Kisah Sepasang Rajawali Jilid 36-40

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 36-40. Karena senasib dan segolongan, dalam waktu singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek kembar itu sudah menjadi sahabat yang akrab dan mereka bicara secara terus terang tanpa saling mencurigai karena sudah mengenal isi hati masing-masing.
Anonim
Karena senasib dan segolongan, dalam waktu singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek kembar itu sudah menjadi sahabat yang akrab dan mereka bicara secara terus terang tanpa saling mencurigai karena sudah mengenal isi hati masing-masing.

“Apa katamu?” Hek-wan Kui-bo bicara lirih kepada Pat-thian Lo-mo. “Kalau sampai di kota raja dan kedua pangeran itu gagal? Ah, kalau sudah berada di istana, mana bisa gagal? Setidaknya sebelum aku pergi dari kota raja, banyak terbuka kesempatan untuk mengambil banyak barang berharga dari istana dan hasil itu pun sudah lumayan untuk menutup kegagalanku.”

“Uhh, apa artinya harta kekayaan bagi kita yang sudah tua?” Lam-thian Lo-mo mencela.

“Kalau begitu, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata usaha Pangeran Liong gagal pula di istana?” tanya nenek itu.

“Kami tidak mau mencuri barang berharga, akan tetapi kami akan membawa dia...” Lam-thian Lo-mo menggerakkan kepalanya ke arah kereta.

“Eihh...?! Puteri Bhutan...?” nenek itu bertanya dan ketika melihat dua orang kakek itu mengangguk, dia bertanya, “Untuk apa? Apakah kalian ini kiranya bandot-bandot tua bangka pula seperti Pangeran Liong?”

“Bodoh!” Pak-thian Lo-mo mencela. “Kami antar dia pulang ke Bhutan dan di sana kami akan berusaha mencapai kedudukan tinggi.”

“Aihh, kiranya kalian benar-benar gila pangkat.” Nenek itu berkata geli dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari dalam kereta.

“Hi-hi-hik, Pangeran itu sungguh tidak sabar lagi!” Hek-wan Kui-bo terkekeh. “Apa dia hendak memaksa Puteri Bhutan di ruangan kereta yang sempit itu?”

“Tidak...! Jangan engkau menyentuhku!” Terdengar suara Syanti Dewi menjerit marah. “Pangeran Liong Khi Ong, ternyata engkau hanyalah seorang laki-laki keji dan hina. Akan tetapi jangan mengira akan dapat menyentuhku, lihat apa yang kupegang ini! Sebelum engkau menjamahku, lebih dulu aku akan menjadi mayat!”

Tiga orang tua lihai yang tadinya hanya tertawa-tawa saja sambil memandang ke arah kereta, menjadi kaget juga mendengar teriakan Syanti Dewi itu, dan mereka terbelalak makin heran dan kaget ketika melihat betapa kusir kereta yang tadinya menggunakan kain menggosok dan membersihkan kereta itu tiba-tiba kini menghampiri pintu kereta dan menyingkap tirai yang menutupi pintu kereta itu.

“Heiii, kusir tolol! Mau apa kau?” Hek-wan Kui-bo membentak marah.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati tiga orang tua itu ketika mereka melihat kusir itu membuka pintu kereta dengan paksa, lalu meloncat ke dalam kereta. Terdengar suara teriakan Pangeran Liong, teriakan mengerikan yang disusul dengan berkelebatnya bayangan kusir tadi yang telah memondong tubuh Syanti Dewi yang meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Lepaskan aku!”

“Eh, kusir keparat!”

Tiga orang tua itu cepat meloncat dan mengejar ke arah kereta. Sekali bergerak, Hek-wan Kui-bo sudah membuka pintu kereta dan mereka menjenguk ke dalam, terkejut bukan main melihat Pangeran Liong Khi Ong sudah menggeletak tak bernyawa lagi dan di dahi pangeran itu tampak tiga gambar jari tangan hitam.

“Si Jari Maut...!”

“Kiranya dia si jahanam itu!”

Mereka melompat dan mengejar. Ketika melihat bayangan kusir yang memondong tubuh Syanti Dewi itu meloncat ke atas seekor kuda sedangkan tiga ekor kuda yang lain dicambuk dan lari cerai-berai, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo cepat mengejar.

Kusir itu memang Tek Hoat adanya. Ketika tadi melihat kereta yang ditumpangi Siang Lo-mo menuju ke gedung Pangeran Liong, dia lalu membayangi dan dapat mendengar percakapan antara kedua orang kakek itu. Tek Hoat merasa gelisah sekali. Tanpa disadarinya sendiri, urusan Syanti Dewi telah menjadi hal yang amat penting baginya, jauh lebih penting dari urusan apa pun, lebih penting dari pada cita-citanya untuk memperoleh kedudukan mulia.

Maka setelah Sepasang Kakek Iblis itu memasuki gedung, secepatnya dia turun tangan meloncat dan menyergap kusir kereta itu seperti seekor harimau menerkam domba, menyeret kusir itu menjauhi kereta, menotoknya lumpuh dan tak dapat bersuara, melucuti pakaiannya dan mengenakan pakaian dan topi kusir itu lalu dengan tenang dia menggantikan tempat kusir itu.

Dia tadi pernah mendengar suara kusir itu ketika menjawab perintah Siang Lo-mo, maka dia mampu menirukan suaranya dan untung baginya bahwa baik Pangeran Liong mau pun ketiga orang pengawalnya itu tidak dapat mengenali mukanya yang selalu dia sembunyikan agar tidak langsung menerima sinar lampu penerangan di sepanjang perjalanan itu.

Dia tidak berani turun tangan menolong Syanti Dewi di dalam kota Teng-bun karena hal itu amatlah berbahaya. Baru setelah kereta keluar dari kota dan berada di dalam hutan, dia melepas-lepaskan kuda dan ketika mendengar teriakan marah Syanti Dewi, tahulah dia bahwa saat baginya untuk turun tangan telah tiba. Maka secepat kilat dia memasuki kereta, membunuh Pangeran yang mulai dibencinya sejak Syanti Dewi terjatuh ke tangan Pangeran itu, memondong dengan paksa tubuh Syanti Dewi dan melarikan diri dengan menunggang seekor kuda setelah dia mencambuk tiga ekor kuda yang lainnya sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan.

“Ang Tek Hoat pengkhianat rendah!” Lam-thian Lo-mo memaki dan bersama Pak-thian Lo-mo dia melakukan pengejaran.

“Minggirlah, biar kurobohkan dia!” Hek-wan Kui-bo berteriak dan dua orang kakek itu masih mengejar akan tetapi berpencar ke kanan kiri untuk memberi kesempatan kepada Hek-wan Kui-bo untuk melakukan penyerangan.

Nenek itu sudah mengeluarkan dua buah senjata rahasianya yang berbentuk besi bulat, lalu melontarkan dua buah benda itu ke arah Tek Hoat yang membalapkan kudanya.

Mendengar desingan angin dari belakang, Tek Hoat terkejut sekali. Dia sudah pernah menyaksikan Hek-wan Kui-bo menggunakan senjata rahasianya yang dapat meledak, maka kini tahu bahwa nenek itu menyerangnya dengan senjata dahsyat itu. Dia terkejut dan cepat meloncat dari atas punggung kuda sambil memondong tubuh Syanti Dewi, dan begitu kakinya menyentuh tanah, dia terus bergulingan menjauh dan masih tetap memondong tubuh dara itu.

“Maaf, terpaksa begini, senjatanya berbahaya sekali...,” Tek Hoat berbisik.

“Darrr! Darrr!” Dua buah senjata rahasia itu meledak dan mengeluarkan kilat dibarengi muncratnya pecahan-pecahan besi. Kuda itu meringkik dan roboh terguling, perutnya pecah.

“Ahhh...!” Syanti Dewi mengeluh, ngeri menyaksikan nasib kuda itu.

Sekarang dia tidak meronta lagi karena menduga bahwa pemuda ini memang sengaja membunuh Pangeran Liong dan membawanya pergi hendak menolongnya, sungguh pun dia masih merasa sangsi apakah pemuda yang menjadi kaki tangan pemberontak ini benar menolongnya dengan niat baik. Betapa pun juga, kiranya jauh lebih baik dan lebih ada harapan terjatuh ke tangan pemuda yang bersikap halus ini dari pada terjatuh ke tangan dua orang kakek dan nenek iblis yang mengerikan itu.

“Nona, kau tunggulah dulu di sini, biar kuhadapi mereka itu,” kata Tek Hoat yang telah membuang topi prajurit dan telah menanggalkan pakaian prajurit yang tadi menutupi pakaiannya sendiri. Dengan tenang dia lalu menanti tiga orang lawan itu yang sudah berlari mendatangi.

Kini mereka berdiri berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Bulan di langit meluncurkan sinarnya yang lembut dan menerobos celah-celah daun pohon sehingga kini biar pun tidak memperoleh penerangan lentera kereta yang jauh dari mereka, empat orang itu dapat saling memandang cukup jelas.

“Heh-heh-heh, sudah kuduga sebelumnya! Sejak semula engkau dahulu menyerangku, aku sudah tahu bahwa engkau adalah seorang pengkhianat, Ang Tek Hoat! Aku sudah peringatkan Pangeran, akan tetapi dia tidak percaya. Sekarang dia percaya, akan tetapi sudah terlambat!” Hek-wan Kui-bo berkata.

“Belum terlambat!” Pak-thian Lo-mo berkata. “Kita mengirim dia menyusul Pangeran.”

“Sayang, seorang seperti engkau ini menjadi berubah begitu bertemu dengan wanita cantik, Si Jari Maut! Engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, satu-satunya orang yang sudah memberi harapan kepada kita. Sekarang kami tidak dapat pergi ke kota raja lagi, gara-gara engkau!”

Tek Hoat tecsenyum mengejek. “Orang yang cerdik selalu dapat melihat keadaan, akan tetapi kalian bertiga tua bangka ini agaknya tidak dapat melihat kenyataan. Jatuhnya Koan-bun dan Teng-bun yang tidak akan dapat bertahan lama lagi berarti berakhirnya petualangan Pangeran Liong, apakah kita masih harus mengabdi kepada kekuasaan yang sudah mendekati keruntuhannya?”

“Engkau yang tolol!” Hek-wan Kui-bo membentak. “Biar pun pemberontakan itu sendiri gagal, akan tetapi dengan adanya Pangeran, kita dapat mengunjungi istana kerajaan dengan aman dan di sana terbuka banyak kesempatan bagi kita. Akan tetapi engkau sekarang membunuhnya sehingga hancur semua harapan dan susah payah kita!”

“Hmm, aku sudah membunuhnya dan kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela kematiannya?”

“Cuhhh!” Pak-thian Lo-mo meludah. “Kami takkan membela siapa pun kecuali membela kepentingan kami sendiri!”

“Apa yang dikatakannya itu benar, Ang-sicu,” Lam-thian Lo-mo berkata. “Soal engkau membunuh pangeran atau raja, tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Kami bukan orang yang mengekor kepada siapa pun, apa lagi kepada Liong Khi Ong. Kalau kami membantu dia, seperti juga engkau, hanya karena kami melihat kemungkinan baik bagi kami untuk memperoleh kemuliaan. Akan tetapi sekarang dia kau bunuh, berarti kau merugikan kami yang hanya dapat kau bayar sekarang juga.”

“Dengan nyawaku? Cobalah jika kalian mampu!” Tek Hoat menantang dengan senyum mengejek.

“Sombong engkau!” Hek-wan Kui-bo sudah marah sekali dan hendak menyerang, akan tetapi Lam-thian Lo-mo mencegahnya dan nenek ini yang sekarang merasa menjadi sekutu Siang Lo-mo untuk menghadapi pemuda lihai itu tidak membantah.

“Ang Tek Hoat, jangan salah duga. Liong Khi Ong sudah mampus, maka biarlah. Hanya karena kami juga kehilangan harapan untuk pergi ke kota raja, maka sekarang kami minta bantuanmu. Kami hendak mengantarkan Puteri Bhutan itu kepada ayahnya di Bhutan. Kami tentu akan memperoleh balas jasa di Kerajaan Bhutan dan siapa tahu kami akan mendapatkan ganti kemuliaan di sana.” Lam-thian Lo-mo berkata dengan suara bernada halus.

“Keparat, jangan minta yang bukan-bukan!” Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi permintaan itu membuat Tek Hoat naik darah.

“Hi-hi-hik, percuma, Lam-thian Lo-mo. Dia ingin mengangkangi sendiri gadis itu. Aku sudah tahu akan hal ini sejak dulu!” Hek-wan Kui-bo berkata.

Tek Hoat melirik ke arah Syanti Dewi. Puteri itu telah bangkit berdiri dan bersembunyi di balik pohon dan sekarang mengintai dan memandang ke arahnya dengan sinar mata ketakutan.

“Apa yang kurasakan tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian bertiga. Pendeknya, aku tidak percaya kepada kalian dan tidak akan menyerahkan dia kepada kalian!”

“Ang Tek Hoat, apakah engkau memilih mati dari pada menyerahkan puteri itu kepada kami?” Pak-thian Lo-mo berteriak.

“Hemm, kalian yang akan mampus di tanganku kalau berani menentangku.”

“Bocah sombong! Engkau berani menentang kami bertiga?” bentak Lam-thian Lomo marah.

“Perlu apa banyak cakap? Bunuh saja bocah ini!” Hek-wan Kui-bo membentak dan dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan tongkatnya, disusul oleh Siang Lo-mo yang merasa marah sekali terhadap bekas rekan ini.

Ang Tek Hoat memang bersikap sombong terhadap tiga orang tokoh hitam ini, tetapi dia cerdik dan dia sebenarnya tidak memandang ringan. Dia maklum bahwa mereka bertiga adalah orang-orang yang amat lihai dan kalau maju bersama merupakan lawan yang berat dan berbahaya. Maka begitu melihat mereka sudah menyerang, dia pun meloncat mundur menjauhi tempat Syanti Dewi bersembunyi, sambil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang dipalangkan di depan dadanya.

Sinar pedang yang mengandung hawa mukjijat dan menyeramkan ini mendatangkan kengerian juga di hati tiga orang lawannya. Akan tetapi karena mereka juga merupakan tokoh-tokoh yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar dan sudah bergerak mengurung dengan senjata di tangan. Tangan Hek-wan Kui-bo memutar-mutar tongkat sehingga di depan tubuhnya tampak sinar hitam bergulung-gulung seperti terdapat sebuah kitiran besar berputar di depan tubuhnya dan mengeluarkan suara berdesingan.

“Tar-tarr-tarrr!” Senjata di tangan kedua orang Lo-mo itu berupa sabuk atau pecut baja yang ketika digerak-gerakkan di atas kepala mengeluarkan bunyi meledak-ledak dan ujungnya yang melecut mengenai batangnya sendiri mengeluarkan bunga api!

Syanti Dewi yang bersembunyi di balik batang pohon itu menonton dengan muka pucat dan mata terbelalak. Percakapan antara empat orang itu tadi saja sudah menceritakan kepadanya orang-orang macam apa adanya mereka itu. Kalau dia terjatuh di tangan pemuda yang bernama Ang Tek Hoat dan yang telah berkhianat kepada majikannya sendiri dan telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, dia masih belum tahu apa yang akan terjadi atas dirinya.

Kalau memang pemuda itu mempunyai niat keji dan buruk terhadap dirinya seperti yang dikatakan Hek-wan Kui-bo tadi, dia tentu akan menjaga diri dan akan membunuh diri sebelum pemuda itu dapat menjamah tubuhnya. Sebaliknya kalau dia terjatuh ke dalam tangan tiga orang iblis tua itu, seperti juga Tek Hoat, dia tidak percaya bahwa mereka akan menyerahkan dia begitu saja kepada ayahnya, Raja Bhutan. Orang-orang seperti mereka ini tentu tidak akan segan-segan untuk memeras ayahnya, memaksa ayahnya menuruti kehendak mereka untuk melihat puterinya selamat! Tidak, betapa pun juga, kalau bisa dikatakan ada kesempatan memilih, dia memilih terjatuh ke tangan pemuda itu yang belum tentu akan berbuat jahat kepada dirinya.

Tek Hoat berdiri dengan sikap tenang dan sedikit pun tidak bergerak, pedang melintang di depan dada dan tangan kiri dengan jari terbuka di atas kepala, telunjuknya menuding langit, hanya sepasang manik matanya saja yang bergerak ke kanan kiri untuk terus mengikuti gerakan tiga orang yang menghadapinya. Hek-wan Kui-bo berdiri tegak di depannya, Lam-thian Lo-mo di sebelah kanannya dan Pak-thian Lo-mo di sebelah kirinya.

Dia maklum bahwa di antara tiga orang ini, kepandaian Hek-wan Kui-bo yang dapat dianggap paling rendah sungguh pun senjata rahasia peledak dari nenek ini amat berbahaya. Dia tahu pula bahwa senjata pecut besi di tangan kakek kembar itu tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangannya karena senjata dua orang kakek itu mengandung racun yang amat jahat. Hanya pedangnya, peninggalan dari iblis Pulau Neraka, Cui-beng Koai-ong, adalah sebatang pedang mukjijat yang mengandung hawa mukjijat dan inilah keunggulan senjatanya dari senjata tiga orang lawannya.

“Taarrr... siuuuutttt...!”

Pecut yang tadi berputaran di atas dan meledak-ledak itu kini menyambar dari kanan mengarah kepalanya dan ujung pecut itu meluncur untuk menotok ubun-ubun kepala Tek Hoat. Menghadapi serangan maut dari Lam-thian Lo-mo ini, cepat Tek Hoat mengelak dengan tubuh direndahkan, akan tetapi pada saat itu, dari kiri menyambar pecut Pak-thian Lo-mo sedangkan dari depan menyusul tongkat Hek-wan Kui-bo yang meluncur ke arah pusarnya.

Tek Hoat meloncat, menghindarkan kakinya yang ditotok secara bertubi oleh ujung pecut Pak-thian Lo-mo yang mengarah kedua mata kaki dan lututnya, dan pedangnya digerakkan menangkis tongkat Hek-wan Kui-bo. Nenek ini sudah mengenal keampuhan pedang Cui-beng-kiam, maka dia tidak berani mengadu tenaga, melainkan hanya menarik tongkatnya dan dibalik sehingga dalam detik lain ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mata Tek Hoat.

Tek Hoat menggerakkan pedang menangkis sambil melompat mundur menghindarkan sambitan ujung pecut dari kanan. Akan tetapi kembali dua batang pecut besi itu sudah menyambar dari atas dan bawah, sedangkan tongkat dari nenek itu pun menyerang dengan bertubi-tubi. Tek Hoat segera mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya diputar menjadi sinar bergulung-gulung melindungi tubuhnya, sekaligus menangkis serangan tiga buah senjata lawan, kemudian tiba-tiba dari dalam gulungan itu mencuat sinar terang yang membuat gerakan melengkung dan menyambar ke arah perut tiga orang lawan itu seperti seekor naga melayang.

Tiga orang itu terkejut dan cepat mengelak ke belakang karena sambaran pedang itu amat berbahaya, kemudian dari jarak agak jauh pecut-pecut dari kanan kiri sudah menyambar lagi. Suara kedua senjata ini meledak-ledak seperti petir menyambar dan bunga api berpancaran menyilaukan mata. Namun Tek Hoat selalu dapat mengelak atau menangkis semua serangan itu, bahkan dia tentu mengadakan balasan yang tidak kalah dahsyatnya untuk setiap serangan lawan.

Syanti Dewi yang menonton pertandingan itu menjadi bengong. Bukan main hebatnya pertandingan itu, matanya sampai menjadi silau dan berkunang. Tidak dapat lagi dia mengikuti gerakan empat orang itu, bahkan bayangan mereka pun lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka. Hanya kadang-kadang saja nampak kaki atau tangan yang segera lenyap lagi ke dalam gulungan sinar senjata. Jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Dia tidak dapat pergi dari tempat itu karena dia tidak mengenal jalan dan hutan itu amat lebat. Ke mana dia harus pergi?

Tentu akan menghadapi banyak bahaya yang lebih besar lagi. Kalau terjatuh ke tangan orang-orang ini, dia tahu bahwa dia belum akan menghadapi bahaya maut sungguh pun dia tidak dapat membayangkan nasib apa yang akan dideritanya. Akan tetapi kalau dia lari dan bertemu dengan binatang buas, tentu dia akan menjadi mangsanya, dan kalau sampai dia terjatuh ke tangan orang-orang liar, nasibnya tentu akan lebih mengerikan lagi. Setidaknya, empat orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya ingin mencari kedudukan dan kemuliaan dengan mempergunakan dirinya.

Pertandingan itu memang hebat sekali. Tiga orang tokoh tua itu menjadi kagum bukan main. Baru sekali itu mereka bertemu dengan lawan seorang pemuda yang begitu lihai sehingga dikeroyok tiga oleh mereka tidak hanya mampu bertahan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi juga bahkan sempat membalas dengan tidak kalah hebatnya.

Kadang-kadang bulan tertutup awan dan dalam keadaan gelap mereka berempat melanjutkan pertandingan hanya mengandalkan pendengaran yang tajam dan perasaan yang peka. Ketika pertandingan sudah hampir berlangsung dua ratus jurus tanpa ada yang mengalami luka atau terdesak, bulan bersinar kembali dengan terangnya karena awan telah menjauh.

“Kui-bo, lekas lepas peledakmu!” Tiba-tiba Lam-thian Lo-mo yang merasa penasaran itu berteriak dan bersama Pak-thian Lo-mo dia sudah bertiarap di atas tanah.

Hek-wan Kui-bo benar-benar memenuhi permintaan kakek itu dan dia melemparkan senjata peledaknya ke arah Tek Hoat. Pemuda itu cepat meloncat jauh ke samping dan bergulingan sehingga ketika senjata rahasia itu meledak, dia terhindar dari sambaran pecahan besi. Akan tetapi kembali nenek itu melemparkan senjata dahsyat kepadanya dan terpaksa Tek Hoat meloncat tinggi sekali.

Pecahan senjata peledak itu menyerong dan hanya akan mengenai orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka ketika Tek Hoat meloncat jauh ke atas, dia pun terhindar dari pecahan besi. Akan tetapi itulah saat yang dinanti-nanti oleh Lam-thian Lo-mo dan Pak-thian Lo-mo. Siang Lo-mo yang memiliki kerja sama amat baik berdasarkan naluri atau getaran perasaan yang saling berhubungan antara mereka itu, dalam waktu yang sama tanpa direncana lebih dulu telah menggerakkan cambuk besi mereka yang meluncur ke atas, yang kanan menyerang ke arah mata kaki Tek Hoat, yang kiri menyerang ke arah tengkuk!

Serangan yang dilakukan berbareng pada saat Tek Hoat masih meloncat ke atas dan yang mengarah dua tempat yang berlainan itu ternyata membuat Tek Hoat terkejut juga. Dia harus memilih salah satu. Karena penyerangan di tengkuknya merupakan serangan maut, maka dia menggerakkan pedangnya menangkis cambuk yang digerakkan oleh Pak-thian Lo-mo ke arah tengkuknya itu sambil sedapat mungkin menarik kakinya yang disambar pecut Lam-thian Lo-mo. Namun gerakan ini tidak cukup dan betisnya dihujam ujung pecut besi sehingga celana berikut daging betisnya robek.

“Haiiiittt...!” Tek Hoat mengerahkan tenaganya, berjungkir balik sehingga pecut itu tidak melibatnya dan ketika tubuhnya menukik turun, dia menyerang Lam-thian Lo-mo yang telah melukai betis kanannya itu.

“Trang-trang...! Cringgg...!” ketiga senjata lawan menangkis pedangnya dan penyatuan kekuatan tiga orang itu membuat Tek Hoat terpental dan terguling-guling.

Selagi Tek Hoat bergulingan itu, tiga orang lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mereka mengejar. Hek-wan Kui-bo yang merasa penasaran telah menggerakkan tongkatnya menghantam dan menusuk berkali-kali, namun Tek Hoat dapat mengelak dengan ilmunya bergulingan yang amat cepat. Akan tetapi karena dia pun dihujani sambaran dua ujung cambuk, maka akhirnya Hek-wan Kui-bo berhasil menghantam pundaknya, nyaris saja mengenai kepalanya.

“Bukkk!” Tek Hoat merasa betapa pundaknya seperti remuk ditimpa tongkat butut itu.

Dia menjadi marah dan nekat, otomatis tangan kirinya menyambar tongkat itu dan membetot dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang amat hebat kekuatannya. Hek-wan Kui-bo terkejut ketika tiba-tiba dia terbetot ke bawah dan sebelum dia mampu melihat bahaya dan melepaskan tongkat yang membuat tubuhnya ikut terbetot, tahu-tahu Cui-beng-kiam telah meluncur dari bawah dan menembus perutnya sampai ke punggung!

“Aigghhhhh...!” Hek-wan Kui-bo memekik dahsyat.

Tek Hoat mendorong tongkat dan mencabut pedangnya sehingga tubuh nenek itu terjengkang. Akan tetapi, pada saat itu ujung cambuk di tangan Pak-thian Lo-mo telah menyambar pada saat pemuda itu meloncat bangun dan tahu-tahu telah membelit leher pemuda itu!

Tek Hoat terkejut sekali, apa lagi ketika saat itu terdengar Lam-thian Lo-mo tertawa. “Jangan lepaskan dia, ha-ha-ha, biar kuhancurkan kepalanya!”

“Tarrr-tarrr-tarrr!” Cambuk Lam-thian Lo-mo meledak-ledak dan menyambar-nyambar kepalanya, mengarah ubun-ubun, tengkuk, dahi dan kedua pelipls!

Sibuk juga Tek Hoat memutar pedangnya menangkisi sambaran pecut besi di tangan Lam-thian Lo-mo itu, sedangkan lehernya masih dicekik oleh cambuk Pak-thian Lo-mo yang makin lama makin erat mencekiknya. Terasa napasnya terhenti dan kulit lehernya berdarah! Maklumlah dia bahwa kalau dia tidak menemukan akal, dia akan mati sekali ini. Maka untuk menghindarkan ancaman bertubi-tubi dari ujung cambuk Lam-thian Lo-mo, dia cepat dengan tiba-tiba merebahkan diri dan bergulingan mendekati Pak-thian Lo-mo agar cekikan cambuk itu mengendur.

“Tarrr!” Ujung cambuk milik Lam-thian Lo-mo tepat mengenai punggungnya, untung tak mengenai tengkuk sehingga Tek Hoat hanya mengeluh karena rasa nyeri yang amat hebat. Dia meloncat lagi.

“Tar-tarrr!” Dua kali ujung cambuk Lam-thian Lo-mo menggigit paha dan lambungnya, membuat celana dan bajunya robek berikut kulit dan dagingnya.

Badannya sudah berlumur darah yang bercucuran dari punggung, leher, lambung dan paha. Pada saat itu, dengan kemarahan memuncak Tek Hoat mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, pekik yang membuat Syanti Dewi jatuh terduduk dan hampir pingsan karena memang dia sudah gemetar seluruh tubuhnya menyaksikan betapa pemuda itu telah terbelit lehernya dan dicambuki serta berlumur darah amat mengerikan.

Akan tetapi bersamaan dengan bunyi pekik itu, tampak sinar berkelebat dan Pak-thian Lo-mo mengeluarkan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Tubuh iblis tua ini terhuyung, cambuknya terlepas dari tangan dan kedua tangannya mencengkeram gagang pedang Cui-beng-kiam yang berada di dadanya karena pedang itu sendiri telah tertanam di dadanya sampai menembus punggungnya ketika dilontarkan secara tiba-tiba dan amat kuatnya oleh Tek Hoat tadi!
“Kau... bunuh dia...?” Lam-thian Lo-mo berteriak dengan suara terisak.

“Tar-tar-tar-tarrr...!”

Cambuknya mengamuk dan tubuh Tek Hoat menjadi bulan-bulanan sambaran cambuk yang ujungnya seperti mulut ular mematuk-matuk sehingga membuat pakaian Tek Hoat robek-robek dan makin banyak lagi luka-luka di tubuhnya. Tetapi, dengan penderitaan rasa nyeri yang hebat itu karena semua luka mengandung racun, akhirnya Tek Hoat berhasil menangkap ujung cambuk. Ketika Lam-thian Lo-mo yang melotot marah itu menarik-narik cambuknya, Tek Hoat melibat-libatkan ujung cambuk di tangan kanannya dan terjadilah betot-membetot di antara mereka. Akhirnya, dengan mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking dahsyat, kedua orang itu meloncat ke depan saling terjang di udara.

“Desssss...!”

Syanti Dewi yang menonton dari balik batang pohon hanya melihat bayangan dua orang itu bertumbukan di udara, kemudian dia melihat kedua orang itu terbanting roboh dan tidak bergerak lagi.

“Ahhhh...!”

Syanti Dewi sejenak berdiri dengan hati penuh kengerian, ditelan kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti tempat itu. Tidak ada suara apa-apa lagi terdengar, akan tetapi setelah keadaan di dalam hutan itu sunyi, semua orang kecuali dia telah rebah tidak berkutik lagi, lapat-lapat dan sayup sampai telinganya menangkap suara gemuruh dan hiruk-pikuk dari tempat yang jauh sekali. Suasananya menjadi makin menyeramkan karena suara yang lapat-lapat terdengar itu seperti mengandung suara tangis dan tawa yang agaknya datang dari angkasa atau mungkin juga dari dalam bumi, pantasnya suara yang keluar dari dalam neraka seperti yang pernah dia dengar dongengnya.

“Ahhh... matikah dia...?” Tanpa terasa lagi Syanti Dewi berbisik dengan hati penuh khawatir. Puteri Bhutan ini adalah seorang yang berbudi mulia dan memiliki kepekaan rasa sehingga tidak mudah bagi dia melupakan budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh mempercayai seorang seperti Ang Tek Hoat yang telah menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi yang ternyata mengkhianati atasannya sendiri itu.

Akan tetapi, dia tahu pula bahwa sekali ini Ang Tek Hoat melakukan pengkhianatan dan melawan rekan-rekannya sendiri sampai mempertaruhkan nyawa karena hendak menolongnya! Sungguh pun dia sendiri belum dapat memastikan apakah perbuatan pemuda itu terdorong oleh maksud menolongnya ataukah hendak memperebutkannya, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau tidak ada Tek Hoat, tentu dia telah membunuh diri ketika hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong. Perasaan berterima kasih ini ditambah lagi perasaan seolah-olah Tek Hoat bukan merupakan orang asing baginya, membuat puteri ini keluar dari tempat persembunyiannya dan kemudian berindap-indap menghampiri pemuda itu.

Dia bergidik ketika melewati tubuh Lam-thian Lo-mo. Kakek yang hampir telanjang, yang hanya mengenakan cawat ini, rebah telentang, matanya melotot, mulutnya terbuka dan kepalanya pecah. Hek-wan Kui-bo rebah menelungkup dengan seluruh tubuhnya bermandi darahnya sendiri, sedangkan tubuh Pak-thian Lo-mo juga terlentang dengan dada masih tertusuk pedang. Syanti Dewi bergidik ngeri, lalu memutari mayat-mayat itu dan menghampiri Tek Hoat yang menggeletak miring dan tidak bergerak lagi.

“Ohhhh...” Syanti Dewi mengeluh dan merasa kasihan melihat pemuda itu.

Pakaiannya robek-robek dan penuh darah, tampak luka-luka bekas cambukan dari kaki sampai ke lehernya yang dibelit luka yang berdarah. Ketika Syanti Dewi melihat muka pemuda itu, dia makin cemas. Muka itu pucat sekali, seperti muka mayat. Dengan hati berdebar dia menggerakkan tangannya, menyentuh dahi yang pucat itu. Masih hangat! Lalu dengan jari-jari tangan gemetar dia meraba dada. Masih ada ketukan jantungnya. Masih hidup! Hatinya lega. Pemuda ini belum mati.

Syanti Dewi pernah merawat Gak Bun Beng ketika pendekar itu menderita sakit, maka sedikit banyak dia telah mempunyai pengalaman. Sekarang menghadapi pemuda yang tubuhnya penuh dengan luka, mandi darah dan pingsan itu, dia cepat memberanikan diri berlari ke arah kereta. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Khi Ong juga membawa perbekalan-perbekalan dan dia membutuhkan arak untuk menolong Tek Hoat.

Dalam ketegangannya hendak menolong Tek Hoat, dia lupa akan Pangeran Liong Khi Ong dan begitu saja dia menyingkap tirai kereta dan naik ke dalam kereta.

“Aiihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat meloncat turun lagi keluar kereta.

Dalam keadaan terkejut setengah mati itu, otomatis kepandaian silat yang pernah dipelajarinya keluar, bahkan kecepatan gerakannya bertambah! Siapa yang tidak kaget setengah mati? Ketika dia masuk kereta tadi, tanpa disengaja kakinya menyentuh kaki mayat Pangeran Liong Khi Ong yang mati sambil duduk di kereta dan ketika kakinya tersentuh, tubuhnya terguling sehingga bagi Syanti Dewi yang lupa akan pangeran ini, dia seperti melihat mayat itu hidup kembali dan menubruknya!

Dengan seluruh tubuh gemetar, Syanti Dewi memberanikan diri menyingkap tirai, memperingatkan diri sendiri bahwa Pangeran itu tadi telah mati! Ketika dia menyingkap tirai, dia melihat Pangeran itu menelungkup di lantai kereta, sama sekali tidak bergerak. Syanti Dewi bergidik, lalu dengan hati-hati dia naik ke dalam kereta, melangkahi mayat Pangeran itu dan cepat mulai mencari-cari di bagian belakang kereta itu. Di dalam kereta itu tidak begitu gelap seperti di luar karena lentera kereta masih menyala. Setelah dia menemukan guci arak, dia melompat turun dan cepat berlari menghampiri tubuh Tek Hoat yang kini sudah rebah terlentang akan tetapi agaknya masih belum siuman dari pingsannya.

Syanti Dewi menggunakan sapu tangannya yang dibasahi dengan arak untuk menekan-nekan luka-luka di tubuh Tek Hoat, selain membersihkan luka juga agar darah yang keluar dapat berhenti. Hatinya lega ketika melihat bahwa luka-luka itu tidak dalam, hanya kulit yang robek berikut sedikit daging di bawahnya. Akan tetapi luka di sekeliling leher itu amat mengerikan, seolah-olah leher itu dikerat pisau hendak disembelih. Luka ini terjadi ketika lehernya dijerat oleh cambuk besi tadi dan darah yang mengucur dari luka ini yang paling banyak sehingga sebentar saja sapu tangan Syanti Dewi menjadi merah oleh darah.

Setelah matahari mulai bersinar, Syanti Dewi bangkit berdiri, lalu pergi dari situ mencari-cari air. Untung tak jauh dari situ dia menemukan sebatang anak sungai kecil yang airnya jernih sekali. Cepat dia mengambil air, menggunakan guci arak yang sudah kosong dan kini dia dapat mencuci luka-luka di tubuh Tek Hoat dengan jelas. Setelah dia membalut leher yang terluka itu dengan sapu tangan, dia lalu menggunakan air untuk membasahi muka dan kepala pemuda yang masih juga belum siuman itu.

Tek Hoat mengeluh lirih, lalu gelagapan. “Hepp... haeppp... haeppp...!” Dia gelagapan seperti orang tenggelam di air!

“Ehhh, kenapa...? Kau kenapa...? Apanya yang sakit...?”

Syanti Dewi mengguncang pundak Tek Hoat ketika melihat pemuda itu gelagapan dengan mulut megap-megap. Tanpa disengaja, Syanti Dewi mengguncang pundak yang terluka berat karena tadi ditimpa tongkat Hek-wan Kui-bo. Tentu saja diguncang seperti itu menjadi nyeri bukan main, pemuda yang sudah siuman dan dapat merasakan itu berteriak mengaduh, kiut-miut rasa pundaknya.

“Add... duuuhh-duh duhhh... pundakku...!” Karena masih setengah pingsan, maka Tek Hoat berteriak-teriak dan bersambat. Kalau dia sudah sadar betul, tentu saja pemuda yang keras hati ini tidak akan sudi bersambat, apa lagi di depan gadis itu.

“Ohhh...!” Syanti Dewi cepat menarik kembali tangannya dan melihat pundak itu. Baju di pundak itu juga robek dan baru sekarang dia melihat betapa pundak itu kulitnya biru menghitam. “Maafkan aku...!”

“Maaf...? Sudah menghantam pundak masih minta maaf? Nenek keparat...!” Tek Hoat memaki dan membuka matanya.

“Ouhhhh...!” Syanti Dewi menutup mulutnya.

“Aahhhhh...!” Tek Hoat membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya.

Tek Hoat cepat teringat akan keadaannya. Segera dia bangkit duduk dan menggigit bibir karena begitu dia bangkit, dunia di sekelilingnya seperti berpusingan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, berdenyut-denyut serta menusuk-nusuk. Akan tetapi dia mempertahankan rasa nyeri itu, memandang ke sekeliling dan baru lega hatinya ketika dia melihat mayat Hek-wan Kui-bo, Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo berserakan tidak jauh dari situ. Barulah dia memperhatikan dirinya sendiri, meraba lehernya yang terasa panas dan mendapat kenyataan bahwa lehernya telah terbalut, mukanya basah kuyup dan air masih menetes-netes dari rambutnya ke atas muka.

Jantungnya berdebar penuh kebingungan dan hampir dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dengan gagap dia bertanya, suaranya berbisik, “Kau... kau... yang merawatku...?”

Syanti Dewi yang masih memandang kepadanya dengan terbelalak, takut kalau-kalau pemuda ini sudah berubah ingatannya, juga takut kalau pemuda ini menjadi liar dan ganas seperti yang pernah disangkanya, bergerak mundur menjauhi, tangan kanannya meraba gagang pisau yang terselip di pinggangnya dan dia mengangguk, tangan kirinya masih memegang kain basah yang tadi dipergunakan untuk membasahi muka dan kepala pemuda itu. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepalanya.

Kenyataan ini merupakan pukulan hebat bagi Tek Hoat. Gadis itu, Puteri Bhutan itu, yang telah membuat dia tergila-gila, yang ingin dirampasnya dan dipaksanya menjadi isterinya, ketika dia pingsan dan tidak berdaya, ternyata tidak membunuhnya. Padahal, alangkah mudahnya bagi puteri itu untuk membunuhnya. Sekali tikam saja dengan pisau di pinggang itu, dia akan tewas dan karena semua pengawal pangeran sudah tewas, hal itu berarti kebebasan sepenuhnya bagi Syanti Dewi. Akan tetapi tidak! Puteri itu, wanita bangsawan tinggi itu, malah merawat luka-lukanya! Kenyataan ini membuat Tek Hoat tertawa sendiri, suara ketawa yang aneh.

Syanti Dewi memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Wajah itu, suara ketawa itu. Dia pernah rasanya mengenal pemuda ini! Bukan, bukan sejak menawannya dan membawanya kepada Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi jauh sebelum itu, dan dalam keadaan yang lebih baik. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana.

Dipandang seperti itu, Tek Hoat menghentikan suara ketawanya yang tadi keluar di luar kehendaknya, dengan gugup dia berkata, “Aku... aku... bermimpi... tenggelam ke dalam sungai... kiranya engkau membasahi mukaku...”

“Aihhh...!” Syanti Dewi meloncat berdiri, ucapan itu mengingatkan dia. “Engkau adalah tukang perahu itu! Ya, engkaulah tukang perahu dahulu itu!” Dia mengingat-ingat, lalu berkata lagi. “Kini aku mengerti! Engkau dahulu menyamar sebagai tukang perahu, pantas ada yang menyebutmu Si Jari Maut!”

Tek Hoat berusaha untuk tersenyum, tetapi mana bisa dia tersenyum kalau seluruh tubuhnya terasa sakit, dan lebih lagi dari itu, kalau seluruh hati dan pikirannya terasa sakit? Dia begitu jahat, dan puteri itu begitu baik! Seperti si binatang liar dan si Dewi Kahyangan! Dia menghela napas dan memejamkan matanya. “Puteri Syanti Dewi, kau pergilah...! Pergilah sebelum terlambat...!”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Akan tetapi engkau... engkau terluka parah...”

“Biarkan aku mampus, dunia takkan rugi karenanya!” Katanya dengan hati sebal dan dia melemparkan tubuh ke belakang.

“Dukkk!” Kepalanya menimpa akar pohon dan dia mengerang lirih, menjadi setengah pingsan lagi karena benturan kepalanya dengan akar yang dalam keadaan biasa tentu tidak akan terasa olehnya itu, kini terasa seolah-olah kepalanya dihantam palu godam sebesar kerbau!

“Aihhh, kasihan engkau... pemuda yang malang...!” Syanti Dewi sudah berlutut lagi di dekatnya, menggunakan kain basah itu untuk menghapus darah yang kembali mengalir di leher dan pipi, karena benturan tadi membuat kepala yang luka oleh lecutan cambuk berdarah lagi.

“Kasihan? Engkau... kasihan kepadaku?” Tek Hoat bangkit duduk, tidak peduli betapa pandang matanya sendiri berkunang dan kepalanya menjadi pening sekali. “Puteri Syanti Dewi kasihan kepadaku? Ha-ha-ha! Semestinya engkau kasihan kepada dirimu sendiri yang sudah begitu percaya kepada orang lain, kepada tukang perahu jahanam itu!”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya, memandang khawatir. Tidak salah lagi, pemuda ini menjadi miring otaknya karena pukulan-pukulan yang diterimanya ketika bertanding tadi!

“Mengapa? Tukang perahu itu telah menolong aku dan Adik Candra Dewi,” bantahnya.

“Ha-ha-ha! Betapa bodohnya! Tukang perahu itu adalah mata-mata Pangeran Liong yang sengaja diutus untuk menyelidik dan untuk menawan Puteri Syanti Dewi! Dan puteri itu malah percaya kepada seorang pembantu dan tangan kanan pemberontak Liong Khi Ong!”

“Akan tetapi, engkau tadi telah menyelamatkan aku dari mereka, engkau malah telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya!”

Ang Tek Hoat memandang puteri itu dengan mata merah, tertawa dan menudingkan telunjuknya seperti orang gila. “Ha-ha-ha-ha, engkau puteri bodoh! Patut dikasihani! Engkau terlalu baik hati, engkau terlalu percaya orang. Aku membunuh mereka karena ingin memperebutkan engkau! Aku hanyalah orang jahat, dan engkau... engkau malah merawatku! Ha-ha-ha, belum pernah aku melihat yang segila ini. Pergilah kau... pergi...! Sebelum aku lupa diri...!”

Kembali Tek Hoat merebahkan dirinya dan memejamkan mata, menggunakan jari-jari tangannya menjambak rambutnya sendiri. “Aku keracunan... terluka parah, tentu akan segera mati... kau pergilah, kau menjauhlah, jangan dekat-dekat... aku kotor sekali, aku perampok, pembunuh, tukang perkosa... aku tidak berharga... ahhh, Ibu...!” Ucapan Tek Hoat sudah kacau tidak karuan.

Memang pemuda ini selain menderita luka-luka, juga telah terkena racun yang hebat, racun yang berada di cambuk Siang Lo-mo. Seperti telah diketahui, sejak Siang Lo-mo merampas kitab cacatan tentang racun dari Ban-tok Mo-li, mereka telah menggunakan ilmu tentang racun itu untuk membuat cambuk mereka menjadi senjata yang mengandung racun amat berbahaya. Dan kini, terluka berkali-kali oleh cambuk-cambuk beracun itu, tentu saja Tek Hoat terpengaruh dan luka-luka itu mulai membengkak dan membiru, bahkan lehernya telah menjadi matang biru dan mengerikan sekali.

“Ah, kasihan engkau, orang muda yang malang...!” Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut. Melihat kesengsaraan dan penderitaan pemuda ini, hatinya menjadi tidak tega, penuh dengan perasaan iba, maka dia tidak mempedulikan sikap pemuda itu, bahkan tanpa takut-takut lagi dia lari mendekat, berlutut dan membasahi dahi pemuda itu dengan air karena dahi itu amat panas sampai mengepulkan uap!

Tek Hoat merintih-rintih dan mengeluh, menyebut-nyebut ibunya karena dia seolah-olah melihat ibunya yang marah-marah dan memaki-makinya, kemudian melihat wajah Kam Siok, pemilik restoran di Shen-yang yang dibunuhnya, wajah Kam Siu Li, puteri Kam Siok yang telah dikawinkan kepadanya kemudian dibunuhnya pula, wajah Liok Si, janda Kam Siok yang genit itu, dan wajah orang-orang yang pernah dibunuhnya, semuanya datang mengejar-ngejarnya hendak membalas dendam! Dia lari ketakutan, kemudian melihat Syanti Dewi yang melayang turun dari angkasa seperti Dewi Kwan Im Pouwsat, cantik jelita dan agung, lemah-lembut dan ramah, mengulurkan tangan kepadanya.

“Lindungi aku... ohhh, lindungi aku...”

“Tenanglah, Tek Hoat, tenanglah...” Dewi itu berkata halus dan menaruh tangannya ke atas dahinya. Tangan yang lembut dan halus, sejuk dan mengusir nyeri.

“Ampunkan aku yang penuh dosa...” Dia berbisik, meraba dan menangkap tangan halus lembut itu dan mencium tangan itu.

Syanti Dewi menarik tangannya dengan halus. Hatinya terharu. Boleh jadi orang ini telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat, pikirnya, dan penyesalan telah menggerogoti perasaannya sendiri. Penyesalan akan perbuatan yang berdosa pastilah merupakan hukuman yang amat berat bagi orang itu.

“Ang Tek Hoat, engkau tadi begitu gagah, mengapa sekarang menjadi begini lemah?” Suara Syanti Dewi ini merupakan air dingin yang mengguyur kepala Tek Hoat. Seketika dia berhenti mengeluh, membuka mata dan pandang matanya kembali menjadi dingin, biar pun mukanya kini merah sekali seperti dibakar.

Tek Hoat bangkit duduk, menggoyang-goyang kepala sebentar seperti hendak mengusir kepeningannya, lalu dia berkata, “Puteri Syanti Dewi, terima kasih atas kebaikanmu. Engkau mulia seperti dewi, dan aku jahat seperti iblis. Engkau pergilah dari sini, kau cari Jenderal Kao. Dia seorang gagah yang akan menolongmu...” Tiba-tiba mata pemuda itu kelihatan beringas memandang ke kanan. Syanti Dewi bangkit berdiri, juga menoleh dengan ketakutan, mengira bahwa ada musuh-musuh baru yang datang.

Tampak beberapa orang berlarian mendatangi. Cepat sekali gerakan mereka, seperti sekumpulan binatang rusa yang lari sambil berlompatan menuju ke tempat itu. Sukar bagi Syanti Dewi untuk mengenal bayangan orang-orang yang berlari secepat itu dan kini mereka yang terdiri dari tiga orang itu telah berdiri di situ, memandangi kereta dan mayat-mayat yang berserakan, kemudian memandang kepada Tek Hoat dan Syanti Dewi.

“Bu-koko...!” Syanti Dewi berseru dengan lega dan girang ketika melihat mereka dan di antara mereka itu terdapat Jenderal Kao Liang dan Suma Kian Bu! Terutama sekali melihat Kian Bu hatinya begitu lega sehingga tak terasa lagi dia berlari ke arah pemuda ini yang juga berlari menghampirinya.

“Adik Syanti Dewi...!”

Tanpa dapat dicegah lagi, lupa akan keadaan saking lega dan girangnya hati, Syanti Dewi membiarkan dirinya dipeluk oleh Suma Kian Bu! Dia menangis dengan penuh keharuan dan kelegaan hati.

Ternyata yang datang adalah Jenderal Kao Liang, Kian Bu, dan Puteri Milana. Malam tadi menjelang pagi, ketika barisan yang dipimpin Puteri Milana tiba di depan Teng-bun untuk membantu Jenderal Kao, jenderal ini segera mengerahkan seluruh barisan untuk menyerbu Teng-bun dengan kekuatan yang jauh lebih besar setelah ada bantuan itu. Perang hebat terjadi, akan tetapi sekali ini Kim Bouw Sin tidak lagi dapat bertahan.

Apa lagi karena dia sudah kehilangan para pembantunya yang lihai. Tek Hoat tidak kelihatan mata hidungnya, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah pergi mengawal Pangeran Liong Khi Ong, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li juga tidak kelihatan lagi. Maka setelah matahari terbit, pasukan-pasukan pemerintah berhasil membobolkan pintu-pintu gerbang dan menyerbu masuk seperti banjir. Teng-bun tak dapat dipertahankan lagi dan Kim Bouw Sin sendiri tewas dalam perang itu.

Tentu saja Jenderal Kao dan Milana, juga diikuti oleh Kian Bu, pertama-tama menyerbu gedung yang selama ini digunakan sebagai tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong untuk menangkap pangeran pemberontak itu. Akan tetapi ternyata Pangeran itu telah melarikan diri semalam. Ketika mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran itu sudah pergi membawa Puteri Bhutan, Kian Bu dan Jenderal Kao terkejut sekali. Bersama Puteri Milana, mereka lalu secepatnya melakukan pengejaran melalui pintu rahasia yang tentu saja dikenal oleh Jenderal Kao dan mereka terus mengejar ke dalam hutan.

Tek Hoat membuka mata dan mengejap-ngejapkan matanya, sejenak memandang ke arah Syanti Dewi yang menangis dalam dekapan seorang pemuda tampan yang dia kenal sebagai salah seorang di antara dua orang pemuda kakak beradik yang pernah berlawan dengannya.

Dia melihat pula Jenderal Kao dan seorang wanita cantik sekali yang amat gagah perkasa. Dia pernah melihat wanita ini dan samar-samar teringatlah dia kepada wanita yang dulu dijumpainya di dalam hutan ketika wanita yang amat lihai ini membunuh seekor harimau besar. Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua, matanya kini menatap Syanti Dewi, yang dipeluk oleh pemuda itu. Hatinya menjadi panas sekali dan tanpa mempedulikan apa-apa lagi Tek Hoat melompat dan menerjang ke arah Suma Kian Bu!

“Plakkk!”

Tek Hoat terpelanting saat dari samping ada lengan halus yang mendorongnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kiranya wanita itu dengan sikap gagah dan pandang mata tajam menusuk menegurnya, “Engkau mau apa?”

Tek Hoat menjadi marah sekali. Dia tidak peduli siapa adanya wanita gagah itu, akan tetapi yang ada di dalam hatinya hanyalah kemarahan yang amat hebat. Kemarahan yang timbul seketika pada saat dia melihat Syanti Dewi dalam pelukan pemuda tampan itu.

“Aku mau membunuh!” bentaknya.

Kemarahannya membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh dari kepala sampai kaki, dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia menggunakan jurus Pat-mo Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya. Gerakan ilmu silat ini memang hebat dan ganas sekali, dan sinkang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah sinkang yang mengeluarkan hawa panas.

“Aihhh...!”

Puteri Milana terkejut dan terheran-heran bukan main. Cepat dia menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena gerakan pemuda ini adalah gerakan ilmu silat rahasia dari perkumpulan Thian-liong-pang, yaitu perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya, Puteri Nirahai. Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang mengambil gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja. Bagaimana sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?

“Hai, dari mana engkau mempelajari Pat-mo Sin-kun?” Puteri Milana berseru makin heran karena mendapat kenyataan betapa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat, sungguh pun jelas bahwa pemuda ini sudah menderita luka-luka parah dan keracunan.

Tek Hoat juga terkejut ketika melihat wanita menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang demikian baik gerakannya, jauh lebih baik dari pada gerakannya sendiri. Maka tanpa menjawab dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan mendorong.

“Bresss... ihhhh...!” Milana terdorong dan terhuyung, bukan main kagetnya.

“Keparat, engkau pemberontak keji!” Kian Bu sudah melepaskan Syanti Dewi. Melihat kakaknya terdorong itu, dia lalu menerjang ke depan dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.

Tek Hoat yang amat marah dan benci kepada pemuda yang memeluk Syanti Dewi ini, lalu membalikkan tubuh mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis. Keduanya mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan tetapi Kian Bu sama sekali tidak tahu bahwa lawannya itu telah terluka parah.

“Desssss...!”

Tubuh Tek Hoat terlempar, membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak lagi! Ketika mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, ternyata dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini membuat luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu dengan Kian Bu yang memiliki sinkang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu menandinginya dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.

“Ahhh, Bu-ko, kau membunuhnya...?” Syanti Dewi berlari menghampiri tubuh Tek Hoat, berlutut dan memandang penuh kekhawatiran.

“Adik Syanti Dewi, dia kaki tangan pemberontak, dia jahat...!” Kian Bu berkata dengan heran dan penasaran melihat dara itu membela lawannya.

Puteri Milana memandang dengan heran dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri Bhutan ini. Pantas saja adik kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap mereka ketika bertemu tadi menimbulkan dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati kepada Syanti Dewi. Maka kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di dekat kaki tangan pemberontak itu mengherankan hatinya.

“Apa artinya ini?” Dia bertanya.

“Adik Syanti, pemberontak ini dibunuh pun sudah sepatutnya,” Kian Bu berkata lagi.

“Tidak... tidak...! Bu-koko, engkau tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu, mayat mereka masih berada di sana. Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu telah menjadi mayat sekarang.” Syanti Dewi berkata sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dan dia membayangkan betapa dia sekarang tentu telah membunuh dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong kalau saja tidak ditolong oleh Tek Hoat.

“Ehhh...?” Kian Bu tertegun heran.

“Dia adalah tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk Si Jari Maut dan yang mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan keji, juga menjadi kaki tangan pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus ditangkap atau dibunuh.” Jenderal Kao Liang juga berkata sambil melangkah maju menghampiri Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.

“Gi-hu (Ayah Angkat)...!”

Syanti Dewi bangkit dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu. “Harap jangan bunuh dia. Dia terluka dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andai kata dia tidak menolong saya, tentu dia sudah dapat melarikan diri jauh dari sini dan kalian tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan karenanya dia terluka dan tidak dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang membunuhnya. Gi-hu, apakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang berwatak palsu tidak mengenal budi orang?”

Puteri Milana sudah melangkah maju dan berkata kepada adiknya, “Bu-te (Adik Bu), dia betul. Kita harus merawatnya, dan aku melihat keanehan pada dirinya. Dia mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang! Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia.”

Kian Bu masih ragu-ragu. “Tetapi, Enci, menurut Kao-goanswe dia telah menggunakan nama Gak-suheng dan merusak namanya!”

“Hal itu pun ada rahasianya. Kita rawat dan menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat baik. Betapa pun juga, dia telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya yang lihai ini.”

Kian Bu tidak berani membantah lagi, dia lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan pingsan. Mereka lalu kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan pemerintah. Pukulan hebat yang dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana itu sekaligus menghancurkan kekuatan pemberontak, apa lagi kematian Panglima Kim Bouw Sin dan kematian Pangeran Liong Khi Ong melemahkan semangat perlawanan para anak buah pasukan sehingga sebagian besar di antara mereka segera takluk dan menyerah dan hanya sedikit saja yang melarikan diri secara liar karena takut akan hukuman yang pasti dijatuhkan kepada mereka.

Seperti juga kota Teng-bun, kota pemberontak kedua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke tangan pemerintah setelah terjadi perang yang amat hebat di dalam kota itu. Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao itu telah berhasil membasmi pemberontak yang telah kelelahan karena baru saja pasukan pemberontak bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan pasukan liar Tambolon. Apa lagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee yang telah berhasil mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya, Mauw Siauw Mo-li.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah roboh pingsan karena luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biar pun Ceng Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam tubuhnya yang parah.

Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah. Setelah merebahkan tubuh yang mukanya sekarang pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sinkang yang amat kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.

Namun dengan amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di ludahnya sekali pun! Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan sinkang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo.

Andai kata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang memiliki sinkang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal dan bingung.

Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan masih terus saja dia mengerahkan sinkang-nya, tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk menyembuhkan Ceng Ceng.

Setengah hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda tampan yang menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apa lagi ketika dia melihat betapa kedua tangan pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, dan tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda itu.

“Jangan...! Hentikan itu...!” katanya sambil bangkit duduk.

“Tenanglah, Nona. Aku sedang berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu...”

“Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu... engkau mencari celaka sendiri...!” Ceng Ceng menolak kedua tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan dan punggung terasa nyeri. “Engkau malah meracuni dirimu sendiri...” katanya, suaranya agak terharu melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.

“Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu, amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi...”

“Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu. Lihat kedua telapak tanganmu.”

Kian Lee memandang kedua telapak tangannya. “Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar dari bahaya maut.”

Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut saat ia bertanya, “Engkau mengenalku?”

Kian Lee mengangguk. “Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu.”

Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan pandangan mata Pangeran Yung Hwa, sungguh pun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya.....

“Kenapa... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!”

Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak akan mati, Nona, dan andai kata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas.”

“Hemm, kau siapakah namamu?”

“Namaku Suma Kian Lee dan... ohhh, engkau kenapa, Nona?” Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.

Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.

“Engkau pernah kulihat... ahhh, lupa lagi aku di mana...”

“Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo....” Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.

“Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi.” Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.

Ceng Ceng menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi. “Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan... biarkan aku pergi saja dari sini...”

“Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!”

Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.

“Sute, kau kenapa...?” Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya. “Ahh, kau keracunan!” Pendekar itu berseru kaget.

“Dia... dia keracunan... ketularan oleh racun di tubuhku...” Ceng Ceng berkata lemah. “Biarkan aku pergi...” Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.

“Dia telah keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan,” kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. “Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!” Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok.

Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi. Biar pun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun.

Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apa lagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.

“Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini sute-ku.”

Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng. “Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau...?”

Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suheng-nya, maka cepat dia berkata, “Nona Lu, dia ini adalah suheng-ku, Gak Bun Beng... Ehh, kenapa?” Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng bagai orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.

“Bohong! Gak Bun Beng sudah mati...!” Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.

“Suheng...” Kian Lee memandang Gak Bun Beng.

Dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sute-nya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sute-nya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.

“Yok-kwi, kalau kau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!” kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.

Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula. Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.

“Yok-kwi, bagaimana?” Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak kebingungan.

Yok-kwi menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa sekali!” katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh keheranan.

“Pukulan yang diterima oleh gadis ini pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!”

“Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?” Bun Beng membentak tak sabar.

Kakek itu memandang kepada Bun Beng. “Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekali pun. Akan tetapi mengobati seorang manusia beracun? Sungguh tidak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apa lagi sute-mu ini memiliki sinkang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi... kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati...”

“Tidak...!” Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. “Suheng, tidak mungkin membiarkan dia mati...!”

Gak Bun Beng menarik napas panjang. “Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai orang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?”

Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali. “Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!” Kemudian dia menarik napas panjang. “Di dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok Mo-li, namun sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada. Ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang keempat adalah suheng-ku, yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kau lihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri.”

“Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah...,” Kian Lee berkata penuh semangat.

“Apa...? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan, dia cepat berkata, “Ah, maaf... maaf... sungguh beruntung aku dapat memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguh pun tidak beruntung dapat melihat ayahnya.”

“Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es,” Bun Beng berkata kepada pemuda itu. “Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih.”

“Suheng, habis bagaimana lagi baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya...” Kian Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biar pun Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.

“Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suheng-mu tadi, kita manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun.”

“Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan sute-ku biarlah kukeluarkan dengan sinkang...”

“Jangan, Gak-taihiap. Engkau telah melihat sendiri betapa sute-mu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sinkang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa inilah yang telah membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sinkang tentu akan membuat engkau ketularan pula.” Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.

Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia kemudian meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya.

Kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng, “Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi.”

Gak Bun Beng terkejut sekali dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini. “Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian...”

Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee. “Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu.” Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk. Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak Bun Beng!

Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!

Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya, “Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona...,” nada suaranya girang dan penuh harapan. “Bagaimana rasanya tubuhmu...?”

Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan. “Saudara Suma Kian Lee... bagaimana tanganmu...?”

Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan oleh Yok-kwi.”

“Berapa lamanya aku tidur... ehh, tak sadarkan diri?”

“Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam...”

Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan sering berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.

“Dua hari dua malam...? Dan selama itu... kau terus merawat dan menjaga aku...?”

Kian Lee tersenyum. “Ahh, itu sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan. Engkau telah mendapat obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi... ah...,” Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!

“Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu... ehhh, Nona, kau... kau menangis?”

Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi! Pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi!

Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa! Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia... ah, dia telah menjadi setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang pemuda biadab.

Tiba-tiba dia teringat!

“Ah, di mana dia...?” Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang lengannya dengan halus.

“Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh... beristirahatiah dulu...”

Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!

Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.

“Gak-suheng...,” Kian Lee berkata menyambut suheng-nya.

Bun Beng tersenyum. “Ahhh, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?”

Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng. “Apakah namamu Gak Bun Beng?”

Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!

“Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah pula mendengar namaku itu?”

“Mendengar...? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super Sakti!

Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee. “Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?”

Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari. “Harap... harap kau jangan membohongi aku...,” katanya gagap. “Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu telah mati...! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!”

“Ohhh...!”

“Ahhhh...!”

Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.

“Aihh, Nona Lu, sadarlah... ingatlah... ah, harap kau istirahat dulu...” Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona ini menjadi bingung dan telah berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.

“Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua ini.” Bun Beng berkata dan sute-nya duduk kembali, memandang dengan penuh kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang yang hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.

“Nona Lu Ceng,” katanya tenang sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Engkau adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?”

Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang Gak Bun Beng dengan rasa penasaran karena mengira bahwa orang ini berani sekali memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.

“Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang dirimu.”

“Kak Syanti...? Engkau mengenalnya? Di mana dia?”

“Tentu saja aku mengenalnya. Aku menyelamatkannya dari air sungai...”

“Ah, syukurlah...”

“Dan kini pun dia telah diselamatkan dari tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari cerita Syanti Dewi, engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?”

Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya untuk membuka suara.

“Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan, bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang kau katakan sebagai ayah kandungmu?”

“Memang dia ayah kandungku! Kongkong yang bercerita kepadaku,” katanya kemudian.

“Pernahkah engkau bertemu dengan ayah kandungmu itu?”

Ceng Ceng menggeleng kepala.

“Siapakah nama kakekmu?”

“Kakek adalah Lu Kiong...”

“Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika melindungi engkau dan Syanti Dewi?” Bun Beng menyambung.

“Benar.”

“Dan nama ibumu?”

“Ibuku bernama Lu Kim Bwee...” Ceng Ceng kini terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari bangkunya.

“Lu Kim Bwee...? Di mana dia sekarang?” tanyanya penuh semangat.

“Ibuku...? Dia... dia sudah mati...” Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya. Teringat bahwa ayah bundanya sudah mati, juga kongkong-nya, dan dia sendiri tertimpa mala petaka hebat, dia merasa betapa sengsara hidupnya!

“Ahhh...!” Bun Beng berseru kembali dan duduk di atas bangkunya, menghela napas panjang. “Nona Lu, harap kau suka menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kongkong-mu itu kepadamu, tentang orang bernama Gak Bun Beng itu.”

Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, menimbulkan dugaan di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai keadaan dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya, dahulu kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu menanamkan kesetiaan dan kepahlawanan padanya.

Akan tetapi mengapa kakeknya dan ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu jauh? Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya itu hampir tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan dirinya dan kakeknya.

“Kongkong adalah seorang bekas pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di Bhutan,” dia bercerita sambil menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata Kian Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh kemesraan dan kasih sayang! “Kongkong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak ada. Menurut penuturan Kongkong, ayah kandungku bernama Gak Bun Beng dan ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena merana dan berduka ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu.”

“Ahh... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee...” Bun Beng mengeluh.

Jantung Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia melanjutkan. “Mendengar penuturan Kongkong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah atas perbuatannya terhadap Ibu, tetapi... Kongkong bilang bahwa ayahku yang bernama Gak Bun Beng, murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati. Nah, begitulah cerita Kongkong kepadaku.”

“Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah sangka... akulah orang yang mereka maksudkan itu...”

Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan. Mukanya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng. “Kalau... kalau begitu... engkau... Ayaaahh...!” Ceng Ceng sudah menubruk ke depan, merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.

Gak Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus, “Nona, tenanglah Nona, dan duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku...”

“Suheng! Jadi dia... dia ini... puterimu...?” Kian Lee juga bertanya.

“Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh mendengarkan penuturan ini karena... ahhh, Tuhan saja yang Maha Tahu dan mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi ini, karena engkau pun... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepada kita bertiga. Duduklah, Nona Ceng...”

Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan. Wajahnya pucat, matanya memandang penuh kekagetan dan keraguan pada Bun Beng. “Engkau... engkau ayah kandungku, mengapa...” Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh iba terpancar dari mata pendekar itu, dan karena itu keheranannya bertambah. Tadi mendengar ayah kandungnya masih saja menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan terheran sekali.

“Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah kandungmu. Ah, aku akan bersukur kepada Tuhan andai kata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku akan merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau...”

Makin terbelalak mata Ceng Ceng. Jelas bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat yang membuyarkan semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang berwarna kehijauan.

“Ah, Nona... tabahkanlah hatimu...” Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada suheng-nya karena dia seolah-olah tak sadar apa yang dilakukannya, dia memegang tangan Ceng Ceng.

Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya dan dia menggenggam erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian Lee.

Bun Beng melihat ini semua dan hatinya tertusuk. “Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan kepadaku untuk bercerita dengan tenang.”

Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya, memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan bersinarkan terima kasih, kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang. “Hidupku memang selalu dirundung kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau benar engkau bukan ayah kandungku, setelah tadi engkau menghidupkan kembali ayah kandungku yang telah mati... engkau jelaskanlah ini semua. Demi Tuhan, kau beri penjelasan akan semua ini!” Suaranya setengah menjerit.

Bun Beng menarik napas panjang. “Aku semakin kagum kepadamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan batin yang hebat itu dengan tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan ketabahan hati Nona ini.”

Kian Lee memandang kepada suheng-nya dengan heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda kini menanti dengan penuh perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng mulai bercerita.

“Dahulu di waktu aku masih muda, belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda sesat yang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali...”

“Pemuda semacam itu harus dibunuh!” Ceng Ceng berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang memperkosa dirinya.

Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti. Lalu dia melanjutkan. “Pemuda sesat itu bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan perbuatannya yang sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba di tepi telaga, di mana terdapat sebuah pondok tempat peristirahatan seorang gagah bernama Lu Kiong...”

“Kakekku...”

“Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim Bwee...”

“Ibuku...”

“Ya, tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!”

“Ahhh...!” Ceng Ceng terheran-heran dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika mendengar bahwa pemuda sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu membantuku untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan aku pergi berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari pemuda sesat itu, ternyata orang jahat itu diam-diam memasuki pondok dan memperkosa Lu Kim Bwee.”

“Ahhhh...!” Ceng Ceng meloncat ke atas dan mengepal tinjunya, penuh kemarahan. “Katakan, siapa penjahat laknat itu?”

“Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona.” Bun Beng berkata.

Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama nasib ibunya dan dia!

“Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja melakukan hal itu dengan memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu menuntut agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab itu, aku menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama dengan wanita-wanita lain yang telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu mengeroyok aku dan aku terjatuh ke dalam jurang. Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku tidak lagi bertemu dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona. Agaknya ibumu itu, Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong, lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung sebagai akibat perbuatan pemuda sesat itu. Kemudian engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya kakekmu menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidak demikianlah kenyataannya.”

“Penjahat terkutuk!” Kian Lee memaki marah. “Siapakah manusia jahat itu, Suheng?”

“Janganlah kau memaki dia, Sute. Dia sudah meninggal dunia dan tentu dia pun telah menyesalkan semua perbuatannya. Dia itu bukan orang lain...”

“Siapa dia?” Ceng Ceng mendesak ketika melihat Bun Beng meragu. “Siapa penjahat yang memperkosa ibuku dan menjadi ayah kandungku itu?”

“Namanya adalah Wan Keng In...”

“Ya Tuhan...!” Kian Lee menjerit, mukanya pucat.

“Eh, mengapa engkau...?” Ceng Ceng terkejut melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang disembunyikan di balik kedua tangannya.

Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan mereka bertiga! Dia dapat merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee, yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri, karena Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah. Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju ke kamarnya sendiri, membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.

“Saudara Kian Lee, kau kenapakah...?” Kini Ceng Ceng memegang lengan Kian Lee dan mengguncangnya.

Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian menurunkan tangan. Ceng Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.

“Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!”

“Ehhh...?”

“Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi isteri ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan mempunyai anak Wan Keng In itu. Kau... kau maafkan aku... Wan Ceng... bahwa aku... sebagai pamanmu, telah... pernah... jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui sekarang, agak lega hatiku. Namun... tentu saja hal itu tak mungkin lagi... aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku...”

“Paman...!” Ceng Ceng menubruk dan mereka berpelukan.

Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus ini dan biar pun tahu betapa akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti Pangeran Yung Hwa. Akan tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya sendiri, andai kata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang seperti Suma Kian Lee ini? Apa lagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu adalah putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak berharga lagi!

“Paman, maafkanlah saya...!” Hatinya seperti diremas mengingat betapa tanpa sengaja dia telah menghancurkan hati pamannya yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.

“Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan sudah menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini dari pada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetaplah seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut...” Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu.

“Jangan ragu-ragu, Sioksiok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?”

Kian Lee mengangguk. “Tetapi dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok Mo-li...”

“Ban-tok Mo-li sudah mati.”

“Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Karena aku muridnya.”

“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. “Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri.”

“Tidak bisa, Sioksiok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi, biarlah... aku tidak takut menghadapi kematian... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?”

“Ceng Ceng...!”

“Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan mala petaka selalu datang menimpa diriku...”

“Ceng Ceng, jangan putus harapan,” Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan lukanya sendiri ini.

Tiba-tiba seorang prajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.

“Topeng Setan?” Kian Lee berseru kaget.

Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. “Dia pembantuku, Paman.”

Dari luar terdengar suaira memanggil, “Lu-bengcu...!”

“Eh, siapakah yang berteriak itu?”

“Itulah Topeng Setan, pembantuku. Sioksiok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang bengcu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku.”

Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu.

Topeng Setan sudah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. “Harap Bengcu maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Bengcu berada di sini.”

“Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah...” Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu.

“Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan),” Bun Beng membantunya sambil tersenyum.

“Dia ini supek-hu Gak Bun Beng,” Ceng Ceng melanjutkan.

Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng. “Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan Bengcu kami.” Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng Ceng, “Karena Bengcu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya.”

Ceng Ceng mengangguk. “Supek, dan Siok-hu, aku akan segera pergi bersama Topeng Setan...”

“Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu,” Gak Bun Beng berkata.

“Ceng Ceng, harap kau menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenaga untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke Pulau Es...,” kata Kian Lee.

“Tidak perlu, Supek dan Sioksiok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi... aku... aku... ahhh, aku lebih senang merantau...!” Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee. “Harap Ji-wi jangan khawatir, saya akan mengusahakan sampai Bengcu kami sembuh kembali,” katanya perlahan, kemudian dia pergi menyusul Ceng Ceng.

Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya. “Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya.”

Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.

“Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana.” Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya mengangguk sunyi.....

********************

“Gak-taihiap, apakah engkau tidak bertemu dengan puteraku?” tanya Jenderal Kao Liang kepada Gak Bun Beng ketika Bun Beng dan Kian Lee tiba di Teng-bun disambut oleh jenderal itu sendiri.

“Puteramu, Goanswe?” Bun Beng bertanya heran karena baru sekali dia melihat putera jenderal itu, dan yang terjadi di dalam medan pertempuran, maka dia lupa lagi.

“Saudara Kok Cu dengan pasukannya telah menyerbu Koan-bun dan mereka berhasil membasmi pemberontak, Kao-goanswe. Akan tetapi dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan mengejar Ketua Pulau Neraka itu.” Kian Lee menjelaskan karena dia sudah mendengar dari Bun Beng tentang putera jenderal Itu yang mengejar Hek-tiauw Lo-mo.

“Ahhh, anak itu terlalu berbakti kepada suhu-nya, melaksanakan perintah suhu-nya sampai lupa kepada orang tua dan belum juga dapat berkumpul dengan kami.” Jenderal itu menghela napas. “Dan... apakah Ji-wi bertemu dengan Nona Lu Ceng?”

Kian Lee merasa jantungnya tertusuk, dia menunduk dan tidak berkata apa-apa. Bun Beng yang kini menjawab, “Nona itu hebat sekali, Kao-goanswe! Akan tetapi dia telah pergi bersama Topeng Setan, pembantunya, padahal dia menderita luka hebat.”

Jenderal yang hatinya penuh kegembiraan karena pemberontakan telah terbasmi dan yang selalu bersikap polos dan terbuka itu menghela napas dan berkata kepada Gak Bun Beng, “Gak-taihiap, lihat betapa seorang tua seperti aku selalu menjadi kecewa karena ulah orang-orang muda! Ataukah kekecewaanku ini terjadi karena keinginanku sendiri yang bukan-bukan sehingga tidak tercapai? Aihhh, sampai bermimpi-mimpi olehku betapa akan bahagianya kalau benar Nona Lu Ceng masih hidup dan kelak menjadi mantuku, menjadi jodoh Kok Cu...!”

Mendengar pernyataan yang terang-terangan ini, Bun Beng dan Kian Lee lalu saling pandang. Akan tetapi karena Kian Lee melihat bahwa suheng-nya tidak berkata apa-apa mengenai hubungan keluarga antara dia dan Ceng Ceng, dia pun tidak mau mengatakannya, pula karena ada rahasia yang kurang baik tentang ayah kandung gadis itu.

Betapa pun juga dia tidak dapat berdiam diri saja ketika teringat akan peristiwa aneh di Koan-bun antara Ceng Ceng dan Kok Cu, maka dia berkata, “Kao-goanswe, ketika puteramu datang memimpin pasukan menyerbu Koan-bun, dia telah bertemu dengan nona itu pula, akan tetapi, entah mengapa... Nona Lu Ceng telah menjadi marah-marah dan memukul Saudara Kok Cu sampai dua kali.”

“Eihhh...?” Kenapa?” Jenderal itu berseru kaget sekali.

“Entahlah, kami juga tidak tahu mengapa. Mungkin saja di dalam perantauan mereka sudah pernah saling bertemu,” kata Kian Lee.

“Pada saat itu Nona Lu Ceng baru saja mengalami pukulan tangan beracun yang hebat. Bisa saja terjadi bahwa dia dalam keadaan kurang sadar lalu menganggap puteramu adalah musuh dan memukulnya, Kao-goanswe.” Bun Beng cepat berkata dan jenderal itu mengangguk-angguk.

Hanya Kian Lee yang tahu bahwa suheng-nya itu sebetulnya juga merasa heran, dan ucapannya itu hanya untuk menghibur belaka sebab mereka berdua mendengar betapa Ceng Ceng memaki dan menyebut nama Kok Cu sebelum memukul, yang hanya berarti bahwa Ceng Ceng memukul dalam keadaan sadar dan telah mengenal pemuda putera jenderal yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

“Kao-goanswe, di mana adanya Enci Milana, kakakku? Dan di mana pula adikku Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi? Kami mendengar bahwa mereka berada di sini.” Kini Kian Lee bertanya, merasa heran mengapa hanya jenderal itu seorang yang menyambut dia dan suheng-nya. Bun Beng juga memandang kepada Jenderal itu dengan pandang mata penuh pertanyaan, karena sesungguhnya sejak tadi dia pun ingin sekali tahu di mana adanya Puteri Syanti Dewi dan Puteri Milana, dua orang yang selalu berada dekat sekali di lubuk hatinya.

“Mereka telah berangkat ke kota raja. Puteri Milana khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan keluarga Kaisar di istana karena perbuatan Pangeran Liong Bin Ong, dan beliau ingin cepat-cepat melaporkan kepada Kaisar tentang tertumpasnya pemberontakan dan juga agar cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bin Ong yang sebetulnya malah merupakan tokoh pertama dalam pemberontakan itu. Maka beliau segera berangkat ke kota raja, sekalian mengajak Puteri Syanti Dewi menghadap Kaisar, diikuti oleh Suma Kian Bu taihiap. Selain itu, beliau juga membawa seorang tawanan yang amat penting, yaitu Ang Tek Hoat bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong.”

“Ahhh, pemberontak lihai itu!” Kian Lee berseru.

Gak Bun Beng kemudian juga teringat akan tokoh muda pemberontak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan yang memiliki tenaga sinkang seperti tenaga Inti Bumi sehingga pernah mengejutkan hatinya.

“Benar,” kata Jenderal Kao Liang. “Dan dia pulalah yang berjuluk Si Jari Maut, yang telah banyak melakukan kejahatan dengan menggunakan namamu, Gak-taihiap.”

“Ahhh...!” Gak Bun Beng berseru heran.

“Heran sekali, mengapa orang sejahat itu tidak dibunuh saja dan malah dibawa ke kota raja oleh Enci Milana?” Kian Lee bertanya.

Jenderal Kao Liang menghela napas. “Kalau aku tidak salah menduga, hal itu adalah karena cinta! Cinta memang amat kuasa menimbulkan segala macam peristiwa hebat-hebat dan aneh-aneh di dalam dunia ini di antara manusia.”

“Heemmm, apa maksud kata-katamu itu, Goanswe?” Bun Beng bertanya.

“Puteri Milana, aku sendiri, dan Suma-taihiap tadinya juga berpendapat demikian dan akan membunuh saja Ang Tek Hoat itu. Akan tetapi anak angkatku itu, Puteri Syanti Dewi, adalah seorang wanita yang halus budi dan mulia. Dialah yang melarang kami membunuh Tek Hoat.”

“Ahhh...!” Gak Bun Beng terkejut dan alisnya berkerut, “Mengapa?”

“Kiranya Tek Hoat yang terluka berat dan parah itu telah menyelamatkan Syanti Dewi dari bahaya maut dan pemuda yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu ternyata telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo yang lihai dalam perlawanannya membela Syanti Dewi. Mengingat akan jasa-jasanya semua itu, bukan hanya menyelamatkan nyawa Syanti Dewi akan tetapi juga membunuh pentolan-pentolan pemberontak itu, maka Puteri Milana lalu memutuskan untuk menawan pemuda itu dan membawanya ke kota raja sebagai tawanan dalam keadaan masih terluka hebat karena pukulan-pukulan maut dari Siang Lo-mo. Apa lagi menurut Puteri Milana, beliau merasa terheran-heran melihat betapa pemuda itu pandai mainkan ilmu silat rahasia dan simpanan dari Puteri Nirahai sehingga menduga bahwa tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda itu dengan Thian-liong-pang, bekas perkumpulan yang dipimpin Puteri Nirahai.”

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. Kini dia bisa mengerti mengapa Milana menawan pemuda itu dan dia dapat menduga pula bahwa yang dimaksudkan oleh jenderal itu tentang cinta tadi adalah perubahan yang terjadi pada diri pemuda pemberontak itu yang karena cinta sampai membalik dan melawan, bahkan membunuh Pangeran Liong Khi Ong sendiri bersama tiga orang pengawalnya yang lihai-lihai itu. Dan tidak anehlah baginya kalau Syanti Dewi mencegah pemuda itu dibunuh. Dia sudah cukup mengenal kepribadian Syanti Dewi yang penuh dengan kelembutan dan belas kasihan, juga penuh dengan perasaan ingat budi.

“Kalau begitu, aku akan segera menyusul ke kota raja, Suheng!” Kian Lee berkata. “Harap Gak-suheng suka menemani aku ke sana.”

“Hemm... aku tidak mempunyai kepentingan di kota raja, Sute.” Bun Beng menjawab karena di dalam hatinya dia sungkan, bahkan takut untuk bertemu dengan Milana dan Syanti Dewi, maklum akan kelemahan hati sendiri.

Jenderal Kao Liang memandang tajam dan berkata, suaranya biasa saja akan tetapi pandang matanya bicara banyak. “Gak-taihiap, sebelum berangkat Puteri Milana telah meninggalkan pesan kepada saya untuk menyampaikan kepada Taihiap bahwa beliau ingin membicarakan suatu hal penting dengan Taihiap setelah urusan negara selesai. Hanya itulah pesan beliau.”

“Jikalau begitu, sebaiknya kita berangkat berdua, Suheng. Apakah Suheng tidak ingin bertanya kepada Ang Tek Hoat yang ditawan itu, kenapa pula dia menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan? Lagi pula, apakah Suheng tidak ingin mengurus tentang Adik Syanti Dewi?”

Bun Beng tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa dia memenuhi permintaan Kian Lee dan setelah bermalam di Teng-bun pada keesokan harinya mereka berangkat meninggalkan Teng-bun, naik kuda pilihan yang disediakan oleh Jenderal Kao Liang untuk mereka.

********************

Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas pembaringan. Mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis. Semenjak dia dibawa dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh tabib-tabib tentara tidak menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang mendengar akan keadaan tawanan ini, lalu menyuruh pengawal membawa pemuda yang menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya.

Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah menghadap Kaisar. Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutama mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang ternyata dapat diselamatkan.

Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan berkata, “Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan.”

Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu.

Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah, apa lagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.

Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudah diangkut ke istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya. “Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?”

Milana mengangguk. “Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya.”

Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata, “Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apa lagi dia masih amat muda.”

Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biar pun dia tidak menyaksikan serdiri, tetapi dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan merasa berduka sekali karena merasa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya.

Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana.

Memang tadinya Han Wi Kong pun tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang suci murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia.

Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat dari pada nafsu birahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami!

Justru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar terlihat di depan umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan cara yang lain, sungguh pun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya.

Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya akan dapat membalas cintanya, hal ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia melainkan ingin melihat isterinya bahagia.

Maka dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul kembali dan sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun terus terang Milana telah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan.

Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan sejak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan Milana!

Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah karena melihat isterinya kehilangan kegembiraan hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan ketika Ang Tek Hoat dibawa ke istananya oleh isterinya. Dia pun dapat menerima pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apa lagi ketika isterinya menceritakan betapa pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia dari Puteri Nirahai!

“Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya.”

“Baik,” Han Wi Kong menjawab.

Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan walau pun sinkang-nya tidak sekuat isterinya atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya gangguan orang luar terhadap orang-orang yang sedang mengerahkan sinkang untuk menyembuhkan orang lain. Dia mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu.

Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, bersila sambil meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sinkang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.

Dari ambang pintu Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahagianya dia dapat disebut sebagai suami dari puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita sejati.....

Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sinkang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.

Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya.

Cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk menolak sehingga kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher. Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hal ini menandakan bahwa dalam hal sinkang, adiknya itu sedikit lebih kuat dari pada dia!

“Engkau sudah sembuh sekarang,” katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat.

Pemuda ini segera bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya terasa pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.

“Berbaringlah dulu, engkau masih lemah,” kata pula Milana.

Tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.

“Pa... paduka... adalah Puteri Milana...!” katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi terasa seperti dalam mimpi saja. “Dan kau... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!”

Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti enci-nya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.

“Kenapa...? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?”

“Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan ketiga orang pengawalnya yang lihai untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi,” kata Milana.

“Enci-ku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, sama sekali masih belum terlambat untuk menghukummu!” Kian Bu menyambung.

Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya, “Di mana dia? Sang Puteri Bhutan...?” Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.

“Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar,” kata Milana.

Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata, “Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi...”

“Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah.”

Tepat pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur.

“Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia hanya mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biar pun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.

“Sekarang kita bicara, Ang Tek Hoat,” kata Milana setelah pengawal itu pergi. “Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu...”

“Ahhh, kiranya dia ini adik paduka? Jadi... jadi putera Pendekar Super Sakti?” Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti yang pernah diceritakan oleh ibunya.

“Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?”

“Dari ibu, akan tetapi sudahlah... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya, malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami...”

Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman!

“Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukan orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kau sebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk membalas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya.”

Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu. Biar pun usianya lebih tua, namun kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, terutama sepasang mata yang bening dan tajam itu. Kemudian dia menjawab, “Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab,” katanya singkat.

“Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik,” pikir Milana. “Pertanyaanku yang pertama adalah sama dengan pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?”

Tek Hoat sendiri sudah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya, “Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo.”

“Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!” Milana berseru.

“Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya.”

Milana mengangguk-angguk. Dia merasa heran sekali, mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.

“Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi.”
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan kedua.

“Sekarang pertanyaanku yang kedua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Kenapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?”

Karena diingatkan kepada musuh besarnya, kini dengan suara ketus dia menjawab, “Memang semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati.”

“Ah keparat bermulut lancang!” Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.

“Jangan terburu nafsu, Bu-te!”

Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali. “Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suheng-ku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar tentu sudah kuhancurkan mulutmu!”

Ang Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong. “Apa katamu? Dia... dia... masih hidup...?” Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?

“Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bernama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi.”

Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah. “Aihhh... dia...? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu...” Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama?

Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!

“Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?” Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.

“Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu,” jawabnya.

“Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?” tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!

“Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya...”

“Ahhh...! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?”

Tek Hoat menggeleng kepalanya. “Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu... saya tidak akan dapat melawan...”

“Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

“Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap,” kata Han Wi Kong.

Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.

“Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Kedua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan juga ketiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, jika engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit.”

Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.

Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yang angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun, kini sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa seperti tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada ‘orang-orang bersih’ seperti mereka itu.

Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, “Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana.” Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.

Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan dibiarkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.

“Enci Milana, betapa pun juga, aku masih tetap menganggap dia itu seorang yang berbahaya...” Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap enci-nya yang demikian lunak terhadap pemuda jahat itu.

Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya. “Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya... dahulu... Ahhh, biarkanlah aku mengaso dulu sambil mengingat-ingat...” Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.

Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sinkang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.....

********************

“Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimana pun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya.”

Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.

“Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan.”

“Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!”

Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak menjadi marah mendengar tuduhan yang hebat ini. “Syanti Dewi, aku yakin bahwa orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu tanpa alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan rahasia.”

“Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi menikah dengan pria lain lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria yang sampai sekarang masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan yang tidak ada keduanya di dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!” Syanti Dewi mengeluarkan kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di hatinya, matanya berapi-api dan mukanya kemerahan. “Bibi Milana sungguh kejam sekali! Nah, puaslah sudah hatiku mengeluarkan umpatan yang sudah lama terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku, silakan!”

Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia memandang Syanti Dewi dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andai kata yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan tangan untuk melakukan pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi!

“Bibi pasti marah, akan tetapi aku tidak menyesal mengeluarkan semua ucapanku tadi, sebab aku menuntut agar Bibi Milana suka mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang kujunjung tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak.”

“Syanti Dewi...,” suara Milana gemetar dan serak, seperti bisikan. “Siapa... siapa yang kau maksudkan dengan pria itu...?” Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil.

“Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng? Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan tetapi Bibi telah begitu tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiarkan dia merana sepanjang hidupnya.”

“Oohhh...” Tubuh Milana menjadi lemas, dia memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas kursinya. Kemudian dia membuka lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air mata. “Syanti Dewi... dari manakah... engkau mengetahui semua tentang kami...?”

“Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku.”

“Ahhh...? Tidak mungkin...!” Milana meloncat ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari tangannya yang kecil lembut halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi menggigit bibir menahan sakit. “Kau... kau mencintanya!”

Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti Dewi juga bangkit berdiri dan berkata dengan gagah, “Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta Gak Bun Beng sampai aku mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta kasihnya hanya untukmu, Bibi Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap pria yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap ayah atau seorang murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya yang akan dicintanya sampai dia mati, dan dia bahkan berbahagia di dalam kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya engkau, Bibi Milana!” Dan tanpa dia sadari lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Puteri Bhutan itu.

“Ouhhhhh...” Milana terisak, menggigit bibirnya, memejamkan mata menahan kepedihan hati yang bagai ditusuk-tusuk rasanya. “Aihhh... Syanti Dewi... kau tidak tahu... kau tidak tahu... betapa selama belasan tahun aku hidup dengan hati remuk-redam... betapa aku hidup sangat sengsara dan amat merana... yang mungkin tidak kalah pahitnya dengan penderitaannya...” Wanita cantik itu sekarang menundukkan wajah dan memejamkan mata, menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir semua kepedihan yang teramat menghimpitnya.

Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di depan Milana, memeluk pinggang puteri itu.

“Syanti...!” Milana tidak dapat menahan keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri Bhutan itu sambil menangis sesenggukan.

Betapa belasan tahun ini ia menahan kesengsaraannya, tak pernah dikeluarkan hingga sekarang bagaikan air bah memecah bendungannya, air matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri Bhutan ini mengejap-ngejapkan mata menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah lembut dia mengeluarkan sapu tangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri Milana seperti orang dewasa menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis.

Sejenak dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya, kemarahannya telah berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta kembali ke asalnya, seorang wanita yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya.

“Bibi Milana,” suara Syanti Dewi kini penuh kesungguhan, penuh kedewasaan, dan juga penuh teguran. “Bibi Milana, mengapa Bibi telah bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta Paman Gak Bun Beng, sejak dahulu sampai saat ini, tetapi mengapa Bibi memaksa diri menikah dengan pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?”

Milana sudah dapat menekan perasaannya. Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar, sedikit banyak melegakan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu duduk berdampingan di pinggir pembaringannya.

“Engkau anak yang baik, pertanyaanmu sungguh tidak tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanita-wanita yang tidak kebetulan menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi perintah junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja Bhutan yang menjadi ayahmu? Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!”

“Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi dengan keadaan Bibi! Andai kata saya seperti Bibi, sudah mempunyai seorang kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak suka dikawinkan dengan orang yang belum pernah saya lihat, akan tetapi demi kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara karena ayah menyerahkan saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi yang telah mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu bodoh?”

Demikianlah, percakapannya dengan Puteri Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri Milana rebah seorang diri di atas pembaringannya dalam kamarnya yang tertutup, mengenangkan semua percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya betapa dia telah berbuat kesalahan besar terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi Kaisar atau kerajaan, dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan hidupnya sendiri!

Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu dan semakin diingat, semakin menyesallah dia karena sejak dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih kepadanya, sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang terakhir sekali, dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia bahkan telah bersekutu dengan wanita-wanita lain yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng untuk membunuh pria itu!

Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana. Kemudian barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa, mulia, karena si jahat itu bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In!

“Aihhhh... Wan Keng In, benar dia...!” Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya, memandang terbelalak ke arah pintu kamarnya.

Ketika mengenangkan masa lalu dan terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang Tek Hoat! Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In!

Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua bercakap-cakap itu dengan muka berubah agak pucat. “Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek Hoat itu adalah putera Wan Keng In!”

Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh enci-nya itu. Wan Keng In adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah lama meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga menyeleweng.

“Bagaimana kau bisa tahu, Enci?”

“Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia dan suruh dia kembali, aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng.”

Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa pemuda itu telah keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul dan mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan, namun hasilnya sia-sia dan terpaksa dia kembali kepada enci-nya dengan tangan hampa.

Milana merasa menyesal sekali. “Di dalam kamar tadi barulah aku teringat. Memang tadinya aku sudah merasa mengenal wajah Tek Hoat, hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In, kakakmu Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang dahulu diperkosa oleh Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh, tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka saling bertemu!”

“Sebaiknya aku segera kembali ke Teng-bun atau Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberi tahukan hal Tek Hoat itu kepadanya agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!” kata Kian Bu.

“Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat menghadapi pemuda itu, apa lagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya dan perlu mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya kakakmu, Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?”

Hanya Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan ‘yang lain-lain’ oleh isterinya itu, bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan kedatangannya.

Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana itu! Han Wi Kong dan Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya berubah merah sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara apa-apa kecuali menyapa.

“Gak-suheng!”

“Sumoi...!”

Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah sekali. “Gak-taihiap, sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!”

Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana ternyata telah menikah dengan seorang pria yang tidak mengecewakan. “Terima kasih, Han-ciangkun, dan karena saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap (pendekar besar).”

Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang sederhana sekali ini. “Kalau begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan lagi menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak).”

“Baiklah, Han-laote (Adik Han).”

Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahan-lahan berkurang. Han Wi Kong lalu menjamu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun Beng makan minum menghadapi meja bundar. Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan urusan penting dan setelah mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu, barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih penting menyangkut diri mereka.

“Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak bersemangat?” Kian Bu bertanya dan Milana juga memandang adik ini dengan penuh perhatian.

“Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik Kian Lee,” dia juga berkata.

“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab Kian Lee.

“Jangan-jangan karena kakimu yang terluka dahulu itu, Lee-ko? Tapi sekarang sudah sembuh sama sekali, bukan?”

“Sudah, Bu-te,” Kian Lee menjawab singkat.

Saat adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka sehingga mereka terpisah, Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga sembuh dengan mudah.

“Heran..., heran...!” Kian Bu berkata sambil tertawa. “Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!”

Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya, tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaannya ditujukan kepada Han Wi Kong, “Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat. Apakah benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?”

“Ahhh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang hebat sekali dengan pemuda itu!” Milana berkata. “Dia... dia... itu... putera Wan Keng In...!”

“Ehh...?!” Bun Beng demikian kagetnya sehingga dia bangkit berdiri, lalu kembali duduk. Sementara itu Milana sudah teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

“Bu-sute, apakah yang terjadi?” tanya Bun Beng, menoleh kepada Kian Bu.

“Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan dia tidak melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati, maka setelah mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu dan ingin membalas dendam kematian ayahnya.”

“Hemm..., sungguh aneh...” Bun Beng berkata.

“Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan wajah Keng In...”

“Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau bukan anak Ang Siok Bi?” Milana berkata.

Ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu pandang dan Milana menunduk, karena menyebut nama Siok Bi sama dengan menggali kenangan lama yang membuat Milana merasa berdosa sekali.

Bun Beng mengangguk-angguk. “Hemm, sekarang aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku...”

“Enci Milana khawatir sekali kalau sampai terjadi sesuatu yang hebat apa bila Suheng bertemu dengan dia,” kata pula Kian Bu.

“Aku dapat mengatasinya. Ahhh, sungguh kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan...” Bun Beng menghela napas panjang.

“Gak-suheng, apa pula maksudmu?” Milana bertanya, karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terkandung dalam ucapan pendekar itu.

Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya, “Sumoi tentu masih ingat kepada Lu Kim Bwee, bukan?”

Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana karena tak disangka-sangkanya, padahal dia selalu membayangkan dua orang wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama dia mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini. Milana menelan ludah, memandang kepada Bun Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk.

“Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah Lu Ceng.”

“Ooohhh...!”

“Aihhhh...!” Kian Bu terbelalak dan menoleh kepada Kian Lee.

Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam mulutnya lagi, tak berani mengeluarkan suara. Maklumlah dia sekarang mengapa Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu telah mencuri hati kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka sendiri, yang berarti pula bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri.

Keadaan lalu menjadi sunyi karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong yang pernah mendengar cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng In, memecahkan kesunyian itu sambil berkata, “Kiranya dua orang yang menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan Adik Kian Lee sendiri.”

Kian Lee mengangguk sunyi dan semua orang masih tenggelam ke dalam keanehan yang luar biasa ini, peristiwa yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Milana tidak menyangka bahwa peristiwa ketika dia muda dahulu, yang dilakukan oleh Wan Keng In, ternyata berekor demikian panjang sehingga biar pun pelakunya telah tewas, ternyata akibat kelakuannya masih terus menjadi riwayat! Dan celakanya, kalau dulu Wan Keng In melakukan perbuatan yang mencelakakan diri Gak Bun Beng, sekarang keturunannya juga melakukan hal yang sama, sungguh pun apa yang dilakukan oleh Tek Hoat adalah karena pemuda itu mengira bahwa Gak Bun Beng sudah mati dan menjadi pembunuh ayahnya.

Selagi mereka semua termenung, tiba-tiba datang penjaga pintu yang melaporkan bahwa ada utusan dari Kaisar datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Puteri Milana terkejut dan cepat menyambut. Kiranya yang datang adalah Perdana Menteri Su sendiri, yang tentu saja cepat disambutnya dengan penuh hormat. Han Wi Kong, Gak Bun Beng, dan kedua orang saudara Suma ikut menyambut, dan karena perdana menteri datang sebagai utusan Kaisar yang berarti wakil Kaisar sendiri, Milana dan yang lain-lain menyambut dan berlutut.

Perdana Menteri Su mengenal semua yang hadir. Dia sudah mendengar akan kedua orang adik Puteri Milana, putera-putera dari Pendekar Super Sakti, dan dia dahulu sudah pernah bertemu dengan Gak Bun Beng. Maka cepat dia menggerakkan tangan minta kepada mereka semua untuk bangkit berdiri.

“Harap Cu-wi bangkit kembali dan penghormatan Cu-wi terhadap Sri Baginda telah saya terima. Sekarang kita bicara sebagai sahabat dan biarlah pesan Sri Baginda akan saya bicarakan di atas cawan-cawan arak saja oleh karena keputusan beliau ini perlu kita pertimbangkan bersama.”

Puteri Milana dan yang lain-lain segera bangkit berdiri dan mempersilakan tamu agung itu ke ruangan tamu, di mana mereka menjamu Perdana Menteri Su dengan hormat dan ramah.

Perdana Menteri Su yang sudah tua dan setia itu menghela napas panjang dan berkata, “Aihhh... betapa girang dapat bertemu dengan orang-orang gagah seperti Cu-wi, dan betapa kecewa hati membawa berita yang amat tidak menyenangkan. Puteri Milana, Sri Baginda Kaisar menitah saya untuk menyampaikan keputusan beliau tentang Pangeran Liong Bin Ong dan Puteri Syanti Dewi.”

“Bagaimana dengan Paman Pangeran Liong Bin Ong?” Puteri Milana bertanya.

“Sri Baginda menyatakan bahwa menurut penyelidikan beliau, Pangeran Liong Bin Ong tidak bersalah apa-apa, dan pemberontakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mendiang Pangeran Liong Khi Ong...”

“Ahhh...!” Puteri Milana berseru, mukanya merah dan kelihatan penasaran sekali.

“Puteri Milana, demikianlah keputusan Sri Baginda,” Perdana Menteri Su berkata kereng dan memandang wajah puteri itu penuh arti.

Sang Puteri mengangguk dan membungkuk, tidak berani berkata apa-apa lagi sungguh pun dia maklum bahwa keputusan ini bukan hanya membuat dia penasaran, bahkan terutama sekali membuat perdana menteri itu menjadi kecewa dan khawatir. Mereka berdua tahu belaka bahwa Liong Khi Ong hanya merupakan orang kedua, hanyalah pembantu dari Pangeran Liong Bin Ong yang sebenarnya menjadi dalang pertama dari pemberontakan itu!

“Ada pun tentang diri Puteri Bhutan itu, Puteri Syanti Dewi yang tadinya akan menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong, menurut keputusan Sri Baginda akan dinikahkan dengan Pangeran Yung Hwa!”

“Heiiiihh...!” Kian Bu berteriak sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.

“Bu-te, duduklah! Ini perintah Sri Baginda Kaisar!” Puteri Milana membentak adiknya, akan tetapi matanya memandang adiknya dengan penuh duka karena puteri ini maklum bahwa adiknya itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.

“... ya... ya, Enci Milana...” Kian Bu duduk kembali dan menundukkan mukanya yang berubah menjadi pucat.

“Betapa pun juga, keputusan kedua ini adalah cukup adil dan tepat,” Perdana Menteri Su berkata sambil mengelus jenggotnya. “Memang tadinya Pangeran Yung Hwa yang ingin berjodoh dengan Puteri Bhutan, hanya dia terdesak dan kalah oleh mendiang Pangeran Liong Khi Ong. Ikatan jodoh ini berarti akan memperkuat tali hubungan antara Kerajaan Ceng dengan Kerajaan Bhutan.”

Milana tidak menjawab karena dia maklum bahwa perdana menteri itu tidak tahu akan rahasia hati Kian Bu. Dia hanya mengangguk saja. Tidak lama kemudian, Perdana Menteri Su berpamit dan setelah dia pergi, barulah Milana meremas cawan araknya sampai perak itu menjadi satu gumpalan!

“Sungguh celaka sekali! Pangeran Liong Bin Ong si pemberontak besar itu dibebaskan! Tentu dia akan membuat huru-hara lagi! Ahh, mengapa Sri Baginda tidak dapat melihat kenyataan?”

Milana melirik ke arah Kian Bu yang masih menundukkan mukanya dan tiba-tiba dia bangkit berdiri. “Dan Syanti Dewi... ah, sungguh membikin orang penasaran...!” Milana mengerutkan alisnya, sejenak bertukar pandang dengan Gak Bun Beng, lalu dia minta maaf kepada Bun Beng dan meninggalkan ruangan itu memasuki kamarnya.

Kian Bu bangkit berdiri pula, tanpa berkata apa-apa dia pun lalu setengah lari menuju ke kamarnya, diikuti oleh Kian Lee yang kini memandang adiknya itu dengan wajah penuh kecemasan.

Tinggallah Han Wi Kong duduk berhadapan dengan Gak Bun Beng. Keduanya bengong dan termenung.

“Hemmm..., banyak sekali peristiwa terjadi dalam kehidupan manusia yang berlawanan dengan apa yang dikehendakinya, bukan, Gak-twako?”

“Ehhh...?” Bun Beng yang lagi melamun sambil tak sadar mengambil cawan yang telah menjadi gumpalan perak karena dicengkeram oleh Milana tadi, membolak-balik benda itu di tangannya, terkejut mendengar ucapan itu, lalu mengangkat muka memandang. “Agaknya begitulah hidup...”

“Mengapa harus begitu, Twako?” Han Wi Kong mendesak.

“Yah, manusia tidak akan dapat melawan nasib...” Bun Beng menarik napas panjang.

“Hemmm..., begitukah? Atau bukan sebaliknya bahwa nasib berada di tangan manusia sendiri? Orang yang menyerah kepada nasib adalah orang lemah, dan orang-orang lemah memang sudah sepatutnya hidup menderita, Twako! Hanya orang yang berani menentang dan menghadapi keadaan dan peristiwa dengan tabah, merubah nasibnya sendiri dan terbebas dari penderitaan kelemahannya!”

Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan, kemudian bertanya, “Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah...”

“Mengapa tidak mungkin? Tergantung dari si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!”

Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia ‘menerima nasib’, karena dia lebih condong menangisi nasibnya dari pada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami ‘nasib’ yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan ‘nasib’ itu!

“Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang sute-ku itu.”

Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sute-nya dan melihat mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu. Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sute-nya ini juga ‘patah hati’ karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang sama!

Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu. “Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?”

Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan memandang kepada suheng-nya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.

“Apa maksudmu, Suheng?”

“Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan pastilah akan bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di sini engkau termenung menangisi nasib!”

“Aihh, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biar pun beliau itu kakek besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!” Kian Bu berkata.

“Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau pun sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau...”

“Bagaimana, Suheng?” Kian Bu bertanya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih ‘hijau’ dan tentu saja dia memandang suheng-nya ini sebagai seorang pria yang sudah ‘berpengalaman’ yang patut ditiru.

“Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!”

Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suheng-nya. “Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasehatmu itu sekarang juga!” Kian Bu lalu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.

“Ahh, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasehatmu itu,” Kian Lee berkata, khawatir. “Jangan-jangan akan timbul keributan.”

“Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia.” Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia teringat akan urusannya sendiri dengan Milana.

Dia bisa memberi nasehat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tak berani menghadapi kenyataan bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya dikarenakan dia merasa rendah diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana!

Setelah berkata demikian Bun Beng lalu meninggalkan Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tak jauh dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah. Bayangan Milana terus mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan batinnya akan bobol. Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusan apa-apa lagi.

Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sute-nya itu. Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah putera Wan Keng In yang kembali mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu. Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk melihat bagaimana jadinya dengan sute-nya itu.

Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali. Bun Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman, tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam ikan emas yang lebar dan indah. Airnya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu nampak nyata, beriring-iringan dengan warna sisik mereka yang keemasan dan berkilauan tertimpa sinar kemerahan matahari senja.

Bun Beng duduk di atas bangku batu di dekat kolam. Air yang memancar keluar dari pinggir kolam membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.

“Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku,” diam-diam Bun Beng mengeluh. “Kehadiranku hanya akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan miskin...” Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang-orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.

“Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia...”

“Huh, tolol!” bentaknya sendiri kepada diri sendiri. “Habis kau mau apa?”

“Gak-suheng...”

Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Bahkan sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia membalikkan tubuh dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!

“Sumoi..., mafkan aku... aku memasuki tamanmu tanpa permisi...,” dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat puteri yang berdiri tegak dan agung itu ternyata telah mencucurkan air mata! Satu demi satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara di sepanjang kedua pipinya.

“Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah membuat hancur hidupmu..., aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng...”

Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak... tidak demikian... Sumoi. Apa yang kau ucapkan ini...?”

“Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku sudah tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau juga mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan Han Wi Kong?” Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng.

Pendekar itu menguatkan hatinya dan memaksa tersenyum. “Sumoi... Sumoi! Milana... mengapa engkau bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan aku... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku... sebaiknya pergi saja...”

“Gak-suheng...!” Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan mendadak Milana terisak lalu memeluk pinggang Bun Beng. “Suheng... ah, Suheng... aku melihat betapa jahatnya aku... betapa hancurnya hidupmu karena aku... ampunkan aku, Suheng.”

Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.

“Tidak... tidak boleh begini...! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!”

Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata. “Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?”

“Aku? Mencinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu... akan terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat... Sumoi...”

“Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana pun engkau membawaku! Aku... aku... ahhh..., engkau tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau saja tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng...”

“Ahhh...?” Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, dia merasa seperti disambar petir. “Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!”

“Tidak... tidak... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi... aku... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah seorang...”

“Aihhh, Sumoi, kini engkau menghancurkan hatiku!” Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya terasa sakit. “Kalau begitu... sia-sia belaka semua pengorbananku... sia-sia belaka aku menyiksa diri... Sumoi, mengapa begitu?”

Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.

“Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau... kalau engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu.”

“Milana!” Bun Beng setengah membentak, “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Tak malukah engkau? Kau kira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap suamimu yang baik?”

Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya. “Dia seorang yang berbudi mulia... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat mencintanya. Tahukah kau, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu... dia telah memberi restunya... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku...”

“Tidak...!” Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. “Tidak...! Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh lagi aku menyentuhmu, tidak boleh sama sekali...! Duhai Milana... Sumoi... jangan... jangan kita lakukan itu... lebih baik aku mati dari pada melakukan perbuatan terkutuk itu!” Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.

“Suheng...!” Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.

“Gak-suheng...!” Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam!

Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Han Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.....

********************

Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu ruangan.

Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata, “Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi Milana...”

“Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti...?”

Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.

“Lalu bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?”

“Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kau tolonglah, suruh Bibi Milana menolongku... aku tidak suka dengan pernikahan itu!”

“Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kau samakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dulu suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong...”

“Aku tak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko... kau sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana... tolonglah aku... atau... tolong kau cari Paman Gak Bun Beng. Dia adalah satu-satunya orang yang kugantungi harapanku.”

“Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti... aku... aku...” Kian Bu yang biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.

“Ada apa, Koko? Bagaimana?” Puteri Syanti Dewi memandang lekat dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.

“Adik Syanti... hemm... ehhh, aku... aku bersedia untuk menolongmu... untuk mengajak kau lari dari sini...”

“Bu-koko...! Terima kasih...! Ahhh, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suheng-mu, Paman Gak Bun Beng!” Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan pemuda itu penuh harapan.

Kian Bu juga lalu bangkit berdiri. “Aku... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena... aku... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita dahulu pertama bertemu... dan kalau kau lebih memilih aku dari pada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari...”

“Ahhhh...!” Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan seorang puteri raja.

“Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat... ahh, amat baik dan hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh dunia, adik dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang tak akan berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku... ahhh, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik... menghadapi mala petaka itu seorang diri saja, tanpa pertolonganmu.”

Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasehat suheng-nya, kini menjadi pucat sekali.

“Kau... kau tidak... tidak cinta padaku, Adik Syanti?” tanyanya dengan suara serak.

Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba. “Maafkan aku.”

“Kalau begitu engkau... engkau tentu sudah mencinta lain orang...?”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suheng-mu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku.”

Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah, “Biar pun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini.”

“Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biarlah Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal...”

“Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong...”

“Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku...” Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal. “Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,” katanya penuh wibawa.

Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang karena merasa kasihan. Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempesonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya. Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya seperti yang disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suheng-nya, Gak Bun Beng! Si Tua.....

Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suheng-nya. Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suheng-nya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya. Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suheng-nya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana enci-nya.

Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana enci-nya itu. Ketika memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.

“Bu-te, bagaimana...?” Kian Lee mendekat, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.

Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.

“Lee-ko... aku menyesal sekali tentang... Lu Ceng...” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.

Kian Lee menggeleng kepala. “Jangan kau pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau...”

“Sudah, dan dia... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...”

“Ahhh...?” Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.

“Dia sudah mencinta orang lain...”

“Hemmm...?”

“Dia mencinta Gak-suheng.”

“Hehhh...?!” Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”

Melihat wajah kakaknya seperti orang yang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan. “Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...”

“Aahhhh... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”

“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”

“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”

“Hemm, mengapa tiba-tiba timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.

“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.

“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”

Kian Lee merangkul adiknya. “Aih, adikku... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?”

“Lee-ko...”

Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.

“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga.”

Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu. “Lee-ko... kau... kau tenggelam dalam kedukaan!”

“Tidak lagi, Bu-te, aku harus... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan nyawanya.”

“Lee-ko, aku ikut...”

“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu waktu untuk mengembalikan ketenangan batin... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku pun sudah kusiapkan.” Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan istana itu dengan cepat.

Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya. Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tak menyenangkan tadi.

Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka mau pun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.

Kian Bu teringat akan suheng-nya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan enci-nya yang menurut kakaknya tadi seperti orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar enci-nya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.

“Siapa di luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.

“Aku, Enci Milana.”

“Oh, Bu-te. Kau masuklah!”

Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat enci-nya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah enci-nya pucat seperti orang sakit.

“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.

Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah. “Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?”

Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa enci-nya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.

“Dia... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”

Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.

“Bu-te, engkau... cinta kepada Syanti Dewi?”

Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi dia... dia tidak cinta padaku... dia mencinta orang lain...”

Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu. “Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, dari pada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”

Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasehat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.

“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”

“Entahlah... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia...!”

Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.

“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”

“Ehhh?!” Milana terkejut. “Mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”

“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya... Lee-ko juga mengalami patah hati.”

“Heiii? Patah hati bagaimana?”

“Dia sesungguhnya amat mencintai Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri.”

“Aihhh...!” Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?

“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”

“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”

“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini...”

Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.

“Kenapa tidak besok saja, Adikku...?”

“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar)... selamat tinggal, Enci.” Dia kemudian berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana enci-nya.

Milana mengerutkan alis, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.

Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang.

Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?

Tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?

Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.

Bukan wanita atau pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!

Tiada yang senikmat cinta sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi...,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apa bila AKU TIADA lagi.....

********************

“Apa kau bilang...?” Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.

“Hamba... hamba dengar... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...”

Milana menahan jeritnya. Sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun.

Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya!

Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguh pun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!

Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.

“Milana..., pergilah kau...!”

“Desss...!” Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.

“Cepat... pergi dari sini... tiada jalan lain, aku membunuh pemberontak itu...”

“Wirrr-wirrr-wirrr...!”

“Awas panah...!” Milana menjerit kaget.

“Cep-cep-ceppp...! Aughhhh...!”

Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu sudah menancap di lengan serta punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.

“Milana... maafkan aku... lekas pergi... surat di atas mejaku... kau berikan dia...” Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.

“Aiiihhhh...!” Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang nyaring dan menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!

Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biar pun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan duka cita itu dengan tertawa.

“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasehat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka cita!”

Untuk memperlihatkan bahwa dia ‘tidak ada hubungan’ dengan adiknya yang sudah memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia kemudian menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan musuh besar dan lawan tangguhnya itu. Milana masih terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.

Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, tanpa tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok, tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya sehingga Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang lalu menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.

Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Kini tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, tetapi biar pun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.

“Serr-serr-serrr...!” Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.

“Bedebah...!” Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu balik dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.

Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.

“Arrgghhhh...!” Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir.

Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jeri, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!

“Tidak ada yang kubiarkan hidup!” Milana membentak.

Begitu dia bergerak, kaki tangannya telah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu kemudian memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.

Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya.

Milana isteriku tercinta, Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.
Selamat tinggal.

Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong

“Ahhhhhh...!” Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya.

Dia maklum, dia pun mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanya dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu.

Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng!

“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”

Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!

“Jangan melawan!” kata Milana.

Cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, secepatnya dia mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu.

Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:

Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.

Tertanda :
Puteri Milana

Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biar pun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.

Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa! Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.

“Hei, mengapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”

Pasukan itu kemudian lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.

Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.

Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti kenapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan alangkah herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa justru kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!

“Paman Menteri, saya girang sekali, ahhh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi.”

“Ehh, kenapa begitu, Pangeran?”

“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”

Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya. “Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”

Pangeran Yung Hwa tersenyum. “Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat terbebaskan dari Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!

Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya!

Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Ada pun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.

“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan.”

Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapa pun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.

Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan baru yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan.

Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apa bila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.

Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membandingkan dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang lalu meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi sajalah yang dapat menyentuh kebahagiaan.....

********************

Hawa udara panas sekali. Terik mentari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.

Seorang pemuda duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu, membuka kancing bajunya dan meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.

“Uihhhh, panasnya...!” Dia mengeluh.

Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir. Tadi sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya.

Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk. Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini dari pada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.

“Dukk...!” Kepalanya membentur batang pohon.

“Heh-heh-heh, pemalas!” Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.

Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!

Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.

“Clekittt...!”

“Auwwww...!” Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.

“Sialan... semut merah!” gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa sangat gatal. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.

“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.

Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.

“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.

“Tidak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu kita diikuti oleh pasukan musuh.”

“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau dapat terbebas dari dia, kita berkumpul di dusun Ma-cin,” kata pula yang bercambang tebal.

“Baik!”

Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki kedua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.

Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu adalah anggota suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa kedua orang itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.

“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?” Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?

“Uuuhhh, pengejar tolol...!” Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas.

Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan orang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.

Pada usia delapan tahun
aku mencuri pandang di dalam cermin,
dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh
aku pergi ke pesta sincia
dengan baju baru berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas
aku belajar meniup suling,
hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!
Pada usia empat belas
aku tak berani bertemu pria,
menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas
aku menangis di dalam musim bunga,
dan menyembunyikan mukaku di balik pintu taman...

Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal baik sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah sajak ketiga!

Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apa lagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!

Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.

“Heiiitttt... eihhhh...!” Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang!

Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa seram. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.

Kian Bu melongo. Bagaimana dan bila mana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik, akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng mana pun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!

Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua makhluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.

Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.

Hujan musim rontok, hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apa bila angsa liar terbang datang...
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak...

Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.

Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Kalau tidak begitu, mau dia mempertaruhkan... kuncirnya!

Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali dia sudah lupa akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.

Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai hingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik, “Aku juga mau menjadi keledai itu!”

Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.

Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang ‘senyum mautnya’ karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!

“Selamat siang, Nona. Wahai... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...” Kian Bu menegur ramah.

Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi ‘telinga keranjang’ Kian Bu.

“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?” Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.

“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ketiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali... suaramu amat merdu, Nona...”

Dara itu membelalakkan matanya, dan sekali lagi tangannya bergerak....

“Treppp!” Payung itu telah tertutup. Sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai.

Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri. Akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biar pun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai, “Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!”

“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!”

“Hahhh...?!” Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang ‘keramat’ ini.

“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.

Kian Bu menggeleng kepalanya. “Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan...”

“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukanlah keledai melainkan seekor kuda.”

“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek...”

“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ketiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”

“Ahhhh...!” Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”

“Tentu saja hebat!” Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan... telinga itu menegang dapat menahan payung!

“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.

“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu.”

“Tanya? Tanyalah!” Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.

“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”

“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”

“Ihhh, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”

Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu. “Apakah kau mencari dia...?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi.

“Ehhhh...? Heeee, ke mana dia...?” Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya. Jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak.

Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, akan tetapi tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek. “Wah, ke mana dia? Apakah aku mimpi...?”

Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil yang merdu sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.

“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”

“Kakek tua renta...”

“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”

Kian Bu memandang dara itu. “Seorang wanita?”

“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”

Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu.

Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi ‘bocah’ ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!

“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?” Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.

“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah... aihh... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. “Pendeknya sikap yang genit dan centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?”

Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.

“Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?” Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil. “Beginikah genit memikat?”

“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ahh, sama sekali bukan!”

“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.

“Bukan! Bukan...! Ihh, menakutkan begitu mana bisa disebut memikat?”

“Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”

Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu. “Dasar engkau yang tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia selalu beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat...”

Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!

“Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan juga matanya menyambarkan kerling maut, seperti ini...”

Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga jika banyak lalat di situ, mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa sempat dia sadari. Seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep. Dasar bibirnya itu berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh dan berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, kemudian dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!

“Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya...” Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu.

Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona.

Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.

“Eh, kau kenapa sih?”

Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya. “Wah, engkau hebat sekali, Nona. Ehh, sebetulnya siapa sih yang kau cari itu? Dan mengapa kau mencarinya?”

Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata, “Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini.”

Kian Bu mengusap mukanya. “Wajahku kenapa sih?”

“Wajahmu seperti orang tolol... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?”

“Aku Suma Kian Bu, dan kau...”

“Namaku Siang In, she Teng.”

“Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya.”

“Hi-hik!”

“Kenapa kau tertawa, Siang In?”

“Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian.”

“Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari itu?”

“Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Ehh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kau cari-cari tadi. Siapakah dia?” Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.

“Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”

“Ihhh... aku paling ngeri dengan segala setan!” Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.

“Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat... ehhh, tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi... ehh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini...”

Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan. “Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!”

Dara itu cemberut. “Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!” Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya.

Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biar pun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya, dan pandainya bergaya seperti orang dewasa, gadis ini takut pula kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!

“Ah, Siang In, kau maafkanlah aku. Tadi aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku.”

“Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki kanannya.

Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut, “Nenekku yang baik, kau ampunkan cucumu ini!”

“Hi-hi-hik!” Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa.

Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

“Siang In, sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan kenapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu.”

Setelah bebas dari perasaan takut akan setan, sekarang sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli besinar-sinar.

“Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,” gadis itu memulai.

“Orangnya saja sudah sangat menarik, apa lagi riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.

“Eh, Twako... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita benar!”

“Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, juga suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?”

Siang In tertawa. “Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi...”

“Aduh kasihan...!”

“Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...”

“Juga cantik jelita jelita seperti engkau?”

“Ihhh, Twako. Engkau mata keranjang benar!”

“Lho, mengapa mata keranjang? Itu pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah enci-mu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!” Mereka berdua lalu tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.

“Tentu saja enci-ku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat.”

“Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?”

“Lengkap apanya?”

“Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!”

“Huhh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...”

“Ahhh...!” Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri.

Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.

“Ada apa?” Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.

“Ohh, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu.”

“Huh, kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka duduk kembali di atas akar pohon.

“Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”

“Ehh, bagaimana engkau bisa mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?”

“Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!”

“Lho, kenapa mencari-cari aku?”

Kian Bu lalu menceritakan tentang ‘keponakannya’ yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.

“Sayang, sekarang keponakanku itu sudah pergi entah ke mana sehingga biar pun aku berjumpa denganmu juga percuma.”

“Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”

“Oh, teruskanlah.”

“Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit-bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...”

“Genit pemikat...”

“Kok tahu?”

“Yang kau cari-cari itu tentu, siapa lagi!”

“Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun...”

“Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!”

“Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam...”

“Makannya!”

“Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?”

“Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?”

“Mandi.”

“Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”

“Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku kemudian melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biar pun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu.”

“Pek-liong (Naga Putih)...?”

“Itulah dia Pek-liong.” Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!

“Wah, kasihan sekali engkau, Siang In.”

“Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu.”

“Riwayatku? Aku orang biasa saja...”

“Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!”

“Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?”

“Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan... sudahlah, kau ceritakan riwayatmu.”

“Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan alam. Aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”

Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu. “Aku hendak mencari enci-ku dan perempuan genit itu.”

“Ke mana?”

Dara itu mengerutkan alisnya. “Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu masih ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu.”

“Mari kubantu engkau mencari dia dan enci-mu.”

“Ke mana?”

“Ke mana saja, dan karena menurut penyelidikanmu wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun.”

“Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan.”

“Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!”

Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar pun keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.

“Kenapa tidak kau tunggangi?”

“Ahhh, tidak. Lebih enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!”

“Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu.”

“Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya,” Siang In menantang.

Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.

“Kau maju sedikit, beri tempat untukku!” Siang In berseru.

Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.

“Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!” Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya.

Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang mana pun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai ‘sastrawan lemah’ maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan. Hmm.....

Siang In menghentikan keledainya dan tertawa. “Bagaimana? Apakah kau masih berani menghina Pek-liong?” Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.

“Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In.”

Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, jika dilihat dari jauh seperti sepasang muda-mudi sedang bertamasya saja layaknya. Betapa indah hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa!

Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.

“Perutku lapar...” Siang In berkata sambil menekan perutnya.

“Sama...” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”

Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.

Ternyata mereka berdua ‘lolos’ dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.

“Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.” Demikianlah kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.

Tiba-tiba mereka kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan, membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.

“Aahhhh...” Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.

Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita yang cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas. Wanita itu sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.

“Itu dia...!” Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Dengan cepat Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.

“Brussss...!”

Tanpa dapat dicegah lagi Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.

Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya, “Maafkan saya, Nona. Untunglah tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit...?”

Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah, “Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?”

Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata, “Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah...” Kian Bu setengah menarik tangan Siang In.

Dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, Siang In lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.

“Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”

“Eh, orang buta mana?”

“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”

Kian Bu tersenyum. Biar pun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!

“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”

“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!” Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.

“Eh... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi... dua bakmi kuah dan...”

“Kau makan saja sendiri!” Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.

“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.

“In-moi (Adik In), jangan marah ah...”

“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu tadi menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.

“Dia siapa?”

“Si Genit!”

“Ohh...”

“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”

Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itukah yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.

Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu, akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!

Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.

Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas.

Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, suasana di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.

“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.

“Bagaimana dengan Pek-liong?”

“Kita tinggal saja.”

“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong...!”

“Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!” Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata, “Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”

Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali, dan binatang itu meringkik terus berlari congklang pergi dari tempat itu dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!

Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja tentu merugikan dirinya, karena biasanya perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih...

“Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.

Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!

Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir. “Tidak usah kembali, terus saja!” Siang In membentak.

“Aihh, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.

“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”

Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!

Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura. “Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi.”

Mau tidak mau Siang In pun harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun cepat meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.

Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. “Ahh, celaka...,” bisiknya.

Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka. “Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.

“Mereka... mereka... bajak sungai...” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu...”

“Jangan takut!” Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.

“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...,” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang tinggi besar dan kelihatan bersikap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa, “Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”

Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi, “Celaka...!”

Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, lalu bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.

“Ahhh, bagaimana ini, Bu-twako?” Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.

Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!

“Bu-twako...!” Siang In memeluk Kian Bu erat-erat sehingga membuat pemuda itu makin gelagapan.

Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan dari pada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.

Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah masing-masing kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu itu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Dia rugi besar-besaran di hari itu, sungguh pun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.

Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biar pun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang juga terbelenggu dan sudah mulai siuman.

Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, kemudian memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.

“Aihhh... di mana kita?” Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.

“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.

Dia sudah memeriksa tali belenggunya, dan kalau mau, tentu dia dapat mematahkan belenggunya itu biar pun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sinkang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biar pun mungkin tinggi namun sinkang mereka belumlah begitu kuat.

“Tenang...!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apa lagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan.”

Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri. “Aih, Twako, bagaimana ini...?” keluhnya.

“Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.

Siang In cemberut. “Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu.

Semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan mau pun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang suku Nomad yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.

Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi.

Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu.

Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.

Memang tidak salah penglihatan Kian Bu, orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara.

Biar pun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Ada pun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!

Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.

“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”

Siucai itu memandang penuh perhatian, kemudian membentak kepada lima orang itu. “Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.

Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan nadanya memandang rendah, “Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”

Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak, “Keparat! Kiranya engkau adalah Panglima Jayin dari Bhutan!”

“Matamu masih awas, Yu-siucai!”

Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira, “Ha-ha-ha, siapa kira kita bisa menawan tokoh kedua dari Bhutan! Ahhh, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang itu. “Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”

Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka tampak girang sebab mereka telah membuat jasa besar.

Yu-siucai lalu memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.

“Kalian siapa?!” bentaknya.

“Maaf, Taijin (Pembesar)...” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In... kami berdua sedang menumpang perahu... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini...” Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng she-nya (nama keturunan).

“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa.”

“Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”

Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan telah menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu kini sedang bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.

“Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”

Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.

“Plak-plak!”

Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, namun dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.

“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”

“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”

Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah dari pada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!”

Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata, “Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya.”

Yu-siucai mengangguk. “Hemm, sungguh kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!”

Kembali dua belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu Raja Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar.

Suasana pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir di setiap meja di ‘hias’ dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!

Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum sampai ada yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak ‘nyeni’ atau yang suka akan seni musik!

Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat yang berlangsung di ruangan itu.

Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu sebentar.

Kian Bu tetap memegang kedua tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya terbelenggu itu tidak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang, hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan orang-orang kasar dari golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai mereka di dalam pesta awut-awutan itu.

Dari bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian Bu agak gentar hatinya mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia lalu melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, mendekati panglima itu, lalu berbisik,

“Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?”

Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.

“Dia berada di istana kaisar, di kota raja,” Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau didengar orang lain.

Panglima itu mengangguk-angguk dan terlihat girang. Panglima yang setia ini memang merasa girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, akan tetapi hal itu bukan apa-apa baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman, di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.

Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga tak peduli akan keramaian di sekitarnya.

Di sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke kepalanya.

Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir!

Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat. Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh dua ekor gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Benar-benar dia berada di tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak boleh dipandang ringan!

Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut putih semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya!

Tangan kakek itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa, tidak ada kursinya, apa lagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dengan hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat ini menjadi sarang orang-orang pandai.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk! Tambolon agaknya menjagoi sang pemenang, buktinya dia bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.

“Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kau lihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk kegembiraan ini!” Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa, tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!

“Enci Siang Hwa...!” Mendadak Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah enci-nya yang juga sudah melihatnya.

“Adikku...!” Pengantin wanita juga menjerit dan menangis.

Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan memandang bengong. Pengantin wanita dengan kerudung terbuka bangkit berdiri mengembangkan kedua tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari terhuyung menghampirinya sambil menangis juga.

Melihat ini, Yu Ci Pok yang semenjak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!

“Siang In...!”

Pengantin wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, namun Tambolon yang menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.

Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba, belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Kian Bu dan... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara “huhh!” ketika melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu patah-patah!

“Enci... kenapa engkau menjadi begitu...?”

“Adikku... aku... aku dipaksa...”

“Bocah lancang, kau bosan hidup!” Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak memukul Siang In.

Melihat ini, Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya pun terasa panas. Lengkingan yang tinggi dan nyaring mengejutkan semua orang dan turut menambah kekacauan keadaan, bahkan beberapa di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan menutupi telinganya, ada yang menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu adalah pengerah khikang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung!

Dengan kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sekuatnya. Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka berkerutukan seperti orang menderita sakit demam!

Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu.

Dari belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan, tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya. Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.

“Pyaaaarrrr...!”

Petani Maut terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi butiran-butiran es karena beku oleh hawa mukjijat dari Swat-im Sinkang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon.

Panglima Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin bersama keempat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah di tempat itu.

Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali.

Keributan menjadi makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu. Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah menjilat atap!

Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan hendak menyambar ke arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung dan terpisah.

“Hayo cepat kita pergi dari ruangan ini!” Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.

“Dukkkk...!” Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut putih telah berdiri di depannya.

Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tak dapat melindungi Siang Hwa. Namun melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon. Itulah pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Tambolon kembali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa menyambar dia kemudian menangkis.

Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu menubruk ke depan, tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wanita.

Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui sebuah pintu rahasia.

Api mengamuk makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk. Sekarang mulailah penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba memadamkan api yang mulai menjilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua orang lebih memperhatikan amukan api dari pada para tawanan itu.

Bahkan agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya, terbakar menjadi arang dan abu. Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu, dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita.

Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu berlari ke luar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar?

Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata, “Harap para tamu jangan pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita bersenang-senang!”

Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih!

Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang, yang berupa puing menggunung. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh kekeh dan tumpukan debu arang dan kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan segar bugar, hanya kotor penuh debu.

Tidak ada luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang masih membara itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri. Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya!

Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya, “Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?”

Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa, “Aku sedang melamun, tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?” Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan mengganggu aku!”

“Siapakah yang Subo cari?” Tambolon bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kau kira siapa yang menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap dia!”

Tambolon terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun masih muda dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin tidak cocoklah mereka dan sering kali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu.

Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir isterinya yang lebih lihai dari padanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya, kembali ke pedalaman. Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya.

Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau tadi. “Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?”

“Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!” Nenek itu berkata sambil berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti pakaiannya.

Pesta itu tetap dilanjutkan juga pada malam harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar