Kisah Sepasang Rajawali Jilid 26-30

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 26-30. Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang.
Anonim
-
Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu.

Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara mereka.

Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua telah dalam keadaan mabok atau setengah mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh.

Mereka ini terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, bermuka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak gerak ketika dia mencium bau yang memuakkan.

Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tak ada bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat! Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul sungguh pun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.

Lengkaplah semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.

Pintu pondok terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, lalu memasuki sebuah ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar.

Setelah mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.

“Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci?” Tong Hoat bertanya dengan ramah.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekali pun.”

Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang ke luar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan. “Nona, apa yang kau katakan ini? Bukankah engkau diutus oleh Nona Song...”

“Aku tidak mengenal dia!”

Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia memandang marah. “Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang?”

Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang dengan berani. “Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kau sebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena saat aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang kau undang. Habis, engkau mau apa?”

Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan. Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan menjadi bahan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang.

Kembali dia memandang ke arah Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dipanggil ini sebagai seorang kawan, dari pada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.

“Ha-ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Namun sungguh kami merasa mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw.”

Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia telah datang ke tempat itu, sebaiknya jika dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk dapat menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.

“Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang kau undang, juga tak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini.”

Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura. “Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang juga dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita nanti bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!” Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.

Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang.

Tetapi kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak itu dengan sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh Tong Hoat.

“Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau telah mendengar dari kedua orangku bahwa hari ini kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang bengcu...” Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu.

Apa lagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!

“Eh, sudah cukup arak itu, Nona...!” Dia menegur.

“Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!” Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas.

Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sinkang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!

“Lekas, Nona Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!” Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. “Lekaslah sebelum terlambat...!” katanya dengan nada khawatir sekali.

Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!

“Kenapa ribut-ribut?” bentaknya sambil bangkit berdiri. “Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?”

Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun, akan tetapi masih diminumnya juga, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?

“Nona Lu... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat aku harapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Hal ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!”

Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan sapu tangan, memandang ketua itu dan berkata, “Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?”

Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam. “Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apa bila Nona sudi membantu kami!”

Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang, “Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu.”

“Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu.”

“Hemmm... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukmu, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain...”

“Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi bengcu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!”

“Menyelamatkan bagaimana?”

“Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!”

Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang terang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!

“Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?”

“Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biar pun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang bengcu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan bengcu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapa pun juga, dia adalah keturunan dari orang-orang yang setia kepada negara!

“Baiklah, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?”

“Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok,” Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Dan selanjutnya dengan panjang lebar ia lalu menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu.....

Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok kedua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat!

Kelompok ketiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai bengcu! Sedangkan kelompok keempat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.

Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih bengcu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.

Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian, dan kemudian dia berkata, “Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya.”

Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tidak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan jelas bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan tiap-tiap kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggota Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.

Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura keempat penjuru, lalu berkata lantang, “Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan bengcu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi bengcu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung.” Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon bengcu.

Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggota Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul.

Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya, “Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!”

Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Namun orang kedua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata, “Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah mau pun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon bengcu dan kalau saja kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah mau pun pemberontak.”

“Ho-ho-ho, manusia-manusia sombong!” Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.

“Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Jika kami telah berhasil menjadi bengcu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan.”

Orang kedua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak, “Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!”

“Ha-ha-ha!” Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa lepas. “Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut. Dalam memperebutkan kedudukan bengcu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun dari pada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!”

“Cet-cet-cett-cettt...!” Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya.

Empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, dan di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya pun dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, jika mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.

Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu. “Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!” Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!

Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar sangat nyaring dan sinarnya berkelebat mengerikan.

Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Mendadak hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggota golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri.

Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.

Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggota Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun bayangan Tek Hoat sudah tidak kelihatan lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung.

Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan sekarang kedua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka. Dua orang penjudi langsung terlempar ke bawah panggung dan cepat ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.

Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang keempat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon bengcu lain untuk menguji kepandaian, namun tidak kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong.

Tek Hoat memang sangat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merebut kedudukan bengcu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali jika memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi bengcu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai bengcu!

Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang, “Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon lainnya yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara dan mengangkat kami sebagai bengcu dan wakilnya!”

“Setuju...!”

“Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai bengcu dan wakilnya!”

Keadaan menjadi ribut sekali karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tiada seorang pun yang bersuara.

“Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak telah mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?” bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.

Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan bengcu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau sudah tidak mampu mengatasinya, Pangcu.”

Ketua itu mengangguk. “Baiklah, aku hanya dapat mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu.” Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma.

Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apa lagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung. Kedua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum.

Ma Ciang berkata, “Aihhh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pangcu dan semua anggota Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi bengcu?”

Ma Kai juga turut berkata, “Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan bengcu!”

Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab, “Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan bengcu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan bengcu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang bengcu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi bengcu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan.”

“Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pangcu dari Tiat-ciang-pang ini!”

Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.

“Tidak adil! Tidak adil!” tedengar teriakan dari para anggota Tiat-ciang-pang.

“Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!”

“Apa lagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!”

Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dua orang penjudi. Golongan ini memang tidak mendukung atau menentang pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.

Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga. Wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata, “Baiklah, kalau pangcu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pangcu jeri menghadapi kami bersama.” Ucapan ini pun lantang terdengar oleh semua orang.

Tong Hoat mengerutkan alis. Dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biar pun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apa lagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata mau pun tidak.

“Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!” teriaknya.

Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.

Tong Hoat sudah bersiap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.

“Dukkk! Dukkk!”

Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali saat beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Akan tetapi dua orang itu bukan menjadi jera, bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat yang disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.

Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan bengcu ini. Kecuali kalau Tek Hoat sendiri yang maju, terang bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.

Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Kedua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.

Betapa pun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tetapi belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Dalam kesempatan yang terbuka, Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Walau pun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.

“Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!” Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung.

Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!

Sebetulnya telah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling yang bertentangan dengan golongan pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tak mau menerima seorang pencuri sebagai anggota, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam.

Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri.

Namun, selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar dan banyak anggotanya. Kini, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pula pemilihan bengcu, apa lagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.

Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya pengecut besar, apa lagi setelah dia mulai mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya sudah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.

“Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat,” katanya dengan pandang mata mengejek. “Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!”

Muka Lauw Sek menjadi merah sekali sebab ucapan itu biar pun tak langsung ditujukan kepadanya, akan tetapi jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.

“Hemm, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi bengcu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!” Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang bergerak cepat sekali hingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!

Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua belah pihak yang agaknya mempunyai kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir.

Sebaliknya Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang. Gerakannya mantap, kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan tiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi. Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.

Meski pun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biar pun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi! Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya.

Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, sebab dia tidak mau memakainya. Akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.

Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia hanya dapat menduga bahwa sarung tangan itu tentu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.

“Hemmm, apakah lenganmu sudah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?” dia mengejek.

Lauw Sek tersenyum. “Tanganmu memang keras seperti besi, tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!”

Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Kini dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.

“Plak-plak! Dukkk...!”

Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia kini bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!

“Kau curang...!” serunya.

“Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut...?” Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.

“Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!” Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggota Tiat-ciang-pang telah melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya.

Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.

“Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?” Dia membentak dan menyerang lagi.

Terjadilah pertandingan mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, namun sekarang lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, dan karena memang dia kalah kuat tenaganya, maka dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit. Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru.

Tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main. Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!

Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggota Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Namun di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai bengcu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai.

Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biar pun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Rambutnya yang hitam panjang merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya. Kulit mukanya putih, membuat ketampanan wajahnya makin mencolok. Sinar matanya tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul seakan mengejek.

Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

“Tiat-ciang-pangcu, apa syaratnya bagi seorang bengcu yang dipilih dalam pertemuan ini?” Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. “Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?”

Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda ini seorang anggota biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.

“Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?”

Tek Hoat tersenyum. “Aku she Ang dan ingin memasuki pemilihan bengcu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi bengcu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?”

Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.

“Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang bengcu harus pula dapat melindungi semua anggotanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biar pun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhianat bangsa dan negara!”

Tek Hoat tersenyum lebar. “Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada bengcu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi bengcu?”

Tong Hoat menggeleng kepalanya. “Belum tentu, selama masih ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon.”

“Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?”

Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tak memandang mata padanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya. Biar pun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!

“Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!”

“Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini.”

Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para anggota Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan bengcu.

Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi bengcu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Biar pun sedikit, dia harus memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!

Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian mengirim pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sinkang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini.

Pemuda ini jelas bukan anggota golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jeri calon lain.

Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat telah mengeluarkan jurus yang paling hebat. Bagai halilintar kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.

“Bukk! Desss!”

Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar.

Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!

Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguh pun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.

“Ilmu setan!”

“Bunuh siluman itu!”

Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggota Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan dua tangannya bergantian dan... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!

Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggota Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.

Ceng Ceng melihat sambil tersenyum. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya.

Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.

“Apakah masih ada lagi orang yang tak mau menerima aku sebagai bengcu?” Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. “Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik.”

Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggota Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan. Terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!

“Si Jari Maut...!”

Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang, biar pun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggota-anggota Tiat-ciang-pang, berseru keras, “Hidup bengcu kita yang baru!”

“Hidup Si Jari Maut...!”

Tek Hoat tersenyum dan mengangkat dua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Ang Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring, “Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai bengcu?”

“Setuju...!” Semua orang berteriak.

Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu, “Tidak setuju...!”

Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali, membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita yang melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung.

Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.

Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai sapu tangan yang memang sejak tadi sudah dipersiapkan, lalu berkata, “Hemm, sapu tanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!”

“Aku... aku tidak akan memandangmu...” berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.

Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi bengcu, tentu saja Tek Hoat akan menjaga namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Tetapi dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lantas berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,

“Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Sapu tangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai... Ang Tek Hoat?”

Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. “Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!”

Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena tiba-tiba dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi bengcu!

“Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan bengcu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!”

“Apa...? Ah, untuk apa kedudukan bengcu bagimu?”

“Tidak perlu engkau tahu. Pendeknya, kedudukan bengcu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?”

Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja sapu tangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini.

“Baiklah, sesukamulah,” jawabnya.

“Harus kau umumkan kepada mereka bahwa aku adalah bengcu, dan engkau adalah pembantuku!” kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan kedua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai bengcu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!

Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!

“Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi bengcu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan bengcu kepada Nona...” tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan hendak bertanya, “Ehhh...!” Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, “Aku lupa lagi... siapakah namamu?”

“Bodoh! Namaku Lu Ceng.”

Tek Hoat kembali berseru nyaring, “Kedudukan bengcu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi bengcu, sedangkan aku hanya menjadi wakilnya...”

“Bukan wakil melainkan hanya pembantu!” Ceng Ceng menghardik.

“Bukan wakilnya, hanya pembantunya...!”

Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang begitu mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, kenapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?

Namun ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.

“Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!” teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.

“Kallan sudah bosan hidup? Mampuslah!” bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.

Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihat.

Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali. Tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan, lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!

Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.

Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Lagi pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.

“Engkau hebat...!” katanya memuji tanpa memandang.

“Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang,” kata Ceng Ceng. “Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!”

Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka, lalu memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biar pun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian.....

Melihat kehebatan gadis itu, yang meludah saja sudah dapat membunuh orang-orang pandai seperti Tangan Malaikat, semua orang dengan suara bulat kemudian menyetujui mengangkatnya menjadi bengcu. Bahkan mereka menjadi girang dan bangga bukan main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh dua orang yang lihai, dan otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja golongan-golongan yang memilikii ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang masih sangsi dan bingung karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya gadis ini. Orang yang suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang membencinya?

Sementara itu Ceng Ceng sudah memerintahkan para anak buah Tiat-ciang-pang untuk menyingkirkan semua jenazah. Setelah Ketua Tiat-ciang-pang tewas, sebagai bengcu otomatis dia pun dianggap sebagai Ketua Tiat-ciang-pang pula, maka dia lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa markas Tiat-ciang-pang untuk dijadikan pusat di mana bengcu dan pembantunya tinggal.

Malam hari itu, biar pun dalam keadaan berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para pimpinan Tiat-ciang-pang yang masih hidup segera mengatur hidangan untuk merayakan dan menyambut bengcu yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga para tokoh golongan lain yang termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja hadir untuk memberi hormat kepada bengcu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan Tek Hoat, dan mereka berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya kadang-kadang saja Ceng Ceng tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.

“Engkau sekarang lihai sekali,” Tek Hoat berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang lain yang duduk mengelilingi meja-meja agak jauh dari mereka berdua.

“Masih tidak selihai engkau!” jawab Ceng Ceng jujur.

“Aku heran sekali, mengapa pula engkau menginginkan kedudukan bengcu?” Tek Hoat bertanya lagi.

“Karena aku ingin mengerahkan tenaga semua kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk menyelidiki dan mencarikan musuh besarku.”

Tek Hoat mengangkat mukanya, memandang tajam. Tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa dia tidak sanggup menentang pandang mata gadis itu terlalu lama.

“Siapa...?” tanyanya lirih.

“Seorang pemuda tinggi besar, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia berada di mana, juga tidak tahu siapa namanya.”

“Hemmm..., sungguh aneh. Pemuda tinggi besar dan lihai... ahhh...! Di dunia ini banyak sekali orang tinggi besar, dan banyak sekali yang lihai.”

“Akan tetapi engkau pun sudah tahu siapa dia, dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari tanganmu.”

“Aihh, dia...!” Hampir saja Tek Hoat meloncat dari bangkunya. “Dia itu musuh besarmu?”

“Benar.”

“Kalau dia, aku senang sekali membantumu. Kalau bertemu dengan dia, aku sendiri pun ingin mematahkan batang lehernya!”

“Tidak, aku hanya menghendaki engkau dan para anggota lain mencarinya dan paling banyak menangkapnya. Aku sendiri yang harus membunuhnya!” kata Ceng Ceng dan suaranya mengandung kemarahan dan kebencian hebat.

Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian, lalu bertanya, “Kenapa? Kenapa engkau mendendam kepadanya dan begitu benci kepadanya?”

“Kau tidak perlu tahu!” Ceng Ceng menjawab dengan kasar dan membentak marah.

Melihat gadis itu marah-marah, Tek Hoat cepat mengalihkan percakapan. “Lu Ceng, aku melihat bahwa engkau telah memiliki kepandaian hebat, jauh bedanya dengan dahulu ketika kita saling bertemu untuk pertama kalinya. Terutama sekali engkau hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau telah bertemu dengan seorang guru yang pandai.”

Ceng Ceng mengangguk. “Aku telah mewarisi ilmu tentang racun yang tak ada duanya di dunia ini. Oleh karena itu, di samping sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk kepadaku karena betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!”

Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya di atas cawan arak di depan Tek Hoat sambil mengerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti asap hitam keluar dari tapak tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek Hoat melihat betapa arak di dalam cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!

“Sedikit saja kau minum arakmu, kau akan mati,” kata Ceng Ceng.

Tek Hoat mengangguk-angguk dan membuang isi cawan itu ke atas lantai, kemudian menggantikannya dengan arak baru dari guci. “Hemm, engkau telah membuat dirimu, sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh luar biasa!” Tek Hoat berkata memuji, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa jeri dan dia merasa yakin bahwa kalau terpaksa bertending, dia akan dapat mengalahkan gadis aneh ini.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Tak lama kemudian beberapa orang bekas pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan melapor. “Celaka, di luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak kawan kita telah dirobohkan olehnya.”

Tek Hoat merasa tidak senang karena dia diganggu. “Siapa dia dan mengapa dia mengacau?”

“Dia tidak mengaku namanya dan tidak mengaku mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka menundukkan sebelum dia merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan kerusakan.”

“Kurang ajar!” Tek Hoat bangkit berdiri dan bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar.

Setelah tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk, dikeroyok oleh banyak orang. Lebih dari tiga puluh orang anggota Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng melihat betapa orang itu melempar-lemparkan para pengeroyoknya dengan amat mudahnya. Para pengeroyok itu bagai sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke kanan kiri akan tetapi mereka bangkit lagi dan menerjang lagi.

“Hemm, orang itu kuat sekali,” Tek Hoat berkata, mempercepat larinya menghampiri.

“Tek Hoat, aku ingin dia itu ditawan saja, jangan sampai terbunuh!” tiba-tiba Ceng Ceng berkata kepada Tek Hoat sehingga pemuda ini menjadi heran.

“Eh, kenapa? Dia pengacau...”

“Dia lihai, aku ingin mengambilnya sebagai pembantuku, di sampingmu...”

“Hemm...,” Tek Hoat tak berkata apa-apa lagi melainkan melompat dekat dan berteriak, “Semua orang mundur! Biarkan aku menghadapi pengacau ini!”

Ceng Ceng hanya menonton saat Tek Hoat telah meloncat maju. Tentu saja jantungnya berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat agar pembantunya itu jangan membunuh si pengacau karena dia mengenal si pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar yang pernah menolongnya! Laki-laki bermuka buruk seperti setan yang telah menolongnya ketika dia dikeroyok oleh para kaki tangan pemberontak di waktu dia hendak menolong Pangeran Yung Hwa.

Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang ini, bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan, mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan, laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan mempergunakan akal!

Tek Hoat sudah meloncat ke depan dan menyerang orang itu dengan totokan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis orang itu. Serangan yang amat hebat dan dahsyat ini membuat laki-laki tinggi besar bermuka setan itu mengeluarkan suara gerengan dahsyat, tubuhnya bergerak ke kanan, tangan kanannya menangkis totokan dan tangan kirinya menyampok cengkeraman ke pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga sudah mengerahkan tenaga pada kedua lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu terpental dan roboh ketika kedua lengan mereka beradu.

“Plakk! Duukkk!”

Keduanya terkejut dan terpental, akan tetapi dengan cekatan keduanya telah dapat mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan tinggi ke belakang. Sejenak mereka saling pandang dan Tek Hoat membentak marah. “Siapa kau?”

Akan tetapi, orang tinggi besar itu tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang sudah mendekati pula. Pada saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu pedang Cui-beng-kiam yang mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.

“Keparat, mampuslah kau!” bentaknya sambil menyerang.

Menghadapi serangan pedang ini, orang tinggi besar itu terkejut, apa lagi ketika dia melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini, yang memiliki pengaruh dan hawa mukjijat, maka dia mengeluh dan cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang melihat kejerian lawan. Dia terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju menerjang lagi, Ceng Ceng berteriak, “Tek Hoat mundurlah! Aku akan menangkapnya!”

Teriakan ini dikeluarkan oleh Ceng Ceng sebab dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang mengeluarkan pedang. Dia pun mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan mengandung hawa mukjijat yang lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan kelihaian penolongnya ini, yang dulu menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan kosong, mencengkeram dan merampas pedangnya dengan mudah! Tetapi pedang seampuh itu di tangan Tek Hoat adalah lain lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek Hoat. Pula, dia sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk memberi tahu bahwa dia tidak berniat membunuhnya.

Mendengar teriakan ini, walau pun hatinya mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur. Diam-diam dia mentertawakan Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini. Biar pun baru bergebrak beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian hebat, lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Ceng Ceng. Jangankan menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun tentu sukar. Entah kalau nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.

“Engkau telah mengacau tempat ini. Aku yang menjadi bengcu harus menawanmu!” Ceng Ceng berseru sambil menerjang orang tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok jalan-jalan darah dengan kecepatan dua ekor ular mematuk.

Orang itu mengeluarkan seruan aneh dan meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas setengah berbisik akan tetapi dapat dimengerti oleh Ceng Ceng. “Kau... kau gadis aneh...!”

Sudah dua kali orang itu mengatakan sebagai gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah bertekad untuk menangkap bekas penolongnya ini, tidak menjawab melainkan menyerang terus bertubi-tubi dengan totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau menang menghadapinya?

“Ehhh...!” Tiba-tiba Tek Hoat menahan seruannya karena terkejut ketika melihat betapa orang tinggi besar itu terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah menjadi lemas dan lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng!

Hampir dia tidak dapat mempercayai hal ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu benar-benar telah roboh tak berdaya dan beberapa orang anggota Tiat-ciang-pang sudah cepat menghampiri dan membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat atas perintah Ceng Ceng.

“Masukkan dia ke tempat tahanan di belakang dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai dia lolos dan jangan ada yang berani mengganggunya. Besok aku akan memeriksanya!” demikian perintah Ceng Ceng kepada anak buahnya yang segera menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang di belakang rumah di mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu dan dijaga dengan ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang.

Sementara itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu golongan kaum sesat lainnya yang tadi ikut pula menyaksikan peristiwa pengacauan itu. Semua orang memuji kelihaian bengcu mereka yang dengan mudah dapat merobohkan orang yang demikian lihainya.

“Heran sekali, bagaimana engkau dapat menotoknya roboh sedemikian mudahnya?” Tek Hoat tidak dapat menahan keheranan hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka telah duduk pula menghadapi meja.

Ceng Ceng sendiri tadi juga agak heran karena tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil begitu mudahnya. Jelas bahwa laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan sungguh-sungguh sehingga mudah saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun yang lebih dulu dia pergunakan sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa beracun dan tak sempat menghindarkan diri lagi saat dia menotoknya bertubi-tubi, membuatnya roboh tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia menjawab sederhana, “Biar pun dia lihai, akan tetapi dia tidak dapat melawan hawa beracun dari pukulanku yang membuat dia kurobohkan dengan totokan. Hanya engkau yang agaknya masih buta, belum melihat kelihaianku!”

Tek Hoat tidak mempedulikan ucapan itu. “Aku masih merasa heran dan menduga duga, dia itu siapakah dan apa perlunya mengacau di sini? Mukanya seperti setan dan kepandaiannya pun hebat betul. Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia di dunia kang-ouw.”

“Biar besok aku yang akan memeriksanya. Kau jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai aku besok memeriksanya. Kalau dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan kita, syukurlah. Kalau tidak...”

“Kalau tidak, bagaimana? Kita bunuh dia?”

“Hemm... bagaimana besok sajalah,” Ceng Ceng sendiri bingung.

Ketika dia berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi gurunya, orang itu menolak dan pergi begitu saja. Sekarang setelah dapat menawannya, apakah dia akan berhasil pula memaksa orang itu menjadi pembantunya untuk menangkap musuh besarnya?

Malam itu Ceng Ceng tidur dengan gelisah sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali. Di dalam mimpinya itu dia melihat pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya dan hendak memperkosanya lagi, tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi wajah Tek Hoat, dan kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan bermuka setan itu!

Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki bermuka setan itu biar pun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan laki-laki tinggi besar ini.

Teringatlah dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia menjadi termenung. Betapa bedanya pangeran itu dengan tiga orang laki-laki! Pangeran itu begitu tampan, begitu halus, penuh hormat, lemah-lembut dan penuh kemesraan. Cinta kasih seorang seperti Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak perlu disangsikan lagi!

Sebaliknya, Tek Hoat memang tampan dan gagah, biar pun tidak setampan Pangeran Yung Hwa namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang menarik, ketampanan dan kegagahan yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi pemuda ini adalah seorang yang rendah, yang telah menghambakan diri kepada pemberontak!

Pemuda laknat yang memperkosanya itu pun tampan dan gagah sekali, lebih gagah dari pada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung, membayangkan kekerasan seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang. Tetapi pemuda itu telah menjadi musuh besar yang amat dibencinya, dan dia tahu bahwa membunuh pemuda itu pun belum berarti terbalas dendamnya karena pemuda itu telah merusak hidupnya, merusak segala-galanya!

Dan laki-laki yang bermuka setan ini, dia sudah tua dan menakutkan, biar pun pernah menolongnya dan berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh rahasia sehingga sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah adanya laki-laki bermuka setan ini.

Pada keesokan harinya dia telah pergi ke belakang, ke gudang di mana tawanan itu berada. Di luar gudang masih terjaga oleh dua puluh orang lebih anggota Tiat-ciang-pang, tetapi dia mendengar suara orang bicara di sebelah dalam gudang, atau lebih tepat lagi, suara Tek Hoat yang agaknya marah-marah. Cepat dia memasuki gudang itu dan dia masih mendengar Tek Hoat berkata marah.

“Kau kira aku tidak mampu memaksamu bicara? Engkau bersembunyi di balik topeng itu!”

Mendengar ucapan ini, orang bertopeng itu sangat terkejut. “Ehhh... jangan...! Jangan buka topengku. Kalau dipaksa... aku akan mengamuk dan akan hebat akibatnya!”

Tek Hoat tertawa. “Silakan saja mengamuk, aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!”

Tek Hoat telah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang kedua tangannya masih terbelenggu di belakang punggung dan sedang bersandar pada dinding gudang itu. Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya telah mendekati muka orang.

“Tek Hoat, jangan...!” Ceng Ceng membentak dan Tek Hoat terkejut.

Pemuda ini bersungut-sungut dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi begini lemah dan penurut? Agaknya, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu memerintahnya seperti ini! Dan dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat melakukan apa pun, tanpa Ceng Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan tidak sampai hati menolak perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali hanya karena sumpahnya. Ia memang merasa terlalu gagah untuk melanggar sumpah, tetapi kalau sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu saja tidak bisa dia terus menurut.

“Hemmm...!” Dia mendengus dan membalikkan mukanya.

Ceng Ceng memandang wajah orang tawanan itu dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang ini memakai topeng! Memakai semacam kedok yang amat tipis dan memang sukar dibedakan dari wajah asli kalau saja dia tadi tidak melihat orang itu bicara dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa yang bergerak tentulah bibir aslinya yang berada di balik topeng! Seketika timbul akalnya untuk memaksa bekas penolongnya ini!

“Tek Hoat, keluarkan sapu tanganmu!” katanya memerintah.

“Untuk apa...?” Tek Hoat bertanya dengan marah karena sapu tangan mengingatkan dia akan sumpah dan janjinya.

“Kau tutup matamu dengan sapu tangan itu!”

“Hemm...!” Tek Hoat makin marah.

Akan tetapi tetap saja permintaan itu dia penuhi juga. Dia menutupkan sapu tangannya ke depan mata dan mengikatkan kedua ujung sapu tangan di belakang kepala. Diam-diam dia tertarik juga karena ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis aneh ini.

Setelah melihat Tek Hoat menutupi mukanya dengan sapu tangan, Ceng Ceng lalu menghampiri tawanan yang masih bersandar dinding itu. “Nah, In-kong sekarang kita boleh bicara berdua. Pembantuku ini sudah menutup matanya dengan sapu tangan sehingga tidak dapat melihat kita... maksudku, tidak dapat melihat wajahmu.”

Suara yang halus itu terdengar kini. “Nona, engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa maksudmu dengan menawan aku? Aku tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di sini, menonton dan dikeroyok oleh orang-orang itu. Biarkan aku pergi.”

“Tidak, sebelum engkau memperlihatkan siapa adanya engkau. Aku hendak membuka topeng yang menutupi mukamu, In-kong.”

Tentu saja Tek Hoat menjadi kaget dan heran bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang menunjukkan bahwa gadis ini telah mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)! Biar pun kedua matanya tertutup, Tek Hoat memusatkan seluruh perhatiannya kepada pendengarannya sehingga dia dapat mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan tawanan itu, bahkan tidak kalah jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan kedua matanya.

“Jangan...! Jangan, Nona...! Ini adalah rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap kau jangan membukanya...” Orang itu berkata, suaranya penuh dengan permohonan dan kekhawatiran sehingga Tek Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.

“Engkau pernah menolongku, tentu aku tidak akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan membuka topengmu asal engkau suka menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku. Bagaimana?”

“Hemm..., baiklah. Aku berjanji.”

“Dan seorang laki-laki gagah tidak akan melanggar janjinya.”

“Lebih baik mati dari pada melanggar janji.”

Tiba-tiba Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha, Lu Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang memiliki kepandaian menjadi seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya sendiri!”

“Tek Hoat, engkau dan dia ini berjanji sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau boleh membuka sapu tanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kau bebaskan dia dari belenggu itu.”

Tek Hoat menyambar sapu tangannya, lalu memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan tertawa mengejek. “Engkau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesukaran, Sobat!” Dan dengan kedua tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan sinkang-nya dan belenggu yang terbuat dari baja itu patah-patah! Bukan main hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat dan agaknya dia sengaja mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang memandang dengan sikap tenang saja. Setelah belenggunya dilepaskan dia bangkit berdiri, tinggi dan tegap.

“Sekarang setelah menjadi pembantuku kau harus memberitahukan namamu,” Ceng Ceng berkata.

Orang itu menghela napas panjang. “Setelah Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng, maka biarlah aku dinamakan Topeng Setan.”

Ceng Ceng bertepuk tangan gembira. “Bagus! Dua orang pembantuku julukannya amat hebat, yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi Si Topeng Setan! Sekarang mari kita keluar untuk mengumumkan pengangkatan Topeng Setan sebagai pembantuku kedua, dan kita mulai mengatur anak buah kita agar tidak lagi terjadi bentrok di antara rekan segolongan.”

Tek Hoat dan Topeng Setan mengangguk. Ceng Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar itu, “Awas, engkau mencurigakan sekali. Sekali waktu akan kupatahkan batang lehermu seperti aku mematahkan belenggu tadi.”

Topeng Setan menoleh kepada pemuda tampan itu dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut bekas belenggu dari atas lantai, kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya mematah-matahkan rantai itu semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!

“Tidak perlu curiga, aku hanya ingin melindunginya, Sobat!” Si Topeng Setan berkata pula, berbisik.

Tek Hoat terkejut dan mengertilah dia bahwa Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja membiarkan dirinya tertawan. Buktinya, kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu itu dengan amat mudah! Makin tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan untuk dapat menarik tenaga yang amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran Liong Bin Ong.

Yang merasa amat bergembira adalah Ceng Ceng. Dia sampai lupa akan kesengsaraan hatinya melihat betapa dia kini telah menjadi seorang ‘bengcu’, mengepalai ratusan orang-orang lihai, bahkan mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat tinggi kepandaiannya. Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil mencari musuh besarnya, pemuda laknat yang telah memperkosanya!

Di samping itu, dia akan menuntun para kaum sesat itu agar tidak membantu para pemberontak, sebaliknya malah menentang pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang dia tahu adalah anak buah pangeran pemberontak, setelah menjadi pembantunya akan dibujuknya agar dapat insyaf dan kembali ke jalan benar. Betapa pun juga, pemuda inilah sebetulnya yang menjadi orang pertama, laki-laki pertama yang pernah menggerakkan perasaan mesra, kagum dan cinta di dalam hatinya, yang kemudian berubah menjadi benci karena pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak. Pula, setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta kasihnya kepada Syanti Dewi, lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek Hoat. Namun andai kata pemuda ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia akan senang sekali melihat kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat. Jauh lebih baik dari pada menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja.....


********************

Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengalamannya yang baru sebagai seorang bengcu atau ketua dari kaum sesat itu, dan mari kita mengikuti perjalanan kakak beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan hendak mengawal Jenderal Kao Liang kembali ke utara ketika pada malam hari itu muncul putera jenderal itu yang telah hilang dan disangka mati belasan tahun yang lalu, yaitu Kok Cu, yang kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu tugas yang diperintahkan gurunya.

Peristiwa hebat perjumpaannya dengan Ceng Ceng yang dianggap telah mati dan bayangan gadis itu dianggap rohnya, kemudian disusul dengan munculnya Kok Cu yang disangka sudah mati, mengguncangkan hati Jenderal Kao dan keluarganya. Akan tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa ini sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan diam-diam akan kembali ke utara.

Akan tetapi, baru saja mereka bersiap-siap untuk berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba terdengar suara halus, “Kao-goanswe, berhentilah dulu...” Dan berkelebatlah bayangan orang. Ternyata yang datang adalah Puteri Milana sendiri!

Tentu saja Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap Jenderal Kao mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya itu masuk ruangan dan tidak mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia menduga bahwa kedatangan Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting. Dan memang benarlah demikian!

Begitu dipersilakan duduk, puteri yang wajahnya agak tegang biar pun sikapnya masih tenang itu berkata lirih, “Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil tindakan secara terang-terangan.”

Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya. “Paduka maksudkan...?”

“Baru saja seorang penyelidikku datang malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin yang kau tawan itu telah dibebaskan oleh kaki tangannya, bahkan telah menyusun kekuatan dari para pasukannya dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk menyerbu ke selatan!”

“Si keparat!” Jenderal itu mengepal tinjunya dengan marah sekali. “Semua ini diatur dari sini, dan kita harus menumpas biang keladinya!”

“Sabarlah, Goanswe. Tugas kita hanyalah menumpas para pemberontak yang sudah terang-terangan memberontak seperti Panglima Kim Bouw Sin. Adapun para penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di belakang layar, amat sukar bagiku untuk bertindak tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Kedudukan mereka kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke utara. Biarlah kedua orang adikku ini terlebih dulu menyelidiki ke sana dan sedapat mungkin menyelamatkan Syanti Dewi yang berada di bentengmu. Mudah-mudahan saja dia tak terjatuh ke tangan pemberontak! Sedangkan engkau dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini setelah kita besok menghadap Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim Bouw Sin itu. Namun hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang pangeran tua. Hal itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada mereka sebagai adik-adiknya.”

Jenderal Kao mengangguk-angguk. Memang kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama tentu saja karena dia merasa sudah ditipu. Orang menggunakan Kaisar untuk memanggil dirinya keluar dari benteng dan biar pun pihak pemberontak gagal membunuhnya di tengah jalan, mereka telah berhasil membebaskan Kim Bouw Sin yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin pasukan dibawah pimpinannya! Hal kedua yang membuat dia marah saking cemasnya adalah nasib Syanti Dewi yang ditinggalkan sendirian di dalam benteng!

Kian Lee dan Kian Bu berangkat meninggalkan kota raja setelah menerima pesan dari Puteri Milana dan Jenderal Kao. Mereka diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu Jenderal Kao dan pembantu Puteri Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam perjalanan, karena dalam keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu amat sukar dan terdapat banyak rintangan berbahaya.

Dua orang pemuda Pulau Es ini melakukan perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa tentang pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu, dan hal itu pun tidak menarik hati mereka. Semenjak kecil mereka berada di Pulau Es dan tidak pernah mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka kekacauan yang terjadi ini hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena ada kakak mereka, Puteri Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan tugas itu sebagai perintah kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan hati mereka karena mereka merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu, juga sebagai dua orang muda remaja, mereka masih haus akan pengalaman.

Di sepanjang perjalanan yang mereka lakukan dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian Lee selalu mengajak adiknya untuk berputar kota lebih dulu. Dan biar pun diam-diam, Kian Bu maklum bahwa kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya menyelidiki seseorang, dan seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.

Karena mereka mendapat tugas untuk menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao ditinggalkan di dalam bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung menuju ke kota benteng itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang dikelilingi benteng amat kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Mereka berdua telah bercampur dengan rakyat yang menjadi panik, pengungsi-pengungsi yang kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan tetapi ada pula yang malah mencari perlindungan di kota itu sehingga keadaan kota itu ramai sekali dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara berseliweran di setiap tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu.

Ternyata kota benteng itu telah terjatuh ke tangan kaum pemberontak! Setelah Jenderal Kao pergi ke kota raja, beberapa malam kemudian timbul keributan di dalam benteng. Panglima Kim Bouw Sin dilepaskan orang-orang lihai dari penjara, kemudian panglima itu menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para panglima dan perwira yang menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga banyak muncul orang-orang pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum pemberontak tahu-tahu telah memasuki kota.

Gegerlah keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada Jenderal Kao atau kepada kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak, akan tetapi karena Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang masih setia telah dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak, maka pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri keluar dari benteng, lari ke selatan! Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan tanpa ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perempat jumlah pasukan yang berada di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan dari benteng itu.

Berita ini tidak begitu diperhatikan oleh Kian Lee dan Kian Bu, tetapi mereka terkejut sekali ketika mendapat keterangan bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di benteng itu telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi, hanya kedua orang kakak beradik ini mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai seorang anak angkat atau anak keponakan perempuan yang berada di benteng itu dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang tahu ketika terjadi kerlbutan di benteng itu.

“Wah, celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!”

“Hemm, mencari ke mana? Kita tidak tahu dia lari atau dilarikan ke mana.”

“Jangan-jangan dia terjatuh ke tangan pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng dan mencarinya di sana?”

“Terlampau berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita Jenderal Kao, andai kata Puteri Syanti Dewi terjatuh ke tangan pemberotak sekali pun, agaknya dia tidak akan diganggunya, bahkan mungkin diantarkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak mau pun yang anti. Mereka menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap di dalam keributan.”

“Habis, apa yang harus kita perbuat sekarang?”

“Tidak ada lain jalan, kita kembali ke kota raja dan di sepanjang perjalanan kita harus memasang mata dan telinga, mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri bersama para pengungsi. Andai kata tidak berhasil, kita kembali dan melapor kepada Enci Milana dan Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini.”

“Tetapi aku masih menduga bahwa agaknya Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut penuturan Enci Milana, Panglima Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota Teng-bun, sebaiknya kalau kita mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu, sambil mencari-cari.”

“Baiklah, Bu-te.”

“Lee-ko, sudah jelas bahwa aku akan mencari Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah Enci Milana, akan tetapi agaknya yang kau cari adalah puteri lain lagi, bukan Syanti Dewi.”

“Hemmm, maksudmu...?”

“Engkau mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu Ceng!”

Wajah Suma Kian Lee menjadi merah. “Bu-te! Sekarang bukan waktunya main-main!”

Melihat kakaknya marah, Kian Bu tidak berani menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya lalu keluar dari kota benteng itu dengan aman karena mereka mencampurkan diri di antara rombongan para pengungsi. Hanya mereka yang masuk kota itu yang digeledah oleh para penjaga pemberontak, yang keluar dari situ hanya diawasi saja penuh perhatian.

Kota Teng-bun yang dimaksudkan sebagai pusat atau markas besar para pemberontak itu terletak agak ke barat, merupakan kota yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan terletak di lereng bukit, dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang sukar untuk diserbu dari luar. Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini kalau-kalau Syanti Dewi dibawa oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak beradik ini membelok ke barat. Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi semua menuju terus ke selatan atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat karena semua orang menjauhi Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi medan perang.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah dusun yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak jauh dari Teng-bun. Di luar dusun itu terdapat perkemahan tentara, yaitu pasukan yang masih setia kepada kerajaan, dipimpin oleh seorang panglima bawahan Jernderal Kao yang mempertahankan atau menjaga daerah itu sebagai daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling depan atau paling dekat dengan Teng-bun, pusat pemberontak. Panglima Thio Luk Cong itulah yang mengutus penyelidik Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota raja melapor kepada Puteri Milana tentang gerakan pemberontak yang menguasai benteng dan yang kini berpusat di Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya lalu menetap di luar dusun Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti bala bantuan yang pasti akan datang dari kota raja.

Ketika Kian Lee dan Kian Bu memasuki dusun itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja karena memang pasukan Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga keamanan dengan baik. Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak pula di antara anggota pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri, tiba di tempat itu dan segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio Luk Cong.

“Aku lelah sekali, Lee-ko. Mari kita beristirahat dulu di rumah penginapan.”

Kian Lee menyetujui permintaan adiknya. Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh yang tidak berhenti, dan tadi pun begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas melakukan kebiasaannya berputar dusun untuk mencari... Lu Ceng, karena benar seperti yang pernah dikatakan Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu Ceng dari pada mencari Syanti Dewi!

Rumah penginapan di dusun itu kosong karena memang tidak ada pengunjung datang di dusun itu. Dengan mudah mereka memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di bangku dan Kian Bu segera merebahkan diri di atas pembaringan sambil memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali.

Pelayan penginapan itu masuk membawa teh panas untuk tamu baru ini, membungkuk hormat sambil meletakkan poci dan cawan di atas meja. Melihat Kian Bu rebah memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya, “Engkau lelah sekali, Kongcu?”

“Wah, kakiku lelah sekali...” Kian Bu menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak mempedulikan pandang mata kakaknya yang penuh curiga.

“Kebetulan sekali, di dekat sini terdapat seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia seorang yang buta matanya, akan tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat mencari semua kelelahan Kongcu dan mengusirnya.”

Kian Bu tertawa. “Begitukah? Coba panggil dia ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan kakiku ini!”

“Baik, baik, Kongcu, kau tunggu sebentar.” Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu.

Setelah pelayan itu pergi, Kian Lee menegur adiknya, “Bu-te, engkau ini ada-ada saja! Aku lihat sikap pelayan itu amat mencurigakan seolah-olah dia terlalu memperhatikan kita.”

“Aihh, Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau memang betul tukang pijat itu pandai, apa sih salahnya kalau dia menghilangkan kelelahanku? Dan pelayan itu adalah seorang yang ramah, agaknya girang dia karena akhirnya rumah penginapan yang sunyi dan kosong ini memperoleh tamu juga.”

Tak lama kemudian pelayan itu sambil tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar menuntun seorang kakek buta yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. “Kongcu mana yangg merasa lelah kakinya?” Kakek itu bertanya dengan suaranya yang lemah dan agak gemetar.

Pelayan itu menuntunnya mendekati pembaringan Kian Bu. “Inilah Kongcu yang ingin kau pijat kakinya, Lo-sam!” kata Si Pelayan.

Kakek buta itu menjulurkan tangan meraba-raba. Takut kalau kakek itu meraba yang bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan itu dan mendekatkannya ke arah kakinya sambil berkata, “Di sini kakiku, Lopek.”

Kakek itu meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan tongkatnya ke atas lantai sambil berkata, “Hemmm..., hemmm... kasihan kedua kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima hari dipergunakan untuk berjalan kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya sampai menegang dan keras begini.”

Mulailah dia memijit-mijit kaki Kian Bu dan pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu amat pandai memijit. Jari-jari yang berkulit halus itu dengan lembutnya memijit-mijit dan meraba-raba tepat pada otot-otot besar sehingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak menyenangkan. Tidak terlalu dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat ini benar pandai, biar pun matanya buta namun jari-jari tangannya seperti mempunyai mata yang dapat mencari otot-otot kakinya.

“Lee-ko, sebaiknya engkau juga menyuruh dia memijit kakimu. Enak sekali dan dapat melenyapkan lelah,” Kian Bu berkata.

“Ah, aku tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai beristirahat sebentar saja pun akan pulih,” jawab kakaknya.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dan ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan oleh seorang tentara berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, berkumis pendek dan berwajah ramah.

“Maafkan jika saya mengganggu, Ji-wi Kongcu. Ciangkun ini datang karena diutus oleh panglima untuk memanggil tukang pijit!”

“Ah, bagaimana ini? Aku belum selesai dipijit!” Suma Kian Bu berseru.

“Tidak mengapa, saya bisa menanti sebentar sampai engkau selesai dipijit, orang muda. Komandan kami bukan seorang yang keras, dan tentu beliau suka menunggu, apa lagi sekarang beliau sedang menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu agung yang amat penting.”

Kian Lee jadi tertarik. Dalam suasana seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai komandan pasukan yang menerima tamu merupakan hal yang penting.

“Siapakah tamu-tamu agung, itu, Ciangkun?”

Perwira itu agaknya senang bercerita. Dia duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh panas dari pelayan, minum tehnya lalu berkata, “Kami semua tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Yang seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa saja seperti seorang petani sederhana, akan tetapi orang kedua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Biar pun pakaian gadis itu pun sederhana, namun kecantikannya sungguh sukar dicari bandingannya...”

“Berapa kira-kira usia gadis itu dan bagaimana perawakannya?” Tiba-tiba Kian Lee bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan membayangkan Ceng Ceng.

“Ah, tentu tidak akan lebih dari tujuh belas tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya seperti seorang wanita yang sudah matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping, air mukanya angkuh dan agung, pendiam...”

Jantung di dalam dada Kian Lee berdebar. Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga demikian dan diam-diam dia melirik kepada kakaknya.

“Apakah komandanmu suka pijit, Ciangkun?” tanya Kian Lee.

“Sebetulnya tidak, akan tetapi beliau mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini kedatangan seorang tukang pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya datang menjemputnya.”

Kian Bu sejak tadi diam saja, lalu berkata kepada tukang pijit itu, “Sudah cukup, Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku hendak bicara penting dengan Ciangkun ini.”

Kian Bu berteriak memanggil pelayan tanpa memberi kesempatan kepada Kian Lee yang memandangnya dengan heran itu untuk mengeluarkan suara, kemudian minta kepada pelayan untuk mengantar tukang pijit itu keluar dan menanti mereka di sana.

Setelah pelayan dan tukang pijit itu keluar, barulah dia berkata kepada perwira itu, “Ciangkun, terpaksa aku menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini tidak enak untuk dia. Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali. Pijitannya tidak enak sama sekali. Dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang yang kelelahan kalau dipijit olehnya akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan marah kalau dipijat oleh dia.”

“Kalau begitu, kenapa engkau membiarkan dirimu dipijit olehnya, orang muda?”

Kian Bu tertawa. “Engkau tidak mengerti, Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami dua kakak dan adik adalah keturunan tukang pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu biasa memijiti Kaisar dan keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika tadi mendengar bahwa di sini terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami tertarik dan ingin mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja. Orang seperti itu hendak kau suruh memijati komandanmu? Ah, engkau akan mendapat marah, Ciangkun.”

Perwira itu memandang dengan curiga dan tidak percaya. “Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah pantas kalau menjadi tukang pijat yang pandai. Akan tetapi kalian? Orang-orang muda begini... mana bisa memijat...?”

“Ha-ha, ucapan seperti itu, keheranan itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang tidak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kau coba sendiri, Ciangkun. Kami tidak membohongimu, ke sinilah, dan biar kau rasakan pijatan ajaib dari tanganku.”

Dengan pandang mata masih tidak percaya perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk di atas pembaringan Kian Bu. Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan tengkuknya. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang Sinkang sehingga perwira itu merasa betapa ada hawa yang hangat mendatangkan nikmat menyelusuri tubuhnya, dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat tepat menyentuh otot-ototnya sehingga sebentar saja dia terasa keenakan, tubuhnya terasa nyaman dan kantuk mulai menyerangnya, membuat matanya meram melek!

“Nah, bagaimana rasanya, Ciangkun?” Kian Bu bertanya dan menghentikan pijatannya.

Perwira itu terbangun dari keadaan setengah pulas dan terkejut. “Aihhh, benar hebat sekali engkau, orang muda. Pijatanmu amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh seluruh tubuh, menghilangkan capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini pun mahir?”

“Kakakku ini malah lebih pandai dari pada aku, Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami berdua ke sana, tentu komandanmu akan puas sekali dan memujimu.”

Mendadak sikap perwira itu berubah. Pandang matanya tajam menyelidik ketika dia bertanya, “Orang muda, kenapa engkau ingin sekali ikut dengan aku ke perkemahan kami?”

Sebetulnya, kalau mereka berdua memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri Milana, tentu perwira itu segera akan tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak ingin sembarang orang mengenal bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan kalau tidak perlu sekali, mereka tidak akan sembarangan memperkenalkan diri.

“Ciangkun, harap kau tidak mencurigai kami kakak dan adik,” tiba-tiba Kian Lee yang mengerti akan maksud adiknya agar mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk melihat apakah dara yang diceritakan tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan, segera berkata meyakinkan,

“Sesungguhnya biar kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak menggunakan kepandaian kami untuk mencari uang. Akan tetapi... terus terang saja, kami telah kehabisan. Kami meninggalkan kota benteng di Khi-ciang yang sedang geger, pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian seadanya. Akan tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar bahwa komandan Ciangkun suka dipijit, adikku langsung menawarkan diri sebab komandanmu tentu suka membayar mahal, belum lagi para perwira yang membiarkan kami memijatnya, tentu akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal perjalanan.”

Perwira itu mengangguk-angguk. “Baiklah, memang aku sudah membuktikan sendiri kemampuanmu memijat. Akan tetapi, tukang pijit buta itu pun harus kubawa agar jangan aku mendapat marah dari komandan.”

Maka berangkatlah perwira itu bersama Kian Lee, Kian Bu, dan tukang pijit buta yang digandeng oleh pelayan. Karena rumah penginapan itu sedang sepi, Si Pelayan boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk nantinya sekedar mendapat persen, karena memang Si Buta itu harus ada pengantarnya.

Demikianlah, dengan amat mudahnya mereka memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin oleh komandan Panglima Thio Luk Cong itu. Akan tetapi ternyata penjagaan dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah bagi kedua orang kakak beradik itu dapat bertemu dengan dara yang diceritakan tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi mereka untuk dapat bertemu dan memijat panglima yang masih bercakap-cakap di kamar tamu dengan dua orang tamu agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang Panglima, mereka itu diuji dulu oleh para perwira tinggi yang menaruh curiga.

Diam-diam Kian Bu merasa mendongkol. Dia ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan komandan dan terutama sekali dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara yang diceritakan tadi. Dia tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin membayangkan bahwa gadis itu tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu Ceng siapa yang memiliki kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu agung oleh seorang panglima?

Akan tetapi para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka dia lalu mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya, dan tiga kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun tidur pulas!

Hal ini mengherankan banyak perwira. Beberapa orang maju lagi dan kini Kian Lee terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa kali dua orang kakak beradik ini memijit para perwira dan sebentar saja mereka sudah tidur nyenyak di atas kursi!

Seorang perwira tinggi bertubuh kurus memasuki ruangan yang ramai oleh gelak tawa para perwira ini. Dia adalah wakil panglima, bernama Louw Kit Siang, seorang ahli lweekeh yang tentu saja menjadi curiga menyaksikan sepak-terjang dua orang ‘tukang pijat’ muda itu. Cepat dia melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu, “Hemmm, semuda ini sudah memiliki kepandaian memijat yang luar biasa! Coba engkau memijati tubuhku yang capai-capai!”

Melihat wakil panglima sendiri maju, semua perwira menjadi gembira dan ingin menyaksikan wakil panglima itu pun kepulasan di kursi. Louw Kit Siang duduk di atas kursi itu dan mengulurkan lengan kanannya. “Nah, kau pijitlah lengan kananku ini.”

Lengan itu kurus tinggal tulang dan kulitnya saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan wakil panglima itu dan memegang lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang Panglima dan dua orang tamunya belum juga muncul? Melihat Si Kurus yang menantang ini, tahulah dia bahwa Si Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka dia cepat mengerahkan tenaganya. Tepat seperti diduganya, dari lengan wakil panglima itu keluar getaran tenaga lweekang yang cukup kuat, yang seolah-olah hendak melawan dan menahan saluran Hwi-yang Sinkang yang hangat dari telapak tangannya.

Louw Kit Siang terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu keluar hawa yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui lengannya. Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk membendung tenaga yang hangat itu.

Mereka bersitegang dan berkutetan tanpa diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang memandang penuh perhatian. Akan tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga. Biar pun memakan waktu tiga empat kali lebih lama dari pada para perwira yang telah tertidur, akhirnya dia menguap dan tertidur pulas di atas kursinya, diiringi suara ketawa para bawahannya!

Tetapi, hanya sebentar saja wakil panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun lagi dan cepat dia meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak, “Tangkap mereka! Dua orang ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!”

Semua perwira cepat mencabut senjata dan mengurung, sambil membangunkan mereka yang tadi tertidur pulas sehingga merasa gelagapan dan panik, akan tetapi cepat mereka itu mencabut senjata pula dan ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu tenang-tenang saja, karena memang inilah yang dikehendaki Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan untuk memancing keluarnya Sang Panglima dan terutama dara itu!

“Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!” Panglima Louw Kit Siang membentak.

“Kami hanya mau menyerah kepada Panglima sendiri!” Kian Bu menjawab.

“Aku sudah berada di sini!” Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.

Semua perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.

“Orang muda, siapakah kalian? Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku?” Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa.

Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biar pun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu bukan Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini. Sedangkan Kian Bu juga terus memandang dengan mata terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu.

Pandang matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya berdebar keras. Hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian banyak dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang dara secantik ini!

Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit! Biar pun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya, maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.

“Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!” Louw Kit Siang membentak marah.

“Oh, maaf...” Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih saja terus terlongong memandang dara itu. “Maaf, Tai-ciangkun. Kami dua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap.”

“Tai-ciangkun, mereka bukanlah tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka mempunyai kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!”

“Ihhh, orang yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!” Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.

“Begitukah?” Panglima Thio membentak. “Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!”

“Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya,” Kian Bu berkata tenang. “Silakan duduk di sini.” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu dapat memandangnya!

Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus, “Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah.” Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu sambil berkata, “Nah, kau pijitlah lenganku, orang muda yang baik.”

Melihat wajah dan sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biar pun kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya. Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya.

Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sinkang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian. Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sinkang, dia tidak akan mundur! Apa lagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang lain itu.....

Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sinkang-nya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sinkang dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sinkang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!

Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain. Dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biar pun tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sinkang-nya dan merubah hawa sinkang-nya. Kini dia mengeluarkan ilmu sinkang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju)!

Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya. Dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sinkang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.

“Uhhh...!” Terdengar suara ini dari laki-laki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya.

Kiranya lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mukjijat dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sinkang! Dan kedua tenaga itu kini saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin pucat dan matanya mulai mengantuk!

“Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar engkau kubantu memijatnya!” Kian Lee yang mengikuti ‘pertandingan’ itu dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.

“Cukuplah!” Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh tenaga mukjijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata, “Ciangkun, marilah kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara dengan mereka.”

Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu, “Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami.”

Kian Lee dan Kian Bu mengangguk. Sekarang Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguh pun dia juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka.

Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik, “Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya?”

Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, maka dia menjura sambil berkata penuh hormat, “Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana.”

“Aihhh...!” Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.

“Ahhh, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik? Silakan duduk... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik.” Panglima itu cepat berkata.

Mereka lalu duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Sampai-sampai dia menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!

Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata, “Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang.”

Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya. “Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki sinkang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini?”

Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu. “Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!”

Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu. “Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?” tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.

“Aih, kiranya Gak-suheng!” Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biar pun orang ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka menyebutnya suheng. “Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu.”

“Ahhh...!” Panglima Thio berseru kaget mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana. “Gak-taihiap... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah... adalah... dari Pulau Es...?”

Gak Bun Beng mengangguk.

“Maaf... maaf... alangkah bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!”

Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.

“Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?”

“Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu sudah dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu ke mana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu...”

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, dua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit yang buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima! Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan!

Gak Bun Beng dan dua orang sute-nya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata pemberontak!

Ketika memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya. “Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka dapat ketahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan mudah.”

“Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Tidak perlu khawatir, Ciangkun, biarlah kami yang pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia itu.”

Wajah panglima itu berseri. “Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih.”

“Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun,” kata Gak Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.

“Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi...,” Kian Lee membantah.

“Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!”

Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis. “Terima kasih atas bantuan kalian.”

Kian Bu lama termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengannya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata, “Tak kusangka... kiranya... kiranya... Sang Puteri... ahhh, sukurlah bahwa Anda selamat!”

Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis, “Terima kasih.”

Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Walau pun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, akan tetapi hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh meninggalkan puteri itu begitu saja. Dia percaya penuh akan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapa pun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan itu.

Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari Khi-ciang. Tiap malam bila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia pun menghela napas panjang. Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun?

Mengapa wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia seakan selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta kepadanya? Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya? Mengapa?

Cintakah ini? Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah. Tetapi perasaan ini selalu hendak dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguh pun dia yakin bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?

Betapa pun juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pembecontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!

Pertemuan mengharukan pun terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.

“Paman...!” Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.

“Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat ini.” Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai tamu agung.

Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan kedua orang sute-nya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!

“Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja.”

“Baik, Suheng, kami siap berangkat,” jawab Kian Lee.

“Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali...”

“Tidak... tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi.... Biarkanlah aku juga ikut ke Teng-bun,” puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permohonan.

Pertemuannya kembali dengan Bun Beng seolah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biar pun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani membalas cintanya karena Puteri Milana, dan walau pun selama pertemuan mereka sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tak pernah menyinggung soal cintanya, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya itu.

Pandang mata yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seakan-akan pandang mata itu merupakan tanda penyerahan seluruh jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.

“Kalau Sang Puteri ikut, kami akan... ikut melindunginya, Suheng,” tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat.

Mendengar suara sute-nya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng. Mengapa tidak? Dua orang sute-nya ini adalah dua orang pemuda yang hebat! Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya? Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang di antara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sute-nya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, dan putera dari Puteri Nirahai!

“Baik!” Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata, “Terima kasih!”

“Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!” kata Gak Bun Beng.

“Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap.” tiba-tiba Panglima Thio berkata. “Menurut penyelidikan, biar pun Teng-bun telah direbut pemberontak, tapi kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pemberontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan digeledah.”

“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun?” Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.

“Hanya ada dua cara,” panglima itu menjawab tegas. “Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Kedua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), yaitu masuk secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan di antara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat.”

Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda?

Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, sebab perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari mara bahaya.

Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau. Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang laln terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar matanya!

Ketika mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasehat Bun Beng kini menyebut ‘adik’ kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.

“Adik Syanti, kau pakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin.”

Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu sejak mula-mula bertemu, menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata, “Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali hatinya.”

Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mengucapkan ‘terima kasih’. Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, sangat tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu hanya terasa mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.

“Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri? Apa lagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!”

“Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan?”

Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan ‘adiknya’ duduk menghadapi api unggun.

Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat-cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja.

Apa lagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.

Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali.

Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan seorang di antara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu?

“Tidak boleh...!” Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.

“Apanya yang tidak boleh?” Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya.

Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.

“Apanya yang tidak boleh, Bu-koko?” Syanti Dewi bertanya lagi.

“Ah, tidak apa-apa... aku... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi.”

Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya. Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua dari pada dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat.

Tetapi keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya, Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, tetapi Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh. Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sute-nya itu!

Pada keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan matahari siang hari itu panasnya bukan main! Kedua pipi Syanti Dewi sampai kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh peluh, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biar pun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.

“Kau pakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari,” katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.

“Terima kasih, kau baik sekali,” kata Syanti Dewi yang menerima dan memakai topi itu di atas kepala.

Kian Bu memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu amat kasar dan bersahaja!

Rasa suka dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup, baik benda tampak mau pun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang dibenci itu terlihat selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain.

Rasa suka membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimana pun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!

Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir mau pun batin, yang selalu ingin menjauhkan ketidak nikmatan yang tak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi dirinya.

Karena itu timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tak menyenangkan dirinya. Jika batin kita telah dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan pasti selalu bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.

Betapa pun jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir mau pun batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin.

Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini! Pertentangan batin mau pun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini!


Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suheng-nya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu.

Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya hari yang amat panas itu telah memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang kebingungan.

Kian Lee berbisik kepada suheng-nya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Bun Beng mengangguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.

“Maafkan kami, Sobat.” Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat. “Karena kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini?”

Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata, “Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu kosong.”

Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada pelayan.

Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi keduanya lupa lagi kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya.

Pedang yang dibawanya itu, biar pun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang sute-nya.

Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang ketiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sute-nya itu!

Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena dianggap telah menodakan namanya.

Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak saling mengenal lagi.

Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biar pun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andai kata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal.

Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguh pun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu. Maka dia tidak berani sembrono, apa lagi dia pun kini telah berubah pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran Liong Khi Ong!

Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan.

Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng, musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri!

Dan juga ada hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam.

Mi bakso yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah. Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam ia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik! Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut luar ruangan.

Dari luar tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.

“Krakkk!” Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam warung.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu, dengan mi bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan.

Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada suheng-nya, dan Syanti Dewi, “Aku sudah memperoleh tempat duduk!”

Setelah berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas ‘bangku’ darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi bakso dari dalam mangkok ke dalam mulutnya!

Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya! Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik pemerintah.

Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sinkang pemuda itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!

Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung beras.

Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya. Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai. Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk ‘menanam’ balok itu ke lantai yang keras.

Apa lagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali. Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga ‘memasang’ balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi.

Melihat kejadian ini, banyak di antara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyum geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak terluput darl pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi? Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum simpul!

Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai niat tertentu.

“Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum,” tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.

Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.

“Pergilah kalian!” Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.

“Tidak!” Si Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi. “Kami mentaati perintah bengcu (ketua)...”

“Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!”

“Maaf, kami terpaksa...”

“Setan!” Tek Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar.

Empat orang itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya. Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok!

Akan tetapi dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan diri. Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi, segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang, untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa.

Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.

“Kiranya dia lihai juga!” Kian Bu berkata.

“Dia malah lebih lihai dari pada yang tampak, jauh lebih lihai jika saja ada kesempatan. Sungguh seorang pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini,” kata Bun Beng.

“Aku seperti pernah melihatnya, entah di mana...,” Kian Lee berkata.

“Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan...,” Kian Bu juga berkata.

“Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita,” kata Bun Beng.

Tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat menghindarkan diri atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi! Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka?

Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh bengcu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi bengcu dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan!

Diam-diam Tek Hoat mengerti bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng. Tentu saja bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, tetapi karena terhadap gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya, lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicintanya. Namun, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.

Karena dia harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu.

Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu bisa mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri pada pemberontak, maka dia segera menyatakan persetujuannya.

Apa lagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao.

Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.

Setelah mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menyelundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.

Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka, rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat!

Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak, sungguh pun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun. Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini.

Pembesar setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang memiliki kedudukan dan wewenang akan menggunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri.

Demikian pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang ‘panas’ itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat begitu saja tanpa gangguan.

Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.

“Menurut peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!” berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan.

Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu jadi naik darah. “Boleh saja menggeledah kami bertiga,” katanya.

“Hemm...!” Si Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya. “Kalian berempat, kenapa hanya bertiga yang harus digeledah? Harus keempat-empatnya...”

“Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga pria?”

“Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!”

Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia pasti akan mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!

“Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan orang?” bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga itu.

“Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!” Si Kurus membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan Bun Beng.

Pada saat itu pula, di antara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata, “Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya.” Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.

“Ah, terima kasih... harap Cu-wi sekalian maafkan...” Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras.

Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apa lagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya, “Terima kasih!”

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata itu memandangnya penuh kagum dan kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya.

Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. “Siapa suruh engkau mencampuri...?”

Akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata, “Terima kasih atas bantuanmu, Sobat.” Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata, “Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!”

Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata, “Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalau pun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap...”

“Ah, terima kasih, mana kami berani membikin repot Sicu? Biarlah kami cari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!” Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu, apa lagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena urusan pribadi.

Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan. “Lagaknya, seperti dia seorang yang punya uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!” Kian Bu mengomel.

“Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah?” Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.

“Bu-ko, orang itu baik, mestinya kita berterima kasih,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar.

Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan. Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk.

Mereka ini adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari keganasan manusia dalam perang. Tidak hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk bersimaharajalela.....

Cuaca sudah gelap, malam sudah tiba dan rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh tempat penginapan.

“Tidak mengapalah, Paman,” Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang! “Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang yang takut menghadapi kesukaran.”

Bun Beng tersenyum. Tentu saja dia tahu. Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi ke utara, di waktu dia sakit payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang gadis itulah yang merawatnya, yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam tidur di mana saja! Akan tetapi dia tahu pula bahwa Kian Bu bersikeras untuk mencarikan tempat penginapan yang baik bagi gadis itu!

“Suheng, bagaimana kalau aku memasuki sebuah di antara gedung-gedung besar itu? Aku boleh paksa seorang di antara mereka meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!” Kian Bu berkata.

Bun Beng menggeleng kepala. “Jangan mencari perkara di dalam suasana seperti ini, Sute. Biarlah kita melewatkan malam di pinggir jalan, kita pilih tempat yang agak sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti aku akan pergi ke Teng-bun untuk menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu menjaga Dewi di sini.”

Terpaksa Kian Bu menurut dan mereka lalu memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu duduk di atas tanah begitu saja. Banyak pula para pengungsi lain yang juga seperti mereka, melewatkan malam di pinggir jalan! Suasana makin tegang dan tampaknya malam itu akan terjadi sesuatu yang hebat. Bun Beng mulai penyelidikannya dengan mendengarkan percakapan-percakapan di antara kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ. Bermacam-macam keterangan diperolehnya tentang kota Koan-bun ini.

Ada yang mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang mengabarkan lagi bahwa malam itu juga pemberontak akan melakukan serangan. Pendeknya bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia menceritakan semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti Dewi sambil makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua orang kakak beradik itu sebagai bekal. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng menghentikan ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk tidak bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya.

Orang itu agaknya juga seorang pengungsi, sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan berjongkok, mengeluh panjang pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika tiba-tiba rombongan itu berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan tetapi sejak itu, sering sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang lain yang Bun Beng lihat adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia bahwa mereka telah dimata-matai atau diawasi!

Jalan itu makin ramai, dan makin banyak saja orang-orang yang berkelompok di tepi jalan. Agaknya mereka pun kehabisan tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di situ? Bun Beng mulai curiga dan dia memperingatkan kedua orang sute-nya agar waspada.

“Siapa tahu kalau-kalau mereka ini adalah pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung kita,” bisiknya.

“Sikat saja!” Kian Bu sudah bangkit dan memandang marah.

“Sstttt, tenanglah, Bu-te!” Kian Lee menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali. Kian Lee maklum bahwa adiknya itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan demam cinta itu membuat Kian Bu selalu ingin menonjolkan dirinya di depan gadis yang dicintanya.

Diam-diam dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu dapat lebih berbahagia dalam cintanya, tidak seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang berada di mana! Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa Lu Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang telah dipesannya selama mereka berdua melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka kini dalam kesempatan menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.

“Adik Syanti, aku... aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu,” katanya berbisik agar jangan terdengar orang lain kecuali mereka berempat. “Aku ingin bertanya tentang Lu Ceng atau Candra Dewi...”

“Aihhhh...!” Syanti Dewi hampir menjerit ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak terasa lagi air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian Lee dan Kian Bu terkejut.

Gak Bun Beng menghela napas panjang. “Sute, mengapa engkau menanyakan dia? Dia adalah adik angkat Dewi, dan sudah tewas secara menyedihkan sekali.”

“Justeru itulah yang akan saya bicarakan, Suheng! Adik Candra... dia itu... Nona Lu Ceng itu, dia belum mati!”

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, dan dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian Lee dengan tajam dan penuh teguran, kemudian dia berkata, “Sute, jangan bicara yang bukan-bukan! Aku sendiri telah turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus untuk menyelidiki dan baru turun sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah tewas.”

“Kami juga mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut, sungguh pun Jenderal Kao tidak bercerita tentang Suheng,” kata Kian Bu. “Akan tetapi... tenangkan hatimu, Moi-moi... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih hidup. Kami sudah berjumpa beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini kami melihat dia di kota raja!”

“Ahhh...! Be... benarkah? Benarkah itu?”

Kian Lee lalu menceritakan pertemuannya dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan betapa gadis itu melarikan diri tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao, betapa jenderal itu sekeluarganya menyembahyangi nona itu!

“Kami yakin dia masih hidup, Adik Syanti. Hanya saja entah mengapa dia tidak mau menjumpai siapa pun, seperti menyimpan rahasia...” Kian Lee berkata dengan nada duka.

“Aahhh, benarkah itu? Benarkah dia masih hidup...? Ahhh, Paman... semoga begitu...!” Syanti Dewi dalam kegembiraan dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng erat-erat dan air matanya bercucuran.

“Mudah-mudahan begitulah...! Dia seorang gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan penuturan Jenderal Kao,” kata Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya yang dipegang erat-erat oleh dara itu.

“Lee-ko, mengapa engkau menanyakan dia?” Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang wajah Kian Lee.

Untung mereka duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya menjadi gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab,

“Kami mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia adalah adik angkatmu, maka Lee-ko mengajukan pertanyaan tadi.”

Syanti Dewi menghela napas panjang. “Dia adalah seorang yang amat baik, dan biar pun hanya adik angkat, akan tetapi kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan diri....”

Lalu dengan suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpanginya terguling dan dia ditolong oleh Gak Bun Beng.

“Tadinya aku mengira dia tewas di sungai itu karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan tetapi, ternyata dia tidak tewas di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang dia di utara, tewas di sumur maut hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman Gak tiba di sana. Dan sekarang, kembali ada berita bahwa dia tidak mati... ya Tuhan, semoga benar demikianlah!”

“Sayang dia selalu melarikan diri...” Kian Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya untuk menyembunyikan perasaan hatinya. “Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah dapat bertemu dengan engkau, Moi-moi.”

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara genta yang dipukul keras sekali. Genta atau lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan dan kalau genta itu dipukul sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam bahaya! Keadaan menjadi geger! Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota itu malam-malam kedatangan pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang lebih seribu orang pasukan liar dan ganas dari suku bangsa biadab.

Pintu-pintu benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua prajurit lari hilir mudik dengan sibuknya. Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing, pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan sebaliknya karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan tidak karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di mana rombongan Bun Beng berada.

“Awas, siap dan jaga...!” Bun Beng berbisik dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok bayangan menerjangnya dengan pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan bayangan itu roboh tanpa bersuara karena sudah ditotoknya pingsan. Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan kedua orang saudara Suma juga cepat beraksi dan merobohkan beberapa orang.

Akan tetapi, mereka segera hanyut oleh banjir manusia yang saling dorong, karena ada pasukan berkuda yang lewat di situ. Itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu gerbang, siap untuk menerjang keluar. Saking paniknya, rakyat mengira bahwa itulah pasukan liar dan ganas yang dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat apa-apa lagi, satu-satunya keinginan hanya untuk lari menjauh sehingga terjadilah dorong-mendorong dan himpit-menghimpit. Biar pun Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun menghadapi arus manusia yang seperti air membanjir itu, mereka kewalahan juga. Tentu saja mereka tidak mungkin harus memukul semua orang yang tidak berdosa itu karena orang-orang itu juga terdorong dan terdesak serta terhimpit oleh arus manusia.

“Dewi...!”

“Moi-moi...!”

Bun Beng dan Kian Bu berusaha sekuat mungkin untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus manusia, namun tidak mungkin lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak ada lagi tempat untuk kaki berpijak dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus manusia dan melihat betapa Syanti Dewi makin menjauh dari mereka!

“Paman...!” Syanti Dewi menjerit, akan tetapi jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan wanita dan kanak-kanak lain yang terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik dan geger, seolah-olah dunia sedang kiamat.

Karena keadaan gelap, maka kini topi caping buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti Dewi hampir tidak tampak lagi dan tiba-tiba saja topi itu lenyap.

“Dewi...!”

“Moi-moi...! Moi-moi...!” Kian Bu berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat, akan tetapi setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti Dewi tadi, gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi.

Sepasukan tentara yang datang melalui jalan itu membelah arus manusia. Karena takut para pengungsi itu saling desak memberi jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus manusia yang tadinya memenuhi jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke tepi jalan di kanan kiri. Bun Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia terpaksa terdorong ke kiri jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang lain dan tak lama kemudian Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena obor-obor yang dibawa para prajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi gelap lagi.

Dia merasa khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu. Betapa pun juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk menjaga diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu tentu juga berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali.

Tiba-tiba seorang wanita setengah tua yang berada di tempat itu, tidak jauh dari tempat dia berdiri, menjerit dan roboh. Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat keluar dari himpitan manusia. Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan dalam keadaan masih berdiri di antara himpitan orang-orang! Melihat ini, tentu saja semua orang berusaha menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan, menarik dan memanggul tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar darl himpitan dan menuju ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu berdesakan. Orang-orang itu berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan pergi dari tempat itu mencari tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di seluruh kota keadaannya sama saja, semua orang dalam keadaan panik dan geger.

Bun Beng menurunkan tubuh wanita itu, memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan darah sehingga wanita itu mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak dapat berdiri karena kakinya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang dalam himpitan tadi.

“Ouhhhh... kakiku...” keluhnya dengan muka pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit bibirnya. “Terima kasih... atas bantuan Tuan...”

“Kau tidak bisa jalan?” Bun Beng lalu bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu.

Wanita itu menggeleng kepalanya.

“Di mana rumahmu? Apakah engkau juga pengungsi?”

“Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di sana itu...”

“Kalau begitu, mari kuantar ke sana,” kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.

“Ahh, engkau sungguh amat baik, Tuan...” Pelayan itu berkata dengan terharu.

Semenjak kecil, selamanya dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biar pun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!

“Dalam keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong...” Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati pelayan ini.

Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.

“Eh, Kim-ma, engkau kenapa?”

Mereka itu cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya! Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah tergesa-gesa.

Melihat empat orang ini Bun Beng menjadi heran sebab tentu saja ia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang.

Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-laki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap bengcu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.

“Tangkap mata-mata!” bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun Beng. Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.

Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya. Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali.

Sebagai anggota-anggota Tiat-ciang-pang, biar pun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh bengcu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.

Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini kemudian melakukan pengejaran dan mereka pun memasuki kota Koan-bun. Melihat pergolakan di situ, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka! Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka yang dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah.

Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi keluar dari pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan membuat Bun Beng terpaksa berhenti dan menengok.

Terkejut jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang tergantung di depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak dengan cepat dan sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri dari bermacam orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua, pakaian dan sikap mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.

“Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!” bentak seorang di antara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya.

Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang di antara mereka telah meloncat maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu langsung terlempar lima meter jauhnya dan terbanting terguling-guling!

Semua orang terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini. “Kau melawan? Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!” Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju.

Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini di antara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.

“Mundur semua...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. “Dia bukanlah lawan kalian, biarkan aku saja yang menghadapinya!” Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya adalah seorang wanita yang memiliki khikang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng.

Maklum bahwa dia kini berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat dibokong musuh.

Wanita itu yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa ginkang-nya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang pandai.

Kini mereka berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak roboh.

Wanita itu amat cantik biar pun usianya sudah mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga puluh lima tahun. Pakaiannya indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti bintang dan bersinar tajam sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan tetapi pada saat itu, dia pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.

“Kau... kau...?” Bun Beng berhasil mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia tidak mengira akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.

“Kau... Gak... Suheng... aughhhh...!” Puteri Milana memejamkan matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata itu mengalir keluar, napasnya sesak dan lehernya seperti dicekik rasanya, dia terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke leher dan tentu sudah roboh ke atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat menyambarnya.

“Milana... Sumoi...!” Dia berbisik.

Sejenak dia mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh perasaan rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu ke dalam tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi. Air matanya bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan seekor binatang yang terluka. Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan Milana dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang kang-ouw itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.

“Tahan...!” Beberapa orang kang-ouw meloncat dan mengepung dengan pedang di tangan.

“Saudara-saudara, mundurlah! Dia adalah suheng dari Sang Puteri!” Tiba-tiba orang tua yang pertama kali menegur Bun Beng itu berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun Beng sambil menjura. “Gak-taihiap, maafkanlah saya tadi yang tidak mengenal Taihiap.”

Kini Bun Beng teringat semua. Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang selama ini menutupi ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan keadaan di sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.

“Ahhh, engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia menderita pukulan batin, harus cepat ditolong,”

“Silakan, Taihiap...”

Pada saat itu muncullah seorang perwira dan dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu. Dia tadi pun sudah keluar dan menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan antara Hoo-ciangkun dengan laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu, dia pun cepat-cepat mempersilakan Bun Beng masuk.

Dengan pengerahan sinkang-nya, Gak Bun Beng menyalurkan hawa hangat untuk membantu Milana yang telah direbahkan di atas pembaringan itu agar siuman kembali. Mereka hanya berdua di kamar itu karena para orang kang-ouw tidak ada yang berani tinggal di situ, juga para pelayan disuruh keluar oleh Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa percakapan antara mereka setelah Milana siuman nanti tidak boleh didengar oleh lain telinga.

Milana mengeluh lirih, dan begitu membuka matanya dia memandang ke kanan kiri sambil memanggil, “Suheng... Gak Bun Beng...”

“Aku di sini, Sumoi.”

Milana menengok, melihat Bun Beng mendekati pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya merangkul, mukanya disembunyikan ke atas dada pria yang selamanya dicintanya ini dan dia menangis.

“Suheng, mengapa engkau menghilang selama belasan tahun ini...?”

Bun Beng menarik napas panjang. “Sumoi, apa kebaikannya kita saling bertemu?”

“Suheng, aku menderita selama ini...”

“Jangan mengira aku pun hidup bahagia, Sumoi...”

Hening sejenak, hanya terdengar isak Milana di atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa diri dan dia merangkul, mengelus rambut yang halus itu, seperti dulu, belasan tahun yang lalu, sudah lama sekali, ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut itu penuh kasih sayang.

“Suheng, kau... kau kejam...,” Milana terisak.

“Ahh, Milana, mengapa kau bisa berkata demikian...?”

Bukankah dara kekasihnya itu yang dulu lebih dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega menuduhnya demikian maka dia melanjutkan, “Nasib kita yang kejam, Sumoi... dan... dan ingatlah, kau sudah bersuami, tidak baik begini...”

“Akan tetapi aku... aku....”

Milana tidak melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan Milana. Mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak ada gunanya lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu macam kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing.

Mata Milana berkedip-kedip, bibirnya mulai tersenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi. “Gak-Suheng, kau memang nakal. Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam duka dan tidak pernah muncul lagi? Mengapa ketika bertemu di kota raja kau lantas melarikan diri? Suheng, aku masih Milana, sumoi-mu yang dulu itu...”

Bun Beng menggeleng kepalanya. “Sungguh pun bagiku engkau masih Milana yang dulu, takkan pernah berubah sampai aku mati, akan tetapi... tidak boleh begitu, Sumoi, suamimu...”

“Hushhh, baiklah, kita tidak bicara tentang itu sekarang ini. Belum waktunya, Suheng, apa lagi aku menghadapi tugas berat menumpas pemberontak. Kita sudah siap. Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan dari kota raja dan dari sisa pasukannya yang melarikan diri dari Teng-bun. Pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan peristiwa mengagetkan tetapi juga membahagiakan, baik bagiku pribadi mau pun bagi perjuangan menumpas pemberontak karena aku memperoleh bantuan yang luar biasa berupa tenagamu, Suheng, dan...”

Tiba-tiba dua orang berlari memasuki kamar itu dengan sikap tegang. Mereka itu adalah Perwira Phang pemilik gedung itu dan Hoo-ciangkun pembantu Milana. “Celaka, rumah ini telah terkurung oleh pasukan pemberontak!”

“Hemm, bagaimana mungkin mereka tahu? Kita semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan para pelayan pun tidak ada yang keluar...”

“Ada seorang pelayan wanita tua yang terhimpit dan kutolong tadi,” tiba-tiba Bun Beng berkata.

“Ah, Kim-ma! Benar juga!” Phang-ciangkun membanting kakinya.

“Kiranya dia telah dibeli oleh pemberontak. Tentu dia yang membocorkan rahasia bahwa Paduka berada di sini!” katanya kepada Milana.

“Tidak perlu gelisah. Kita dapat dengan mudah menerjang ke luar. Akan tetapi bagai mana dengan berita pasukan asing itu?”

“Agaknya itu pasukan dari barat yang datang melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri. Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah pula dikurung pasukan pemberontak.”

“Hemm, sudah waktunya bagi kita untuk pergi. Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota ini untuk bergabung dengan Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu kami.”

“Tentu saja aku suka membantu, Sumoi. Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu mencari Syanti Dewi...”

“Puteri Bhutan? Kiranya engkau yang telah menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku sudah mengutus dua orang adikku...”

“Aku sudah berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku sudah menyelamatkan puteri itu. Kami berempat tiba di sini dan tadi di dalam keributan, Sang Puteri itu terpisah dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku akan mencari mereka lebih dulu...”

Terdengar suara hiruk-pikuk di luar dan agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan pemberontak yang mengepung. “Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami pun membutuhkan tenaga bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang adikku merupakan tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang Tiat-ciang-pang lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan bagi kita...”

“Si Gendut tadi...”

“Ya, dan masih banyak lagi. Nah, mari kita keluar. Suheng, selamat berpisah... dan...” Karena di situ terdapat banyak orang, Milana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya pandang matanya saja yang penuh arti dapat diterima oleh Bun Beng.

Sudah jelas bagi pendekar ini bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi menyembunyikan diri lagi, agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia hanya mengangguk, dan mereka semua segera lari keluar setelah Puteri Milana dan para perwira menyambar barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan terjatuh ke tangan pemberontak.

Di luar terjadilah pertandingan yang berat sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu para prajurit anak buah Perwira Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain jumlahnya dua puluh orang lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi begitu Milana, Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan menerjang, mereka mawut, roboh dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon yang tumbang diterjang sekawanan gajah mengamuk.

Dengan sangat mudahnya Milana bersama para pengikutnya merobohkan semua pemberontak, lalu lari ke luar dan menghilang di dalam kegelapan malam. Bun Beng juga merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ, jantungnya masih berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh pertemuan yang tidak terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu.

Dapat dibayangkan betapa khawatir hati Kian Bu melihat betapa Puteri Syanti Dewi kini tidak kelihatan lagi. Tadinya dia masih dapat melihat topi caping buatannya itu yang dapat dijadikan tanda di mana adanya Sang Puteri, akan tetapi kini tanda itu pun lenyap pula ditelan kegelapan dan ditelan arus manusia.

“Celaka, Lee-ko, kita harus mengejarnya!”

“Tenanglah, Bu-te. Kulihat tadi dia bergerak mengikuti arus ini, mari kita maju terus ke sana,” jawab Kian Lee.

Kian Bu menjadi tidak sabar karena cemasnya. Dia menjadi kasar dan dengan nekat dia mendorong sana-sini di antara orang-orang itu. Melihat sikap adiknya, Kian Lee hanya menggeleng kepala, akan tetapi agar jangan sampai tertinggal dan terpisah dari adiknya pula, dia pun terpaksa menggunakan kedua tangannya untuk membuka jalan sehingga ke mana pun kedua orang muda ini bergerak, orang-orang di depannya berteriak-teriak dan terdorong ke kanan kiri, tidak kuat menahan dorongan tangan kedua orang muda yang amat kuat itu.

Namun, sampai pagi kedua orang muda itu masih belum berhasil menemukan Syanti Dewi sehingga tentu saja mereka berdua, terutama sekali Kian Bu, menjadi sangat gelisah. Orang-orang tidaklah berdesak-desakan seperti tadi lagi dan keduanya dapat mengaso dan duduk di tepi jalan yang masih penuh orang hilir mudik.

“Jangan gelisah, Bu-te. Tentu Suheng juga mencarinya, mungkin mereka berdua sudah berkumpul kembali, tinggal kita yang harus mencari mereka.”

“Mudah-mudahan begitu, Lee-ko. Akan tetapi... hatiku khawatir sekali. Jangan-jangan hilangnya adik Syanti Dewi memang dibuat orang. Ingat saja mereka yang mengepung kita ketika keributan itu mulai.”

Sejenak mereka mengaso, kemudian mereka berjalan lagi. Dalam keadaan cemas dan gemas itu, Kian Bu dan Kian Lee mendorong lagi ke kanan kiri mencari jalan. Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali ketika lengan kanannya sedang mendorong orang di sebelah depan, sebuah lengan lain menangkisnya dengan keras sekali.

“Dessss...!”

Karena tak mengira bahwa dia akan ditangkis orang sedemikian hebatnya, pula karena memang dia hanya menggunakan sedikit tenaga saja untuk mendorong, Kian Lee lalu terdorong oleh tangkisan itu dan terhuyung ke belakang, menabrak beberapa orang yang tentu saja menjadi marah-marah,

“He, apa kau buta?”

“Kurang ajar, jalan begini lebar menabrak orang!”

Banyak makian dari orang-orang yang sudah cemas dan marah itu kepada Kian Lee yang masih terhuyung-huyung. Untuk menjaga agar tidak sampai roboh terpelanting, Kian Lee mengeluarkan tenaganya mencengkeram ke arah baju orang terdekat, yaitu seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus yang memanggul pikulan.

Akan tetapi, tiba-tiba orang itu terhuyung ke samping sehingga cengkeraman Kian Lee luput dan seperti tidak disengaja, pikulannya menyambar karena tangan Kian Lee yang luput mencengkeram baju tadi.

“Plakkk!”

Kian Lee sudah dapat mengatur keseimbangan badannya dan dia menarik tangannya sambil menyeringai. Sakit bukan main punggung tangannya dihantam ujung pikulan tadi. Dia memandang dengan marah, akan tetapi orang itu seperti tidak tahu apa-apa dan Kian Lee menahan kemarahannya. Orang itu tidak bersalah, pikirnya, karena dia sendirilah yang salah mendorong orang. Dia melirik ke depan dan melihat seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok kasar seperti kawat, sedang berdiri bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan mata melotot. Kian Lee terkejut.

Dia maklum bahwa laki-laki brewok ini dan Si Pembawa Pikulan adalah orang-orang pandai dan dia heran sekali mengapa di tempat itu terdapat begitu banyak orang pandai. Dia terkejut ketika mendengar ribut-ribut di sebelah belakangnya. Ketika dia menoleh, dia melihat Kian Bu sudah bersitegang dengan seorang yang berpakaian sastrawan, seorang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, sikapnya halus akan tetapi sinar matanya liar.

Cepat dia menghampiri adiknya yang sudah mengepal tinju hendak menyerang sastrawan itu.

“Bu-te, jangan berkelahi!”

“Habis dia hendak membokongmu, Lee-ko. Ketika kau terhuyung tadi, aku melihat dia menghampirimu dan tentu saja aku menangkap tangannya agar tidak memukulmu.”

“Hemm, bocah lancang. Kalau aku memukulnya, apakah dia masih bisa bicara denganmu?” Sastrawan itu berkata halus akan tetapi penuh dengan ejekan.

“Sudahlah, Bu-te, mari kita pergi.” Kian Lee menangkap tangan adiknya dan diajak pergi dari situ. Dia maklum bahwa kecemasan hati adiknya karena kehilangan Syanti Dewi membuat adiknya itu menjadi pemarah. Setelah pergi agak jauh Kian Lee berkata, “Mereka bertiga tadi bukanlah orang sembarangan.”

“Aku pun menduga begitu, akan tetapi aku tidak takut!”

Kian Lee tersenyum. “Siapa takut? Akan tetapi, dalam keadaan kacau seperti ini tidak baik kalau mencari permusuhan. Tugas klta belum selesai, kita belum menyelidiki sesuatu, bahkan kini kita berpisah dari Suheng dan Syanti Dewi. Kalau kita melibatkan diri dalam perkelahian yang tidak ada sebabnya, tentu lebih repot lagi. Hayo kita terus mencari, dekat pintu depan gedung besar itu banyak orang-orang, siapa tahu mereka berada di sana.”

“Minggir! Minggir!”

Orang-orang cepat minggir ketika dari dalam pekarangan gedung itu keluar sebuah kereta berkuda, dikawal oleh selosin tentara di depan dan selosin lagi di belakang. Kian Lee dan Kian Bu ikut minggir, akan tetapi ketika tirai kereta tersingkap sedikit, mereka dapat melihat Si Pemuda tampan berpedang dan seorang laki-laki tua duduk di dalamnya. Mereka tidak tahu siapa lagi yang berada di dalam kereta itu karena tirainya sudah tertutup kembali.

“Lee-ko...!” Tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya. “Kau melihat pemuda itu?”

Kian Lee mengangguk. “Dia muncul di mana-mana, sungguh aneh.”

“Ingat sikapnya kepada Syanti? Jangan-jangan dia yang menculiknya, jangan-jangan Syanti berada di dalam kereta itu!”

“Ah, mungkinkah itu...?”

“Mari kita mengikuti kereta itu, Lee-ko!”

Kian Lee mengangguk dan keduanya lalu menyelinap di antara orang banyak, mengikuti kereta berkuda yang dikawal ketat itu. Untung jalan terhalang banyak orang sehingga kereta itu tidak terlalu cepat jalannya dan dapat diikuti terus oleh mereka yang harus menyelinap ke kanan kiri agar jangan menabrak orang lain. Kereta itu menuju ke sebuah rumah gedung besar sekali yang letaknya di dekat tembok benteng. Itulah rumah kepala daerah!

Melihat kereta itu memasuki pintu gerbang halaman gedung, dan karena semua penjaga sibuk menyambut kereta itu dengan pengawasan ketat sehingga mereka agak lengah, Kian Lee dan Kian Bu mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat dan memasuki kebun samping gedung itu, terus menyelinap dan bersembunyi di antara tetumbuhan kembang di tempat itu, perlahan-lahan mendekati gedung.

Melihat besarnya gedung itu, mereka makin bersemangat karena menyangka bahwa tentu dara yang mereka cari berada di gedung itu, entah menjadi tamu entah menjadi tawanan. Teringat mereka ketika pemuda tampan itu menawarkan tempat penginapan kepada Syanti Dewi. Bukan hal tidak mungkin bahwa ketika terpisah dari mereka, Syanti Dewi tertolong oleh pemuda berpedang itu dan dibawa ke gedung ini!

Dua orang pemuda itu tentu saja tidak pernah menduga bahwa mereka telah memasuki tempat yang dijadikan sarang dan pertemuan oleh para pimpinan pemberontak! Gedung itu adalah milik Kepala Daerah yang pada saat itu telah tewas dibunuh oleh Tek Hoat, dan keluarganya semua ditahan di dalam gedung dan dijaga. Pendeknya, tanpa ada yang mengetahuinya, Tek Hoat dan anak buahnya telah merampas gedung ini dan dijadikan tempat pertemuan dengan diam-diam dan tentu saja gedung Kepala Daerah itu tidak dicurigai orang.

Ketika itu, di dalam ruangan yang paling dalam dari gedung itu, tampak beberapa orang sedang duduk berunding. Mereka ini bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka merupakan puncak pimpinan para pemberontak dan tokoh-tokoh sakti yang membantu mereka. Seorang yang berpakaian panglima tinggi duduk memimpin perundingan itu dan mereka semua sedang mempelajari sebuah peta gambar dengan diterangkan oleh panglima tinggi itu. Panglima itu bukan lain adalah Panglima Kim Bouw Sin, bekas wakil Jenderal Kao Liang yang telah memberontak dan menjadi kaki tangan nomor satu dari kedua orang Pangeran Liong di kota raja!

Di belakang panglima ini kelihatan dua orang pengawalnya yang amat diandalkan, dan yang telah membebaskannya dari tahanan di Teng-bun tempo hari, yaitu dua orang kakek kembar Siang Lo-mo! Dua orang kakek kembar ini oleh Pangeran Liong Bin Ong sendiri dikirim ke Teng-bun untuk mengepalai pembebasan Kim Bouw Sin dan selanjutnya diangkat sebagai pengawal pribadi panglima yang amat penting bagi gerakan pemberontakan itu. Juga terdapat beberapa orang perwira pembantu yang mulai memperoleh tugas dan petunjuk dari Panglima Kim Bouw Sin untuk mengamati gerakan pemberontakan mereka yang dianggap sudah matang untuk mulai digerakkan. Akan tetapi mereka sedang bingung juga menghadapi munculnya pasukan liar secara tiba-tiba itu.

Mereka sedang merundingkan soal pasukan liar itu ketika pengawal datang mengiringkan Tek Hoat dan orang tua yang duduk di dalam kereta. Semua orang bangkit berdiri lalu memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ketika orang tua itu masuk. Kiranya orang ini bukan lain adalah Pangeran Liong Khi Ong, orang kedua dari biang keladi pemberontak! Kini lengkaplah tokoh-tokoh pemberontak berkumpul dan berunding di situ.

Panglima Kim Bouw Sin secara lengkap melaporkan keadaan mereka kepada pangeran tua itu. “Seribu orang pasukan liar itu menurut hasil penyelidikan adalah pasukan dari barat dan kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri yang belum kelihatan muncul. Kami masih sangsi harus mengambil tindakan apa dan kami semua menanti keputusan dari Paduka Pangeran,” Kim Bouw Sin berkata.

“Hemmm, orang-orang liar itu menambah repot saja,” Liong Ki Ong berkata. “Padahal menurut penyelidikan, Milana juga sudah bergerak, bahkan wanita itu sudah pula meninggalkan kota raja secara diam-diam, kabarnya mengerahkan orang-orang pandai untuk menghadapi gerakan klta. Juga berita rahasia menyampaikan bahwa pasukan istimewa dari kota raja sudah diberangkatkan. Hal ini harus kita selidiki dan jangan sampai kita kedahuluan oleh mereka,” Liong Ki Ong berkata.

“Selain itu, juga Jenderal Kao Liang telah mengirim beberapa orang penyelidik ke Koan-bun sini dan ke Teng-bun, maka kita harus lebih waspada,” berkata pula Kim Bouw Sin. “Kabarnya, ada beberapa orang yang mencurigakan telah berada di kota ini, akan tetapi kami telah menyebar mata-mata sehingga Paduka tidak perlu khawatir.”

“Yang mengkhawatirkan hanyalah gerakan Puteri Milana dan datangnya pasukan liar dari Tambolon itu,” kata Liong Khi Ong. “Bagaimana pendapatmu, Tek Hoat?” Pangeran ini selalu mengandalkan nasehat pembantunya yang amat lihai ini.

“Sudah jelas bahwa Puteri Mllana tentu menggunakan tenaga orang-orang pandai dari golongan kang-ouw. Akan tetapi harap Paduka jangan khawatir karena saya pun sudah mengerahkan bantuan kaum hek-to. Sayang saya tidak dapat mengerahkan seluruh anggota kaum sesat karena hanya sebagian saja yang tunduk kepada saya, akan tetapi jumlah mereka cukup banyak. Sebagian sudah saya suruh, bersiap-siap di kota raja menanti saat penyerbuan dan sebagian lagi saya suruh bersiap-siap di sekitar Teng-bun. Ada pun puteri itu sendiri, biar pun kabarnya amat lihai, namun saya tidak jeri menghadapinya, apa lagi di sini terdapat Siang Lo-mo.”

Dua orang kakek kembar itu mengangguk-angguk. “Dia memang hebat, tapi kami tidak takut,” kata Pak-thian Lo-mo.

“Dengan ilmu kami yang baru, sekali ini kami sanggup mengalahkannya,” kata pula Lam-thian Lo-mo.

“Bagus! Kalau begitu kita tidak perlu mengkhawatirkan orang-orang kang-ouw yang membantu Puteri Milana. Akan tetapi, bagaimana dengan pasukan liar itu? Walau pun Tambolon pernah bersekutu dengan kita, tetapi kedatangannya ini hanya mengacaukan rencana kita saja. Bagaimana baiknya?”

“Pasukannya hanya seribu orang, kalau menggempurnya sekarang saya kira tidak banyak kesukaran. Dalam waktu sehari saja saya sanggup membasmi mereka semua, cukup mengerahkan lima ribu orang saja!” Kim Bouw Sin berkata.

“Saya kira itu bukan merupakan siasat yang baik, Kim-ciangkun,” kata Tek Hoat. “Dalam keadaan seperti sekarang ini, menghadapi kekuatan kerajaan yang besar dan kuat, kita harus menyimpan tenaga, bahkan kalau perlu menambah kekuatan kita. Tambolon datang pada saat kacau ini tentu hanya untuk mencari kesempatan baik guna mengeduk keuntungan, maka mengapa kita tidak bujuk saja mereka? Biarlah kita suruh mereka menyerbu dusun Ang-kiok-teng dan menggempur pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Thio Luk Cong dengan janji menyerahkan dusun itu kepadanya! Ini hanya siasat untuk sementara saja, biar anak buahnya menjadi puas merampok, membunuh dan memperkosa. Selain hal ini melemahkan kedudukan musuh, juga kita mendapatkan bantuan mereka. Kelak, apa sih sukarnya menendang mereka keluar kalau urusan sudah selesai?”

“Bagus!” Pangeran Liong Khi Ong menepuk-nepuk tangan. “Bagus, Tek Hoat. Akalmu ini memang hebat. Bagaimana pendapatmu, Ciangkun?” Liong Khi Ong bertanya sambil memandang kepada semua orang.

Panglima Kim bersama semua perwira mengangguk-angguk. Memang siasat itu baik sekali.

“Kalau begitu, sekarang juga hubungilah Tambolon, Kim-ciangkun. Sebaiknya kalau engkau sendiri yang berhadapan dengan dia agar dia percaya penuh.”

Kim Bouw Sin mengangguk lalu bersama dua orang kakek kembar yang menjadi pengawalnya dan beberapa orang perwira meninggalkan tempat itu. Mereka langsung menuju ke benteng dan naik ke benteng itu mengatur siasat. Seorang kurir diutus menyerahkan surat panggilan kepada pimpinan pasukan liar yang bertenda di luar kota itu.

Tak lama kemudian muncullah tiga orang penunggang kuda, yaitu seorang komandan pasukan liar yang dikawal oleh dua orang tinggi besar. Mereka ini dipersilakan turun di atas jembatan gantung, lalu komandan pasukan liar yang rambutnya awut-awutan dan dahinya diikat kain putih itu melangkah maju dengan kasar dan sombong. Dia menoleh ke kanan kiri dan memandang rendah kepada barisan penjaga, kemudian bertemu di tengah jembatan dengan Panglima Kim Bouw Sin.

Begitu bertemu, dia bertolak pinggang dan suaranya keras dan kasar sekali ketika dia bertanya, “Urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Dia mengerti bahasa Han, akan tetapi bahasa itu diucapkan dengan kaku dan tidak memakai banyak peraturan sopan santun.

Kim Bouw Sin mendongkol. Orang ini hanyalah seorang perwira pasukan liar yang besarnya hanya seribu orang. Kalau dia menghendaki, betapa mudahnya membasmi mereka habis! Dan orang ini bersikap demikian kasar kepadanya, padahal dia adalah panglima besar barisan pemberontak yang kelak tentu akan menjadi panglima besar dari pemerintah baru di kerajaan! Sekarang pun dia telah mengepalai barisan yang tidak kurang dari lima laksa orang banyaknya!

“Apakah engkau komandan dari pasukan yang berada di luar itu?” Panglima Kim Bouw Sin bertanya.

“Benar, akulah orang yang diserahi pimpinan atas pasukan maut kami itu!” jawab Si Komandan dengan bangga.

“Kalau begitu, kami persilakan Ciangkun untuk masuk ke dalam benteng agar kita dapat mengadakan perundingan.”

“Ha-ha-ha-ha, apa lagi yang hendak dirundingkan? Tugasku hanya memimpin pasukan, istirahat, menggempur, membasmi, menawan atau membunuh. Kami sedang menanti perintah, begitu perintah tiba kami akan menghancurkan dan membumi hanguskan kota ini, ha-ha-ha!”

Tentu saja Kim Bouw Sin menjadi makin marah. Kalau saja tidak ingat akan perintah Pangeran Liong Khi Ong, tentu dia sudah menyuruh tangkap dan bunuh komandan pasukan asing ini.

“Kalau begitu, dengan siapakah kami harus berunding?”

“Tentu saja dengan pimpinan kami, dengan raja kami yang sakti dan yang sudah siap menghancurkan kota ini.”

“Hemm, dengan Raja Tambolon? Kalau begitu, di mana adanya beliau?”

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan beberapa orang penjaga di pintu benteng itu terlempar ke kanan kiri. Muncullah tiga orang laki-laki dan seorang di antara mereka lalu menudingkan ibu jari kiri ke hidungnya sendiri sambil berkata, “Inilah adanya aku, Raja Tambolon!”

Kim Bouw Sin terkejut sekali dan menoleh. Orang yang mengaku sebagai Raja Tambolon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka brewok, kelihatan kasar dan kuat, matanya terbelalak lebar penuh kebengisan. Biar pun pada saat itu orang ini berpakaian seperti seorang petani atau buruh kasar, namun jelas betapa sikapnya keagung-agungan dan sikap ini adalah sikap orang yang biasanya ditaati perintahnya.

Orang kedua yang berada di sebelah kiri Raja Tambolon yang menyamar itu adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus, bersikap angkuh dan pandang matanya seperti pandang mata seorang guru besar terhadap murid-muridnya, tangan kirinya memegang sebatang pikulan keranjang kosong di pundak kirinya. Ada pun orang ketiga yang berusia empat puluh tahunan, termuda di antara mereka, adalah seorang berpakaian sastrawan miskin dan berada di belakang raja suku bangsa liar itu.

Panglima Kim Bouw Sin bermata tajam dan dapat mengenal orang. Jelas bahwa tiga orang yang menyamar ini bukanlah orang-orang biasa dan komandan pasukan liar di depannya itu tertawa sambil memandang kemudian memberi hormat dengan sigapnya kepada Raja Tambolon, maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata, “Maafkan kami yang tidak mengenal sehingga tidak mengadakan penyambutan!”

“Ha-ha-ha!” Raja Tambolon tertawa bergelak. “Kami pun tidak membutuhkan sambutan melainkan diam-diam menyelinap ke dalam. Kalian lihat betapa mudahnya kalau kami melakukan gerakan, ha-ha-ha. Engkau tentu Kim Bouw Sin Tai-ciangkun yang terkenal itu, bukan?”

“Benar, Ong-ya. Kami persilakan Ong-ya untuk masuk ke benteng dan mengadakan perundingan bagi keuntungan kita bersama.”

“Bagus, bagus! Ha-ha-ha, Kimonga, kau tarik mundur semua pasukan. Kirim gerobak untuk mengambil ransum dari kota ini dan... heh-heh-heh, Tai-ciangkun, engkau tentu tidak begitu pelit untuk memberi sekedar hiburan kepada anak buah pasukanku, bukan? Ha-ha-ha!”

“Jangan khawatir, Ong-ya,” berkata panglima itu dan mereka lalu memasuki benteng untuk mengadakan perundingan seperti yang telah direncanakan oleh Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong tadi.

Selagi Panglima Kim Bouw Sin yang dikawal oleh kedua orang kakek kembar Siang Lo-mo memasuki kamar perundingan di dalam tempat penjagaan di benteng bersama Raja Tambolon yang dikawal ketat oleh dua orang pengawalnya yang menyamar sebagai sastrawan dan petani itu, di gedung kepala daerah yang telah dijadikan sarang para pimpinan pemberontak itu terjadi geger.

Ternyata bahwa tidak hanya bekas gedung Kepala Daerah ini yang kini telah dikuasai pemberontak dan dijaga oleh pasukan yang telah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan malam ketika terjadi keributan itu, pihak pemberontak sudah mempergunakan kesempatan itu untuk bertindak. Bukan hanya Perwira Phang yang diserbu sehingga Puteri Milana dan yang lain-lain terpaksa melarikan diri, juga semua perwira yang setia kepada pemerintah disergap dan dibunuh!

Pasukan dikuasai dan mereka yang melawan dibunuh, dan banyak pula yang melarikan diri. Mereka yang menakluk masih dipergunakan berikut para perwira mereka yang menakluk sehingga penjagaan tetap dapat dilakukan, hanya kini dicampur dengan pasukan dari pemberontak, diawasi oleh perwira-perwira dari pemberontak. Demikian hebatnya pengaruh pemberontak sudah mencengkeram Koan-bun yang hanya sepuluh li jauhnya dari Teng-bun, sehingga dalam waktu semalam saja tanpa banyak perlawanan kota benteng itu telah terjatuh ke tangan pemberontak yang operasinya dipimpin sendiri oleh Panglima Kim Bouw Sin.

Pengambil alihan kota Koan-bun itu terjadi secara diam-diam dan dengan amat mudah sehingga pasukan dari Teng-bun hanya tinggal masuk saja melalui pintu benteng yang sudah dibuka lebar. Dan semua peristiwa ini ditonton oleh pasukan Tambolon yang berkemah di luar kota sambil tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi secara liar tanpa melakukan sesuatu karena mereka menanti perintah dari pemimpin besar mereka, yaitu Raja Tambolon yang bersama dua orang pengawalnya menyelundup masuk kota Koan-bun. Maka ketika datang kurir dari Panglima Kim Bouw Sin, komandan pasukan Kimonga yang datang memenuhi undangan itu tidak berani mengambil keputusan apa-apa.

Tentu saja semua peristiwa ini diketahui dengan baik oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil tindakan, bahkan membiarkannya saja karena merasa belum tiba waktunya. Pada saat itu pula, Jenderal Kao sedang menyusun kekuatan dan diam-diam telah melakukan persiapan-persiapan untuk segera menumpas pemberontak dan sekaligus membasmi pasukan liar yang dipimpin Raja Tambolon yang telah muncul di tempat itu.

Pasukan Tambolon ini terdiri dari pasukan inti, pasukan pilihan dan anggotanya terdiri dari bermacam suku bangsa, campuran dari suku bangsa Tibet, Mongol, Turki dan ada pula orang Han bekas anggota Pek-lian-kauw. Namun mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang liar dan ganas, pandai berkelahi dan berani mati.....

Sementara itu, kegegeran pagi hari itu di gedung Kepala Daerah disebabkan oleh Kian Lee dan Kian Bu. Seperti diketahui, dua orang kakak beradik itu berhasil menyelundup masuk ke taman bunga gedung itu dan diam-diam mereka menghampiri gedung dan terus saja mereka menyelinap masuk melalui pintu belakang dan ubek-ubekan mencari Syanti Dewi! Mereka telah menangkap pelayan sampai lima orang banyaknya yang mereka paksa mengaku, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang tahu tentang Syanti Dewi. Terpaksa mereka menotok pingsan para pelayan itu dan terus masuk makin dalam dengan maksud mencari Syanti Dewi atau menyelidiki pemuda berpedang dan orang tua yang naik kereta tadi.

Ketika mereka tiba di gudang belakang, mereka mendengar keluh-kesah dan tangis dari dalam gudang itu. Kian Bu dan Kian Lee meloncat ke atas genteng dan mengintai. Tampak oleh mereka isteri kepala daerah dan keluarganya yang dikumpulkan menjadi satu di tempat itu. Mereka hanya saling pandang akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu.

“Beginilah perang.” Kian Lee berbisik. “Betapa kejam dan jahatnya!”

Ketika mereka turun, tiba-tiba terdengar jerit tertahan seorang wanita dari sebuah kamar belakang dekat gudang. Kian Bu yang menyangka bahwa suara itu mungkin suara Syanti Dewi, sudah cepat mencelat dan mengintai dari celah jendela kamar itu, diikuti oleh Kian Lee. Apa yang tampak oleh mereka di sana membuat Kian Bu hampir saja mendobrak jendela kalau tidak cepat lengannya ditangkap oleh kakaknya. Seorang laki-laki berpakaian perwira kelihatan sedang memperkosa seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah keluarga dari kepala daerah tadi!

“Diamlah, kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu sebagai anggota keluarga yang melawan kami. Diam!”

Kian Lee menarik tangan Kian Bu menjauh dari situ. Muka mereka merah sekali, sepasang mata Kian Bu mengeluarkan sinar berapi dan sampai lama mereka duduk berlindung di belakang bangunan untuk menenteramkan hati yang bergolak panas. Tak lama kemudian, tampak perwira tadi keluar dari kamar itu. Kian Lee tidak dapat lagi mencegah adiknya yang memungut sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali menggerakkan tangan, batu itu menyambar dan tepat mengenai pelipis perwira itu.

Tanpa sempat mengeluarkan teriakan, perwira itu terjungkal dengan pelipis pecah dan tentu saja dia tewas seketika! Terdengar suara aneh di dalam kamar itu dan ketika mereka cepat mengintai lagi, mereka melihat wanita muda itu dengan tubuh telanjang bulat sudah rebah telentang di atas lantai dan sebatang gunting menancap di antara buah dadanya yang masih muda. Wanita itu telah membunuh diri!

“Perang... akibat perang...,” Kian Lee mengeluh.

“Bedebah dia! Bukan akibat perang Lee-ko. Bahkan di waktu damai sekali pun ada saja manusia keji yang melakukan perbuatan biadab seperti ini!”

“Benar, Bu-te, akan tetapi tidaklah sebanyak di waktu perang. Semua itu terjadi karena terbuka kesempatan, dan di waktu perang terbuka segala macam kesempatan bagi orang-orang yang batinnya lemah sehingga mudah menurutkan nafsu jahat melakukan hal-hal yang biadab seperti ini. Engkau tentu sudah membaca tentang perang sejak dahulu kala, pembunuhan kejam tanpa sebab tertentu, perampokan semena-mena, perkosaan yang biadab, semua terjadi dalam perang. Di waktu damai, membunuh manusia pun akan berurusan dengan yang berwajib, akan tetapi di waktu perang, membunuh sebanyak-banyaknya bukan apa-apa, bahkan makin banyak makin baik, makin besar jasanya!”

“Perang! Phuh, muak aku, Lee-ko!”

“Hemm, kau lupa apa yang menyebabkan kita berdua berada di sini?”

“Ya, sebabnya adalah pemberontakan.”

“Perang juga!”

“Kita terseret mau tidak mau karena kita membela Enci Milana.”

“Dan Enci Milana terseret karena hendak membela kerajaan.”

“Dan kerajaan membela siapa?”

“Aha, membela diri sendiri tentunya, membela kedudukannya. Pemerintah mana yang tidak akan membela kedudukannya, Bu-te? Semua pemerintah yang sedang berkuasa di dunia ini, tentu tidak akan rela begitu saja kalau ditentang, dan setiap penentangnya dianggap pemberontak dan akan dibasmi oleh pemerintah itu.”

“Hemm, siapakah pemerintah itu, Lee-ko?”

“Pemerintah? Tentu saja kaisar dan para pembesarnya.”

“Jadi orang-orang juga, bukan? Orang-orang yang telah memperoleh kedudukan tinggi, tentu saja mempertahankan kedudukannya. Dan siapakah yang memberontak?”

“Yang memberontak sudah jelas adalah kedua orang Pangeran Liong dan dibantu para pembantunya.”

“Juga orang-orang yang tidak mendapat bagian, atau orang-orang yang tidak puas dengan kekuasaan mereka sekarang ini, dan ketidak puasan itu tentulah karena mereka berada di bawah, bukan? Hemmm, andai kata pemberontakan mereka berhasil, tentu mereka akan berbalik menjadi di atas dan memperoleh kekuasaan, Lee-ko, dan merekalah yang menjadi pembesar-pembesar wakil pemerintah.”

“Ya, dan tentu timbul pula mereka yang tidak puas karena tidak mendapat bagian tadi, karena iri dan ingin di atas. Maka tidak akan ada habisnyalah pemberontakan dan peperangan ini, Bu-te!”

Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. “Manusia memang gila!”

“Kita juga. Kita juga manusia dan kita sekarang pun terlibat!”

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang prajurit. “Tangkap mata-mata!”

“Jangan sampai lolos!”

“Bunuh! Dia telah membunuh Kok-ciangkun!”

“Ada pelayan-pelayan yang pingsan!”

Kian Lee dan Kian Bu terkejut. Karena keenakan bercakap-cakap tadi mereka kurang waspada, sehingga ketahuan oleh penjaga yang segera mengajak teman-temannya mengepung mereka. Kian Lee dan Kian Bu meloncat dengan niat untuk melarikan diri keluar dari gedung itu. Akan tetapi para prajurit pemberontak itu menerjang mereka dan dengan cepat kedua orang kakak beradik itu menggerakkan kaki tangan dan enam orang prajurit berpelantingan ke kanan kiri!

“Bu-te, lari...!” Kian Lee berseru kepada adiknya.

Kian Lee khawatir bahwa adiknya yang suka bergurau dan suka menggoda orang, suka berkelahi pula itu akan memperpanjang waktu pertempuran di situ, padahal tempat itu adalah tempat yang amat berbahaya, sarang dari para pimpinan pemberontak. Agaknya sekali ini Kian Bu juga maklum akan bahaya, maka dia cepat melompat mengejar kakaknya setelah kembali dia merobohkan dua orang pengeroyok terdepan.

Sisa para prajurit pemberontak itu mengejar, akan tetapi tentu saja mereka jauh kalah cepat oleh Kian Lee dan Kian Bu yang sudah meloncat ke bagian belakang dari kompleks gedung besar itu. Mereka maklum bahwa lari melalui depan amat berbahaya. Akan tetapi, begitu tiba di halaman belakang, mereka bertemu dengan banyak prajurit yang dipimpin oleh pemuda berpedang!

“Huh, kiranya kalian mata-mata!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Tek Hoat.

“Dan engkau anjing pemberontak!” Kian Bu memaki. Memang dia sudah tidak senang dan benci kepada pemuda ini semenjak dia hampir ditabrak oleh kudanya, dan baru sekaranglah dia teringat akan pemuda ini yang pernah menculik Jenderal Kao. “Kiranya engkau Si Penculik itu!”

Bentakan Kian Bu ini pun menyadarkan Kian Lee dan marahlah pemuda ini. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kelihatan sopan dan gagah itu ternyata adalah pemuda kaki tangan pernberontak yang pernah menculik Jenderal Kao. Kini dia pun teringat dan cepat dia menerjang maju pula bersama Kian Bu.

Biar pun dia maklum bahwa dua orang pemuda ini lihai, Tek Hoat yang terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, memandang rendah. Apa lagi dia masih belum ingat bahwa dua orang ini adalah mereka yang dulu pernah membela Jenderal Kao. Terlalu banyak dia berhubungan dengan orang-orang pandai dalam pekerjaannya membantu Pangeran Liong sehingga dia lupa kepada dua orang pemuda ini. Akan tetapi begitu mendengar Kian Lee menyebutnya penculik, dia terkejut dan mengingat-ingat. Seketika teringatlah dia akan dua orang pemuda yang dulu pernah membantu Jenderal Kao ketika dia dan Siang Lo-mo menyerbu rombongan jenderal itu.

“Aihhh, jadi kaliankah mereka itu?” bentaknya sambil mengerahkan kedua tangannya dengan tenaga sinkang untuk menangkis pukulan Kian Lee dan Kian Bu.

“Duk! Plakkk!”

“Ahhhh...!”

Tubuh Tek Hoat terlempar ke belakang dan dia merasa sambungan lengannya hampir terlepas. Demikian dahsyat pukulan-pukulan yang ditangkisnya tadi, pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan tentu sudah melukai sebelah dalam dadanya melalui tangkisannya kalau dia tidak cepat-cepat bergulingan sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuh sebelah dalam. Dia sudah meloncat lagi dan segera mencabut Cui-beng-kiam!

Sementara itu, ketika Tek Hoat terlempar dan bergulingan, para prajurit telah menerjang kedua orang pemuda itu, dibantu pula oleh beberapa orang berpakaian preman yang merupakan kaki tangan Tek Hoat dan bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik. Ilmu silat mereka ini tentu saja lebih tinggi dari pada para prajurit, akan tetapi dengan mudah Kian Bu dan Kian Lee menyapu mereka seperti petani membabat rumput saja.

Melihat Tek Hoat mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan, dua orang saudara itu maklum bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka mereka cepat mengulur tangan menyambut serangan para prajurit bertombak dan sambil menendangi mereka, Kian Lee dan Kian Bu berhasil merampas dua batang tombak bergagang besi.

“Mundur semua, kurung saja mereka!” Tek Hoat membentak marah sekali ketika melihat betapa para prajurit dan kaki tangannya sama sekali tidak berdaya menghadapi dua orang pemuda itu. Semua prajurit lalu mundur, mengurung dengan senjata ditodongkan ke depan. Jumlah mereka yang banyak sekali membuat dua orang kakak beradik itu memandang khawatir.

Akan tetapi Tek Hoat tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari jalan lari karena dia sudah mengeluarkan suara melengking yang menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ kecuali Kian Lee dan Kian Bu, lalu tubuhnya mencelat ke depan didahului oleh sinar pedang Cui-beng-kiam yang menyeramkan. Pedang ini adalah pedang ciptaan mendiang Cui-beng Koai-ong, datuk Pulau Neraka yang seperti iblis, maka dibuatnya juga dengan cara mukjijat dan entah sudah minum berapa banyak darah manusia, sudah menghisap berapa banyak nyawa korbannya sehingga kalau dipergunakan, pedang itu mengeluarkan hawa mukjijat yang amat menyeramkan.

“Sing... sing... tranggg... krek! Krek...!”

Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali ketika tombak rampasan mereka patah ketika bertemu dengan sinar pedang di tangan lawan itu. Tek Hoat tersenyum mengejek dan terus menyerang dengan gencar, pedang Cui-beng-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang dahsyat menyambar-nyambar.

Namun dua orang lawannya itu adalah putera-putera dari Pulau Es yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tua mereka yang sakti. Maka Kian Lee dan Kian Bu sedikit pun tidak menjadi gentar biar pun mereka maklum bahwa lawan mereka ini bukan orang sembarangan melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memegang sebatang pedang yang ampuh dan mukjijat pula.

Tanpa bersepakat lebih dulu mereka telah tahu bagaimana caranya menghadapi lawan yang berpedang mukjijat, sedang mereka sendiri hanya memegang potongan tombak! Cepat mereka mengeluarkan ilmu mereka dan mengerahkan tenaga, menggunakan keringanan tubuh yang luar biasa sehingga tubuh mereka kini bergerak mencelat ke sana sini seperti dua ekor burung walet yang amat ringan beterbangan di antara sambaran sinar pedang Cui-beng-kiam, kadang-kadang menggunakan tombak buntung mereka untuk menusuk dan menotok jalan darah!

“Ahhh...!” Tek Hoat berseru kaget sekali.

Dia juga mengeluarkan kecepatannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang, akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang yang sama sekali tidak dapat dicium oleh sinar pedangnya itu, yang mengelak ke sana-sini amat cepatnya dan tidak pernah mau menangkis pedang dengan tombak mereka, kemudian sambil mengelak, ujung tombak buntung mereka memasuki lowongan antara gerakan pedang di waktu menyerang untuk melakukan penotokan jalan darah yang amat berbahaya, perlahan-lahan Tek Hoat mulai terdesak! Hampir saja Tek Hoat yang selama ini menganggap diri sendiri paling pandai di dunia, bahkan Siang Lo-mo sendiri mengaku kelihaiannya, tidak percaya bahwa dia sampai bisa terdesak, padahal dia memegang Cui-beng-kiam sedangkan dua orang lawannya hanya memegang tombak buntung.

Mana mungkin ini? Dengan penasaran dia mengeluarkan pekik mengerikan, pekik yang mengandung khikang luar biasa sehingga beberapa orang prajurit yang terlampau dekat terjungkal pingsan, kemudian dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin secara bergantian.

Namun sia-sia belaka. Sungguh pun Kian Lee dan Kian Bu terkejut menyaksikan gerakan yang bermacam-macam dan kesemuanya amat luar biasa itu, namun dengan ilmu silat mereka yang kokoh kuat dan bersih dari Pulau Es, mereka dapat menandingi gerakan lawan dan selalu dapat mengelak sambil mengirim tusukan-tusukan kilat. Mereka terus mendesak Tek Hoat dan setiap kali ada prajurit atau pembantu Tek Hoat berani maju, dua orang maju, roboh dua orang, empat orang maju roboh pula semua, bahkan pernah sekaligus delapan orang roboh oleh dua orang pemuda lihai ini sehingga akhirnya tidak ada lagi yang berani maju melainkan mengurung dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tombak dan golok.

Tek Hoat menyesal sekali mengapa dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Pak-thian Lo-mo, pada saat itu mengawal Panglima Kim Bouw Sin mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon. Kalau berada di situ, tentu dia dibantu oleh Siang Lo-mo akan dapat menawan dua orang pemuda hebat ini.

“Bu-te, mundur ke jembatan!” Tiba-tiba Kian Lee berseru.

Kian Lee cepat memutar tombak buntungnya, melakukan penusukan kilat bertubi-tubi ke arah sepasang mata lawan. Tek Hoat terkejut sekali. Karena khawatir menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu, dia memutar pedangnya di depan mukanya untuk melindungi matanya yang terus diserang oleh ujung tombak buntung.

Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang saudara Suma untuk mundur ke jembatan yang merupakan jalan terakhir di taman belakang menuju ke tembok yang mengurung kompleks gedung. Kalau dapat melewati jembatan sungai buatan kecil di taman itu mereka akan dekat dengan dinding dan sekali melompat melewati dinding tentu akan berada di luar dan mudah melarikan diri.

Akan tetapi, tiba-tiba bayangan yang amat cepat gerakannya, bahkan seperti dilontarkan saja, melayang dari dinding itu dan tahu-tahu telah tiba di atas jembatan itu. Semua orang terkejut menyaksikan betapa ada orang dapat meloncat dari dinding ke jembatan bagitu saja! Tek Hoat sendiri tidak mengenal orang ini, juga semua prajurit tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu juga belum pernah melihat wanita yang buruk rupanya ini.

Wajah wanita ini buruk sekali untuk ukuran wanita, serba kasar dan serba besar dan kaku, pantasnya wajah seorang laki-laki kasar yang tidak tampan. Rambutnya riap-riapan sudah bercampur uban dan sekiranya buah dadanya tidak menonjol dan tampak membusung di balik bajunya yang panjang itu tentu dia akan disangka laki-laki. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat akar pohon yang bentuknya seperti ular.

Beberapa lamanya nenek ini berdiri di atas jembatan, kemudian dia mengeluarkan suara tertawa aneh dan suaranya juga besar seperti suara laki-laki. Kemudian sekali kedua kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan dan dari atas tongkatnya bergerak menusuk ke arah ubun-ubun Kian Lee!

“Hehhh!” Kian Lee mengelak sambil berseru kaget, otomatis pula tombak buntungnya menusuk dari bawah ke arah lambung nenek itu, seperti kilat menyambar cepatnya.

“Heiiiii... ternyata kau hebat juga!” Nenek itu memekik, tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.

“Takkk!”

Tubuh nenek itu mencelat lagi, jelas bahwa menghadapi tenaga Swat-im Sinkang dari Kian Lee, dia terkejut dan tidak dapat bertahan selagi tubuhnya berada di udara. Akan tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah mencelat tapi ke arah Kian Bu dan tongkatnya membuat gerakan seperti pedang menyambar ke arah leher Kian Bu dan disambung dengan tusukan ke arah bawah pusar.

Gerakan nenek ini cepat dan kuat, namun Kian Bu yang biar pun masih muda sudah memiliki tingkat kepandaian hebat itu secara otomatis sudah menangkis dan berbareng meloncat ke belakang, kemudian tombak buntungnya membalas dengan serangan maut yang ditujukan ke arah hidung Si Nenek Buruk!

“Huh, luar biasa!” Nenek itu berseru, mencelat ke belakang lalu melompat lagi ke depan, terus menyerang Kian Bu dan Kian Lee secara bergantian.

Dua orang pemuda itu kini menghadapi serangan-serangan aneh dari wanita buruk itu dan juga dari Tek Hoat yang menjadi girang dan sudah memutar pedangnya lagi. Karena terkejut dan bingung melihat gerakan aneh dari wanita itu, untuk beberapa lamanya Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu terdesak hebat.

Gerakan wanita itu memang aneh sekali. Tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki berbareng, mencong ke kanan kiri, depan belakang, bahkan mumbul-mumbul seperti seorang anak kecil bermain-main, kadang-kadang sampai tinggi sekali dan menyerang dengan tongkatnya dari atas. Menghadapi gaya serangan yang aneh seperti ini, yang belum pernah dilihatnya, Kian Lee dan Kian Bu takjub dan terdesak. Juga Tek Hoat menjadi kagum sekali, juga girang karena nenek yang tidak dikenalnya siapa ini datang-datang terus membantunya, sehingga dia terbebas dari desakan dua orang muda yang amat lihai itu.

“Bu-te, mari pergunakan pelajaran terakhir!” tiba-tiba Kian Lee berseru kepada adiknya.

Kian Bu mengangguk dan tiba-tiba mereka melontarkan tombak buntung itu ke depan. Kian Lee melontarkan tombaknya ke arah Tek Hoat dan Kian Bu melontarkannya ke arah nenek buruk. Biar pun hanya tombak buntung akan tetapi lontaran kedua orang kakak beradik ini tidak boleh dipandang ringan. Kalau mengenai dinding tebal sekali pun, tombak buntung itu akan dapat menembus, apa lagi tubuh manusia! Tenaga yang mendorong tombak sehingga meluncur ini adalah tenaga sakti yang membuat tombak meluncur melebihi anak panah cepatnya.

“Cringg...!”

“Trakkk...!”

Tek Hoat dan nenek itu berhasil menangkis tombak buntung yang menyambar mereka akan tetapi mereka merasa betapa telapak tangan mereka yang memegang senjata menjadi panas dan nyeri sehingga mereka terkejut sekali. Tek Hoat menjadi makin girang melihat dua orang pemuda itu ‘membuang’ senjata mereka, agaknya mereka sudah putus harapan dan agaknya pelajaran terakhir adalah melontarkan tombak tadi.

“Ha-ha, itukah pelajaran terakhir kalian?” ejeknya.

Akan tetapi dia berseru kaget dan cepat memutar pedang dan meloncat ke belakang ketika Kian Bu sudah menerjangnya dengan kedua tangan kosong. Dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa yang amat dingin dan amat panas, yang dingin keluar dari tangan kiri, yang panas keluar dari tangan kanan. Betapa mungkin ini? Tek Hoat sendiri telah mempelajari ilmu-ilmu sinkang dari kitab-kitab peninggalan kedua datuk Pulau Neraka, bahkan dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah melatih ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi, akan tetapi baru sekarang dia menghadapi lawan yang sekaligus dapat menggunakan dua pukulan yang berbeda, bahkan berlawanan tenaga sinkang-nya, panas dan dingin! Selain kedua pukulan yang mengandung dua hawa sakti bertentangan atau berlawanan ini, juga gerakan Kian Bu amat cepatnya, tubuhnya meluncur ke sana-sini seperti kilat!

Melihat adiknya sudah bergerak, Kian Lee kemudian juga melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya mencelat seperti kilat menyambar, mengimbangi gerakan nenek yang aneh tadi, dan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, mengeluarkan hawa panas dan dingin secara berbareng sehingga nenek itu terkejut, berteriak keras dan mencelat mundur.

Memang itulah pelajaran terakhir yang dimaksudkan oleh Kian Lee tadi. Sebelum mereka keluar dari Pulau Es, ayah mereka telah menggembleng mereka secara tekun untuk mempelajari ilmu ini, ilmu yang dikombinasikan oleh Pendekar Super Sakti, mengambil inti dari gerakan ilmu silatnya Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat) dengan menggunakan inti pukulan Hwi-yang Sin-ciang (Tenaga Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) digabung menjadi satu!

Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun tidak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang berkaki dua maka Pendekar Super Sakti hanya mengambil inti gerakannya saja, membuat gerakan kedua orang puteranya itu seperti kilat cepatnya, mencelat ke sana-sini tak terduga-duga oleh lawan! Dan karena ilmu ini harus dimainkan dengan kedua tangan yang masing-masing merupakan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, maka dua orang pemuda itu tadi telah membuang tombak buntung mereka.

Setelah kedua orang kakak beradik itu mengeluarkan ilmu yang aneh dan hebat ini, mereka dapat mengimbangi lawan dan tidak terdesak lagi sungguh pun hawa pukulan mereka yang berselang-seling panas dan dingin itu hanya dapat mendesak lawan agak menjauh dan tidak berani terlalu dekat, akan tetapi mereka pun tidak dapat terlalu mendesak karena senjata kedua orang lawan mereka amat lihai.

Tek Hoat menjadi penasaran bukan main. Kembali dia bertemu dengan ‘batu’! Tidak disangkanya sama sekali bahwa di dunia ini terdapat orang muda yang begini hebat, setelah dia terkejut bertemu dengan pemuda tinggi besar yang dulu menolong Jenderal Kao, yang juga amat lihai ilmunya. Kiranya bukan hanya dia seorang saja yang menjadi jago muda di kolong langit ini. Kenyataan ini sedikitnya telah menghancur leburkan kebanggaannya, membuka matanya sehingga dia tidak akan berani lagi menganggap dirinya sebagai jago muda nomor satu di dunia!

Sementara itu, nenek yang didesak oleh Kian Lee yang lebih berani mendesak dari pada Kian Bu karena nenek itu hanya bersenjata tongkat, bukan pedang mukjijat seperti yang dipegang oleh lawan Kian Bu, berkali-kali mengeluarkan lengking mengerikan dan aneh, seperti suara jerit seekor binatang yang terjepit. Tiba-tiba dia meloncat agak jauh ke belakang dan ketika Kian Lee mengejarnya dengan gerakan kilat, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya melontarkan sebuah benda bulat ke arah pemuda ini. Kian Lee sedang meloncat dan lontaran itu cepat sekali, maka dia tidak sempat lagi mengelak dan sambil mengerahkan tenaga ke arah kaki kirinya dia menendang benda hitam bulat itu.

“Darrrrr...!”

Benda itu meledak ketika ditendang oleh Kian Lee dan pemuda ini mengeluh, terlempar ke bawah dan darah membasahi celana karena pahanya telah terluka oleh pecahan besi. Kiranya benda itu adalah semacam senjata peledak yang ampuh dan karena tidak mengira sama sekali bahwa benda itu akan meledak, maka Kian Lee menjadi kurang hati-hati dan pahanya terkena pecahan besi sehingga kulit dan dagingnya terluka yang lumayan parahnya.

“Lee-ko...!” Kian Bu berseru kaget sekali dan sekali meloncat, dia telah berada di depan nenek itu, terus menyerangnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga.

Dipukul dengan Hwi-yang Sin-ciang berbareng dengan Swat-im Sin-ciang secara hebat itu, Si Nenek terkejut dan biar pun dia sudah mengelak, tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan sehingga dia terhuyung-huyung dengan muka pucat dan roboh. Cepat dia bergulingan, kemudian meloncat ke atas lagi.

Suma Kian Bu sudah menarik kakaknya bangun, kemudian menggandeng kakaknya itu, meloncat ke atas jembatan.

“Lepaskan aku, aku bisa membela diri. Mari kita ke dinding itu...” kata Kian Lee sambil menyeret kaki kirinya yang sukar digerakkan

Melihat seorang pemuda telah terluka, para prajurit dan pembantu Tek Hoat menjadi berani. Mereka mengejar dan beberapa orang telah menyerang dengan tombaknya. Kian Bu menjadi marah, dia membalik, merampas sebatang tombak dan memutar tombak itu, merobohkan enam orang sekaligus, ada yang dikemplang tombak, ada yang ditusuk, ada yang ditendang dan ada yang didorong oleh tangan kirinya.

“Hayo, Lee-ko...!” Dia hendak menggandeng kakaknya lagi akan tetapi pada saat itu, seorang pembantu Tek Hoat yang gerakannya cukup gesit dan kuat, seorang yang berjenggot dan berkumis pendek telah menusuk dari belakang dengan tombaknya.

“Haiiittt...!” Kian Bu berseru, kaki kirinya yang seperti bermata itu diputar ke belakang dan dengan tepat menangkis tombak itu, lalu dia membalik, tombak yang dipegangnya menyambar ke arah kepala orang berkumis pendek, sedangkan pedang Si Kumis itu telah terlempar oleh tangkisan kaki Kian Bu.

“Ouhhhh...!” Orang itu mengelak, akan tetapi tetap saja telinga kirinya kena dihantam tombak sehingga remuk.

“Wadouuuhhh...!”

Dia berloncatan sambil memegangi telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi, dan saking sakitnya dia tidak melihat kanan kiri atas depan lagi, maka tanpa disengaja dia menabrak dan menghalangi Tek Hoat yang sedang lari hendak mengejar Kian Lee dan Kian Bu. Karena tiba-tiba ditabrak pembantunya sendiri yang sedang kesakitan, Tek Hoat marah-marah dan ditendangnya pembantu yang sudah tidak berdaun telinga kiri lagi itu.

“Ngekkk!” Pembantu itu terlempar, terbanting dan tidak bergerak lagi.

Kian Bu dan Kian Lee sudah dikepung lagi oleh nenek dan para prajurit dan selain Kian Bu mengamuk dengan hebat, Kian Lee yang sudah terluka pahanya itu pun masih melawan. Setiap ada tombak menusuknya, dia menangkis dan pemegang tombaknya lalu terpelanting. Pada saat yang amat berbahaya itu tampaklah berbondong-bondong bayangan orang banyak berloncatan dari dinding belakang.

Mereka itu bukan lain adalah Si Gendut anggota Tiat-ciang-pang bersama kawan-kawannya. Mula-mula hanya belasan orang saja yang berloncatan masuk dan langsung saja Si Gendut dan kawan-kawannya itu menerjang para prajurit pemberontak yang mengeroyok Kian Bu dan Kian Lee. Melihat ini, Tek Hoat menjadi kaget dan marah, dan mengira bahwa orang-orang yang datang itu ada yang sepandai dua orang pemuda tadi. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang hanya gerombolan kaum sesat dari Tiat-ciang-pang yang dipimpin Si Gendut, dia memandang rendah dan cepat dia melakukan pengejaran karena Kian Bu dan Kian Lee sudah tidak kelihatan di tempat itu lagi.

Kian Bu yang tadi melihat kesempatan baik selagi keadaan kacau dengan munculnya Si Gendut dan kawan-kawannya, cepat mengempit tubuh kakaknya dan meloncat naik ke atas dinding kebun lalu meloncat pula turun. Banyak prajurit yang juga berloncatan naik dan melakukan pengejaran.

“Lepaskan aku, biar aku dapat melawan!” Kian Lee berkata.

Kian Bu yang mendapat kenyataan bahwa kakaknya tidak terluka terlalu berat dan hanya terpincang-pincang itu, melepaskan kakaknya. Mereka melakukan perlawanan sambil melarikan diri menyelinap ke tengah kota di antara rumah-rumah orang. Akan tetapi, nenek buruk itu sudah dapat menyusul mereka dan bersama banyak prajurit dia telah mengeroyok Kian Bu yang terpaksa berpisah dari kakaknya karena nenek itu merupakan lawan yang tidak ringan.

“Toanio, tangkap dia hidup-hidup!”

Suara Tek Hoat ini mengejutkan Kian Bu, apa lagi ketika dia menengok dan tidak dapat melihat kakaknya lagi, hatinya menjadi panik sekali, dan dia tidak dapat menghindarkan pukulan tongkat nenek itu yang mengenai pundaknya. Baiknya, tubuh pemuda itu sudah secara otomatis dihuni oleh tenaga sakti yang amat hebat sehingga tanpa pengerahan pun, tenaga saktinya melindungi pundak dan biar pun terasa nyeri bukan main, tidak ada tulang yang patah oleh pukulan maut dari nenek itu. Akan tetapi dia terhuyung dan menabrak pohon di pinggir rumah, dan pada saat itu, Tek Hoat sudah meloncat dekat, tangan kiri pemuda ini menghantam ke arah punggung Kian Bu untuk merobohkan dan menangkap pemuda ini hidup-hidup.

“Wuuuutttt... plakkkk!”

Tek Hoat terbelalak ketika melihat betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan orang lain dan seluruh tubuhnya menjadi tergetar hebat. Ia masih mengerahkan tenaga Inti Bumi ke telapak tangannya dan mendorong, akan tetapi sedikit pun tangan itu tidak bergeming, bahkan ketika laki-laki setengah tua yang dikenalnya sebagai laki-laki teman kedua orang pemuda lihai tadi mendorong, dia tidak dapat bertahan dan terhuyung ke belakang! Hebat! Ternyata laki-laki ini malah lebih lihai dari dua orang pemuda itu, dan bukan itu saja, agaknya laki-laki ini pun mahir menggunakan tenaga sakti Inti Bumi!

Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Cepat dia menarik tangan Kian Bu dan berkata, “Mari kita pergi...!”

Kian Bu meragu, “Lee-ko...”

“Di mana dia?”

“Entah, kami berpisahan, dia terluka pahanya...”

“Keparat!” Tek Hoat berteriak marah dan kini menyerang Gak Bun Beng dengan pedang Cui-beng-kiam!

Bun Beng terkejut melihat pedang ini dan cepat mengelak dengan rendahkan tubuhnya. Sambil mengelak tangan kanannya menyambar tanah pasir dan begitu tangan ini bergerak, tanah pasir yang merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat menyambar ke arah pedang itu, disusul dorongan telapak tangan kirinya ke arah Tek Hoat.

“Trikk-trikk-cringgg... aihh...!”

Tek Hoat cepat meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Hantaman tanah pasir pada pedangnya tadi selain membuat pedangnya menyeleweng, juga tangannya yang terkena pasir terasa sakit dan bahkan kulitnya terluka berdarah sedangkan hantaman tangan kiri tadi biar pun tidak sampai mengenai dadanya, namun hawa pukulannya hampir tidak kuat dia menahannya, begitu dingin seperti membekukan isi dadanya! Dia menjadi jeri dan hanya melongo melihat kedua orang itu melarikan diri dan lenyap di balik rumah-rumah.

“Kejar...!” Dia berseru dan menyuruh para prajurit mengejar, sedangkan dia sendiri menghampiri nenek itu.

“Mereka hebat, dan laki-laki yang baru datang tadi... hemm, hanya satu orang saja di dunia ini yang memlliki kepandaian seperti itu.” kata Si Nenek menghela napas panjang.

“Siapa?” Tek Hoat bertanya penasaran. “Pendekar Super Sakti?”

“Memang, dan itulah anehnya. Sudah jelas dia bukan Pendekar Super Sakti, akan tetapi kepandaiannya hebat, dan dua orang pemuda itu! Hemmm, aku tidak akan heran kalau mendengar bahwa mereka adalah keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...”

“Dan Toanio (Nyonya Besar) sendiri siapakah? Saya berterima kasih atas bantuan Toanio.”

“Hi-hi-hik, karena kau tampan sekali maka aku membantumu! Memang kami berniat membantu pemberontakan menumbangkan pemerintah yang sudah banyak merugikan kami, akan tetapi Suheng dan Sumoi adalah orang-orang yang ku-koai (aneh), mereka membawa mau sendiri sehingga hanya aku seorang yang mencoba membantumu. Aku mendengar bahwa pihak pemberontak mempunyai seorang tangan kanan yang lihai, muda, tampan dan berjuluk Si Jari Maut. Tentu engkau, bukan?”

Tek Hoat tersenyum. “Saya bernama Ang Tek Hoat dan tidak salah dugaan Toanio. Marilah kita masuk ke dalam gedung itu dan kita bicara. Toanio tidak keliru membantu kami dan akan kuperkenalkan kepada Pangeran Liong Khi Ong yang kebetulan berada di sini.”

Mereka lalu berjalan sambil bercakap-cakap menuju gedung bekas kepunyaan Kepala Daerah itu.

Ke manakah perginya Kian Lee? Pemuda ini yang merasa betapa dada kirinya sakit sekali maklum bahwa pecahan besi itu tentu mengandung racun dari obat peledak, terasa panas, perih dan kaku. Dan dia mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Terlalu banyak lawan, dan nenek itu, juga pemuda berpedang itu amat lihai. Dia sendiri tentu tidak akan kuat menghadapi mereka, dan kalau Kian Bu harus melawan sendiri, tentu berbahaya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sampai mati pun Kian Bu tentu tidak akan mau meninggalkannya. Maka dialah yang harus meninggalkan adiknya agar Kian Bu juga cepat pergi dari tempat berbahaya itu, tidak melanjutkan pertandingan dan akan mencarinya.

Kesempatan ini tiba ketika dia melihat seekor kucing bergerak memasuki sebuah pintu yang terbuka sedikit. Cepat dia menyelinap dan tanpa diketahui oleh siapa pun dia lalu membuka daun pintu itu, menyelinap masuk, lalu memasang palang pintu dari dalam. Kemudian dia terhuyung-huyung memasuki rumah itu yang ternyata cukup besar dan lega.

“Meong...! Meong...! Meonggg...!”

Kian Lee terbelalak melihat begitu banyaknya kucing di dalam rumah ini! Ada lima enam ekor kucing yang bagus-bagus merubungnya dan dia bergidik seolah-olah kucing itu adalah musuh-musuh yang hendak mengeroyoknya. Matanya memandang ke arah binatang-binatang itu penuh perhatian, siap untuk melawan kalau mereka menyerang!

“Meong... meong... meooonggg...!”

Kucing-kucing itu mengelilingi, seolah-olah terheran-heran dan menyelidikinya sambil mengeluarkan bunyi bermeong saling sahut dan dari dalam muncullah kucing-kucing lain. Semua indah dan cantik, bermacam-macam warna bulunya, dan semua bersih terpelihara dengan leher dihias kalung yang mengeluarkan bunyi maka riuh rendahlah suara kerincingan di kalung itu ketika kini muncul lagi belasan ekor kucing darl dalam sehingga jumlahnya ada dua puluh ekor lebih!

Betapa pun cantik dan bagus kucing-kucing gemuk itu, dengan bulu halus bersih bermacam warna, namun bergidik juga Kian Lee melihat begini banyak kucing yang mengurungnya. Menghadapi pengeroyokan orang-orang yang ganas dia tidak gentar, akan tetapi dikelilingi begini banyak kucing, menimbulkan perasaan ngeri dan seram! Pahanya yang sebelah kiri terasa sakit dan panas, mengucurkan darah cukup banyak dan dia menggoyang-goyang kepalanya karena terasa pening. Lebih dua puluh pasang mata kucing yang bersinar tajam dan aneh itu seolah-olah menyihirnya, membuatnya pusing dan berkunang-kunang. Dia berusaha menggoyang-goyang kepala, membuka buka lebar matanya, akan tetapi kepalanya makin berat dan pusing, dia terhuyung-huyung.

“Ouhhhh...” Hampir dia roboh kalau dia tidak buru-buru menangkap sebatang tiang di dalam ruangan itu, sejenak ia bersandar pada tiang.

“Heiii, Belang...! Putih...! Heiii, Hitam... ada apa kalian ribut-ribut di situ...?” Suara yang halus bening dan penuh keriangan ini masih dapat menembus pendengaran Kian Lee yang mulai terngiang-ngiang. “Hei, kucing-kucing lucu, di mana Su-kouw (Bibi Guru)...?”

Lalu pandang mata Kian Lee yang sudah mulai gelap itu melihat bayangan seorang gadis cantik yang tampak olehnya seperti munculnya sinar terang dalam kegelapan, seolah-olah dia melihat seorang bidadari terbang melayang dan turun dari angkasa mengulurkan tangannya untuk menolong.

“Uuhhh...!” Dan dia pun terguling dan roboh ke atas lantai tak sadarkan diri.

Kian Lee mengeluh dan mengerang. Dia mendapatkan dirinya teruruk sebuah rumah yang terbakar, kakinya terhimpit balok terbakar. Seluruh tubuh terasa panas, kaki yang terhimpit balok nyeri bukan main dan tak dapat digerakkan. Tiba-tiba hujan turun, api yang membakar sekelilingnya padam, paha kirinya yang terhimpit balok terkena air, terasa dingin akan tetapi rasa dingin yang menggantikan kedudukan api yang tadi menyiksa. Rasa dingin yang menusuk-nusuk, terasa sampai di tulang paha kaki kirinya dan lapat-tapat dia mendengar suara menghiburnya, seperti suara gadis yang selama ini terbayang di depan matanya, suara Lu Ceng.

Tercium olehnya bau harum sedap yang lamat-lamat, dan tampak olehnya seraut wajah, cantik bukan main, wajah Lu Ceng yang dirindukannya...!

Kian Lee membuka sedikit matanya dan ternyata mimpinya itu menjadi kenyataan, karena benar saja dia melihat seraut wajah cantik jelita. Dia menjadi terharu! Mengapa mimpinya menjadi kenyataan dan mungkinkah Lu Ceng begini baik kepadanya, duduk bersimpuh di dekatnya dan menggunakan jari-jari tangan yang halus lentik menyusuti dahinya dengan sehelai sapu tangan yang dibasahi, begitu lembut dan mesra!

Mungkinkah gadis itu begini baik kepadanya, dengan sepasang mata yang menyinarkan kelembutan dan kemesraan, bibir yang tipis basah kemerahan itu membentuk senyum menggairahkan? Keharuan membuat Kian Lee menggerakkan tangan kanannya, seperti bukan kemauannya sendiri dia mengusap dagu dan pipi wajah cantik di depannya itu, berbisik halus, “Engkaukah ini... engkau...?”

Sepasang mata yang tadinya memandang lembut dan mesra itu terbelalak keheranan, lalu bibir yang mungil itu terbuka, terkekeh, tampak deretan gigi yang kecil rata dan putih mengkilap. “Hi-hi-hik, kau lucu...!”

Kian Lee mengejap-ngejapkan matanya, kini dia baru sadar betul. Ketika dia membuka mata dan memandang lagi, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa wajah itu bukanlah wajah Ceng Ceng, bukanlah wajah gadis yang dirindukan, sungguh pun wajah ini juga cantik, bahkan terlalu cantik jelita, wajah seorang gadis cilik, seperti setangkai kuncup bunga yang sudah mulai tampak keindahannya, menjanjikan keadaan dan kecantikan luar biasa apa bila telah mekar menjadi bunga tak lama lagi!

Kian Lee cepat menggerakkan tubuhnya, bangkit duduk. Hampir dia berteriak karena paha kirinya terasa nyeri.

“Ngeonggg...! Ngeooongggg...!”

Kian Lee terperanjat dan memandang ke kanan kiri. Penuh kucing!

“Hushhh, Belang! Hitam! Jangan nakal lho!” Gadis itu membentak halus dan kucing-kucing itu menyingkir agak menjauh dari Kian Lee, sedangkan gadis itu kemudian membungkuk dan memondong seekor kucing kecil berbulu putih yang amat cantik.

Kian Lee mendapatkan dirinya tadi rebah di atas lantai, ketika dia meraba paha kirinya yang dia ingat telah terluka, dia mendapatkan kenyataan bahwa paha di dalam pipa celananya itu telah diobati dan dibalut orang. Dia meraba-raba, mengerahkan tenaga sinkang ke arah paha dan mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya bahwa rasa panas dari racun obat peledak itu telah lenyap, atau telah menjadi tawar oleh obat penolaknya yang mujarab sekali.

“Eh, di mana aku...?” Dia berkata.

Gadis itu sambil mengusap-usapkan pipinya yang tadi diraba tangan Kian Lee kepada punggung kucing yang penuh bulu halus, memandang kepadanya dengan muka yang dimiringkan dan mata bersinar, wajah berseri-seri, tersenyum dan menjawab nakal, “Di dalam rumah!”

“Ya, tentu. Tapi rumah siapa?”

Sepasang mata itu bergerak nakal, dan bibir merah itu tersenyum dikulum sebelum menjawab, seolah-olah dia hendak mencari ‘akal’ untuk menjawab, kemudian keluar jawabannya dengan mata bersinar-sinar, “Rumah orang!”

Kian Lee tertegun sejenak, memandang gadis cilik itu dan tiba-tiba dia tertawa. Gadis ini mengingatkan dia kepada adiknya, Kian Bu! Betapa sama sifatnya, sama-sama nakal dan suka menggoda orang, karena dia yakin benar bahwa jawaban-jawaban aneh itu disengaja untuk menggoda, jelas tampak dari pandang mata gadis itu yang persis seperti pandang mata Kian Bu kalau sedang menggodanya.

“Eh, kenapa kau ketawa-tawa? Apanya yang lucu?” Tiba-tiba sifat gadis itu berubah, kalau tadi menahan geli mempermainkan orang, kini penuh penasaran!

“Aku tertawa karena engkau mengingatkan aku akan seseorang. Akan tetapi sudahlah, adik yang baik. Ini rumah siapakah?”

“Rumah bibiku, bibi guruku.”

“Jadi diakah yang mengobati kakiku yang terluka?”

Gadis itu menggeleng. “Bukan, dia belum datang. Yang ada hanya kucing-kucingnya yang kelaparan karena belum diberi makan. Kalau tidak kebetulan aku datang ke sini, tentu kucing-kucing kelaparan ini sudah menggerogoti habis daging-dagingmu ketika kau pingsan tadi.”

Kian Lee bergidik. Dara cilik ini cantik manis sekali, akan tetapi di dalam kata-kata dan sikapnya tersembunyi sesuatu yang menyeramkan, seperti ketika membayangkan betapa kucing-kucing kelaparan itu akan menggerogoti daging-dagingnya!

“Kalau begitu, siapa yang mengobati kakiku?”

“Di rumah ini hanya ada kucing-kucing ini dan aku. Kucing-kucing ini tentu tidak bisa mengobati luka di kakimu yang penuh dengan racun obat peledak, biar pun mereka akan menggunakan lidah-lidah mereka yang kasar untuk secara bergantian menjilati luka di kakimu itu.”

Kembali Kian Lee bergidik. Cara gadis cilik ini menggambarkan sesuatu benar-benar membikin orang merasa ngeri.

“Kalau begitu, engkaukah yang telah mengobatinya?” tanyanya dengan heran sekali.

“Hemm, entah siapa, kau cari saja sendiri. Yang ada hanya aku dan kucing-kucing ini, dan kucing-kucing ini tentu saja tidak bisa mengobati. Eh, masih ada lagi selain aku dan kucing-kucing ini, tapi aku sangsi apakah mereka itu dapat mengobatinya.”

“Mereka siapa?” Kian Lee bertanya sambil memandang ke kanan kiri, bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.

“Mereka inilah.” Gadis cilik itu telah melepaskan anak kucing yang tadi dipondongnya, dan tahu-tahu dia kini sudah mengeluarkan dua ekor ular yang membuat Kian Lee terbelalak dan melongo karena mengenal ular-ular itu sebagai dua ekor ular yang paling berbisa! Dan jelas bahwa dua ekor ular itu bukanlah ular-ular yang telah dijinakkan atau telah tidak mengandung bisa lagi. Dua ekor binatang menjijikkan itu mendesis-desis dan dari desisnya saja sudah mengepulkan uap hitam yang amat berbisa! Akan tetapi, gadis cilik itu mempermainkan dua ekor ular ltu seperti memainkan dua helai sapu tangan sutera saja layaknya!

Kini Kian Lee memandang gadis itu dengan pandang mata lain. Mengertilah dia bahwa betapa pun halus dan cantik manis tampaknya, ternyata gadis cilik itu mempunyai kepandaian hebat untuk menaklukkan ular berbisa, dan tentu dengan sendirinya ahli tentang racun, maka dia dapat mengobati pahanya yang terluka dan terkena racun. Buktinya, gadis cilik ini tadi mengatakan bahwa luka di pahanya terkena racun obat peledak!

Kian Lee lalu bangkit berdiri. Pahanya masih agak nyeri, akan tetapi karena sudah terbebas dari racun, rasa nyeri dapat dipertahankan dan dia dapat menggerakkan kaki kirinya seperti biasa. Lalu dia menjura kepada gadis cilik yang sudah memondong lagi anak kucing putih sedangkan dua ekor ular tadi entah disembunyikan di mana, mungkin di saku baju luarnya yang panjang dan lebar itu.

“Nona, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Nona yang amat besar tadi. Saya Suma Kian Lee tidak akan melupakan...”

“Wah, kau she Suma?!” tiba-tiba gadis cilik itu membentak.

“Benar, mengapa?” Kian Lee bertanya heran, apa lagi melihat betapa sepasang mata itu kini terbelalak lebar memandangnya seperti mata orang marah!

“Aku... aku benci orang yang she-nya Suma! Semua orang she Suma adalah musuh besarku, demikian kata ayahku. Maka kalau kau she Suma, aku pun menyesal telah mengobati lukamu... akan tetapi... hemm, kau... tampan dan gagah, engkau tentu orang baik, maka aneh kalau kau she Suma karena menurut Ayah, she Suma adalah she orang-orang yang jahat dan menjadi musuh besar kami.”

Kian Lee mengerutkan alisnya. “Kalau boleh saya bertanya, Nona...”

“Nanti dulu, aku benci caramu menyebut aku nona! Aku sudah muak karena setiap hari orang-orang kami menyebutku nona dengan sikap menjilat hingga tiap kali mendengar sebutan nona, aku membayangkan sikap orang menjilat-jilat yang menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau mendengarkan!”

Kian Lee makin heran. Bocah ini benar-benar aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi manja menggemaskan, masih bersikap kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu demikian tinggi tentang racun!

“Baiklah, aku akan menyebut siauw-moi (adik kecil)...”

“Iihhh, kau kira aku masih bayi? Aku sudah hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum begitu tua, kau pantas menjadi kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja, jangan pakai kecil segala!” katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa, akan tetapi lagaknya ini malah membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih mentah!

Akan tetapi karena maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian Lee yang merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata, “Baik, Moi-moi. Aku ulang lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu yang begitu membenci she Suma?”

“Namaku? Aku Kim Hwee Li.”

Kian Lee mengingat-ingat. Tidak pernah dia mendengar nama ini dan dia hanya tahu bahwa nama Hwee Li ini terdengar manis sekali.

“Dan ayahmu?”

“Tidak perlu kukatakan.”

“Kenapa?”

“Engkau tentu akan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang kujumpai dan kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku lalu lari ketakutan meninggalkan aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti itu dan berlari pergi setelah kuperkenalkan namanya.”

“Ahhh, masa? Katakanlah, aku tidak akan lari...” Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena pintu depan diketuk orang.

Gadis itu menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh Kian Lee betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang amat pucat, dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya kelihatan makin pucat lagi.

“Celaka...!” bisiknya dan jari-jari tangannya yang memegang lengan Kian Lee menggigil. “Kau... kau bersembunyilah di sini saja, jangan bergerak, jangan bernapas... jangan mengeluarkan suara... biar aku menghadapi Sukouw... jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan engkau menjadi korban Sukouw!”

Kian Lee yang menjadi bingung karena tidak mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk kembali, bersembunyi di balik tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke arah pintu depan.

Sedangkan Hwee Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus, melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu. Daun pintu terbuka lebar dan terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Hek-tiauw Lo-mo yang masuk dengan marah itu terbelalak kaget dan heran ketika melihat bahwa yang membukakan pintu adalah puterinya sendiri. Dengan menudingkan telunjuk kanannya yang besar dan berkuku panjang ke arah muka gadis cilik yang tenang-tenang saja itu, dia menghardik, “Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di sini? Mana bibi gurumu?”

“Bibi Guru tidak ada di rumah, Ayah. Aku kesal Ayah tinggalkan di pondok kosong bersama anak buah yang kasar-kasar itu, maka aku datang mengunjungi Sukouw. Akan tetapi dia pun tidak ada dan aku senang di sini bermain-main dengan kucing-kucingnya. Ayah, biarkan aku bermain-main di sini sendiri bersama kucing-kucing ini, kalau tidak boleh aku akan menangis sehari semalam!”

“Wah-wah, kau memang manja dan tidak beres! Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana perginya pelacur tak tahu malu itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia pulang, nanti kalau dia pulang katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh dia datang mengunjungi pondok kita.”

“Baik, Ayah. Kau baik sekali, Ayah, engkau ayah yang baik. Terima kasih!” berkata demikian, Hwee Li mengantar ayahnya keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berlari menghampiri Kian Lee.

Kian Lee sudah bangkit berdiri, jantungnya masih berdebar tegang. “Dia itu ayahmu? Hemm, kiranya ayahmu Hek-tiauw Lo-mo...”

Hwee Li terkejut dan memandang wajah yang tampan itu penuh pertanyaan. “Jadi engkau sudah mengenal ayahku?”
Kian Lee mengangguk, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik yang telah menolongnya ini bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega mengatakan ini.

“Dan kau tidak takut kepada ayahku?”

“Tidak, mengapa takut? Dia seorang ayah yang baik, bukan?”

Hwee Li melepaskan kucingnya dan memegang kedua tangan Kian Lee. “Aihhh, Twako, engkau hebat! Engkaulah orang pertama yang mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada ayahku! Padahal semua orang takut. Memang dia seorang ayah yang baik, akan tetapi... kadang-kadang... aku pun takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama jika kepadaku, akan tetapi bisa juga... hemmm... amat kejam... ahhh, sudahlah, tidak baik membicarakan ayah sendiri, bukan?”

Kian Lee mengangguk, terheran-heran. Bagaimana seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo dapat mempunyai seorang anak perempuan begini cantik jelita?

“Engkau tadi tampaknya lebih ketakutan ketika mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu. Mengapa? Siapakah bibi gurumu?”

“Bibi guruku ada dua orang. Twa-sukouw, bibi guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi guru kedua yang amat mengerikan. Kalau dia yang datang dan melihatmu, aku tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan engkau.”

“Kenapa?”

“Dia tidak akan melepaskan pemuda tampan dan gagah seperti engkau, tentu engkau akan dilarikannya dan paling lama tiga hari engkau akan kedapatan mati di suatu tempat.”

“Hemm, apa yang dilakukannya?”

“Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ayah pun membenci kebiasaannya yang mengerikan itu. Setiap kali dia tentu menculik pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, hanya pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya. Mengerikan!” Hwee Li bergidik.

Kian Lee teringat akan nenek bertongkat yang amat lihai itu, yang membuat pahanya terluka. “Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?” tanyanya.

“Yang seorang buruk sekali akan tetapi yang kedua cantik sekali. Engkau tentu telah bertemu dengan bibiku yang cantik itu, dan untung engkau tldak sampai dibawanya lari, hanya terkena senjatanya. Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak, bukan?”

Kian Lee mengangguk. “Benar, akan tetapi yang melepasnya bukanlah seorang wanita cantik, melainkan seorang nenek buruk sekali, nenek yang bertongkat dan...”

“Ah, dia itu Twa-sukouw!” Hwee Li berseru heran. “Tentu dia telah mencuri senjata rahasia Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli pembuat senjata rahasia peledak itu adalah Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau sampai bertanding melawan Twa-sukouw?”

“Hemm... karena dia membantu pemberontak.”

“Pemberontak, pemberontak! Urusan kerajaan dan pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako! Agaknya Ayah dan kedua orang bibi guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw, menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak pemberontak. Entah pula dengan Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kau antarkan aku kembali ke Pulau Neraka saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku datang dari Pulau Neraka, bukan?”

“Tidak, Hwee Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo.”

“Eh, jadi kau sudah mengenal Ayah sebagai Ketua Pulau Neraka?”

“Aku sudah mengenal ayahmu, akan tetapi tidak tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu baru sekarang aku mengetahuinya. Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan kau tidak ada di sana...”

“Hehh...? Benarkah? Dua tahun yang lalu... hemm, aku masih dikurung di dalam kamar latihan, tidak boleh keluar sama sekali dan baru setahun yang lalu aku diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun yang lalu...? Kakak beradik...? Wah, wah, aku sudah mendengar tentang keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?”

Kian Lee mengangguk dan Hwee Li segera meloncat mundur ke belakang, memandang ketakutan. “Tentu engkau akan membunuh aku!”

“Tidak, tidak Hwee Li. Engkau adalah gadis yang baik sekali, mengapa pula aku harus membunuhmu?”

“Engkau dan adikmu itu putera-putera Pendekar Siluman...”

“Pendekar Super Sakti!”

“Tocu (Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh besar Ayah!”

“Tapi aku tidak memusuhimu, juga tidak memusuhi ayahmu atau siapa pun juga, Hwee Li.”

“Benarkah? Aku girang sekali kalau begitu. Aihhh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma! Wah, kalau begitu, engkau harus cepat pergi dari sini, Twako. Kalau Ayah tahu engkau putera dari Pulau Es, tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau pun tentu akan diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku, ya?”

Kian Lee mengangguk dan tersenyum. “Engkau anak manis dan telah menyelamatkan aku, Hwee Li. Mana mungkin aku bisa lupa kepadamu?” Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak terpincang. Setelah mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat siapa pun, dia membuka daun pintu dan hendak melangkah keluar.

“Twako...!”

Kian Lee menoleh dan melihat gadis cilik itu berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi, berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini cantik luar biasa, sungguh pun masih belum dewasa benar sudah nampak kecantikannya.

“Ada apakah, Hwee Li?”

“Twako, kau benar-benar... tidak akan lupa kepadaku?”

Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepalanya.

“Dan aku... aku suka kepadamu, Twako!”

Kian Lee terharu, dan meraba serta mencubit dagu yang manis itu. “Tentu saja, engkau seperti adikku sendiri!”

Mulut yang manis itu cemberut. “Aku tidak suka menjadi adikmu!”

“Habis bagaimana?”

“Kita adalah sahabat, bukan kakak dan adik.”

“Baiklah, engkau sahabatku yang paling baik dan manis, Hwee Li. Ehh, aku lupa untuk bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang sukouw-mu itu?” Kian Lee perlu untuk menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek Lihai karena nenek itu telah menjadi musuhnya, membantu pemberontak, bahkan telah melukainya.

“Twa-sukouw berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw Siauw Mo-li (Siluman Kucing). Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan mereka, Twako, terutama kalau bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan lebih berbahaya dari Twa-sukouw.”

“Terima kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal.”

“Jangan lupa kepadaku, Twako, dan sekali-kali carilah aku.”

Kian Lee mengangguk, tersenyum, lalu meloncat keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia membalik, tanpa disengaja dia menginjak sesuatu yang lunak.

“Awas, Twako...!” Hwee Li mengingatkan.

Kian Lee meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terinjak ekornya itu menyerangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee telah leblh dulu mengelak.

“Wah, berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing di sini mengandung racun berbahaya, Twako.”

“Ehh?”

“Ji-sukouw suka sekali memelihara kucing dan... ehh, dia sendiri sifatnya seperti kucing. Semua kucing ini adalah peliharaannya.”

Kian Lee menghela napas. Aneh-aneh orang dunia kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua Pulau Neraka dan dua orang sumoi-nya itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia mengangguk lagi dan kini melesat ke luar, sebentar saja lenyap meninggalkan Hwee Li yang cemberut dikelilingi kucing-kucing itu.....


********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar