Kisah Sepasang Rajawali Jilid 31-35

Kho Ping Hoo,Kisah Sepasang Rajawali Jilid 31-35. Tek Hoat yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apa lagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali.
Anonim
Tek Hoat yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apa lagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali. Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu penuh dengan mata-mata musuh. Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan pasukan-pasukan dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk menangkapi mata-mata musuh, terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah ke rumah ini oleh Tek Hoat ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi!

Pasukan Tambolon mulai bergerak di bawah pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah bersepakat dengan pihak pemberontak untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas dari Raja Tambolon dan pasukannya. Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang karena penyerbuan itu berarti perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah dan yang terutama sekali banyak perempuan tawanan!

Pangeran Tua Liong Khi Ong juga sudah meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng Teng-bun bersama Panglima Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan pembersihan kota Koan-bun itu kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah Koan-bun direbut. Juga Tek Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan benteng Teng-bun, pusat pemberontakan itu. 

Biar pun hatinya menyesal sekali karena dia tidak berhasil menemukan Syanti Dewi, namun Tek Hoat tidak berani membantah, apa lagi saat itu memang merupakan saat yang penting di mana pihak pemberontak sudah siap mengerahkan kekuatan untuk sewaktu-waktu menyerbu ke selatan, yang diawali oleh penyerbuan pasukan liar Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu.

Para penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi panik setelah pada hari-hari kemarin dibikin geger oleh berita munculnya pasukan liar dari Raja Tambolon. Kini mereka menjadi panik karena setiap rumah di dalam kota itu digeledah oleh prajurit-prajurit yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kasar. 

Perang memang merupakan puncak kekejaman dari manusia yang mengumbar hawa nafsunya yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di dalam keadaan kacau oleh perang selalu dipergunakan oleh manusia penguasa untuk memuaskan hawa nafsunya. Dalam penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun, biar dalihnya adalah untuk pembersihan dan menangkapi mata-mata musuh, akan tetapi pelaksanaannya banyak diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga terjadilah hal-hal yang amat aneh, kejam dan keji. Kesempatan ini dipergunakan oleh mereka yang berkuasa, dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang memimpin pasukan penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas rakyat. Yang termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang.

Penyogokan atau sumbangan paksaan setengah merampok, mengambil benda-benda berharga yang kecil-kecil secara begitu saja. Yang tidak mampu menyogok, ada yang dipaksa menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar ‘menghibur’ Sang Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke seluruh rumah, dan tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung beberapa lama di dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si Gadis yang dipaksa melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggota tentara. Banyak pula orang yang ditangkap dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah bermacam-macam hanya untuk pelampiasan kemarahan dan dendam pribadi!

Para pembantu, penyelidik dan mata-mata yang disebar oleh Jenderal Kao dan Puteri Milana, juga anggota Tiat-ciang-pang yang menganggap diri sendiri sebagai pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika melihat betapa banyak teman mereka telah tertawan dan pembersihan masih terus dilakukan. Setelah main kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari pengejaran para pasukan pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah Tiat-ciang-pang bersama belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng yang amat tinggi, bingung karena mereka tidak memperoleh jalan keluar setelah benteng ditutup dan dijaga dengan ketat oleh pasukan pemberontak.

Cuaca senja remang-remang dan mereka berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari akal bagaimana mereka akan dapat keluar dari tempat itu.

“Kita bongkar tembok saja.”

“Ah, akan makan waktu terlalu lama.”

“Selain itu juga berisik dan tentu ketahuan penjaga.”

“Temboknya tebal sekali, tidak mudah membongkarnya tanpa alat lengkap.”

Selagi mereka bercakap-cakap mencari akal, karena untuk meloncat ke atas tembok yang tinggi sekali itu adalah hal yang tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara mereka memberi isyarat, “Sssttt... ada orang...!”

Bagaikan segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan orang ini menyelinap ke sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap bersembunyi! Si Gendut yang memimpin rombongan itu bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan tampan bernama A Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si Gendut ketika melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga, bahkan bukan pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh kelihatan betapa pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.

“Ssst, A Ciang, dia itu wanita, tentu akan tertarik dan suka menolongmu. Kau mintalah tolong kepadanya agar dia suka mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita pakai melarikan diri. Kalau kita memasang kaitan dan melontarkan tali yang panjang ke atas dinding, kita tentu dapat memanjat naik dan keluar dari sini,” berkata Si Gendut kepada temannya.

A Ciang mengangguk dan dia membereskan pakaiannya, kemudian keluar dari tempat persembunyiannya menanti datangnya wanita dari depan itu. Setelah wanita itu datang mendekat, A Ciang hanya melongo dan tidak bisa bicara! Dia terpesona menyaksikan wanita itu karena setelah dekat tampaklah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi kelihatan masih muda sekali, cantik jelita luar biasa, dengan wajah manis yang mengandung tantangan pada sinar mata dan senyumnya. Tubuhnya padat dan ramping penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada bagian dada demikian ketat menempel dadanya sehingga membayanglah sepasang buah dadanya yang menonjol. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat seorang wanita secantik ini!

Ketika wanita itu melihat ada seorang laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam dengan sepasang matanya yang indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi pandang matanya penuh selidik menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A Ciang yang usianya baru dua puluh lima tahun itu.

“Engkau mau apa menghadang perjalananku?” Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan merayu, mulut dan bibir merah itu bergerak genit ketika bicara.

A Ciang menelan ludahnya sebelum menjawab. “Maaf... Nona, saya... saya, ehhh, ingin minta tolong kepada Nona...”

“Minta tolong apa? Dan mengapa banyak teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah kalian perampok?”

Mendengar ini, A Ciang terkejut bukan main. Wanita ini tahu bahwa banyak temannya bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga Si Gendut mendengar kata-kata ini maka dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti seekor katak besar keluar dari sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk keluar karena percuma bersembunyi setelah wanita itu mengetahui akan keadaan mereka. Pula, seorang wanita tentu saja tidak akan membahayakan keadaan mereka.

“Mereka adalah kawan-kawanku...,” A Ciang berkata.

Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu. “Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami. Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh serigala-serigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat, melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi negara dan rakyat...”

Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis sekali gerakan ini, apa lagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat bagus. “Jadi kalian ini adalah mata-mata kerajaan?”

“Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang membantu pemerintah menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu kami.”

“Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya? Mengapa harus menggunakan tali?”

“Ahhh, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio juga mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih aman?” Si Gendut bertanya.

Wanita itu menggelengkan kepala. “Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding ini, tapi tanpa tali.”

Semua orang yang mendengar ini terkejut sekali dan memandang dengan terbelalak. “Tanpa tali...?” Si Gendut bertanya.

“Nona yang baik, harap Nona suka mengajari saya agar kami dapat keluar dari sini sebaiknya,” kata A Ciang.

Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, kemudian dia tersenyum. “Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk kalian.” Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.

“Mampus! Dia melapor kepada penjaga!”

“Wah, dia siluman, kita akan celaka!”

“Hushhh, harap tenang dulu, kawan-kawan. Aku tidak percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!” kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang dan membawa segulung tali!

“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kata wanita itu kepada A Ciang sambil terus melempar kerling dan senyum manis, membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya. “Nah, ini tambangnya, bagaimana kalian akan naik?” tanya wanita itu sambil tersenyum mengejek, agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini.

Si Gendut yang paling lihai di antara mereka, mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu itu meluncur tinggi dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang. Akan tetapi jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan jatuh kembali.

“Sayang tidak ada besi pengait...,” Si Gendut akhirnya berkata jengkel.

“Berikan padaku tali itu, biar aku yang membawanya ke atas,” tiba-tiba wanita itu berkata.

Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika A Ciang menyerahkan tali, jari mereka bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya seperti menari-nari, menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya, menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum manis kepada mereka semua lalu... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak, mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Oleh karena merayap naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah tampak melenggang-lenggok.

“Aihhh... dia lihai sekali...!”

“Dan cantik bukan main...”

“Seperti bukan manusia...!”

“Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) saja...!”

“Wanita hebat!”

“Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!”

Demikian seruan-seruan belasan orang yang semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip. Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka telah bertepuk tangan dan memuji.

Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan memegang ujungnya dengan tangan kiri. “Panjatlah!” perintahnya.

Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila, pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita itu? Mana kuat?

“Talikan ujungnya...!” kata Si Gendut dengan bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mendengarnya, demikian pikir teman-teman yang lain.

“Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai sekali, tentu dia kuat menahan dengan tangannya,” kata A Ciang dan dia segera memegang ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya.

Benar saja. Tali itu tetap saja menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biar pun pada tali itu kini bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!

Setelah belasan orang itu berada di atas tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar tali ke luar sehingga tergantung di luar tembok. “Nah, turunlah!” katanya halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!

“Bukan main...!”

“Hebat sekali dia...!”

Semua orang memandang terbelalak melihat betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya, melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan sekali wanita itu hinggap di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya yang melayang tadi.

Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali itu ke atas tanah.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang sedang melarikan diri ini.

“Lari...! Kita berpencar...!” Si Gendut memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.

“Kau lari bersamaku, A Ciang!” tiba-tiba wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang. Dia mengenal nama pemuda tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali

A Ciang tidak menjawab, bahkan tidak mungkin bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia merasa tubuhnya ‘diterbangkan’ oleh wanita itu. Teman-temannya juga tidak ada yang memperhatikan karena mereka sedang sibuk mencari keselamatan masing-masing.

Mereka bukanlah orang-orang penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdik, maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat tembok benteng itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan orang seperti mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut memerintahkan agar mereka berpencar sehingga andai kata ada yang tertangkap atau terbunuh, tidak semua anggota rombongan itu menjadi korban seperti kalau nekat melawan di tempat berbahaya itu.

Komandan pasukan menjadi marah melihat bahwa belasan orang itu melarikan diri. Tahulah dia bahwa tentu mereka itu adalah mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam benteng dan baru saja melarikan diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan dengan lima puluh orang prajurit dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu adalah seorang perwira muda yang tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan menunggang seekor kuda putih.

Para anggota Tiat-ciang-pang makin panik melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat mereka melarikan diri di sebuah ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita itu tadi bahkan telah mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke dalam alang-alang yang tingginya sama dengan manusia. 

Dia menggandeng tangan A Ciang dan terus menyusup sampai ke tengah-tengah ladang itu dan mereka seolah-olah tenggelam di dunia tersendiri yang sunyi dan yang terdengar hanya berkelisiknya alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya berombak seperti air laut. Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau ada yang dekat dengan tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka yang aneh.

“Ahhh, Kouw-nio...!” Terdengar suara A Ciang gagap.

“Hemmm, kenapa? Apakah kau tidak suka padaku? Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau... hem...?” Suara bisik-bisik serak ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor kucing.

“...Koauw-nio... kau cantik sekali...”

“Kau suka? Aku suka kepadamu, A Ciang, dan kalau kau pun suka... hemm...”

“Kouw-nio... hemmm...!”

Tak terdengar lagi mereka bercakap-cakap, yang terdengar hanya berkereseknya daun alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, berngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut seperti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem.

Dan memang ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan seorang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya, “Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!”

“Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?”

“Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara kucing indehoi, bukankah sama benar suaranya?”

Mereka berdua kini diam, mendengarkan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang marah, kadang-kadang juga halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeramkan!

Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasaran. “Serbu ke dalam ladang!” perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda. Belasan golok prajurit yang memegang perisai dan golok menyerbu ke dalam ladang itu.

Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut robohlah enam orang prajurit, yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak bergerak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para prajurit pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba.

Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan keluar dari ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba, “Bakar...!”

Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke tengah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat mereka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka. 

Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan ancaman api yang makin ke tengah. Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan berloncatan, tidak menjauhi pasukan yang mengejar para pelarian yang lain, melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat. Tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi. Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledakan terus terdengar susul-menyusul.

Perwira muda itu terkejut bukan main, maklum bahwa wanita itu menggunakan senjata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih prajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak.

Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang teman memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Anehnya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! 

Beramai-ramai mereka menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik.

Dengan sedih juga terheran-heran akan kematian A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu mengubur mayat itu dengan menggali pasir gunung dan mereka pun tidak melihat lagi wanita cantik yang tadi telah menyelamatkan mereka dengan menyerang pasukan secara hebat menggunakan senjata-senjata mukjijat yang dapat meledak.

“Mengapa A Ciang mati?” Pertanyaan ini berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati semua orang.

Mereka menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini wanita cantik itu tidak kelihatan lagi.

Siapakah sesungguhnya wanita yang penuh rahasia itu? Tentu pembaca sudah dapat menduganya kalau mengingat cerita Kim Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik ini adalah sukouw-nya yang kedua, sumoi dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring yang merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian dari Korea. Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian tinggi sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah dari kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok bersama-sama dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang kini menjadi Ketua Lembah Hitam.

Hek-tiauw Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi. Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul membantu pemberontak dan melukai Kian Lee dengan senjata peledaknya, seorang nenek yang amat lihai. Ada pun yang kedua adalah Mauw Siauw Mo-li itulah!

Tidak ada orang mengenal nama aslinya, dia hanya dikenal di daerah utara, di antara orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai Si Siluman Kucing atau Sang Kucing Liar. Mendengar nama Kucing Liar ini, orang-orang di daerah utara, betapa pun gagahnya dia, akan merasa seram dan ketakutan. Melihat orangnya, Si Kucing Liar ini memang sama sekali tidak menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang laki-laki, tua mau pun muda, kalau dia waras otaknya dan tidak buta, sudah tentu akan mengakui akan kecantikan Mauw Siauw Mo-li. 

Cantik jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur dengan dagu kecil meruncing, tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat lekuk yang manis, dahinya mulus melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis halus di bawah rambut hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam subur dan amat panjang itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala, seperti gelung kaum puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh namun menarik. Rambutnya dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas dan batu kemala hijau.

Alisnya hitam kecil panjang tanpa dibantu alat hiasan, memang bagus bentuknya, dan sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening sekali, kadang-kadang dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung, kadang-kadang keras seperti baja dan dingin seperti salju, akan tetapi kadang-kadang, dibarengi suara rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan sinar yang halus lembut dan penuh kehangatan dan janji muluk. Bulu matanya lentik panjang, menambah keindahan sepasang mata itu. 

Hidungnya sedang saja, akan tetapi mulutnya! Hemm, banyak pria menelan ludah kalau menatap mulutnya karena setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan kemesraan yang menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi oleh bentuk tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung yang penuh kewanitaan dan kelembutan.

Pendeknya, Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk membangkitkan gairah birahi kaum pria, dan semua gerak-geriknya menunjukkan kecondongan yang khas seperti telah dikhususkan untuk bercinta. Akan tetapi di balik semua kecantikan yang mempesonakan ini bersembunyi sesuatu yang membuat semua orang bergidik dan merasa ngeri.

Wanita ini dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa berkedip! Dan kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua petualang di utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah kebiasaan wanita ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan celakalah kalau terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau lebih dalam keadaan yang mengerikan!

Siluman kucing ini sebenarnya adalah seorang wanita yang kini menjadi setan yang haus akan belaian pria. Semenjak berusia enam belas tahun, dia telah menjadi janda karena setelah menikah selama satu tahun suaminya meninggal dunia! Di waktu menjanda, beberapa kali dia diambil isteri muda oleh bermacam orang, akan tetapi semua itu telah gagal.

Ada yang mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan. Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang sangat binal. Kemudian dia diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea, yaitu guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya melebihi orang-orang muda!

Setelah menjadi kekasih kakek ini, barulah ada yang kuat bertahan menjadi pasangan atau ‘suami’ wanita cantik ini sampai belasan tahun lamanya! Si kakek tidak pernah menjadi bosan karena memang kekasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh gairah hidup dan penuh nafsu berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa cukup puas karena Si Kakek memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian hebat dan yang amat menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai menerima latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

Demikianlah, dia menjadi kekasih dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo, bahkan karena ‘suaminya’ amat sayang kepadanya, dia diberi ilmu-ilmu simpanan sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suheng-nya dan melebihi suci-nya! Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap sang kekasihnya yang tidak pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu itu, juga menyerah terhadap usianya yang tinggi. Dia kemudian meninggal dunia, meninggalkan tiga orang muridnya.

Wanita cantik jelita yang baru berusia tiga puluh tahun itu kembali menjadi janda. Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia kini adalah seorang janda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, juga merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan yang telah ‘matang’, dan celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia menjadi seorang wanita yang haus akan laki-laki dan semua kehausan itu dipuaskannya kapan saja dan di mana saja dia bertemu dengan pria yang muda dan tampan.

Tentu diculiknya pria itu, dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap rayuan mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh dalam pelukannya, dibuai oleh rayuan, belaian dan permainan cintanya sehingga seperti seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun tak dapat lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering, kemudian mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat!

Entah sudah berapa puluh, berapa ratus atau berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi korbannya. Celaka bagi Kucing Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk pria yang menjadi korbannya, makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia masih terus mencari-cari karena dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria saja. Kalau saja dia berhasil menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman hidup selamanya! Akan tetapi selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan hatinya kemudian, menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar dari kenikmatan.

Ciri khas dari wanita ini adalah suara yang keluar dari kerongkongannya, suara seperti kucing, bahkan persis kucing dan suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya apa bila perasaannya tersentuh dan bergelora, di waktu dia marah, bingung, senang dan terutama sekali di waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah yang membuat dia dijuluki orang Siluman Kucing atau Kucing Liar!

Selama bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo yang merupakan nenek buruk rupa, dan Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita, selalu berkeliaran di daerah utara, di antaranya gurun pasir dan pegunungan sehingga nama mereka hanya terkenal di kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan di perbatasan Negara Korea. Dunia kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada yang mengenal nama-nama ini. Akan tetapi karena mereka berdua menerima undangan dari suheng mereka, Hek-tiauw Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah mereka sendiri-sendiri ke Koan-bun. 

Seperti kita ketahui, nenek buruk Hek-wan Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak karena dia melihat kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mernbantu pemberontak. Ada pun Mauw Siauw Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai ketagihan karena sudah beberapa lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan. Kebetulan dia melihat rombongan anggota Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari kota itu dan dia tertarik oleh A Ciang yang segera diincarnya sebagai korbannya malam itu.

Kini, Si Gendut dan teman-temannya melewatkan malam itu di daerah batu gunung berkapur itu. Malam terlalu gelap bagi mereka untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka. Pada keesokan harinya, dari jauh mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke tempat itu. Mereka segera berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima belas orang.

“Kita tidak bisa lari,” Si Gendut berkata. “Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak oleh mereka dan dikejar terus. Lebih baik kita bersembunyi dan setelah mereka pergi, baru kita melanjutkan perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan pemerintah.”

“Ihh... begitukah seharusnya sikap orang-orang gagah, hanya bersembunyi saja seperti segerombolan pengecut?” Tiba-tiba terdengar suara halus ini.

Mereka terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka telah berdiri wanita cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang membakar ladang ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga merasa ngeri karena munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang mengetahuinya dan tidak ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung memikirkan kematian A Ciang yang demikian anehnya.

“Ahh, kiranya engkau yang datang, Kouw-nio? Kami amat berterima kasih atas bantuan Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian setinggi langit,” kata Si Gendut.

Bibir yang merah itu mencibir, akan tetapi kelihatannya tambah manis!

“Kalau kalian memang bermusuhan dengan pasukan itu, kenapa kalian tak menyambut mereka dengan perlawanan?”

“Jumlah kami hanya lima belas orang, dan mereka ada lima puluh orang lebih...”

“Lima belas orang sudah terlalu banyak untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat membuat mereka terpencar dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih sukarnya mengalahkan mereka? Aku pun akan berpesta membantu kalian menghadapi mereka.”

Semua, orang berseri wajahnya. “Dengan Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami takuti? Kami tidak takut sekarang!” Si Gendut berkata.

“Benar, kami tidak takut kalau Kouw-nio yang sakti membantu kami!” teriak seorang lain, yaitu yang masih muda dan yang sejak tadi memandang ke arah dada wanita itu dengan mata seperti mata seekor anjing melihat tulang!

Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri memperlihatkan diri menanti datangnya pasukan yang dipimpin oleh perwira muda berkuda putih itu. Perwira itu tinggi besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan lihai.

“Kalian permainkan pasukan itu, akan tetapi berikan perwira itu kepadaku. Biar aku saja yang menghadapinya!” Mauw Siauw Mo-li berkata sambil tersenyum manis dan dari kerongkongannya keluar suara lirih melengking seperti suara kucing! Mendengar ini, Si Gendut dan teman-temannya menggigil dan merasa serem, teringat mereka akan suara kucing itu malam tadi ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.

“Cepat menyebar dan bersembunyi...!” Wanita itu berkata dan begitu pasukan itu sudah mendekat, mereka menyelinap ke kanan kiri dan bersembunyi di balik batu-batu kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan dada yang sudah busung itu dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada perwira muda yang menahan kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.

“Haii kalian mata-mata hina! Menyerahlah sebelum kami bunuh semua!”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Apakah engkau juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda yang gagah perkasa?” Dia malah melangkah maju menghampiri kuda yang meringkik-ringkik itu.

Perwira muda itu terkejut melihat bahwa di antara para mata-mata yang dikejarnya itu terdapat seorang wanita yang begini cantik dan menariknya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa mata-mata pemerintah banyak pula orang yang pandai dan merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya, maka sambil berseru keras dia lalu menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang wanita cantik itu sambil mengayun pedangnya.

Akan tetapi dengan mudah sekali Si Kucing Liar mengelak ke kiri. Empat orang prajurit menyambutnya dengan senjata golok mereka, menyerang dengan berbareng untuk membantu komandan mereka. Amat mudah bagi wanita itu untuk mengelak sambil tersenyum dan kaki tangannya bergerak, maka robohlah empat orang itu tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja Si Perwira Muda terkejut sekali, kudanya diputar dan kembali pedangnya menyerang dari atas kuda dengan dahsyat.

“Ihh, benarkah engkau kejam hendak membunuhku?” Mauw Siauw Mo-li bertanya halus sambil terkekeh dan matanya mengerling genit. 

Pedang itu bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah dapat menyentuh baju wanita itu yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti gerakan seekor burung walet. Tiba-tiba dia berseru, “Turunlah kau!” dan sambil mengelak tangannya terus menyambar ke samping.

“Crotttt...!”

Tangan yang berjari kecil-kecil dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti ujung golok saja. Kuda putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan ketika perwira itu berusaha menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia, terjatuh dari atas kuda yang terus melarikan diri itu.

Melihat komandannya jatuh, delapan orang anggota pasukan cepat menerjang wanita itu sehingga Si Perwira sempat bangkit kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw Mo-li hanya tersenyum-senyum saja, tubuhnya tidak banyak bergerak, seolah-olah menanti datangnya serangan. Hebatnya, siapa saja yang berani mendahului menyerangnya, kalau tidak roboh tentu senjatanya terlempar sebab dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu sudah menangkis tangan yang memegang pedang atau golok.

Sementara itu, Si Gendut dan kawan-kawannya juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan berhasil merobohkan banyak lawan dengan penyergapan tiba-tiba, lalu menyelinap dan lari bersembunyi lagi di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di tempat itu. Pasukan yang menunggang kuda sudah turun semua dari kuda masing-masing karena makin berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil menunggang kuda.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan teriakan gemuruh. Ternyata yang datang adalah pasukan terdiri dari seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari kota Koan-bun karena perwira yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan berkuda untuk mendatangkan bala bantuan.

Melihat ini, paniklah para anggota Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biar pun tetap melakukan perang kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para anggota pasukan itu sekarang mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok mengandalkan banyak orang, maka Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani lagi sembarangan menyergap seperti tadi.

Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan. Biar pun tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka sambil tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.

“Darrrrr...!”

Benda itu meledak dan belasan orang prajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para pengeroyok dan pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri. Hanya terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka memandang lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah lenyap.

“Kejar mereka! Cari mereka sampai dapat. Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang tentu menjadi pemimpin mereka!” Perwira itu dengan hati penasaran dan marah memberi aba-aba.

Terjadilah kejar-kejaran sampai sehari penuh. Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggota Tiat-ciang-pang terpaksa terus melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi di balik batu-batu gunung sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu kapur terakhir, dekat gurun pasir. Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa lari ke arah padang pasir yang berbahaya. Akan tetapi, ketika itu hari telah berganti malam dan baik yang dikejar mau pun yang mengejar telah merasa lelah sekali sehingga masing-masing melewatkan malam sambil beristirahat.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan para anggota Tiat-ciang-pang. Mereka dikejar-kejar sehari penuh, terus berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada ransum sama sekali sehingga selain kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu yang tentu saja dapat makan dan minum ransum dari perlengkapan mereka.

Akan tetapi malam itu, di pihak pasukan yang jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi keributan. Komandan mereka, Si Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum sambil duduk di atas batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah aneh. Ketika itu, perwira mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun, wajahnya agak keruh karena perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat membasmi belasan orang buruannya. Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat yang sunyi menyeramkan itu terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal yang amat aneh dan semua orang menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana datangnya suara kucing itu. Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin dekat di tempat itu.

“Kucing keparat!” Seorang prajurit memaki sambil menyambar tombaknya. “Kalau kau dapat olehku, akan kusate dagingnya!”

“Haii, Lai-ciangkun ke mana?” Teriakan ini terdengar dari seorang prajurit yang tadi duduknya tidak jauh dari perwira itu.

Semua orang memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi dan saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira muda itu lenyap! Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru saja dimakannya, terguling dan sepasang supitnya juga berceceran.

Semua orang mencari, akan tetapi tidak melihat jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh terdengar suara kucing mengeong! Untuk mencari lebih jauh mereka tentu saja tidak berani sebab tak ada yang memerintah mereka, dan mereka tahu betapa berbahayanya mencari di waktu malam gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh dapat muncul dan menyerang mereka dari tempat gelap. Mereka terpaksa menanti-nanti dengan hati berdebar tegang, menanti datangnya pagi.

Sementara itu pula, di antara batu-batu gunung kapur di mana Si Gendut dan kawan-kawannya bersembunyi dengan tubuh lelah, perut lapar dan hati tegang penuh khawatir, juga terjadi peristiwa yang menegangkan. Karena pegunungan yang sunyi melengang itu tiba-tiba menjadi menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing mengeong-ngeong! 

Dan suara kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu kasih di bawah terang bulan di atas genteng! Mendengar suara ini, mereka semua menjadi seram dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam sebuah goa, bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah mereka tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu pertempuran gerilya siang tadi.

“Menyeramkan...!” Si Gendut mengomel.

“Tentu suara siluman kucing.”

“Mengingatkan aku akan kematian A Ciang.”

“Hushhh, jangan sembarangan. Mungkin itu memang kucing penduduk yang tersesat di sini.”

“Ah, mana bisa! Kucing tersesat yang kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu, berulang-ulang. Tapi itu... hemm, dengarkan... suaranya merengek tinggi rendah, persis suara kucing kawin!”

“Suaranya datang dari atas sana, di mana banyak batu-batu besar...”

“Sudah,” kata Si Gendut akhirnya untuk meredakan ketegangan hati kawan-kawannya. “Suara apa pun adanya itu, besok pagi-pagi sekali kita melihatnya sambil melarikan diri. Kalau besok kita tidak dapat melarikan diri dari mereka itu, berarti kita semua akan mati konyol.”

Suara kucing itu terdengar terus-menerus semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti beberapa lama lalu diulang lagi. Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan sehingga tiga belas orang pelarian itu sama sekali tidak dapat tidur dan hati mereka selalu tegang. Mereka menanti datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di tempat sesunyi itu, gelap pekat lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang berada tidak jauh di belakang mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia itu sungguh amat menegangkan hati dan syaraf mereka.

Pada keesokan harinya, baru saja terang tanah dan memungkinkan mereka bergerak, tiga belas orang ini sudah menyelinap di antara batu-batu menuju ke atas bukit terakhir yang penuh dengan batu-batu besar itu. Suara kucing sudah tak terdengar lagi sejak tadi.

Tiba-tiba mereka berhenti dan Si Gendut menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua berindap maju beberapa langkah untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam keremangan pagi, tampak olehnya seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan setengah telanjang, sedang duduk di atas batu besar membelakangi mereka.

Rambut wanita itu hitam dan panjang sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai ke bawah dan kini wanita itu sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang mengulet. Dipandang dari tempat itu, dia menyerupai seekor kucing besar yang sedang mengulet-ulet dan menjilat-jilati bulu-bulunya! Akan tetapi yang membuat tiga belas orang itu terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat sebujur tubuh pria tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat dan lehernya tampak merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang tersenyum. Persis seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan lehernya penuh guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apa lagi ketika melihat bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat setumpuk pakaian perwira!

Teringat kepada A Ciang, Si Gendut menjadi marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman inilah yang telah membunuh A Ciang, maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk menerjang maju sambil berseru, “Siluman kucing keparat!”

Dua belas orang meloncat dan menerjang, mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir rambutnya. Yang seorang lagi, seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut menyerang karena kedua lututnya sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat digerakkan. Pemuda ini bukan seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia amat gagah berani tidak takut mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu takut sekali kepada setan dan iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah menggigil. Apa lagi sekarang dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang benar-benar! Maka dia tidak mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi, seluruh tubuhnya menggigil.

“Hi-hi-hik!” Wanita itu terkekeh genit sambil membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di atas batu.

“Ahhh...!”

“Ohhhh...!”

“Kouw-nio...!”

Semua orang terbelalak memandang. Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik yang telah menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan tembus pandangan sehingga tampak bentuk tubuhnya yang mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke lutut, matanya bersinar-sinar.

“Kalian memaki aku siluman kucing keparat? Nggg...!”

Kembali terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut air, dan tiba-tiba mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh wanita itu melayang turun dan menyambar ke arah mereka.

Terdengar bunyi pekik susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu. Setiap kali jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing merah itu menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut yang menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing Liar itu mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya menyambar ke depan.

“Crottt...! Retttt...!”

Tubuh Si Gendut terjengkang dan dari perutnya yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mauw Siauw Mo-li memancar darah merah, sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku tangan kiri, juga mengucurkan darah.

Orang kurus pucat yang bersembunyi, memandang dengan terbelalak dan hampir saja dia pingsan. Hanya terdengar suara kucing menangis, makin lama makin lirih dan wanita itu sudah lenyap dari situ. Si Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk pergi dari situ, menyelinap di antara batu-batu, jatuh bangun dan hampir terkencing-kencing saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia dapat juga berlari jauh dan tujuannya hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan melaporkan semua itu kepada pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau Lu-bengcu.

Rombongan pasukan yang setelah pagi tiba kini berani mencari-cari komandannya, kini telah tiba di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika menemukan komandan mereka dalam keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat, mayat yang tersenyum seolah-olah ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat menyenangkan. Dan tak jauh dari situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan yang berserakan malang-melintang, semua terluka di leher oleh bekas-bekas cakaran seperti yang terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa pasukan ini menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun untuk melapor, dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara tentang semua keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing.....


********************
Wajah Ceng Ceng menjadi merah saking marahnya mendengar pelaporan anggota Tiat-ciang-pang yang kurus bermuka pucat itu. Mendengar kematian Si Gendut dan kawan-kawannya di tangan Siluman Kucing, dia hanya menjadi heran dan penasaran. Akan tetapi mendengar akan sikap Tek Hoat yang ternyata melanggar janjinya, tidak mencari jejak pemuda laknat musuh besarnya dan tidak pula memenuhi untuk tidak mencampuri urusan pemberontakan, dia menjadi marah.

“Keparat, manusia itu memang palsu dan licik!” bentaknya sambil mengepal tinju.

“Dia memang seorang kaki tangan pemberontak, Nona,” Si Topeng Setan yang selalu menemaninya itu berkata lirih.

“Itulah yang menjemukan! Dia menjadi wakilku, dan sekaligus dia menjadi kaki tangan pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam lumpur pengkhianatan pula. In-kong, secepatnya kita kerahkan semua anak buah dan kita membantu pemerintah membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang juga!” Biar pun Si Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap menyebutnya In-kong (Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih, juga sebetulnya dia menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk mempelajari ilmunya yang tinggi dan tentu saja untuk membantunya membalas dendamnya terhadap pemuda laknat yang dia tahu amat lihai itu.

“Akan tetapi, mengapa engkau merepotkan diri mencampuri urusan negara, Nona? Apa artinya kekuatan kita yang terdiri dari beberapa ratus kaum sesat ini menghadapi pemberontakan yang terdiri dari laksaan tentara yang terlatih?”

“In-kong, apa engkau tidak mendengar pelaporan tadi? Di utara sudah mulai geger, pemberontak mulai bergerak menduduki Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontak. Bagaimana kemudian aku dapat tinggal diam saja? Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak dahulu nenek moyangku adalah kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa bangsa. Kakekku adalah bekas pengawal kaisar yang setia! Apakah aku harus diam saja melihat negara dalam bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?”

Sepasang mata Topeng Setan tampak berkilat-kilat tanda kagum mendengar ucapan dan melihat sikap ini. “Akan tetapi, engkau juga mempunyai urusan pribadi yang lebih penting lagi, bukan?”

Ceng Ceng mengepal tinjunya. “Tentu! Urusan pribadiku itu adalah urusan mati hidup, selama hidupku aku tidak akan pernah berhenti sebelum musuh besarku itu dapat kubunuh!” Kini sepasang mata Topeng Setan memandang dengan lesu, seolah-olah dia tidak setuju dengan sikap ini. “Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan negara, urusan pribadiku ini tidak ada artinya. Maka, aku harus memimpin semua patriot, walau pun mereka itu dari golongan sesat, untuk membantu pemerintah mengusir pemberontak dan di samping itu, tentu saja aku juga akan mencari musuh besarku di sana!”

Topeng Setan tidak banyak cakap lagi, lalu memanggil para anggota Tiat-ciang-pang dan memerintahkan agar semua golongan sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil untuk diajak berangkat ke utara membantu pemerintah. Setelah semua orang golongan sesat berkumpul, yaitu mereka yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng Ceng lalu memerintahkan mereka dengan sedikit kata-kata saja.

“Pada saat seperti ini, negara membutuhkan bantuan kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan hanya manusia-manusia tidak berguna saja, tetapi kalau keadaan menghendaki, kalian dapat menjadi patriot yang tidak segan-segan pula mengorbankan nyawa demi negara. Negara kini terancam bahaya kaum pemberontak hina-dina, maka berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan diri dengan kesatuan yang anti pemberontak di sana. Contohlah perbuatan anggota Tiat-ciang-pang yang telah mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka akan selalu dijunjung tinggi sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang dianggap rendah.”

Ceng Ceng memang tidak mau membentuk suatu pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu caranya membentuk pasukan, juga hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan dapat dicurigai kalau mereka berangkat sebagai pasukan. Maka dia hanya menyuruh mereka masing-masing atau merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke utara dan di sana menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia sendiri lalu berangkat bersama Topeng Setan menuju ke utara.

Seperti telah dilakukannya sejak dia tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di sepanjang perjalanan Topeng Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada Ceng Ceng, yang lalu dilatih prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau melewatkan malam. Ceng Ceng kagum bukan main karena memang ilmu silat yang diajarkan oleh Topeng Setan kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang sukar baginya untuk menerima atau menguasainya karena memang dasar ilmu silatnya sendiri yang dia pelajari dari kakeknya tidak dapat menandingi tingkat ilmu yang diajarkan oleh Topeng Setan.

Tetapi, Si Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan kepadanya dan memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang cerdas itu dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng Ceng penasaran dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu sikapnya yang penuh rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya yang pendiam dan jarang sekali bicara kalau tidak ditanya.

Dia tak memaksa atau membujuk orang itu membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah saling berjanji ketika Topeng Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja menyerahkan diri karena kini Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya, Topeng Setan dengan mudah akan mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan semudah itu. Ketika menjadi tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling berjanji, yaitu Ceng Ceng tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan rahasianya, akan tetapi orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng dan akan mengajarkan ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi pembantunya, dan sudah mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji. Bagaimana dia dapat melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat ditutupi itu?

Betapa pun juga, ketika mereka habis berlatih dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung dari teriknya matahari, Ceng Ceng tidak dapat menahan keinginan tahunya dan berkata, “In-kong, aku heran sekali mengapa orang sepandai engkau ini selalu menyembunyikan nama dan rupa, seolah-olah ada sesuatu yang kau rahasiakan sekali. Aku sudah berjanji tidak akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali tahu mengapa engkau melakukan rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian rupa? Agaknya engkau takut akan sesuatu atau seseorang?”

Seperti tak disadari, Topeng Setan yang duduk di depan Ceng Ceng menggenggam sebuah batu dan batu itu remuk menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk. “Memang aku takut.”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. “Aku tidak percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, apa lagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi! Siapa yang kau takuti itu?”

Sejenak Topeng Setan tidak mau menjawab, dan Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi tak lama kemudian laki-laki itu berkata, “Aku takut kepada diriku sendiri...”

“Ehhh...?” Ceng Ceng berseru keras, “Mengapa...?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Kemudian dia pun berkata, “Nona sudah banyak bertanya, bolehkah aku juga mengajukan sebuah pertanyaan?”

“Hemmm, boleh saja, akan tetapi belum tentu aku dapat menjawabnya pula.”

“Nona mempunyai seorang musuh besar yang menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan mencarinya dan tak akan berhenti sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak tahu siapa namanya dan di mana dia berada, suatu hal yang amat sulit, dan menurut Nona, yang pernah melihat orangnya hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih mementingkan pemberontakan dari pada mencari orang itu. Kalau aku boleh bertanya, mengapakah Nona begitu membenci musuh besar itu? Apa yang telah dilakukannya?”

Ceng Ceng menundukkan mukanya yang terasa panas. Dia menekan perasaannya, kemudian mengangkat muka memandang topeng di depannya itu, menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Itu... itu adalah rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada orang lain.”

Sejenak sunyi di situ. Keduanya seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya Ceng Ceng yang lebih dulu berkata, “Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang dirimu, In-kong. Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai rahasianya sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain. Biarlah aku tinggal dalam rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu.”

Topeng Setan mengangguk-angguk setuju. Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika Ceng Ceng perlahan-lahan mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan menundukkan muka, matanya terpejam dan kelihatannya berduka sekali! Melihat keadaan orang itu, timbul rasa iba di hatinya dan dia pun menjadi lupa akan kedukaannya sendiri. Tadi pun dia tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya sedang melayang-layang dan mengingat-ingat akan semua pengalamannya, akan nasibnya yang buruk.

Akan tetapi melihat temannya begitu berduka, biar pun tidak kentara akan tetapi melihat pundak yang turun itu, muka yang tunduk dan mata yang terpejam, dia dapat menduga bahwa Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu meloncat bangun dan berkata, “Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat kesukaran memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berlatih!”

Topeng Setan terkejut, mengangkat muka dan sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi bersinar dan dia pun meloncat bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah bertanding, berlatih dengan sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.

Beberapa hari kemudian, di waktu pagi mereka tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tak jauh lagi letaknya dari Koan-bun dan Teng-bun. Dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang amat gaduh. Ketika lari mendekat, mereka melihat pertempuran yang dahsyat dan mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang amat kuat. Hampir rata-rata anggota pasukan liar itu terdiri dari orang yang tinggi besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam pertandingan satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekali pun, pihak pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian kuatnya sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki dusun Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.

“Ahh... mereka itu seperti pasukan dari barat, pasukan Tambolon!” Ceng Ceng berseru.

Dia pernah melihat pasukan liar ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika dia mengawal Puteri Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon. Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari cepat dan menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki dusun Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang jumlahnya sudah tinggal seperempat itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu gerbang didobrak bobol dari luar, dan membajirlah pasukan liar itu memasuki dusun Ang-kiok-teng.

Dugaan Ceng Ceng tadi memang tidak keliru. Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang memimpin sendiri pasukan itu menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah ‘diberikan’ oleh Panglima Kim Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas dan dibolehkan untuk diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon beserta pasukannya boleh berbuat apa saja terhadap dusun dan seluruh penduduknya itu!

Panglima Thio Luk Cong yang menjadi komandan pasukan pemerintah di front terdepan itu memang terkejut sekali ketika menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah mengerahkan kekuatan pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan liar itu hebat bukan main dan biar pun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak mampu bertahan dan terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun Ang-kiok-teng.

Panglima Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar supaya penduduk Ang-kiok-teng tidak menjadi panik, melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu pasukan melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma saja karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar. Terjadilah perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu.

Selagi Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya dengan gemas melihat kekalahan anak buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang naik ke menara. Enam orang pengawal panglima itu cepat menerjang dengan pedang mereka, namun Ceng Ceng berseru, “Tahan! Kami bukan musuh, kami malah datang untuk melindungi komandan!”

Thio-ciangkun terkejut dan memandang penuh curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.

“Siapa kami bukan hal penting, Ciangkun. Kami adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya pemberontakan dan melihat musuh yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun yang terancam, kami datang hendak membantu dan melindungi.”

Thio Luk Cong memandang penuh selidik, lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi...”

Pada saat itu, dari bawah menyambar dua batang anak panah yang menuju ke arah tubuh perwira itu.

“Huhhh!” Si Topeng Setan mengeluarkan suara dari hidungnya, ketika kedua tangannya bergerak, dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia melontarkan ke bawah, terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar terjengkang roboh

Kiranya pasukan liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk dan kini diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang menyerbu.

Di dalam dusun itu terjadilah peristiwa mengerikan, kekejaman perang yang semenjak ribuan tahun yang lalu terulang terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri manusia di mana terjadi kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan pada waktu damai akan dapat dilakukan oleh manusia lain. Pasukan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah yang lari cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang seperti yang terjadi di mana-mana dan di jaman apa pun.

Semua kaum pria, baik yang masih kanak-kanak sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan dilakukan dengan cara yang biadab pula. Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan pada saat seperti itu malah seakan mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang menang seolah-olah semua perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah perkasa, tanda dari kekuasaan dan kemenangan.

Kaum wanita mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi. Mereka diseret, dikumpulkan di jalan raya, ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari anak-anak mereka, ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan ibunya. Suara jerit tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak tawa. Darah mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung tinggi ke angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya.

Pasukan yang merupakan gerombolan binatang buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh mengherankan dan mengagumkan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa, mereka membunuhi kaum pria, merampoki harta benda, dan menangkapi serta menelanjangi semua wanita, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mengambil harta untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang dipilihnya sendiri! Seperti biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para pembantunya menentukan pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru setelah ada komando dari raja mereka, gerombolan liar ini akan benar-benar berpesta pora untuk diri mereka sendiri!

Sisa pasukan pemerintah sebagian besar melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu samping dan belakang, cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula sebagian lagi yang lari ke menara dan di sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir! Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi serbuan para pasukan itu, biar pun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan yang lihai dan yang merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya habislah semua prajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa meloncat naik ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama kelima orang pengawal pribadinya siap untuk membela diri.

“Jangan khawatir, Ciangkun. Aku masih mempunyai akal untuk menghajar mereka!” kata Ceng Ceng dengan gemas, apa lagi dari ternpat tinggi itu dia dapat melihat betapa penduduk dibunuhi dan wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di jalan seperti domba-domba yang hendak dijual ke pasar!

Sambil bersorak-sorak pasukan liar itu mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah bungkusan yang terisi bubuk hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya untuk bekal sebagai senjata yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak amat perlu. Akan tetapi melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama Topeng Setan tidak akan mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya, terpaksa dia akan mempergunakan bubuk racun yang dibawanya dari neraka di bawah tanah itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok Mo-li.

Setelah menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun dan para pengawalnya mundur ke dalam menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun itu di sekeliling menara. Racun yang merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa angin dan tidak tampak.

Akan tetapi tak lama kemudian terjadilah geger di bawah menara! Mula-mula hanya beberapa orang saja yang berteriak-teriak sambil menggaruki leher, muka dan tangan, bagian tubuh yang tidak tertutup, akan tetapi makin digaruk, rasa gatal yang amat hebat, makin memasuki baju dan di lain saat mereka itu sudah bergulingan, merintih-rintih dan menggaruki seluruh tubuh mereka. Dan hal aneh ini disusul oleh teman-teman yang lain, sehingga menjadi belasan orang, puluhan dan akhirnya tidak kurang dari seratus orang anggota pasukan liar itu bergulingan, saling tindih, bahkan mulai saling pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal yang menyiksa tubuh mereka!

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan sisa-sisa pasukan liar cepat mundur menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng melihat munculnya dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan membawa pikulan, yang kedua berpakaian pelajar.

Mereka ini bukan lain adalah Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, keduanya adalah pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggota pasukan mereka yang mendadak bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara, mereka cepat datang dan memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari menara. Kimonga, komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi terdapat seorang gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya seperti itulah.

“Hemm, dia menggunakan racun yang amat berbahaya!” kata Liauw Kui.

“Kalau tidak ditolong, anak buah kita itu bisa celaka!” kata pula Yu Ci Pok.

“Kita harus melaporkan kepada Sri Baginda!” Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau kita harus kehilangan seratus orang lebih, sungguh merupakan hal yang amat merugikan dan hebat.

“Benar, harus lapor,” dua orang pengawal Raja Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka pergi untuk mencari Raja Tambolon yang sedang menikmati hasil kemenangan pasukannya itu.

“Kurung menara dari jauh, siapkan barisan anak panah!” Kimonga lalu mengatur pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat oleh ratusan orang prajurit yang siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan mereka yang menjadi korban racun itu masih bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah di bawah menara.

Raja Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus brewoknya di depan hampir dua ratus orang wanita itu. Dia tersenyum girang, akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja yang memiliki kepandaian tinggi ini bukanlah seorang yang haus wanita, sungguh pun hal itu bukan berarti bahwa dia tidak pernah menikmati wanita-wanita rampasan sebagai hasil menang perang. Akan tetapi wanita-wanita dusun itu baginya kurang menarik dan akhirnya hanya ada seorang gadis saja yang dipilihnya.

Dia menunjuk dan gadis itu lalu didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira. Gadis itu dipisahkan dari yang lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu. Wanita-wanita bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak mata pria yang bersinar-sinar penuh nafsu birahi, yaitu mata dari para tentara pasukan liar itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggota badan mereka dengan rambut dan tangan, tetapi hal ini justru menambah gairah mereka yang memandangnya.

Setelah memilih seorang gadis saja, Tambolon lalu memilih di antara barang-barang rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata penduduk dusun itu tidak dapat dibilang kaya-raya. Pada saat itu datanglah Liauw Kwi dan Yu Ci Pok yang melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah menara.

“Keparat! Kiranya ada orang pandai di sini! Kenapa kalian tidak memberi hajaran saja kepada mereka?” bentak Tambolon marah sekali mendengar bahwa lebih dari seratus orang-orangnya sekarat di bawah menara.

“Kami menantikan perintah Paduka, karena yang penting adalah bagaimana caranya menyelamatkan anak buah kita itu,” Yu Ci Pok menjawab.

Dengan langkah lebar Tambolon lalu diantar oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke menara. Dia melihat betapa menara itu telah dikurung ketat, dan melihat pula seorang gadis cantik dan seorang laki-laki bermuka seperti setan di atas menara, melindungi Thio-ciangkun yang berada di dalam menara.

“Gendewaku...!” Raja Tambolon berseru.

Cepat salah seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang gendewa yang amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil sebatang anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang anak panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan yang berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.

“Reeeettt... singgg...!”

Bagaikan kilat anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon menganggap bahwa laki-laki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya merupakan lawan berat.

Sinar kilat itu menyambar ke arah dada Topeng Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari suara dan kilatan anak panah itu bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya, tidak seperti anak panah lain, akan tetapi dengan tenang dia menggunakan tangannya yang dimiringkan menangkis dari samping.

“Plakk...! Sing...!”

Anak panah itu tertangkis dan membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan mengerikan disusul robohnya seorang prajurit karena lehernya tertembus anak panah rajanya sendiri itu!

Wajah Tambolon menjadi merah dan dia mengangguk-angguk. “Boleh juga,” gerutunya, kemudian dia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling menara.

Setelah itu, dengan pengerahan khikang yang amat kuat sehingga suaranya bergema di seluruh tempat, dia lalu berseru, “Haiii... komandan pasukan kerajaan yang berada di menara! Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini sudah kami kepung dan sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan pengikut-pengikutmu! Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan usul kepadamu! Obati prajurit-prajurit kami yang keracunan dan kami akan memberi kesempatan kepadamu untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami kehilangan seratus orang prajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan kalian di atas akan menjadi bangkai-bangkai hangus!”

Thio-ciangkun lalu berkata kepada Ceng Ceng, “Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat melarikan diri. Ji-wi (Anda Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos, saya adalah seorang komandan yang pasukannya telah hancur, seperti seorang nahkoda yang kapalnya sedang tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas terakhir.”

“Tidak!” Ceng Ceng membantah. “Engkau masih dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tak ada gunanya melawan seperti membunuh diri.”

Lalu dia melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada laki-laki yang tinggi besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa dialah rajanya atau pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan suara nyaring, “Heii, pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang meracuni pasukan itu adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah Thio-ciangkun dan pengawalnya keluar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian aku akan menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!”

Tambolon terkejut dan merasa heran sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda cantik jelita itulah yang lihai. “Baik!” teriaknya, kemudian menoleh kepada anak buahnya berkata, “Buka jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia pergi!”

Para prajurit itu amat takut dan taat kepada raja mereka yang keras, maka cepat mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah memaksa dan membujuk Thio-ciangkun menuruni menara itu bersama lima orang pengawalnya yang berjalan mengelilingi komandan mereka di kanan kiri, depan dan belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan Topeng Setan mengiringkan di belakang dengan sikap tenang.

“Sediakan enam ekor kuda yang baik untuk mereka!” Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah dan penuh wibawa.

Raja Tambolon kembali terkejut, lalu dia tertawa bergelak, hatinya senang sekali! Raja ini adalah seorang kasar dan liar yang berilmu tinggi, dan tidak ada yang disenangi di dunia ini kecuali kegagahan dan keberanian. Kini melihat sikap Ceng Ceng, dia kagum bukan main dan hatinya senang sekali. Biasanya, dia menganggap wanita hanya sebagai makhluk lemah yang hanya memiliki kecantikan dan yang hanya untuk menyenangkan dan menghibur hati pria, makhluk lemah yang biasanya paling banyak hanya menangis! Akan tetapi kini melihat sikap Ceng Ceng, yang demikian tabah penuh keberanian dan kegagahan, dia terkejut, heran, kagum dan senang sekali.

“Sediakan enam ekor kuda, tolol kalian semua! Hayo cepat!” teriak Tambolon dengan keras lalu tertawa lagi bergelak.

Ceng Ceng memandang laki-laki tinggi besar brewok itu dengan kagum. Sudah lama dia mendengar nama besar Raja Tambolon, dan baru sekarang dia melihat orangnya. Seorang jantan asli, seperti seekor binatang yang liar, akan tetapi dia tahu bahwa manusia ini berhati seperti binatang, penuh kekerasan dan kekejaman, seorang manusia yang dapat membunuhi manusia-manusia lain dengan kedua tangan tanpa berkedip sedikit pun.

Setelah Thio-ciangkun bersama lima orang pengawalnya menunggang kuda dan pergi meninggalkan dusun itu dengan cepat, Topeng Setan lalu berkata kepada Ceng Ceng, “Nona, lekas berikan obat pemunah racun dan mari kita cepat pergi dari sini.”

Ceng Ceng mengangguk, kemudian mengeluarkan bungkusan obat bubuk putih dan menyerahkannya kepada Tambolon sambil berkata, “Inilah obat penawarnya. Campur dengan air, suruh mereka minum seorang seperempat cawan kecil, tentu sembuh. Kalau tidak ditolong obat ini, mereka akan menggaruk terus sampai kulit dan daging mereka terkupas habis!”

Tambolon menerima bungkusan itu dan ketika Ceng Ceng dan Topeng Setan hendak pergi, Tambolon tertawa, “Tunggu dulu, tidak semudah itu! Ha-ha-ha!”

Ceng Ceng dan Topeng Setan memandang ke sekeliling dan ternyata mereka telah dikurung rapat oleh ratusan orang prajurit itu!

“Hemm, Tambolon, apa artinya ini?” Ceng Ceng membentak.

Raja Tambolon terkejut. “Eh, kau sudah tahu siapa aku, Nona? Bagus, engkau memang hebat, bukan seorang biasa. Ingat akan janjimu tadi, Nona. Kami telah membebaskan Thio-ciangkun, akan tetapi orang-orangku belum sembuh, belum kau sembuhkan, mana mungkin kami membiarkan kalian lolos? Mari, kalian menjadi tamu-tamuku sambil menanti sembuhnya orang-orangku.”

Ceng Ceng dan Topeng Setan terpaksa menerima undangan ini. Mereka kagum akan kecerdikan Tambolon, akan tetapi juga mereka menduga-duga apakah orang ini dapat dipercaya dan akan membebaskan mereka berdua setelah orang-orangnya sembuh kembali.

Ceng Ceng dan Topeng Setan dipersilakan naik ke menara dan tempat itu segera dibersihkan dan diaturlah meja besar di atas menara karena Raja Tambolon dan dua orang pengawalnya itu hendak menjamu makan minum kedua orang ini. Mengagumkan juga betapa di dalam dusun yang sudah rusak itu, anak buah Raja Tambolon dengan mudah dan cepat dapat mempersiapkan pesta yang cukup meriah, dengan masakan dan minuman pilihan!

Setelah makan minum dihidangkan memenuhi meja, Tambolon mengisi cawan arak dan mengangkat cawannya mengajak dua orang tamunya minum sambil berkata, “Mari kita minum untuk perkenalan yang amat menyenangkan ini!” Mereka lalu minum arak dari cawan masing-masing, diikuti pula oleh dua orang pengawal Tambolon, yaitu Si Petani dan Si Pelajar.

“Kalian berdua yang lihai ini siapakah dan dari mana?” Tambolon bertanya.

“Namaku Lu Ceng dan dia ini berjuluk Topeng Setan, menjadi pembantuku dan juga pengawalku,” jawab Ceng Ceng singkat.

“Nona Lu ini adalah bengcu dari kaum sesat di sekitar kota raja,” Si Topeng Setan menambahkan.

“Ha-ha-ha, hebat, hebat sekali!” Tambolon tertawa bergelak. “Seorang wanita begini muda sudah memiliki kelihaian dan menjadi bengcu! Ha-ha-ha, siapa yang mengira? Nona Lu Ceng, bagaimana engkau dapat mengenal namaku, padahal baru sekarang kita saling bertemu?”

“Hemmm, aku sudah pernah merantau jauh ke barat dan di Bhutan aku mendengar tentang namamu dan pasukanmu, maka begitu aku melihat pasukanmu, aku dapat menduga bahwa tentu ini pasukan Raja Tambolon yang amat terkenal itu.”

“Ha-ha-ha, kau memang cerdik! Kau pantas menerima arak penghormatan dari Raja Tambolon!” Dengan gaya dan geraknya yang kasar Raja Tambolon lalu mempersilakan tamu-tamunya makan. Tanpa sungkan lagi Ceng Ceng dan Topeng Setan makan ditemani oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya.

Tiba-tiba seorang prajurit datang menghadap Raja Tambolon. Dengan sikap amat hormat akan tetapi kasar prajurit itu berkata, “Lapor! Kawan-kawan tidak sabar lagi dengan para tawanan wanita. Mohon keputusan dan perintah Sri Baginda Raja!”

Tambolon minum arak dari cawannya dan tertawa, “Ha-ha-ha, wah, aku sampai lupa. Bagi rata dan bergilir seperti biasa! Awas jangan sampai berebut dan berkelahi, suruh masing-masing perwira mengadakan undian siapa yang lebih dulu mendapat giliran. Eh, bawa pilihanku ke sini untuk melayani makan minum!”

Prajurit itu memberi hormat dengan wajah berseri, kemudian berlari turun dari menara. Ceng Ceng dan Topeng Setan saling pandang, hanya setengah menduga apa yang akan terjadi dengan para tawanan wanita. Saking tidak tahannya, Ceng Ceng berkata, “Sri Baginda, apakah yang akan kau lakukan terhadap para tawanan wanita?”

“Ha-ha-ha, kalian ingin tahu? Mari kita lihat, dari atas sini tentu merupakan pandangan yang amat hebat, ha-ha-ha!”

Tambolon, Ceng Ceng, Topeng Setan dan dua orang pengawal Tambolon lalu bangkit dan berjalan ke pinggir loteng menara sehingga mereka dapat melihat apa yang terjadi di bawah sana. Jantung Ceng Ceng berdebar tegang, kedua telinganya menjadi panas ketika dia melihat apa yang terjadi di sana. Kurang lebih dua ratus orang wanita yang bertelanjang bulat berdiri dengan mata menunduk, ada yang merintih, ada yang menangis terisak-isak, ada orang berdiri ketakutan, dirubung oleh ratusan anak buah Tambolon yang memandang liar dan ada yang menjilat dan seperti sikap serigala kelaparan melihat domba muda.

Tak lama kemudian, terdengar perwira-perwira bicara dan meledaklah sorak-sorai para anak buah Tambolon, kemudian terjadilah peristiwa yang membuat Ceng Ceng hampir saja meloncat ke bawah untuk mengamuk. Seperti serigala yang dilepaskan, para prajurit pasukan liar itu berlari-larian menyerbu wanita-wanita itu.

Terdengar jerit-jerit mengerikan diseling suara tawa para prajurit liar dan terjadilah peristiwa yang sukar dapat dibayangkan oleh manusia waras. Pemerkosaan begitu saja di atas jalan-jalan, di tepi jalan, ada yang membawa wanita memasuki rumah, akan tetapi ada pula yang memperkosanya di tempat itu juga, tidak peduli akan semua orang di sekitarnya, bahkan ditonton, ditertawakan dan disoraki oleh teman-teman yang belum kebagian! Dua ratus orang wanita itu tentu saja segera habis dan banyak sekali prajurit yang terpaksa menanti giliran karena jumlah mereka lima kali lebih banyak dari jumlah wanita tawanan. Jerit melengking, rintihan dan keluhan, ratap tangis para wanita itu seolah-olah menusuki jantung Ceng Ceng dan terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu!

Dia memejamkan matanya, lalu tiba-tiba membalik dan lari kembali ke dekat meja dengan muka merah seperti udang direbus, matanya mendelik memandang Tambolon yang juga sudah kembali ke kursinya.

“Terkutuk engkau!” Ceng Ceng memaki marah. “Mengapa kau suruh anak buahmu melakukan perbuatan terkutuk itu?”

Tadi Ceng Ceng merasa betapa lengannya disentuh oleh Topeng Setan yang dengan halus menggelengkan kepala, mencegah dia melakukan sesuatu. Kini Ceng Ceng maklum bahwa andai kata dia tadi tidak kuat menahan kemarahannya dan bertindak, tentu mereka berdua akan binasa menghadapi hampir seribu orang lawan itu!

Tambolon hanya tersenyum lebar mendengar makian Ceng Ceng. “Duduklah, Nona, dan kau juga, Topeng Setan. Minumlah arak ini untuk mendinginkan hatimu.”

Ceng Ceng menyambar dan menenggak araknya, karena memang dia membutuhkan arak itu untuk menenangkan hatinya yang bergelora menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan itu.

“Nona, pasukanku telah melakukan perjalanan ribuan li jauhnya, perjalanan yang ditempuh dengan susah payah siang dan malam. Mereka telah menghadapi bahaya maut entah berapa ribu kali dan kadang-kadang sampai berbulan mereka tidak pernah melihat wajah seorang wanita. Mereka taat sekali kepadaku dan tanpa perkenanku, mereka tidak akan berani mengganggu seorang pun wanita. Akan tetapi, seperti juga makanan untuk perut mereka, mereka itu membutuhkan wanita dan kalau tidak sekali-kali memenuhi kebutuhan mereka itu, tentu mereka tidak akan taat lagi kepadaku. Wanita mana lagi yang dapat kuberikan kepada mereka kecuali wanita tawanan yang suaminya telah tewas dalam pertempuran?”

Sunyi menyambut kata-kata ini dan betapa pun kejinya, Ceng Ceng dapat mengerti apa yang dimaksudkan Tambolon, akan tetapi karena merasa ngeri membayangkan nasib ratusan orang wanita yang suaranya masih terus mengikuti pendengarannya itu Ceng Ceng memejamkan matanya.

“Berapa lama mereka dapat bertahan diterjang oleh sedemikian banyak anak buahmu?” Tiba-tiba Topeng Setan bertanya, suaranya amat halus dan datar seolah-olah tidak menyembunyikan perasaan apa-apa.

“Ha-ha-ha, orang-orangku yang kehausan itu mana tahu akan daya tahan mereka? Telah berbulan mereka kehausan, tentu tidak mengenal puas dan dengan jumlah mereka yang lima enam kali lebih banyak, tidak sampai sepekan pun wanita-wanita itu akan habis.”

“Mati?”

“Ha-ha-ha, bagaimana lagi? Lebih baik begitu dari pada satu mendapat satu, terus menjadi terikat dan akan ikut ke mana pun kami pergi, menghalangi gerakan kami.”

Topeng Setan menghela napas dan pada saat itu Ceng Ceng memandangnya. Mereka saling pandang dan Topeng Setan berkata, “Memang lebih baik begitu. Penderitaan mereka sebentar saja dan mereka akan segera mati menyusul suami atau keluarga mereka.”

Ceng Ceng ingin menjerit. Wanita-wanita itu masih lebih beruntung kalau dibandingkan dengan dia! Mereka itu akan segera mati menyusul dan berkumpul dengan keluarga mereka yang tercinta. Akan tetapi dia? Dia menanggung aib dan malu, derita batin dan penasaran. Akan tetapi sampai sekarang pun orang yang didendamnya belum dapat dia temukan.

Dan dia dijauhkan dari orang-orang yang dia cinta. Ayah bundanya sudah tiada, kakeknya pun tewas, sedangkan orang terakhir yang dicintanya, Syanti Dewi, pun entah berada di mana. Tambolon dan orang-orangnya ini adalah manusia-manusia kejam, demi kemenangan diri sendiri mereka ini bersedia melakukan kekejaman apa pun juga. Akan tetapi mereka ini lihai, jumlah mereka banyak. Dia harus berhati-hati dan harus percaya kepada Si Topeng Setan yang dia percaya pun juga diam-diam mencari siasat agar mereka dapat terlepas dari Tambolon dan anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar isak wanita naik ke menara itu. “Ahhh, lepaskah aku... lepaskan aku atau bunuh saja aku...!”

Seorang prajurit muncul mendorong seorang wanita. Ceng Ceng memandang dan melihat bahwa wanita itu adalah seorang gadis muda yang usianya tidak akan lebih dari enam belas tahun, wajahnya cukup cantik dan pakaiannya terlalu besar, seolah-olah bukan pakaiannya sendiri dan dikenakan di tubuhnya dengan tergesa-gesa. Prajurit itu mendorong gadis ini jatuh berlutut di depan Tambolon, lalu memberi hormat kepada rajanya dan pergi ke luar.

“Ha-ha-ha, inilah dia yang kupilih. Hei, perawan cilik, bangun dan berdirilah!”

Gadis itu mengangkat mukanya yang pucat, rambutnya yang terlepas dari sanggulnya terurai, sebagian menutupi mukanya, matanya liar ketakutan ketika memandang kepada Raja Tambolon. Dia mengeluh dan bangkit berdiri, kedua kakinya menggigil ketakutan.

“Nah, begitu baru baik. Ha-ha-ha, sekarang kau tanggalkan pakaianmu! Hayo cepat!”

Gadis itu terbelalak, lalu menggeleng kepala keras-keras. Tambolon bangkit dari bangkunya dan Ceng Ceng sudah mengepal tinju. Kalau manusia ini menggunakan kekerasan di depanku, aku akan membunuhnya, demikian dia mengambil keputusan. Akan tetapi Tambolon yang menghampiri gadis itu, hanya memegang lengannya lalu menariknya ke pinggir loteng menara.

“Nah, kau lihat baik-baik! Di bawah itu, setiap orang wanita sedikitnya harus melayani enam orang prajuritku, terus-menerus sampai beberapa hari lamanya. Engkau bernasib baik karena telah kupilih dan hanya harus melayani aku seorang saja. Dan kau masih rewel? Nah, pilihlah. Engkau melayani aku dengan baik, mentaati segala perintahku, ataukah engkau memilih kulempar ke bawah sana dan menjadi perebutan banyak orang laki-laki?”

Wajah itu makin pucat, matanya terbelalak memandang ke bawah di mana masih terjadi pemerkosaan yang mengerikan, jelas tampak dari atas dan juga terdengar jelas rintih dan ratap tangis para wanita itu. “Kau memilih di sana?”

Gadis itu menggeleng kepala keras-keras.

“Ha-ha-ha, jadi engkau memilih di sini dan mentaati segala perintahku?”

Gadis itu mengangguk lemah, patah semua semangat perlawanannya.

Tambolon kembali duduk di atas kursinya dan memandang bangga kepada dua orang tamunya bahwa dia telah berhasil mematahkan semangat perlawanan gadis tawanan itu. “Hayo kau buka semua pakaianmu, kau tidak pantas dengan pakaian yang terlalu besar itu!”

Gadis itu dengan muka menunduk, seperti dalam mimpi, gerakannya otomatis, mulai menanggalkan pakaiannya. Ceng Ceng memandang dengan dada panas. Ternyata setelah pakaian luarnya ditanggalkan di sebelah bawah pakaian itu tidak ada apa-apa lagi yang menutupi tubuhnya! Agaknya gadis ini tadinya memang sudah telanjang bulat seperti para wanita lain dan ketika dibawa menghadap baru diberi pakaian luar itu. Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang sama sekali, menunduk dan matanya setengah dipejamkan, rambutnya terurai ke depan dada dan punggung.

“Hayo sanggul rambutmu itu baik-baik!” kembali Tambolon memberi perintah dan gadis itu, masih merasa ngeri dan takut memikirkan keadaan para wanita lain di bawah sana, mentaati tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Dan untuk menyanggul rambutnya, terpaksa dia mengangkat kedua lengannya ke atas sehingga bentuk tubuhnya tampak senyata-nyatanya.

“Lihat, betapa indah tubuhnya, hemm... bukan main indahnya!” Tambolon memuji.

“Tambolon!” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru, tak mampu menahan kemarahannya karena melihat keadaan gadis telanjang itu, dia merasa seolah-olah dirinya sendiri yang dihina seperti itu. “Aku minta padamu agar gadis ini...”

“Tidak, aku yang ingin menantangmu untuk memperebutkan gadis ini, Raja Tambolon!” Tiba-tiba Topeng Setan memotong kata-kata Ceng Ceng. Ketika gadis ini memandang dengan kaget, dia melihat mata yang besar sebelah itu berkedip kepadanya.

Raja Tambolon yang tadinya menikmati pemandangan indah di depannya seperti seorang mengagumi sehelai lukisan, terkejut dan menoleh kepada dua orang tamunya itu. “Eh, kalian mau apa?”

Topeng Setan kini bangkit berdiri, sikapnya berwibawa dan tubuhnya seperti lebih tinggi dari biasanya ketika dia mengangkat dada menghadap Raja Tambolon sambil berkata, suaranya tetap halus datar, akan tetapi terdengar agak kaku, “Raja Tambolon, aku menantangmu untuk memperebutkan gadis ini. Kalau aku kalah, gadis ini boleh menjadi milikmu dan terserah hendak kau apakan dia, akan tetapi kalau aku menang, dia harus diserahkan kepadaku.”

“Ha-ha-ha-ha!” Tambolon menepuk-nepuk perutnya dan tertawa berkakakan, sungguh tidak pantas kalau orang sekasar ini menjadi raja, pikir Ceng Ceng. “Engkau baru melihat yang begini saja sudah timbul nafsu birahimu? Ha-ha-ha! Aku sendiri muak melihatnya. Setelah aku bertemu dengan seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa seperti Nona Lu, sikap gadis-gadis yang lemah dan pucat seperti itu benar-benar amat memuakkan hatiku. Dan engkau malah timbul gairah? Ha-ha-ha, lucu sekali! Topeng Setan, engkau adalah tamuku, tamu terhormat. Kalau engkau menginginkan gadis itu, nah, kau ambillah dia sekarang juga. Aku rela!”

Ceng Ceng merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Selama ini, dia menganggap Topeng Setan sebagai seorang laki-laki yang aneh dan penuh rahasia, tetapi yang jelas amat sayang kepadanya, selalu siap melindungi dan membelanya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa begitu. Topeng Setan ini pernah menolongnya, dan mungkinkah seperti halnya Tek Hoat, laki-laki bertopeng penuh rahasia ini hanya terikat oleh janji ketika tertawan dan berjanji hendak membantunya dan mengajarkan ilmu kepadanya?

Berbeda dengan Tek Hoat yang mempunyai pandang mata penuh gairah, laki-laki bertopeng ini selalu kelihatan pendiam dan penuh rahasia, tidak pernah membayangkan gairah apa pun seperti mayat hidup, atau seperti arca bernyawa. Akan tetapi sekarang, mengapa secara tiba-tiba dia menghendaki gadis telanjang bulat yang memang amat menggiurkan dengan tubuhnya yang muda dan mulus itu?

Apakah artinya kedipan mata tadi? Diam-diam dia akan merasa kecewa kalau sampai temannya ini menerima gadis itu sebagai hadiah dari Tambolon, dan dia yakin bahwa pandangannya terhadap Topeng Setan pasti akan berubah sama sekali kalau laki-laki bertopeng ini mau menerima gadis telanjang itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi makin terheran ketika Topeng Setan berkata, “Terima kasih, Sri Baginda. Tetapi gadis ini patut diperebutkan dan saya akan merasa terhina kalau hanya diberikan begitu saja, dia pun menjadi kurang berharga bagiku. Karena itu, saya menantang Paduka untuk memperebutkan gadis manis ini dengan saya.”

“Ong-ya, kalau dia tidak mau, biarlah diberikan saja kepada saya. Pilihanku tidak semuda dan semanis dia!” Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut, seorang di antara dua orang pengawal Tambolon yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara, sekarang berkata lantang dan matanya memandang ke arah Topeng Setan dengan penuh ejekan. “Pula, saya kira gadis itu akan lebih suka kepada saya dari pada kepada dia!”

Tambolon tertawa. Memang dia sudah biasa dengan sikap para anak buahnya yang tidak banyak peraturan terhadap dia, bahkan kadang-kadang kasar. “Heh, anak manis, kau lihat kami bertiga ini. Kau memilih yang mana? Aku, Raja Tambolon yang gagah perkasa, ataukah pengawalku ini, Yu-siucai yang lebih muda dan tampan, ataukah Topeng Setan itu?”

Dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci salah masuk ke dalam goa penuh harimau, dan wajahnya pucat, gadis itu memandang mereka bertiga, dan dia menunduk tanpa berani menjawab. Mereka semua mengerikan baginya, terutama sekali wajah Raja Tambolon yang penuh brewok, tinggi besar dan kasar, juga wajah Topeng Setan yang amat buruk dengan tubuhnya yang tinggi pula. Betapa pun juga, wajah siucai itu sama sekali tidak menghibur hatinya. Kalau ada jalan, agaknya baginya lebih baik mati dari pada harus menyerahkan tubuhnya kepada seorang di antara mereka bertiga.

“Hei, kau layani kami, hayo tuangkan arak sebelum aku mengambil keputusan tentang tantangan Si Topeng Setan, ha-ha-ha!” Raja Tambolon berkata.

Dengan tindakan lemas gadis itu menghampiri meja. Tubuhnya menjadi lemas, namun hal ini agaknya membuat lengannya menjadi makin lemah gemulai menggairahkan. Kedua tangannya agak gemetar ketika dia menuangkan arak di cawan Raja Tambolon. Ketika gadis itu menuangkan arak di dekat Raja Tambolon, orang kasar ini sambil tertawa menggunakan jari tangannya meraba dada gadis itu dan ketika menuangkan arak pada cawan Si Siucai, orang she Yu ini pun meraba pinggulnya. Hanya Si Petani dan Topeng Setan yang diam saja, dan Ceng Ceng yang melihat ini, sudah menjadi marah sekali hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi sekali lagi dia melihat Topeng Setan berkedip kepadanya, maka dia menahan kemarahannya.

Setelah mengajak tamunya minum arak, Tambolon kemudian berkata, “Topeng Setan, sepatutnya tantanganmu itu cukup untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu! Akan tetapi melihat muka Nona Lu, biarlah kuanggap engkau sudah mabok, mabok arak dan mabok kecantikan gadis ini. Tetapi engkau hanya seorang pengawal dan aku pun sudah kehilangan gairahku terhadap gadis ini, maka biarlah Yu-siucai yang melayanimu. Siapa di antara kalian yang lebih unggul, nah, boleh memiliki gadis ini. Ha-ha-ha!”

Yu-siucai mengeluarkan suara tertawa mengejek lalu meloncat berdiri dan memandang kepada Topeng Setan sambil berkata, “Sobat baik, salahmu sendiri kau tergila-gila kepada gadis ini. Sri Baginda memberikan engkau kepadaku untuk menerima sedikit hajaran!”

Topeng Setan juga bangkit berdiri, menarik napas panjang dan berkata, “Sayang Sri Baginda tidak menerima tantanganku. Memperebutkannya dengan engkau jadi terasa kurang menarik. Akan tetapi kau majulah dan biar aku menerima sedikit hajaranmu itu!”

Yu-siucai adalah seorang di antara dua pengawal jagoan dari Tambolon yang sudah terkenal kelihaiannya. Biar pun dia tidak selihai Si Petani yang sikapnya pendiam itu, namun Tambolon sendiri sudah mengujinya dan jarang ada orang mampu menandingi kepandaian Yu-siucai ini. Dia adalah seorang pelarian dari perguruan tinggi Hoa-san-pai karena menyeleweng dan setelah dia menggembleng dirinya di Pegunungan Himalaya selama sepuluh tahun, ilmu kepandaiannya meningkat hebat dan akhirnya dia bertemu dengan Tambolon dan menjadi pengawal raja orang-orang liar itu.

Karena di waktu mudanya dia pernah mempelajari ilmu, membaca dan menulis, maka dia menganggap dirinya sendiri sebagai seorang sastrawan. Dan memanglah kalau dibandingkan dengan pasukan Tambolon yang hampir semua buta huruf itu, bahkan kalau dibandingkan dengan Tambolon sendiri, Yu Ci Pok boleh dibilang merupakan satu orang yang amat pandai dalam ilmu sastra sehingga dari pakaiannya ini dia terkenal sebagai Si Siucai Maut!

Karena merasa bahwa di dalam pemerintahan Raja Tambolon dia adalah seorang yang nomor tiga, maka muncullah sifat-sifat sombong di dalam hati siucai yang usianya empat puluh tahun lebih ini, menganggap bahwa tidak ada orang lain kecuali Raja Tambolon dan Si Petani yang akan mampu menandinginya! Sudah menjadi wataknya dia memandang rendah kepada orang lain, dan biar pun dia tahu bahwa Topeng Setan ini pun bukan orang biasa, namun tetap saja dia memandang ringan dan kini sambil bertolak pinggang dia menghadapi Topeng Setan sambil berkata, “Topeng Setan, aku yakin bahwa pibu (adu ilmu silat) antara kita ini tidak akan lebih dari sepuluh jurus!”

“Hemmm, agaknya begitulah,” jawab Topeng Setan.

Tiba-tiba Yu-siucai membentak keras dan tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang dengan serangan kilat dan dalam jurus pertama ini kedua tangannya sudah mengirim dua kali pukulan dan kedua kakinya menendang dua kali, semua dilakukan susul-menyusul cepat sekali dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!

“Wut-wutt... plak! Plak!”

Dengan amat mudahnya Topeng Setan mengelak dari tendangan dan menangkis dua kali pukulan itu dengan tangannya. Dalam melakukan ini, tubuhnya sama sekali tidak berpindah tempat, hanya bergerak mengelak dan menangkis tanpa meloncat ke lain tempat, bahkan juga tidak merubah kuda-kudanya yang dilakukan dengan kedua kaki terpentang lebar.

Hal ini membuat Yu-siucai terkejut sekali, juga Tambolon dan Si Petani sekali pandang saja maklum bahwa Topeng Setan benar-benar tak boleh dibuat permainan. “Yu-siucai, hati-hatilah terhadap dia!” Tiba-tiba Si Petani berkata dan ucapannya ini saja sudah membuktikan bahwa dia bermata awas.

Ceng Ceng tadinya khawatir juga menyaksikan kehebatan serangan Yu-siucai yang demikian ganas. Sekarang dia dapat menjadi lega ketika melihat betapa Topeng Setan menghadapinya dengan begitu tenang dan yakin akan kemenangannya, maka dia mulai mengalihkan perhatiannya, melirik kepada gadis telanjang itu yang kini mundur-mundur ke pinggir loteng dengan mata terbelalak penuh rasa khawatir. Tambolon dan Si Petani mencurahkan perhatiannya kepada pertandingan itu dengan hati tegang, karena tentu saja mereka berdua ini ingin mengukur sampai di mana kepandaian Topeng Setan itu.

Yu-siucai sendiri juga maklum akan kelihaian lawan. Tangkisan dua kali tadi saja sudah membuat kedua tengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sinkang lawan ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya, padahal dia tidak tahu apakah lawan ini sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Kalau belum, sukar dibayangkan betapa kuatnya lawan dan mengingat ini, Yu-siucai cepat menerjang lagi dengan kecepatan kilat dan mengirim pukulan-pukulan yang lebih dahsyat dari pada tadi untuk mendahului lawan karena dia masih merasa yakin akan keunggulan permainan silatnya, sungguh pun jelas bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat.

Topeng Setan bersikap tenang sekali dan dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan elakan cepat dan dibantu oleh tangkisan-tangkisan kedua tangannya yang digoreskan secara mantap dan kuat. Bahkan dia membiarkan Yu-siucai melancarkan serangan terus-menerus sampai sembilan jurus lamanya, selalu hanya dielakkan dan ditangkisnya, kemudian pada jurus ke sepuluh, dia tidak hanya menangkis melainkan balas mendorong dengan tangannya. Tenaga sinkang yang amat dahsyat menyambar, membuat Yu-siucai terdorong ke belakang. Pada saat tubuhnya condong ke belakang ini, kakinya kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon!

Menyaksikan hasil ini, Ceng Ceng menjadi gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan jenaka, sifat yang telah lama hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa mala petaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya, dia bertepuk tangan dan berkata memuji, “Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan sekali! Sepantasnya kedudukan pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan Yu-siucai tepat sekali, pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus seperti yang sudah diramalkannya!”

Mendengar kata-kata yang jelas merupakan ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggangnya dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu senjata sepasang alat tulis yang terkenal lihai karena sepasang senjata ini merupakan alat-alat menotok jalan darah yang berbahaya.

“Aku tadi telah bersikap kurang hati-hati,” katanya. “Tetapi aku belum kalah, Topeng Setan!”

Dengan sikap mengancam ia melangkah satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan. Mendadak dia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampak sepasang sinar kilat menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit itu mulai menyerang.

“Hemmm...!”

Topeng Setan terpaksa mengelak ke kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian cepat dan hebat serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan Yu-siucai dan tidak percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun sesuai dengan julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil alat tulis dari baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!

“In-kong, sambut ini!” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru dan dia telah melontarkan sepasang sumpitnya yang tadi dipakainya makan kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat dari gading dan dapat dipakai sebagai sepasang senjata yang lumayan dari pada bertangan kosong menghadapi sepasang poan-koan-pit yang lihai itu.

“Terima kasih!” kata Topeng Setan sambil menyambar sepasang sumpit yang melayang ke arahnya itu. Sebetulnya, biar pun menghadapi sepasang senjata di tangan Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng Setan sama sekali tidak merasa jeri karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dari pada lawannya. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal ini dan telah membantunya.

“Ha-ha, bagus! Dengan begitu kita sama-sama bersenjata!” Yu-siucai tertawa girang karena tadi dia merasa malu juga harus menyerang lawan dengan senjata, sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini, melihat betapa lawannya telah memegang sumpit, dia menjadi girang.

Apalah artinya sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pit-nya? Sekali gempur saja tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah! Memang dengan poan-koan-pit-nya ini Yu-siucai telah mengalahkan banyak lawan secara mengagumkan. Ketika akan diterima menjadi pengawal pribadi Tambolon, dia diharuskan memperlihatkan kelihaian poan-koan-pit-nya, melawan pengeroyokan selosin orang Mongol yang bersenjata golok besar dan tidak sampai lima puluh jurus saja semua orang Mongol itu telah roboh tertotok oleh sepasang poan-koan-pit-nya!

Sekarang menghadapi Topeng Setan yang memegang sepasang sumpit dengan tangan kanannya, seperti orang yang hendak makan, diam-diam dia mentertawakannya, lalu poan-koan-pit-nya bergerak cepat sekali, yang kiri menotok ke arah pundak kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan membayangi gerakan senjata yang kiri ini, siap untuk mengirim totokan susulan yang mematikan!

Topeng Setan tentu saja dapat melihat gerakan ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti, menggunakan sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima poan-koan-pit kiri lawan yang menotok pundak kanannya.

“Cappp!”

Hebat memang gerakannya karena sepasang sumpitnya itu berhasil ‘menangkap’ poan-koan-pit kiri lawan itu seperti kalau menyumpit sepotong daging saja!

Menyaksikan kecepatan dan gerakan yang tepat ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apa lagi saat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh kenyataan betapa senjatanya itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit gading dan tidak dapat dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia girang karena kebodohan lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan kanannya lantas meluncur dan menotok jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.

“Cusssss...!”

Tepat sekali poan-koan-pit itu mengenai bagian yang harus ditotoknya, yaitu sasaran di bawah ketiak, akan tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung poan-koan-pit-nya itu mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu menancap dan seperti ‘dihisap’, juga tidak dapat dicabutnya kembali! Kini Yu-siucai mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali sepasang poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit oleh sepasang sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.

“Pletak...!” tiba-tiba terdengar suara keras dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu patah menjadi dua.

Yu-siucai kaget bukan main, melepaskan poan-koan-pit yang sudah patah itu, kemudian menggunakan tangan kirinya untuk membantu tangan kanan berusaha mencabut poan-koan-pit yang terjepit di ketiak. Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke belakang. Dengan kemarahan meluap, dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit yang hanya tinggal sebatang itu.

Topeng Setan berkata, “Hemmm, masih belum puas?” Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk ke arah lehernya itu lewat. Secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok lutut kanan kiri lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!

“Hi-hi-hik, kalah adalah soal biasa, tidak perlu berlutut, Yu-siucai!” Ceng Ceng berkata sambil tertawa.

“Maafkan saya,” Topeng Setan berkata sambil melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di mana sumpit itu menancap di depan Ceng Ceng dengan rapi.

“Keparat, engkau Tambolon manusia curang!” Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dari pinggangnya. Tetapi segera dia dikepung oleh Lauw Kui yang bersenjata batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok yang kini hanya bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira, termasuk Kimonga komandan pasukan liar itu.

“Ha-ha-ha, Nona Lu! Tambolon adalah orang yang perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapa pun juga, termasuk engkau! Engkau dan temanmu itu harus membantuku, mau atau tidak.”

“Tambolon manusia keparat!” Ceng Ceng memutar pedang Ban-tok-kiam di tangannya.

Semua pengeroyoknya cepat meloncat mundur dengan kaget oleh karena pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat nona itu terguling! Pedang yang menyeramkan itu terlepas dari pegangannya! Mereka bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun menjadi korban racun bius di dalam arak merah, maka mereka cepat menubruk dan sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng telah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu dan gadis ini hanya bisa memaki-maki dan berteriak-teriak. Dua orang perwira sudah roboh berkelojotan karena sambaran rambut serta ludahnya yang disertai tenaga beracun! Akhirnya dua orang pengawal Tambolon itu yang menanganinya sendiri, menotoknya hingga dia tak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang dengan mata melotot!

“Ha-ha-ha, engkau baru tahu kelihaian Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar Topeng Setan itu ke dalam kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai terlepas. Tetapi perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!”

Ceng Ceng mendongkol bukan main, dan juga terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak mengamuk mati-matian mempertahankan diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba kedua kakinya ditotok orang sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya lagi, bahkan ketika dia roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari tangannya karena sikunya ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat dengannya kecuali Si Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai! Apakah pembantunya itu yang menotoknya?

Ahhh, agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon sedemikian lihainya sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mukjijat? Akhirnya dia berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia dibawa orang ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat bergerak dan banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti apa yang akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal, sambil diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.

********************

Tek Hoat terpaksa mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang bergegas menyelamatkan dirinya ke dalam kota Teng-bun yang dijadikan pusat dan markas besar pemberontak karena dia merasa tidak aman berada di luar benteng ini melihat betapa banyaknya terdapat mata-mata pemerintah. Dia khawatir kalau-kalau sampai dia tertangkap basah sebagai puncak pimpinan pemberontak mewakili kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong yang masih berada di kota raja mendekati Kaisar.

Tek Hoat diam-diam merasa dongkol bukan main. Dia merasa heran mengapa segala hal yang dipegangnya selalu mengalami kegagalan! Mengapa di dalam waktu singkat ini dia telah bertemu dengan begitu banyak orang pandai yang agaknya pada saat itu semua berkumpul di utara, di tempat yang sedang geger ini.

Yang membuat dia merasa dongkol sekali adalah karena dia kembali telah kehilangan jejak Puteri Syanti Dewi! Sambil mengawal Pangeran Liong memasuki benteng Teng-bun, dia mengenangkan puteri yang cantik dan halus lembut itu, dan ia teringat betapa halus sikap puteri itu terhadap dirinya ketika dia dulu sengaja menghadang perjalanan rombongan puteri ini di dekat sungai, betapa halus puteri itu minta kepadanya agar dia pergi karena Sang Puteri hendak turun mandi di sungai! Teringat pula olehnya betapa Syanti Dewi juga bersikap halus sekali, jauh bedanya dengan sikap kasar Lu Ceng saat ia menyamar sebagai tukang perahu dan ‘menolong’ mereka dengan perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia terpaksa berpisah dan kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam bungkusannya lenyap di dasar sungai karena dibuang oleh gadis galak itu.

Di kota Koan-bun, secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula bahkan melihat puteri itu di dusun Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia ingin merampas puteri itu di waktu itu juga. Akan tetapi sungguh tidak beruntung baginya, puteri itu disertai tiga orang yang demikian lihainya. Dua orang pemuda itu saja sudah amat lihai, dan dia ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah menolong Jenderal Kao, dengan sendirinya mereka tentulah orang-orang pemerintah, mungkin mata-mata yang memiliki kepandaian lihai. Juga orang tua itu, sungguh amat lihai dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali, apa lagi orang setengah tua itu disebut paman oleh mereka.

Di kota Koan-bun dia telah diam-diam membayangi mereka, akan tetapi kedatangan pasukan liar dari Tambolon mengakibatkan geger, ditambah lagi dengan gerakan orang-orang pemerintah dan pendudukan kota Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin, membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi di antara orang banyak. Dia sudah mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di seluruh kota Koan-bun, namun hasilnya sia-sia. Gadis bangsawan itu seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat termenung dengan hati kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya, sungguh pun kini gerakan pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa cita-citanya makin mendekati kenyataan. Dia sendiri merasa heran mengapa setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi, dia menjadi kehilangan gairahnya terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak peduli lagi tentang usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.

“Semua gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu,” pikirnya gemas.

Kalau tidak ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan dengan Syanti Dewi. Akan tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia sudah bertemu dengan Lu Ceng yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal biar pun gadis itu memiliki ilmu tentang racun yang amat lihai, dia toh akan dapat mengalahkan gadis itu dengan mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia tidak tega untuk memusuhinya!

Kini dia mengalihkan kemendongkolan hatinya pada dua orang pemuda tampan yang menemani puteri itu, dan kepada orang setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah yang menjadi penghalang sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi. Tadinya dia hampir berhasil menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan tiba-tiba dari Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya, bahkan seorang di antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi, ini pun akhirnya gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri sedangkan pemuda yang kedua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang amat hebat ilmunya itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak berhasil baik!

Setelah Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung yang disediakan untuknya, Tek Hoat diperbolehkan mengaso. Pemuda ini memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan kemudian memejamkan mata, mengenangkan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan ibunya. Betapa lama sudah dia meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho.

Teringat akan ibunya, tiba-tiba timbul rasa rindu di dalam hatinya. Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap ibu kandungnya, juga perasaan iba yang amat besar. Teringat dia ketika beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti kedatangannya.

“Kau anak tidak berbakti!” Dia memaki dirinya sendiri. “Sebetulnya engkau sudah harus pulang.”

“Tidak!” Bentaknya sambil membuka kembali matanya. “Kalau kini aku pulang dalam keadaan begini saja, tentu hati ibu akan kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang jika cita-citaku sudah berhasil, menjadi raja atau pangeran atau setidaknya seorang pembesar yang berkedudukan tinggi dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang menjemput ibu dengan segala hormat...”

Dia lalu memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia menjemput ibunya dengan kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah, kemudian mengajak ibunya memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa ibunya akan girang dan bangga!

Dan dari dalam istana itu menyambut keluar mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa ibunya akan makin bangga dan dia... ahhh! Tek Hoat bangkit dan duduk, bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan puteri itu pun berada di mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas seperti ini.....?
Tek Hoat cepat meloncat, berganti pakaian lalu berlari keluar setelah memberitahukan pengawal dalam bahwa kalau Pangeran Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar dikatakan bahwa dia pergi berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu memasuki kota Tek-bun yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw Sin dengan tangan besi memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang dijadikan benteng pemberontak itu.

Penjagaan di seluruh kota amat ketat dan pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat sukarlah bagi mata-mata pemerintah untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini tanpa diketahui. Tek Hoat yang sudah banyak dikenal oleh para perwira yang memimpin penjagaan dan perondaan kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang memiliki kepandaian amat tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat oleh mereka dan dibalasnya dengan anggukan kepala tak acuh karena hatinya sedang kesal.

Dia tidak ingin mencari Syanti Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki tangannya yang sudah diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba timbul pikiran yang aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada di Teng-bun! Betapa pun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi siapa tahu! Dia teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang tinggi sekali ilmunya, siapa tahu mereka yang membawa puteri itu menyelundup ke pusat pemberontak ini! Mulailah dia memasang mata memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Karena dia kini mulai memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia dapat melihat munculnya sesosok bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja hari itu. Sosok bayangan tubuh seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa, yang telah membantunya menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang lihai. Nenek yang mengaku berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam!

Mau apa nenek aneh itu berkeliaran di Teng-bun? Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpinan pemberontak lainnya. Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun? Memang tidak begitu mengherankan andai kata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat karena memang nenek ini memiliki kepandaian hebat, tetapi, apakah kehendaknya memasuki benteng ini?

Dengan beberapa langkah saja Tek Hoat dapat mengejarnya. “Perlahan dulu, Hek-wan Kui-bo!”

Nenek itu terkejut bukan main, tubuhnya membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah menyambar ke arah jalan darah di dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut yang amat berbahaya.

“Siuuutttt... plakkk!” Tek Hoat terpaksa menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali.

“Ihhh... wah, kiranya engkau, orang muda yang tampan dan gagah perkasa? Hi-hi-hik, hampir saja engkau mampus di ujung tongkatku!”

Merah muka Tek Hoat mendengar ini dan ia tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tak pernah membantunya, tentu sudah diserangnya nenek ini yang begitu memandang rendah kepadanya.

“Hemm, kurasa tidaklah begitu mudah, Kui-bo!”

Nenek itu tertawa. Makin menjijikkan mukanya ketika dia tertawa. Mukanya yang kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk karena kini mulutnya terbuka dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar dan bergantung saling berjauhan sehingga kelihatan seperti mulut binatang yang bertaring.

“Aku tahu... aku tahu, engkau adalah Si Jari Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran Liong, bukan? Masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan.”

Tek Hoat merasa tidak suka kepada nenek ini. Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali kepalsuan yang mengerikan. “Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedatanganmu menyelundup ke Teng-bun ini?”

“Hi-hik, engkau mencurigai aku? Aku sudah membantu menghadapi dua orang mata-mata pemerintah yang masih muda-muda dan juga lihai itu.”

“Dalam kedaan seperti sekarang ini, siapa pun harus dicurigai, dan kami semua tidak tahu apa maksud kedatangan seorang tokoh seperti engkau, Kui-bo.”

“Hi-hi-hik, apa lagi sih yang diinginkan seorang nenek seperti aku, laki-laki muda dan tampan? Wah, aku sudah muak dan tiada lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan? Untuk apa? Memakai segala yang indah pun aku tidak akan dapat menjadi cantik, makan yang bagaimana mahal dan lezat pun, gigiku yang sudah tidak lengkap akan mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar, wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan dan penghormatan! Eh, orang muda, aku ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong!”

“Mau apa?”

“Aku ingin membantu pemberontakannya dengan janji bahwa kelak aku akan mendapat balas jasa yang berupa pangkat dan kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo yang selalu dipandang rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai seorang paduka yang mulia, ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai (nisan) yang paling mewah dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!”

Tek Hoat muak mendengar ini, namun dia pun tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat diperlukan di waktu itu. “Hek-wan Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan kedua orang pangeran itu. Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu, dia harus memperlihatkan kecakapannya terlebih dahulu, harus membuat jasa lebih dulu. Apakah jasamu terhadap pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang Pangeran Liong?”

“Hi-hi-hi-hik, jadi di sini ada pula peraturan sogokan? Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Aku sudah siap dengan barang sogokan yang tentu akan menggirangkan hati Pangeran Liong Khi Ong!”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Sogokan? Apa maksudmu?”

“Aih-aihh... kura-kura dalam perahu, ya? Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang tidak mengenal sogokan? Aku mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pangeran tua itu, seperti hampir semua lakl-laki di dunia ini, makhluk menyebalkan, gila akan wajah cantik dan tubuh mulus seorang perawan remaja! Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran Liong Khi Ong adalah persembahanku berupa seorang dara remaja yang cantik jelita!”

Tek Hoat menjadi makin sebal. “Hemm, Hek-wan Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah membantuku, aku tidak menaruh curiga kepadamu. Akan tetapi jangan engkau bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak perlu kututupi bahwa Pangeran Liong Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun dan memang beliau seorang laki-laki tua yang suka kepada wanita muda, akan tetapi jangan harap kalau engkau dapat bertemu dengan dia hanya karena engkau dapat mempersembahkan seorang gadis muda. Beliau sudah tidak kekurangan penghibur berupa banyak dara-dara jelita!”

“Eh-ehhh, jangan engkau memandang rendah, ya? Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini, bahkan di seluruh daratan, belum tentu dapat menyamai kecantikan gadis yang akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang kunci ini! Tidak ada keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang cantik. Aku adalah seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan wanita dari pada kalian kaum pria! Aku tahu mana kecantikan asli, mana pulasan! Aku sendiri dahulu di waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang saja, dibandingkan dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!”

“Sudahlah, Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan dulu jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran untuk membawamu menghadap Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis itu tidak perlu kau sebut-sebut lagi...”

“Urusan kecil! Mulut besar! Kau bilang urusan kecil, ya? Kau tahu, aku berani tanggung bahwa dia itu adalah keturunan raja, dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi, dan bukan berdarah pribumi! Kalau Pangeran Liong melihatnya...”

Tiba-tiba perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi yang dimaksudkan oleh nenek ini?

“Dari mana engkau memperoleh dia itu?” tanyanya dengan suara datar sambil menekan guncangan hatinya.

“Heh-heh, jangan kau memandang rendah, ya? Susah payah aku membawanya dari himpitan orang-orang yang panik ketika terjadi geger di Koan-bun, susah payah aku membujuknya dan susah payah pula aku menyelundupkannya ke Teng-bun untuk bisa kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong agar aku diterima membantunya, ehh... kau mengatakannya urusan kecil! Apa kau berarti menantangku, orang muda?” Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, sikapnya menantang dan marah sekali.

Jantung Tek Hoat terguncang makin keras. Kalau saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu akan tampak perubahan pada wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang dimaksudkan nenek iblis ini adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di seluruh pelosok kota Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke dalam tangan nenek ini dan diselundupkan ke Teng-bun!

“Hemmm, baiklah... baiklah...! Aku percaya kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu orangnya untuk kunilai apakah dia patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa saat ini dia dikelilingi banyak gadis cantik, maka kalau persembahanmu itu tidak istimewa sekali, tentu beliau akan marah karena terganggu.”

“Boleh-boleh, kau boleh melihatnya sendiri!” nenek itu berkata penuh keyakinan.

Tek Hoat lalu mengikuti nenek ini berjalan menyusuri jalan raya itu. Sekarang nenek itu berjalan dengan terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan para penjaga yang semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya. Tek Hoat heran bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah gedung yang... berdekatan dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh Pangeran Liong Khi Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik seorang hartawan di kota Teng-bun.

“Eh, bagaimana kau dapat tinggal di sini, Kui-bo? Apakah engkau masih ada hubungan dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)?”

Nenek itu terkekeh. “Tentu saja ada hubungannya, masuklah!”

Mereka memasuki lewat pintu samping yang kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena tidak ada penjaga seorang pun di situ, juga tidak nampak seorang pun pelayan. Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek Hoat memasuki ruangan besar di tengah gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika dia melihat semua keluarga Coa termasuk semua pelayannya duduk berjajar-jajar di atas lantai ruangan itu, semuanya terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau bersuara karena mereka telah tertotok gagu semua!

“He-he-he, aku terpaksa meminjam tempat mereka selama menanti diterimanya oleh Pangeran. Kelak belum terlambat bagiku untuk minta maaf kepada mereka ini yang telah berjasa kepadaku, hi-hi-hik!”

“Bebaskan mereka!” Tek Hoat berkata, menahan kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah sahabat baik Panglima Kim Bouw Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha pemberontakan itu.

“Heh-heh, bagaimana kalau mereka melarang kami...”

“Bebaskan, kalau engkau memang mempunyai maksud baik dengan kami semua, Kui-bo!”

“Hi-hi-hik, kau berwibawa juga, orang muda! Ha-ha, bebas, bebaslah...!”

Nenek itu berloncatan di antara orang-orang itu dan tongkatnya bergerak. Demikian cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan belenggu-belenggu itu beterbangan, semua orang itu terbebas dari belenggu dan dapat bergerak kembali. Diam-diam Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus mengakui bahwa nenek ini benar-beinar lihai, di samping wataknya yang ku-koai (aneh).

“Mari, mari kau lihat bidadariku...”

Tek Hoat menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, “Harap Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut karena aku sendiri yang akan mengurus dan membereskannya.”

Coa-wangwe yang sudah mengenal Tek Hoat itu mengangguk. Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur sendiri dari Coa-wangwe. Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang terukir indah sekali, dengan kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias sulaman. Meja kecil di depan pembaringan itu juga terukir, dan tampak sebuah lampu penerangan tergantung dari gantungan yang berupa burung emas!

“Lihat... heh-heh-heh, lihat baik-baik... pernahkah engkau melihat puteri secantik dia?” Nenek itu menuding ke arah pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam keadaan tidur pulas.

Tek Hoat berdiri tegang, jantungnya berdebar penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis itu tidur dengan bibir agak tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi pembaringan, tangan kiri tergolek di atas perut, pakaiannya sederhana saja akan tetapi kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri Bhutan itu bahkan membuat kecantikannya makin menonjol.

Memang siapa lagi puteri itu kalau bukan Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, puteri ini terpisah dari Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger di kota Koan-bun. Dia ikut terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit itu. Di dalam segala hal, manusia selalu berebutan, selalu memikirkan kepentingan diri pribadi.

Ketika tak ada bahaya mengancam diri, manusia berlomba dan saling memperebutkan harta benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang di jalan akan diterjang. Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam, mereka juga berebut, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing tanpa menghiraukan orang lain, siapa yang menghalang di depan akan diterjangnya, bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menggunakan mayat orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan diri sendiri!

Syanti Dewi yang tadinya masih mempunyai harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang temannya itu atau setidaknya oleh seorang di antara mereka, menjadi panik juga ketika makin lama makin jauh terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng atau dua orang saudara Suma. Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu penuh orang karena pasukan itu telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di tembok rumah agar tidak terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.

“Nona yang cantik, engkau mencari siapakah?” Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan ketika dia menoleh, dia terkejut melihat seorang nenek yang mukanya buruk sekali, kasar, hitam, rambutnya riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular.

Namun karena betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti Dewi menjawab, “Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari teman-temanku, Nek. Aku khawatir sekali, bagaimana akan dapat menemukan mereka kembali dalam arus manusia sebanyak itu?”

“Aduh kasihan... Nona tentu bukan orang sini...”

“Bagaimana engkau bisa menduga begitu, Nek?”

“Hi-hi-hik, aku hanya menduga-duga... jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan teman-temanmu itu. Mari, pegang tongkatku.”

Karena sedang panik, tentu saja uluran tangan siapa pun untuk membantunya mencari tiga orang temannya itu merupakan hal yang amat menggembirakan. “Terima kasih, nenek yang baik,” katanya dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan memegang tongkatnya, melainkan memegang tangan kirinya.

Baru dia terkejut sekali saat mendapat kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat sekali, menyelinap dan menyusup di antara orang banyak sambil menariknya, lalu dengan sedikit mendorong tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang yang menghalangi jalannya terdorong tumpang tindih sehingga terkuak jalan untuk mereka!

“Aihh, kiranya engkau lihai sekali, Nek!” Syanti Dewi berkata.

“Hi-hi-hik, kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai, siapa lagi yang lihai di dunia ini?”

Semenjak keluar dari istana Bhutan, Syanti Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang luar biasa dan dia bahkan terseret-seret ke dalam dunia persilatan di mana dia bertemu dengan banyak tokoh persilatan yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka begitu melihat nenek yang lihai ini dan mendengar julukannya yang menyeramkan, yaitu Biang Setan Lutung Hitam, mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan seorang tokoh hitam yang menyeramkan! Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang Syanti Dewi tidak memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari tiga orang temannya itu. Kalau saja dia dapat melihat seorang di antara mereka! Dia tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan tetapi dia tidak melihat seorang pun di antara mereka, dan nenek itu sudah menariknya lagi.

“Nanti dulu, Kui-bo. Kita berhenti dahulu dan cari mereka di sini!” Syanti Dewi berkata, menyebut ‘Kui-bo’ seolah-olah tanpa mengerti artinya.

“Heh-heh, hayo ikut dengan aku. Seorang dara jelita seperti engkau ini amat berbahaya kalau berkeliaran seorang diri di tempat ini dalam keadaan seperti sekarang ini. Apa kau lebih suka dilarikan serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka?”

Tentu saja Syanti Dewi terkejut mendengar ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak dan menggeleng kepalanya. “Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku, kucarikan tempat yang baik untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada di dalam kamar seorang raja atau pangeran!”

Dia menarik terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas dan dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek itu keluar dari kota Koan-bun melalui tembok pagar yang tinggi!

Setelah nenek itu turun ke luar tembok dan lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak mampu bergerak itu berkata, “Kui-bo, lepaskan aku!”

Mereka telah berada jauh dari kota dan di tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo membebaskan totokannya dan menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik, menghadapi nenek itu tanpa sikap takut sama sekali, kemarahan justru terpancar dari sepasang matanya yang indah pada saat dia menegur, “Hek-wan Kui-bo, katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak membantuku mencari teman-temanku ataukah malah mempunyai niat lain yang tidak baik?”

Nenek itu tersenyum dan memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depannya. Kecantikannya yang tidak dapat disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya yang agung dari cara dara itu menggerakkan kepala dan cara memandang, dari gerak bibir dari dagunya, semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.

“Nona yang baik, engkau puteri dari manakah?”

Syanti Dewi terkejut, akan tetapi dengan sikap biasa dia berkata, “Aku seorang gadis biasa yang terpisah dari keluargaku dalam keributan di kota itu.”

“He-heh-heh, engkau tidak bisa membohongi Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri bangsawan tinggi, dari suku bangsa lain di luar daerah.”

“Sudahlah, Kui-bo. Aku haturkan terima kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau mempunyai keperluan lain, biarlah aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari keluargaku yang terpisah dariku.”

Syanti Dewi menjura lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan hitam berkelebat dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil menyeringai telah berdiri di depannya!

“Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah aku katakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran, dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran! Hayaaa!”

Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.

“Dukkkk!”

Pukulannya mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti terbang cepatnya itu.

Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.

Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman tenteram sebab Coa-wangwe adalah seorang yang kaya-raya dan pandai menggunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak. Dia bersahabat baik dengan panglima pemberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan pula untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat.

Tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan mereka. Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas.

Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain. Pendeknya Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tak mampu bergerak juga tidak mampu bersuara. Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka.

Kelima orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok mereka, tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya. Tiga batang golok patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya!

Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya, “Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu?”

Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta segera dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan dan mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!

“Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagai mana, heh-heh?” Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.

Sepasang mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata, “Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku telah terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kau lakukan.”

“Ehhh...? Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa?”

Syanti Dewi menggeleng kepalanya. “Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau kau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau membunuhku.”

Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa bergelak. “Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan hidupmu. Kau tunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!”

Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan ‘dijual’ oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!

“Aku akan menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah apa yang kau kehendaki.” Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya.

Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah maju. Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai sapu tangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi.

Dara ini menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah pembaringan, lalu tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu.

Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!

“Syanti Dewi...!” tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.

“Aihhh, kiranya dia adalah puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu...! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini...!”

Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi sekarang sudah berada di tangannya lagi, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain? Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!

“Haiiittt...!” Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.

“Hayaaaa...!”

Nenek buruk itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang manusia, apa lagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya. Maka, betapa pun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Wuuuttt... krekkkk!”

Ujung tongkat nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat! Tiada kesempatan lagi bagi pemuda itu untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai.

Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dada itu sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya.

Melihat pedang yang mengeluarkan sinar yang mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari dikarenakan ketakutan sungguh pun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya.

Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam keadaan bagaimana pun juga. Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!

Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia sangat khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah berada di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi. Jantungnya berdebar keras sekali melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja! Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingga tertidur daiam keadaan setengah pingsan.

Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra.

Tiba-tiba dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu pangeran itu segera akan mengerahkan segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengannya itu, apa lagi jika pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi! Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.

Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena masih tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya, apa lagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya.

Kini sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek buruk seperti setan. Saat dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang. Ketika tangan itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias permata, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.

“Mundur kau... kalau sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!” Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk mundur.

Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan menggerakkan dua tangannya ke atas sambil berkata, “Haiii... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu...!”

“Simpan bujukanmu yang palsu!” Syanti Dewi menghardik. “Kau kira aku takut? Nenek setan itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!”

“Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu.”

“Laki-laki bohong! Kau kira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku? Pergi dari sini!” Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.

“Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!” Tek Hoat memutar tubuhnya.

Syanti Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang dipegangnya.

“Takkk... singgg... ceppp!”

Pisau yang kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum mengejek dan melangkah maju.

Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali. “Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kau kira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!”

Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar sangat mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik.

“Engkau gadis keras kepala!” gerutunya.

“Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!” Syanti Dewi membalas.

“Sekali lagi kukatakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan...”

Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!

“Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan?”

Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan suara berat, “Benar, Pangeran.”

“He-he-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk Paduka!” nenek itu terkekeh.

Tek Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.

“Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo,” kata Pangeran Liong Khi Ong sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.

“Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan.”

Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek.

Pandang matanya jelas membayangkan nafsu birahi yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu!

Dia bergidik, namun mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biar pun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul sebab seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, lalu berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.

“Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!” Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.

“Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini.” Pangeran itu mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.

“Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya,” Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.

“Ehhh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana?” Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.

“Hamba... hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena beliau tadi hendak menyerang hamba,” kata Tek Hoat.

“Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!”

“Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!” Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu.

Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang. Nenek itu kemudian memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh-kekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.

“Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi.”

“Hamba bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak.”

“Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia.” Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya, “Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguh pun amat indahnya!”

“Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling baik.” Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng jendela itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya.

Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah. Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya.

Dahulu dia tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya. Akan tetapi sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong. Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari kurungan baru ini.

Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata, “Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka? Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! He-he-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba.”

Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi. “Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!” Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.....

********************

Ceng Ceng mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, akan tetapi sebelum dia berhasil, dia telah dibelenggu dengan erat sehingga tidak mampu bergerak lagi. Juga Topeng Setan yang agaknya masih di bawah pengaruh obat bius itu telah dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu diangkat dan didudukkan di atas kursi.

Tambolon tertawa bergelak dan minum arak untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang telah merobohkan gadis lihai dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti sampai dua orang yang sudah terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng Setan sadar karena gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang terkandung di dalam arak yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat jalan tadi.

Topeng Setan siuman kembali dan mengeluh, lalu menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai menunduk.

“Ha-ha-ha!” Tambolon tertawa nyaring, “Betapa pun lihai kalian berdua, mana mampu menandingi kecerdikan kami!”

“Tak tahu malu!” Ceng Ceng memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Katakan saja kecurangan, siapa bilang kecerdikan?”

Tambolon menghirup araknya lalu melempar cawan arak ke atas meja sambil berkata, “Ha-ha-ha, Nona manis, engkau seperti seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di padang rumput! Ketahuilah, setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan kecerdikan bagi yang menang akan tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah! Kalau hendak membunuhmu, apa sukarnya? Akan tetapi aku sayang sekali, sayang akan kecantikanmu, keliaranmu, dan kepandaianmu, ha-ha-ha. Kuda betina liar seperti kau ini amat menarik, harus kujinakkan sendiri!”

Raja Tambolon yang sudah setengah mabok itu mengusap mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada dua orang pengawal yang berjaga di situ, “Bawa kuda betina ini ke kamarku!”

Dua orang pengawal itu memberi hormat, kemudian menghampiri Ceng Ceng yang sudah terbelenggu kaki tangannya seperti seekor lembu hendak disembelih itu. Mereka mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng Ceng dari kanan kiri. Pada saat itu Ceng Ceng mengerahkan tenaga sinkang-nya karena totokan di tubuhnya tadi sudah buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa beracun, mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Ban-tok Moli.

“Cuhhh! Cuhhh!” Dua kali dia meludah ke kanan kiri, tepat mengenai muka kedua orang pengawal yang sedang mengangkatnya itu.

Mereka menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas lantai sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena sudah beracun tadi!

Raja Tambolon kaget, memerintahkan pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua orang yang terkena ludah beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang panjang sambil memandang kepada Ceng Ceng dengan mata marah, “Iblis betina! Kiranya engkau benar-benar iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau adalah ular beracun, siluman ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami semua!”

“Huhh, mau bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang takut mati? Seribu kali lebih baik mati dengan gagah dari pada hidup menjadi pengecut curang macam kamu, raja liar!” Ceng Ceng memaki-maki.

Tiba-tiba Topeng Setan berkata, “Sri Baginda, tahan dulu! Kita merupakan dua buah kekuatan yang kalau bersatu padu akan mendatangkan keuntungan besar. Mengapa menjadi bentrok sendiri? Membunuh kami berdua pun tidak ada gunanya karena Sri Baginda bersama seluruh pasukan telah masuk perangkap dan hanya kami berdualah yang akan dapat menolong.”

Ceng Ceng merasa heran sekali mendengar ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga amat cerdas dan dapat menduga bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga penolong dan sahabatnya, boleh dibilang gurunya pula, mempunyai suatu akal yang belum dapat dia menduganya.

“Eh, Topeng Setan!” bentaknya. “Perlu apa bicara dengan raja biadab ini? Biar saja dia dan pasukannya tertumpas habis, hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh kita!”

Raja Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya yang memegang pedang ragu-ragu.

“Sri Baginda, jangan mendengar gertakan mereka!” Yu Ci Pok Si Siucai berkata.

“Bunuh saja, Sri Baginda. Wanita ini terlalu berbahaya dengan kelihaian racunnya!” Liauw Kui juga berkata.

Tiba-tiba Topeng Setan tertawa bergelak. “Sayang sekali! Sri Baginda Tambolon yang benar-benar gagah perkasa itu mempunyai pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku ini seorang bengcu, mana mungkin hanya menggertak sambal belaka? Jika kita berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan diri?” Sambil berkata demikian, Topeng Setan lalu menggerakkan kaki tangannya. Terdengar suara keras dan semua belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas! Dengan cepat dia lalu menghampiri Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki tangan dara itu.

“Aihh, kenapa engkau begitu tergesa-gesa?” Ceng Ceng berkata, seolah-olah menegur Topeng Setan. “Apa kau kira aku sendiri tidak bisa membebaskan diri? Tadinya aku masih ingin melihat apakah raja liar ini akan dapat membunuh kita.”

“Maaf, Bengcu. Kiranya Sri Baginda Tambolon sudah dapat mendengar kata-kata kita yang bermaksud baik.”

Tambolon dan dua orang pembantunya kaget setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang ini benar-benar lihai bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja. Jelas bahwa gadis itu tidak terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu pun agaknya hanya pura-pura pingsan saja!

“Kepung...!” Tambolon cepat berteriak karena khawatir kalau-kalau dua orang ini akan mengamuk dan lolos.

“Sri Baginda, apakah kau masih tidak percaya kepada kami?” Topeng Setan berkata. “Pasukanmu sengaja disuruh menduduki dusun yang tiada artinya ini, karena pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar yang harus dibasmi, akan tetapi lebih dulu akan dipergunakan menentang pemerintah.”

“Bohong! Sudah lama aku berhubungan dengan Pangeran Liong!” Tambolon berteriak.

“Paduka sungguh tidak dapat berpikir panjang. Pangeran Liong adalah dua orang saudara pemberontak, mana mungkin mempunyai hati setia? Seorang pemberontak adalah orang yang tidak setia kepada rajanya. Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak dapat setia, apa lagi terhadap Paduka yang dianggap raja bangsa liar? Selama mereka membutuhkan, tentu saja mereka bersikap baik kepada paduka, akan tetapi mereka akan menghancurkan pasukan Paduka begitu mereka tidak memerlukannya lagi.”

Ceng Ceng terheran-heran mendengar semua kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya, pembantunya yang tak pernah dia lihat mukanya ini jarang bicara, dan amat pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali bicara, dan mengerti tentang seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan agaknya.

“Hemmm... hemmm... orang bertopeng! Siapakah engkau? Mari duduk dan bicara, apa yang menjadi kehendakmu?”

Raja Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya, sehingga semua anggota pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia sendiri dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar masih ada pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat lolos. Akan tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi.

Setelah mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai mengerti bahwa temannya itu tentu hendak menggunakan suatu taktik yang amat lihai, berkata mengejek, “Sri Baginda, apakah masih ada arakmu yang mengandung racun lebih hebat dari pada tadi?”

Raja Tambolon tertawa, “Ha-ha-ha, engkau memang hebat, Nona, baik sebagai kawan mau pun sebagai lawan engkau amat mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi seorang dewi beracun seperti engkau? Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari kamar!”

Pelayan berlari-lari dan tak lama kemudian mereka berlima kembali duduk seperti tadi, mengelilingi meja sambil minum arak wangi.

“Nah, sekarang perkenalkan dirimu dan ceritakan maksud hatimu,” kata Tambolon.

“Semua orang mengenal saya sebagai Topeng Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng, bengcu dari kalangan liok-lim yang terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam pemilihan. Kami tahu betul bahwa pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan Paduka untuk memperkuat diri. Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah, maka kami lebih senang berkawan dari pada berlawan. Dengan berkawan kita dapat bersama-sama menghadapi Kim Bouw Sin dan pasukan pemberontaknya.”

“Huh! Topeng Setan, jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima Kim Bouw Sin berhati bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan mengharap kami akan membantu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah mata-mata Pemerintah Ceng!”

“Raja Tambolon, janganlah engkau bicara sembarangan saja!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. “Aku adalah seorang bengcu, mana sudi merendahkan diri menjadi mata-mata?” Lalu dia menoleh kepada Topeng Setan sambil berkata, “Apa kubilang tadi! Percuma saja bicara dengan orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga dan waktu saja. Biarkan saja mereka ini hancur lebur!”

Raja Tambolon menepuk meja. “Baiklah, aku mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau menduga bahwa kami ditipu oleh pasukan pemberontak?”

“Bukan menduga saja, Sri Baginda. Bengcu telah menyebar banyak penyelidik dan dari para penyelidik itulah kami mengetahui akan hal itu.”

“Nanti dulu, Topeng Setan. Kalau kalian bukan mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi membela Panglima Thio yang mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini?” Si Siucai yang cerdik bertanya dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.

“Phuihhh!” Ceng Ceng bangkit berdiri dan menggebrak meja sehingga mangkok piring berloncatan di atas meja. “Masih tidak percaya? Apakah hal begitu saja kalian tidak dapat menduga? Kalau kami tak membantu mereka, mereka itu tentu akan tahu bahwa kami berada di pihak musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka! Dan kalau memang kami membantu musuh apa kau kira aku sudi memberi obat penyembuh buat seratus orang-orangmu? Pendeknya, kau pilih satu di antara dua. Percaya dan menjadi sahabat kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!”

Tambolon mengangkat tangannya. “Sabarlah, Nona... ehhh, Bengcu. Kalian muncul dengan tiba-tiba membuat kami bingung, apa lagi mendengar akan berita yang aneh dan mengejutkan itu.”

“Sri Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong berniat baik, mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke Koan-bun saja? Mengapa diberi dusun kecil tidak ada artinya ini? Padahal pemusatan kekuatan pasukan mereka berada di Teng-bun! Dusun ini miskin dan tidak mempunyai benteng yang ketat, sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta benda dan benteng yang kuat. Bahkan semua perbekalan untuk pasukan pemberontak dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan diserbu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri? Maka usul kami, mari kita bersatu, anak buah kami akan kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan kita serbu Koan-bun. Kalau pasukan Paduka sudah bekedudukan di benteng itu, kita tidak takut terhadap serbuan siapa pun.”

“Bagus!” Tambolon berteriak girang. “Sungguh pikiran yang bagus! Andai kata tidak benar Pangeran Liong memusuhi dan menipu kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa pasukanku tidak suka di dusun ini, maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus! Kita bergerak malam nanti!”

“Nanti dulu, Sri Baginda...!” Liauw Kui Si Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya, “Topeng Setan, usulmu memang baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian mengusulkan kerja sama menyerbu Koan-bun ini? Kalau kalian tidak berpihak kepada Pemerintah Ceng, mengapa kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima Kim?”

Diam-diam Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji kecerdikan dua orang pembantu dari Raja Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu Topeng Hitam dengan jawaban yang lantang, “Kami tidak membantu dan memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi kepentingan kami sendiri, demi kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat menjadi bengcu tidak percuma, aku hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak sia-sia memilih aku sebagai bengcu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para pemberontak hendak menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat betapa pasukan pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang amat banyak di Koan-bun dan Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa harus kami sia-siakan dengan begitu saja? Selagi para pemberontak saling gempur, kita turun tangan mencari keuntungan di sini, bukankah itu baik sekali?”

Topeng Setan berkata dengan nada mencela, “Bengcu, urusan pribadi kita mengapa harus diberitahukan orang lain?”

“Biarlah. Mereka telah menjadi sahabat kita, bukan?” Ceng Ceng menjawab.

Raja Tambolon tertawa girang. “Baik, kita bekerja sama. Di mana anak buah kalian?”

“Mereka tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan setiap saat dapat bergerak, tinggal menanti perintah dari Bengcu,” kata Topeng Setan.

“Kalau begitu, pergilah seorang di antara kalian untuk menggerakkan mereka. Malam nanti kita mengadakan persiapan dan besok malam kita menyerbu Koan-bun,” Raja Tambolon berkata.

“Topeng Setan, kita pergi!” Ceng Ceng bangkit berdiri.

“Nanti dulu!” Raja Tambolon juga berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Maaf, bukan karena kurang percaya, melainkan kami harus berhati-hati. Kami hanya mau bekerja sama dan mau percaya kalau hanya seorang di antara kalian yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang kedua tinggal di sini bersama kami!”

“Kau tetap tidak percaya?” Ceng Ceng membentak marah.

“Harap Lu-bengcu suka beristirahat saja di sini, biarlah saya yang menghubungi teman-teman kita. Saya tentu sudah kembali Malam nanti atau selambat-lambatnya besok pagi.”

Ceng Ceng mengangguk. Dia tahu bahwa sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang jelas, siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara Tambolon dan pasukan pemberontak, suatu siasat yang tentu saja baik sekali untuk membantu pemerintah secara tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan pemberontak! Dia makin kagum kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga berjiwa patriotik, menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan, kemudian menjalankan siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang menjadi bahaya bagi pemerintah.

Setelah Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu beristirahat di dalam sebuah kamar yang disediakan untuknya. Hatinya girang sekali bahwa dengan bantuan Topeng Setan dia akan dapat melakukan sesuatu untuk negara. Akan tetapi kalau dia teringat akan nasibnya, semua rasa girang itu lenyap.

“Setelah selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk mencari Si Jahanam itu,” demikian pikirnya ketika ia teringat akan musuh besarnya, pemuda laknat itu. “Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan.....”

********************
“Gak-suheng, kita harus mencari Lee-ko!” kata Kian Bu setelah berhasil diselamatkan oleh Gak Bun Beng dari pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.

“Dan kita harus juga mencari Dewi,” Gak Bun Beng berkata pula.

Mereka berdua lalu berusaha mencari dua orang itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah ditawan oleh Hek-wan Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan Kian Lee dirawat oleh anak perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah rumah.

Pada waktu itu, kota Koan-bun geger karena pihak pemberontak mengadakan operasi pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap kali bertemu dengan pasukan pemberontak yang melakukan penggeledahan di sana-sini, mereka segera bersembunyi.

“Ah, aku khawatir sekali bahwa mereka keduanya telah tertawan pihak pemberontak,” akhirnya Gak Bun Beng berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

Tentu saja dia memikirkan Syanti Dewi. Jika sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi Ong, tentu sukar untuk ditolong lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu lengah sehingga dirinya dapat terpisah dari gadis yang seharusnya berada di dalam perlindungannya itu.

Dari tempat persembunyian mereka tiba-tiba mereka dapat melihat sebuah kereta yang tertutup dan dikawal oleh pasukan pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak mengawal seorang pemuda. Bun Beng dan Kian Bu segera mengenali pemuda lihai yang mereka lawan tadi.

“Ahhh, yang di dalam kereta itu jangan-jangan orang yang kita cari...” Gak Bun Beng berkata.

“Kita serbu saja...?” Kian Bu berbisik.

Bun Beng yang lebih berhati-hati itu menggelengkan kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka berdua menggunakan kekerasan di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti mencari mati karena tentu mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan orang pasukan pemberontak, belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi kaki tangan pemberontak.

“Tunggu sebentar di sini, aku ada akal!” kata Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap dari situ, membuat Kian Bu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menjadi kagum. Dan tak lama kemudian, Bun Beng sudah datang lagi sambil membawa seorang prajurit pemberontak yang tadi menyendiri dan berhasil ditangkap serta ditotoknya, kemudian dibawanya ke belakang rumah kosong di mana mereka bersembunyi itu.

“Hayo katakan siapa yang berada di dalam kereta yang lewat tadi! Kalau membohong, terpaksa kubunuh engkau!” Bun Beng menghardik dan memijat suatu urat di punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sehingga orang itu terpaksa berkata sambil menyeringai.

“Ampun... di dalam kereta adalah Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin...!”

Bun Beng dan Kian Bu terkejut mendengar ini.

“Mereka ke mana?”

“Ke... ke Teng-bun...!”

Bun Beng mendorong orang itu ke samping dan terdengar suara berdesing disusul jerit tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat orang itu telah tewas, kepalanya disambar batu.

“Mengapa kau melakukan itu?” tanyanya dengan alis berkerut kepada Kian Bu.

Kian Bu menarik napas panjang. “Suheng, dalam keadaan sekacau ini terpaksa kita harus bertindak keras. Kalau dia tidak kubunuh, hanya dalam waktu sebentar saja tentu mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk mencari dan mengejar-ngejar kita. Pula, keterangan itu amat penting. Setelah Pangeran Liong Khi Ong sendiri berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama panglima pemberontak itu, sudah pasti mereka akan melakukan gerakan.”

Gak Bun Beng mengangguk. “Memang, dan hal itu amat penting sekali untuk segera dilaporkan kepada... Puteri Milana dan Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat menemukan kakakmu dan Syanti Dewi...”

“Habis, bagaimana baiknya, Gak-suheng? Kedua urusan itu penting!”

“Sebaiknya engkaulah yang pergi melapor tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada kakakmu Puteri Milana dan Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan Kian Lee di tempat berbahaya ini.”

“Ke mana aku harus mencari mereka?”

“Kubantu engkau keluar dari pintu gerbang selatan, dan dari situ engkau langsung ke selatan di mana terdapat sebuah bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik bukit terdapat hutan lebat. Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya.”

Setelah menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu lalu mencari jalan di antara rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan. Hari telah mulai gelap, awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin menyembunyikan diri agar jangan menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam perang.

Penjagaan di sepanjang pagar tembok ketat sekali. Kota Koan-bun ini adalah benteng pertahanan pertama dari barisan pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah memerintahkan agar dilakukan operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat dan telah mengerahkan sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga Koan-bun itu. Terutama sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru, ada kurang lebih seratus orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang.

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang peronda di bawah pagar tembok sambil menuding ke depan. Tampak ada bayangan berkelebat di sebelah barat. Teriakan ini disusul oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga dan nampak anak panah berserabutan meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan cepat menghilang. Selagi para penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan di bagian itu, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.

“Tuh dia...!”

“Tangkap mata-mata!”

“Serang anak panah!”

Kembali orang-orang yang menjaga di bagian itu berlarian ke arah tempat itu dan anak-anak panah beterbangan. Tapi hanya sebentar saja bayangan itu memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi dan tak lama kemudian dia muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di tempat terang di bawah lentera yang tergantung di pagar tembok. Tentu saja para penjaga, baik yang di bawah mau pun di atas benteng, segera berdatangan ke tempat orang itu dan lebih dulu mereka menghujankan anak panah. Akan tetapi orang itu hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua anak panah runtuh ke sekeliling tubuhnya, menancap di atas tanah di sekitarnya!

Kini puluhan orang pasukan pemberontak menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan mereka. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua serangan dengan amat mudahnya.

Kemudian tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu sibuk mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ sehingga para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat cepat itu, sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan dikerahkan untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini.

Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng. Pada saat semua penjaga tertarik perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali, meloncat ke arah pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok itu, merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga yang lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan dengan mudahnya keluar dari kota Koan-bun.

Teriakan dua orang penjaga pintu gerbang yang dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian meninggalkan pengacau ini karena terlalu banyak orang mengeroyok pun tidak ada artinya, bahkan gerakan mereka menjadi kaku dan kacau. Sebagian dari mereka berlari-larian ke pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak dapat melihat siapa yang telah merobohkan dua orang penjaga itu, sedangkan Bun Beng yang melihat Kian Bu telah berhasil keluar dari kota, lalu menghilang pula di dalam kegelapan malam!

Kian Bu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sekali ke selatan. Untung bahwa mendung tebal telah pergi terbawa angin ke utara, sehingga kini tampaklah sinar bulan sepotong yang dibantu oleh beberapa buah bintang menerangi jalan kecil itu. Bukit di depan nampak seperti seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu mempercepat larinya menuju ke bukit itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa jauh dari Koan-bun dan segera dia dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju ke hutan yang hanya tampak dari atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan.

Akan tetapi baru saja dia tiba di luar hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan hampir saja dia jatuh menelungkup ketika kakinya terjerat tali yang ditarik orang dari kanan kiri, kemudian bermunculanlah orang-orang dari depan kanan kiri dan mengepungnya!

“Tahan...!” Kian Bu berseru karena dapat menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju dan mereka ini tentulah penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai barisan pendam di hutan itu. “Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Aku bukan musuh!”

Orang-orang yang sudah mengepung ketat itu datang makin rapat dan menodongkan senjata mereka ke arah pemuda itu. Seorang di antara mereka menghardik, “Ikut dengan kami menghadap!”

Kian Bu bersikap sabar dan dengan todongan senjata di sekelilingnya, dia digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa orang prajurit mendekatkan lentera sehingga mereka dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi tidak ada seorang pun mengenalnya, maka tentu saja pengepungan menjadi makin ketat. Diam-diam Kian Bu memuji mereka ini sebagai prajurit-prajurit yang baik, karena kalau prajurit-prajurit seperti ini yang menjaga pagar tembok kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat keluar demikian mudahnya.

Masuknya seorang mata-mata di tempat pemusatan pasukan rahasia itu tentu saja merupakan hal yang amat penting. Kalau saja pihak pemberontak mengetahui akan pemusatan pasukan pemerintah di tempat itu, tentu semua rencana akan menjadi gagal. Maka begitu mendengar bahwa ada mata-mata memasuki hutan dan telah ditangkap, Jenderal Kao sendiri besama Puteri Milana keluar untuk melihat tawanan mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka mata-mata itu adalah Kian Bu, tentu saja mereka menjadi girang sekali.

“Lepaskan dia, orang sendiri!” Jenderal Kao membentak.

Para penjaga itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak lancang tangan menyerang pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan Jenderal Kao dan Puteri Milana, bahkan puteri itu sudah memegang lengannya dengan senyum manis. Mereka lalu memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin mereka mengucapkan pernyataan maaf.

Kian Bu tertawa. “Kalian adalah penjaga-penjaga yang amat baik.” Maka kembalilah pasukan penjaga itu ke tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena mereka tidak dimarahi, bahkan dipuji.

Sementara itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke dalam pondok darurat oleh Milana dan Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menceritakan semua keadaan di kota Koan-bun dengan jelas. Juga diceritakannya betapa munculnya pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri menggegerkan kota Koan-bun sehingga dia bersama Kian Lee terpisah dari Bun Beng dan Syanti Dewi. Kemudian betapa Kian Lee terluka oleh senjata peledak yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian betapa dia pun terpisah dari Kian Lee sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.

“Gak-suheng cepat menyuruh saya datang melapor ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran Liong Khi Ong ternyata tadinya juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim Bouw Sin telah berada di Teng-bun.”

Milana mengerutkan alisnya. Dia khawatir sekali mendengar bahwa adik tirinya, Suma Kian Lee, terluka dan lenyap, juga bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang menghadapi tugas pemerintah yang lebih penting lagi, maka dia tidak menyinggung urusan yang amat dikhawatirkannya itu dan dia berkata kepada Jenderal Kao, “Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan tanda bahwa mereka sudah siap untuk menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang Pangeran Tua itu memecah diri, yang seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan penyerbuan dari luar, sedangkan yang seorang lagi tentulah melakukan gerakan dari dalam.”

Jenderal Kao mengangguk-angguk dan mengusap-usap jenggotnya. “Jalan satu-satunya hanyalah menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di selatan tentu akan menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi, saya tahu betapa kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya kekuatan mereka cukup besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu Teng-bun merupakan pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak prajurit.”

“Bagaimana kalau kita menyerbu Koan-bun?” Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih dipengaruhi kekhawatirannya tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.

“Merebut Koan-bun pasti jauh lebih mudah, akan tetapi tidak begitu besar manfaatnya, bahkan sisa pasukan mereka tentu akan lari pula ke Teng-bun, membuat benteng itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan untuk memecah kekuatan mereka menjadi dua...”

Jenderal Kao tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar teriakan penjaga minta diperkenankan masuk. Setelah ijin diberikan, dua orang prajurit masuk dan memberi tahu bahwa lagi-lagi ada seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan sudah digiring ke situ.

“Hemmm, sungguh aneh... tempat kita amat rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita berada di sini?” kata jenderal itu. “Bawa dia ke sini!”

Dua orang prajurit memberi hormat, ke luar dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga menggiring seorang pemuda tinggi besar memasuki pondok itu.

“Kok Cu...!” Jenderal Kao melompat bangun saking kaget dan girangnya ketika melihat puteranya itu!

“Lihat baik-baik!” katanya kepada para penjaga. “Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku sendiri. Hayo kalian semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!”

Kok Cu sudah melangkah maju dan berlutut di depan Jenderal Kao. “Ayah...!”

Jenderal Kao mengangkat bangun puteranya dan memandang dengan mata berseri. “Aih, ke mana saja engkau, Anakku? Cepat kau beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah Puteri Milana.”

“Aih, kiranya inikah puteramu yang dikabarkan kembali setelah lenyap bertahun-tahun, Jenderal? Sungguh gagah dia!” Milana berkata memuji ketika Kok Cu memberi hormat kepadanya.

“Apa kabar, Saudara Kok Cu yang gagah!” Kian Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda Pulau Es yang pernah dijumpai sebentar di rumah ayahnya di kota raja.

“Ayah, maaf, agaknya tidak ada waktu untuk bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti ini. Anak datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah untuk membasmi pemberontak.”

Jenderal Kao membelalakkan matanya, lalu menghela napas dengan perasaan gembira dan kelegaan yang amat besar. Kiranya puteranya ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai puteranya! Tanpa pernah dia memberi didikan sedikit pun, sikap puteranya ini sudah seperti seorang gagah sejati, seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja dia merasa amat bangga karena ucapan puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri Milana, pahlawan wanita yang amat dikaguminya itu.

“Tentu saja, Anakku,” jawabnya dengan nada biasa, padahal hatinya membesar saking bangganya. “Ceritakanlah, berita apa yang kau bawa itu?”

“Ayah, dan Paduka Puteri... Ang-kiok-teng pagi hari tadi sudah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon!”

Jenderal Kao mengerutkan alisnya. Kalau hanya itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi. “Hemm, kami sudah mendengar dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio telah tiba di sini menceritakan tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan betapa dia diselamatkan oleh seorang gadis cantik yang lihai dan seorang laki-laki bermuka buruk seperti setan....” Dia berhenti sebentar, termenung.

“Aku sangat tertarik akan kelihaian gadis penolongnya itu, yang kabarnya dengan menggunakan racun merobohkan seratus orang anak buah Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia itu siapa, Kok Cu?” Jenderal Kao bertanya.

“Tentu saja Ayah sudah mengenal dia baik-baik,” Kok Cu berkata. “Dia adalah gadis yang gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu...”

“Apa...?! Kau maksudkan Nona Lu Ceng...?” Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang dicengkeram pundaknya seperti itu saking kaget dan girangnya hati jenderal raksasa ini, agaknya akan remuk tulang pundaknya!

“Benar, Ayah. Saya telah menyelidiki dengan jelas.”

“Dan laki-laki bermuka buruk seperti setan itu?”

“Dia disebut Topeng Setan, kabarnya kini menjadi pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi bengcu orang-orang golongan hitam. Sekarang mereka bersekutu dengan Tambolon.”

“Apa...?!” jenderal itu berseru kaget.

“Akan tetapi berita yang amat penting yang hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam pasukan-pasukan liar yang dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan Ang-kiok-teng dan menyerang Koan-bun untuk dirampasnya.”

“Heiii...?!” Milana berseru kaget. Berita ini mengejutkan dan tidak terduga-duga sama sekali.

Jenderal Kao Liang memejamkan matanya, alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia berpikir-pikir. Mendadak dia membuka matanya, memandang puteranya dan suaranya memecah kesunyian, “Engkau yakin benar akan berita ini, Kok Cu?”

“Sudah pasti, Ayah. Saya mendengar sendiri keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan mereka kini sedang bersiap-siap.”

Tiba-tiba Jenderal Kao tertawa bergelak dan memukul-mukul pahanya sendiri. “Ha-ha-ha-ha! Alangkah bodohnya aku, hampir saja meragukan kebersihan hati seorang gadis pahlawan!” Lalu dia menoleh kepada Puteri Milana sambil berkata,

“Thian telah mengirim gadis itu untuk memberi jalan kepada kita! Sudah tentu dia telah menggunakan siasat, bersekutu dengan Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak di Koan-bun. Entah dengan janji dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan kita. Kita biarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai salah satu hancur, kemudian kita gunakan kesempatan selagi pihak yang menang lengah dan lelah, kita serbu Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun, tentu pasukan di Teng-bun akan dikurangi dan benteng itu tidak sekuat sekarang.”

Puteri Milana mengangguk-angguk. “Siapakah dia Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe?”

“Ha-ha-ha, sungguh dia hebat dan sudah membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali. Tadinya dia terjungkal di dalam sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan Kim Bouw Sin, dia kusangka mati dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia benar masih hidup! Tadi kusangka dia telah menjadi orang sesat karena selain menjadi ahli racun juga menjadi bengcu kaum sesat, kiranya dia masih seorang patriot yang dengan caranya sendiri membasmi pemberontak!”

Malam ini juga Jenderal Kao dan Puteri Milana mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga jumlah pasukan akan memasang barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan menanti sampai pasukan liar Tambolon menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak perang sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan ini.

“Tunggu sampai perang itu selesai dan pihak pemenang, baik pihak pemberontak mau pun pihak Tambolon, berpesta merayakan kemenangannya sehingga lengah, baru turun tangan serbu dan rampas Koan-bun. Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang prajurit pilihan, dan engkau dibantu oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan di Ang-kiok-teng. Nah, kau atur dan rundingkan dengan Thio-ciangkun, sedangkan urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas sudah selesai dengan baik.”

“Baik, Ayah.”

Thio Luk Cong lalu dipanggil dan bersama Kok Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk merundingkan dan mengatur pasukan mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun setelah membiarkan pihak pemberontak bertempur sendiri dengan pasukan liar yang dipimpin Tambolon. Kok Cu menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio karena dia sendiri merasa tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan menyelundup terlebih dahulu ke Koan-bun dan menyelidiki keadaan. Panglima Thio memberikan anak panah-anak panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa panah berapi itulah yang akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa saatnya yang tepat telah tiba bagi pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Thio-ciangkun untuk turun tangan menyerbu Koan-bun.

Lima ribu orang pasukan lagi disiapkan bertugas untuk memotong jalan kalau barisan pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke Koan-bun, dan lima ribu orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan pertama dipimpin oleh Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai pembantu pasukan yang menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan pemberontak, sedangkan pasukan penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu.

Pemuda ini masih merasa gelisah memikirkan Kian Lee yang tidak ketahuan berada di mana, juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap. Tetapi karena keadaan tidak mengijinkan untuk mencari, dan perang sudah berada di depan mata, pemuda ini terpaksa menekan kekhawatirannya dengan hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan biar pun mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan mampu menjaga diri dengan baik. Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi, karena kalau puteri itu terjatuh ke tangan pemberontak, tentu celaka. Akan tetapi dia mempunyai harapan dan kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan dapat mencari dan menemukan kedua orang yang lenyap itu.

Setelah Kok Cu berunding dengan Panglima Thio Luk Cong dan menerima pesan-pesan dari ayahnya, menjelang pagi dia meninggalkan hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu Panglima Thio yang diam-diam menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di sekitar kota Koan-bun.....

********************

Tek Hoat melayani Pangeran Liong Khi Ong makan minum. Pemuda ini kelihatannya biasa saja, akan tetapi sebenarnya hatinya merasa risau bukan main. Semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan Pangeran Tua ini, hatinya selalu gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, akan tetapi dia merasa betapa semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk membantu pihak pemberontak agar dapat cepat mencapai kemenangan dan dia memperoleh kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan kehilangan artinya.

Bahkan kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan sebaliknya dia merasa tidak senang, walau pun ketidak senangannya ini tidak dia perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong.

Memang Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali setelah dia dapat menawan Syanti Dewi yang ternyata luar biasa cantiknya, bahkan melebihi semua kabar yang pernah diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh Kaisar telah dijodohkan dengan dia itu. Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga sampai terjatuh ke tangannya sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan, baik untuk pribadinya sendiri mau pun untuk perjuangannya. Puteri Bhutan itu merupakan orang penting pada waktu itu.

Pertama-tama, siasat mereka menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi saat diantar ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil dan dia bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka ‘berjasa’ pula menemukan kembali Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hubungan baik dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu disamping jasa-jasa baik ini!

“Eh, Kim-ciangkun, bagaimana beritanya tentang Tambolon dengan pasukannya yang menyerbu Ang-kiok-teng?” Pangeran yang mukanya sudah merah itu bertanya kepada Panglima Kim Bouw Sin.

Kim Bouw Sin tersenyum lebar. “Tepat seperti yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap yang cerdik sekali. Tambolon dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing kelaparan, diberi tulang-tulang busuk pun sudah berebutan! Kini mereka kekenyangan tulang busuk dan tidak banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa hari lagi dan kalau mereka sudah mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan pelopor menyerbu ke selatan.”

Pangeran Liong Khi Ong tertawa gembira dan berkata sambil memandang Tek Hoat, “Untuk jasa itu kami perlu memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek Hoat.”

Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong Khi Ong memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa diterima dan diikuti oleh Tek Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini, Tek Hoat mengerutkan alisnya akan tetapi dia diam saja. Liong Khi Ong yang melihat hal ini menjadi tidak senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang utama, tangan kanannya, sedangkan dua orang kakek aneh itu kini merupakan pembantu-pembantu Kim Bouw Sin.

“Eh, Ji-wi Siang Lo-mo mengapa tidak ikut memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah berjasa besar?”

Pak-thian Lo-mo yang mukanya putih itu tidak menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang lebih pandai bicara, mengangguk hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil berkata, “Siasat itu memang baik sekali dan sudah sepatutnya kalau semua memujinya. Akan tetapi setelah apa yang kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo, kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk memberi selamat, sebelum Ang-sicu memberi penjelasan akan perbuatannya itu.”

Tek Hoat memandang kakek kembar itu dengan sinar mata tajam dan mereka pun menatap wajahnya dengan penuh selidik sehingga mereka saling pandang dengan sinar mata yang makin lama makin menjadi panas! Api persaingan telah mulai menyala di antara para pembantu utama pimpinan pemberontak itu!

Tek Hoat yang cerdik itu tentu saja telah dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh nenek buruk itu, akan tetapi dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk menimbulkan kesan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya, “Siang Lo-mo, di depan Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu kita bicara sembunyi-sembunyi, katakan saja mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah diceritakan oleh nenek iblis itu kepada kalian mengenai diriku.”

Sepasang kakek kembar itu saling pandang dan nampaknya mereka terheran melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut sebagaimana biasanya orang yang melakukan kesalahan. Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi, “Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba engkau menyerangnya sehingga nenek itu terpaksa melarikan diri dan cepat melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan itu. Bukankah perbuatanmu itu aneh sekali, Ang-sicu?”

Setelah Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini, suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi. Pangeran Liong Khi Ong bersama Panglima Kim memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jelas membayangkan keheranan dan keinginan tahu, menuntut penjelasan.

Tek Hoat telah memutar otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia berkata kepada kakek kembar itu, “Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui bagaimana pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu sehingga kalian menaruh curiga kepadaku?”

Pertanyaan ini jelas merupakan tantangan kepada sepasang kakek kembar itu untuk membuka isi hatinya di depan Pangeran Liong dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tak pandai bicara, melihat saudara kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan berkata tegas, “Ang-sicu mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu kepada Pangeran lalu menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara cantik itu!”

Tek Hoat tersenyum dan beralih memandang kepada Lam-thian Lo-mo. “Demikiankah pendapatmu pula?”

Lam-thian Lo-mo cepat mengangguk. “Apa lagi kalau tidak begitu niatmu, Sicu? Karena kecantikan seorang gadis, hampir engkau meninggalkan kesetiaanmu!”

Tek Hoat lalu menoleh kepada Pangeran Liong dan Panglima Kim yang dengan tajam memandangnya, lalu bertanya, “Apakah saya diharuskan menjelaskan perbuatan saya menyerang Hek-wan Kui-bo?”

Pangeran Liong mengangguk. “Karena pertanyaan telah diajukan, hati kami tidak akan merasa puas sebelum mendengar penjelasanmu, Ang Tek Hoat.”

Tek Hoat lalu berkata, suaranya lantang dan tenang, “Memang saya akui bahwa saya telah menyerang nenek iblis itu. Saya bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini saja sudah menimbulkan kecurigaan saya, menyangka bahwa dia adalah seorang mata-mata musuh. Kemudian dia menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis. Tentu saja kecurigaan saya bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa tidak mencurigai nenek iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan mempersembahkan seorang gadis sebagai sogokan? Dan ketika saya dibawanya masuk ke dalam gedung Coa-wangwe, melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya hampir yakin bahwa nenek iblis itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat berbahaya. Coa-wangwe adalah seorang sahabat kita yang sudah banyak membantu perjuangan, melihat dia sekeluarga diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak merasa marah dan curiga? Apa lagi setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi yang tentu saja saya segera mengenalnya, kecurigaan saya menjadi bulat bahwa nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka tanpa banyak cakap lagi saya lalu menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih tetap mencurigai nenek itu, apakah hal ini berarti aku kehilangan kesetiaan?”

Tek Hoat bicara dengan tenang dan lancar, dan alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim yang mengangguk-angguk, bahkan Siang Lo-mo sendiri juga mengangguk dan lenyaplah kecurigaan mereka.

Pangeran Liong tertawa girang. “Bagus, dengan demikian teranglah sudah segalanya. Dan engkau tidak perlu meragukan, Tek Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar golongan hitam, mana mungkin dia membantu Pemerintah Ceng? Bahkan dia pernah menyatakan bahwa suheng-nya yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini, juga sudah berada di kota ini dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula seorang sumoi-nya yang amat lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li.”

Tek Hoat mengangguk-angguk. “Kalau begitu, saya tidak curiga lagi, tetapi kecurigaan saya hanya karena saya setia terhadap perjuangan, tidak seperti kecurigaan Siang Lo-mo terhadap saya yang didasari oleh perasaan iri hati!”

“Hemmm, apa maksudmu dengan kata-kata itu, Ang-sicu?” Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara kereng dan pandang mata tajam.

Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada kakek kembar itu dengan sinar mata mengejek, “Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak suka memberi selamat kepadaku karena iri, maka biarlah sekarang saya yang memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!”

Sambil tersenyum, Tek Hoat membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong yang terletak di atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti bernyawa saja, dua buah cawan arak kosong itu ‘terbang’ ke arah kedua tangan Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh, lalu mengangkat dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan dilonjorkan dan disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil dia berkata, “Nah, terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!”

“Tek Hoat dan Siang Lo-mo, jangan melakukan kekerasan dan bertentangan antara kawan sendiri!” Pangeran Liong Khi Ong berkata dengan khawatir.

“Saya hanya memberi selamat kepada Siang Lo-mo, Pangeran,” Tek Hoat menjawab tenang.

Lam-thian Lo-mo tertawa, “Ha-ha-ha, harap Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya ingin menguji hamba berdua.”

Dia menoleh kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata, “Mari kita menerima pemberian selamat Ang-sicu.”

Dua orang kakek kembar itu lalu meluruskan lengan dan menyambut cawan arak itu dengan tangan kanan mereka, tentu saja mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya memberi selamat secara biasa saja, mereka telah mengerahkan sinkang mereka, disalurkan melalui lengan sampai ke tangan mereka ketika jari-jari tangan mereka menyentuh cawan arak.

Jari-jari tangan tiga orang itu melekat pada dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai tergetar hebat. Adu tenaga sinkang terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek kembar itu sudah mengenal Tek Hoat dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi karena maju berdua, mereka tidak menjadi gentar dan mereka yakin bahwa tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan tenaga sinkang mereka yang tergabung.

Pangeran Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira karena mereka memang sering menduga-duga siapa di antara mereka yang lebih lihai, sungguh pun terdapat kekhawatiran di dalam hati mereka bahwa adu tenaga sinkang itu akan berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh.

Mereka memandang dengan hati berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di dalam dua cawan itu tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek Hoat tersenyum dan agaknya pemuda itu hendak menggunakan sinkang-nya untuk membuat arak itu terus naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar. Akan tetapi, dua orang kakek itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun kembali. Beberapa kali arak itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan, dan anehnya tidak tumpah seolah-olah arak itu sudah menjadi beku, dan setelah dua orang kakek itu kelihatan mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu turun lagi.

Mereka bersitegang beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai berkeringat dahi mereka, akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum, seolah-olah dia tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biar pun dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak terdesak.

Melihat keadaan dua orang kakek yang menjadi pengawal dan pembantu-pembantunya itu kelihatan terdesak dan berkeringat, Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga ilmu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan tampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua orang yang kedatangannya seperti setan saja! Yang seorang adalah kakek yang tubuhnya tinggi besar dan mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, tetapi orang kedua merupakan seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia muncul didahului bau harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa itu mendekati meja.

“Aihh, suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil satu cawan!”

“Ha-ha, kau benar sekali, Mo-li! Engkau secawan dan aku secawan!” Kakek raksasa itu pun berkata sambil tertawa dan tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya.

Mereka membuka mulut dan menyedot, dan... arak dari dalam cawan yang sedang diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo itu tiba-tiba bergerak naik dan keluar, terus memancar naik memasuki mulut wanita dan kakek raksasa itu yang menelannya dengan enak sekali.

Melihat ini, Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa heran dengan perbuatan dua orang pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling mengadu tenaga dan mempertahankan cawan, tentu saja dua orang yang juga memiliki sinkang kuat itu berhasil ‘mencuri’ arak dari dalam kedua cawan. Andai kata mereka bertiga tidak sedang mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak mungkin dua orang itu akan dapat ‘minum’ semudah itu.

Tek Hoat dan Siang Lo-mo sudah meloncat berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima Kim, sedangkan panglima itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal yang berada di luar. Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran melihat adanya dua orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.

“Heh-heh, harap Paduka Pangeran dan Ciangkun tidak salah paham. Suheng-ku dan sumoi-ku sudah datang untuk menyumbangkan tenaga!” Suara ini terdengar dari dalam, suara Nenek Hek-wan Kui-bo.

Mendengar ini, Pangeran Liong Khi Ong segera mengangkat tangan menahan pasukan pengawal yang sudah mengurung dua orang itu, lalu bertanya, “Apakah kalian yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li?”

Kakek tinggi besar dan wanita cantik itu menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah yang menjawab, “Tepat dugaan Paduka Pangeran Liong Khi Ong!”

“Maafkan kedatangan kami yang tidak diundang,” kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan suaranya yang halus, lirikan matanya menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan dan senyumnya memikat.

Pangeran Liong Khi Ong terkenal sebagai seorang yang pandai mengambil hati orang-orang pandai, maka dia ditugaskan oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai penghimpun tenaga di luar kota raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima yang kena dipikat oleh pangeran ini. Kini, menghadapi dua orang pandai dan golongan hitam itu, Pangeran Liong yang cerdik segera dapat menentukan sikapnya. Sambil tertawa dia lalu berkata, “Ah, sudah lama kami menanti kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah ucapan selamat datang dari kami!”

Panglima Kim Bouw Sin menyuruh pengawal-pengawal mundur dan mereka kemudian menjamu dua orang yang baru datang itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek Hoat dan dia mengangkat cawan araknyaa, memandang tajam penuh daya pikat kepada pemuda itu, berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak penuh tantangan, “Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat dan sungguh seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu dan makan semeja dengan pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara kita!”

Biar pun hatinya masih bercuriga kepada dua orang ini, namun karena mereka sudah diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek Hoat terpaksa bersikap manis, menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan terima kasih. Pangeran Liong menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang pembantu baru ini, apa lagi sikap Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu membuat dia lupa bahwa sejak tadi dia sudah terlampau banyak minum arak keras. Akhirnya pangeran itu menjadi agak mabok oleh pengaruh arak.

“Ha-ha-ha, perutku sudah kenyang... aihhh, aku ngantuk sekali, ingin tidur... akan tetapi siapa yang mau menemaniku?” Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil memandang dengan penuh ajakan kepada Mauw Siauw Mo-li yang cantik.

Melihat ini, Lam-thian Lo-mo yang sangat mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu dan belum percaya betul kepada wanita yang baru datang ini, cepat berkata, “Apakah Paduka lupa akan bunga segar dari Bhutan itu?”

Berkata demikian, Lam-thian Lo-mo melirik ke arah Tek Hoat dengan pandang mata penuh arti. Kiranya kakek bermuka merah yang cerdik ini tidak saja ingin mencegah pangeran itu tidur bersama Mauw Siauw Mo-li yang belum dipercayanya, akan tetapi juga ingin membuktikan bahwa Tek Hoat memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Puteri Bhutan itu.

“Ha-ha-ha, engkau benar sekali, Lam-thian Lo-mo. Mengapa aku sampai terlupa? Kelak dia menjadi isteriku, sekarang pun apa bedanya? Ha-ha-ha-ha, Mo-li, lain kali saja kita melanjutkan persahabatan kita, ya? Silakan kalian melanjutkan pesta ini, aku mau... mau... menikmati bunga segar dari Bhutan, ha-ha-ha-ha!” Pangeran yang mabok itu bangkit dari kursinya dan dengan terhuyung-huyung meninggalkan ruangan itu menuju kamar di mana Syanti Dewi dikeram dan dijaga oleh Hek-wan Kui-bo di luar kamarnya.

Dapat dibayangkan betapa mendongkol rasa hati Tek Hoat. Dia mengerti akan lirikan mata Lam-thian Lo-mo dan dia menahan kemarahan hatinya. Dalam bingungnya dia tidak tahu harus berbuat apa. Dibayangkannya betapa Syanti Dewi meronta-ronta di bawah dekapan Pangeran Liong Khi Ong yang memperkosanya, dan dia merasa jantungnya seperti berhenti berdetik.

“Ang-sicu, mari kita minum arak bahagia untuk memberi selamat kepada pangeran yang sedang berpengantin di dalam kamar bersama Puteri Bhutan!” Lam-thian Lo-mo berkata sambil mengangkat cawan araknya.

Tek Hoat terpaksa minum araknya dengan hati panas karena dia maklum bahwa kakek itu sengaja hendak mengejeknya. Tetapi Tek Hoat adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaiannya, dia tidak mungkin akan dapat menandingi begitu banyaknya orang pandai. Sepasang kakek kembar itu mungkin dapat dia tandingi, biar dibantu oleh nenek Hek-wan Kui-bo sekali pun, akan tetapi kedatangan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li merubah keadaan dan kalau mereka ini pun maju menentangnya, tentu dia akan celaka.

“Hi-hik, Ang-taihiap... pangeran itu sungguh romantis... hemm, membuat orang menjadi tertarik dan timbul semangat! Ang-taihiap, bagaimana kalau kita berdua juga mengaso dan saling menuturkan riwayat hidup kita untuk mempererat persahabatan?”

“Ha-ha-ha-ha, engkau benar-benar mata keranjang, Sumoi!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.

“Aih, Suheng! Hidup satu kali kalau tidak bersenang-senang mau apa lagi? Kalau sudah mati, kepingin pun tidak akan mampu bergerak lagi. Betul tidak, Ang-taihiap?”

Sambil berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li menggeser bangkunya mendekat dan tangannya meraba-raba dari bawah meja ke paha Tek Hoat. Selagi pemuda ini bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar ruangan itu dan dua orang pengawal masuk dan memberi hormat kepada Panglima Kim Bouw Sin, lalu berkata lantang, “Lapor! Peristiwa hebat terjadi di Koan-bun!”

Kim Bouw Sin bangkit berdiri dan matanya terbelalak. “Lekas katakan. Apa yang terjadi di Koan-bun?”

Dengan sikap gugup pengawal itu lalu menjawab, “Koan-bun pada saat ini sedang diserbu oleh pasukan liar Raja Tambolon dan membutuhkan bantuan, Ciangkun.”

Berita ini amat mengejutkan.

“Celaka...!” Tek Hoat sudah meloncat dari kursinya. “Pangeran harus cepat diberi tahu!” Bagaikan kilat cepatnya tubuhnya sudah meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah menggedor pintu kamar Pangeran Liong Khi Ong.

“Ihh, engkau mau apa?” Nenek Hek-wan Kui-bo menegur dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.

“Bodoh!” Tek Hoat membentak. “Ada laporan penting untuk Pangeran!” Dia mengetuk pintu lagi dan pintu terbuka dari dalam.

Dengan muka merah karena setengah mabok dan juga marah Pangeran Liong Khi Ong memperlihatkan mukanya sambil memandang marah kepada pembantunya itu.

“Ang Tek Hoat, mengapa engkau menggangguku?”

Dari pintu yang terbuka sedikit itu Tek Hoat dapat melihat ke dalam. Ketika dia melihat Syanti Dewi duduk di atas kursi di kamar itu dengan mata terbelalak dan muka pucat, tetapi hanya kelihatan marah sedangkan pakaiannya masih lengkap, hatinya menjadi lega. Dia cepat memberi hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong lalu berkata, “Berita buruk sekali, Pangeran. Baru saja datang laporan bahwa Tambolon yang curang itu telah mengerahkan pasukannya menyerbu Koan-bun.”

Seketika rasa mabok oleh arak dan kecantikan Puteri Bhutan terbang meninggalkan benak pangeran ini. “Apa...?!”

Dia sudah membuka lebar daun pintu dan berlari ke ruangan diikuti oleh Tek Hoat, sedangkan Hek-wan Kui-bo tetap menjaga di depan pintu kamar Syanti Dewi. Memang bagi dua orang kakak beradik Pangeran Liong, urusan pemberontakan mereka merupakan hal terpenting bagi hidup mereka, oleh karena itu tidak mengherankan apa bila Pangeran Liong Khi Ong segera melupakan semua kesenangan pribadinya begitu mendengar berita diserbunya Koan-bun oleh Raja Tambolon. Ketika dia tiba di ruangan itu, Panglima Kim Bouw Sin, Siang Lo-mo, Hek-tiauw Lo-mo, dan Mauw Siauw Mo-li sedang mendengarkan laporan lengkap dari pembawa berita itu. Kemunculan pangeran ini mengharuskan Si Pengawal mengulang semua laporannya.

“Mereka datang sebagai sahabat,” pengawal itu menutup laporannya. “Namun begitu pintu gerbang dibuka untuk membiarkan Raja Tambolon dan para pengikutnya masuk, tiba-tiba rombongan raja liar itu membunuhi penjaga pintu gerbang dan pasukannya yang bersembunyi dalam gelap langsung menyerbu ke dalam kota.”

Pangeran Liong Ki Ong marah sekali mendengar ini. “Raja biadab itu! Panglima Kim Bouw Sin, kita harus menghajar dan menumpas mereka!”

Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para perwira pembantunya, kemudian menyiapkan pasukan yang besar untuk membantu Koan-bun dan menumpas pasukan liar Tambolon itu. Tek Hoat maklum bahwa karena dialah yang mengusulkan untuk membiarkan Tambolon dan pasukannya menetap di Ang-kiok-teng, sudah sepatutnya kalau dia yang kini membantu dan ikut memimpin pasukan itu. Andai kata tidak ada Syanti Dewi di situ, tentu sudah tadi dia mengajukan diri.

Kini dia berpendapat lain dan kecerdikannya membuat dia cepat berkata kepada Panglima Kim Bouw Sin, akan tetapi tentu saja kata-katanya ini ditujukan untuk menarik perhatian Pangeran Liong Khi Ong. “Tambolon seperti anjing, diberi sejengkal ingin sehasta! Manusia semacam dia harus dibasmi, dan kesempatan yang amat baik ini hendaknya dipergunakan untuk menguji kesanggupan dua orang pembantu baru kita yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li. Hal-hal aneh terjadi, maka kita harus tetap waspada dan terutama keselamatan pangeran harus dijaga baik.”

Ucapan ini diterima baik oleh Panglima Kim dan juga Pangeran Liong. Maka segera diputuskan bahwa pasukan besar yang akan membantu Koan-bun itu selain dipimpin oleh para perwira, juga dibantu pula oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

“Saya sendiri akan melakukan perondaan dan mengatur penjagaan ketat di Teng-bun, karena dalam keadaan segawat ini, kita harus tetap waspada dan lebih memperkuat penjagaan,” Tek Hoat berkata pula dan tanpa menanti persetujuan, dia sudah keluar pula dan lenyap di dalam kegelapan malam.

Pasukan besar yang diperbantukan kepada pertahanan kota Koan-bun itu segera berangkat pada malam hari itu juga.

Sementara itu, dengan didampingi oleh Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon, dua orang pengawalnya, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai lihai, memimpin seribu orang pasukan yang liar itu malam-malam menyerbu Koan-bun.

Seperti telah diceritakan oleh para pelapor kepada Pangeran Liong Khi Ong, Tambolon menggunakan siasat, bersama empat orang pembantunya yang lihai itu dia muncul di depan pintu gerbang selatan kota Koan-bun dan berteriak minta dibukai pintu karena dia hendak menemui komandan kota Koan-bun. Setelah kepala penjaga mengenal Raja Tambolon ini, jembatan gantung diturunkan dan pintu gerbang dibuka. Raja Tambolon, dua orang pengawal, Ceng Ceng dan Topeng Setan, segera menyeberangi jembatan gantung dan secara tiba-tiba, lima orang yang berkepandaian tinggi ini menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari dua puluh orang lebih.

Dalam waktu singkat saja mereka itu telah merobohkan semua penjaga dan pasukan liar itu segera menyerbu ke dalam kota. Gegerlah kota Koan-bun dan perang terjadi dengan hebatnya dan kacau-balau karena penyerbuan yang tak terduga-duga itu membuat pasukan-pasukan pertahanan kota Koan-bun menjadi bingung. Kalau saja tidak datang pasukan bantuan dari Teng-bun yang tiba di Koan-bun menjelang pagi, tentu kota Koan-bun sudah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon. Kedatangan pasukan besar dari Teng-bun ini membangkitkan kembali semangat sisa pasukan pertahanan Koan-bun dan perang dilanjutkan sampai keesokan harinya. Sebagian pasukan liar telah menduduki separuh dari kota Koan-bun akan tetapi sebagian pula kini bertempur di luar pintu gerbang untuk menahan serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun.

Perang hebat terjadi di dalam kota Koan-bun dan juga di luar kota itu. Akan tetapi kini pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon terjepit antara dua pasukan yang berada di dalam dan yang datang dari luar. Karena jumlah mereka jauh kalah banyak, maka mulailah mereka terhimpit dan korban-korban berjatuhan.

Tambolon sendiri seperti biasa dibantu oleh dua orang pengawalnya yang setia, ikut berperang dan mengamuk ganas. Juga Ceng Ceng dan Topeng Setan bertempur bahu-membahu, merobohkan banyak tentara pemberontak. Diam-diam kedua orang ini merasa girang sekali melihat betapa siasat mereka berhasil baik, bahkan bukan saja mereka dapat mengadu domba antara pasukan-pasukan liar Tambolon dan pasukan pemberontak, juga mereka memperoleh kesempatan ikut pula bertempur membasmi para pemberontak.

Akan tetapi kini pasukan liar Tambolon ini mulai terdesak hebat. Yang mempertahankan diri di luar terhadap serbuan pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun kini didesak masuk kota oleh pasukan besar pemberontak itu. Kini semua pasukan liar yang berperang seperti binatang-binatang buas itu telah digiring masuk ke dalam kota Koan-bun dan di dalam kota ini terjadilah peristiwa-peristiwa mengerikan. Bukan hanya perang antara anak buah pasukan-pasukan yang berlawanan, melainkan pasukan itu terpecah-pecah dan terjadilah perang sampyuh kacau-balau yang menyeret penduduk kota Koan-bun pula. Seluruh kota menjadi kacau dan di sana-sini terjadi pembakaran-pembakaran. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.

Pasukan liar itu makin terjepit. Mereka terdiri dari orang-orang liar dan buas yang kalau sedang berperang seperti berubah menjadi binatang-binatang buas sehingga mereka itu telah menjatuhkan banyak sekali lawan dalam perang sampyuh itu. Tiap orang anggota pasukan Tambolon ini baru roboh kalau sedikitnya telah menjatuhkan tiga orang lawan. Akan tetapi setelah bala bantuan dari Teng-bun tiba, jumlah mereka jauh kalah banyak dan mulailah mereka terhimpit dan mulai pula timbul rasa panik di antara mereka.

Ceng Ceng dan Topeng Setan masih mengamuk dengan pedang mereka, merobohkan banyak sekali pasukan pemberontak. Namun setelah pasukan dari Teng-bun berhasil mendesak masuk dan barisan pemberontak ini datang seperti air banjir, mereka berdua terdesak dan terdorong sampai saling berpisah.

Di antara kekacauan yang terjadi di Koan-bun itu, di antara ribuan orang penduduk yang menjadi panik dan ketakutan, terdapat seorang pemuda yang bersembunyi di atas wuwungan rumah dan menonton perang sampyuh itu dengan hati tertarik sekali. Ketika dia mendengar bahwa pasukan liar yang dipimpin Tambolon menyerbu kota Koan-bun, dia terkejut dan merasa heran. Akan tetapi setelah menyaksikan perang hebat antara pasukan liar ini melawan pasukan-pasukan pemberontak, hatinya menjadi girang.

Pemuda ini adalah Suma Kian Lee. Dia tidak mengerti mengapa sekutu pemberontak, pasukan kuat dari suku bangsa liar yang dipimpin Tambolon itu menyerbu Koan-bun dan memerangi pasukan pemberontak, sekutu mereka sendiri. Tetapi hal ini tentu saja menguntungkan pemerintah, maka Kian Lee menjadi girang ketika dia menyaksikan perang sampyuh kacau-balau yang terjadi di bawah itu.

Pemuda ini masih belum meninggalkan Koan-bun karena dia ingin mencari suheng-nya, adiknya dan Syanti Dewi yang terpisah darinya. Seperti diketahui, pemuda ini menderita luka karena racun senjata rahasia peledak yang dilepas Hek-wan Kui-bo, akan tetapi luka di pahanya itu telah diobati oleh Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo. Kini lukanya telah sembuh benar, akan tetapi hatinya gelisah karena dia masih belum berhasil bertemu kembali dengan Gak Bun Beng, Suma Kian Bu, dan Syanti Dewi.

Ketika dari atas wuwungan loteng sebuah rumah besar dia melihat perang yang kacau-balau itu menjurus ke perbuatan kejam terhadap penduduk, baik yang dilakukan oleh kaum liar mau pun oleh tentara pemberontak yang mempergunakan kekacauan itu untuk melampiaskan nafsu-nafsu pribadi mereka, menggarong, memperkosa, dan membunuh, Kian Lee lalu meloncat turun dan menyelidiki dari rumah ke rumah. Sudah dua kali dia membunuh dua orang tentara liar yang sedang memaksa dan hendak memperkosa wanita, dan dia pun telah membunuh tiga orang tentara pemberontak yang menggarong dan mencoba untuk membunuh pemilik rumah yang digarongnya.

Perang dilanjutkan sampai keesokan harinya, akan tetapi kini semua pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon itu telah digiring masuk dan perang sampyuh yang berat sebelah terjadi di dalam kota Koan-bun karena jumlah tentara Tambolon itu jauh kalah banyak.

Ceng Ceng yang terpisah dari Topeng Setan masih terus menggerakkan pedangnya, merobohkan setiap orang tentara pemberontak yang berani mendekatinya. Dia sudah lelah sekali karena sejak penyerbuan malam tadi sampai pagi ini dia harus bertempur. Kini dia hanya menjaga diri saja sambil beristirahat dan mencari-cari pembantunya yang tidak kelihatan lagi itu.

Perang dilanjutkan dan kini pihak pemberontak mulai melakukan pembersihan karena sisa tentara liar itu sudah cerai-berai dan mulai main kucing-kucingan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk Koan-bun. Dengan cara demikian, mereka masih mampu melakukan perang gerilya yang tentu saja makin mengacaukan kota itu dan membikin geger para penduduk karena tempat tinggal mereka dipergunakan sebagai tempat persembunyian, kejar-kejaran dan saling bunuh. Sehari itu pihak pasukan liar hanya mampu mempertahankan diri sambil bersembunyi di sana-sini dan akhirnya, ketika malam tiba, sisa mereka tinggal sedikit dan mereka kini hanya berani melawan kalau tempat sembunyi mereka ketahuan dan hanya karena terpaksa saja.

Ceng Ceng makin bingung karena tidak melihat Topeng Setan. Dia mencari-cari ke seluruh kota namun tidak berhasil karena dia pun harus selalu menghindari pertemuan dengan pasukan-pasukan pemberontak yang mengadakan operasi pembersihan. Dia tadi melihat bahwa pasukan pemberontak itu dipimpin oleh seorang kakek raksasa dan seorang wanita cantik yang amat lihai.

Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, raksasa lihai sekali Ketua Pulau Neraka yang pernah dijumpainya, bahkan pernah menangkapnya di Lembah Bunga Hitam, ayah dari Kim Hwee Li yang pernah menolong dan membebaskannya. Ceng Ceng gentar menghadapi raksasa itu, dan pula, selain dia amat lelah, juga dia telah merasa puas dengan siasatnya, menghancurkan pasukan Tambolon dan merugikan besar sekali kepada pasukan pemberontak.

Ceng Ceng menjadi bingung juga karena hari telah menjadi gelap dan hanya terjadi pertandingan-pertandingan kecil di sana-sini antara sisa tentara Tambolon yang ketahuan tempat persembunyian mereka melawan pasukan pemberontak yang mengadakan pembersihan. Dia masih belum berhasil menemukan kembali Topeng Setan. Dan tadi dia melihat sinar dari anak panah berapi meluncur tinggi di angkasa, berwarna kebiruan dan indah. Dia tidak tahu apa artinya anak panah berapi itu yang meluncur dari tengah kota Koan-bun.

Selagi dia menyelinap di antara rumah-rumah di dalam cuaca yang mulai gelap itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan tahu-tahu dia telah dikepung oleh belasan orang tentara pemberontak yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang sebatang pedang.

“Ini dia wanita pemimpin pasukan liar itu!” terdengar bentakan seorang prajurit.

Wanita cantik yang bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li itu, memandang Ceng Ceng yang tak dapat melarikan diri lagi itu penuh perhatian, lalu sambil tersenyum dia bertanya, “Ah, benarkah Tambolon mempunyai pembantu secantik ini?”

“Tidak salah lagi, Kouw-nio (Nona). Kami tadi melihat dia mengamuk di samping Tambolon dan para pembantunya. Dia lihai sekali!” kembali terdengar suara meyakinkan dari seorang prajurit pemberontak.

Mauw Siauw Mo-li melangkah maju. “Eh, perempuan cantik, apakah engkau selir Tambolon? Hayo katakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya itu!”

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Ceng Ceng mendengar kata-kata dan pertanyaan yang dianggapnya menghina itu.

“Perempuan pemberontak rendah!” Dia memaki sambil menyerang ke depan dengan Ban-tok-kiam di tangannya.

“Sing... wuuuuttt-tranggg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Ban-tok-kiam di tangan Ceng Ceng bertemu dengan pedang di tangan Mauw Siauw Mo-li. Ceng Ceng terhuyung ke belakang, tetapi siluman kucing itu pun terperanjat melihat betapa ujung pedangnya patah dan ada hawa beracun yang mengerikan keluar dari pedang di tangan lawannya itu. Jelas bahwa dalam hal tenaga sinkang, Ceng Ceng masih kalah oleh lawannya, akan tetapi keampuhan Ban-tok-kiam juga mengejutkan hati Mauw Siauw Mo-li.

Pada saat itu, dua orang prajurit menubruk dari kanan kiri menggunakan golok mereka menyerang. Ceng Ceng memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring disusul runtuhnya dua batang golok yang menjadi buntung berikut lengan kedua orang itu.....

“Mundur kalian...!” Mauw Siauw Mo-li berteriak nyaring.

Dan ketika belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah melemparkan bola-bola hitam berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng Ceng. Gadis ini maklum bahwa lawan mempergunakan senjata rahasia yang aneh dan belum dikenalnya, maka cepat dia menjatuhkan diri dan bergulingan. Untung saja dia melakukan pengelakan secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke atas tanah terdengar ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau saja dia tidak bergulingan di atas tanah.

Ceng Ceng terkejut bukan main. Cepat dia menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat bangun ketika wanita itu menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang nyaris mengenai perutnya. Tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat lawannya menjadi jeri dan tidak berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng mampu meloncat tinggi dan terus mencelat ke atas genteng, lalu melarikan diri! Dia maklum akan kelihaian wanita itu dan kalau pasukan pemberontak sampai datang lebih banyak lagi, lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul, tentu dia akan celaka.

“Kejar dia...!” Mauw Siauw Mo-li berteriak sambil meloncat naik ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.

Untung bahwa Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau tidak agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal ginkang, dia pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu. Mauw Siauw Mo-li terus mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih banyak lagi. Biar pun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan hampir membasmi habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu sendiri kehilangan banyak sekali anggota tentara dan jika dia atau suheng-nya tak mampu menangkap Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati Mauw Siauw Mo-li belum puas.

Ceng Ceng berlari-larian, kadang-kadang di atas genteng, kemudian meloncat turun dan menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti sebentar di belakang sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan, “Lu-bengcu... mari sini...!”

Ceng Ceng terkejut, apa lagi ketika dapat mengenali Raja Tambolon dan dua orang pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw Kui Si Petani Maut dan Si Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong itu! Biar pun hatinya tidak suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil di belakang rumah yang dibuka oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup pintu dan memasuki rumah kosong. Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi lentera itu penuh harapan, akan tetapi hatinya kecewa ketika dia tidak melihat Topeng Setan di situ.

“Untung ada kalian di sini...” kata Ceng Ceng. “Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?”

“Hemmm... justru kami hendak bertanya kepadamu, Lu-bengcu. Di manakah Topeng Setan pembantumu itu?”

Mendengar suara dan melihat sikap Raja Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apa lagi ketika melihat bahwa tiga orang itu membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya sedangkan dua orang pembantu raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang yang marah kepadanya.

“Eh, apa maksudmu, Raja Tambolon?” Ceng Ceng bertanya dengan sikap biasa.

“Ha-ha-ha, engkau masih pandai berpura-pura lagi! Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau telah menjebloskan kami ke dalam perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan kami terbasmi habis, dan kini pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan engkau masih berpura-pura lagi, Nona.”

Di dalam hatinya Ceng Ceng terkejut sekali. Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata dengan nada suara dan penasaran. “Raja Tambolon, begitu tidak tahu terima kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat betapa aku tadi hampir celaka oleh pasukan yang dipimpin wanita lihai itu? Kalau usaha kita tidak berhasil karena keburu datang bala bantuan dari Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau tidak menyalahkan pasukanmu sendiri yang tidak becus dan kurang mampu?!”

Raja Tambolon yang sudah kehilangan segala-galanya itu masih bisa tertawa lepas. Kemudian dia berkata, “Nona Lu Ceng, kalau tadi kami tidak melihat betapa engkau dikejar-kejar, tentu sekarang engkau sudah mati di tanganku! Namun jangan mengira bahwa hal itu sudah cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan di sampingmu memperkuat dugaan kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan oleh karena engkaulah maka kini pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku mendiamkannya saja hal ini? Tidak! Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak mengkhianati aku, engkau tidak boleh lagi berpisah dari sampingku.”

Berdebar jantung Ceng Ceng mendengar ucapan ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang terkandung di dalam hati raja liar ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencari akal dia berpura-pura tidak mengerti dan kemudian bertanya, “Maksudmu?”

“Ha-ha-ha! Pasukanku boleh terbasmi habis, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat dan pembantuku yang setia ini, ditambah lagi memiliki engkau yang cantik jelita, muda lagi pintar dan cerdik sebagai sahabat dan penghiburku, sebagai permaisuriku! Dengan adanya kita berempat, mudah bagi kita untuk menghimpun pasukan lagi dan membangun sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!”

Makin berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat seperti telah diduganya. Akan tetapi melihat Tambolon dan dua orang pembantunya itu menghadapi dengan sikap bersiap untuk menghalangi dia melarikan diri, dia masih berkata, “Hemm, rencanamu memang bagus sekali, akan tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?”

“Dia? Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada musuh, dia pun bisa menjadi orang kelima, bisa menjadi pembantuku. Tetapi kalau dia tidak muncul, persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur keluar dari kota terkutuk ini!”

“Engkau memang manusia hina!” Tiba-tiba Ceng Ceng membarengi makiannya itu dengan gerakan kedua tangannya yang menyebar jarum-jarum hitam beracun yang tadi diam-diam sudah disiapkannya di kedua tangannya.

“Ehhhh!”

“Heiitttt!”

“Hyaattt!”

Tambolon dan dua orang pembantunya itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga itu selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi segala macam keadaan sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang dipergunakan Ceng Ceng tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak saja. Maka begitu kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar ke arah mereka, tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan bergulingan sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat mereka elakkan.

Akan tetapi kesempatan ini cukup bagi Ceng Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari rumah itu melalui jendela, terus berloncatan ke atas genteng melarikan diri karena dia maklum bahwa menghadapi tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu menang.

“Ha-ha-ha, betina liar, kau hendak lari ke mana?” Tambolon berseru dan bersama dua orang pembantunya, dia mengejar dengan cepat. Mereka bertiga juga mempunyai ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakan mereka cepat sekali sehingga setelah melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng yang meloncat turun telah dikurung lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.

“Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat! Makin liar dan hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra kalau engkau sudah terjatuh ke dalam pelukanku, ha-ha!” Tambolon tertawa bergelak.

“Tambolon, manusia iblis! Kau hanya dapat menguasai aku kalau aku sudah menjadi mayat!” Ceng Ceng berteriak sambil mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang mengeluarkan hawa mukjijat dan menyeramkan.

Dengan nekat Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun percuma saja lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya yang mengandung hawa beracun itu dengan sengit dan membabi buta. Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru melawan seorang di antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang.

Petani Maut Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup untuk menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat bergerak leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara lihai sekali. Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang senjata poan-koan-pit terus mengancam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu itu untuk menerkam tubuh Ceng Ceng!

Tentu saja Ceng Ceng menjadi sibuk sekali. Semua kepandaian telah dikeluarkannya, bahkan dia telah menggunakan pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang telah menjadi beracun karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu terlalu kuat baginya. Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah maka dia masih belum roboh. Kalau mereka itu ingin membunuhnya, tentu sudah sejak tadi dia tewas. Justru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup dan dijadikan barang permainan oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri.

Dia tidak takut mati, akan tetapi dia menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia akan diperkosa dan dipermainkan oleh raja liar itu. Teringat akan pengalamannya ketika diperkosa orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan permainan oleh Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu membalas sakit hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah memperkosanya. Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok Cu! Akan tetapi dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang lebih mengerikan dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!

“Cringgg...!”

Tiba-tiba pedang Ban-tok-kiam yang bertemu dengan pukulan Petani Maut tidak dapat dia tarik kembali, seolah-olah melekat pada pikulan itu. Pada saat itu, ujung senjata pensil di tangan siucai itu menyentuh jalan darah di pergelangan tangan kanannya. Ceng Ceng menjerit dan terpaksa melepaskan pedangnya karena lengannya itu seketika menjadi lumpuh.

“Ha-ha-ha, kuda betina liar! Apakah engkau masih belum mau jinak?” Tambolon yang sudah menyambar pedang Ban-tok-kiam itu kini tertawa bergelak.

Ceng Ceng mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan penuh kenekatan dia menerjang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dada Tambolon.

“Plakk...! Dukkk!”

Tubuh Ceng Ceng terjengkang dan dia roboh bergulingan ketika pukulannya ditangkis dan tubuhnya didorong oleh Tambolon sambil tertawa-tawa itu.

“Wah, kuda betina seperti ini harus ditudukkan dan dijinakkan sekarang juga, jika tidak, dia akan bertingkah terus! Liauw Kui, Yu Ci Pok, pegang dia, biar dia merasakan dan mengenal siapa yang berkuasa di sini! Ha-ha-ha!” Tambolon tertawa-tawa dan dengan gerakan tenang mulai menanggalkan jubah luarnya.

Ceng Ceng membelalakkan matanya. Dia akan diperkosa begitu saja, dengan kedua orang itu memegangnya dan Tambolon menggagahinya.

“Tidaaaakkk...! Jangaaan...!” jeritnya penuh kengerian ketika dua orang lihai itu mulai mendekatinya. Dia masih duduk di atas tanah karena kepalanya agak pening ketika dia terbanting tadi.

“Hemm, engkau perawan liar memang harus dipaksa!” Si Petani berkata dan bersama Yu Ci Pok dia menubruk ke depan.

“Plak! Plakk!”

“Eihhhh...?”

“Heiiii...!”

Tiba-tiba Liauw Kui dan Yu Ci Pok terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak kepada Kian Lee yang sudah berdiri di situ dengan sikap tenang akan tetapi mukanya merah dan alisnya berkerut, matanya seperti bercahaya di tempat gelap itu ketika dia memandang kepada mereka.

“Raja Tambolon, kiranya selain menjadi raja orang-orang liar kau sendiri juga seorang manusia biadab!” Kian Lee berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka raja tinggi besar itu.

Sementara itu, Ceng Ceng yang masih saja terduduk tadi memandang kepada Kian Lee tanpa mengenalinya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan dan gagah perkasa yang muncul secara tiba-tiba dan yang sekali menangkis membuat dua orang pembantu Tambolon terhuyung mundur itu.

Tadi Kian Lee sedang menyaksikan kehancuran pasukan liar Tambolon yang didesak oleh pasukan-pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun ketika tiba-tiba dia melihat bayangan-bayangan orang berkelebatan cepat sekali di atas genteng. Ketika melihat seorang wanita dikejar tiga orang, dia merasa heran, apa lagi melihat betapa gerakan mereka amat cepat. Ketika mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa tiga orang laki-laki itu adalah Tambolon dan dua orang pembantunya, Kian Lee makin menaruh perhatian.

Tetapi dia baru turun tangan membantu ketika melihat dengan hati kaget dan berdebar aneh bahwa gadis yang dikeroyok itu bukan lain adalah Lu Ceng, saudara angkat Syanti Dewi, penolong Jenderal Kao Liang, gadis yang telah beberapa kali dijumpainya dan yang tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu! Begitu dia mengenal Ceng Ceng, cepat dia bergerak dan menangkis dua orang yang hendak menangkap gadis itu.

Tambolon memandang dengan matanya yang lebar dan ganas, kemudian tertawa lagi karena dia memandang rendah kepada pemuda yang baru muncul itu. “Liauw dan Yu, kalian bereskan bocah lancang itu, biar aku menjinakkan sendiri betina liar ini karena kita tidak mempunyai banyak waktu.” Sambil berkata demikian, dia sudah menubruk Ceng Ceng yang baru saja hendak bangkit berdiri.

“Keparat!” Kian Lee membentak akan tetapi ketika dia bergerak maju, Yu Ci Pok sudah mengirim totokan bertubi-tubi dengan sepasang poan-koan-pit ke arah jalan-jalan darah berbahaya di depan tubuh Kian Lee, sedangkan Liauw Kui sudah mengayun pikulannya menghantam ke arah kepalanya.

Kian Lee terpaksa mengelak. Ketika dia melirik, ternyata Ceng Ceng sudah menyambut tubrukan itu dengan tendangan kakinya. Ditendang seperti itu, Tambolon tertawa saja dan ketika tendangan mengenai perutnya, bukan dia yang roboh, bahkan Ceng Ceng sendiri yang terjengkang dan terbanting telentang di atas rumput. Sambil tertawa, Tambolon menubruk tubuh gadis yang sudah telentang itu.

“Dessss...!”

“Auggghhh...!” Tambolon berteriak keras sekali.

Dia masih sempat menangkis dorongan tangan orang yang tiba-tiba muncul di samping, dan ketika kedua dengan itu bertemu, Tambolon terpelanting dan hampir roboh. Dia cepat meloncat dan menghadapi laki-laki yang baru muncul itu. Laki-laki itu setengah tua, berpakaian sederhana dan sikapnya tenang, namun pandang matanya membuat Tambolon bergidik karena pandang mata itu tajam seolah-olah menembus jantungnya.

“Huh, banyak manusia lancang yang sudah bosan hidup!” Tambolon berteriak marah sekali.

“Suheng...!” Kian Lee menjadi girang melihat bahwa yang muncul itu adalah Gak Bun Beng.

Bun Beng hanya tersenyum kepadanya, tetapi dia tidak sempat bicara karena Tambolon yang marah karena kehendaknya selalu dirintangi orang itu telah menerjangnya dengan dahsyat. Raja liar itu memang hebat. Dia adalah keturunan seorang Panglima Mongol yang berilmu tinggi dan sekarang serangannya itu dibarengi dengan pekik dahsyat yang mengandung khikang kuat sekali sedangkan tangannya yang memukul ke arah Bun Beng juga mengandung pengerahan tenaga sinkang yang amat besar.

Bun Beng sudah mendengar akan kehebatan Raja liar ini dan kini melihat gerakan pukulan itu yang didahului oleh suara angin pukulan bersiutan diam-diam dia menjadi kagum juga. Sungguh mengagumkan dan jarang ada, seorang manusia biadab yang hidupnya liar dapat memiliki tingkat kepandaian seperti ini. Maka dia pun dengan cepat menggerakkan tangannya, didorong ke depan untuk menyambut hantaman lawan itu.

Melihat ini Tambolon menjadi girang. Selama ini, dia terkenal dengan pukulan mautnya dan belum pernah ada orang berani menerima pukulannya yang memiliki kekuatan ribuan kati. Batu karang pun pecah terkena pukulannya dan hawa pukulannya dapat membuat air di dalam sumur bergelombang! Kini lawannya yang sederhana ini berani menyambut pukulannya, dasar mencari jalan kematian yang cepat, pikirnya.

“Dessss...!”

Dua telapak tangan bertemu di udara didahului oleh bertemunya hawa pukulan yang amat hebat dan akibatnya membuat Tambolon terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini dan memandang dengan mata terbelalak. Orang ini sama sekali tidak bergoyang! Mana mungkin ini? Dia menjadi penasaran sekali, dan bagaikan seekor kerbau mengamuk, dia menyerbu lagi, sekarang menggunakan kedua tangannya untuk memukul.

“Plak! Desss...!”

Makin hebat pukulan Tambolon, semakin hebat pula dia terguncang ketika ditangkis, sehingga kini dia terhuyung ke belakang sampai lima langkah!

“Darrr...! Darrr...!”

Dua buah benda meledak dan untung bahwa mereka semua yang berada di situ adalah orang-orang pandai sehingga dapat mengelak dan mengebut pecahan-pecahan yang menyambar ke arah mereka. Muncullah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li!

“Ahh, badai besar! Berlindung...!” Teriakan Tambolon ini merupakan isyarat kepada dua orang pembantunya bahwa bahaya yang tak terlawan telah datang dan mereka perlu melarikan diri.

Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang juga menghadapi lawan berat karena pemuda tampan itu ternyata mampu menghadapi senjata mereka dengan gerakan cepat, maklum akan teriakan pemimpin mereka dan cepat mereka meloncat ke dalam gelap, mengikuti arah perginya Raja Tambolon.

“Hi-hik, ini dia Si Perempuan Jalang!” Mauw Siauw Mo-li membentak ketika dia melihat Ceng Ceng.

“Ha-ha-ha, cantik... cantik...!” Hek-tiauw Lo-mo terkekeh.

Ceng Ceng yang baru saja terlepas dari bahaya tadi masih berdiri dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang datang menolongnya. Kini melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li dengan pasukan pemberontak, juga munculnya Hek-tiauw Lo-mo yang sudah dia ketahui amat lihai, menjadi putus harapan.

“Hek-tiauw Lo-mo iblis busuk!” bentaknya sambil meloncat ke depan dan menghantam raksasa itu karena Hek-tiauw Lo-mo yang berada paling dekat dengannya.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau ini?” Hek-tiauw Lo-mo tertawa, dan karena ia maklum bahwa gadis ini memiliki ilmu tentang racun yang amat berbahaya, ia lalu mengerahkan tenaga beracun dan menangkis sambil terus menampar.

“Plakk! Bukk...!”

Tubuh Ceng Ceng terbanting karena selain pukulannya kena ditangkis, juga pundaknya terkena tamparan tangan beracun Ketua Pulau Neraka yang amat lihai itu.

“Hek-tiauw Lo-mo manusia keji!” Kian Lee yang tadinya hendak mengejar Tambolon, melihat Ceng Ceng roboh terpukul, menjadi marah sekali dan dia sudah menerjang raksasa itu dengan pukulan tangannya.

“Dukk-dukk-dessss!”

Tiga kali lengan pemuda itu beradu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan melihat betapa kakek itu ternyata kuat sekali, Gak Bun Beng sudah meloncat maju menggantikan Kian Lee menerjang Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi terkejut setengah mati ketika merasa betapa angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Gak Bun Beng menimbulkan angin besar dan amat kuatnya.

“Sute, kau selamatkan dulu gadis itu dan tinggalkan tempat ini...!” Bun Beng berseru.

Kian Lee cepat meloncat ke dekat Ceng Ceng yang masih rebah. Saat dia mengangkat bangun gadis itu, Ceng Ceng mengeluh.

“Ah, engkau terluka, Nona. Mari kupondong keluar dari kepungan mereka...”

Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng kepalanya. “Tidak usah... aku... aku akan melawan mereka... sampai napas terakhir...”

“Tidak, Nona. Suheng-ku mampu menahan mereka, marilah...”

Tetapi kembali Ceng Ceng menolak dan tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. “Hi-hik, percuma kau membujuk, orang muda yang tampan. Dia sudah keracunan dan akan mampus. Engkau sungguh hebat, muda, ganteng, dan lihai. Menyerahlah saja, dan engkau akan menikmati kesenangan bersama aku, hi-hik!” Dari dada wanita itu lalu terdengar suara mirip suara kucing.

Kian Lee terkejut, cepat dia meloncat berdiri melindungi di depan Ceng Ceng yang masih duduk di atas tanah sambil memegangi pundaknya yang tadi terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo. “Hemm, kiranya engkau yang disebut Siluman Kucing itu?”

Dia teringat akan penuturan Kim Hwee Li, puteri Ketua Pulau Neraka tentang bibi gurunya yang lihai ini, yang katanya malah lebih lihai dari pada Hek-wan Kui-bo yang telah melukai pahanya dengan obat peledak. Mengertilah dia sekarang bahwa yang melepaskan senjata peledak sehingga menakutkan Tambolon tadi adalah wanita ini.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih rapi dan menarik sekali. “He-hemm... kiranya engkau sudah mengenal aku, pemuda ganteng? Kebetulan sekali kalau begitu...”

“Sumoi, apa perlunya mengobrol? Cepat tangkap atau bunuh mereka dan lekas kau membantuku!” Tlba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak.

Kiranya Ketua Pulau Neraka ini mulal terdesak oleh Gak Bun Beng! Makin lama Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin kaget dan heran melihat betapa lawannya ini benar-benar amat hebat kepandaiannya sehingga semua ilmu pukulannya yang beracun mampu ditangkisnya tanpa melukainya, bahkan dia yang selalu tergetar dan terdorong oleh hawa pukulan yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin amat luar biasa.

Mauw Siauw Mo-li lalu memberi aba-aba dan para prajurit pemberontak serentak maju mengepung dan mengeroyok. Ceng Ceng yang masih menyeringai kesakitan sudah melompat berdiri dan mengamuk dengan kaki tangannya, karena pedangnya Ban-tok-kiam telah dirampas oleh Tambolon. Biar pun bertangan kosong, gadis ini masih hebat sekali karena dia menggunakan pukulan-pukulan beracun, sehingga setiap prajurit pemberontak yang terkena pukulannya tentu terjungkal dan tak dapat bangkit kembali. Akan tetapi setiap kali merobohkan lawan dengan pengerahan tenaga, dara ini mengeluh lirih dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.

Kian Lee mengamuk sambil melindungi Ceng Ceng sedapat mungkin. Karena sebagian besar perhatiannya dicurahkan untuk melindungi gadis itu dan dia telah berkali-kali menghalau bahaya yang mengancam Ceng Ceng dengan merobohkan penyerang gelap dari belakang gadis itu, maka dia masih belum mampu mengalahkan Mauw Siauw Mo-li yang memang amat lihai Itu.

Gerakan Siluman Kucing itu cepat sekali, ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga karena dia tidak berani mendekati Ceng Ceng, maka sukar baginya untuk dapat merobohkan wanita itu. Sedangkan Gak Bun Beng yang mulai mendesak hebat kepada Hek-tiauw Lo-mo, juga terpaksa harus membagi tenaganya untuk menghadapi pengeroyokan prajurit-prajurit pemberontak yang makin banyak itu.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan agak jauh, disusul sorak-sorai dan pekik banyak sekali manusia yang agaknya datang dari luar tembok kota. Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan di antara prajurit pemberontak yang berlari-larian di dekat tempat itu.

“Celaka, barisan pemerintah menyerbu benteng!”

“Kita telah dikurung!”

“Kita terjebak...!”

“Mereka telah membobolkan pintu gerbang di tiga tempat!”

Teriakan-teriakan itu terdengar dengan jelas dan membikin panik para pengeroyok, termasuk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

“Sumoi, apa artinya itu?” Beberapa kali ketua Pulau Neraka itu berteriak sambil terus mundur dari desakan Bun Beng, mengandalkan pengeroyokan puluhan orang prajurit itu.

“Entah, Suheng...!” Mauw Siauw Mo-li menjawab bingung dan dia pun tidak begitu mendesak lagi kepada Kian Lee sehingga pemuda ini dengan leluasa dapat membantu dan melindungi Ceng Ceng dari pengeroyokan puluhan orang prajurit pemberontak yang sudah menjadi gelisah itu.

Suara gemuruh itu semakin lama semakin dekat dan tak lama kemudian makin banyak prajurit pemberontak yang lari cerai-berai, agaknya ketakutan.

“Hai...! Tikus-tikus bernyali kecil, pengecut-pengecut tak tahu malu!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah. “Kenapa kalian berlari-larian? Apa yang terjadi?” Suaranya nyaring sekali mengatasi suara hiruk-pikuk dan dia telah meninggalkan Gak Bun Beng yang masih dikeroyok oleh puluhan orang prajurit pemberontak.

“Barisan pemerintah telah menyerbu ke dalam kota Koan-bun seperti banjir! Kita telah terjebak dan dikurung!” Seorang perwira pemberontak menjawab dengan muka pucat.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali. Ia dan sumoi-nya mencampuri urusan pemberontakan karena kebetulan saja melihat gerakan para pemberontak dan ingin ‘membonceng’ agar dapat memperoleh kedudukan dan kemuliaan, maka mereka sudah menawarkan diri membantu. Siapa tahu, belum apa-apa sudah tampak gejala kegagalan pemberontakan ini, bahkan kini mereka terhimpit di dalam kota Koan-bun.

“Sumoi, tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi?!” teriaknya, karena Ketua Pulau Neraka ini pun jeri menghadapi Gak Bun Beng yang memiliki kepandaian amat tinggi itu.

Akan tetapi tiba-tiba datang pasukan pemerintah di tempat itu dan seorang pemuda tinggi besar meloncat dengan gerakan kilat dan tahu-tahu telah berada di depan Hek-tiauw Lo-mo sambil membentak, “Hek-tiauw Lo-mo pencuri rendah! Kiranya engkau berada di sini pula menjadi kaki tangan pemberontak. Hayo cepat kembalikan sebagian kitab yang kau curi dari Istana Gurun Pasir!”

“Orang muda lancang mulut! Siapa kau...?!”

“Aku adalah murid majikan Istana Gurun Pasir yang diutus Suhu untuk merampas kembali kitab pusaka dan memberi hajaran kepada pencurinya.”

“Bocah sombong!” Biar pun telah berkali-kali bertemu lawan tangguh, Hek-tiauw Lo-mo masih memandang rendah orang lain dan menghadapi pemuda tinggi besar itu dia pun memandang rendah, lalu menyerang dengan tiba-tiba.

“Dessss...!”

Pukulan majikan Pulau Neraka itu ditangkis oleh pemuda itu dan kagetlah Hek-tiauw Lo-mo ketika tangkisan itu membuat dia terdesak ke belakang. Baru dia percaya bahwa murid Si Dewa Bongkok ini lihai sekali. Akan tetapi tentu saja untuk mengembalikan kitab yang hanya sebagian berada di tangannya itu dia merasa sayang. Dia masih belum berhasil merampas sebagian dari kitab yang berada di tangan Ketua Lembah Bunga Hitam, yaitu Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek sehingga dia belum dapat mempelajari isi kitab dengan sempurna.

“Kok Cu...! Jahanam engkau...!” Mendadak terdengar jerit melengking dan Ceng Ceng sudah lari menghampiri pemuda tinggi besar itu dan menyerang dengan pukulan ganas, mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Kao Kok Cu, pemuda itu, terbelalak memandang Ceng Ceng yang menyerangnya bagai orang terpesona, sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis.

“Bukkkk! Bukkk!”

“Nona Lu Ceng...!” Kian Lee yang menjadi terkejut sekali sudah meninggalkan para pengeroyoknya dan berteriak memanggil sambil meloncat ketika dia melihat Lu Ceng seperti orang gila menyerang dan memukul Kok Cu.

Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat jauh dan melarikan diri bersama Mauw Siauw Mo-li, dan Kok Cu hanya berdiri bengong setelah dipukul dadanya dua kali oleh Ceng Ceng. Dara itu setelah memukul dua kali dengan pengerahan tenaga sekuatnya, mengeluh dan terguling roboh. Untung Kian Lee cepat menyambarnya sehingga dia tidak terbanting roboh dan pingsan di dalam pelukan Kian Lee.

Gak Bun Beng juga sudah loncat mendekat. Melihat wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu, pendekar ini terkejut bukan main karena dia maklum bahwa dara itu telah menderita luka hebat akibat racun! Dia memandang Kok Cu dengan alis berkerut dan melihat pemuda tinggi besar itu pemimpin pasukan pemerintah dan agaknya kenal dengan Kian Lee, dia bertanya, “Lee-sute, siapa dia ini?”

“Suheng, dia adalah saudara Kao Kok Cu, putera Jenderal Kao.”

Bu Beng mengangguk. “Ahhh...!” Kemudian dia berkata, “Sute, cepat kau bawa pergi nona ini. Dia terluka dan keracunan hebat.”

Kok Cu yang masih berdiri bengong memandang Ceng Ceng yang pingsan di dalam pelukan Kian Lee berkata, “Saudara Kian Lee, kau bawalah nona ini, ikutlah perwira ini agar mendapat perawatan sebaiknya.”

Dia memerintahkan seorang perwira yang segera mengajak Kian Lee yang memondong tubuh Ceng Ceng itu pergi meninggalkan tempat itu. Kok Cu kini berhadapan dengan Gak Bun Beng, keduanya saling pandang penuh selidik karena masing-masing dapat menduga akan kelihaian mereka. Kok Cu yang mendengar Kian Lee menyebut suheng kepada laki-laki setengah tua ini, diam-diam terkejut. Dia sudah tahu sekarang bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah putera-putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, tentu saja ilmu kepandaian mereka hebat sekali. Dan laki-laki setengah tua yang sederhana dan tenang ini adalah suheng mereka!

Sebenarnya dia ingin sekali berkenalan dengan orang yang berilmu tinggi ini, akan tetapi hatinya sudah dibuat gelisah bukan main oleh pertemuan dengan Ceng Ceng, gadis penolong ayahnya akan tetapi juga gadis yang mendendam sakit hati setinggi langit sedalam lautan kepadanya! Gadis yang diperkosanya sewaktu dia berada dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun jahat. Dan yang menjadi biang keladi peristiwa memalukan ini adalah Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, dua orang yang mencuri kitab suhu-nya. Merekalah yang membuat dia keracunan hebat itu sehingga dia melakukan perbuatan keji terhadap Lu Ceng!

“Kiranya engkau adalah putera Kao-goanswe? Sungguh menggembirakan sekali, bagai mana pasukan pemerintah bisa datang begini tepat? Di mana ayahmu?” Gak Bun Beng bertanya.

“Semua ini adalah berkat jasa Nona Lu Ceng itu yang telah mengatur siasatnya...,” Kok Cu berkata akan tetapi matanya memandang ke arah larinya Hek-tiauw Lo-mo.

“Ah..., maksudmu...?” Gak Bun Beng tercengang.

“Dia membujuk Tambolon menyerang Koan-bun dan selagi pemberontak dan pasukan Tambolon bertempur sendiri, barisan pemerintah bergerak, sebagian menyerbu Koan-bun, sebagian dipimpin Puteri Milana memotong jalan dan sebagian dipimpin Ayah menyerbu Teng-bun malam ini juga.”

“Ahhh... sungguh hebat!” Bun Beng memuji.

“Maaf, saya harus mengejar Hek-tiauw Lo-mo!” Kok Cu berkata.

Cepat dia meninggalkan Bun Beng dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari situ, membuat Bun Beng mengikutinya dengan pandang mata kagum sekali. Pendekar ini terheran-heran dan masih tercengang dengan jalannya peristiwa yang begitu cepat dan tidak tersangka-sangka.

Dia tadi pun seperti juga Kian Lee, menonton dengan penuh keheranan betapa pasukan yang dipimpin oleh Tambolon menyerbu Koan-bun dan seperti juga sute-nya itu, dia menolong banyak penduduk yang diganggu oleh tentara kedua pihak. Terheran-heran hati pendekar ini melihat munculnya begitu banyak orang pandai. Mula-mula Tambolon dengan dua orang pembantunya yang lihai, kemudian Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak kalah lihainya. Yang terakhir muncul pemuda putera Jenderal Kao itu! Pemuda itu pun amat lihai, akan tetapi anehnya, mengapa Nona Lu Ceng itu begitu melihatnya lalu menyerangnya dengan penuh kebencian?

Akan tetapi pendekar ini tidak mau memusingkan hal itu. Dia lalu membantu pasukan pemerintah yang telah melakukan perang mati-matian melawan pasukan pemberontak dan pertempuran terjadi di seluruh kota sampai keesokan harinya. Kota Koan-bun mengalami perang yang luar biasa hebatnya, dimulai dari penyerbuan pasukan liar yang dipimpin oleh Tambolon lalu dilanjutkan oleh pasukan pemerintah yang menumpas pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun sebagai bala bantuan. Kalau tadinya pasukan Tambolon membasmi pasukan yang bertahan di Koan-bun, kemudian tiba giliran pasukan liar itu yang dibasmi oleh pasukan besar pemberontak dari Teng-bun, kini pasukan pemerintah turun tangan melakukan pukulan terakhir kepada barisan pemberontak.

Yang patut dikasihani adalah penduduk kota Koan-bun. Sukarlah bagi mereka untuk mengatakan mana kawan dan mana lawan karena semua anak buah pasukan selalu mengganggu mereka. Kota mereka menjadi neraka yang penuh dengan mayat dan orang-orang luka, darah membanjir setiap tempat dan banyak rumah yang habis terbakar.

Pertempuran-pertempuran mengerikan itu berlangsung sampai dua hari lamanya, tentu saja menjatuhkan korban manusia di kedua pihak yang banyak sekali. Akan tetapi akhirnya Koan-bun jatuh ke tangan barisan pemerintah yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong dan Kao Kok Cu yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sejak dia melakukan pengejaran terhadap Hek-tiauw Lo-mo untuk merampas kembali kitab suhu-nya yang dicuri oleh Ketua Pulau Neraka itu.

Mulai malam itu, dimulai dengan penyerbuan pasukan Tambolon ke dalam kota Koan-bun, terjadilah perang yang seru dan dahsyat, yang mengerikan karena sejak malam itu sampai beberapa hari lamanya di kota itu terjadi pembunuhan dan pembantaian antara manusia, bahkan antara bangsa sendiri sehingga puluhan ribu manusia tewas di ujung senjata tajam!

Tidak hanya di Koan-bun terjadi perang yang hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di tengah jalan antara Koan-bun dan Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh Puteri Milana melakukan pencegatan dan barisan pemberontak yang menyerbu ke Koan-bun untuk menumpas pasukan Tambolon itu tidak dapat lagi kembali ke Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh barisan Milana ini, bahkan Sang Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat lemah lalu memecah barisannya, sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu barisan penyerbu Teng-bun yang merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh Jenderal Kao Liang dibantu oleh Suma Kian Bu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang keji untuk memaksa Syanti Dewi menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya ketika mendadak ada laporan bahwa Koan-bun telah diserang oleh pasukan Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu birahinya dan malam itu dia tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan Panglima Kim Bouw Sin agar dapat mengetahui keadaan.

Mereka semua mengharapkan bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan yang dibantu oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil menumpas pasukan liar Tambolon. Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul. Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!

Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk mempertahankan benteng Teng-bun. Menjelang pagi muncullah musuh yang ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh yang menggetarkan hati semua prajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di benteng dan di luar benteng. Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa orang panglima pembantunya berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan.

Barisan pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang menanti sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan harapan untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para prajurit pemberontak yang dahulu adalah bekas anak buahnya. Setelah matahari timbul di ufuk timur, Jenderal Kao Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati menara di sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada pula di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha pemberontakan berhasil seluruhnya.

“Kim Bouw Sin pemberontak hina dina!” Jenderal Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya sehingga suaranya terdengar oleh mereka yang berada di menara dan juga oleh sebagian besar prajurit pemberontak yang sudah berjaga di atas tembok benteng. “Apakah engkau masih belum insyaf betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir dan kehancuran? Koan-bun sudah terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang ke sana malam tadi telah habis terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah dihancurkan! Lebih baik engkau segera menakluk dan mengakui dosamu dari pada mengorbankan nyawa ribuan prajurit yang hanya terkena hasutanmu!”

“Keparat dia! Hujani anak panah!” Pangeran Liong Khi Ong membentak marah sekali karena dia maklum betapa berbahayanya suara jenderal itu terdengar oleh para prajurit, karena jenderal itu merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat disegani. Dia sudah melihat betapa wajah para pengawal dan prajurit yang berada di menara itu berubah pucat mendengar suara ini.

“Lepaskan anak panah!” Tiba-tiba Kim Bouw Sin memberi aba-aba, karena dia sendiri pun marah dan merasa tidak mampu untuk menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.

Para prajurit pasukan panah segera melakukan perintah ini dan anak panah meluncur ke bawah seperti hujan banyaknya. Melihat ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang diterimanya dari Jenderal Kao. Tampaklah segulungan sinar berkilauan yang membuat anak panah yang menyambarnya runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah memutar pedangnya, kemudian berkata kepada Kian Bu. “Taihiap, kau lindungilah aku. Aku harus membalas kecurangan mereka itu!”

Kian Bu lalu meloncat turun dari atas kudanya dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang sekarang berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua. Jenderal Kao lalu menurunkan busur dan memasang anak panah, membidik ke atas dan tak lama kemudian terdengarlah suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan seperti kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang melihat penyerangan anak buahnya dengan penuh harapan.

“Ciangkun, awas...!” Lam-thian Lo-mo yang selalu mendampingi panglima pemberontak ini bersama Pak-thian Lo-mo, berseru dan cepat dia menarik tangan panglima itu hingga tubuhnya tertarik ke samping. Terdengar teriakan nyaring ketika seorang perwira yang berdiri di belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya tertembus anak panah dan dia tewas seketika.

Jenderal Kao dan Kian Bu telah meninggalkan tempat berbahaya itu, maka dimulailah perang yang amat dahsyat di sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan anak panah dari kedua pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat bahwa kekuatan barisan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar, kurang dari separoh jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu memerintahkan pasukan untuk menyerbu ke luar, dibantu oleh barisan anak panah dan batu-batu yang menghalau setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok benteng.

Maka terjadilah perang tanding di luar pintu gerbang benteng sebelah selatan. Memang perhitungan Kim Bouw Sin tepat. Jumlah pasukannya jauh lebih besar dan dia hendak menggunakan keunggulan jumlah pasukan ini untuk menggempur dan menghancurkan pasukan Jenderal Kao. Akan tetapi Jenderal Kao Liang adalah seorang pemimpin yang banyak siasatnya.

Segera dia memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya lalu berpencar, sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui sungai di barat kota Teng-bun. Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin harus pula membagi bagi pasukannya. Karena gerakan Jenderal Kao yang merubah-ubah jumlah pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada sedikit pasukan dan agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang timur, akan tetapi ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di timur, kiranya yang di selatan itulah justru yang lebih kuat sehingga penjagaan-penjagaan dan pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan panik.

Tetapi, karena Kim Bouw Sin adalah panglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao, dia pun amat ahli mengatur penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh kalah banyak itu, agaknya tidak mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota benteng Teng-bun yang amat kuat itu. Perang telah berlangsung dua hari dua malam dan hanya diseling waktu untuk menyusun kekuatan di pihak masing-masing.

Pada hari ketiga, datanglah barisan bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yang memimpin sisa pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong yang telah merebut kembali kota Koan-bun. Tentu saja bantuan ini amat menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan disusunlah kekuatan baru dan dengan dahsyat barisan gabungan ini lalu melakukan hantaman-hantaman yang menggetarkan dan mengguncangkan tembok benteng kota Teng-bun berikut semangat perlawanan para prajurit pemberontak yang memang sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal Kao Liang yang mereka takuti itu kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah mereka kenal pula itu.

Biar pun pihak pemberontak masih mampu mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga malam, namun kedudukan mereka telah goyah. Pasukan telah gelisah dan para penjaga yang mempertahankan pintu-pintu gerbang telah turun semangat dan sangat kelelahan.

Semua ini tentu saja diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin gelisah. Selama sepekan ini dia tidak bisa tidur dan selalu gelisah. Dia dan kakaknya memang merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi sekali-kali bukan orang peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya dia menjadi gelisah bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya setiap saat.

Demikian takutnya dia hingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja Tek Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena dia dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat dikhawatirkannya terhadap diri Syanti Dewi.

Ketika Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa pihak musuh yang masih juga belum berhasil membobol benteng Teng-bun itu kabarnya dibantu oleh pasukan baru di bawah pimpinan Puteri Milana, dia menjadi pucat ketakutan. Memang sejak dahulu dia merasa jeri terhadap Puteri Milana yang dalam persaingan di istana selalu memihak lawannya, yaitu Perdana Menteri Su.

Kim Bouw Sin menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa pasukan mereka tidak akan kalah, dan andai kata keadaan mendesak dan berbahaya, pangeran itu masih dapat menyelamatkan diri dengan sebuah kereta melalui pintu rahasia yang keluar ke dalam hutan di sebelah barat benteng. Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw Sin harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri Milana datang membantu Jenderal Kao Liang. Atas permintaannya, terpaksa Pangeran Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin.

Mulailah Tek Hoat terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang berhasil membangkitkan semangat para prajurit pemberontak, dan kini pertempuran secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara pemerintah makin mendesak dan akhirnya, pada hari keempat, bobollah pintu selatan diserbu oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu oleh Suma Kian Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu sedemikian hebatnya sehingga menggiriskan hati para prajurit pemberontak yang terus mundur memasuki kota.

Siang Lo-mo yang mengamuk di pintu barat dan timur merobohkan banyak prajurit musuh, mendengar akan bobolnya pintu gerbang selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para penjaga di pintu gerbang selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang memanggil mereka dan ternyata bahwa mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk mengawal pangeran itu keluar dari Teng-bun.

Panglima Kim Bouw Sin mengerahkan pasukan istimewa, dengan panah api berhasil menghalau pasukan musuh yang telah menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat pasukannya banyak yang roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa Milana dan Kian Bu menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan kembali pintu gerbang dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan pintu besi yang tadi sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah di tempat itu. Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan serangan dan mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi pada keesokan harinya.

Tek Hoat kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena dia ikut bertempur sejak pagi sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban yang dirobohkannya dan pahanya berdarah, luka sedikit oleh tombak para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya dalam perang sampyuh tadi.

Dia mulai merasa bosan berperang, kebosanan yang menyerangnya sejak dia bertemu dengan Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang dipergunakan oleh beberapa orang terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong untuk merebut kemuliaan di kota raja! Biar pun dia membantu pemberontak dengan hasrat ingin memperoleh kedudukan yang tinggi kelak, namun harus diakuinya bahwa dia pun hanya merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan andai kata pemberontakan itu berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia tentu hanya akan menjadi orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang mudah untuk mencapai kedudukan tertinggi.

Dan dia merasa pula bahwa betapa pun tinggi kedudukan yang diperolehnya kelak, kalau dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan Liong Khi Ong, hatinya tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Sekarang pun, hatinya gelisah karena dia pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat lagi mengawasi pangeran tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau ketidak-hadirannya tadi membuka kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk memaksa Syanti Dewi menuruti keinginannya?

Sungguh pun dia tahu bahwa rasa ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Liong Khi Ong untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun tetap saja hati Tek Hoat berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia mengepal tinjunya ketika dia menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong yang kelihatan sunyi itu.

Tiba-tiba dia menyelinap di balik pohon ketika dia mendengar suara roda kereta. Dia mengenal kereta itu, kereta yang disediakan untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo! Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar bahwa kereta itu memang disiapkan oleh Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk lari mengungsi apa bila keadaan berbahaya, melalui sebuah pintu rahasia yang menembus hutan di sebelah barat benteng. Cepat dia menggunakan kepandaiannya untuk berlari di belakang kereta dan karena roda kereta itu menimbulkan bunyi yang cukup keras, maka betapa pun lihainya Siang Lo-mo, mereka tidak tahu bahwa ada orang yang lari di belakang kereta, dekat sekali.

“Mengapa kita yang disuruh mengawal Pangeran, bukan Ang Tek Hoat?” terdengar oleh Tek Hoat suara Pak-thian Lo-mo.

“Ha-ha, apakah engkau tidak dapat melihat kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja sudah jelas bahwa pemuda sombong itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu! Tentu saja Pangeran juga tahu tentang urusan ini, maka dia akan ditinggalkan di sini untuk membantu Panglima Kim sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo yang disuruh mengawal sampai Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja.”

“Untung kita!” Pak-thian Lo-mo berkata dengan nada suara gembira. “Benteng ini tidak akan dapat dipertahankan lebih lama lagi. Dan kita sudah akan berada di kota raja kalau benteng itu jatuh ke tangan musuh!”

“Sstttt..., kita sudah sampai, sebaiknya tidak bicara tentang itu,” bisik Lam-thian Lo-mo.

Kereta itu berhenti di belakang istana yang gelap. Agaknya Pangeran yang hendak melarikan diri itu menghendaki demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.

Sepasang kakek kembar yang lihai itu meloncat turun dari dalam kereta. “Kau tunggu di sini sebentar!” kata Lam-thian Lo-mo kepada kusir kereta yang berpakaian seperti prajurit dan yang duduk di bagian depan kereta itu, memegang cambuk panjang.

Kusir itu menjawab singkat, “Baik, Locianpwe.”

Memang semua prajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan Panglima Kim mengenal dua orang kakek kembar yang lihai ini dan semuanya menyebut mereka ‘locianpwe’. Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki gedung, kusir itu duduk menanti, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi. Sesuai dengan kehendak pangeran, supaya tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada penjaga yang melihat keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh kurang baik bagi semua prajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai saat terakhir.

Beberapa saat kemudian dengan sikap tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang memakai pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan Syanti Dewi yang juga memakai pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar dari gedung menuju ke kereta yang menanti di belakang gedung. Wajah Syanti Dewi kelihatan pucat dan jelas bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan tetapi dia dipaksa oleh pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi yang mengawal mereka. Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta, dan Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta.

Di depan pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya sambil berkata, suaranya tetap tenang akan tetapi penuh penyesalan dan kemarahan. “Pangeran, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tidak kusangka bahwa aku akan dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota raja.”

“Aih, mana bisa, manis! Engkau adalah calon isteriku, ke mana pun harus kubawa serta. Maafkan aku, selama berada di tempat ini aku kurang perhatian terhadap dirimu karena kita menghadapi perang. Akan tetapi di kota raja nanti, hemm... kita akan bersenang-senang...”

“Tidak! Kita bukan tunangan lagi! Aku dahulu suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku sebagai Raja di Bhutan menerima pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa engkau sekarang malah memberontak kepada Kerajaan Ceng! Tentu saja saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak yang hina!” Sikap puteri itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan pandang mata menghina kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya itu.

“Pangeran, mengapa melayaninya? Semua wanita dari tingkat apa pun juga selalu cerewet!” Lam-thian Lo-mo berkata.

“Heh-heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo, jangan lancang begitu mulutmu memaki orang perempuan!” Hek-wan Kui-bo mencela sambil tertawa.

“Perempuan memang harus cerewet dan galak, baru menarik, seperti mawar dengan durinya.” Pak-thian Lo-mo yang biasanya pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong tertawa juga.

Syanti Dewi maklum bahwa tidak ada gunanya lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada gunanya memasukkan segala alasan berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada pangeran tua yang sudah bebal ini karena dia melihat sudah bahwa tidak ada bedanya antara pangeran ini dengan tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada lahirnya saja pangeran ini halus dan terpelajar, namun di dalam batinnya dia malah lebih parah dari orang-orang kasar ini.

Maka dia membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan memasuki kereta sendiri karena dia pikir lebih baik begitu dari pada dipaksa. Dia masih merasa beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran itu belum sempat mengganggunya. Dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa dirinya dengan tabah, masih belum terlambat baginya untuk menggunakan pisau yang disembunyikan di dalam lipatan bajunya apa bila saatnya tidak memberi harapan lagi kepadanya.

Pangeran Liong Khi Ong masih tertawa ketika dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan duduk di depan mereka sebagai pengawal.

“Kusir dungu! Hayo jalan!” Lam-thian Lo-mo membentak ke arah kusir yang duduk tegak di belakang kuda agak tinggi itu. Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.

“Baik, Locianpwe!” jawabnya otomatis dengan suaranya yang tinggi dan parau.

Kereta bergerak setelah terdengar cambuk meledak dan melecut di atas kepala empat ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat sekali menuju ke barat.

“Locianpwe, saya belum tahu harus pergi ke mana...,” kusir itu berkata dengan suara lirih seolah-olah dia merasa takut terhadap para penumpangnya.

“Pangeran, harap memberitahukan jalannya,” Lam-thian Lo-mo berkata.

“Terus saja,” kata Pangeran Liong Khi Ong, karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim Bouw Sin serta beberapa orang perwira kepercayaan yang laln saja yang tahu akan tempat itu, termasuk Tek Hoat. “Setelah tiba di pintu gerbang barat, lalu membelok ke selatan kurang lebih satu li.”

Kusir itu mencambuk kuda dan kereta meluncur cepat di malam gelap itu menuju ke barat. Orang-orang yang melihat bahwa kusir kereta itu adalah orang yang berpakaian prajurit, tidak ada yang menduga siapa yang berada di dalamnya, hanya mengira bahwa penumpangnya tentulah seorang di antara para perwira tinggi.

Setelah tiba di pintu gerbang barat yang terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta memasuki sebuah kebun yang tidak terawat dan akhirnya, di tempat yang amat sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu rahasia yang tertutup rumpun ilalang dan cara membukanya digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi di dalam batang pohon yang berlubang. Setelah kereta itu menerobos pintu rahasia di tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo menutupkan kembali dari luar dan kereta lalu melanjutkan perjalanannya. Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah sebuah hutan yang lebat, gelap dan sunyi.

“Terus masuk ke dalam hutan,” Pangeran Liong berkata. “Kita sembunyi di dalam hutan malam ini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke selatan.”

Setelah kereta tiba di dalam hutan, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta, melihat-lihat keadaan. Hutan itu sunyi dan mereka merasa lega.

“Kita menanti sampai pagi dan tentu pihak musuh sudah mulai menyerang benteng lagi,” kata Pangeran itu. “Semua perhatian mereka akan tercurah ke benteng sehingga kita memperoleh kesempatan untuk melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini kita harus ke barat sampai keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari sana mulailah kita menuju ke selatan.”

Kusir kereta itu turun pula dan tanpa mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu, membawanya ke tempat yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput. Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling api sambil bercakap-cakap.

Pangeran Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang ke kereta itu berkata lirih sambil terkekeh, “Heh-heh, Pangeran sampai lupa dingin, tidak turun dari kereta.”

“Nenek tua, apa engkau tidak tahu senangnya orang berpengantinan?” Lam-thian Lo-mo juga terkekeh.

“Hi-hik, agaknya di dalam kereta itu Pangeran merasa lebih hangat dari pada di dekat api ini.” Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.

Akan tetapi tak lama kemudian tiga orang datuk kaum sesat itu sudah bicara dengan serius, suara mereka berbisik-bisik karena mereka kini terlibat dalam percakapan yang amat penting bagi mereka, yaitu tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul oleh barisan pemerintah. Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat, bersedia membantu pemberontakan karena mereka hendak mengejar kedudukan dan kemuliaan di hari tua mereka.

Sekarang, melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun. Akan tetapi mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran Liong kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar