Kisah Sepasang Rajawali Jilid 41-45

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 41-45 Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri!
Anonim
Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh ‘pengantinnya’ itu dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi! Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh, dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelinci yang diterkam harimau.

Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa dia akan ‘awet muda’ dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian seorang gadis ke dalam tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mukjijatnya jika dia memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban seorang gadis.

Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu ‘dioperkan’ kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya. Betapa pun juga, tentu saja untuk membangkitkan birahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik.

Ketika membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, Siang Hwa bertemu dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan ‘isteri’ lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan mendapat ‘isteri’ baru itu untuk mengundang para pimpinan suku bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan kedua memperoleh korban seorang perawan baru.

Demikianlah, dengan wajah berseri-seri sungguh pun tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang In, “Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...”

“Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku...!” Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.

“He-he-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!” Tambolon menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

“Heh-haaa?” Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di punggungnya!

“Ehh, Nona cantik, siapakah kau...?” Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biar pun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!

“Tambolon, kau bebaskan bocah itu.”

“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”

“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!”

“Ahhhh...!” Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata, “Manis, kau tunggu sebentar di situ!” Kemudian ia menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.

“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya menentang Tambolon?”

“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh kau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong hingga terjadi saling serang dan akhirnya kita dihancurkan semua oleh pasukan pemerintah? Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”

Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu dari pada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.

“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?” Kemudian dia melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.

“Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu.”

“Kalau aku menolak?”

“Hi-hi-hik-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”

Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya. Tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.

“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon lalu loncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.

“Hemm, bagus...!” Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri.

Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit dengan lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat pemerah pipi).

Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biar pun benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.

“Darrrrr...!”

Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.

Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguh pun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.

Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.

“Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?” Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.

“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!” Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In.

Dara ini makin heran, tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan sekarang mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.

“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, lalu mencuri kitab ini. Sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon kemudian mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”

Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, “Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, ehh, adik kecil yang baik, siapa namamu?”

“Aku Teng Siang In.”

“Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah tidak?”

Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut dari tangan Tambolon, sekarang dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab, “Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini agaknya tidak ada gunanya bagimu.”

“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja.” Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya.

“Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suheng-ku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suheng-ku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suheng-ku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari Dewa Bongkok....” Mauw Siauw Mo-li berhenti sejenak untuk menarik napas.

“Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya berisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu.”

Siang In mengerutkan alisnya. “Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi oleh enci-ku, dan aku hanya bisa mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enci-ku sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enci-ku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”

Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini. “Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!”

“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku masih berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...”

“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”

Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu.....

Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin sekali merupakan naga terakhir di dunia ini. Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar matahari.

Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sinkang.

“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun, berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”

Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. “Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...”

Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?”

Siang In cemberut. “Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapa pun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”

“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang pasti lebih mengerikan dari pada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon.” Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap.

Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka kemudian dia melanjutkan perjalanan melarikan diri.

Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama enci-nya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu.

Kini, dia melakukan perjalanan mencari enci-nya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apa lagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur.

Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan kedua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan kedua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!

Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,

“Ahhh... kalau saja Pek-liong berada di sini...” Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapa pun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimana pun.

Para pengejar semakin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan mata dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.

“Celaka...!” Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!

“Biar aku melawan sampai mati!” Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!
Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan dari pada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!

“In-moi...!”

Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara enci-nya Siang Hwa!

“Cici...!” Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya saat dia melihat Kian Bu bersama enci-nya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.

“Bu-koko... kau tolonglah aku...” Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu.

Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.

“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!” Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.

“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali ‘pengantin kedua’ ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.

Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.

“Plakk!” Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.

“Lepaskan aku...!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Keparat, Lepaskan dia!”

Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu pesat melayang ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.

“Dessss...!”

Kian Bu telah mendorong dan mengerahkan sinkang-nya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.

Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!

Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini juga belum mengenal See-thian Hoat-su, bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!

Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu.

See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata, “Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”

Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu kedua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi ginkang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.

Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Namun mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru, “Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!”

Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.

“Awas anak panah!” Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri.

Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”

Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.

Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.

“Heiittt, wuuhh, tidak kena... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan kau rebahlah!” Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu.

Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguh pun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.

“Awas pinggir rakit!” Kian Bu berteriak.

Cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya sekarang mereka telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.

“Auuhhh...!” Salah seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si Petani Maut.

“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit.

Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.

“Lepas anak panah...!” perintahnya.

Kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.

“Cici...!” Siang In menubruk enci-nya dan alangkah kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa punggung enci-nya terluka hebat dan ketika dia mendekap enci-nya, Siang Hwa mengerang lirih.

“In-moi... kau... jaga dirimu... baik-baik...” Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas seketika.

“Enci Siang Hwa...!” Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk enci-nya yang sudah menjadi mayat.

Melihat ini, Kian Bu menjadi semakin gemas kepada See-thian Hoat-su, “Kakek yang menjemukan! Kau membantu kami ataukah membantu musuh?” teriaknya.

See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.

“Ehh, ohhh, kenapa menangis...? Kenapa dia?”

“Enci Siang Hwa... telah... tewas...!” Siang In menangis.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa pula ditangisi? Apa kau ingin melihat enci-mu hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang enci-mu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau malah menangis!”

Siang In tidak mempedulikan kata-kata yang aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat enci-nya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah enci-nya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini. Enci-nya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang enci-nya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini.

Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka. Andai kata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam waktu singkat.

Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biar pun di antara para pengeroyok itu sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.

Sementara itu, langit di atas mereka berkumpul awan mendung yang menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sibuk bertempur. Pada waktu itu Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa amat penasaran bahwa dengan banyak anak buah belum juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu.

Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Tetapi, walau pun mereka tidak atau belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai terbakar!

Salah seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.

Pada saat itu tiba-tiba turun hujan dengan derasnya seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin yang kencang. Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat.

Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tak dapat menahan mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegangan kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi sudah turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat sehingga rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.

Rakit yang membawa para pelarian itu pun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis karena jenazah enci-nya tidak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat enci-nya yang tahu-tahu telah lenyap disambar air.

“Enci...!” Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat enci-nya.

“In-moi, jangan...!”

Di antara deras air hujan yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, namun Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air yang mengganas.

“Bu-twako...!” Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.

“In-moi... ah, In-moi...”

Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempas lagi ke bawah dan dia pingsan. Tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Mungkin saja karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong.

Andai kata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justru perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya menjadi lemas dan tidak pernah melawan saat dipermainkan air dan agaknya air sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak.

Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkan ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah masih di dalam air.

“Siang In... kasihan kau...” Kembali dia mengeluh.

“Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan...” Terdengar suara halus berada di dekatnya.

Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang mata bening yang menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.

“Kau... kau siapakah...?” Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.

Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.

“Namaku Hong Kui... she Lauw... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...” Suara wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang menyambar-nyambar.

Heran sekali, ketika melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!

“Jadi... engkaukah ini...?” Dia meloncat berdiri.

Wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.

“Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.

“Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?” Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. “Bukankah engkau yang... eh, mencuri kitab dari dara itu?”

Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu.

Tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.

“Ahh, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ahh, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Akulah yang mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka.”

Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika membuat api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak dengan penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.

“Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...”

“Aihhh, jangan kau menyebut aku Toanio, Kongcu...,” wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil tertawa. “Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah menjadi sahabat?”

“Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...”

“Hi-hik, engkau sungkan benar..., biarlah kau menyebut aku... enci, karena aku memang lebih tua darimu dan kau... eh, siapa sih namamu?”

“Aku Kian Bu, Suma Kian Bu.”

“Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kini kita sudah bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau bersaudara?”

“Terima kasih... Enci Hong Kui, engkau baik sekali.”

Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu kering.”

“Aku harus segera pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku.”

“Ehh, yang lain-lain siapakah?”

Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.

“Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan enci-nya yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui.”

Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. “Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita menanti sampai besok dan aku pasti akan membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak.”

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguh pun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk mencari Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali, sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.

“Sungguh kasihan sekali Siang In...” Kian Bu berkata ketika dia sudah kembali duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.

“Eh..., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa saja.

“Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari yang lalu saling berjumpa dalam hutan.”

“Ah, kukira pacar atau... calon isteri.”

“Hemmm, aku masih belum bertunangan,” Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu

Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun. “Kian Bu, engkau makanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi, masih lunak. Marilah!”

“Terima kasih.”

Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan hangat.

Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum mengulurkan tangannya yang memegang guci arak. “Minumlah... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras.”

“Mana cawan atau mangkoknya?” Kian Bu menerima guci.

“Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kau minum saja dari guci itu.”

“Tapi... tapi... ini guci arakmu dan...”

“Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?”

“Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?”

“Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci.”

“Kalau begitu, kau minumlah dulu!” Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.

“Hi-hi-hik, engkau seperti anak kecil saja.” Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci dan mereguk sedikit arak, lalu menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah, giliranmu minum!”

Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.

Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, pada waktu Kian Bu duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di bagian punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguh pun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon.

Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.

“Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang yang datang...” Mauw Siauw Mo-li berbisik.

Tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.

“Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk...”

Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk dekat api unggun ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.

Yang datang itu memang benar adalah sisa-sisa anak buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang di antara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suheng-nya yang lihai.

“Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui berkata marah sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada. “Sudah beberapa kali engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada kami.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini, jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup.” Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui, wanita cantik yang kesenangannya merasa terganggu itu berkata sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.

“Perempuan sombong! Kau kira aku takut kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.

“Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu, “Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!”

Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu. Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai! 

Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini ternyata tidak membohong ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak perlu sekali, sungguh pun dia telah siap karena maklum betapa lihainya dua orang pembunuh utama Tambolon.

“Mampuslah...!”

Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.

Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biar pun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak buahnya.

Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.

“Singgg... wirrr...!”

Pikulan itu berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li. Namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.

“Tring-tring-tringgg...!”

Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.

Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itu pun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan.

Betapa pun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, meski pun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.

Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.

“Iblis betina banyak tingkah!” teriaknya.

Dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.

“Cring-cring-cring-tranggg...!”

Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.

Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap...!”

Terdengar bunyi ledakan keras. Empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat berlarian cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang sangat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui datang menghantam punggungnya yang biar pun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.

“Wuuuttt... desss!”

Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan. Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sinkang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.

“Enci Hong Kui... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka...?” kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.

“Kian Bu, awas...!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.

Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.

“Plak-plak-bresss...!”

Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sinkang. Batang pikulan Liauw Kui yang tertangkis membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.

Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.

“Awas peledak...!” Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh.

Tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.....



Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu sudah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.

“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.

“Kian Bu... kau... tak kusangka... aihhh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya... kau hebat, aku kagum sekali padamu...”

“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”

Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya. Jari-jari tangan wanita itu lalu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat olehnya akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu.

Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata, “Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”

Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu birahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya, kemudian menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi dari pada kepandainnya sendiri.

“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tak suka kepadaku. Aku benci sekali, apa lagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...”

Kian Bu tersenyum. “Enci Hong Kui, biar pun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka...”

Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. “Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?”

“Engkau memang cantik dan genit memikat...” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biar pun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...”

Kian Bu telah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.

“Ehhh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau ingin pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku pasti akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”

“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”

“Kau tetap nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biarlah aku menemanimu.”

Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.

“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini.”

Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.

“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku? Selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In. Mengapa?”

Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan walau pun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang.

Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua hasrat petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika mendadak dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!

“Ehh, Enci..., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.

Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk, “Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...” Air matanya bercucuran.

“Eh, apa maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.

“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut..., karena itu aku membantumu sekuat tenagaku hanya... hanya agar supaya engkau menaruh kasihan kepadaku...”

“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekali pun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu tidak akan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”

Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan. “Benarkah, Kian Bu? Ahhh, benarkah kau sudi menolongku? Aku... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...”

“Ada suheng-mu...”

“Suheng-ku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...”

“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia suci-mu...? Ahhh, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...”

“Andai kata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi dari pada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu.”

“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”

“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tak akan mungkin berhasil. Karena itu, aku mohon kepadamu..., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu pun menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!

Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”

“Terima kasih... ohh, terima kasih...!” Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.

“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”

“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku.”

Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan birahinya karena dia tak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itu pun dia sudah merasa puas!

Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu?

Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suheng-nya dan kini sedang menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.

Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapa pun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya saat dia dilatih sinkang di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.

Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabui oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabui seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu.

Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapa pun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikiran yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula. Pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.

Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu saja mampu membedakannya. Karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya itu tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya hingga terlihat amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah hingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!

Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu birahinya telah terangsang dan ingin dia segera merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.

Pada dasarnya Suma Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi.

Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sinkang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mukjijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.

Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi.

Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.....


********************


Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya hingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.

Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguh pun tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.

Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya. Teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya namun ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supek-nya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak terduga-duga olehnya. Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan pandai.

Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian mala petaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas dirinya!

Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.

Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, kenapa nasibnya begini buruk?

Ayahnya..., ahh, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.

“Hemm, sebulan lagi...!” Dia berkata sambil membuka matanya.

Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.

“Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?” Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguh pun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa.

Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.

“Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya.

Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya. “Aku harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...”

Ceng Ceng menghela napas. “Aku bukan ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin sekali tahu apakah engkau ini adalah seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...”

“Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...”

“Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan menyelamatkan diriku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya hingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...”

“Aku memang sudah tua, Bengcu...”

“Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...”

“Terserah kepada Bengcu...”

“Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apa lagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu.”

“Ehhh...?!” Topeng Setan berseru heran.

“Aku bukan she Lu, aku she Wan... ahhh, aku sendiri baru tahu. Namaku adalah Wan Ceng, nama terkutuk...”

Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. “Bengcu..., mengapa... mengapa begitu? Apa yang terjadi?”

“Paman, maafkan, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...”

“Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apa lagi dengan luka yang kau derita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka.”

Ceng Ceng tersenyum. “Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka?”

“Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, tetapi kau tidak akan mati...”

“Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, namun tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari... Paman... ehhh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...”

“Ahhh...! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”

“Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat, akan tetapi itu pun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...”

“Cukup, Ceng Ceng. Jangan lagi kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu.”

“Siapa...?”

“Aku sendiri!”

“Aihhh... Paman... engkau yang telah menolongku berkali-kali... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?” Ceng Ceng berteriak sambil loncat berdiri dengan mata terbelalak. Wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, dan kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.

Topeng Setan mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu.”

Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, “Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng.”

“Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri.”

Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lama dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.

“Bagaimana Paman?”

“Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...”

Ceng Ceng terkejut. “Kalau begitu... benarkah bahwa aku... aku akan mati dalam waktu sebulan?”

Topeng Setan menjawab cepat. “Tidak! Memang demikian kalau tidak ada orang yang mengobati, akan tetapi aku pasti akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku pasti akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!”

Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.

“Dia memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri... biar pun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu.”

“Dan obat itu tak mungkin didapatkan...?” Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal paling buruk sekali pun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.

“Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain.”

Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.

“Kau lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang nanti kulakukan kepadamu, janganlah kau lawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah,” terdengar suara Topeng Setan berbisik.

Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya ‘terbuka’, dan melemaskan seluruh urat serta menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, “Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu? Paman... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sinkang dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”

“Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu untuk mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!”

Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikit pun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apalah artinya bahaya lain lagi yang mungkin dapat mengancamnya dalam cara pengobatan ini?

Gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung serta pundaknya itu kemudian berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka.

Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!

Kedua tangan yang lebar itu sekarang gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran.

Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapakah yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan kenapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.

Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng belum menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan.

Namun dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya. Tak dapat ditahan lagi, dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup banyak!

Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, “Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...”

Bagai terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng kemudian merebahkan diri terlentang. Bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!

Ketika terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia ingat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng lalu bangkit duduk dan memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.

“Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, ehhh... apa yang kau lakukan ini?”

Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!

“Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah dengan cara bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman.”

“Ehh, kau... kau... jangan begitu!” Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.

“Ceng Ceng, janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang telah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu.”

Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, kemudian duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, “Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?”

“Karena... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”

“Ahh, harap engkau jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi dari pada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau... mengapa kau selalu menolongku?”

Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. “Mungkin karena aku merasa kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini saja dan aku sudah mencari air minum.” Dia mengangkat sebuah guci penuh air. “Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguh pun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mukjijat itu.”

“Anak naga...?”

Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yang masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apa bila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apa lagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tidak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya, “Paman, kalau obat mukjijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita menangkapnya?”

“Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, dan biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu.”

“Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?” Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. “Kalau gagal memperoleh obat mukjijat itu, akhirnya aku akan mati juga?”

Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya.”

“Jalan apa, Paman?”

“Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat.”

“Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...”

“Aku tahu, Ceng Ceng. Namun harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah makanya engkau sampai terjeblos mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan.”

“Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu.”

“Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya terlebih dahulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu sudah pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.

“Ceritanya begini....” Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian......


********************


Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka.

Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari. Tiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.

“Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain,” Topeng Setan melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih asli dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di dalam tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mukjijat itu, Ceng Ceng.”

Gadis itu menjadi girang sekali. “Terima kasih, Lopek. Aku pasti akan suka melatihnya dengan giat.”

“Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguh pun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan.”

Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.


Gerakan Pertama :

Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan, tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.


Gerakan kedua :
Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Kemudian tarik ibu jari (ditegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.

Gerakan ketiga :
Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, jangan pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.

Gerakan keempat :
Rapatkan kedua kaki. Kepal dua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.

Gerakan kelima :
Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke enam :
Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Lalu bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Kemudian keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke tujuh :
Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali. 

Gerakan ke delapan :
Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke sembilan :
Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sepuluh :
Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Kamudian tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sebelas :
Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.

Gerakan kedua belas :
Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan kerahkan tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali.


Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.

“Kau latih gerakan semua itu, ulangi dari yang pertama sampai kedua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan.”

“Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak seberapa berat bagiku.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab. Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sinkang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.

“Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!” Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.

“Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”

“Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!”

Topeng Setan memandang heran. “Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?” Ceng Ceng duduk di atas tanah.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tik ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!”

“Wajah siapa yang kau maksudkan?” Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.

Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab, “Siapa lagi jika bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andai kata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!

“Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu?” Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran oleh karena merasa kasihan.

“Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu.”

“Hemm..., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?”

“Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, Namun tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya.”

Hening sejenak. Topeng Setan hanya menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, “Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?”

“Tentu bisa, Paman” Ceng Ceng berkata penuh semangat. “Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman.”

Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.

“Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...,” katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.

“Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.

“Entahlah... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng menjawab.

Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. “Begini?”

“Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...”

Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.

“Nah... nah, begitu sudah lebih mirip... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kuncirnya panjang membelit leher dan pundak... ahh, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih nampak... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...”

Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.

“Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati... aihh... mengapa berbeda...?”

Ceng Ceng lama memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu, 

“Hemmm... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu dia... ahhh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!”

“Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip.”

“Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...”

“Ehh...?! Seperti binatang buas?”

“Ya, seperti... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!”

“Aihh, aneh betul mata orang itu.”

“Memang aneh, Paman. Dia seperti... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan bersinar penuh api. Nah, begitu, Paman... ya, ya... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan... ehh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!

Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.

“Beginikah dia...?” Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng.

Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.

“Plak-plak! Brettt... reeeetttt...! Mampus engkau, jahanam...!” 

Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan.

Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis. Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih, “Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?”

Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun. “Benci? Tak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apa bila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!”

Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, “Alangkah hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya.” Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. “Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?”

Ceng Ceng menghapus air matanya, kemudian dia menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman.”

“Ke mana engkau hendak mencarinya?”

“Ke mana saja, ke ujung dunia sekali pun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu... ahhh, gambar itu kurusak...” Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.

“Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik dari pada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.

Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat pintu.

“Bung, saya ingin bertanya kepadamu,” katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.

“Tentu saja, Nona...” Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.

Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil dia berkata, “Harap kau lihatlah baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia berada?”

Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet. “Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah... ehhh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona... hemm...”

“Heiiii...! Subo (Ibu Guru)...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. “Kiranya Subo berada di sini...?”

Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja telah berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ. 

Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk diajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.....



“Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?” Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.

“Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku lalu menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku?”

“Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu.”

“Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?” Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. “Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu?” Biar pun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.

Wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. “Ihhh... lancang amat mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini di mana.”

Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. “Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan.”

Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata, “Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!”

Hwee Li mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu.”

Ceng Ceng mengangguk tak sabar. “Baik, baik, nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.

“Eh, Nona... agaknya Nona kehilangan pacar? Dari pada mencari orang yang tidak ada, aku... ehh, aku pun masih membujang.”

Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. “Apa... apa maksudmu...?”

Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona adalah seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup selalu senang dan... aughhh!” Tukang bakpao itu tidak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus!

Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang sangat panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!

Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya, “Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?”

“Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”

“Hei...?!” Topeng Setan terkejut bukan main. “Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?” Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. “Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?”

Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. “Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apa bila kami saling bertemu, apa lagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subo-nya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia kemudian membebaskan aku...”

Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”

“Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku.”

Topeng Setan menghela napas. “Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk dipergunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini sengsara...!” Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya.

Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan sekarang makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!

“Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”

Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.

“Paman, engkau selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau jelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman.”

Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, “Engkau... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...”

“Ya...? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?”

“Dia... dia telah mati...”

“Ouhhh...? Maafkan, Paman...”

“Dia mati... karena aku yang membunuhnya...”

“Aihhhh...!”

Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.

“Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya... padahal... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?”

Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. “Aku telah gila... aku telah melakukan dosa besar dan karena itu... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...”

“Aihhh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu... sampai mati olehmu, tentu dialah yang bersalah... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...”

“Cukup...! Dia baik dan suci seperti dewi... akulah yang jahat...”

Melihat keadaan Topeng Setan yang amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.

“Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang telah lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...”

“Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tidak kunjung habis...”

“Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman.”

Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.....


********************


“Aughhhh...!” Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali.

Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi kini dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.

“Bagaimana...? Pening sekalikah kepalamu...? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...”

Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apa lagi ketika perasaannya mulai makin sadar, membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!

Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!

Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali, “Aihhh... Enci Hong Kui...?”

Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, “Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku... ehh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening...?”

Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya bagaikan seorang kakak perempuan yang mencinta adiknya? Akan tetapi... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.

“Ti... tidak, Enci. Terima kasih. Ahhh, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...,” dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi mencari mereka...”

Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.

Melihat wajah Kian Bu yang berduka serta khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata, “Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami mala petaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka.”

Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu, Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya, “Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”

“Mudah saja. Mala petaka yang dapat menimpa mereka hanya ada dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke dalam air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang kedua adalah bahwa mereka jatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua mala petaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andai kata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andai kata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini.”

Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apa lagi melihat gadis itu telah kehilangan enci-nya. “Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”

Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali, “Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tidak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih dapat memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii... sungguh menggemaskan!” Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.

Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. “Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali...!”

Kian Bu memandang tajam, kini kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biar pun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, maka bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada! 

Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya dari pada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita dapat merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun!

Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.

“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.

Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu semakin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.

“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan.”

Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega oleh karena kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena agaknya wanita ini menggantungkan harapannya kepadanya.

“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali.”

Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. “Engkau... engkau baik sekali...” Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu.

Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biar pun usianya baru tiga puluh tahun, tetapi telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tak diingatnya lagi.

Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat!

Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi dari padanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!

Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu birahinya. Dia bersikap hati-hati dan biar pun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!

Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau.

Andai kata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andai kata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang ‘baik-baik akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo.

Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan segenap kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.

Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya telah bergerak meloncat, lalu menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!

Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu.

Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, “Ular... ahh, Kian Bu, ada ular...!” matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.

Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.

“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...”

“Aihh... maafkan aku, Kian Bu...” Hong Kui menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi tahu... aku... aku paling takut melihat ular...”

Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali dia menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.

“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”

“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andai kata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...”

“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?”

“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya... tapi... ehhh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...” Wanita itu lalu menunduk.

Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.

“Enci Hong Kui, di antara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi.”

“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya.

“Pada suatu hari saat aku tertidur dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan... dan... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam... celanaku, di paha...”

Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.

“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian... ternyata... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan.”

Hening sejenak. Entah mengapa, saat membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang sehingga beberapa kali dia menelan ludah. “Memang... memang mengerikan...,” komentarnya pendek.

“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, jangankan anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!”

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Dan ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya sangat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”

“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...”

Hong Kui mengerling penuh celaan. “Habis ada engkau untuk apa?” katanya menegur sambil tersenyum. “Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh.”

“Baiklah...” Kian Bu kemudian duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu.

Memang siang hari itu hawanya sangat panas dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biar pun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apa lagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!

“Eiiihhh... ular... tolong... Kian Bu...!”

Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai.

Celaka, pikirnya, kalau saja tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Karena itu dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.

Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.

Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah sebab merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walau pun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!

Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan, “Ular... ular...”

Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular. “Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”

Wanita itu kembali mengeluh, lalu tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. “Ehh... ahhh... aku tadi sedang mandi... ada ular hitam menjijikkan...”

“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...”

“Dan aku...” Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, “...aku tadi sedang mandi... kutanggalkan pakaianku...”

Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui.”

“Aihhh... engkau... engkau baik sekali, Kian Bu.”

Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon mau pun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.

Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan sering kali Kian Bu termenung. Dia tidak tahu betapa Hong Kui sering kali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu birahi yang berkobar.

Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu birahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan birahinya. Apa lagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam tersenyum atau berkata-kata, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.

Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.

“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka hendak kurayakan. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?”

Wajah Kian Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura yang dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.

“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”

Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, “Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci”

“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.

“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”

Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. “Cobalah engkau terka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?”

Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua dari pada nampaknya, mengingat bahwa suheng-nya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan suci-nya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, “Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”

“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. “Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek...” Dia menarik napas panjang.

“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan... dan...” Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.

“Ya...? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”

Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka! 

Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak telah membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia kemudian melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.

Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sinkang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sinkang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya.

Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.

Ketika kucing itu tak hanya menjilat, tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.

“Enci...” Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar.

Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini malah membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.

“Kian Bu... Kian Bu... kasihanilah aku...” Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, lalu memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.

“Enci... apa... apa artinya ini...?” Kian Bu gelagapan.

“Artinya... bahwa aku... aku cinta padamu, Kian Bu... kau kasihanilah aku...,” tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu.

Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu birahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu sering kali melamun dan pada waktu berhadapan sering kali melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki. 

Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu birahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.

Keesokan harinya, saat mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu birahinya.

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai dari pada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu birahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.

Demikianlah, Suma Kian Bu, seorang pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu birahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu. 

Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri, juga adalah seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari sering kali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.

Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.

Mendadak terdengar suara orang tertawa. “Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!”

Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Kemudian dari belakang mereka sudah muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka.

Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia dapat mengenali nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan... senjata rahasia itu meledak di udara!

“Aihhh...!” Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.

Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, “Mari kita pergi!”

Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.

“Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?” terdengar Si Petani membentak.

“Bresss!”

Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh, “Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah...!”

“Enci Hong Kui...!” Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita yang menjadi kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.

“Haiii... pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah..., berhentilah kau..., jangan berlari lagi... berhenti...!”

Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali tidak mau mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.

Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya. “Kian Bu, kekasihku... kau telah menyelamatkan aku...” 

Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.

“Tempat ini sunyi dan teduh... kita lanjutkan yang tadi terganggu oleh orang...” Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.

“Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus pada waktu ruangan pesta Tambolon terbakar.”

Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.

“Dia memang bukan manusia!” katanya bersungut-sungut. “Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon.”

“Sebetulnya tidak terlalu aneh,” Kian Bu berkata. “Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khikang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sinkang, atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka...!” Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya. Dia teringat bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apa lagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.

Akan tetapi, pemuda ini terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.

Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya, dia lalu pura-pura tak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mukjijat!

Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah salah seorang putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia dapat menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cengkeramannya.

Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. “Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!”

Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dirinya sendiri memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main.

Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tidak lama kemudian mereka melihat bahwa dari arah kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta kedua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.

Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.

“Eh, kenapa kau tersenyum?”

Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. “Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita.”

Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan ginkang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.

“Hi-hik, enak di sini...!” Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.

“Hishhh... jangan di sini! Siang-siang begini... dan malu kalau kelihatan orang!” Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.

Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan kemudian hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan. 

Namun kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu!

Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Alangkah tabah hati kekasihnya yang cantik ini.

Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jeri melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras, “Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!”

Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, “Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!”

Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya.

Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...”

“Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget.” Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya.

Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, kemudian kedua tangannya menegang lalu saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangannya menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sinkang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.

Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan.....



Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.

Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu.

Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik di dekat telinganya, “Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?”

Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang sangat lihai, apa lagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja sudah amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton, akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!

Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.

“Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tidak jauh lagi!” Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.

“Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!” Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja.

Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa rombongan ini adalah kelompok anggota dari perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan sedang melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.

Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.

“Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,” kata yang seorang.

Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui lalu berbisik, “Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suheng-ku.”

“Hek-tiauw Lo-mo?”

“Benar, mereka bermusuhan oleh karena memperebutkan kitab curian. Justru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan.”

Kian Bu hanya mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai.

Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu.

Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun juga.

Malam itu terang bulan. Suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.

Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apa lagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menahan diri hingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.

Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri. Sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu rebah terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.

Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang juga besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.

“Ehh, kenapa berhenti?” Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.

“Ssssh...” Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.

“Wah... dia...?” bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.

“Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tidak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kau curi!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.

Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.

“Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!”

Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang sejak tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang sedang mengawal ketua mereka.

Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan penyelidikan dan pengejaran.

Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mukjijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebutkan setengah bagian kitab yang mereka butuhkan. Dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengan mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.

Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Ada pun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu sekarang berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu.

Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga andai kata mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka.

Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...”

Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, “Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya.”

“Eihhh...?”

“Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci.”

Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum, merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!

“Ehhh, lihat ada orang...!” Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri.

Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan kemudian berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.

“Dia mencuri kitab!” bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.

“Darrrrr...!” Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding dengan ramai itu cepat menengok, dan melihat kakek itu mereka terkejut sekali.

“Dia mencuri kitab itu...!” teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.

“Wah, jadi ramai sekarang...” kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.

“Hayo kita ikut nonton keramaian!” Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.

Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke mana pun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.

Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung lenyap sehingga dia menjadi bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.

Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya. Pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!

Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan!

Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apa lagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu.

Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng. Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak, “Bocah hina mundurlah!”

Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan ‘bocah hina’ tadi, maka ketika melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!

Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sinkang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!

“Aihhh...!” Dia berseru.

Tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru kini dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena mendendam dan merasa benci kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya, kini mempergunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.

“Dessss...!”

Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya lalu memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.

“Hah! Kiranya engkau belum mampus?”

Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, “Paman, bunuhlah orang ini!”

Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.

“Cuuss...! Dessss!”

Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!

Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.

Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat.

Hebat sekali sepak terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biar pun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, tetapi dia pun tak dapat mendesak mereka, apa lagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.

Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir dari pada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat pula menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab, tetapi bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir saja dia membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan ayah tiri dari Suma Kian Lee.

Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam bermain cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, ia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.

“Aku... aku mau... pergi kencing dulu...,” katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.

Sementara itu, ketika melihat betapa suheng-nya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.

Topeng Setan terkejut sekali. Cepat ia mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.

“Perempuan hina dan pengecut!” Ceng Ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li.

Wanita ini amat terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat hingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.

“Ceng Ceng mundurlah...!” Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.

Pada saat itu pula, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, sekarang meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biar pun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apa lagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suheng-nya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apa lagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu.

Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!

Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, langsung dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk.

“Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!”

Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.

“Kian Buuuu...!” Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.

“Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh...!”

Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Ada pun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.

Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.

Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng, terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.....


********************


Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa ‘terbang’ oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.

Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, kemudian menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

“Bibi Puteri Milana...!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.

“Bibi... apa yang terjadi...?” tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.

“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”

Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, akan tetapi pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.

Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!

Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. “Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”

“Ehh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”

“Hmm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku....”

Dengan singkat Milana kemudian menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biar pun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.

“Nah, karena itu aku harus pula segera pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa.” 

Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

“Ahhh... Bibi...!” Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis.

Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, “Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?”

Milana menarik napas panjang. “Aku sendiri belum tahu ke mana harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya.”

Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apa lagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu.

Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa mala petaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mala petaka yang dialami oleh Puteri Milana.

Milana yang berpemandangan tajam sekali, biar pun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.

Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.

Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.

Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, “Adik Milana, tunggu dulu...!”

Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.

Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguh pun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri,” wanita itu berkata.

“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”

“Ahhh, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?”

“Lu Kim Bwee...? Aihh, engkau pasti Ang Siok Bi...!” Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu.

Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, “Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam mengikutiku?”

“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja.”

“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”

“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu... Aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...”

“Hemm, apamukah pemuda itu?”

“Dia itu puteraku. Ahhh, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat... bahwa dia telah membantu pemberontak... akan tetapi... demi perkenalan kita... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.” Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!

Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. “Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu.”

Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Boleh aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?” Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.

“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”

“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa bila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya.”

“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?”

Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini. Wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian.

Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga demikian... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?”

“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...”

“Enci Siok Bi!” Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. “Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?”

Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biar pun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, “Aku... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah... Ang Thian Pa...”

“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?”

Siok Bi mengangguk. “Dan aku mengatakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?”

Milana menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pantas kalau begitu... aihhh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng...! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”

“Tentu saja! Habis mengapa?”

“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikit pun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...”

“Ahhh...!” Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biar pun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biar pun puteranya itu tampan akan tetapi sedikit pun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!

“Apa... apa maksudmu...?”

“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”

Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang sebetulnya menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”

Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap, “Bagaimana... bagaimana aku dapat percaya ceritamu ini...? Setelah belasan tahun aku percaya demikian... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?”

“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguh pun tidak sampai tertimpa mala petaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih... anggota keluargaku sendiri dan... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...”

“Ya Tuhan...!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu...”

“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...”

“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng...!”

“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya.” Milana berhenti sebentar.

“Sungguh kasihan Gak-suheng... Dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, kini... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan mempergunakan namanya.”

“Ahhhh...! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. “Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani.”

Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. “Siapakah dia ini, Adik Milana?”

“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan ketiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka hebat demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”

“Ahhhh...!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap... selain beliau bukan musuh kami... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?”

“Agaknya engkau tidak mengetahui, puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja.”

“Kalau begitu aku akan mulai mencarinya sekarang juga!” Siok Bi berteriak, lalu berlari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.

Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, “Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”

Milana menarik napas panjang. “Kami semua sudah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...”

Puteri ini lalu menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu, apakah ia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.

“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?” Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

“Ke mana...? Ahhh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...”

“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...”

“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, maka akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”

Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak rombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang tajam dengan alis berkerut. “Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan pula?” Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.

Akan tetapi, ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.

“Gi-hu...!” Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.

“Syukurlah... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”

Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, “Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?”

Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Sampai mati pun tiada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berduka cita atas mala petaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”

“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan.”

“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang akan mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat.” Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”

Puteri itu mengangguk. “Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...”

“Ahh, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biar pun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, tapi dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini.”

Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, “Bibi... jangan biarkan Paman Gak merana...”

Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya kemudian membalapkan kuda itu, diiringi oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringi oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.

Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.....


********************
Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.

Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.

“Ahhh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu, “Ahh, benar, dia adalah Louw Ki Sun... aku pernah bertemu dengan dia...!” Ceng Ceng berseru lagi.

Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, “Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Tolong carikanlah air yang jernih... dia memerlukannya...”

Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.

Namun ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis?

“Paman, kau... kau... menangis?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.

“Ah, dia telah mati?” tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.

Topeng Setan mengangguk. “Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng.”

Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka. 

Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah kakek itu dikubur di depan kuil tua itu dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, terpekur dan mengheningkan cipta.

Topeng Setan kemudian mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.

Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apa lagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang juga melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luar biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!

“Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu,” Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. “Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan.”

Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!

Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak. 

Karena luasnya telaga maka biar pun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apa lagi terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman!

Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak ‘pesiar’ di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!

Namun, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.

Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.

“Begitu banyak orang...,” Ceng Ceng berbisik.

Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.

“Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di goa dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu.”

“Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kau kira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?”

“Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai.”

“Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,” kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu.

Topeng Setan menarik napas panjang. “Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...”

“Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.

“Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang sudah tidak mau lagi menggunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tak bisa dibandingkan dengan kita, juga dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.”

Topeng Setan menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...”

“Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan mala petaka bagi kehidupan manusia, Paman?”

“Kenyataannya demikianlah... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu... ahhh, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.

“Eh... engkau ini...? Moi-moi... Nona Ceng...?” Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.

Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.

“Ohhh... Pangeran... Yung Hwa...” Dia tergagap.

“Aih, Nona... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ahhh, mukamu masih pucat... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...”

Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepada Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, “Dia ini... eh, siapakah dia, Nona Ceng?”

Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, “Kiranya Paduka adalah seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini.”

“Topeng Setan...? Nama yang aneh...!” Pangeran Yung Hwa kelihatan seram.

“Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?” Ceng Ceng bertanya.

Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.

“Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, dan beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau... ahhh, kasihan Kakak Milana...”

“Kenapa, Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.

“Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ahhh, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana.”

Ceng Ceng kaget bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia amat kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.

“Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.

“Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!” Wajah yang tampan itu berseri.

“Mengapa, Pangeran?”

“Ahhh, engkau tidak tahu? Ceng-moi..., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi...”

“Ahhh, jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa memandang.

“Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan ternyata benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi...!” Pangeran itu kelihatan girang bukan main.

Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu. “Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Mengapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...”

“Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...”

“Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran.”

“Ouhhh...! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?”

Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. “Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...”

Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, “Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan sekarang pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa.”

“Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!” Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan!

Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.

Topeng Setan cepat mengangkat bangun pangeran itu. “Ahhh, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran.” Suara Topeng Setan mengandung keharuan. “Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng.”

“Terima kasih... terima kasih...! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?”

“Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran.”

“Aiihhh...?” Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. “Berebutan? Apa yang diperebutkan?”

“Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!” kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum mala petaka kehidupan menimpa dirinya.

Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. “Lucu...! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kau lihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ benar akan muncul anak naga? Ha-ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui pula dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi amat gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!”

Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. “Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?”

“Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...” Pangeran itu menuding ke kanan. “Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri... tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa perlu ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kau dengarlah...”

Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada waktu itu memang sangat indah pemandangannya. Lalu terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.


Merah nyala matahari,

membakar langit senja kala,

di atas Telaga Sungari.
Air terbakar merah seperti neraka,
sebagai isyarat munculnya sang naga,
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!


Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimana pun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!

“Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”

“Sajak yang indah sekali!” Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.

“Sajakmu memang bagus, Pangeran,” kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.

“Tunggulah sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hemm... aku maklum bahwa keindahan itu tak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kau tunggu sebentar, aku takkan lama...” Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.

Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.

“Paman, mari kita pergi...” Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.

“Ehhh...?” Topeng Setan berkata bingung.

“Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tak akan berhasil mendapatkan anak naga itu... Dia... dia... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini.”

Topeng Setan hanya mengangguk tanpa membantah, lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.

“Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...,” terdengar Topeng Setan berkata.

“Dia seperti orang gila saja...,” Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.

“Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...”

“Sudahlah, Paman. Sekarang aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana.”

Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu semakin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan jika perlu menggunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu!

Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya seram-seram dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan perlahan-lahan mendayung perahunya sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya, terus meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu jaraknya tidak terlalu jauh dari perahunya.

Penumpangnya hanya satu orang. Orang tua berpakaian tosu yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.

“Tarrrrr...!”

Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.

Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak, lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, dan tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!

“Hebat...!” Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian ginkang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.

Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan ‘terbanglah’ dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Ginkang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.

Tubuh tosu yang ‘menunggang’ empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.

“Huhhhh!” Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya ‘terbang’ terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.

“Hemmm...!” Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan... perahunya ‘selulup’ ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali di depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguh pun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!

Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.

“Cluppp...!” Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap.

Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, kemudian bertanya kepada Topeng Setan, “Paman, apakah dia mati?”

Topeng Setan mendengus, “Hemm, dia sudah kembali ke perahunya.”

Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya?

Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.

“Brakkkk...!”

Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang besar kedua perahu itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.

Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut, akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.

Perahu kedua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari bilik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon. 

Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Mendadak jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.

Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.

Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, telah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.

“Itu dia...! Naga sudah muncul...!”

Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu, maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik.

Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, namun belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing.

Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.

Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apa bila yang dinanti-nanti itu muncul.

Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apa lagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya ‘naga’ itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong.

Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya ‘berdiri’ dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa!

Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.

“Koaaaakkk...!” Terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali.

Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.

Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular ‘naga’ itu sedemikian hebatnya. Saat mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Sementara itu, anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan.

Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu mengambil anak ‘naga’ itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?

Betapa pun lihainya seseorang, mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja telah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apa lagi mencuri anaknya dari dalam moncong!

Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguh pun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, akibat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada belasan orang!

“Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan berkata lirih. “Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?”

Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengancam.

“Aaiiihhh...!” Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit.

Cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.

“Apa... apa yang terjadi... eiiikkkhhh...!” Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri.

Tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih keluar bergumpal dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menyabet perahu.

“Braaakkkk...!” Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu.

Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas, akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sinkang-nya dapat melindungi tulang pahanya, akan tetapi biar pun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.

“Pakai pedang pendek ini...!” Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri.

Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke arah lidah ular naga itu.

“Crattt... plaaakkk!”

Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu, tetapi gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan. Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik melengking nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari!

Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu melepaskan diri.

Akan tetapi pada saat itu induk ular naga menjadi marah sekali. Biar pun matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular dan berusaha menghindar dan berenang.

Topeng Setan yang melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya menjadi terkejut. Dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.

“Plakkk...!”

Topeng Setan mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya. Topeng Setan terbelalak.

“Auhhhh....” Mulut Topeng Setan mengeluarkan suara ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi!

Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang paling penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan dipermainkan air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya.

Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air itu hendak berenang menjauh, mendadak kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tak dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.

Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, akan tetapi cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan tak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali Topeng Setan ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah.

Tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Namun karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.

Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kaklnya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar dan bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya hendak merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan!

Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan langsung menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak lagi, apa lagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar bermuka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.

“Bukkk!” Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.

“Byuuuurrr...!”

Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul telah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam! Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.

“Keparat...!” Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.

“Brakkkk...!” Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap!

Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.

“Paman...!” Ceng Ceng menjerit sambil memeluk tubuh mandi darah itu. “Kau... kau... lenganmu...?”

“Tidak apa, Ceng Ceng... tidak apa...” Topeng Setan berkata tenang.

“Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?” Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari dalam saku bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik topengnya yang buruk.

Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, namun masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang menyelam dan menghilang.

Melihat kesibukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apa lagi karena dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tak melihatnya biar pun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.

“Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...,” terdengar Topeng Setan berkata.

“Peduli dengan ular itu...!” Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati. “Aku... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu.”

“Ahhh... jangan berkata begitu...”

Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat!

Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.

“Jangan keroyok, biarkan dia!”

Mendengar ini, Tambolon bersama dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata, “Hai, cucuku gundul... engkau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari... mari sini... berikan ular itu kepadaku...!”

Ceng Ceng yang sudah selesai membalut, kini bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu.

Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya menjadi sadar dan dengan teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah pertandingan seru di atas perahu.

Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu.

Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya.

Selagi Topeng Setan masih belum tahu apakah dia harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlempar ke dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik.

Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang ditumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga itu.

“Desssss...!”

Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan hendak menangkap anak ular naga itu. Begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan tenaga sehingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.

Anak ular lalu itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya dan dijadikan rebutan!

Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu sangat takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia lalu berteriak kepada Hong Kui, “Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu...!”

Hong Kui terkejut dan marah. “Apa? Aku tidak sudi!” Dan dengan marah dia menarik sekuatnya.

Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat dari pada bagian ekornya.

“Prattttt...!”

Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.

Melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, Topeng Setan yang setengah pingsan karena penderitaannya itu tahu bahwa gadis itu terancam bahaya sebab tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa kini keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biar pun ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.

Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng Setan mengambil keputusan nekat. Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya yang terluka hebat dengan daya kemauannya yang membaja, Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari mereka.

Dengan pengerahan tenaga yang amat menakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang pernah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, tapi dia tidak mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan.

Dengan sinkang-nya yang sudah mencapai puncak, dia dapat ‘menyimpan’ hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ceng Ceng. Dasar sinkang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air.

Di antara mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat.

Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat bayangan mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri!

Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula dirinya tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, ia mengeluarkan hawa ‘simpanan’ yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas. Wuihhh.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar