Kisah Sepasang Rajawali Jilid 6-10

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 6-10. “Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong.
Anonim
“Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...”

“Aiiih... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali... masakah kongcu sendiri tidak ingat?”

Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, “Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat dari pada ingatanmu!”

“Tentu saja... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini...”

“Hemmm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan amat menakutkan?”

Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua bola matanya. “Hebat sekali obat itu... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhu-mu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mukjijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri... ahhh, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kau beri minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiok-mu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiok-mu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhu-mu! Nona yang kebal itu pun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mukjijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai dari pada susiok-mu.”

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. “Ha-ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin sekali mencoba membuatnya.”

Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata, “Terserah kepadamu, kongcu. Tetapi aku merasa ngeri... hemm, obat itu hebat sekali dan amat berbahaya...” Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.

Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya bisa dia dapatkan dengan menggali kuburan!

Selain itu, apa bila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula manteranya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukan racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mukjijat dari ilmu hitam!

Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia lalu memandang bubukan berwarna putih yang berada di depannya.

“Terima kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil menengadah. “Aku telah mewarisi sebuah lagi dari pada ilmu-ilmu yang kau tinggalkan!”

Kemudian pemuda itu termenung. Obat mukjijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang!

Akan tetapi kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar goa membuat dia tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat penawarnya, dan dia membawa dua bungkusan itu ke dalam goa.

Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam goa, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.

“Kong-lopek...!” Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan goa, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya.

Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. “Kau perlu apakah, kongcu?”

“Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!” Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang.

Namun Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. “Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu?”

Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!”

Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari guci yang sama.

“Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”

Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu berulang kali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar goa yang besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.

“Lopek! Kong-lopek, bangunlah...!”

“Hemmm... ahhh... masih mengantuk... ehhh, siapa kau...?” Kakek gundul itu membuka mata, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu kembali memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.

“Di mana aku...? Siapa kau ini orang muda...? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?” Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!

“Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?”

“Orang muda, siapakah engkau? Dan aku... hemm... siapa pula aku dan di manakah tempat ini? Mengapa aku tidur di goa?”

Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. “Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?”

Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. “Ang Tek Hoat...? Hmm, terdengar asing, tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda?”

Tek Hoat menahan ketawanya. “Aku? Namaku Kong To Tek!”

“Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek.”

Tek Hoat tertawa. “Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!”

Seharian itu Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan goa sambil termenung, agaknya kebingungan dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!

Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.

Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek. Dia akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. “Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun?” tegurnya menggoda.

Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa, “Orang muda, siapa engkau? Namaku bukanlah Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa engkau berani memasuki goa rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini?”

Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan goa besar itu.

“Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In...”

“Bohong...!” Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. “Biar pun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada di sini?” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. “Kau... kau... sudah lamakah berada di sini?”

“Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin...”

“Pedang itu...!” Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat. “Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka... di mana kitab-kitab itu? Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo kembalikan!” Dia menubruk maju hendak merampas pedang, tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat dia terjengkang.

“Aihhhh...! Engkau melawan? Engkau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau sudah bosan hidup!”

Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu? Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!

“Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!” Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.

“Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!” Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.

“Wuuuuttt... dessss...!”

“Aihhhh...!” Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sinkang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.

“Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat cilik!” Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat.

Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sinkang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sinkang-nya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apa lagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!

“Wuuusssshh...!” Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua kakinya lalu bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian mendadak kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.

Kalau Tek Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini. Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam goa itu Tek Hoat telah tekun mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga ilmu kepandaiannya menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan dua tahun yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu barunya, melihat serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri.

“Haiiiiittt...!”

Kong To Tek meloncat dari kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua lengannya bergerak-gerak, yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala!

Akan tetapi kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan tenaga sinkang, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, menerima pukulan tangan kanan lawan.

“Plak! Dessss...!”

Untuk ketiga kalinya tubuh Kong To Tek terdorong dan kemudian terjengkang! Kakek itu mendengus keras dan meloncat bangun lagi. Ternyata ujung mulutnya mengucurkan darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam tadi sedemikian hebatnya sehingga dia mengalami luka di dalam tubuhnya!

Melihat hasil tangkisannya, besarlah hati Tek Hoat. Kini dia menghadapi terjangan lawan dengan pandang mata mengejek dan sama sekali tidak merasa jeri lagi karena dia telah memperoleh kepercayaan tebal kepada kepandaian sendiri. Ketika kakek itu menerjang dan menyerangnya bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak dan menangkis, kadang-kadang balas memukul. Tiap kali dia membalas, kakek gundul itu pasti terdorong oleh pukulannya yang biar pun tidak mengenai tubuh lawan, namun hawa pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.

“Kong To Tek, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” bentak Tek Hoat dan tiba-tiba tampak sinar berkilauan ketika dia telah mencabut Cui-beng-kiam!

Melihat pedang ini, Kong To Tek kelihatan gentar, tetapi juga marah. Sambil menerjang maju, dia membentak, “Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!”

Terjangannya dahsyat sekali karena dia menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk cakar dan bergerak-gerak mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari perutnya terdengar bunyi berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sinkang-nya yang amat kuat, mulutnya mengeluarkan uap putih.

Melihat terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi banyak, dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan sinar pedang Cui-beng-kiam yang ampuh.

“Singgggg...! Crak! Crokk!”

Terdengar suara pekik melengking dan Kong To Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung sebatas siku terbabat pedang Cui-beng-kim yang ampuh!

Melihat tubuh itu berkelojotan dan bergulingan di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk menekan perasaan hatinya yang menyesal. Bagaimana pun, kakek itu telah melakukan banyak kebaikan kepadanya!

“Hemmm, terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek. Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih kembali ingatanmu!”

Sambil meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat, Kong To Tek bertanya, “Orang muda... siapakah engkau...?”

“Namaku Ang Tek Hoat. Secara kebetulan saja aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku bernama Wan Keng In dan engkau menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka kepadaku. Tentu saja aku tak dapat menolak datangnya keuntungan ini, dan sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau berbahaya bagiku.”

“Aughhh... kau... kau... memang mirip sekali dengan Wan-kongcu... Ahhh, agaknya roh Wan Keng In memasuki dirimu... dan agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk bisa membalas musuh-musuhnya...”

“Siapa sih orang yang bernama Wan Keng In itu?” Tek Hoat bertanya, ingin juga dia mengetahui siapa orang yang katanya mirip dengan dia itu.

“Dia... dia bekas majikanku... dia adalah kongcu dari Pulau Neraka, putera ketua Pulau Neraka...”

Tek Hoat mengangguk-angguk kagum. “Dan siapa itu musuh-musuhnya?”

“Musuhnya adalah... Gak Bun Beng... dan... dan Tocu Pulau Es...”

Tek Hoat merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga musuh besarnya! Dan... Tocu Pulau Es!

“Apakah kau maksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

“Benar... dia... dia lihai...”

“Dan Gak Bun Beng, penjahat itu sudah dibunuh mati oleh ibuku!” kata pula Tek Hoat.

Kong To Tek membelalakkan mata. Darah bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu. Mukanya pucat karena banyak kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan tubuhnya sudah mulai lemah. Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek Hoat itu dan dia bertanya. “Siapa... siapa ibumu...?”

Biar pun Tek Hoat tidak suka menceritakan keadaan keluarganya, akan tetapi melihat bahwa kakek ini tidak akan hidup lebih lama lagi, dia mengaku, “Ibuku... hemmm, ibuku seorang pendekar wanita puteri dari ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian Pa dan ibuku bernama Siok Bi...” Tek Hoat langsung menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya.

Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas, dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga. “Jadi kau... kau... kau anak Siok Bi...? Ahhh... ah, tidak salah lagi... kau... kau puteranya... auhhh!” Tubuh itu terguling.

“Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?” Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi mayat.

Tek Hoat bangkit berdiri, lalu termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula.

Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan goa di mana selama dua tahun dia melatih diri. Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu.

Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.....

********************

Karena adanya halangan yang hampir merupakan mala petaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi!

Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan ‘perhitungan’ bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai ‘tanda-tanda’ untuk menentukan sesuatu di masa depan.

Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar ‘perhitungan’ para ‘ahli nujum’ pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun!

Kaisar menerima surat permohonan itu dan kemudian dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apa lagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!

Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapun menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!

Biar pun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan dia pun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi dari pada dia.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apa lagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi!

Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan mau pun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.

Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan kali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!

Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.

Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu. Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biar pun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.

Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biar pun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya!

Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.

“Kak Syanti...,” dia berbisik.

Syanti Dewi menengok. “Ada apakah, Candra?”

Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi! Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja.

Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.

Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok. Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi.

Tidak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah. Seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat dari rombongan utusan itu.

Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biar pun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang.

“Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.

“Wirrrr...!” Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang!

Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah.

Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji! Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biar pun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak ‘memegang’ guci yang cukup berat itu membuktikan sinkang yang amat kuat!

Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sinkang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya. Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.

Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang lantas bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apa lagi dengan kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang, “Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apa lagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini.”

Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi, “Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”

Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!

Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata, “Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”

Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah. Dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disabitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu.

Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!

Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat! Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun memainkan jenggotnya. Tentu saja Ceng Ceng berbuat demikian untuk mengejeknya!

Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena dia pun ikut bangga. Betapa pun juga, dia tahu bahwa dara itu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman. Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.

Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.

Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Bergegas dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!

“Eh, enci Syanti... kau... kenapakah?” Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.

“Enci Syanti, mengapa kau menangis?” Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.

Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih. “Adikku... aihhh... adikku Candra...!”

Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, lalu dia berkata, “Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biar pun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?”

Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah reda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata, “Candra, hati siapa yang tak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayan yang memang kusuruh melakukan penyelidikan di antara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi.”

“Berita apakah?”

“Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong...”

“Aihhh, tentang calon suamimu?” Ceng Ceng menahan ketawanya. “Bukankah berita itu menggembirakan?”

“Siapa bilang menggembirakan? Ternyata ia adalah seorang laki-laki yang usianya telah lima puluh tahun... hu-huuukkk...” Putri itu menangis lagi.

Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya. “Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apa lagi kalau dia seorang pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.

“Tapi... tapi... dia mempunyai banyak selir...,” kembali puteri itu terisak.

“Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya.”

“Tapi... tapi... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah-olah berangkat mati saja... kehilangan kebebasanku... menjadi budak belian!”

“Ihhhh...! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.

“Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra...!” Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.

Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budah belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.

“Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?”

Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu... berita itu... dia sudah tua dan banyak selirnya... hu-hu-huuukkk...”

Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung. “Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?”

“Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang.”

“Ohhhh...!” Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci...”

Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan. “Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”

“Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?”

“Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana.”

“Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu.”

“Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?”

“Dia harus menyetujui!” Ceng Ceng berkata cemberut. “Aku berasal dari timur sana, sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!”

Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberi tahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu.

Kakek ini terkejut, akan tetapi dia pun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri.

Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapa pun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan.

Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengambil alih tugas pengawalan.

Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu kelihatan murung karena mereka tahu bahwa sekali ini gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan, karena gurunya sudah amat tua.

Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik, “Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?”

Laki-laki itu mengerutkan alisnya. “Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sini pun tidak akan mengalami gangguan, apa lagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!”

Namun kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa saja, sama sekali bukan pakaian seorang berpangkat atau perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.

“Jangan main gila kau!” bentaknya. “Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!”

Orang itu memandang tajam dan tersenyum. “Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!”

Ucapan ini, apa lagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata, “Engkau masih banyak membantah? Pergilah!”

Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.

“Dukkk!” Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!

“Kau berani melawan?” Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang.

Akan tetapi, dengan gerakan gesit sekali laki-laki berbaju hitam itu mengelak. Kedua tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya! Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!

Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.

“Tahan senjata, mundur semua!” Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan.

Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur, “Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan.

“Ah, ahhh... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan yang bertugas menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan.”

“Hemmm... apa lagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?”

“Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda.”

“Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk...”

“Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus diberikan sebagai hadiah kepada...”

“Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Ayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin membentak marah.

Orang itu tersenyum tenang saja. “Begitu pun baik. Pokoknya surat ini harus terbaca oleh sri baginda di Bhutan.”

Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disambitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sinkang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!

“Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!”

“Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah muncul Tan Siong Khi yang telah meloncat ke depan dan menghadang orang berbaju hitam itu. Orang itu memandang tajam, kemudian mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seperti orang mengejek.

Sedangkan Panglima Jayin cepat berkata. “Tan-ciangkun, harap jangan ganggu dia. Dia hanya seorang utusan yang menyampaikan surat!” Panglima ini tentu saja memegang peraturan umum bahwa seorang utusan sama sekali tidak boleh diganggu, maka dia menghalangi Tan Siong Khi melarang orang itu pergi.

“Sayang sekali...!” Tan Siong Khi berkata.

“Huhhh!” Laki-laki berjubah hitam itu mendengus lagi dan sekali meloncat, tubuhnya melayang tinggi.

“Enak saja kau pergi...!” Tan Siong Khi menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas, agaknya hendak menghadang tubuh orang itu yang sedang melayang.

Akan tetapi, tiba-tiba orang itu berseru keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu berjungkir balik tiga kali dan dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan Siong Khi! Hebat dan indah sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran ginkang yang luar biasa.

“Bukan main...!” Jayin berkata kepada Tan Siong Khi setelah orang itu pergi jauh. “Dia lihai sekali, kuat sinkang-nya dan lihai ginkang-nya, merupakan lawan yang lihai.”

Tan-ciangkun tertawa. “Akan tetapi dia pun tidak akan menganggap kita orang lemah!”

“Apa maksudmu, Tan-ciangkun?” tanya Jayin.

Tetapi Tan Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda Tambolon itu sedang melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot panjangnya melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki orang itu. Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian tubuh yang lebih penting lagi dan yang mematikan!

“Raja Muda Tambolon ini makin menggila saja,” katanya sambil berjalan memasuki pintu gerbang bersama Tan-ciangkun. “Dia telah menghimpun semua kekuatan mereka yang bermaksud memberontak kepada Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki dan Mongol. Dia sendiri adalah peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan anehnya mengapa yang menjadi utusan adalah orang Pek-lian-kauw.”

“Agaknya perkumpulan agama yang tersesat dan menjadi tukang berontak itu kena pula dibujukkan dan menjadi sekutunya,” kata Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan kepalanya.

Memang dugaan ini tidak meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di luar Sin-kiang, gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang cukup besar. Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang menguasai wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan oleh Kerajaan Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau tunduk dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk bersekutu dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan Ceng dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali.

Ketika Raja Bhutan membaca surat yang dibawa oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan gelisah. Akhirnya dia mengundang semua pembantu dan orang kepercayaannya untuk membicarakan hal itu. Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena Raja Bhutan tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah Ceng yang akan menjadi besannya.

“Isi surat dari Tambolon ini membujuk agar Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan dengan Pemerintah Mancu, dan mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami memanggil kalian bukan untuk minta pendapat mengenai permintaan mereka itu, karena sudah jelas bahwa kami tidak akan menghentikan hubungan kekeluargaan kami dengan Kerajaan Ceng dan kami tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum pemberontak bekas orang-orang pecundang dan pelarian itu. Akan tetapi perlu kita bicarakan tentang penjagaan dan pembelaan diri yang perlu kita adakan karena mereka tentu tidak akan tinggal diam setelah kami tidak menghiraukan permintaan mereka.”

Suasana menjadi hening, dan akhirnya terdengar Tan Siong Khi berkata, “Harap paduka bertenang hati. Hamba mengerti bahwa pemboyongan puteri paduka pasti akan mengalami gangguan dan halangan di jalan, mungkin akan dihadang oleh mereka, akan tetapi hamba dan para pengawal akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawa hamba sekalian!”

“Kami mengerti, Tan-ciangkun. Hanya perlu diadakan perubahan, karena bukan hanya rombongan itu yang mungkin akan diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan diserang. Karena itu, kami rasa tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang mengawal. Dia perlu untuk memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan harus diperkuat. Inilah yang membingungkan hati kami.”

“Harap paduka tidak gelisah,” akhirnya Panglima Jayin berkata. “Sudah dipersiapkan pasukan istimewa, lima ratus orang banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena sudah ada suhu Lu Kiong yang memperkuat pengawalan. Apa lagi ada Tan-ciangkun dan para pengawal dari rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah terkawal cukup kuat, dan kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kita pun telah siap untuk memukul hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki pasukan besar, kabarnya paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan merupakan bunuh diri bagi mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum. Biarkan saja mereka datang, hamba bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!”

Kata-kata penuh semangat dari Panglima Jayin ini melegakan hati sri baginda, dan mereka lalu merundingkan tentang keberangkatan sang puteri, dan tentu saja juga penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan.

Sementara itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar tentang kedatangan utusan pemberontak, berkata kepada Syanti Dewi, “Enci Syanti, betapa pun juga, kurasa jauh lebih baik menjadi isteri seorang Pangeran Kerajaan Ceng dari pada jatuh ke tangan pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan saja kalau kau dijodohkan dengan seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di medan perang, bahkan selalu menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu merupakan orang-orang ganas dan liar yang amat menyeramkan.”

Syanti Dewi mengangguk. “Aku akan menyesuaikan diri, adikku. Kurasa, apa pun yang akan terjadi atas diriku, aku masih akan terhibur oleh kehadiranmu di sampingku.”

Bunyi musik paduan suara terompet, tambur dan canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan mercon mengantar dan mengiringkan keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi sampai di luar pintu gerbang. Ketika rombongan sudah mulai meninggalkan kota raja, dari jauh masih terdengar suara riuh gembira ini di belakang mereka. Dari dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap air matanya yang bercucuran. Betapa takkan pilu hatinya meninggalkan orang tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk selamanya? Sedikit sekali kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan setelah dia menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong!

Ceng Ceng yang berada sejoli dengan puteri itu menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri, dara ini kelihatan gembira sekali, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Tentu saja dia girang karena memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri di mana dia dilahirkan, dan kepergiannya ini juga bersama kongkong-nya yang berada di luar bersama para pengawal.

Joli itu tidak dipikul, melainkan merupakan kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda. Beberapa orang pelayan wanita pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di sebelah belakang masih ada pula sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti bawaan sang puteri. Para pengawal mengapit tiga buah kereta itu di depan, belakang, kanan dan kiri sehingga sang puteri terkurung rapat dan aman.

Pasukan itu megah dan gagah, dikepalai oleh panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu Kiong yang gagah perkasa, diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan teman-temannya. Mereka semua berkuda, dan di sepanjang perjalanan, rombongan ini menjadi tontonan yang mengagumkan dan mengherankan para penduduk dusun.

Dan untuk menenteramkan hati sang puteri, atas perintah panglima komandan pasukan, di sepanjang jalan para prajurit itu bersama-sama menyanyikan lagu-lagu ketentaraan yang terdengar megah dan gagah. Memang megah sekali menyaksikan rombongan ini. Bendera kebesaran berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian lima ratus mulut itu menggegap gempita, diseling ringkik kuda.

Perjalanan selama berhari-hari dilakukan dengan aman dan selamat. Tidak tampak ada penghalang sedikit pun sampai mereka tiba di dekat perbatasan antara wilayah Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari telah lewat dan memang perjalanan itu agak lambat sebab melalui Pegunungan Himalaya, dan pasukan Bhutan itu agaknya ogah-ogahan melepas puteri junjungan mereka sehingga memperlambat perjalanan. Betapa pun juga ada perasaan berat untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng, karena setelah nanti bertemu dengan pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan Bhutan akan kembali ke Bhutan dan menyerahkan pengawalan itu kepada pasukan Ceng.

Pada hari kelima rombongan tiba di kaki gunung. Tampaklah padang pasir membentang luas di depan. Diduga bahwa pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir di depan. Karena itu rombongan berhenti di hutan terakhir, sebab lebih baik menanti datangnya pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini karena perjalanan selanjutnya akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan berbatu-batu sampai lembah Sungai Brahmaputera di sebelah utara perbatasan Bhutan.

Pasukan dihentikan dan semua turun dari kuda masing-masing. Di hutan itu terdapat mata air yang jernih, airnya mengalir menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke utara dan agaknya anak sungai ini akan memuntahkan airnya di Sungai Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai besar itu, airnya tidak sejernih ketika keluar dari mata airnya di hutan itu.

Mendengar dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya dan ingin sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih. Maka berjalanlah Syanti Dewi ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan kakek Lu Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air sungai itu.....

Akan tetapi, ketika mereka tiba di tengah hutan yang subur itu, mereka tertegun melihat seorang laki-laki sedang tidur di atas rumput, berbantal batu, kedua lengan bersilang depan dada dan mukanya tertutup oleh sebuah caping besar bundar. Seekor kuda yang kelihatan lelah sekali sedang makan rumput tak jauh dari laki-laki itu.

Panglima pasukan dan kakek Lu Kiong yang memang di sepanjang perjalanan sudah menduga akan datangnya penyerbuan pihak musuh, tentu saja menjadi curiga ketika melihat laki-laki itu. Akan tetapi karena merasa terlalu tinggi untuk menegur, panglima itu memanggil lima orang prajurit yang sedang duduk tak jauh dari situ dengan lambaian tangannya.

“Usir dia pergi! Sang puteri berkenan hendak mandi di mata air ini,” katanya.

Lima orang prajurit itu dengan sikap gagah, galak dan langkah lebar menghampiri orang yang sedang tidur. “Heiii! Bangun! Sang puteri hendak mempergunakan tempat ini, kau pergi dan pindahlah tidur di lain tempat!” bentak seorang di antara para prajurit itu.

Akan tetapi orang itu tetap tidur, sama sekali tidak bergerak.

“Haiiii! Tulikah engkau?” bentak prajurit kedua.

“Apakah kau sudah mati barangkali?” bentak prajurit ketiga.

“Tak mungkin mati, lihat lututnya bergerak-gerak!”

Memang, orang yang tertidur itu lutut kanannya terangkat dan kini bergerak, akan tetapi terhenti lagi karena dibicarakan orang.

“Haiii, petani...! Lekaslah bangun dan pergi. Apakah kau ingin diseret?” bentak pula seorang prajurit.

Tetap saja orang itu tidak mau bergerak.

Melihat ini, seorang prajurit yang berkumis tebal memegang sebelah kaki orang itu, lalu menarik sekuat tenaga. Akan tetapi, betapa herannya semua orang melihat bahwa si kuat ini sama sekali tidak mampu membuat orang itu bergerak, bahkan menggerakkan kaki itu pun dia tidak mampu! Seolah-olah bukan orang yang ditarik-tariknya, melainkan patung batu yang luar biasa beratnya. Teman-temannya menjadi heran, dan penasaran, kemudian maju bersama dan lima orang itu membetot-betot tubuh orang yang tidur itu. Terdengar mereka mengeluarkan suara ah-ih-uh ketika mengerahkan tenaga, namun tetap saja orang yang dikeroyok lima ini tidak dapat digerakkan sedikit pun juga!

“Eh-eh, apakah engkau minta dipukul?” Seorang prajurit membentak dan kuda orang itu menjadi ketakutan melihat dan mendengar ribut-ribut sehingga binatang ini melarikan diri agak jauh dari tempat itu.

Karena orang itu tetap tidur dengan muka ditutup caping, lima orang prajurit itu menjadi hilang sabar, malu dan penasaran. Mereka berlima tidak mampu menggerakkan orang yang tidur ini. Jelas bahwa orang itu tidak tidur, maka mereka merasa dianggap ringan dan hina. Kini mereka berlima turun tangan menyerang dengan pukulan kalang kabut!

“Plak-plak-plak-duk-dukkk...!”

Aneh bukan main. Tanpa menurunkan topi yang menutupi seluruh mukanya, orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya menangkisi semua pukulan. Bukan saja pukulan-pukulan itu tertangkis, bahkan lima orang prajurit itu akhirnya mundur sambil meringis, memegangi lengan mereka yang menjadi bengkak-bengkak terkena tangkisan orang yang masih tertutup mukanya oleh caping itu!

“Hemmm...!” Panglima sudah memegang gagang pedangnya, akan tetapi dia didahului oleh Ceng Ceng yang sekali melompat telah berada di dekat orang itu sambil berkata, suaranya lantang penuh teguran, “Kalau kau seorang gagah, tentu kau tahu bahwa tempat ini bukan hanya milikmu seorang, dan tentu kau mempunyai kesopanan untuk menyingkir karena ada wanita hendak mandi di sini!”

“Adik Candra... jangan...!” Tiba-tiba sang puteri berseru dan sudah lari mendatangi dan berkata dengan halus kepada orang yang mukanya masih ditutupi topi itu. “Harap kau suka pergi dari sini dan setelah kami selesai mempergunakan mata air ini, tentu saja kau boleh menempatinya lagi.”

Tubuh itu bergerak-gerak sedikit, kemudian tangan kanannya meraba tanah, menepuk dengan pengerahan tenaga dan tubuhnya mencelat ke atas punggung kudanya yang berada agak jauh dari situ, kemudian kuda itu membalap pergi meninggalkan suara derap kaki dan sedikit debu mengepul. Semua itu dilakukan tanpa membuat capingnya terbuka!

“Hebat...!” Kakek Lu Kiong memuji dengan kagum.

“Mungkin dia mata-mata musuh...” bisik panglima komandan pasukan yang segera pergi dan memerintahkan para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan di sekitar hutan itu.

Kakek Lu Kiong mengerutkan alisnya, termenung dan meraba-raba jenggotnya, lalu berkata kepada panglima itu, “Dia adalah seorang Han, dan melihat gerak-geriknya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Sayang bahwa kita belum dapat melihat wajahnya sebelum dia pergi. Kurasa dia bukanlah mata-mata musuh, karena kalau dia mata-mata musuh, tentu tidak demikian perbuatannya, melainkan menyelidiki kita dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Betapa pun juga, dia lihai sekali dan kita harus berhati-hati.”

Juga Tan-ciangkun yang diberitahu tentang orang asing bercaping itu jadi termenung. “Saya mengenal banyak tokoh kang-ouw, dan tentu saja banyak yang bercaping dan berilmu tinggi. Mungkin saya dapat mengenalnya kalau melihat wajahnya. Akan tetapi karena jelas tidak mengganggu, bahkan dalam bentrokan itu dia tidak menewaskan seorang pun prajurit, kurasa dia tidak mempunyai niat buruk terhadap rombongan kita.”

Sementara itu, Ceng Ceng dan sang puteri mandi di mata air. Mereka membicarakan juga laki-laki yang aneh tadi.

“Dia tentu orang jahat. Kalau tadi dia tidak lekas menyingkir, tentu aku akan menghajar dia!” kata Ceng Ceng yang merasa mendongkol juga karena orang asing itu dipuji-puji dan orang itu mendapat kesempatan untuk memamerkan kepandaiannya. Memang dara ini memiliki watak yang kadang-kadang keras tidak mau kalah, dan dia paling tidak senang melihat orang memamerkan kepandaiannya.

“Ahhh, belum tentu, adik Candra. Kurasa, melihat gerak-geriknya, dia bukanlah seorang jahat. Buktinya, dikeroyok demikian banyaknya prajurit, dia tidak membunuh seorang pun di antara mereka, padahal kalau melihat kepandaiannya, tentu dengan mudah dia mampu melakukan hal itu.”

“Hemm, dia memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!” bantah Ceng Ceng masih tak puas. “Kalau saja diberi kesempatan, akan kubuktikan bahwa lagaknya itu hanya kosong belaka!”

Maklum akan watak adik angkatnya, puteri itu hanya tersenyum dan tidak menyebut lagi perihal orang aneh itu. Juga para tokoh dalam rombongan itu tidak bicara lagi tentang orang aneh, dan orang itu hanya disebut-sebut dengan bisik-bisik di antara para prajurit. Namun, peristiwa itu mempertinggi kewaspadaan rombongan dan penjagaan dilakukan ketat malam itu. Karena para penjemput belum juga muncul, maka terpaksa mereka bermalam di hutan itu dengan membangun tenda-tenda darurat. Sang puteri dan Ceng Ceng, juga para pelayan wanita, tidur di dalam kereta joli.

Malam itu sunyi sekali setelah lewat tengah malam. Sebagian besar prajurit yang tidak bertugas jaga, tidur nyenyak karena mereka memang sudah lelah sekali. Akan tetapi mereka yang bertugas jaga, tetap berjaga dengan penuh kewaspadaan di tempat masing-masing. Perondaan dilakukan terus-menerus dari tempat penjaga yang satu kepada tempat penjaga yang lain. Juga kakek Lu Kiong, komandan pasukan, dan Tan-ciangkun tidak dapat tidur dan mereka bercakap-cakap di dalam tenda melewatkan waktu malam yang merupakan bahaya bagi mereka itu.

Di dalam kereta joli, Ceng Ceng dan Syanti Dewi juga tidak dapat tidur. Mereka sudah terbiasa dengan kamar yang serba lengkap, dengan pembaringan yang lunak sehingga tidur setengah duduk di kereta joli merupakan hal yang sukar dilakukan. Maka keduanya juga setengah berbaring sambil bercakap-cakap. Diam-diam keduanya merasakan sesuatu yang aneh dan seolah-olah ada tanda-tanda rahasia akan datangnya hal yang tidak mereka kehendaki. Setelah munculnya orang aneh siang tadi, segala sesuatu kelihatan penuh rahasia. Suara angin berdesir mempermainkan daun-daun pohon saja terdengar seperti bisikan-bisikan iblis dan siluman. Bayang-bayang pohon yang dibuat oleh sinar lentera penjagaan tampak seperti bayangan raksasa! Keadaan serba menyeramkan dan menegangkan.

“Kulik! Kulik! Kulik!”

Suara burung malam itu terdengar jelas sekali karena suasana yang amat sunyi. Suara itu memecah kesunyian dan Puteri Syanti Dewi menggerakkan kedua pundaknya. Tengkuknya terasa dingin meremang.

“Ihhhh... menyeramkan sekali...!” Bisiknya. “Adik Candra, hatiku terasa tidak enak sekali. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kita?”

Ceng Ceng juga merasa seram, namun dia menghibur hati kakak angkatnya dengan senyum lebar. “Apa yang dapat terjadi kepada kita? Engkau dikawal oleh lima ratus prajurit pilihan, enci Syanti.”

“Lima ratus orang prajurit di tempat seperti ini tidaklah meyakinkan sekali, adik Candra. Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan ini sering kali muncul gerombolan yang dipimpin oleh Raja Muda Tambolon yang biadab itu.”

“Siapakah Raja Muda Tambolon yang terkenal itu, enci?”.

Syanti Dewi bergidik. “Aku sendiri belum pernah melihat orangnya. Akan tetapi menurut kabar, dia adalah seorang peranakan Tibet dan Mongol, seorang laki-laki bertubuh raksasa yang amat sakti dan juga amat kejam, terutama sekali terhadap wanita.”

“Hemmm, kejam terhadap wanita? Bagaimanakah?”

“Hihh, aku merasa ngeri baru mengingat cerita yang kudengar itu saja. Bayangkan, kalau Tambolon sudah menyerang sebuah dusun, dia akan membunuh semua laki-laki yang tidak mau menyerah, dan tidak ada seorang pun wanita yang dilepaskannya. Semua kanak-kanak dibunuh, dan wanita dari usia empat belas tahun ke atas, semua menjadi korban kebiadabannya. Kabarnya, dia sendiri akan memilih sedikitnya lima orang wanita tercantik untuk dia permainkan sampai bosan. Ada pun sisanya, semua diberikan begitu saja kepada para anak buahnya dan terjadilah peristiwa yang lebih mengerikan dari pada penyembelihan terhadap kaum pria dan anak-anak. Para wanita itu diperkosa di dalam rumah, di jalan-jalan, di sawah, di mana saja mereka ditemukan, bahkan di antara mayat-mayat suami dan atau saudara-saudara mereka.”

“Keparat jahanam!” Ceng Ceng mendesiskan kata-kata ini penuh kebencian.

“Dan beberapa hari kemudian, wanita-wanita tua dibunuh, yang muda digiring sebagai orang tawanan atau lebih tepat lagi, sebagai alat hiburan mereka sampai kaum wanita itu mati atau bunuh diri. Anak-anak yang lahir dari perbuatan laknat ini kelak menjadi anak buah gerombolan. Kabarnya Tambolon sendiri merupakan hasil kelahiran dari perbuatan biadab seperti itulah.”

“Hemm, kalau begitu biarlah mereka muncul. Ingin aku memenggal leher manusia iblis itu dengan pedangku sendiri!” Ceng Ceng berkata lagi.

Tiba-tiba, seolah-olah menjawab kata-kata Ceng Ceng, terdengar suara melengking tinggi berulang-ulang. Mula-mula suara itu datangnya dari arah barat, kemudian disusul dari selatan, timur dan utara. Suara melengking yang agaknya bukan keluar dari leher manusia, melainkan dari semacam alat tiup yang aneh. Segera terdengar teriakan-teriakan dan kegaduhan hebat di luar kereta joli.

“Apa itu...?” Syanti Dewi bertanya kaget dan mukanya pucat.

“Jangan keluar dulu, biar aku yang memeriksa!” Ceng Ceng sudah meloncat keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat ratusan anak panah berapi datang bagaikan hujan menyerang tempat itu!

Di sana-sini sudah terjadi kebakaran pada tenda-tenda dan keadaan menjadi kacau. Para prajurit yang baru saja terbangun dari tidur dan dalam keadaan panik, lari ke sana ke mari sampai akhirnya teriakan-teriakan kakek Lu Kiong, komandan pasukan, Tan-ciangkun dan beberapa orang perwira lain dapat meredakan kepanikan. Pasukan-pasukan disusun dan dibagi empat, siap menghadapi serangan dari empat penjuru itu.

Tak lama kemudian, muncullah pihak musuh yang menyerang dari empat penjuru, dan terjadi pertempuran yang amat hebat. Perang yang terjadi di dalam gelap itu amat kejam dan dahsyat, namun sungguh tidak menguntungkan pihak pasukan Bhutan. Mereka sebagian besar baru saja bangun tidur, masih nanar dan agaknya pihak penyerang lebih tangkas dan lebih biasa dengan pertempuran di dalam hutan yang gelap. Selain itu, segera didapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa jumlah musuh luar biasa banyaknya, jauh lebih banyak dari pada jumlah pasukan Bhutan yang lima ratus orang itu. Juga di pihak musuh banyak terdapat orang-orang pandai dari bermacam suku bangsa. Ada pendeta Lama dari Tibet, ada orang Turki yang bersorban, orang Mongol dan juga orang Han!

Perang tanding mati-matian itu terjadi sampai hampir pagi. Ceng Ceng yang siap dengan pedang di tangan melindungi Syanti Dewi yang juga memegang pedang. Ada beberapa orang musuh dapat menyelundup masuk dan Ceng Ceng sudah merobohkan empat orang musuh, sedangkan Syanti Dewi sendiri yang selama hidupnya belum pernah bertempur, apa lagi membunuh orang, terpaksa membunuh seorang laki-laki tinggi besar yang hendak menangkapnya. Kini dengan muka pucat dan tubuh menggigil puteri itu memandang korbannya. Pedangnya tertinggal di dalam perut korban itu karena merasa terlalu ngeri untuk mencabut pedangnya!

Tiba-tiba kakek Lu Kiong datang dengan muka agak pucat. Seluruh pakaian kakek itu berlumur darah, dan mukanya penuh keringat. Pedang di tangan kakek ini pun penuh berlepotan darah dan kelihatannya dia lelah sekali. Seperti juga para prajurit dan para pimpinan, kakek ini telah ikut berperang dan mengamuk seperti seekor harimau.

“Ceng Ceng... cepatlah persiapkan diri dan tuan puteri! Kita harus melarikan diri, pihak musuh terlalu kuat!”

“Apa? Melarikan diri? Tidak, kongkong!” Ceng Ceng membantah marah. “Biarlah kita melawan sampai titik darah terakhir!”

“Hushhhhh! Kau kira kakekmu ini pengecut? Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, kita harus menyelamatkan sang puteri!”

Barulah Ceng Ceng teringat. Dia menoleh dan melihat Syanti Dewi berdiri pucat memandang orang yang telah ditusuk perutnya dengan pedangnya itu. Orang itu masih berkelojotan di depan kakinya!

“Bagaimana kita bisa melarikan sang puteri, kongkong? Tempat ini sudah terkurung.”

“Cepat, kalian berdua pakai pakaian ini dan mari ikut dengan aku!” Kakek Lu Kiong memberikan dua stel pakaian petani kepada Ceng Ceng dengan nada memerintah. “Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan tuan puteri. Ini sudah diatur oleh kami, komandan pasukan, Tan-ciangkun, dan aku sendiri. Kita berdua harus dapat mengawal dan menyelamatkan puteri keluar dari tempat ini!”

Dua orang gadis itu tidak banyak membantah lagi, lalu mengenakan pakaian petani yang agak kebesaran itu, menutupi pakaian mereka sendiri, menguncir rambut seperti model laki-laki, kemudian tergesa-gesa mengikuti kakek itu menyelinap di antara pohon-pohon gelap. Sang puteri menyerahkan segenggam perhiasan berharga kepada Ceng Ceng untuk membantu membawanya sebagai bekal. Dengan perhiasan di kantung baju yang lebar, dan pedang disembunyikan di bawah baju, mereka bergerak di bawah pohon-pohon. Syanti Dewi telah mendapatkan kembali pedangnya setelah dicabut dari perut penyerangnya tadi dan dibersihkan darahnya pada pakaian korban.

Akan tetapi, di mana-mana mereka bertemu dengan pihak musuh dan beberapa kali terpaksa mereka terpaksa membuka jalan darah dan merobohkan musuh untuk dapat melanjutkan usaha mereka melarikan diri. Namun, kakek Lu Kiong sedapat mungkin menghindarkan diri dari pertempuran, memilih lowongan-lowongan untuk keluar dari dalam hutan tanpa diketahui musuh.

Akhirnya, setelah matahari pagi tersembul di antara daun-daun pohon, mereka bertiga telah berhasil lolos dan keluar dari dalam hutan di mana masih berlangsung perang yang amat hebat itu. Suara pertempuran masih terdengar jauh di luar hutan. Baru saja hati ketiga orang pelarian itu merasa lega karena dapat lolos, dan memasuki sebuah hutan kecil di antara gurun pasir yang hanya kadang-kadang saja menyelingi gundukan perbukitan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan lima orang sudah berdiri di depan mereka dengan golok terhunus di tangan!

“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga tentu akan ada yang menyelinap ke sini! Eh, kakek tua, apakah kalian ini anggota rombongan puteri... ehhhh! Kalian berdua ini begini tampan, persis perempuan... heiiii, bukankah kalian perempuan?” Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

“Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!” tiba-tiba terdengar teriakan seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju mengurung.

“Ha-ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-ha-ha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!” teriak si muka hitam, dialah yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.

Si muka hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

“Plak-plak, dess!”

Tiga orang itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang, sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.

“Tranggg...! Cringgg...!”

Kakek Lu Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biar pun dia terkejut sekali karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali!

Melihat tiga orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya...!”

“Mulut busuk! Aku bukan pelayan!” bentak Ceng Ceng yang marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.

“Ha-ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!”

“Keparat!” Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.

Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapa pun lihai ilmu silat mereka. Ceng Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh lawan itu!

Terdengar teriakan keras. Ceng Ceng melihat kakeknya juga telah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.

“Kongkong...!” Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.

“Ceng Ceng, jaga sang puteri...!” kakek itu berteriak.

“Wuuuutttt... singgg...!” Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.

“Tringggg... augghhh...!” Tubuh kakek Lu Kiong tersungkur dan dia bergulingan.

Ketika menangkis tadi, rasa nyeri menusuk pundak kirinya yang terluka sehingga dia kehilangan tenaga dan hanya dengan jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas dari bacokan golok. Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan. Namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, lalu dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.

“Kakekmu terluka... bantulah dia, adik Candra!” Syanti Dewi berkata sambil pedangnya membacok ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.

“Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing ini!” Ceng Ceng berseru.

Dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka ia cepat memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini. Dengan putaran pedang secepat kitiran, akhirnya ia berhasil menendang roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.

“Singggg...!” Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.

“Tranggg...!”

Orang yang sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.

“Wuuttt...! Crottt!” pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya.

Orang itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari lehernya yang coba ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti Dewi loncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian. Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan hatinya ini.

Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.

“Robohlah...!” Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.

“Kongkong...!” Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung, lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan.

Ternyata kakek yang kosen ini biar pun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek lebar!

“Kongkong...!” Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang telah terluka hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu.

Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng. “Ceng Ceng, kau... kau selamatkan puteri... harus. Sekarang juga... pergilah kau ke kota raja... jumpai di sana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu. Lindungi puteri dengan nyawamu sebagai... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia...” Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.

“Kongkong...!”

Ceng Ceng memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis, walau pun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat. “Engkau benar, kongkong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah, kongkong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu.” Dia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu di antara mayat-mayat lima orang lawan tadi.

“Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!”

“Tapi... tapi jenazah kakekmu...”

“Tidak apa! Kongkong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kongkong tewas di antara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa! Marilah...!” Sekuatnya Ceng Ceng berusaha menahan tangis karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri.

Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu Kiong. “Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku...” Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.

Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur!

Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena pihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.

********************

“Lee-ko, mari kita turun dari sini. Lihat itu sepasang rajawali kita beterbangan di atas permukaan laut, agaknya tentu ada sesuatu terjadi. Mungkin ada ikan besar terdampar ke pulau seperti dahulu!” kata Kian Bu sambil menudingkan telunjuknya ke bawah puncak di mana tampak sepasang rajawali itu terbang rendah di permukaan laut.

“Ahh, Bu-te, sekarang bukan waktunya bermain-main. Ingat, hari ini kita harus melatih sinkang untuk menghimpun Hui-yang-sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) yang amat sukar.”

“Memang sukar, Lee-ko. Tidak semudah ketika kita melatih Swat-im-sinkang.”

“Tentu saja, untuk menghimpun Swat-im-sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) kita dibantu oleh hawa dingin dan salju, sedang Hui-yang-sinkang adalah sebaliknya, menyalurkan sinkang menjadi berhawa panas. Karena sukarnya, maka kita harus giat berlatih, jangan terlalu banyak main-main. Marilah kita berlatih lagi, kurasa di dalam goa itu sudah cukup panas, apinya sudah sejak pagi tadi menyala.”

Kian Bu menghela napas kecewa, akan tetapi tidak berani membantah kakaknya dan mereka memasuki sebuah goa di puncak itu. Kalau orang lain yang belum terlatih, baru memasuki goa itu saja tentu tidak akan kuat bertahan. Di situ dinyalakan api arang yang amat besar sehingga hawa menjadi panas luar biasa, baru masuk saja terasa kulit seperti dibakar. Namun kedua orang pemuda yang sudah terlatih itu seolah-olah mereka tidak merasakan hal ini. Mereka berjalan masuk dan duduk bersila, mulai berlatih Hui-yang-sinkang.

Kedua orang muda putera majikan Pulau Es ini memang selalu tekun berlatih silat semenjak mereka dahulu tersesat ke Pulau Neraka dan terancam bahaya maut. Biar pun mereka dapat terhindar dari mala petaka, bahkan pulang ke Pulau Es membawa sepasang rajawali, namun keduanya maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih belum mencukupi sehingga sekali saja keluar merantau hampir celaka, maka di bawah gemblengan dan bimbingan yang amat keras dari ayah mereka, keduanya berlatih setiap hari sehingga memperoleh kemajuan yang pesat sekali.

Akan tetapi belum lama mereka melakukan siulian (semedhi) untuk berlatih sinkang, tiba-tiba telinga Kian Bu menangkap suara rajawali yang melengking panjang. Dia membuka mata memandang keluar goa. Tentu saja dari dalam goa itu dia tidak melihat sepasang rajawali, akan tetapi kembali telinganya menangkap suara lengking panjang dari sepasang rajawali itu.

“Lee-ko...!”

Kian Lee membuka matanya memandang dengan cemberut. “Bu-te, mengapa kau belum juga berlatih? Apa kau ingin mendapat marah dari ayah?”

“Lee-ko dengarkan! Sepasang rajawali kita marah-marah, tentu ada sesuatu!”

Terpaksa Kian Lee mencurahkan perhatiannya pada pendengarannya dan tak lama kemudian dia mendengar lengking panjang dari sepasang rajawali mereka. Tak salah lagi, memang sepasang rajawali itu sedang marah-marah. Hal ini amat mengherankan karena kalau tidak terjadi sesuatu di Pulau Es, mengapa sepasang rajawali itu marah-marah?

“Hemm, mereka marah sekali. Entah apa yang sedang terjadi...,” kata pemuda yang bersikap tenang ini.

“Mendengar suara mereka, kalau tidak melihat dulu, mana bisa aku menyatukan tenaga untuk berlatih? Aku mau melihatnya dulu, Lee-ko!” Berkata demikian, Kian Bu sudah menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat keluar dari goa itu. Gerakannya memang hebat sekali karena pemuda ini sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat.

“Tunggu, Bu-te...!” Kian Lee juga meloncat dengan kecepatan yang sama.

Kedua orang kakak beradik itu berlari cepat menuruni puncak dan ketika mereka tiba di pantai tampaklah oleh mereka apa penyebab sepasang rajawali itu beterbangan rendah dan mengeluarkan suara pekik kemarahan. Kiranya Pulau Es kedatangan tamu! Hal yang luar biasa sekali karena selama mereka hidup di Pulau Es, baru satu kali ini ada orang-orang asing yang datang di Pulau Es, menggunakan sebuah perahu besar yang berlabuh di tepi pantai.

Kakak beradik itu merasa heran sekali, apa lagi ketika melihat bahwa yang datang adalah orang banyak. Ada dua puluh orang yang kini sudah mendarat dan mereka itu berdiri di pantai, berhadapan dengan Suma Han dan kedua orang isterinya! Karena ayah dan ibu mereka telah hadir, kakak beradik ini tidak berani bersuara, hanya melangkah maju dan mendengarkan percakapan.yang baru berlangsung. Agaknya orang tua mereka juga baru saja datang ke tempat itu menyambut para pendatang ini. Dua puluh orang itu rata-rata telah berusia lanjut, paling muda empat puluh lima tahun sampai ada yang sudah tua sekali. Akan tetapi yang paling menarik adalah dua orang kakek yang berdiri di depan, karena mereka ini adalah yang paling aneh di antara mereka semua.

Dua orang kakek ini menarik karena wajah mereka serupa benar. Sukar membedakan dua wajah itu yang bentuk dan garis-garisnya sama, bahkan rambut mereka yang panjang terurai sampai ke leher juga sama. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat menyolok pada pakaian mereka dan warna muka mereka. Yang seorang bermuka putih, bukan pucat melainkan putih seperti dicat! Kakek ini memakai baju tebal dari bulu, akan tetapi masih kelihatan seperti orang kedinginan, bahkan mukanya yang lebar bulat itu, yang berwarna putih, agak kebiruan seperti orang menderita dingin hampir beku.

Ada pun kakek kedua merupakan kebalikan dari kakek pertama. Kakek kedua bermuka merah, muka yang seperti orang kepanasan. Orang kedua ini hanya memakai celana sebatas lutut dan sepatu, sama sekali tidak memakai baju sehingga tubuhnya yang agak kurus dengan tulang iga menonjol itu kelihatan. Anehnya, biar pun berada di Pulau Es yang dingin sekali, kakek ini masih kelihatan seperti orang kegerahan, mengipas-ngipas tubuh atasnya yang telanjang itu dengan sehelai sapu tangan yang sudah basah oleh keringatnya. Dan ini bukan hanya aksi belaka karena memang lehernya selalu basah oleh keringat!

Delapan belas orang yang lainnya terdiri dari empat belas orang kakek yang rata-rata kelihatan aneh dan membayangkan ilmu kepandaian tinggi, dan empat orang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun yang masing-masing membawa pedang di punggung mereka. Empat orang wanita ini kepalanya dibalut dengan kain putih seperti orang berkabung dan wajah mereka angker, penuh kebencian ketika mereka memandang kepada Pendekar Super Sakti dan kedua isterinya. Melihat dari bentuk pakaian mereka, jelas bahwa empat orang wanita ini bukanlah wanita Han, sungguh pun wajah mereka seperti wanita Han biasa, akan tetapi pakaian mereka agak lain. Dan memang mereka itu adalah wanita-wanita dari Korea, dan tergolong tokoh-tokoh orang gagah di negeri itu.

Siapakah kedua orang kakek kembar yang agaknya menjadi pimpinan rombongan yang secara tidak terduga-duga datang mendarat di Pulau Es ini? Nama mereka tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, karena memang kedua kakek kembar ini selama puluhan tahun pergi meninggalkan dunia kang-ouw dan merantau di luar negeri. Mereka adalah kakak beradik kembar, berasal dari Taiwan (Formosa) dan pernah mereka menjelajah ke daratan besar dan membuat nama dengan ilmu kepandaian mereka.

Akan tetapi, mereka berbeda haluan dengan suheng mereka yang mencari kedudukan dengan menghambakan diri kepada Bangsa Mancu yang menduduki Tiongkok. Suheng mereka kemudian terkenal sebagai Koksu (Guru Negara), yaitu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Mereka berdua merasa kecewa melihat kakak seperguruan yang mereka anggap sebagai pengganti suhu itu menghambakan diri kepada musuh, maka keduanya lalu pergi meninggalkan daratan besar dan mereka berpencar untuk meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu mereka. Yang tua pergi ke utara dan selama puluhan tahun bermukim di daerah Kutub Utara yang amat dingin. Ada pun yang muda merantau ke selatan, ke daerah panas di mana matahari lewat tepat di atas kepala.

Beberapa tahun yang lalu, kedua orang ini kembali ke daratan besar sebagai dua orang lihai bukan main. Setelah puluhan tahun tinggal di dekat Kutub Utara, kakek tertua menjadi putih mukanya dan selalu berpakaian tebal seperti yang biasa dipakai orang-orang Eskimo di daerah Kutub Utara. Kakek ini kemudian terkenal dengan sebutan Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Utara). Ada pun adik kembarnya, sekembalinya dari daerah panas, menjadi merah mukanya dan selalu merasa kegerahan dan tidak pernah berbaju. Dia kini dijuluki Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Selatan).

Biar pun baru datang beberapa tahun saja, kelihaian mereka membuat nama Siang Lo-mo (Sepasang Iblis) ini terkenal sekali, terutama pada golongan yang menentang Pemerintah Mancu karena kedua orang ini pun terkenal anti kepada Kerajaan Mancu. Memang aneh sekali keadaan kedua orang itu. Lajimnya, orang yang selamanya tinggal di daerah dingin seperti Kutub Utara, kalau datang ke tempat yang lebih panas tentu akan kegerahan, akan tetapi Pak-thian Lo-mo sebaliknya malah, terus-menerus kedinginan! Demikian pula dengan Lam-thian Lo-mo, puluhan tahun dia tinggal di daerah panas, semestinya kini dia akan merasa kedinginan, akan tetapi biar pun berada di Pulau Es, dia masih terus merasa panas!

Sebetulnya mereka tidak pura-pura dan yang menyebabkannya demikian adalah sinkang mereka. Di Kutub Utara, Pak-thian Lo-mo melatih diri secara liar sehingga dia dapat menghimpun inti tenaga yang mengandung hawa dingin. Memang hebat sekali tenaga ini, namun akibatnya karena dilatih secara liar, dia selalu merasa kedinginan dan harus memakai jubah tebal berbulu dan sering kali minum arak tanpa takaran untuk menghangatkan tubuhnya, demikian pula Lam-thian Lo-mo yang telah melatih dan menghimpun inti tenaga sakti yang amat panas sehingga tubuhnya selalu terasa terlalu panas!

Ketika kakek kembar ini mendengar betapa suheng mereka telah digagalkan semua usahanya memberontak oleh Pendekar Super Sakti, bahkan kabarnya suheng mereka itu tewas di Pulau Es, tentu saja menjadi marah sekali dan menaruh hati dendam kepada Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Apa lagi ketika mendengar pendekar yang menjadi musuh besar mendiang suheng mereka itu adalah mantu Kaisar Mancu, kebencian mereka makin meluap-luap.

Mereka lalu mengumpulkan kawan-kawan sehaluan, yaitu mereka yang menentang Pemerintah Mancu. Di antaranya adalah keempat wanita dari Korea itu. Mereka itu adalah kakak beradik dari Jepang yang telah menikah dengan perwira-perwira Korea. Ketika suami mereka semua gugur dalam perang melawan pasukan Mancu, mereka bersumpah untuk membalas dendam dan menggabung dengan mereka yang anti Pemerintah Mancu sehingga akhirnya mereka dapat bekerja sama dengan Siang Lo-mo. Mendengar bahwa Siang Lo-mo hendak mencari Pulau Es dan menyerang Majikan Pulau Es yang menjadi mantu Kaisar Mancu, tentu saja mereka berempat menjadi girang dan segera menyatakan hendak ikut membantu.

Empat belas kakek yang lainnya sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang merasa dirugikan oleh Pemerintah Mancu, ada pula yang ikut menyerbu Pulau Es semata-mata untuk membalas dendam kepada Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti karena sahabat atau saudara seperguruan mereka pernah roboh di tangan pendekar ini.

Suma Han dan dua orang isterinya yang juga mendengar pekik sepasang rajawali dan melihat sebuah perahu besar mendarat, sudah cepat menyambut dan kini mereka bertiga menanti keluarnya dua puluh orang itu dari perahu. Sikap Suma Han dan dua orang isterinya tenang-tenang saja sungguh pun mereka juga merasa heran sekali melihat rombongan orang asing datang ke pulau mereka dan mereka bertiga sudah dapat menduga bahwa rombongan itu tentulah bukan datang dengan iktikad baik.

Namun, sesuai dengan wataknya yang tenang dan sopan, Suma Han mengangkat kedua tangannya di depan dadanya sebagai tanda penghormatan, lalu bertanya dengan suara halus, “Siapakah cu-wi (anda sekalian) yang telah mendarat di Pulau Es dan apa gerangan keperluan cu-wi?”

Sejenak kedua orang kakek kembar itu tak dapat menjawab, hanya mata mereka memandang Suma Han penuh perhatian dan penuh selidik, memandang pendekar itu dari rambutnya yang putih semua dan panjang sampai ke pundak sampai kakinya yang tinggal sebelah. Akhirnya Pak-thian Lo-mo menghela napas panjang. Dia merasa heran sekali dan hampir tidak percaya bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kelihatannya lemah, tubuhnya sedang, kakinya tinggal yang kanan dan rambutnya sudah putih semua, bersikap halus dan lemah lembut ini adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang demikian tersohor!

Dia tersenyum dan dengan sikap tak acuh tanpa membalas penghormatan tuan rumah, dia bertanya, “Apakah engkau yang berjuluk Pendekar Super Sakti, Tocu dari Pulau Es?”

“Kalau benar demikian, kau mau apakah?” Lulu tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap orang yang sama sekali tidak menghormat suaminya, padahal suaminya telah bersikap sopan dan ramah.

Pak-thian Lo-mo memandang pada Lulu dan mengangguk-angguk. “Hebat, aku sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri yang kabarnya lihai bukan main dan bahwa yang seorang adalah puteri dari Kaisar Mancu sendiri! Apakah engkau puteri kaisar itu?”

“Kakek tua bangka yang tidak mengenal orang!” Nirahai membentak. “Akulah puteri kaisar yang kau tanyakan. Engkau siapakah dan mau apa berlagak di tempat ini dengan membawa banyak anak buah?”

Pak-thian Lo-mo saling pandang dengan adik kembarnya, kemudian mereka berdua tertawa bergelak. Kini Lam-thian Lo-mo yang menjawab, suaranya kering tetapi nyaring sekali, “Eh, Pendekar Siluman! Kami hendak bertanya, apakah benar suheng kami Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di Pulau Es ini?”

Suma Han dan kedua orang isterinya terkejut. Kiranya dua orang kakek kembar yang aneh itu adalah sute-sute dari mendiang Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun! Jelaslah bahwa kedatangan mereka ini mengandung niat yang tidak baik.

Namun suara Suma Han masih tetap tenang ketika dia menjawab, “Benar, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di tempat ini karena perbuatannya sendiri yang menyalahi kebenaran.

“Kaukah yang membunuhnya?” Pak-thian Lo-mo bertanya, suaranya penuh ancaman.

Sebetulnya, Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun terjungkal dari tebing yang amat curam ketika bertanding dengan Gak Bun Beng. Namun bukan watak Suma Han untuk menyebutkan kesalahan orang lain hanya untuk melindungi dirinya sendiri, maka jawabnya, “Yang membunuhnya adalah tingkah lakunya sendiri yang tidak benar.”

Pak-thian Lo-mo mengangkat tangannya ke pinggang, bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. “Pendekar Siluman, dengarlah baik-baik! Kami berdua adalah Siang Lo-mo, aku disebut Pak-thian Lo-mo dan dia ini adikku Lam-thian Lo-mo. Kami datang untuk menuntut kematian suheng kami! Bukan itu saja, karena engkau adalah mantu kaisar penjajah dan isterimu itu puteri kaisar, maka kami para patriot bergabung untuk membasmi kalian dan mengambil Pulau Es ini sebagai sebuah markas baru!”

“Iblis tua bangka bosan hidup!” Nirahai sudah membentak marah sekali dan hampir berbareng dengan Lulu yang juga marah, kedua orang wanita sakti ini sudah melompat ke depan. Terjangan mereka disambut oleh Pak-thian Lomo dan Lam-thian Lo-mo yang tertawa-tawa menghina dan memandang rendah kedua wanita itu.

“Dessss! Desssss!”

Empat pasang lengan saling bertemu dengan hebatnya, dan akibatnya, Nirahai dan Lulu terlempar ke belakang sedangkan kedua kakek ini pun terhuyung! Melihat ketangguhan kedua orang kakek Siang Lo-mo itu, Suma Han berkata kepada kedua orang isterinya yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka, “Biarlah aku menghadapi mereka.”

“Pendekar Siluman, tibalah saatnya engkau menebus kematian suheng!” Lam-thian Lo-mo berteriak keras.

Bersama saudara kembarnya dia lalu menubruk ke depan dan dari kedua tangannya menyambar hawa yang panas seperti api menyala, sedangkan dari kedua tangan Pak-thian Lo-mo menyambar hawa yang dingin sekali. Namun Suma Han dengan gerakan tenang sudah menggerakkan tongkatnya ke depan, dengan gerakan aneh tongkatnya berputar seperti mencoret-coret huruf di udara.

“Plak-plak...!”

Secara aneh sekali tahu-tahu tongkat itu telah memukul tepat mengenai punggung dua kakek itu yang cepat melompat ke belakang, saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka kaget bukan main! Sama sekali mereka tidak mengerti bagaimana tongkat di tangan si kaki buntung itu dapat memukul punggung mereka! Namun mereka tidak menjadi jeri dan cepat tangan mereka meraba pinggang dan mereka melolos sabuk mereka, yang ternyata merupakan sebatang senjata cambuk baja hitam!

Suma Han merasa khawatir sekali di dalam hatinya. Kalau kedua orang kakek itu menggunakan senjata yang dia dapat menduga tentu ampuh dan lihai sekali, maka pertandingan akan menjadi sungguh-sungguh dan ada kemungkinan dia kesalahan tangan dan terpaksa membunuh mereka untuk menyelamatkan diri. Biar pun dia tidak merasa takut, namun betapa pun juga dia tidak menghendaki dia sekeluarga terpaksa membunuh orang dan mengotori Pulau Es yang sudah beberapa kali dikotori darah manusia yang terbunuh di situ akibat kejahatan-kejahatan mereka. Selama puluhan tahun dia hidup damai, tenteram, dan aman bersama dua orang isterinya dan kedua orang puteranya. Kini dia tidak ingin terjadi pembunuhan.

“Jiwi harap bersabar. Apakah urusan ini tidak dapat diselesaikan dengan damai?” tanyanya tenang.

“Pendekar Siluman, jangan kau kira bahwa kami gentar menghadapi tongkatmu! Kami datang untuk menantang engkau berkelahi!” bentak Pak-thian Lo-mo.

Suma Han menahan napas. “Andaikata terpaksa berkelahi juga, apakah tidak sebaiknya kita hanya menggunakan tangan untuk mengukur siapa yang lebih kuat, dan tidak perlu menggunakan senjata?” Sambil berkata demikian, dia menancapkan tongkatnya di depan kaki, tanda bahwa ia tidak akan menggunakan tongkat itu sebagai senjata.

Dua orang kakek itu saling pandang, dan sebagai sepasang saudara kembar, tentu saja hubungan batin mereka lebih erat dari pada orang lain sehingga dengan saling pandang saja mereka sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing. Keduanya mengangguk, menyelipkan cambuk di ikat pinggang, kemudian keduanya lalu berpencar, menghampiri Suma Han dari kanan kiri.

“Engkau hendak mengadu tenaga sinkang, ya?” Lam-thian Lo-mo berseru. “Baiklah! Nah, kau terima pukulan kami ini!”

Kedua orang kakek itu mengeluarkan suara menggereng hebat dari dalam perut mereka, kemudian mereka menggerakkan kedua lengan yang menggetar hebat dan tak lama kemudian, kedua lengan Lam-thian Lo-mo berubah menjadi merah kehitaman dan mengeluarkan uap panas, sedangkan kedua lengan Pak-thian Lo-mo berubah putih pucat seperti lengan mayat dan dari kedua lengan ini juga keluar uap dingin!

Kiranya mereka sudah mengumpulkan dan mengerahkan sinkang istimewa masing-masing, menyalurkannya ke dalam lengan dan tiba-tiba mereka berseru keras, memukul dengan telapak tangan kanan terbuka ke arah Suma Han dari kanan kiri agak ke depan pendekar berkaki tunggal itu.

Suma Han maklum bahwa kalau dia tidak memperlihatkan kekuatannya tentu tidak akan membuat lawan mundur dan dia tidak ingin kalau harus bertanding mati-matian, maka diam-diam dia pun telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang istimewa. Pendekar Super Sakti ini memang terkenal sekali dengan sinkang-nya, karena ia telah menguasai dengan sempurna dua macam tenaga sinkang yang berlawanan, yaitu Swat-im-sinkang (Tenaga Inti Salju) dan Hwi-yang-sinkang (Tenaga Inti Api).

Kini, menghadapi dua serangan yang datang mengandalkan sinkang yang berlawanan, tentu saja dia sudah siap. Bagi orang lain, betapa kuat sinkang-nya, tentu akan sukar menyelamatkan diri menghadapi serangan dari dua tenaga sinkang yang berlawanan itu, tetapi Pendekar Super Sakti dapat menyalurkan dua tenaga bertentangan itu dalam satu saat, lengan kiri penuh dengan tenaga Hwi-yang-sinkang menyambut telapak tangan Lam-thian Lo-mo yang panas, sedangkan telapak tangan kanan juga mendorong dan menyambut telapak tangan Pak-thian Lo-mo yang dingin.

“Dess! Dess...!”

Pertemuan tenaga mukjijat itu hebat luar biasa. Seolah-olah bumi bergetar dan semua orang yang ada di situ dapat merasakan getaran hawa panas dan dingin berselang-seling sehingga beberapa orang anak buah sepasang kakek kembar itu menggigil penuh kengerian. Selama hidup mereka yang puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw, baru pertama kali itu mereka menyaksikan beradunya tenaga mukjijat sehebat itu.

Dan akibatnya juga luar biasa sekali! Tubuh kedua kakek kembar itu terlempar sampai empat meter lebih. Mereka seperti daun kering tertiup angin, terhuyung dan terguling-guling dan ketika mereka berdua dapat meloncat berdiri, tampak darah merah menghias ujung bibir mereka! Benturan tenaga dahsyat tadi telah membuat mereka terluka di sebelah dalam, sungguh pun tidak terlalu berat karena mereka telah membiarkan diri mereka terdorong oleh tenaga lawan yang luar biasa kuatnya.

Akan tetapi, di lain pihak, biar pun Pendekar Super Sakti masih berada di tempatnya tadi, tidak bergeser selangkah pun, namun tubuhnya menjadi kurang tingginya dan kalau orang melihat ke arah kakinya yang tinggal sebelah itu ternyata telah melesak ke dalam tanah sampai hampir selutut! Ternyata bahwa kekuatan kedua orang kakek kembar itu kuat sekali sehingga dalam menahan pukulan mereka, tubuh Suma Han tertekan sedemikian rupa dan biar pun pendekar ini dapat mempertahankan, namun tanah di bawah kakinya tidak dapat menahan sehingga kaki itu masuk ke dalam tanah!

Tadinya kedua kakek kakak beradik itu terkejut bukan main, akan tetapi mereka melihat keadaan lawan, hati mereka menjadi besar. Kiranya keadaan lawan juga tidak lebih baik dari pada keadaan mereka. Melihat betapa Pendekar Super Sakti masih berdiri dengan kaki tunggal menancap ke dalam tanah, kedua orang itu sudah mencabut cambuk masing-masing dan dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menerjang maju.

“Tar-tar-tar-tar...!” Cambuk hitam mereka meledak-ledak di udara kemudian menyambar ke arah kepala Suma Han.

“Trak-trak-trak-trakkk!”

Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung dan kiranya tongkat yang tadi tertancap di atas tanah di depan kakek Pendekar Siluman, sekarang telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Biar pun kaki tunggalnya masih menancap di atas tanah, namun pendekar itu dengan tenangnya dapat menangkis semua sambaran sinar berwarna hitam dari kedua cambuk lawan. Ke mana pun ujung cambuk menyambar, tentu akan terbendung oleh gulungan sinar tongkat dan membalik seperti seekor ular bertemu api!

Di antara delapan belas orang teman sepasang kakek kembar, empat orang wanita Korea itu merupakan tokoh-tokoh terpandai. Melihat keadaan musuh mereka yang seolah-olah sudah terjebak, mereka mengeluarkan bentakan-bentakan pendek yang nyaring dan ketika tangan mereka bergerak, tampak pedang-pedang panjang melengkung, yaitu pedang samurai model Jepang, berada di kedua tangan mereka. Pedang itu terlalu panjang dan berat bagi mereka, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk memegang gagang pedang, seperti orang memegang toya dan kini mereka memekik sambil berlari ke arah Suma Han dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala mereka.

“Haaaiiiiikkkk...!”

“Trang-cring-cring-cring...!”

Empat orang wanita itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Lulu dan Nirahai yang ternyata telah menghadang mereka dan menangkis samurai-samurai itu dengan pedang mereka. Lulu memegang pedang Pek-kong-kiam yang bersinar putih, sedangkan Nirahai telah menggunakan senjatanya yang luar biasa, yaitu pedang payung. Merasakan tangkisan yang membuat tangan mereka tergetar dan tubuh mereka terhuyung, empat orang wanita Korea itu maklum akan kelihaian dua orang wanita isteri Pendekar Siluman itu, maka mereka lalu serentak maju menyerang sambil mengeluarkan pekik-pekik dahsyat. Empat belas orang lain juga bergerak maju, hendak mengeroyok Suma Han dan dua orang isterinya.

“Lee-ko, mari...!”

Kian Bu sudah berlari ke medan pertempuran, diikuti oleh kakaknya.

“Manusia-manusia jahat, berani kalian mengacau Pulau Es?” Kian Bu berteriak dan segera dia menyerbu ke depan.

“Haiiiitt!”

“Hyaaaahhh!”

Kedua orang pemuda itu mengamuk dan mereka ternyata hebat sekali. Biar pun mereka hanya bertangan kosong, namun setiap pukulan mereka tentu mengenai seorang lawan yang terjengkang atau terhuyung ke belakang. Biar pun mereka itu dapat bangun kembali, namun amukan kedua orang pemuda ini membuat mereka menjadi kaget dan panik. Apa lagi ketika terdengar lengking memanjang dari atas dan dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dan mengamuk pula membantu dua orang majikan mereka! Keadaan makin menjadi panik dan para pengeroyok itu kini sebaliknya malah menjadi sibuk dan terdesak hebat!

Pertandingan antara Suma Han dan dua orang kakek kembar juga makin seru, namun diam-diam kedua orang kakek itu harus mengakui bahwa lawan mereka yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu memang benar-benar amat sakti! Sering kali kedua orang kakek ini menjadi bingung karena secara aneh dan tiba-tiba sekali lawan mereka yang hanya berkaki satu itu lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu lawan itu telah menyerangnya dari atas kepala! Ketika mereka menyambarkan cambuk ke atas, kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah menerjang dari belakang! Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti mengeluarkan ilmu silatnya yang mukjijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu kesaktian paling cepat gerakannya di dunia ini!

Diam-diam Suma Han juga harus mengakui bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek kembar itu hebat sekali, sinkang mereka kuat dan tubuh mereka kebal, juga mereka merupakan ahli-ahli silat yang sudah berhasil mengumpulkan inti sari segala gerakan ilmu silat, diringkas dan dimainkan dasarnya saja sehingga mereka berdua merupakan lawan yang amat ulet dan kuat.

Namun, andai kata dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun yang membingungkan mereka, tentu saja dia dapat merobohkan mereka dengan tongkatnya, membunuh atau sedikitnya melukai mereka. Dia tidak menghendaki hal ini. Dia maklum bahwa jalan kekerasan hanya akan berakhir dengan kekerasan pula, dengan dendam dan kebencian yang tak kunjung henti. Maka dia bersikap sabar dan mengalah.

Ketika Suma Han mendengar bentakan kedua orang isterinya beserta kedua orang puteranya, dia menengok dan terkejutlah hati Pendekar Super Sakti ini. Kedua orang isterinya dan dua orang pemuda itu mengamuk seperti naga-naga marah. Dua orang wanita Korea telah roboh dan tak dapat bertanding lagi karena terluka parah, sedangkan di antara empat belas orang itu, sudah ada delapan orang yang roboh, entah tewas atau pingsan!

Celaka, dia sendiri tidak mau turun tangan keras, isteri-isteri dan anak-anaknya malah mengamuk seperti itu!

“Heiii, tahan dan mundur kalian semua!” Teriaknya sambil mencelat ke arah kedua isteri dan anaknya. “Kian Bu, Kian Lee, hayo panggil burung-burung setan itu!” teriaknya pula melihat betapa kedua ekor rajawali itu pun turut mengamuk hebat, membuat para lawan menjadi panik dan sibuk mempertahankan diri dari paruh dan cakar yang kuat.

Kedua isterinya mengerutkan alis, namun mereka mengenal suami mereka dan tidak mau membantah. Mereka maklum bahwa suami mereka akan berduka sekali kalau sampai keluarganya menggunakan kekerasan. Juga Kian Lee dan Kian Bu meloncat mundur dan berusaha memanggil sepasang rajawali yang sedang marah dan mengamuk itu. Akan tetapi, pekerjaan itu tidaklah mudah karena sepasang rajawali itu agaknya telah datang kembali sifat liar mereka dan sekali mencium darah, mereka menjadi buas!

Akan tetapi, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Suma Han. Dia sendiri mundur dan menyuruh anak isterinya untuk berhenti bertanding, akan tetapi sepasang kakek itu, dua orang wanita Korea, dan enam orang teman mereka yang masih belum roboh, sudah datang lagi menerjang dengan kemarahan meluap. Suma Han menghela napas panjang. Sedih dia melihat betapa begitu banyak orang ternyata amat membencinya sehingga mereka itu siap mempertaruhkan nyawa untuk membunuh dia!

“Siang Lo-mo dan cu-wi sekalian! Apakah kalian sudah bosan hidup? Lihat..., bukit itu longsor ke sini...!” mendadak Suma Han berteriak keras, suaranya disertai khikang dan mengandung tenaga sakti mukjijat yang bergema di seluruh tempat itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau di mana tampak bagian yang menjulang tinggi seperti bukit es yang putih.

Sepasang kakek kembar dan para temannya menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata mereka terbelalak dan muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu pecah-pecah, batu dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju ke tempat itu disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi yang hebat.....

“Celaka...! Cepat lari...!” Pak-thian Lo-mo berteriak sambil menyambar tubuh dua orang pembantu yang terluka.

“Lari..., bawa teman-teman...!” berteriak pula Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat wajahnya.

Tentu saja tidak perlu dikomando dua kali, karena mereka yang belum roboh menjadi pucat ketakutan menyaksikan mala petaka itu, bencana alam yang amat hebat dan yang tentu akan menggulung dan membasmi mereka semua kalau mereka terlambat lari dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan akan musnah itu. Mereka cepat menyambar teman yang terluka, lalu bersicepat lari ke arah perahu mereka, berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah laut. Angin segera mendorong layar dan perahu itu melaju cepat meninggalkan Pulau Es.

Suma Han menghela napas lega. Dua orang pemuda yang tadinya berlutut merangkul kedua kaki ibu masing-masing dengan muka pucat, sekarang menengadah melihat ibu mereka tersenyum. Keduanya bangkit berdiri, menoleh ke arah bukit dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa di sana! Padahal tadi, mereka ikut menengok dan melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara bergemuruh, mengancam tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!

“Untung mereka dapat dikelabui...“ Suma Han berkata perlahan.

“Hemmm, kalau mereka tidak lari, tentu sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!” kata Lulu.

“Mereka itu tidak seberapa kuat, mengapa harus dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)?” kata Nirahai, tidak puas karena tadi sedang ‘enak-enaknya’ membabati musuh.

Sudah belasan tahun puteri kaisar yang gagah perkasa ini tak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk bertempur, padahal dahulu puteri ini mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu silat. Peristiwa tadi sebetulnya amat menggembirakan hatinya, siapa yang tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak membabat musuh lalu dihentikan?

“Aihhhh... jadi ayah tadi mempergunakan ilmu sihir?” Kian Lee berkata, memandang ayahnya dengan kagum dan heran. “Akan tetapi... aku melihat sendiri, bukit itu seperti pecah...“

“Karena kau ikut menengok, maka kau menjadi korban kekuasaan ilmu sihir ayahmu pula,” kata Lulu. Dia dan Nirahai yang sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu, tadi tidak menengok dan karenanya tidak terseret.

“Wah, hebat sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu kepadaku!” Kian Bu bersorak.

Ayahnya diam saja, hanya memandang sepasang rajawali yang masih berputaran terbang di angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua ekor burung rajawali itu terkejut, lalu menukik turun dan tidak lama kemudian hinggap di atas tanah, di depan pendekar itu.

“Kian Lee, Kian Bu, lihat apa yang berada di paruh mereka itu!” bentak Suma Han.

Kian Lee dan Kian Bu menghampiri sepasang rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka. Kiranya burung rajawali kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di paruhnya, sedangkan burung rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah daun telinga manusia!

“Ihhh...! Ini jari tangan orang!” Kian Lee bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas tanah.

“Haiiii! Ini daun telinga orang...!” Kian Bu juga membuang benda menjijikkan itu.

Suma Han menghela napas, menggunakan tongkatnya membuat lobang di atas tanah, kemudian menjemput jari tangan dan daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala dia berjalan ke tengah pulau.

“Ayah, ajarkan aku ilmu sihir itu...!” Kian Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya.

Akan tetapi tangannya dipegang ibunya. “Ilmu itu tak mungkin diajarkan ayahmu kepada siapapun juga,” puteri kaisar itu berkata.

“Mengapa tidak mungkin, ibu?”

“Ilmu yang kelihatan seperti ilmu sihir itu dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya karena ayahmu memiliki kekuatan mukjijat. Pula, dengan kepandaian silat yang kau miliki saat ini, tidak perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau akan mampu menghadapi lawan yang bagaimana kuat pun.”

“Kian Lee, apa yang diucapkan oleh ibumu Nirahai itu benar sekali,” Lulu juga berkata, ditujukan kepada puteranya sendiri. “Tingkat kepandaian kalian berdua sudah cukup tinggi, dan melihat gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya tingkat kalian tidak berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku masih menjadi ketua Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya masih belum setinggi tingkat kalian sekarang ini.”

Nirahai mengangguk-angguk dan menyambung ucapan madunya itu, “Memang benar, apa lagi kalau diingat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang sedang kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan makin lemah. Maka jangan kalian berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian yang tidak mungkin dipelajari itu.”

Tentu saja hati sepasang pemuda ini menjadi gembira dan girang mendengar pujian Nirahai itu. Kegirangan itu bertambah besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga itu makan malam, Suma Han berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus, “Lee-ji dan Bu-ji, sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk keluar dari pulau, merantau meluaskan pengetahuan kalian.”

Kedua orang pemuda itu hampir bersorak saking girangnya mendengar ini, dan mereka berdua saling pandang dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira mereka sampai tidak melihat betapa sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.

“Akan tetapi ingat, kalian jangan mengira bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan kebebasan liar (sesuka hati!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam perbuatan sesat. Memang, tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih kurang sekali dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian pergilah ke kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu kalian akan mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali menyombongkan diri dengan menyebut nama Pulau Es. Mengerti?”

Kedua orang pemuda itu mengangguk dan menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati. “Ayah, bolehkah kami membawa sepasang rajawali?”

Suma Han menahan senyumnya. Puteranya yang kedua ini selalu berwatak riang gembira dan biar pun usianya sudah hampir delapan belas tahun, tetapi masih kekanak-kanakan sehingga merantau pun ingin membawa rajawali kesayangannya!

“Rajawali jangan dibawa. Sekali ini kalian merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat ramai, apa lagi akan memasuki kota raja. Kalau kalian membawa sepasang rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan kekacauan. Ingat kalian harus menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang rajawali yang terbang bebas di angkasa, tidak menggantungkan nasib dan keselamatan kalian pada perlindungan siapa pun juga. Seperti sepasang rajawali, kalian harus selalu waspada, jangan lengah karena segala kemungkinan dapat saja terjadi, segala bahaya dapat saja datang dari segala penjuru.”

Setelah banyak-banyak memberi nasehat kepada kedua orang puteranya sehingga semalam itu mereka hampir tidak tidur, pada keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meninggalkan Pulau Es. Mereka hanya membekal beberapa potong emas dan sejumlah uang perak untuk biaya di jalan, tetapi mereka berdua tidak diberi bekal senjata.

Perahu layar yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju ke arah yang telah ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka, diikuti pandangan mata kedua ibu mereka yang basah oleh air mata.

Setelah perahu itu lenyap dari pandangan mata, kedua orang wanita itu tidak dapat menahan tangis mereka. Betapa hati mereka tidak akan berkhawatir dan berduka ditinggalkan putera tercinta yang semenjak lahir berada di pulau itu bersama mereka? Suma Han mendiamkan saja kedua isterinya berduka, karena dia dapat menyelami perasaan mereka. Dia hanya berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh lepas ke arah lautan, mencoba untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan laut yang tak bertepi.

Andai kata ada yang bertanya kepada kedua orang ibu itu mengapa mereka menangis dan mengapa mereka berduka karena berpisahan dengan putera mereka, tentu mereka akan menjawab langsung bahwa mereka berduka karena mereka mencinta putera mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka. Jelas bahwa mereka menangis bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda itu bergembira dan tidak perlu ditangisi. Akan tetapi mereka menangis karena mereka ditinggalkan! Mereka menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba diri yang ditinggalkan pergi orang-orang yang dicinta!

‘Cinta’ yang bersifat pengikatan diri kepada sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini, hanya akan membawa kedukaan. Pengikatan diri kepada keluarga, pada harta benda, pada kemuliaan duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih sejati, melainkan nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka. Segala sesuatu, baik benda hidup atau pun mati, yang dipunyai seseorang secara lahiriah, kalau sampai dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan kesengsaraan.

Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan. Kalau kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah dan seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika tiba saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah itu, sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan menyakitkan hati!

Mengikatkan diri kepada apa pun juga, kepada suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa saja berarti menghambakan diri dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi takut dan khawatir. Takut kalau-kalau dipaksa berpisah, karena kehilangan, karena kematian dan lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah mengikat dirinya, membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk ini tidak segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertentangan, dan dari pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup.....


********************

Kita tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri yang termenung ditinggalkan putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang pemuda itu mulai dengan perantauan mereka seperti sepasang rajawali, dan mari kita menengok kembali keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng.

Seperti telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan. Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui oleh para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap.

Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Puteri Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati.

Pada suatu senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti di luar dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan daging panggang tanpa bumbu.

Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir dusun. Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, di situ terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh di atas meja.

Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan aman.

Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu.

“Kabarnya sang puteri lenyap...”

Kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan memaksa mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Ahhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?”

“Entahlah, kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng lalu tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi...”

“Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh”

“Mungkin sekali...”

“Aduh kasihan!”

“Kalau saja kita dapat menolongnya...”

“Wahh, orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk memasuki kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk.”

“Memang celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi.”

Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti orang-orang itu adalah sahabat!

Alangkah kaget dan herannya hati ketujuh orang pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang ‘pemuda’ yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.

“Para paman harap berhenti sebentar!” Ceng Ceng berkata.

Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng menggunakan suara aslinya, tujuh orang itu tertegun dan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.

“Kami sudah mendengar percakapan paman bertujuh dan kami percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk melewati kota Tai-cou,” kata pula Ceng Ceng.

“Apa... apa maksudmu... tuan... eh, nona...?” seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!

“Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi.”

Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!

“Maafkan kami... hamba tidak mengetahui...”

Syanti Dewi cepat berkata, “Harap paman semua bangkit berdiri. Jika sampai kelihatan orang tentu dicurigai.”

Mendengar ini, mereka cepat bangkit berdiri. Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang berhutang budi kepada Pemerintah Bhutan karena mereka diijinkan untuk mengangkut garam dari Bhutan yang mereka jual di daerah pedalaman.

Dari Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami gangguan, maka tentu saja mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka bersimpati kepada kerajaan ini dan sebaliknya, mereka sering kali mengalami gangguan dari para anak buah Raja Muda Tambolon, maka tentu saja mereka membenci mereka.

“Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibukota Kerajaan Ceng,” kata Syanti Dewi.

“Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua.”

Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang! Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati Tai-cou dengan selamat.

“Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali,” kata si kumis tebal. “Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang di antara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota.”

Semua orang menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas!

Perjalanan dari dusun itu menuju ke kota Tai-cou memakan waktu sehari. Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apa bila mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam.

Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak dan brewok. Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga keadaan di situ menjadi ramai sekali.

“Haiiii!” Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali. “Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami dapat menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!”

Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang. “Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan ditambah lagi...“

Perwira komandan itu menyambar kantung uang dan berkata kereng, “Hemm... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!”

Si kumis tebal telah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang di antara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apa lagi kalau sampai sang puteri dikenal! Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak, “Hayaaa... celaka... siapa yang menaruh ular-ular ini di keranjangku...? Tentu pedagang garam dari barat, keparat...!”

Terjadilah gaduh dan ribut karena memang mendadak muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah! Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada orang yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.

“Basmi semua ular...!” teriaknya kepada para anak buahnya. “Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!” Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal.

Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.

“Haiii, diperiksa dulu... eihhh, celaka...!” Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor ular hijau yang melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!

Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggota rombongan pedagang garam. Apa lagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.

Semalam suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar, sungguh pun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka.

Dengan mudah mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari pintu sebelah utara dan menempuh perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur.

Pada kesokan harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan itu, lalu berbaring di atas rumput melepaskan lelah.

“Aihhhhh... bukan main nyamannya rebah begini...,” Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat. “Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku dapat menlkmati makan-minum dan tiduran seperti ini!”

Mendengar ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena di situ tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran. ”Eh, kau kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa segembira itu?”

“Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur....”

“Raja itu meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih. Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini?”

Syanti Dewi tertawa juga. “Kau samakan aku dengan raja di dalam dongeng? Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Tetapi aku pun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini telah membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau tidak enak, menyenangkan atau tidak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan di luar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri....”

“Lezatnya makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri dari pada segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu.”

“Hemm... lalu bagaimana?” Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.

“Kalau begitu... sejatinya tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan... ahh, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!”

Ceng Ceng sudah tidak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu telah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang.

Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih. “Uuhhh, kiranya hanya mimpi...,” bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.

“Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang...!” Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.

Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri. “Wah, keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!”

“Hushhh, jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita masih enak-enak tidur di sini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku.”

Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka. “Aihhh, hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!”

Ketika dua orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan, “Lihat itu...!”

Syanti Dewi menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tidak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, telah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.

“Dan di sana itu... lihat, enci!” Kembali Ceng Ceng berbisik.

Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang! Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa.

Namun tidak tampak bayangan seorang pun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat bahwa bukan hanya ada dua orang mayat di situ, melainkan ada delapan orang! Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.

“Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita,” kata sang puteri.

Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang? Pula, dia pun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah pihak musuh.

“Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci,” katanya. Syanti Dewi hanya mengangguk, dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan di situ terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.

Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja.

Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apa lagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.

“Ji-wi kouwnio hendak menginap?” tanya seorang pelayan dengan sikap ramah.

Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata, “Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih.”

Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Ia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan ‘atas’, kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia lalu menjawab, “Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!”

Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor dari pada kamar dapur di istananya!

Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu lalu duduk di atas pembaringan di dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan setengah berbisik. “Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa seolah-olah kita di sini pun kini sedang diawasi orang.”

Syanti Dewi mengangguk. “Aku pun mempunyai perasaan demikian, Candra. Namun, kurasa orang yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!”

“Perjalanan kita masih amat jauh dan biar pun kita sudah melewati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kongkong... eh, mendiang kongkong...” Sampai di sini, Ceng Ceng tak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur!

Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata, “Ahhh, kongkong-mu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagai mana aku akan dapat membalas budi kongkong-mu itu ...”

Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras, “Jangan berkata begitu, enci!”

Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata, “Engkau adalah seorang dara perkasa, di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi aku...! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tidak mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Bukan hanya kongkong-mu tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang..., adikku yang tercinta, engkau pun harus menderita karena mengawalku!”

Ceng Ceng tertawa. “Kata siapa aku menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!”

“Apa? Tidak usah berpura-pura. Pakaian kita pun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita.”

Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri. “Aihhh, jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku? Aku pun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu. Aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang kongkong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan di sana kita dapat minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kongkong.”

Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata, “Ah, kiranya tidak percuma pula aku dulu tekun mempelajari ilmu silat, apa lagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, tetapi seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap menghadapi bahaya apa pun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm... haiittttt...!” Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki tangannya, seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya lincah dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.

“Bagus! Begitulah seharusnya, enci. Kita seperti sepasang burung yang terbang lepas di udara. Bebas dan kita boleh berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri. Bukankah itu menyenangkan sekali? Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu enci ingin makan roti kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja, tentu akan dilarang oleh sri baginda!”

Kedua orang dara itu bercakap-cakap sambil bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan peristiwa siang tadi di hutan. Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur nyenyak saling berpelukan di atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan kedua kosong. Dengan berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan aman!

Kurang lebih lewat tengah malam kedua orang gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara gaduh di atas kamar mereka. Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan otomatis dia meloncat turun dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga terbangun dan puteri ini berbisik, “Suara apa itu...?”

Ceng Ceng sudah menyambar bungkusan perhiasan dan topi mereka yang tadi mereka taruh di atas meja, menyimpan bungkusan di dalam saku bajunya yang lebar, kemudian menyerahkan topi caping yang sebuah kepada puteri itu sambil berbisik, “Sssttttt, ada orang bertempur di atas genteng...“

Keduanya sudah siap dan mencurahkan perhatiannya ke atas. Makin jelas kini suara orang bertanding di atas dan menurut dugaan Ceng Ceng yang lebih tajam pendengarannya, sedikitnya ada lima orang bertanding di atas genteng kamarnya. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi karena biar pun mereka bergerak cepat, namun tidak ada kaki yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang terdengar hanya suara angin menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan kadang-kadang terdengar suara nyaring beradunya senjata tajam.

Tiba-tiba di antara suara beradunya senjata dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam, terdengar suara seorang laki-laki berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak ada artinya, namun bagi sepasang gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki arti penting. Yang mengherankan hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara itu, seperti suara yang telah dikenalnya!

Sepasang merpati terkurung
tiada jalan terbang lari,
dihadang depan belakang
maut mengintai dari utara
di sepanjang lembah sungai!


“Enci Syanti, mari kita cepat lari...!”

Puteri itu meragu. “Mengapa lari? Di luar... bukankah lebih berbahaya? Kita berjaga di sini dan kalau ada bahaya baru kita membela diri.”

“Sssttt... kau turutlah aku, enci. Cepat!” Ceng Ceng sudah menggandeng tangan puteri itu, menariknya keluar dari kamar dan terus berlari melalui belakang rumah penginapan. Pintu belakang rumah penginapan itu masih tertutup. Ceng Ceng membuka palang pintu, kemudian mereka berdua meloncat ke dalam gelap, melalui pintu belakang dan terus lari tanpa menoleh lagi.

“Kita lari ke mana, Candra?” puteri itu bertanya, heran kenapa adik angkatnya ini tanpa ragu-ragu melarikan diri ke arah tertentu.

“Enci, ingatlah kata-kata terakhir di setiap baris pantun tadi. Lima kata-kata itu adalah terkurung-lari-belakang-utara-sungai! Nah, yang berpantun itu adalah seorang sahabat atau penolong yang menganjurkan kita lari karena kita telah terkurung dan kita dianjurkan lari melalui pintu belakang, menuju ke utara dan kalau aku tidak salah menduga, kita akan tiba di sebuah sungai.”

Syanti Dewi terkejut dan juga kagum akan kecerdikan adik angkatnya, akan tetapi juga ingin sekali tahu siapa orang yang berpantun dan yang menolong mereka itu.

“Dia siapa, adik Candra?” tanyanya sambil terus berlari di samping adiknya.

“Entahlah, akan tetapi suaranya seperti... heiiii!” Mendadak Ceng Ceng menghentikan larinya karena dia kini teringat akan suara itu. “Tentu saja dia orangnya!”

“Apa katamu?” Syanti Dewi berusaha menyelidiki muka Ceng Ceng di dalam gelap itu. “Dia siapa?”

“Penolong kita itu, yang berpantun tadi... suaranya seperti si muka bopeng yang bikin ribut dengan ular-ular di Tai-cou itu dan... dan... wah, tidak mungkin salah, tentu dia orang pandai yang menolong kita.”

Tiba-tiba Ceng Ceng menarik tangan Syanti Dewi dan dia sendiri sudah melepas topi capingnya, menggunakan benda itu untuk menghantam ke kanan, ke arah bayangan yang berkelebat dan tadi dilihat bayangan itu hendak menangkap Syanti Dewi.

“Prakkkk!”

Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan caping di tangannya itu hancur berantakan. Dara ini kaget bukan main. Dia menyerang bayangan itu dengan caping biasa, akan tetapi dia sudah mengerahkan sinkang-nya sehingga bagi lawan yang ilmunya tidak amat tinggi, serangannya itu sudah cukup hebat dan dapat merobohkan orang.

Namun bayangan itu menangkis dengan lengannya. Akibatnya tidak hanya capingnya yang hancur, akan tetapi dia sampai terhuyung saking kuatnya tenaga orang yang menangkisnya itu! Dia teringat akan pesan kongkong-nya bahwa di pedalaman banyak sekali terdapat orang pandai maka tanpa menanti orang tadi bergerak, dia sudah menerjang ke depan, menggunakan sepasang pisau belati yang disimpan di sebelah dalam bajunya.

“Hyaaatttt...!” Dara perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya menerjang cepat dan sepasang pisaunya menyambar dari kanan kiri, yang kanan mengarah lambung, yang kiri mengarah leher. Serangan yang dahsyat dan lihai sekali, apa lagi dilakukan dalam cuaca yang gelap!

“Plak-plak... wuuuutttt...!”

Kembali Ceng Ceng tercengang dan kaget. Orang itu telah dapat menangkis serangan dalam gelap, menangkis lengan kanan kiri, bahkan telapak tangan orang itu menyambar hendak mencengkeram ubun-ubun kepalanya. Untung dia dapat mengelak cepat, kalau tidak, sekali kepalanya kena dicengkeram oleh tangan yang dia tahu amat kuat itu, akan celakalah dia! Kini, bayangan itu menerjangnya dengan kecepatan yang mengerikan.

Akan tetapi Ceng Ceng tidak menjadi gentar. Dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang pisau, melindungi tubuhnya dan sekaligus dia menggerakkan kepalanya sehingga kuncir rambutnya menyambar seperti seekor ular hidup ke arah mata orang itu!

“Sing, sing...! Plakkk!”

Ceng Ceng mengeluarkan teriakan kaget karena selain sepasang pisaunya dapat dielakkan orang, juga kuncirnya hampir saja dapat ditangkap kalau saja dia tidak dapat melepaskan tendangan yang amat kuat dan membuat lawan itu terpaksa menarik kembali tangannya yang akan menangkap kuncir.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh orang itu mencelat ke depan dan sebelum Ceng Ceng dapat mencegahnya, bayangan itu sudah menangkap Syanti Dewi! Puteri ini memekik dan berusaha memukul, akan tetapi tingkat kepandaian puteri ini masih jauh sekali di bawah tingkat lawannya yang amat lihai, maka sekali orang itu menggerakkan tangan, tubuh itu telah menjadi lemas tertotok dan dia telah dipondong!

“Jahanam, lepaskan dia!” Ceng Ceng sudah menerjang maju dengan lompatan dahsyat. Hatinya marah bukan main dan sedikit pun dia tidak takut menghadapi lawan yang tangguh itu, yang dia khawatirkan adalah Puteri Syanti Dewi, maka begitu menerjang maju dia telah menggunakan sepasang pisaunya untuk menyerang dan berusaha merampas tubuh Syanti Dewi yang telah dipondong orang itu.

Namun ternyata lawan gelap itu lihai bukan main, gerakannya ringan sekali sehingga dia dapat mengelak dengan melompat ke kanan kiri. Selain lawan memang lihai, juga Ceng Ceng merasa kurang leluasa gerakannya karena dia takut kalau-kalau senjatanya mengenai tubuh enci angkatnya. Kemudian dengan beberapa lompatan jauh, orang itu melarikan diri meninggalkan Ceng Ceng.

“Iblis, hendak lari ke mana kau?” Ceng Ceng tentu saja mengejar secepatnya.

Namun dia kalah cepat dan hal ini terutama sekali disebabkan karena Ceng Ceng belum hafal akan keadaan di situ sehingga tentu saja dalam berlari cepat dia harus berhati-hati agar jangan sampai terjatuh dan ketinggalan makin jauh lagi. Dia sudah mulai gelisah sekali karena orang yang melarikan Syanti Dewi itu makin jauh meninggalkannya ketika tiba-tiba orang itu berteriak dan roboh terguling! Tubuh Syanti Dewi yang masih lemas tertotok juga ikut terguling, akan tetapi tiba-tiba ada tangan menyambarnya dan tubuh itu seketika terbebas dari totokan. Syanti Dewi mengeluh dan cepat menjauhkan diri sambil terhuyung-huyung dan berpegang kepada sebatang pohon.

Ketika Ceng Ceng tiba di tempat itu, orang yang melarikan Syanti Dewi tadi telah lari, dikejar bayangan lain yang agaknya tadi merobohkan penculik itu dan membebaskan totokan Syanti Dewi. Dalam sekejap mata saja dua bayangan yang berkejaran itu telah lenyap dari situ.

“Engkau tidak apa-apa, enci?”

Syanti Dewi menggeleng kepalanya.

Ceng Ceng merasa gembira. Cepat dia memegang lengan puteri itu dan diajaknya terus lari ke utara, seperti yang dipesankan dalam pantun oleh penolong mereka yang aneh. Siapakah penolong itu? Apakah yang menolong Syanti Dewi dari tangan penculik itu pun sama orangnya dengan yang tadi berpantun di atas kamar penginapan sambil bertanding, dan sama pula dengan si muka bopeng yang melepas ular di pintu gerbang Tai-cou?

Ceng Ceng merasa heran dan bingung. Kalau benar orangnya hanya satu, tentu orang itu lihai bukan main. Dia tahu betapa orang-orang yang bertanding di atas kamar penginapan itu memiliki ginkang yang amat tinggi, dan kalau penolongnya hanya seorang, berarti dia itu dikeroyok! Tadi pun dia mendapat kenyataan yang tak mungkin dibantah bahwa penculik Syanti Dewi adalah orang lihai yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada dia. Namun penolong itu dalam segebrakan saja mampu merampas Syanti Dewi!

Selain itu, juga hatinya khawatir sekali. Mudah saja diduga bahwa pihak musuh sudah mengenal penyamaran mereka, sudah tahu bahwa yang menyamar sebagai gadis-gadis petani itu, yang seorang adalah Syanti Dewi. Bahkan di dalam gelap, penculik tadi sudah dapat menentukan mana yang harus diculiknya! Kalau begini, berbahayalah!

“Mari cepat, enci!” Dia berkata dan mereka berlari secepatnya.

Namun, betapa pun mereka hendak bersicepat, tetap saja mereka menabrak pohon! Apa lagi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang penuh pohon. Mereka tidak dapat berlari lagi dengan baik, hanya meraba-raba dan menyelinap di antara pohon-pohon, kadang-kadang hampir terguling karena kaki mereka terjerat akar pohon atau semak-semak.

Dengan napas terengah-engah Syanti Dewi mengeluh, “Aduuhhhh... kita berhenti dulu... ahhh, lelah sekali...”

“Jangan, enci. Banyak musuh yang lihai... mereka sudah mengenal engkau!”

Ucapan Ceng Ceng ini membuat sang puteri terkejut sekali. “Be... benarkah mereka telah mengenaliku? Celaka... hayo... hayo lari cepat...”

Kini Syanti Dewi yang lari lebih dulu, lari dengan nekat karena takut! Dia merasa ngeri kalau sampai tertawan dan dibawa kepada Raja Muda Tambolon... ahh, tidak berani dia membayangkan nasib seperti itu, maka dia lari secepatnya.

“Enci... hati-hati... !” Kini Ceng Ceng yang merasa khawatir melihat puteri itu lari cepat dengan nekat tanpa melihat-lihat ke depan.

“Oughhh...!” Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit, tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang!

“Enci Syanti...!” Ceng Ceng menjerit.

Cepat dia menjatuhkan diri menelungkup, kemudian merangkak mendekati jurang yang hanya kelihatan menghitam di dalam gelap. Dapat dibayangkan, betapa gelisah hatinya. Sang puteri terjerumus ke dalam jurang yang gelap!

“Enci Syanti...!” Dia berteriak ke bawah, ke arah sumur menghitam yang menganga di depannya. Sampai lama tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Akan tetapi selagi dia hendak memanggil lagi, terdengar suara lemah dari bawah.

“Adik Candra...!”

Jantung Ceng Ceng berdebar girang, akan tetapi bulu tengkuknya meremang juga. Terjerumus ke dalam jurang segelap itu, benar-benarkah sang puteri masih hidup dan selamat? Jangan-jangan yang memanggil dirinya tadi adalah... arwahnya! Ceng Ceng menggunakan tangan kiri mengusap tengkuknya yang meremang, lalu menjulurkan tubuh atasnya ke dalam sambil berteriak lagi, “Enci Syanti... di mana engkau...?”

“Aku di sini... aku selamat, Candra. Untung ada pohon di sini yang menahan tubuhku. Tidak jauh, aku dapat melihatmu dari sini, mungkin kau tidak dapat melihat karena di bawah gelap. Lekas kau cari tali, tak perlu panjang kurasa sepuluh kaki cukuplah... aku dapat memanjat ke atas melalui tali...”

Girang sekali rasa hati Ceng Ceng. Sekarang dia dapat menangkap suara puteri itu dan memang tidak jauh di bawah. Sepuluh kaki? “Enci, hanya sepuluh kaki, mengapa kau tidak meloncat saja?”

“Ah, tidak mungkin. Pohon ini kecil, jika dipakai landasan meloncat mungkin tidak kuat. Pula, begini gelap, bagaimana aku dapat meloncat dengan tepat ke atas? Lekas cari tali...”

Ceng Ceng bingung lagi. Ke mana harus mencari tali di dalam gelap seperti itu, apa lagi di dalam hutan? Akhirnya dia mendapat akal baik. Tanpa ragu-ragu lagi ditanggalkannya semua pakaiannya setelah dia mengeluarkan perhiasan dan uang perak dan emas ke atas tanah. Ditanggalkannya bajunya, celananya, baju dalam dan celana dalam.

Seluruh pakaiannya ditanggalkan hingga dia menjadi telanjang bulat sama sekali! Lalu, sambil meraba-raba, dia sambung-sambungkan semua pakaian itu setelah digulungnya hingga merupakan gulungan kain yang bersambung-sambung, yang kemudian, dengan tubuh telanjang bulat, dia bertiarap di tepi jurang, menggulung-gulungkan kain itu sambil berteriak, “Enci Syanti... ini talinya...!”

“Ke sini, Candra. Di sebelah sini...!” Terdengar jawaban dari bawah dan Ceng Ceng mengulur tali ke arah suara itu.

Tak lama kemudian tali menegang, telah dapat terpegang oleh Syanti Dewi.

“Eh, dari mana kau memperoleh tali kain ini...?”

“Naiklah, enci. Ujung sini sudah kupegang erat. Hati-hati...“

Ceng Ceng mengerahkan tenaganya menahan ketika Syanti Dewi mulai memanjat naik. Tak lama kemudian, puteri itu sudah meloncat ke atas tanah. Dia menubruk Ceng Ceng dan keduanya saling berpelukan dan menangis! Menangis karena girang dan bersyukur bahwa Syanti Dewi selamat dari bahaya maut yang mengerikan itu.

“Heiiiii...! Kau... kau... telanjang bulat...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berseru kaget dan heran sambil meraba-raba tubuh Ceng Ceng. Ceng Ceng menggeliat kegelian dan memegang tangan Syanti Dewi.

”Itulah tali yang memancingmu keluar jurang, enci!”

Syanti Dewi tertawa, dan keduanya tertawa-tawa gembira ketika Ceng Ceng mulai memakai lagi pakaiannya yang tadi telah dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa enci angkatnya. Kini dia merasa tubuhnya panas dingin kalau membayangkan betapa akan jadinya kalau hal itu terjadi di siang hari dan kebetulan ada orang yang melihat dia bertelanjang bulat seperti seorang bayi tadi!

“Mari kita mencari tempat untuk beristirahat, enci. Malam terlalu gelap. Melanjutkan perjalanan berbahaya sekali, apa lagi kita sudah memasuki hutan di pegunungan. Masih untung Thian melindungimu ketika kau terjerumus tadi. Kalau tidak ada pohon itu, apa jadinya?”

“Ahhh, paling-paling mati, adikku! Dan agaknya hal itu jauh lebih baik dari pada jatuh ke tangan Tambolon.”

“Jangan putus asa, enci. Aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku “

Mereka melanjutkan perjalanan, dan sekarang dengan sangat hati-hati. Setelah mereka mendapatkan sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan, yaitu di bawah satu pohon yang diapit oleh batu-batu gunung yang besar, keduanya berhenti dan duduk beristirahat di atas rumput, bersandar kepada batu gunung. Mereka berusaha untuk melepaskan lelah dan beristirahat secukupnya.

“Tidurlah, enci Syanti, biarlah aku menjaga di sini.”

“Hemm, dinginnya bukan main. Mana bisa tidur? Bagaimana kalau kita membuat api unggun?”

“Ahhh, berbahaya, enci. Api unggun itu akan menarik perhatian orang, dan pula dapat kelihatan dari tempat jauh.”

Tubuh mereka memang dapat beristirahat, akan tetapi hati mereka selalu tegang dan siap siaga menghadapi segala bahaya yang mungkin datang menimpa. Malam itu gelap bukan main, agaknya bintang-bintang di langit dihalangi awan hitam.

Dalam keadaan segelap itu, di dalam hutan yang asing, apa lagi setelah mengalami hal-hal yang mengerikan, kedua orang dara itu tentu saja merasa khawatir dan gelisah. Mereka duduk berhimpit bersandarkan batu, mata mencoba menembus kegelapan malam dan memandang ke kanan kiri, telinga mereka dicurahkan untuk mendengar apa yang tak dapat dilihat mata.

Mereka selalu merasa seolah-olah diikuti oleh sesuatu, entah manusia, binatang atau setan! Bahkan ketika sedang duduk di tempat itu, mereka merasa ada mata yang memandang mereka, ada sesuatu yang memperhatikan mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka. Syanti Dewi adalah seorang puteri yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan seorang diri seperti itu, apa lagi malam-malam berkeliaran di dalam hutan gelap!

Ada pun Ceng Ceng, biar pun ia seorang dara perkasa yang sejak kecilnya digembleng oleh kakeknya, namun perjalanan seperti ini pun baru pertama kali dia alami bersama Syanti Dewi itu.

Mereka makin berhimpitan, dan makin siap dengan jantung berdebar tegang sekali ketika di dalam kegelapan malam pekat itu mereka seperti mendengar suara-suara yang aneh. Beberapa kali mereka mendengar suara gerengan dari tempat agak jauh, suara lolong anjing, dan lapat-lapat seperti ada orang bernyanyi! Mula-mula suara aneh itu seperti lewat terbawa angin lalu, akan tetapi kadang-kadang terdengar dekat sekali, bahkan mereka seperti mendengar suara langkah kaki orang di sekeliling mereka!

Tentu saja semalam suntuk mereka tidak mampu tidur sama sekali. Dengan tinju terkepal kedua orang dara itu duduk bersandar batu, seluruh urat syarat mereka menegang karena mereka menduga bahwa sewaktu-waktu tentu akan muncul musuh mereka. Mata dan telinga mereka siap dengan penuh perhatian meneliti keadaan di depan, kanan dan kiri karena mereka tidak mengkhawatirkan musuh akan datang menyerang mereka dari belakang yang terlindung oleh batu gunung yang besar dan tinggi. Akan tetapi, tidak ada sesuatu terjadi! Bahkan menjelang pagi, suara itu lenyap sama sekali.

Setelah sinar matahari pagi mulai mengusir embun dan kegelapan, keduanya bangkit berdiri. “Hayo kita tinggalkan tempat yang menyeramkan ini, enci Syanti,” kata Ceng Ceng, lega bahwa malam itu dapat mereka lewatkan dengan selamat.

“Suara apakah semalam, Candra? Menyeramkan sekali!”

“Entahlah, mungkin kita salah memilih tempat. Mungkin di sini sebuah perkampungan siluman yang tentu saja tidak tampak.”

Syanti Dewi segera bergidik, memegang tangan adik angkatnya dan bergegas mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara meninggalkan tempat menyeramkan itu. Tubuh mereka terasa letih dan mengantuk, tetapi hati lega karena mereka dapat meninggalkan tempat itu.

“Haii... banyak bangkai anjing di sini...!” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru heran saat mereka keluar dari tempat itu dan melihat belasan ekor anjing serigala telah menggeletak malang melintang dalam keadaan mati, ada yang lehernya hampir putus, ada pula yang kepalanya pecah. Darah masih belum kering betul, menunjukkan bahwa gerombolan serigala ini dibunuh orang semalam!

“Kalau begitu lolong anjing semalam bukanlah suara siluman, melainkan suara mereka ini!” bisik Syanti Dewi sambil menengok ke kanan kiri.

Juga Ceng Ceng menoleh ke kanan kiri, depan belakang sambil memandang penuh selidik. “Heran sekali, siapa yang membunuh mereka semalam? Aku mendengar suara orang, seperti orang bernyanyi...”
“Aku juga!” kata Syanti Dewi. Semalam ketika mendengar suara-suara itu, keduanya diam saja karena merasa ngeri.

“Dan ada suara langkah-langkah kaki orang...”

“Benar, aku pun mendengarnya.”

“Hemmm, kalau begitu, kita masih terus dibayangi orang, enci.”

“Siapa dia gerangan?”

“Tidak peduli siapa, aku sama sekali tidak takut!” Ceng Ceng menjadi penasaran dan sudah mencabut sepasang pisau belatinya. Dengan mengangkat dadanya yang mulai membusung itu dia berteriak, “Heiii, orang yang membayangi kami, hayo keluar kalau memang engkau seorang gagah! Kalau ada niat busuk, mari kita bertanding sampai seribu jurus!”

Akan tetapi dara itu seperti menantang angin karena yang menjawabnya hanya bunyi angin berdesir yang mempermainkan ujung-ujung ranting pohon. Setelah yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dua orang dara itu melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, kembali mereka tertegun ketika melihat bangkai dua ekor harimau yang besar juga.

Seperti juga gerombolan serigala tadi, dua ekor harimau itu belum lama dibunuh orang. Ketika Ceng Ceng memeriksa, diam-diam dia terkejut dan kagum bukan main melihat bahwa dua ekor raja hutan itu mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Dapat dibayangkan betapa kuatnya orang itu, yang membunuh dua ekor harimau itu hanya dengan jari tangan saja! Melihat kenyataan ini, hatinya agak jeri juga dan dia tidak lagi mengulangi tantangannya di dekat bangkai gerombolan serigala tadi, tetapi cepat mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan ke utara.....

Pada tengah hari, tibalah mereka di tepi sebuah sungai! Girang hati mereka karena ternyata nasehat penolong yang berpantun itu ternyata cocok! Mereka tidak mengenal daerah itu dan tidak tahu sungai apakah itu, akan tetapi mereka tahu bahwa mereka sudah berada di daerah yang aman. Mereka harus menyeberangi sungai itu dan melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, tempat ini sunyi sekali. Sungai itu mengalir tenang melalui hutan-hutan dan pegunungan.

Sungai itu adalah Sungai Nu-kiang (Salween) yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir ke selatan memasuki Negara Birma. Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu telah tiba di kaki Pegunungan Heng-toan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang di pegunungan ini amat sunyi sehingga sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu agar dapat menyeberang. Tempat itu jauh sekali dari perkampungan nelayan.

Akan tetapi, setelah mereka menyusuri sungai sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu kecil di pinggir sungai, sebuah perahu kosong! “Di sana ada perahu, adik Candra!” Syanti Dewi berkata girang sambil menuding ke depan.

Ceng Ceng juga sudah melihatnya dan gadis ini memegang tangan kakak angkatnya sambil berkata, “Enci Syanti, karena kita, terutama engkau, adalah orang-orang pelarian yang sedang dikejar-kejar musuh, maka kurasa sebaiknya mulai saat ini engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi sebelum kita selamat di kota raja Kerajaan Ceng.”

Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya kupergunakan?”

“Bagaimana jika namamu menjadi Sian Cu? She-nya boleh memakai she-ku, yaitu she Lu.”

“Lu Sian Cu? Nama yang bagus sekali!” Syanti Dewi atau Sian Cu berkata girang.

“Dengan nama ini, kalau sekali waktu aku lupa dan menyebutmu enci Syanti, biarlah disangka menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan seperti engkau tahu, namaku adalah Lu Ceng. Kita berdua kini mengaku sebagai gadis dari daerah perbatasan yang lari mengungsi ke timur.”

“Baiklah, adik... Ceng. Ah, hampir aku menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih manis.”

“Nah, mari kita dekati perahu itu. Heran sekali, ke mana tukang perahunya?” Mereka melangkah lagi mendekati perahu dan setelah tiba di dekat tempat di mana perahu itu tertambat di tepi sungai, tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah, berbantal batu yang dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak, terdengar suara dengkurnya yang keras.

Ceng Ceng dan Syanti Dewi atau kini lebih baik disebut nama barunya yaitu Sian Cu, mendekati tukang perahu yang sedang tertidur nyenyak itu dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup tegap dan tampak kuat karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih akan tetapi telah terhias beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian sederhana seorang petani atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang gadis itu. Sukar ditaksir usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan masih muda sekali, akan tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar tak terpelihara membuat muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan bodoh yang sederhana dan biasa hidup keras dan sukar!

Ceng Ceng menggunakan ujung bajunya yang lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke lehernya. Rambutnya agak awut-awutan dan karena dia tidak memakai caping lagi, benda itu telah hancur ketika dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari yang lalu itu, mukanya yang putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan oleh sinar matahari.

“Hei, tukang perahu...!” Ceng Ceng berseru memanggil laki-laki yang sedang tertidur nyenyak itu.

Si tukang perahu tetap tidur mendengkur, sedikit pun tidak bergerak, juga dengkurnya tidak berubah, tanda bahwa teriakan Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu tidurnya.

“Paman tukang perahu...!” Ceng Ceng berteriak lebih nyaring lagi.

Sekarang suara mendekur itu berubah agak perlahan, dan kumis liar di bawah hidung itu bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu diam lagi dan dengkurnya kini menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak keras itu mulai jengkel hatinya.

“Heii, tukang perahu yang malas! Bangunlah...!” Dia berteriak nyaring dan mengomel, “Wah celaka, bertemu seorang pemalas seperti kerbau!”

Tukang perahu itu menggerakkan kedua kakinya, menarik kedua tangan dari bawah kepala, mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan terdengar dia bicara dengan suara ngelindur. “...aduhh... siluman rase... ahhh... siluman ular...”

Dan dia lalu membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi lebih keras. Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya merah dan matanya terbelalak marah.

“Kurang ajar! Babi pemalas! Tidak bangun malah memaki-maki orang!”

“Sabarlah, Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia sedang tidur dan tentu mimpi.”

“Biar pun sedang mimpi, jelas ia memaki kita. Dia menyebut siluman rase, siluman ular, bukankah itu memaki namanya? Di dongeng mana pun juga, siluman rase dan siluman ular selalu menjadi seorang wanita!”

“Tapi jelas dia tidak sengaja, dia sedang tidur.”

“Kalau dia sengaja, tentu sudah kupatahkan semua giginya!” Ceng Ceng berkata lagi, mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah pasir di depannya dan beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher tukang perahu itu.

Tukang perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di bawah kepalanya dan dia sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi mulutnya tertutup, kini bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar itu deretan giginya yang putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu menantang dan memperlihatkan giginya untuk dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng Ceng yang sedang marah itu makin gemas.

“Tukang perahu yang malas seperti kerbau dan babi!” teriaknya lagi. “Hayo bangun, atau... kulemparkan kau ke dalam sungai!”

Tukang perahu itu tetap tidur.

“Enci, mari kita pakai saja perahu itu!”

“Eh, jangan Ceng-moi. Tak baik mencuri barang orang lain,” kata Sian Cu.

“Kalau begitu, biar kulempar mukanya dengan batu supaya si pemalas itu bangun!”

“Sttt, jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia, lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu semalam dia tidak tidur! Orang yang terlalu lelah, orang yang terlalu sedih, tentu dapat tidur seperti pingsan saja. Pula, kita berdua tidak pandai mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana kita bisa menyeberang? Siapa tahu, dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota yang berdekatan. Tentu dia lebih mengenal daerah ini.”

Ceng Ceng menahan kemarahannya dan kembali dia berteriak, “Tukang perahu malas dan tolol! Lekas bangun, kita hendak menyewa perahumu!”

Kini tukang perahu itu menghentikan suara dengkurnya, sepasang matanya bergerak gerak lalu kelopak matanya terbuka. Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang bersinar tajam sekali, tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa kali seperti belum sadar benar.

“Paman, bangunlah. Kami hendak menyewa perahumu itu!” kata Sian Cu sambil menuding ke arah perahu. Suaranya lunak dan halus dan memang puteri ini memiliki watak yang jauh lebih halus dari pada Ceng Ceng yang keras hati dan jujur.

Tukang perahu itu mengeluh dan bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan ketika dia menurunkan kedua tangan memandang dua orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat berdiri dengan mata terbelalak, tubuhnya menggigil dan dia menudingkan telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil berteriak ketakutan. “Siluman... ehhh, siluman... jangan ganggu aku...!”

“Monyet tua...!” Ceng Ceng sudah bergerak hendak memukul, akan tetapi lengannya dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar dia menghadapi tukang perahu yang masih ketakutan itu.

“Paman, engkau tenanglah. Kami bukan siluman, melainkan dua orang gadis yang ingin menyewa perahumu.”

Tukang perahu itu mengangkat kedua tangannya di depan dada dan mulutnya masih komat-kamit, terdengar suaranya. “Aduh... selamat... selamat... selamat..., Tuhan masih melindungi aku...! Maafkan, ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku mengira bahwa ji-wi adalah siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang amat mengerikan! Hiihhh...!” Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan otomatis Ceng Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya semalam.

“Engkau mendengar apakah, paman?” Sian Cu bertanya.

“Semalam... hiihhh, aku tidak dapat tidur sama sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan mati dicekiknya, suara aneh-aneh terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua penghuninya, siluman dan iblis, sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih hidup, aku ingin tidur sampai kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku.” Tukang perahu itu kembali merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.

“Eh-ehhh... jangan tidur lagi, engkau!” Ceng Ceng membentak. “Kami ingin menyewa perahumu!”

Tukang perahu itu bangkit, akan tetapi tidak berdiri, hanya duduk sambil memandang kepada Ceng Ceng. “Nona, melihat pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun biasa, akan tetapi sikapmu seperti seorang puteri pembesar tinggi saja!”

“Cerewet kau! Siapa aku, tak perlu kau pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapa pun akan kami bayar!” Dia mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar perak yang berkilauan itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.

Akan tetapi, betapa menjengkelkan sikap tukang perahu itu yang memandang tak acuh, lalu berkata, “Aku tidak menyewakan perahuku.” Dan dia sudah hendak merebahkan dirinya lagi.

“Paman, tolonglah kami. Kami ingin menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan membayar secukupnya kepadamu.”

Tukang perahu itu memandang Sian Cu, lalu melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik marah. “Aku tidak menyewakan perahuku, juga aku tidak butuh uang.”

“Kau manusia sombong...!” Ceng Ceng berteriak.

Akan tetapi Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah dia dengan suara halus kepada si tukang perahu, “Paman tukang perahu, kalau begitu, anggaplah kami tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya bahwa paman tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami melarikan diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan perjalanan menyeberang sungai.”

Suara yang halus dan sopan dari Sian Cu membuat tukang perahu itu kelihatan jadi sungkan juga. Dengan ogah-ogahan dia bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan menguap beberapa kali, lalu memandang ke arah seberang sungai. “Kalian hendak menyeberang? Mau ke mana menyeberang?”

“Kami hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak menyeberang,” kata pula Sian Cu mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah tidak sabar menyaksikan sikap si tukang perahu.

“Menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan? Aihhh, apakah kalian mencari mati?”

“Apa katamu?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.

“Hemm, kau galak sekali, nona. Aku bilang bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan mengungsi, berarti kalian mencari mati. Di seberang sana hanya terdapat hutan-hutan yang liar dan tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang tak bertepi, dan pegunungan yang sukar sekali dilalui manusia selain penuh dengan binatang-binatang buas dan siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak menyeberang ke sana? Eh-ehh...!” Dia lalu memandang tajam kepada dua orang gadis itu, pandang mata penuh selidik. “Benar-benarkah... eh... kalian ini manusia, bukan siluman-siluman?”

“Mulut busuk!” Ceng Ceng membentak marah, tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi karena dia sudah marah bukan main. “Kalau kami berdua siluman, maka engkau adalah siluman babi Ti Pat Kai!”

Tukang perahu itu melongo, kemudian tertawa. “Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut, nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat Kai!” Ti Pat Kai adalah tokoh dalam cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang terkenal, pelahap, dan mata keranjang!

“Paman, harap jangan main-main. Kami berdua sudah melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan, bahkan semalam kami tidak tidur sebentar pun. Sekarang kami ingin melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, kami berniat pergi ke Kota Raja Kerajaan Ceng“

“Wahhhh...? Mimpikah aku? Ataukah benar-benar kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi ke kota raja? Tahukah kalian berapa jauhnya kota raja itu? Kalian harus melalui sedikitnya enam propinsi dan ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun di perbatasan hendak pergi ke tempat sejauh itu?”

“Kami berdua hanya ingin menyeberang, dan engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih engkau ini?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.

Namun Sian Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan kepada si tukang perahu untuk menanggapi kegalakan Ceng Ceng, “Kami mempunyai seorang bibi di sana. Paman, kalau benar di seberang merupakan daerah yang amat berbahaya dan sukar dilalui maka kami harap kau suka menolong kami dan memberi tahu jalan mana yang harus kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota raja dengan selamat.”

Tukang perahu itu menggaruk-garuk belakang telinganya. “Terus terang saja, aku sendiri belum pernah pergi ke kota raja. Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh, jalan satu-satunya ke kota raja hanya menggunakan jalan air, menurutkan aliran Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan darat ke utara sampai Sungai Huang-ho dan mengambil jalan air lagi menurutkan aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai ke kota besar Cin-an, baru menggunakan jalan darat ke utara menuju ke kota raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan kiranya akan menggunakan waktu berbulan!”

Ceng Ceng sudah mengerutkan alisnya. Turun semangatnya mendengar keterangan yang membentangkan kesukaran perjalan itu, akan tetapi Sian Cu berkata, “Terima kasih, paman. Engkau baik sekali dan kami akan menggunakan petunjuk itu untuk melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana kita dapat mencapai Sungai Yang-ce-kiang?”

“Dari tempat ini dapat berperahu mengikuti aliran sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana terdapat jalan menuju ke Sungai Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang dan melalui jalan darat ke timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang.”

“Ah, terima kasih. Kuharap paman sudi membawa kami ke dusun Kiu-teng.”

“Hemmm...”

“Kami akan membayar sewanya, berapa saja yang kau minta, paman.”

“Sikapmu halus dan baik sekali, nona. Siapakah namamu?”

“Namaku Lu Sian Cu, paman,” jawab Sian Cu sambil menunduk supaya tidak tampak perubahan air mukanya.

“Baiklah, Sian Cu. Aku suka mengantarkan engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari sini, makan waktu hampir sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya?” Dia menuding kepada Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia didahului oleh Sian Cu.

“Dia adalah adikku, namanya Lu Ceng.”

“Aku hanya mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng, nona Sian Cu, bahkan tanpa dibayar apa pun. Tetapi dia itu, hemm... Lu Ceng terlalu galak dan sikapnya tak menyenangkan, maka...”

“Cerewet! Kalau engkau tidak mau aku pun tidak membutuhkan bantuanmu, manusia sombong! Kalau aku melemparmu ke dalam sungai dan membawa perahumu, kau mau bisa apa?”

“Ceng-moi, jangan begitu...!” Sian Cu membujuk adik angkatnya, lalu berkata kepada si tukang perahu. “Paman, kau maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku pergi, dia pun harus ada di sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa kami berdua ke Kiu-teng.”

Tukang perahu itu bersungut-sungut. “Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu janji.”

“Janji apa?” Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji yang kurang ajar, tentu akan dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!

“Bagimu engkau tidak usah melakukan sesuatu, tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi nona Ceng ini, dia harus menurut perintahku, dia harus membantuku kalau aku perlu bantuannya mendayung perahu atau mengatur layar, dan dia pun harus menanak nasi, air, atau memanggang ikan untukku setiap kali kukehendaki.”

“Setan... kau kira aku siapa...?”

“Adik Ceng, mengapa ribut-ribut? Bukankah permintaannya itu sudah semestinya? Dia mau menolong kita, apakah sebaliknya kita tidak mau menolong dia hanya dengan pekerjaan ringan seperti itu?”

Dengan menggigit bibir saking gemasnya, Ceng Ceng berkata singkat. “Baiklah!”

Tukang perahu itu tertawa. “Nah, silahkan naik ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu saja kurang enak, jangan nanti kalian menyalahkan aku.” Sambil berkata demikian, tukang perahu mengambil buntalannya dan menaruhnya di kepala perahu agar ruangan tengah yang terlindung anyaman bambu itu dapat dipakai oleh kedua orang gadis itu.

Mereka memasuki perahu dan meluncurlah perahu itu ke tengah sungai didayung oleh si tukang perahu yang mulai dengan gayanya yang terang-terangan hendak menghukum Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu. “Ehhh, nona Ceng, kau masaklah air, itu cereknya, itu batu api, teh di sana... dan beras ada di ujung sana, masak nasi untuk kita bertiga. Aku akan memancing ikan untuk lauknya.”

Ceng Ceng mendelik, akan tetapi jawilan jari tangan Syanti Dewi membuat dia tidak membantah dan dengan bersungut-sungut dia mengerjakan perintah tukang perahu itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti kalau kami tidak membutuhkan lagi perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang diperintahkan seorang tukang perahu miskin yang kurang ajar. Sialan!

Akan tetapi tukang perahu itu ternyata pandai sekali mengail. Sebentar saja dia telah mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis. Dia melontarkan ikan-ikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Bersihkan ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri itu, dekat kakimu, lalu panggang di atas arang membara. Awas, jangan sampai api menyala, nanti hangus dan tidak enak!”

Lagakmu, Ceng Ceng memaki di dalam hatinya. Kau kira aku tidak tahu caranya masak dan memanggang ikan? Akan tetapi karena dia dan enci-nya membutuhkan perahu itu, bukan hanya perahu itu akan tetapi tukang perahunya karena mereka berdua tidak tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan mulai melakukan pekerjaan tanpa banyak mengeluarkan suara.

Ceng Ceng adalah seorang dara yang sejak kecil digembleng ilmu silat oleh kakeknya. Wataknya keras, pemberani dan di samping ini, juga harus diakui bahwa dia terlalu dimanja oleh kongkong-nya. Selama tinggal bersama kongkong-nya yang merupakan seorang guru terhormat, dia diperlakukan dengan hormat oleh semua orang. Terutama sekali setelah dia menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya naik dan dia makin dihormati. Tidak pernah ada orang yang berani memandang rendah kepadanya, karena kedudukannya dan juga karena orang maklum akan kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan saja dipandang rendah, bahkan diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang pelayan saja layaknya!

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka bertiga makan, hanya si tukang perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya sedangkan Ceng Ceng tidak dapat menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol sekali. Sikap tukang perahu itu benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap gerak-geriknya seolah mengejeknya, setiap kata-katanya seakan menyindirnya! Mulut yang cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu mentertawakan padanya! Bedebah benar!

Akan tetapi, melihat sikap Sian Cu yang selalu bersabar, Ceng Ceng dapat menahan kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan tubuhnya karena malam tadi sama sekali tidak tidur, malam hari itu dia dapat tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara tukang perahu itu sudah berteriak-teriak membangunkan mereka.

“Nona Ceng, bangun! Sudah siang!” teriaknya. Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng yang bangun, juga Sian Cu.

“Siapa bilang sudah siang?” Ceng Ceng bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih pagi sekali, sungguh pun malam memang telah lewat dan sinar matahari mulai mengusir kegelapan.

“Hanya seorang pemalas saja yang mengatakan bahwa sekarang belum siang!” kata tukang perahu. “Aku jelas bukan pemalas karena biasanya pada waktu seperti ini aku sudah bangun tidur dan memasak air dan bubur untuk sarapan pagi.”

Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi Sian Cu berbisik, “Kemarin kau memaki dia malas.” Teringat akan kejadian itu, Ceng Ceng diam saja dan mengerjakan apa yang diperintahkan tukang perahu itu.

Tiba-tiba tukang perahu berkata, “Harap kalian tenang, ada kesukaran di depan!”

Dengan kaget Ceng Ceng dan Sian Cu melihat bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu hitam yang ditumpangi masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak dua orang tosu tua yang bersikap kereng!

“Siapa mereka? Mau apa?” Ceng Ceng bertanya lirih.

“Sstttt... harap kalian diam dan serahkan saja kepadaku menghadapi mereka.” Tukang perahu menjawab dan ketenangan sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran.

Andai kata mereka itu adalah bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguh pun hal itu menyangsikan karena di antara mereka terdapat dua orang tosu, maka sikap tukang perahu itu terlampau tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan menjadi panik dan ketakutan, tidak seperti saat ini, bersikap seolah-olah penuh keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.

Ceng Ceng memberi tanda dengan kedipan mata kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti bahwa dialah yang mungkin menjadi incaran musuh, segera menyembunyikan diri di dalam perahu. Sedangkan dia melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya berdebar tegang melihat betapa dua buah perahu itu dipalangkan di tengah sungai, agaknya sengaja menghadang perahu yang ditungganginya.

“Haii, tukang perahu!” Terdengar suara bentakan dari dua buah perahu itu. “Hendak ke mana?”

“Kami hendak ke Kiu-teng!” Terdengar jawaban tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.

“Bersama siapa? Membawa apa?” Kembali terdengar pertanyaan yang kereng dan berwibawa itu, dan ternyata yang bertanya adalah seorang di antara dua orang tosu yang duduk di dalam perahu pertama.

Tukang perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng yang sedang memasak bubur, lalu berkata, “Bersama isteriku! Kami tidak membawa apa-apa, hendak mencari ikan dan menjualnya ke Kiu-teng!”

Hampir saja Ceng Ceng meloncat dan memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu jahanam itu! Akan tetapi ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia melihat Sian Cu memberi isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut yang menyuruhnya diam, bahkan Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar yang berada di dalam perahu. Tentu kakak angkatnya itu hendak menolong si tukang perahu yang sudah menyatakan bahwa tukang perahu itu hanya bersama dengan isterinya!

Ketika Ceng Ceng menengok lagi, tentu saja wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua perahu itu, dan terdengarlah suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang bermata lebar berseru sambil tertawa, “Haiiii, isterimu cantik sekali, tukang perahu! Boleh aku menyewanya?”

“Perahuku tidak disewakan!”

“Heh, tolol! Bukan perahumu, tetapi isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam?” Terdengar suara ketawa dari kedua perahu itu.

Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan di hati Ceng Ceng. Namun melihat bahwa kakak angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega mengganggu, lagi pula ia pun ingin sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang perahu gila itu.

“Hemm, berapa kau berani bayar, kawan?”

Benar gila! Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah siap untuk menghajar mereka semua. Kedua telinganya mengeluarkan bunyi mengiang-ngiang saking marahnya.

“Ha-ha-ha-ha! Nah, kau terimalah uang panjarnya dahulu, dan kalau kau menolak, ini tambahnya!” Dari dalam sebuah di antara dua perahu itu melayang benda ke dalam perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan ternyata sekantung kecil uang tembaga dan sebatang toya baja yang dilontarkan ke depan kaki tukang perahu itu.

Ceng Ceng melirik dengan sudut matanya. Jelas bahwa orang-orang kasar itu memberi uang dan disertai ancaman karena toya itu berarti ancaman kalau permintaan itu ditolak.

Si tukang perahu mengambil kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga, juga dia memegang toya dan melihat-lihat benda itu seperti lagi menimbang-nimbang. Kemudian dia berkata, “Wah, penawarannya masih jauh berkurang, sobat! Bagaimana kalau ditambah nyawamu?” Dia lalu melontarkan kembali kantung uang dan toya.

Ceng Ceng terkejut. Betapa beraninya si tukang perahu! Dan dia melihat betapa semua orang di kedua perahu itu merubung dan melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan itu, “Si Jari Maut!”

Makin heran lagi hati Ceng Ceng ketika dia melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di perahu mereka dan seorang di antara keduanya menjura dengan membentuk tanda jari-jari tangan depan dada sambil berkata. “Harap sudi memaafkan kelakar anak buah kami dan persilakan lewat disertai salam persahabatan kami!”

Si tukang perahu hanya tersenyum, lalu menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya lewat di antara kedua perahu yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek ke arah mereka, dan kemudian berkata ke dalam perahu, “Nona Sian Cu, keluarlah, tidak ada bahaya lagi sekarang.”

Ceng Ceng langsung membanting panci terisi bubur panas. Dia meloncat bangun dan menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu. “Keparat, mulutmu busuk sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu? Phuahh, tidak tahu diri, tukang perahu jembel busuk!”

Si tukang perahu mengangkat hidungnya. “Hemm, gadis dusun yang galak! Andai kata benar kau adalah isteriku, maka engkaulah yang untung dan aku yang rugi besar!”

“Jahanam...!” Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia telah menerjang untuk menampar pipi orang itu. Biar kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.

“Wuuuttttt...!”

Tamparan yang dilakukan dengan cepat sekali dan disertai tenaga sinkang yang kuat itu hanya mengenai angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama sekali bahwa tukang perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat mengelak dari tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga dan cepat sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah! Dia menjadi penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar, melainkan memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!

“Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt...!”

Semua pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sinkang yang amat kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!

“Ceng-moi, jangan...!” Sian Cu berseru.

“Biar!” Ceng Ceng membantah dengan marah. “Dia kurang ajar, harus kupukul manusia jahanam ini!”

“Eh-eh-ehhh, beginikah engkau membalas budi orang?” Tukang perahu itu tersenyum sambil mengejek. “Ditolong balasnya memukul? Ini namanya diberi air susu dibalas dengan air tuba! Benar-benar gadis galak yang tidak mengenal budi!”

“Setan sungai kau!” Sekarang Ceng Ceng menubruk maju, kakinya menendang dan tangannya menyusul dengan tusukan jari tangannya ke arah perut tukang perahu.

“Wuuutttttt... dukkk!” Tubuh Ceng Ceng terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan tangannya. Akan tetapi hal itu justru membuat Ceng Ceng makin marah dan dia menerjang lagi.

“Adik Ceng, jangan...!”

“Biarlah, enci. Dia kurang ajar sekali. Dia tentunya manusia busuk!” Dia meloncat dan mengirim pukulan yang amat berbahaya karena dia telah menggunakan jurus pilihan dari ilmu silat kongkong-nya.

Pukulan itu bersiut datang ke arah lambung tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh tukang perahu bergerak dan ternyata dia telah meloncati lewat bilik perahu ke bagian belakang perahu!

“Mau lari ke mana kau!” Ceng Ceng mengejar, juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah mencengkeram dengan kedua tangannya.

Tapi si tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke bawah, menerobos melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil tertawa-tawa. Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Ceng Ceng dengan kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!

“Ceng-moi... tahan dulu...!” Sian Cu sibuk memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan gadis yang marah itu mengamuk.

“Enci, apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan puas!” Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.

“Heiiittt... tendangan hebat!” Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.

“Mampuslah...!” Ceng Ceng membalikkan tubuhnya saat tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik, tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.

“Eiiiiihhhh... hebat, wahhh luput! Sayang sekali...!” Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak.

Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biar pun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut. Hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.

“Adik Ceng... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring... kita bisa celaka...!”

Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.

“Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!”

“Jahanam busuk...!” Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. “Engkau harus mampus di tanganku!”

“Adik Ceng...!”

Ceng Ceng yang sudah ‘mata gelap’ saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat sekali, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.

“Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!”

Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!

Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Ia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, tetapi dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah sungai! Kemudian disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.

“Heiiiii... jangan...! Wah-wah, celaka... kau benar-benar liar!” Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali.

Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum juga puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.

“Jangan itu...!” Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.

“Byuurrr...!”

“Wah, celaka...!” Tukang perahu berteriak dan dia pun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.

“Byuurr...!” Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.

Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.

“Ceng-moi... celaka... perahunya hanyut dan miring...!” Terdengar jerit Sian Cu.

Ceng Ceng baru tersadar dan dia mendekati enci-nya. Segera dia pun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!

“Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.

“Dayungnya...?” Ceng Ceng terkejut.

Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tiang layar yang terbuat dari bambu itu.

“Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!”

Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air.

Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.

“Minggir...! Perahu hanyut...!”

“Celaka...! Krakkkk...!”

“Braaakkkk! Krakkkk...!”

Terdengar teriakan-teriakan dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!

“Ceng-moi...!” Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.

“Enci Syanti!” Ceng Ceng juga menjerit.

Biar pun belum pernah belajar berenang, namun dara itu telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya sambil menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, namun karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.

Orang-orang di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Ada pun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.

Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul. Seperti bersayap, perahu itu tahu-tahu telah ‘terbang’ di atas permukaan air dan terus mendarat! Di atas perahu itu tampak seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi ‘terbang’ melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!

Tentu saja semua orang terheran-heran, apa lagi setelah mereka berusaha mengejar. Laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi. Laki-laki itu sering kali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh.

Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itu pun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.

“Siapa namanya?” tanya seorang.

“Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!”

“Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?”

Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya. “Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga aku pun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.

Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita Sepasang Pedang Iblis tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali. Selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sinkang dari Pendekar Super Sakti!

Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sinkang Swat-im-sinkang dan Hui-yang-sinkang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lainnya yang kesemuanya bertingkat tinggi!

Hanya sayang, pemuda tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya hingga banyak mengalami kesengsaraan, bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus! Pada akhir cerita Sepasang Pedang Iblis, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es berpamit kepada Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan lalu pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, namanya tidak pernah lagi terdengar di dunia kang-ouw.

Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai!

Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.

Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat ini pun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya, sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya, dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.

Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu hingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak mempedulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu.

Ketika dia mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama ‘enci Syanti’, dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya.

Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat.

Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.

Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.

“Ahhhhh...!” Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya.

Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!

Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama adalah bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu, ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.

“Di... di mana aku? Siapakah paman...?”

Biar pun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.

“Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu,” kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.

Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya, “Bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana Ceng-moi...?”

“Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?” Bun Beng bertanya.

“Benar... kami berdua di perahu itu... bagaimana dengan Ceng-moi? Di manakah dia...? Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit, memanggil nama adik angkatnya penuh khawatir.

Bun Beng menggelengkan kepalanya dan menghela napas. “Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Ada pun nona kedua itu... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...”

Makin terbelalak sepasang mata itu, dan wajah Syanti Dewi langsung menjadi pucat sekali. “Paman...! Kau... maksudkan... dia... Ceng-moi...?”

Bun Beng mengangguk. “Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam.”

“Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya.

Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.

“Ceng-moi... aihhh... Candra adikku, bagaimana aku bisa hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau...? Adik Candra... tega benar engkau meninggalkan aku... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana...?”

Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran, “Nona, tidak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!”

Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa amat heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap, “Paman... apa... apa maksudnya...? Aku kejam..., terhadap siapa...?”

“Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?”

“Paman!” Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?”

Bun Beng menarik napas panjang. “Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkau pun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?”

Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya dapat memandang orang itu tanpa mampu berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti!

Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar, “Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkanlah semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah di dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”

Teguran atas tangisnya tadi masih menghujam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu tadi keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu, lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu.

Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia duduk termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan.

Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati?

Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata, “Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!” Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak.

Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!

“Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,” katanya.

Bun Beng melangkah masuk, dan kembali mereka duduk saling berhadapan di atas lantai. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati.

Wajah itu sangat tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara. Seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain pihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.

“Nona siapakah?” Bun Beng bertanya singkat.

“Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?”

“Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”

Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu. “Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama asliku adalah Syanti Dewi...” Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut mendengarnya.

Namun tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini. Selama belasan tahun dia tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan mana pun juga!

“Engkau dari suku bangsa apakah, nona?”

Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini agak mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?

“Aku berbangsa Bhutan...!”

“Ahhh... dan engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja? Hendak ke manakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua? Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas ke mana aku selanjutnya harus mengantarmu.”

Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang kemudian dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.

“Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!”

“Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan aku pun bukan menolong, tetapi sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja.”

“Tapi perjalananku amat jauh, paman.”

“Hemm, sejauh manakah?”

“Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng.”

“Hehhh...?” Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata, “Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona.”

Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu. “Akan tetapi, paman... kabarnya perjalanan ke sana harus menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman...?”

Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilas itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.

“Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga. Tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan kuantar.”

Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian dia berkata, “Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku.”

“Aku tidak perlu membujuk agar engkau mau mempercayaiku, nona. Hanya saja, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya.”

“Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan.”

Puteri itu berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan, “Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!”

Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan sedikit pun juga di hati orang itu.

“Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-sioksiok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi.”

“Adikmu yang bernama Candra itu?”

“Dia hanya adik angkat, nama aslinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali.”

Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik!

Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik. Betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh paman Gak itu.

“Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai harus mengorbankan nyawa.”

“Hemmm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu sungguh menarik. Benarkah bahwa dia itu memiliki kepandaian yang hebat?”

“Dia memang lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata ia memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jeri terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut.”

Bun Beng mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di daerah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apa pun juga, tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tidak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.

“Ketika engkau masih bersama nona Ceng, ke manakah tujuan kalian melarikan diri?”

“Kami hanya mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana.”

“Puteri kaisar?” Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.

“Ya, namanya Puteri Milana...”

Bun Beng menelan seruan kagetnya, tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya, “Ada apakah, paman?”

“Tidak... tak ada apa-apa,” jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata, “Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri...”

Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, namun sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan.....

********************
“Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!”

Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar, “Ahhh, Lee-ko. Peduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melakukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?”

Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila.

Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, “Haiii, nona Liem...! Engkau hendak ke manakah?”

Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggota keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah, “Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”

“Eh, ehh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma...”

“Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!” nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.

Suma Kian Bu pura-pura kaget. “Aihhh... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku... Suma Kian Bu...”

“Tukang joli, hayo jalan terus!” Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.

Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya. “Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.

Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak ‘belajar kenal’ dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.

“Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian Bu. “Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali.”

“Huhh, mata keranjang kau!” Kian Lee berkata. “Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!”

Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk biaya makan dan penginapan.

Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apa lagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu birahi atau keinginan yang tidak patut!

Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu yang rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat ‘berkenalan’ dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan ‘siasatnya’ yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.

Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng. Dia tinggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar penginapan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguh pun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!

Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tidak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!

“Hendak ke mana, lopek?” tanyanya kepada penggotong joli terdekat.

Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat, “Ke kelenteng.”

Kian Bu kemudian menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai. “Haiii, kiranya nona Thio... hahhhh...?!” Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!

Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.

“Lee-ko, engkau sungguh terlalu...!” Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.

“Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat. Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biar pun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!”

“Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!”

“Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya.”

“Kalau begitu, andai kata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh... ehhh, belajar kenal dengannya?”

“Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!”

Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi. “Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik.“ Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, “yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”

“Kau memang mata keranjang dan nakal!” Kakaknya mengomel.

“Ehh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis. Suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyumannya semanis madu, gerak-geriknya amat menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik.”

“Biar pun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”

“Horeee! Jadi kau pun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Ehhh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu.”

Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga, “Sama sekali tidak seperti engkau, aku lebih suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan.”

“Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”

Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apa lagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya dari pada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguh pun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.

Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!

Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biar pun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aslinya yang menghargai orang lain.

Betapa pun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguh pun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apa lagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!

Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.

Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.

Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian bersama ayah bundanya dara itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta kemudian ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Jika dihitung dengan kusirnya, semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.

Melihat dara tadi menunduk saja, sedikit pun tak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal ia mengharapkan kerlingan dan senyum, Kian Bu merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya agak merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu lagi termenung-menung.

Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata, “Lee-ko, bagaimana?”

Kian Lee mengangkat muka memandang. Melihat sinar mata adiknya yang jelas-jelas menggodanya, mukanya menjadi semakin merah, “Bagaimana apanya?” Dia justru balik bertanya, setengah membentak.

Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan. “Dia tadi, hebat bukan?”

Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih, “Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”

“Ahhh, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikit pun tidak, tersenyum sedikit pun tidak, bicara sepatah kata pun tidak!”

“Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”

“Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?”

Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot. “Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!”

“Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau engkau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?”

“Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal.”

“Siapa bilang mengganggu? Aihh, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan engkau ini selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu.”

“Hemm, apa lagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!”

“Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?”

“Kian Bu, engkau masih kanak-kanak, akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara seperti itu dengan orang lain, tentu engkau akan mudah sekali menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!”

“Bagus...!” Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.

Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih, “Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!”

“Alaaaa... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan aku pun bukan ingin memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”

“Akan tetapi, kalau kau melukai seorang pun...”

“Koko, engkau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa aku melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!”

Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh, lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik ini pun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti.

Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh.

Biar pun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.

Rombongan memasuki sebuah hutan. “Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.

Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.

“Tolong...! Penculik...! Tolong Bi Hwa...!” Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak.

Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.

“Kejar! Tangkap penjahat...!” Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.

“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. “Tenanglah sayang, diamlah manis... aku takkan mengganggumu...!”

Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!

Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak, “Penculik, lepaskan dia!”

Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah, “Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!”

Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat!

Kian Lee diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut. Dia menanti ucapan terima kasih dan sudah bersiap untuk segera mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu.

Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu tiba-tiba terisak, kemudian lari... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.

“Aihhh, kau... kau telah membunuhnya...! Kau telah membunuhnya...!” Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas. “Aduh kasihan sekali engkau...,” bisik Bi Hwa.

Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah ‘mati’. Dia membuka matanya dan memandang dengan melongo.

“Syukur, kau belum mati... ahhh, aku girang sekali... di manakah yang terluka ?” Bi Hwa bertanya.

Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee. “Kau... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu “

“Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!” Bi Hwa membantah.

“Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu... lekas kau hampiri dia...,” Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.

Pada saat itu terdengar bentakan. “Penculik busuk, hendak lari ke mana kau?” Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing.

Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata, “Bu-te, pergi... !”

Terbirit-birit Kian Bu lalu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, dan terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu.

Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang ‘menolongnya’ melainkan justru menaruh iba kepada Kian Bu ‘si penculik’! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.

“Kau...!” Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.

“Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tidak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!”

“Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi?”

Suma Kian Bu kian melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh dari pada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.

“Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Mestinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu.”

“Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu dengan tujuan mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”

“Aihhh, koko, jangan begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku.”

“Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua.”

“Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadaku.”

“Hemmmm...” Kian Lee hanya menggumam mengkal.

Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanya pun besar-besar sehingga mudah saja diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.

“Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko,” bisik Kian Bu.

Kakaknya cemberut. “Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?” bentaknya.

“Alaaaaaa..., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?”

“Wah, kau memang sangat cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!” cela kakaknya.

“Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!” Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.

“Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?”

“Ha-ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?” Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan.

Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta. Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ.

Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu digunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya.

Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini ‘tugasnya’ lebih berat dari pada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah dari pada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum ‘membayar hutang’, adiknya tentu akan rewel terus. Dia hanya akan menjaga agar adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekedar belajar kenal dengan gadis itu!

“Baiklah, kini aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana,” katanya tanpa banyak cakap lagi.

Kian Bu memegang tangan kakaknya. “Terima kasih, koko!”

Kian Lee merenggut tangannya. “Pergilah!”

Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!

Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan. “Harap cu-wi berhenti dulu!”

Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta lalu dihentikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta. Pemimpinnya, yaitu seorang piauwsu tua yang berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.

“Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?” bentak si jenggot putih.

Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata, “Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!”

Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu.

Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata, “Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!” berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak. “Tolong... toloooonggg...!”

Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.

“Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!”

Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudah menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biar pun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.

“Lepaskan aku...! Tolonggg...!”

“Diamlah, aku hanya menculikmu!” Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang ‘Sebentar lagi kau akan tertolong!’

Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang. “Heiiii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!”

Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.

“Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya...,” kata gadis itu dengan suara merdu.

Kian Bu tersenyum. “Ah, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya.”

Gadis itu kemudian bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, dan sikapnya amat memikat. “Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apa pun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi...”

Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata, “Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apa lagi bisa menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?”

“Namaku...?” Gadis itu terlihat malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul. “Aku... Cia Hong Ciauw...”

“Namamu manis sekali, seperti orangnya,” kata Kian Bu.

Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini sebenarnya hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnya pun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, malah lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.

“Ihiiikk... kongcu bisa saja memuji orang, membikin aku malu saja...” Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.

“Lhoh...! Ehhh...! Bagaimana ini...? Wah, jangan...!” Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya.

Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.

“Hong Ciauw...!” Kakek itu membentak marah.

Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata, “Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku tadi sudah mati di tangan penculik kejam...”

Melihat kakek itu melotot marah, Kian Bu tahu bahwa keadaan tak menguntungkannya. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!

“Eh, maaf... aku... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...”

“Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!” bentak kakek itu.

Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apa lagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.

Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan pula siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia kemudian berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.

“Ha-ha-ha-ha...! Dia bini mudanya... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha-ha...!” Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.

“Koko, kau... kejam!” Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.

Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata, “Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidak baikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura belaka, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain.”

“Huh! Sialan perempuan itu...!” Kian Bu membanting kaki dengan gemas. “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!”

“Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh.”

“Hehh...?” Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. “Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!”

“Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua.”

“Eh, siapa mereka itu?”

“Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya.”

“Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!” Kian Bu mengomel.

“Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau.”

“Wah, kau tiada habisnya mengejekku, koko!” Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek. “Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku pun akan mentertawakanmu juga!”

Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Buddha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Buddha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Buddha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam.

Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, yang dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!

Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta, menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara hartawan dan dua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.

“Baru sejenak saja jauh dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain,” kata si hartawan kepada bini mudanya.

“Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!” jawab si bini muda dengan berani. “Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?”

“Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apa lagi bentuk terima kasihmu itu, kau perempuan rendah...!”

“Sudahlah, sudahlah...!” Isteri pertama mencela. “Di tengah perjalanan ini, di tempat berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsu pun hanya akan menimbulkan rasa malu.”

Setelah ketiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga lalu membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.

“Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong hingga penculikan itu dapat digagalkan,” kata seorang di antara mereka.

“Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali.”

“Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itu pun lebih hebat,” bantah yang lain. “Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itu pun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa ginkang-nya pun amat luar biasa, seperti terbang saja.”

Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih menarik napas panjang dan berkata, “Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorang pun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik mau pun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kang-ouw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal.”

Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri ikut melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian, karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.

Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.

“Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam,” berbisik seorang di antara mereka.

“Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar untuk memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan.”

“Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu?” tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, “Dan kedua orang wanita itu?”

“Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!” kata tosu kedua.

“Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis,” kata si tahi lalat.

“Hushhhh... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan... heiii... hujankah...?”

Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tanpa tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala, dan kemudian mendekatkan jari ke depan hidung.

“Mengapa baunya begini?”

“Seperti air kencing!”

Dan ‘hujan’ pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.

“Keparat!” Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorang pun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.

“Apa yang terjadi?”

“Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?”

“Akan tetapi, biar pun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?”

“Kita harus bekerja cepat,” kata tosu bertahi lalat. “Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!”

Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan, dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.

“Marilah kita mulai bergerak,” kata tosu pertama. “Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus dapat memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam.”

“Baik, suheng,” kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.

“Heiii... aduhhh!” Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya.

Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh.

“Mengapa kau, sam-sute?”

“Tersandung batu! Sialan!”

“Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh.”

“Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?” Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. “Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?”

“Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?” cela tosu tertua.

“Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar,” kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja!

Tosu tertua dan sam-sute-nya yang tadi tersandung batu ajaib itu lantas terbelalak memandang. “Eh, ke mana dia?” tanya sute-nya. “Mana ji-suheng?”

Tosu tertua juga bingung karena sute-nya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas. “Ji-sute...!” bisiknya memanggil.

Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara “ceekkk... ceekkk...” seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang ‘menggantung’ diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah ‘biasa’ tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!

Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka segera menjadi sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, kemudian yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.

Setelah siuman, tosu ketiga bertanya, “Ji-suheng, mengapa begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!”

“Bunuh diri hidungmu itu!” Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Iblis yang melakukan ini!”

“Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi tadi?” Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki, akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ.

Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik. “Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu... digantung di dahan itu.”

“Tidak mungkin!” Tosu pertama membantah.

“Mungkin saja!” Tosu ketiga mencela.

“Buktinya dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterus teranglah, apakah kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!”

“Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!” Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.

“Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Walau pun andai kata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga engkau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...”

“Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh...!” Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.

“Aihhh... benar-benarkah ada setan di sini...?” Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan kiri, sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.

Tiba-tiba si tahi lalat berkata, “Ahh, bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh.”

“Suara bagaimana?”

“Suara seorang laki-laki berkata: ‘Koko, dia telanjang, ha-ha-ha’, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku.”

Tosu pertama mengelus jenggotnya. “Hemm... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan dulu sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu.”

Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang, dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.

Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.

Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang telah turun ke bawah bersama adiknya, berkata, “Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapa pun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya saja kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan.”

Kian Bu menggangguk. “Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya.”

“Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu.”

“Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?”

“Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapa pun, dan kita tidak dapat pula mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidak adilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah.”

“Wah, sukar, Lee-ko!”

“Apanya yang sukar?”

“Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidak adilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!”

“Hemmm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidak adilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. Yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“

“Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!”

Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, maka dua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar