuat Ceng Ceng hampir pingsan! Ketika merasa betapa napas yang panas dari hidung pangeran itu meniup pipinya, dia mengelak sedikit dan kemudian berbisik, “Akan tetapi, Pangeran... aku... aku hanya seorang gadis perantau...”

Ceng Ceng sudah tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini pangeran itu telah mempererat dekapannya, telah mencium pipinya dengan hidung sambil membisikkan kata-kata indah di dekat telinganya.

“Ceng-moi... bagiku engkau adalah seorang bidadari... engkau mulia seperti Kwan Im Pouwsat sendiri... dan engkau gagah perkasa seperti pendekar wanita Hoan Lee Hwa (dalam cerita Sie Jin Kwi) dan aku... aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, Moi-moi...”

“Ahhh... tapi... tapi aku...” Kembali Ceng Ceng tak mampu melanjutkan karena kini bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dengan ciuman yang hangat dan mesra, yang dilakukan dengan penuh getaran batinnya.

Sejenak Ceng Ceng terlena seperti pingsan dalam pelukan pangeran itu, dia menerima ciuman yang melupakan segala hal itu. Tiba-tiba terbayang wajah pemuda laknat dan teringatlah dia akan keadaan dirinya. Dia meronta dan pangeran itu berseru kaget, tentu saja pelukannya terlepas dan dia tidak mampu menahan gerakan Ceng Ceng yang meronta tadi.

Wajah Ceng Ceng pucat sekali, matanya menjadi liar. “Tidak...! Tidak...! Tidak...!” Gadis itu setengah menjerit.

“Aih, Moi-moi... kekasihku... ada apakah...?” Pangeran itu berseru kaget dan melangkah dekat, akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur menjauhi.

“Jangan sentuh aku! Jangan...!” jeritnya.

“Aduh, Ceng-moi, kenapakah? Apakah salahku? Aku cinta padamu...”

“Tidak boleh begitu!”

“Mengapa? Terasa olehku betapa engkau pun membalas cintaku, Ceng-moi. Kenapa tidak boleh?”

Sepasang mata itu kembali mencucurkan air mata karena dia teringat kembali akan keadaan dirinya yang telah ternoda, yang telah diperkosa oleh Si Pemuda Laknat. Akan tetapi betapa mungkin dia menceritakan hal itu kepada orang lain, apa lagi kepada pangeran ini? Lebih baik mati!

“Pangeran, ketahuilah bahwa Enci Syanti Dewi adalah kakak angkatku. Oleh karena itu, engkau tidak boleh cinta padaku. Nah, selamat tinggal!” Dengan isak tertahan Ceng Ceng meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.

“Ceng-moi...!” Pangeran itu berseru memanggil, namun Ceng Ceng tidak mau menoleh lagi, bahkan lalu mempercepat loncatannya sehingga sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Pangeran Yung Hwa yang menjadi bengong dan pucat, sinar matanya layu kehilangan gairah hidup.

Air mata masih mengalir perlahan di kedua pipi Ceng Ceng ketika dara ini berjalan perlahan keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. Hatinya diliputi bermacam perasaan. Terharu mengingat akan cinta kasih Pangeran Yung Hwa yang dia percaya sungguh-sungguh mencintanya, kecewa bahwa dia terpaksa tidak dapat menyambut cinta kasih pangeran itu, dan keadaan ini selain mendatangkan duka, juga menambah sakit hatinya terhadap Si Pemuda Laknat karena pemuda itulah yang menjadi biang keladi semua kedukaan dan kesengsaraan hatinya. Sungguh pun dia sendiri belum tahu apakah dia juga mencinta pangeran itu, namun kalau tidak terjadi mala petaka menimpa dirinya, agaknya tidak akan sukar bagi dara mana pun juga untuk membalas cinta kasih seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu.

Hatinya menjadi panas dan murung mengingat pemuda tinggi besar, Si Laknat yang dicarinya itu. Ke mana dia harus mencari? Inilah yang membuat dia murung dan kesal karena dia tidak tahu di mana adanya musuh besar yang diburunya itu.

Dengan langkah gontai tanpa tujuan tertentu dan pikiran melayang-layang, tanpa dia sadari lagi Ceng Ceng telah melakukan perjalanan sehari penuh tanpa berhenti. Hari telah menjelang malam, senja yang cepat gelap karena langit tertutup awan. Ceng Ceng tiba di luar dusun sebelah selatan kota raja di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Yung-ting. Seperti orang kehilangan semangat, tubuhnya lemas karena sehari penuh tidak makan atau minum, Ceng Ceng naik ke atas jembatan yang menyeberang sungai itu.

Dalam cuaca yang remang-remang, dia melihat sebuah benda di pinggir jembatan itu, dan ketika dia mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah pot bunga. Benda yang tidak semestinya berada di jembatan, dan hal ini menarik perhatiannya, membuat dia berhenti dan mengamati pot bunga itu dengan heran. Tidak ada seorang pun manusia di jembatan itu, hanya dia seorang diri.

Terasa aneh sekali berada di jembatan besar itu seorang diri, seperti tergantung di angkasa, dan pot bunga itu menambah keanehan suasana yang dirasakannya. Pot bunga itu terbuat dari besi tebal, tentu berat sekali, apa lagi ditambah beratnya tanah di dalamnya. Hal ini menandakan bahwa orang yang membawanya ke tempat ini tentu seorang yang memiliki tenaga besar. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia di situ.

“Hei, Nona cilik! Mau apa engkau longak-longok di situ? Lekas pergi kalau tidak ingin mampus menjadi setan air!”

Suara ini terdengar dari kolong jembatan, seperti suara setan karena tidak kelihatan bayangan orang. Kalau saja bukan Ceng Ceng, seorang laki-laki pun tentu akan takut mendengar suara kasar itu dan tentu akan lari terbirit-birit, menyangka bahwa yang bersuara mengancam itu tentulah setan sungai atau setan jembatan.

Namun Ceng Ceng adalah seorang gadis yang pemberani, apa lagi setelah dia pernah hidup di neraka bawah tanah bersama subo-nya, Ban-tok Mo-li Ciang Si (Iblis Betina Selaksa Racun), tidak sesuatu pun di dunia ini yang ditakutinya. Pada saat itu, hatinya sedang mengkal dan kesal, maka begitu mendengar suara itu, mendadak saja darahnya naik dan dia menjadi marah sekali. Ditendangnya pot bunga itu dengan kaki kanannya sambil mengerahkan sinkang tentunya karena dia tahu bahwa pot besi itu amat berat. Pot besi itu terlempar keluar jembatan!

Tetapi, Ceng Ceng tidak mendengar suara benda itu terjatuh ke air, seolah-olah benda itu lenyap di tengah udara begitu saja. Selagi dia termangu-mangu dan dengan heran menjenguk dari jembatan sambil berusaha menembus kegelapan di bawah dengan matanya, tiba-tiba terdengar suara suitan orang dan tampaklah berkelipnya lampu dari tepi sungai. Penerangan seperti kunang-kunang ini bergerak ke tengah sungai dan di dalam cuaca remang-remang itu tampaklah sebuah perahu. Kembali terdengar suara orang, suara yang kasar tadi, akan tetapi kini suara itu terdengar halus penuh hormat!

“Kami persilakan Li-hiap untuk menerima penyambutan kami dan meloncat ke perahu.”

Tentu saja Ceng Ceng tidak sudi memenuhi permintaan ini. Biar pun dia tidak takut, akan tetapi dia tidaklah sebodoh itu, mau saja dijebak orang yang tidak dikenalnya.

“Huhh!” Dia mendengus dan hendak melangkah pergi melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi kakinya berhenti bergerak lagi ketika mendengar suara orang tadi, kini penuh ejekan sungguh pun masih tetap menghormat.

“Apakah kami telah keliru? Apakah seorang calon bengcu (pemimpin rakyat) mengenal rasa takut? Apa sih bahayanya meloncat dari jembatan ke perahu jika memang memiliki kepandaian yang tinggi? Harap Lihiap tidak menduga yang bukan-bukan! Kami sengaja menyambut Lihiap dan maafkan kelancangan kami tadi karena kami tidak menyangka bahwa calon bengcu yang ditunggu-tunggu dari selatan adalah seorang wanita muda!”

Bergolak darah di tubuh Ceng Ceng ketika dia dikira takut tadi. Kemudian dia tertarik mendengar kata-kata selanjutnya. Mengertilah dia bahwa dia disangka orang lain. Pot bunga itu adalah semacam tanda rahasia bagi orang yang diundang dan penyambutan undangan kiranya adalah dengan menendang pot bunga itu! Secara tidak disengaja dia telah menyambut undangan mereka!

Siapa tahu, pemuda laknat itu berada bersama dengan mereka! Agaknya mereka itu adalah kaum sesat seperti pernah dia mendengar cerita kakeknya, golongan hitam atau kaum sesat yang akan mengadakan pemilihan pimpinan atau bengcu dan dia dianggap seorang calon bengcu. Pemuda laknat itu sudah pasti merupakan seorang tokoh kaum sesat pula, maka sangat boleh jadi dia akan menjumpainya di tempat orang-orang ini. Teringat akan kemungkinan besar ini, tanpa meragu lagi dia lalu mengayun tubuhnya meloncat ke bawah, ke atas perahu yang menjemputnya!

Biar pun dalam hal ilmu silat mungkin kepandaian Ceng Ceng belum termasuk hitungan, namun gadis ini memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang cukup baik, maka ketika meloncat dan hinggap di perahu tidak menimbulkan banyak guncangan. Dua orang laki-laki tinggi besar menyambutnya di perahu dengan sikap menghormat,

“Selamat datang, Lihiap. Terpaksa kami menyambut secara begini karena pasukan pemerintah kini sering kali melakukan perondaan dengan ketat. Silakan Lihiap mengaso di dalam perahu. Kami terpaksa menyamar sebagai nelayan-nelayan biasa.”

Ceng Ceng adalah seorang dara yang memiliki kecerdasan. Dia sudah yakin sekarang bahwa dua orang ini keliru menyambut orang yang diharapkan kedatangannya, orang yang dianggap sebagai seorang calon bengcu. Maka dia pun tidak banyak cakap karena dia ingin melihat ke mana dia akan dibawa dan mungkin sekali di tempat itu dia akan bertemu dengan musuh besar yang dicari-carinya itu. Akan tetapi untuk mengetahui lebih banyak, dia menegur setengah bertanya, berdasarkan kata-kata seorang di antara mereka tadi setelah dia duduk dan perahu digerakkan dengan cepat.

“Bagaimana kalian sampai tidak menyangka? Apa kalian tidak memperoleh keterangan cukup tentang orang yang harus kalian sambut?”

Seorang di antara mereka menggunakan dayung, mendayung perahu yang meluncur cepat sekali hingga diam-diam Ceng Ceng merasa ngeri, teringat dia akan pengalaman pahitnya dahulu ketika dia bersama Syanti Dewi dihanyutkan perahu sehingga akhirnya perahu bertumbukan dan dia bersama Syanti Dewi tenggelam dan hanyut sehingga terpisah sampai sekarang.

Semenjak itu, dia merasa ngeri kalau mengingatnya dan sekarang dia pun naik sebuah perahu yang didayung cepat sekali, maka tentu saja hatinya lalu menjadi tegang dan khawatir, namun tidak ada perubahan pada wajahnya. Orang kedua segera menjawab, sikapnya tetap menghormat, dan agaknya dia memang suka bicara maka dia bercerita banyak sehingga menyenangkan hati Ceng Ceng yang memang hendak memancing keterangan dari orang lain.

“Maaf, Lihiap. Memang kami telah memperoleh keterangan dari Pangcu, namun kami semua anggota Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) tidak ada yang pernah bertemu dengan kelima orang Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina dari Sungai Loan), hanya mendengar bahwa Lihiap berlima adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan Lihiap sendiri sebagai orang pertama dari Loan-ngo Mo-li diundang oleh Pangcu kami untuk memasuki sayembara perebutan kedudukan bengcu. Tentu saja kami mengira bahwa Loan-ngo Mo-li adalah lima orang wanita yang tidak semuda Lihiap, apa lagi Lihiap sebagai orang pertama...” Orang laki-laki tinggi besar itu tidak berani melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ceng Ceng memandang seperti orang marah.

Memang dara ini menjadi marah ketika dia disangka orang pertama dari Lima Iblis Betina! Tetapi karena dia tahu itu, maka dia menekan kemarahannya, hanya melangkah ke tengah perahu di mana terdapat bilik bambu sambil berkata, “Sudahlah, aku hendak mengaso!”

Di dalam bilik perahu itu Ceng Ceng memutar otak. Jelas bahwa dia sudah melibatkan diri dalam urusan kaum sesat yang berbahaya! Akan tetapi ketika teringat kemungkinan untuk menemukan jejak musuh besarnya, atau setidaknya dia akan dapat bertanya tanya kepada kaum sesat yang tentu mengenal orang itu, hatinya lega dan dia dapat tidur nyenyak di dalam bilik perahu yang sempit itu.

Pada keesokan harinya, dia terbangun oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan menggunakan tangannya mengambil air untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian dia keluar dari bilik. Dua orang laki-laki yang sedang mendayung perahu, mengangkat muka dan jelas kelihatan betapa mereka tercengang dan memandang kagum.

Mereka telah terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah seorang wanita muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali melihat wajah dara yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan ditimpa matahari pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain pihak, Ceng Ceng merasa tak senang dipandang seperti itu, apa lagi yang memandangnya adalah dua orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan berwajah kejam, kasar dan kurang ajar!

“Kalian melihat apa?” bentaknya marah. Suaranya melengking tinggi menggetarkan dan dua orang itu cepat-cepat menundukkan mukanya.

Seorang di antara mereka, yang kumisnya tebal sekali, berkata, “Maaf, Lihiap. Kami hanya mempunyai bekal roti kering dan arak kasar, kalau Lihiap suka...”

“Aku lapar! Aku ingin makan daging ikan.”

“Akan tetapi... kami tidak membawa pancing atau jala...”

“Tolol! Biar aku yang menangkap ikan, kalian yang memanggangnya nanti!” Ceng Ceng lalu duduk di pinggir perahu. “Bawa perahu ke pinggir, di bawah pohon sana di sana tentu banyak ikannya.”

Dua orang itu tidak membantah dan benar saja, di bawah pohon yang rindang itu terdapat banyak ikan lee-hi atau semacam itu. Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang perlahan sehingga menarik beberapa ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu dekat, Ceng Ceng mengerahkan sinkang-nya sehingga hawa beracun di dalam tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran hebat terjadi dan dua ekor ikan yang terdekat terkena hawa beracun tangannya, menjadi mabok dan diam saja ketika ditangkap oleh gadis ini!

Ceng Ceng melempar dua ekor ikan itu ke dalam perahu sambil berkata, “Nah, kalian panggang ikan-ikan ini! Seekor untukku!” Setelah berkata demikian, dia meninggalkan mereka dan duduk di kepala perahu yang sudah dijalankan lagi oleh seorang di antara mereka sedangkan orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan ikan-ikan tadi. Mereka tadi terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan kelihaian gadis cantik ini!

Ceng Ceng memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti oleh dua orang itu, yang mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap ikan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa gadis di hadapan mereka adalah seorang dara beracun yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal dari Ban-tok Mo-li yang belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun!

Hari telah siang ketika perahu itu menyentuh tepi sungai di sebuah lembah yang penuh dengan batu-batu besar dan pohon-pohon liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang laki-laki itu meloncat ke darat dari perahu, dia melihat banyak orang di lembah itu. Dia bersikap hati-hati dan waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum sesat yang agaknya telah berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan seorang bengcu, yaitu orang yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua.

Berdasarkan cerita Si Kumis Tebal, memang dugaannya ini benar. Hari ini, semua tokoh kaum sesat yang tinggal di sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan penyelenggara pertemuan itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang yang merupakan satu perkumpulan kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar daerah kota raja, karena para anggotanya adalah golongan perampok dan pencopet! Mereka ini menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih ‘terhormat’ dan lebih tinggi dari pada tingkat golongan sesat yang lain.

Terutama sekali terhadap golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka pekerjaan kaum pencuri bersifat kotor dan pengecut. Pencuri mengambil barang orang yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor dan hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka. Mereka adalah para pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang sadar, yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih menunjukkan kejantanan!

Memang demikianlah sifat kita manusia pada umumnya. Kita amat kritis terhadap orang lain karena dalam memandang orang lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya dalam segala perbuatan orang lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan dalam menilai orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap kebaikannya akan tetapi menonjolkan cacat-cacatnya!

Kita tidak pernah memandang seperti itu kepada diri kita sendiri. Sebaliknya, kita membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan menonjolkan kebaikan kita. Kalau toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita akan selalu siap membela diri, siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan kita itu agar tidak menjadi kesalahan lagi! Senjata kita untuk itu selalu adalah pembelaan diri, bahwa kita melakukan suatu hal yang tidak baik karena terpaksa dan sebagainya. Kita semua pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi baik, ingin menjadi budiman, ingin menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa mungkin hal ini terjadi?

Dalam keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini sama sekali tidak mungkin. Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi kekotorannya itu agar kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun, tentu saja akan tetap tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk bersih, melainkan kesadaran akan kekotoran dirinya!

Kesadaran ini timbul dari pengertian, dan pengertian ini datang bersama pengenalan diri sendiri. Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan saat lenyapnya kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatangkan tindakan seketika.

Pengertian yang disimpan akan menjadi pengetahuan yang mati, seperti segala macam pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan. Pengertian dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan di dalam diri kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang waspada, bukan aku yang sadar! Begitu ada aku, di situ terdapat penilaian, perbandingan dan pemilihan. Si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan, penolakan akan yang tak menyenangkan. Maka segala perbuatan akan bersumber kepada si aku, maka jauh dari kebenaran
.

Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang merasa diri sebagai perkumpulan ‘orang-orang gagah’ itu memiliki anggota kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri dari pencopet dan perampok yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat. Ketuanya adalah seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmunya yang dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan Besi) yang membuat kedua tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan ketua ini dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam!

Ketua Tiat-ciang-pang ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat, dan Lembah Sungai Yung Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggota Tiat-ciang-pang. Setelah masuk menjadi anggota perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang telah memiliki kepandaian itu baru diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu Tangan Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena latihan-latihannya yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini tidak kuat, atau yang dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan mereka lebih kuat dan keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai tingkat seperti yang dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.

Mungkin karena merasa bahwa mereka adalah kaum sesat yang ‘terhormat dan gagah’, maka timbullah semacam keangkuhan di dalam hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu, sehingga mereka memiliki pegangan atau pendirian sebagai orang-orang ‘gagah’ yang tidak mau tunduk kepada golongan pemberontak yang pernah membujuk mereka untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan perpecahan di antara kaum sesat itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan yang berusaha untuk merangkul mereka, maka hari ini diadakan pertemuan untuk mengadakan pemilihan bengcu yang dipelopori oleh Tiat-ciang-pang. Selain untuk memperlihatkan kekuatannya, Tiat-ciang-pang juga ingin untuk menyatukan dan membersihkan golongan sesat dari pengaruh pemberontakan dengan jalan memilih seorang bengcu.

Tong Hoat sendiri maklum bahwa di antara golongan kaum sesat ini terdapat banyak orang pandai. Karena merasa bahwa belum tentu dia seorang diri dapat menangkan kedudukan bengcu ini, maka dia teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat tinggi kepandaiannya, yaitu orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis Betina Sungai Loan. Dia mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu, dan karena pada waktu itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah mau pun dari pihak pemberontak, maka ia menyuruh dua orang kepercayaannya menyambut dengan tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan Song Lan Ci.

Kehadiran wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau perlu, dari pada kedudukan bengcu jatuh ke tangan orang yang memihak pemberontak, lebih baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini. Dan dia merasa yakin bahwa Song Lan Ci akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan wanita itu terdapat hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia bertemu dengan Song Lan Ci yang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya, dikeroyok banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak. Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang laki-laki, Tong Hoat segera maju membantu sehingga para pengeroyok dapat dipukul mundur dan terjalinlah perkenalan dan persahabatan di antara mereka.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar